bab i pendahuluan 1.1. latar belakang - etd.repository.ugm...

60
1 Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Salah satu sektor pembangunan yang sangat urgen di Indonesia yaitu sektor pendidikan. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan negara Indonesia yang tertera dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alenia ke 4 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebaliknya pada sisi lain, Nugroho memaknai bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa bukan merupakan tujuan akhir, akan tetapi merupakan tujuan antara untuk mencapai tujuan lebih lanjut. Dimana tujuan yang lebih lanjut yaitu menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang sejahtera. Kesejahteraan dapat diwujudkan apabila manusia yang menjadi warga dari suatu kesatuan negara mempunyai tingkat kecerdasan yang cukup untuk dapat menguasai ilmu dan pengetahuan untuk mampu membuat keputusan yang terbaik bagi diri dan lingkungannya 1 . Demi mewujudkan tujuan di atas, kebijakan pendidikan yang merupakan bagian dari kebijakan publik di sektor pendidikan diformulasikan ke dalam berbagai program kebijakan. Salah satu program pendidikan minimal, dikenal sebagai Wajib Belajar 9 Tahun dengan subsidi sekolah gratis dalam usia wajib belajar yaitu usia 6-15 tahun kepada seluruh warga negara Indonesia. Di wilayah bagian barat Indonesia, terdapat masyarakat suku asli yang diasingkan oleh negara melalui prasangka negatif sebagai suku terasing. Dalam 1 Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan yang Unggul: Kasus Pembangunan Pendidikan di Kab. Jembrana 2000-2006 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 2

Upload: buidat

Post on 27-Apr-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

Bab I

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Salah satu sektor pembangunan yang sangat urgen di Indonesia yaitu

sektor pendidikan. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan negara Indonesia yang

tertera dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alenia ke 4 yaitu

mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebaliknya pada sisi lain, Nugroho memaknai

bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa bukan merupakan tujuan akhir, akan

tetapi merupakan tujuan antara untuk mencapai tujuan lebih lanjut. Dimana tujuan

yang lebih lanjut yaitu menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang

sejahtera. Kesejahteraan dapat diwujudkan apabila manusia yang menjadi warga

dari suatu kesatuan negara mempunyai tingkat kecerdasan yang cukup untuk

dapat menguasai ilmu dan pengetahuan untuk mampu membuat keputusan yang

terbaik bagi diri dan lingkungannya1.

Demi mewujudkan tujuan di atas, kebijakan pendidikan yang merupakan

bagian dari kebijakan publik di sektor pendidikan diformulasikan ke dalam

berbagai program kebijakan. Salah satu program pendidikan minimal, dikenal

sebagai Wajib Belajar 9 Tahun dengan subsidi sekolah gratis dalam usia wajib

belajar yaitu usia 6-15 tahun kepada seluruh warga negara Indonesia.

Di wilayah bagian barat Indonesia, terdapat masyarakat suku asli yang

diasingkan oleh negara melalui prasangka negatif sebagai suku terasing. Dalam

1 Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan yang Unggul: Kasus Pembangunan Pendidikan di Kab.

Jembrana 2000-2006 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 2

2

hal ini masyarakat Suku Laut yang masih diberi prasangka negatif, merupakan

masyarakat yang awalnya tinggal di dalam sebuah kapal yang nomaden dan hanya

bergantung dengan hasil laut. Seiring berjalannya waktu dengan hadirnya negara,

masyarakat Suku Laut mulai mengalami penertiban agar menjadi penduduk yang

.dapat dikontrol oleh negara dan masyarakat Suku Laut mulai ditransformasikan

menjadi orang darat yang lambat laun memupuskan budaya kelautan mereka2.

Tidak cukup sampai di sini, masyarakat Suku Laut yang telah menjadi orang darat

dengan menetap di pinggir laut dan kondisi rumah yang seadanya masih tetap

berada dalam kondisi yang marginal dalam berbagai aspek kehidupan. Terlepas

dari itu semua, masyarakat Suku Laut yang selama ini dipandang sebagai suku

“terasing” di dalam masyarakat juga memiliki nilai dan karakter yang berbeda

dengan masyarakat pada umumnya.

Masyarakat Suku Laut yang diamati adalah masyarakat Suku Laut yang

berada di wilayah Kecamatan Kundur Kabupaten Karimun Kepulauan Riau.

Berbeda dengan masyarakat mayoritas yang berada di Kecamatan Kundur,

masyarakat Suku Laut memiliki nilai dan karakter yang berbeda dengan

masyarakat setempat (suku lainnya). Nilai kesukuan intern Suku Laut yang

menonjol yaitu proses perubahan rezim Suku Laut mengikut Suku Melayu, segala

yang dijadikan karakter sebagai masyarakat Melayu akan diikuti oleh Suku Laut,

tidak terkecuali perubahan Kepala Kelompok/Subsuku yang bergeser menjadi

Pembina Suku Laut.

2 Aris A. Mundayat, “Batas Tanpa Makna: Sudut Pandang Orang Laut terhadap Asia Tenggara”

(makalah disajikan dalam Workshop Mengajar dan Meneliti Asia Tenggara, Universitas Gadjah

Mada, 4-6 Juli 2012)

3

Dengan karakteristik yang unik ini, masyarakat Suku Laut tetap tidak

luput sebagai target group kebijakan pendidikan yang diimplementasikan kepada

seluruh warga negara Indonesia. Namun berbagai kebijakan pendidikan demi

tercapainya wajib belajar 9 tahun yang diimplementasikan, tidak membuka

sedikitpun ruang “keterasingan” masyarakat Suku Laut untuk ikut berpartisipasi

dalam pendidikan. Walaupun ada beberapa anak Suku Laut yang mengenyam

bangku pendidikan Sekolah Dasar, akan tetapi mayoritas tidak selesai hingga

lulus, padahal fasilitas untuk mengenyam bangku pendidikan sudah dibuat

sedemikian setara dengan standar pendidikan pada umumnya, baik dari aspek

tenaga pengajar maupun fasilitas proses belajar mengajar. Selain itu, jarak antara

beberapa sekolah dengan pemukiman masyarakat Suku Laut dapat dikatakan

sangat dekat sehingga sangat mudah untuk dijangkau oleh masyarakat Suku Laut.

Berkaitan dengan kondisi pendidikan masyarakat Suku Laut, dapat

dikatakan bahwa anak-anak yang awalnya bersekolah di bangku Sekolah Dasar

hanya karena mereka belum mampu untuk ikut orang tuanya berlaut. Ketika

mereka sudah dianggap mampu untuk ikut berlaut, maka anak-anak tersebut akan

meninggalkan sekolahnya untuk ikut berlaut bersama orang tuanya3.

Fenomena di atas menggambarkan bahwa program pembangunan dalam

sektor pendidikan yang selama ini diimplementasikan terhadap masyarakat Suku

Laut tidak memberikan efek kinerja kebijakan secara positif terhadap masyarakat

Suku Laut seperti yang ditunjukkan pada tingkat partisipasi pendidikan

masyarakat Suku Laut, dimana Angka Putus Sekolah (APS) masyarakat Suku

3 Iwan, Pembina Masyarakat Suku Laut, wawancara pribadi, 9 Februari 2013

4

Laut yang tinggi terus menerus mengkungkung masyarakat Suku Laut. Sementara

itu, Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) anak

Suku Laut jauh lebih rendah dari pada Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka

Partisipasi Murni (APM) rata-rata Kabupaten Karimun (untuk selanjutnya disebut

Karimun), seperti yang digambarkan dalam grafik berikut.

Grafik 1.1.

Perbandingan persentase partisipasi pendidikan tingkat SD masyarakat

Suku Laut dengan rata-rata persentase partisipasi pendidikan tingkat SD di

Kabupaten Karimun

Sumber: diolah dari data Dinas Pendidikan Kab. Karimun dan Data anggota

Ikatan Keluarga Kuale Kecamatan Kundur

Berdasarkan grafik di atas, dapat dilihat bahwa persentase APK

masyarakat Suku Laut pada tingkat SD hanya sebesar 78,05%. Sementara itu rata-

rata persentase APK di kabupaten Karimun pada tingkat Sekolah Dasar mencapai

90,00%. Berbanding lurus dengan perbandingan persentase APK di atas,

persentase APM yang dicapai oleh masyarakat Suku Laut pada tingkat SD juga

sangat rendah dibandingkan dengan rata-rata persentase APM di kabupaten

Karimun pada tingkat Sekolah Dasar. Dimana persentase APM masyarakat Suku

0

20

40

60

80

100

Suku LautKarimun

APK

APM

APS

5

Laut yaitu hanya sebesar 68,29%, semenatara rata-rata persentase APM tingkat

SD di Kabupaten Karimun mencapai 74,84%.

Sementara itu, persentase APS yang terjadi dalam masyarakat Suku Laut

pada tingkat SD sangat tinggi, yaitu mencapai 21,95%. Persentase tersebut sangat

besar jika dibandingkan dengan rata-rata persentase APS tingkat SD di kabupaten

Karimun yang hanya sebesar 1,77%. Selisih persentase yang cukup besar ini

menunjukkan kesenjangan partisipasi pendidikan yang terjadi di dalam

masyarakat Suku Laut jika dibandingkan dengan masyarakat suku lainnya di

Kabupaten Karimun.

Grafik 1.2.

Perbandingan persentase partisipasi pendidikan tingkat SMP masyarakat

Suku Laut dengan rata-rata persentase partisipasi pendidikan tingkat SMP

di Kabupaten Karimun

Sumber: diolah dari data Dinas Pendidikan Kab. Karimun dan Data anggota

Ikatan Keluarga Kuale Kecamatan Kundur

Grafik di atas memperlihatkan bahwa persentase APK tingkat SMP

masyarakat Suku Laut hanya mencapai 33,33%, sementara itu rata-rata persentase

APK tingkat SMP Kabupaten Karimun mencapai 79,81%. Seperti halnya

0

20

40

60

80

Suku LautKarimun

APK

APM

APS

6

persentase APK tingkat SMP masyarakat Suku Laut yang lebih rendah daripada

rata-rata persentase APK tingkat SMP Kabupaten Karimun, persentase APM yang

dicapai oleh masyarakat Suku Laut pada tingkat SMP juga sangat rendah yaitu

hanya sebesar 23,80%, persentase tersebut sangat kecil jika dibandingkan

besarnya rata-rata persentase APM tingkat SMP di Kabupaten Karimun yang

mencapai 55,45%.

Lebih jauh dalam mengamati grafik di atas, persentase APS tingkat SMP

pada masyarakat Suku Laut sangat besar jika dibandingkan rata-rata persentase

APS tingkat SMP di kabupaten Karimun, dimana persentase APS masyarakat

Suku Laut pada tingkat SMP yaitu sebesar 36,36%. Sementara itu, rata-rata

persentase APS tingkat SD di kabupaten Karimun yaitu hanya sebesar 6,71%.

Berdasarkan kedua grafik di atas, dapat dikatakan bahwa partisipasi

pendidikan masyarakat Suku Laut pada tingkat SMP yang sangat rendah apabila

dibandingkan dengan rata-rata persentase partisipasi pendidikan tingkat SMP di

Kabupaten Karimun, tidak jauh berbeda dengan hasil perbandingan persentase

partisipasi pendidikan tingkat SD masyarakat Suku Laut dengan rata-rata

persentase partisipasi pendidikan tingkat SD di Kabupaten Karimun yang

ditunjukkan pada grafik yang sebelumnya. Lebih rendahnya persentase

paritisipasi pendidikan masyarakat Suku Laut pada tingkat SMP disebabkan

karena sebagian besar masyarakat Suku Laut tidak melanjutkan sekolah dari

jenjang SD ke jenjang SMP4, sehingga pada akhirnya menambah kesenjangan

4 Aisah, Kepala Sekolah SDN 020 Tanjungbatu, wawancara pribadi, 9 April 2013

7

partisipasi pendidikan tingkat SMP antara masyarakat Suku Laut dengan rata-rata

persentase partisipasi pendidikan tingkat SMP di Kabupaten Karimun.

Kinerja kebijakan pendidikan yang dilihat dari kedua grafik di atas

mengenai persentase partisipasi pendidikan masyarakat Suku Laut yang

dibandingkan dengan rata-rata persentase partisipasi pendidikan di kabupaten

Karimun, menunjukkan bahwa terdapat disparitas partisipasi pendidikan yang

tinggi antara masyarakat Suku Laut dengan rata-rata persentase partisipasi

pendidikan pada umumnya di kabupaten Karimun. Dengan kata lain, kebijakan

pendidikan telah diimplementasikan dalam masyarakat Suku Laut hanya menjadi

“angin lalu” yang tidak membekas sedikitpun dalam masyarakat Suku Laut.

