hukum agraria
DESCRIPTION
File tugas hukum agrariaTRANSCRIPT
MAKALAH
FUNGSI SOSIAL HAK ATAS TANAH
Disusun Oleh:
SEHU SAPUTRA
NPM : 12.02.04.2001
UNIVERSITAS SAMAWA (UNSA) SUMBAWA BESAR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
TAHUN 2014
KATA PENGANTAR
Maha besar Allah SWT atas segala rahmat dan ijinNya, sehingga
akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul Fungsi Sosial
Hak Atas Tanah. Makalah ini merupakan tugas Mata Kuliah Politik dan
Administrasi Agraria.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada
seluruh pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak
membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Bapak Edrial,
S.Sos.,M.Si selaku dosen Mata Kuliah politik dan Administrasi Agraria, yang
selalu memotivasi seluruh mahasiswa dan mahasiswinya untuk selalu berkreasi di
segala bidang.
Makalah ini sesungguhnya masih sangat jauh dari kesempurnaan, maka
dari itu penulis mohon kritikan dan saran, agar makalah selanjutnya lebih baik
lagi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pendengar maupun pembaca.
Sumbawa Besar, 22 April 2014
penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang diperuntukkan
bagi kesejahteraan bangsa Indonesia. Tanah selain mempunyai dimensi fsik dan
lintas sektoral, juga mempunyai dimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial,
budaya, hukum, pertanahan dan keamanan. Setiap dimensi tersebut potensial
memberikan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.
Pengelolaan pertanahan haruslah sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia
sebagaimana yang tertuang dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945. UUD 1945
memberikan dasar bagi lahirnya kewenangan Negara yang disebut dengan hak
menguasai Negara. Hak menguasai Negara dimaksud diatur dalam Pasal 2 ayat
(2) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau
lebih sering disebut dengan UUPA yaitu kewenangan: a. mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan
bumi, air dan runag angkasa tersebut, b. menentukan dan mengatur hubungan-
hubungan hukum antara orang-orang dan bumi, air dan ruang angkasa, dan
c.menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Ketiga
kewenangan tersebut, merupakan landasan untuk mewujudkan cita- cita mencapai
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Republik Indonesia.
Berdasarkan hak menguasai Negara inilah bersumber wewenang Negara
untuk mengelola bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun
kenyataannya pengelolaan tanah telah menimbulkan berbagai masalah. Tujuan
“untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” masih jauh dari yang diharapkan.
Kebijakan pembangunan yang menitikberatkan pertumbuhan ekonomi yang
mengakibatkan ketimpangan pemilikan penguasaan tanah. Tanah dalam
Republik ini sebagian besar dikuasai oleh pengusaha-pengusaha besar. Demikian
juga telah terjadi secara besar-besaran peralihan fungsi tanah pertanian dan non
pertanian.
Salah satu perspektif yang mendasar dari pengelolaan pertanahan bahwa
semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial (Pasal 6 UUPA), pengelolaan
pertanahan pada prinsipnya merupakan urusan Pemerintah. Oleh karena itu,
fungsi sosial hak atas tanah dapat dituangkan dalam bentuk kebijakan (Policy),
pengaturan (regulatory), pengendalian dan pengawasan (compliance), dan
pelayanan (service). Dalam melaksanakan misi-misi sosial tersebut pemerintah
mempertimbangkan ketersediaan tanah, untuk memenuhi kebutuhan pihak-
pihak yang berkepentingan (stakeholder), keadilan bagi seluruh rakyat, kepastian
dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah, dan berkesinambungan
dalam pelayanan, ketersediaan dan ekosistem.
Meskipun konsepsi tentang pengelolaan pertanahan yang mempunyai
fungsi sosial telah tertuang dalam UUPA, namun demikian mengenai fungsi sosial
hak atas tanah masih belum dapat dijabarkan secara jelas dalam kebijakan,
pengaturan, pengendalian dan pengawasan, serta pelayanan dalam bidang
pertanahan. Oleh sebab itu diperlukan suatu kajian yang menyeluruh tentang
pengembangan kebijakan terhadap fungsi sosial hak atas tanah.
