ii. tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat dan...
TRANSCRIPT
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah Epidemi Dengue
Penyakit Dengue merupakan salah satu penyakit menular yang berbahaya
dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat dan sering menimbulkan
wabah (Siregar, 2004). Penyakit tersebut pertama kali ditemukan pada tahun 1801
di Spanyol, tetapi istilah dengue pertama kali menjadi popular sejak terjadinya
epidemik di Kuba tahun 1828. Kata dengue yang dalam bahasa Spanyol berarti
sopan santun karena sikap membungkuk, mencerminkan cara berjalan penderita
akibat rasa nyeri pada tulang dan sendi serta gangguan motorik pada lutut dan
mata kaki.
Virus dengue termasuk virus RNA, kelompok Arthropod Borne Virus
(Arbovirus), genus Flavivirus familia Falviviridae, bentuk batang, berukuran
50 mm, bersifat termolabil, stabil pada suhu penyimpanan – 70o C. Virus ini
diisolasi pada tahun 1944 oleh Sabin dan kawan-kawan dari US Army di India,
Papua New Guenea, dan Hawaii (Sabin 1952 dalam Gubler et al, 1979).
Kelompok ini juga mengembangkan uji haemaglutination inhibition test (Hi test)
untuk uji serologis. Virus yang ditemukan dari Hawaii disebut dengue – 1 (DEN-
1) dan dari Papua New Guenea disebutnya DEN-2 dan hasil dari isolasi dari
pasien DBD pada epidemik di Manila tahun 1956 disebut DEN-3 dan DEN-4
(Gubler, 1979). Untuk membedakan jenis virus, Poorwosoedarmo (1988)
menggunakan istilah tipe dengue 1, 2, 3, dan 4. Keempat serotipe virus dengue
tersebut ditemukan di berbagai daerah, tetapi yang dominan di Indonesia adalah
serotipe DEN 3.
Pada awalnya virus dengue hanya terdapat didalam hutan Afrika, jauh dari
kehidupan manusia. Virus ini ditransmisikan ke manusia oleh Aedes aeagypti dan
Aedes albopictus (Gubler et al, 1979) yang telah beradaptasi dengan lingkungan
peridomestik dan bertelur di genangan-genangan air di sekitar lingkungan
pemukiman akibat pembakaran hutan. Virus dengue tersebar keluar Afrika
melalui perdagangan budak pada abad ke 17–19. Wabah DD/DBD mulai masuk
ke Asia sesudah Perang Dunia II.
14
Di Asia Tenggara pertama kali terjadi di Manila Filipina pada tahun
1953 – 1954 dan kemudian tahun 1956 terulang kembali. Wabah demam yang
terjadi di Filipina pada tahun 1953 menyerang anak-anak disertai manifestasi
perdarahan dan renjatan, dengan angka kematian hingga 6 % (Gubler et al, 1979).
Untuk membedakan dengan wabah DBD yang sedang diteliti di Korea saat itu,
maka wabah tersebut diberi nama Philippine Haemorhagic Fever. Epidemi di
Bangkok, tahun 1958 mencapai angka kematian 10 %. Saat itu di Hanoi, Vietnam
Utara juga mengalami kejadian sama. Wabah juga terjadi di Singapura pada tahun
1960, Malaysia antara tahun 1962–1964 dan di Calcutta, India pada tahun 1963.
(Poorwosoedarmo, 1988). Penyakit demam berdarah dengue (DBD) pertama kali
ditemukan di Kota Manila (Philipina) pada tahun 1953 kemudian menyebar ke
berbagai negara. Penyakit ini sering menimbulkan wabah dan menyebabkan
kematian pada banyak orang terutama anak-anak. Berikutnya wabah muncul
berulang setiap tiga hingga lima tahun di banyak negara Asia Tenggara.
Di Indonesia penyakit ini ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya tetapi
konfirmasi virologist baru diperoleh pada tahun 1970 dan DKI Jakarta pertama
kali dilaporkan (Kho, 1969 dalam Poorwosoedarmo, 1988) dan mulai menjadi
wabah pada tahun 1973 kemudian menyebar ke berbagai wilayah. Kini semua
propinsi yang ada di Indonesia sudah terjangkit penyakit DBD di berbagai kota
maupun desa terutama yang padat penduduknya dan arus transportasinya lancar.
Indonesia menempati urutan kedua setelah Thailand, menurut Suroso (2001)
menyebutkan, bahwa sejak ditemukannya kasus DBD di Surabaya tahun 1968
terus terjadi peningkatan dari 0,05 pada tahun 1968 menjadi 35,19 pada tahun
1998 per 100.000 penduduk. Sejak 1994 seluruh propinsi di Indonesia telah
melaporkan kasus DBD (Departemen Kesehatan, 2003), Case Fatality Rate
(CFR) tercatat 2,22 % pada tahun 1997. KLB tahun 2004 yang terjadi pada bulan
Januari sampai April dengan jumlah kasus di seluruh Indonesia 58.861 dan 669
meninggal, di DKI Jakarta tercatat 16.950 kasus dengan 79 meninggal atau
incidence rate (IR) sebesar 150,7 per 100.000 penduduk dan CFR 0,4. CFR untuk
seluruh Indonesia adalah 2,0 tetapi di beberapa daerah seperti Nusa Tenggara
Timur mencapai 4,0, Yogyakarta sebesar 3,8 dan Sulawesi Selatan 3,6.
