hubungan faktor perilaku dan faktor...
TRANSCRIPT
HUBUNGAN FAKTOR PERILAKU DAN FAKTOR LINGKUNGAN
DENGAN KEBERADAAN LARVA NYAMUK AEDES AEGYPTI
DI KELURAHAN SAWAH LAMA TAHUN 2013
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh:
Mentary Putry Rendy
109101000043
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2013
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT KESEHATAN LINGKUNGAN Skripsi, Agustus 2013 MENTARY PUTRY RENDY, NIM : 109101000043 Hubungan Faktor Perilaku dan Faktor Lingkungan dengan Keberadaan Larva Nyamuk AedesAegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 XVII + 112halaman, 3 bagan, 2 gambar, 20 tabel, 4lampiran
ABSTRAK Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang sering menimbulkan
Kejadian Luar Biasa (KLB) di Indonesia dan sering menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di berbagai wilayah. Salah satu cara mencegahnya adalah dengan memutus siklus kehidupan nyamuk, khususnya pada stadium larva. Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada penelitian ini, ditemukan larva nyamuk Aedes aegypti pada 4 dari 10 rumah yang diperiksa.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional, yang dilakukan pada bulan Juni-Juli di Kelurahan Sawah Lama Kota Tangerang Selatan tahun 2013. Tujuannya untuk mengetahui hubungan faktor perilaku dan faktor lingkungan dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. Sampel pada penelitian ini merupakan ibu-ibu yang bertempat tinggal di Kelurahan Sawah Lama.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 55% rumah responden ditemukan larva Aedes aegypti. Faktor-faktor yang berhubungan dengan keberadaan larva Aedes aegypti dalam penelitian ini yaitu pengetahuan (p value 0,001), sikap (p value 0,004), praktek menguras tempat penampungan air (p value 0,013),praktekmenyingkirkanbarang-barangbekas yang dapatmenjaditempatpenampungan air(p value 0,032), jenis tempat penampungan air(p value 0,007). Sedangkan faktor-faktor yang tidak berhubungan dengan keberadaan larva Aedes aegypti dalam penelitian ini yaitu praktek menutup tempat penampungan air (p value 0,099) dan ketersediaan tutup pada tempat penampungan air (p value 0,621). Faktor yang paling dominan dengan keberadaan larva Aedes aegypti adalah pengetahuan.
Untuk mengurangi adanya keberadaan larva Aedes aegypti disarankan agar setiap masyarakat dan stakeholder bekerjasama untuk mencegah adanya larva dengan selalu berperilaku hidup bersih dan sehat sehingga dapat meniadakan tempat-tempat yang berpotensi untuk kelangsungan siklus hidup nyamuk.
Kata kunci : DBD, larva nyamuk Aedes aegypti, perilaku dan lingkungan Daftar bacaan : 62 (1971 - 2012)
ii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES STUDY PROGRAM OF PUBLIC HEALTH ENVIRONMENTAL HEALTH Undergraduate Thesis, August 2013 Mentary Putry Rendy, NIM : 109101000043 Behavioral Factors Relationships And Environmental Factors With Aedes Aegypti Mosquito Larvae Presence In Kampung Sawah 2013 XVII + 112 pages, 3 charts, 2 images, 20 tables, 4 attachments
ABSTRACT
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a kind of diseases which causes an extra
ordinary ambience in Indonesia and often become a major healthy problem of people among the citizen. One of the way to prevent this disease is to break the life cycle of mosquitoes, especially over the larva level. Based on result of the preliminary study in this research, 4 from 10 houses that had been checked there are larvae to be found over the research.
This research is quantitative research by approaching cross sectional, the research conducted on June-July at Sawah Lama village of Tanggerang Selatan in 2013. The objection of this research is to know about the correlation of the behavior factor and the environment factor over the larvae of Aedes aegypti that has exist on it at Sawah Lama district of Tanggerang Selatan in 2013. The samples of the research are the house wives as the resident of Sawah Lama district.
The result of the research showed that 55% houses as respondent have been found larve Aedes aegypti. The common factors that has a correlation with the existence of Aedes aegypti larva in this research is a knowledge (p value 0,001), behavior (p value 0,004), act of draining the water container (p value 0,013), act of throw out unusable thing that can be mosquito’s nest (p value 0,032), kind of water container (p value 0,007). More over factors that not related to Aedes aegypti larva in this research is the act of closing the water container cap (p value 0,099) and the existence of the water lid (p value 0,621). Dominantly, a knowledge factor as the most factor of the existence of Aedes aegypti larvae.
For reducing the existence of Aedes aegypti larvae, suggested to every people over the community and stakeholder work together to break the existence Aedes aegypti larva by applying clean and health life behavior in order to leave the environment prospects of mosquito’s life cycle.
Keywords : dengue, mosquito larvae of Aedes aegypti, behavioral and environmental References : 62 (1971 - 2012)
iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Identitas Pribadi
Nama : Mentary Putry Rendy
TTL : Pasir, 25Februari 1992
AlamatAsal : Surau Kamba No. 25, IV Angkat, Kab. Agam, Sumatera Barat
AlamatSekarang : Jalan Nubala No. 25 B, RT. 004 / RW. 08, Pisangan, Ciputat,
Tangerang Selatan
Agama : Islam
Gol.Darah : A
Status : BelumMenikah
No. Telp : 085697258905
Email : [email protected]
RiwayatPendidikan
2009 - sekarang : S1-Peminatan Kesehatan Lingkungan, Program Studi Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2006 - 2009 : SMA Negeri 3 TeladanBukittinggi
2003 - 2006 : SMP Negeri 2 Bukittinggi
1997 - 2003 : SD Negeri 01 BPA Bukittinggi
PengalamanOrganisasi
2009 - 2010 : Anggota KSR PMI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2010 – 2011 : Staff Publikasi dan Humas KSR PMI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2010 - 2011 : Koordinator Departemen Seni dan Budaya IKMM Ciputat
2011 - sekarang : Anggota Environmental Health Student Association (ENVIHSA)
Indonesia
2011 - sekarang : Sekretaris I IKMM Ciputat
vi
PengalamanKerja
2011 - 2012 : Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) di Puskesmas Ciputat
2012 : Orientasi Kerja di PT. Proton Gumilang
2012 : Panitia Peresmian dan Pelatihan Program CSR Kemitraan PT. Yama
Engineering dengan FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2013 : Kerja Praktek di PT. Chevron Pacific Indonesia
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan
Skripsi yang berjudul “Hubungan Faktor Perilaku dan Faktor Lingkungan dengan
Keberadaan Larva Nyamuk Aedes Aegypti di Kelurahan Sawah Lama Kota
Tangerang Selatan tahun 2013”. Sholawat dan salam juga dihaturkan kepada
Rasulullah SAW, semoga kita memperoleh syafaatnya di akhirat nanti. Amin.
Penulis menyadari bahwa laporan ini tidak akan tersusun dan selesai tanpa adanya
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan hingga terselesaikannya
laporan skripsi ini, diantaranya:
1. Orang tua dan keluarga besar penulis yang senantiasa memberikan dukungan
moril dan materil serta doa yang tulus untuk keberhasilan penulis.
2. Bapak Prof. Dr. (hc). Dr. M.K. Tadjuddin, Sp. And selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Febrianti, MSi, selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat.
4. Ibu Ela Laelasari, S.KM, M.Kes dan Bapak dr. Yuli Prapanca Satar, MARS
selaku pembimbing skripsi yang telahbanyakmembantupenelitidariawalsampai
akhir penulisan laporan skripsi ini serta telah banyak meluangkan waktu untuk
memberikan masukan dan arahan dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Ibu Minsarnawati, SKM, M.Kes selaku penguji dalam ujian proposal skripsi,
terima kasih atas kesediaannya untuk menjadi penguji dalam ujian proposal
skripsi dan saran-saran yang sangat berarti bagi penulis.
6. Bapak/Ibu dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan
banyak ilmu yang sangat bermanfaat dan semoga dapat diaplikasikan dalam
kehidupan peneliti.
viii
7. Para pegawai di Puskesmas Kampung Sawah yang telah memberikan izin
pengambilan data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini dan membantu
di lapangan.
8. Sahabat-sahabat terbaik cumi-cumi (Amelia Marif, Indryani, Nani Sulistyarini
dan Rahmi Fadhila).
9. Sahabat-sahabat di kosan (Ami, Rosita, Emmy dan Reni).
10. Sahabat-sahabat Jamaah Kesehatan Lingkungan 2009 (Nisa, Agung,Ima, Ersa,
Ratna, Rudi, Zia, Yeni, Maya, Dilla, Cita, Udin, Reni, Yudi, Ami, Aan, Nita,
Morrys, Risma) serta adik-adik kelas Kesehatan Lingkungan.
11. Sahabat-sahabat di Program Studi Kesehatan Masyarakat angkatan 2009.
12. Dunsanak-dunsanak IKMM Ciputat.
13. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan skripsi ini, yang
tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu.
Peneliti menyadari bahwa dalam penulisan laporan skripsi ini masih jauh dari
sempurna, sehingga peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran demi kemajuan
dimasa mendatang. Semoga laporan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Amin.
Jakarta, 2013
Peneliti
ix
DAFTAR ISI
Halaman LEMBAR PERNYATAAN i ABSTRAK ii ABSTRAC iii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING iv LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI v DAFTAR RIWAYAT HIDUP vi KATA PENGANTAR viii DAFTAR ISI x DAFTAR TABEL xiii DAFTAR GAMBAR xv DAFTAR BAGAN xvii BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1 B. Rumusan Masalah 5 C. Pertanyaan Penelitian 6 D. Tujuan Penelitian 8
1. Tujuan Umum 8 2. Tujuan Khusus 8
E. Manfaat Penelitian 10 1. Bagi Dinas Kesehatan 10 2. Bagi Puskesmas 10 3. Bagi Kelurahan 10 4. Bagi Program Kesehatan Lingkungan 10
F. Ruang Lingkup 11 BAB II TINJAUAN PUSAKA 12
A. Demam Berdarah Dengue (DBD) 12 B. Vektor Penular 17 C. Pengendalian Vektor DBD 24 D. Patogenesis Penyakit Berbasis Lingkungan 33 E. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keberadaan Larva
Aedes Aegypti 34 F. KerangkaTeori 43
x
BAB IIIKERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN 44
A. Kerangka Konsep 44 B. Definisi Operasional 46 C. Hipotesis Penelitian 53
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 54
A. Desain Penelitian 54 B. Lokasi dan Waktu Penelitian 54 C. Populasi dan Sampel 54 D. Pengumpulan Data 57 E. Instrument Penelitian 58 F. Jenis Data 59 G. Pengolahan Data 59 H. Analisis Data 60
BAB V HASIL 62
A. Gambaran Umum Tempat Penelitian 62 B. Analisis Univariat 62
1. Gambaran Keberadaan Larva 63 2. Gambaran Pengetahuan 64 3. Gambaran Sikap 64 4. Gambaran Praktek Menguras Tempat Penampungan Air 65 5. Gambaran Praktek Menyingkirkan Barang-Barang Bekas 66 6. Gambaran Praktek Menutup Tempat Penampungan Air 67 7. Gambaran Ketersediaan Tutup Pada TPA 67 8. Gambaran Jenis TPA 68
C. Analisis Bivariat 69 1. Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Keberadaan Larva
Aedes Aegypti 69 2. Hubungan Antara Sikap Dengan Keberadaan Larva Aedes
Aegypti 71 3. Hubungan Antara Praktek Menguras Tempat Penampungan
Air Dengan Keberadaan Larva Aedes Aegypti 72 4. Hubungan Antara Praktek Menyingkirkan Barang-Barang
Bekas Yang Dapat Menjadi Tempat Penampungan Air Dengan Keberadaan Larva Aedes Aegypti 73
5. Hubungan Antara Praktek Menutup Tempat Penampungan Air Dengan Keberadaan Larva Aedes Aegypti 75
xi
6. Hubungan Antara Ketersediaan Tutup Pada TPA Dengan Keberadaan Larva Aedes Aegypti 76
7. Hubungan Antara Jenis TPA Dengan Keberadaan Larva Nyamuk Aedes Aegypti 78
D. Analisis Multivariat 79 1. Pemilihan Variabel Kandidat Analisis Multivariat 79 2. Pembuatan Model Faktor Penentu Variabel yang Paling
Berpengaruh 80 BAB VI PEMBAHASAN 83
A. Keterbatasan Penelitian 83 B. Gambaran Keberadaan Larva Aedes Aegypti 84 C. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Keberadaan Larva
Aedes Aegypti 86 1. Pengetahuan 86 2. Sikap 88 3. Praktek Menguras Tempat Penampungan Air 91 4. Praktek Menyingkirkan Barang-Barang Bekas 93 5. Praktek Menutup Tempat Penampungan Air 96 6. Ketersediaan Tutup pada Tempat Penampungan Air 97 7. Jenis Tempat Penampungan Air 100
BAB VII PENUTUP 102
A. Simpulan 102 B. Saran 104
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xii
DAFTAR TABEL
No.Tabel No. Halaman 3.1 Definisi Operasional 46 4.1 Hasil Perhitungan Sampel 56 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Keberadaan
Larva Aedes aegypti 63 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan 64 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Sikap 64 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Praktek Menguras
Tempat Penampungan Air 65 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Praktek
Menyingkirkan Barang – Barang Bekas 66 5.6 Distribusi Responden Berdasarkan Praktek Menutup
Tempat Penampungan Air 67 5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Ketersediaan Tutup
Pada Tempat Penampungan Air 68 5.8 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Tempat Penampungan Air 69 5.9 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan dan Keberadaan Larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 70 5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Sikap dan Keberadaan Larva
Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 71 5.11 Distribusi Responden Berdasarkan Praktek Menguras Tempat
Penampungan Air dan Keberadaan Larva Aedes aegyptidi KelurahanSawah Lama Tahun 2013 72
5.12 Distribusi Responden Berdasarkan Praktek Menyingkirkan Barang – Barang Bekas dan Keberadaan Larva Aedes aegyptidi Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 74
5.13 Distribusi Responden Berdasarkan Praktek Menutup Tempat Penampungan Air dan Keberadaan Larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 75
5.14 Distribusi Responden Berdasarkan Ketersediaan Tutup Pada Tempat Penampungan Air dan Keberadaan Larva Aedes aegypti Di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 77
5.15 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Tempat Penampungan Air Dan Keberadaan Larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 78
xiii
5.16 Hasil Analisis Bivariat Antara Variabel Pengetahuan, Sikap, Praktek Menguras Tempat Penampungan Air, Praktek Menyingkirkan Barang-Barang Bekas yang Dapat Menjadi Tempat Penampungan Air, Praktek Menutup Tempat Penampungan Air dan Jenis Tempat Penampungan Air di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 80
5.17 Hasil Analisis Multivariat di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 81
5.18 Hasil Analisis Multivariat Antara Pengetahuan, Sikap, Praktek Menyingkirkan Barang-Barang Bekas yang dapat Menjadi Tempat Penampungan Air dan Jenis Tempat Penampungan Air Di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 82
xiv
DAFTAR GAMBAR
No.Gambar Nomor Halaman
2.1 Siklus Hidup Nyamuk 21 2.2 Tempat yang Diperlukan untuk Siklus
Perkembangan Nyamuk 22
xv
DAFTAR BAGAN
Nomor Bagan Nomor Halaman
2.1 Patogenesis Penyakit Dalam Prespektif Lingkungan
Dan Kependudukan 33
2.1 Kerangka Teori 43
3.1 Kerangka Konsep 45
xvi
LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Izin Penelitian Lampiran 2 Lembar Kuesioner Lampiran 3 Lembar Observasi Lampiran4 Output
xvii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever
(DHF) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dari genus
Flavivirus, famili Flaviviridae yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti yang terinfeksi virus dengue ke manusia. Virus dengue mempunyai
4 jenis serotipe, yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4. Penyakit DBD dapat
menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian, (Kemenkes RI,
2010).
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang banyak
ditemukan di daerah tropis dan subtropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan
bahwa Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap
tahunnya, (Kemenkes RI, 2010). WHO (2007), memperkirakan setiap tahun
terdapat sekitar 50-100 juta kasus DBD dengan 500.000 diantaranya memerlukan
perawatan di rumah sakit dan diketahui bahwa DBD merupakan penyebab utama
kesakitan dan kematian di Asia Tenggara dengan 57% dari total kasus DBD di
Asia Tenggara terjadi di Indonesia. Sementara itu, WHO dalam Kemenkes RI
(2010) juga mencatat sejak tahun 1968 hingga tahun 2009 Indonesia sebagai
negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara.
2
Dalam epidemiologi terdapat ukuran-ukuran yang dapat menggambarkan
angka kesakitan/angka insiden (IR/Incident Rate) dan angka kematian (CFR/Case
Fatality Rate) kasus DBD. IR merupakan frekuensi penyakit baru yang berjangkit
dalam masyarakat di suatu wilayah/tempat pada waktu tertentu. Sedangkan CFR
merupakan persentase angka kematian oleh sebab penyakit tertentu, (Notoatmodjo,
2007).
Data dari Ditjen PP & PL Depkes RI (2009) dalam Kemenkes RI (2010),
menunjukkan angka insiden DBD per 100.000 penduduk di Indonesia tahun 1968-
2009 terjadi tren yang terus meningkat. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor yang
mempengaruhi peningkatan kasus termasuk lemahnya upaya program
pengendalian DBD, sehingga upaya program pengendalian DBD perlu mendapat
perhatian lebih terutama pada tingkat kabupaten/kota dan Puskesmas.
Berdasarkan data Ditjen PP & PL, Kemenkes (2012) dalam Profil Data
Kesehatan Indonesia Tahun 2011, dari jumlah penduduk Indonesia 241.182.182
jiwa terjadi kasus DBD sebanyak 65.432 jiwa dan jumlah kasus meninggal 595
dengan CFR 0,91% dan IR per 100.000 penduduk adalah 27,56. Sementara itu,
target nasional untuk IR adalah <53 per 100.000 penduduk. Provinsi Banten
dengan jumlah penduduk 10.922.177 jiwa terdapat jumlah kasus 1.736 jiwa dan
jumlah kasus meninggal 32 kasus dengan CFR 1,84% dan IR per 100.000
penduduk adalah 15,89. Angka IR di atas masih di bawah standar nasional, namun
Indonesia dan Provinsi Banten masih merupakan daerah endemis DBD. Hal ini
3
dikarenakan penyakit DBD di wilayah Indonesia dan Banten sering terjadi pada
populasi secara konstan dalam jumlah sedikit atau sedang.
Kota Tangerang Selatan merupakan salah satu kota Endemis DBD di
Provinsi Banten. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan
(2013), IR tahun 2012 adalah 60 per 100.000 penduduk, tercatat juga beberapa
Puskesmas masih memiliki angka kesakitan DBD diatas target nasional. Selain itu,
berdasarkan data tersebut diketahui pula bahwa Puskesmas Kampung Sawah
merupakan daerah dengan kasus DBD yang tinggi dibandingkan dengan
Puskesmas lainnya yang berada di wilayah Tangerang Selatan. Dari 66.496 jumlah
penduduk terdapat 79 total kasus DBD dengan 1 orang meninggal dengan IR 11,9
per 10.000 penduduk dan CFR 1,3.
Puskesmas Kampung Sawah mempunyai 2 kelurahan wilayah kerja, yakni
Kelurahan Sawah Lama dan Sawah Baru. Untuk kasus DBD Kelurahan Sawah
Lama memiliki angka kasus paling tinggi dibandingkan dengan Kelurahan Sawah
Baru dan Kelurahan lainnya di Kota Tangerang Selatan, yaitu dengan total 41
kasus dari 35.130 jumlah penduduk. Disamping itu IR dan CFR masing-masing
yaitu 11,671 per 10.000 penduduk dan 0,00. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
kondisi lingkungan yang kurang baik sehingga memungkinkan untuk
perkembangan siklus hidup vektor DBD, (Dinkes Tangsel, 2013).
Kondisi lingkungan yang memungkinkan nyamuk Aedes aegypti hidup
merupakan faktor yang mendorong adanya kejadian DBD. Memutus mata rantai
penularan DBD adalah cara yang tepat untuk mencegah terjadinya penyakit ini.
4
Memberantas jentik-jentik/larva nyamuknya adalah cara yang tepat untuk
mencegah kejadian DBD, (Depkes, 2000).
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
(2005) menetapkan bahwa standar nasional untuk Angka Bebas Jentik (ABJ) yaitu
95%. Namun, yang sangat penting diperhatikan adalah peningkatan pemahaman,
sikap dan perubahan perilaku masyarakat terhadap penyakit ini akan sangat
mendukung percepatan untuk memutuskan mata rantai penularan penyakit DBD,
(Ginanjar, 2008).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Angka Bebas
Jentik (ABJ) di wilayah kerja Puskesmas Kampung Sawah ini sangat rendah yaitu
69%. Sedangkan untuk kelurahan wilayah kerjanya yakni Kelurahan Sawah Lama
dan Kelurahan Sawah Baru memiliki Angka Bebas Jentik masing-masing wilayah
53% dan 83%. Studi pendahulan yang dilakukan peneliti pada 10 rumah di
Kelurahan Sawah Lama ditemukan 4 rumah dengan jentik nyamuk. Hal ini
menandakan kurangnya perilaku untuk hidup bersih dan sehat di masyarakat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ririh (2005) menunjukkan
terdapat hubungan antara kelembaban udara, jenis kontainer, pengetahuan dan
sikap terhadap keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan
Wonokusumo, Kecamatan Semampir, Kota Surabaya. Penelitian Suyasa (2008),
menunjukkan ada hubungan antara kepadatan penghuni, keberadaan tempat
ibadah, keberadaan pot tanaman hias, saluran air hujan, mobilitas penduduk,
keberadaan kontainer, tindakan dan kebiasaan menggantung pakaian dengan
5
keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar
Selatan.
