ii. tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · ), reaksi oksidasi yang berlangsung di dalam asam...

13
3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. PENGGORENGAN Menggoreng merupakan salah satu metode tertua yang digunakan untuk mengolah bahan pangan. Kegiatan ini dapat digunakan untuk mengolah berbagai macam bahan makanan, mulai dari daging, ikan, hingga sayuran (Rossell, 2000). Di seluruh dunia, metode penggorengan deepfat frying memiliki peran yang sangat penting dalam industri. Diperkirakan jumlah omset totalnya senilai dengan satumiliar dolar. Angka ini tidak hanya meliputi minyak yang digunakan untuk menggoreng saja, tetapi juga mencakup nilai ritel dan komersial produk makanan yang digoreng baik pada industri maupun restoran (Blumenthal, 1996). Deep fat frying merupakan teknik yang paling kompleks dalam penggunaan minyak ataupun lemak yangdapat dimakan (Gertz, 2000). Sifat minyak goreng yang tidak memiliki rasa yang menyimpang dan praktis untuk digunakan merupakan kriteria utama dalam memilih minyak goreng (Dunford, 2003). 1. Interaksi Bahan Pangan dan Minyak Goreng Selama Penggorengan Menurut Lalas (2009), penggorengan dapat dikatakan sebagai proses dehidrasi denganmenggunakan minyak sebagai mediumperpindahan panasnya. Dalam proses ini, sebagian dari minyak goreng akan terserap masuk pada bahan pangan dan mempengaruhi kualitas organoleptiknya. Penyerapan minyak pada bahan pangan ini dapat bervariasi besarnya dengan nilai minimal 6 persen (Saguy dan Dana, 2003). Pada awal penggorengan, temperatur dari minyak goreng akan menurun pada saat dimasuki oleh bahan pangan. Temperatur dalam bahan pangan akan meningkat secara perlahan seiring dengan berpindahnya panas dari minyak ke bahan pangan. Kenaikan suhu ini akan mengakibatkan penguapan air ke luar bahan pangan. Adanya penguapan air ini membuat suhu maksimal di dalam bahan pangan stabil pada 100 o C. Di samping itu, uap air ini akan membatasi minyak yang terserap oleh bahan pangan. Hal ini akan menyebakan bahan pangan terbagi menjadi dua daerah yaitu bagian permukaan dan bagian dalam. Pada daerah permukaan terjadi perubahan utama bahan pangan akibat penggorengan. Sementara bagian dalam mengalami perubahan yang lebih ringan dengan suhu yang tidak mencapai 100 o C (Lalas, 2009). Parameter utama yang mempengaruhi kehilangan air dan penyerapan minyak adalah suhu dan lama penggorengan. Semakin tinggi suhu pemasakan, semakin rendah pula minyak yang diserap oleh permukaan bahan makanan dan semakin sedikit pula waktu yang dibutuhkan untuk memasak (Lalas, 2009). Di samping itu, terdapat beberapa faktor lain yang juga mempengaruhi pelepasan air dan penyerapan minyak adalah bahan pangan dan minyak goreng yang digunakan. Hal tersebut meliputi komposisi bahan pangan, struktur permukaan dan komposisi bagian dalam, kelembaban dan kandungan lemak, bentuk produk, rasio luas permukaan-berat, porositas, dan perlakuan sebelum penggorengan (Saguy dan Dana, 2003). 2. Proses Kerusakan Minyak Minyak goreng yang digunakan mempengaruhi kualitas dari produk akhir dalam segi rasa, tekstur, umur simpan, dan nilai gizi (Dunford, 2003). Sebagai contoh, oksidasi minyak akan

Upload: nguyencong

Post on 03-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · ), reaksi oksidasi yang berlangsung di dalam asam lemak 5 bebas ini jauh lebih cepat dibandingkan dengan reaksi oksidasi asam lemak

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGGORENGAN

Menggoreng merupakan salah satu metode tertua yang digunakan untuk mengolah bahan

pangan. Kegiatan ini dapat digunakan untuk mengolah berbagai macam bahan makanan, mulai dari

daging, ikan, hingga sayuran (Rossell, 2000). Di seluruh dunia, metode penggorengan deepfat frying

memiliki peran yang sangat penting dalam industri. Diperkirakan jumlah omset totalnya senilai

dengan satumiliar dolar. Angka ini tidak hanya meliputi minyak yang digunakan untuk menggoreng

saja, tetapi juga mencakup nilai ritel dan komersial produk makanan yang digoreng baik pada indust ri

maupun restoran (Blumenthal, 1996).

Deep fat frying merupakan teknik yang paling kompleks dalam penggunaan minyak ataupun

lemak yangdapat dimakan (Gertz, 2000). Sifat minyak goreng yang tidak memiliki rasa yang

menyimpang dan praktis untuk digunakan merupakan kriteria utama dalam memilih minyak goreng

(Dunford, 2003).

1. Interaksi Bahan Pangan dan Minyak Goreng Selama Penggorengan

Menurut Lalas (2009), penggorengan dapat dikatakan sebagai proses dehidrasi

denganmenggunakan minyak sebagai mediumperpindahan panasnya. Dalam proses ini, sebagian dari

minyak goreng akan terserap masuk pada bahan pangan dan mempengaruhi kualitas organoleptiknya.

Penyerapan minyak pada bahan pangan ini dapat bervariasi besarnya dengan nilai min imal 6 persen

(Saguy dan Dana, 2003).

Pada awal penggorengan, temperatur dari minyak goreng akan menurun pada saat dimasuki

oleh bahan pangan. Temperatur dalam bahan pangan akan meningkat secara perlahan seiring dengan

berpindahnya panas dari minyak ke bahan pangan. Kenaikan suhu ini akan mengakibatkan penguapan

air ke luar bahan pangan. Adanya penguapan air ini membuat suhu maksimal di dalam bahan pangan

stabil pada 100oC. Di samping itu, uap air ini akan membatasi minyak yang terserap oleh bahan

pangan. Hal ini akan menyebakan bahan pangan terbagi menjadi dua daerah yaitu bagian permukaan

dan bagian dalam. Pada daerah permukaan terjadi perubahan utama bahan pangan akibat

penggorengan. Sementara bagian dalam mengalami perubahan yang lebih ringan dengan suhu yang

tidak mencapai 100oC (Lalas, 2009).