Berdasarkan kegagalan implementasi kebijakan pendidikan pada

masyarakat Suku Laut seperti yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini

ingin menguak penyebab kegagalan implementasi kebijakan pendidikan pada

masyarakat Suku Laut dengan menganalisa implementasi kebijakan pendidikan.

Jelasnya, penelitian ini meliputi implementasi kebijakan pendidikan yang

tatarannya berlaku secara nasional dan daerah secara umum terhadap masyarakat

Suku Laut.

1.2. Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini ditujukan untuk

menjawab pertanyaan: “Mengapa implementasi kebijakan pendidikan di

masyarakat Suku Laut tidak dapat meningkatkan partisipasi pendidikan pada

masyarakat Suku Laut?” Adapun pertanyaan turunan adalah:

8

1. Bagaimana konten kebijakan pendidikan yang diimplementasikan dalam

masyarakat Suku Laut?

2. Bagaimana konteks masyarakat Suku Laut dilibatkan dalam implementasi

kebijakan pendidikan?

3. Bagaimana proses implementasi kebijakan pendidikan diperjuangkan

dalam masyarakat Suku Laut?

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan penyebab kegagalan kebijakan

pembangunan dalam sektor pendidikan yang diimplementasikan pada masyarakat

Suku Laut dengan melihat proses implementasi yang dikerangkai dengan tiga

dimensi kebijakan publik yaitu konten, konteks dan proses serta memahami

pemerintah sebagai implementor kebijakan yang sebenarnya harus menghiraukan

masyarakat Suku Laut di dalam implementasi kebijakan sektor pendidikan.

1.3. Kerangka Teori

1.3.1. Mendefinisikan Kebijakan Publik

Dalam kajian kebijakan publik, Harold Laswell merumuskan tiga dimensi

yang menjadi basis dalam anatomi kebijakan, pertama yaitu dimensi konten yang

merupakan persoalan yang hendak diatasi, kedua, proses yang perlu dilakukan

untuk mengatasinya dan yang terakhir yaitu konteks di mana upaya untuk

mengatasi persoalan itu berlangsung5. Dari ketiga dimensi di atas, sering kali

tidak semua dimensi langsung dilakukan sekaligus untuk menghasilkan sebuah

kebijakan. Seperti halnya model teknokrat, biasanya cenderung terobsesi dengan

5Lihat Purwo Santoso, Analisis Kebijakan Publik (Yogyakarta: PolGov JPP UGM, 2010), 57

9

konten kebijakan dan mengasumsikan bahwa dimensi proses dan konteks tidak

problematik6. Sayangnya dalam proses kebijakan selama ini, yang selalu dijadikan

acuan adalah model teknokrat, yaitu kebijakan yang tidak mengacu pada konteks

masyarakat.

Lebih jauh, pada era yang sering dikatakan sudah berdemokrasi ini proses

pembangunan tidak ada bedanya dengan proses pembangunan pada masa Orde

Baru. Dimana menurut Sutrisno, pada masa Orde Baru peran negara dan

aparatnya dalam pembangunan umumnya otoriter dan bersifat sangat sentralistis

dalam pelaksanaan kebijakan. Peran negara di dalam proses pembangunan adalah

sebagai motor tunggal penggerak modernisasi, yaitu mulai dari peran sebagai

penyedia dana untuk membiayai program modernisasi, merencanakan dan

melaksanakan, serta mengamankan proyek modernisasi yang mereka rencanakan.

Karena peran yang terlampau besar dan luas itu, tanpa disadari negara kemudian

seringkali menjadi kurang peka dan merasa bahwa aparat negara mempunyai hak

untuk membatasi masyarakat memilih alternatif dalam pembangunan7.

Seperti yang dikaji oleh Thomas Dye dalam Michael Howlett, Dye

menjelaskan bahwa agen dari kebijakan publik adalah pemerintah dan ketika

membahas tentang kebijakan publik, maka kita membahas tindakan pemerintah8.

Sementara menurut M. Dwan Rahardjo, kebijakan pembangunan yang lahir dan

serba dikendalikan oleh pemerintah itu disebut sebagai kebijakan “nasi bungkus”

yang di dalamnya sudah disediakan berbagai paket input dan harus dimakan

6Ibid., 58

7 Lihat Bagong Suyanto, Kemiskinan dan Kebijakan Pembangunan (Yogyakarta: Aditya Media,

1996), xviii 8 Michael Howlett dan M. Ramesh, Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy Subsyster

(New York: Oxford University Press, 1995), 5

10

seluruhnya. Artinya, kebijakan yang dirumuskan dan program yang disusun untuk

meningkatkan taraf kehidupan masyarakat desa umumnya berupa paket-paket

program yang sudah baku, berlaku nasional, dan seringkali mengabaikan detail

karakteristik masyarakat lokal9.

Berkaitan dengan proses kebijakan publik yang serba dikendalikan oleh

pemerintah, menurut Dunn, pada tahap implementasi kebijakan yang merupakan

pelaksanaan dan pengendalian arah tindakan kebijakan sampai dicapainya hasil

kebijakan10

pun sering kali disetir sepenuhnya oleh pemerintah. Seperti halnya

model implementasi kebijakan yang bersifat top-down dimana implementasi

kebijakan dimaknai sebagai kegiatan untuk melakukan apa yang diperintahkan

dan mengontrol urutan-urutan tahapan di dalam sebuah sistem. Implementasi juga

dimaknai sebagai hal yang berkisar soal pengembangan sebuah program kontrol

yang meminimalkan konflik dan deviasi dari tujuan yang telah ditetapkan di

dalam “hipotesis kebijakan”11

. Oleh karena itu, maka dalam model implementasi

yang bersifat top-down ini, Rousseau telah menggarisbawahi bahwa, “segala

sesuatu adalah baik jika diserahkan ke tangan sang Pencipta, dan segala sesuatu

adalah buruk di tangan manusia”12

.

Uraian di atas menggambarkan dengan jelas bagaimana alur kebijakan

yang lebih banyak didominasi oleh kekuatan-kekuatan pusat dan mengabaikan

kekuatan lokal. Lebih jauh Wibowo merumuskan bagaimana kebijakan

dirumuskan dan diimplementasikan dengan sangat sedikit memperhatikan

9 Suyanto, op. cit., xix

10 William N. Dunn, Analisis Kebijakan Publik (Yogyakarta: Hanindita Graha Widia, 2001), 70 11 Wayne Parsons, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisa Kebijakan (Jakarta:

Kencana, 2006), 468 12 Ibid.

11

stakeholder-stakeholder yang justru langsung merasakan dampak dari kebijakan

itu sendiri13

. Sehingga dapat dilihat bahwa selama ini pemerintah dalam proses

pembangunan seringkali mengabaikan institusi sosial yang merupakan konteks

yang ada dalam sebuah masyarakat. Tanpa disadari, model teknokrat sudah

dijadikan mainstream dalam proses kebijakan selama ini. Pemerintah menetapkan

karakteristik pembangunan di Indonesia dan menjalankannya dengan cara relatif

sama antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya, padahal karakteristik

masyarakat yang dilingkup dalam sebuah sistem sosial sangat berbeda dengan

masyarakat yang lain.

Berkaitan dengan proses implementasi kebijakan publik, penelitian

sebelumnya yang dilakukan oleh Astuti pada tahun 2006 mengenai implementasi

kebijakan dalam program BOS dalam wajardiknas di Kabupaten Banyumas

menemukan bahwa implementasi kebijakan dalam program BOS dijalankan

berdasarkan juklak dan juknis pemerintah, dimana dalam variabel konten

kebijakan, juklak dan juknis dalam program BOS cukup memberatkan. Sementara

itu di dalam variabel konteks kebijakan, stakeholder-stakeholder yang ada kurang

dilibatkan dalam implementasi program BOS. Dalam penelitiannya, Astuti

menggunakan alur berfikir Grindle tentang implementasi kebijakan yang terdiri

dari dua variabel, yaitu konteks dan konten kebijakan14

.

Pada tahun 2005, penelitian yang dilakukan oleh Ismulyadi mengenai

implementasi program dalam penanggulangan kemiskinan yang dilakukan dengan

13 Eddi Wibowo. dkk, Kebijakan Publik dan Budaya (Yogyakarta: YPAPI, 2004), 27 14 Sujanti Tri Astuti, “Implementasi Program BOS dalam Rangka Memperluas Akses Layanan

Wajardiknas 9 Tahun: Studi Kasus di Kecamatan Banyumas Kabupaten Banyumas” (master’s

thesis, Jurusan Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada, 2006)

12

melihat konteks para pendamping dari pemerintah daerah dalam kontekstualisasi

implementasi program penanggulangan kemiskinan menemukan bahwa

kontekstualisasi dalam implementasi program penanggulangan kemiskinan lebih

cenderung tidak mengarah pada upaya optimalisasi pencapaian tujuan kebijakan.

Seperti halnya hasil penelitian di atas, Ismulyadi juga mengunakan alur berfikir

Grindle tentang implementasi kebijakan, akan tetapi untuk menjawab rumususan

masalah Ismulyadi hanya menggunakan variabel konteks implementasi15

.

Kemudian, dalam penelitian yang dilakukan oleh Putri mengenai

implementasi pemekaran Kecamatan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat yang

dilakukan pada tahun 2010 menemukan bahwa implementasi yang dilakukan

belum menghasilkan outcome kebijkan seperti yang diharapkan, Putri

menggunakan alur berfikir proses implementasi kebijakan publik yang

dikemukakan oleh David Easton, dimana kebijakan publik merupakan alur dari

input kemudian masuk dalam wadah sistem politik dan dikeluarkan menjadi

output kebijakan16

.

Di Timor Leste, penelitian tentang implementasi kebijakan pendidikan

gratis dilakukan oleh Soares yang mengamati tentang efektifitas kebijakan dalam

meningkatkan kuantitas pendidikan dan faktor-faktor yang mempengaruhi

efektifitas kebijakan pendidikan gratis di kabupaten Manatuto. Sementra itu hasil

yang diperoleh Soares di dalam penelitiannya yang dilakukan pada tahun 2011

15 Ismulyadi, “Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan: Studi Kontekstualisasi dalam

Implementasi Program Kelompok Usaha Bersama Fakir Miskin di Kabupaten Rohul Provinsi

Riau” (master’s thesis, Jurusan Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada, 2005) 16 Dewy Susanti Putri, “Implementasi Kebijakan Pemekaran Kecamatan di Kabupaten Tanjung

Jabung Barat tahun 2008-2009” (master’s thesis, Jurusan Politik dan Pemerintahan, Universitas

Gadjah Mada, 2010)

13

yaitu kebijakan pendidikan gratis yang diimplementasikan di kabupaten Manatuto

cukup efektif, hal ini ditandai dengan berkurangnya persentase angka putus

sekolah di kabupaten Manantuto dari 34% menjadi 20%17

.

Lebih jauh, Soares membuktikan bahwa, angka putus sekolah yang masih

ada di kabupaten Manantuto disebabkan karena faktor eksternal dan internal.

Faktor eksternal yaitu kurangnya staff dinas pendidikan dalam melakukan

monitoring, evaluasi dan koordinasi dengan pihak sekolah. Dari faktor internal,

masih kurangnya jumlah guru, laboratorium, perpustakaan, buku pelajaran dan

jarak antara rumah siswa dengan sekolah yang cukup jauh18

.

Beberapa hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa, permasalahan yang

muncul dalam pelaksanaan pendidikan selama ini seringkali dicermati sebagai

masalah teknis belajar dan mengajar dalam ruang lingkup kelas yang sangat

terbatas. Menurut Salim, kebijaksanaan pendidikan nasional masih dikelola

dengan pendekatan positivisme. Di beberapa kajian yang bersifat lebih makro,

masalah pendidikan akan selalu memunculkan parameter kinerja kebijakan dalam

bentuk arus murid, angka partisipasi untuk jenjang dan jenis pendidikan tertentu,

angka kelulusan, angka drop-out, pencapaian nilai rata-rata Ujian Nasional, dan

lain-lain tanpa melihat proses kebijakan pendidikan itu sendiri secara keseluruhan.

Sehingga masalah pendidikan dalam komunitas pendidikan pada akhirnya sangat

terkesan teknis dan penyelesaiannya sangat tergantung pada treatment mekanis

yang diberikan. Misalnya masalah peningkatan mutu pendidikan, akan selalu

17 Victor Soares, “Implementasi Kebijakan Pendidikan Gratis terhadap Anak Sekolah: Studi Kasus

Kebijakan Pendidikan Gratis di Kabupaten Manantuto, Timor Leste” (master’s thesis, Program

Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, 2011) 18 Ibid.

