68732096 sejarah hukum agraria

24
Sejarah Hukum Agraria 1. Masa pemerintahan belanda (Sesudah tahun 1870 berlaku hukum tanah administratif Belanda). a. Agrarische Wet(A W). Pada tahun 1870 lahirlah Agrarische Wet yang merupakan pokok penting dari hukum agraria dan semua peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan pemerintah masa itu sebagai permulaan hukum agraria barat. Ide awal dikelularkannya Agrarische Wet (AW) ini adalah sebagai respon terhadap kaingina perusahaan-perusahaan asing yang bergerak dalam bidang pertanian untuk berkembang di Indonesia, namun hak-hak rakyat atas tanahnya harus dijamin. AW ininmerupakan undnag-undang di negeri Belanda, yang diterbitkan pada tahun 1870, dengan diundangkan dalam S.1870-55. dimasukkannya ke Indonesia, dengan memasukkan Pasal 62 RR, yang pada mulanya terdiri dari 3 ayat, dengan penambahan 5 ayat tersebut sehingga Pasal 62 RR menjadi 8 ayat, yakni ayat 4 sampai dengan ayat 8. pada akhirnya Pasal 62 RR ini menjadi Pasal 51 IS. Terbentuknya AW merupakan upaya desakan dari para kalangan pengusaha di negeri Belanda yang karenan keberhasilan usahanya mengalami kelebihan modal, karenanya memerlukan bidang usaha baru untuk menginvestasikannya. Dengan banyaknya persediaan tana hutan di jawa yang belum dibuka, para pengusaha itu menuntut untuk diberikannya kesempatan membuka usaha

Upload: billy-okva-ripaldi

Post on 02-Dec-2015

226 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: 68732096 Sejarah Hukum Agraria

Sejarah Hukum Agraria

1. Masa pemerintahan belanda (Sesudah tahun 1870 berlaku hukum tanah

administratif Belanda).

a. Agrarische Wet(A W).

Pada tahun 1870 lahirlah Agrarische Wet yang merupakan pokok penting

dari hukum agraria dan semua peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan

pemerintah masa itu sebagai permulaan hukum agraria barat. Ide awal

dikelularkannya Agrarische Wet (AW) ini adalah sebagai respon terhadap

kaingina perusahaan-perusahaan asing yang bergerak dalam bidang pertanian

untuk berkembang di Indonesia, namun hak-hak rakyat atas tanahnya harus

dijamin.

AW ininmerupakan undnag-undang di negeri Belanda, yang diterbitkan

pada tahun 1870, dengan diundangkan dalam S.1870-55. dimasukkannya ke

Indonesia, dengan memasukkan Pasal 62 RR, yang pada mulanya terdiri dari 3

ayat, dengan penambahan 5 ayat tersebut sehingga Pasal 62 RR menjadi 8 ayat,

yakni ayat 4 sampai dengan ayat 8. pada akhirnya Pasal 62 RR ini menjadi Pasal

51 IS.

Terbentuknya AW merupakan upaya desakan dari para kalangan pengusaha

di negeri Belanda yang karenan keberhasilan usahanya mengalami kelebihan

modal, karenanya memerlukan bidang usaha baru untuk menginvestasikannya.

Dengan banyaknya persediaan tana hutan di jawa yang belum dibuka, para

pengusaha itu menuntut untuk diberikannya kesempatan membuka usaha di

bidang perkebunan besar. Sejalan dengan semangat liberalisme yang sedang

berkembang dituntut pengantian sisten monopoli negara dan kerja paksa dalam

melaksanakan cultuur stelse, dengna sisitem persaingan bebasa dan sistem kerja

bebas, berdasarkan konsepsi kapitalisme liberal.

Tuntutan untuk mengakihiri sistem tanam paksa dan kerja paksa dengan

tujuan bisnis tersebut, sejalan dengan tuntutan berdasarkan pertimbangan

kemanusiaan dari golongan lein di negeri Belanda, yang mellihat terjadinya

penderitaan yang sangat hebat di kalangan petani Jawa, sebagai akibat penyalah

gunaan wewenang dalam melaksanakan cuktuur stelsel oleh para pejabat yang

bersangkutan.

Page 2: 68732096 Sejarah Hukum Agraria

Dari itu jelaslah tujuan dikeluarkannya AW adalah untuk membuka

kmeungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta

agar dapat berkembang di Hindi Belanda.

Selain itu AW juga bertujuan untuk :

A. Memperhatikan perusahaan swasta yang bermodal besar dengan jalan :

1). Memberikan tanah-tanah negara dengan hak Erfacht yang berjangka waktu

lama, sampai 75 tahun.

