copy of hukum agraria ( pak hairan )

242
HUKUM AGRARIA PENDAHULUAN Istilah hukum Agraria dalam kepustakaan kita jumpai ada dua macam istilah, yaitu : 1. Hukum Agraria, misalnya digunakan oleh BOEDHI HARSONO, SH. 2. Hukum Tanah, seperti misalnya digunakan oleh SINGGIH PRAPTODIHARDJO. Istilah yang kita pakai adalah hukum Agaria, sebab kuliah kuliah kita membahas masalah – masalah hukum yang mendasarkan kepada Undang – Undang No.5 tahun 1960 tentang “ Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria ” atau sering disingkat dengan UUPA. Istilah tanah didalam UUPA, dianggap sebagai pengertian yang sempit, sebab tanah hanya merupakan bagian dari permukaan bumi. Sedangkan istilah Agraria pengertiannya lebih luas dan meliputi bumi, air, kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, serta dalam batasan – batasan tertentu meliputi pula ruang angkasa. I. PENGERTIAN HUKUM AGRARIA Hukum Agraria adalah keseluruhan kaidah – kaidah hukum baik yang tertulis maupun tidak 1

Upload: yolanda-maria-leonita

Post on 16-Nov-2015

45 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

untukpendidikan hukum

TRANSCRIPT

PENDAHULUAN

HUKUM AGRARIA

PENDAHULUAN Istilah hukum Agraria dalam kepustakaan kita jumpai ada dua macam istilah, yaitu :

1. Hukum Agraria, misalnya digunakan oleh BOEDHI HARSONO, SH.2. Hukum Tanah, seperti misalnya digunakan oleh SINGGIH PRAPTODIHARDJO.Istilah yang kita pakai adalah hukum Agaria, sebab kuliah kuliah kita membahas masalah masalah hukum yang mendasarkan kepada Undang Undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria atau sering disingkat dengan UUPA.Istilah tanah didalam UUPA, dianggap sebagai pengertian yang sempit, sebab tanah hanya merupakan bagian dari permukaan bumi. Sedangkan istilah Agraria pengertiannya lebih luas dan meliputi bumi, air, kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, serta dalam batasan batasan tertentu meliputi pula ruang angkasa.

I. PENGERTIAN HUKUM AGRARIAHukum Agraria adalah ( keseluruhan kaidah kaidah hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang mengatur hubungan hubungan hukum dengan agraria.

Pengertian ini antara lain dikemukakan oleh BOEDHI HARSONO, SH seorang ahli di bidang Agraria. Biasanya orang mengartikan pengertian agraria sebagai hal hal yang mengenai sosial pertanian, ( Agraria berasal dari kata Ager yang artinya tanah tanah Pertanian ).Sebelum berlakunya Undang Undang Pokok Agraria (UUPA), yaitu sejak tahun 24 September 1960, maka hukum agraria yang berlaku di Indonesia ini kaidah kaidahnya bersumber pada bermacam macam peraturan perundang undangan seperti misalnya ada yang bersumber, pada :

1. Kitab Undang Undang Hukum Perdata Indonesia ( Burgerlijk Wetboek). Hukum Agraria Barat ;2. Hukum Adat ( Hukum Agraria Adat ) ;

3. Hukum Antar Golongan ( Hukum Agraria antar golongan );

4. Agrarische Wet 1870 ( Hukum Agraria Administratip ).

Kaidah kaidah hukum Agraria yang disebutkan di atas, didalam sistimatik Hukum Klasik ( sebelum berlakunya UUPA ) tidaklah dibicarakan dalam satu kesatuan, akan tetapi dibicarakan sebagai bagian dari pada suatu cabang hukum tertentu.

Jadi hukum Agraria yang kaidah kaidahnya bersumber pada BW, dibicarakan sebagai bagian dari hukum Perdata ( Hukum Barat ). Sedangkan yang kaidah kaidahnya bersumber pada Hukum Adat, dibicarakan sebagai bagian dari Hukum Adat. Demikian pula yang kaidah kaidahnya bersumber pada Hukum Agraria Antar Golongan, dan yang kaidah kaidahnya bersumber pada Agrarische Wet dibicarakan sebagai bagian dari Hukum Administrasi. Sebelum diUndang Undangkannya UUPA, hukum Agraria yang sebenarnya memunyai objek yang sama ( yaitu : bumi , air, kekayaan alam, yang terkandung di dalamnya serta ruang angkasa ) tidak di bicarakan tersendiri sebagai suatu kesatuan hukum, akan tetapi dibicarakan hanya sebagai bagian dari pada suatu cabang hukum tertentu saja.

Sejak diUndang Undangkannya UUPA, maka Hukum Agraria secara resmi mendapat tempat yang tersendiri dalam rangkaian tata hukum Indonesia dan merupakan suatu cabang hukum tersendiri.

II. SEJARAH SINGKAT PERKEMBANGAN HUKUM AGRARIA

1. HUKUM AGRARIA SEBELUM PENJAJAHAN

Sebelum zaman penjajahan, hukum Agraria sudah ada hanya saja wujudnya tidak tertulis, yaitu dikenal dalam Hukum Adat. Di dalam Hukum Adat kita mengenal adanya Hak Ulayat ( Beschik King Recht ). Hak Ulayat ini merupakan hak yang tertinggi di dalam masyarakat hukum adat. Pemengang Hak Ulayat yang berada di dalam wilayah suatu kerajaan berlainan dengan hak Ulayat yang berada di luar wilayah suatu kerajaan.

Mr. CCJ. MAASEN dan A.P.G. dalam bukunya :

Peraturan peraturan Agraria didaerah Gubernemen Jawa dan Madura ( Agrarische regeling voor hetgouvernementsgebied van Java en Madura ). Jilid I halaman 5, menerangkan hak Ulayat sebagai berikut :

Hak dinamakan hak Ulayat ( Beschikking recht ) adalah hak desa menurut adat dan kemauanya untuk menguasai tanah dalam lingkungan daerahnya untuk kepentingan anggota anggotanya, atau untuk kepentingan orang lain ( orang asing ), dengan membayar kerugian kepada desa, dalam hal mana desa itu sedikit banyak turut campur dengan pembukaan tanah itu dan turut bertanggung jawab terhadap perkara perkara yang terjadi disitu yang belum dapat diselesaikan . Dalam perundang Undangan Indonesia sendiri hak demikian ( hak Ulayat ) tidak diterangkan secara tegas. Oleh sebab itu hak ulayat tersebut ada yang menamakan Hak Milik Asli ( Egendomsrecht ) atau Hak Milik Komunal (Comunaal Bezilsrecht ).

Atas jasa Prof.Van Vollen Hoven, maka pengertian hak ulayat ini memperoleh kejelasan. Prof. Van Vollen Hoven menamakan hak ulayat sebagai Beschikkingsrecht . Beschikkingsrecht adalah suatu hak yang tidak dapat di pecah pecah dan mempunyai dasar keagamaan ( Relegie ). Dan hak tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan hukum perdata Barat ( B.W ).

