bab i pendahuluan 1.1. alasan pemilihan judul 1.1.1....

33
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Alasan Pemilihan Judul 1.1.1. Relevansi dengan Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan adalah salah satu cabang ilmu terapan yang bergerak di ranah sosial. Sebagai suatu cabang ilmu, pembahasan dilakukan pada isu pembangunan dalam rangka menciptakan kondisi masyarakat Indonesia yang sejahtera. Sebagai sebuah institusi pendidikan, Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan memiliki tiga fokus kajian yang didasarkan pada isu kesejahteraan di Indonesia. Ketiga fokus kajian tersebut adalah kebijakan sosial (social policy), pemberdayaan masyarakat (community empowerment), dan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). Dalam konteks fokus kajian Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, penelitian ini memiliki kaitan yang erat dengan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat yang ditelaah dalam penelitian ini adalah pemberdayaan masyarakat yang diterima Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera. Sebagai sebuah industri kecil-menengah, Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera menjadi sasaran berbagai program pemberdayaan masyarakat. Elemen dalam pemberdayaan masyarakat menjadi jalan masuk bagi partisipasi anggota kelompok dalam mengembangkan produk unggulannya, yakni souvenir batik jumput.

Upload: hoangkhanh

Post on 09-May-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Alasan Pemilihan Judul

1.1.1. Relevansi dengan Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan adalah salah satu cabang

ilmu terapan yang bergerak di ranah sosial. Sebagai suatu cabang ilmu,

pembahasan dilakukan pada isu pembangunan dalam rangka menciptakan

kondisi masyarakat Indonesia yang sejahtera. Sebagai sebuah institusi

pendidikan, Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan memiliki

tiga fokus kajian yang didasarkan pada isu kesejahteraan di Indonesia. Ketiga

fokus kajian tersebut adalah kebijakan sosial (social policy), pemberdayaan

masyarakat (community empowerment), dan tanggung jawab sosial

perusahaan (corporate social responsibility).

Dalam konteks fokus kajian Departemen Pembangunan Sosial dan

Kesejahteraan, penelitian ini memiliki kaitan yang erat dengan pemberdayaan

masyarakat. Pemberdayaan masyarakat yang ditelaah dalam penelitian ini

adalah pemberdayaan masyarakat yang diterima Kelompok Jumputan Ibu

Sejahtera. Sebagai sebuah industri kecil-menengah, Kelompok Jumputan Ibu

Sejahtera menjadi sasaran berbagai program pemberdayaan masyarakat.

Elemen dalam pemberdayaan masyarakat menjadi jalan masuk bagi

partisipasi anggota kelompok dalam mengembangkan produk unggulannya,

yakni souvenir batik jumput.

2

1.1.2. Aktualitas

Dewasa ini, pembangunan yang dijalankan banyak menggunakan

pendekatan people-centered development atau pembangunan berbasis

masyarakat. Dalam pendekatan ini, masyarakat diposisikan sebagai objek dan

subjek dari pembangunan. Masyarakat sebagai objek berarti masyarakat

menjadi pihak yang menerima manfaat dari pembangunan. Sementara itu,

masyarakat sebagai subjek artinya diberikannya ruang kepada masyarakat

untuk menentukan arah pembangunan sesuai dengan nilai yang dianut.

Dengan menggunakan pendekatan people-centered development, manfaat

yang diperoleh melalui pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan

masyarakat.

Pembangunan berbasis masyarakat dijalankan di berbagai sektor,

termasuk kepariwisataan. Dalam bidang kepariwisataan, community-based

tourism merupakan konsep yang menjadi acuan dalam menjalankan

pembangunan berbasis masyarakat. Konsep ini menekankan peran serta

masyarakat dalam setiap tahapan pembangunan, mulai dari perencanaan,

pelaksanaan, sampai dengan pemantauan (monitoring) dan evaluasi.

Community-based tourism memberikan akses kepada masyarakat untuk

berpartisipasi dalam setiap kegiatan pariwisata. Salah satu upaya dalam

menjalankan community-based tourism adalah melalui pemberdayaan

masyarakat untuk meningkatkan kapasitas serta kekuatannya dalam

pembangunan.

3

Salah satu wujud community-based tourism diejawantahkan melalui

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pariwisata.

Dalam pelaksanaannya, pemerintah pusat melalui Kementerian Pariwisata

(dahulu Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif) memberikan dana

stimulan kepada masyarakat untuk merintis suatu desa wisata. Melalui

bantuan dana stimulan tersebut, potensi yang dimiliki suatu daerah dapat

dimanfaatkan secara optimal melalui bidang kepariwisataan. Kehadiran desa

wisata diharapkan memberikan dampak positif terhadap masyarakat, baik

dalam aspek ekonomi maupun sosial-budaya.

Kampung Wisata Tahunan merupakan salah satu hasil dari

pelaksanaan PNPM Mandiri Pariwisata. Destinasi wisata tersebut terkenal

akan aktivitas ekonomi kreatif, yakni pengembangan batik jumput

Berdasarkan Pokja Indonesia Design Power Depdag (dalam Gunadi, 2011),

industri kreatif didefinisikan sebagai industri yang berasal dari pemanfaatan

kreativitas, keterampilan, serta bakat individu untuk menciptakan

kesejahteraan serta lapangan pekerjaan melalui penciptaan dan pemanfaatan

daya kreasi dan daya cipta individu tersebut. Pengembangan batik jumput di

Kampung Wisata Tahunan dijalankan oleh beberapa pihak, baik individu

maupun kelompok. Salah satu kelompok yang turut terlibat adalah Kelompok

Jumputan Ibu Sejahtera.

Dilihat dari segi aktualitasnya, penelitian ini masih cukup hangat

untuk diangkat dan dikaji lebih lanjut. Isu pariwisata yang menjadi konteks

penelitian ini menarik untuk dibahas dan sedang banyak diperbincangkan,

termasuk di ranah akademis. Pariwisata dipandang sebagai suatu ‘institusi’

4

yang mempunyai fungsi tertentu dalam masyarakat modern, yaitu

mengembalikan masyarakat kepada situasi harmoni dan keseimbangan (Mac

Cannell dalam Demartoto, 2009: 6). Dengan fungsinya yang penting dalam

kehidupan masyarakat saat ini, pariwisata berkembang menjadi komoditi

pasar. Pariwisata sebagai komoditi pasar tentu saja memberikan dampak

kepada semua elemen masyarakat. Implementasi program pemberdayaan

masyarakat di Kampung Wisata Tahunan, khususnya terhadap Kelompok

Jumputan Ibu Sejahtera, menjadi penting untuk diteliti. Hal ini dikarenakan

unsur-unsur dalam pemberdayaan masyarakat menjadikan manfaat

pembangunan dapat dirasakan oleh semua kelompok masyarakat, terutama

kelompok masyarakat yang termarjinalkan.

Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera yang beranggotakan ibu rumah

tangga turut mempromosikan isu perempuan dan gender melalui penelitian

ini. Berangkat dari banyaknya ibu rumah tangga yang tidak berpenghasilan,

Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera memulai aktivitasnya dalam

pengembangan batik jumput. Perempuan yang masih diasosiasikan dengan

sektor domestik membuat anggota kelompok pada awalnya hanya

menggantungkan perekonomian keluarga kepada pihak laki-laki. Melalui

program pemberdayaan masyarakat, ibu rumah tangga yang tergabung dalam

Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera mulai berpartisipasi dalam pembangunan

pariwisata di Kampung Wisata Tahunan. Dalam skala yang lebih sempit,

anggota kelompok berpartisipasi dalam pengembangan souvenir batik jumput

melalui program pemberdayaan masyarakat yang diterima.

5

1.1.3. Orisinalitas

Suatu penelitian dapat dikatakan orisinil apabila masalah yang

diangkat dalam penelitian belum pernah dikaji oleh peneliti terdahulu. Jika

masalah yang diangkat sudah pernah diteliti sebelumnya, fokus dan

perspektif penelitian dapat dibedakan dengan jelas. Penelitian mengenai

partisipasi telah sering dilakukan, meskipun dalam konteks yang berbeda.

Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Diah Ayu Septiana

(2016), mahasiswa Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

Universitas Gadjah Mada, yang berjudul “Partisipasi Ibu Rumah Tangga

dalam Lembaga Koperasi (Studi tentang Koperasi Wanita “Pertiwi

Gebangsari di Desa Gebangsari, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto,

Jawa Timur)”. Sama halnya dengan yang dilakukan oleh peneliti, penelitian

Diah menitikberatkan fenomena partisipasi pada ibu rumah tangga. Namun,

partisipasi ibu rumah tangga dalam penelitian Diah dilihat melalui aktivitas

dalam suatu lembaga keuangan.

Penelitian yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat juga pernah

dilakukan oleh mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Sigit

Nurdiyanto, pada tahun 2015. Judul penelitian Sigit adalah “Partisipasi

Masyarakat dalam Pengembangan Wisata (Studi di Desa Wisata Bleberan,

Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul)”. Terdapat perbedaan dalam

kedua penelitian yang mengangkat tema partisipasi masyarakat ini. Pada

penelitian Sigit, kajian dilakukan pada seberapa jauh partisipasi masyarakat

secara keseluruhan dalam pengembangan wisata di Desa Bleberan.

Sementara itu, fokus penelitian yang penulis lakukan secara spesifik

6

diletakkan pada partisipasi anggota Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera dalam

pengembangan souvenir batik jumput. Program pemberdayaan yang diterima

menjadi jalan masuk partisipasi anggota kelompok dalam penelitian ini.

Penelitian bertemakan partisipasi lainnya dilakukan oleh Maryam

Adro (2014), mahasiswa Departemen Pembangunan Sosial dan

Kesejahteraan Universitas Gadjah Mada. Penelitian Maryam berjudul

“Partisipasi Kelompok Pembudidaya Ikan dalam Program CSR PT.

Pertamina DPPU Adisutjipto (Studi tentang KPI Mino Ngudi Lestari dalam

Program CSR PT. Pertamina DPPU Adisutjipto, Dusun Ngayan, Desa

Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Yogyakarta)”. Fokus

penelitian tersebut adalah kelompok pembudidaya ikan sebagai bagian dari

program CSR suatu perusahaan. Dalam penelitian yang dilakukan Maryam,

partisipasi dilihat dari usaha kelompok dalam menjalin relasi dengan pihak

lain dalam rangkaian program CSR PT. Pertamina DPPU Adisutjipto.

Sementara itu, fenomena partisipasi yang diteliti oleh peneliti ditelaah dari

aktivitas internal dan aktivitas eksternal kelompok.

1.2. Latar Belakang

Kesejahteraan merupakan hal yang diinginkan oleh setiap manusia.

Pemenuhan kebutuhan hidup dan pemecahan masalah-masalah sosial yang

dialami oleh masyarakat menjadi faktor penting dalam mencapai kondisi

sejahtera. Untuk mencapai kondisi sejahtera tersebut, pembangunan

senantiasa dilaksanakan dengan berbagai cara oleh pelaku pembangunan di

setiap negara. Sebagian besar negara berkembang, seperti Indonesia,

menerapkan pembangunan berorientasi produksi untuk meningkatkan

7

pertumbuhan ekonomi. Mekanisme tetesan ke bawah (trickle-down effect)

yang sentralistis dinilai paling efisien dalam meningkatkan taraf hidup

masyarakat. Namun, pembangunan dengan pendekatan tersebut tidak mampu

memberikan dampak signifikan dalam terciptanya kesejahteraan bagi

masyarakat (Soetomo, 2006).

Kegagalan model pembangunan yang berorientasi pada produksi

memunculkan suatu alternatif pembangunan baru, yakni pembangunan

berbasis masyarakat atau people-centered development. Salah satu wujud

nyata pembangunan berbasis masyarakat adalah pemberdayaan masyarakat.

Pemberdayaan masyarakat, yang muncul sebagai antitesis dari pembangunan

berorientasi produksi dan peningkatan ekonomi, lebih menekankan peran

masyarakat dalam prosesnya. World Health Organization mendefinisikan

pemberdayaan masyarakat sebagai “the process of enabling communities to

increase control over their lives”. Pada dasarnya, terdapat dua unsur penting

pemberdayaan masyarakat, yakni to give ability to dan to give authority to.

Pada unsur pertama, pembangunan dijalankan dengan memberikan

kemampuan kepada masyarakat untuk melepaskan diri secara mandiri dari

belenggu masalah sosial yang dialami. Unsur kedua dalam pemberdayaan

masyarakat mengacu pada sentralisasi dalam pelaksanaan pembangunan

konvensional.

Dalam melaksanakan pemberdayaan, partisipasi masyarakat

diperlukan untuk menyukseskan pembangunan. Seluruh elemen masyarakat

didorong untuk memberikan kontribusi dalam menentukan arah

pembangunan. Partisipasi masyarakat menjadi sangat penting karena

8

masyarakat yang paling memahami kebutuhannya dan permasalahan yang

terdapat di lingkungannya. Setiap bagian dari masyarakat memiliki

kesempatan sama dalam memengaruhi berjalannya pembangunan yang

diperuntukkan bagi mereka.

Pembangunan berbasis masyarakat dijalankan di berbagai sektor,

salah satunya adalah sektor pariwisata. Dewasa ini, pariwisata merupakan isu

yang ramai diperbincangkan, termasuk di ranah akademis. Pariwisata,

sebagai bentuk modern dari aktivitas pemanfaatan waktu luang (leisure time),

semakin merambah ke masyarakat dunia. Pariwisata berkembang menjadi

sebuah industri besar, bahkan disebut sebagai “industri terbesar sejak akhir

Abad 20” (WTO dalam Demartoto, 2009: 4). Pergerakan barang, jasa, dan

manusia yang berlangsung dalam aktivitas pariwisata tentu saja berdampak

terhadap kehidupan masyarakat yang bersinggungan dengannya. Oleh karena

itu, pembangunan berbasis masyarakat di sektor pariwisata perlu dilakukan

agar terjadi peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat.