2). Untuk memberikan kemungkinan bagi para pengusaha untuk menyewakan

tanah adat/rakyat.

B. Memperhatikan kepentigan rakyat asli, dengan jalan :

1). Melindungi hak-hak tanah rakyat asli.

2). Memberikan kepada rakyat asli untuk memperoleh hak tanah baru

(Agrarische eigendom).

Untuk pelaksanaan AW tersebut, maka diatur lebih lanjut dalam berbagai

peraturan dan keputusan, diantaranya dalam Agrarische Besluit.

b. Agrarische Besluit(A B).

Ketentuan-ketentuan AW pelaksanaannya diatur lebih lanjuta dalam

peraturan dan keputusan. Salah satu keputusan yang paling penting adalah apa

yang dimuat dalam Koninklijk Besluit (KB), yang kemudian dikenal dengan

nama Agrarische Besluit (AB), S.1870-118.

AB terdiri dari tiga bab, yaitu ;

1). Pasal 1-7 tentang hak atas tanah;

2). Pasal 8-8b tentang pelepasan tanah;

3). Pasal 19-20 tentang peraturan campuran.

Dalam Pasal 1 AB tersebut dimuat satu pernyataan yang asas yang sangat

penting bagi perkembangan dan pelaksanaan hukum tanah administratif Hindi

Belanda. Asas tersebut dinilai sebagai kurang menghargai, bahkan “memperkosa”

hak-hak rakyat atas tanah yang bersumber pada hukum adat.

Dinyatakan dalam Pasal 1 AB tersebut :

“Behoudens opvolging van de tweede en derde bepaling der voormelde wet, blijft

het beginsel gehandhaafd, dat alle grond, waarop niet anderen reght van

eigendom wordt bewezen, domein van de staat is”.

Jika diterjemahkan :

“Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 2 dan 3 Agrarische

Page 3: 68732096 Sejarah Hukum Agraria

Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapar

membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein negara (milik) negara”.

AB hanya berlaku untuk Jawa dan Madura, maka apa yang dinyatakan

dalam Pasal 1 AB tersebut, yang dikenal sebagai Domein Verklaring (Pernyataan

Domein) semulanjuga berlaku untuk Jawa dan Madura saja. Tetapi kemudian

pernyataan domein tersebut diberlakukan juga untuk daerah pemerintahan

langsung di luar Jawa dan Madura, dengan suatu ordonansi yang diundangkan

dalam S.1875-119a.

Maksud dari adanya pernyataan domein itu adalah untuk memberikan

ketegasan sehingga tidak ada keragu-raguan, bahwa satu-satunya penguasa yang

berwenang untuk memberikan tanah-tanah kepada pihak lain adalah Pemerintah.

Dengan adanya pernyataan domein, maka tanah-tanah di Hindi Belanda dibagi

menjadi dua jenis, yaitu :

1).Vrijlands Domein atau tanah negara bebas, yaitu tanah yang di atasnya tidak

ada hak penduduk bumi putera.

2).Onvrijlands Domein atau tanah negra tidak bebas, yaitu tanah yang di atasnya

ada hak penduduk maupun desa.

Dalam praktiknya, pernyataan domein mempunyai dua fungsi, yakni :

1). Sebagai landasan hukum bagi pemerintah kolonial untuk dapat memberikan

tanah dengan hak-hak barat seperti yang diatur dalam KUHPerdata, misalnya

hak eigendom, hak opstal, dan hak erfacht.

2). Untuk keperluan pembuktian pemilikan, yaitu apabila negara berperkara,

maka negara tidak pelu membuktikan hak eigendomnya atas tanah, tetapi piha

lainlah yang wajib membuktikan haknya.

Untuk diketahui bahwa hak rakyat Indonesia atas tanahnya adalah

berdasarkan hukum adat, sedangkan dalam hukum adat tidak adak ketentuan

hukum yang sama dengan Pasal 570 BW, maka denga sekaligus semua tanah dari

rakyat Indonesia termasuk menjadi tanah negara (domein negara).

Yang tidak termasuk tanah negara, menurut Pemerintah Hindia Belanda, adalah

tanah-tanah seperti di bawah ini :

1). Tanh-tanah daerah swapraja;

2). Tanah-tanah yang menjadi eigendom orang lain;

3). Tanah-tanah partikulir;

4). Tanah-tanah eigendom agraria (Agrarische eigendom).

Page 4: 68732096 Sejarah Hukum Agraria

c. Erfacht Ordonantie.

