makalah hukum agraria di indonesia

28
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi manusia, baik dalam fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan (pendukung mata pencaharian) di berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industri, maupun yang dipergunakan sebagai tempat untuk bermukim dengan didirikannya perumahan sebagai tempat tinggal. Ketentuan yuridis yang mengatur mengenai eksistensi tanah yaitu terdapat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Adapun pengejawantahan lebih lanjut mengenai hukum tanah banyak tersebar dalam berbagai peraturan perundang- undangan lainnya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah; Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas Tanah; dan lain-lain. Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di 1

Upload: rahmanzie-share

Post on 09-Jan-2017

1.954 views

Category:

Education


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah hukum agraria di indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi manusia, baik

dalam fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan (pendukung mata pencaharian)

di berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industri, maupun

yang dipergunakan sebagai tempat untuk bermukim dengan didirikannya perumahan sebagai

tempat tinggal.

Ketentuan yuridis yang mengatur mengenai eksistensi tanah yaitu terdapat dalam

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

(selanjutnya disebut UUPA), yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3)

Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat. Adapun pengejawantahan lebih lanjut mengenai hukum tanah banyak

tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya seperti Peraturan Pemerintah

Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas

Tanah; Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999

tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas

Tanah; dan lain-lain.

Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut

permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam segala

aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah dalam pengertian

yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1)

UUPA yaitu “Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2

ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat

diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan

orang lain serta badan-badan hukum.”

Berdasarkan latar belakang diatas Kami bermaksud membuat Makalah dengan judul

“Hak Warga Negara Asing terhadap Penguasaan Tanah di Indonesia”.

1

Page 2: Makalah hukum agraria di indonesia

1.2 Rumusan Masalah

Untuk mendapat hasil yang sesuai dan tidak keluar dari judul pembahasan maka kami

merumuskan permasalahan ke dalam beberapa pertanyaan, yaitu:

1. Siapa Saja Yang Boleh Memiliki Hak Atas Tanah?

2. Apakah WNA Boleh memiliki Hak Atas Tanah?

3. Bagaimana Hak Guna Bangunan,Hak Pakai Dan Hak Milik?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui siapa saja yang boleh memiliki Hak Atas Tanah di Indonesia.

2. Untuk mengetahui apakah WNA boleh memiliki Hak Atas Tanah atau tidak.

3. Mengetahui hokum undang – undang agrarian di Indonesia

2

Page 3: Makalah hukum agraria di indonesia

BAB II

PERMASALAHAN

2.1 Subjek Hak Milik Atas Tanah

Pada asasnya hak milik hanya dapat dipunyai oleh orang-orang (het natuurlijke

persoon), baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Badan hukum tidak dapat

mempunyai tanah dengan hak milik, kecuali badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah

dan telah dipenuhi syarat-syaratnya. Demikian pasal 21 ayat (1) dan (2) UUPA.

Menurut hukum agraria yang lama setiap orang boleh mempunyai dengan hak

eigendom, baik ia warga negara maupun warga asing, baik bukan Indonesia asli maupun

bukan Indonesia asli. Bahkan badan hukum pun berhak mempunyai hak eigendom, baik

badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing.

Dalam pengertian konteks agraria, tanah berarti permukaan bumi paling luar

berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Hukum tanah di sini buakan mengatur

tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya saja yaitu

aspek yuridisnya yang disebut dengan hak-hak penguasaan atas tanah.

Dalam hukum, tanah merupakan sesuatu yang nyata yaitu berupa permukaan fisik

bumi serta apa yang ada di atasnya buatan manusia yang disebut fixtures. Walaupun

demikian perhatian utamanya adalah bukan tanahnya itu, melainkan kepada aspek

kepemilikan dan penguasaan tanah serta perkembangannya. Objek perhatiannya adalah hak-

hak dan kewajiban-kewajiban berkenaan dengan tanah yang dimiliki dan dikuasai dalam

berbagai bentuk hak penguasaan atas tanah.