15
2.2. Bioekologi Aedes aegypti
Menurut Harrington et al. (2001) Aedes merupakan nyamuk paling efektif
untuk menularkan penyakit. Siklus hidup yang singkat, kebutuhan makanan yang
sedikit dan kemampuan untuk bertahan dalam kondisi kering dan suhu rendah
pada stadium telur, memungkinkannya bertahan hidup untuk jangka waktu lama
di lingkungan yang tidak menguntungkan. Menurut Carcavallo (1995) siklus satu
generasi Aedes aegypti adalah 15 hari pada suhu 270C dan sembilan hari pada
280C. Lebih lanjut menurut Taboada (1967) dan Oda et al. (1982) kemampuan
bertelur dan penetesan tanpa mengenal musim menyebabkan nyamuk ini ada
setiap tahun di daerah tropis.
Nyamuk Aedes aegypti bersifat antropofilik, mendatangi daerah perumahan
untuk berkembang biak di berbagai genangan sekitar rumah dan memasuki rumah
untuk makan atau istirahat. Aedes aegypti termasuk jenis Artropoda dari kelas
insecta, ordo Diptera, famili culicidae dan genus Aedes. Frekuensi curah hujan
yang moderat dan penyinaran yang relatif panjang akan menambah kesempatan
terciptanya habitat perkembangbiakan bagi nyamuk vektor (Christophers, 1960).
Jarak terbang Aedes aegypti pada lingkungan urban hanya 25 - 100 m dan
tidak melebihi jarak 500 m, tidak jauh dari tempat bertelur dan sumber
makanannya, yaitu keberadaan manusia. Seekor nyamuk betina rata-rata hanya
mengunjungi satu atau dua rumah, dan hanya 0,7% yang mengunjungi lima
rumah. Nyamuk tertarik cahaya terang (siang hari), pakaian berwarna gelap,
adanya manusia serta hewan. Daya tarik yang menyebabkan nyamuk mendekat
ke manusia adalah CO2 yang keluar dari tubuh manusia, asam amino, suhu
lingkungan hangat dan kelembaban (Gubler et al, 1979).
Terjadinya ledakan dengue diakibatkan juga oleh perilaku menggigit
berulang nyamuk betina untuk melengkapi siklus gonotropik: agar setelah dibuahi
oleh nyamuk jantan, telur menjadi matang dan dapat menetas. Nyamuk Aedes.
aegypti jantan menghisap cairan tumbuhan sebagai makanan, sedangkan nyamuk
betina lebih menyukai darah manusia. Nyamuk betina aktif pada siang hari
dengan dua puncak menggigit pada pukul 7.00 - 10.00 pagi dan pukul 15.00 -
17.00 sore. Nyamuk betina lebih banyak menggigit di dalam rumah daripada di
luar rumah (Trips et al.,1973). Setelah menggigit nyamuk beristirahat dan
16
kemudian bertelur dalam waktu 20 - 36 jam (Lardeux et al., 2002) atau dua
hingga tiga hari kemudian (Cristophers, 1960). Telur diletakkan satu per satu
dalam kelompok, berbentuk seperti sarang tawon dalam jumlah antara 100 - 300
butir untuk satu kali bertelur (Christophers 1960). Masa hidup nyamuk Aedes rata-
rata sekitar satu bulan dengan kemungkinan 15 kali bertelur sepanjang hidupnya .
Menurut Lok (1985) pemantauan kepadatan populasi Aedes aegypti dapat
dilakukan dengan memeriksa 100 rumah di suatu daerah untuk menghitung indeks
jentik yang meliputi: house index (persentase rumah ditemukannya jentik Aedes
aegypti), container index (persentase wadah positif terdapat jentik Aedes aegypti)
dan breteau index (jumlah wadah positif jentik Aedes aegypti per 100 rumah).
Dalam suatu studi di Taiwan selama terjadi ledakan ditemukan rata-rata hanya
satu nyamuk dewasa betina per rumah. Angka ini dapat menjadi indikator batas
minimal jumlah nyamuk Aedes aegypti untuk kasus ledakan. Faktor penting yang
mempengaruhi transmisi adalah perbandingan antara nyamuk betina infektif dan
tidak infektif. Di Singapura rasio infeksi minimal pada Aedes aegypti 0,51 per
1000 dan pada Aedes albopictus 0,59 per 1000 nyamuk. Rasio ini dapat digunakan
sebagai indeks untuk arboviral disease dalam kontak antara vektor infektif dan
kejadian pada manusia di luar rumah. Selain itu juga digunakan indeks jumlah
nyamuk infektif per rumah. Indeks ini sering digunakan karena hubungan yang
erat antara rumah dan vektor. Jumlah virus yang menginfeksi betina per total
jumlah betina yang ditangkap per jumlah rumah yang dikunjungi di tiga
perkampungan di India selama epidemik adalah 1/15/20, 1/18/25 dan 1/18/32
(Chan, 1971; Chen, 1995 dalam Gubler et al, 1979).
2.3. Penularan Demam Berdarah Dengue
Nyamuk Aedes aegypti menjadi infektif setelah menggigit manusia yang
sakit atau dalam keadaan viremia (masa virus bereplikasi cepat dalam tubuh
manusia, yakni : dua hari sebelum demam sampai lima hari sesudah demam).
Setelah virus masuk ke saluran pencernaan, di haemocoel mengalami multiplikasi
dengan cepat. Nyamuk Aedes aegypti yang telah menghisap virus dengue menjadi
penular sepanjang hidupnya. Ketika menggigit manusia nyamuk mensekresikan
kelenjar saliva melalui probosis terlebih dahulu agar darah yang akan dihisap
17
tidak membeku. Bersama sekresi saliva inilah virus dengue dipindahkan dari
nyamuk antar manusia (Gubler et al, 1979).
Infeksi salah satu serotipe virus dengue akan menimbulkan antibodi
terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak terhadap serotipe yang lain.
Banyaknya serotipe dengue dan perbedaan antibodi menjadi salah satu penyebab
kasus penyakit DBD sulit dikendalikan. Infeksi oleh satu serotipe virus dengue,
hanya akan menimbulkan DD tanpa disertai perdarahan (Chungue et al, 1990;
Jennings et al, 1990). Seorang yang digigit nyamuk Aedes infektif akan melewati
masa inkubasi selama empat sampai enam hari, kemudian terjadi viremi selama
lima sampai enam hari.