Secara tegas Prof. Van Vollen Hoven menjelaskan :

a. Beschikkingsrecht atas tanah hanya dapat dimiliki oleh persekutuan hukum ( Gemeinschappen) dan tidak dapat dimiliki oleh perorangan. ;b. Beschikkingsrecht tidak dapat dilepaskan untuk selama lamanya ;c. Jika hak itu dilepaskan untuk sementara, maka bila mana ada alasan selain kerugian untuk penghasilan penghasilan yang hilang, harus dibayar juga oleh orang asing menurut hukum adat diwajibkan membayar kepada persekutuan hukum yang memiliki tanah ( hak ulayat ) tersebut.Demikina sekedar gambaran untuk mendapatkan pengertian apa yang dimaksud dengan hak ulayat. Di atas sudah di jelaskan bahwa hak ulayat yang berada dalam wilayah suatu kerajaan berbeda dengan hak ulayat yang berada di luar wilayah suatu kerajaan.

Hak Ulayat Yang Ada Pada Masyarakat Di Luar Wilayah Suatu Kerajaan, maka :

1. Hak ulayat merupakan hak yang tertinggai dari masyarakat hukum adat, hak atas tanah ada di tangan masyarakat hukum adat itu sendiri atas tanah yang ada di wilayahnya.

2. Di bawah hak ulayat ada hak pakai yang di peruntukkan bagi bukan anggota masyarakat hukum Adat atau untuk orang asing.3. Hak milik, yang diperuntukkan bagi anggota masyarakat hukum itu sendiri.

Hak Ulayat Yang Ada Pada Masyarakat Di Bawah atau Di Dalam Wilayah Suatu Kerajaan. 1. Hak ulayat ini ada di tangan raja ;

2. Di bawah hak ulayat ada hak pakai ( anggaduh ) yang hanya diperuntukkan bagi tanah tanah pertanian untuk kaula kerajaan ;

3. Hak milik ( andarbeni ), yang diperuntukkan bagi tanah pekarangan dan hanya untuk kaula kerajaan.

4. Hak apanage, yang diperuntukkan bagi keluarga kerajaan dan hak lungguh ( hak menguasai / hak pakai ) bagi para pamong desa ;

5. Hak sewa, yang diperuntukkan bagi orang asing.

2. HUKUM AGRARIA JAMAN PENJAJAHAN Pada Jaman V.O.C.V.O.C. banyak membantu kepada raja raja sehingga ia mendapatkan bagian bagian tanah yang dapat di kuasainya, serta mendapat hak monopoli dagang.

Karena banyak menghadapi peperangan, terutama di pulau Jawa, menyebabkan VOC kekurangan dana ( uang ), sehingga banyak menjual tanah tanah yang dikuasainya. Dari sinilah timbulnya pengertian tanah partikelir ( Depok tahun 1705 ).

Tanah PartikelirTanah Partikelir adalah ( tanah eigendom diatas mana pemiliknya sebelum berlakunya Undang Undang No. 1 tahun 1958, yaitu Undang Udang tentang penghapusan tanah partikelir, mempunyai hak hak pertuanan.

Yang di namakan hak hak pertuanan adalah sebagai berikut :

1). Hak untuk mengangkat atau mengesahkan pemilikian serta memberhentikan kepala kepala kampung / desa ;

2). Hak untuk menuntut kerja paksa atau memungut uang pengganti kerja paksa dari penduduk ;

3). Hak untuk mengadakan pungutan pungutan baik berupa uang atau hasil tanah penduduk ;

4). Hak untuk mendirikan pasar pasar, memungut biaya biaya pemakaian jalan atau penyeberangan di sungai ;

5). Hak hak untuk menuntuk peraturan lain, dan atau Adat setempat, sederajat yang tersebut di atas.

Di atas tanah partikelir terdapat tanah usaha dan tanah kongsi. Yang dinamakan tanah usaha ialah ( bagian - bagian dari tanah partikelir yang menurut adat setempat termaksud tanah desa, atau diatas mana penduduk mempunyai hak yang sifatnya turun temurun.

Yang dimaksud tanah kongsi ialah ( bagian bagian tanah partikelir yang tidak termaksud tanah usaha. Tanah tanah partikelir sekarang telah dilikwidir dengan Undang Undang N0.1 tahun 1958, karena tidak sesuai lagi dengan keadaan ketatanegaraan negara kita.

3. JAMAN PEMERINTAHAN BELANDAPada masa pemerintahan Belanda, sewaktu Mentri jajahan di jabat oleh De Waal pada tahun 1870, telah diUndang Undangkan Agrerische Wet, yang telah membawa perubahan perubahan di bidang agraria, yaitu : Adanya hak Erfpacht untuk jangka waktu 75 tahun, untuk usaha usaha dibidang pertanian dan perkebunan ;

Adanya hak Agrarische Eigedom, sehingga orang orang Indonesia mempunyai kesempatan untuk mempunyai hak eigendom. AGRARISCHE WET

Semula Agrarische Wet ini merupakan pasal 62 dari pada Regerings Reglement tahun 1854, yang haya terdiri dari 3 ayat. Pada tahun 1870 ada perubahan mengenai Regerings Reglement ini yang dirubah menjadi Indsche Staatsregeling, dan pasal 62 Regerings Reglement ( R.R), kemudian menjadi pasal 51 I.S dengan tambahan 5 ayat lagi atau usul De Waal. Dengan demikian maka pasal 51 I.S kini mempunyai 8 ayat dan ke8 ayat inilah yang kemudian dikenal dengan nama agrarische wet. Kaidah kaidah yang terdapat di Agrarische Wet ini merupakan sumber hukum Agraria Administratip waktu itu. HUKUM AGRARIA ADMINISTRATIP

Hukum Agraria administratip adalah ( peraturan peraturan hukum yang merupakan landasan bagi pemerintah untuk menyelenggarakan politik Agrarianya dan memberi wewenang khusus kepada pemerintah untuk ikut campur tangan di dalam soal soal agraria.

Pasal 51 I.S ( S. 1925 No.447 ) berbunyi a.l. :

Ayat 1 : Gubenur Jendral tidak boleh menjual tanah.

Ayt 2 : Dalam larangan ini tidak termaksud tanah tanah yang kecil untuk memperluas kota kota dan desa desa, dan untuk mendirikan bangunan bangunan perindustrian.

Ayat 3 : Gubernur Jendral boleh menyewakan tanah tanah menurut aturan aturan yang akan ditetapkan dengan ordonasi.

Dalam tanah tanah ini tidak termaksud tanah tanah yang diusahakan ( dipergunakan ) Bangsa Indonesia atau tanah tanah sebagai padang rumput umum ( tanah penggembalaan umum ), atau karena sesuatu sebab termaksud tanah kampung kampung.

Ayat 4 : Menurut aturan aturan yang akan ditetapkan dengan ordonasi diberikan tanah tanah dengan hak erfpacht yang lamanya tidak boleh lebih dari 75 tahun.

Ayat 5 : Gubernut Jendral menjaga jangan sampai ada sesuatu pemberian tanah yang melanggar hak hak penduduk asli ( bangsa Indonesia ).

Ayat 6 : Tanah tanah yang diusahakan bangsa Indonesia untuk keperluan sendiri, atau tanah tanah sebagai penggembala umum atau karena termasuk sesuatu kampung, tidak di kuasai oleh Gubernur Jendral kecuali untuk keperluan umum berdasarkan atas pasal 133 I.S dan tanaman yang diadakan oleh Pemerintah Agung, menurut aturan aturan yang berhubungan dengan itu, dengan pemberian ganti rugi yang layak.