Untuk menangani dan membenahi persoalan pertanahan yang berkaitan dengan
tanah adat tersebut di atas tentu diperlukan pemikiran-pemikiran dari banyak
pihak, baik bersifat akademisi maupun praktisi yang diharapkan nantinya dapat
membantu pimpinan merumuskan kebijakan pertanahan dalam bentuk kegiatan
beruapa penelitian mengenai kebijakan di bidang pertanahan khususnya
mengenai kebijakan fungsi sosial tanah dengan sasasran utama bagaimana
merumuskannya dalam wilayah masyarakat hukum adat/ulayat dapat member
kontribusi maksimal bagi keinginan politik pemerintah yaitu “tanah untuk
kesejahteraan rakyat.”
Melalui makalah ini akan dapat menghasilkan sebuah rekomendasi yang
nantinya akan dituangkan dalam bentuk kebijakan di bidang pertanahan
khususnya mengenai fungsi social hak milik atas tanah agar mampu memberikan
kontribusi yang nyata untuk mensejahterakan masyarakat adat khususnya dan
masyarakat pada umumnya terutama terhadap kesempatan mereka untuk
memanfaatkan tanah secara optimal.
1.2 Permasalahan
1.2.1 Bagaimana pola kebijakan fungsi sosial hak atas tanah untuk kepentingan
masyarakat menurut UUPA?
1.2.2 Bagaimanakah kontribusi fungsi sosial hak atas tanah terhadap
kesejahteraan masyarakat?
1.2.3 Bagaimanakah konsep kebijakan fungsi sosial hak atas tanah yang efektif
dan ideal bagi untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat?
1.3 Manfaat
1.3.1 Karya tulis ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan
upaya mengembangkan ilmu pengetahuan hukum khususnya yang berkaitan
dengan fungsi social hak atas tanah.
1.3.2 Diharapkan dapat dijadikan sebagai pedoman oleh instansi BPN khususnya
dalam memberikan masukan terhadap kebijakan yang akan diambil oleh
BPN dalam kaitannya dengan pengembangan kebijakan fungsi sosial hak
atas tanah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 FUNGSI SOSIAL HAK ATAS TANAH
Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi
manusia, baik dalam fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan
(pendukung mata pencaharian) di berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan,
peternakan, perikanan, industri, maupun yang dipergunakan sebagai tempat untuk
bermukim dengan didirikannya perumahan sebagai tempat tinggal.
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang
disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah
dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu
tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi
disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu “atas dasar hak menguasai dari
negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam
hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain
serta badan-badan hukum.
Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam hukum agraria nasional
membagi hak-hak atas tanah dalam dua bentuk yaitu
1. hak-hak atas tanah yang bersifat primer yaitu hak-hak atas tanah yang dapat
dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum yang
mempunyai waktu lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain atau ahli
warisnya seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan
(HGB), Hak Pakai (HP).
2. hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder yaitu hak-hak atas tanah yang
bersifat sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan
hak menyewa atas tanah pertanian.
Dari berbagai macam hak atas tanah tersebut, hak milik merupakan satu-
satunya hak primer yang mempunyai kedudukan paling kuat dibandingkan dengan
hak-hak yang lainnya. Hal ini dipertegas dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA
yang berbunyi: “Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, terpenuh, yang
dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.”