2.2 Hirarki Hak-Hak Atas Penguasaan Atas Tanah

1. Hak bangsa Indonesia atas tanah;

2. Hak menguasai negara atas tanah;

3. Hak ulayat masyarakat hukum adat;

1Harsono, Boedi. 2004. Hukum Agraria Indonesia. Djambatan.Hlm,42

3

Page 4: Makalah hukum agraria di indonesia

4. Hak-hak perseorangan, meliputi :1

a. Hak-hak atas tanah, meliputi :

1). Hak milik atas;

2). Hak guna usaha;

3). Hak guna bangunan;

4). Hak pakai;

5). Hak sewa;

6). Hak membuka tanah;

7). Hak memungut hasil hutan;

8). Hak-hak yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan

dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam

Pasal 53 (UUPA).

a. Wakaf tanah hak milik;

b. Hak jaminan atas tanah (hak tanggungan);

c. Hak milik atas satuan rumah susun.

Dengan demikian, jelaslah bahwa tanah dalam artu yuridis adalah permukaan bumi,

sedangkan hak atas tanah hak atas sebagiaan tertentu permukaan bumi, yang berbatas,

berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.

Sesuai dengan pasal 9 ayat (1) UUPA, menurut pasal 21 ayat (1) UUPA hanya warga

negara Indonesia saja dapat mempunyai hak milik, sebagaimana telah dijelaskan, bahwa

larangan tidak diadakan perbedaan antara orang-orang Indonesia asli dan keturunan asing.

Meskipun, menurut pasal 9 ayat (2) UUPA, tidak diadakan perbedaan antara sesama warga

negara dalam hal pemilikan tanah diadakan perbedaan antara mereka yang

berkewarganegaraan tunggal dan rangkap.

12Koeswahyono, Imam. 2007. Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah. Refika Aditama.Hlm 28

4

Page 5: Makalah hukum agraria di indonesia

Berkewarganeragaan rangkap artinya, bahwa disamping kewarganegaraan Indonesia

dipunyai pula kewarganegaraan lain. Pasal 24 ayat (4) UUPA menentukan, bahwa selama

seseorang disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing, ia

tidak dapat mempunyai tanah dengan hak tanah. Ini berarti, bahwa ia selama itu dalam

hubungannya dengan soal pemilikan tanah dipersamakan dengan orang asing.

Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan, bahwa sudah selayaknya orang-orang

yang membiarkan diri disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan

lain dalam hal pemilikan tanah dibedakan dari warga negara Indonesia lainnya. Dengan

demikian, maka yang boleh mempunyai tanah dengan hak milik itu hanyalah warga negara

Indonesia tunggal saja. Sekarang kedudukan anak tetap mengikuti kewarganegaraan orang

tuanya, juga setelah ia menjadi dewasa.

Kalau orang tuanya telah melepaskan kewarganegaraan Indonesia, anaknya tetap

berkewarganegaraan Indonesia. Untuk menjadi warga negara Indonesia, harus ditempuh cara

pewarganegaraan, atau naturalisasi. Kita telah mengetahui, bahwa selain syarat

kewarganegaraan Indonesia tunggal, khusu untuk pemilikan tanah pertanian masih diperlukan

syarat-syarat lain. Syarat-syarat itu berkaitan dengan ketentuan mengenai maksimum luas

tanah pertanian yang boleh dimiliki dan dikuasai seseorang (Pasal 1 jo. 6 UU Nomor 56

(Perpu Tahun 1960) mengenai pemilikan bersama tanah pertanian yang luasnya kurang dari

dua hektar (Pasal 9 ayat 2 dan 33 UUPA).

UU Nomor 56 (Perpu) 1960, dan mengenai larangan pemilikan tanah pertanian secara

absentee atau guntai (Pasal 3 PP Nomor 224 Tahun 1961 jo. PP Nomor 41 Tahun 1964).

Kalau syarat yang disebutkan pada pasal 21 ayat 1 jo. Ayat 4 UUPA disebut syarat umum

bagi perorangan untuk mempunyai tanah dengan hak milik, artinya syarat tersebut wajib

dipenuhi oleh setiap pemilik. Karena itu, apa yang ditentukan oleh peraturan-peraturan

Landreform merupakan syarat-syarat khusus, artinya khusus untuk pemilikan tanah pertanian.

Bagi tanah pertanian, tidak disyaratkan bahwa pemiliknya harus seorang petani.

2.3 Hak Milik Atas Tanah Warga Negara Asing

Meskipun pada asasnya hanya orang-orang warga negara Indonesia tunggal saja yang

dapat memiliki tanah, dalam hal-hal tertentu selama dalam waktu yang terbatas UUPA masih

memungkinkan orang-orang asing dan warga negara Indonesia yang berkewarganegaraan

3Muljadi, Kartini. 2005. Hak-hak Atas Tanah. Jakarta: Prenada Media.Hlm,53

5

Page 6: Makalah hukum agraria di indonesia

rangkap untuk mempunyai tanah dengan hak milik. Diberikannya kemungkinan itu adalah

atas dasar pertimbangan peri kemanusiaan.