Penelitian lain, Setiawan (2002) menunjukkan ada hubungan antara letak
TPA/tempat penampungan air, tutup TPA dan frekuensi pembersihan TPA. Selain
itu penelitian Damyanti (2009) mengenai hubungan pengetahuan, sikap dan
praktek 3M (menutup, mengubur dan menguras) dengan keberadaan jentik Aedes
aegypti menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan, sikap, praktek
menguras tempat penampungan air dan praktek mengubur atau menyingkirkan
barang-barang bekas dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di
Kelurahan Kepolorejo, Magetan.
Berdasarkan uraian di atas, penyebab terjadinya DBD bukan hanya terjadi
karena adanya vektor pembawa virus DBD saja, namun ada faktor lain seperti
perilaku masyarakat terhadap pemberantasan sarang nyamuk atau yang dikenal
PSN DBD dengan kegiatan 3M (mengubur, menutup dan menguras tempat
penampungan air/TPA) serta lingkungan yang mempengaruhi keberadaan vektor
tersebut yang menyebabkan keberadaan vektor tetap ada. Oleh karena itu, peneliti
ingin meneliti mengenai hubungan faktor perilaku dan faktor lingkungan dengan
keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.
B. Rumusan Masalah
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang sering
ditemukan baik endemik maupun epidemik di wilayah tropis dan subtropis. Di
6
Indonesia sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) DBD dan sering menjadi
masalah kesehatan masyarakat yang utama di berbagai wilayah. Faktor manusia,
faktor agen dan faktor lingkungan merupakan faktor yang saling berhubungan
dengan kejadian penyakit ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan pencegahan untuk
mengurangi dan menghabiskan penyakit ini.
Salah satu caranya adalah dengan memutus siklus vektor pembawa penyakit
DBD yaitu siklus kehidupan nyamuk Aedes aegypti. Keberadaan larva/jentik
nyamuk Aedes aegypti pada tempat penampungan air rumah tangga merupakan
keadaan yang harus dihilangkan. Standar nasional menetapkan standar untuk
Angka Bebas Jentik yaitu 95%. Kelurahan Sawah Lama memiliki Angka Bebas
Jentik 53%.
Disamping itu, total kasus DBD di Kelurahan Sawah Lama juga tinggi
dibandingkan dengan total kasus yang ada di tiap kelurahan yang ada di Kota
Tangerang Selatan yakni 41 total kasus. Berdasarkan hal di atas penelitian ingin
meneliti hubungan faktor perilaku dan faktor lingkungan dengan keberadaan larva
nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.
C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah
Lama tahun 2013?
2. Bagaimana gambaran pengetahuan di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013?
7
3. Bagaimana gambaran sikap di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013?
4. Bagaimana gambaran praktek menguras tempat penampungan air di
Kelurahan Sawah Lama tahun 2013?
5. Bagaimana gambaran praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat
menjadi tempat penampungan air di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013?
6. Bagaimana gambaran praktek menutup tempat penampungan air di Kelurahan
Sawah Lama tahun 2013?
7. Bagaimana gambaran ketersediaan tutup pada TPA di Kelurahan Sawah Lama
tahun 2013?
8. Bagaimana gambaran jenis TPA di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013?
9. Bagaimana hubungan pengetahuan dengan keberadaan larva nyamuk Aedes
aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013?
10. Bagaimana hubungan sikap dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti
di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013?
11. Bagaimana hubungan praktek menguras tempat penampungan air dengan
keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun
2013?
12. Bagaimana hubungan praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat
menjadi tempat penampungan air dengan keberadaan larva nyamuk Aedes
aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013?
8
13. Bagaimana hubungan praktek menutup tempat penampungan air dengan
keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun
2013?
14. Bagaimana hubungan ketersediaan tutup pada TPA dengan keberadaan larva
nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013?
15. Bagaimana hubungan jenis TPA dengan keberadaan larva nyamuk Aedes
aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013?
16. Apakah faktor yang paling dominan terhadap keberadaan larva nyamuk Aedes
aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013?
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan faktor perilaku dan faktor lingkungan dengan
keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui gambaran keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah
Lama tahun 2013.
b. Mengetahui gambaran pengetahuan di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.
c. Mengetahui gambaran sikap di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.
d. Mengetahui gambaran praktek menguras tempat penampungan air dengan
keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun
2013.
9
e. Mengetahui gambaran praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang
dapat menjadi tempat penampungan air di Kelurahan Sawah Lama tahun
2013.
f. Mengetahui gambaran praktek menutup tempat penampungan air di
Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.
g. Mengetahui gambaran ketersediaan tutup pada TPA di Kelurahan Sawah
Lama tahun 2013.
h. Mengetahui gambaran jenis TPA di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.
i. Mengetahui hubungan pengetahuan dengan keberadaan larva nyamuk Aedes
aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.
j. Mengetahui hubungan sikap dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti
di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.
k. Mengetahui hubungan praktek menguras tempat penampungan air dengan
keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun
2013.
l. Mengetahui hubungan praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang
dapat menjadi tempat penampungan air dengan keberadaan larva nyamuk
Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.
m. Mengetahui hubungan praktek menutup tempat penampungan air dengan
keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.
n. Mengetahui hubungan ketersediaan tutup pada TPA dengan keberadaan
larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.
10
o. Mengetahui hubungan jenis TPA dengan keberadaan larva nyamuk Aedes
aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.
p. Mengetahui faktor yang paling dominan yang mempengaruhi keberadaan
larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Dinas Kesehatan
Untuk memberikan masukan bagi pengambil keputusan dan pengelola
program pada Dinas Kesehatan dalam melakukan intervensi yang tepat untuk
program pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD.
2. Bagi Puskesmas
Untuk meningkatkan kinerja dan intervensi dalam program pencegahan
dan penanggulangan penyakit DBD melalui Puskesmas.
3. Bagi Kelurahan
Untuk memberikan masukan sebagai upaya peningkatan peran serta
masyarakat dalam kegiatan pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD.
4. Bagi Program Kesehatan Lingkungan
Untuk memberikan informasi bagi peneliti selanjutnya tentang faktor-
faktor yang berhubungan dengan keberadaan larva Aedes aegypti terhadap
kejadian DBD.
11
F. Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan faktor perilaku dan
faktor lingkungan dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah
Lama tahun 2013. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan
rancangan cross sectional. Penelitian dilakukan pada bulan Juni-Juli tahun 2013.
Data diperoleh dari data primer yaitu lembar kuesioner dan lembar observasi serta
data sekunder yaitu data Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, Puskesmas
Kampung Sawah dan Kelurahan Sawah Lama.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Demam Berdarah Dengue (DBD)
1. Pengertian Demam Berdarah Dengue
Demam Berdarah Dengue (Dengue Haemorraghic Fever) merupakan
penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis
demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam,
limfadenopati, diatesis hemoragik dan perembesan plasma yang ditandai oleh
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga
tubuh, (Nisa, 2007).
2. Etiologi DBD
Virus dengue memiliki 4 tipe virus penyebab DBD, yaitu: DEN-1,
DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Tiap virus dapat dibedakan melalui isolasi virus
di laboratorium. Infeksi oleh satu tipe virus dengue akan memberikan
imunitas yang menetap terhadap infeksi virus yang sama pada masa yang akan
datang. Namun hanya memberikan imunitas sementara dan parsial terhadap
infeksi tipe virus lainnya, (Ginanjar, 2008).
Virus yang ditularkan pada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypti memerlukan 8-10 hari untuk menyelesaikan masa inkubasi ekstrinsik
dari lambung sampai kelenjar ludah nyamuk tersebut. Sebelum demam
13
muncul pada penderita, virus ini sudah terlebih dulu berada dalam darah 1-2
hari. Setelahnya penderita berada dalam kondisi virenia selama 4-7 hari,
(Ginanjar, 2008).
3. Gejala Klinis
Gejala klinis yang mungkin timbul pasca-infeksi virus dengue sangat
beragam, mulai dari demam tidak spesifik (sindrom infeksi demam virus),
demam dengue, demam berdarah dengue (DBD), hingga yang terberat yaitu
sindrom syok dengue, (Ginanjar, 2008).
Pada penderita penyakit DBD dapat ditemukan gejala-gejala klinis dan
laboratoris, sebagai berikut, (Tumbelaka, 2004):
a. Kriteria Klinis
1) Demam tinggi yang berlangsung dalam waktu singkat, antara 2-7 hari,
yang dapat mencapai 40oC. Demam sering disertai gejala tidak
spesifik, seperti tidak nafsu makan (anoreksia), lemah badan
(malaise), nyeri sendi dan tulang serta rasa sakit di daerah bola mata
(retro orbita) dan wajah yang kemerah-merahan (flusing).
2) Tanda-tanda perdarahan seperti mimisan (epistaksis), perdarahan gusi,
perdarahan pada kulit seperti tes Rumpeleede (+), ptekiae dan
ekimosis, serta buang air besar berdarah berwarna merah kehitaman
(melena).
3) Pembesaran organ hati (hepatomegali).
14
4) Kegagalan sirkulasi darah yang ditandai dengan denyut nadi yang
teraba lemah dan cepat, ujung-ujung jari terasa dingin serta dapat
disertai penurunan kesadaran dan renjatan (syok) yang dapat
menyebabkan kematian.
b. Kriteria Laboratoris
Diagnosis penyakit DBD ditegakkan berdasarkan adanya dua
kriteria klinis atau lebih, ditambah dengan adanya minimal satu kriteria
laboratoris. Kriteria laboratoris meliputi:
1) Penurunan jumlah trombosit (trombositopenia) ≤ 100.000/mm3.
2) Peningkatan kadar hematokrit >20% dari normal.
c. Derajat Keparahan/Besar Penyakit DBD
Derajat keparahan penyakit DBD berbeda-beda menurut tingkat
keparahannya. Tingkat keparahan penyakit DBD terbagi menjadi:
1) Derajat 1 : badan panas selama 5-7 hari, gejala umum tidak khas.
2) Derajat 2 : seperti derajat 1, disertai pendarahan spontan pada
kulit berupa ptekiae dan ekimosis, mimisan (epistaksis), muntah darah
(hematemesis), buang air besar berdarah berwarna merah kehitaman
(melena), perdarahan gusi, perdarahan rahim (uterus), telinga dan
sebagainya.
15
3) Derajat 3 : ada tanda-tanda kegagalan sirkulasi darah, seperti
denyut nadi teraba lemah dan cepat (>120x/menit), tekanan nadi
(selisih antara tekanan darah sistolik dan diastolik) menyempit (<20
mmHg). DBD derajat 3 merupakan peringatan awal yang mengarah
pada terjadinya renjatan (syok).
4) Derajat 4 : denyut nadi tidak teraba, tekanan darah tidak terukur,
denyut jantung >140x/menit, ujung-ujung jari kaki dan tangan terasa
dingin, tubuh berkeringat, kulit membiru. DBD derajat 4 merupakan
manifestasi syok, yang sering kali berakhir dengan kematian.
4. Epidemiologi DBD
a. Distribusi penyakit DBD menurut orang
Menurut WHO (1998), DBD dapat menyerang semua umur
walaupun sampai sampai saat ini DBD lebih banyak menyerang anak-anak
tetapi dalam dekade terakhir DBD terlihat kecendrungan kenaikan
proporsi pada kelompok dewasa, karena pada kelompok umur ini
mempunyai mobilitas yang tinggi dan sejalan dengan perkembangan
transportasi yang lancar, sehingga memungkinkan tertularnya virus
dengue lebih besar.
Pada awal epidemi, jenis kelamin pernah ditemukan perbedaan
nyata antara anak laki-laki dan perempuan. Beberapa negara melaporkan
banyak kelompok wanita dengan Dengue Shock Syndrome (DSS)
16
menunjukkan angka kematian yang tinggi daripada laki-laki. Singapura
dan Malaysia pernah mencatat adanya perbedaan angka kejadian infeksi di
antara kelompok etnik. Penduduk Cina banyak terserang DBD dari pada
yang lain (Soegijanto, 2003).
b. Distribusi penyakit DBD menurut tempat
Penyakit DBD dapat menyebar pada semua tempat kecuali tempat-
tempat dengan ketinggian 1000 meter dari permukaan laut karena pada
tempat yang tinggi dengan suhu yang rendah siklus perkembangan Aedes
aegypti tidak sempurna, (Depkes RI, 2007).
Depkes (2005), menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 30 tahun
sejak ditemukan virus dengue di Surabaya dan Jakarta, baik dalam jumlah
penderita maupun daerah penyebaran penyakit meningkat pesat. Hingga
saat ini DBD telah ditemukan di seluruh provinsi di Indonesia dan 200
kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa dengan IR meningkat
dari 0,005 per 100.000 penduduk pada tahun 1968 menjadi 6-27 per
100.000 penduduk pada tahun 2004.
Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang
terjangkit disebablan karena semakin baiknya sarana transportasi, adanya
pemukiman baru dan terdapatnya vektor nyamuk hamper di seluruh
wilayah di Indonesia (Depkes RI, 2003).
17
c. Distribusi penyakit DBD menurut waktu
Menurut Djunaedi (2006), menyebutkan bahwa epidemi DBD di
negara-negara 4 musim, berlangsung pada musim panas walaupun
ditemukan kasus DBD yang sporadis pada musim dingin. Negara-negara
kawasan Asia Tenggara, epidemik DBD terutama terjadi pada musim
hujan. Epidemi DBD yang berlangsung pada musim hujan, erat kaitannya
dengan kelembaban yang tinggi pada musim hujan. Kelembaban yang
tinggi merupakan lingkungan yang optimal bagi masa inkubasi (dapat
mempersingkat masa inkubasi) dan juga dapat meningkatkan aktivitas
vektor penular virus DBD.
B. Vektor Penular
1. Morfologi Nyamuk Aedes Aegypti
Nyamuk Aedes aegypti betina dewasa memiliki tubuh berwarna hitam
kecoklatan. Ukuran tubuh nyamuk Aedes aegypti betina antara 3-4 cm dengan
mengabaikan panjang kakinya. Tubuh dan tungkainya ditutupi sisik dengan
garis-garis putih keperakan. Di bagian dorsal (punggung) tubuhnya tampak
dua garis melengkung vertikal di bagian kiri dan kanan yang menjadi ciri dari
nyamuk Aedes aegypti, (Ginanjar, 2008).
Sisik pada tubuh nyamuk pada umumnya mudah rontok dan terlepas
sehingga menyulitkan identifikasi pada nyamuk-nyamuk tua. Ukuran dan
warna nyamuk Aedes aegypti kerap berbeda antarpopulasi, tergantung pada
18
kondisi lingkungan dan nutrisi yang diperoleh nyamuk selama perkembangan,
(Ginanjar, 2008).
Dalam hal ukuran nyamuk jantan dan betina tidak memiliki perbedaan
nyata. Biasanya, nyamuk jantan memiliki tubuh lebih kecil dari pada betina
dan terdapat rambut-rambut tebal pada antena nyamuk jantan. Kedua ciri ini
dapat diamati dengan mata telanjang, (Ginanjar, 2008).
2. Siklus Hidup Nyamuk Aedes Aegypti
Nyamuk termasuk hewan yang bermetamorfosis sempurna atau
holometabola. Masa pertumbuhan dan perkembangbiakan nyamuk Aedes
aegypti dibagi menjadi empat tahap, yaitu telur, larva, pupa dan nyamuk
dewasa, (Soegijanto, 2006).
a. Stadium Telur
Telur nyamuk Aedes aegypti berbentuk elips atau oval memanjang,
berwarna hitam, berukuran 0,5-0,8 mm, tidak memiliki alat pelampung
dan terpisah satu dengan yang lain. Nyamuk Aedes aegypti meletakkan
telur pada permukaan air bersih secara individual dan meletakkan telur-
telurnya satu per satu pada permukaan air, biasanya pada tepi air di
kontainer/tempat penampungan air (TPA) bersih dan sedikit di atas
permukaan air. Setiap hari nyamuk Aedes aegypti betina dapat bertelur
rata-rata 100 butir apabila telah menghisap darah manusia. Telur pada
19
tempat kering (tanpa air) dapat bertahan hingga 6 bulan. Telur-telur
menetas dalam satu sampai dua hari menjadi larva/jentik, (Herms, 2006).
b. Stadium Larva
Larva nyamuk Aedes aegypti mempunyai ciri khas yakni memiliki
siphon yang pendek, besar dan berwarna hitam. Tubuh larva ini langsing,
bergerak sangat lincah, bersifat fototaksis negatif dan pada waktu istirahat
membentuk sudut hampir tegak lurus dengan permukaan air. Larva
menuju ke permukaan air dalam waktu kira-kira setiap ½-1 menit, guna
mendapatkan oksigen untuk bernapas. Larva nyamuk Aedes aegypti dapat
berkembang selama 6-8 hari, (Herms, 2006).
Larva sangat membutuhkan air yang cukup untuk
perkembangannya. Kondisi larva saat berkembang dapat memengaruhi
kondisi nyamuk dewasa yang dihasilkan. Contohnya, populasi larva yang
melebihi ketersediaan makanan akan menghasilkan nyamuk dewasa yang
cenderung lebih rakus dalam menghisap darah, (Ginanjar, 2008).
Menurut Depkes RI (2005) terdapat empat tahapan pada
perkembangan larva yang disebut instar. Pertumbuhan larva tersebut yaitu:
1) Instar I : berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm
2) Instar II : 2,5-3,8 mm
3) Instar III : lebih besar sedikit dari larva instar II
4) Instar IV : berukuran paling besar, yaitu 5 mm
20
Perkembangan dari instar satu ke instar empat memerlukan waktu
sekitar lima hari. Setelah mencapai instar keempat, larva berubah menjadi
pupa dimana larva memasuki masa dorman (inaktif/tidur), (Ginanjar,
2008).
c. Stadium Pupa
Pupa nyamuk Aedes aegypti mempunyai bentuk bengkok dengan
bagian kepala dada (cephalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan
bagian perutnya sehingga tampak seperti tanda baca „koma‟. Tahap pupa
pada nyamuk Aedes aegypti umumnya berlangsung selama 2-4 hari. Pupa
akan naik ke permukaan dan berbaring sejajar dengan permukaan air saat
nyamuk dewasa akan melengkapi perkembangannya dalam cangkang
pupa untuk persiapan munculnya nyamuk dewasa, (Achmadi, 2011).
d. Nyamuk Dewasa
Nyamuk dewasa yang baru muncul akan beristirahat untuk periode
singkat di atas permukaan air agar sayap-sayap dan badan mereka kering
dan menguat sebelum akhirnya dapat terbang. Nyamuk jantan dan betina
muncul dengan perbandingan jumlah 1:1. Nyamuk jantan muncul satu hari
sebelum nyamuk betina, menetap dekat tempat perkembangbiakan, makan
dari sari buah tumbuhan dan kawin dengan nyamuk betina yang muncul
kemudian. Setelah kemunculan pertama nyamuk betina makan sari buah
dan tumbuhan untuk mengisi tenaga, kemudian kawin dan menghisap
21
darah manusia. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan,
(Achmadi, 2011).
Gambar 2.1 Siklus Hidup Nyamuk
Sumber: Febrianto (2012)
3. Prilaku Nyamuk
Ada tiga tempat yang diperlukan untuk kelangsungan hidup nyamuk,
hubungan tersebut terlihat pada diagram berikut:
22
Gambar 2.2
Tempat yang Diperlukan untuk Siklus Perkembangan Nyamuk
Sumber : Sumantri (2010)
Perilaku vektor yang berhubungan dengan ketiga macam habitat
tersebut penting diketahui untuk menunjang program pemberantasan vektor,
(Sumantri, 2010).
a. Tempat Perkembangbiakan Vektor
Tempat perkembangbiakan utama nyamuk Aedes aegypti adalah
tempat penampungan air bersih di dalam atau sekitar rumah, berupa
genangan air yang tertampung di suatu tempat atau bejana seperti bak
mandi, tempayan, tempat minum burung dan barang-barang bekas yang
dibuang sembarangan yang dapat terisi air pada waktu hujan. Nyamuk
Aedes aegypti tidak dapat berkembangbiak pada genangan air yang
berhubungan langsung dengan tanah, (Depkes RI, 2005).
Pernyataan ini diperkuat dengan penelitian Nelson (1976), bahwa
tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti di Jakarta sebagian besar
terletak di rumah. Sedangkan penelitian Chan (1971) 95% tempat
Tempat untuk
mencari makan
Tempat untuk
berkembang biak
Tempat untuk
istirahat
Environment
23
perindukan Aedes aegypti adalah di rumah. Serta penelitian Suzuki (1976),
menunjukkan bahwa 70% bejana penyimpanan air di dalam rumah
merupakan tempat berkembangbiaknya Aedes aegypti.
Menurut Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan (2005), jenis tempat perkembangbiakan nyamuk
Aedes aegypti dapat dikelompokkan menjadi:
1) Tempat penampunga air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti:
drum, tangki reservoir, bak mandi/wc, tempayan dan ember.
2) Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari (non
TPA), seperti tempat minum burung, vas bunga, perangkap semut dan
barang-barang bekas (ban, botol, kaleng, dan lain-lain).