Pariwisata berbasis masyarakat atau community-based tourism

merupakan konsep pembangunan di sektor pariwisata yang menekankan pada

partisipasi masyarakat dalam setiap lini pembangunan. Masyarakat setempat

harus dilibatkan secara aktif dan diberi kesempatan untuk berpartisipasi

karena tujuan akhir adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas

hidup masyarakat (Demartoto, 2009: 20). Walaupun community-based

tourism menekankan pada peran penting masyarakat dalam menunjang

pembangunan, keterlibatan pemerintah dan swasta juga dibutuhkan. Sebagai

pembuat kebijakan, pemerintah berperan dalam mendorong dan memotivasi

9

masyarakat agar bersedia untuk memberikan kontribusinya dalam proses

pembangunan pariwisata di daerahnya. Pemberdayaan masyarakat menjadi

jalan untuk memaksimalkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan

pariwisata.

Dalam kaitannya dengan partisipasi, tidak semua elemen masyarakat

memiliki kekuatan yang sama dalam berpartisipasi dan memberikan

kontribusi. Pada dimensi gender, terdapat jurang yang memisahkan peran dan

posisi antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat. Sampai saat ini,

laki-laki cenderung diasosiasikan dengan sektor publik yang menghasilkan

uang. Sementara itu, perempuan diasosiasikan dengan sektor domestik,

seperti merawat anak, memasak, dan mengurus keperluan rumah tangga yang

tidak memperoleh penghasilan. Perbedaan posisi dan peran laki-laki dan

perempuan menciptakan pola relasi gender timpang yang meletakkan

perempuan dalam posisi subordinat (Budiman, 1982). Adanya pembagian

dikotomis peran laki-laki dan perempuan inilah yang melemahkan partisipasi

perempuan dalam pembangunan.

Lemahnya partisipasi perempuan akibat pembagian dikotomis peran

terjadi di berbagai sektor, termasuk pariwisata. Sebagai industri yang

berkembang pesat saat ini, pariwisata menyerap banyak tenaga kerja

perempuan. Namun, Richter (dalam World Tourism Organization, 2010)

menggambarkan penyerapan tenaga kerja dalam pariwisata layaknya sebuah

piramida dengan banyaknya perempuan menempati posisi di bagian bawah.

Partisipasi laki-laki dan perempuan di dalam pariwisata pun juga berbeda

(Dunn, 2007). Perempuan cenderung bekerja paruh-waktu atau terlibat dalam

10

pekerjaan yang sifatnya sementara di dalam pariwisata. Oleh karena itu,

perempuan terjebak pada low-skilled jobs dan kesulitan untuk menempati

posisi penting dalam pembangunan pariwisata.

Pola relasi gender yang timpang antara laki-laki dan perempuan

tersebut dapat menghambat proses pembangunan pariwisata. Masih

terjebaknya perempuan dalam peran tradisionalnya memperkecil akses,

kontrol, dan partisipasinya dalam menentukan arah pembangunan. Dengan

demikian, diperlukan pemberdayaan masyarakat untuk mendorong

partisipasi perempuan dan menghentikan pelanggengan pembatasan peran

perempuan dalam sektor domestik semata. Pemberdayaan masyarakat

dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, khususnya

kelompok marjinal seperti perempuan, sehingga posisi tawarnya semakin

kuat.

Melalui pariwisata berbasis masyarakat, atau community-based

tourism, akses setiap elemen masyarakat terhadap pembangunan menjadi

terbuka. Community-based tourism memungkinkan perempuan untuk

berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan di daerahnya. Sebagai bagian

dari masyarakat, perempuan dapat turut serta mengembangkan potensi wisata

daerahnya sebagai wujud dari pembangunan pariwisata. Oleh karena itu,

community-based tourism menjadi penting untuk diimplementasikan saat

pariwisata sedang berkembang pesat, terutama di negara berkembang yang

memiliki potensi wisata yang besar.

11

Salah satu perwujudan community-based tourism adalah Kampung

Wisata Tahunan yang terletak di Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta.

Destinasi wisata ini terbentuk dari implementasi PNPM Mandiri Pariwisata

yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Pariwisata.

Kampung Wisata Tahunan menyimpan berbagai potensi dan daya tarik

wisata, mulai dari kesenian hingga ekonomi kreatif. Daya tarik wisata yang

paling menonjol dan menjadi ciri khas adalah kerajinan batik jumput.

Berbeda dengan batik tulis yang lebih dikenal masyarakat, motif yang dibuat

pada batik jumput dibuat dengan cara diikat dan dijelujur menggunakan tali

atau benang. Tali atau benang dalam pembuatan batik jumput memiliki fungsi

yang sama dengan malam atau lilin, yakni membentuk pola pada kain agar

tidak terkena pewarna sehinga tercipta motif-motif yang diinginkan. Kain

yang telah diikat dan dijelujur tersebut dicelupkan ke dalam bahan pewarna.

Di Kampung Wisata Tahunan, terdapat showroom-showroom yang

memamerkan dan menjualkan kreasi batik jumput. Sebagian besar showroom

terletak di sepanjang Jalan Soga. Beberapa showroom tersebut dimiliki oleh

Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera. Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera

merupakan sebuah kelompok industri kecil-menengah yang bergerak di

bidang ekonomi kreatif. Terbentuk pada tahun 2011, kelompok tersebut

menaungi 25 perempuan yang memiliki minat dalam mempelajari dan

mengembangkan batik jumput. Ibu rumah tangga yang menjadi anggota

Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera menjadi pelaku pengembangan daya tarik

wisata yang paling ditonjolkan dari Kampung Wisata Tahunan.

12

Lahirnya Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera diawali dengan

pembentukan kelompok Pemberdayaan Ekonomi Wilayah (PEW). PEW

merupakan program pemberdayaan berbasis ekonomi yang dijalankan oleh

Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Yogyakarta. Tidak

hanya dari Disperindag Kota Yogyakarta, Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera

juga menerima program pemberdayaan masyarakat dari pihak lainnya.

Pelatihan, pendampingan, studi banding, pameran, dan komponen lainnya

dalam program pemberdayaan masyarakat menunjang anggota Kelompok

Jumputan Ibu Sejahtera sebagai usaha industri kecil-menengah. Kegiatan-

kegiatan tersebut menjadi wahana partisipasi anggota kelompok dalam

mengembangkan batik jumput sebagai souvenir khas Kampung Wisata

Tahunan. Melalui program pemberdayaan masyarakat terhadap Kelompok

Jumputan Ibu Sejahtera, ibu rumah tangga berkesempatan untuk terlibat aktif

dalam proses pembangunan yang berlangsung di sekitarnya sekaligus

meningkatkan kapasitasnya sebagai ibu rumah tangga. Fenomena partisipasi

perempuan dalam konteks pariwisata tersebut kemudian dijadikan tema

penelitian ini.

