i. pendahuluan i.1. latar belakang -...
TRANSCRIPT
1
I. PENDAHULUAN
I.1. Latar belakang
Saat ini survei dan pemetaan telah memasuki perkembangan teknologi
ekstrateristrial, ditandai dengan banyak satelit yang dimanfaatkan untuk berbagai
kepentingan pemetaan. Kepentingan pemetaan ekstraterestrial ini meliputi survei
pemetaan udara (aerial/angkasa), antariksa (space), maupun luar antariksa (outer
space). Perkembangan teknologi ini berpengaruh terhadap berbagai model
tinggi/model 3D/height model yang meliputi Digital Surface Model (DSM),
Digital Elevation Model (DEM), Digital Terrain Model (DTM), Digital Ground
Model (DGM), Digital Height Model (DHM), Digital Terrain Elevation Model
(DTED) maupun Earth Gravitational Model (EGM) (Li dkk., 2005).
Model tinggi dapat dibuat dari data optik, radar, dan sonar. Model tinggi
data optik tersebut menggunakan data citra satelit optik, foto udara, video. Pada
data optik, pembuatan model tinggi menggunakan metode model stereo,
videogrammetri, dan depth cue perceptive. Data radar dapat menggunakan data
citra satelit Synthetic Aperture Radar (SAR), Interferometry Synthethic Aperture
Radar (IFSAR), LIght Detection and Ranging (LIDAR). Pembuatan model tinggi
pada data radar menggunakan metode model stereo, interferometri, dan depth cue
perceptive. Model tinggi yang dibuat dengan sonar dapat menggunakan data
Interferometry Synhetic Aperture Sonar (IFSAS). (Julzarika, 2013)
DSM adalah model elevasi yang termasuk atap bangunan, pohon, dan
obyek lainnya, biasa juga sebagai model kanopi (Li dkk, 2005). DEM adalah
model elevasi bare earth atau autokorelasi permukaan tanpa ada vegetasi,
bangunan, dan obyek lainnya (Petrie dan Kennie, 1987). DTM adalah DEM yang
sudah dilengkapi sungai, kontur, dan fitur yang ada di alam (Li dkk, 2005). EGM
adalah model geoid bumi, menggambarkan bidang ekuipotensial yang berimpit
dengan muka laut rerata (Vanicek dan Krakiwsky, 1986). Saat ini model tinggi
yang tersedia secara umum di Indonesia meliputi beberapa data seperti, peta Rupa
Bumi Indonesia produksi BIG, peta topografi produksi Dittopad, Shuttle Radar
2
Topographic Mission (SRTM C), X SAR (Terra, TANDEM, Spaceborne),
ASTER GDEM, ALOS (Palsar dan Prism).
Peta Rupa Bumi Indonesia merupakan produk yang umum digunakan
karena terdiri dari berbagai skala, tetapi saat ini skala yang detil (1:25.000 atau
1:50.000) tidak meliputi seluruh wilayah Indonesia. Selain itu beberapa peta
topografi yang dibuat dengan foto udara banyak mempunyai data hilang (missing
data) yang diakibat kesalahan interpolasi, wilayah tertutup awan saat pemotretan,
serta wilayah terletak pada dataran rendah atau wilayah datar, dan lain-lain. Pada
data ini, kesalahan tinggi terjadi pada wilayah datar. RBI 1: 50000 DEM (Spline)
Gambar I.1. DTM wilayah Aceh dari hasil interpolasi kontur Peta Rupa Bumi skala
1:50.000
Gambar I.1. memperlihatkan contoh DTM wilayah Banda Aceh yang
dibuat dengan melakukan interpolasi spline terhadap kontur dari Peta Rupa Bumi
skala 1:50.000. Hasil yang diperoleh adalah tidak ada informasi yang detil pada
wilayah dataran rendah dan wilayah datar (Trisakti dan Julzarika, 2010). Peta
Topografi Dittopad merupakan produk khusus yang dimiliki oleh TNI AD. Peta
ini memiliki skala 1:25.000, juga tidak meliputi seluruh wilayah Indonesia. Peta
ini masih menggunakan datum Bessel 1841. Pada data ini juga terjadi banyak
kesalahan tinggi di wilayah datar.
Gambar I.2. merupakan contoh model tinggi wilayah Enrekang yang
dibuat dengan interpolasi Spline terhadap kontur dari Peta Rupa Bumi skala
1:25.000. Interpolasi Spline adalah interpolasi dengan membuat segmen-segmen
garis yang menghubungkan titik-titik interpolasi dan menghasilkan interpolasi
3
tidak mulus. Interpolasi Spline menghendaki kurva yang diperoleh mempunyai
pola seperti interpolasi linear dan kurva tersebut mulus. Persyaratan interpolasi
Spline adalah derivatif ke satu dan derivatif ke dua dari fungsi interpolasi tersebut
kontinyu dan harga derivatif ke satu tidak jauh berbeda antar titik interpolasi
(harga derivatif ke dua sekecil mungkin). Hasil yang diperoleh adalah tidak ada
informasi yang detil pada wilayah dataran rendah dan wilayah datar (Trisakti dan
Julzarika, 2010)
Gambar I. 2. DTM wilayah Enrekang dari hasil interpolasi kontur Peta Topografi
(Dittopad) skala 1:25.000
Ada beberapa contoh model tinggi global yang bebas diakses dan bisa
menjadi alternatif berbagai aplikasi. Model global tersebut adalah SRTM C, X
SAR, ASTER GDEM, ALOS Prism, ALOS Palsar. Semua model tinggi termasuk
model tinggi global masih memiliki banyak kesalahan tinggi (noise) sehingga
tidak optimal dalam penggunaan berbagai aplikasi. Sebagai contoh SRTM C yang
memiliki akurasi vertikal global 10-16 m. Jika dilakukan koreksi kesalahan tinggi
maka akurasi vertikal bisa dioptimalkan menjadi 5-8 m. Integrasi SRTM C
dengan ALOS Palsar maupun X SAR mampu meningkatkan akurasi vertikal
sampai dengan 1-5 m (Julzarika dan Sudarsono, 2009) : (Julzarika, 2011a) :
(Trisakti dkk, 2011).
Filosofi integrasi model tinggi adalah satu data dengan akurasi vertikal
lebih baik di dataran tinggi dan satu data lagi dengan akurasi vertikal lebih baik di
dataran rendah. Jika keduanya diintegrasikan dengan hanya mengambil kelebihan
4
dari setiap data maka akan menghasilkan model tinggi dengan akurasi vertikal
yang lebih baik dibanding kedua model tinggi sebelumnya. Filosofi lainnya juga
bisa dengan satu data dengan konsep stereo optik dan satu data lagi dengan
konsep interferometri. Setelah itu diambil karakteristik yang optimal akurasi
vertikalnya dari setiap model tinggi. Kemudian dilakukan integrasi sehingga akan
diperoleh model tinggi dengan akurasi vertikal lebih baik dari kedua model tinggi
sebelumnya.
SRTM C merupakan produk DSM yang dihasilkan melalui metode
Interferometri menggunakan spaceborne milik NASA, DLR, dan ASI (DLR,
2010). Model tinggi ini memiliki resolusi spasial (3 arc second=90 m dan 30 arc
second=900 m). SRTM C 3 arc second memiliki akurasi vertikal 5-8m untuk
wilayah Indonesia (Trisakti dan Julzarika, 2011). Selain itu, pada spaceborne
tersebut juga dipasang sensor lain, yaitu X SAR dengan resolusi spasial (1 arc
second=25 m). X SAR memiliki resolusi spasial 3-5 m untuk wilayah Indonesia
(DLR, 2010). Data X SAR resolusi spasial 25 m memiliki tingkat akurasi
mencapai 3 m tetapi tidak meliputi seluruh wilayah Indonesia (Keydel dkk, 2000),
diperlihatkan pada gambar I.3, selain itu data DSM berbasis IFSAR sering
memiliki kesalahan yang disebabkan oleh layover, shadow dan atmosferic effect
(temporal decorrelation) (Karkee dkk, 2006).
Gambar I. 3. Liputan X SAR yang mencakupi wilayah Indonesia
5
Model tinggi ALOS Palsar bisa menjadi alternatif pemenuhan kebutuhan
dengan resolusi spasial (6-10 m) dan akurasi vertikal 2-5 m (Julzarika dan
Sudarsono, 2009). Pada data SRTM C, X SAR, dan ALOS Palsar, kesalahan
tinggi terjadi pada frekuensi rendah di setiap piksel. Kesalahan tinggi merupakan
kesalahan anomali tinggi yang terjadi akibat adanya puncak (spire) dan lembah
(pit) terhadap delapan tetangga terdekatnya.
Istilah kesalahan tinggi (height error) digunakan di DLR, NASA, dan
LAPAN. Istilah lain height error adalah bull eye’s yang digunakan di Amerika
Serikat, Golden software, dan LAPAN. Istilah noise digunakan di Eropa dan
Kanada, sedang istilah pit dan spire digunakan di sebagian Amerika Utara. Cara
untuk meminimalkan kesalahan tinggi adalah dengan koreksi kesalahan tinggi
dengan metode fill sink, cut terrain, dan height error maps (HEM) (Julzarika,
2011a). Secara umum, kesalahan tinggi pada data optik terjadi pada frekuensi
tinggi dan kesalahan tinggi pada data SAR terjadi pada frekuensi rendah.
