eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/4/bab iii.doc · web viewdalam hal pemohon eksekusi...
TRANSCRIPT
BAB III
TATA CARA/PROSEDUR PENYELESAIAN PHK KARENA ALASAN
EFISIENSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004
TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL
A. Proses Penyelesaian PHK karena efisiensi menurut Peraturan
Perundang-undangan
Mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan alasan karena
efisiensi tidak secara rinci diatur dalam UU PPHI. Sehingga proses atau
prosedur penyelesaian PHK dengan alasan efisiensi ini tetap dilakukan dengan
ketentuan yang diatur dalam UU PPHI.
Dengan diundangkan UU PPHI tersebut, maka UU Nomor 22 Tahun
1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU Nomor 12 Tahun
1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta dinyatakan
tidak berlaku lagi sehingga penyelesaian masalah hubungan industrial yang
terjadi sejak diberlakukannya UU PPHI harus mengacu pada ketentuan yang
telah diatur dalam undang-undang ini.
Penyelesaian Perselisihan pemutusan kerja dengan alasan efisiensi
yang terjadi pada Keputusan MA No.36/PHI/2006, sebelum diajukan kasasi
ke Mahkamah Agung masih menggunakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Didalam produk
Perundang- undangan ini memberikan jalan penyelesaian sengketa buruh lebih
di titik beratkan pada musyawarah mufakat antara buruh dan majikan melalui
Lembaga Bipartit, dan bila tidak terselesaikan dapat dilanjutkan ke Lembaga
35
Tripartit, dan seterusnya dapat dilanjutkan ke Pengadilan PHI dan P4P.
Ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
berlaku setelah pihak penggugat (pengusaha) mengajukan permohonan kasasi
ke Mahkamah Agung tepatnya pada tanggal 27 Juni 2006. Dengan berlakunya
undang-undang ini maka Hakim Agung menyatakan putusan Pengadilan
Hubungan Industrial tidak perlu dicantumkan lagi.
Perselisihan pemutusan hubungan kerja termasuk pemutusan
hubungan kerja dengan alasan efisiensi menurut UU PPHI wajib diupayakan
penyelesaiannya terlebih dahulu melalui musyawarah untuk mufakat yaitu
melalui perundingan bipartit. Apabila usaha penyelesaian melalui bipartit
gagal maka dilakukan usaha penyelesaian melalui tripartit yaitu dengan jalan
mediasi dan konsolidasi. Jika usaha penyelesaian melalui tripartie juga
menemui kegagalan, para pihak baru dapat menruskan perselisihannya melalui
jalur litigasi yaitu dengan cara menggugat pihak lain ke Pengadilan Hubungan
Industrial.
Seperti kasus-kasus PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) yang terjadi
kerap membuat kita miris, karena PHK sepihak masih mendominasi
permasalahan utama dalam ketenagakerjaan Indonesia. PHK dengan alasan
efisiensi seperti pemberian hak-hak pekerja/buruh sebagai kompensasi
merupakan Pemutusan Hubungan Kerja yang kerap menimbulkan masalah.
Permasalahannya adalah perusahaan sering memberikan hak-hak pekerja/
buruh yang kurang sesuai dan tidak jarang juga pihak pekerja/buruh meminta
hak-hak mereka melebihi ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-
36
undangan.
Perselisihan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan perselisihan yang terjadi karena para pihak atau salah satu pihak tidak sepaham mengenai PHK yang dilakukan. Sebelumnya pengaturan mengenai penyelesaian PHK diatur dalam Undang-Undang No.12 Tahun 1964 yang prosedur penyelesaianya cukup panjang serta memakan waktu yang cukup lama, yaitu mulai dari tingkat kota PHI, P4P, sampai Menteri Tenaga Kerja dan terakhir ke Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang N0. 5 Tahun 1986. Jalan yang harus ditempuh oleh para pihak untuk mencari keadilan semakin panjang.1
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial selama ini dirasa tidak dapat lagi mengakomodasi perkembangan-perkembangan yang terjadinya khususnya mengenai hak-hak pekerja/buruh perseorangan belum terakomodasi untuk menjadi pihak dalam perselisihan hubungan industrial. Selain itu dengan ditetapkannya Panitia Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) sebagai objek objek Sengketa Tata Usaha Negara, maka jalan yang harus ditempuh baik oleh pihak pekerja/buruh maupun oleh pengusaha (perusahaan) untuk mencari keadilan menjadi semakin panjang.2
Sehingga belum dapat mewujudkna penyelesaian secara sederhana,
cepat, adil dan biaya ringan. Dengan berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tersebut dikeluarkanlah UU PPHI yang dianggap dapat
mengakomodir perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam penyelesaian
hubungan industrial dan dengan waktu penyelesaian yang tidak terlalu lama
Pelaksanaanya sering kali pengusaha harus menghadirkan para
manajer ke persidangan untuk memberikan kesaksian tentang kondisi
perusahaan dan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk menyelematkan
perusahaan, yang sering kali kesaksian tersebut oleh hakim dianggap tidak
bernilai hukum karena keterangan diberikan tidak dibawah sumpah. Majelis
hakim yang masih berkenaan mendengarkan saksi tanpa disumpah umumnya,
1 Agusmidah, Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, USU Press, Medan, 2010, hal. 166
2 Lihat Penjelasan umum atas UU PPHI
37
memahami bahwa perselisihan antara pengusaha dengan pekerja sehingga
tidak mungkin mengharapkan keterangan saksi dari pihak luar.
B. Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja di Luar
Pengadilan (Non-Litigasi)
1. Penyelesain Secara Bipartit
Pasal 3 UU PPHI menentukan bahwa setiap perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaian terlebih dahulu melalui perundingan bipartie secara musyawarah untu mufakat. Penyelesaian perselisihan melalui bipartie harus mampu diselesaikan paling lama tiga puluh hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. Apabila jangka waktu tiga puluh hari para pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, perundingan bipartie dianggap gagal. 3
Apabila perundingan mencapai mencapai persetujuan atau
kespakatan maka persetujan bersama (PB) tersebut dicatatkan di
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), namun apabila perundingan tidak
mencapai kata sepakat, maka slah satu pihak mencatatkan perselisihannya
ke instansi yang bertanggu jawab di bidang ketenagakerjaan pada
Kabupaten/kota.
Salah satu bukti persayarataan yang mutlak dalam pencatatan tersebut adalah bukti atau risalah perundingan Bipartit, apabila bukti perundingan tidak ada, maka pencatannya ditolak selanjutnya diberi waktu 30 hari untuk melakukan perundingan bipartie, dan apabila bukti/risalah perundingan telah lengkap, maka kepada pihak pengadu ditawarkan tenaga penyelesaian perselisihan apakah melalui mediator, konsiliator, atau arbiter.4
Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang berselisih secara musyawarah mufakat tanpa ikut campur pihak lain. Begitu pula apabila terjadi perselisihan pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan terhadap pekerja/buruh sebaiknya penyesaiannya juga dilakukan secara musywarah mufakat, sehingga dapat memperoleh
3Zaeni Asyhadie, Op.cit, hal.1494Mitar Pelawi, Op.cit.hal.8
38
hasil yang menguntungkan kedua belah pihak. Selain itu, musyawarah dapat menekan biaya serta menghemat waktu. Itulah sebabnya UU PPHI mengharuskan setiap penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang terjadi diselesaikan terlebih dahulu melalui perundingan bipartie.5
Menurut Pasal 1 angka 10 UU Pengadilan Hubungan Industrial
Perundingan bipartie adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat
pekerja/buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselishan
hubungan industrial.
Menurut Pasal 3 ayat (2) dan (3) UU Pengadilan Hubungan
Industrial Jangka waktu penyelesaian perselisihan melalui perundingan
bipartie adalah 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya
perundingan, dimana apabila salah satu pihak menolak untuk berunding
atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka
perundingan dianggap gagal.
Menurut Pasal 7 ayat (1) dan (2) ; Pasal 13 ayat (1) dan (2) e ;
Pasal 23 ayat (1) dan (2) e UU Pengadilan Hubungan Industrial Apabila
dalam perundingan bipartie dapat mencapai kesepakata penyelesaian,
maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh pihak
pekerja/buruh dengan pihak perusahaan, yang mengikat dan menjadi
hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak. Serta didaftarkan oleh
para pihak yang melakukan Perjanjian pada Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak yang mengadakan
Perjanjian Bersama.
Menurut Pasal 7 ayat (5) dan (6) ; Pasal 13 ayat (3) b dan c ; Pasal
5Lalu Husni Op.cit, hal. 52-53
39
23 ayat (2) b dan c UU Pengadilan Hubungan Industrial Jika Perjanjian
Bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang
dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di Wilayah Perjanjian
Bersama didaftarkan untuk mendapatkan penetapan eksekusi. Dalam hal
pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat
pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama, maka permohonan eksekusi
melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di
wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten
melaksanakan eksekusi.