Pernyataan di atas mengandung pengertian betapa penting dan
berharganya menguasai hak atas tanah dengan title “Hak Milik” yang secara
hukum memiliki kedudukan terkuat dan terpenuh sehingga pemilik hak dapat
mempertahankan haknya terhadap siapapun. Namun demikian bukan berarti
bahwa sifat terkuat dan terpenuh yang melekat pada hak milik menjadikan hak ini
sebagai hak yang mutlak, tidak terbatas, dan tidak dapat diganggu gugat, karena
dalam situasi dan kondisi tertentu hak milik ini dapat pula dibatasi. Pembatasan
yang paling nyata diatur dalam ketentuan UUPA antara lain terdapat dalam pasal-
pasal sebagai berikut:
· Pasal 6 : Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Seseorang tidak
dibenarkan mempergunakan atau tidak mempergunakan hak miliknya (atas tanah)
semata hanya untuk kepentingan pribadinya, apalagi jika hal itu dapat merugikan
kepentingan masyarakat karena sesuai dengan asas fungsi social ini hak milik
dapat hapus jika kepentingan umum menghendakinya.
· Pasal 7: Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan
penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.
· Pasal 17 : Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai
tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau
minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16
oleh satu keluarga atau badan hukum.
· Pasal 18 : Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara
serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan
memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-
undang.
· Pasal 21 ayat (1) : Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
Didalam pasal pasal tersebut terdapat asas fungsi sosial atas tanah yaitu
asas yang menyatakan bahwa penggunaan tanah tidak boleh bertentangan dengan
hak hak orang lain dan kepentingan umum,serta keagamaan.Sehingga tidak
diperbolehkan jika tanah digunakan sebagai kepentingan pribadi yang
menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Fungsi sosial hak atas tanah sebagaimana dimaksud Pasal 6 UUPA mengandung
beberapa prinsip keutamaan antara lain :
a) Merupakan suatu pernyataan penting mengenai hak-hak atas tanah yang
merumuskan secara singkat sifat kebersamaan atau kemasyarakatan hak-hak atas
tanah menurut prinsip Hukum Tanah Nasional. Dalam Konsep Hukum Tanah
Nasional memiliki sifat komunalistik religius, yang mengatakan bahwa seluruh
bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha
Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa, bangsa Indonesia dan merupakan
kekayaan nasional.
b) Tanah yang dihaki seseorang tidak hanya mempunyai fungsi bagi yang
mempunyai hak itu saja tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya. Sebagai
konsekuensinya, dalam mempergunakan tanah yang bersangkutan tidak hanya
kepentingan individu saja yang dijadikan pedoman, tetapi juga harus diingat dan
diperhatikan kepentingan masyarakat. Harus diusahakan adanya keseimbangan
antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat.
c) Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai hak untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, artinya
keadaan tanah, sifatnya dan tujuan pemberian haknya. Hal tersebut dimaksudkan
agar tanah harus dapat dipelihara dengan baik dan dijaga kualitas kesuburan serta
kondisi tanah sehingga kemanfaatan tanahnya dinikmati tidak hanya oleh pemilik
hak atas tanah saja tetapi juga masyarakat lainya. Oleh karena itu kewajiban
memelihara tanah itu tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang
haknya yang bersangkutan, melainkan juga menjadi beban bagi setiap orang,
badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan
tanah.
UUPA menjamin hak milik pribadi atas tanah tersebut tetapi
penggunaannya yang bersifat untuk kepentingan pribadi maupun kelompok tidak
boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat.Sehingga timbul
keseimbangan, kemakmuran, keadilan, kesejahteraan bagi masyarakat maupun
pribadi yang memiliki tanah.Jadi pemilik tanah tidak akan kehilangan haknya
dalam memiliki tanah akan tetapi dalam pelaksanaan untuk kepentingan umum
maka haknya akan berpindah untuk kepentingan umum.