Tabel I. 1. Akurasi DSM X SAR, SRTM C, dan ALOS
Tahun Sensor satelit Referensi Akurasi (m)
2005 X SAR (Gesch, 2005) 3–5 m
2006 X SAR (Yastikh, 2006) 5.6
2006 SRTM C (Yastikh, 2006) 9.6 m
2006 ALOS PRISM (JAXA, 2006a) < 6.5 m
2008 ALOS PRISM (Bignone & Umakawa,
2008)
2–5 m
2008 ALOS PRISM (Schneider dkk, 2008) 4 m
2009 ALOS Palsar (Julzarika dan
Sudarsono, 2009)
2-3 m
2010 ALOS PRISM (Trisakti dan Julzarika,
2010)
< 5 m
Integrasi model tinggi diperlukan karena merupakan solusi optimal dalam
penyediaan data model tinggi dengan akurasi vertikal optimal. Selain itu integrasi
model tinggi juga akan menyebabkan efisiensi biaya dalam penyediaan data
model tinggi yang akurat. Proses integrasi model tinggi juga efektif dari segi
waktu pembuatannya.
6
Masalah ketersediaan model tinggi yang siap pakai di Indonesia adalah
belum lengkap model tinggi lokal dan regional dari peta topografi yang disediakan
oleh pihak BIG dan Dittopad-TNI. Saat ini data model tinggi yang ada masih
bersifat komersil dan belum diperbaharui sejak lebih dari 20 tahun yang lalu.
Permasalahan lainnya adalah data tersebut belum dilakukan koreksi undulasi
geoid ke EGM 2008 dan koreksi kesalahan tinggi. Saat ini model tinggi yang siap
pakai adalah SRTM C dengan bidang referensi EGM 1996 dan belum dikoreksi
kesalahan tinggi. Selain itu ada juga pihak pengguna yang menggunakan Aster
GDEM yang maasih memiliki banyak pit dan spire. Saat ini juga telah tersedia
gratis data X SAR dari DLR dan NASA. X SAR dari DLR masih berupa
interferogram, belum dikoreksi kesalahan tinggi, dan belum dilakukan koreksi
undulasi geoid. X SAR dari NASA sudah berupa model tinggi dengan bidang
referensi EGM 1996, belum dikoreksi kesalahan tinggi dan masih banyak terdapat
data hilang (missing data). Beberapa laporan ilmiah tentang akurasi model tinggi,
integrasi model tinggi, dan fusi model tinggi ada di laporan penelitian di LAPAN,
Kemenristek, JAXA, dan publikasi jurnal ilmiah.
Data yang digunakan untuk integrasi model tinggi ini adalah SRTM C, X
SAR, Aster GDEM, dan ALOS Palsar. SRTM C merupakan model tinggi dengan
resolusi spasial 90 m yang diperoleh dari band C data SAR dengan pembuatan
secara interferometri. Data X SAR merupakan model tinggi dengan resolusi
spasial 25 m yang diperoleh dari band X data SAR dengan pembuatan secara
interferometri (Bamler, 1999). ALOS Palsar merupakan model tinggi dengan
resolusi spasial 6,25 m yang diperoleh dari band L data SAR secara
interferometri.
Model tinggi data SRTM C, X SAR, Alos Palsar memiliki kesalahan
vertikal baik berupa pits maupun spires pada wilayah memiliki frekuensi rendah.
X SAR lebih mencerminkan kondisi sebenar dari DSM, hal ini bisa dibuktikan
dengan analisis permukaan tren dan jenis band yang digunakan. Aster GDEM
merupakan model tinggi dengan resolusi spasial 30 m yang dibuat dengan metode
stereo terhadap citra Aster yang memiliki dua arah pandangan berbeda. Model
7
tinggi data optik ini memiliki kesalahan vertikal pada wilayah yang memiliki
frekuensi tinggi.
Integrasi model tinggi ini diperlukan untuk mendapatkan akurasi vertikal
yang lebih baik dan bebas dari kesalahan vertikal seperti kesalahan tinggi. Kondisi
DSM diperoleh dari model tinggi X SAR, resolusi spasial dari ALOS Palsar dan
X SAR, bebas kesalahan tinggi pada wilayah berfrekuensi tinggi yang diperoleh
dari data SRTM C, dan bebas kesalahan tinggi pada wilayah berfrekuensi rendah
yang diperoleh dari data Aster GDEM. Kelebihan dari masing-masing
karakteristik data model tinggi yang digunakan dalam integrasi model tinggi ini.
I.2. Rumusan masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah terkait integrasi model tinggi
data SRTM C, X SAR, ALOS Palsar, dan Aster GDEM.yang dapat digunakan
untuk mengatasi kelangkaan model tinggi yang akurat di Indonesia. Integrasi
model tinggi ini juga diharapkan untuk memperoleh model tinggi yang bebas dari
kesalahan tinggi, dan bisa digunakan untuk berbagai aplikasi sesuai dengan
standar tertentu. Data model tinggi yang tersedia di Indonesia dalam kondisi
belum siap pakai. Data yang belum siap pakai ini juga bersifat komersil dan
belum diperbaharui lebih dari 20 tahun. Selain itu juga belum banyak laporan
akurasi model tinggi, integrasi model tinggi, maupun fusi model tinggi.
I.3. Pertanyaan Penelitian
Ada lima pertanyaan penelitian dalam penelitian ini diantaranya adalah:
1. Apakah kondisi data masih ada kesalahan tinggi?
2. Bagaimana cara melakukan integrasi model tinggi yang akurat?
3. Berapa akurasi vertikal dari integrasi model tinggi tersebut?
4. Apakah koreksi kesalahan tinggi berpengaruh signifikan terhadap integrasi
model tinggi tersebut?
5. Apakah integrasi model tinggi bisa menghasilkan integrasi model tinggi
dengan minimal kesalahan tinggi?
8
I.4. Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk integrasi model tinggi menggunakan SRTM
C, X SAR, ALOS Palsar, dan Aster GDEM yang menghasilkan akurasi vertikal
lebih baik dan minimal kesalahan tinggi dengan bidang geoid EGM 2008.
I.5. Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi semua pihak, yaitu:
1. Dapat mengatasi kelangkaan data model tinggi untuk seluruh wilayah
Indonesia yang telah dilakukan koreksi kesalahan tinggi.
2. Hasil integrasi model tinggi bisa menghasilkan akurasi vertikal lebih baik
dan minimal kesalahan tinggi.
I.6. Cakupan penelitian
Pada penelitian ini, lebih difokuskan pada integrasi model tinggi SRTM C,
X SAR, ASTER GDEM, ALOS Palsar dengan model geoid EGM2008. Integrasi
model tinggi ini menggunakan dua parameter yaitu analisis permukaan tren dan
beda nilai tinggi. Hasil integrasi model tinggi tersebut bisa dievaluasi standar peta.
Standar peta yang digunakan adalah ASPRS accuracy standard for digital
geospatial data yang telah menjadi salah satu acuan penelitian di LAPAN.
I.7. Tinjauan pustaka
Penelitian ini memiliki keaslian dari segi metode yang diperbaharui dalam
integrasi, koreksi kesalahan tinggi, bidang georeferensi geoid EGM 2008,
penyamaan bidang referensi jenis model tinggi yang digunakan serta lokasi
penelitian yang dilakukan. Ada dua metode penggabungan model tinggi yaitu
integrasi dan fusi. Pada penelitian ini fokus pada integrasi model tinggi dengan 11
kombinasi dari empat jenis data. Ada beberapa penelitian lain yang telah
dilakukan, akan tetapi memiliki perbedaan, lihat tabel I.2..
Tema penelitian lain bisa digunakan untuk membantu penelitian di
Indonesia. Salah satunya dalam penggunaan koreksi kesalahan tinggi dan integrasi
9
model tinggi yang dapat meningkatkan akurasi vertikal dan meminimalkan
kesalahan tinggi.