Ayat 7 : kepada orang orang Indonesia yang mempunyai tanah milik dengan sah, maka atas permintaanya di berikan hak eigendom atas tanah itu dengan memakai pembatasan pembatasan mengenai kewajiban kewajiban terhadap negara dan desa dan pembatasan kekuasaan untuk menjual kepada bukan bangsa Indonesai, pembatasan pembatasan mana akan di atur / di tetapkan dengan ordonasi dan akan disebutkan dalam surat egendom.

Ayat 8 : Menyewakan tanah atau menyerahkan tanah untuk dipakai oleh orang Indonesia kepada bukan orang Indonesia di laksanakan menurut aturan aturan yang ditentukan dengan ordonasi.

Ternyata dari pasal 51 I.S bahwa pemberian atau pengeluaran tanah tanah tidak boleh melanggar hak hak bangsa Indonesia. Sikap pemerintah terhadap soal ini tetap di tentukan dalam pasal 51 I.S ayat 3 dan 6.

Hukum Agraria lama sebagai kaidah kaidahnya diatur di dalam hukum yang tertulis, terdapat dalam banyak peraturan dan keputusan yang bermacam macam tingkatannya. Demikian mengenai peraturan peratuan tersebut berbeda berbeda, ada yang berlaku hanya daerah daerah tertentu saja, tapi ada pula yang berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia.

Misalnya : 1). Agrarische Wet, berlaku untuk seluruh Indonesia ;

2). Agrarische Besluit, berlaku untuk Jawa dan madura ;

3). Koningklijk Besluit, berlaku untuk daerah daerah Swapraja, dan lain lainya.

Hukum agraria yang tidak tertulis bersumber pada hukum Adat. Hukum Agraria Adat ini menunjukkan adanya perbedaan menurut daerah / masyarakat tempat berlakunya, namun demikian pokok pokok dan asas asasnya sebenarnya sama.

Berlakunya dua macam peraturan hukum agraria yang lama, menyebabkan adanya aliran dualisme di bidang hukum agraria lama. Di samping bersifat dualisme, hukum agraria lama juga bersifat pluralisme, yaitu adanya hukum Agraria Adat yang beraneka warna, menurut daerah tempat berlakunya. Van Vollen Hoven dalam bukunya Adatsrecht Van Nederlands Indie membagi wilayah Indonesia menjadi 19 daerah hukum Adat. Hukum Agraria lama berdasarkan tujuan dan sendi sendi dari pemerintah jajahan. Tujuan dan sendi sendi pemerintah jajahan merupakan dasar politik Agraria pemerintah Belanda ialah pengambilan keuntungan yang sebesar besarnya dari tanah jajahannya dengan mengembangkan modal asing di bidang perkebunan.

Sebelum keluarnya Agrarische Wet, modal swasta tidak mempunyai kesempatan untuk menanam dan mengembangkan modalnya di bidang perkebunan, berhubung masih berlakunya system monopoli pemerintahan Belanda dengan culture stelselnya. Para pengusaha tidak dapat memperoleh tanah dengan hak eigendom secara luas untuk usaha di bidang perkebunan dan pada umumnya pengusaha hanya menyewa tanah tanah negara yang menjadi kosong yang berupa semak semak atau hutan belukar, dengan jangka waktu persewaan maksimum 20 tahun.

Menurut hukum Belanda ( Eropa ), hak sewa bersifat personalyk recht ( hak pribadi / perorangan ) yaitu suatu hak yang melekat kepada orangnya bukan kepada bendanya yaitu tanah. Karena sifatnya yang pribadi, bukan zakelijk recht, maka para pengusaha memandang hak sewa tersebut sebagai suatu hak yang kurang kuat, lagi pula tidak dapat dijadikan jaminan untuk memperoleh pinjaman untuk menyewkan tanah tanah milik orang orang Indonesai asli pada waktu itu tidak dimungkinkan karena menurut peratuaran perundangan yang berlaku pada waktu itu dilarang. Maka dengan lahirnya AGRARISCHT WET pada tahun 1870, banyak terjadi perubahan perubahan besar, yang akan merubah perkembangan Hukum Agraria dan perekonomian di Indonesia selanjutnya.

Perubahan perubahan setelah dikeluarkannya Agrarische Wet antara lain adalah :

1. Dibukanya kemungkinan luas bagi berkembangnya perusahaan perusahaan perkebunan besar untuk swasta, dengan pemberian hak erfpacht, untuk jangka waktu paling lama 75 tahun. Disini dimungkinkan adanya penanaman modal asing swasta untuk menanamkan modalnya di bidang perkebunan.

2. Perlindungan terhadap hak hak orang orang Indonesia asli atas tanahnya, yaitu tanah tanah garapan orang Indonesia yang dipergunakan untuk keperluan mereka ataupun yang dikuasai oleh desa, seperti tanah tanah penggembala hewan, tanah tanah lungguh / bengkok, tanah tanah desa ( Kas Desa / Bondo Desa ) dan lain lain. Tanah tanah tersebut tidak boleh disewa lagi oleh negara dan pemberian hak tidak boleh melanggar hak hak rakyat.3. Membuka kemungkinan bagi orang orang Indonesia asli untuk mendapatkan hak atas tanah yang lebih kuat, yaitu dengan pemberian hak Agraria eigendom.

Demikianlah tujuan Agrarische Wet untuk mengadakan perubahan perubahan di bidang Agraria yang nyatanya hanya tujuan pertama saja yang berhasil dengan baik bagi para pengusaha perkebunan swasta, sedang tujuan lainnya tidak dapat dicapai sebagaimana yang diharapkan.

Akibat dari tidak tercapainya tujuan tersebut disatu pihak adanya perkebunan perkebunan yang besar dengan tanah tanah yang subur, tenaga kerja murah dan menghasilkan keuntungan keuntungan yang besar yang dikirim ke negara Belanda. Sedangkan dilain pihak hak hak tanah orang orang Indonesia semakin mendesak dan sempit, terutama di pulau Jawa, letaknya terpencar dan kecil kecil, sehingga menimbulkan kemiskinan bagi petani petani kecil. AGRARISCHE BESLUITAgrarische Besluit yang dikeluarkan pada tahun 1870 ( S. 1870 118 ) adalah merupakan suatu peraturan pelaksanaan dari pada Agrarische Wet. Agrarische Besluit ini semula hanya berlaku di pulau Jawa dan Madura, tetapi kemudian dengan ordonasi ( S. 1875 No. 199 a pasal 1 ), Agrarische Besluit itu dinyatakan berlaku pula untuk daerah daerah pemerintahan langsung di luar Jawa dan Madura.

Asas terpenting yang terkandung di dalam Agrarische Besluit, terdapat pada pasal 1, yang berisi pernyataan umum tanah negara ( Algemene Domein Verklaring ), yaitu semua tanah yang di atasnya tidak dapat dibuktikan adanya hak eigendom seseorang, maka tanah tersebut adalah domein negara. Untuk daerah daerah di luar pulau Jawa, pernyataan domein ini baru diatur pada tahun 1874, yang biasanya disebut dengan pernyataan domein khusus ( Speciale domein verklaring ).