2.2 IMPLEMENTASI ASAS FUNGSI SOSIAL HAK MILIK ATAS TANAH
TERHADAP WARGA NEGARA (KEWARGANEGARAAN)
Tanah merupakan salah satu bentuk karunia yang diberikan Tuhan pada
Negara kita. Untuk itulah supaya tidak timbul masalah, pemerintah berusaha
mengaturnya dengan baik. Keadaan Negara kita sebagai Negara berkembang
menuntut kita melakukan banyak perbaikan dan pembangunan. Banyaknya
manusia yang memerlukan tanah, tetapi tidak bertambahnya jumlah tanah yang
ada menjadi salah satu inti permasalahannya. Mau tidak mau untuk menjalankan
pembangunan, diadakan proses pengadaan tanah yang asalnya dari tanah yang
sudah dihaki oleh rakyat. Proses tersebut cukup memakan waktu yang lama, oleh
karena salah satu pihak merasa adanya ketidak-adilan. Proses yang cukup lama
ini, otomatis membuat jalannya pembangunan menjadi tersendat. Maka itu dengan
memperkenalkan pada masyarakat akan pentingnya fungsi sosial yang dipunyai
oleh seluruh hak-hak atas tanah kiranya dapat membantu mengubah cara berpikir
individual masyarakat. Dengan prinsip ini kepentingan pribadi atas tanah tidak
dibiarkan merugikan kepentingan banyak orang (umum). Apalagi ditambah
dengan peraturan baru yaitu PERPRES Nomor 36 Tahun 2005 dan PERPRES
Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum. Begitu juga dengan pihak pemerintah, harus
memperhatikan jumlah kerugian yang wajar, layak dan adil untuk pemegang
tanah. Dengan begitu tujuan UUPA untuk mencari keseimbangan antara dua
kepentingan rakyat (pembangunan) dan kepentingan individu dapat segera
terwujud dengan baik.
Salah satu contoh bentuk implementasi dari asas fungsi sosial hak atas
tanah adalah Sebidang tanah milik salah satu warga yang mana didepan halaman
rumahnya terkena pelebaran jalan, jadi pemilik tanah harus merelakan sebagian
tanahnya untuk diberikan guna pelebaran jalan untuk kepentingan umum. Namun
dari tanah yang direlakan untuk digunakan pelebaran jalan tersebut pemilik tanah
mendapatkan uang ganti rugi dari pemerintah. Dari contoh tersebut seharusnya
pemilik tanah memiliki kesadaran menerapkan asas fungsi sosial atas tanah bagi
kepentingan umum.
Contoh kasus Pembangunan Pelebaran Jalan Ngaliyan – Mijen aturan
kerjanya Keppres No.55/1993, akan tetapi dalam pelaksanaan pembebasan
tanahnya tidak melalui/memakai proses pelaksanaan pengadaan tanah tidak
melalui panitia pengadaan tanah sebagaimana yang diatur dalam peraturan yang
berlaku yaitu Keppres No.55/1993, tetapi melalui tim yang dibentuk Pemerintah
Kotamadya Semarang, Panitia Pembebasan Tanah dan cara penetapan ganti
ruginya tidak memakai dasar NJOP. Besarnya ganti rugi uang yang diberikan
kepada warga yang tanahnya terkepras sebesar Rp.20.000,-/m2, dengan perincian
Rp.15.000,- sebagai uang ganti rugi dan Rp.5.000,- sebagai uang tali asih,
ditambah tanah pengganti berlokasi di Jatisari. Pelaksanaan Pembangunan
Pelebaran Jalan Ngaliyan – Mijen sampai sekarang belum selesai karena
terbatasnya dana yang tersedia di Pemkot melalui APBD dan masih adanya
masyarakat yang belum mengambil ganti rugi sehingga tanahnya tidak dapat
dibebaskan sehingga Pembangunan Pelebaran Jalan Ngaliyan – Mijen tidak sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
Jalan Tol Semarang-Solo adalah jalan tol di provinsi Jawa Tengah,
Indonesia. Jalan Tol Semarang-Solo menghubungkan kota Semarang dengan
Surakarta. Tol ini mulai dibangun tahun 2009 oleh Jasa Marga dan diperkirakan
akan selesai tahun 2012. Panjang jalan tol ini adalah 75,7 km. Adapun jalan tol ini
terbagi menjadi lima seksi:
Pembangunan Tol Semarang-Solo membutuhkan biaya investasi sebesar
6,1 triliun rupiah, biaya konstruksi 2,4 triliun rupiah, dan biaya pengadaan tanah
800 miliar rupiah (inilah.com, 2009). Konstruksi tol seksi I Semarang
(Tembalang)-Ungaran dimulai pada awal tahun 2009. Ditargetkan tol Semarang-
Ungaran dapat diselesaikan dalam 13 bulan konstruksi. Tol seksi II Ungaran-
Bawen akan mulai dibangun pada November 2009 (ANTARA, 2009).