Mengenai pemberian hak erfacht kepada para pengusaha tersebut, menurut

AW harus diataur dalam ordonansi. Maka daka dalam pelaksanaannya dijumpai

berbagai peraturan mengenai hak erfacht, yaitu :

A.Untuk Jawa dan Madura, kecuali daerah-daerah Swapraja

1).Agrarische Besluit (S.1870-118) Pasal 9 sampai dengan 17;

2).Ordonansi yang dimuat S.1872-237a, yang beberapa kali mengalami

perubahan , terakhir dalam tahun 1913 disusun kembali dan diundangkan

dalam S.1913-699.

B.Untuk luar Jawa dan Madura, kecuali daerah-daerah Swapraja : semula ada

beberapa ordonansi yang mengatur hal-hal mengenai pemberian hak erfacht

yang berlaku di daerah-daerah tertentu,

1). S.1874f untuk Sumatera.

2). S.1877-55 untuk keresidenan Manado.

3). S.1888-58 utnuk daerah Zuider-en Oosteradeling Borneo.

Dalam tahun 1914 diundangkan satu ordonansi utnuk semua daerah

pemerintahan langsung di luar Jawa dan dimuat dalam S.1914-367 Ordonansi

yang baru itu dikenal dengan sebutan “Erfachtordonantie Buitengewesten”.

Semua ordonansi yang lama ditarik kembali kecuali Pasal 1-nya masing-masing.

Untuk daerah-daerah swapraja luar Jawa diatur dalam S.1910-61 dengan

sebutan erfachtordonantie Zelfbesturende. Landschappen Buitengewesten.

Berlakunya di masing-masing swaprajamenurut petunjuk Gubernur Jenderal.

Sebelum adanya ordonansi itu di daerah-daerah swapraja di luar Jawatidak

diberikan hakerfacht, melainkan hak konsesi untuk perusahaan kebun

besar.Persewaan tanah rakyat kepada perusahaan kebun besar diatur pula dengan

ordonansi, yang telah mengalami perubahan-perubahan menjadi :

1). Grondhuurordonantie (S.1918-88), yang berlaku di Jawa danMadura, kecuali

Surakarta dan Yogyakarta;

2).Vordtenlands Groondhuur Reglement (S.1918-20), yang berlaku didaerah

swapraja Surakarta dan Yogyakarta.

d. Agrarische Eigendom.

Agrarische eigendom adalah suatu koninklijk besluit tertanggal 16 April

1872, Nomor : 29, mengenai hak agrarische eigendom.

Page 5: 68732096 Sejarah Hukum Agraria

Yang dimaksud dengan Agrarische eigendom adalah suatu hak yang

bertujuan untuk memberikan kepada orang-orang Indonesia/pribumi,nsuatu hak

yang kuat atas sebidang tanah. Agrarische eigendom ini, dalam praktik untuk

membedakan hak eigendom sebgaimana yang dimaksud dalam BW.

Agrarische eigendom diatur dalam Pasal 51 ayat (7) I.S., diatur lebih lanjut

dalam Pasal 4 AB kemudian diatur lebih lanjut dalam KB tanggal 16 April 1872

Nomor : 29 (S. 1872-117) dan S. 1837-38. berdasarkan KB tersbut, tata cara

memperoleh Agrarische eigendom dijelaskan di bawah ini, yaitu :

1). Apabila seseorang Indonesia asli (=bumi putera) berkeinginan agar hak milik

atas tanahnya, dirubah menjadi Hak Agrarische eigendom, maka

pemohonannya harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat, agar

ia ditetapkan sebagai pemiliknya. Inilah yang disebut : uitwijzing van erfelijk

individucel gebbruikrecht. Ini hanya mungkin apabila tanahnya diluar

sengketa, artinya tanpa berperkara dengan pihak lain.

2). Untuk ini semua sebelumnya diadakan pengumuman, di desanya yang

bersangkutan untuk memberi kesempatan kepada pihak ketiga yang merasa

berkepentigan akan mengajukan keberatan-keberatan terhadap permohonan

uitwijzing van erfelijk individucel gebbruikrecht di atas.

3). Dengan berlandaskan keputusan ketua pengadilan negeri tersebut, maka

agrarische eigendom dapat diberikan kepada pemohon oleh bupati yang

bersangkutan bertindak untuk dan atas nama pemberian gubernur jenderal.

4).Agrarische eigendom yang telah diperoleh dari bupati tersebut, maka

Agrarische eigendom tersebut harus didafatarkan menurut peraturan

sebagaimana dimuat dalam S.1873-38, dan kepada pemiliknya akan mendapat

surat tanda bukti hak.