1.3. Rumusan Masalah

Mengacu pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, rumusan

masalah yang dibuat oleh peneliti adalah: Bagaimana partisipasi perempuan

anggota Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera dalam pengembangan souvenir

batik jumput melalui program pemberdayaan masyarakat?

13

1.4. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui partisipasi perempuan anggota Kelompok Jumputan Ibu

Sejahtera dalam pengembangan souvenir batik jumput di Kampung

Wisata Tahunan, Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta

2. Mengetahui implementasi program pemberdayaan masyarakat yang

diterima Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera sebagai kelompok industri

kecil-menengah di bidang ekonomi kreatif

1.5. Manfaat Penelitian

1. Memberikan tambahan gagasan dan informasi kepada akademisi, baik

peneliti umum maupun yang berlatar belakang Ilmu Pembangunan

Sosial dan Kesejahteraan terkait isu pemberdayaan masyarakat,

terutama terhadap perempuan

2. Memberikan referensi kepada Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera untuk

meningkatkan partisipasi anggota kelompok dalam pengembangan

souvenir batik jumput

3. Memberikan referensi kepada pelaksana program pemberdayaan

masyarakat, khususnya Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota

Yogyakarta dalam menjalankan programnya

1.6. Tinjauan Pustaka

1.6.1. Konsep Pemberdayaan Masyarakat

Secara etimologis, pemberdayaan berasal dari kata dasar “daya” yang

berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut,

Sulistiyani (2004: 77) memaknai pemberdayaan sebagai suatu proses menuju

berdaya, atau proses untuk memperoleh daya/kekuatan/kemampuan, dan atau

14

proses pemberian daya/kekuatan/kemampuan dari pihak yang memiliki daya

kepada pihak yang kurang atau belum berdaya. Diperolehnya daya, kekuatan,

atau kemampuan oleh pihak yang kurang atau belum berdaya menciptakan

kondisi keberdayaan.

Terdapat pemaknaan pemberdayaan lainnya yang sedikit berbeda.

Pranarka dan Prijono (dalam Sulistiyani, 2004) memaknai pemberdayaan

dalam dua arti. Pengertian yang pertama adalah to give power or authority.

To give power or authority berkaitan dengan unsur kekuatan, yang mana

terjadi proses pemberian kekuasaan dan pengalihan kekuatan dari pelaksana

program pemberdayaan masyarakat dengan mendelegasikan otoritas kepada

pihak yang kurang/belum berdaya. Pengertian yang kedua membahas unsur

kemampuan. Dalam konteks tersebut, pemberdayaan diartikan sebagai proses

memberikan kemampuan dan memberikan peluang kepada pihak lain untuk

melakukan sesuatu.

Konsep lain mengenai pemberdayaan masyarakat juga diungkapkan

oleh Winarni (dalam Sulistiyani, 2004). Pemberdayaan masyarakat meliputi

tiga butir inti, yaitu pengembangan (enabling), memperkuat potensi atau daya

(empowering), dan terciptanya kemandirian. Butir pengembangan atau

enabling mengisyaratkan bahwa pelaksanaan pemberdayaan masyarakat

tidak hanya ditujukan kepada kelompok masyarakat yang tidak memiliki

daya atau kemampuan sama sekali, tetapi juga golongan yang mempunyai

daya terbatas. Enabling dan empowering dalam pemberdayaan diarahkan

untuk menciptakan kemandirian kelompok masyarakat yang dituju.

15

Dari berbagai konsep yang telah dijabarkan, kita dapat melihat bahwa

elemen dasar dari pemberdayaan masyarakat adalah kemampuan dan

kekuasaan. Kemampuan dapat berupa wawasan, pengetahuan, dan

keterampilan. Sementara itu, kekuasaan berarti pemberian otonomi dan

kesempatan dari pelaksana program pemberdayaan masyarakat kepada

sasaran masyarakat untuk menentukan masa depannya melalui proses

pembangunan. Dalam konteks ini, Ndraha (dalam Suparjan dan Suyatno,

2003: 49-50) mengemukakan beberapa aspek yang perlu menjadi inti dasar

dari pemberdayaan yaitu:

a. Klarifikasi, pengakuan, dan perlindungan terhadap posisi masyarakat

selaku konsumen produk-produk kebijaksanaan, pemerintahan, dan

pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah

b. Klarifikasi, pengakuan, dan perlindungan terhadap hak dan kewajiban

masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya melalui berbagai

lembaga/media yang dipandang efektif

c. Klarifikasi, pengakuan, peningkatan, dan perlindungan terhadap

bargaining power masyarakat yang diperlukan dalam rangka

memperjuangkan aspirasinya tersebut melalui berbagai lembaga dan

media yang dipandang oleh masyarakat efektif

d. Klarifikasi, pengakuan, pemenuhan, dan perlindungan terhadap hak

masyarakat untuk memperoleh informasi yang jelas dan dapat dipercaya

dari pemerintah, lembaga, dan media lainnya tentang hal-hal yang

menyangkut kepentingan masyarakat. Misalnya melalui Musyawarah

Pembangunan Desa (Musbangdes)

16

e. Klarifikasi, pengakuan, pemenuhan, dan perlindungan terhadap hak

masyarakat untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup

agar mampu berperan di dalam perubahan sosial yang semakin cepat di

masa depan

Sebagai suatu proses, pelaksanaan pemberdayaan masyarakat

berlangsung secara bertahap. Menurut Sulistiyani (2004), tahap- tahap yang

harus dilalui meliputi:

a. Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan

peduli

b. Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, dan

kecakapan-keterampilan

c. Tahap peningkatan kemampuan intelektual dan kecakapan-keterampilan

Proses pemberdayaan masyarakat dimulai dari tahap pertama, yakni

tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku dasar dan

peduli. Pada tahap ini, pelaku pemberdayaan masyarakat menyiapkan

prakondisi untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan kondisi hidup

yang sedang dialami. Kesadaran yang hendak ditumbuhkan bersifat konatif,

yang bermakna peka terhadap nilai-nilai pembangunan dan pemberdayaan.

Dengan ditumbuhkannya kesadaran tersebut, masyarakat terdorong untuk

mengembangkan kemampuan individu dan kolektif.

Tahap persiapan dilanjutkan dengan tahap transformasi kemampuan

berupa wawasan, pengetahuan, dan kecakapan-keterampilan. Kelancaran

tahap ini ditentukan oleh intervensi dari pelaksana program pemberdayaan

17

masyarakat yang dilangsungkan pada tahap penyadaran dan pembentukan

perilaku. Pada tahap ini, masyarakat menerima pengetahuan dan berbagai

keterampilan yang relevan dengan kebutuhan. Dengan dijalankannya

transformasi kemampuan pada tahap ini, masyarakat hanya dapat

memberikan partisipasi dalam tingkat yang rendah, yakni sekedar menjadi

pengikut atau obyek pembangunan saja (Sulistiyani, 2004).