3) Tempat penampungan air alamiah, seperti: lubang pohon, lubang batu,
potongan bambu dan lain-lain.
b. Tempat Mencari Makan Vektor
Nyamuk Aedes aegypti memiliki kebiasaan yang disebut dengan
endophagic, artinya golongan nyamuk yang lebih senang mencari makan
di dalam rumah, (Sumantri, 2010). Selain itu nyamuk Aedes aegypti
bersifat diurnal, yakni aktif pada pagi dan sore hari, biasanya pada jam
09.00-10.00 dan 16.00-17.00 (Ginanjar, 2008). Berdasarkan data Depkes
RI (2004), nyamuk betina membutuhkan protein untuk memproduksi
telurnya. Oleh karena itu, setelah kawin nyamuk betina memerlukan
24
darah untuk pemenuhan kebutuhan proteinnnya. Nyamuk betina
menghisap darah manusia setiap 2-3 hari sekali. Untuk mendapatkan
darah yang cukup, nyamuk betina sering menggigit lebih dari satu orang.
Posisi menghisap darah nyamuk Aedes aegypti sejajar dengan permukaan
kulit manusia. Jarak terbang nyamuk ini sekitar 100 meter.
c. Tempat Istirahat Vektor
Setelah selesai menghisap darah, nyamuk betina akan beristirahat
sekitar 2-3 hari untuk mematangkan telurnya. Nyamuk Aedes aegypti
hidup domestik, artinya lebih menyukai tinggal di dalam rumah daripada
di luar rumah. Tempat-tempat yang lembab dan kurang terang seperti
kamar mandi, dapur dan WC adalah tempat-tempat beristirahat yang
disenangi nyamuk. Di dalam rumah nyamuk ini beristirahat di baju-baju
yang digantung, kelambu dan tirai. Sedangkan di luar rumah nyamuk ini
beristirahat pada tanaman-tanaman yang ada di luar rumah, (Depkes RI,
2004).
C. Pengendalian Vektor DBD
1. Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD)
Salah satu program pemerintah Republik Indonesia untuk mengontrol
keberadaan vektor DBD dikenal dengan istilah Pemberantasan Sarang
Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD). Indikator keberhasilan PSN
25
DBD dapat diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ). Jika ABJ lebih atau
sama dengan 95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi.
Apabila kegiatan PSN DBD dilaksanakan oleh seluruh masyarakat, maka
populasi nyamuk Aedes aegypti dapat ditekan sehingga penyakit DBD tidak
terjadi lagi. Oleh karena itu, upaya penyuluhan dan motivasi kepada
masyarakat harus dilakukan secara terus-menurus karena keberadaan jentik
nyamuk berkaitan erat dengan prilaku masyarakat, (Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2005).
PSN DBD dalam program kesehatan dikenal dengan istilah 3M.
Pelaksanaan 3M meliputi, (WHO, 2009):
a. Menguras tempat-tempat penampungan air seperti bak mandi, bak WC
dan lain-lain.
Praktek ini merupakan banyaknya jumlah pengurasan yang dilaku-
kan oleh masyarakat dalam 1 minggu. Dikatakan baik adalah jika
responden menguras lebih atau sama dengan 1 kali per minggu (≥ 1x
minggu), dan tidak baik jika melakukan pengurasan kurang dari 1 kali per
minggu (< 1x minggu), (Rahman, 2012).
b. Menutup rapat tempat-tempat penampungan air, seperti tong, gendi, drum
maupun yang lainnya yang ada di luar maupun di dalam rumah.
Praktek ini merupakan prilaku masyarakat yang memperlakukan
tempat penampungan air dengan baik, yaitu dengan memberikan tutup
26
pada tempat penampungan air sehingga nyamuk tidak dapat berkem-
bangbiak di dalamnya, (Rahman, 2012).
c. Mengubur, memusnahkan atau menyingkirkan barang-barang bekas yang
dapat menampung air seperti kaleng bekas dan plastik bekas.
Praktek ini merupakan kebiasaan masyarakat dalam
memperlakukan sampah rumah tangga ataupun barang bekas yang ada
disekitar rumahnya seperti plastik, kaleng bekas, pecahan kaca, ember
bekas dan lainnya yang memungkinkan menjadi tempat berkem-
bangbiakkan nyamuk dengan cara dikubur, (Rahman, 2012).
Kegiatan diatas dapat menjadikan tempat perindukan nyamuk Aedes
aegypti tidak ada, sehingga dapat memutus mata rantai perkembangbiakan
nyamuk. Selain kegiatan 3M, kegiatan PSN DBD ditambah dengan tindakan
plus yaitu:
a. Mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat
lainnya yang sejenis seminggu sekali
b. Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak
c. Menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon dan lain-lain, seperti
dengan tanah
d. Menaburkan bubuk larvasida, misalnya pada tempat-tempat yang sulit
dikuras atau di daerah yang sulit air
e. Memasang kawat kasa
f. Memelihara ikan pemakan jentik di kolam/bak-bak penampungan air
27
g. Menghindari kebiasaan menggantung pakaian
h. Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai
i. Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk
j. Menggunakan kelambu
Berdasarkan penelitian Ayubi dan Hasan (2007), menemukan bahwa
ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan melakukan PSN DBD dengan
kejadian DBD di Kota Bandar Lampung. Individu yang tidak melakukan dan
melakukan 1M (menguras atau menutup atau mengubur saja) berisiko 2,22
kali dan 5,85 kali lebih besar untuk menderita DBD dari pada yang melakukan
PSN (2M atau 3M). Selain itu, penelitian Setyobudi (2011) menunjukkan
bahwa partisipasi PSN memiliki hubungan yang bermakna dengan keberadaan
jentik nyamuk dengan nilai p = 0,0001.
2. Pengendalian secara Kimia
Pengendalian secara kimiawi masih paling sering digunakan baik bagi
program pengendalian DBD dan masyarakat. Penggunaan insektisida dalam
pengendalian vektor DBD bisa menguntungkan sekaligus merugikan.
Insektisida jika digunakan secara tepat sasaran, tepat dosis, tepat waktu dan
cakupan akan mampu mengendalikan vektor dan mengurangi dampak negatif
terhadap lingkungan dan organisme yang bukan sasaran. Penggunaan
insektisida dalam jangka tertentu secara akan menimbulkan resistensi vektor.
28
Insektisida untuk pengendalian DBD harus digunakan dengan bijak dan
merupakan media yang ampuh untuk pengendalian vektor, (Sukowati, 2010).
3. Pengendalian secara Biologi
Pengendalian secara biologis merupakan upaya pemanfaatan agent
biologi untuk pengendalian vektor DBD. Beberapa agen biologis yang sudah
digunakan dan terbukti mampu mengendalikan populasi larva vektor DBD
adalah dari kelompok bakteri, predator seperti ikan pemakan jentik dan cyclop
(Copepoda), (Sukowati, 2010).
4. Manajemen Lingkungan
Manajemen lingkungan adalah upaya pengelolaan lingkungan untuk
mengurangi bahkan menghilangkan habitat perkembangbiakan nyamuk vektor
sehingga akan mengurangi kepadatan populasi. Manajemen lingkungan hanya
akan berhasil dengan baik kalau dilakukan oleh masyarakat, lintas sektor, para
pemegang kebijakan dan lembaga swadaya masyarakat melalui program
kemitraan, (Sukowati, 2010).
a. Predator
Cukup banyak predator larva di alam, namun yang bisa digunakan
untuk pengendalian larva vektor DBD tidak banyak jenisnya dan yang
paling mudah didapat dan dikembangkan masyarakat serta murah adalah
ikan pemakan jentik. Ada beberapa ikan yang berkembang biak secara
29
alami dan biasa digunakan di Indonesia adalah ikan kepala timah dan ikan
cetul. Namun ikan pemakan jentik yang terbukti efektif dan telah
digunakan untuk pengendalian larva DBD adalah ikan cupang. Meskipun
terbukti efektif untuk pengendalian larva Aedes aegypti, namun sampai
sekarang belum digunakan oleh masyarakat secara luas dan
berkesinambungan.
Jenis predator lainnya yang dalam penelitian terbukti mampu
mengendalikan larva DBD adalah dari kelompok Copepoda atau cyclops,
jenis ini merupakan jenis Crustacea dengan ukuran mikro. Beberapa
spesies sudah diuji coba dan efektif, antara lain Mesocyclops aspericornis
diuji coba di Vietnam, Tahiti dan juga di Balai Besar Penelitian Vektor
dan Reservoir, Salatiga. Peran Copepoda dalam pengendalian larva DBD
masih harus diuji coba lebih rinci ditingkat operasional.
b. Bakteri
Kelompok bakteri merupakan agen biologis yang sudah dibuat
secara komersial dan digunakan untuk larvasidasi dan efektif untuk
pengendalian larva vektor. Dua spesies bakteri yang sporanya
mengandung endotoksin dan mampu membunuh larva adalah Bacillus
thuringiensis serotype H-14 (Bt. H-14) dan B. spaericus (BS). Endotoksin
merupakan racun perut bagi larva, sehingga spora harus masuk ke dalam
saluran pencernaan larva. Keunggulan agent biologis ini tidak mempunyai
30
pengaruh negatif terhadap lingkungan dan organisme bukan sasaran.
Kelemahan cara ini harus dilakukan secara berulang dan sampai sekarang
masih harus disediakan oleh pemerintah melalui sektor kesehatan. Karena
endotoksin berada di dalam spora bakteri, bilamana spora telah
berkecambah maka agent tersebut tidak efektif lagi.
5. Kepadatan Vektor
Menurut WHO-South East Region (2010), kepadatan vektor DBD
dapat diketahui dengan melakukan surveilans nyamuk Aedes aegypti.
Kegiatan ini dapat memperoleh distribusi, kepadatan vektor, habitat utama
vektor serta faktor resiko lainnya seperti tempat dan waktu yang berhubungan
dengan transmisi virus dengue dan level insektisida yang rentan atau resisten
untuk menentukan wilayah dan musim yang menjadi prioritas kegiatan
pengendalian vektor.
Suatu metode yang digunakan untuk mendeteksi dan memonitoring
populasi larva nyamuk yaitu dengan melakukan metode survey larva atau
jentik. Metode ini paling sering digunakan dibandingkan dengan metode
survei telur maupun nyamuk dewasa karena lebih praktis dibandingkan
metode lainnya. Tempat pengambilan sampelnya adalah rumah atau tempat
yang dilakukan penyelidikan tempat penampungan air atau kontainer vektor
(WHO-South East Region, 2010). Menurut Direktorat Jenderal Pengendalian
31
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (2005) pemeriksaan jentik dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
a. Memeriksa keberadaan jentik nyamuk pada semua TPA atau kontainer di
rumah tangga yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk
Aedes aegypti. Pemeriksaan dilakukan dengan mata telanjang.
b. Pemeriksaan pada TPA yang berukuran besar (bak mandi, drum dan lain-
lain), jika pada pandangan pertama tidak menemukan jentik maka tunggu
kira-kira ½ - 1 menit untuk memastikan bahwa jentik benar-benar tidak
ada.
c. Pemeriksaan pada TPA berukuran kecil (vas bunga, air tampungan kulkas,
tempat minum burung dan lain-lain), airnya harus dipindahkan dahulu ke
tempat lain.
d. Pemeriksaan pada tempat yang agak gelap atau airnya keruh dapat
menggunakan senter.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan (2005), menyebutkan bahwa terdapat 2 metode yang digunakan
pada survei jentik, yaitu:
a. Single larva, dimana dilakukan dengan mengambil satu jentik di setiap
tempat genangan air yang ditemukan jentik untuk diidentifikasi lebih
lanjut.
b. Visual, cukup dengan melihat ada atau tidaknya jentik di setiap tempat
genangan air tanpa mengambil jentiknya.
32
Ukuran-ukuran yang digunakan untuk mengetahui kepadatan larva
Aedes aegypti yaitu (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, 2005):
a. Angka Bebas jentik (ABJ)
X 100%
Angka bebas jentik yang tergolong aman yaitu lebih dari sama
dengan 95%.
b. House index (HI)
X 100%
House index yang dianggap aman untuk penularan penyakit DBD
adalah kurang dari 5 %.
c. Container Index (CI)
X 100%
Container index menyediakan informasi mengenai proporsi
kontainer atau tempat penampungan air yang positif jentik.
d. Breateau Index (BI)
X 100%
Breateau index menentukan hubungan antara kontainer positif
jentik dalam rumah dan ukuran ini merupakan yang paling informatif,
namun tetap tidak dapat mengetahui produktivitas dari kontainer.
33
D. Patogenesis Penyakit Berbasis Lingkungan
Menurut Achmadi (2011), hubungan interaktif antara manusia dan
perilakunya serta komponen lingkungan yang memiliki potensi penyakit akan
menghasilkan kejadian penyakit, dengan kata lain kejadian penyakit hanya
dipengaruhi oleh variabel-variabel kependudukan dan variabel lingkungan.
Patogenensis penyakit dalam prespektif lingkungan dan kependudukan
digambarkan dalam teori simpul, (Achmadi, 2008) berikut:
Bagan 2.1
Patogenesis Penyakit Dalam Perspektif Lingkungan Dan Kependudukan
Sumber : (Achmadi, 2011)
Simpul 1
Sumber
Penyakit
Simpul 2
Media Transmisi
1. Air
2. Udara
3. Vektor
4. Makanan
Simpul 3
Kependudukan
1. Umur
2. Gizi
3. Pengetahuan
4. Pendidikan
5. Sosial dan
Ekonomi
6. Perilaku
kesehatan
7. dll
Simpul 4
Sakit/Sehat
Simpul 5
Lingkungan, topografi, suhu, iklim, dll
34
Berdarkan bagan diatas, proses kejadian suatu penyakit diuraikan pada 5
simpul, yakni:
1. Simpul 1, yaitu sumber penyakit.
2. Simpul 2, yaitu Komponen lingkungan yang merupakan media transmisi
penyakit.
3. Simpul 3, yaitu penduduk dengan berbagai variabel kependudukan seperti
pendidikan, perilaku, gizi, dan lain-lain.
4. Simpul 4, yaitu penduduk dengan keadaan sehat atau sakit.
5. Simpul 5, yaitu semua variabel yang memiliki pengaruh terhadap keempat
simpul tersebut, seperti lingkungan, iklim, topografi, dan lain-lain.
E. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keberadaan Jentik Aedes aegypti
1. Faktor Individu (Perilaku)
Para ahli psikologi pendidikan dalam Notoatmodjo (2007), perilaku
dibagi menjadi perilaku dalam bentuk operasional menjadi:
1) Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan yaitu dengan diketahuinya situasi atau ransangan dari
luar. Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan adalah pengindraan
terhadap suatu objek yang dilakukan oleh seseorang, hasilnya seseorang itu
tahu terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan manusia terjadi melalui
panca indra manusia, yaitu indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa
dan raba.
35
Pengetahuan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dimana pengetahuan
kesehatan akan berpengaruh pada perilaku sebagai hasil jangka menengah
dari pendidikan kesehatan, perilaku kesehatan akan berpengaruh pada
peningkatan indikator kesehatan masyarakat sebagai hasil dari pendidikan,
(Notoatmodjo, 2003). Prilaku yang didasarkan pada pengetahuan akan lebih
bertahan daripada yang tidak didasarkan pada pengetahuan, (Notoatmodjo,
2007).
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau
angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek
penelitian atau responden (Notoadmodjo, 2007). Pengukuran pengetahuan
menurut Notoatmodjo (2003) dapat dikategorikan menjadi:
a) Baik, apabila subjek mampu menjawab dengan benar 76-100% dari
semua pertanyaan.
b) Cukup, apabila subjek mampu menjawab dengan benar 60-75% dari
semua pertanyaan.
c) Buruk, apabila subjek mampu menjawab pertanyaan benar < 60% dari
semua pertanyaan.
Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, seperti penelitian
Benthem, (2002), seseorang yang memiliki pengetahuan baik mengenai
penyakit DBD akan melakukan upaya pencegahan penyakit DBD
dibandingkan orang yang tidak memiliki pengetahuan. Sejalan dengan
penelitian Hairi, (2003), pengetahuan yang baik mengenai DBD memiliki
36
hubungan yang signifikan (p = 0,047) dengan sikap seseorang terkait
pengontrolan nyamuk Aedes aegypti.
Berbeda dengan penelitian Santoso, (2008), pengetahuan tidak
memiliki hubungan dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di
rumah dengan p value 0,40. Sejalan dengan penelitian Nugrahaningsih
(2010), bahwa pengetahuan tidak berhubungan dengan keberadaan larva
nyamuk Aedes aegypti di wilayah kerja Puskesmas Kuta Utara. Penelitian
Suyasa (2008), yang juga menunjukkan tidak ada hubungan antara
pengetahuan dengan keberadaan vektor DBD di wilayah kerja Puskesmas I
Denpasar Selatan.
2) Sikap
Sikap yaitu tanggapan bathin terhadap keadaan atau ransangan dari
luar diri subjek atau kecendrungan untuk berespon (secara positif dan
negatif) terhadap orang banyak, objek dan situasi tertentu. Menurut
Notoatmodjo (2007), sikap adalah suatu stimulus atau objek yang diterima
seseorang yang digambarkan melalui reaksi atau respons seseorang yang
masih tertutup. Sikap tidak dapat langsung terlihat tetapi hanya dapat
diartikan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap menunjukkan
konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu secara nyata.
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak
langsung. Secara langsung dapat dinyatakan bagaimana pendapat atau
37
pernyataan responden terhadap suatu objek yang bersangkutan. Pengukuran
secara langsung juga dapat dilakukan dengan cara memberikan pendapat
dengan menggunakan kata “setuju” atau “tidak setuju” terhadap pertanyaan-
pertanyaan terhadap objek tertentu.
Beberapa penelitian sebelumnya, seperti penelitian Nugrahaningsih
(2010) menunjukkan bahwa sikap dan keberadaan larva nyamuk Aedes
aegypti mempunyai hubungan yang signifikan. Menurut Fathi (2005),
semakin kurang sikap seseorang atau masyarakat terhadap penanggulangan
dan pencegahan penyakit DBD maka akan semakin besar kemungkinan
timbulnya kejadian luar biasa (KLB) DBD.
Sikap baik responden terhadap upaya pemberantasan sarang nyamuk
(PSN) berupa gerakan 3M perlu diikuti dengan tindakan/praktek yang nyata.
Sikap yang mau berperan dan terlibat aktif dalam upaya pemberantasan
sarang nyamuk akan sangat berpengaruh dalam tindakan dan upaya
penanggulangan dan pencegahan penyakit DBD, (Nugrahaningsih, 2010).
3) Tindakan
Tindakan/praktik (practice), sudah konkrit berupa perbuatan terhadap
situasi dan ransangan dari luar. Dalam penelitian ini tindakan yang dimaksud
adalah kegiatan PSN DBD yang dinyatakan oleh WHO (2009). Menurut
Notoatmodjo (2007), tindakan belum tentu terlaksana dalam suatu sikap.
Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu tindakan yang nyata diperlukan
38
faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan. Faktor pendukung
tersebut seperti fasilitas, dukungan dari pihak lain (support).
Pengukuran tindakan secara tidak langsung dapat dilakukan dengan
wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam,
hari, atau bulan yang lalu (recall). Sedangkan pengukuran secara langsung
dapat dilakukan dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.
Penelitian Suyasa (2008), menunjukkan bahwa terdapat hubungan
antara tindakan responden dengan keberadaan vektor DBD di wilayah kerja
Puskesmas I Denpasar Selatan. Penelitian Sumekar (2007) dalam Suyasa
(2008) juga menunjukkan bahwa ada hubungan antara pelaksanaan PSN
dengan keberadaan jentik DBD.
Penelitian Nugrahaningsih (2010), menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara tindakan responden dengan keberadaan larva nyamuk
Aedes aegypti. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Suroso (2003)
dan Sumekar (2007) dalam Suyasa (2008), yang menyatakan bahwa cara
yang tepat dalam pemberantasan penyakit DBD adalah dengan pelaksanaan
pemberantasan sarang nyamuk (PSN).
2. Faktor Lingkungan
a. Suhu dan Kelembaban
Menurut Michael (2006) dalam Kemenkes RI (2010), perubahan iklim
dapat menyebabkan perubahan suhu, kelembaban, curah hujan, arah udara
39
sehingga berpengaruh terhadap ekosistem daratan dan lautan serta kesehatan
terutama pada perkembangbiakan vektor penyakit seperti nyamuk Aedes dan
lainnya. Hampir sama dengan pernyataan Achmadi (2011), bahwa suhu
lingkungan dan kelembaban akan mempengaruhi bionomik nyamuk, seperti
perilaku menggigit, perilaku perkawinan, lama menetas telur dan lain
sebagainya.
Menurut Iskandar (1985) dalam Nugrahaningsih (2010), nyamuk pada
umumnya akan meletakkan telurnya pada temperatur udara sekitar 20oC-
30oC. Toleransi terhadap suhu tergantung pada spesies nyamuk. Susanna, et
al. (2011), suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk Aedes berkisar antara
25oC-27
oC dan pertumbuhan akan terhenti pada suhu kurang dari 10
oC atau
di atas 40oC.
Hasil penelitian Ririh (2005) menunjukkan tidak adanya hubungan
yang bermakna antara suhu udara dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes
aegypti di Kelurahan Wonokusumo. Sedangkan penelitian Nugrahaningsih
(2010), menunjukkan ada hubungan antara kelembaban udara dengan
keberadaan jentik nyamuk penular DBD di wilayah kerja Puskesmas Kuta
Utara. Penelitian Ririh (2005) menunjukkan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara kelembaban udara dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes
aegypti di Kelurahan Wonokusumo.