Pasal 21 ayat 3 UUPA menentukan, bahwa orang asing yang sesudah tanggal 24

september 1960 memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran

harta karena perkawinan, wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak

diperolehnya hak tersebut. Ketentuan itu berlaku juga terhadap seorang warga negara

Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah tanggal 24 september 1960 kehilangan

kewarganegaraannya.

Jangka waktu satu tahun tersebut dihitung sejak hilangnya kewarganegaraan

Indonesia itu. Bagaimanakah ketentuannya jika yang menerima hak milik secara demikian

seorang Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap atau jika seorang pemilik semula

berkewarganegaraan Indonesia tunggal, menurut hemat penulis (Eddy Ruchiyat, S.H.), pasal

21 ayat 3 UUPA berlaku juga terhadap mereka berdasarkan ketentuan pasal 21 ayat 4 UUPA.

Cara-cara yang disebutkan dalam ayat 3 diatas adalah cara memperoleh hak tanpa

melakukan sesuatu tindakan positif yang sengaja ditujukan pada terjadinya peralihan hak

yang bersangkutan. Demikian penjelasan pasal 21 ayat 3 UUPA tersebut. Cara-cara lain tidak

diperbolehkan karena dilarang oleh pasal 26 ayat 2 UUPA, juga beli, tukar menukar, hibah,

dan pemberian dengan wasiat (legat).

Memperoleh hak milik dengan kedua cara tersebut diatas masih dimungkinkan bagi

orang-orang asing dan warga negara Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap, tetapi

dalam waktu satu tahun pemilikan itu harus diakhiri. Bagaimana cara mengakhirinya?

Dikatakan dalam ayat tersebut, bahwa di dalam waktu satu tahun hak miliknya itu harus

dilepaskan. Kalau hak miliknya itu tidak dilepaskan, hak tersebut menjadi hapus dan

tanahnya menjadi tanah negara, yaitu tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Maksudnya,

setelah itu bekas pemilik diberi kesempatan untuk meminta kembali tanah yang bersangkutan

dengan hak dapat dipunyainya, yaitu bagi orang asing hak pakai dan bagi orang Indonesia

yang berkewarganegaraan rangkap, HGU, HGB, atau hak pakai.2

BAB III24Parlindungan, A.P. 1987. Beberapa Masalah Dalam UUPA. Bandung; Alumni.Hlm,72

6

Page 7: Makalah hukum agraria di indonesia

PEMBAHASAN

3.1 Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik

Proses pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik diawali

dengan pembuatan perjanjian antara pemilik tanah dengan calon pemegang hak atas tanah

yang bersangkutan. Perjanjian tersebut, sesuai dengan ketentuan Pasal 37 huruf b UUPA

haruslah berbentuk otentik dan dituangkan dalam akta PPAT yang berjudul: Akta Pemberian

Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 97 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (untuk selanjutnya disebut

PMNA/Ka. BPN No. 3 Tahun 1997), sebelum melaksanakan pembuatan akta mengenai

pemindahan atau pembebanan hak atas tanah, PPAT wajib terlebih dahulu mengecek

keabsahan dari sertipikat Hak Milik yang bersangkutan pada Kantor Pertanahan setempat.

Oleh karena perbuatan hukum pembebanan hak ini merupakan obyek Pajak

Penghasilan (PPh) pengalihan hak atas tanah dan bangunan dan obyek Bea Perolehan Hak

atau Tanah dan Bangunan (BPHTB), maka masing-masing pihak wajib membayar pajak-

pajak dimaksud sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik dapat dilakukan

terhadap seluruh tanah Hak Milik atau sebagian dari tanah Hak Milik, hal mana disepakati

para pihak secara tegas dalam Akta PPAT.

Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik tersebut

memuat syarat-syarat yang disepati oleh para pihak, yakni :

3.2 Jangka waktu pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik.

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan

dan Hak Pakai Atas Tanah (untuk selanjutnya disebut PP 40 Tahun 1996) menetapkan Hak

5Parlindungan, A.P. 1990. Pendaftaran Tanah di Indonesia. Mandar Maju.Hlm,44

Guna Bangunan atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun.