Virus dengue tipe 3 dipercaya menjadi penyebab terjadinya wabah di banyak
tempat. Sejak tahun 1960 virus dengue tipe 2 dianggap sebagai penyebab utama
kasus berat yang menyebabkan kematian di Thailand, tetapi pada waktu terjadi
epidemi di Filipina dan Thailand tahun 1966–1967 diketahui disebabkan oleh
virus dengue tipe 3 dan 4 (Gubler et al., 1979). Di Indonesia sebagian besar
penderita DBD berat maupun yang meninggal diakibatkan oleh virus dengue tipe
3. Kejadian yang sama adalah wabah di Bantul Jawa Tengah, pada semua
penderita DBD yang meninggal berhasil diisolasi virus dengue tipe 3, sedangkan
pada waktu terjadi wabah di Pontianak, virus dengue tipe 3 tidak hanya
merupakan tipe virus utama, tetapi juga merupakan tipe yang paling virulen
(Poorwosoedarmo, 1988).
Karena banyaknya kasus dan terutama seringnya muncul KLB, Departemen
Kesehatan (2003) menyebutkan faktor-faktor yang terkait dengan penularan DBD
adalah:
1. Kepadatan penduduk, semakin padat akan semakin mudah terjadi penularan
karena jarak terbang nyamuk Aedes berkisar 50 m.
2. Mobilitas penduduk, memudahkan penularan dari satu tempat ke tempat lain.
3. Kualitas perumahan, jarak antara rumah, pencahayaan, bentuk rumah, bahan
bangunan akan mempengaruhi penularan. Jika ada nyamuk penular maka akan
menularkan penyakit pada orang yang tinggal di rumah tersebut, orang yang
berkunjung ke rumah itu ataupun pada rumah-rumah disekitar jarak terbang
nyamuk.
18
4. Pendidikan, akan mempengaruhi cara berpikir dalam penerimaan penyuluhan
dan cara pemberantasan yang dilakukan.
5. Penghasilan, akan mempengaruhi kunjungan untuk berobat
6. Sikap hidup, jika senang kebersihan maka akan mempengaruhi risiko tertular
DBD.
7. Golongan umur, kurang dari umur 15 tahun berpeluang lebih besar untuk
terkena DBD.
8. Kerentanan tiap individu terhadap penyakit berbeda-beda.
2.4. Manifestasi Klinis Demam Berdarah Dengue
Infeksi virus dengue dapat bergejala (simptomatis) atau tidak bergejala
(asimptomatis) sehingga sering terjadi kesalahan diagnosis karena hanya dianggap
sebagai penyakit flu atau tipus. Penderita DBD sering menunjukkan gejala batuk,
pilek, muntah, mual, bahkan diare. Untuk itu dibutuhkan ketajaman pengamatan
klinis berdasarkan analisis laboratorium. Infeksi virus dengue simptomatis
mungkin sebagai sindrom penyakit DD, DBD atau DSS. Infeksi dari satu serotipe
dengue hanya memberikan kekebalan seumur hidup terhadap serotipe yang
bersangkutan, tetapi tidak terbukti adanya proteksi silang terhadap serotipe
lainnya. Hemostasis abnormal, kebocoran plasma yang diperlihatkan sebagai
trombositopenia, dan peningkatan hematokrit hanya ada pada DBD bukan DD
(Departemen Kesehatan, 2003).
2.4.1. Demam Dengue (DD)
Setelah masa inkubasi selama 4 – 6 hari berbagai gejala prodromal yang
tidak khas akan timbul, seperti nyeri kepala, nyeri punggung dan malaise. Gejala
klinis khas pada pasien DD dewasa terjadi mendadak, suhu meningkat disertai
menggigil diikuti dengan nyeri kepala dan muka kemerahan (flushed face). Dalam
waktu 24 jam akan muncul rasa nyeri di belakang mata atau tekanan pada bola
mata, fotofobia, nyeri punggung, nyeri otot dan persendian. Gejala lainnya tidak
ada nafsu makan, gangguan pada indera perasa, konstipasi, nyeri perut, nyeri pada
daerah lipat paha, radang tenggorokan dan perasaan depresi, berlangsung selama
beberapa hari (Departemen Kesehatan, 2003). Saat demam suhu badan antara
19
390C – 400C selama 5 – 7 hari. Petechia yang tampak disertai rasa gatal. Hasil
pemeriksaan laboratorium menunjukkan :
1. Jumlah leukosit normal pada awal demam selanjutnya terjadi leukopenia
selama fase demam.
2. Sering dijumpai trombositopenia saat terjadi KLB
3. Pemeriksaan kimia darah dan enzim normal tetapi enzim hati meningkat
2.4.2. Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue Shock Syndrome (DSS)
Kasus DBD ditandai dengan adanya demam tinggi, fenomena perdarahan
hepatomegali dan sering ditandai dengan kegagalan sirkulasi. Adanya hemostasis
yang abnormal dan kebocoran plasma yang diperlihatkan sebagai trombositopenia
serta meningkatnya hematokrit menjadi penanda yang membedakannya dari DD.