40
b. Ketersediaan Kontainer/ Tempat Penampungan Air (TPA)
Adanya keberadaan tempat penampungan air (TPA)/breeding place
akan menciptakan peluang bagi nyamuk Aedes aegypti untuk berkembang
biak. Hal ini dikarenakan sebagian besar siklus hidup nyamuk (telur, larva,
pupa) terjadi di dalam air. Nyamuk yang berkembang biak di sekitar rumah
akan lebih mudah dalam menjangkau manusia (host), dengan hal ini
keberadaan tempat penampungan air di sekitar rumah akan meningkatkan
angka kejadian DBD, (Rahman, 2012; Nugrahaningsih, 2010).
Hal ini sejalan dengan Brunkard, et al., (2004), faktor resiko yang
sangat penting pada kejadian penyakit DBD adalah keberadaan habitat larva.
Keberadaan kontainer/tempat penampungan air berpotensi untuk
perkembangbiakan vektor dalam kontak dengan manusia sebagai hospes.
Tingkat endemisitas penyakit DBD dipengaruhi oleh keberadaan larva
nyamuk Aedes aegypti pada kontainer/tempat penampungan air terutama
yang digunakan untuk kebutuhan manusia, (Barrera, et al., 2011).
Menurut Fathi (2005) keberadaan kontainer sangat berperan dalam
kepadatan vektor nyamuk Aedes aegypti karena dengan semakin banyak
kontainer akan semakin banyak pula tempat perindukan nyamuk sehingga
populasi nyamuk Aedes aegypti semakin padat. Hal ini mengakibatkan
resiko terinfeksi virus dengue akan semakin tinggi dengan periode
penyebaran yang cepat sehingga jumlah kasus DBD meningkat dengan cepat
dan dapat menimbulkan terjadinya KLB DBD.
41
Berdasarkan penelitian Nugrahaningsih (2010), menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara keberadaan kontainer dengan keberadaan larva
nyamuk Aedes aegypti. Penelitian Respati (2007), terdapat hubungan yang
bermakna antara keberadaan larva Aedes aegypti dengan kejadian penyakit
DBD.
Penelitian Setyobudi (2011), juga menunjukkan keberadaan TPA
(breeding place) memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap
keberadaan jentik nyamuk nyamuk Aedes aegypti. Begitu pula dengan
penelitian Widyanto (2007) dalam Setyobudi (2011), bahwa DBD
disebabkan oleh karena keberadaan breeding place positif jentik.
c. Ketersediaan Tutup Pada Kontainer/Tempat Penampungan Air (TPA)
Penggunaan tutup pada kontainer dengan benar memiliki dampak yang
signifikan untuk mengurangi keberadaan larva dan pupa nyamuk Aedes
aegypti dibandingkan dengan kontainer tanpa penutup, (Tsuzuki, et al.,
2009).
Penelitian Arsin (2004) mengenai faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap kejadian DBD di Kota Makasar menunjukkan bahwa keberadaan
tutup pada kontainer berhubungan dengan keberadaan vektor DBD. Dengan
adanya tutup berarti tempat hidup bagi nyamuk Aedes aegypti tidak tersedia.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Sandra (2010), menunjukkan
42
bahwa terdapat hubungan antara ketersediaan tutup pada TPA (p=0,009)
dengan kejadian DBD di Kelurahan Pabuaran Kecamatan Cibinong.
d. Jenis Kontainer
Penelitian yang dilakukan oleh Ririh (2005) di Kelurahan
Wonokusumo mengenai keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti
berdasarkan jenis kontainer, hasilnya menunjukkan bahwa tempat
perindukan nyamuk yang paling potensial untuk perkembangbiakan nyamuk
adalah TPA yang digunakan untuk keperluan sehari-hari seperti drum, bak
mandi/WC ember dan sejenisnya. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa
ada hubungan yang bermakna antara jenis kontainer dengan keberadaan
jentik nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Wonokusumo.
Penelitian Medronho, et al. (2009) di Brazil, menunjukkan bahwa
kontainer dengan persentase keberadaan larva dan pupa terbanyak
ditemukan pada kontainer yang digunakan untuk penyimpanan air (bak
mandi, drum, tanki air) dan kontainer pada barang-barang tidak terpakai atau
sampah (kaleng dan ban bekas).
Pada daerah penelitian Setyobudi (2011) menyatakan bahwa
keberadaan tempat penampungan air (TPA) paling banyak terinfeksi jentik
di daerah endemis dan non endemis DBD adalah bak mandi. Sejalan dengan
penelitian Ririh dan Anny (2005) menunjukkan bahwa ada hubungan yang
43
bermakna antara jenis kontainer dengan keberadaan larva nyamuk Aedes
aegypti.
F. Kerangka Teori
Berdasarkan teori-teori diatas, diperoleh kerangka teori sebagai berikut:
Bagan 2.2
Kerangka Teori
Modifikasi Achmadi (2011), Notoatmodjo (2007), WHO (2009),
Nugrahaningsih (2010), Arsin (2004), Ririh (2005)
Faktor Individu :
1. Perilaku
a. Pengetahuan
b. Sikap
c. Praktek menguras tempat
penampungan air
d. Praktek menyingkirkan
barang - barang bekas
e. Praktek menutup tempat
penampungan air
Keberadaan
Vektor Penular :
(Telur-Larva-Pupa-
Nyamuk
Aedes aegypti)
Faktor Lingkungan :
1. Suhu
2. Kelembaban
3. Ketersediaan TPA
4. Ketersediaan tutup TPA
5. Jenis TPA
44
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL
DAN HIPOTESIS PENELITIAN
A. Kerangka Konsep
Tidak semua faktor yang ada dalam kerangka teori diambil dan
diikutsertakan sebagai variabel pada penelitian ini. Variabel yang tidak diteliti
yaitu: suhu, kelembaban dan ketersediaan TPA, karena pada penelitian ini
diasumsikan sama. Hal ini disebabkan karena keadaan geografis antara rumah
yang satu dengan yang lain tidak jauh berbeda. Sedangkan untuk ketersediaan
TPA tidak diteliti karena setiap rumah dipastikan mempunyai tempat
penampungan air. Oleh karena pertimbangan diatas, hanya beberapa variabel
yang diteliti pada penelitian ini.
Adapun variabel-variabel yang diteliti dalam penelitian ini, yakni: variabel
dependen yaitu keberadaan larva Aedes aegypti. Keberadaan larva Aedes aegypti
menjadi dependen karena merupakan topik dan tujuan penelitian dalam penelitian
ini. Sedangkan variabel independen yakni faktor perilaku meliputi: pengetahuan,
sikap, praktek menguras tempat penampungan air, praktek menyingkirkan
barang-barang bekas dan praktek menutup tempat penampungan air, serta faktor
lingkungan meliputi: ketersediaan tutup pada TPA dan jenis TPA. Berikut bagan
kerangka konsep pada penelitian ini:
45
Bagan 3.1
Kerangka Konsep
Praktek menguras TPA
Jenis TPA
Praktek menyingkirkan barang-
barang bekas
Praktek menutup TPA
Ketersediaan tutup pada TPA
Keberadaan larva
Aedes aegypti
Sikap
Pengetahuan
46
B. Definisi Operasional
Tabel 3.1. Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
1 Keberadaan larva Aedes
aegypti
Larva nyamuk Aedes
aegypti yang ditemukan
dari hasil survai jentik
secara visual di tempat
penampungan air yang
dapat menjadi tempat
perkembangbiakan
nyamuk Aedes aegypti
baik di dalam maupun di
luar rumah responden.
Observasi Lembar
Observasi
0. Ada larva
1. Tidak ada larva
(Setyobudi, 2011;
Nugrahaningsih,
2010)
Ordinal
47
Tabel Lanjutan …
No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
2 Pengetahuan Kemampuan responden
menjawab pertanyaan
seputar DBD pada lembar
kuesioner.
Wawancara Kuesioner 0. Kurang, jika
<60% dari
total skor
1. Baik, jika ≥
60% dari total
skor
(Notoatmodjo,
2003)
Ordinal
3 Sikap Kemampuan responden
menjawab pertanyaan
terkait sikap pada lembar
kuesioner.
Wawancara Keusioner 0. Negatif, jika
total skor <
median 32
1. Positif, jika
total skor ≥
median 32
(Cut of point)
Ordinal
48
Tabel Lanjutan …
No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
4 Praktek menguras
tempat penampungan
air
Banyaknya jumlah
pengurasan yang dilakukan
oleh responden dalam 1
minggu.
Wawancara Kuesioner 1. < 1x
seminggu
2. ≥1x seminggu
(Rahman, 2012)
Ordinal
5 Praktek menyingkirkan
barang-barang bekas
Kebiasaan responden
dalam memperlakukan
sampah rumah tangga
ataupun barang bekas yang
ada disekitar rumahnya
seperti kaleng bekas,
pecahan kaca, ember bekas
dan lainnya yang
memungkinkan menjadi
tempat berkembangbiakkan
nyamuk dengan cara
menyingkirkan.
Wawancara Kuesioner 0. < 1x
seminggu
1. ≥1x seminggu
Ordinal
49
Tabel Lanjutan …
No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
6 Praktek menutup
tempat penampungan
air
Prilaku responden yang
memperlakukan tempat
penampungan air dengan
baik yaitu dengan
memberikan tutup pada
tempat penampungan air
sehingga nyamuk tidak dapat
berkembangbiak di
dalamnya.
Wawancara Kuesioner 0. Tidak
menutup
1. Menutup
(Rahman, 2012)
Ordinal
7 Ketersediaan tutup
pada kontainer/TPA
Tersedianya tutup pada
kontainer/TPA yang diteliti.
Observasi Lembar
observasi
0. Terbuka
1. Tertutup
(Setiawan, 2002)
Ordinal
50
Tabel Lanjutan …
No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
8 Jenis TPA Jenis tempat
perkembangbiakan nyamuk
Aedes aegypti menurut
Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan
tahun 2005.
Observasi Lembar
observasi
0. Tempat
penampungan
air (TPA)
untuk
keperluan
sehari-hari,
seperti: drum,
tangki
reservoir, bak
mandi/wc,
tempayan dan
ember.
Nominal
51
Tabel Lanjutan …
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
1. Tempat
penampungan
air bukan untuk
keperluan
sehari-hari
(non TPA),
seperti tempat
minum burung,
vas bunga,
perangkap
semut dan
barang-barang
bekas (ban,
botol, kaleng,
dan lain-lain).
52
Tabel Lanjutan …
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
2. Tempat
penampungan
air alamiah,
seperti: lubang
pohon, lubang
batu dan lain-
lain.
53
C. Hipotesis Penelitian
1. Ada hubungan antara pengetahuan dengan keberadaan larva Aedes aegypti
di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.
2. Ada hubungan antara sikap dengan keberadaan larva Aedes aegypti di
Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.
3. Ada hubungan antara praktek menguras tempat penampungan air dengan
keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.
4. Ada hubungan antara praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang
dapat menjadi tempat penampungan air dengan keberadaan larva Aedes
aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.
5. Ada hubungan antara praktek menutup tempat penampungan air dengan
keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.
6. Ada hubungan antara ketersediaan tutup pada TPA dengan keberadaan
larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.
7. Ada hubungan antara jenis TPA dengan keberadaan larva nyamuk Aedes
aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.
8. Adanya faktor yang memiliki hubungan yang lebih dominan yang
mempengaruhi keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan
Sawah Lama tahun 2013.
54
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan menggunakan
desain cross sectional melalui pendekatan kuantitatif. Dimana tiap variabel hanya
diobservasi dan diukur pada waktu yang bersamaan. Pendekatan ini digunakan
untuk melihat hubungan antara variabel yang satu dengan variabel lainnya,
(Notoatmodjo, 2010).
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi
Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Sawah Lama Kota Tangerang Selatan.
2. Waktu
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-Juli tahun 2013.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi Penelitian
Populasi merupakan keseluruhan objek penelitian atau objek yang
diteliti, (Notoatmodjo, 2010). Populasi pada penelitian ini adalah semua
rumah masyarakat yang berada di Kelurahan Sawah Lama, Kota Tangerang
Selatan.
55
2. Sampel
Sampel merupakan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh
populasi, (Notoatmodjo, 2010). Perhitungan jumlah sampel yang akan diambil
diperoleh dengan rumus menurut Lameshow (1997) dengan menggunakan
rumus uji hipotesis beda dua proporsi, yaitu:
[ ⁄ √ ( ) √ ( ) ( )]
( )
Keterangan :
n : Jumlah sampel minimal yang diperlukan
P1 : Proporsi variabel pada kelompok yang ditemukan larva
P2 : Proporsi variabel pada kelompok yang tidak ditemukan larva
P : Rata-rata proporsi pada populasi {(P1+P2/2)}
: Derajat kemaknaan yaitu sebesar 5%=1,96
Z1-ß : Kekuatan uji 1-ß yaitu sebesar 80%
56
Tabel 4.1
Hasil Perhitungan Sampel
Peneliti Variabel P1 P2 P OR n
Setiawan
(2002)
Ketersediaan
tutup pada
kontainer/TPA
0,668 0,304 0,486 4,63
(2,42-
8,84)
29
Setyobudi
(2011)
Ketersediaan
TPA
0.019 0.937 0,478 - 4
Setyobudi
(2011)
Perilaku PSN 0,733 0,236 0,4845 - 15
Berdasarkan hasil perhitungan dari beberapa variabel yang dilakukan,
peneliti memilih jumlah sampel yang paling besar yaitu 29 sampel. Dari hasil
tersebut, kemudian dikali 2 karena perhitungan sampel menggunakan uji beda
dua proporsi. Sehingga diperoleh total sampel sebanyak 58 sampel. Namun
untuk menghindari missing jawaban dari responden, maka peneliti
menambahkan dan membulatkan jumlah sampel penelitian menjadi 80
responden.
3. Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan quota
sampling. Quota sampling merupakan teknik untuk menentukan sampel dari
populasi yang mempunyai kriteria-kriteria tertentu sampai jumlah kuota yang
diinginkan peneliti (Kriyantono, 2012). Sedangkan responden pada penelitian
57
ini diutamakan adalah ibu rumah tangga. Ibu rumah tangga dipilih menjadi
sampel karena yang bertanggung jawab mengurus rumah tangga termasuk
masalah kebersihan rumah adalah ibu rumah tangga (Depkes RI, 1998).
D. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui metode wawancara dan observasi.
Menurut Notoatmodjo (2010), wawancara merupakan metode pengumpulan data
dimana peneliti mendapatkan informasi atau keterangan secara lisan dari
responden. Sedangkan, observasi merupakan suatu prosedur yang terencana,
meliputi melihat, mendengar dan melakukan pencatatan-pencatatan.
Penelitian ini menggunakan alat pengumpulan data berupa lembar
kuesioner, lembar observasi dan senter. Kegiatan wawancara dilakukan oleh
peneliti. Sedangkan observasi dilakukan Petugas Jumantik dan peneliti. Observasi
dilakukan menggunakan metode visual, karena Dinas Kesehatan RI dalam
melaksanakan programnya menggunakan metode ini. Pemeriksaan keberadaan
jentik dilakukan dengan cara sebagai berikut (Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2005):
1. Memeriksa keberadaan jentik nyamuk pada semua TPA atau kontainer di
rumah tangga yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk
Aedes aegypti. Pemeriksaan dilakukan dengan mata telanjang.
58
2. Pemeriksaan pada TPA yang berukuran besar (bak mandi, drum dan lain-
lain), jika pada pandangan pertama tidak menemukan jentik maka tunggu
kira-kira ½ - 1 menit untuk memastikan bahwa jentik benar-benar tidak ada.
3. Pemeriksaan pada TPA berukuran kecil (vas bunga, air tampungan kulkas,
tempat minum burung dan lain-lain), airnya harus dipindahkan dahulu ke
tempat lain.
4. Pemeriksaan pada tempat yang agak gelap atau airnya keruh dapat
menggunakan senter.
E. Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dimana kualitas
pengumpulan data sangat ditentukan oleh kualitas instrumen atau alat pengukuran
yang digunakan peneliti. Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
adalah :
1. Lembar kuesioner untuk mengetahui pengetahuan, sikap dan perilaku 3M
responden meliputi: praktek menguras tempat penampungan air, praktek
menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat
penampungan air dan praktek menutup tempat penampungan air.
2. Lembar observasi untuk mengetahui ketersediaan tutup pada TPA dan jenis
TPA.
59
F. Jenis Data
Berdasarkan sumbernya, data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
(Amran, 2012):
1. Data primer adalah data yang dikumpulkan oleh peneliti dan diperoleh secara
langsung dari responden baik dalam bentuk wawancara dan observasi. Pada
penelitian ini meliputi: pengetahuan, sikap, praktek menguras TPA, praktek
menyingkirkan barang-barang bekas, praktek menutup TPA, ketersediaan
tutup pada TPA dan jenis TPA.
2. Data sekunder yaitu data yang bersumber dari instansi (pihak tertentu) melalui
penelusuran dokumen, data pustaka, literatur, catatan, laporan dari perusahaan
dan instansi terkait. Pada penelitian ini meliputi: data Dinas Kesehatan Kota
Tangerang Selatan, Puskesmas Kampung Sawah, Kelurahan Sawah Lama
serta literatur lainnya.
G. Pengolahan Data
Semua data yang telah terkumpul baik data primer maupun data sekunder
akan diolah melalui tahap-tahap sebagai berikut:
1. Coding Data
Data diklasifikasikan dan diberi untuk masing-masing kelas sesuai dengan
tujuan dikumpulkannya data.
60
2. Editing Data
Kegiatan penyuntingan data sebelum proses memasukkan data. Data yang
telah dikumpulkan diperiksa kelengkapannya terlebih dahulu, yaitu
kelengkapan jawaban kuesioner, konsistensi atas jawaban dan kesalahan
jawaban pada kuesioner. Data ini merupakan data input utama untuk
penelitian ini.
3. Entry Data
Proses memasukkan data ke dalam program (software) atau fasilitas analisis
data statistik. Data dimasukkan ke dalam software statistik untuk dilakukan
analisis univariat (untuk mengetahui gambaran secara umum), bivariat (untuk
mengetahui variabel yang berhubungan) dan multivariat (untuk mengetahui
variabel yang paling dominan).
4. Cleaning Data
Proses pembersihan data setelah data dientri. Hal ini dilakukan supaya data
yang telah dimasukkan tidak ada yang salah, sehingga data tersebut telah siap
untuk dianalis.
H. Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisa yang dilakukan terhadap tiap variabel dan hasil penelitian
pada umumnya. Dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi
dan persentase dari tiap variabel. Analisis univariat dalam penelitian ini untuk
61
semua variabel, meliputi hasil secara deskriptif dengan menggunakan tabel
distribusi frekuensi.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dalam penelitian ini adalah untuk menguji hipotesis
penelitian antara variabel independen dengan variabel dependen. Uji yang
digunakan yaitu Chi-Square yaitu untuk melihat hubungan antara dua variabel
yang dikategorikan secara statistik. Derajat kemaknaan 5% dan tingkat
keyakinan CI=95%. Jika p ≤ 0,05 artinya ada hubungan secara statistik antara
variabel independen dan variabel dependen, sebaliknya jika p > 0,05 artinya
tidak ada hubungan secara statistik antara variabel independen dengan
variabel dependen.
3. Analisis Multivariat
Analisis multivariat dalam penelitian ini adalah untuk melihat
hubungan antara variabel dependen dengan seluruh variabel independen
sehingga diketahui variabel independen yang paling dominan hubungannya
dengan variabel dependen. Analisis multivariat pada penelitian ini
menggunakan uji regresi logistik berganda, dimana variabel yang telah
dilakukan analisis bivariat dengan uji Chi-Square yang memiliki p < 0,25.
Hasil analisis multivariat akan didapatkan variabel independen yang paling
dominan terhadap variabel dependen yaitu yang memiliki nilai p value < 0,05.
62
BAB V
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Tempat Penelitian
Puskesmas Kampung Sawah merupakan puskesmas yang berada di
Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan. Puskesmas ini memiliki 2
Kelurahan yakni Kelurahan Sawah Lama dan Kelurahan Sawah Baru yang terdiri
dari 559 Ha dengan jumlah penduduk 47.480 jiwa. Di Kelurahan Sawah Lama
terdapat 54 RT dan 12 RW dengan luas wilayah 261 Ha sedangkan di Kelurahan
Sawah Baru terdapat 55 RT dan 9 RW dengan luas wilayah 289 Ha.
Batas wilayah kerja Puskesmas Kampung Sawah:
a. Sebelah utara : Pondok Jaya
b. Sebelah selatan : Serua Indah/Kedaung
c. Sebelah barat : Sawah Baru
d. Sebelah timur : Pondok Ranji
B. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dari
masing-masing variabel penelitian baik variabel dependen maupun variabel
independen. Hasil analisis univariat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
63
1. Gambaran Keberadaan Larva
Variabel dependen pada penelitian ini adalah keberadaan larva Aedes
aegypti pada rumah responden di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. Dimana
responden dikategorikan menjadi dua, yaitu rumah responden yang ada
ditemukan larva Aedes aegypti dan rumah responden yang tidak ditemukan
larva Aedes aegypti. Adapun gambaran responden berdasarkan ditemukannya
larva Aedes aegypti di rumahnya dapat dilihat pada tabel 5.1 dibawah ini :
Tabel 5.1
Distribusi Responden Berdasarkan
Keberadaan Larva Aedes Aegypti
Keberadaan Larva
Aedes aegypti
Jumlah Persentase (%)
Ada Larva 44 55%
Tidak Ada Larva 36 45%
Total 80 100%
Sumber : Data Primer
Berdasarkan pengumpulan data dengan observasi terhadap rumah
responden, diketahui bahwa rumah responden yang ditemukan larva Aedes
aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013 adalah sebesar 55%.