5). Setiap peralihan hak, pembebanan degnan hypotheek, harus didaftarkan di

Kantor Pengadilan Negeri.

Tujuan adanya Agrarische eigendom sebetulnya bertujuan untuk

memberikan kepada orang-orang Indonesia asli dengan semata hak yang kuat,

yang pasti karena terdaftar dan haknya dapat dibebani dengan hypotheek. Tetapi

dalam praktiknya kesempatan untuk menggantikan hak miliknya dengan menjadi

Agrarische eigendom tidak banyak dipergunakan

Page 6: 68732096 Sejarah Hukum Agraria

3. Sesudah Tahun 1942.

Pada periode sesudah tahun 1942, terjadi situasi yang cenderung pada :

A.Periode kacau di bidang pemerintahan mengakibatkan kebijaksanaan

pemanfaatana tanah dan penguasaan tanah tidak tertib;

B. Tujuan utama, usaha menunjang kepentingan Jepang;

C. Permulaan akupasi liar pada tanah-tanah perkebunan atau penebangan liar;

D. Usaha pengembalian kembali perkebunan milik Belanda;

E. Kerusakan fisik tanah karena politik bumihangus dan penggunaan tanah

melampaui batas kemampuannya.

Pada masa penjajahan tersebut di atas keadaan hukum agraria Indonesia menurut

hukum adat tidak terlepas dari hukum adat daerah setempat antara lain, perangkat

hukumnya tidak tertulis, bersifat komunal, bersifat tunai dan bersifat langsung.

Sedangakan mengenaihak atas tanah mengenal peristilahan yang lain ;

A. Hak persekutuan atas tanah yaitu hak ulayat;

B. Hak perorangan atas tanah :

1) Hak milik, hak yayasan;

2) Hak wenang pilih, hak mendahulu;

3) Hak menikmati hasil;

4) Hak pakai;

5) Hak imbal jabatan;

6) Hak wenang beli.

Pada masa kolonial ini tanah-tanah hak adat tidak terdaftar, kalaupun ada hanyalah

bertujuan untuk bukti setoran pajak yang telah dibayar oleh pemiliknya, sehingga

secara yuridis formal bukan sebagai pembuktian hak.

4. Hukum Agraria Masa Kemerdekaan Sampai Tahun 1960.

Diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945

oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia mengakibatkan bangsa Indonesia

memperoleh kedaulatan di tangan sendiri. Pada masa itu pendudukan tanah oleh

masyarakt sudah menjadi hal yang sangat komplek karena masyarakat yang belum

berkesempatan menduduki tanah perkebunan dalam waktu singkat berusaha untuk

menduduki tanah.

Sejak pengakuan keadulatan oleh Belanda atas negara Indonesia, barulah

pemerintah mulai menata kembali pendudukan tanah oleh rakyat dengan

Page 7: 68732096 Sejarah Hukum Agraria

melakukan hal-hal berikut

A. Mendata kembali berapa luas tanah dan jumlah penduduk yang mengusahakan

tanah-tanah perkebunan untuk usaha pertanian. Di daerah Malang luasnya

tanah perkebunan ± 20.000 Ha. pendudukan oleh rakyat seluas ± 8.000 Ha.

Daerah Kediri luas tanah perkebunan ± 23.000 Ha. pendudukan oleh rakyat

seluas ± 13.000 Ha. dan menurut perkiraan dari luas tanah perkebunan di Jawa

yang seluas ± 200.000 Ha. telah diduduki rakyat seluas ± 80.000 Ha.

B. Pendudukan tanah perkebunan yang hampir dialami oleh semua perkebunan

lambat laun akan menghambat usaha pembangunan kembali suatu cabang

produksi yang penting bagi negara serta memperlambat pesatnya kemajuan

produksi hasil-hasil perkebunan yang sangat diperlukan. Sebagian tanah

perkebunan yang terletak di daerah pegunungan sehingga taidak cocok untuk

usaha pertanian, untuk itu perlu ditertibkan.

C. Pemakian tanah-tanah perkebunan yang berlokasi di daerah pegunungan

tersebut dikuatirkan akan menimbulkan bahayb erosi dan penyerapan air.

D. Pemakaian tanah-tanah oleh rakyat di beberapa daerah menimbulkan

ketegangan dan kekeruhan yang membahayakan keamanan dan ketertiban

umum.

Untuk itu, maka dikeluarkanlah Undang-undang Nomor : 8 Tahun 1954

tentang : Penyelesaian soal Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat.