Menurut Hadinegoro dan Satari (2002) gejala DBD diawali dengan
meningkatnya suhu badan secara mendadak, disertai memerahnya kulit muka dan
gejala klinik tidak khas seperti tidak ada nafsu makan, muntah, nyeri otot dan
nyeri tenggorokan. Selain itu juga mengeluhkan rasa tidak enak pada epigastrium
dan nyeri perut yang menyeluruh. Suhu badan tinggi selama 2 – 7 hari, kadang
mencapai 400C dan disertai kejang. Fenomena perdarahan yang biasa terjadi
adalah uji torniquet positif (bila terjadi 10 atau lebih petechia per 2,5 cm2). Uji
tourniquet positif kuat jika dijumpai lebih dari 20 petechia. Pada kasus ringan atau
sedang seluruh gejala mulai berkurang setelah suhu tubuh menurun, anggota
badan terasa dingin yang menandai berkurangnya gangguan sirkulasi darah secara
perlahan akibat bocornya plasma. Penderita akan sembuh sempurna segera setelah
mendapat pengobatan cairan atau terapi elektrolit.
Pada kasus yang lebih berat keadaan penderita bisa menurun mendadak
beberapa hari setelah demam. Saat suhu badan turun, yaitu 3–7 hari demam
terlihat tanda-tanda kegagalan sirkulasi yaitu kulit menjadi dingin, bercak-bercak,
denyut nadi lemah dan cepat. Penderita terlihat kelelahan dan selanjutnya masuk
dalam tahap kritis yaitu syok. Syok bisa berlangsung dalam jangka waktu yang
singkat, penderita dapat meninggal dalam jangka waktu 12 - 24 jam kemudian,
atau dapat sembuh dengan cepat setelah mendapatkan terapi penggantian cairan.
20
Derajat penyakit DBD dapat dikelompokkan dalam empat derajat
(Departemen Kesehatan, 2003) :
1. Derajat I : Demam yang disertai dengan gejala klinis tidak khas, satu-satunya
gejala perdarahan adalah hasil uji tourniquet posititf.
2. Derajat II : Gejala yang timbul pada DBD derajat I ditambah terjadinya
perdarahan spontan
3. Derajat III : Kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan denyut nadi cepat dan
lemah, menyempitnya tekanan nadi (20 mmHg atau kurang) atau
hipotensi, ditandai kulit dingin dan lembab serta pasien gelisah.
4. Derajat IV : Syok berat, denyut nadi dan tekanan darah tidak teraba.
Hasil pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis DBD (Gatot,
dalam Hadinegoro dan Satari, 2002; Departemen Kesehatan, 2003) adalah:
1. Jumlah leukosit data normal, namun leokopenia biasa dijumpai pada awal
penyakit dengan dominasi neutropil. Mendekati fase akhir demam terdapat
penurunan jumlah leukosit total. Tampak limfosit atipik ditemukan
menjelang fase akhir demam dan awal terjadinya syok.
2. Penurunan jumlah trombosit di bawah 100.000/mm3 biasanya ditemukan
antara hari sakit 3 – 8 hari. Naiknya hematokrit juga tampak di semua kasus
DBD, terutama pada stadium syok. Peningkatan hematokrit sampai 20%
atau lebih merupakan bukti adanya peningkatan permeabilitas kapiler dan
bocornya plasma.
3. Kadang dijumpai albuminuria ringan yang bersifat sementara
4. Sering dijumpai adanya darah dalam tinja
5. Uji Koagulasi dan fibrinolitik menunjukkan adanya penurunan kadar
fibrinogen, protrombin, faktor VIII, XII dan antitrombin III.
2.5. Perubahan Iklim Global terhadap Kesehatan
Perubahan iklim yang variatif dalam rentang waktu lebih pendek, lebih tepat
disebut sebagai variabilitas iklim. Perubahan iklim adalah proses yang sangat
kompleks, dipengaruhi banyak faktor dan saling berinteraksi dalam waktu panjang
(Mustafa, 2005). Kecenderungan akibat meningkatnya jumlah penduduk dan
aktifitas ekonomi, termasuk emisi gas adalah meningkatnya suhu bumi sekitar
21
1 - 3,50C dalam dekade terakhir yang mempengaruhi pola curah hujan dan variasi
iklim. Secara umum, konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer secara global
meningkat dengan mulainya industrialisasi (sekitar tahun 1750 – 1800), terutama
dari aktifitas manusia seperti pembakaran bahan bakar minyak. Greenhouse
gasses (CO2, CH4, NO, O3) terakumulasi di atmosfer karena perbedaan antara
emisi tahunan dan kapasitas bumi, kecepatan pergerakan di udara dan kecepatan
emisi yang berbeda (Maskell, et al, 1993 dalam McMichael et al, 1996).
Gambar 2. Hubungan perubahan iklim dan komponen yang
mempengaruhinya terhadap kesehatan (Mustafa, AJ., 2005)
Mustafa (2005) mengemukakan pada Gambar 2 bahwa perubahan
perubahan lingkungan secara langsung maupun tidak bertanggungjawab atas
faktor-faktor penyangga utama kesehatan dan kehidupan manusia seperti produksi
bahan makanan, air bersih, kondisi iklim, keamanan fisik, kesejahteraan manusia
dan jaminan keselamatan dan kualitas sosial manusia. Perubahan makro dan
mikro iklim akibat kenaikan konsentrase gas rumah kaca-terutama CO2, CH4,
CF4, NOx, CFC-11 dari bahan bakar minyak dan penggundulan hutan –
berpengaruh terhadap ekosistem suatu spesies dan kesehatan manusia (McMichael
et al, 1996; Winarso, 2001). Suhu, kelembaban dan nutrisi mempengaruhi
distribusi vektor, dinamika populasi, aktifitas makan, periode inkubasi ekstrinsik
22
(PIE) atau masa inkubasi virus dalam tubuh nyamuk, jangka hidup nyamuk
dewasa dan siklus gonotrofik nyamuk (Cristhoper, 1960).
Kebanyakan Aedes aegypti lebih menyukai daerah tropik dan subtropik
(McMichael et al, 1996). Aedes aegypti tidak hanya hidup di daratan rendah
melainkan juga pada ketinggian 1500 atau 2000 m di atas permukaan laut di
Kolumbia dan di daerah subtropik Mexico 1700 m (Gubler et al, 1979).