Parameter utama yang mempengaruhi kehilangan air dan penyerapan minyak adalah suhu dan

lama penggorengan. Semakin tinggi suhu pemasakan, semakin rendah pula minyak yang diserap oleh

permukaan bahan makanan dan semakin sedikit pula waktu yang dibutuhkan untuk memasak (Lalas,

2009).

Di samping itu, terdapat beberapa faktor lain yang juga mempengaruhi pelepasan air dan

penyerapan minyak adalah bahan pangan dan minyak goreng yang digunakan. Hal tersebut meliputi

komposisi bahan pangan, struktur permukaan dan komposisi bagian dalam, kelembaban dan

kandungan lemak, bentuk produk, rasio luas permukaan-berat, porositas, dan perlakuan sebelum

penggorengan (Saguy dan Dana, 2003).

2. Proses Kerusakan Minyak

Minyak goreng yang digunakan mempengaruhi kualitas dari produk akhir dalam segi rasa,

tekstur, umur simpan, dan nilai g izi (Dunford, 2003). Sebagai contoh, oksidasi minyak akan

Page 2: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · ), reaksi oksidasi yang berlangsung di dalam asam lemak 5 bebas ini jauh lebih cepat dibandingkan dengan reaksi oksidasi asam lemak

4

menghasilkan produk samping berupa katalisator kuat yang dapat menyebabkan kerusakan lebihlanjut

pada minyak yang terkandung pada produk gorengan selama penyimpanan (Gupta, 2005).

Selama penggorengan, bahan pangan yang masuk ke dalam minyak goreng akan mengalami

kontak dengan udara dan minyak selama pemanasan. Oleh sebab itu, terdapat tiga reaksi perubahan

minyak utama yang menyebabkan kerusakan minyak, yaitu : kandungan air dari bahan pangan yang

meningkatkan reaksi hidro lisis, oksigen dari udara yang meningkatkan reaksi oksidasi, dan panas dari

penggorengan yang menyebabkan terjadinya reaksi termal (Lillard , 1983).

Reaksi hirdrolisis merupakan reaksi pemutusan ikatan ester pada struktur trigliserida,

digliserida, ataupun monogliserida yang menyebabkan terbentuknya asam lemak bebas. Adapun

reaksi oksidasi dan reaksi termal terjad i pada rantai asam lemak tidak jenuh trigliserida (Lalas , 2009).

Ketiga reaksi perubahan minyak selama penggorengan ini merupakan reaksi yang saling

berkaitan satu sama lainnya. Sebagai misal, temperatur pemasakan yang tinggi menginduksi

terjadinya peningkatan laju reksi oksidasi yang menghasilkan produk-produk oksidatif, baik senyawa

dimer maupun polimer. Di sisi lain, asam lemak bebas yang terbentuk dari reaksi hidro lisis akibat

adanya kandungan air pada bahan makanan lebih mudah terekspos oleh oksidasi daripada asam lemak

yang masih terikatdengan gugus gliserol (Gutierrez et al., 1988).

Secara garis besar, produk-produk degradasi bahan pangan selama penggorengan dibagi

menjadi dua kelompok, yakn i: komponen volatil dan komponen nonvolatil. Yang termasuk dalam

komponen volatil meliputi aldehid, keton, alkohol, asa m, ester, hidrokarbon, lakton, dan senyawa

aromat ik. Komponen ini berperan penting dalam karakteristik organoleptik minyak dan produk

gorengan. Sebagian dari komponen ini hilang saat penggorengan.

Adapun yang termasuk dalam komponen nonvolatil adalah senyawa-senyawa yang memiliki

berat molekul yang tinggi (Lalas , 2009). Senyawa in i pada umumnya terbentuk karena adanya

oksidasi termal dan polimerisasi asam lemak t idak jenuh pada media penggorengan. Produk ini tidak

hilang selama proses penggorengan dan berperan dalam menyebabkan terjadinya kerusakan minyak

goreng lanjutan. Di samping itu, produk in i nantinya akan terserap oleh bahan pangan sehingga ikut

terkonsumsi oleh manusia sehingga dapat menimbulkan masalah kesehatan (Gertz, 2000).Menurut

Lalas (2009), reaksi yang terjadi dalam proses kerusakan minyak selama penggorengan meliputi

ketengikan hidrolisis, ketengikan oksidatif, oksidasi termal, terbentuknya produk volatil, terbentuknya

komponen siklik, dan terbentuknya senyawa dimer dan polimer.

a. Ketengikan hidrolisis

Menurut Velasco et al (2009), reaksi hidrolisis merupakan reaksi yang cukup dikenal dalam

proses penggorengan dan seringkali menjadi reaksi utama disebabkan oleh adanya kandungan air pada

bahan pangan. Di samping itu, reaksi ini juga menimbu lkan masalah tersendiri karena asam lemak

bebas yang dihasilkan dapat menurunkan titik pengasapan (smoke point), membentuk senyawa volatil

dan flavor berlebih, serta menurunkan tegangan permukaan minyak

Meskipun demikian, dari sisi nutrisi asam lemak bebas ini tidak banyak berpengaruh karena

senyawa ini sama dengan asam lemak bebas yang dihasilkan selama proses pencernaan lemak o leh

enzim lipase sebelum d iserap oleh usus halus. (Velasco et al., 2009).

Reaksi hidro lisis merupakan satu-satunya reaksi pemutusan trigliserida dengan adanya bantuan

air. Set iap kali reaksi ini terjadi, satu asam lemak bebas akan dilepas dari trigliserida sehingga

menghasilkan digliserida. Reaksi hid rolisis lanjutan dapat menghasilkan monogliserida ataupun

gliserol. Selama penggorengan, reaksi ini berlangsung dengan cepat. Di samping itu, tidak ada satu

pun bahan tambahan pangan yang mampu mencegah terbentuknya asam lemak bebas

(Lalas,2009).Menurut Velasco et al. (2009), reaksi oksidasi yang berlangsung di dalam asam lemak

Page 3: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · ), reaksi oksidasi yang berlangsung di dalam asam lemak 5 bebas ini jauh lebih cepat dibandingkan dengan reaksi oksidasi asam lemak

5

bebas ini jauh lebih cepat dibandingkan dengan reaksi oksidasi asam lemak yang masih terikat dengan

gliserol.

b. Ketengikan oksidatif

Ketengikan oksidatif merupakan reaksi yang dihasilkan dari proses oksidasi lemak yang

kompleks. Proses oksidasi merupakan reaksi pembentukan radikal terinduksi yang berlangsung

menurut tahapan inisiasi, propagasi, branching, dan terminasi (Belitz dan Grosch, 1987).