14

mendapat bantuan pengadaan sarana pelatihan bagi para guru, penambahan buku-

buku paket dan perbaikan peralatan laboratorium19

.

Masalah-masalah pendidikan jarang sekali dicermati dalam bentuk

kekuatan kelembagaan sekolah, interaksi kelembagaan sekolah dengan

masyarakat, intervensi birokrasi pendidikan, pengaruh kelembagaan pendidikan

tradisional dan bentu-bentuk swadaya masyarakat dalam upaya peningkatan

kegiatan pendidikan. Masalah-masalah pendidikan juga tampaknya tidak pernah

didekati sebagai kekuatan ideologi-sosial20

yang dimiliki oleh kekuatan besar di

dalam suatu masyarakat. Fenomena tentang pendidikan yang sering muncul di

masyarakat adalah sekolah murah, sekolah unggulan, sekolah favorit, sekolah

untuk anak berbakat dan lain-lain21

. Dari hal tersebut, dapat dilihat bahwa selama

ini kajian mengenai pendidikan masih berkisar dalam konteks pembangunan yang

state-centric sehingga penyelesaian yang dilakukan juga dengan trickledown

effect.

Pada sisi lain, hasil literatur di atas menunjukkan bahwa beberapa studi

kebijakan publik selama ini yang diteliti pada fase implementasi kebijakan,

sebagian besar menggunakan salah satu dimensi kebijakan untuk mengkerangkai

kebijakan. Padahal sebagai kebijakan publik yang ideal, antara dimensi kebijakan

yang satu dengan dua dimensi kebijakan yang lainnya haruslah setara.

19 Agus Salim, Perubahan Sosial: Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia

(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), 285 20 Ideologi-sosial yang dimaksud yaitu sebagai sebuah sistem nilai atau sistem kepercayaan yang

menjadi karakteristik sebuah kelas atau kelompok masyarakat tertentu, sehingga sikap dan tingkah

laku seseorang dibentuk oleh ideology yang dianut oleh lingkungan masyarakatnya. Lihat

pengertian dari Williams dalam July Hidayat, “Desain Sebagai Fenomena Ideologi” Jurnal Desain

Vol. 5 No 1 (2007): 35. Tersedia di http://puslit.petra.ac.id/journals/interior (diakses 3 September

2013) 21 Ibid., 286

15

Oleh karena itu, untuk menjawab rumusan masalah, maka ada beberapa

premis yang menjadi garis besar. Pertama, studi ini menyepakati bahwa dalam

proses kebijakan publik khususnya tahap implementasi tidak akan berhasil jika

model kebijakan yang digunakan hanya sebatas proses satu arah antara

pemerintah kepada masyarakat tanpa ada partisipasi dari masyarakat sebagaimana

model kebijakan teknokratis yang abai terhadap konteks. Oleh karena itu, dalam

studi ini akan mengkompilasikan beberapa model untuk kajian kebijakan

pendidikan yang diimplementasikan di dalam masyarakat Suku Laut dengan

dikerangkai tiga dimensi kebijakan publik.

Kedua, karena studi ini akan menguak kegagalan kebijakan pendidikan

yang dianalisa pada tahap implementasi kebijakan pendidikan dengan

membandingkan kinerja kebijakan pendidikan, maka kriteria yang menjadi acuan

di dalam studi ini yaitu indikator kinerja kebijakan pendidikan berupa tingkat

partisipasi pendidikan yang kemudian dijabarkan ke dalam Angka Partisipasi

Kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Putus Sekolah (APS)

masyarakat Suku Laut.

1.3.2. Implementasi Kebijakan Publik

Dalam mengkaji kebijakan publik, menurut Nugroho, tahap perumusan

kebijakan publik adalah inti dari proses kebijakan publik22

. Namun kebijakan

hanya akan berupa impian atau rencana yang bagus, yang tersimpan rapi dalam

arsip jika tidak diimplementasikan, sehingga dapat dikatakan bahwa salah satu

22 Riant Nugroho, Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi dan Evaluasi (Jakarta: PT.

Gramedia, 2003), 101

16

tolok-ukur keberhasilan suatu kebijakan juga terletak pada proses

implementasinya23

. Dalam konteks Indonesia, rencana di dalam sebuah kebijakan

hanya menentukan 20% keberhasilan, sementara pada tahap implementasi

kebijakan menentukan 60% sisanya dan 20% sisa keberhasilan ditentukan oleh

cara kita mengendalikan implementasi. Sehingga, implementasi merupakan tahap

yang paling berat. Karena pada tahap implementasi, masalah-masalah yang

kadang tidak dijumpai di dalam konsep akan muncul dilapangan, dan salah satu

ancaman utama dalam proses implementasi yaitu konsistensi implementasi24

.

Seperti yang telah diuraikan pada subbab sebelumnya, dalam melakukan

analisis kebijakan publik tidak terlepas dari pengkajian tiga dimensi penyusun

kebijakan publik, yaitu konten, konteks dan proses kebijakan itu sendiri. Ketiga

dimensi di dalam analisis kebijakan publik tersebut tidak hanya berhenti

digunakan pada proses perumusan kebijakan, melainkan juga sampai pada tahap

implementasi kebijakan.

Namun menurut Santoso, pada praktiknya selama ini dalam proses

kebijakan publik tidak selalu mengedepankan ketiga dimensi tersebut dengan

porsi yang sama dalam sebuah kebijakan publik. Seperti halnya kebijakan yang

berorientasi pada dimensi konten akan mengasumsikan bahwa dimensi proses dan

konteks tidak problematis. Kebijakan publik yang hanya berorientasi dengan

23

Fadillah Putra, Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2003), 79 24H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk Memahami

Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2008), 211-212

17

dimensi substansi ini merupakan kebijakan yang menggunakan model

teknokratis25

.

Berbeda dengan model teknokrat yang mengasumsikan bahwa kebijakan

adalah proses yang berjalan dengan logika birokratik ala Weberian, model politisi

melihat proses kebijakan dijalankan dalam logika „everything is possible‟ demi

menyiasati konteks yang ada untuk mencapai substansi yang diinginkan. Dalam

kebijakan publik yang orientasi analisisnya terhadap dimensi proses akan

memberikan perhatian utamanya pada pelibatan masyarakat sehingga dapat

mengantisipasi berbagai hal yang tidak sempat dipikirkan oleh pemerintah26

.

Selanjutnya, dalam model kebijakan publik yang menekankan pada

dimensi proses, kebijakan publik tidak hanya dimaknai sebagai rutinitas dan peran

satu arah dari pemerintah kepada masyarakat, melainkan juga terdapat partisipasi

masyarakat dalam proses merumuskan kebijakan publik. Untuk itu, di dalam

kajian Lele ditegaskan bahwa perlunya memahai kebijakan publik secara utuh,

tidak sekedar sebagai outcomes proses politik murni, tetapi juga sebagai proses

filsafat. Hal ini dimaksudkan agar diskursus kebijakan publik idealnya diarahkan

pada upaya mencari esensi public interest yang lebih bersifat komunikatif,

partisipatif dan emansipatoris yang pada upaya formulasinya membutuhkan suatu

pendekatan khusus diluar pendekatan ortodoks-konvensional sebagaimana dipakai

selama ini27

. Kemudian menurut Alisjahbana, kebijakan pembangunan yang

berorientasi pada pembangunan manusia sejatinya dalam pelaksanaannya

25 Santoso, op. cit., 58 26 Ibid. 27 Gabriel Lele, “Postmodernisme dalam Pengembangan Wacana Formulasi Kebijakan” Jurnal

Ilmu Sosial Ilmu Politik Vol. 3 No. 2 (November 1999): 207

18

mensyaratkan keterlibatan langsung oleh masyarakat penerima program

pembangunan (partisipasi pembangunan). Karena hanya dengan partisipasi

masyarakat penerima program, maka hasil pembangunan akan sesuai dengan

aspirasi dan kebutuhan masyarakat itu sendiri28

.

Kemudian, seperti yang dikatakan oleh Steelman bahwa dalam

partisipatory planning memandang publik sebagai pihak yang berpengetahuan,

berwawasan, cerdas dan aktif, jika kepada mereka diberikan kesempatan dalam

keterlibatan masyarakat yang efektif29

. Steelman juga membedakan logika elit dan

partisipatoris seperti pada tabel di bawah ini:

Tabel 1.1. Perbandingan Logika Elit dan Partisipatori

Karakteristik Elit Partisipatori Kesempatan bagi publik berpartisipasi

Periodik Kontinyu

Partisipasi dalam

kesempatan

Terbatas/pasif Aktif/berkembang

Lokus atas kekuasaan pembuatan keputusan

Kepentingan pada elit Kepentingan publik

Nilai demokrasi yang

dipercaya

Instrumental; prosedural;

sebagai alat

Intrinsik; sebagai tujuan dan

cara

Pandangan terhadap birokrasi

Dipercaya dan kompeten Skeptis: waspada, kritis, khawatir terhadap akurasi dan

ketepatan representasi

Perhatian utama Efisiensi dan stabilitas, ilmiah dan rasional

Responsivitas terhadap kehendak umum, pertumbuhan

dari individu

Bentuk utama dari

partisipasi

Voting dan

kepemimpinan yang telah distandarisasi

Bentuk yang beragam,

partisipasi lokal sebagai bentuk yang rasional dan praktis

Pandangan terhadap

publik

Skeptis, memandang

publik sebagai apatis, dan

mudah dimanipulasi

Berwawasan/berpengetahuan,

aktif dan cerdas (discerning)

Sumber: Toddi A. Steelman, 2001, hal. 74

28 Alisjahbana, Kebijakan Publik Sektor Informal (Surabaya: ITS Press, 2004), 87 29 Toddi A. Steelman, “Elite and Participatory Policymaking: Finding Balance in a Case of

National Forest Planning” Policy Studies Journal Vol. 29. No. 1 (2001), dari EBSCOhost

Research Databeses (Diakses tanggal 2 Oktober 2012)

19

Berkenaan dengan ketiga dimensi analisis penyusun kebijakan publik yaitu

konten, konteks dan proses kebijakan itu sendiri, pada tahap implementasi

kebijakan juga dapat dianalisis dengan menggunakan ketiga dimensi tersebut.

Menurut kajian Putra, hal ini dikarenakan implementasi kebijakan tidak hanya

bersangkut paut dengan mekanisme operasional kebijakan ke dalam prosedur-

prosedur birokrasi, melainkan juga terkait dengan masalah konflik keputusan dan

bagaimana suatu kebijakan itu diperoleh kelompok-kelompok sasaran30

. Artinya

bahwa implementasi kebijakan bukan hanya berkisar mengenai pelaksanaan

kebijakan yang hanya melibatkan birokrat, akan tetapi juga di dalam prosesnya

melibatkan stakeholder-stakeholder lainnya serta dilaksanakan pada suatu situasi

yang tentunya memiliki karakter yang beragam.

Dinamika proses implementasi ini menurut Grindle di dalam Politics and

Policy Implementation in the Third World, bukanlah sekedar terkait dengan

bagaimana mekanisme penjabaran berbagai keputusan politik dalam prosedur

rutin melalui saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu juga menyangkut

masalah konflik, keputusan dan siapa yang memeperoleh apa dari suatu kebijakan.

Sehingga Grindle dalam konsep implementasinya melibatkan dua variabel utama,

yaitu policy content dan policy context. Dimensi konten menurut Grindle

mempengaruhi proses implementasi karena konten kebijakan yang dihasilkan

melalui perumusan kebijakan menentukan apa yang harus di-deliver melalui

sebuah kebijakan, perubahan apa yang bakal muncul sebagai akibat dari kebijakan

yang diimplementasikan, di mana kebijakan tersebut diimplementasikan dan siapa

30 Putra, op. cit., 80

20

yang mengimplementasikan kebijakan tersebut31

. Menurut Van Meier dan Van

Horn yang dikutip oleh Parsons bahwa studi implementasi perlu

mempertimbangkan isi (content) atau tipe kebijakan. Kemudian, efektivitas

implementasi akan bervariasi di antara tipe dan isu kebijakan. Faktor utama dalam

implementasi (perubahan, kontrol dan pemenuhan) menunjukkan bahwa jika ada

tingkat konsensus yang tinggi dan tidak banyak dibutuhkan perubahan, maka

implementasi akan berjalan dengan lancar32

.