Sedangkan rumah responden yang tidak ditemukan larva Aedes aegypti di
Kelurahan Sawah Lama adalah sebesar 45%.
64
2. Gambaran Pengetahuan
Pengetahuan responden terhadap ditemukannya larva Aedes aegypti di
rumahnya dapat dilihat pada tabel 5.2 berikut ini:
Tabel 5.2
Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan
Pengetahuan Jumlah Persentase (%)
Kurang 30 37,5%
Baik 50 62,5%
Total 80 100%
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel 5.2 diatas diketahui bahwa sebagian besar responden
memiliki pengetahuan kurang yaitu sebesar 37,5%. Sedangkan responden yang
memiliki pengetahuan baik yaitu 62,5%. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang baik.
3. Gambaran Sikap
Sikap responden terhadap ditemukannya larva Aedes aegypti di rumahnya
dapat dilihat pada tabel 5.3 berikut ini:
Tabel 5.3
Distribusi Responden Berdasarkan Sikap
Sikap Jumlah %
Negatif 39 48,8%
Positif 41 51,2%
Total 80 100%
Sumber : Data Primer
65
Berdasarkan tabel 5.3 diatas diketahui bahwa sebagian besar responden
bersikap negatif yaitu sebesar 48,8%. Sedangkan responden yang bersikap
positif yaitu 51,2%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar
responden memiliki sikap yang sudah positif.
4. Gambaran Praktek Menguras Tempat Penampungan Air
Praktek menguras tempat penampungan air responden terhadap
ditemukannya larva Aedes aegypti di rumahnya dapat dilihat pada tabel 5.4
berikut ini:
Tabel 5.4
Distribusi Responden Berdasarkan
Praktek Menguras Tempat Penampungan Air
Variabel Jumlah %
<1 x seminggu 35 43,8%
≥1 x seminggu 45 56,2%
Total 80 100%
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel 5.4 diatas diketahui bahwa responden yang melakukan
praktek menguras tempat penampungan air sebanyak <1 x seminggu yaitu
sebesar 43,8%. Sedangkan responden yang melakukan praktek menguras
tempat penampungan air sebanyak ≥1 x seminggu yaitu 56,2%. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden telah melakukan
praktek menguras tempat penampungan air dengan frekuensi yang benar.
66
5. Gambaran Praktek Menyingkirkan Barang-Barang Bekas
Praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat
penampungan air responden terhadap ditemukannya larva Aedes aegypti di
rumahnya dapat dilihat pada tabel 5.5 berikut ini:
Tabel 5.5
Distribusi Responden Berdasarkan
Praktek Menyingkirkan Barang-Barang Bekas
Praktek
Menyingkirkan
Barang-Barang
Bekas
Jumlah %
<1 x seminggu 53 66,2%
≥1 x seminggu 27 33,8%
Total 80 100%
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel 5.5 diatas diketahui bahwa responden yang melakukan
praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat
penampungan air sebanyak <1 x seminggu yaitu sebesar 66,2%. Sedangkan
responden yang melakukan praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang
dapat menjadi tempat penampungan air sebanyak ≥1 x seminggu yaitu 33,8%.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden belum
melakukan praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi
tempat penampungan air dengan frekuensi yang benar.
67
6. Gambaran Praktek Menutup Tempat Penampungan Air
Praktek menutup tempat penampungan air responden terhadap
ditemukannya larva Aedes aegypti di rumahnya dapat dilihat pada tabel 5.6
berikut ini:
Tabel 5.6
Distribusi Responden Berdasarkan
Praktek Menutup Tempat Penampungan Air
Variabel Jumlah %
Tidak Menutup 63 78,8%
Menutup 17 21,2%
Total 80 100%
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel 5.6 diatas diketahui bahwa responden yang tidak
melakukan praktek menutup tempat penampungan air yaitu sebesar 78,8%.
Sedangkan responden yang melakukan praktek menutup tempat penampungan
air yaitu 21,2%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar
responden belum melakukan praktek menutup tempat penampungan air.
7. Gambaran Ketersediaan Tutup Pada TPA
Ketersediaan tutup pada tempat penampungan air responden terhadap
ditemukannya larva Aedes aegypti di rumahnya dapat dilihat pada tabel 5.7
berikut ini:
68
Tabel 5.7
Distribusi Responden Berdasarkan
Ketersediaan Tutup pada Tempat Penampungan Air
Ketersediaan
Tutup pada
TPA
Jumlah %
Tidak Ada
Tutup 57 71,2%
Ada Tutup 23 28,8%
Total 80 100%
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel 5.7 diatas diketahui bahwa responden yang tidak
memiliki tutup pada tempat penampungan air yaitu sebesar 71,2%. Sedangkan
responden yang memiliki tutup pada tempat penampungan air yaitu 28,8%.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden tidak
memiliki tutup pada tempat penampungan air.
8. Gambaran Jenis TPA
Jenis tempat penampungan air responden terhadap ditemukannya larva
Aedes aegypti di rumahnya dapat dilihat pada tabel 5.8 berikut ini:
69
Tabel 5.8
Distribusi Responden Berdasarkan
Jenis Tempat Penampungan Air
Jenis TPA Jumlah %
TPA Sehari-hari 62 77,5%
Tidak
Keperluan
Sehari-hari
18 22,5%
TPA Alamiah 0 0%
Total 80 100%
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel 5.8 diatas diketahui bahwa responden yang memiliki
tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari yaitu sebesar 77,5%,
responden yang memiliki tempat penampungan air bukan untuk keperluan
sehari-hari yaitu 22,5%, sedangkan tempat penampungan air alamiah sebesar
0%.
C. Analisis Bivariat
1. Hubungan antara Pengetahuan dengan Keberadaan Larva Aedes Aegypti
di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013
Hubungan antara pengetahuan dengan keberadaan larva Aedes aegypti
dapat dilihat pada tabel 5.9 dibawah ini:
70
Tabel 5.9
Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan dan Keberadaan Larva
Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013
Pengetahuan
Keberadaan Larva Aedes aegypti
OR (95%
CI)
P
value
Ada Tidak ada Jumlah
n % N % n %
Kurang 24 80% 6 20% 30 100% 6
(2.082 -
17.292)
0,001 Baik 20 40% 30 60% 50 100%
Total 44 55% 36 45% 80 100%
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel 5.9 diatas, dapat diketahui bahwa responden yang
memiliki pengetahuan kurang dan ditemukan larva Aedes aegypti di rumahnya
adalah sebesar 24 dari 30 responden (80%). Sedangkan responden yang
memiliki pengetahuan baik dan ditemukan larva Aedes aegypti dirumahnya
adalah sebesar 20 dari 50 responden (40%). Dari uji statistik, diperoleh bahwa
nilai probabilitas (p-value) sebesar 0,001, artinya pada alpha 5% terdapat
hubungan yang bermakna secara statistik antara pengetahuan dengan adanya
keberadaan larva Aedes aegypti.
Dari hasil uji statistik diperoleh nilai OR (Odd Ratio) = 6, artinya
responden yang memiliki pengetahuan kurang memiliki peluang 6 kali untuk
ditemukannya larva Aedes aegypti di rumahnya.
71
2. Hubungan antara Sikap dengan Keberadaan Larva Aedes Aegypti di
Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013
Hubungan antara sikap dengan keberadaan larva Aedes aegypti dapat
dilihat pada tabel 5.10 dibawah ini:
Tabel 5.10
Distribusi Responden Berdasarkan Sikap dan Keberadaan Larva
Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013
Sikap
Keberadaan Larva Aedes aegypti OR
(95%
CI)
P
value
Ada Tidak ada Jumlah
n % n % n %
Negatif 28 71,8% 11 28,2% 39 100% 3,977
(1.556 -
10.163)
0,004 Positif 16 39,0% 25 61,0% 41 100%
Total 44 55,0% 36 45,0% 80 100%
Sumber data : data primer
Berdasarkan tabel 5.10 diatas, dapat diketahui bahwa responden yang
memiliki sikap negatif dan ditemukan larva Aedes aegypti di rumahnya adalah
sebesar 28 dari 39 responden (71,8%). Sedangkan responden yang memiliki
sikap positif dan ditemukan larva Aedes aegypti dirumahnya adalah sebesar 16
dari 41 responden (39%). Dari uji statistik, diperoleh bahwa nilai probabilitas
(p-value) sebesar 0,004, artinya pada alpha 5% terdapat hubungan yang
bermakna secara statistik antara sikap dengan adanya keberadaan larva Aedes
aegypti.
72
Dari hasil uji statistik diperoleh nilai OR (Odd Ratio) = 3,977, artinya
responden yang memiliki sikap negatif memiliki peluang 3,977 kali untuk
ditemukannya larva Aedes aegypti di rumahnya.
3. Hubungan antara Praktek Menguras Tempat Penampungan Air dengan
Keberadaan Larva Aedes Aegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013
Hubungan antara praktek menguras tempat penampungan air dengan
keberadaan larva Aedes aegypti dapat dilihat pada tabel 5.11 dibawah ini:
Tabel 5.11
Distribusi Responden Berdasarkan Praktek Menguras
Tempat Penampungan Air dan Keberadaan Larva Aedes aegypti
di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013
Praktek
Menguras
TPA
Keberadaan Larva Aedes aegypti OR
(95%
CI)
P
value
Ada Tidak ada Jumlah
n % N % N %
<1xseminggu 25 71,4% 10 28,6% 35 100% 3,421
(1,333
-
8,777)
0,013 ≥1xseminggu 19 42,2% 26 57,8% 45 100%
Total 44 55% 36 45% 80 100%
Sumber data : data primer
Berdasarkan tabel 5.11 diatas, dapat diketahui bahwa responden yang
melakukan praktek menguras tempat penampungan air sebanyak <1 x seminggu
dan ditemukan larva Aedes aegypti di rumahnya adalah sebesar 25 dari 35
73
responden (71,4%). Sedangkan responden yang melakukan praktek menguras
tempat penampungan air sebanyak ≥1 x seminggu dan ditemukan larva Aedes
aegypti dirumahnya adalah sebesar 19 dari 45 responden (42,2%). Dari uji
statistik, diperoleh bahwa nilai probabilitas (p-value) sebesar 0,013, artinya
pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara praktek
menguras tempat penampungan air dengan adanya keberadaan larva Aedes
aegypti.
Dari hasil uji statistik diperoleh nilai OR (Odd Ratio) = 3,421, artinya
responden yang melakukan praktek menguras tempat penampungan air <1 x
seminggu memiliki peluang 3,421 kali untuk ditemukannya larva Aedes aegypti
di rumahnya.
4. Hubungan antara Praktek Menyingkirkan Barang-Barang Bekas dengan
Keberadaan Larva Aedes Aegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013
Hubungan antara praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat
menjadi tempat penampungan air dengan keberadaan larva Aedes aegypti dapat
dilihat pada tabel 5.12 dibawah ini:
74
Tabel 5.12
Distribusi Responden Berdasarkan Praktek Menyingkirkan Barang-
Barang Bekas dan Keberadaan Larva Aedes aegypti
di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013
Praktek
Menyingkir
kan Barang-
Barang
Bekas
Keberadaan Larva Aedes aegypti OR
(95%
CI) P
value
Ada Tidak ada Jumlah
n % n % n %
<1 x
seminggu 34 64,2% 19 35,8% 53 100%
3,042
(1,163
-
7,960)
0,032
≥1 x
seminggu 10 37% 17 63% 27 100%
Total 44 55% 36 45% 80 100%
Sumber data : data primer
Berdasarkan tabel 5.12 diatas, dapat diketahui bahwa responden yang
melakukan praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi
tempat penampungan air sebanyak <1 x seminggu dan ditemukan larva Aedes
aegypti di rumahnya adalah sebesar 34 dari 53 responden (64,2%). Sedangkan
responden yang melakukan praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang
dapat menjadi tempat penampungan air sebanyak ≥1 x seminggu dan ditemukan
larva Aedes aegypti dirumahnya adalah sebesar 10 dari 27 responden (37%).
Dari uji statistik, diperoleh bahwa nilai probabilitas (p-value) sebesar 0,032,
artinya pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara
praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat
75
penampungan air sebanyak <1 x seminggu dengan adanya keberadaan larva
Aedes aegypti.
Dari hasil uji statistik diperoleh nilai OR (Odd Ratio) = 3,042, artinya
responden yang tidak melakukan praktek menyingkirkan barang-barang bekas
yang dapat menjadi tempat penampungan air sebanyak <1 x seminggu memiliki
peluang 3,042 kali untuk ditemukannya larva Aedes aegypti di rumahnya.
5. Hubungan antara Praktek Menutup Tempat Penampungan Air dengan
Keberadaan Larva Aedes Aegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013
Hubungan antara praktek menutup tempat penampungan air dengan
keberadaan larva Aedes aegypti dapat dilihat pada tabel 5.13 dibawah ini:
Tabel 5.13
Distribusi Responden Berdasarkan Praktek Menutup
Tempat Penampungan Air dan Keberadaan Larva Aedes aegypti
di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013
Praktek
Menutup
TPA
Keberadaan Larva Aedes aegypti
P
value
Ada Tidak ada Jumlah
n % N % n %
Tidak
menutup
38 60,3% 25 39,7% 63 100%
0,099
Menutup 6 35,3% 11 64,7% 17 100%
Total 44 55% 36 45% 80 100%
Sumber data : data primer
76
Berdasarkan tabel 5.13 diatas, dapat diketahui bahwa responden yang
melakukan praktek menutup tempat penampungan air dan ditemukan larva
Aedes aegypti di rumahnya adalah sebesar 38 dari 63 responden (60,3%).
Sedangkan responden yang melakukan praktek menutup tempat penampungan
air dan ditemukan larva Aedes aegypti dirumahnya adalah sebesar 6 dari 17
responden (35,3%). Dari uji statistik, diperoleh bahwa nilai probabilitas (p-
value) sebesar 0,099, artinya pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna
secara statistik antara praktek menutup tempat penampungan air dengan adanya
keberadaan larva Aedes aegypti.
6. Hubungan antara Ketersediaan Tutup Pada Tempat Penampungan Air
dengan Keberadaan Larva Aedes Aegypti di Kelurahan Sawah Lama
Tahun 2013
Hubungan antara ketersediaan tutup pada tempat penampungan air
dengan keberadaan larva Aedes aegypti dapat dilihat pada tabel 5.14 dibawah
ini:
77
Tabel 5.14
Distribusi Responden Berdasarkan Ketersediaan Tutup pada
Tempat Penampungan Air dan Keberadaan Larva Aedes aegypti
di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013
Ketersediaan
Tutup pada
TPA
Keberadaan Larva Aedes aegypti
P
value
Ada Tidak ada Jumlah
n % n % n %
Tidak punya
tutup
30 52,6% 27 47,4% 57 100%
0,621 Punya tutup 14 60,9% 9 39,1% 23 100%
Total 44 55% 36 45% 80 100%
Sumber data : data primer
Berdasarkan tabel 5.14 diatas, dapat diketahui bahwa responden yang
tidak memiliki tutup pada tempat penampungan air dan ditemukan larva Aedes
aegypti di rumahnya adalah sebesar 30 dari 57 responden (52,6%). Sedangkan
responden yang memiliki tutup pada tempat penampungan air dan ditemukan
larva Aedes aegypti dirumahnya adalah sebesar 14 dari 23 responden (60,9%).
Dari uji statistik, diperoleh bahwa nilai probabilitas (p-value) sebesar 0,621,
artinya pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara
ketersediaan tutup pada tempat penampungan air dengan adanya keberadaan
larva Aedes aegypti.
78
7. Hubungan antara Jenis Tempat Penampungan Air dengan Keberadaan
Larva Aedes Aegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013
Hubungan antara jenis tempat penampungan air dengan keberadaan larva
Aedes aegypti dapat dilihat pada tabel 5.15 dibawah ini:
Tabel 5.15
Distribusi Responden Berdasarkan Jenis
Tempat Penampungan Air dan Keberadaan Larva Aedes aegypti
di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013
Jenis TPA
Keberadaan Larva Aedes aegypti OR
(95%
CI)
P
value Ada Tidak ada Jumlah
n % n % n %
TPA Sehari-
hari 29 46,8% 33 53,2% 62 100%
0,176
(0,046
-
0,669)
0,007
Tidak
Keperluan
Sehari-hari
15 83,3% 3 16,7% 18 100%
TPA
alamiah 0 0% 0 0% 0 0%
Total 44 55% 36 45% 80 100%
Sumber data : data primer
Berdasarkan tabel 5.15 diatas, dapat diketahui bahwa responden yang
memiliki tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari dan ditemukan
larva Aedes aegypti di rumahnya adalah sebesar 29 dari 62 responden (46,8%).
Sedangkan responden yang memiliki tempat penampungan air bukan untuk
keperluan sehari-hari dan ditemukan larva Aedes aegypti dirumahnya adalah
sebesar 15 dari 18 responden (83,3%). Untuk tempat penampungan alamiah
79
tidak ditemukan adanya larva Aedes aegypti. Dari uji statistik, diperoleh bahwa
nilai probabilitas (p-value) sebesar 0,007, artinya pada alpha 5% terdapat
hubungan yang bermakna secara statistik antara tempat penampungan air untuk
keperluan sehari-hari dengan adanya keberadaan larva Aedes aegypti.
Dari hasil uji statistik diperoleh nilai OR (Odd Ratio) = 0,176, artinya
responden yang memiliki tempat penampungan air untuk keperluan sehari-
hari memiliki peluang 0,176 kali untuk ditemukannya larva Aedes aegypti di
rumahnya.
D. Analisis Multivariat
Untuk mengetahui variabel yang paling dominan dengan keberadaan larva
nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013, perlu dilakukan
analisis multivariat dengan menggunakan uji regresi logistik berganda.
1. Pemlilihan Variabel Kandidat Analisis Multivariat
Pada penelitian ini variabel yang masuk dalam kandidat analisis
multivariat adalah variabel pengetahuan, sikap, praktek menguras tempat
penampungan air, praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat
menjadi tempat penampungan air, praktek menutup tempat penampungan air
dan jenis tempat penampungan air. Pemilihan variabel sebagai kandidat analisis
multivariat adalah variabel yang telah dilakukan analisis bivariat dan memiliki
nilai p value < 0,25. Adapun hasil analisis bivariat antara variabel independen
dengan variabel dependen dapat dilihat pada Tabel 5.16, berikut:
80
Tabel 5.16
Hasil Analisis Bivariat Antara Variabel Pengetahuan, Sikap, Praktek
Menguras Tempat Penampungan Air, Praktek Menyingkirkan Barang-
Barang Bekas yang Dapat Menjadi Tempat Penampungan Air, Praktek
Menutup Tempat Penampungan Air dan Jenis Tempat Penampungan Air
di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013
No Variabel P Value
1 Pengetahuan 0,001
2 Sikap 0,004
3 Praktek menguras tempat
penampungan air
0,013
4 Praktek menyingkirkan barang-
barang bekas yang dapat menjadi
tempat penampungan air,
0,032
5 Praktek menutup tempat
penampungan air
0,099
6 Jenis tempat penampungan air 0,007
2. Pembuatan Model Faktor Penentu Variabel yang Paling Berpengaruh
Adapun hasil dari analisis multivariat adalah didapatkannya model yang
terbaik dalam menentukan faktor penentu keberadaan larva nyamuk Aedes
aegypti di Kelurahan Sawah Lama. Dalam pemodelan ini semua variabel
kandidat dianalisis secara bertahap atau dengan metode enter. Model terbaik
akan dipertimbangkan pada variabel yang memiliki nilai p value < 0,05.
Pemilihan model dilakukan secara hirarki dengan cara semua variabel
independen yang menjadi kandidat yang memebuhi syarat dimasukkan ke
dalam model, kemudian variabel yang memiliki p value > 0,05 dikeluarkan dari
model satu-persatu. Secara keseluruhan hasil pembuatan model faktor penentu
dapat dilihat pada tabel 5.17
81
Tabel 5.17
Hasil Analisis Multivariat di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013
No. Variabel Model
1
Model
2
Model
3
1. Pengetahuan 0,004 0,003 0,003
2. Sikap 0,063 0,048 0,049
3. Praktek menguras tempat penampungan air 0, 161 0,156 -
4. Praktek menyingkirkan barang-barang
bekas yang dapat menjadi tempat
penampungan air
0,079 0,075 0,025
5. Praktek menutup tempat penampungan air 0,915 - -
6. Jenis tempat penampungan air 0,016 0,016 0,009
Hasil analisis multivariat di tabel 5.17 dapat diketahui bahwa dari 6
(enam) variabel yang masuk dalam analisis, 4 (empat) diantaranya yaitu
variabel pengetahuan, sikap, praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang
dapat menjadi tempat penampungan air dan jenis tempat penampungan air
mempunyai p value < 0,05. Hal tersebut menunjukkan bahwa keempat variabel
tersebut merupakan variabel yang mempunyai hubungan secara signifikan
dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti.