Sedangkan periode inkubasi ekstrinsik (PIE) bergantung pada suhu, kelembaban
dan tingkat viremia pada inang dan galur virus. Alto dan Juliano (2001)
menunjukkan bahwa reproduktifitas dan angka kematian akibat DBD menjadi
lebih tinggi pada suhu di atas 300C dengan simulasi curah hujan 25% dan 90%.
Pada studi epidemiologi yang dilakukan Koopman (1991) dalam McMichael
et al. (1996) menunjukkan bahwa pada suhu terutama suhu median musim hujan
170 – 300C, infeksi dengue dapat mencapai empat kali lipat. PIE untuk dengue tipe
2 pada suhu 300C adalah 12 hari dan pada suhu 320 – 350C hanya tujuh hari.
Periode inkubasi yang lima hari lebih pendek, berpotensi mempercepat reproduksi
hingga tiga kali lipat. Berdasarkan penelitian Koopman (1991) dalam McMichael
et al. (1996), kenaikan suhu lingkungan rata-rata 30 – 40C, dapat menaikkan
reproduksi virus dengue dua kali lipat (McMichael et al., 1996). Lonjakan tiga
kali lipat kasus DBD di Indonesia tahun 2070 dapat diprediksi dengan model
matematika sederhana (McMichael et al., 1996). Untuk melanjutkan transmisi,
jangka hidup nyamuk betina harus lebih panjang dari periode tidak makan setelah
keluar dari pupa dan PIE. Dilaporkan bahwa umumnya PIE antara 10 sampai 14
hari. Peningkatan suhu menyebabkan penurunan PIE, penurunan suhu
menyebabkan penurunan transmisi (Watts, 1987 dalam Gubler et al., 1979).
Di Asia Tenggara ditemukan hubungan yang kuat antara curah hujan dengan
kasus dengue dengan puncak transmisi pada bulan-bulan dengan curah hujan dan
suhu tinggi, karena banyaknya wadah sebagai penampung air bersih sebagai
tempat hidup jentik Aedes aegypti. Di beberapa tempat, penyakit dengue datang
sebelum musim hujan dan meningkat pada saat peralihan cuaca. Dampak curah
hujan pada kepadatan vektor tidak sama pada setiap spesies (Gubler et al, 1979).
Faktor yang berperan adalah meningkatkan suhu dan berkurangnya curah hujan
adalah El Nino. Penelitian Gagnon, et al (2001) menyebutkan, selama El Nino
23
tahun 1986 – 1987, kekeringan terjadi di Pulau Jawa dan Kalimantan Selatan.
Pada saat itu terjadi dua kali puncak kenaikan suhu permukaan air laut yang
memicu El Nino : pada bulan Desember 1986 – Januari 1987 dan Juli – Agustus
tahun 1987. Hal ini menyebabkan anomali curah hujan (curah hujan rata-rata
rendah) di beberapa wilayah Indonesia. Pada saat itu terjadi lonjakan kasus DBD
di Jakarta. Data bulanan epidemiologi dan curah hujan periode 1994 – 1998 juga
menunjukkan anomali iklim dan lonjakan kasus DBD di Indonesia.
Dampak kesehatan yang muncul akibat variabilitas iklim yang tinggi dalam
fenomena iklim global secara umum dikelompokkan menjadi dampak kesehatan
langsung dan tidak langsung pada manusia (Gambar 3). Dampak langsung adalah
pada fisik dan psikis manusia, sedangkan dampak tidak langsung melalui
perantara seperti bakteri, virus dan hewan vektor lainnya.
PERUBAHAN IKLIM
Peningkatan temperatur Peningkatan muka air laut
Hidrologi eksterm
Penyakit akibat kerja terutama di
perkotaan
Polusi Udara
Vector Borne Disease
Water Borne Disease
Sumber air dan suplai makanan
Lingkungan pengungsi
Stress Penyakit jantung
Penyakit paru
Asma
Malaria Dengue Hemorrhagic
fever Encehalitis
Hania virus pulmonary syn
Rift Valley Fever
Cholera Cyclosporodiosis Criptosporodiosis
Campylobacateriosis Leptospirosis
Kelaparan
Diare
Penyakit infeksi Perang/konflik
1,5 – 60C th 2100 14 – 80 cm th 2100 (perkiraan IPCC)
Gambar 3. Efek Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan
24
2.6. Pencegahan dan Pemberantasan penyakit DBD
Pencegahan penyakit DBD didasarkan pada prinsip pemutusan rantai
penularan, karena sampai saat ini belum terdapat vaksin yang efektif terhadap
virus dengue. Program pemberantasan DBD di Indonesia mengadaptasi hasil
Konggres WHO ke-46 tahun 1993. Strategi yang direkomendasikan adalah
pemantauan vektor terus menerus sehingga dapat memutuskan rantai penularan.
Gubler et al. (1979) melaporkan ada lima kemungkinan cara yang dapat
dilakukan untuk memutuskan mata rantai penularan yaitu : a) Memusnahkan
tempat hidup nyamuk, b) Memberikan obat anti virus, tetapi obat anti virus
dengue belum ditemukan, c) Mengisolasi penderita, d) Memberantas vektor
(pengasapan), e) Mencegah gigitan nyamuk, f) Memberikan imunisasi, tapi vaksin
terhadap virus dengue masih dalam taraf penelitian di Bangkok.