2.3 TEORI NEGARA KESEJAHTERAAN (WELFARE STATE)
Pilihan berfikir yuridis dari salah satu teori tentang tujuan negara adalah
Negara Kesejahteraan (Welfare State). Konsep negara hukum yang semula
merupakan liberal berubah ke negara hukum yang menyelenggarakan
kesejahteraan rakyat.1 Menurut konsep Negara Kesejahteraan, tujuan negara
adalah untuk kesejahteraan umum. Negara dipandang hanya merupakan alat untuk
mencapai tujuan bersama kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
negara tersebut. Selain konsep negara berdasar atas hukum (biasa disebut negara
hukum), juga dikenal konsep negara kesejahteraan (welfare state), yakni suatu
konsep yang menempatkan peran negara dalam setiap aspek kehidupan rakyatnya
demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Sehubungan dengan
konsep negara kesejahteraan tersebut, maka negara yang menganut konsep negara
kesejahteraan dapat mengemban 4 (empat) fungsi4 yaitu:
1. The State as provider (negara sebagai pelayan)
2. The State as regulator (negara sebagai pengatur)
3. The State as enterpreneur (negara sebagai wirausaha), and
4. The State as umpire (negara sebagai wasit).
Merujuk pada fungsi negara yang menganut konsep negara kesejahteraan
sebagaimana telah dikemukakan di atas, menyebabkan negara memegang peranan
penting. Guna memenuhi fungsinya sebagai pelayan dan sebagai regulator, maka
negara terlibat dan diberi kewenangan untuk membuat peraturan dalam kaitannya
dengan fungsi sosial tanah, sehingga terwujud kesejahteraan rakyat sebagaimana
yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (3). Oleh sebab
itu,peranan pemerintah dalam mendorong masyarakat agar lebih berdaya dalam
ikut mengelola dan memanfaatkan tanah menjadi suatu hal yang sangat penting.
Negara mempunyai peran penting dalam mengatur penguasaan, penggunaan,
pemilikan dan pemanfaatan tanah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Instrumen penting yang dapat digunakan oleh negara dalam menyelenggarakan
fungsi reguleren termasuk dalam bidang agrarian khususnya terhadap tanah adalah
undang-undang, dan ini merupakan aplikasi dari asas legalitas dalam konsep
negara berdasar atas hukum.
Teori Negara Kesejahteraan sangat mendukung suatu pola kebijakan
fungsi sosial atas tanah, sehingga akan mendukung terwujudnya kesejahteraan
umum dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Konsep Negara Kesejahteraan dalam UUD 1945 pertama kali diadop oleh
Muhamad Hatta, yang dapat dikemukakan berdasarkan ketentuan Pasal 33 yang
berbunyi:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal ini diatur dalam Undang-
Undang.
Kebijakan fungsi sosial tanah di Indonesia, mengacu pada ideologi
penguasaan dan pemanfaatan sebagaimana tercermin dalam Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi sebagai berikut: “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyatnya”.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa negara
menguasai kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, namun penguasaan ini
dibatasi yaitu harus dipergunakan untuk sebesarnya-besarnya kemakmuran rakyat.