2. Penyelesaian Perselisihan Melalui Mediasi
Perselisihan hubungan industrial yang bisa diselesaikan melalui mediasi adalah semua jenis perselisihan hubungan industrial yang dikenal dalam UU PPHI. Perselisihan hubungan industrial tersebut diselesaikan melalui musyawarah dengan ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.6
Menurut Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU PPHI Pelaksanaan perundingan dalam menyelesaikan perselisihan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pihak pengusaha terhadap pekerja/buruh menemui kegagalan, maka salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya penyelesaian melalui bipartie telah dilakukan. Jika tidak ada bukti telah dilakukan perundingan bipartie, maka instansi tersebut akan mengembalikan berkasnya untukd dilengkapi paling lambat dalam watu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya pengembalian berkas.
Menurut Pengadilan Hubungan Industrial Setelah menerima
penncatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung
6 Zaeni Asyhadie, Op.cit, hal. 151
40
jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para
pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsoliasi atau
mealui arbitrase. Apabila dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja para pihak tidak
menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsoliasi atau arbitrase, maka
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan
penyelesaian perselisihan kepada mediator.
Penyelesaian melalui konsoliasi menurut ketentuan Pasal 4 ayat (5)
UU PPHI dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antara serikat
pekerja/serikat buruh. Sedangkan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial melalui arbitrase menurut ketentuan Pasal 4 ayat (6) dan Pasal
29 UU PPHI dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan.
Apabila melihat dari ketentuan dari Pasal-Pasal tersebut oleh
karena perselisihan pemutusan hubungan kerja maka penyelesaian
selanjutnya yang dapat dilakukan oleh pihka pekerja/buruh atau atau pihka
perusahaan adalah melalui proses mediasi.
Mediator adalah adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diangkat oleh Mentrei untuk menangani dan menyelesaikan keempat perselisihan dengan wilayah kewenangan pada Kabupaten/Kota. Mediator dalam menjalankan tugasnya selalu mengupayakan penyelesaian secara musywaarah, dan apabila Mediator tidak berhasil menyelesaiakan perselisihan tersebut, maka Mediator wajib mengeluarkan anjuran tertulis, dan apabila anjuran tertulis tersebut diterima oleh para pihak maka dibuat persetujuan bersama (PB) yang selanjutnya dicatatkan di Pengadilan Hubungan Industrial, namun apabila anjuran tersebut ditolak oleh salah satu pihak, maka pihak yang keberatanlah yang mencatatkan
41
perselisihannya ke Pengadilan Hubungan Industrial. 7
Menurut UU Nomor 22 Tahun 1957, dikenal dengan nama pegawai Perantara yang diangkat oleh Menteri untuk menangani penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan pemutusan hubungan kerja, dengan mekanisme penyelesaian yang harus ditempuh dalam penyelesaian perselisihan adalah melalui Pegawai Perantara, PHI dan P4P final. Akan tetapi dengan lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Administrasi Negara, maka putusan P4P tersebut menjadi tidak final karena putusan P4P dianggap bukan putusan pengadilan melainkan putusan pejabat administrasi negara sehingga putusan P4P tersebut dapat dijadikan gugatan ke PTTUN. Dengan lahirnya UU PPHI maka pegawai perantara, PHI, P4P, dan PTUN tidak dikenal lagi. 8
Pasal 13 ayat (2) UU PPHI Mediator dalam waktu selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pelimpahan penyelesaian
perselisihan, harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya
perkara dan segera mengadakan sidang mediasi. Apabila penyelesaian
melalui mediasi tidak tercapai penyelesaian, maka mediator mengeluarkan
anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja
sejak sidang mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak.
Dan para pihak dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja setelah
menerima anjuran tertulis juga harus sudah memberikan jawaban secara
tertulis kepada mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran
mediator tersebut. Pihak yang tidak memberikan pendapatnya dianggap
menolak anjuran tertulis. Mediator menyelesaikan tugasnya dalam waktu
paling selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan dari instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
7 Mitar Pelawi, Op.cit, hal.88 Ibid
42
3. Penyelesaian Melalui Konsoliasi
Pasal 17 UU PPHI Penyelesaian perselisihan melalui konsoliasi
dilakukan oleh konsoliator yang terdaftar pada kantor instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
Konsoliasi dalam hubungan industrial adalah penyelesaian
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutsan hubungan kerja,
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh oleh seseorang atau
lebih konnsiliator yang netral.