Disebut speciale domein verklaring, karena berlakunya hanya untuk daerah daerah tertentu, misalnya :

Untuk Sumatra Utara, dengan ordonantie erfpacht S. 1874 94 f ;

Untuk Manado dengan ordenantie erfpecht S. 1877 55 ; Untuk Kalimantan Selatan dan Timur dengan ordenantie erfpecht S. 1888 58. Bagi daerah speciale domaein verklaring berbunyi sebagai berikut, yaitu dalam pasal 1 menyatakan :

Bahwa semua tanah kosong di daerah daerah Sumatra Utara, Manado Kalimantan Selatan dan Timur, sejauh di atasnya tidak ada hak hak orang Indonesia asli yang diperoleh karena pembukaan tanah adalah domein negara kekuasaan atas domein negara itu hanya di tangan pemerintah, kecuali hak membuka tanah dari orang orang Indonesia .

Untuk daerah daerah kerajaan pernyataan tanah domein negara ini, terdapat dalam peraturan kerajaan itu, dan dalam hal ini pemilik tanah adalah raja, misalnya untuk daerah Yokyakarta dengan Rijksblad Yogyakarta tahun 1918 no. 16.

Demikianlah dasar domaein verklaring yang diletakkan oleh pemerintah Belanda didalam hukum Agraria, untuk dapat menguasai semua tanah di Indonesia. Hak milik orang Indonesia menurut hukum Adat yang sebenarnya kekuatan hukumnya tidak beda dengan hak eigendom, hak itu dianggap tidak ada, oleh karena orang orang Indonesia umumnya tidak mempunyai surat surat tanda haknya atas tanah yang menurut hukum Adat memang tidak dikenal adanya surat surat tanda hak atas tanah.

Demikianlah politik Agraria pada waktu itu, dimana salah satu tujuan dari Agrarische Wet ialah untuk melindungi hak hak orang Indonesia atas hak hak tanahnya berdasarkan hukum Adat, maka dengan adanya Agrarische Besluit, di dalam prakteknya ternyata telah mendesak hak hak orang Indonesia atas tanahnya.

Dengan adanya domein verklaring ini maka tanah yang tidak termaksud kedalam kategori tanah negara ( domaen negara ) ialah :

1. Tanah tanah Swapraja ;

2. Tanah tanah eigendom ;

3. Tanah tanah partikelir ;

4. Tanah tanah eigendom agraris.Jadi jelas tanah tanah dimana tidak ada salah satu hak dari empat macam hak tersebut, jelas tanah tanah tersebut masuk kategori tanah dimein negara.

Menurut VanVollen Hoven, juga Boedhi Harsono, S.H. asas domein ini di dalam prakteknya ternyata sangat merugikan hak hak tanah asli orang orang Indonesia, karena mendesak hak menguasai atas tanah menurut hukum Adat tanah. Domein verklaring ini juga akan memungkinkan adanya tanah tanah tersebut jatuh ketangan orang orang asing yang sebenarnya bertentangan dengan larangan mengoperkan / memindahkan tanah kepada orang asing.

Apabila hak tersebut kita bandingkan antara ketentuan ketentuan dalam Agrariasche Wet dengan pasal 33 UUD 1945, maka jelas bahwa tujuan hukum Agraria yang kita butuhkan atau dibutuhkan oleh bangsa Indonesia tidaklah sesuai lagi dengan ketentuan ketentuan di dalam Agrarische Wet dan Peraturan pelaksanaannya.

Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menyatakan : bahwa bumi, dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat . Jadi jelas bahwa kemakmuran rakyatlah yang diutamakan dan merupakan tujuannya, dan bukan kemakmuran dari beberapa orang pengusaha swasta saja, baik pengusaha asing maupun pengusaha asli Indonesia (nasional ).

Boedihiharsono, SH, didalam bukunya menjelaskan, bahwa mungkin didalam usaha untuk mencapai kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya diperlukan penggunaan atau ikut sertanya modal asing . Tapi hal itu bukan lagi merupakan tujuan melainkan merupakan suatu upaya dan karenanya tidak boleh merugikan rakyat . ( Hubungan dengan UU.No.1 tahun 1967,tentang penanaman modal asing ).Dalam suatu negara yang masih underdeveloped dimana guna pembangunan ekonomi negaranya memerlukan banyak modal guna diinvestasikan didalam segala sektor baik sektor pertanian maupun industri dapat mengikut sertakan modal asing, akan tetapi tujuan utama adalah untuk kemakmuran rakyat, untuk menaikan taraf hidup, oleh karena itu ikut sertanya modal asing harus sebagai salah satu alat untuk mencapai tujuannya, ialah kemakmuran rakyat. Jadi jelas bahwa kemakmuran rakyatlah yang diutamakan tujuannya dan bukan kemakmuran daripada beberapa golongan pengusaha swasta saja, baik pengusaha asing maupun pengusaha asli Indonesia ( Nasional ).

Boedhiharono, dan bukunya jilid I bagian kedua, menjelaskan bahwa mungkin didalam usaha untuk mencapai kemakmuran rakyat yang sebesar besarnya, diperlukan penggunaan atau ikut sertanya modal asing, tetapi itu bukan lagi merupakan tujuan melainkan suatu upaya dan karenanya tidak boleh merugikan rakyat ( perhatikan UU.No. 1 tahun 1967, tentang penanaman modal asing ).III. WUJUD HAK HAK ATAS TANAH DI INDONESIA

SEBELUM BERLAKUNYA UNDANG UNDANG

POKOK AGRARIA ( UUPA )Adanya pengaruh peraturan peraturan dari pemerintah Belanda mengenai hak hak atas tanah di Indonesia mengakibatkan adanya dualisme hukum Agraria yang berlaku di Indonesia, yaitu Hukum Barat atau Kitab Undang Undang Hukum Perdata, sepanjang mengenai tanah disamping berlakunya hukum Adat tanah. Adapun wujud dari pada hak hak atas tanah tersebut pada garis besarnya adalah :

1. Hak domein negara atas tanah ;

2. Hak tanah perorangan atau masyarakat hukum dan badan hukum Indonesia ;

Mangenai hak hak tanah yang dapat dipegang oleh perorangan atau masyarakat hukum dan bagian bagian hukum dan badan badan hukum Indonesia, pada pokoknya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :

Hak hak tanah menurut Hukum Adat ;

Hak hak tanah menurut Hukum Perdata Indonesia ( B.W )

1. HAK DOMEIN ATAS TANAH NEGARAHak domein ini adalah hak negara yang terletak diatasnya tidak ada hak eidendom agrarian lainnya, yang terletak di daerah yang langsung dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu di daerah daerah ini dikenal adanya dua macam domein negara, yaitu :a). Tanah Domein Bebas ( ialah tanah tanah liar, hutan belukar, tanah tanah yang diatasnya ada bangunan bangunan pemerintah atau dibangun oleh pemerintah yang disediakan untuk kepentingan umum dalam lingkungan pemerintahan.

b). Tanah Domein Yang Tidak Bebas ( ialah tanah tanah yang diatasnya ada hak hak rakyat Indonesia berdasarkan hukum Adat, yang sebenarnya diakui oleh pemerintah Hindia Belanda.2. HAK HAK TANAH PERSEORANGAN ATAU MASYARAKAT HUKUM DAN BADAN BADAN HUKUM

Hak tanah menurut Hukum Adat, yaitu :

1). Hak Ulayat ( beschikking recht ) ( hak menguasai dari pada masyarakat hukum Adat ( desa ), merupakan hak yang tertinggi didalam masyarakat desa.2). Hak milik menurut Van Vollen Hoven

Disebut dengan Inlands Bezitsrecht, yang kemudian dibagi menjadi 2, yaitu :

( Hak milik komunal yaitu hak milik bersama dari anggota suatu desa atau mungkin hak dari masyarakat hukum ( desa ) ; ( Hak milik perseorangan ( yayasan, anderbeni, hak atas druwe, pesimi, grant sultan, hak usaha atas tanah partikelir ). 3). Hak hak lain yang lebih rendah, yaitu :

* Hak pakai ( lungguh, bengkok, pecatu, pituwas anggaduh ), grant controleur;

* Hak usaha bagi hasil ;

* Hak gadai ; * Hak sewa untuk tanah pertanian ;

* Hak menumpang ( hak untuk mendirikan rumah di atas tanah orang ) ;

* Hak memungut hasil hutan ;

* Hak menggembala ternak ;

* Hak berburu dan menangkap ikan.