Di dalam implementasi kebijakan, konten kebijakan menjadi instrumen

untuk mengimplementasi kebijakan. Grindle, dalam kajiannya mengenai variabel-

variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan memasukkan dimensi

konten kebijakan sebagai salah satu variabel yang dirumuskan. Lebih jauh,

Grindle mengutip pendapat Theodore Lowi yang mengemukakan bahwa jenis

kebijakan yang dibuat akan memiliki dampak yang besar terhadap pelaksanaan

kebijakan. Indikator dimensi konten kebijakan menurut Grindle33

antara lain

yaitu:

a. Kepentingan yang dipengaruhi (interest affected)

Ketika kebijakan diimplementasikan ke dalam sebuah institusi, maka harus

disadari bahwa di dalam institusi tersebut telah ada suatu kondisi yang

kompleks dan berbagai kepentingan di dalamnya. Maka, jika kebijakan yang

kemudian diimplementasikan ke dalam institusi tersebut berlawanan dengan

31 Merilee S. Grindle, Politics and Policy Implementation in the Third World (Princeton University

Press, 1980), 8-10 32 Parsons, op. cit., 482 33 Grindle, loc. cit.

21

kepentingan yang sudah ada maka akan memunculkan resistensi, begitu juga

sebaliknya.

Dari poin ini dapat dilihat sejauhmana kepentingan-kepentingan tersebut

membawa pengaruh terhadap implementasi. Hal ini dikarenakan masing-

masing aktor yang memiliki kepentingan akan mempertahankan

kepentingannya, sehingga pelaksanaan kebijakan tidak mengancam

kepentingan mereka.

b. tipe benefit (type of benefits)

Di dalam suatu kebijakan, harus terdapat beberapa jenis manfaat yang

menunjukkan dampak positif yang dihasilkan oleh pengimplementasian satu

jenis kebijakan sehingga berpengaruh pada keberhasilan proses implementasi

kebijakan. Untuk itu, program kebijakan harus memberikan manfaat secara

kolektif, yang dapat memobilisasi lebih banyak jenis partikularistik tuntutan

pada tahap implementasi.

c. derajat perubahan yang diinginkan (extent of change envision)

Setiap kebijakan mempunyai target perubahan yang hendak dicapai. Seberapa

besar perubahan yang hendak dicapai melalui suatu implementasi kebijakan

harus mempunyai skala yang jelas. Dalam banyak kasus, konten kebijakan

yang memproyeksikan perubahan yang besar cenderung mendapatkan

resistensi yang lebih kuat, sehingga memiliki potensi yang lebih besar untuk

gagal

d. letak pengambilan keputusan (site of decision making)

22

Pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan sangat mempengaruhi

implementasi kebijakan, maka pada bagian ini harus dijelaskan dimana letak

pengambilan keputusan dari suatu kebijakan yang hendak diimplementasikan

dan siapa saja aktor kunci yang mempengaruhi pengambilan keputusan.

Karena seperti yang disinggung oleh Grindle sebelumnya yaitu implementasi

bukanlah sekedar terkait dengan bagaimana mekanisme penjabaran berbagai

keputusan politik dalam prosedur rutin melalui saluran-saluran birokrasi,

melainkan lebih dari itu juga menyangkut masalah konflik, keputusan dan

siapa yang memeperoleh apa dari suatu kebijakan.

e. implementor program (program implementors)

Dalam melaksanakan suatu kebijakan harus didukung dengan adanya

pelaksana kebijakan yang kompeten dan kapabel demi tercapainya tujuan

kebijakan. Selain hal tersebut, berkaitan dengan uraian pertama mengenai

kepentingan yang dipengarui dan akan mempengaruhi kebijakan, implementor

kebijakan yang juga merupakan aktor juga memiliki kepentingan, sehingga

akan ada tarik menarik kepentingan didalam implementasi kebijakan itu

sendiri.

f. sumberdaya yang dialokasikan (Resources Committed)

Sejalannya implementasi kebijakan dengan tujuan kebijakan juga harus

didukung oleh sumberdaya, agar implementasi kebijakan berjalan dengan

baik.

Semua aspek dalam dimensi konten kebijakan yang dikemukakan oleh

Grindle akan mempengaruhi proses implementasi kebijakan karena konten

23

kebijakan yang dihasilkan melalui policy making menentukan apa yang harus

dideliver melalui implementasi kebijakan, perubahan apa yang muncul sebagai

akibat dari proses implementasi kebijakan tersebut34

.

Selanjutnya, dalam kaitannya dengan dimensi konteks yang

mempengaruhi proses implementasi kebijakan, Grindle merumuskan konteks

sebagai hal yang merepresentasikan lingkungan di mana suatu proses kebijakan,

termasuk implementasi berlangsung. Di dalam kajian Laswell tentang pemetaan

kontekstual untuk implementasi kebijakan juga melibatkan pemetaan

partisipan/stakeholder, perspektif mereka, situasi, nilai dan strategi mereka, serta

hasil dan efek aktual yang mereka inginkan. Laswell mengakui bahwa

implementasi mengandung konteks spesifik dalam term nilai dan institusi yang

ada di dalam problem tertentu. Pemetaan konteks problem memberikan

kemungkinan untuk memahami keragaman dimensi dan pengetahuan, keyakinan,

kekuasaan, makna, dan nilai yang mendasari pembuatan kebijakan dan

implementasinya35

. Pemahaman dimensi konteks sebagai salah satu faktor yang

berpengaruh di dalam implementasi kebijakan menjadikan implementasi

kebijakan sebagai sebuah arena yang tidak hanya dikuasai oleh administratif

belaka, tetapi juga terdapat aktor-aktor lain yang mempengaruhi jalannya

implementasi sebuah kebijakan.

Dimensi konteks di dalam kajian Grindle36

dibagi atas beberapa variabel di

antaranya yaitu:

34 Ibid. 35 Parsons, op. cit., 491 36 Grindle. op. cit., 10-14

24

a. kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat (power, interest and

strategy of actor involved)

Dalam implementasi kebijakan perlu diperhitungkan besarnya kekuasaan,

kepentingan dan strategi aktor-aktor yang terlibat guna memperlancar jalannya

implementasi suatu kebijakan. Dengan kata lain, di dalam implementasi

kebijakan perlu mempertimbangkan konteks atau lingkungan di mana

kebijakan berlangsung, karena terdapat berbagai pihak yang memiliki

kepentingan yang beragam serta power yang dapat mempengaruhi kebijakan.

Karena kepentingan yang beragam, maka tujuan yang diinginkan pun berbeda

sehingga terjadi konflik, dan akibatnya mengenai siapa dan memperoleh apa

akan ditentukan oleh strategi, sumber-sumber dan posisi kekuasaan setiap

pihak yang terlibat.

b. karakteristik rezim dan institusi (institution and regime characteristic)

Lingkungan dimana suatu kebijakan tersebut dilaksanakan juga berpengaruh

terhadap keberhasilan kebijakan. Lingkungan tersebut berupa karakteristik

suatu rezim dan kelembagannya ketika melaksanakan kebijakan yang akan

turut mempengaruhi proses kebijakan, apakah lembaga dan rezim yang

berkuasa mendukung pencapaian tujuan di mana kebijakan dilaksanakan atau

sebaliknya.

c. kepatuhan dan responsivitas (compliance and responsiveness)

Dalam melaksanakan kebijakan, konteks lainnya yang ikut berpengaruh yaitu

kepatuhan dan responsivitas dari para pelaksana, dimana yang hendak

dijelaskan di dalam poin ini yaitu untuk mencapai tujuan kebijakan

25

dibutuhkan lingkungan spesifik yaitu responsivitas. Idealnya, lembaga publik

seperti birokrasi harus responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Responsivitas tidak dapat dicapai dalam pelaksanaan tujuan kebijakan karena

intervensi dari beberapa individu atau kelompok yang memiliki kepentingan.

Setelah kegiatan implementasi kebijakan yang dipengaruhi oleh konten

kebijakan dan lingkungan/konteks implementasi, maka akan dapat diketahui

apakah para pelaksana kebijakan dalam merumuskan kebijakan sesuai dengan apa

yang diharapkan, juga dapat diketahui pada apakah suatu kebijakan dipengaruhi

oleh suatu lingkungan, sehingga terjadinya tingkat perubahan yang ditimbulkan37

.

37 Leo Agustino, Dasar-Dasar Kebijakan Publik (Bandung: Alfabeta, 2006), 156

26

Skema 1.1.

Proses Implementasi Kebijakan sebagai Proses Administratif dan Politis

Tujuan Kebijakan Aktivitas implementasi

dipengaruhi oleh:

a. Konten Kebijakan

Kepentingan yang berpengaruh

Tipe benefit

Drajat perubahan yang terjadi

Letak pengambilan keputusan

Implementor program

Sumber daya yang dialokasikan

b. Konteks Implementasi

Kekuasaan, kepentingan dan

strategi aktor yang terlibat

Karakteristik rezim dan institusi

Kepatuhan dan responsivitas

MENGUKUR KEBERHASILAN

Sumber: Grindle, 1980, hal. 11

Dalam dimensi kebijakan publik yang melibatkan konten, konteks dan

proses, maka pada kajian kebijakan publik tidak relevan jika hanya menggunakan

teori Grindle yang menekankan pada dimensi konten dan konteksnya saja. Dalam

mengkaji dimensi proses dalam implementasi kebijakan, dapat dianalisis dengan

dua model, yaitu model top-down dan model bottom-up.

Pada proses implementasi yang menggunakan model top-down,

implementasi didasarkan dalam suatu kerangka yang berfokus pada keputusan dan

kekuasaan, dan potensi pembuat keputusan untuk menimbulkan perubahan di

dalam masyarakat dianggap sebagai sebuah problem dari pengembangan kontrol

dan elit yang efektif. Pandangan top-down yang dianut Sabatier dan Mazmanian

yang dikutip oleh Parsons lebih memperhatikan hubungan antara keputusan

Outcome kebijakan:

a. Dampak terhadap

masyarakat, individu dan kelompok

b. Perubahan dan drajat

penerimaan terhadap

perubahan

tujuan

tercapai? program dan

proyek yang

direncanakan dan didanai

Apakah program

dijalankan sesuai

dengan desain?

27

dengan pencapaian, perumusan dan implementasi dan potensi hierarki dengan

pembatasan pengimplementasi untuk mencapai tujuan legal yang didefinisikan di

dalam kebijakan38

. Artinya, di dalam pokok pemikiran Sabatier dan Mazmanian

menyatakan bahwa suatu implementasi akan efektif apabila birokrasi

pelaksanaannya memenuhi apa yang telah digariskan oleh peraturan (petunjuk

pelaksana maupun petunjuk teknis)39

.

Model top-down yang dikemukakan oleh Sabatier dan Mazmanian ini

akan memberikan skor yang tinggi pada kesederhanaan dan keterpaduan, karena

model top-down memaksimalkan perilaku berdasarkan pemikiran tentang sebab-

akibat, dengan tanggungjawab yang bersifat single dan penuh. Model top-down

ini juga memiliki skor yang rendah pada bukti-bukti penting atau realisme dan

kemampuan pelaksana. Implementasi kebijakan dianggap dapat berjalan secara

mekanistis atau linear. Maka penekanannya terpusat pada koordinasi, kompliansi

dan kontrol yang efektif yang mengabaikan manusia sebagai target group serta

mengabaikan peran dari aktor lain40

.

Lebih jauh menurut Agustino, pada dasarnya ketika para elit merumuskan

kebijakan, maka kebijakan-kebijakan yang dibuat adalah kebijakan yang

diusahakan untuk mempertahankan kekuasaannya, kebijakan yang

menguntungkan dirinya, hingga kebijakan yang diusahakan untuk meminggirkan

partisipasi publik41

. Hal ini dapat diamati dengan skema berikut:

38 Parsons, op. cit., 489 39 Putra, op. cit., 89 40 Ibid., 90 41 Agustino, op. cit., 132

28

Skema 1.2. Aktor Kebijakan Publik yang Bersifat Elitis

Pembuat Kebijakan

Pelaksana Kebijakan

Penerima Beban Kebijakan

Di sisi lain dalam proses implementasi, model bottom-up merumuskan

bahwa implementasi adalah sebuah proses pembuatan kebijakan dan

(kemungkinan) pemberdayaan terhadap pihak-pihak yang dianggap sebagai target

keputusan. Kemudian, dalam kajian Parsons, pendekatan bottom-up juga

didasarkan pada signifikansi hubungan antara aktor-aktor yang terlibat dalam

suatu kebijakan atau problem dengan pembatasan hierarki formal di dalam kondisi

tersebut42

. Proses implementasi dalam model bottom-up bukanlah sebuah proses

yang bersifat konsekuental, akan tetapi berlangsung dalam proses tawar menawar

yang terjadi terus menerus antar berbagai aktor kebijakan. Pada intinya, perspektif

ini alih-alih menekankan pada ketepatan dan pedanticism-teknokratis, lebih

mengandalkan pada inisiatif, pengetahuan, dan kemampuan belajar dan

beradaptasi dari masyarakat sebagai stakeholders dalam mengimplementasikan

suatu kebijakan43

.