Pasal 15 UU PPHI Para pihak yang berselisih jika telah telah sepakat untuk menyelesaikan perselisihan lewat konsoliasi, harus mengajukan permintaan penyelesaian secara tertulis kepada konsoliator yang ditunjuk dan disepkati bersama. Konsoliator yang dapat dipilih adalah konsoliator yang wilayah kerjanya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja. Konsoliator dipilih dari daftar nama konsoliator yang dipasang dan diumumkan pada kantor instansi pemerintahan yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
Tenggang waktu selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah
menerima permintaan penyelesaian secara tertulis, Konsoliator sudah
harus mengadakan penelitian tentang duduk perkaranya dan selambat-
lambatnya pada hari kedelapan harus sudah dilakukan sidang konsoliasi.9
Dalam menyelesaikan tugasnya konsoliator dapat menanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang konsoliasi guna dimintai dan didengar keterangannya. Setiap orang yang diminta keterangan oleh Konsoliator guna menyelesaikan perselisihan hubungan industrial wajib untuk memberikannya termasuk memperlihatkan bukti-bukti dan surat-surat yang diperlukan misalnya buku tentang upah, surat perjanjian kerja, surat perintah lembur, dan lain-lain. Saksi atau saksi ahli yang datang memenuhi panggilan sidang konsoliasi tersebut berhak menerima penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan
9 Maimun, Op.cit, hal.157
43
dengan keputusan menteri.10
Apabila tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial melalui konsoliasi, maka dibuat perjanjian bersama yang
ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh konsoliator serta
didaftakan di Pengadian hubungan industrial pada pengadilan negeri di
wilayah hukum pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja bersama
untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
Sebaliknya, dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian
hubungan industrial melalui konsoliasi Pasal 23 ayat (2) UU PPHI, maka :
a. Konsoliator mengeluarkan anjuran tertulis ;
b. Anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu
selambat-lambatbya sepuluh hari kerja sejak sidang konsoliasi pertama
harus sudah disampaikan kepada para pihak ;
c. Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada
konsoliator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dala
waktu selambat-lambatnya sepuluh hari kerja setelah menerima
anjuran tertulis ;
d. Pihak yang tidak memberikan memberikan penadapatnya sebagaimana
dimaksud pada huruf c dianggap menolak anjuran tertulis ;
e. Dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, dalam waktu selambat-lambatnya 3 hari kerja
sejak anjuran tertulis disetujui, konsoliator harus sudah selesai
membantu para pihak membuat perjanjian bersama untuk kemudian 10 Ibid, hal. 158
44
didaftarkan di pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri
di wilayah hukum, pihak- pihak yang mengadakan perjanjian kerja
bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
Apabila anjuran tertulis dari konsoliator ditolak salah satu pihak atau
lebih para pihak maka penyelesaiaan perselisihan diselesaikan melalui
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang wilayah
hukumnya meliputi tempat kerja pekerja/buruh. Penyelesaian perselisihan
melalui pengadilan hubungan industrial dilakukan dengan cara pengajuan
gugatan oleh salah satu pihak sesuai dengan hukum acara perdata yang
berlaku.
C. Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Melalui
Pengadilan (Litigasi)
Pengadilan hubungan industrial merupakan pengadilan khusus yang
berada pada lingkungan peradilan umum yang berwewenang memeriksa,
mengadili, dan memberi putusan terhadap perelisihan hubungan industrial.
Pengadilan hubungan industrial dibentuk oleh Pengadilan Negeri dan
Mahkamah Agung11. Menurut UU PPHI, untuk pertama kalinya pengadilan
hubungan industrial dibentuk pada Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota di
setiap ibukota provinsi yang mempunyai daerah hukum meliputi setiap
wilayah provinsi bersangkutan dan pada Mahkamah Agung untuk tingkat
kasasi.