82
Tabel 5.18
Hasil Analisis Multivariat Antara Pengetahuan, Sikap, Praktek
Menyingkirkan Barang-Barang Bekas yang dapat Menjadi Tempat
Penampungan Air dan Jenis Tempat Penampungan Air
Di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013
No. Variabel B Pwald OR 95%
CI
Pvalue
1. Pengetahuan 1,918 9,140 6,807 1,963-
23,604
0,003
2. Sikap 1,115 3,887 3,050 1,007-
9,240
0,049
3. Praktek
menyingkirkan
barang-barang bekas
yang dapat menjadi
tempat penampungan
air
1,376 5,000 3,957 1,185-
13,215
0,025
4. Jenis tempat
penampungan air
-
2,046
6,746 0,129 0,028-
0,605
0,009
Constant -
3,508
10,591 0,030 –
Sedangkan jika dilihat dari koefisien B dan nilai OR pada tabel 5.18
dapat disimpulkan bahwa dari keempat variabel yang memiliki hubungan
signifikan, variabel pengetahuan merupakan variabel yang paling dominan
yang mempengaruhi keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti.
83
BAB VI
PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan penelitian,
yaitu:
1. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Desain ini tidak dapat
menjelaskan hubungan sebab akibat, hanya menjelaskan hubungan keterkaitan.
Meskipun demikian, desain ini dipilih karena paling sesuai dengan tujuan
penelitian serta efektif dari segi waktu.
2. Pemeriksaan keberadaan larva Aedes aegyipti hanya dilihat secara visual yang
mengandalkan penglihatan, tanpa pengujian seperti teknik single larva method
untuk memperkuat hasil. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan biaya dan
waktu penelitian.
3. Penelitian ini menggunakan instrumen berupa kuesioner yang disusun oleh
peneliti berdasarkan teori-teori dan pengembangan dari kuesioner penelitian
terdahulu, sehingga dapat dikatakan bahwa instrumen penelitian bukan
merupakan instrumen baku.
4. Pengumpulan data dilakukan melalui metode wawancara kepada responden
dengan menggunakan alat bantu kuesioner. Sehingga kualitas data mengenai
kebenaran, keakuratan dan kelengkapan data yang diperoleh sangat dipengaruhi
84
oleh kejujuran, keterbukaan dan pemahaman responden dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan setiap variabel.
B. Gambaran Keberadaan Larva Aedes aegypti
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) tetap ada sepanjang tahun yang
berarti keberadaan vektornya yaitu nyamuk Aedes aegypti tetap ada sepanjang
tahun (Troyo, 2008). Memutus siklus hidupnya adalah cara yang tepat dalam
mengurangi vektor DBD. DBD dapat dicegah dengan memberantas larva-larvanya
(jentik-jentik), (Depkes RI, 2005).
Survey terhadap keberadaan larva nyamuk sangat bermanfaat untuk
keperluan pemberantasan penularan DBD. Survey terhadap keberadaan larva
nyamuk dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan Angka Bebas Jentik
(ABJ) di suatu daerah. Apabila suatu daerah memiliki angka bebas jentik sama
atau lebih besar dari 95% kemungkinan terjadinya penularan penyakit DBD
berkurang, demikian juga sebaliknya, (Setyobudi, 2011).
Penelitian keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah
Lama tahun 2013 dilakukan dengan metode visual. Larva nyamuk dilihat dengan
mata telanjang sesuai dengan petunjuk Direktoral Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan (2005). Pada penelitian ini, pemeriksaan keberadaan
larva nyamuk Aedes aegypti dibantu oleh petugas jumantik. Hasil penelitian,
ditemukan bahwa 55% dari rumah responden yang diperiksa rumahnya di
85
Kelurahan Sawah Lama terdapat larva Aedes aegypti dan yang tidak ditemukan
larva Aedes Aegypti sebanyak 45%.
Angka tersebut menunjukan bahwa kepadatan nyamuk di Kelurahan Sawah
Lama termasuk kategori tinggi sehingga mempunyai risiko transmisi nyamuk yang
cukup tinggi untuk terjadi penularan penyakit DBD. Jika dihitung ABJ dari hasil
yang diperoleh diketahui bahwa ABJ di Kelurahan Sawah Lama adalah sebesar
45%. Hal ini sangat jauh dengan indikator ABJ yang telah ditetapkan oleh nasional
dan internasional (WHO), yaitu 95%.
Rendahnya nilai ABJ di Kelurahan Sawah Lama kemungkinan disebabkan
oleh wilayah Kelurahan Sawah Lama yang cukup padat penduduk dan lingkungan
yang memungkinkan untuk perkembangan siklus kehidupan nyamuk. Selain itu,
perilaku masyarakat terkait pengetahuan, sikap dan tindakan (praktek) juga sangat
berpengaruh dengan adanya keberadaan vektor penular DBD.
Berdasarkan uji statistik, dapat diketahui bahwa terdapat 5 variabel yang
memiliki hubungan yang bermakna secara statistik terhadap keberadaan larva
Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013, yaitu variabel pengetahuan,
sikap, praktek menguras tempat penampungan air, praktek menyingkirkan barang-
barang bekas dan jenis tempat penampungan air. Sedangkan 2 variabel yang tidak
memiliki hubungan yang bermakna secara statistik terhadap keberadaan larva
Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013, yaitu variabel praktek
menutup tempat penampungan air dan keberadaan tutup pada tempat
penampungan air.
86
C. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keberadaan Larva Aedes aegypti
1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep dan
pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan isinya termasuk manusia
dan kehidupannya (Keraf, 2001). Sedangkan menurut Tafsir (2004),
pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui. Manusia memiliki rasa ingin
tahu, lalu mencari, hasilnya ia tahu sesuatu. Sesuatu itulah yang dinamakan
pengetahuan.
Pengetahuan responden mengenai DBD dan vektor penyebabnya serta
faktor yang mempengaruhi keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti sangat
diperlukan untuk mencegah terjadinya penularan penyakit DBD serta menekan
perkembangan dan pertumbuhan larva nyamuk Aedes aegypti, (Ririh, 2005).
Dalam penelitian ini, untuk mengetahui tingkat pengetahuan seseorang
dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama dilakukan
dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan tentang keberadaan
larva Aedes aegypti dan seputar penyakit demam berdarah serta pencegahannya.
Informasi mengenai pengetahuan pada penelitian ini diperoleh dari hasil
jawaban pertanyaan yang diajukan kepada responden.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa responden yang memiliki
pengetahuan kurang dan ditemukan larva Aedes aegypti di rumahnya sebanyak
24 dari 30 (80%). Sedangkan responden yang memiliki pengetahuan baik dan
ditemukan larva Aedes aegypti di rumahnya sebanyak 20 dari 50 (40%).
87
Berdasarkan hasil analisis bivariat, diperoleh nilai p-value sebesar 0,001
(p-value < 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna secara statistik antara pengetahuan dengan adanya keberadaan larva
Aedes aegypti pada rumah responden di Kelurahan Sawah Lama. Dari hasil uji
statistik juga diperoleh nilai OR (odd ratio) sebesar 6, artinya responden yang
memiliki pengetahuan buruk memiliki peluang 6 kali untuk adanya keberadaan
larva Aedes aegypti di rumahnya dibandingkan dengan responden yang
memiliki pengetahuan baik.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ririh (2005), dimana
diperoleh p = 0,001 (p<0,05), berarti terdapat hubungan yang bermakna secara
statistik antara tingkat pengetahuan responden dengan keberadaan jentik Aedes
aegypti di Kelurahan Wonokusumo. Penelitian Damyanti (2009) juga
menunjukkan ada hubungan antara pengetahuan dengan keberadaan larva Aedes
aegypti di Kelurahan Kepolorejo Kecamatan Magetan Kabupaten Magetan
dengan p value sebesar 0,046.
Pengetahuan berpengaruh sebagai motivasi awal bagi seseorang dalam
berprilaku, (Green, 1980). Seseorang yang mempunyai pengetahuan yang baik
mengenai suatu penyakit, dalam hal ini DBD akan muncul sikap dan
tindakan/perilaku yang benar. Jika pengetahuan seseorang semakin tinggi maka
semakin benar pula sikap dan tindakan seseorang (Notoadmodjo, 2003).
Menurut Notoadmodjo (2007), pengetahuan yang baik akan membuat
perilaku akan bertahan daripada perilaku yang tidak didasarkan pengetahuan.
88
Oleh karena itu, seharusnya masyarakat yang memiliki pengetahuan yang baik
terkait DBD dapat berpartisipasi aktif secara berkesinambungan untuk
melakukan kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk DBD (PSN DBD) di
lingkungannya. Hal tersebut dapat menaikkan angka bebas jentik dari 45%
menjadi lebih tinggi, sehingga standar nasional bisa dicapai.
Program edukasi mengenai DBD hendaknya dilakukan oleh Puskesmas
yang berada di Kelurahan Sawah Lama. Program edukasi dapat dilakukan oleh
Puskesmas dengan memberikan TOT (Training of Trainer) kepada ibu-ibu
kader. Program edukasi tersebut hendaknya dapat menjadi jembatan untuk
meningkatkan pengetahuan masyarakat Kelurahan Sawah Lama. Hal ini
dikarenakan kader merupakan tangan kanan Puskesmas yang dekat dengan
masyarakat, sehingga diharapkan pemberian pengetahuan kepada masyarakat
dapat lebih efektif melalui peran kader.
2. Sikap
Sikap adalah kesiapan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku
atau merespon sesuatu baik terhadap ransangan positif maupun ransangan
negatif dari objek rangsangan. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau
aktivitas akan tetapi merupakan faktor predisposisi bagi seseorang untuk
berperilaku, (Tafsir, 2004).
Dalam penelitian ini, untuk mengetahui sikap seseorang dengan
keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama dilakukan dengan
89
mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan tentang respon seseorang
terhadap DBD serta cara pencegahannya. Informasi mengenai sikap pada
penelitian ini diperoleh dari hasil jawaban pertanyaan yang diajukan kepada
responden.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa responden yang
memiliki sikap negatif dan ditemukan larva Aedes aegypti di rumahnya
sebanyak 28 dari 39 (71,8%). Sedangkan responden yang memiliki sikap positif
dan ditemukan larva Aedes aegypti di rumahnya sebanyak 16 dari 41 (39%).
Berdasarkan hasil analisis bivariat, diperoleh nilai p-value sebesar 0,004
(p-value < 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna secara statistik antara sikap dengan adanya keberadaan larva Aedes
aegypti pada rumah responden di Kelurahan Sawah Lama. Dari hasil uji
statistik juga diperoleh nilai OR (odd ratio) sebesar 3,977, artinya responden
yang memiliki sikap negatif memiliki peluang 3,977 kali untuk adanya
keberadaan larva Aedes aegypti di rumahnya dibandingkan dengan responden
yang memiliki sikap positif.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Damyanti (2009), yang menunjukkan bahwa adanya hubungan yang bermakna
secara statistik antara sikap dengan keberadaan larva Aedes aegypti di
Kelurahan Kepolorejo Kecamatan Magetan Kabupaten Magetan dengan p value
sebesar 0,008. Penelitian Nugrahaningsih (2010) juga menunjukkan bahwa
sikap dan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti mempunyai hubungan yang
90
bermakna secara statistik di Wilayah Kerja Puskesmas Kuta Utara tahun 2010
dengan p value 0,001.
Sikap merupakan produk dari proses sosialisi, seseorang akan bereaksi
sesuai dengan ransangan yang diterimanya. Pengetahuan pada diri seseorang
mempengaruhi sikap yang muncul, (Mar’at, 1984). Jika pengetahuan seseorang
semakin tinggi maka semakin benar pula sikap dan tindakan seseorang.
Seseorang yang mempunyai pengetahuan yang baik mengenai suatu penyakit,
dalam hal ini DBD akan muncul sikap dan tindakan/perilaku yang benar,
(Notoadmodjo, 2003). Sikap yang mau terlibat dan berperan aktif dalam upaya
pemberantasan sarang nyamuk akan sangat berpengaruh dalam tindakan dan
upaya penanggulangan serta pencegahan penyakit DBD, (Nugrahaningsih,
2010).
Sama halnya dengan pengetahuan, program edukasi mengenai DBD
hendaknya dilakukan oleh Puskesmas yang berada di Kelurahan Sawah Lama.
Program edukasi dapat dilakukan oleh Puskesmas dengan memberikan TOT
(Training of Trainer) kepada ibu-ibu kader. Program edukasi tersebut
hendaknya dapat menjadi jembatan untuk menjadikan perubahan sikap yang
positif masyarakat Kelurahan Sawah Lama terhadap pemberantasan sarang
nyamuk. Sehingga angka bebas jentik di Kelurahan Sawah Lama bisa
meningkat dan mencapai standar nasional yaitu sebesar 95%.
91
3. Praktek Menguras Tempat Penampungan Air
Praktek menguras tempat penampungan air merupakan salah satu dari
kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Dalam penelitian ini praktek
menguras tempat penampungan air diukur dengan frekuensi pengurasan dalam
satu minggu yang dilakukan oleh responden. Keadaan yang dikatakan baik
adalah jika responden melakukan praktek menguras tempat penampungan air
lebih dari satu kali dalam seminggu.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa responden yang
melakukan praktek menguras tempat penampungan air dengan frekuensi <1 x
seminggu dan ditemukan larva Aedes aegypti di rumahnya sebanyak 25 dari 35
(71,4%). Sedangkan responden yang melakukan praktek menguras tempat
penampungan air dengan frekuensi ≥1 x seminggu sebanyak 19 dari 45
(42,2%).
Berdasarkan hasil analisis bivariat, diperoleh nilai p-value sebesar 0,013
(p-value < 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna secara statistik antara praktek menguras tempat penampungan air
sebanyak <1 x seminggu dengan adanya keberadaan larva Aedes aegypti pada
rumah responden di Kelurahan Sawah Lama. Dari hasil uji statistik juga
diperoleh nilai OR (odd ratio) sebesar 3,421, artinya responden yang
melakukan praktek menguras tempat penampungan air sebanyak <1 x
seminggu memiliki peluang 3,421 kali untuk adanya keberadaan larva Aedes
92
aegypti di rumahnya dibandingkan dengan responden yang melakukan praktek
menguras tempat penampungan air sebanyak <1 x seminggu.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Damyanti (2009), yang
menunjukkan ada hubungan yang bermakna secara statistik antara praktek
menguras tempat penampungan air dengan keberadaan larva Aedes aegypti di
Kelurahan Kepolorejo Kecamatan Magetan Kabupaten Magetan dengan p value
sebesar 0,003. Selain itu, penelitian Adam (2008), menunjukkan ada hubungan
yang bermakna secara statistik antara praktek menguras tempat penampungan
air dengan kejadian demam berdarah dengue di Puskesmas Sukomoro
Kabupaten Magetan tahun 2008.
Penelitian Falah (2010) juga menunjukkan ada hubungan secara statistik
antara praktek menguras tempat penampungan air dengan kejadian demam
berdarah di Sendangmulyo Kecamatan Tembalang Kota Semarang dengan
dengan p value sebesar 0,015. Penelitian Mahardika (2009) juga menunjukkan
ada hubungan yang bermakna secara statistik antara praktek menguras tempat
penampungan air dengan kejadian DBD (p value = 0,004) di wilayah kerja
Puskesmas Cepiring Kecamatan Cepirin Kabupaten Kendal tahun 2009.
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori, bahwa Pemberantasan Sarang
Nyamuk harus dilakukan secara berkesinambungan untuk memberantas tempat-
tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti agar tidak berkembangbiak salah
satunya yaitu dengan membersihkan tempat penampungan air dengan
93
menguras, menyikat dindingnya dan mengganti airnya seminggu sekali (Dinkes
Jawa Tengah, 2006).
Sebaiknya masyarakat tetap melakukan kegiatan Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN) di rumah dan lingkungannya. Salah satunya adalah dengan
melakukan praktek menguras tempat penampungan air paling sedikit seminggu
sekali. Praktek ini pun harus dilakukan dengan cara yang benar yaitu dengan
cara menyikat dindingnya dan mengganti airnya, sehingga siklus kehidupan
nyamuk dapat dihentikan. Pihak Puskesmas dapat memberikan program
penyuluhan kepada masyarakat secara kontinu mengenai praktek menguras
tempat penampungan air yang benar dan dapat memotivasi masyarakat agar
dapat mempraktekkannya dengan frekuensi yang benar, yaitu ≥ 1 kali dalam 1
minggu.
4. Praktek Menyingkirkan Barang-Barang Bekas
Praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat
penampungan air juga merupakan salah satu dari praktek Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN). Dalam penelitian ini praktek menyingkirkan barang-
barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air diukur dengan
frekuensi dalam satu minggu yang dilakukan oleh responden. Keadaan yang
dikatakan baik adalah jika responden melakukan praktek menyingkirkan
barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air lebih dari
satu kali dalam seminggu.
94
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa responden yang
melakukan praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi
tempat penampungan air sebanyak <1 x seminggu dan ditemukan larva Aedes
aegypti di rumahnya adalah sebesar 34 dari 53 responden (64,2%). Sedangkan
responden yang melakukan praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang
dapat menjadi tempat penampungan air sebanyak ≥1 x seminggu dan ditemukan
larva Aedes aegypti dirumahnya adalah sebesar 10 dari 27 responden (37%).
Berdasarkan hasil analisis bivariat, diperoleh bahwa nilai probabilitas (p-
value) sebesar 0,032, artinya pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna
secara statistik antara praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat
menjadi tempat penampungan air sebanyak <1 x seminggu dengan adanya
keberadaan larva Aedes aegypti. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai OR (Odd
Ratio) = 3,042, artinya responden yang melakukan praktek menyingkirkan
barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air sebanyak <1
x seminggu memiliki peluang 3,042 kali untuk ditemukannya larva Aedes
aegypti di rumahnya.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Damyanti (2009), yang
menunjukkan bahwa adanya hubungan yang bermakna secara statistik antara
praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat
penampungan air dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan
Kepolorejo Kecamatan Magetan Kabupaten Magetan dengan p value sebesar
0,007. Penelitian Falah (2010) juga menunjukkan ada hubungan secara statistik
95
antara praktek mengubur barang-barang bekas dengan kejadian demam
berdarah di Sendangmulyo Kecamatan Tembalang Kota Semarang dengan
dengan p value sebesar 0,0001.
Gambaran praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat
menjadi tempat penampungan air yang diperoleh dari responden di lapangan
pada penelitian ini adalah sebanyak 60% responden menyingkirkan dengan
memberikan ke tukang sampah/loak dan sebanyak 40% responden
menyingkirkan dengan cara membakar.
Depkes RI (1995), menyatakan bahwa salah satu cara untuk mencegah
dan memberantas nyamuk Aedes aegypti adalah dengan mengubur barang-
barang bekas dan sampah-sampah lainnya yang dapat menampung air hujan
sehingga tidak menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk.
Sebaiknya masyarakat tetap melakukan kegiatan Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN) di rumah dan lingkungannya. Salah satunya adalah dengan
melakukan praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi
tempat penampungan air paling sedikit seminggu sekali. Praktek ini dapat
dilakukan dengan cara mengubur, memberikan ke tukang sampah/loak,
membuat kerajinan dan cara lainnya, sehingga siklus kehidupan nyamuk dapat
dihentikan.
Pihak Puskesmas dapat memberikan program penyuluhan kepada
masyarakat secara kontinu yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat dalam melakukan praktek menyingkirkan barang-barang bekas
96
yang dapat menjadi tempat penampungan air dan dapat memotivasi masyarakat
agar dapat mempraktekkannya dengan frekuensi yang benar, yaitu ≥ 1 kali
dalam 1 minggu. Di samping itu, dalam praktek ini tokoh masyarakat juga
memiliki peranan yang penting dalam upaya pemberantasan sarang nyamuk di
lingkungannya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh tokoh masyarakat
adalah menggerakkan masyarakat melalui kegiatan kemasyarakatan, seperti
kerja bakti membersihkan lingkungan sekitar.
5. Praktek Menutup Tempat Penampungan Air
Praktek menutup tempat penampungan air merupakan salah satu dari
kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Dalam penelitian ini praktek
menutup tempat penampungan air diketahui dengan praktek dilakukan oleh
responden. Keadaan yang dikatakan baik adalah jika responden melakukan
praktek menutup tempat penampungan air.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa responden yang
melakukan praktek menutup tempat penampungan air dan ditemukan larva
Aedes aegypti di rumahnya adalah sebesar 38 dari 63 responden (60,3%).
Sedangkan responden yang melakukan praktek menutup tempat penampungan
air dan ditemukan larva Aedes aegypti dirumahnya adalah sebesar 6 dari 17
responden (35,3%). Berdasarkan hasil analisis bivariat, diperoleh bahwa nilai
probabilitas (p-value) sebesar 0,099, artinya pada alpha 5% tidak terdapat
97
hubungan yang bermakna secara statistik antara praktek menutup tempat
penampungan air dengan adanya keberadaan larva Aedes aegypti.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Damyanti (2009), yang
menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara praktek
menutup tempat penampungan air dengan keberadaan larva Aedes aegypti di
Kelurahan Kepolorejo Kecamatan Magetan Kabupaten Magetan dengan p value
sebesar 0,130.
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Mahardika (2009) yang
menunjukkan ada hubungan yang bermakna secara statistik antara praktek
menutup tempat penampungan air dengan kejadian DBD (p value = 0,002) di
wilayah kerja Puskesmas Cepiring Kecamatan Cepirin Kabupaten Kendal 2009.
Temuan dalam penelitian ini dapat terjadi kemungkinan karena data
penelitian yang kurang bervariasi (homogen), dimana sebesar 78,8% responden
tidak melakukan praktek menutup tempat penampungan air. Hal ini dapat
terjadi karena sebagian besar responden tidak memiliki tutup pada tempat
penampungan airnya, sehingga secara statistik tidak adanya hubungan antara
praktek menutup dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan
Sawah Lama tahun 2013.