Tahap ketiga dalam proses pemberdayaan masyarakat adalah tahap

peningkatan kemampuan intelektual dan kecakapan-keterampilan. Pada

tahap ini, kemampuan yang diperlukan masyarakat berupa pengetahuan,

wawasan, dan keterampilan terus diperkaya. Kemampuan tersebut menjadi

kekuatan masyarakat untuk mengambil inisiatif dan melahirkan inovasi

pemecahan masalah sosial yang sedang dihadapi. Dalam tahap peningkatan

kemampuan intelektual dan kecakapan-keterampilan, kondisi masyarakat

yang mandiri menjadi tujuan yang hendak dicapai. Pada tahap ini, masyarakat

ditempatkan sebagai subyek pembangunan yang difasilitasi oleh pemerintah.

Sebagai model pembangunan yang gencar dikembangkan dan

diimplementasikan dewasa ini, pemberdayaan masyarakat menjadi jalan

untuk memperkuat posisi kelompok masyarakat di berbagai sektor.

Pariwisata merupakan salah satu ranah diaplikasikannya pemberdayaan

masyarakat. Pariwisata berkembang menjadi industri besar, yang mana

pembangunan berkelanjutan diperlukan untuk mempertahankan manfaat

yang diberikannya. Pemberdayaan masyarakat menjadi elemen yang

mendukung terwujudnya pembangunan pariwisata yang berkelanjutan.

18

Salah satu praktik pemberdayaan masyarakat di sektor pariwisata

berlangsung di Kampung Wisata Tahunan. Beberapa program pemberdayaan

masyarakat diberikan oleh beberapa pihak kepada anggota Kelompok

Jumputan Ibu Sejahtera di Kampung Wisata Tahunan, Kecamatan

Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Anggota kelompok menerima pelatihan,

pendampingan, studi banding, dan kegiatan lainnya untuk memproduksi dan

mengembangkan souvenir batik jumput dari berbagai institusi. Program

pemberdayaan masyarakat yang diberikan oleh pihak pelaksana kemudian

menjadi wahana partisipasi bagi anggota Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera.

1.6.2. Konsep Partisipasi

Untuk memberikan pemahaman awal mengenai tema penelitian,

beberapa konsep dan teori mengenai partisipasi dijabarkan terlebih dulu.

Sebagian para pakar mendefinisikan partisipasi sebagai keterlibatan mental

dan emosi seseorang dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk

ikut serta menyumbangkan kemampuan dalam mencapai tujuan kelompok

dan ikut bertanggung jawab atas tujuan kelompok tersebut (Suparjan dan

Suyatno, 2003: 57). Sedangkan Mubyarto (dalam Suparjan dan Suyatno,

2003: 58) mengartikan partisipasi sebagai kesediaan untuk membantu

berhasilnya program sesuai dengan kemampuan setiap orang tanpa berarti

harus mengorbankan kepentingan diri sendiri.

Konsep partisipasi yang lebih terperinci dikemukakan oleh Eugen C.

Erickson dalam Suparjan dan Suyatno (2003: 58). Partisipasi pada dasarnya

mencakup dua bagian, yaitu internal dan eksternal. Individu yang

berpartisipasi secara internal digerakkan oleh eksistensi rasa memiliki (sense

19

of belonging) terhadap komunitas atau kelompok masyarakat. Rasa memiliki

ini mendorong suatu komunitas atau kelompok masyarakat terfragmentasi ke

dalam pelabelan identitas diri. Sementara itu, partisipasi secara eksternal

dimaknai sebagai keterlibatan individu dengan komunitas luar. Komunitas

luar dapat berwujud instansi pemerintah, komunitas atau kelompok

masyarakat lainnya, dan juga wisatawan.

Dalam membahas partisipasi masyarakat, ada baiknya kita juga

memahami prinsip pertukaran dasar (basic exchange principles). Menurut

Suparjan dan Suyatno (2003: 63), masyarakat akan berpartisipasi dalam

pembangunan jika ada insentif (reinforcement) yang bermanfaat bagi mereka.

Sementara jika reinforcement yang diperoleh tersebut cenderung negatif dan

mengakibatkan hukuman atau kerugian, maka kemungkinan besar aktivitas

tersebut akan ditinggalkan. Oleh karena itu, pemahaman dasar mengenai

kondisi dan kebutuhan riil masyarakat sangat diperlukan agar proses

pembangunan dapat memberikan hasil yang diinginkan.

Partisipasi masyarakat menjadi isu yang menarik dan penting untuk

dibahas dalam kaitannya dengan pembangunan, terutama model

pemberdayaan masyarakat. Menurut Diana Conyers (dalam Suparjan dan

Suyatno, 2003) ada tiga alasan mengapa partisipasi masyarakat mempunyai

sifat penting. Pertama, partisipasi masyarakat menjadi suatu alat atau cara

untuk mengetahui kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat di suatu tempat.

Butir-butir informasi tersebut menjadi dasar dalam mengimplementasikan

berbagai kebijakan dan program pembangunan. Alasan yang kedua adalah

diberikannya kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses

20

pembangunan dapat menumbuhkan rasa percaya terhadap program

pembangunan yang dilaksanakan. Rasa percaya masyarakat tumbuh karena

adanya rasa memiliki (sense of belonging) dan wawasan yang memadai

terhadap program pembangunan. Yang menjadi alasan ketiga pentingnya

partisipasi masyarakat adalah lahirnya pandangan bahwa pelibatan

masyarakat dalam proses pembangunan menjadi perwujudan hak demokrasi

di suatu negara. Dilibatkannya masyarakat memberi kesan adanya

komunikasi dua arah dalam proses pembangunan. Selain itu, partisipasi pada

hakekatnya merupakan bentuk peningkatan posisi tawar-menawar harga,

sehingga daya tawar masyarakat menjadi seimbang dengan pemerintah dan

pihak pemilik kapital (Suparjan dan Suyatno, 2003).

Partisipasi menjadi unsur penting dalam pemberdayaan masyarakat.

Pemberdayaan masyarakat, sebagai antitesis dari pembangunan yang bersifat

ekonomistik, menempatkan masyarakat sebagai inti dari pembangunan.

Masyarakat didorong untuk terlibat dalam setiap tahap pembangunan, mulai

dari tahap perencanaan hingga pengawasan dan evaluasi. Oleh karena itu,

proses transformasi kemampuan serta pendelegasian wewenang dilakukan

dalam proses pemberdayaan agar masyarakat dapat menentukan arah

pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan.

Partisipasi masyarakat dapat dimanifestasikan dalam berbagai bentuk.

Menurut Ndraha (dalam Nurdiyanto, 2015), partisipasi dalam dibagi ke

dalam enam bentuk yang berbeda, yakni:

21

a. Partisipasi dalam/melalui kontak dengan pihak lain (contact change)

sebagai salah satu titik awal perubahan sosial

b. Partisipasi dalam memperhatikan/menyerap memberi tanggapanterhadap

informasi, baik dalam arti menerima (menaati, memenuhi,

melaksanakan), mengiyakan, menerima dengan syarat, maupun dalam

arti menolaknya

c. Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, termasuk pengambilan

keputusan

d. Partisipasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan

e. Partisipasi dalam menerima, memelihara, dan mengembangkan hasil

pembangunan

f. Partisipasi dalam menilai pembangunan, yaitu keterlibatan masyarakat

dalam menilai sejauh mana pelaksanaan pembangunan sesuai dengan

rencana dan sejauh mana hasilnya dapat memenuhi kebutuhan

masyarakat

Club du Sahel (dalam Mikkelsen, 1999) melihat partisipasi melalui

dimensi tingkat paksaaan dalam pelibatan masyarakat serta keaktifannya.