7

Page 8: Makalah hukum agraria di indonesia

Sedangkan Hak Pakai atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling lama 25

tahun. Jangka waktu tersebut tidak dapat diperpanjang, akan tetapi atas kesepakatan antara

para pihak, pembebanan hak tersebut dapat diperbaharui dengan pembuatan akta PPAT dan

hak tersebut wajib didaftarkan.

Permasalahannya, dengan jangka waktu terbatas dan tidak dapat diperpanjang, apakah

pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik menguntungkan bagi para

investor/penanam modal, baik lokal maupun asing?

Bandingkan dengan jangka waktu untuk tanah Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas

tanah negara dan Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan yang dapat

diperpanjang dan diperbaharui haknya. Dan khusus untuk kepentingan penanaman modal,

Pasal 28 juncto Pasal 48 PP 40 Tahun 1996 menetapkan, permintaan perpanjangan dan

pembaharuan Hak Guna Bangunan/Hak Pakai dapat dilakukan sekaligus dengan membayar

uang pemasukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Guna

Bangunan/Hak Pakai. Dan dalam hal uang pemasukan telah dibayar sekaligus, untuk

perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Bangunan/Hak Pakai hanya dikenakan biaya

administrasi. Hal ini berarti investor dapat memperoleh jaminan kepastian hukum atas jangka

waktu penggunaan tanah Hak Guna Bangunan selama 80 tahun dan untuk tanah Hak Pakai

selama 70 tahun dengan pembayaran uang pemasukan sekaligus di muka.

Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tersebut memberi hak kepada pemegang hak yang

bersangkutan untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah Hak Milik yang

menjadi obyek pemberian hak sampai berakhirnya jangka waktu Hak Guna Bangunan/Hak

Pakai tersebut.

Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tersebut tetap membebani Hak Milik yang

bersangkutan, walaupun Hak Milik itu telah beralih atau dialihkan oleh pemegang Hak Milik

kepada pihak lain, dan pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tersebut tetap dapat

melaksanakan haknya sampai jangka waktu Hak Guna Bangunan/Hak Pakai itu berakhir.

Dalam melaksanakan Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tersebut, pemegang Hak Guna

Bangunan/Hak Pakai tidak diperbolehkan menghilangkan tanda-tanda batas pada tanah.

6Ruchiyat, Eddy. 2004. Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi. Bandung: Alumni.Hlm,65

Hak Milik yang menjadi obyek pemberian hak dan tidak boleh membangun

bangunan yang melintasi batas obyek pemberian hak.

8

Page 9: Makalah hukum agraria di indonesia

Dalam melaksanakan pembangunan, pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai wajib

memenuhi segala ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pendirian bangunan

dan rencana tata ruang wilayah serta wajib memiliki ijin-ijin yang disyaratkan. Pelanggaran

terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku menjadi tanggung jawab pemegang

Hak Guna Bangunan/Hak Pakai yang bersangkutan.

Pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai akan memelihara dan mengelola

bangunan, termasuk benda-benda serta sasarannya dengan sebaik-baiknya, dan apabila

ternyata ditelantarkan, maka yang bersangkutan menyerahkan dan memberi kuasa kepada

pemegang Hak Milik untuk mengelola dan memeliharanya hingga jangka waktu pemberian

haknya berakhir.

Pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai tidak diperkenankan menjual dan/atau

dengan cara apapun mengalihkan hak yang diperolehnya dan/atau bangunan yang berdiri di

atas tanah tersebut, tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan tertulis dari pemegang Hak

Milik.

Pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik tidak diperkenankan

untuk mengagunkan/menjaminkan hak yang diperolehnya dan/atau bangunan yang berdiri di

atas tanah tersebut, tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan tertulis dari pemegang Hak

Milik.

Khusus untuk Hak Pakai atas tanah Hak Milik, sekalipun dalam Pasal 4 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-

Benda yang Berkaitan Dengan Tanah (untuk selanjutnya disebut UU Hak Tanggungan)

termasuk obyek hak tanggungan, namun karena hingga saat ini belum ada Peraturan

Pemerintah yang mengaturnya lebih lanjut, sehingga belum bisa dijadikan jaminan utang

dengan dibebani hak tanggungan.