Dari hal di atas, ditegaskan oleh Mas‟oed bahwa proses kebijakan yang

berurusan dengan pembangunan seharusnya didasarkan pada pertimbangan

42 Parsons, loc. cit. 43 Santoso, op. cit., 129

Elit

Birokrasi

Publik/

Rakyat

29

pemberdayaan masyarakat44

. Dalam kajian yang dilakukan oleh John D.

Montgomery, suatu program akan berjalan dengan baik jika terdapat partisipasi

publik mulai dari perencanaan hingga executions. Lebih lanjut menurutnya,

evektifnya suatu program akan terjadi jika ada partisipasi dari masyarakat lokal45

.

Di dalam proses kebijakan publik yang menitikberatkan pada partisipasi

masyarakat secara rinci dikemukakan oleh Cohen dan Uphoff membedakan empat

jenis partisipasi, partisipasi dalam pengambilan keputusan, partisipasi dalam

pelaksanaan, partisipasi dalam pengambilan pemanfaatan dan partisipasi dalam

evaluasi46

. Kebijakan publik yang berorientasi pada partisipasi masyarakat juga

harus diimbangi dengan semakin ke pinggirnya dominasi pemerintah. Hal ini

dijelaskan dalam agenda kebijakan publik oleh Lele, dimana negara harus kembali

mereorientasi dan melakukan reformasi peran negara, karena selama ini negara

terlalu dominan dalam melaksanakan perannya. Untuk itu negara sebaiknya

menjadi katalisator, dimana negara harus banyak menjadi ”pendengar” bukan

”pembicara” sehingga wacana yang sering diungkapkan adalah bahasa

masyarakat, bukan bahasa negara47

.

Dari definisi World Bank, partisipasi sebagai keterlibatan masyarakat

dimaknai sebagai sebuah proses dimana para stakeholder saling mempengaruhi

dan berbagi kontrol atas inisiatif pembangunan, keputusan dan juga sumberdaya

44

Mochtar Mas‟oed, Politik Birokrasi dan Pembangunan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994) 45 John D. Montgomery, “When Local Paricipation Help”, Journal of Policy Analysis and

Management Vol. 3 No. 1 (Autumn, 1983): 90. Dari Jstor Databases (diakses tanggal 6 Juni 2012) 46 Alisjahbana, op.cit., 88 47 Lele, op. cit., 216

30

yang akan mempengaruhi mereka48

. Kemudian, menurut Brinkerhoff yang dikutip

oleh Wibowo bahwa pada prakteknya, partisipan bukanlah aktor tunggal namun

dapat dibagi dalam; stakeholder dalam entitas pemerintahan nasional, seperti

menteri, parlemen dan juga agen sektor publik di level sub nasional, yaitu

pemerintahan kabupaten, DPRD dan sebagainya. Yang juga termasuk partisipan

adalah aktor-aktor sektor privat, berbagai organisasi pada level baik nasional

ataupun lokal meliputi asosiasi profesional, think tank, serikat dagang, organisasi

keagamaan, kelompok pemuda, partai politik, serta warga negara khususnya

warga miskin dan yang terpinggirkan49

.

Lebih lanjut menurut Sihombing, melalui pendekatan seperti inilah

kesempatan setiap kelompok masyarakat dapat ikut serta dalam pembangunan.

Demikian dengan masyarakat miskin, karena dalam pembangunan pola seperti ini

harus dipahami bahwa yang memahami masalahnya itu adalah masyarakat

(individu yang bersangkutan bukan orang pintar atau perencana/pemerintah).

Selanjutnya dengan pengikutsertaan masyarakat dalam pembangunan ini

sekaligus akan mensinergikan kekuatan melalui penyusunan program-program

yang berbasis pada potensi yang dimiliki oleh wilayah dan masyarakat. Para ahli

di bidang pembangunan sepakat bahwa pembangunan yang dilaksanakan dengan

mempertimbangkan spesifikasi wilayah dan sosial masyarakat setempat akan

48

World Bank, “World Development Report 1997 - the state in a changing world”,

http://econ.worldbank.org/external/default/main?pagePK=64165259&theSitePK=469382&piPK=

64165421&menuPK=64166093&entityID=000090341_20070712102213 (Diakses 2 Oktober

2012) 49 Wibowo, op. cit., 34

31

lebih bermanfaat dibandingkan dengan pembangunan yang dilaksanakan dengan

mengacu pada model-model pembangunan tertentu50

.

Dari hal di atas, dapat dikatakan bahwa dalam implementasi kebijakan

dimensi proses tidak dapat dilepaskan dari tahap implementasi kebijakan karena

implementasi merupakan proses itu sendiri. Lebih lanjut menurut Smith,

implementasi dapat dikatakan sebagai proses atau alur. Model proses atau alur

yang dikemukakan oleh Smith ini melihat proses kebijakan yang dibuat oleh

pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam

masyarakat sebagai target group51

.

Smith menyatakan bahwa ada empat variabel yang perlu diperhatikan

dalam proses implementasi kebijakan, yaitu:

1. Idealized policy, yaitu suatu pola interaksi yang diidealisasikan oleh perumus

kebijakan dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan merangsang

target group untuk melaksanakannya;

2. Target group, yaitu bagian dari policy stakeholders yang diharapkan dapat

mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus

kebijakan; karena target group banyak mendapatkan pengaruh dari kebijakan,

maka diharapkan dapat menyesuaikan pola perilakunya dengan kebijakan

yang dirumuskan;

50Marlon Sihombing, “Pengembangan Kawasan Melalui Paradigma Perencanaan Partisipatif”

Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan Volume 3 Nomor 1 (Januari – April 2006): 42,

http://usupress.usu.ac.id/files/Analisis%20Administrasi%20dan%20Kebijakan%20Vol_%203%20

No_1%202006.pdf#page=40 (diakses 2 Oktober 2012) 51 Thomas B. Smith, “The Policy Implementation Process” Policy Science Vol 4, No. 2 (June

1973): 198. Published by: Springer collaborated with Jstor, http://www.jstor.org/stable/4531525

(diakses tanggal 21 Juni 2013)

32

3. Implementing organization, yaitu badan-badan pelaksana atau unit birokrasi

pemerintah yang bertanggungjawab dalam implementasi kebijakan;

4. Environmental factors, yaitu unsur-unsur di dalam lingkungan yang

mempengaruhi implementasi kebijakan (seperti aspek budaya, sosial, ekonomi

dan politik)

Lebih jauh, Smith merumuskan bahwa keempat variabel di atas tidak

berdiri sendiri, melainkan satu kesatuan yang saling mempengaruhi dan

berinteraksi secara timbal balik, karena itu sering menimbulkan tekanan (tension)

bagi terjadinya interaksi atau tawar-menawar antara formulator dan implementor

kebijakan. Ketegangan dan tekanan-tekanan tersebut menghasilkan pola-pola

transaksi, yaitu pola-pola yang tidak tetap yang berkaitan dengan tujuan dari suatu

kebijakan. Pola-pola transaksi tersebut mungkin menghasilkan pembentukan

lembaga-lembaga tertentu, sekaligus dijadikan umpan balik untuk mengurangi

ketegangan dan dikembalikan kepada matriks dari pola-pola transaksi dan

kelembagaan.

33

Skema 1.3. Proses Implementasi Kebijakan Publik Bottom Up

Sumber: Smith, 1973, hal. 203

Model pendekatan bottom-up yang dikemukakan oleh Smith ini

memberikan skor tinggi pada realisme dan kemampuan pelaksanaan. Karena

modelnya memandang bahwa implementasi kebijakan tidak berjalan secara linear

atau mekanistis, tetapi membuka peluang terjadinya transaksi melalui proses

negosiasi, atau tawar-menawar untuk menghasilkan kompromi terhadap

implementasi kebijakan yang bersumber pada target group52

. Ini berarti bahwa

implementasi kebijakan yang berdimensi pada proses tidak hanya bertumpu pada

birokrat sebagai implementor kebijakan, tetapi juga ada target group sebagai

subjek kebijakan. Masyarakat sebagai target group dilibatkan dalam proses

implementasi kebijakan berupa adanya negosiasi dan partisipasi masyarakat yang

terakomodir di dalam proses kebijakan.

52 Ibid., 205

Target Group

Implementing Organization

Policy

Making

Process

Idealized Policy Policy Tension

Environmental Factors

Transactions

Feedback Institutions

Implementing

Organization

Target

Group

34

Dalam kajian ini, karena keempat aspek yang menurut Smith saling

mempengaruhi dalam simpul tegangan telah dijelaskan oleh Grindle pada variabel

konten kebijakan dan konteks dimana kebijakan diimplementasikan, maka

indikator yang digunakan dalam proses implementasi kebijakan menurut Smith

yaitu tahap-tahap kebijakan dimana pada akhirnya sampai pada tujuan kebijakan

atau kembali lagi pada tegangan semula. Dengan kata lain, dalam mengkaji

proses implementasi yang berlangsung dalam kebijakan pendidikan masyarakat

Suku Laut, maka tahap-tahap proses implementasi yang ditawarkan oleh Smith

menjadi salah satu kerangka untuk membingkai tiga dimensi kebijakan.

Dari uraian di atas, dapat diringkas di dalam bentuk skema mengenai tiap-

tiap dimensi kebijakan yang ditelaah dengan variabel-variabel implementasi

kebijakan seperti dibawah ini.

Skema 1.4. Kerangka Teoritis

35

1.3.3. Kinerja Kebijakan

Menurut Nugroho, model yang dikembangkan oleh beberapa ahli,

misalnya yaitu Dye, Anderson, Easton, Dunn, Patton dan Savicky, Meier, Scott,

Grindle dan Thomas mengenai proses kebijakan publik selama ini banyak

memiliki kesamaan, yaitu bahwa proses kebijakan berjalan dari formulasi menuju

implementasi, untuk mencapai kinerja kebijakan. Namun, dalam banyak kajian

yang dilakukan oleh akademisi tersebut tidak memasukkan kinerja kebijakan,

melainkan langsung pada evaluasi kebijakan. Terjadinya hal ini kemungkinan

disebabkan para akademisi tersebut menilai bahwa “kinerja kebijakan” adalah

proses yang “pasti terjadi” dalam kehidupan publik, bahkan tanpa harus

disebutkan, sehingga proses setelah implementasi adalah evaluasi.53

Namun sebaliknya, kajian Effendi yang memberikan lokus pada kinerja

kebijakan, memaknai kinerja kebijakan sebagai indikator prestasi dari proses

kebijakan. Dimana proses kebijakan yang dimulai dari agenda setting, formulasi

kebijakan, implementasi kebijakan dan yang diakhiri dengan kinerja kebijakan

memiliki proses yang “saling mengembangkan” dalam bentuk kontribusi value

antar subsistem54

.

Value yang dikreasikan pada tahap formulasi menyumbangkan pada tahap

implementasi. Value yang dikreasikan pada tahap implementasi menyumbangkan

pada tahap kinerja kebijakan. Value yang dikreasikan di lingkungan kebijakan

menyumbangkan pada setiap tahap, baik perumusan, implementasi maupun

53 Nugroho, Public Policy, (Jakarta: Gramedia, 2008), 352 54 Kinerja kebijakan yang merupakan lokus dalam proses kebijakan yang diperkenalkan oleh

Sofian Effendi belum pernah dipublikasikan oleh Effendi secara resmi, namun diajarkan pada

program pasca sarjana MAP UGM hingga saat ini. Lihat Ibid., hal. 352-353

36

kinerja. Keberhasilan pada masing-masing tahap akan mengkontribusikan

keberhasilan pada tahap selanjutnya; demikian pula kegagalan pada masing-

masing tahap akan mengkontribusikan kegagalan pada tahap selanjutnya55

.

Artinya, value yang dihasilkan di dalam suatu kebijakan dapat dilihat pada kinerja

kebijakan sebagai hasil interaksi dari tahap implementasi di dalam suatu

lingkungan kebijakan.