Untuk Kabupaten/Kota yang padat industri dibentuk pula Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan Negeri setempat. Susunan hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari Hakim,
11 Maimun, Op.cit, hal. 160
45
Hakim Ad-hoc, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti. Sedangkan pada Mahkamah Agung susunan Hakimnya terdiri dari Hakim Agung, Hakim Agung Ad-hoc, dan Panitera. Hakim Ad-hoc adalah hakim Pada Pengadilan Hubungan Industrial yang pengangkatannya dilakukan atas usul serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha.12
Menurut Pasal 14 dan 24 UU PPHI Anjuran tertulis yang telah dibuat
oleh mediator atau konsoliator untuk menylesaikan perselisihan pemutusan
hubungan kerja ditolak oleh pekerja/buruh atau pihak perusahaan, maka
para pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian
perselisihannya tersebut melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri setempat dengan mengajukan suatu gugatan oleh salah
pihak.
Upaya hukum melalui Pengadilan merupakan upaya terakhir
(ultimum remedium) oleh para pihak, apabila upaya-upaya diluar pengadilan
mengalami kegagalan.
Pasal 57 UU PPHI Asas berpekara di Pengadilan Hubungan Industrial
tidak jauh berbeda dalam berpakara perdata di lingkungan peradilan umum
pada umumnya, karena hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan
peradilan umum kecuali yang diatur khusus dalam UU PPHI.
Pasal 51 ayat (1) UU PPHI Gugatan yang dapat diajukan ke
Pengadilan Hubungan Industrial pada tingkat pertama, meliputi seluruh
jenis perselisihan hubungan industrial yakni perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perseisihan pemutusnan hubungan kerja dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Sementara untuk jenis
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan,
12 Ibid, hal.169
46
perselisihannya dibatasi hanya di tingkat Pengadilan Hubungan Industrial
tingkat pertama yang tidak dapat dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung.
Sedangkan perselisihan yang sedang atau telah diselesaikan melalui
arbitrase hubungan industrial tidak dapat diajukan gugatan ke Pengadilan
Hubungan Industrial, karena sifat putusannya yang bersifat final dan
mengikat para pihak yang berselisih. Pasal 51 ayat (1) UU PPHI
Pengajuan gugatan pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh
pekerja/buruh kepada pengusaha (perusahaan) tersebut, harus dilampiri
risalah penyelesaian mediasi. Bila tidak dilampiri maka akan berakibat
hukum guggatan tersebut akan dikembalikan oleh Hakim kepada pihak
penggugat. Pekerja/buruh yang hendak mengajukan gugatan dapat
mengajukan gugatan secara langsung atau dapat pula memberikan kuasa
kepada advokat.
Menurut Pasal 123 ayat (1) HIR/147 Rbg Sistem peradilan perdata
di Indonesia menganut stelsel yang tidak mewajibkan para pihak yang
beracara menggunakan jasa advokat, seperti halnya pernah dahulu berlaku
dahulu di zaman penjajahan Belanda, dimana pada Raad Van Justice
(Pengadilan Tinggi) wajib menggunakan jasa advokat. Hukum acara
perdata pada H.I.R/Rbg, tidak mewajibkan para pihak untuk menggunakan
jasa advokat, sehingga baik sebagai penggugat atau tergugat dapat
menghendaki, gugatan pemutusan hubungan kerja dapat diajukan dengan
menggunakan jasa sesorang untuk mewakilinya di depan pengadilan.
Tetapi apabila pekerja/buruh menghendaki, gugatan pemutusan
hubungan kerja juga dapat diajukan dengan menggunakan jasa sesorang
47
untuk mewakilinya di depan pengadilan. Begitu juga dengan pihak
pengusaha (perusahaan), ia mempunyai hak untuk diwakili oleh seorang
kuasa untuk menghadapi gugatan pekerja/buruh. Menurut Pasal 1792
KUHPerdata, yang disebut dengan pemberian kuasa adalah perjanjian
dengan mana seseorang memberikan kekuasaab kepada seorang lain yang
menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.
Tidak semua orang dapat menerima kuasa atau bertindak sebagai
kuasa untuk mewakili pihka yang berpekara di depan pengadilan. Dalam hal
perselisihan hubungan industrial dan pihka pekerja/buruh tersebut
merupakan anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka serikat pekerja/
serikat buruh tersebut dapat mewakili kepentingan pekerja/buruh yang
menjadi anggotanya tersebut sebagai pihak di depan pengadilan.