Selama proses inisiasi, oksigen bereaksi dengan asam lemak tidak jenuh menghasilkan

hidroperoksida dan radikal bebas yang sangat reaktif. Reaksi ini dipercepat oleh beberapa senyawa,

seperti halnya pengoksidasi kimia, logam t ransisi, dan enzim. Di samping itu, panas dan cahaya juga

dapat mempengaruhi laju reaksi oksidasi lemak (Belitz dan Grosch, 1987).

Senyawa-senyawa reaktif ini kemudian akan bereaksi dengan molekul lemak membentuk

senyawa kimia reakt if lainnya. Proses propagasi dari oksidasi lemak lanjutan ini d ikenal juga dengan

istilah autooksidasi. Reaksi autooksidasi ini merupakan faktor utama penyebab terbentuknya

ketengikan oksidatif pada minyak goreng. Reaksi in i bergantung pada jumlah asam lemak bebas yang

terbentuk yang dapat bereaksi dengan oksigen (Lalas, 2009).

Secara umum, lamanya waktu induksi dan laju oksidasi dipengaruhi oleh beberapa faktor,

seperti: kenaikan temperatur, irad iasi, peningkatan rasio permukaan-volume minyak goreng,

keberadaan katalis seperti hidroperoksida, klorofil, dan logam transisi, serta komposisi asam lemak

bebas pada minyak. Semakin banyak gugus alil (gugus hidrokarbon yang mengandung ikatan

rangkap), semakin cepat pula waktu induksi dan semakin tinggi pula laju oksidasinya (Lalas , 2009).

c. Oksidasi termal

Oksidasi termal dapat menghasilkan berbagai macam produk. Oksidasi minyak pada

temperatur yang tinggi berbeda dengan oksidasi minyak pada temperatur yang lebih rendah. Di

samping berbeda dari laju reaksinya, perbedaan juga terdapat pada mekanis me reaksinya. Hal ini

disebabkan produk oksidatif yang terbentuk pada temperatur yang rendah cenderung kurang stabil

untuk menyebabkan reaksi oksidatif dibandingkan pada temperatur yang tinggi. Produk yang

dihasilkan dari oksidasi termal ini di antaranya adalah komponen volatil, komponen siklik, serta dimer

dan polimer (Lalas, 2009).

3. Pengujian Kualitas Minyak Goreng

Sebagian dari minyak yang digunakan dalam penggorengan akan diserap oleh bahan pangan.

Minyak ini akan ikut masuk ke dalam tubuh manusia bersamaan dengan dikonsumsinya makanan

tersebut. Oleh sebab itu, pengujian kualitas minyak goreng dalam bahan pangan penting untuk

dilakukan (Rossell, 2000). Menurut Gupta (2005), selain dapat mengurangi potensi yang

membahayakan kesehatan, pengujian kualitas minyak goreng juga dapat digunakan untuk menentukan

umur simpan suatu produk pangan.

Dalam penerapannya di lapangan, pengujian kualitas minyak goreng ini seringkali dilakukan

secara visual. Pengamatan dilakukan dengan cara melihat perubahan yang terjadi di dalam minyak

selama penggorengan. Parameter yang dilihat adalah warna, bau, rasa, terbentuknya busa yang

berlebih, serta rasa produk gorengan. Metode ini bersifat sangat subjektif karena bergantung pada

pengalaman orang yang mengamati (Lalas , 2009).

Page 4: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · ), reaksi oksidasi yang berlangsung di dalam asam lemak 5 bebas ini jauh lebih cepat dibandingkan dengan reaksi oksidasi asam lemak

6

Oleh sebab itu, beberapa metode pengujian minyak secara kuantitatif dan objekt if pun telah

dikembangkan, baik secara kimia, fisik, maupun menggunakan instrumen. Menurut Paradis dan

Nawar (1981), metode pengujian minyak goreng yang sederhana dan objektif merupakan hal yang

penting. Pada industri pangan, pengujian yang tepat akan mampu menghasilkan keuntungan ekonomis

yang signifikan.

Pengujian dengan metode kimia menit ikberatkan pada beberapa produk hasil oksidasi dan

kerusakan termal yang mengakibatkan ketengikan. Pengujian fisik menit ikberatkan pada terbentuknya

polimer selama penggorengan. Beberapa metode lainnya bersifat instrumental. Menurut Miyagawa et

al. (1991), tidak terdapat satu pun metode tunggal yang dapat digunakan untuk memperkirakan

seluruh kerusakan. Oleh sebab itu, penggunaan metode uji yang terpadu dibutuhkan untuk memahami

kerusakan minyak goreng secara lebih menyeluruh.

a. Bilangan peroksida

Produk utama dari oksidasi lipid adalah hidroperoksida yang umu mnya dikenal dengan istilah

peroksida. Peroksida merupakan komponen organik tidak stabil yang terbentu k dari trigliserida.

Metode pengujian bilangan peroksida telah lama dikembangkan oleh Lawson (1985) dan Rossell

(1983). Metode ini mengukur pembentukan senyawa hidroperoksida intermediat dalam satuan

miliekuivalen oksigen aktif per kilogram sampel. Hidroperoksida yang yang dihasilkan selama

oksidasi minyak akan bereaksi dengan ion iodida membentuk iodin yang pada akhirnya akan d iukur

dengan menggunakan titrasi tiosulfat.

b. Bilangan asam lemak bebas

Tabel 1. Persyaratan Minyak Goreng ( SNI 01-3741-2002)

Kriteria uji Satuan Persyaratan

Mutu I Mutu II

Keadaan

Bau Normal Normal

Rasa Normal Normal

Warna Putih, kuning pucat Putih, kuning pucat

sampai kuning sampai kuning

Kadar Air % b/b Maks 0,1 Maks 0,3

Bilangan asam mg KOH/gr Maks 0,6 Maks 2

Asam linoleat

(C18:3) dalam

komposisi asam

lemak minyak % Maks 2 Maks 2

Bilangan peroksida meq O2/kg Maks 10 Maks 10

Cemaran logam

Timbal (pb) mg/kg Maks 0,1 Maks 0,1

Timah (Sn) mg/kg Maks 40/250 Maks 40/250

Raksa (Hg) mg/kg Maks 0,05 Maks 0,05

Tembaga (Cu) mg/kg Maks 0,1 Maks 0,1

Arsen (As) mg/kg Maks 0,1 Maks 0,1

Minyak Pelikan Negatif Negatif

Pada Tabel 1, disajikan persyaratan mutu standar minyak goreng berdasarkan SNI 01-3741-