Dalam penelitian ini, kinerja kebijakan yang dicapai dalam implementasi

kebijakan pendidikan dilihat berdasarkan tingkat partisipasi pendidikan.

Partisipasi menurut Norman yang dikutip oleh Kaho, merupakan keikutsertaan

seseorang dalam kelompok yang mendukung tercapainya tujuan yang

ditetapkan56

. Keikutsertaan ini baik secara langsung maupun tidak langsung dalam

tahap pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, perencanaan,

pengimplementasian, pengawasan atau pengevaluasian57

.

Pada tahap implementasi kebijakan pendidikan, tentunya harus disertai

dengan partisipasi dari masyarakat untuk ikut serta dalam program yang telah

dirumuskan sebelumnya, hal ini dikarenakan tidak mungkin suatu statement

policy dapat ditransformasikan ke dalam outcome policy tanpa adanya

keikutsertaan dari target group. Tingkat partisipasi pendidikan masyarakat

sebagai indikator yang dapat menggambarkan kinerja kebijakan pendidikan58

merupakan keikutsertaan warga negara dalam pelaksanaan pendidikan formal

55 Ibid. 56 Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2005), 126 57 Alisjahbana, loc. cit. 58

Dikatakan sebagai indikator yang dapat menggambarkan kinerja kebijakan pendidikan, karena

Value yang dikreasikan pada tahap implementasi menyumbangkan pada tahap kinerja kebijakan.

Lihat Nugroho, op. cit., 352 dan Nugroho, Kebijakan Pendidikan yang Unggul, op. cit., hal. 61

37

dijabarkan ke dalam persentase Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Partisipasi

Murni (APM) dan Angka Putus Sekolah (APS). Oleh karena itu, partisipasi

pendidikan merupakan persentase penduduk di suatu daerah yang ikut serta dalam

pelaksanaan pendidikan pada lembaga formal, mulai dari tingkat pendidikan

dasar, pendidikan menengah pertama dan pendidikan menengah atas.

1.4. Definisi Konseptual dan Operasional

1.4.1. Definisi Konseptual

Dalam penelitian ini, diperlukan definisi konseptual yang merupakan

abstraksi singkat sehingga dapat memberikan arahan pada penggunaan suatu

variabel. Definisi konseptual di dalam penelitian ini di antaranya yaitu:

a. Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan merupakan proses dalam mewujudkan tujuan

kebijakan yang dinyatakan di dalam formula kebijakan, sebagai policy

statement, ke dalam policy outcome, yang muncul sebagai akibat dari aktivitas

pemerintah.

Implementasi kebijakan juga bukanlah sekedar terkait dengan bagaimana

mekanisme penjabaran berbagai keputusan politik dalam prosedur rutin

melalui saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu juga menyangkut

masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu

kebijakan, sehingga di dalam proses implementasi tidak hanya melibatkan

birokrat tetapi juga stakeholder-stakeholder lainnya. Oleh karena itu, di dalam

38

implementasi kebijakan akan terkait dengan konten kebijakan, konteks

implementasi kebijakan dan proses implementasi itu sendiri59

.

b. Partisipasi pendidikan

Partisipasi pendidikan merupakan indikator kinerja kebijakan pendidikan.

Partisipasi pendidikan menunjukkan persentase penduduk di suatu daerah

yang ikut serta dalam pelaksanaan pendidikan pada lembaga formal, mulai

dari tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah pertama dan pendidikan

menengah atas. Tingkat partisipasi pendidikan dapat diperoleh dengan

beberapa cara, diantaranya yaitu dengan menghitung Angka Partisipasi Kasar

(APK), Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Putus Sekolah (APS).

1.4.2. Definisi Operasional

Berdasarkan definisi konseptual yang telah dijelaskan di atas, untuk

menyesuaikan dengan penelitian ini, maka dijabarkan ke dalam definisi yang

lebih operasional sehingga diperoleh beberapa indikator penelitian sebagai

berikut:

a. Konten Kebijakan

Konten kebijakan yang merupakan substansi kebijakan publik itu sendiri

dalam penelitian ini meliputi keonten kebijakan pendidikan. Kebijakan

pendidikan yang dijadikan substansi penelitian yaitu kebijakan pendidikan

yang ruang lingkup tatarannya secara nasional maupun daerah. Konten

kebijakan terdiri dari beberapa variabel, yaitu:

59 Grindle, op. cit., 6-10

39

- Kepentingan yang dipengaruhi

Kepentingan yang dipengaruhi dengan diimplementasikannya kebijakan

yaitu merupakan kepentingan yang ada pada kondisi yang kompleks

dimana kebijakan pendidikan diimplementasikan. Selanjutnya, resistensi

atau dukungan akan terlihat dari situasi yang ada, dalam hal ini baik situasi

pada level pusat hingga level satuan pendidikan.

- Tipe benefit

Manfaat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah manfaat yang diterima

oleh target group apabila telah mencapai target yang diharapkan dalam

implementasi kebijakan, dalam hal ini yaitu tercapainya wajib belajar 9

tahun bagi masyarakat Suku Laut. Manfaat yang diterima yaitu

tercapainya kesejahteraan bagi Suku Laut, sehingga Suku Laut mampu

membuat keputusan yang terbaik bagi diri dan lingkungannya berdasarkan

kemampuan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan.

- Target perubahan yang diinginkan

Target perubahan yang diinginkan dalam penelitian ini meliputi

tercapainya wajib belajar 9 tahun bagi masyarakat Suku Laut sesuai

dengan pasal 31 UUD 1945 mengenai pendidikan bagi seluruh warga

negara Indonesia.

- Letak pengambilan keputusan

Letak pengambilan keputusan yang merupakan faktor penentu dalam

implementasi kebijakan, dalam kebijakan pendidikan dimulai dari

40

pengambilan keputusan kebijakan pendidikan di tingkat satuan pendidikan

hingga tingkat daerah.

- Implementor program

Impelementor kebijakan yang akan turut mempengaruhi keberhasilan

implementasi kebijakan, karena implementor kebijakan juga merupakan

aktor juga memiliki kepentingan pendidikan, disusun berdasarkan hierarki

vertikal, mulai dari BSNP pada tingkat pusat, Dinas Pendidikan tingkat

provinsi dan kabupaten serta satuan pendidikan.

- Sumberdaya yang dialokasikan

Tingkat kebutuhan akan sumber daya juga dipengaruhi oleh pilihan

strategi dan instrumen implementasi kebijakan. Sumberdaya dalam

pendidikan dasar ditetapkan antara lain berasal dari pemerintah pusat

(APBN) dan pemerintah daerah (APBD).

b. Konteks Implementasi

Konteks implementasi kebijakan pendidikan terdiri dari berbagai kepentingan

yang mempengaruhi proses administrasi dan penentuan berbagai pilihan

dalam implementasi kebijakan pendidikan, baik konteks dari sisi implementor

kebijakan pendidikan maupun dari masyarakat Suku Laut. Konteks

implementasi kebijakan dibagi atas beberapa variabel, yaitu:

- Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat

Kekuasaan dan kepentingan merupakan konteks yang menentukan arah

implementasi kebijakan pendidikan, karena berbagai pihak yang memiliki

kepentingan yang beragam serta power yang dapat mempengaruhi

41

kebijakan. Akibatnya, mengenai siapa dan memperoleh apa akan

ditentukan oleh strategi, sumber-sumber dan posisi kekuasaan setiap pihak

yang terlibat baik dari perumus kebijakan, implementor kebijakan

pendidikan maupun masyarakat Suku Laut.

- Karakteristik rezim dan institusi

Implementasi kebijakan juga dipengaruhi oleh karakteristik rezim dalam

implementasi kebijakan pendidikan. Karakter rezim dalam pendidikan

dilihat berdasarkan pergeseran karakteristik kebijakan yang dirumus dan

diimplementasikan terhadap masyarakat Suku Laut dalam sistem otonomi

pendidikan.

- Kepatuhan dan responsivitas

Kepatuhan dan responsivitas yang dimaknai dalam penelitian ini terdiri

dari kepatuhan dan rensponsivitas implementor kebijakan serta masyarakat

Suku laut sebagai target group kebijakan pendidikan.

Dimana dalam kebijakan pendidikan, implementor kebijakan menghadapi

dua persoalan. Pertama, implementor kebijakan harus konsisten mencapai

tujuan program, seperti berusaha mendapatkan dukungan dari para elit

politik dan kesedian dari instansi-instansi pelaksana, ketersediaan dari para

birokrat yang ditugaskan untuk melaksanakan program, dari para elit

politik pada level bawah serta dari pihak-pihak yang diharapkan menerima

manfaat program.

Selanjutnya implementor kebijakan pendidikan juga harus mampu

mengubah sikap menentang dari pihak yang merasa dirugikan karena tidak

42

mendapatkan manfaat dari program menjadi menerimanya serta waspada

terhadap pihak-pihak yang diabaikan oleh program60

.

c. Proses Implementasi

Dalam penelitian ini, proses implementasi kebijakan pendidikan dimaknai

sebagai proses tidak dapat dilepaskan dari tahap implementasi kebijakan

karena implementasi merupakan proses itu sendiri. Oleh karena itu, proses

implementasi kebijakan dimulai dari tegangan antara 4 komponen dalam

proses implementasi, yang terdiri dari implementor kebijakan, masyarakat

Suku Laut sebagai target group, pola interaksi yang diidealkan serta

lingkungan kebijakan.

Dalam proses implementasi kebijakan pendidikan, terdiri dari empat fase

yaitu:

- Tegangan

Proses impelemntasi terjadi ketika implementor kebijakan

mengimplementasikan kebijakan pendidikan sesuai dengan idealized

policy, sehingga mempengaruhi masyarakat Suku Laut untuk terlibat

dalam lingkungan kebijakan. Proses implementasi dipahami bukan sebagai

proses yang berjalan secara linear, melainkan transaksi melalui proses

negosiasi untuk menghasilkan kompromi terhadap implementasi kebijakan

yang bersumber pada masyarakat Suku Laut.

60 Ibid., 13

43

- Pola transaksi

Pola interaksi yang tidak tetap membentuk pola transaksi yang terdiri atas

fase artikulasi dan aksi yang belum bersifat permanen. Lebih jauh, pola

interaksi yang di dalamnya terdapat tegangan yang dinamis akan direspon

dengan terbentuknya pola transaksi masyarakat Suku laut dalam proses

implementasi kebijakan pendidikan.

- Institusi baru

Institusi baru merupakan institusi yang dibentuk ketika adanya pola

transaksi dari masyarakat Suku laut. Hal ini dilakukan agar tujuan

kebijakan pendidikan dapat kembali tercapai dengan institusi yang baru.

- Feedback

Feedback yang terjadi merupakan tegangan yang berbentuk dukungan atau

penolakan atas implementasi kebijakan pendidikan yang lebih jauh

(dengan institusi baru), sehingga kebijakan pendidikan dapat sampai pada

tujuan yang telah dirumuskan atau kembali pada fase tegangan antara 4

komponen.

d. Kinerja Kebijakan

Kinerja kebijakan di dalam studi ini dilihat berdasarkan angka partisipasi

pendidikan yang diukur dengan Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka

Partisipasi Murni (APM) dan Angka Putus Sekolah (APS).

- Angka Partisipasi Kasar (APK)

Angka Partisipasi Kasar merupakan indikator yang paling sederhana untuk

mengukur daya serap penduduk usia sekolah pada masing-masing jenjang

44

pendidikan. APK menunjukkan berapa jumlah anak dalam suatu wilayah

yang berpartisipasi dalam pendidikan. Semakin tinggi Angka Partisipasi

Kasar berarti semakin banyak anak yang bersekolah pada suatu daerah,

atau makin banyak anak usia di luar kelompok usia sekolah tertentu

bersekolah di tingkat pendidikan tertentu61

.

Angka Partisipasi Kasar di dalam studi ini melingkupi Angka Partisipasi

Kasar masyarakat Suku Laut dan dibandingkan dengan Angka Partisipasi

Kasar di seluruh Kabupaten Karimun, yaitu 90,00 %

- Angka Partisipasi Murni (APM)

Angka Partisipasi Murni merupakan indikator untuk menunjukkan tingkat

partisipasi sekolah penduduk usia sekolah di tingkat pendidikan tertentu,

tetapi persentase Angka Partisipasi Murni lebih spesifik dibandingkan

dengan persentase Angka Partisipasi Kasar62

.

61 Riant Nugroho, loc. Cit.

Angka Partisipasi Kasar diperoleh dengan menghitung persentase jumlah siswa pada jenjang

pendidikan tertentu, berapapun usianya, dibandingkan dengan jumlah penduduk kelompok usia

yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tertentu.