Dalam rangka mempromosikan partisipasi, terdapat beberapa pendekatan

yang dapat digunakan, yakni:

a. Partisipasi pasif, pelatihan dan informasi. Partisipasi jenis ini terwujud

dalam komunikasi satu arah antara pelaku pembangunan (terutama

pegawai proyek) dan masyarakat setempat. Masyarakat diposisisikan

sebagai obyek pembangunan dan hanya dapat menerima informasi dan

arahan mengenai proses pembangunan.

22

b. Sesi partisipasi aktif. Komunikasi dua arah berbentuk dialog diterapkan

dalam partipasi jenis ini. Masyarakat diberikan kesempatan untuk

menyampaikan opini, masukan, dan kritik mengenai jalannya

pembangunan di daerahnya kepada petugas penyuluh dan pelatih dari

luar.

c. Partisipasi dengan keterikatan. Masyarakat setempat diberikan pilihan

untuk terlibat dan bertanggung jawab dalam kegiatan di dalam

masyarakat atau program pembangunan, baik sebagai individu maupun

kelompok

d. Partisipasi atas permintaan setempat. Program pembangunan yang

dijalankan dalam partisipasi ini didasarkan pada kebutuhan yang

disuarakan oleh masyarakat sendiri. Pihak luar tidak terlibat dalam

menentukan arah pembangunan.

Untuk mendalami pemahaman mengenai partisipasi yang menjadi isu

sentral penelitian ini, peneliti menggunakan teori partisipasi yang

dikemukakan oleh Sherry R. Arnstein yang dikutip oleh Fegence (dalam

Sulistiyani, 2004). Definisi partisipasi oleh Arnstein didasarkan pada

distribusi kekuasaan antara masyarakat (komunitas atau kelompok) dan

pemerintah. Pada teori tersebut, jenjang partisipasi masyarakat dijelaskan

menggunakan taksonomi yang dikenal dengan nama A Ladder of Citizen

Participation atau Tangga Partisipasi Publik. Dalam Tangga Partisipasi

Publik, terdapat delapan tingkat partisipasi masyarakat yang dikelompokkan

ke dalam tiga golongan distribusi kekuasaan, yakni nonpartisipasi,

tokenisme, dan kekuasaan masyarakat.

23

Bagan 1.1. Tangga Partisipasi Publik Arnstein

Sumber: Sulistiyani (2004)

Bentuk partisipasi dengan tingkat paling rendah dalam Tangga

Partisipasi Publik Arnstein adalah manipulasi. Tingkat yang lebih tinggi

ditempati oleh partisipasi dalam bentuk terapi. Manipulasi dan terapi

termasuk ke dalam golongan distribusi kekuasaan nonpartisipasi. Tangga

Partisipasi Publik selanjutnya ditempati oleh partisipasi dalam bentuk

menyampaikan informasi, konsultasi, dan peredaman kemarahan. Ketiga

bentuk partisipasi tersebut digolongkan sebagai tokenisme. Dalam konteks

partisipasi, tokenisme dapat dimaknai sebagai tindakan atau upaya simbolis

dalam keterlibatan dengan pembangunan. Bentuk partisipasi paling tinggi

yang digolongkan dalam kekuasaan masyarakat adalah kemitraan,

pendelegasian kekuasaan, dan pengawasan masyarakat.

Kekuasaan Masyarakat

• Pengawasan Masyarakat

• Pendelegasian Kekuasaan

Tokenisme

• Peredaman Kemarahan

• Konsultasi

• Menyampaikan informasi

Non-partisipasi

• Terapi

• Manipulasi

24

Pada golongan distribusi kekuasaan nonpartisipasi, partisipasi

masyarakat lebih diakibatkan oleh mobilisasi dari pelaku pembangunan.

Masyarakat hanya diposisikan sebagai obyek pembangunan tanpa dilibatkan

dalam perencanaannya. Keterlibatan masyarakat dalam golongan ini belum

diikuti oleh kesadaran konatif. Pada tangga manipulasi, belum ada

komunikasi antara masyarakat dan pemerintah. Sedangkan pada tangga

terapi, komunikasi tersebut mulai diinisiasi meskipun bersifat satu arah.

Menyampaikan informasi, konsultasi, dan peredaman kemarahan

merupakan bentuk partisipasi yang digolongkan sebagai tokenisme. Dalam

golongan tokenisme, berbagai upaya untuk menampung ide, saran, dan kritik

dari masyarakat terhadap pembangunan berusaha dilakukan. Namun, belum

ada jaminan bahwa suara masyarakat dapat menghasilkan perubahan. Upaya

menampung suara masyarakat menjadi sarana memperoleh legitimasi publik

dalam menjalankan program-program pembangunan.

Tiga tangga teratas dalam Tangga Partisipasi Publik dapat dikatakan

sebagai bentuk partisipasi yang sesungguhnya. Ketiga tangga tersebut

ditempati oleh kemitraan, pendelegasian kekuasaan, dan pengawasan

masyarakat. Bentuk-bentuk partisipasi teratas dikelompokkan ke dalam

golongan kekuasaan masyarakat. Mulai dari jenjang kemitraan, masyarakat

diposisikan sebagai subyek pembangunan. Masyarakat dijadikan mitra

pemerintah dalam menjalankan pembangunan. Pada tingkat partisipasi

pendelegasian kekuasaan, pemerintah memberikan kesempatan dan otonomi

kepada masyarakat untuk menentukan arah dan strategi pembangunan.

Pengawasan masyarakat menempati tangga teratas dalam Tangga Partisipasi

25

Publik. Pada jenjang ini, masyarakat telah mampu melakukan kontrol

terhadap dinamika pembangunan di daerahnya.

Dalam penelitian ini, partisipasi diamati pada anggota Kelompok

Jumputan Ibu Sejahtera. Kelompok ini beranggotakan ibu rumah tangga yang

bertempat tinggal di Kampung Wisata Tahunan, Kecamatan Umbulharjo,

Yogyakarta. Berawal dari inisiatif bersama untuk menambah keterampilan,

anggota Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera menerima pelatihan,

pendampingan, dan aktivitas pengembangan kapasitas lainnya melalui

pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. Penelitian difokuskan pada

partisipasi anggota kelompok dalam pengembangan souvenir batik jumput

melalui program pemberdayaan masyarakat di Kampung Wisata Tahunan.