Pihak lain yang bukan merupakan anggoats serikat pekerja/serikat
buruh tertentu atau bagi pihak pengusaha, menurut ketentuan UU Nomor 18
Tahun 2003 tentang advokat, maka yang dapat menjadi seorang kuasa yang
mewakili pihak yang berpekara di pengadilan tersbut adalah advokat
sebagai seseorang yang menurut undang-undang berhak memberikan jasa
hukum di dalam maupun di luar pengadilan.
Diberlakukannya UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang advokat,
bukanlah ketentuan hukum yang mewajibkan para pihak berpekara baik di
dalam maupun di luar pengadian. Namun undang-undang Advokat
memberikan batasan atau rambu-rambu bagi siap saja yaang akan
menggunakan jasa dan siapa saja yang memiliki kompetensi profesional
48
untuk memberikan jasa hukum, termasuk dalam hal pemberian kuasa.
Apabila gugatan pemutusan hubungan kerja yang diajukan ke pengadilan
hubungan industrial melibatkan lebih dari pekerja/buruh, maka menurut
Pasal 84 UU PPHI, gugatan tersbut diajukan secara kolektif dengan
memberikan kuasa khusus.
1. Pengajuan Gugatan
Menurut, ketentuan Pasal 81 UU PPHI, gugatan perselisihan
hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
pekerja/buruh bekerja.Pengajuan gugatan harus dilampiri risalah
penyelesaian melalui mediasi dan konsoliasi. Bila gugatan tidak
dilampiri dengan risalah-risalah tersebut, pengadilan hubungan
industrial wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat.
HIR atau Rbg hanya mengatur mengenai cara mengajukan gugatan, sedangkan persyaratan mengenai isi dari gugatan tidak ada ketentuannya. Kekurangan ini diatasi oleh adanya Pasal 119 HIR/Pasal 143 Rbg yang memberi wewenang kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk memberi nasihat dan bantuan kepada pihak penggugat dalam mengajukan gugatan. Hal ini dimaskudkan untuk menghindari gugatan yang kurang jelas atau kurang lengkap.13
UU PPHI juga tidak mengatur apakah gugatan harus diajukan
tertulis atau lisan. Namun apabila kita melihat ketentuan dari Pasal 83
UU PPHI secara implisit undang-undang sebenarnya menghendaki
gugatan harus diajukan secara tertulis dimana hal ini bisa dilihat dari
adanya kata-kata ’”dilampiri” dan “menyempurnakan”. Dengan adanya
13 Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Di Luar Pengadilan, PT. RajaGrafindo, Jakarta. 2004, hal.94
49
kata-kata tersebut maka dapt disimpulkan bahwa gugatan itu harus
diajuan secara tertulis.
2. Tenggang Waktu dan Kadaluarasa
Kadaluarsa adalah semacam upaya hukum, sehingga tentang
adanya kadaluarsa harus dikemukakan oleh pihak lawan dalam
jawabannya. Apabila hal itu tidak dikemukakan maka kadaluarsa tidak
berlaku secara otomatis, dengan kata lain perkataan bahwa hakim
“harus tinggal diam”. Dan ia tidak diperkenankan untuk “karena
jabatan” menyatakan bahwa, persoalan tersebut atau hak untuk
menuntut telah kadaluarsa.
Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja dapat diajukan dalam tenggang waktu satu tahun sejak diterimanya dan diberlakukannya keputusan dari pihak pengusaha. Dalam hal suatu perselisihan melibatkan lebih dari satu penggugat, dapat diajukan secara kolektif dengan memberikan kuasa khusus. Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di pengadilan hubungan industrial untuk mewakili anggotanya.14
3. Pengembalian dan Penyempurnaan Gugatan
Melihat pemaparan yang sudah dikemukakan di atas, bahwa
gugatan yang diajukan oleh pihk pekerja/buruh mengenai pemutusan
hubungan kerja, harus dilampiri risalah penyelesaian melallui mediasi
dan konsoliasi. Penyertaan risalah penyelesaiaan melalui mediasi dan
konsliasi harus dipenuhi oleh penggugat. Pasal 83 UU PPHI Hal ini
merupakan kekhususan hukum acara penyelesaian perselisihan melalui
Pengadilan Hubungan Industrial.
Hakim yang menerima pengajuan gugatan wajib memeriksa isi 14 Zaeni Asyhadie, Op.cit, hal. 162
50
gugatan dan bila terdapat kekurangan, hakim meminta penggugat untuk
menyempurnakan gugatannya. Dalam penyempurnaan gugatan ini,
panitera atau panitera pengganti dapat mmbantu penyusunan/
penyempurnaan gugatan. Untuk itu, maka panitera atau panitera
pengganti mencatat dalam daftar khusus yang memuat :
a. Nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak
b. Pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan atau objek
gugatan
c. Dokumen-dokumen, surat-surat, dan hal-hal lain yang dianggap
perlu oleh penggugat.