6. Ketersediaan Tutup pada Tempat Penampungan Air
Ketersediaan tutup pada tempat penampungan air merupakan salah satu
faktor lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap keberadaan larva nyamuk
98
Aedes aegypti. Adanya tutup pada tempat penampungan air dan penggunaannya
yang benar memiliki dampak yang signifikan terhadap keberadaan larva dan
pupa nyamuk Aedes aegypti dibandingkan tempat penampungan air tanpa tutup
(Tsuzuki, et al, 2009).
Dalam penelitian, data mengenai ketersediaan tutup pada tempat
penampungan air diperoleh dari hasil observasi ke tiap rumah responden.
Observasi dilakukan pada tempat penampungan air yang dimungkinkan
menggunakan tutup, seperti ember dan tempayan. Selanjutnya, data hasil
observasi tersebut dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu tempat
penampungan air dengan tutup dan tempat penampungan air tanpa tutup.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa responden yang tidak
memiliki tutup pada tempat penampungan air dan ditemukan larva nyamuk
Aedes aegypti di rumahnya adalah sebesar 30 dari 57 responden (52,6%).
Sedangkan responden yang memiliki tutup pada tempat penampungan air dan
ditemukan larva nyamuk Aedes aegypti dirumahnya adalah sebesar 14 dari 23
responden (60,9%). Dari uji statistik, diperoleh bahwa nilai probabilitas (p-
value) sebesar 0,621, artinya pada alpha 5% tidak terdapat hubungan yang
bermakna secara statistik antara ketersediaan tutup pada tempat penampungan
air dengan adanya keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Arsin (2004) yang
menunjukkan bahwa keberadaan tutup pada tempat penampungan air
mempunyai hubungan dengan keberadaan vektor DBD di kota Makasar.
99
Demikian pula dengan penelitian Sandra (2010), yang menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna secara statistik dengan kejadian DBD di
Kelurahan Pabuaran Kecamatan Cibinong.
Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara
ketersediaan tutup pada tempat penampungan air dengan keberadaan larva
nyamuk Aedes aegypti. Hal ini kemungkinan dapat terjadi karena data
penelitian yang bersifat homogen, dimana sebesar 71,2% responden tidak
memiliki tutup pada tempat penampungan airnya, sehingga hasil uji statistik
menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan antara ketersediaan tutup pada
tempat penampungan air dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di
Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.
Adanya tutup pada tempat penampungan air berarti tidak menyediakan
tempat untuk siklus hidup nyamuk Aedes aegypti. Namun, hasil penelitian
menunjukkan tidak adanya hubungan antara ketersediaan tutup pada tempat
penampungan air dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti. Hal ini
kemungkinan terjadi karena praktek menguras tempat penampungan air yang
lebih berperan penting terhadap keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti pada
tempat penampungan air. Dengan melakukan praktek menguras tempat
penampungan air dengan frekuensi yang benar (≥ 1 kali seminggu) dapat
meminimalisir perkembangan larva di tempat penampungan air. Hal ini karena
larva nyamuk Aedes aegypti dapat berkembang selama 6-8 hari (Herms, 2006).
100
7. Jenis Tempat Penampungan Air
Selama ini diketahui bahwa nyamuk Aedes aegypti memiliki kebiasaan
berkembangbiak pada air-air tergenang yang jernih seperti pada tempat
penampungan air buatan manusia. Banyaknya tempat penampungan air maupun
tempat berair lainnya yang dapat menjadi tempat perindukan nyamuk
merupakan kondisi yang sangat potensial untuk terjadinya kasus DBD, (Troyo,
2008).
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa responden yang memiliki
tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari dan ditemukan larva
Aedes aegypti di rumahnya adalah sebesar 29 dari 62 responden (46,8%).
Sedangkan responden yang memiliki tempat penampungan air bukan untuk
keperluan sehari-hari dan ditemukan larva Aedes aegypti dirumahnya adalah
sebesar 15 dari 18 responden (83,3%).
Berdasarkan hasil analisis bivariat, diperoleh bahwa nilai probabilitas (p-
value) sebesar 0,007, artinya pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna
secara statistik antara jenis tempat penampungan air dengan adanya keberadaan
larva Aedes aegypti. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai OR (Odd Ratio) =
0,176, artinya responden yang memiliki tempat penampungan air untuk
keperluan sehari-hari memiliki peluang 0,176 kali untuk ditemukannya larva
Aedes aegypti di rumahnya.
Penelitian Ririh (2005), juga menunjukkan hasil ada hubungan yang
bermakna secara statistik (p value = 0,004) antara jenis tempat penampungan
101
air dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan
Wonokusumo. Penelitian Ririh (2005) menunjukkan bahwa adanya hubungan
yang bermakna secara statistik (p value = 0,004) antara jenis tempat
penampungan air dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di daerah
endemis DBD Surabaya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis tempat penampungan air
bukan untuk keperluan sehari-hari yang banyak ditemukan larva nyamuk Aedes
aegypti di Kelurahan Sawah Lama, yaitu sebesar 15 dari 18 (83,3%). Hal ini
tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yuwono dalam
Yotopranoto (1998) yang menunjukkan bahwa dari beberapa survey yang
dilakukan di beberapa kota di Indonesia menunjukkan tempat perindukan yang
paling potensial adalah pada tempat penampungan air yang digunakan untuk
keperluan sehari-hari seperti tempayan, bak mandi, bak WC, ember, drum dan
sejenisnya.
Perbedaan hasil penelitian antara penelitian ini dengan penelitian Yuwono
dalam Yotopranoto (1998) dapat terjadi karena jumlah sampel yang diperiksa
pada penelitian ini terkait jenis tempat penampungan air bukan untuk
keperluaan sehari-hari hanya berjumlah 18 sampel (22,5%). Sedangkan tempat
penampungan air bukan untuk keperluaan sehari-hari yang diperiksa lebih
banyak, yaitu sebesar 62 sampel (77,5%).
102
BAB VII
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Dari 80 rumah responden, diketahui bahwa terdapat 55% rumah responden
yang ditemukan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama.
2. Responden di Kelurahan Sawah Lama sebagian besar (62,5%) memiliki
pengetahuan mengenai demam berdarah yang baik.
3. Responden di Kelurahan Sawah Lama sebagian besar (51,2%) memiliki sikap
yang positif mengenai demam berdarah.
4. Responden di Kelurahan Sawah Lama sebagian besar (56,2%) melakukan
praktek menguras tempat penampungan air sebanyak ≥1 x seminggu.
5. Responden di Kelurahan Sawah Lama sebagian besar (66,2%) melakukan
praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat
penampungan air sebanyak <1 x seminggu.
6. Responden di Kelurahan Sawah Lama sebagian besar (78,8%) tidak
melakukan praktek menutup tempat penampungan air.
7. Responden di Kelurahan Sawah Lama sebagian besar (71,2%) tidak memiliki
tutup pada tempat penampungan air.
103
8. Responden di Kelurahan Sawah Lama sebagian besar (77,5%) memiliki jenis
tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari.
9. Ada hubungan antara pengetahuan dengan keberadaan larva Aedes aegypti di
Kelurahan Sawah Lama dengan p value sebesar 0,001.
10. Ada hubungan antara sikap dengan keberadaan larva Aedes aegypti di
Kelurahan Sawah Lama dengan p value sebesar 0,004.
11. Ada hubungan antara praktek menguras tempat penampungan air dengan
keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama dengan p value
sebesar 0,013.
12. Ada hubungan antara praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat
menjadi tempat penampungan air dengan keberadaan larva Aedes aegypti di
Kelurahan Sawah Lama dengan p value sebesar 0,032.
13. Tidak terdapat hubungan antara praktek menutup tempat penampungan air
dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama dengan p
value sebesar 0,099.
14. Tidak terdapat hubungan antara ketersediaan tutup pada tempat penampungan
air dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama dengan
p value sebesar 0,621.
15. Ada hubungan antara jenis tempat penampungan air dengan keberadaan larva
Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama dengan p value sebesar 0,007.
104
16. Variabel yang paling dominan terhadap keberadaan larva Adedes aegypti di
Kelurahan Sawah Lama tahun 2013 adalah variabel pengetahuan, karena
memiliki nilai B dan OR lebih tinggi dibandingkan dengan variabel lain.
B. Saran
1. Bagi Puskesmas dan Dinas Kesehatan
Memberikan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) kepada
masyarakat mengenai penyakit deman berdarah dengue (DBD), cara
pencegahannya dan cara mengobatinya. Hal ini dapat dilakukan melalui
program TOT (Training of Trainer) antara Puskesmas kepada Kader.
Keterlibatan Kader diharapkan dapat lebih efektif dalam meningkatkan perilaku
(pengetahuan, sikap dan praktek) masyarakat. Kegiatan yang dapat dilakukan
kepada masyarakat adalah seperti penyuluhan, leaflet dan media lainnya.
2. Bagi Kelurahan
Tokoh masyarakat sebaiknya dapat turut serta dalam upaya
pemberantasan sarang nyamuk di lingkungannya, dengan cara menggerakkan
masyarakat melalui kegiatan kemasyarakatan, seperti kerja bakti membersihkan
lingkungan sekitar minimal seminggu sekali.
105
3. Bagi Program Kesehatan Lingkungan
Bagi penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggunakan penelitian
gabungan antara kuantitatif dengan pendekatan kualitatif sehingga dapat
menghasilkan penelitian yang lebih mendalam mengenai faktor-faktor yang
berhubungan dengan keberadaan larva Aedes aegypti.
106
Daftar Pustaka
Achmadi, UF. 2011. Dasar-Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Jakarta: Rajawali
Pers.
Adam, Arifin Al-Ghazali. 2008. Hubungan Kondisi Fisik Lingkungan Rumah Dan
Praktik 3M dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Puskesmas
Sukomoro Kabupaten Magetan Tahun 2008. Skripsi : Undip.
Amran, Yuli. 2012. Pengolahan Dan Analisis Data Statistik Bidang Kesehatan.
Jakarta: UIN Jakarta.
Arsin A.A dan Wahiddudin. 2004. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap
Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Makasar. Jurnal Kedokteran
Yarsi. ISSN:0854-1159 Vol. 12 No. 2. Mei-Agustus 2004:23.
Ayubi D, Hasan A. 2007. Hubungan Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk dan
Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Bandar, Lampung. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional, 2007;2(2) Oktober.
Barrera, Roberto., Manuel A., & Andrew J.M. 2011. Population Dynamics of Aedes
aegypti and Dengue as Influenced by Weather and Human Behavior in San
Juan, Puerto Rico. Plos Neglected Tropical Diseases, 5 (12): 1-9.
Benthem, BHB van., Khantikul, N., Panart, K., et al. 2002. Knowledge and Use of
Prevention Measure Related to Dengue in Northern Thailand. Tropical
Medicine and International Health, 7 (11): 993-1000.
107
Brunkard, J.M., Lopez, J.L.R., Ramirez, J. et al. 2007. Dengue Fever Seroprevalence
And Risk Factors, Texas-Mexico Border, 2004. Emerging Infectious Diseases,
13 (10): 1477-1483.
Chan, YC.BC dan K.L. Chan. 1971. Aedes Aegypti and Aedes Albopictus (Skuse) in
Singapore City, Larva Habitat. Bulletin WHO 44.
Damyanti. 2009. Hubungan Pengetahuan, Sikap Dan Praktek 3M Dengan
Keberadaan Jentik Aedes Aegypti Pada Daerah Endemis Demam Berdarah
Dengue Di Kelurahan Kepolorejo Kecamatan Magetan Kabupaten Magetan.
Skripsi: Undip.
Depkes RI. 1995. Menggerakkan Masyarakat PSN-DBD. Jakarta: Depkes RI.
Depkes RI. 1998. Kepemimpinan Wanita. Jakarta.
Depkes RI. 2003. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan
Demam Berdarah Dengue. Jakarta.
Depkes RI. 2004. Buletin Harian Perilaku dan Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti.
Depkes RI. 2005. Penemuan dan Tatalaksana Penderita DBD. Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta. 2005.
Depkes RI. 2005. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di
Indonesia. Ditjen PP & PL. Jakarta.
Depkes RI. 2007. Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN
DBD) oleh Juru Pemantau Jentik. Jakarta.
Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah. 2006. Profil Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah Tahun 2006. Semarang: Dinkes Jateng.
108
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2005.
Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Falah, Miftakhul. 2010. Faktor-Faktor Yang Behubungan Dengan Kejadian Demam
Berdarah (DBD) di Kelurahan Sendangmulyo Kecamatan Tembalang. Skripsi.
Undip.
Fathi., Keman, S., & Wahyuni, C.U. 2005. Peran Faktor Lingkungan dan Perilaku
terhadap Penularan Demam Berdarah Dengue di Kota Mataram. Jurnal
Kesehatan Lingkungan, 2 (1): 1-10.
Febrianto., Muhammad Rizki. 2012. Analisis Spasiotemporal Kasus Demam
Berdarah Dengue Di Kecamatan Ngaliyan Bulan Januari-Mei 2012. Karya
Tulis Ilmiah: Undip.
Ginanjar, Genis. 2008. Apa Yang Dokter Anda Tidak Katakan Tentang Demam
Berdarah. Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka.
Green, L. W. 1980. Health Education Planning, A Diagnostic Approach Mayfield
Publishing Company. USA
Hairi, F., Ong, CH., Suhaimai, a. et al. 2003. A Knowledge, Attitude and Practice
(KAP) Study on Dengue Among Selected Rural Communities in The Kuala
Kangsar District. Asia Pasific Journal Public Health, 15 (1): 37-43.
Herms, W., 2006. Medical Entomology. The Macmillan Company, United States of
America.
109
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Buletin Jendela Epidemioogi.
Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Profil Data Kesehatan Indonesia
Tahun 2011. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Keraf, A. S. Dan Dua M. 2001. Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis.
Yogyakarta: Kanisius
Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Prenada
Jakarta
Mar’at. 1984. Sikap Manusia Perubahan serta Pengukurannya. Ghalia Indonesia.
Jakarta.
Medronho, R.A., Macrini, L., Novellino, D.M. et al. 2009. Aedes aegypti Immatures
Forms Distribution According to Type of Breeding Site. The American
Society of Tropical Medicine and Hygiene, 80: 401-404.
Nelson, M.J. et al., 1972. Seasonal Abudance of Adult and Immature Aedes Aegypti
in Jakarta. Buletin Penelitian Kesehatan 4 (1).
Nisa, Hoirun. 2007. Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: UIN Jakarta Press.
Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta:
Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Nugrahaningsih, M., Putra, N.A., Aryanta, I.W.R. 2010. Hubungan Faktor
Lingkungan dan Perilaku Masyarakat dengan Keberadaan Jentik Nyamuk
110
Penular Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas Kuta
Utara. Ecotropic, 5 (2): 93-97.
Rahman., Deni Abdul. 2012. Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah Dan Praktik 3m
Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Wilayah Kerja
Puskesmas Blora Kabupaten Blora. Unnes Journal Of Public Health 2 (1).
Rajab,. Wahyudin. 2008. Buku Ajar Epidemiologi Untuk Mahasiswa Kebidanan.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Respati, Yunita Ken dan Soedjajadi Keman. (2007). Perilaku 3M, Abatisasi dan
Keberadaan Jentik Aedes Hubungannya dengan Kejadian Demam Berdarah
Dengue. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 3 (2): 107-118.
Ririh, Y., dan Anny, V. 2005. Hubungan Kondisi Lingkungan, Kontainer dan
Perilaku Masyarakat dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes aegypti di
Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue Surabaya. Jurnal Kesehatan
Lingkungan I (2) : 170 -182.
Sandra., Mariana Ivoretty. 2010. Hubungan karakteristik individu dan kondisi tempat
penampungan air (TPA) dengan kejadian Demam Berdarah (DBD) Di
Kelurahan Pabuaran Kecamatan Cibinong Tahun 2010. Skripsi: UI
Santoso & Anif, B. 2008. Hubungan Pengetahuan Sikap dan Prilaku (PSP)
Masyarakat terhadap vektor DBD di Kota Palembang Provinsi Sumatera
Selatan. Jurnal Ekologi Kesehatan, 7 (2): 732-739.
111
Setiawan. 2002. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keberadaan Jentik Aedes
Pada TPA Rumah Tangga Di Kecamatan Bekasi Selatan Tahun Tahun 2001.
Thesis: UI.
Setyobudi,. Agus. 2011. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keberadaan
Jentik Nyamuk Di Daerah Endemik DBD Di Kelurahan Sananwetan
Kecamatan Sananwetan Kota Blitar. Prosiding Seminar Nasional, “Peran
Kesehatan Masyarakat Dalam Pencapaian MDG’s Di Indonesia”.
Soegijanto. S., 2003. Demam Bedarah Dengue : Tinjauan dan Temuan Baru di Era
2003. Airlangga University Press, Surabaya.
Sukowati, Supratman. 2010. Masalah Vektor Demam Berdarah Dengue (DBD) dan
Pengendaliannya di Indonesia. Puslitbang Ekologi dan Status Kesehatan.
Kementrian Kesehatan.
Sumantri., Arif. 2010. Kesehatan Lingkungan dan Perspektif Islam. Jakarta. Kencana
Susanna, D dan Terang U.J.S. 2011. Entomologi Kesehatan. Jakarta: UI Press
Suyasa. 2008. Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku Masyarakat dengan
Keberadaan Vektor Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja
Puskesmas I Denpasar Selatan. Ecotrophic. 3 (1) : 1 - 6
Suzuki, T, 1976. Distribution and Density of Aedes Aegypti in the South Pacific
Dengue Newsletter South East Asia and Western Pacific Region WHO 2.
Tafsir Ahmad. 2004. Filsafat Ilmu. Surabaya: Pt. Remaja Rosdaharya.
Troyo A, Calderon-Arguedas O, Fuller Do, Solano Me, Advendano A, Arheart Kl,
Chade Dd, Beier Jc. 2008. Seasonal Profiles Of Aedes Aegypti (Diptera:
112
Culicidae) Larva Habitats In An Urban Area Of Costa Rica With A History Of
Mosquito Control. J Vector Ecology; 33(1), 76-88.
Tsuzuki, A., Huynh, T., Tsunida, T. et al. 2009. Effect of Existing Practices on
Reducing Aedes aegypti Pre-adults in Key Breeding Containers in Ho Chi
Minh City, Vietnam. The American Society of Tropical Medicine and
Hygiene, 80 (5): 752-757.
Tumbelaka. A.R. 2004. Diagnosis Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue.
Dalam: Hadinegoro dan Satari. Demam Berdarah Dengue (Naskah Lengkap)
Cetakan Keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
WHO. 1998. Demam Berdarah Dengue, Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan dan
Pengendalian, Edition Asih Yasmin. Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
WHO. 2007. Case Dengue in South East Asia. http:/www.who.int/
WHO. 2009. Dengue: guideline for diagnosis, treatment, prevention and control.
Geneva: WHO Press.
WHO. 2010. South East Region Dengue.
WHO. 2012. Case Dengue Fever.
Yotopranoto, S., Sri Subekti, Rosmanida, Sulaiman. (1998). Dinamika Populasi
Vektor Pada Lokasi Dengan K Asus Demam Berdarah Dengue Yang Tinggi Di
Kotamadya Surabaya. Majalah Kedokteran Tropis Indonesia.Vol 9 : No. 1 -2.
Lampiran 2
KUESIONER PENELITIAN
Saat ini saya (Mentary Putry Rendy) Mahasiswa Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, sedang melakukan penelitian mengenai Hubungan Faktor
Perilaku dan Faktor Lingkungan dengan Keberadaan Larva Aedes Aegypti di
Kelurahan Sawah Lama Kota Tangerang Selatan Tahun 2013. Untuk kepentingan
pengumpulan data penelitian ini, saya mengharapkan partisipasi Ibu dalam menjawab
pertanyaan di bawah ini dengan sejujur-jujurnya sesuai dengan pengetahuan,
pendapat dan pengalaman yang dimiliki. Terima kasih sebesar-besarnya atas
kesediaan Ibu berpartisipasi dalam penelitian ini.
Enumerator Responden
( ) ( )
LEMBAR KUESIONER
No. Responden
Nama Kepala Keluarga
Nama Ibu
Tanggal wawancara
Pewawancara
Alamat Rumah Jl./Gang
RT
RW
KARAKTERISTIK RESPONDEN
Umur Ibu …….. tahun
Pendidikan 1. Tidak sekolah
2. Tidak tamat SD
3. SD
4. SMP
5. SMA
6. Perguruan Tinggi
Pekerjaan Responden 1. Petani
2. PNS
3. Guru
4. Wiraswasta/usaha mandiri
5. Pegawai Swasta
6. Ibu Rumah Tangga
7. Lain-lain ………..
PENGETAHUAN
A1
Menurut Ibu, apa yang dimaksud dengan penyakit DBD (demam
berdarah)?
1. Penyakit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk yang sudah
menggigit penderita DBD (demam berdarah)
2. Penyakit yang ditularkan melalui cacing
3. Penyakit yang ditularkan melalui batuk / dahak dari penderita DBD
(demam berdarah)
4. Tidak tahu
[ ]
A2
Menurut Ibu, DBD (demam berdarah) disebabkan oleh apa?
1. Air kencing tikus
2. Gigitan nyamuk
3. Makanan dihinggapi kecoa
4. Makanan dihinggapi lalat
5. Tidak tahu
[ ]
A3
Menurut Ibu, apa bahaya penyakit DBD (demam berdarah) bagi
penderita?