1.6.3. Konsep Community –Based Tourism

Pariwisata berbasis masyarakat, atau yang lebih dikenal dengan istilah

community-based tourism, merupakan konsep yang banyak digaungkan di

sektor pariwisata dewasa ini. Pergeseran model pembangunan yang bersifat

sentralistik dan top-down menuju pembangunan yang menonjolkan lokalitas

pada akhirnya memunculkan konsep community-based tourism. Dalam

penelitian ini, konsep community-based tourism digunakan untuk

mengerangkai konsep partisipasi, pemberdayaan masyarakat, dan dialektika

yang terjadi di antara keduanya dalam konteks pariwisata.

Dalam ASEAN Community-Based Tourism Standard (2016),

pariwisata berbasis masyarakat didefinisikan sebagai aktivitas pariwisata

yang dimiliki oleh masyarakat dan dikelola pada level komunitas yang

26

bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat setempat. Kondisi yang

sejahtera dicapai melalui dukungan terhadap matapencaharian lokal dan

perlindungan terhadap nilai sosio-kultural, tradisi, potensi alam, dan

peninggalan bersejarah. Community-based tourism membuka ruang bagi

masyarakat untuk menyuarakan keinginan. Hal ini bertujuan untuk mencapai

keberhasilan pembangunan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang

berkelanjutan.

Demartoto (2009: 20) mengungkapkan bahwa community-based

tourism dikembangkan berdasarkan prinsip keseimbangan dan keselarasan

antara kepentingan berbagai stakeholders pembangunan pariwisata, termasuk

pemerintah, swasta, dan masyarakat. Selaras dengan yang didefinisikan oleh

ASEAN, community-based tourism memberikan ruang untuk berpartisipasi

kepada masyarakat dalam setiap tahap pembangunan. Masyarakat lokal harus

dilibatkan secara aktif dan diberi kesempatan untuk berpartisipasi karena

tujuan akhir adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup

masyarakat.

Menurut Goodwin dan Santilli (2009), community-based tourism

muncul sebagai alternatif dalam pengembangan pariwisata. Seperti yang

dimaknai oleh The Thailand Community-Based Tourism Institute (dalam

Goodwin dan Santilli, 2009), pariwisata berbasis masyarakat merupakan

“tourism that takes environmental, social, and cultural sustainability into

account. It is managed by the community, for the community, with the purpose

of enabling visitors to increase their awareness and learn about the

community and local ways of life.”

27

World Wildlife Fund mendefinisikan community-based tourism

sebagai bentuk pariwisata yang mana masyarakat (community) lokal

diberikan kontrol dan keterlibatan penuh dalam pengelolaan dan

pengembangannya serta benefit yang besar dengan berlangsungnya kegiatan

pariwisata tersebut (dalam Goodwin dan Santilli, 2009). Dalam penjabaran

ini, definisi masyarakat (community) menyesuaikan dengan struktur sosial

dan institusional yang berlaku. Masyarakat (community) juga tidak dibatasi

dalam skala kolektif, sehingga inisiatif individu turut dinilai sebagai bentuk

partisipasi masyarakat dalam kegiatan pariwisata.

Partisipasi masyarakat menjadi komponen utama dalam

mengimplementasikan community-based tourism. Masyarakat berperan

penting dalam memelihara sumber daya alam dan budaya yang berpotensi

menjadi daya tarik wisata di suatu wilayah. Untuk memaksimalkan

partisipasi masyarakat, pemberdayaan perlu dilakukan untuk menumbuhkan

kesadaran masyarakat terhadap potensi-potensi tersebut. Oleh karena itu,

kehadiran pemerintah sebagai fasilitator menjadi vital dalam mewujudkan

pembangunan pariwisata menggunakan model community-based tourism.

Pemangku kepentingan lainnya, seperti pihak swasta, turut menghimbau dan

memberikan dorongan agar masyarakat bersedia terlibat dalam pembangunan

pariwisata. Walaupun tidak berarti bahwa masyarakat setempat memiliki hak

mutlak, pembangunan pariwisata berbasis masyarakat tidak akan terwujud

apabila penduduk setempat merasa diabaikan, atau hanya dimanfaatkan, serta

merasa terancam oleh kegiatan pariwisata di daerah mereka (Demartoto,

2009: 21).

28

Konsep community-based tourism membuka ruang yang lebih besar

bagi masyarakat untuk merasakan hasil pembangunan pariwisata.

Masyarakat tidak hanya dibebankan kewajiban untuk turut serta dalam

kegiatan pengembangan daya tarik wisata, tetapi juga dijamin haknya untuk

merasakan manfaat positif dari pembangunan pariwisata. Partisipasi

masyarakat menjadi poin yang vital untuk mewujudkan keseimbangan

tersebut. Menurut Lankford (dalam Kusworo, 2002), terdapat 7 area yang

mengintegrasikan citizen participation (partisipasi masyarakat) dan social

and cultural impact assessment (penilaian dampak sosial dan budaya) dalam

perencanaa pariwisata, yakni identifikasi masalah, proses perencanaan,

proyeksi (projection), penilaian, evaluasi, mitigasi, dan pengawasan

(monitoring).

Dalam kaitannya dengan konsep partipasi dan pemberdayaan

masyarakat, community-based tourism menyeimbangkan kekuatan

pemangku kepentingan dalam tataran good governance, yakni pemerintah,

sektor swasta, dan masyarakat sipil. Melalui community-based tourism,

masyarakat diberikan kesempatan untuk melakukan pengawasan terhadap

kebijakan dan program pemerintah, secara spesifik di bidang pariwisata.

Selain itu, implementasi community-based tourism memungkinkan

masyarakat menjaga peran ekonomi lokal dalam bentuk UMKM dari

penetrasi investor dari luar. “Dari masyarakat, oleh masyarakat, untuk

masyarakat” menjadi slogan yang menjiwai konsep community-based

tourism.

29

1.6.4. Ketimpangan Pola Relasi Gender

Dalam pembahasan gender, masih terdapat ketidakjelasan dan

kesalahpahaman tentang apa yang dimaksud dengan konsep gender. Untuk

memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks

(jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau

pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang

melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, manusia jenis laki-laki adalah

manusia yang memiliki penis dan jakala (kala menjing) Sementara itu, gender

adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang

dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan itu dikenal

lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. (Fakih, 1996: 7-8).

Terbentuknya perbedaan gender (gender differences) antara manusia

laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang panjang. Terbentuknya

perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, di antaranya

dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial

maupun kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. Perbedaan

gender ini kemudian disosialisasikan secara berkesinambungan seakan

perbedaan tersebut merupakan ketentuan dari Tuhan yang tidak dapat

dipertukarkan (Fakih, 1996: 9).

Kerancuan mengenai makna gender dan seks dalam masyarakat

menciptakan pemisahan yang tidak sesuai dalam struktur masyarakat.

Gender, yang sesungguhnya merupakan konstruksi sosial, kemudian

dianggap sebagai kodrat yang berarti ketentuan biologis atau ketentuan

Tuhan (Fakih, 1996: 11). Hal ini kemudian yang menciptakan adanya

30

pembagian kerja secara seksual di dalam masyarakat. Masyarakat cenderung

beranggapan bahwa perbedaan peran yang diberikan kepada perempuan dan

laki-laki adalah peran yang luhur dan karena itu patut dipertahankan. Dengan

anggapan yang melanggengkan konstruksi perbedaan gender tersebut,

pembagian kerja ini menjadi lembaga kemasyarakatan yang tertua dan

terkuat. (Budiman, 1982).