2002. Dari Tabel 1 tersebut, dapat dilihat kriteria fisik dan kimia standar dalam minyak goreng. Di

Page 5: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · ), reaksi oksidasi yang berlangsung di dalam asam lemak 5 bebas ini jauh lebih cepat dibandingkan dengan reaksi oksidasi asam lemak

7

Tabel 2. Sup lai dan distribusi minyak nabati dunia (x106 ton) (USDA-FAS 2006)

antara yang termasuk dalam kriteria kimia standar minyak goreng adalah bilangan asam yang tidak

boleh melebih i batas 0,6 mg NaOH/g sampel untuk kualitas 1 dan 2 mg NaOH/g sampel untuk

kualitas 2.

Metode bilangan asam lemak bebas merupakan metode yang sering digunakan dalam

pengujian minyak goreng. Metode ini sering kali digunakan oleh quality control dalam pengujian

minyak goreng (Stauffer, 1996). Selama pemasakan, peningkatan nilai bilangan asam lemak bebas

secara bertahap dapat disebabkan akibat adanya hidrolisis maupun akibat terbentuknya komponen

karboksilat dalam senyawa polimer produk yang digoreng (Tyagi dan Vasishta, 1996).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah jumlah bilangan asam lemak bebas

yang terukur tidak murni berasal dari jumlahyang dihasilkan selama penggorengan. Jumlah tersebut

dapat berasal dari bilangan asam akumulatif yang sudah terkandung di dalam bahan sebelum

penggorengan (Lalas, 2009).

B. MINYAK KELAPA SAWIT

Minyak kelapa sawit berasal dari tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Tanaman

yang tumbuh di daerah tropis ini berasal dari ordo Arecales dan famili Aracaceae (Dransfield et al.,

2005). Tanaman in i tumbuh pada tanah aluvial yang subur (Corley dan Tinker, 2003). Tingginya

dapat mencapai 30 meter dengan diameter rentang daun 10-16 meter. Oleh sebab itu, tanaman ini

membutuhkan lahan perkebunan yang luas untuk mencegah kompetisi dengan sesama (Cruden , 1988

di dalam Rival, 2010).

Tanaman kelapa sawit in i termasuk dalam salah satu tanaman yang paling produktif dengan

jumlah panen rata-rata di negara penghasil utama mencapai 4 ton minyak kelapa sawit/hektar/tahun

(Murphy, 2003). Diperkirakan, produksi minyak kelapa sawit dunia telah mengalami peningkatan 15

kali lipat sejak tahun 1948 dan pada tahun 2007 jumlahnya dapat mencapai sekitar 38x106ton. Dua

negara penghasil minyak kelapa sawit utama adalah Indonesia dan Malaysia yang menyumbang 86%

dari total produksi minyak kelapa sawit dunia (USDA-FAS, 2006).

Minyak Nabati Tahun

2002-2003 2003-2004 2004-2005

20005-

2006

20006-

2007

Minyak kedelai 30,56 29,94 32,47 34,37 34,94

Minyak kelapa sawit 27,71 29,59 33,88 35,37 37,37

Minyak biji bunga

matahari 8,12 9,13 9,01 10,17 10,10

Minyak kacang 4,62 5,01 5,06 5,18 5,00

Minyak kapas 3,51 3,83 4,73 4,56 4,74

Minyak kelapa 3,16 3,29 3,44 3,54 3,26

Minyak zaitun 2,51 3,00 2,74 2,28 2,85

Seperti yang tertera pada Tabel 2, minyak kelapa sawit menempati urutan kedua dari minyak

nabati yang paling banyak dikonsumsi di dunia (USDA-FAS 2006). Dibandingkan dengan minyak

nabati lainnya, minyak kelapa sawit memiliki penggunaan yang paling luas (Henderson dan Osborne

2000, Edem 2002). Menurut Idris dan Samsuddin (1993), sekitar 90% dari produksi minyak kelapa

sawit digunakan untuk konsumsi (minyak goreng, margarin, shortening, dan lain -lain) dan sisanya

digunakan pada industri sabun dan kimia (surfaktan, deterjen, dan lain-lain).

Page 6: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · ), reaksi oksidasi yang berlangsung di dalam asam lemak 5 bebas ini jauh lebih cepat dibandingkan dengan reaksi oksidasi asam lemak

8

Menurut Patterson (2009), di dalam minyak nabati terdapat beberapa komponen utama, di

antaranya adalah trigliserida, asam lemak, asam lemak jenuh, dan asam lemak tidak jenuh.

1. Trigliserida

Unit dasar dari lemak terdiri atas sebuah molekul g liserol yang dikombinasikan dengan tiga

moleku l asam lemak. Pada saat ketiga asam lemak tersebut berasal dari jenis yang sama, maka

trigliserida itu disebut juga dengan triglisireda sederhana. Adapun jika ket iga asam lemak berasal

lebih dari satu jenis, maka trigliserida itu disebut dengan trigliserida campuran (Patterson, 2009).

Trig liserida ini berukuran antara 1.5 – 2.0 nm, sehingga bisa masuk ke dalam adsorben yang

berukuran meso dan makro. Oleh sebab itu, karakteristik in i digunakan dalam ads orbsi minyak kelapa

sawit menggunakan arang aktif untuk proses pemurniannya (Patterson, 2009).

2. Asam Lemak

Berdasarkan gugus fungsinya, asam lemak dikenal juga dengan nama asam karboksilat. Secara

struktural, gugus ini memiliki rumus fungsi RCOOH. Meskipun demikian, tidak semua senyawa

dalam gugus fungsi tersebut dimasukkan ke dalam asam lemak. Sebagai misal, t iga senyawa dengan

jumlah karbon yang paling kecil, yakn i: format, asetat, dan propionat dikecualikan dari asam lemak

karena ket iga senyawa tersebut tidak memiliki karakteristik immiscible (tidak larut) dengan air.