Rumus:

�𝐴𝑃𝐾ℎ =𝐸ℎ𝑡

𝑃ℎ ,𝑎𝑡 × 100

Keterangan:

𝐸ℎ𝑡 = jumlah penduduk yang pada tahun t dari berbagai usia yang sedang

bersekolah di tingkat pendidikan h

𝑃ℎ ,𝑎�𝑡 = jumlah penduduk yang pada tahun t berada pada kelompok usia a yaitu

kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan h. 62 Ibid.

Angka Partisipasi Murni diperoleh dengan menghitung persentase jumlah siswa dengan usia yang

berkaitan jenjang pendidikan tertentu dibandingkan dengan penduduk kelompok usia yang sama.

Rumus:

�𝐴𝑃𝑀ℎ𝑡 =

𝐸ℎ ,𝑎𝑡

𝑃ℎ ,𝑎𝑡 × 100

Keterangan:

𝐸ℎ ,𝑎𝑡 = jumlah siswa/penduduk kelompok usia a yang bersekolah di tingkat pendidikan h pada

tahun t

45

Angka Partisipasi Murni di dalam studi ini melingkupi Angka Partisipasi

Murni masyarakat Suku Laut dan dibandingkan dengan Angka Partisipasi

Murni di seluruh Kabupaten Karimun.

- Angka Putus Sekolah (APS)

Angka Putus Sekolah merupakan indikator untuk mengetahui banyaknya

siswa yang putus sekolah di suatu daerah63

. Angka Putus Sekolah di dalam

studi ini melingkupi Angka Putus Sekolah masyarakat Suku Laut dan

dibandingkan dengan Angka Putus Sekolah di seluruh Kabupaten

Karimun.

1.5. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode case study, dimana menurut Yin

metode case study pada prosesnya dilakukan secara mendalam dan menyeluruh

terhadap suatu objek yang diteliti64

. Lebih lanjut Creswell menyatakan bahwa,

fokus dalam case study adalah spesifikasi kasus pada suatu kejadian baik itu yang

𝑃ℎ ,𝑎𝑡 = jumlah penduduk kelompok usia a yang berkaitan dengan usia sekolah standar di tingkat

pendidikan h.

63 Ibid.

Angka Putus Sekolah diperoleh berdasarkan persentase siswa yang meninggalkan sekolah sebelum

lulus pada jenjang pendidikan tertentu dibandingkan dengan jumlah seluruh anak (yang sekolah

maupun yang putus sekolah) di suatu wilayah.

Rumus:

𝐴𝑃𝑆 =𝐸

𝑃× 100

Keterangan:

E = siswa yang meninggalkan sekolah sebelum lulus pada jenjang pendidikan tertentu

P = jumlah seluruh anak (yang sekolah maupun yang putus sekolah) di suatu wilayah 64

Penelitian case study adalah metode penelitian yang secara khusus meneliti fenomena

kontemporer yang terdapat dalam konteks kehidupan nyata, yang dilaksanakan ketika batasan-

batasan antara fenomena dan konteksnya yang belum jelas, dengan menggunakan berbagai sumber

data. Lihat Robert. K.Yin, Case Study Research: Design and Methods, 3 rd ed. (London: Sage

Publication, 2003), 13

46

mencakup individu, kelompok budaya ataupun suatu potret kehidupan. Beberapa

karakteristik dari suatu case study yaitu : (1) mengidentifikasi “kasus” untuk suatu

studi; (2) Kasus tersebut merupakan sebuah “sistem yang terikat” oleh waktu dan

tempat; (3) Case study menggunakan berbagai sumber informasi dalam

pengumpulan datanya untuk memberikan gambaran secara terinci dan mendalam

tentang respons dari suatu peristiwa dan (4) Menggunakan pendekatan case study,

peneliti akan “menghabiskan waktu” dalam menggambarkan konteks atau setting

untuk suatu kasus65

.

Dari hal di atas, dapat dikatakan bahwa penelitian ini tidak mengkaji

semua sektor kebijakan publik di dalam pembangunan, yang dibatasi secara rinci

dalam penelitian ini yaitu mengenai sektor pendidikan. Sektor pendidikan dipilih

dalam case study ini karena pendidikan merupakan sektor yang urgent di dalam

pembangunan, karena menyangkut perubahan pola pikir dan nilai-nilai, baik

kognitif, afeksi dan psikomotor di dalam suatu masyarakat, sehingga pada

akhirnya tercapai tujuan pembangunan di dalam masyarakat tersebut.

Penerapan logika di dalam penelitian ini diawali dengan identifikasi

masalah secara spesifik yang didasarkan pada program wajib belajar 9 tahun.

Selanjutnya yaitu akan dianalisa apa saja variabel-variabel segitiga dimensi

kebijakan publik yang terdiri dari proses, konten dan konteks implementasi

kebijakan sebagai upaya pencapaian tujuan pembangunan yang ditandai dengan

adanya partisipasi pendidikan di dalam masyarakat Suku Laut. Dalam melihat

variabel dari dimensi-dimensi kebijakan publik tersebut, peneliti menggunakan

65

John W.Creswell, Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Tradition

(London: SAGE Publications, 1998), 36-38

47

variabel yang dipetakan oleh Grindle tentang konten dan konteks implementasi

kebijakan dan variabel mengenai proses implementasi kebijakan yang dipetakan

oleh Smith.

Langkah selanjutnya yaitu peneliti menyimpulkan apakah variabel-

variabel dalam ketiga dimensi kebijakan publik (konteks, konten dan proses)

dalam implementasi mengarah pada tujuan pencapaian hasil dari program wajib

belajar 9 tahun bagi masyarakat Suku Laut. Kesimpulan dalam penelitian ini

diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi oleh Dinas Pendidikan

Kabupaten Karimun provinsi Kepulauan Riau.

1.5.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada masyarakat Suku Laut yang berada di

Kecamatan Kundur Kabupaten Karimun Provinsi Kepulauan Riau. Lokasi

penelitian ini mengambil setting di pesisir Kecamatan Kundur, yang disebut

dengan nama Dwikora. Dwikora dipilih sebagai lokasi penelitian karena beberapa

alasan. Pertama, di Dwikora, masyarakat Suku Laut hidup secara berkelompok

dari zaman dahulu hingga sekarang tanpa ada masuknya warga dari suku lain ke

daerah ini, sekaligus juga tidak ada anggota dari masyarakat Suku Laut yang

bermukim ke luar dari daerah Dwikora. Kedua, lokasi Dwikora yang berada di

samping pusat kota sebenarnya sangat mudah untuk modernisasi, tetapi hal

tersebut tidak akan dijumpai di dareah Dwikora. Ketiga, karena jarak antara

sekolah dengan Dwikora yang sangat dekat (< 1 km), tetapi seperti yang

48

dijelaskan di atas, masyarakat Suku Laut sangat jarang yang menyelesaikan wajib

belajar.

1.5.2. Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu

data primer dan data sekunder. Penggunaan kedua data ini secara sekaligus

bertujuan untuk melihat fakta yang terjadi dalam implementasi kebijakan publik

pada sektor pendidikan yang diterapkan pada masyarakat Suku Laut, sehingga

manipulasi data dapat dihindari. Pemilihan data primer berdasarkan pada

kapasitas subjek penelitian yang dinilai dapat memberikan informasi yang

dibutuhkan oleh peneliti secara menyeluruh. Adapun yang menjadi teknik dalam

pengumpulan data sekunder adalah dengan desk study sedangkan pengumpulan

data primer dilakukan dengan wawancara dan observasi. Metode yang digunakan

dalam proses pengumpulan data dalam penelitian ini adalah proses triangulasi,

dengan langkah-langkah dalam pencarian data sebagai berikut:

a. Desk study

Desk study yang merupakan data sekunder ini digunakan sebagai langkah

awal untuk mencari informasi mengenai objek kajian berdasarkan data

pendukung yang ada. Desk study ini dilakukan dengan pengumpulan data

yang dicari melalui arsip-arsip, buku, media massa, jurnal dan sebagainya

yang menyangkut masyarakat Suku Laut. Misalnya yaitu sejarah Suku Laut,

program kebijakan pendidikan yang diterapkan di dalam masyarakat Suku

49

Laut serta data mengenai jumlah anak Suku Laut baik yang sekolah maupun

yang tidak sekolah.

Selain itu, untuk membandingkan tingkat partisipasi pendidikan masyarakat

Suku Laut yang dibandingkan dengan masyarakat lain yang berada di

wilayah Kabupaten Karimun, maka dibutuhkan juga data angka partisipasi

pendidikan masyarakat Kabupaten karimun.

b. Field Study

Melalui field study, peneliti akan berinteraksi langsung dengan objek

penelitiannya. Field study ini dilakukan dengan observasi dan wawancara.

Observasi

Observasi ini dilakukan untuk memperoleh data dari gejala-gejala yang

ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual, baik tentang

kebijakan yang diimplementasikan dalam masyarakat Suku Laut maupun

kondisi Suku Laut itu sendiri. Dalam observasi ini, peneliti melakukan

pengamatan secara langsung terhadap fenomena yang akan diteliti.

Dimana menurut Arikunto, observasi ini dilakukan melalui pengamatan

atau pemusatan perhatian terhadap objek dengan menggunakan seluruh

alat indera66

. Sehingga peneliti juga akan melihat, mendengarkan dan

merasakan fenomena yang terjadi dalam objek yang diteliti. Data yang

ingin dikumpulkan dari observasi ini misalnya, jumlah anak di Suku

Laut yang berada dalam usia wajib belajar dan perbandingan jumlah

anak di Suku Laut antara yang sekolah dengan yang tidak sekolah,

66 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka Cipta,

2002), 128

50

jumlah anak Suku Laut di sekolah yang berada di sekitar masyarakat

Suku Laut yang kemudian diklasifikasikan tingkatan kelasnya.

Wawancara (indept interview)

Wawancara yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu dengan

dialog agar dapat tergali data yang belum terungkap. Dalam melakukan

wawancara, terdiri dari dua pihak yaitu pihak yang mengajukan

pertanyaan dan pihak yang diwawancarai/pihak yang memberikan

jawaban atas pertanyaan dari peneliti. Dalam penelitian ini, pihak yang

diwawancarai yaitu terdiri atas dinas pendidikan, pemimpin Suku Laut

dan masyarakat Suku Laut itu sendiri.

Adapun sumber data/responden yang menjadi target dalam penelitian ini

diantaranya yaitu:

1) Dinas Pendidikan Kabupaten Karimun, yakni elit-elit yang berada di dalam

lingkup dinas Pendidikan tersebut terutama aktor yang memiliki wewenang

pada bagian pendidikan Sekolah Dasar. Peneliti juga melakukan wawancara

dengan kepala sekolah dan guru pengajar di sekolah yang berada di sekitar

tempat tinggal masyarakat Suku Laut.

Dinas Pendidikan dan kepala sekolah hingga guru di sekolah sekitar tempat

tinggal Suku Laut dipilih untuk dijadikan responden karena dalam

mengimplementasikan kebijakan pembangunan sektor pendidikan

dilaksanakan langsung oleh dinas pendidikan, kepala sekolah dan guru dan

menjadi aktor utama di dalam implementasi kebijakan.

51

2) Pemimpin Suku Laut, dalam hal ini Suku Laut yang masih mengikuti apa

yang dikatakan oleh pemimpin Suku Laut itu sendiri maka keputusan yang

diambil oleh masyarakat Suku Laut akan sangat dipengaruhi oleh wacana

yang dibawa oleh pemimpinnya. Oleh karena itu, sangat penting untuk melihat

keterlibatan dan kepentingan pemimpin Suku Laut dalam implementasi

kebijakan pendidikan pada masyarakat Suku Laut.

3) Sejarawan, yakni orang yang mengetahui mengenai karakter dan asal-usul

masyarakat Suku Laut. Responden tersebut dibutuhkan karena dalam

mengkaji masyarakat Suku Laut yang sering disebut sebagai kaum adat

terpencil tentu memiliki karakter yang berbeda dengan masyarakat lainnya,

sehingga dibutuhkan data yang berkaitan dengan karakter, kebiasaan dan pola

pikir masyarakat Suku Laut.

4) Beberapa orang masyarakat Suku Laut. Partisipasi sebagai proses

implementasi kebijakan yang idealnya dilakukan oleh masyarakat itu sendiri

akan dapat dianalisa dengan berinteraksi/wawancara langsung dengan

masyarakatnya, sehingga akan sangat dibutuhkan wawancara langsung dengan

masyarakat Suku Laut.