Penyelesaian akan diusahakan bertingkat 2 (dua) sebagai berikut :

A. Tahap pertama; terlebih dahulu akan diusahakan agar agenda segala sesuatu

dapat dicarikan penyelesaiannya atas dasar kata sepakat antar pemilik

perkebunan dengan rakyat/penggarap;

B. Tahap kedua; apabila perundingan sebagaimana dimaksud pada angka 1 (satu)

tidak berhasil, maka dalam rangka penyelesaian penggarapan tanah

perkebunan tersbut akan mengambil kebijakan sendiri dengan

memperhatikan :

1) Kepentingan rakyat dan kepentingan penduduk, letak perkebunan

yangbersangkutan;

2) Kedudukan perusahaan perkebunan di dalam susunan perekonomuian

negara. Agar pelaksanaan dari keputusan tersebut dapat berjalan dengan

sebaik-baiknya, maka diatur ketentuan sebagai berikut :

Page 8: 68732096 Sejarah Hukum Agraria

a.Kemungkinan pencabutan dan pembatalan hak atas tanah perkebunan

milik para pengusaha, baik sebagian meupun seluruhnya, jika mereka

dengan sengaja menghalangi upaya penyelesaian;

b.Ancaman hukum terhadap mereka yang melanggar atau menghalangi;

c.Ancaman hukuman terhadap mereka yang tidak dengan seizin pemilik

perkebunan, masih terus memakai tanah perkebunan sesudah tuntutan ini

diberlakukan;

d.Ketentuan tentang harus mengadakan pengosongan.

Untuk mencegah pendudukan kembali tanah perkebunan oleh rakyat, maka

pemerintah megeluarakan perarturan tentang larangan pendudukan tanah tanpa izin

yang berhak yaitu Undang-undang Nomor : 51 Prp. Tahun 1960.

Selain ketentuan dia atas, dalam upaya menata kembali hukum pertanahan

pemerintah telah membuat kebijakan dengan mengeluarkan peraturan perundang-

undangan sebagai berikut :

1. Undang-undang Nomor : 19 Tahun 1956 tentang : Penentuan Perusahaan

Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi.

2. Undang-undang Nomor : 28 Tahun 1956 tentang : Pengawasan Terhadap

Pemindahan Hak Atas Tanah Perkebunan.

3. Undang-undang Nomor : 29 Tahun 1956 tentang : Peraturan Pemerintah dan

Tindakan-tindakan Mengenai Tanah Perkebunan.

4. Ketentuan lain yang menyangkut pemakaian tanah-tanah milik warga negara

Belanda yang kembali ke negerinya

ORDE LAMA

Sebagaimana disebut sebelumnya, peraturan mengenai redistribusi tanah telah

diawali dengan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang redistribusi tanah

pertanian. Secara historis, Orde Lama telah menempatkan landreform sebagai

kebijakan revolusioner dalam pembangunan semestanya. Bahwa syarat pokok untuk

pembangunan tata perekonomian adalah antara lain pembebasan berjuta-juta kaum

tani dan rakyat pada umumnya dari pengaruh kolonialisme, imperialisme, feodalisme

Page 9: 68732096 Sejarah Hukum Agraria

dan kapitalisme dengan melaksanakan landreform menurut ketentuan hukum nasional

Indonesia, seraya meletakkan dasar-dasar bagi industrialisasi, terutama industri dasar

dan industri berat yang harus diusahakan dan dikuasai negara. TAP MPRS RI Nomor

II/MPRS/1960 dan Manifesto Politik menyebut tiga landasan filosofis pembangunan

pada masa ini yaitu: anti penghisapan atas manusia oleh manusia (Iâexploitation de Iâ

homme per Iâ homme); kemandirian ekonomi; dan anti kolonialisme, imperialisme,

feodalisme dan kapitalisme dengan landreform sebagai agenda pokoknya.

Demikian juga dari jumlah Peraturan Perundang-Undangan bidang Hukum

Pertanahan Periode 1960-1966, sebagian besar dari keseluruhan peraturan perundang-

undangan yang diterbitkan pada masa ini adalah tentang landreform dan pengurusan

hak atas tanah15. Tampak jelas bahwa era pemerintahan ini meletakkan isu agraria

sebagai pokok bidang yang harus segera diprioritaskan. Landreform sebagai bagian

mutlak daripada revolusi Indonesia adalah basis pembangunan semesta yang

berdasarkan prinsip bahwa tanah sebagai alat produksi tidak boleh dijadikan sebagai

alat penghisapan.