4). Hak hak ciptaan Barat pemerintah Belanda, yaitu :

( Hak Agrarische eigendom ( hak milik rakyat asli atas tanah yang bersedia untuk pada KUHP Perdata ) ;

Hak crediet verband ( hak untuk jaminan hutang ).3. HAK HAK TANAH MENURUT HUKUM PERDATA ( BARAT )

Hak - hak yang penting antara lain :

a. Hak eigemdom ;

b. Hak postal ;

c. Hak arfpacht ;

d. Hak sewa ;

e. Hak pakai ( gebruik ) untuk bangunan dan pertanahan ;

f. Hak pinjam pakai Hak tanah seseorang yang dipinjamkan kepada orang lain untuk bangunan dan pertanian.Penjelasan : ( A. Hak eigendom

Hak eigendom ini di dalam BW ( KUHPerdata ) diatur dalam pasal 570. Hak eigendom adalah hak terhadap sesuatu benda untuk menikmati secara bebas dan menguasai secara tidak terbatas, asal saja tidak dipergunakan untuk hal hal yang bertentangan dengan Undang Undang atau peraturan yang diadakan oleh suatu kekuasaan yang berwenang untuk menetapkannya dan asal saja tidak menggangu hak hak orang lain .

Hak eigendom dapat dicabut untuk kepentingan umum, dengan syarat akan diganti kerugian yang layak berdasarkan ketentuan yang sah. Hak eigendom adalah hak kebendaaan yang paling sempurna dibandingkan dengan hak- hak benda lainnya. Hak eigendom merupakan hak atas benda kepunyaan sendiri, sedangkan hak hak lainnya, merupakan hak atas benda kepunyaan orang lain. Hak eigendom memberi kekuasaan kepada pemegang haknya dalam :

1). Kekuasaan untuk memiliki ( genet )

Yaitu, kekuasaan untuk memungut hasil, memakai, memelihara, dan sebagainya, yang merupakan perbuatan perbuatan yang bersifat materil ;

2). Kekuasaaan untuk mempergunakan atau menguasai.

Yang meliputi kekuasaan untuk menjual, memberikan, menukarkan, menggandakan, menyewakan, dan sebagainya, yang merupakan perbuatan perbuatan yang bersifat perorangan.

perbedaan antara hak eigendom dengan hak milik Adat adalah, bahwa hak eigendom mengandung kebebasan kebebasan yang lebih luas, misalnya : tanah milik tidak dapat dijual semau maunya oleh pemiliknya seperti hak eigendom, hanya orang orang tertentu saja yang diperbolehkan memiliki tanah dengan hak milik Adat, yaitu warga desa, sedangkan orang asing tidak diperbolehkan.

B. Hak OpstalDi dalam KUH Perdata ( BW ), hak opstal diatur dalam pasal 711, yang menyatakan Hak opstal adalah sesuatu hak kebendaan untuk mempunyai bangunan atau tanah tanaman di atas sebidang tanah kepunyaan orang lain .

Hak opstal lain memberikan hak kepada pemegangnya untuk memiliki bangunan bangunan serta tanaman tanaman tersebut dibangun atau di tanam sendiri oleh pemegang hak opstal atau telah ada sebelum pemegang hak opstal itu memperoleh hak tersebut.

Hak opstal diperbolehkan dengan membayar ganti rugi, yang besarnya ditentukan atas dasar perjanjian bebas antara pemilik dengan calon pemegang hak opstal. Pembayaran ganti rugi ini dapat sekaligus atau tiap tahun atau dalam jangka waktu tertentu. Salah satu syarat untuk mendapatkan hak opstal ialah bahwa hak opstal tersebut dicabut dalam daftar umum( pasal 713 HUK Perdata ). Hak opstal dapat di tetapkan untuk jangka waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.

Apabila perjanjian ditetapkan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan, maka hak opstal dapat dihentikan setelah lewat waktu 30 tahun. Setelah jangka waktu itu berakhir, maka tanahnya kembali kepada yang mempunyai. Sedangkan bangunan bangunan serta tanaman tanaman yang ada diatasnya menjadi milik yang mempunyai tanah dengan syarat membayar harganya kepada pemegang hak opstal tersebut ( pasal 715 KUH Perdata ).C. Hak ErfpachtDi dalam KUH Perdata (B.W ), hak erfpacht di ataur di dalam pasal 720. bunyinya, sebagai berikut :

Hak Erfpacht adalah suatu hak kebendaan untuk menikmati atas sesuatu benda yang tidak bergerak kepunyaan orang lain, dengan kewajiban membayar sesuatu pacht ( canon ) untuk tiap tahunnya kepada yang mempunyai baik berupa uang ataupun hasil pendapatannya .

Hak Erfpacht ini tidak berakhir dengan sendirinya kalau pemegang erfpacht itu meninggal dunia. Dalam hal seperti ini hak erfpacht dapat beralih kepada ahli warisnya sampai batas waktu yang telah diperjanjikan selesai ( habis ). Demikian pula kewajiban pembayaran Erfpacht turun temurun memegang hak Erfpacht dapat berbuat seperti yang dilakukan oleh pemegang hak eigendom atas tanah namun dengan batas batas tertentu, antara lain tidak dapat berbuat yang mengakibatkan turunnya harga tanah, seperti mengadakan penggalian batu batuan, mengambil tanah liat, menebang pohon pohon yang hidup, yang bukan tanaman sendiri. Sebaliknya bangunan bangunan yang telah didirikan dan tanaman tanaman yang telah ditanami oleh pemegang hak Erfpcaht, setelah hak Erfpacht itu berakhir dapat diambilnya. Apabila bangunan bangunan atau tanaman tanaman tadi tidak diambil oleh pemegang hak Erfpacth, maka akan menjadi milik yang mempunyai tanah, dan bekas pemegang hak Erfpacht tidak berhak menuntut ganti rugi.