Senyawa asam butirat, yang memiliki empat rantai karbon dimasukkan ke dalam asam lemak

dikarenakansenyawa ini secara alami terdapat pada mentega. Tingkat immiscibility (ketidaklarutan

dalam air) meningkat seiring dengan bertambah panjangnya rantai karbon mulai dari asam kaproat,

yakni senyawa asam lemak dengan 6 rantai karbon (Patterson, 2009).

a. Asam lemak jenuh

Asam lemak jenuh merupakan asam lemak yang semua atom karbonnya terisi penuh oleh

hidrogen. Dengan kata lain, asam lemak jenuh ini t idak memiliki ikatan rangkap. Senyawa ini

merupakan asam lemak yang paling stabil, baik dalam keadaan bebas maupun dalam keadaan

terikat (Kress-Rolgers, 1990). Dalam keadaan padat, moleku l-moleku l asam lemak tidak jenuh ini

lebih mudah untuk tersusun bersama dengan rapat dikarenakan strukturnya yang lurus.

Oleh sebab itu, asam lemak t idak jenuh memiliki tit ik leleh yang lebih tinggi. Nilai tit ik leleh

ini semakin meningkat seiring dengan bertambah panjangnya rantai karbon. Adapun nilai

hidrofobisitasnya juga turut meningkat seiring dengan bertambah panjangnya rantai karbon.Beberapa

asam lemak tidak jenuh yang paling umum ditemukan adalah asam laurat (C12), asam palmitat (C16),

dan asam stearat(C18) (Patterson, 2009).

b. Asam lemak tidak jenuh

Asam lemak tidak jenuh adalah asam lemak yang memiliki ikatan rangkap pada rantainya.

Asam lemak yang hanya memiliki satu ikatan rangkap dikenal dengan nama monounsaturated fatty

acid. Ikatan rangkap ini merupakan titik yang potensial untuk diserang oleh reaksi oksidasi.

Kemudahan diserang oleh reaksi oksidasi meningkat seiring dengan semakin banyaknya ikatan

rangkap. Ikatan rangkap in i memiliki karateristik khusus karena mampu menghasilkan dua macam

Page 7: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · ), reaksi oksidasi yang berlangsung di dalam asam lemak 5 bebas ini jauh lebih cepat dibandingkan dengan reaksi oksidasi asam lemak

9

Tabel 3. Komposisi asam lemak minyak kelapa sawit (Rival, 2010)

isomer, yakni cis dan trans. Keisometrian in i terjad i karena ikatan rangkap bertindak sebagai

penghalang sterik yang menyebabkan rotasi atom C menjad i terbatas (Patterson, 2009).

Isomer trans memiliki tit ik leleh yang lebih tinggi dikarenakan strukturnya yang

memudahkannya membentuk gabungan asam lemak yang solid. Sementara isomer cis, yang sering

ditemui pada bahan-bahan alami, memiliki sifat yang lebih liku id (Patterson, 2009). Di antara yang

termasuk dalamasam lemak t idak jenuh adalah asam oleat. Asam lemak tidak jenuh ini memiliki

karakteristik yang penting terhadap flavor minyak.

Asam lemak Komposisi (%)

Asam kaprilat C8:0 0,00

Asam kaprat C10:0 0,00

Asam laurat C12:0 0,00

Asam miristat (C14:0) 1,00

Asam palmitat (C16:0) 44,30

Asam stearat (C18:0) 4,60

Asan oleat (C18:1) 38,70

Asam linoleat (C18:2) 10,50

Tabel 3 menunjukkan dilihat bahwa asam lemak dalam minyak kelapa sawit terdiri atas dua

jenis, yaitu asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Asam lemak jenuh di dalam minyak kelapa

sawit berasal dari asam miristat, palmitat, dan stearat sedangkan kandungan asam lemak tidak

jenuhnya berasal dari asam o leat dan linoleat. Kandungan keduanya di dalam minyak kelapa sawit

lebih kurang seimbang. Asam lemak jenuh memiliki persentase sebesar 48,9% dan asam lemak tidak

jenuh sekitar 49,2%.

C. LELE

Lele merupakan ikan yang berasal dari genus Clarias (Silu roidae, Clariidae). Secara lengkap,

hewan ini termasuk ke dalam kingdom Animalia, subkingdom Metazoa, filum Chordata, subfilum

Vertebrata, kelas Pisces, subkelas Teleostei, ordo Ostariophysi, subordo Siluro idea, familia Clariidae,

dan genus Clarias (Djatmika et al., 1986).. Hewan ini memiliki penyebaran yang luas pada perairan

tawar di wilayah Afrika dan Asia. Diperkirakan nenek moyang lele in i berasal dari genus Pliocene

yang hidup 7-10 juta tahun yang lalu pada zaman tersier (Sudarto, 2007). Dewasa in i, terdapat total 58

spesies lele di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 33 spesies berasal dari Afrika dan 25

spesies berasal dari Asia.

1. Karakteristik Lele

Secara umum, ciri-ciri lele dapat dilihat pada tubuhnya yang panjang, sisik bagian samping dan

analnya yang panjang, serta empat pasang sirip. Genus ini juga memiliki kekhasan yaitu adanya organ

suprabranchial (Teugels, 2003). Organ ini berfungsi seperti halnya paru-paru dan meningkatkan

kemampuan lele untuk berespirasi. Hal itulah yang menyebabkan lele masih dapat bernafas pada

kondisi lingkungan dengan kadar oksigen yang rendah. Dalam kondisi ters ebut, diperkirakan lele

masih dapat memenuhi kebutuhan oksigennya sekitar 80-90% (Moreau, 1988).

Page 8: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · ), reaksi oksidasi yang berlangsung di dalam asam lemak 5 bebas ini jauh lebih cepat dibandingkan dengan reaksi oksidasi asam lemak

10

Tabel 4. Negara penghasil lele utama dunia (FAO, 2009)

Habitat lele ialah air tawar. Meskipun tempat tumbuhnya yang paling baik adalah pada air

irigasi, air sungai, air mata air dan air sumur, namun lele dapat juga hidup pada lingkungan yang

kurang baik seperti halnya air kotor dan penuh lumpur, Lele juga dapat hidup pada kolam dengan

padat penebaran yang tinggi. Kemampuan genus ini untuk tumbuh dan berkembang biak pada tempat

yang miskin akan oksigen, perkembangannya yang cepat, makannya yang tidak sulit, dan

ketahanannya yang tinggi terhadap stres membuat banyak orang yang tertarik untuk

membudidayakannya (Na-Nakorn dan Brummett, 2009).