Menurut Utrecht, landreform merupakan strategi politik agraria yang

dilatarbelakangi oleh perseteruan beberapa kepentingan, terutama kepentingan para

petani tak bertanah melawan kepentingan para tuan tanah16. Kepentingan dari dua

golongan ini muncul pula di tingkat elite kenegaraan, dimana terbentuk tiga golongan

yaitu golongan radikal yang mengusulkan pembagian tanah berdasar prinsip “tanah

bagi mereka yang benar-benar menggarapnya”. Sedangkan mereka yang memiliki

tanah luas adalah telah melakukan penghisapan terhadap manusia lainnya. Golongan

ini terdiri dari PKI, PNI dan Partai Murba. Golongan kedua adalah golongan

konservatif yang terdiri dari Partai-partai Islam dan sebagian PNI. Inti dari pendapat

golongan ini adalah penolakan dilakukannya pembatasan atas luas pemilikan tanah

dan tuduhan pemilikan tanah luas sebagai penghisapan. Sedangkan golongan ketiga

adalah golongan yang kompromis terhadap kedua golongan lainnya. Mereka

menerima pendapat golongan radikal tetapi dengan penerapan yang bertahap. Dalam

golongan inilah Soekarno dan Sadjarwo (Menteri Agraria) sebagai dua tokoh penting

dalam perumusan UUPA menjadi anggotanya.

Pelaksanaan program ini ditandai dengan program pendaftaran tanah berdasar

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, untuk mengetahui dan memberi

kepastian hukum tentang pemilikan dan penguasaan tanah. Kemudian penentuan

tanah-tanah berlebih (melebihi batas maksimum pemilikan) yang selanjutnya dibagi-

Page 10: 68732096 Sejarah Hukum Agraria

bagikan kepada sebanyak mungkin petani tidak bertanah. Termasuk juga pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil.

Tetapi ketiga program tersebut mengalami hambatan sebagaimana dikatakan

oleh Sadjarwo bahwa kelemahan administrasi yang tidak sempurna yang menyulitkan

redistribusi tanah; dan kurangnya dukungan baik itu dari rakyat, organisasi petani,

organisasi politik, tokoh-tokoh dan panitia landreform sendiri. Hal ini kemudian

menyebabknan terjadinya aksi sepihak, baik itu oleh petani yang lapar tanah maupun

tuan tanah18. Akibat banyaknya aksi sepihak ini, dikeluarkanlah Undang-Undang

Nomor 21 Tahun 1964 tentang Pengadilan Landreform.

Sehingga dapat dikatakan bahwa program landreform sebagai awalan

pelaksanaan tujuan tersebut, pada penerapannya mengalami kegagalan19. Hal itu

karena :

1. Kelambanan praktek-praktek pemerintah dalam pelaksanaan Hak Menguasai

Negara;

2. Tuntutan organisasi dan massa petani yang ingin meredistribusikan tanah secara

segera sehingga kemudian timbul aksi sepihak;

3. Unsur-unsur anti landreform yang melakukan berbagai mobilisasi kekuatan tanding

dan siasat mengelak dari dan untuk menggagalkan landreform;

4. Terlibatnya unsur kekerasan antara kedua pihak yaitu yang pro dan kontra

landreform. Konflik ini bahkan memuncak dan menimbulkan konflik yang lebih

besar di dalam konflik elite politik yang berujung pada peristiwa Gerakan 30

September 1965 dan jatuhnya rezim Orde Lama.

Akan halnya hasil dari program landreform masa ini—menurut Utrecht—

adalah diredistribusikannya sekitar 450.000 hektar, yaitu sejak program ini

dicanangkan pertama kalinya hingga akhir tahun 1964. Perinciannya adalah tahap I

sejumlah 296.566 hektar dan tahap II sejumlah 152.502 hektar karena tahap II ini

belum selesai. Pembagian ini terutama baru dilaksanakan di Pulau Jawa, Madura, Bali

dan Nusa Tenggara. Sedangkan tanah kelebihan yang telah ditentukan adalah 337.445

hektar.

ORDE BARU

Page 11: 68732096 Sejarah Hukum Agraria

Berbeda dengan Orde Lama, pemerintahan Soeharto ini memfokuskan

pembangunan pada pertumbuhan ekonomi, dan memulai kebijakan pembangunan

ekonominya dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang

Penanaman Modal Asing untuk menarik investasi asing dalam pengelolaan sumber

daya alam. Terjadi denasionalisasi (privatisasi) perusahaan asing pada tahun 1967

yang sebelumnya telah dinasionalisasi oleh pemerintahan Soekarno pada tahun

1958.Hal ini dengan alasan kondisi perekonomian yang kritis dan defisit sebagai

peninggalan Orde Lama. Bahkan sebelumnya dilakukan negosiasi penjadwalan ulang

atas utang-utang luar negeri sekaligus mengajukan pinjaman-pinjaman baru.