Tabel I. 2. Perbandingan tesis dengan tema penelitian yang lain yang berhubungan dengan
penggabungan model tinggi
No Nama
peneliti
Metode
penggabungan
Koreksi
kesalahan
tinggi
Bidang
geoid
Jenis model
tinggi
Lokasi
penelitian
1. Honikel,
1998
Fusi Tidak ada EGM96 Optik, InSAR Belanda
2. Keydel
dkk, 2000
Fusi Tidak ada EGM96 X SAR, SRTM
C
Pulau Samos
3. Yastikh,
2006
Fusi Tidak ada EGM96 GTOPO30,
SRTM, X SAR
Istambul
4. Schneider
dkk, 2008
Fusi Tidak ada EGM96 ALOS Prism,
SRTM C
Barcelona
5. Hoja dkk,
2006
Fusi (ada
pembobotan) dan
integrasi (tanpa
bobot)
Fill sink, cut
terrain
EGM 96 SPOT 5, X
SAR
Catalonia
6. Trisakti
dan
Julzarika,
2010
Fusi (ada
pembobotan) dan
integrasi (tanpa
bobot)
HEM EGM2008 Topografi
(Dittopad),
RBI BIG,
SRTM C,
ALOS Prism
Sragen,
enrekang,
bogor, bali
7. Hoja dan
d’angelo,
2010
Fusi (ada
pembobotan) dan
integrasi (tanpa
bobot)
Fill sink, cut
terrain
EGM96 Cartosat,
SRTM C
Catalonia
8. Julzarika,
2011c
Fusi Fill sink, cut
terrain
EGM2008 SRTM C,
Altimetri
Borneo
9. Julzarika
dkk, 2012
Integrasi (tanpa
bobot)
Fill sink, cut
terrain
EGM2008 SRTM C, X
SAR
Kalsel,
Kaltim,
Indonesia-
Malaysia
10. Julzarika
dkk, 2013
Integrasi (tanpa
bobot)
HEM EGM2008 SRTM C, X
SAR
Sumbawa
11. Julzarika,
2014
(tesis)
Integrasi (dengan
bobot)
HEM EGM2008 X SAR, SRTM
C, Palsar,
ASTER
GDEM
Tabalong-
Paser
10
I.8. Landasan teori
I.8.1. Model Tinggi Global
Model tinggi atau juga dikenal dengan model 3D merupakan tampilan
suatu model dengan sistem koordinat 3D (polar, geodetik, raster dan kartesi)
dengan bidang referensi yang terdefinisi terhadap proyeksi dan datum tertentu.
Model 3D dapat dibuat dari data radar dan optik. Selain itu model tinggi juga bisa
didefinisikan sebagai model digital yang memberikan informasi bentuk
permukaan bumi (topografi) dalam bentuk data raster, vektor atau bentuk data
lainnya.
Gambar I. 4. Perbedaan DSM, DEM, DTM, EGM
Model tinggi terdiri dari dua informasi, yaitu: data tinggi dan data posisi
koordinat dari tinggi tersebut di permukaan bumi. Pada beberapa referensi, istilah
model tinggi sering dikaitkan dengan beberapa istilah lainnya yaitu: Digital
Elevation Model (DEM), Digital Terrain Model (DTM) dan Digital Surface
Model (DSM).
11
DEM: Digital Elevation Model DTM: Digital Terain Model
Rendah Tinggi
DSM: Digital Surface Model
Gambar I. 5. Tampilan DSM, DEM, DTM
Gambar I.4. dan I.5. memperlihatkan perbedaan antara DEM, DTM dan
DSM. DEM merupakan informasi tinggi permukaan bumi yang ditampilkan tanpa
ada obyek permukaan bumi, dalam kondisi bare earth. DTM merupakan
informasi tinggi dari permukaan bumi tanpa ada obyek permukaan bumi, tapi
sudah dilengkapi dengan fitur alami seperti sungai. DSM merupakan informasi
tutupan lahan dari permukaan bumi beserta obyek permukaan bumi diatasnya
(sebagai contoh, daerah perkotaan 3D). Penyimpanan data model tinggi
menggunakan format Geotiff dengan tipe file 32 bit floating point samples
(ASPRS, 2014).
I.8.3. SRTM C dan X SAR
I.8.3.1. Sekilas tentang SRTM C dan X SAR
Data Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) merupakan suatu bentuk
data yang menyediakan informasi tentang tinggi tempat atau biasa disebut DSM.
Data ini diperoleh dari sistem radar yang dipasang pada Pesawat Ruang Angkasa
selama 11 hari misinya pada Februari 2000, lihat gambar I.6. Data ini mempunyai
resolusi spasial yang tinggi yaitu 3 arc second (≈90m) (NASA, 2005). X SAR
mempunyai resolusi spasial 1 arc second (≈25m) (DLR, 2010).
12
Gambar I. 6. Cakupan dan nilai parameter SRTM C dan X SAR
Secara global, X SAR memiliki akurasi vertikal 9 m (relatif) dan ~15 m
(absolut) untuk 90% data (DLR, 2003) sedangkan SRTM C memiliki akurasi
vertikal 10 m (relatif) dan ~16 m (absolut) untuk 90% data (NASA, 2005).
I.8.3.2. Teknik pembuatan DSM dengan SRTM C dan X SAR
Teknik pembuatan DSM dengan SRTM C dan X SAR menggunakan
metode interferometri. Data dari SRTM C dan X SAR dilakukan integrasi dengan
ERS-Tandem supaya bisa dilakukan interferometri (DLR, 2003).
Gambar I. 7. Interferometri SRTM C, X SAR, ERS-Tandem (Knopfle dkk, 1998)
13
Parameter yang terdapat pada gambar I.7 adalah B, H, r1, Δr, r2, ζ, dan θ.
B adalah basis antar dua wahana, H adalah tinggi terbang, r (r1, r2, Δr) adalah
jarak dari wahana ke obyek (slant range), ζ adalah sudut antara dua wahana, dan θ
adalah sudut pandang (incidence angle) (Knopfle dkk, 1998).
I.8.3.3. Interferometri
Interferometric Synthetic Aperture Radar (InSAR) adalah teknologi
penginderaan Jauh yang menggunakan citra hasil sensor radar dari pesawat
udara/satelit (Lusch, 1999). Sensor radar pada pesawat udara dan satelit
memancarkan gelombang radar secara konstan, kemudian gelombang radar
tersebut direkam setelah diterima kembali oleh sensor akibat dipantulkan oleh
target di permukaan bumi. (ESA, 2007)
Citra radar yang diperoleh dari pesawat udara maupun satelit berisi dua
informasi penting. Informasi tersebut adalah daya sinar pancar berupa fase dan
amplitudo yang dipengaruhi oleh banyaknya gelombang yang dipancarkan serta
dipantulkan kembali. Gambar I.8 merupakan grafik fase pada satu amplitudo
dalam perekaman citra radar.
Gambar I. 8. Grafik Fase
Pada saat gelombang dipancarkan dilakukan pengukuran fase. Pada citra
yang diperoleh dari tiap elemen citra (piksel) akan memiliki dua informasi
14
tersebut. Intensitas sinyal dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik dari
obyek yang memantulkan gelombang tersebut, sedangkan fase gelombang
digunakan untuk menentukan apakah telah terjadi pergerakan (deformasi) pada
permukaan yang memantulkan gelombang tersebut. (Hoffman dan Walter, 2006)
InSAR merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mengekstraksi
informasi tiga dimensi (3D) dari permukaan bumi dengan pengamatan fase
gelombang radar (Julzarika dan Susanto, 2009). Pada awalnya radar interferometri
digunakan untuk pengamatan permukaan bulan dan planet venus. Pada tahun 1974
teknik ini diaplikasikan pertama kali di bidang pemetaan. Untuk memperoleh
topografi dari citra harus dipenuhi dua buah syarat, yaitu obyek dipermukaan
bumi yang dicitrakan harus dapat terlihat dengan jelas atau memiliki resolusi citra
yang tinggi sehingga dapat dilakukan interpretasi dan identifikasi yang
sesuai.(ESA, 2007)
Selain itu citra harus memiliki posisi tiga dimensi yang cukup sehingga
daerah yang akan dipetakan dapat diketahui topografinya. Kedua hal tersebut
hanya dapat dipenuhi oleh teknik InSAR. Hal inilah yang menyebabkan semakin
banyak bidang kajian yang mengaplikasikan InSAR. Teknik interferometri
mencitrakan suatu obyek di permukaan bumi dengan cara melakukan pengamatan
terhadap beda fase dua gelombang pendar yang berasal dari satu obyek (Julzarika
dan Susanto, 2009).
Metode pencitraan InSAR dapat diterapkan pada wahana pesawat terbang
maupun wahana satelit. Pada wahana pesawat terbang digunakan dua antena pada
saat yang sama dan melakukan pencitraan dengan sekali melintas (single pass),
sedangkan pada wahana satelit digunakan satu antena dengan melakukan
pencitraan dengan melintas lebih dari sekali pada waktu yang berbeda (multi
pass). Pada penggunaan dua buah antena, berdasarkan posisi antena dapat dibagi
menjadi dua macam, yaitu posisi melintang pesawat terbang (accross track), dan
memanjang pesawat terbang (along track) (ESA, 2007). Gambar I.9. merupakan
metode pencitraan dengan wahana satelit dengan sekali melintas (single pass).
15
Gambar I. 9. Metode Pencitraan InSAR dengan wahana satelit, juga mirip wahana pesawat
terbang
InSAR dapat dilakukan dengan wahana satelit dan wahana pesawat
terbang. Teknik InSAR yang menggunakan satelit dilakukan dengan cara
pengulangan lintasan (multi pass). Pengulangan lintasan pada daerah yang sama di
permukaan Bumi memungkinkan terjadi perubahan liputannya. Perubahan liputan
lahan ini mempengaruhi sinyal balik radar. Penggunaan dua satelit yang memiliki
perbedaan waktu melintas 1 hari, maka liputan lahan relatif masih tetap. Sensor
pada satelit untuk melakukan penginderaan InSAR ke arah samping kanan dengan
sudut masuk sebesar 23 derajat dan tegak lurus arah lintasan. Hal ini
menyebabkan pada saat satelit bergerak pada posisi naik dari selatan ke utara yang
disebut juga ascending sensor mengarah ke timur, sebaliknya saat descending dari
arah utara kes elatan sensor mengarah ke barat (Julzarika dan Susanto, 2009).