2. Produksi dan Konsumsi Lele

Diperkirakan lele ini d ibudidayakan dalam sekala besar pada 30 negara dengan total produksi

melebih i 300.000 ton pada tahun 2006. Jumlah ini setara dengan nominal 400 juta US$ (FAO, 2009).

Sebanyak 20 negara di Afrika, Asia, dan Eropa memproduksi sekurangnya 100 ton lele per tahunnya.

Pada Tabel 4, produksi lele di Indonesia mencapai angka 77.332 ton pada tahun 2006 dan menempati

peringkat dua negara produsen utama lele.

Adapun enam jen is ikan lele yang dikembangkan di Indonesia adalah Clarias batrachus yang

lebih dikenal dengan nama ikan lele lokal, Clarias teysmani atau ikan lele kembang, Clarias

melanoderma, Clarias nieuhofi, Dlarias localanthus, dan Clarias gariepinus yang dikenal juga

sebagai ikan lele dumbo (Djatmika et al., 1986). Lele dumbo merupakan salah satu jenis ikan lele

yang paling banyak dibudidayakan dan dikonsumsi di Indonesia. Lele dumbo merupakan jen is lele

hasil persilangan antara lele betina Clarias fuscus yang berasal dari Taiwan dengan lele pejantan

Clarias mossambicus yang berasal dari Australia. Lele dumbo memiliki sifat yang lebih unggul

dibandingkan dengan lele lainnya, di antaranya adalah pertumbuhannya yang cepat, pemberi

pakannya yang mudah, dan pemeliharaannya yang tidak sulit (Hernowo dan Suyanto, 2003 dan

Mahyuddin, 2008).

No Negara Jumlah (ton)

1 Thailand 146.000

2 Indonesia 77.332

3 Nigeria 51.916

4 Uganda 20.941

5 Malaysia 18.486

6 Belanda 4.500

7 Filipina 2.376

8 Hungaria 1.724

9 Suria 1.030

10 Kamboja 800

11 Brazil 362

12 Kenya 302

13 Mali 300

14 Polandia 280

15 Belgia 250

16 Togo 200

17 Rumania 118

18 Italia 115

19 Kamerun 110

20 Afrika Selatan 100

Page 9: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · ), reaksi oksidasi yang berlangsung di dalam asam lemak 5 bebas ini jauh lebih cepat dibandingkan dengan reaksi oksidasi asam lemak

11

Gambar 1. FTIR spektroskopi

Tabel 5. Data produksi lele dumbo (ton) tahun 1999-2003 (Mahyuddin 2008)

Daerah Tahun

1999 2000 2001 2002 2003

Sumatera Utara 1.343 1.354 1.327 1.446 2.534

Riau 2.013 3.428 6.369 555 1.569

Jawa Timur 7.295 7.286 7.981 14.792 25.689

Jawa Tengah 5.110 6.491 7.573 7.554 9.416

Jawa Barat 5.666 7.233 6.246 6.941 8.376

Yogyakarta 1.781 1.063 1.751 2.258 2.518

Lain-lain 1.783 2.136 2.889 4.505 7.638

Total 24.991 28.991 34.136 38.051 57.740

Menurut Mahyuddin (2008) pada Tabel 5, berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan,

perkembangan produksi lele dumbo di Indonesia mengalami kenaikan sebesar 18,3% per tahun dari

24.991 ton pada tahun 1999 menjadi sebesar 57.740 ton pada tahun 2003. Pada tahun 2004, produksi

lele mencapai angka 60.000 ton. Sementara pada tahun 2005 nilai in i meningkat menjadi 79.000 ton.

Kebutuhan benih juga mengalami peningkatan pesar dari 156 juta ekor pada tahun 1999 menjadi 360

juta ekor pada tahun 2003. Angka peningkatan rata-ratanya mencapai 46% per tahun.

Pasar utama lele adalah warung lesehan dan pecel lele. Di samping itu, pasar lele saat ini juga

telah menjangkau restoran, supermarket, dan industri olahan. Permintaan lele untuk konsumsi cukup

besar. Untuk pasar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, permintaannya setiap hari

tidak kurang dari 75 ton atau 2.250 ton/bulang dengan nilai perputaran uang mencapai Rp 20 miliar

per bulan. Adapun permintaan dari wilayah Yogyakarta mencapai 20 ton per hari dan dari Jawa Timur

mencapai 30 ton per hari (Mahyuddin, 2008).

D. Fourier Transform Infra Red (FTIR) Spectroscopy

Fourier Transform In fra Red spectroscopy adalah metode spektroskopi infra merah melalui

sinar radiasi infra merah yang dilalukan dalam sebuah sampel padat, cair, atau gas dalam spektrum

absorpsi, emisi, fotokonduktivitas atau pembiasan Raman(Connes dan Connes , 1996). Beberapa

radiasi infra merah ini diserap oleh sampel dan beberapa diteruskan. Hasil dari spektrum terdapat

dalam absorpsi molekular dan transmisinya, mencit rakan fingerprint moleku lar sampel. Hal inilah

yang membuat spektroskopi infra merah bisa digunakan untuk menganalisis beberapa sampel.

Page 10: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · ), reaksi oksidasi yang berlangsung di dalam asam lemak 5 bebas ini jauh lebih cepat dibandingkan dengan reaksi oksidasi asam lemak

12

Gambar 2. Interferometer (Markovich dan Pidgeon, 1991)

Spektroskopi FTIR ini berbeda dengan spektroskopi biasa. Spektroskopi b iasa umumnya

menggunakan metode spektroskopi dispersif. Metode ini menyinari s eberkas sinar monokromat is pada

sampel, kemudian mengukur seberapa banyak cahaya yang diserap, dan mengulang langkah in i umtuk

setiap panjang gelombang yang berbeda (Connes dan Connes , 1996).Sebaliknya, FTIR tidak

menggunakan berkas sinar monokromat is. Metode ini menggunakan sinar dengan beberapa frekuensi

sinar yang berbeda, dan mengukur berapa banyak sinar yang diabsorbsi oleh sampel. Sinar ini

dimodifikasi dengan mengombinasikan frekuensi yang berbeda untuk menghasilkan data sekunder.