Stigma “PKI” atau subversif sering dicapkan kepada orang-orang atau

organisasi-organisasi yang tidak se-ide dengan rezim ini sehingga terjadi pembekuan

gerakan-gerakan revolusioner. Sebagaimana landreform yang merupakan salah satu

kebijakan Orde Lama yang populis, dianggap sebagai produk PKI sehingga

dihentikan secara total. Bahkan perebutan kembali tanah-tanah yang semula dientukan

sebagai tanah kelebihan—dan karenanya menjadi objek redistribusi tanah—dilakukan

oleh sejumlah tuan tanah.

Kebijakan landreform pada masa ini hanya sebagai masalah tehnis, atau sebagai

program rutin birokrasi pembangunan. Rezim ini menghapus peraturan perundang-

undangan yang menjadi pokok landreform, terutama dikeluarkannya Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1970 yang menghapus Undang-Undang tentang Pengadilan

Landreform dan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil yang secara sosiologis tidak

diberlakukan pada era ini.

Konsepsi hukum agraria Orde Lama yang cenderung populis sebagaimana

dalam UUPA, diganti dengan konsepsi yang berorientasi pada pembangunan

ekonomi. Landreform yang menjadi program pokok Orde Lama dalam pemerataan

tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat menjadi terabaikan. Kebijakan

pertanahan Orde Baru lebih ditujukan pada pemusatan penguasaan atas tanah dan

pembangunan ekonomi yaitu dengan peningkatan produksi pertanian sehingga

tercapai swasembada pangan (melalui Revolusi Hijau) dan bahkan ekspor hasil

pertanian ke sejumlah negara lain.

Dari data yang diperoleh pada Sensus Pertanian yang dilakukan tahun 1993,

didapatkan data penguasaan tanah pertanian sebagai berikut: (1) 22, 41% dari

19.713.806 rumah tangga tani hanya menguasai tanah seluas 0,25 sampai 0,49 hektar

lahan pertanian; (2) 48,61% memguasai lahan lebih dari 0,5 hektar. Tetapi terdapat

Page 12: 68732096 Sejarah Hukum Agraria

perincian yang menunjukkan ketimpangan yang tajam dalam penguasaan dan

pemilikan tanah pertanian tersebut, yaitu: (1) 8.726.343 atau 48,54% dari keseluruhan

rumah tangga tani hanya menguasai 13,6% dari keseluruhan lahan pertanian; (2)

217.720 atau 1,21% dari keseluruhan rumah tangga tani menguasai 1.457.477,46

hektar atau 9,44% dari keseluruhan lahan pertanian yang ada. Dari data tersebut,

berarti kelompok pertama hanya menguasai lahan pertanian rata-rata seluas 0,24

hektar, sedangkan kelompok kedua rata-rata penguasaannya adalah sekitar 22,174

hektar . Data tersebut menunjukkan ketimpangan penguasaan tanah pada rezim ini

yang didominasi oleh para pemilik modal. Demikian juga dalam hal penguasaan akan

hutan dan sumber daya agraria lainnya.

Selain itu, dalam hal pendaftaran tanah, rezim ini juga kemudian mengganti

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang dinilai banyak pihak merupakan agenda

Bank Dunia dan lembaga keuangan internasional lainnya di Indonesia. Berbeda

dengan produk Orde Lama yang bertujuan untuk kepentingan penataan penguasaan

tanah melalui landreform, produk hukum Orde Baru tentang pendaftaran tanah ini

adalah demi yang disebut kepastian hukum dari pemilikan hak atas tanah melalui

sertifikat.

Perbedaan lainnya adalah jika UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 10

Tahun 1961 lebih mendasarkan pada pendaftaran tanah dengan stelsel negatif. Bahwa

apa-apa yang terdaftar tidak secara otomatis dan mutlak menjamin kebenaran akan

pemilikan tanah. Sebaliknya dalam stelsel positif, apa-apa yang terdaftar

merefleksikan keadaan yang sebenarnya. Dalam stelsel negatif, orang yang

sebenarnya berhak atas tanah dapat mengajukan gugatan pada pengadilan atas tanah

miliknya meskipun tanah tersebut telah didaftarkan sebagai hak orang lain. Dalam

peraturan yang baru disebutkan bahwa masih digunakan stelsel negatif sesuai dengan

UUPA. Tapi diakomodir juga stelsel positif, yang diimbangi dengan upaya untuk

meningkatkan kebenaran dari data yang terdaftar itu.