D. TEORI NEGARA KESEJAHTERAAN (WELFARE STATE)
Menurut konsep Negara Kesejahteraan, tujuan negara adalah untuk
kesejahteraan umum. Negara dipandang hanya merupakan alat untuk mencapai
tujuan bersama kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat negara
tersebut.2 Selain konsep negara berdasar atas hukum (biasa disebut negara
hukum), juga dikenal konsep negara kesejahteraan (welfare state), yakni suatu
konsep yang menempatkan peran negara dalam setiap aspek kehidupan rakyatnya
demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat3. Sehubungan dengan
konsep negara kesejahteraan tersebut, maka negara yang menganut konsep negara
kesejahteraan dapat mengemban 4 (empat) fungsi4 yaitu:
1. The State as provider (negara sebagai pelayan)
2. The State as regulator (negara sebagai pengatur)
3. The State as enterpreneur (negara sebagai wirausaha), and
4. The State as umpire (negara sebagai wasit).
Merujuk pada fungsi negara yang menganut konsep negara kesejahteraan
sebagaimana telah dikemukakan di atas, menyebabkan negara memegang peranan
penting. Guna memenuhi fungsinya sebagai pelayan dan sebagai regulator, maka
negara terlibat dan diberi kewenangan untuk membuat peraturan dalam kaitannya
dengan fungsi sosial tanah, sehingga terwujud kesejahteraan rakyat sebagaimana
yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (3). Oleh sebab
itu,peranan pemerintah dalam mendorong masyarakat agar lebih berdaya dalam
ikut mengelola dan memanfaatkan tanah menjadi suatu hal yang sangat penting.
Negara mempunyai peran penting dalam mengatur penguasaan, penggunaan,
pemilikan dan pemanfaatan tanah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Instrumen penting yang dapat digunakan oleh negara dalam menyelenggarakan
fungsi reguleren termasuk dalam bidang agrarian khususnya terhadap tanah adalah
undang-undang, dan ini merupakan aplikasi dari asas legalitas dalam konsep
negara berdasar atas hukum.
Teori Negara Kesejahteraan sangat mendukung suatu pola kebijakan
fungsi sosial tanah, sehingga akan mendukung terwujudnya kesejahteraan umum
dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Konsep Negara Kesejahteraan dalam UUD 1945 pertama kali diadop oleh
Muhamad Hatta, yang dapat dikemukakan berdasarkan ketentuan Pasal 33 yang
berbunyi:
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal ini diatur dalam Undang-
Undang.
Kebijakan fungsi sosial tanah di Indonesia,mengacu pada ideologi
penguasaan dan pemanfaatan sebagaimana tercermin dalam Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi sebagai berikut: “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyatnya”.
E. TEORI KEADILAN
Menurut ajaran utilitis dengan tujuan kemanfaatannya, yang dikemukakan
oleh Jeremy Bentham. Menurut pandangan ini, tujuan hukum semata-mata adalah
memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-
banyaknya warga masyarakat. Penangannya didasarkan pada filsafah sosial bahwa
setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan, dan hukum merupakan salah satu
alatnya. Doktrin utilitis ini mennjurkan ‘the greathes happiness principle’
(prinsip kebahagiaan yang semaksimal mungkin). Tegasnya, menurut teori ini
masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang mencoba memperbesar
kebahagiaan dan memperkecil ketidakbahagiaan atau masyarakat yang mencoba
memberi kebahagiaan yang sebesar mungkin kepada rakyat pada umumnya dan
agar ketidakbahagiaan diusahakan sedikit mungkin dirasakan oleh rakyat pada
umumnya.
Prinsip keadilan yang kedua yang akan disetujui oleh semua orang yang fair
adalah bahwa ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus menolong seluruh
masyarakat dan para pejabat tinggi harus terbuka bagi semuanya. Tegasnya,
ketidaksamaan sosial dan ekonomi dianggap tidak adil kecuali jika ketidaksamaan
ini menolong seluruh masyarakat.12
Teori keadilan ini sangat relevan untuk menjawab bagaimana seharusnya
kebijakan fungsi sosial tanah dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara
adil. Karena esensi hak masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya agrarian
khususnya terhadap tanah adalah adanya perlakuan yang adil untuk memanfaatkan
dan mengelola tanah secara arif bijaksana dan berkesinambungan untuk
kepentingan masyarakat banyak dan kepentingan generasi yang akan datang.