3.3 Pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai wajib :

1. Mengosongkan bangunan yang ada di atas tanah Hak Milik yang menjadi obyek

pemberian hak dan menyerahkannya kepada pemegang Hak Milik berikut bangunan

7Soimin, Soedharyo. 2008. Status Hak dan Pembahasan Tanah. Jakarta: Sinar Grafika.Hlm,76

9

Page 10: Makalah hukum agraria di indonesia

dan segala sesuatu yang berdiri dan tertanam di atas bidang tanah tersebut, tanpa

pembayaran ganti rugi berupa apapun.

2. Membongkar bangunan yang ada di atas tanah Hak Milik yang menjadi obyek

pemberian hak dan menyerahkannya kembali kepada pemegang Hak Milik seperti

keadaan semula.

3. Bahwa mulai hari ditandatanganinya akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai

atas tanah Hak Milik tersebut, segala keuntungan yang didapat dari, dan segala

kerugian/beban atas obyek pemberian hak tersebut menjadi hak/beban pemegang Hak

Guna Bangunan/Hak Pakai.

4. Untuk itu pemegang Hak Milik menjamin bahwa obyek pemberian hak tersebut tidak

tersangkut dalam suatu sengketa, bebas dari sitaan, tidak terikat sebagai jaminan

untuk sesuatu utang yang tidak tercatat dalam sertipikat dan bebas dari beban-beban

lainnya yang berupa apapun.

Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik tersebut wajib

didaftarkan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta

yang bersangkutan.

3.4 Pendaftaran Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik

Pendaftaran Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik dilakukan pada Kantor

Pertanahan setempat, dengan melampirkan :

Surat permohonan pendaftaran Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;

Sertipikat Hak Milik;

Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Negara yang dibuat di hadapan

PPAT yang berwenang;

Identitas pemilik tanah Hak Milik dan pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai;

Surat kuasa tertulis dari pemohon (kalau ada);

Bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dalam hal bea

tersebut terhutang;

8Sutedi, Adrian. 2011. Sertifikat Hak Atas Tanah. Jakarta: Sinar Grafika.Hlm,55

Bukti pelunasan pembayaran Pajak Penghasilan, dalam hal pajak tersebut terhutang.

10

Page 11: Makalah hukum agraria di indonesia

Pendaftaran pembebanan hak tersebut dicatat dalam buku tanah dan sertipikat Hak Milik

yang bersangkutan dan selanjutnya sertipikat Hak Milik dikembalikan kepada pemegang Hak

Milik. Sedangkan untuk Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai dibuatkan Buku Tanah dan

Surat Ukur tersendiri dan kepada pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai diterbitkan

Sertipikat Hak Guna Bangunan/Hak Pakai, yang di dalamnya disebutkan asal sertipikat Hak

Milik

3.5 Pembebanan Hak Pakai atas Tanah Hak Milik

Dipandang Dari Perspektif Pemilikan Properti oleh Warga Negara Asing dan Badan

Hukum Asing Pada pertengahan tahun 1996, tepatnya tanggal 17 Juni 1996, Pemerintah

menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat

Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia (untuk selanjutnya

disebut PP 41 Tahun 1996). Setelah lebih dari 14 tahun berlaku, peraturan tersebut dirasa

belum mampu memacu minat orang asing untuk memiliki properti di Indonesia.

Pemerintah saat ini tengah gencar melakukan upaya deregulasi dan debirokratisasi di

bidang penanaman modal, agar Indonesia masuk dalam jajaran negara berkembang yang

mempunyai daya tarik bagi para investor, terutama investor asing.

Dengan masuknya investor asing ke Indonesia, maka banyak warga negara asing yang

bekerja di Indonesia. Di samping itu dengan telah diberlakukannya Peraturan Kepala Badan

Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 tentang Permohonan dan Tata Cara

Permohonan Penanaman Modal pada tanggal 2 Januari 2010 dan Peraturan Presiden Nomor

36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang

Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal pada tanggal 25 Mei 2010, maka

akan semakin banyak investor asing yang membutuhkan tanah dan properti untuk kegiatan

proyek usahanya.

Dengan hal tersebut, Kementerian Perumahan Rakyat telah menuntaskan Rancangan

Peraturan Pemerintah pengganti PP 41 Tahun 1996 (untuk selanjutnya disebut RPP). RPP ini

diharapkan bisa membuka lapangan kerja bagi warga lokal, meningkatkan arus wisatawan,

serta meningkatkan pasar perumahan Indonesia di luar negeri.