Pencitraan InSAR dengan pesawat terbang menggunakan konsep posisi
melintang pesawat terbang (accross track), dan memanjang pesawat terbang
(along track). Hasil InSAR yang dihasilkan jauh lebih akurat dan presisi
dibandingkan dengan wahana satelit. Data yang digunakan pada penelitian ini
menggunakan metode along track sehingga geometri citra sudah dalam posisi
orthoimage. (ESA, 2007)
Apabila dicitrakan oleh suatu sensor, dua titik di permukaan bumi yang
memiliki jarak dan azimuth tertentu kemungkinan kedua titik tersebut muncul
pada satu elemen citra (piksel) yang sama, padahal kedua titik tersebut
16
kenyataannya memiliki tinggi yang berbeda, namun menjadi tidak dapat
dibedakan. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan adanya sensor lain (sensor
kedua) yang dapat menunjukkan adanya perbedaan elevasi diantara kedua titik
tersebut. Sensor kedua melakukan pencitraan dengan posisi berbeda dengan
sensor pertama. Pada masing-masing citra untuk titik yang sama akan mempunyai
nilai fase yang berbeda. Beda fase itulah yang merupakan fungsi tingginya. Beda
fase ini memiliki nilai pada rentang minus phi hingga positif phi, sehingga hanya
dapat diukur dengan ambiguitas 2 phi. (Julzarika dan Susanto, 2009)
Salah satu hal yang menentukan dalam beda fase adalah pencitraan kedua
yang dibedakan dengan pencitraan pertama oleh garis dasar (baseline). Garis
dasar ini disebut juga dengan nama garis dasar interferometrik. Garis dasar
interferometrik pesawat udara radar dapat digunakan untuk keperluan tertentu.
Semakin pendek garis dasar interferometrik maka pengaruh terhadap perubahan
tinggi akan semakin besar. Hal ini disebabkan dengan meningkatnya panjang garis
dasar interferometrik, maka derau fase juga akan semakin meningkat sehingga
terjadi ketidaksesuaian antara citra utama dengan citra kedua.
I.8.3.4. Karakteristik panjang gelombang SAR
Data penginderaan jauh dapat digunakan untuk aplikasi penghitungan
volume permukaan, yaitu model 3D dari data radar. Citra SAR memiliki beberapa
jenis band, yaitu X, C, L, P band yang memiliki perbedaan pendefinisian dalam
bidang referensi tinggi permukaan. Model 3D dari SAR X Band hanya mampu
memetakan pada permukaan obyek bangunan maupun tajuk. SAR dengan C Band
memiliki penetrasi lebih tajam, demikian pula dengan SAR L Band. SAR P band
bisa melakukan penetrasi sampai ke permukaan tanah. Tinggi obyek dapat
diketahui dari beda referensi tinggi antara X atau C band terhadap L atau P band.
Ilustrasi ini dapat dilihat pada gambar I.10. (Julzarika, 2011a)
17
Gambar I. 10. Ilustrasi penetrasi band X, C, L, dan P data SAR
Contoh DSM X Band adalah DEM1 X SAR, TerraSAR X. Contoh DSM C
Band adalah SRTM C, ENVISAT, Cosmo SkyMed. Contoh DSM L Band adalah
ALOS Palsar, sedangkan contoh DSM P Band ENVISAT, GeoSAR Airborne.
Koreksi volume permukaan yang memiliki akurasi tinggi adalah DSM X Band -
DSM P Band sedangkan koreksi permukaan yang memiliki akurasi rendah adalah
DSM C Band – DSM L Band. Gambar I.11 berikut merupakan tampilan penetrasi
band X, C, dan L SAR terhadap vegetasi tinggi dan rapat seperti hutan. (Julzarika,
2011b)
Gambar I. 11. tampilan penetrasi band X, C, dan L SAR terhadap vegetasi tinggi dan rapat
seperti hutan
18
Faktor penyebab berbagai jenis penetrasi band SAR ini disebabkan oleh
jendela atmosfer yang digunakan. Absorpsi air akan optimal jika menggunakan
band P dan L, sedangkan band C dan X akan kurang optimal dalam absorpsi air.
Hal ini merupakan salah satu penyebab perbedaan penetrasi dari band X, C, L,
dan P. (Julzarika, 2011c)
Gambar I. 12. Pola absorpsi air pada band X, C, dan L
Pada proses perekaman data SAR, penetrasi pada masing-masing panjang
gelombang tidak akan optimal terutama pada musim hujan. Hal ini disebabkan
oleh tidak optimal pemantulan balik pulsa radar pada obyek basah atau terkena
air. Gambar I.13 berikut merupakan perbandingan band X terhadap band Ka.
19
Gambar I. 13. Grafik perbandingan band X dan band Ka terhadap laju hujan per jam
Persentase pengembalian sinyal terrain akan optimal pada kondisi kering
atau hujan < 0,3 mm/jam. Pengembalian sinyal terrain tidak akan optimal jika
kondisi hujan < 1 mm/jam. Kesalahan tinggi yang ada pada model tinggi dari data
SAR terjadi di wilayah dataran rendah. Wilayah dataran tinggi akan memiliki nilai
kesalahan tinggi yang minimum. Jenis band data SAR sangat berpengaruh pada
kesalahan tinggi yang terjadi di dataran tinggi. Band X merupakan bentuk DSM
yang paling ideal jika dibandingkan dengan band C. band L merupakan bentuk
DEM paling ideal jika dibandingkan dengan data dari band X, C, dan L.
Perbedaan penetrasi ini bisa digunakan untuk aplikasi perhitungan volume
permukaan dan bisa diaplikasikan juga dalam perhitungan Karbon. (Julzarika,
2011b)
Demikian pula dengan dataran rendah, band X memiliki kesalahan tinggi
lebih besar jika dibandingkan dengan band C, L, dan P. Band P memiliki
kesalahan tinggi paling minmum. Koreksi kesalahan tinggi yang terjadi pada data
SAR bisa menggunakan filter low pass. Filter ini bisa meminimalkan kesalahan
tinggi yang terjadi pada dataran rendah. (Julzarika, 2011c):(Trisakti dan Julzarika,
2010)
20
I.8.4. ALOS Palsar
Palsar adalah suatu sensor gelombang-mikro aktif pada L-band (frekuensi-
pusat 1270 MHz/23,6 cm) yang dikembangkan dalam kerjasama dengan JAXA
dan JAROS (Japan Resorces Observation Systems Organization). Sensor Palsar
mempunyai suatu kemampuan off-nadir yang variabel antara 10 sampai dengan
51 derajat dengan menggunakan teknik phased array aktif dengan 80 modul-
modul untuk mentransmisikan/penerimaan. Palsar adalah suatu instrument yang
secara penuh polarimetrik, bekerja dengan salah satu dari mode : polarisasi
tunggal (HH atau VV), polarisasi rangkap dua (HH+HV atau VV+VH) atau
polarimetrik penuh (HH+HV+VH+VV). Sudut pandangan adalah variabel antara
7 dan 51 derajat (sudut datang 8-60 derajat), rata-rata dengan sudut 34,2 derajat.
(JAXA,2006a)
Gambar I. 14. Ilustrasi perekaman citra ALOS Palsar
Sensor Palsar dapat juga beroperasi pada mode ScanSAR dengan resolusi
yang kasar, dengan polarisasi tunggal (HH atau VV) dan lebar liputan satuan citra
250-350 km. Resolusi spasial sebesar 100 m dalam arah azimuth dan range. Mode
polarisasi akan dioperasikan untuk eksperimental. Polarisasi diubah dalam setiap
pulsa dari sinyal transmisi, dan sinyal polarisasi ganda diterima secara simultan.
Operasi dibatasi dalam sudut datang yang lebih rendah untuk mencapai hasil guna
yang lebih baik. Akurasi vertikal data ALOS Palsar adalah 5 m. (JAXA, 2006b)
21
Tabel I. 3. Karakteristik Teknis Sensor dan Data Citra PALSAR
Mode Operasi Fine Fine ScanSAR Polarimetrik
Chirp Bandwidth 28 MHz 14 MHz 14 MHz,28 MHz 14 MHz
Polarisasi HH, VV HH+HV,
VV+VH HH, VV
HH+VV+
HV+VH
Sudut Datang 8– 60 derajat 8– 60 derajat 18 – 43 derajat 8– 30 derajat
Resolusi spasial
Range 7 – 44 m 14 – 88 m 100 m (multi Look) 24 – 89 m
Lebar Liputan
satuan citra dari
pengamatan
40 – 70 km 40 – 70 km 250 – 350 km 20 – 65 km
Panjang bit 5 bit 5 bit 5 bit 3 / 5 bit
Kecepatan data 240 Mbps 240 Mbps 120 Mbps,
240 Mbps 240 Mbps
Akurasi Radiometrik
Citra ( Scene) : 1 dB/ orbit : 1,5 dB
Frekuensi Pusat L band (1270 MHz)
I.8.5. Aster GDEM
Aster GDEM merupakan model tinggi dalam bentuk DSM yang dibuat
dari citra Aster dengan metode stereo. Pembentukan model tinggi dengan metode
stereo ini menggunakan perhitungan beda paralaks. Aster GDEM memiliki
resolusi spasial 30 m. Aster GDEM memiliki kesalahan vertikal pada citra
ASTER yang memiliki awan dan kabut. Citra Aster yang digunakan pihak METi
dan JAXA sudah dilakukan koreksi geometrik dan radiometrik, kecuali koreksi
topografi. Aster GDEM dibuat oleh METi dan JAXA Jepang. Citra Aster
memiliki 15 band yang terdiri dari sensor VNIR, SWIR, TIR. Aster GDEM dibuat
secara stereo dari citra dari sensor VNIR. Akurasi vertikal data ini adalah 20 m.