C. TEORI HUKUM PEMBANGUNAN
Pendapat serupa juga dikemukakan dalam teori hukum pembangunan dari
Muchtar Kusumaatmadja. Berdasarkan kenyataan kemasyarakatan dan situasi
kultural di Indonesia serta kebutuhan riil masyarakat Indonesia, Muchtar
Kusumaatmadja merumuskan landasan atau kerangka teoritis bagi pembangunan
hukum nasional dengan mengakomodasikan pandangan tentang hukum dari
Eugen Ehrlich dan teori hukum Roscou Pound, dan mengolahnya menjadi suatu
konsep hukum yang memandang hukum sebagai sarana pembaharuan, disamping
sarana untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum.
Dalam tataran pelaksanaan kebijakan pola fungsi sosial hak atas tanah harus
dapat dijabarkan lebih detail dan lebih lanjut dalam berbagai peraturan perundang-
perundangan.
Dalam kaitannya dengan pengurusan sumber daya agrarian khususnya yang
berkaitan dengan fungsi sosial tanah perlu adanya good lands governance
Adapun syarat good lands governance antara lain: Pertama, adanya
transparansi hukum, kebijakan dan pelaksanaan; Kedua, tersedianya mekanisme
yang “legitimate” dalam proses akuntabilitas publik; Ketiga, adanya mekanisme
perencanaan, pelaksanaan dan monitoring serta evaluasi yang partisipatif;
Keempat, adanya mekanisme demokratis dalam memperkuat daerah; Kelima,
memperbaiki birokrasi pusat yang tidak efektif dan efisien untuk perbaikan
kinerja melalui pengembangan institusi yang mengarah kepada peningkatan
pelayanan publik.23
Untuk menghindarkan perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang
dipergunakan dalam penulisan disertasi ini, berikut ini definisi operasional dari
istilah-istilah tersebut.
a. Tanah adalah permukaan bumi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (1)
UUPA.
b. Hukum Tanah adalah bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas
tanah: hak bangsa, hak menguasai dari Negara, hak ulayat, hak pengelolaan,
wakaf dan hak-hak atas tanah lainnya.
c. Fungsi tanah adalah sebagai salah satu sumber daya alam utama, yang selain
mempunyai nilai batiniah yang mendalam bagi rakyat Indonesia, juga berfungsi
sangat strategis dalam memenuhi kebutuhan Negara nasional maupun dalam
hubungannya dengan dunia Internasional.
d. Hak bangsa adalah hubungan hukum antara bangsa Indonesia dengan semua
tanah di seluruh wilayah Negara sebagai tanah bersama, yang disesuaikan dengan
perkembangan keadaan serta kebutuhan tanah nasional dan masyarakat dewasa ini
dan masa mendatang.
e. Pembagian Kewenangan adalah pembagian kewenangan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah dalam hubungan wewenang, keuangan, pelayanan
umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan
hubungan administrasi dan kewilayahan antar susunan pemerintahan.
BAB III
PENUTUP
F. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya
dapat dikemukakan kesimpulan sementara sebagai berikut:
Pertama, berkaitan dengan pola kebijakan fungsi sosial tanah untuk
kepentingan masyarakat menurut UUPA, maka kebijakan fungsi sosial hak atas
tanah harus mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat dan melahirkan
sumber- sumber baru kemakmuran rakyat , meningkatkan tatanan kehidupan
bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan pemanfatan,
penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah, menjamin kebelanjutan sistem
kemasyarakat an, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan
akses seluas- luasnya pada generasi akan datang pada sumber-sumber ekonomi
masyarakat dan tanah.