9Sudaryo Soimin, S.H.,Status Hak dan Pembebasan Tanah. Hlm.15

11

Page 12: Makalah hukum agraria di indonesia

Hingga makalah ini dibuat, RPP tersebut belum diundangkan, oleh karena masih

menunggu disetujuinya amandemen 2 (dua) Undang-Undang, yakni UU No 4 Tahun 1992

tentang Perumahan dan Permukiman, dan UU No 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun

10Urip Santoso, S.H.,M.H, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah.Hlm,44

12

Page 13: Makalah hukum agraria di indonesia

BAB IV

TINJUAN PUSTAKA

4.1 DEFINISI HUKUM AGRARIA

Hukum agraria ialah suatu hukum yang mengatur prihal tanah beserta segala seluk-

beluknya yang ada hubungannya dengan pertanahan, misalkan hal perairan, perikanan,

perkebunan, pertambangan dan sebagainya.

Adapun yang termasuk dalam ruang lingkup hal pertanahan beserta segala beluk-

beluknya tersebut, menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang

Pokok Agraria (UUPA) secara terperinci dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Seluruh bumi, dalam arti disamping permukaan bumi (yang disebut tanah), termasuk pada

tubuh bumi di bawahnya serta bagian bumi yang berada di bawah air;

2. Seluruh air, dalam arti perairan, baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Republik

Indonesia;

3. Seluruh ruang angkasa, dalam arti ruang yang ada di atas bumi;

4. Sumber-sumber kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi, yang disebut bahan-bahan

galian atau sumber-seumber galian yang pada daasarnya merupakan objek dari usaha-usaha

industry, perrtambangan dan sejenisnya;

5. Sumber-sumber kekayaan alam yang tertkandung di dalam air, baik perairan pedalaman

maupun perairan laut wilayah Republik Indonesia misalkan ikan dan sebangsanya, berbagai

bangsa binatang laut lainnya, garam, mutiara, dan sebagainya.

Dalam hal ini, hukum agraria merupakan salah satu saranan pengejawantahan cita-cita

nasional bagi kita semua, melalui hakikat dan fungsinya yakni sebagai hukum yang:

1. Menjaga keserasian antara alam dan manusia serta mempertahankan keserasian

kehidupan segala makhluk pengisi ala mini dalam kehidupan alamiahnya yang lestari;

11Harsono, Boedi. 2004. Hukum Agraria Indonesia. Djambatan.

13

Page 14: Makalah hukum agraria di indonesia

2. Mengatur dan menjamin seluruh rakyat untuk sedapat dan semerata mungkin

memperoleh manfaat atas tanah-tanah yang ada di seluruh wilayah Negara;

3. Mengatur hak rakyat/pribad hukum tantra maupun perdata untuk memanfaatkan

sumber kekayaan alam yang ada berdasarkan kepentingan dan kedudukan pribadi

masing-masing;

4. Mengatur segala kewajiban (rakyat/ pribadi hukum tersebut) selaras dengan segala

hak mereka yang berkenaan dengan tanah dan penggunaannya;

5. Memberikan batasan yang jelas mengenai tingkat keadaan tanah yang ada berikut

tingkatan hak dan kewajiban beserta segala persyaratan dan harus diperhatikan oleh

para pemegang dan para calon pemegang hak dan kewajiban atas tanah yang

bersangkutan;

6. Menggariskan hak maksimal dan kewajiban minimal yang harus dipenuhi oleh yang

menggunakan tanah itu secara konsekuen dalam arti tegas merata dan seimbang, demi

tegaknya keadilan dalam bidang pertanahan di seluruh negeri.

4.2 SEJARAH HUKUM AGRARIA

Purnadi Purbacaraka dalam bukunya Sendi-sendi Hukum Agraria, membagi kronologi

sejarah hukum agraria menjadi lima tahap, yaitu:

Tahap I, manusia dalam kehidupan yang dikatakan primitif baru mengenal meramu

sebagai sumber penghidupannya yang pertama kali dan satu-satunya pula;

Tahap II, manusia telah menemukan mata pencahariaan baru yakni berburu yang

dilakukan secara nomaden, yakni mengembara dari hutan ke hutan mengikuti hewan

buruan yang ada;

Tahap III, manusia telah menemukan mata pencaharian yang baru lagi, yakni beternak

meskipun system pelaksanaannya pun masih sangat primitif dan secara nomaden pula.