(Lang dan Welch, 1999)
I.8.5.1. Pembentukan Model Tinggi secara Stereo
Gambar I.15 memperlihatkan konfigurasi dari sistem stereo ASTER.
Hubungan antara Base/Height dan α adalah B/H = tan α , dimana α adalah sudut
yang terbentuk antara arah nadir dan arah backward pada lokasi observasi di
permukaan bumi. Sudut α yang sesuai dengan rasio B/H sebesar 0.6 adalah sudut
30.960. Dengan mempertimbangkan bentuk dari permukaan bumi, maka sudut
22
antara teleskop nadir dan teleskop backward didesain menjadi sebesar 27.600.
(Trisakti dan Julzarika, 2010)
Gambar I. 15. Konfigurasi dari sistem stereo (Sensor ASTER)
Gambar I. 16. Pengambilan 1 scene data stereo searah lintasan orbit (along-track)
Gambar I.16 memperlihatkan bentuk geometri dan waktu pengambilan 1
scene data stereo ASTER sepanjang lintasan orbit (along-track). Satelit Terra
23
melintasi garis orbit dengan ketinggian rata-rata 705 km (di daerah equator) dari
permukaan bumi dengan kecepatan 6.7 km/detik. Pengambilan 1 scene data
dengan swath 60 km (meliputi luasan 60 x 60 km) dari dari arah nadir
membutuhkan waktu sekitar 9 detik, sedangkan pengambilan 1 scene data stereo
dari arah nadir dan backward membutuhkan waktu sekitar 64 detik. Sudut yang
dibentuk antara teleskop nadir dan backward adalah 27.60 untuk menghasilkan
rasio Base/Height sebesar 0.6 dengan memperhatikan bentuk kurva permukaan
bumi. (Lang dan Welch, 1999)
Gambar I.17 memperlihatkan algoritma pengukuran tinggi obyek Δh dari
perbedaan paralak (stereo paralak) Δp pada sistem stereo sensor ASTER (Lang
dan Welch, 1999). Obyek pada permukaan bumi dengan ketinggian Δh, direkam
dengan dua teleskop dari arah 1 (tegak lurus) dan arah 2 (miring).
Teleskop 1 akan melakukan merekam bagian puncak dan bagian dasar
obyek pada waktu yang sama (waktu t1), sedangkan teleskop 2 akan merekam
terlebih dahulu pada bagian puncak obyek (waktu t2 dan jarak X2 dari posisi
rekam sensor 1) kemudian merekam bagian dasar (waktu t3 dan jarak X1 dari
posisi rekam sensor 1). Hal ini menyebabkan terjadi perbedaan waktu dan jarak
Proses perekaman antara bagian puncak dan dasar obyek sebesar t3-t2 dan X1-X2.
(Leica Geosystem, 2002)
Hal ini akan mengakibatkan terjadinya perbedaan posisi antara puncak dan
dasar obyek pada citra perekaman arah miring, sedangkan pada citra perekaman
tegak lurus, puncak atau dasar obyek akan mengacu hanya pada posisi dasar
obyek. Perbedaan ini disebut perbedaan paralak atau jarak paralak Δp yang
besarnya sama dengan jarak perekaman arah miring antara puncak dan dasar
obyek X1-X2, atau Δp= X1-X2. Sudut arah miring terhadap garis vertikal (atau
sudut yang dibentuk antara telescop 1 dan teleskop 2) adalah sebesar α, dimana
tan α senilai dengan X1 dibagi ketinggian satelit dari permukaan bumi, atau B/H.
Jadi persamaan yang dapat dibentuk adalah sebagai berikut:
Δp= X1-X2 …………………… (I.1)
Tan α = B/H …………………… (I.2)
24
Selanjutnya ketinggian obyek Δh dapat dihitung dengan formula
trigonometri sederhana yaitu: tan α = (X1-X2)/Δh. Sehingga persamaannya
menjadi sebagai berikut
Δh = (X1-X2)/tan α …………………..… (I.3)
Δh = Δp/ (B/H) …………………….. (I.4)
Δh = H*Δp/B ……………………. (I.5)
Dari Persamaan ini diketahui bahwa ketinggian obyek dapat ditentukan dengan
cara menentukan jarak paralak terlebih dahulu.
pp
3B3B3N3NTan Tan = B/H= B/H
X1 X1 -- X2 = X2 = pp
hh
BB
Jarak paralaxJarak paralax
KetinggianKetinggian
BaseBase
HeightHeight
X1 X1 –– X2 = X2 = pp
tan tan tan tan
H H pp
BB
h =h =
h h
X1 X1 –– X2 = X2 = pp
tan tan tan tan
H H pp
BB
h =h =
h h
Gambar I. 17. Pendekatan pengukuran ketinggian Δh dari perbedaan paralak (stereo
paralak) Δp pada sistem stereo (Lang dan Welch, 1999)
I.8.5.2. Ekstraksi Model Tinggi secara Stereo
Konsep dasar dari ekstraksi model tinggi secara stereo adalah membangun
model korelasi antara sistem koordinat ruang citra (image space) 3D, sensor, dan
sistem koordinat ruang tanah (ground space) 3D. Tahapan ekstraksi model tinggi
secara stereo dari empat tahap (Leica Geosystem, 2002), yaitu:
1. Transfomasi Sistem Koordinat (Konecny dan Lehmann, 1984)
25
Transformasi sistem koordinat piksel ke sistem kordinat ruang citra
menggunakan parameter orientasi dalam. Parameter orientasi dalam
terdiri dari: panjang fokus, titik prinsipal, titik fidusial.
Metode transformasi yang digunakan adalah metode transformasi
Affine yang membutuhkan minimal 3 titik (XY) untuk mendapatkan 6
parameter tranformasi yang digunakan untuk memenuhi persamaan
tersebut. Ilustrasi trasnformasi Affine diperlihatkan pada Gambar I.18.
x = a1 + a2X + a3Y ....................................................... (I.6)
y = b1 + b2X +b3Y …………………………………… (I.7)
Dimana,
x, y : koordinat citra
X, Y : koordinat piksel
Gambar I. 18. Ilustrasi transformasi Affine
2. Pemotongan ke belakang (Space Resection)
Pemotongan ke belakang membuat korelasi antara sistem kordinat
ruang citra (x,y,z) dengan koordinat ruang tanah (X,Y,Z). Pemotongan ke
belakang menggunakan persamaan kolinear, dengan syarat bahwa titik O
(sensor), koordinat citra dan koordinat tanah terletak segaris (linear)
seperti Gambar I.19 memperlihatkan persamaan model korelasi antara
sensor, citra, dan tanah serta persamaan kolinear yang dibentuk.
Persamaan kolinear digunakan untuk mengestimasi parameter orientasi
luar (X,Y,Z, ω,φ, κ) yang membutuhkan masukan minimal tiga titik
26
kontrol tanah atau lebih banyak untuk mendapatkan enam koefisien
persamaan .
3. Interseksi pemotongan ke depan (Space Forward Intersection)
Interseksi pemotongan ke depan digunakan untuk membuat persamaan
yang menghitung koordinat ruang tanah (XYZ) pada wilayah overlap dua
citra (Gambar I.20) bila telah diketahui parameter orientasi luar berbasis
persamaan kolinear.
Gambar I. 19. Sensor (O), koordinat citra dan koordinat tanah terletak segaris (linear)
Berikut ini merupakan rumus korelasi sensor, citra, dan tanah. (Konecny
dan Lehmann, 1984)
............................................................(I.8)
Selain itu juga digunakan persamaan Kolinear pada proses ekstraksi model
tinggi ini. (Konecny dan Lehmann, 1984)
27
...............(I.9)
Di mana
f adalah panjang fokus,
M adalah matriks rotasi (ω, φ, κ)
X, Y, Z adalah koordinat tanah
x,y, z adalah koordinat citra
Jika digambarkan dalam bentuk ruang 3D, maka model stereo ini dapat
dilihat ada gambar I.20.