Ketika ini dikaitkan dengan LAP (Proyek Administrasi Pertanahan) yang

mengatakan:

...permasalahan tanah selama ini terletak pada sistem administrasi yang pluralistik

yang dimiliki masyarakat adat... terlihat bahwa peraturan ini bertujuan untuk

Page 13: 68732096 Sejarah Hukum Agraria

menciptakan homogenitas administrasi pertanahan akan memudahkan kepentingan

bisnis untuk memperoleh tanah yang selama ini dimiliki masyarakat adat secara

komunal. Dan inilah yang kemudian dinilai banyak pihak semakin mengeliminir

keberadaan tanah ulayat.

Hasil redistribusi tanah yang didapat pada Juni 1998 adalah dari 1.397.167

hektar yang menjadi objek landreform, baru diredistribusikan sejumlah 787.931

hektar (56,4%) yang diterima oleh sejumlah 1.267.961 rumah tangga tani.

ORDE REFORMASI

Seiring dengan perubahan konstelasi politik, alam demokrasi yang semakin

menguat, dan dilaksanakannya sistem desentralisasi, maka semangat pembaruan

agraria juga menggema dan kemudian melahirkan Ketetapan MPR Nomor IX Tahun

2001 yang merekomendasikan dilakukannya pembaruan atau revisi terhadap UUPA.

Beberapa peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan sumber daya alam

(agraria) dikeluarkan sejak dilakukannya reformasi pemerintahan di tahun 1998. Baik

itu yang kemudian dinilai merupakan langkah maju maupun yang justru dinilai

mundur dari substansi peraturan-peraturan sebelumnya.

Landreform kembali masuk dalam program penting pembaruan agraria, yaitu

disebutkan dalam pasal 5 TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 bahwa salah satu arah

kebijakan pembaruan agraria adalah:

- melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan

pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan

kepemilikan tanah oleh rakyat;

- menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi

penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara

komprehensif dan sisematis dalam rangka pelaksanaan landreform.

Selanjutnya pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, redistribusi

tanah pun kembali diagendakan. Berdasarkan catatan Kompas, pembagian 8,15 juta

hektar lahan ini akan dilakukan pemerintah tahun 2007 hingga 2014. Diperkirakan, 6

juta hektar lahan akan dibagikan pada masyarakat miskin. Sisanya 2,15 juta hektar

Page 14: 68732096 Sejarah Hukum Agraria

diberikan kepada pengusaha untuk usaha produktif yang melibatkan petani

perkebunan. Tanah yang di bagian ini tersebar di Indonesia, dengan prioritas di Pulau

Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan. Tanah itu berasal dari lahan kritis, hutan

produksi konversi, tanah telantar, tanah milik negara yang hak guna usahanya habis,

maupun tanah bekas swapraja.

Page 15: 68732096 Sejarah Hukum Agraria

DAFTAR PUSTAKA

Fauzi, Noer, 1999, Petani&Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria di

Indonesia, kerjasama Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Harsono, Boedi, 1999, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-

Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, edisi revisi, Djambatan,

Jakarta;

Ismail, Nurhasan, 2006, Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu

Pendekatan Ekonomi-Politik, Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Parlindungan, AP., 1991, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar

Maju, Bandung;

Pembagian Lahan agar Hati-hati: Ada yang Dijual atau Digadaikan, Kompas 30

Januari 2007.

Simarmata, Ricardo, 2006, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di

Indonesia, UNDP Regional Centre in Bangkok;

Sumardjono, Maria SW, 1998, Kewenangan Negara untuk Mengatur dalam Konsep

Penguasaan Tanah oleh Negara, dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar

pada Fakultas Hukum UGM, tanggal 14 Februari 1998 di Yogyakarta;

-------, 2001, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, edisi revisi,

Kompas, Jakarta;

Suseno, Frans Magnis, 1993, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, Yogyakarta;

Tjondronegoro, Sediono MP. &Gunawan Wiradi, 1984, Dua Abad Penguasaan

Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa,

Yayasan Obor Indonesia dan PT Gramedia, Jakarta;

Wignjosoebroto, Soetandyo, 1994, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional:

Dinamika Sosio-Politik Perkembangan Hukum di Indonesia, Rajawali Press,

Jakarta;