Tahap IV, merupakan perkembangan lebih lanjut dari pola hidup menetap barulah

manusia mulai bercocok tanam sebagai mata pencahariannya. Dalam tahap inilah

manusia mulai memikirkan dan mempersoalkan keadaan tanah mengingat

kepentingannya sehubungan dengan mata pencahariannya yang baru itu. Tetapi

pengetahuan manusia tentang hal pertanahan pada masa itu sangat sederhana dan

12Harsono, Boedi. 2004. Hukum Agraria Indonesia. Djambatan.Hlm 57

14

Page 15: Makalah hukum agraria di indonesia

sempit, terbatas hanya pada hal-hal yang berkenaan dengan keperluan atau masalah

yang tengah dihadapinya saja.

Tahap IV, manusia mulai hidup berkelompok. Dalam tahap ini manusia manusia talah

mengenal mata pencaharian berdagang barter tetapi masih dalam taraf,pola dan sistim

yang sangat sederhana, yakni tukar-menukar barang.

Bersamaan dengan berkembangnya perdagangan ini, maka berkembang pula mata

pencaharian bercocok tanam dan perhatian serta pengetahuan orang terhadap bidang

pertanahan kian berkembang pula. Dalam tahap inilah hukum agrarian mulai lahir meskipun

baik secara formal maupun material dapat dikatakan masih sangat primitif, masih sangat jauh

dari memadai.

Melalui perkembangan zaman, Hukum Agraria tersebut menjadi kian berkembang

mengalami berbagai penyempurnaan dan pembaharuan setahap demi setahap hingga

sekarang ini.

Bila dipandang menurut sejarahnya di Indonesia, maka hukum agraria dapat

diklasifikasikan menjadi 2 fase, yaitu;

1. Fase Pertama

Hukum agraria sebelum berlakunya UUPA,yang terbagi pula atas 2 “kutub” hukum, yakni;

Hukum agraria Adat, yang mengenal hak atas tanah seperti hak milik,hak pakai, dan hak

ulayat.

Hukum agraria Barat (Hukum Perdata Barat), yang melahirkan hak atas tanah seperti hak

eigendom (hak milik), hak opsal( hak guna pakai), hak erfpacht ( hak guna usaha), hak

gebruik (hak guna bangunan) dan sebagainya.

2. Fase Kedua

Hukum Agraria sesudah berlakunya UUPA (mulai tanggal 24 September 1960), yang

melahirkan hak atas tanah seperti: Hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai,

hak sewa, untuk bangunan dan hak atas tanah yang bersifat sementara seperti hak gadai, hak

usaha bagi hasil, hak menumpang dan sebagainya

13Muljadi, Kartini. 2005. Hak-hak Atas Tanah. Jakarta: Prenada Media.Hlm,14

15

Page 16: Makalah hukum agraria di indonesia

4.3 . SUMBER HUKUM AGRARIA

Adapun sumber atau bahan yang dijadikan rujukan oleh hukum agraria yaitu;

1. Perundang-undangan;

a. Undang-undang Dasar 1945

b. Undang-undang N0. 5 Tahun 1960, Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok

Agraria

c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang N0. 56 Tahun 1960, Tentang

Penetapan Luas Tanah Pertanian

d. Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian

Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian

e. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1964 Tentang Perubahan dan Tambahan

Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian

Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian

2. Hukum Kebiasaan

3. Hukum Adat dan Yurisprudensi sebagai “rechters gewoonterecht”.

14Soimin, Soedharyo. 2008. Status Hak dan Pembahasan Tanah. Jakarta: Sinar Grafika.Hlm,42

16

Page 17: Makalah hukum agraria di indonesia

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dalam Pasal 1 dan sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum Undang Undang

No. 5/1960 – UUPA dikenal dengan istilah Hak Bangsa Indonesia, dimana berdasarkan Hak

ini, maka konsep hukum tanah Indonesia dinyatakan bahwa pada dasarnya seluruh tanah

yang ada di Indonesia merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada seluruh bangsa

Indonesia.

Karena keseluruhan tanah yang ada di Indonesia konsepnya merupakan karunia dari

Tuhan Yang Maha Esa, maka untuk menghindari kekacauan dalam peruntukan dan

pemilikannya, diperlukan suatu pengaturan terhadap peruntukan dan pemilikan tanah

tersebut. Untuk itu lebih lanjut dalam pasal 2 juncto pasal 8 UUPA dikenal dengan Hak

Menguasai Negara.