Dalam pembagian kerja secara seksual, laki-laki diasosiasikan dengan

sektor publik dengan berbagai kegiatan di luar rumah. Aktivitas yang

berkaitan dengan sektor publik biasanya dianggap sebagai kegiatan produktif,

dimana seseorang mendapatkan penghasilan atau barang-barang kebutuhan

hidup, baik untuk individu maupun anggota keluarga lainnya. Sementara itu,

perempuan diasosiasikan dengan sektor domestik yang berkaitan dengan

aktivitas rumah tangga yang mana perempuan tidak mendapatkan gaji dari

kegiatan yang dilakukannya.

Pembagian dikotomis peran tersebut masih dilanggengkan sampai

saat ini, termasuk di ranah pariwisata. Pariwisata menjadi sektor yang mudah

diakses oleh perempuan. Menurut Hemmati (dalam Dunn, 2007), sekitar 46%

tenaga kerja yang diserap oleh sektor pariwisata diisi oleh perempuan. Jumlah

ini lebih besar dibandingkan tenaga kerja perempuan secara global, yakni

sekitar 34%-40%. Hal ini menjadikan pariwisata sebagai sektor yang penting

bagi perempuan.

Yang menjadi kontradiksi dari aksesibilitas perempuan dalam

pariwisata adalah masih dilanggengkannya pola relasi gender yang timpang

31

di dalamnya. Dalam penelitian yang dilakukan Wilkinson dan Pratiwi (dalam

Dunn, 2007) di Indonesia, perempuan akan berpartisipasi aktif di dalam

sektor pariwisata apabila peran yang dijalankannya menyerupai aktivitasnya

di sektor domestik. Selain itu, masyarakat memandang bahwa tour guide

bukanlah pekerjaan yang pantas bagi perempuan. Hal ini dikarenakan

interaksi yang dijalin tour guide perempuan dengan wisatawan dianggap

tidak sesuai dengan nilai dan norma yang dipegang oleh masyarakat.

1.6.5. Ekonomi Kreatif dalam Pariwisata

Dalam Laporan Akhir Perencanaan Pengembangan Ekonomi Kreatif

Kota Magelang 2014, ekonomi kreatif didefinisikan sebagai penciptaan nilai

tambah berbasis ide yang lahir dari kreativitas sumber daya manusia (orang

kreatif) dan berbasis pemanfaatan ilmu pengetahuan, termasuk warisan

budaya dan teknologi. Ekonomi kreatif bersifat unik karena dimunculkan dari

olahan pikiran seseorang dalam merespon keadaan sekitarnya. Ekonomi

kreatif berkaitan erat dengan industri kreatif. Literatur terkait menjabarkan

industri kreatif sebagai industri yang menghasilkan output dari pemanfaatan

kreativitas, keahlian, dan bakat individu untuk menciptakan nilai tambah,

lapangan kerja, dan peningkatan kualitas hidup.

Industri kreatif, sebagai bagian dari ekonomi kreatif, didefinisikan

sebagai industri berbasis kreativitas individu yang menghasilkan produk

artistik yang memiliki dampak pada kesejahteraan masyarakat, baik ekonomi

maupun budaya (Hermantoro, 2011: 104). Industri kreatif tidak hanya

memberikan keuntungan finansial kepada individu yang melakoninya,

melainkan juga kelestarian budaya yang dimiliki oleh masyarakat sekitar.

32

Dari definisi tersebut, pengembangan industri kreatif sebagai perwujudan

ekonomi kreatif dapat meningkatkan kualitas hidup manusia dalam berbagai

aspek.

Dalam situs resminya, Badan Ekonomi Kreatif Indonesia (Bekraf)

mengelompokkan kegiatan ekonomi kreatif ke dalam enam belas subsektor,

yakni: 1) aplikasi dan pengembang permainan, 2) arsitektur, 3) desain

interior, 4) desain komunikasi visual, 5) desain produk, 6) fashion, 7) film,

animasi, dan video, 8) fotografi, 9) kriya, 10) kuliner, 11) musik, 12)

penerbitan, 13) periklanan, 14) seni pertunjukan, 15) seni rupa, dan 16)

televisi dan radio. Sayangnya, potensi ekonomi kreatif dari keseluruhan

subsektor belum berkembang secara merata. Dalam pemetaan potensi

ekonomi kreatif yang dilakukan oleh Bekraf, terdapat tiga subsektor yang

memberikan kontribusi besar dalam pertumbuhan ekonomi kreatif, yakni

kuliner, fashion, dan kriya.

Ekonomi kreatif berkaitan erat dan dapat bersinergi dengan sektor

pariwisata. Ekonomi kreatif berpotensi menjadi daya tarik wisata yang dapat

menarik wisatawan untuk berkunjung ke suatu daerah. Keunikan sosial dan

budaya suatu masyarakat merupakan unsur dari kegiatan wisata yang dinilai

patut dijadikan memorabilia. Memorabilia yang diinginkan wisatawan dapat

diwujudkan melalui ekonomi kreatif. Salah satu wujud memorabilia melalui

ekonomi kreatif adalah pembuatan souvenir.

Dalam penelitian yang peneliti lakukan, ekonomi kreatif diwujudkan

dalam pembuatan batik jumput. Batik jumput menjadi ciri khas yang

33

diunggulkan oleh Kampung Wisata Tahunan. Batik jumput yang diproduksi

oleh Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera menarik wisatawan dari luar untuk

membelinya. Keunikan pola dan warna serta proses pembuatannya menjadi

daya tarik wisata tersendiri bagi wisatawan. Berbagai showroom batik jumput

di Kampung Wisata Tahunan menjadi wahana interaksi, yang mana pengrajin

batik dapat memamerkan dan menjual batik buatannya serta wisatawan dapat

membeli batik tersebut sebagai souvenir.

Munculnya Kelompok Jumputan Ibu Sejahtera di Kampung Wisata

Tahunan menjadi salah satu bentuk gebrakan bagi perempuan di sektor

pariwisata. Kelompok tersebut memberikan alternatif bagi perempuan untuk

berpartisipasi dalam pariwisata. Menurut Norris dan Wall (dalam Dunn,

2007), skala menjadi faktor yang memengaruhi partisipasi perempuan dalam

industri pariwisata. UMKM dan industri kecil-menengah menyediakan

kesempatan bagi perempuan untuk turut terlibat aktif dalam pembangunan

pariwisata, seperti dalam hal produksi kerajinan tangan. Dengan demikian,

pengembangan souvenir batik jumput yang dijalankan Kelompok Jumputan

Ibu Sejahtera menantang peran gender yang dimapankan masyarakat dengan

mendorong kemandirian ekonomi serta peningkatan self-efficacy perempuan.