Kedua, berkaitan dengan kontribusi fungsi sosial tanah terhadap
kesejahteraan masyarakat, maka fungsi social tanah harus mampu mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi,
air dan ruang angkasa tersebut, menentukan dan mengatur hubungan- hubungan
hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa , menentukan dan
mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-
perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa, kesejahteraan
masyarakat. Disamping itu kebijakan yang diambil oleh pemerintah khususnya
dalam bidang pelayanan kepada masyarakat yang berkaitan dengan fungsi sosial
tanah harus mampu memberikan pelayanan administrasi di bidang pertanahan
dengan baik dan transparan, termasuk juga didalamnya yang terkait dengan
pengendalian dan pengawasan terhadap fungsi social tanah baik oleh Pemerintah
Pusat dan Daerah.
Ketiga, berkaitan dengan konsep kebijakan fungsi sosial tanah yang efektif
dan ideal bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat harus diperhatikan
beberapa aspek sebagai berikut:
a. Fungsi sosial dan kepentingan umum harus diprioritaskan demi
kepentingan bersama;
b. Adanya panduan bagi peruntukkan tanah sesuai dengan kondisi daerah
masing-masing;
c. Menata kembali struktur penggunaan tanah yang lebih adil bagi
masyarakat;
d. Memberikan aturan yang standar mengenai persediaan tanah di
setiap daerah;
e. Memberikan aturan yang konkrit dan standar dalam pemanfaatan tanah
secara nasional.
G. Saran
Adapun saran yang harus dilakukan dalam kaitannya dengan fungsi sosial
hak atas tanah, Pertama, melakukan orientasi terhadap kebijakan yang berkaitan
dengan fungsi sosial hak atas tanah, termasuk juga di dalamnya melakukan
koordinasi secara nyata dengan pemerintah daerah melalui beberapa program
kegiatan yang terkait dengan pola kebijakan fungsi sosial hak atas tanah.
Kedua, melibatkan masyarakat dalam setiap program kegiatan yang
berkaitan dengan fungsi sosial hak atas tanah agar dapat mewujudkan
kesejahteraan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Malik, Ichsan. dkk. Menyeimbangkan Kekuatan: Pilihan Strategi Menyelesaikan konfik Atas
Sumber Daya Alam, Jakarta: Yayasan Kemala, 2003.
Moelyono, Ilya. dkk, Memadukan Kepentingan Memenagkan Kehidupan, Bandung: Driya
Media, 2003.
Mulyadi, Kartini dan Gunawan Widjaya, Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta: Prenada Media, 2004.
H.Fuad, Faisal. dan Siti Maskanah. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumber Daya
Hutan, Pustaka LATIN, 2000.
Harahap, Bazar dkk,. Tanah Ulayat Dalam Sistem Pertanahan Nasional. Jakarta: Yayasan
Peduli Pengembangan Daerah, 2005.
Parlindungan, A.P. Komentar Terhadap UUPA No.5 Tahun 1960. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2000.
Muchsan, Hukum Administrasi Negara dan Peradilan, Administrasi Negara di Indonesia,
(Jakarta: Liberti, 2003), hlm.9.
Tocqueville’s seperti dikutip Gianfranco Poggi, The Development of the Modern State, (New
York: Stanford University Press, 1978), hlm. 111.
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, (Jakarta: PT.
Gunung Agung, 2000), hlm.72. Fungsi Sosial Tanah 9
Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, hlm.
133.
CST Kansil dan Christine ST. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia (1), Rineka
Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 20.
Mustamin Dg. Matutu, ”Selayang Pandang (tentang) Perkembangan Tipe-Tipe Negara
Modem, ”Pidato Lustrum ke IV Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat
Universitas Hasanuddin Ujung Pandang, 1972. hlm. 15.
W. Friedmann., The State and The Rule of Law In A Mixed Economy, London: Steven & Son,
1971, hlm. 5.Fungsi Sosial Tanah 7
Jimly Asshiddiqie, “Undang-Undang Dasar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan
Realitas Masa Depan”, Universitas Indonesia , Jakarta, 1998.Fungsi Sosial
Tanah 8