Proses ini berlangsung berulang kali dalam waktu yang singkat. Hasilnya kemudian diinterpretasikan

oleh komputer yang berupa nilai absorbansi sampel pada tiap panjang gelombang (Connes dan

Connes, 1996).

Teknik spektroskopi FTIR merupakan alat yang penting dalam pengontrolan kualitas dan

pemonitoran proses dalam industri pangan dikarenakan harganya yang murah, kerjanya yang baik, dan

penggunaannya yang lebih mudah dibandingkan metode lain (Van de Voort et al., 1992).

Banyak penelit i yang sudah menggunakan instrumen FTIR spektroskopi ini dalam bahan

pangan. Di antaranya adalah Hocevar et al. (2011) dalam minyak goreng, Rohman dan Che Man

(2010) dalam lemak hewani, A l-Degs et al. (2011) dalam lemak nabati, Marikkar et al. (2005) dalam

lemak hewani, Vlachos et al. (2006) dalam lemak nabati, Che Man et al. (2005) dalam pemalsuan

cokelat dengan lemak babi, dan Rohman et al. (2011) dalam pemalsuan bakso dengan daging babi.

Menurut Markovich dan Pidgeon (1991), instrumen FTIR spektroskopi terbagi menjadi beberapa

bagian, yaitu:

1. Interferometer

Interferometer merupakan alat optik yang terdapat di dalam FTIR spektrofotometer. A lat ini

dikembangkan menggunakan prinsip interferometer Michelson. Interferometer ini terdiri atas dua

cermin datar yang membentuk sudut siku satu sama lainnya dengan sebuah beam splitter (pemisah

sinar) pada sudut 450 dari cermin datar. Satu cermin berada pada kondisi stasioner, sementara cermin

yang lainnya dapat bergerak bebas.

Beam splitter membagi cahaya yang datang dari sumbernya menuju tiap lengan interferometer.

Sebanyak 50% dari sinar ini dipantulkan ke cermin stasioner dan 50% sisanya diteruskan ke cermin

yang bergerak.

Berdasarkan gambar berikut, sinar yang masuk dibagi ke dalam dua jalur interferometer. Satu

bagian menuju ke lengan interferometer dengan cermin bebas sementara bagian lainnya masuk ke

dalam lengan interferometer dengan cermin tetap. Dua sinar ini pada akhirnya bersatu kembali di

dalam beam splitter di mana setengah dari sinar tersebut kembali ke sumbernya dan sisanya

Page 11: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · ), reaksi oksidasi yang berlangsung di dalam asam lemak 5 bebas ini jauh lebih cepat dibandingkan dengan reaksi oksidasi asam lemak

13

diteruskan ke dalam sampel. Cahaya dari sampel yang tidak diserap akan diteruskan dan masuk ke

dalam detektor.

Adanya perbedaan jalur optis sinar yang diakibatkan oleh cermin bergerak menyebabkan

adanya perbedaan fase sinar. Hal ini menyebabkan timbulnya pola interferensi sinar yang berbeda

pada detektor. Perbedaan pola ini, yang menyebabkan dapat diketahuinya informasi spektrm dari

suatu sampel, dikenal dengan nama interferogram.

Interferogram juga dapat dikatakan sebagai plot antara intensitas cahaya dari yang mencapai

detektor terhadap keterlambatan optis yang disebabkan oleh pergerakan cermin. Sensitiv itas instrumen

dapat dihitung melalui intensitas maksimal yang mencapai detektor.

2. Detektor

Terdapat dua macam t ipe detektor dalam FTIR spektroskopi, yakni deuterated triglycine

sulfate (TGS), pyroelectric bolometer, dan mercury cadmium telluride (MCT) photodetector.

Umumnya detektor MCT digunakan untuk mengukur sampel dalam bentuk cair dikarenakan

karakteristiknya yang lebih sensitif.

Intensitas cahaya yang berhasil menembus sampel dan ditangkap oleh detektor dihitung

sebagai interval dari pergesaran cermin, yang memiliki nilai lebih kecil daripada satu mikrometer.

Keluaran optis in i dih itung pada interval pergesaran cermin yang sama.

Di dalam spektrofotometer FTIR terdapat laser helium-neon (He-Ne) yang digunakan untuk

mengukur pergesaran linear dari cermin bergerak sehingga komputer dapat menghitung keluaran optis

pada pergesaran cermin yang tepat dalam bentuk data digital. Oleh sebab itulah laser He-Ne ini

bertindak sebagai jam internal spektrofotometer yang memberitahukan lokasi yang tepat untuk

memperoleh sebuah data dalam pengukuran interferogram. Laser He-Ne in i memancarkan cahaya

dengan panjang gelombang 0.63299 mikro meter.

3. Interferogram

Pada saat seberkas sinar memasuki interferometer, hanya satu panjang gelombang saja yang

dapat keluar dari interferometer. Pada detektor, cahaya ini mengalami perubahan mulai dari sinar

terang ke sinar gelap. Hal in i terjadi karena adanya perbedaan fase sinar di mana sin yal sinar yang

paling tinggi terjadi pada saat posisi cermin menghasilkan fase konstruktif dan sinar sinyal paling

rendah pada saat posisi cermin menghasilkan fase destruktif. Pada posisi cermin di mana sinar yang

dihasilkan terletak antara posisi interferensi konstruktif maksimum dan posisi interferensi destruktif

maksimum, interferensi optis menyebabkan dihasilkannya sinar dengan pada intensitas intermediat.

Hal inilah yang menyebabkan interferometer mampu mengubah sinar menjadi beberapa

intensitas yang berbeda meskipun berasal dari sumber yang sama.

Sebuah plot yang menggambarkan perubahan nilai intensitas yang teratur terhdapa pergeseran

cermin dapat dilihat pada gambar berikut. Luaran dari interferogram ini menghasilkan arus AC dan

arus DC. Arus DC kemudian dih ilangkan karena informasi spektral haruslah dalam bentuk AC.

E. Analisis Multivariat

Analisis mult ivariat merupakan metode statistika pengolahan data yang dilakukan untuk

mengolah data yang memiliki variabel yang cukup banyak. Dalam terminologi sains dan teknologi,

metode ini umumnya diterapkan dalam menghitung beberapa data variabel pada beberapa sampel.