Gambar I. 20. Tumpang susun dua citra secara stereo
4. Ekstraksi model tinggi
Tahapan ini terdiri dari:
a. Pengumpulan titik massa (mass point) dengan korelasi citra
(image matching).
b. Perhitungan kordinat ruang tanah (XYZ) untuk setiap titik massa
dengan teknik interseki pemotongan ke depan.
28
c. Konstruksi model tinggi dari koordinat XYZ yaitu titik massa
dengan interpolasi.
I.8.6. Koreksi Kesalahan Tinggi
Kesalahan tinggi adalah kesalahan acak berupa blunder yang terjadi akibat
anomali nilai tinggi terhadap delapan tetangga terdekatnya. Kesalahan tinggi bisa
disebabkan oleh interpolasi kontur yang salah akibat penyebaran titik tinggi yang
tidak merata atau bisa disebabkan oleh nilai titik tinggi yang tidak sesuai dengan
sebenarnya. Penyebaran titik tinggi tidak merata ini bisa disebabkan oleh tidak
tersedia titik tinggi di lapangan, tidak ada data, rancangan sebaran titik tinggi
kurang optimal atau bisa juga karena kesalahan dalam pendeteksian titik tinggi.
Kesalahan tinggi merupakan titik, garis, atau area yang mempunyai nilai tinggi,
akan tetapi nilai tersebut tidak merepresentasikan keadaan di lapangan. (Sefercik
dan Jacobson, 2006)
Gambar I. 21. Pengecekan kesalahan tinggi berupa pits dan spires
Pada gambar I.21 tersebut terdapat empat parameter utama dalam
pengecekan kesalahan tinggi yaitu pit, spire, radius, dan kedalaman (depth). Pit
adalah kondisi anomali tinggi yang menyebabkan terjadi lembah terjal di model
tinggi. Spire adalah kondisi anomali tinggi yang menyebabkan terjadi gunung
terjal di model tinggi. Radius adalah jangkauan area pencarian pit dan spire dari
titik tengah kea rah sekitarnya sejauh nilai radius yang ditetapkan. Kedalaman
adalah nilai anomali yang ditetapkan sesuai standar tertentu. Pada penelitian ini
nilai kedalaman sebesar 2σ dari masing-masing data model tinggi global. Nilai 2σ
29
(dua kali standar deviasi) berarti memiliki tingkat kepercayaan sebesar 95,45 %.
(ASPRS, 2014) : (Gillani dan Wolf, 2006)
Koreksi kesalahan tinggi perlu dilakukan terhadap model tinggi dari
berbagai data masukan. Koreksi kesalahan tinggi bertujuan untuk menghilangkan
anomali nilai tinggi yang berbeda dari delapan tetangga sekitar dan bersifat
blunder serta menimbulkan kondisi kontur yang salah. Gambar I.22. merupakan
pengecekan kesalahan tinggi berupa spires dan pits. Ada tiga metode untuk
koreksi kesalahan tinggi, yaitu FillSink, Cut Terrain, dan Height Error Maps.
Gambar I. 22. Koreksi kesalahan tinggi (Julzarika, 2011a)
Tampilan pit dan spire pada koreksi kesalahan tinggi dapat dilihat dari
indikasi bentuk kontur yang sangat merapat. Hal ini mengindikasikan bentuk
ekstrim dari pit dan spire di wilayah tersebut. Gambar I.23 merupakan contoh
kontur yang memiliki kesalahan tinggi.
30
Gambar I. 23. Indikasi kesalahan tinggi melalui kontur
Formula dan parameter yang digunakan dalam koreksi kesalahan tinggi
pada penelitian ini mengacu ke standar yang ditetapkan DLR. Formula tersebut
meliputi beberapa hal (Knopfle dkk, 1998), yaitu:
a. Fase noise
……………………………………………………… (I. 10)
λ adalah panjang gelombang
θ adalah sudut pandang
r adalah jarak slant range
ζ adalah sudut kemiringan (tilt) baseline
β adalah panjang baseline absolut
k=1 untuk single pass interferometri
k=2 untuk repeat pass interferometri
b. Geometri citra
Geometri citra ini meliputi lima parameter, yaitu:
i. Kesalahan panjang baseline (σβ)
………………………………………….………..(I.11)
31
ii. Kesalahan kemiringan sudut baseline (σζ)
……………………………………………………………… (I.12)
iii. Kesalahan jarak sensor ke obyek (slant range) (σr)
……………………………………………...………………… (I.13)
iv. Kesalahan tinggi terbang (altitude) (σH)
…………………………………………………………………… (I.14)
v. Kesalahan posisi (σx)
………………………………...…………………………………… (I.15)
c. Kesalahan atmosfer
Kesalahan ini bisa dieliminasi dengan menggunakan beberapa
interferogram dalam pembuatan DSM.
Total kesalahan yang digunakan untuk koreksi kesalahan tinggi adalah
sebagai berikut:
…..…… (I.16)
Formula ini bisa disederhanakan menjadi:
………..………………………………. (I.17)
Total kesalahan dengan mempertimbangkan nilai titik kontrol tanah
…………………………….…… (I.18)
Total kesalahan dari data optik stereo
…….…………….. (I.19)
32
Total kesalahan dari beberapa model tinggi yang dibuat dengan integrasi
dan fusi model tinggi.
………………...……………………… (I.20)
n adalah nomor nilai tinggi
zi adalah masukan nilai tinggi
pi adalah faktor bobot yang diberikan dari standar deviasi untuk pembuatan HEM
Akurasi yang diperoleh dari koreksi kesalahan tinggi ini adalah sebagai
berikut:
………..………… (I.21)
σ0 adalah faktor estimasi varian
vi adalah residu
Pada penelitian ini, formula koreksi kesalahan tinggi tersebut digunakan
dalam pembuatan HEM dari ALOS Palsar. HEM dari SRTM C, X SAR, dan
Aster GDEM telah disediakan oleh pihak penyedia data. SRTM C disediakan oleh
NASA, X SAR disediakan oleh DLR, dan Aster GDEM disediakan oleh METi.
Kesalahan tinggi dibuat dari nilai standar deviasi atau kesalahan vertikal
pada data model tinggi tersebut (Zimmerman dan Cressie, 1992). Kesalahan tinggi
dapat dibuat dari data itu sendiri. Fill sink adalah metode penghilangan anomali
tinggi terhadap daerah cekungan sedangkan Cut Terrain adalah metode
penghilangan anomali tinggi terhadap daerah cembung/terjal.
Koreksi kesalahan tinggi (Gambar I.22.) dilakukan dengan tiga metode
yang ada, yaitu FillSink, Cut Terrain, dan Height Error Maps. Metode Height
Error Maps menghasilkan data keluaran dengan akurasi dan presisi lebih baik dari
FillSink dan Cut Terrain. Metode FillSink memiliki kelebihan pada pengisian
anomali nilai tinggi pada wilayah lembah, tetapi tidak bisa mengkoreksi data
33
wilayah gunung terjal, sedangkan metode Cut Terrain berlaku kebalikan dan
metode FillSink.
I.8.7. Penggabungan Data Model Tinggi
Penggabungan data model tinggi dilakukan menggunakan dua metode,
yaitu DEM integration dan DEM fusion. Konsep DEM integration dan DEM
fusion mengacu kepada konsep yang dikembangkan penelitian sebelumnya (Hoja
dan d’Angelo, 2010):(Hoja dkk, 2006). Beberapa modifikasi dilakukan seperti:
koreksi kesalahan tinggi, pembuatan Height Error Maps, penambahan bobot,
metode deteksi dan penghilangan kesalahan (pembuatan void), serta metode
interpolasi CoKriging yang dilakukan.
I.8.7.1. Metode Integrasi Model Tinggi (DEM Integration)
Filosofi integrasi model tinggi ini adalah mendapatkan model tinggi
berdasarkan integrasi menggunakan berbagai keunggulan dari setiap model tinggi
berdasarkan karakteristik berupa penetrasi ke obyek, resolusi spasial, dan minimal
kesalahan tinggi di dataran rendah maupun dataran tinggi.
Integrasi model tinggi bertujuan untuk mendapatkan model tinggi yang
memiliki akurasi vertikal lebih baik dan minimal kesalahan vertikal. Integrasi ini
menggunakan keunggulan dari masing-masing karakteristik model tinggi yang
digunakan dalam integrasi. Model tinggi X SAR, SRTM, Aster GDEM, dan
ALOS Palsar merupakan salah satu alternatif dalam integrasi model tinggi.
Resolusi spasial yang digunakan dalam integrasi ini adalah ALOS Palsar sebesar
6,25 m. Kemudian DSM yang digunakan adalah X SAR, sedangkan DEM yang
digunakan adalah ALOS Palsar.
Wilayah dataran rendah menggunakan Aster GDEM. Wilayah dataran
tinggi menggunakan SRTM, atau X SAR. Data Aster GDEM memiliki kelemahan
pada dataran tinggi sehingga perlu dilakukan penggunaan filter high pass. Data
SAR memiliki kelemahan pada dataran rendah sehingga diperlukan penggunaan
filter low pass. Secara keseluruhan, data SAR tetap memiliki keunggulan
dibandingkan dengan data optik.