Hak Menguasai Negara adalah hak yang dimiliki oleh Negara untuk melakukan

pengaturan tanah yang merupakan Karunia dari Tuhan Yang Maha Esa baik dalam

peruntukan maupun kepemilikan terhadap tanah di Indonesia.

Dengan pengaturan yang dilakukan oleh Negara diharapkan cita-cita Undang Undang

Dasar pasal 33 ayat 3 dapat tercapai, yaitu; “Bumi dan air dan kekayaan alam yang

terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat.”

Dalam Hak Bangsa Indonesia, terdapat hak yang diberi kewenangan khusus, yaitu

Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Hak Ulayat pada dasarnya hampir sama dengan Hak

Bangsa Indonesia, karena Hak Ulayat adalah milik semua anggota masyarakat hokum adat

setempat. Kepala adat berhak dalam melakukan pengaturan penggunaan maupun pengelolaan

tanah atas Hak Ulayat. Hak Ulayat ini sebagaimana telah dipertegas dalam ketentuan pasal 3

juncto pasal 5 UUPA.

Kepada Hak Menguasai Negara, maka konsekuensinya mengakibatkan seluruh tanah

yang belum ada kepemilikannya (kecuali tanah ulayat sebagaimana dijelaskan sebelumnya),

17

Page 18: Makalah hukum agraria di indonesia

adalah dikuasai oleh Negara. Sehingga jika ada seorang warga Negara Indonesia hendak

memiliki atau mempergunakan sebuah lahan tanah, maka warga tersebut hanya dapat

dinyatakan sebagai pemilik jika sudah mengajukan permohonan hak atas tanah. Atau, jika

orang ini sudah menempati lahan tanah tersebut selama lebih dari 30 tahun, maka dapat

mengajukan permohonan pengakuan hak.

5.1 Saran

Kami menyarankan kepada pemerintah untuk lebih menguasai hak-hak yang

seharusnya dikuasai oleh negara. Dan lebih mempertanggung jawabkan atas konsekuensinya

yang telah dicatat dan yg telah dipertanggung jawabkan oleh pemerintah agar pemerintah

lebih menguasai hak atas tanahnya dan dibatasi mana yg milik negara dan mana yang bukan

milik negara karna hak atas milik tanah negara sudah tercampur dengan hak milik atas tanah

orang lain.

18

Page 19: Makalah hukum agraria di indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Harsono, Boedi. 2004. Hukum Agraria Indonesia. Djambatan.

Koeswahyono, Imam. 2007. Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah. Refika

Aditama.

Muljadi, Kartini. 2005. Hak-hak Atas Tanah. Jakarta: Prenada Media.

Parlindungan, A.P. 1987. Beberapa Masalah Dalam UUPA. Bandung; Alumni.

Parlindungan, A.P. 1990. Pendaftaran Tanah di Indonesia. Mandar Maju.

Ruchiyat, Eddy. 2004. Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi. Bandung:

Alumni.

Soimin, Soedharyo. 2008. Status Hak dan Pembahasan Tanah. Jakarta: Sinar Grafika.

Sutedi, Adrian. 2011. Sertifikat Hak Atas Tanah. Jakarta: Sinar Grafika.

Sudaryo Soimin, S.H.,Status Hak dan Pembebasan Tanah. Hal.1

Urip Santoso, S.H.,M.H, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah

Harsono, Boedi. 2004. Hukum Agraria Indonesia. Djambatan.

Koeswahyono, Imam. 2007. Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah. Refika

Aditama.

Muljadi, Kartini. 2005. Hak-hak Atas Tanah. Jakarta: Prenada Media.

Parlindungan, A.P. 1987. Beberapa Masalah Dalam UUPA. Bandung; Alumni.

Parlindungan, A.P. 1990. Pendaftaran Tanah di Indonesia. Mandar Maju.

Ruchiyat, Eddy. 2004. Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi. Bandung:

Alumni.

Soimin, Soedharyo. 2008. Status Hak dan Pembahasan Tanah. Jakarta: Sinar Grafika.

Sutedi, Adrian. 2011. Sertifikat Hak Atas Tanah. Jakarta: Sinar Grafika.

19