5) Anak-anak Suku Laut yang berada dalam usia sekolah, dilakukannya

wawancara dengan anak-anak Suku Laut untuk melihat orientasi anak-anak

Suku Laut itu sendiri terhadap pendidikan, karena dalam penelitian ini anak-

anak Suku Laut merupakan target implementasi kebijakan pembangunan di

sektor pendidikan.

52

Tabel 1.2. Teknik Pengumpulan Data

Sasaran

Penelitian Jenis Informasi/ Variabel

Jenis Data

Sumber Data Primer Skunder

Observasi Wawancara

1. Konten

kebijakan Kepentingan yang

dipengaruhi

Tipe benefit

Derajat perubahan yang

diinginkan

Letak pengambilan

keputusan

Implementor program

Sumberdaya

Dinas Pendidikan, masyarakat

Suku Laut

Dinas Pendidikan, masyarakat

Suku Laut

Masyarakat Suku Laut, anak-

anak Suku Laut

Dinas Pendidikan, masyarakat

Suku Laut

Tenaga pendidik, anak-anak

Suku Laut

Dinas Pendidikan

2. Konteks yang

dilibatkan

dalam

implementasi

Kekuatan, kepentingan dan

strategi aktor yang terlibat

Karakter rezim dan institusi

Kepatuhan dan responsivitas

Dinas Pendidikan, masyarakat

Suku Laut

Dinas Pendidikan, masyarakat

Suku Laut

Dinas Pendidikan, masyarakat

Suku Laut

3. Proses

implementasi Tegangan

Pola Transaksi

Institusi Baru

Dinas Pendidikan, masyarakat

Suku Laut, tenaga pendidik

Masyarakat dan anak-anak Suku

Laut

Dinas Pendidikan, tenaga

53

Feedback

pendidik, masyarakat Suku Laut

Dinas Pendidikan, masyarakat

Suku Laut

54

1.5.3. Teknik Analisa Data

Penelitian ini dirancang dengan metode penelitian kualitatif, maka yang

menjadi tujuan dalam penelitian kualitatif ini adalah penggambaran realita

empirik di balik fenomena sebagaimana yang dikatakan oleh Meleong bahwa

tujuan dari penelitian kualitatif adalah ingin menggambarkan realita empirik di

balik fenomena secara mendalam, rinci dan tuntas67

. Analisis data dalam

penelitian ini dilakukan melaui tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan,

yang menurut Miles dan Haberman yaitu terdiri dari reduksi data, penyajian data

dan penarikan kesimpulan/verifikasi68

. Tiga jenis kegiatan utama analisis data

merupakan proses siklus dan interaktif. Peneliti harus siap bergerak di antara

empat “sumbu” kumparan itu selama pengumpulan data, selanjutnya bergerak

bolak balik di antara kegiatan reduksi, penyajian dan penarikan

kesimpulan/verifikasi seperti pada skema berikut.

67 Lexy J. Meleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), 131 68 Miles dan Huberman, Analisis Data Kualitatif (Jakarta: UI Press, 1992), 16-18

55

Skema 1.5. Teknik Analisa Data

Sumber: Miles dan Huberman, 1992

1. Reduksi Data

Reduksi data dalam penelitian ini dilakukan dengan memilih hal-hal pokok

yang sesuai dengan fokus penelitian, yaitu di dalamnya peneliti akan

menggolongkan, mengarahkan, dan mengeliminasi yang tidak perlu dan

mengorganisasikan data-data yang telah direduksi, kemudian memberi

gambaran yang lebih tajam tentang hasil penelitian.

2. Penyajian Data

Dalam penyajian data, peneliti akan menegembangkan sebuah deskripsi

informasi yang tersusun dan mencari pola hubungannya untuk menarik

kesimpulan. Penyajian data dilakukan dalam bentuk teks naratif.

3. Penarikan Kesimpulan/Verifikasi

Dalam tahap ini, peneliti akan menarik kesimpulan dan melakukan verifikasi

dengan mencari makna setiap gejala yang diperoleh dari lapangan, mencatat

56

keteraturan dan konfigurasi yang mungkin ada, alur kausalitas dari fenomena

dan proposisi69

. Artinya, pada tahap penarikan kesimpulan ini peneliti akan

mereview kembali teori yang digunakan sebagai pisau analisis dengan realita

yang terjadi di lapangan, sehingga ternarasikan refleksi teoritis dari kerangka

teori yang digunakan.

1.6. Sistematika Penulisan

Bab I terdiri dari latar belakang, studi literatur, rumusan masalah, tujuan,

kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab I ini berisi

landasan pemikiran tesis dan operasional tesis. Bab I ini bertujuan untuk

mendeskripsikan masalah pokok mengenai kegagalan implementasi kebijakan

sektor pendidikan, termasuk di dalamnya telaah studi terdahulu dan kerangka teori

yang ditawarkan, sehingga masalah di dalam penelitian ini penting untuk dikaji.

Bab II mendeskripsikan sejarah, budaya dan perkembangan Suku Laut

hingga sekarang. Di dalam ini juga akan mendeskripsikan kondisi pendidikan

masyarakat Suku Laut secara lebih rinci dengan melihat partisipasi pendidikan

masyarakat Suku Laut hingga saat ini yang dijabarkan dalam Angka Partisipasi

Kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Putus Sekolah (APS).

Tujuan bab ini adalah untuk menggambarkan kondisi masyarakat Suku Laut yang

selama ini dicekoki dengan kebijakan pembangunan sektor pendidikan.

Bab III menganalisa konten kebijakan pendidikan yang diimplementasikan

dalam masyarakat Suku Laut. Proses implementasi adalah mentransformasikan

69 Ibid.

57

hasil rumusan kebijakan yang disebut dengan konten kebijakan menjadi outcome

kebijakan. Sehingga dalam mengukur berhasil atau tidaknya implementasi

kebijakan tersebut, dapat diukur dengan menganalisa konten kebijakannya. Di

dalam bab ini akan menganalisa konten kebijakan sektor pendidikan dalam

beberapa variabel, di antaranya yaitu yang pertama kepentingan yang dipengaruhi

oleh kebijakan. Variabel ini akan dideskripsikan dengan menganalisa beberapa

indikator yang mendukung variabel, di antaranya yaitu macam-macam kebijakan

yang berkaitan dengan pendidikan, situasi institusi dalam mengimplementasikan

kebijakan yang sebelumnya dan apakah konten kebijakan yang diimplementasikan

kemudian sama dengan situasi sebelumnya. Variabel kedua, yaitu tipe benefit

yang diterima oleh kelompok sasaran. Sementara itu, variabel ketiga yang akan

dideskripsikan yaitu drajat perubahan yang terjadi, semakin tinggi drajat

perubahan yang diinginkan maka kebijakan akan cenderung gagal.

Variabel keempat yang akan diuraikan di dalam bab III yaitu mengenai

letak pengambilan keputusan, dimana semakin rumit tahap pengambilan

keputusan, maka implementasi kebijakan cenderung gagal, sehingga poin yang

akan dibahas dalam variabel ini yaitu siapa aktor kunci yang mempengaruhi

pengambilan keputusan dan konflik yang terjadi dalam pengambilan keputusan.

Selanjutnya, variabel kelima dalam bab ini yaitu implementor program, indikator

di dalam variabel ini yaitu siapa aktor yang menjadi implementor program,

kompetensi dan kinerja implementor dan relasi antar implementor. Sementara itu,

variabel terakhir yang dideskripsikan dalam bab ini yaitu sumber daya yang

58

dialokasikan dengan melihat jenis-jenis sumberdaya, dukungan sumberdaya dan

alokasi yang ditetapkan dari sumberdaya untuk implementasi kebijakan

pendidikan.

Bab IV mendiskusikan konteks lingkungan politik (struktur beserta

dinamikanya) yang dilibatkan dalam implementasi kebijakan pendidikan, baik

dari implementor kebijakan maupun target group. Struktur politik dimana suatu

kebijakan diimplementasikan akan turut mempengaruhi dan dipengaruhi oleh

kebijakan. Sehingga proses implementasi kebijakan tidak terlepas dari konteks

dimana implementasi kebijakan tersebut berlangsung. Dalam bab ini akan

mendiskusikan konteks implementasi kebijakan yang dispesifikasikan ke dalam

beberapa variabel, di antaranya yaitu pertama kekuasaan, kepentingan dan strategi

aktor-aktor yang terlibat. Variabel ini akan dijabarkan ke dalam beberapa

indikator di antaranya yaitu kekuasaan (elit), kepentingan yang dimiliki oleh

aktor-aktor yang memiliki kekuasaan, strategi yang digunakan oleh aktor-aktor

tersebut untuk mencapai kepentingannya hingga who get what dari kebijakan

pendidikan yang diimplementasikan.

Variabel kedua dalam bab IV yaitu karakter rezim dan institusi, variabel

ini dianalisa dengan melihat apakah rezim yang ada di lingkungan kebijakan

bersifat sentralisasi atau desentralisasi, kemudian yaitu kontrol dari pusat dalam

implementasi kebijakan dan bagaimana prioritas penguasa terhadap implementasi

kebijakan pendidikan. Selanjutnya, variabel ketiga dalam bab IV yaitu kepatuhan

dan responsivitas. Indikator yang digunakan untuk menganalisa variabel ini yaitu

59

tingkatan kekonsistenan implementor dalam mencapai tujuan (dengan

mendapatkan dukungan elit politik, ketersediaan birokrat dan aktor politik level

bawah, serta target group), selanjutnya yaitu kemampuan implementor dalam

mengubah sikap dari kelompok penentang menjadi menerima kebijakan, proses

evaluasi untuk melihat responsivitas implementor, karena tanpa responsivitas,

maka implementor akan kesulitan dalam melakukan evaluasi, intervensi

kelompok lain dan kecakapan politik implementor.

Bab V akan membahas proses implementasi kebijakan pendidikan

diperjuangkan dalam masyarakat Suku Laut, proses implementasi kebijakan

merupakan salah satu kunci untuk membuka teka-teki yang menyebabkan

kegagalan implementasi kebijakan karena implementasi kebijakan merupakan

proses itu sendiri . Bab ini bertujuan untuk menjelaskan proses implementasi

kebijakan pendidikan yang diperjuangkan pada masyarakat Suku Laut, dengan

pembahasan dibagi dalam beberapa subbab pembahasan. Subbab pembahasan

dalam bab V terdiri fase-fase proses implementasi yang dikemukakan oleh Smith,

yaitu berawal dari tegangan yang terjadi antara empat komponen (idealized

policy, target group, implementor kebijakan dan lingkungan kebijakan).

Interaksi untuk merangsang target group yang disebut dengan idealized

policy, menimbulkan pola-pola transaksi, yaitu pola-pola yang tidak tetap yang

berkaitan dengan tujuan dari suatu kebijakan. Pada fase selanjutnya, pola-pola

transaksi tersebut menghasilkan pembentukan lembaga-lembaga tertentu,

60

sekaligus dijadikan umpan balik untuk mengurangi ketegangan dan dikembalikan

kepada matriks dari pola-pola transaksi dan kelembagaan.

Bab VI merupakan bagian yang akan menganalisa ketiga variabel

implementasi kebijakan dalam penelitian ini, yaitu konten kebijakan, konteks

dimana kebijakan diimplementasikan dan proses implementasi. Analisa terhadap

ketiga variabel tersebut pada akhirnya akan menjawab pertanyaan utama dalam

penelitian ini, yaitu penyebab kegagalan implementsai kebijakan pendidikan

dalam masyarakat Suku Laut. Bab VI terdiri dari 2 subbab, subbab yang pertama

yaitu bagian yang menjawab penyebab kegagalan implementasi kebijakan

pendidikan dalam masyarakat Suku Laut. Sementara subbab kedua yaitu analisa

variabel yang paling dominan dalam implementasi kebijakan pendidikan

masyarakat Suku Laut.

Bab VII adalah bab terakhir yang merupakan kesimpulan penelitian ini. Di

dalam bab ini akan merangkum jawaban atas pertanyaan penelitian sekaligus

menyajikan rekomendasi praktikal atas kebijakan pendidikan untuk masyarakat

Suku Laut pada masa yang akan datang. Dalam rekomendasi praktikal yang akn

disusun, terdiri atas dimensi apa saja yang hendaknya diangkat ke permukaan baik

dalam perumusan maupun dalam implementasi kebijakan, serta cara yang

digunakan untuk mencapai terselenggaranya kebijakan pendidikan sesuai dengan

konteks masyarakat Suku Laut.