1. Menyebabkan kecacatan
2. Menyebabkan kebutaan
3. Menyebabkan kematian
4. Menularkan pada anggota keluarga lain
5. Tidak tahu
[ ]
A4
Menurut Ibu, demam penyakit DBD (demam berdarah) mempunyai ciri-
ciri yang berbeda dengan demam pada penyakit lain, karena demam
tersebut disertai? (jawaban harus lebih dari 1)
1. Buang air besar berdarah
2. Mimisan
3. Kulit kemerah-merahan
[ ]
4. Gusi berdarah
5. Mual
6. Tidak tahu
A5
Menurut Ibu, nyamuk DBD (demam berdarah) senang hinggap dimana?
(jawaban harus lebih dari 1)
1. Pakaian yang tergantung
2. Tempat yang gelap
3. Dekat cahaya lampu
4. Di air
5. Tidak tahu
[ ]
A6
Menurut Ibu, dimanakah tempat berkembangbiaknya nyamuk DBD
(demam berdarah)? (jawaban harus lebih dari 1)
1. Bak mandi
2. Dispenser
3. Ember
4. Tempat minum burung
5. Batang bambu
6. Selokan
7. Rawa-rawa
[ ]
A7
Menurut Ibu, bagaimana ciri-ciri nyamuk DBD (demam berdarah)?
1. Warna merah bintik-bintik putih
2. Warna hitam bintik-bintik putih
3. Warna coklat bintik-bintik putih
4. Tidak tahu
[ ]
A8
Menurut Ibu, kapan waktu nyamuk penyebab DBD (demam berdarah)
biasa menggigit orang?
1. Pagi (09.00-10.00) dan sore (16.00-17.00)
2. Pagi (09.00-10.00) dan siang (12.00-13.00)
[ ]
3. Pagi (09.00-10.00) dan malam (19.00-20.00)
4. Siang (12.00-13.00) dan malam (19.00-20.00)
5. Tidak tahu
A9
Menurut Ibu, apa kepanjangan 3M?
1. Mengubur, menguras, membersihkan
2. Membunuh, membakar, menimbun
3. Mengubur, menutup, menguras
4. Tidak tahu
[ ]
A10
Menurut Ibu, apa cara mencegah penyakit DBD (demam berdarah)?
(jawaban harus lebih dari 1)
1. Pemberantasan sarang nyamuk melalui 3M
2. Menggunakan kelambu
3. Membiarkan air menggenang
4. Menggunakan obat nyamuk
5. Menggantung baju di pintu
6. Penyemprotan lingkungan (fogging)
7. Tidak tahu
[ ]
A11
Menurut Ibu, apa saja program puskesmas tentang DBD (demam
berdarah)? (jawaban harus lebih dari 1)
1. 3M
2. Juru pengawas jentik
3. Fogging (pengasapan)
4. Penyebaran bubuk abate
5. Tidak tahu
[ ]
A12
Menurut Ibu, kapan sebaiknya dilakukan fogging/pengasapan?
1. Saat ada yang sakit demam berdarah
2. Saat hari-hari biasa
3. Saat setelah musim hujan
[ ]
4. Tidak tahu
A13
Menurut Ibu, pada musim apa terjadi DBD (demam berdarah)?
1. Musim kemarau
2. Musim dingin
3. Musim hujan
[ ]
A14
Menurut Ibu, tindakan apa yang dilakukan jika ada anggota keluarga
yang terkena DBD (demam berdarah)? (jawaban harus lebih dari 1)
1. Membiarkan saja
2. Membawa ke dokter
3. Dirawat di rumah
4. Membawa ke Puskesmas
5. Membawa ke mantri/dukun
6. Membawa ke rumah sakit
[ ]
SIKAP
No Pertanyaan Sikap Sangat
Setuju Setuju
Tidak
Setuju
Sangat
Tidak
Setuju
A15 Demam berdarah harus dicegah dengan
pemberantasan sarang nyamuk.
A16 Pemberantasan sarang nyamuk tidak
perlu dilakukan jika tidak ada yang sakit
demam berdarah.
A17 Pemberantasan sarang nyamuk adalah
tugas/tanggung jawab masyarakat.
A18 Kegiatan pemberantasan sarang nyamuk
perlu peran serta masyarakat secara terus
menerus.
A19 Masyarakat harus melakukan
pemberantasan sarang nyamuk di rumah
masing-masing.
A20 Tokoh masyarakat perlu
mengajak/menyuruh masyarakat untuk
melaksanakan pemberantasan sarang
nyamuk.
A21 Setiap warga tidak perlu mengingatkan
tetangganya untuk melakukan
pemberantasan sarang nyamuk.
A22 Saya mau berpartisipasi dalam kegiatan
kerja bakti dalam rangka pemberantasan
sarang nyamuk.
A23 Jika di rumah warga ada kasus deman
berdarah, tetangga tidak perlu ikut
melakukan pemberantasan sarang
nyamuk di lingkungannya karena itu
merupakan tugas tenaga kesehatan.
A24 Saya lebih suka melakukan
pemberantasan sarang nyamuk di rumah
sendiri daripada penyemprotan yang
dilakukan oleh pemerintah.
PERILAKU 3M
Praktek Menguras Tempat Penampungan Air
NO Pertanyaan Kode
A25 Berapa kali Ibu menguras tempat penampungan air?
1. Paling sedikit seminggu sekali
[ ]
2. Paling sedikit dua minggu sekali
3. Paling sedikit sebulan sekali
4. Lainnya …
A26
Bagaimana cara Ibu menguras bak mandi? (jawaban boleh
lebih dari 1)
1. Menggosok dinding bak mandi
2. Mengganti air saja
3. Memberi anti septik pada air bak
4. Membiarkan saja
5. Tidak tahu
6. Lainnya …
[ ]
A27
Jika Ibu punya vas bunga, tempat minum burung atau
tempat-tempat lain sejenis yang bisa menimbulkan genangan
air. Apakah ibu mengganti airnya, jika ya, berapa kali?
1. Paling sedikit seminggu sekali
2. Paling sedikit dua minggu sekali
3. Paling sedikit sebulan sekali
4. Lainnya …
[ ]
Praktek Mengubur Barang-Barang Bekas
A28
Apakah Ibu melakukan kegiatan mengubur atau
menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat
menimbulkan genangan air?
1. Ya
2. Tidak
[ ]
A29
Jika ya, bagaimana cara ibu memperlakukan barang bekas?
1. Dikubur
2. Diberikan ke tukang sampah/loak
[ ]
3. Dibuat kerajinan
4. Dibakar
5. Lainnya …
A30
Berapa kali Ibu menyingkirkan barang-barang bekas yang
dapat menjadi tempat penampungan air?
1. Kurang dari 1 kali dalam seminggu
2. Lebih dari 1 kali dalam seminggu
[ ]
Praktek Menutup Tempat Penampungan Air
A31
Apakah setelah selesai menggunakan tempat penampungan
air biasanya ditutup kembali secara benar (tertutup rapat)?
1. Iya
2. Tidak
[ ]
KETERSEDIAAN TUTUP
A32
Apakah terdapat tutup pada tempat penampungan air di rumah Ibu?
1. Ya
2. Tidak
[ ]
Pertanyaan Tambahan
A33
Apakah di lingkungan ibu terdapat petugas Jumantik?
1. Ya
2. Tidak
[ ]
Lampiran 3
LEMBAR OBSERVASI KONDISI TEMPAT PENAMPUNGAN AIR
RUMAH TANGGA
OBSERVASI KEBERADAAN LARVA
N
o
Jenis
Tempat Penampungan Air
Keberadaan
Jentik*
Ketersediaan
tutup* Keterangan**
Ada Tidak
Ada Ada
Tidak
Ada
1 Bak mandi a. Air keruh
b. Jernih
2 Ember a. Air keruh
b. Jernih
3 Tempayan a. Air keruh
b. Jernih
4 Dispenser a. Air keruh
b. Jernih
5 Ban bekas berisi air a. Air keruh
b. Jernih
6 Vas bunga a. Air keruh
b. Jernih
7 Tempat minum burung a. Air keruh
b. Jernih
8 Pot tanaman air a. Air keruh
b. Jernih
9 Kaleng/barang bekas berisi
air
a. Air keruh
b. Jernih
10 Batang bamboo a. Air keruh
b. Jernih
11 Penampungan air belakang
kulkas
a. Air keruh
b. Jernih
12 Lainnya
………………..
a. Air keruh
b. Jernih
* Beri tanda V pada jawaban yang sesuai
**Lingkari jawaban yang sesuai
Jumlah TPA Responden = …………………………….
Jumlah TPA yang Dibersihkan = …………………………….
LAMPIRAN 4
A. Univariat
1. Dependen (Keberadaan Larva)
larva
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid ada larva 44 55.0 55.0 55.0
tidak ada larva 36 45.0 45.0 100.0
Total 80 100.0 100.0
2. Independen
a. Pengetahuan
pengetahuan1
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid kurang 30 37.5 37.5 37.5
baik 50 62.5 62.5 100.0
Total 80 100.0 100.0
b. Sikap
c. Menguras
menguras
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid < 1 kali seminggu 35 43.8 43.8 43.8
> = 1 kali seminggu 45 56.2 56.2 100.0
Total 80 100.0 100.0
d. Menyingkirkan
- Gambaran perlakuan
perlakuan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Loak 48 60.0 60.0 60.0
Dibakar 32 40.0 40.0 100.0
Total 80 100.0 100.0
sikap2
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid negatif 39 48.8 48.8 48.8
positif 41 51.2 51.2 100.0
Total 80 100.0 100.0
- Menyingkirkan
Menyingkirkan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid <1xseminggu 53 66.2 66.2 66.2
>=xseminggu 27 33.8 33.8 100.0
Total 80 100.0 100.0
e. Menutup
menutup
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tidak menutup 63 78.8 78.8 78.8
menutup 17 21.2 21.2 100.0
Total 80 100.0 100.0
f. Ketersediaan tutup
ketersediaan tutup
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tidak punya tutup 57 71.2 71.2 71.2
punya tutup 23 28.8 28.8 100.0
Total 80 100.0 100.0
g. Jenis TPA
TPA
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tpa sehari2 62 77.5 77.5 77.5
tdk sehari2 18 22.5 22.5 100.0
Total 80 100.0 100.0
B. Bivariat
1. Pengetahuan
pengetahuan1 * larva Crosstabulation
larva
Total ada larva tidak ada larva
pengetahuan1 kurang Count 24 6 30
% within pengetahuan1 80.0% 20.0% 100.0%
baik Count 20 30 50
% within pengetahuan1 40.0% 60.0% 100.0%
Total Count 44 36 80
% within pengetahuan1 55.0% 45.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 12.121a 1 .000
Continuity Correctionb 10.559 1 .001
Likelihood Ratio 12.777 1 .000
Fisher's Exact Test .001 .000
Linear-by-Linear Association 11.970 1 .001
N of Valid Casesb 80
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
pengetahuan1 (buruk / baik) 6.000 2.082 17.292
For cohort larva = ada larva 2.000 1.363 2.936
For cohort larva = tidak ada
larva .333 .157 .706
N of Valid Cases 80
2. Sikap
sikap2 * larva Crosstabulation
larva
Total ada larva tidak ada larva
sikap2 negatif Count 28 11 39
% within sikap2 71.8% 28.2% 100.0%
positif Count 16 25 41
% within sikap2 39.0% 61.0% 100.0%
Total Count 44 36 80
% within sikap2 55.0% 45.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 8.673a 1 .003
Continuity Correctionb 7.399 1 .007
Likelihood Ratio 8.855 1 .003
Fisher's Exact Test .004 .003
Linear-by-Linear Association 8.564 1 .003
N of Valid Casesb 80
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17.55.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for sikap2
(negatif / positif) 3.977 1.556 10.163
For cohort larva = ada larva 1.840 1.197 2.829
For cohort larva = tidak ada
larva .463 .265 .808
N of Valid Cases 80
3. Menguras
menguras * larva Crosstabulation
larva
Total ada larva tidak ada larva
menguras < 1 kali seminggu Count 25 10 35
% within menguras 71.4% 28.6% 100.0%
> = 1 kali seminggu Count 19 26 45
% within menguras 42.2% 57.8% 100.0%
Total Count 44 36 80
% within menguras 55.0% 45.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 6.785a 1 .009
Continuity Correctionb 5.657 1 .017
Likelihood Ratio 6.933 1 .008
Fisher's Exact Test .013 .008
Linear-by-Linear Association 6.700 1 .010
N of Valid Casesb 80
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15.75.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for menguras (<
1 kali seminggu / > = 1 kali
seminggu)
3.421 1.333 8.777
For cohort larva = ada larva 1.692 1.133 2.526
For cohort larva = tidak ada
larva .495 .277 .883
N of Valid Cases 80
4. Menyingkirkan
menyingkirkan * larva Crosstabulation
larva
Total ada larva tidak ada larva
menyin
gkirkan
<1xsem
inggu
Count 34 19 53
% within A30 64.2% 35.8% 100.0%
≥1xsem
inggu
Count 10 17 27
% within A30 37.0% 63.0% 100.0%
Total Count 44 36 80
% within A30 55.0% 45.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 5.313a 1 .021
Continuity Correctionb 4.274 1 .039
Likelihood Ratio 5.338 1 .021
Fisher's Exact Test .032 .019
Linear-by-Linear Association 5.247 1 .022
N of Valid Casesb 80
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12,15.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for A30 (1 / 2) 3.042 1.163 7.960
For cohort larva = ada larva 1.732 1.018 2.947
For cohort larva = tidak ada
larva .569 .359 .904
N of Valid Cases 80
5. Menutup
Crosstab
larva
Total ada larva tidak ada larva
menutup tidak menutup Count 38 25 63
% within menutup 60.3% 39.7% 100.0%
menutup Count 6 11 17
% within menutup 35.3% 64.7% 100.0%
Total Count 44 36 80
% within menutup 55.0% 45.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 3.387a 1 .066
Continuity Correctionb 2.451 1 .117
Likelihood Ratio 3.393 1 .065
Fisher's Exact Test .099 .059
Linear-by-Linear Association 3.345 1 .067
N of Valid Casesb 80
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7,65.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for menutup
(tidak menutup / menutup) 2.787 .913 8.502
For cohort larva = ada larva 1.709 .871 3.353
For cohort larva = tidak ada
larva .613 .385 .976
N of Valid Cases 80
6. Ketersediaan tutup
Crosstab
larva
Total ada larva tidak ada larva
ketersediaan tutup tidak punya tutup Count 30 27 57
% within ketersediaan tutup 52.6% 47.4% 100.0%
punya tutup Count 14 9 23
% within ketersediaan tutup 60.9% 39.1% 100.0%
Total Count 44 36 80
% within ketersediaan tutup 55.0% 45.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .449a 1 .503
Continuity Correctionb .178 1 .673
Likelihood Ratio .452 1 .501
Fisher's Exact Test .621 .338
Linear-by-Linear Association .444 1 .505
N of Valid Casesb 80
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10,35.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for ketersediaan
tutup (tidak punya tutup /
punya tutup)
.714 .267 1.914
For cohort larva = ada larva .865 .574 1.303
For cohort larva = tidak ada
larva 1.211 .679 2.159
N of Valid Cases 80
7. Jenis TPA
TPA * larva Crosstabulation
larva
Total ada larva tidak ada larva
TPA tpa sehari2 Count 29 33 62
% within TPA 46.8% 53.2% 100.0%
tdk sehari2 Count 15 3 18
% within TPA 83.3% 16.7% 100.0%
Total Count 44 36 80
% within TPA 55.0% 45.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 7.533a 1 .006
Continuity Correctionb 6.129 1 .013
Likelihood Ratio 8.190 1 .004
Fisher's Exact Test .007 .005
Linear-by-Linear Association 7.439 1 .006
N of Valid Casesb 80
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,10.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for TPA (tpa
sehari2 / tdk sehari2) .176 .046 .669
For cohort larva = ada larva .561 .401 .786
For cohort larva = tidak ada
larva 3.194 1.108 9.209
N of Valid Cases 80
C. Multivariat
Logistic Regression
Case Processing Summary
Unweighted Casesa N Percent
Selected Cases Included in Analysis 80 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 80 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 80 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of
cases.
Dependent Variable Encoding
Original Value Internal Value
ada larva 0
tidak ada larva 1
Block 0: Beginning Block
Classification Tablea,b
Observed
Predicted
larva Percentage
Correct ada larva tidak ada larva
Step 0 larva ada larva 44 0 100.0
tidak ada larva 36 0 .0
Overall Percentage 55.0
Classification Tablea,b
Observed
Predicted
larva Percentage
Correct ada larva tidak ada larva
Step 0 larva ada larva 44 0 100.0
tidak ada larva 36 0 .0
Overall Percentage 55.0
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is ,500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant -.201 .225 .797 1 .372 .818
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables Kuras 6.785 1 .009
singkir 5.313 1 .021
Menutup 3.387 1 .066
TPA 7.533 1 .006
pengetahuan1 12.121 1 .000
sikap2 8.673 1 .003
Overall Statistics 28.126 6 .000
Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 33.953 6 .000
Block 33.953 6 .000
Model 33.953 6 .000
Model Summary
Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R
Square
Nagelkerke R
Square
1 76.149a .346 .463
a. Estimation terminated at iteration number 5 because
parameter estimates changed by less than ,001.
Classification Tablea
Observed
Predicted
larva Percentage
Correct ada larva tidak ada larva
Step 1 larva ada larva 34 10 77.3
tidak ada larva 8 28 77.8
Overall Percentage 77.5
a. The cut value is ,500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95,0% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a Kuras .846 .603 1.969 1 .161 2.330 .715 7.598
singkir 1.125 .641 3.078 1 .079 3.081 .876 10.830
Menutup .083 .777 .011 1 .915 1.086 .237 4.986
TPA -1.966 .820 5.752 1 .016 .140 .028 .698
pengetahuan1 1.890 .650 8.443 1 .004 6.617 1.850 23.669
sikap2 1.128 .606 3.467 1 .063 3.088 .942 10.119
Constant -3.779 1.288 8.604 1 .003 .023
a. Variable(s) entered on step 1: Kuras, singkir, Menutup, TPA, pengetahuan1, sikap2.
Logistic Regression
Case Processing Summary
Unweighted Casesa N Percent
Selected Cases Included in Analysis 80 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 80 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 80 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of
cases.
Dependent Variable Encoding
Original Value Internal Value
ada larva 0
tidak ada larva 1
Block 0: Beginning Block
Classification Tablea,b
Observed
Predicted
larva Percentage
Correct ada larva tidak ada larva
Step 0 larva ada larva 44 0 100.0
tidak ada larva 36 0 .0
Overall Percentage 55.0
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is ,500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant -.201 .225 .797 1 .372 .818
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables Kuras 6.785 1 .009
singkir 5.313 1 .021
TPA 7.533 1 .006
pengetahuan1 12.121 1 .000
sikap2 8.673 1 .003
Overall Statistics 28.062 5 .000
Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 33.942 5 .000
Block 33.942 5 .000
Model 33.942 5 .000
Model Summary
Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R
Square
Nagelkerke R
Square
1 76.160a .346 .463
a. Estimation terminated at iteration number 5 because
parameter estimates changed by less than ,001.
Classification Tablea
Observed
Predicted
larva Percentage
Correct ada larva tidak ada larva
Step 1 larva ada larva 34 10 77.3
tidak ada larva 8 28 77.8
Overall Percentage 77.5
a. The cut value is ,500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95,0% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a Kuras .852 .600 2.014 1 .156 2.344 .723 7.601
singkir 1.133 .637 3.166 1 .075 3.105 .891 10.813
TPA -1.974 .818 5.833 1 .016 .139 .028 .689
pengetahuan1 1.898 .646 8.630 1 .003 6.675 1.881 23.689
sikap2 1.146 .580 3.907 1 .048 3.146 1.010 9.805
Constant -3.709 1.106 11.247 1 .001 .025
a. Variable(s) entered on step 1: Kuras, singkir, TPA, pengetahuan1, sikap2.
Logistic Regression
Case Processing Summary
Unweighted Casesa N Percent
Selected Cases Included in Analysis 80 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 80 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 80 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of
cases.
Dependent Variable Encoding
Original Value Internal Value
ada larva 0
tidak ada larva 1
Block 0: Beginning Block
Classification Tablea,b
Observed
Predicted
larva Percentage
Correct ada larva tidak ada larva
Step 0 larva ada larva 44 0 100.0
tidak ada larva 36 0 .0
Overall Percentage 55.0
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is ,500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant -.201 .225 .797 1 .372 .818
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables singkir 5.313 1 .021
TPA 7.533 1 .006
pengetahuan1 12.121 1 .000
sikap2 8.673 1 .003
Overall Statistics 26.860 4 .000
Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 31.899 4 .000
Block 31.899 4 .000
Model 31.899 4 .000
Model Summary
Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R
Square
Nagelkerke R
Square
1 78.203a .329 .440
a. Estimation terminated at iteration number 5 because
parameter estimates changed by less than ,001.
Classification Tablea
Observed
Predicted
larva Percentage
Correct ada larva tidak ada larva
Step 1 larva ada larva 36 8 81.8
tidak ada larva 10 26 72.2
Overall Percentage 77.5
a. The cut value is ,500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95,0% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a singkir 1.376 .615 5.000 1 .025 3.957 1.185 13.215
TPA -2.046 .788 6.746 1 .009 .129 .028 .605
pengetahuan1 1.918 .634 9.140 1 .003 6.807 1.963 23.604
sikap2 1.115 .566 3.887 1 .049 3.050 1.007 9.240
Constant -3.508 1.078 10.591 1 .001 .030
a. Variable(s) entered on step 1: singkir, TPA, pengetahuan1, sikap2.