Pemberantasan nyamuk dewasa yang menggunakan bahan kimia
(thermalfooging) masih dianggap sebagai strategi penting untuk memberantas
nyamuk, namun berdampak kecil pada upaya pemberantasan DBD jangka
panjang. fooging dilakukan jika ditemukan sekurangnya tiga penderita panas
tanpa sebab dan kepadatan jentik tinggi. Campuran bahan kimia untuk pengasapan
adalah melathion atau fenitrothion dalam dosis 438 gram per hektar dilarutkan
dalam 4% solar atau minyak tanah, dilakukan di dalam rumah ataupun di luar
rumah. pada saat terjadi wabah penyemprotan dilakukan minimal dua kali dalam
jarak 10 hari di rumah penderita dan pada jarak 100 meter di sekelilingnya
(Suroso, 2001)
Menurut Suroso (2001) program pengasapan (insektisida) banyak yang
mengalami kegagalan dalam memberantas nyamuk. Hal ini dikarenakan teknik
pelaksanaan dan kondisi lapangan yang tidak menunjang, seperti arah angin yang
menghalangi penyebaran asap, struktur media yang menjadi residu asap, struktur
bangunan yang menghalangi aliran asap, mesin aplikator yang tidak prima,
operator yang tidak terampil dan nyamuk serangga penular yang telah menjadi
resisten terhadap insektisida. Kegagalan pengasapan juga disebabkan oleh adanya
tenggang waktu antara seseorang mulai sakit sampai dilakukan pengasapan
sehingga nyamuk pembawa virus dengue telah sempat berpindah ke rumah atau
tempat lain dan menularkan ke orang lain, jauh sebelum dilakukan tindakan
25
pengasapan. Hal lain yang mempengaruhi kegagalan program pengasapan adalah
tingginya mobilitas masyarakat perkotaan, sehingga sulit melacak sumber
(tempat) terjadinya penularan.
Pembasmian dengan larvisida dianggap lebih ekonomis dan lebih
berkesinambungan karena memberantas jentik nyamuk. Larvisida yang digunakan
adalah butir–butir abate SG 1% yang ditaburkan pada tempat penyimpanan air
dengan dosis 1 ppm yaitu 10 gram untuk 100 liter air. Pengulangan dilakukan
pada jarak dua atau tiga bulan kemudian (Poorwosoedarmo, 1988) .
Program pemantauan jentik berkala (PJB) dilakukan setiap tiga bulan
dirumah dan tempat–tempat umum. Pemantauan jentik di rumah dilakukan sampai
100 rumah sampel untuk setiap kelurahan. Hasil PJB diinformasikan kepada
kepala daerah setempat sebagai evaluasi dan dasar pengerakan masyarakat dalam
PSN DBD dan diharapkan dengan dilaksanakan PJB angka bebas jentik setiap
kelurahan dapat lebih besar dari 95% (Hadinegoro dan Satari, 2002).
Menurut penelitian Bohra et al. (2001), di wilayah Jalor-India terdapat
delapan variabel yang efektif berkontribusi terhadap kejadian DBD, yaitu
frekuensi membersihkan wadah penampung air, pola pemukiman, penggunaan
pendingin air, frekuensi membersihkan pendingin air, wadah air yang tidak
tertutup, penggunaan pelindung nyamuk baik berupa kawat nyamuk,
penyemprotan insektisida dan penggunaan obat oles penolak nyamuk, frekuensi
pengisian persediaan air dan frekuensi pembuangan sampah.
Membersihkan wadah penampung air mempunyai hubungan positif dengan
kejadian DBD. Bohra et al. (2001) juga menyebutkan jika membersihkan wadah
air lebih dari delapan hari maka positif berkontribusi pada kejadian DBD, dan
mengganti air satu atau dua kali satu minggu mengurangi risiko tersebut.
Demikian pula dengan wadah air yang tidak tertutup berhubungan positif dengan
kejadian DBD. Dalam laporan tersebut juga dikatakan infrastruktur buruk
termasuk salah satu penyebab mudahnya transmisi kejadian DBD. Pola
pemukiman padat dalam rentang jarak terbang nyamuk Aedes dari tempat
perkembang biakkannya menjadi hal yang positif penyebab tingginya kasus DBD
(Kasnodiharjo et al., 1997). Laporan tersebut juga menyatakan bahwa
pembuangan sampah lebih dari 15 hari sekali mempunyai hubungan positif
26
dengan kasus kejadian DBD. Rentang waktu pembuangan yang ideal adalah
setiap tiga hari sekali sampah diangkut, tetapi jarak satu minggu satu kali sudah
dianggap maksimum dan lebih dari 15 hari sangat berisiko. Banyaknya buangan
kaleng, ban bekas, aneka bungkus dan wadah plastik bekas atau benda–benda lain
yang potensi menjadi penampung dan terisi air saat hujan akan menjadi tempat
bertelur nyamuk. Sehingga sampah harus segera diangkut dari pemukiman ke
tempat pembuangan akhir.
Hal yang ditemui dalam penelitian Bohra et al. (2001) umumnya sampah
diangkut 15 - 20 hari sekali, sehingga disimpulkan faktor pembuang sampah
inilah yang mendorong tingginya kasus DBD di India, khususnya di Jalor dan
Rajasthan, tempat lokasi penelitian. Dari delapan variabel penelitian Bohra di atas
enam variabel sangat terkait dengan perilaku masyarakat. Hal ini menunjukan
peran perilaku sangat penting dalam mengendalikan risiko terjadinya kasus DBD,
dan diharapkan dapat menjadi prioritas program intervensi yang harus diupayakan
maksimal pelaksanaannya.