Pasal 51 ayat 4 I .S menyatakan bahwa dengan peraturan perundang Undangan, tanah negara dapat dikeluarkan dengan hak Erfpacth untuk jangka waktu yang tidak melebihi 75 tahun. Yang dimaksud dengan tanah negara tersebut di atas ialah, tanah yang termaksud dalam domein negara. Jadi hanya tanah liar ( Woete gonden ), yang dapat diberikan dengan hak Erfpacht. Tanah liar adalah tanah yang tidak dibuka oleh orang Indonesia dan tidak merupakan tegalan, pangenan atau tidak termaksud tanah desa. Pemegang hak Erfpacht dibarengi wewenang untuk memindahkan haknya kepada orang lain, menghipotikkan, menyewakan tanahnya dalam masa waktu berlakunya hak Erfpacht itu.D. Hak Pakai ( Rechts Van Gebruik )Hak pakai menurut hukum Barat adalah suatu hak kebendaan atas benda orang lain untuk memakai benda itu sendiri dan mengambil hasilnya sekedar untuk keperluannya sendiri dan mengambil hasilnya sekedarnya untuk keperluannya serta keluarganya. Hak pakai ditentukan dengan perjanjian antara yang mempunyai dengan calon pemakainya. Hak pakai tidak dapat dipidah tangankan kepada orang lain seperti halnya yang dapat diperlakukan terhadap hak kebendaan yang lain. Hak pakai dapat diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan lebih dahulu. Hak itu dapat berlaku sampai saat dihentikan berhubungan akan dipergunakan untuk kepentingan umum. Hak pakai dapat juga diberikan untuk jangka waktu tertentu dan biasanya ditetapkan untuk waktu paling lama 30 tahun.Untuk memperoleh hak pakai itu calon pemegang hak harus membayar ganti rugi yang ditetapkan menurut keadaan setempat yang berhubungan dengan permintaan hubungan hak pakai. Biasanya hak pakai untuk keperluan keagamaan ditetapkan 1/8 ( seper delapan ) dari uang pembelian yang harus dibayarkan untuk mendapatkan hak eigendo. Untuk sahnya hak pakai, harus dibuat suatu akta sebagaiana diuraikan dalam peraturan balik nama ( Overschrikvings Ordonatyie S. 1834 - 27 ).4. Hak Pinjam Pakai ( Bruikleem )Hak pinjam pakai di dalam B.W diatur dalam pasal 1740, yang menyatakan bahwa :

Hak pinjam pakai adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang meminjamkan menyerahkan benda dengan cuma cuma kepada pihak yang meminjam, untuk dipakainya dengan kewajiban bagi yang meminjam setelah benda itu dipakai untuk mengembalikan dalam waktu tertentu. Bruikleem adalah hak perseoranagn dan pemberian hak pinjam pakai ini biasanya dalam waktu yang tidak ditentukan, akan tetapi sampai saat dihentikannya dengan syarat syarat seperti yang dikenakan pada hak pakai. Hak dan kewajiban yang meminjam diatur dalam perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak yang bersangkutan.

Menurut Staat Blad ( S ) 1940 No. 427, residen diberikan kuas untuk mengeluarkan tanah negara dengan hak pinjam pakai ( Bruikleem ). Permintaan hak pinjam pakai di lakukan sama dengan hak eigendom, hanya saja tidak diperlakukan adanya surat ukur, cukup hanya melampirkan peta sket ( sehetshaart ) yang dibuat secara teliti. Bruikleem diberikan kepada pihak yang meminjampakai dalam hal pemerintahan ragu ragu untuk memberikan tanah dengan hak eigendom, sebab tidak mendapat kepastian apakah peminta akan dapat mengadakaan ( membangun ) bagunan bangunan dalam waktu yang telah di tentukan menurut cara yang dikehendaki oleh pemerintah. Dalam hal demikian tanah itu diberikan untuk sementara dengan bruikleem, dengan ketentuan bahwa kemudian akan diberikan dengan hak eigendom, apabila telah dipenuhi syarat mengadakan bangunan seperti yang telah ditentukan.Semua hak hak atas tanah ini baik yang tertulis menurut hukum Barat ( KUH Perdata ) maupun yang tidak tertulis menurut menurut hukm Adat Tanah, dengan berlakunya Undang Undang Pokok Agraria ( UUPA ), dinyatakan hapus dan diganti dengan hak hak yang baru menurut hukum Agraria yang baru, yaitu menurut Undang Undang Pokok Agraria, sehingga sifat dualismenya dengan sendirinya batal, karena dengan hanya ada satu hukum Agraria saja yang berlaku untuk seluruh penduduk, Misalnya : Hak eigendom, hak agrarische eigendom yasan, dikonversi menjadi hak milik.

Hak erfpacht dikonversi menjadi hak guna bangunan ; Hak gebruik, lungguh, dikonversi menjadi hak pakai ; dan seterusnya IV. SEKELUMIT SEJARAH PEMBENTUKAN

UNDANG UNDANG POKOK AGRARIA ( UUPA )

Seperti kita ketahui bahwasanya sendi sendi serta tujuan politik Agrara masa penjajahan adalah didasarkan sendi sendi serta tujuan dari pemerintah jajahan.Sebab sebab poko dari pada politik Agraria kolonial ( penjajahan ) adalah prinsip dagang atau mencari keuntungan, yaitu mencari / mendapatkan hasil bumi dan bahan mentah dengan hara yang serendah rendahnya, untuk dijual dengan harga yang tinggi, sehingga memperoleh keuntungna yang besar.

Berbeda dengan tujuan politik Agraria pemerintah jajahan, maka tujuan politik Agraria Nasional adalah sama dan identik dengan dasar dan tujuan perjuangan rakyat Indonesia sebagaimana disebutkan dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945 yang berbunyi : Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk seluruh tumpah darah Indonesai dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaaan perdamaian abadi dan keadilan social ( dan seterusnya ), dengan kata lain, semua tindakan yang diambil dalam bidang Agraria harus :a). Memungkinkan terbentuknya suatu pemerintahan negara Indonesia yang sanggup melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia ;

b). Memungkinkan terus majunya / meningkatnya kesejahteraan umum ;

c). memungkinkan naiknya taraf kecerdasan kehidupan bangsa ; ( dan sebagainya ).

Jadi jelas bahwa tujuan dari politik Agraria nasional bukan keuntungan yang sebesar besarnya bagi penguasa. Prinsip yang dijadikan dasar untuk bertindak bukanlah prinsip dagang, melainkan suatu pandangan hidup yang luhur dan terdiri dari 5 sila sebagai satu kesatuan yang kita kenal sebagai pancasila.

Sekalipun sudak jelas bahwa politik Agraria colonial harus dirubah secara keseluruhan dan diganti dengan politik Agraria nasional, namun dalam waktu antara 1945 1960 belum memungkinkannya untuk dilaksankan, karena pemerintahan Republik Indonesia pada masa masa itu menghadapi dua masalah pokok yang harus diselesaikan dalam waktu yang bersamaan, yaitu harus mempertahankan kedaulatan negara terhadap usaha usaha Belanda yang ingin menjajah, sekaligus memperjuangkan pengakuan kedaulatan negara Republik Indonesia dari dunia internasional dan meyusun aparatur administrasi pemerintahan menurut Undang Undang 1945.

Dalam pandangan itu Unifersitas Gajah Mada ( UGM ) yang didirikan pada tahun 1949, mengenai masalah Agraria ini sudah menjadi perhatian seksi agraria. Sudah dirasakan perlunya ada pembaharuan hukum Agraria sebagai penjelmaan dari politik agraria nasional sesuai dengan alam kemerdekaan.