Page 12: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · ), reaksi oksidasi yang berlangsung di dalam asam lemak 5 bebas ini jauh lebih cepat dibandingkan dengan reaksi oksidasi asam lemak

14

Melalui metode ini, variabel data tersebut akan diseleksi sedemikian rupa sehingga membuang data

yang tidak penting dan menghasilkan sejumlah data yang paling informatif dan berpengaruh terhadap

parameter yang diamati (Umetrics AB, 2006).

Beberapa hal yang termasuk ke dalam analisis multivariat adalah merangkum dan

memvisualisasikan serangkaian data, mengklasifikasikan data ke dalam kelompok tertentu, seerta

menentukan hubungan kuantitatif antara variabel. Hal ini dapat dilakukan pada berbagai macam

model data multivariat, mulai dari banyak sedikitnya variabel, banyak sedikitnya variabel, hingga

lengkap tidaknya data yang diperoleh (Umetrics AB, 2006).

Pada umumnya, analisi multivariat terdiri atas multiple linear regression (MLR), linear

discriminant analysis (LDA), canonical correlation (CC), factor analysis (FA), dan principle

component analysis (PCA)(Umetrics AB, 2006).

Dalam beberapa kasus, seringkali analisis multivariat diistilahkan dengan analisis megavariat.

Bedanya, analisis megavariat digunakan pada data yang memiliki variabel laten untuk menghasilkan

data mult ivariat. Oleh sebab itu, analaisis megavariat dapat diterapkan pada data yang tidak lengkap.

Sebagai contoh adalah data yang diterapkan pada proses teknologi terapan yang memiliki beberapa

variabel laten yang tidak nampak (Grainger, 2003).

Dalam aplikasi keseharian, analisis mult ivariat ini banyak digunakan pada Quality Control

(QC), pemonitoran proses produksi, maupun di sektor-sektor industri meliputi kimia, petrokimia,

polimer, plastik, serat, logam dan material, telekomunikasi, automobil, semikondukt or, hingga

makanan dan minuman (Umetrics AB, 2006).

Dalam analisis mult ivariat, d ikenal dua istilah penting yakni observasi (N) dan variabel (K).

Observasi seringkali disebut sebagai objek, sampel, ataupun benda yang diamati. Sedangkan variabel

adalah properti yang diamati pada observasi(Umetrics AB, 2006).

Dalam bidang kimia, dikenal is tilah pengenalan pola (pattern recogniton). Istilah ini

sebenarnya merupakan sinonim dari analisis mult ivariat yang menekankan proses yang dilakukan

untuk menemukan pola data dari satu atau beberapa tahap observasi (Wold et al., 1984). Po la in i lah

yang nantinya akan menyediakan in formasi mengenai hubungan antara observasi dalam satu kelas,

mana yang dekat dan mana yang jauh , serta mana observasi yang tidak serupa dan merupakan

pencilan. Melalu i metode ini juga dapat diperoleh informasi antara satu variabel dengan variabel yang

lain.

Jika ditemukan observasi yang memiliki pola yang berbeda, obseravasi tersebut akan

dimasukan ke dalam kelas lain bersama dengan observasi lain yang mirip. Dengan demikian, terdapat

tiga langkah utama dalam analisis mult ivariat, yakni: 1) perangkuman dan penampilan data secara

keseluruhan pada satu tabel, 2) pengklasifikasian beberapa kelompok observasi, dan 3) pembuatan

model regresi antara dua blok data (X dan Y)(Umetrics AB, 2006).

1. Overview Data

Pada tahap awal, umumnya masih sedikit informasi yang diketahui. Oleh sebab itu, diperlukan

cara untuk menyajikan data dalam bentuk yang sederhana dan mudah dimengerti. Proses penyajian ini

dapat dilakukan dengan menggunakan pricipal component analysis (PCA) (Jackson, 1991). PCA

mampu merangkum data dengan baik sekaligus menunjukkan relasi antara observasi yang diukur serta

observasi yang berupa pencilan. Di samping itu, PCA mampu menunjukkan hubungan antara variabel

dengan observasi. Dengan demikian, dapat diketahui variabel yang berkontribusi terhadap observasi

maupun tidak(Umetrics AB, 2006).

Page 13: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · ), reaksi oksidasi yang berlangsung di dalam asam lemak 5 bebas ini jauh lebih cepat dibandingkan dengan reaksi oksidasi asam lemak

15

2. Pengklasifikasian Data

Pada tahap ini, observasi akan d iklasifikasi ke dalam kelompok-kelompok. Pada tiap kelompok

akan terdapat beberapa observsi yang memiliki kriteria mirip dan sesuai dengan kriteria kelompok

tersebut. Dalam beberapa kasus, seringkali hanya diperoleh dua sampai tiga kelompok observasi saja.

Hal in i menunjukkan diperlukannya pemodelan PCA lanjutan sehingga diperoleh hubungan yang

lebih mudah dipahami. Di samping itu, dari hasil klasifikasi in i juga seringkali ditemukan observasi

yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kelompok manapun. Observasi ini digolongkan sebagai

pencilan(Umetrics AB, 2006).

3. Pembuatan Model Regresi

Tahap terakhir dari analisis mult ivariat adalah pembuatan model regresi antara dua blok data.

Pemodelan jenis in i dilakukan dengan menggunakan metode partial least square-ordinary least

square(OLS). Adapun dua blok data yang dikorelasikan umumnya dinyatakan sebagai X dan Y. Blok

X seringkali d iistilahkan sebagai faktor atau prediktor sementara Y d iistilahkan sebagai

respon(Umetrics AB, 2006).

Tujuan dari pembuatan model regresi ini adalah menentukan nilai Y dari X dalam rangka

memprediksi observasi yang baru. Hal ini d ilakukan dengan cara mengumpulkan data X. Oleh sebab

itu, langkah ini sering juga dinamakan kuantifikasi dan prediksi. Lebih lanjut, data yang tepat dan

model OLS yang akurat d iperlukan untuk menjelaskan hubungan bagaimana faktor mempengaruhi

respon, bagaimana respon berkorelasi satu sama lain, serta bagaimana mengatur faktor sehingga

mendapatkan profil respon yang diinginkan(Umetrics AB, 2006).