2.7. Nilai Manfaat Pengelolaan Lingkungan
Menurut Hadinegoro dan Satari (2002), secara umum pengelolaan
lingkungan serangga penular DBD sangat utama pada lingkungan air sebagai
tempat perkembangbiakkan dari telur, larva sampai menjadi nyamuk yang
mempunyai risiko infektif pada manusia. Hasjimi dan Adisasmito (1997)
menyebutkan faktor lingkungan yang berperan pada pengelolaan lingkungan
serangga penular antara lain : temperatur, kelembaban, keseimbangan asam dan
basa, dan nutrisi berdasarkan kesesuaian setiap stadium. Upaya pencegahan pola
sebar DBD yang efektif jika dapat dilakukan pada tempat perkembangbiakkannya
yaitu di lingkungan tempat yang tergenang air, seperti pada tempat perkembang
biakkan alami di kali atau sungai yang tenang dan pergerakan air rendah, celah-
celah tempat yang terisi air di halaman, pohon atau pada cekukan tanah yang
berisi air. Sedangkan pada tempat perkembang biakkan buatan seperti bak mandi,
drum, vas bunga dan tempat minum burung.
Dalam kaitannya dengan nilai ekonomi, sifat khas pengelolaan lingkungan
air sebagai tempat perkembangbiakkan alami sangat penting untuk penilaian. Sifat
27
keterkaitan sumberdaya air mengharuskan penilaian ekonomi memperhatikan
berbagai komponen penyusunan yang dievaluasi. Dengan demikian, nilai ekonomi
masing-masing komponen penyusun dapat dianalisis dekomposisi. Sifat tidak
terpisahkan mengharuskan penilaian ekonomi menetapkan secara tepat batas
analisis bagi yang menyangkut batas administrasi kewenangan (the boundary of
jurisdiction) dan terlebih batas fisik dari sumberdaya air (Sanim, 2003).
Sifat terpulihkan mengharuskan prinsip penilaian ekonomi mengkaji
ekosistem yang bersifat antar generasi baik dari segi manfaat yang diperoleh
maupun biaya yang ditanggung. Oleh karena waktu merupakan komponen krusial
dalam penilaian, maka sumberdaya dibagi dua tipe yaitu sumberdaya terpulihkan
(renewable) dan sumberdaya tak terpulihkan (nonrenewable). Sumberdaya
terpulihkan hanya berbeda pada waktu yang diperlukan untuk diproduksi (rotation
periode). Sifat dampak eksternal mengharuskan penilaian ekonomi sumberdaya
mencakup semua kegiatan yang berpengaruh keluar batas wewenang satuan
pengambilan keputusan. Dampak eksternalitas ini dapat digolongkan atas dampak
negatif dan dampak positif (Sanim, 2003).
2.8. Penilaian Ekonomi Sumberdaya Alam
Nilai ekonomi (economic value) merupakan komponen penting dalam
pengelolaan sumberdaya alam yang mengikuti perdebatan analisis ekonomi dan
lingkungan (economic-cum-environmental, ECE) dengan memperhatikan
dimensi-dimensi ekonomi dan ekologi secara integratif. Nilai ekonomi terdapat
pada suatu tujuan perubahan tertentu, tetapi secara kompleks nilai-nilai tersebut
menyatakan pilihan-pilihan yang berkaitan dengan lingkungan. Perubahan iklim
global yang berpengaruh pada kenaikan temperatur dan peningkatan curah hujan
dapat memberikan peluang peningkatan tampat perkembang biakkan Aedes
aegypti. Hal ini akan memberikan pilihan dan penilaian secara ekonomi tentang
nilai manfaat pengelolaan lingkungan serangga penular (Sanim, 2003).
Pemilihan teknik penilaian ekonomi sumberdaya alam merupakan hal
penting dan membutuhkan pemahaman yang menyeluruh mengenai teknik itu
sendiri, perilaku dampak yang terjadi, respon dari pihak-pihak yang terkena
dampak dan perilaku pasar sumberdaya tersebut. Sanim (2003) menyatakan
28
bahwa teknik penilaian ekonomi sumberdaya alam dapat dipilih dengan
pertimbangan-pertimbangan berikut:
1. Banyaknya tujuan atau perkiraan yang ingin diukur. Jika yang dilakukan
mempunyai tujuan ganda, maka sebaiknya menggunakan perkiraan dampak
(dampak hipotetik) yang disarankan.
2. Konsep dan aspek yang ingin dinilai. Teknik penilaian ekonomi sumberdaya
alam yang berbeda satu sama lain bersifat saling melengkapi dan bukan
berkompetisi karena teknik-teknik tersebut mengukur aspek yang berbeda.
3. kebutuhan dan kepentingan pemakai hasil penilaian. Pemakai hasil penilaian
memiliki preferensi tersendiri terhadap suatu teknik penilaian ekonomi
tergantung biaya, waktu dan tujuan.
4. Kepentingan masyarakat luas. Preferensi masyarakat luas terhadap
sumberdaya alam harus dapat ditangkap maksimal dan setepat mungkin.
Untuk itu perlu ditempuh jejak pendapat yang intensif dan memadai.
5. Perbandingan atau bobot antara biaya dengan nilai ekonomi dari
penggunaan hasil penilaian. Perlu dipikirkan apakah keuntungan
penggunaan hasil penilaian sebanding dengan biaya yang akan dikeluarkan.
Menurut Sanim (2003) dalam kaitan dengan budidaya tanaman anti
nyamuk, penilaian manfaat ekonomi perlu dilakukan karena :
1. Penilaian mengingatkan bahwa pengelolaan lingkungan serangga penular
melalui budidaya tanaman anti nyamuk membutuhkan biaya, tetapi
mempunyai harga yang seringkali tidak ditangkap oleh mekanisme pasar.
2. Penilaian memberikan isyarat bahwa pengelolaan lingkungan melalui
budidaya tanaman anti nyamuk bersifat langka.
3. Penilaian menerjemahkan bahwa dampak pemanfaatan pengelolaan
lingkungan melalui budidaya tanaman anti nyamuk selain untuk pencegahan
aktifasi nyamuk Aedes aegypti, konservasi lahan, kualitas sanitasi
pemukiman, dan efisiensi biaya pemeliharaan kesehatan dibandingkan jika
tidak dilakukan pengelolaan lingkungan melalui pemanfaatan budidaya
tanaman anti nyamuk.