Pada mulanya dicari alasan alasan objektif yang mengharuskan kita menciptakan politik Agraria nasional. Adapun alasan alasan yang dianggap obyektif atara lain :

1. Factor formil : ( Hukum Agraria yang berlaku pada saat itu ( 1949 ), adalah masih merupakan keadaan peralihan dan bersifat sementara ;

( Berlakunya itu didasarkan aturan peralihan Undang Undang pemerintahan penduduk Jepang No. 1, UUD 45, Konstitusi RIS, UUD Sementara ( UUDS ), Dekrit Presiden, kemudian kembali pada UUD 45. 2. Faktor Material : ( Hukum yang masih berlaku bersifat dualisme dan pluralisme ;

Dualisme menurut haknya dan subjeknya, Haknya : Menurut hukum asli Indonesia ( Hukum Adat ) yang mempunyai dasar kolektip dan mengandung corak privat, sedang hukum Barat bercorak privat. Subyeknya : Ada perbedaan antara hak bagi orang Indonesia asli dan tidak asli

3. Faktor IdealPeraturan hukum Agraria belum disesuaikan dengan asas asas daripada hukum dasar negara yaitu pancasila. 5. Faktor Ideologis fasilitas

Ideologis politis kita ada dalam gelombang dunia, karena ideologis tidak terbatas pada batas batas negara politis Indonesia sebagai negara, mau tidak mau ditarik dalam gelombang pengolahan antara ideologi ideologi dunia.Di samping hak hak tersebut di atas, maka terjadinya pergolakan pergolakan atau timbulnya masalah masalah tanah dari kaum tani antara lain di pabrik Delanggu, dimana petani yang menanam roselka menuntut penghapusan hak perusahaan yang disebut konversi, pemerintah membentuk panitia penyelesaian yang diketahuai oleh kepala agrarian, Sarimin Rekso Dihardjo.

Pada tahun 1950 panitia agarari I dibentuk yang diketahui oleh bapak Sarimin, yang tugasanya selain penghapusa domaein verklaring sisa penjajahan, juga adanya bermacam macam hak atas tanah menurut hukum barat akan disederhanakan.Pada tahun 1953 terjadi peristiwa Tanjung Morawa, dimana perusahaan perkebunan asing mulai mentraktor tanah perkebunan yang diduduki kaum tani dan secara kecil kecilan terjadinya penyerobotan penyerobotan tanah perkebunan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Pada tahun 1956 diterbitkan Undang Undang No.28 dan No.29 yang mengatur pemindahan hak tanah perkebunan dan tanah perkebunan yang terlantar.

Pada tahun 1958, keluarlah Undang Undang penghapusan tanah partikelir ( UU No. 1 / 1958 ).

Dengan berlakunya Undang Undang penghapusan tanah partikelir ini, sebetulnya mulai ada ketegasan perombakan hukum pertanahan, yaitu tanah tanah eigendom yang luasnya lebih dari 10 bouw atau 7 ha, dinyatakan hapus dan dijadikan tanah negara.

Pada tahun 1959 pidato kenegaraan persiden Sukarno, yang kemudian disebut manivesto politik tercantum asas : hak eigendom sisa colonial dicoret dari bumi Indonesia. Hak milik hanya untuk orang Indonesia sesuai pasal 33 UUD 1945.

Pada tahun 1960 dalam pidato kenegaraaa presiden Sukarno, tanggal 17 Agustus 1960, beliau menegaskan perlunya segera dilaksanakan LANDREFORM. Perombakan pertanahan berarti penghapusan semua hak asing dan konsesi konsesi colonial atas tanah dan sisa sisa feodalisme.

Landreform ditujukan untuk memperkuat dan memperluas hak tanah dari rakyat secara keseluruhan, terutama kaum tani kecil. Domein verklaring hapus, tanah tidak boleh jadi alat penghisap, hak tanah untuk mereka yang mengerjakannya dan tidak dimiliki oleh mereka yang dengan santai menjadi gemuk, karena memeras keringat rakyat yang menggarap. Perlu ada minimum dan maksimum luas tanah milik dan tanah harus mempunyai fungsi social. Asas dari pelaksanaan LANDREFORM ini sebenarnya bukanlah hanya monopoli bangsa Indonesia, tetapi nagara negara lain, seperti Mesir, Jepang, Iran, Taiwan, dan India, juga mengadakan / melaksanakan landreform, dengan asas yang disesuaikan dengan kebutuhan negara masing masing.

DPR Gotong Royong waktu itu rupanya menyadari benar perlu adanya Undang Undang Pokok Agraria, dibentuk segera, karena ternyata hanya 17 hari setelah pembicaraan, segera ditetapkan Undang Undang Pokok Agraria yang kita kenal sekarang ini. V. UNDANG UNDANG POKOK AGRARIA1. TUJUAN UNDANG UNDANG POKOK AGARIAUndang Undang pokok Agraria atau Undang Undang No.5 tahun 1960, yang nama aslianya adalah Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria yang termuat atau telah diundang undangkan dalam Lembara Negara tahun 1960 No. 104, merupakan hukum Agraria positif kita yang berlaku sekarang.

Undang Undang Pokok Agraria, atau lebih dikenal dengan singkatan UUPA, didalam konsiderannya memulai dengan menyebutkan keburukan keburukan daripada Hukum Agraria yang lama, yaitu :

Hukum Agraria yang lama itu sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi sendi dari pemerintah jajahan dan sebagian lagi dipengaruhi ;

Hukum Agraria lama mempunyai sifat dualisme, yaitu berlakunya peraturan peraturan dari dan didasarkan pada Hukum Barat ; Hukum Agraria lama tidak menjamin kepastian hukum bagi rakyat Indonesia asli, mengenai hak haknya atas tanah.

Hukum Agraria yang berlaku, setelah Indonesia merdeka ini seharusnya adalah merupakan salah satu alat yang penting untuk membangun masyarakat Indonesia yang adil dan makmur serta sejahtera, namun ternyata Hukum Agraria yang lama justru merupakan penghambat untuk tercapainya tujuan tersebut, sehingga hukum Agraria yang lama di pandang tidak sesuai lagi bahkan bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara Indonesia.

Berdasarkan hal hal tersebut, maka hukum Agraria lama perlu diganti dengan hukum Agraria yang baru, yang baik tujuan maupun isinya harus bersifat nasional.

Adapun tujuan dari pada Undang Undang Pokok Agraria antar lain :

1. Meletakkan dasar dasar bagi penyusunan hukum Agraria nasional yang akan merupakan alat untuk memberikan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka mencapai masyarakat yang adil dan makmur ;2. Meletakkan dasar dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesadaran dalam hukum Agraria ;

3. Meletakkan dasar dasar hukum, untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

2. UNDANG UNDANG POKOK AGRARIA BERDASARKAN PADA HUKUM ADAT

Undang Undang Pokok Agraria di dalam konsiderannya antara lain menyebutkan, bahwa hukum Agraria nasional perlu mendasarkan pada hukum Adat tentang tanah.

Mengapa hukum Adat dipakai sebagai dasar dari pada hukum Agraria yang baru atau sebagai dasar dari pada Undang Undang Pokok Agraria ?

Seperti kita ketahui bahwasanya hukum Adat adalah Hukum Asli Indonesia dan sebagian besar dari pada rakyat Indonesia tunduk pada hukum Adat. Oleh karena itu Hukum Agraria yang didasarkan pada ketentuan ketentuan Hukum Adat akan lebih sesuai dengan kesadaran rakyat banyak.