Kewajiban hakim untuk memeriksa isi gugatan dan meminta
penggugat untuk menyempurnakan gugatan, pada dasarnya sesuai dengan
asas pengadilan membantu pencari keadilan yang termuat dalam Pasal 5
ayat (2) UU PPHI 2004 tentang kekusaan Kehakiman.
Pasal 5 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2004 : “Pengadilan membantu
pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan
untuk tercapainya peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan”.
Hakim di dalam memeriksa perkara perdata bersifat pasif dalam arti
bahwa ruang lungkup atau luas pokok perkara sengketa yang diajukan
kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak
yang berpekara dan bukan oleh hakim. Asas ini memberi bantuan dari
hakim, sebatas membantu para pencari keadilan untuk mencari jalan keluar
terhadap hambatan dalam penyempurnaan yang tidak sesuai dengan syarat-
syarat formil sebuah gugatan, dan bukan membantu menyempurnakan
51
gugatan penggugat sampai masuk kepada materi gugatan dan tuntutan
penggugat. Bila demikian, hakim sudah bertindak diluar kewenangan
sebagai pihak yang berusaha berdiri di tengah-tengah kepentingan para
pihak yang berpekara.
4. Pemeriksaan di Persidangan
Pemeriksaan di persidangan menurut Undang-undang PPHI
dilakukan dengan pemeriksaan dengan acara biasa dan pemeriksaan acara
cepat. Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan apabila terdapat
kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak yang cukup mendesak
yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan perrmohonan dari yang
berkepentingan. Dan dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya
permohonan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat, Ketua Pengadilan
Negeri mengeluarkan penetapan tentang dikabulkannya atau tidak
dikabulkannya permohonan tersebut. Tehadap penetapan tentang
dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan supaya pemeriksaan
sengketa dipercepat, tidak dapat digunakan upaya hukum untuk melawan
penetapan tersebut.
Apabila permohonan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat
dikabulkan, dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah dikeluarkannya
penetapan yang mengabulkan permohonan, Ketua Pengadilan Negeri
menentukan Majelis Hakim, hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui
prosedur pemeriksaan.
5. Pemeriksaan dengan Acara Biasa
52
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselsihan Hubungan Industrial tidak mengatur secara lengkap mengenai
tata cara pemerikaan persidangan. Untuk itu sesuai dengan ketentuan yang
berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdata.
Pemanggilan untuk datang ke sidang dilakukan secara sah apabila
disampaikan dengan surat panggilan kepada para pihak di alamat tempat
tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui disampaikan di
tempat kediaman terakhir (Pasal 89 ayat 2). Apabila pihak yang dipanggil
tidak ada ditempat tinggalnya atau tempat kediaman terakhir, surat
panggilan disampaikan melalui kelurahan atau Kepala Desa yang daerah
hukumnya meliputi tempat tinggal pihak yang dipanggil atau tempat
kediaman terakhirnya (Pasal 89 ayat 3). Penerimaan surat panggilan oleh
pihak yang dipanggil sendiri atau melalui orang lain dilakukan dengan
tanda penerimaan (Pasal 89 ayat 4). Apabila tempat tinggal atau tempat
kediaman terakhir tidak dikenal, maka surat panggilan ditempelkan pada
tempat pengumuman di gedung Pengadilan Hubungan Industrial uang
memeriksanya (Pasal 89 ayat 5).
Majelis Hakim dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir di
persidangan guna diminta dan didengar keterangannya. Setiap orang yang
dipanggil untuk menjadi saksi atau saksi ahli kerkewajiban untuk memenuhi
panggilan dan memberikan kesaksiannya di bawah sumpah.
Sidang Majelis Hakim terbuka untuk umum. Ini berarti bahwa setiap
orang boleh mengikuti jalannya persidangan sebagai wujud fungsi kontrol
53
sosial terhadap jalannya persidangan yang dilaksanakan. Apabila para pihak
sebelumnya tidak menguasakan kepada seorang wakil, di muka sidang
pertama tersebut mereka dapat menguasakan secara lisan kepada seorang
wakil, hal ini harus dicatat dalam berita acara sidang.