29
4. Penilaian memberikan masukan dalam pengambilan keputusan yang lebih
adil karena metode ini mampu menghindari pertimbangan yang bersifat
kualitatif dan tidak obyektif.
5. Penilaian mampu memberikan indikasi motivasi kepada mayarakat untuk
berpartisipasi dalam mewujudkan perilaku hidup bersih dan sehat.
6. Penilaian memberikan arahan untuk kebijakan publik seperti pajak, subsidi,
biaya konservasi, biaya pemulihan dan pencegahan.
2.9. Tanaman Anti Nyamuk
a. Zodia (Evodia suaveolans)
Zodia merupakan tanaman asli Indonesia dari daerah Papua termasuk
kedalam familli Rutaceae, oleh penduduk setempat tanaman ini biasa
digunakan untuk menghalau serangga, khususnya nyamuk jika pergi ke
hutan. Tinggi rata-rata tanaman Zodia 75 cm rentang ketinggian antara 50
cm – 200 cm. Zodia mengeluarkan aroma wangi jika tertiup oleh angin.
Mengandung evodiamine dan rutaecarpine. Hasil analisa yang dilakukan di
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitro) dengan gas
kromatografi, minyak yang disuling dari daun Zodia mengandung linalool
(46 %) dan A-pinine (13,26%). Linalool sudah lama dikenal sebagai
repellent (pengusir) nyamuk. Kardinan (2003a) menegaskan bahwa dari
hasil penelitian di Balitro daun Zodia mampu menghalau nyamuk selama
enam jam dengan daya proteksi 70%. Lazimnya, tanaman ini ditanam
didalam pot, dan digunakan sebagai tanaman dalam ruangan (indoor plant).
b) Geranium (Pelargonium citrosa)
Kardinan (2003a) menyebutkan bahwa tanaman Geranium sekurang-
kurangnya memiliki tiga varian, yaitu ; Citrosa mosquito fighter, Citrosa
queen of lemon, Citrosa lady diana. Citrosa Mosquito Fighter pada tahun
1980 - 1990 cukup mudah ditemukan di kawasan sekitar Bandung dan
Sukabumi. Tumbuh liar di sekitar sawah, daunnya diambil lalu diselipkan di
antara pakaian atau almari. Khasiatnya mampu mengusir nyamuk dan
ngengat, juga memberikan aroma yang khas. Pada Geranium terdapat zat
Citronella yang mampu mengusir nyamuk.
30
c) Lavender (Lavandula angustifolia)
Penampilan bunga Lavender sangat menarik, bunganya berwarna-warni dan
mengeluarkan aroma wangi. Perbanyakan Lavender dengan menggunakan
bijinya. Jika sudah tumbuh dipindahkan ke polybag. Tingginya mencapai
15 – 20 cm dapat dipindahkan di pot atau ditanam di halaman rumah. Dapat
disuling menjadi minyak atsiri dan aroma terapi (Kardinan, 2003a).
d) Serai Wangi (Cymbopogon nardus)
Kardinan, (2003a) mengemukakan bahwa selama ini serai wangi sering
dipakai untuk bumbu masak dan bahan pencampur jamu. Batangnya bisa
digunakan sebagai pengusir nyamuk. Serai wangi mengandung zat-zat
geraniol, metilheptenon, terpen-terpen, terpen alkil, sitronelal. zat sitronelal
ini memiliki sifat racun kontak. Sebagai racun kontak dapat menyebabkan
tubuh kehilangan cair yang dapat menyebabkan kematian. Ekstrak serai
wangi diperoleh batang serai wangi sebanyak 1 kg dicuci dan tiriskan
sampai kering. Masukkan dalam blender, lalu haluskan. Masukkan hasil
blenderan kedalam 250 ml air, lalu rendam selama semalam. Untuk aplikasi,
tuangkan ekstrak serai wangi kedalam alat penyemprot, lalu semprotkan ke
tempat dimana ke tempat aktivitas nyamuk.
2.10. Sistem dan Model
Sistem adalah satu perangkat komponen yang saling berhubungan dan
berkaitan yang diorganisir untuk mencapai suatu tujuan. Muhammadi et al (2001)
menambahkan bahwa sistem merupakan interaksi antar komponen dari suatu
obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan, sedangkan
model merupakan bangunan atau struktur pemikiran yang bersifat sistematik.
Secara rinci, model merupakan satu perangkat yang menggambarkan komponen
yang saling berkaitan, berhubungan, dan berinteraksi dalam batasan tertentu,
sehingga menghasilkan suatu perilaku dengan dinamika tertentu.
Dalam ekosistem sumberdaya alam termasuk sistem penyebaran penyakit
DBD, model merupakan suatu cara membangun pemikiran dengan beranalisis
matematis tentang hubungan antara komponen-komponen yang ada dalam
ekosistem sumberdaya alam tersebut yang setiap komponen berperan dalam
31
proses produksi dan konsumsi (Eriyatno, 2003). Menurut Muhammadi et al
(2001), membangun pemikiran yang demikian dapat dilakukan dengan lima
tahapan, yaitu : (a) identifikasi proses yang menghasilkan kejadian nyata (actual
state) dalam artian melakukan pekerjaan atau proses yang benar-benar ada bila
hasil atau kejadian yang diinginkan nyata, (b) identifikasi kejadian yang
diinginkan, dituju, ditargetkan atau direncanakan (desierd state), (c) identifikasi
masalah yang harus dipecahkan dengan cara memikirkan tingkat kesenjangan
kenyataan dengan seharusnya (keinginan); (d) identifikasi mekanisme atau cara-
cara menutup kesenjangan, dan (e) analisis kebijakan tentang cara-cara yang
dipilih untuk menutup kesenjangan mencapai kejadian yang diinginkan.