34
Karakteristik SRTM C, X SAR, dan ALOS Palsar ini bisa dilihat
berdasarkan panjang gelombang dan penetrasi ke obyek vegetasi. Penjelasan
tentang panjang gelombang SAR ini bisa dilihat di bagian I.8.3, khususnya di
bagian I.8.3.4. Prosedur pelaksanaan penggabungan model tinggi disesuaikan
dengan kondisi DSM/DEM/DTM yang digunakan.
Pada metode integrasi ini, cara meminimalisir kesalahan tinggi bisa
dilakukan dengan beberapa cara. Salah satu model tinggi (misal model tinggi 1)
dilakukan ekstraksi nilai tinggi secara acak dan merata. Cara ekstraksi tinggi ini
bisa dengan pembuatan kontur atau kontur diambah dengan titik tinggi dengan
sebaran tertentu. Setelah itu baru dibuat model tinggi baru dari hasil kontur dan
titik tinggi. Model tinggi baru tersebut juga akan menghasilkan HEM.
Gambar I. 24. Metode integrasi model tinggi
Kemudian HEM tersebut digunakan untuk meminimalisir kesalahan tinggi
yang terjadi pada model tinggi 1. Model tinggi 1 telah dilakukan minimalisir
kesalahan tinggi. Kemudian baru dilakukan pembuatan HEM pada model tinggi
yang lain (misal model tinggi 2). Pembuatan HEM ini bisa dilakukan dengan cara
pendeteksian anomali tinggi terhadap minimal delapan tetangga sekitarnya.
Setelah diketahui nilai anomali tinggi baru dilakukan pemmbuatan HEM. Setelah
Model tinggi 1
Contouring
HEM
Minimalisir
kesalahan tinggi
Pengisian void
Model tinggi 2
Ekstraksi titik tinggi
Interpolasi CoKriging
Integrasi model tinggi
Minimalisir
kesalahan tinggi
HEM
35
itu model tinggi 2 dilakukan koreksi kesalahan tinggi terhadap HEM tersebut.
Diagram alir metode integrasi model tinggi, lihat gambar I.24.
Ekstraksi titik tinggi perlu dilakukan jika model tinggi 2 telah selesai
dilakukan minimalisir kesalahan. Nilai ekstraksi titik tinggi ini digunakan untuk
pengisian void pada model tinggi 1. Void isi bisa diketahui dari sebaran model
tinggi 1 yang tidak memenuhi toleransi vertikal tertentu, misal 2σ. Selanjutnya
dilakukan proses intepolasi CoKriging sehingga menghasilkan DSM/DEM/DTM
gabungan. Metode intepolasi yang dilakukan adalah metode Kriging dengan
semivariogram (linear+spherical) dan normalisasi dengan model linear.
Pada integrasi model tinggi perlu dilakukan perbedaan ekstraksi antara dua
model tinggi. Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan potensi pengecekan
kesalahan tinggi yang terjadi pada dua model tinggi. Jika cara pengecekan
kesalahan tinggi berbeda, maka kemungkinan berbagai macam pola kesalahan
tinggi akan terdeteksi bervariasi. Keuntungan lain yang diperoleh dari hal ini
adalah integrasi yang optimal masing-masing model tinggi pada waktu pengisian
void. Hal ini akan berimbas pada akurasi vertikal yang lebih baik dan minimal
kesalahan tinggi.
I.8.7.2. Metode Fusi Model Tinggi (DEM Fusion )
Prosedur DEM fusion mengacu kepada metode yang dikembangkan oleh
(Hoja dkk, 2006). Walaupun terdapat perbedaan dalam pembuatan Height Error
Map. Penggabungan DSM/DEM/DTM dilakukan dengan menurunkan Height
Error Map berbasis standar deviasi dari ke dua DSM/DEM/DTM yang ingin
digabung (misal DEM 1 dan DEM 2), selanjutnya dilakukan penggabungan
dengan mempertimbangkan besar kesalahan setiap piksel (tingkat akurasi setiap
piksel) dari kedua DEM. Penggabungan dilakukan dengan menggunakan model
pembobotan.
……………..……………………………………….. (I.22)
Dimana,
pi = 1/ai , ai > 0
36
hi : Tinggi DEM (1,2)
ai : Tingkat akurasi DEM, kesalahan DEM (1,2)
Gambar I. 25. Metode fusi model tinggi
I.8.7.3. Verifikasi Hasil Penggabungan Data Model Tinggi
Verifikasi dilakukan dengan 3 metode yaitu:
1. Perbandingan Height Error Map sebelum dan sesudah dilakukan
penggabungan. Penggabungan dinilai berhasil bila besarnya kesalahan
model tinggi yang dihasilkan berkurang dibandingkan nilai kesalahan
model tinggi sebelumnya. Perhitungan Height Error Map menggunakan
formula yang digunakan DLR (Knopfle dkk, 1998) dan pernah diuji di
data model tinggi wilayah Indonesia (Julzarika dan Sudarsono,
2009):(Julzarika, 2011b).
2. Perbandingan jumlah kesalahan tinggi sebelum dan sesudah dilakukan
penggabungan. Kesalahan tinggi adalah kesalahan yang terjadi pada saat
pembuatan model tinggi sehingga mengakibatkan adanya anomali tinggi
pada suatu piksel terhadap nilai tinggi piksel-piksel lain yang terdapat
disekitarnya. Anomali tinggi yang mengakibatkan piksel lebih tinggi dari
Model Tinggi 1 Model Tinggi 2
HEM HEM
Minimalisir
kesalahan tinggi
Minimalisir
kesalahan tinggi
Fusi model tinggi
Weighted Mean Height
Penggabungan model tinggi
37
piksel di sekelilingnya disebut spire, sedangkan anomali tinggi yang
mengakibatkan piksel lebih rendah dari piksel di sekelilingnya disebut pit.
Suatu piksel dinyatakan pit/spire bila memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
X X X
X C X
X X X
Gambar I. 26. Contoh piksel C dengan jendela 5 X 5 untuk deteksi pit dan spire
a. Nilai C harus lebih besar/kecil dibandingkan dengan seluruh piksel
di dalam jendela
b. Nilai C harus lebih tinggi dibandingkan 8 piksel (piksel X), sebesar
seting nilai pit/spire yang didefinisikan pada saat input proses.
Metode deteksi kesalahan tinggi dengan deteksi pit dan spire dijelaskan
dengan contoh pada piksel C dengan jendela 5X5 pada Gambar I.26.
3. Analisis kuantitatif perbaikan yang terjadi dilakukan dengan melakukan
pengujian tingkat akurasi dengan menggunakan data pengukuran lapangan
menggunakan GNSS geodetik. Metode pengujian akurasi yang digunakan
pada penelitian ini adalah perhitungan Root Mean Square Error (RMSE)
dan akurasi (z) 95% antara model tinggi yang dihasilkan dengan model
tinggi referensi. Metode ini juga merupakan metode yang digunakan
dalam American National Map Accuracy Standard atau juga disebut
dengan ASPRS accuracy standard for digital geospatial data. (ASPRS,
2014)
I.8.8. Filter Spasial
Proses filter melibatkan komputasi rata-rata tertimbang (weighted average)
dari piksel di jendela bergerak, dan menugaskan bahwa nilai rata-rata piksel pusat.
Pilihan bobot menentukan bagaimana filter mempengaruhi gambar. Sebuah
jendela nilai berat disebut kernel konvolusi. Setiap piksel di jendela bergerak
38
dikalikan dengan bobot dan menjumlahkan semua produk menghasilkan nilai baru
untuk piksel pusat (Jones, 2013). Formula yang digunakan dalam filter citra
adalah metode konvulasi. Formula yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. Fungsi malar
…………. (I.23)
b. Fungsi diskrit
………...…… (I.24)
g (x) adalah filter konvulasi. a,b adalah parameter konvulasi. x,y dalah
posisi citra yang dilakukan filter spasial.
Konvulasi bisa dinyatakan dalam matriks. Tiap elemen matriks filter
disebut koefisien konvulasi.
I.8.8.1. Filter Frekuensi Rendah (Low Pass)
Filter frekuensi rendah yang dirancang untuk menekankan fitur
frekuensi rendah dan dengan menekankan komponen frekuensi tinggi dari
suatu gambar (Jones, 2013). Dengan demikian, informasi yang berubah
sangat cepat (misalnya, daerah perkotaan) akan disaring. Kemudian
disimpan informasi frekuensi rendah yaitu, informasi yang berubah secara
bertahap (misalnya tanah rumput, air).
Gambar I. 27. Tampilan filter frekuensi rendah
Formula pada filter frekuensi rendah terdiri dari angka 1 dan 0 yang
merupakan jarak dari titik yang didefinisikan terhadap pusat filter (Trisakti dan
Julzarika, 2010). Berikut merupakan formula dari filter frekuensi rendah.
……………………………………………………… (I.25)
H (u, v) adalah filter low pass
39
D0 adalah angka spesifik positif
D(u, v) adalah jarak dari titik (u, v) ke pusat filter
Gambar I.28 merupakan contoh penerapan filter frekuensi rendah pada citra satelit
SAR.