Selanjutnya hakim harus mengusahakan mendamaikan kedua belah
pihak yang bersengketa (Pasal 130 HIR/154 Rbg). Apabila berhasil
didamaikan, hakim dapat memberikan putusan perdamaian yang
menghukum para pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang telah dicapai
yang sesungguhnya merupakan persetujuan, sehingga bersifat final. Jika
para pihak tidak berhasil didamaikan barulah dimulai dengan pembacaan
surat gugatan (Pasal 131 ayat 155 ayat 1 Rbg).
Hukum acara peradilan hubungan industrial, dimungkinkan pada
sidang pertama, bilamana nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak
melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasl 155 ayat 3
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengenai
tindakan skorsing bagi buruh/pekerja yang sedang dalam proses PHK
dengan wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima
pekerja/buruh, Hakim Ketua sidang menjatuhkan putusan sela berupa
perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya
seharusnya diterima oleh pekerja/buruh (Pasal 96 ayat 1). Jika putusan sela
tersebut tidak dilaksankan oleh pengusaha, Hakim Ketua Sidang
memerintahkan sita jaminan dalam sebuah penetapan Pengadilan Hubungan
Industrial serta terhadap sita jaminan tersebut tidak dapat diajukan
54
perlawanan dan/atau tidak dapat digunakan upaya hukum. Sesuai dengan
asas dalam peradilan perdata, hakim bersifat pasif, putusan sela tersebut
tidak serta merta dijatuhkan tetapi harus dimohon oleh pihak penggugat
dalam gugatannya.
6. Pemeriksaan dengan Acara Cepat
Apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak
yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan
permohonan dari yang berkepentingan, para pihak dan/atau salah satu pihak
dapat memohon kepada Pengadilan Hubungan Industrial supaya
pemeriksaan sengketa dipercepat (Pasal 98 ayat 1). Dalam jangka waktu 7
(tujuh) hari kerja setelah diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan tentang
dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut. Terhadap
penetapan tersebut tidak digunakan upaya hukum. Ketentuan diatas tidak
menjelaskan alasan pemeriksaan perkara secara cepat, hanya jika para pihak
memiliki kepentingan yang sangat mendesak yang nantinya akan dinilai
oleh Pengadilan dari alasan permohonan yang diajukan. Pemeriksakan
perkara dengan acara cepat ini dilakukan maksimal 14 (empat belas) hari
kerja. Sedangkan untuk penyelesaian pemeriksaan dengan acara biasa
dilakukan paling lambat 50 (lima puluh ) hari kerja terhitung sejak hari
sidang pertama.15
Perkara perdata umumnya tidak dikenal acara pemeriksaan acara cepat, semua perkara diselesaikan dengan menggunakan acara pemeriksaan biasa. Pemeriksaan cepat dikenal dalam perkara pidana untuk pemeriksaan
15 Lalu Husni, Op.cit, hal.103
55
tindak pidana ringan dengan ancaman kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling tinggi Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah), demikian juga dala pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas.16
7. Upaya Hukum
Apabila pihak pekerja/buruh atau pihak perusahaan tidak menerima
terhadap putusan Pengadilan Hubungan Industrial yang telah memutus
perkara perselisihan mengenai pemutusan hubungan kerja tersebut, maka
para pihak atau salah pihak dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung
sesui dengan ketentuan pada Pasal 110 UU PPHI yaitu dalam waktu
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari :
a. Bagi yang hadir, terhitung sejak putusan dibacakan dalam sidang
majelis hakim ;
b. Bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima
pemberitahuan putusan ;
Permohonan kasasi harus disampaikan secara tertulis melalui sub
kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
setempat (Pasal 111 UU PPHI). Sub kepaniteraan harus sudah
menyampaikan berkas perkara kepada Ketua Mahkamah Agung paling
lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal penerimaan permohonan
kasasi.
Menurut Pasal 115 UU PPHI Perselisihan pemutusan hubungan kerja yang dimohonkan kasasi, diperiksa dan diputus oleh majelis hakim kasasi yang terdiri atas 1 (satu) orang Hakim Agung dan 2 (dua) orang Hakim Agung Ad-hoc yang susunan majelisnya ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung. Tata cara penyelesaian oleh majelis hakim kasasi dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Putusan tentang perselisihan oleh majelis hakim kasasi harus dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi.
16 Ibid, hal.103-104
56
57