Gambar I. 28. Contoh efek filter frekuensi rendah
Keuntungan filter frekuensi rendah:
a. Memungkinkan informasi frekuensi rendah harus dipertahankan.
b. Berguna untuk menghilangkan noise dalam gambar, seperti speckle.
c. Membuat daerah penutup yang sama muncul seragam, sehingga dapat
digunakan untuk deteksi batas
Kekurangan filter frekuensi rendah:
a. Tidak merapikan tepi
b. Ukuran jendela yang lebih besar menyebabkan smoothing lebih besar
I.8.8.2. Filter Frekuensi Tinggi (High Pass)
Filter frekuensi tinggi menekankan komponen frekuensi yang tinggi, rinci
pada gambar, dan informasi frekuensi rendah yang lebih umum (Jones, 2013).
Filter frekuensi tinggi meningkatkan detail gambar (informasi yang jarang), dan
berguna di mana informasi frekuensi yang lebih rendah cenderung
menyembunyikan bagian dari adegan misalnya jalan di perkotaan.
40
Gambar I. 29. Tampilan filter frekuensi tinggi
Formula pada filter frekuensi tinggi merupakan hasil pengurangan dari
nilai 1 terhadap nilai filter frekuensi rendah (Trisakti dan Julzarika, 2010). Berikut
merupakan formula filter frekuensi tinggi:
…………………………………………………………. (I.26)
adalah filter frekuensi tinggi
adalah filter frekuensi rendah
Gambar I.30. merupakan contoh penerapan filter frekuensi tinggi pada citra satelit
SAR.
Gambar I. 30. Contoh efek filter frekuensi tinggi
Keuntungan filter frekuensi tinggi
a. Memungkinkan informasi frekuensi tinggi untuk dipertahankan.
b. Berguna untuk mempertahankan tepi dalam foto
Kekurangan filter frekuensi tinggi
a. Tidak merapikan daerah halus.
b. Ukuran jendela yang lebih besar menghilangkan informasi yang cukup,
menjaga hanya tepi.
41
I.8.10. Standar Akurasi Peta
Penelitian ini menggunakan standar akurasi peta dari LAPAN yang
mengacu ke ASPRS Accuracy Data for Digital Geospatial Data. Pada penelitian
ini hanya fokus pada akurasi vertikal. Cara pengecekan tes akurasi vertikal dengan
dua langkah yaitu: (ASPRS, 2014)
a. Root Mean Square Error (RMSE)
……………………………………. (I.27)
b. Perhitungan akurasi vertikal pada tingkat kepercayaan 95%
…………………………..……………………(I.28)
Setelah diperoleh nilai akurasi vertikal maka kemudian dilakukan penyesuaian
terhadap standar telah ditetapkan oleh ASPRS yang memperhitungkan RMSEz di
terrain tanpa vegetasi dan terrain bervegetasi. Tingkat kepercayaan yang
digunakan adalah 95% atau 1.96 σ.
Tabel I. 4. Standar akurasi vertikal untuk data elevasi digital (ASPRS accuracy standard)
Kemudian dilakukan juga pengecekan terhadap standar interval kontur
yang ditetapkan ASPRS sesuai dengan nilai RMSEz tadi. Penjelasan tentang
kualitas akurasi vertikal bisa dilihat pada tabel I.4.
42
Tabel I. 5. Kualitas akurasi vertikal untuk data elevasi digital (ASPRS Accuracy Standard)
Syarat tabel I.5. dan I.6 adalah sebanyak 10% dari titik uji memiliki
RMSE nilai perbedaan tinggi yang lebih kecil dari setengah interval kontur.
Jumlah titik yang digunakan untuk pengecekan nilai tinggi di lapangan
disesuaikan dengan luas wilayah penelitian. Standar penetapan jumlah titik uji
(TU) ini juga telah ditetapkan oleh ASPRS. Tabel I.7 merupakan rekomendasi
jumlah titik uji berdasarkan luas wilayah. (ASPRS, 2014)
Tabel I. 6. Standar akurasi United States National Maps Accuracy Standard
Tabel I. 7. Standar interval kontur United States National Maps Accuracy Standard
43
Tabel I. 8. Jumlah rekomendasi titik uji berdasarkan luas wilayah
Selain dilakukan uji ketelitian (RMSE dan akurasi vertikal) juga
diperlukan uji beda tinggi. Uji beda tinggi bertujuan untuk menghilangkan
kesalahan sistematik yang masih ada pada model tinggi. Uji beda tinggi dapat
berguna dalam penentuan beda tinggi antar dua atau lebih titik. Penentuan titik
tersebut mengacu pada muka air laut rata-rata, tinggi lokal, maupun ellipsoid.
Keseluruhan titik pada model tinggi mengacu pada bidang referensi atau datum
tertentu. Jika beda tinggi antar keseluruhan titik yang diuji dalam bentuk poligon
tertutup memiliki nilai beda tinggi minimum (mendekati nol) maka model tinggi
tersebut memiliki ketinggian titik relatif terhadap datum. Hal ini akan
menghilangkan kesalahan sistematik yang masih ada pada model tinggi tersebut.
I.8.11. Analisis Permukaan Tren (Trend Surface)
Analisis permukaan tren melibatkan pemasangan permukaan (model
polinomial) melalui satu set poin di X, Y, Z koordinat ruang. Permukaan dipasang
kemungkinan besar tidak akan melewati tepat melalui setiap titik, sehingga regresi
kuadrat-terkecil digunakan untuk meminimalkan jarak antara Z nilai yang terukur
dan permukaan dipasang langsung di atas atau di bawah. Perbedaan dinyatakan
sebagai RMS (root mean square atau r2). Semakin kecil nilai "r-squared", semakin
dekat kesesuaian antara poin dan permukaan.
44
Permukaan tren mendeteksi anomali lokal halus. Orde polinomial
mengontrol kompleksitas permukaan tren; orde tinggi lebih fleksibel. Jumlah
koefisien dalam persamaan permukaan tren mengontrol tingkat detail. Polinomial
orde 1 merupakan bidang miring; polinomial orde 12 adalah permukaan
melengkung dan sangat kompleks. Permukaan sederhana (urutan bawah
polinomial, biasanya 3 sampai ke 5) lebih sering ditafsirkan dalam aplikasi
geomorfik. (Li dkk, 2005)
Tabel I. 9. Formula permukaan tren (Jones, 2013)
No Permukaan tren Keterangan
1. Bidang datar: Permukaan sebagai bidang datar maka formula yang
digunakan adalah:
z = a + bx + cy
Minimum jumlah titik yang diperlukan adalah 3
2. Linear derajat ke-2: Permukaan sebagai bidang datar tapi ada kemiringan/tilt
seperti bidang datar orde 1, maka formula yang
digunakan adalah:
z = a + bx + cy + dxy
Minimum jumlah titik yang diperlukan adalah 4
3. Parabolic derajat ke-2: Permukaan adalah polynomial orde 2, maka formula
yang digunakan adalah:
z = a + bx + cy + ex2 + fy
2
Minimum jumlah titik yang diperlukan adalah 5
4. Derajat ke-2: Permukaan adalah sepenuhnya polynomial orde 2 maka
formula yang digunakan adalah
z = a + bx + cy + dxy + ex2 + fy
2
Minimum jumlah titik yang diperlukan adalah 6
5. Derajat ke-3: Permukaan adalah polynomial orde 3 maka formula
yang digunakan adalah:
z = a + ... + gx3 + hx
2y + ixy
2 + jy
3
Minimum jumlah titik yang diperlukan adalah 10
6. Derajat ke-4: Permukaan adalah polynomial orde 4 maka formula
yang digunakan adalah:
z = a + ... + kx4 + lx
3y + mx
2y
2 + nxy
3 + oy
4
Minimum jumlah titik yang diperlukan adalah 15
7. Derajat ke-5: Permukaan adalah polynomial orde 5 maka formula
yang digunakan adalah:
z = a + ... +px5 + qx
4y +rx
3y
2 + ... + uy
5
Minimum jumlah titik yang diperlukan adalah 21
8. Derajat ke-6: Permukaan adalah polynomial orde 5 maka formula
yang digunakan adalah:
z = a + ... + vx6+...
Minimum jumlah titik yang diperlukan adalah 28
45
Analisis permukaan tren cocok untuk data regional seperti delineasi air
tanah, pengecekan beda tinggi, atau untuk merekonstruksi permukaan geomorfik
kuno yang terdegradasi oleh erosi, atau untuk memvisualisasikan arah paleoflow
dari DAS besar. Nilai outlier Z dan daerah dengan kesenjangan yang besar antara
nilai Z dapat mengacaukan metode. Tepi peta dapat menyebabkan masalah juga.
Analisis permukaan tren membutuhkan lebih dari 10 titik. Selain itu juga selalu
menggunakan sistem koordinat yang sama untuk semua masukan dan ketika
membandingkan satu permukaan dengan permukaan tren yang lain (Jones, 2013).
I.9. Hipotesis
Setelah dilakukan integrasi model tinggi akan diperoleh hasil model tinggi
dengan akurasi vertikal lebih baik dari akurasi vertikal model global sebelumnya.
Data integrasi model tinggi juga memiliki kesalahan tinggi yang minimal.