Namun demikian, meskipun hukum Adat dipakai sebagai dasar dari pada Undang Undang Pokok Agraria, tidak berarti seluruh ketentuan ketentuan dari pada hukum Adat atasa tanah dipakai sebagai dasar dari Undang Undang Pokok Agraria melainkan hukum Adat yang sudah dibersihkan dari keburukan keburukan atau hukum Adat yang sudah disaneer.Hukum Adat, sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat, dalam perkembangannya, sebagaimana disebutkan dalam memori penjelasan Undang Undang Pokok Agraria, dipengaruhi oleh politik dan masyarakat colonial yang lebih individualistis, kapitalisme, serta masyarakat swapraja yang feudal, jadi tidak lepas daripada pengaruh masyarakat dimana hukum Adat itu berlaku.

Oleh sebab itu, hukum Adat yang dipakai sebagian dasar dari pada Undang Undang Pokok Agraria adalah hukum Adat mengenai tanah yang sudah dibersihkan atau dihilangkan keburukan keburukannya.

Dengan demikina maka, hukum Adat yang menjadi dasar dari pada Undang Undang Pokok Agraria ini diberikan syarat syaratnya ini seperti disebutkan di dalam spasal 5 UUPA ialah :

1. Hukum Adat itu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa.

2. Bahwa hukum Adat yang dipakai tidak boleh bertentangn dengan tujuan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.

3. Bahwa hukum Adat yang dipakai tidak boleh bertentangan dengan peraturan peraturan di dalam Undang Undang Pokok Agraria.

4. Bahwa hukum Adat yang dipakai di dalam UUPA tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan lainnya.5. Bahwa hukum Adat yang dipakai dalam UUPA harus mengindahkan unsur unsur yang bersandar pada hukum Agama.

3. HUKUM AGRARIA POSITIFDalam uraian uraian di muka sudah dijelaskan bahwa sebelum berlakunya Undang Undang Pokok Agraria, hukum Agraia yang lama sebagian merupakan hukum yang tertulis dan sebagian lagi merupakan hukum yang tidak tertulis. Hukum Agraria ynag tertulis termuat di dalam berbagai peraturan, yang kadang kadang ada yang berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia, dan ada pula yang berlaku di suatu daerah tertentu saja, misalnya :

Agrariasche Wet berlaku untuk seluruh Indonesia ;

Agrariasche Bisluit berlaku untuk Jawa dan Madura.

Hukum Agraria yang tidak tertulis adalah hukum Adat yang berlaku bagi penduduk asli Indonesia. Biarpun Asasnya sama, tetapi hukum Adat Indonesia itu berbeda beda menurut daerah tempat berlakunya, dan oleh karena itu maka hukum Adat tentang hukum tanah itupun mempunyai corak yang beranaeka ragam, sehingga dikatakan bersifat pluralistisDemikianlah bermacam macam peraturan agrarian yang lama itu berlaku, sehingga hal ini sangat betentangan dengan cita cita persatuan bangsa, karena disamping hukum Agraria lama itu bersifat dualistis juga bersifat pluralistis. Oleh karena, itu hukum Agraria yang lama perlu diganti dan bersifat sederhana agar tidak membingungkan dan tidak bertentangan cita cita persatuan bangsa.

4. UNDANG UNDANG POKOK AGRARIA MENJAMIN KEPASTIAN HUKUMKpastian hukum itu diperolah dengan menghilangkan sifat dualisme dari pada hukum Agraria lama dan mengurangi sifat pluralistisnya. Disamping itu kepastian hukum diperoleh juga dengan meletakkan kaidah kaidah Hukum Agraria itu di dalam hukum yang tertulis sebagaui suatu peraturan perundangan. Dengan demikian maka kaidah kaidah hukum Agraria yang tadinya beraneka ragam dan tidak tertulis, kini menjadai dasar dari pada Undang Undang Pokok Agraria. Sedangkan kepastian hak atas tanahnya, subjeknya, dan objeknya hanyalah dapat dicapai dengan menyelenggarakan apa yang disebut pendaftaran tanah. 5. PERATURAN PERATURAN YANG DICABUT

A. Peraturan peraturan yang dicabut secara tegas dan dinyatakan tidak berlaku setelah berlakunya Undang Undang Pokok Agraria ialah :

1. Seluruh pasal 51. I. S, jadi termaksud Agrarische Wet 1980 ;

2. Semua pernyataan domein ( domein Verklaring ialah ) :

* Alegemen Domein Verklaring S. 1875 119 a .

* Domein Verklaring untuk Sumatra untuk kresidenan Manado untuk Kalimantan Selatan dan Timur.

3. Koninklijk Besluit S. 1872 117 ialah peraturan mengenai Agrarische Eigendom ;

4. Buku ke II tentang Undang Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali kesatuan kesatuan mengenai hypoyik yang masih berlaku pada mulai berlakunya Undang Undang Pokok Agraria.

Apakah dengan dicabutnya pasal 51. I. S, semua peraturan den keputusan administratip yang merupakan pelaksanaan politik Agraria yang ditentukan, yang disebut hukum Agraria administratip menjadi tidak berlaku sendirinya ? jawabannya, tidak. Tidak dengan sendirinya peraturan dan keputusan keputusan itu menjadi tidak berlaku lagi, karena dicabutnya pasal 51. I. S. hal ini terbukti karena terbentuk Undang Undang Pokok Agraria ( UUPA ), juga mencabut secara khusus semua pernyataaan domein ( Domein Verklaring ) dan peraturan paeraturan tentang Agrarische Eigendom.Pasal 51. I. S pada hakekatnya bukan peraturan dasar bagi berlakunya peraturan peraturan lainnya. pasal 51. I. S hanya memuat dasar dasar kebijaksanaan politik Agraria menbentuk Undang Undang dan pemerintahan Hindia Belanda. Hampir semua peraturan hukum Agraraia administratip itu tidak berlaku lagi, tetapi ketidak berlakuanya itu bukan disebabkan karena dicabutnya pasal 51. I. S. pernyataan pernyataan domein ( Domein Verklaring ) dan peraturan peraturan tentang Agrarische Eigendom, jelas tidak berlaku lagi karena secara tegas dicabut oleh UUPA.

Untuk mengetahuai yang mana diantaranya yang masih berlaku, kita lihat dari pencabutan buku II KUH Perdata,yaitu untuk penghapusan dualisme dan menciptakan adanya unipikasi hukum yang didasarkan pada hukum Adat. Hal ini dapat / perlu dibaca pasal pasal 56, 57 dan pasal 58 UUPA yang memuat peraturan peraturan peralihan.

Peraturan peralihan seperti pasal pasal 56, pasal 57 dan pasal 58, adalah merupakan asas umum di dalam peraturan perundangan, yaitu bahwa jika terjadi peraturan hukum, maka peraturan peraturan hukum yang lama tidak berlaku lagi didalam suasana hukum yang baru. Namun karena biasanya hukum yang baru itu belum seluruhnya lengkap pada saat mulai belakunya, maka untuk mencegah adanya kekosongan hukum ( Rechts Vacum ), biasanya hukum yang baru masih memerlakukan peraturan peraturan yang lama, sebelum ada peraturan baru yang menggantinya. Hal ini dianut juga oleh UUPA, yaitu dengan mencantumkan pasal pasal 56, 57, dan 58. seperti kita ketehui bahwa UUPA, atau Undang Undang No. 5 tahun 1960, lengkapnya disebut Peratruan Dasar Pokok Agraria. Jadi UUPA sebagai peraturan dasar hanya memuat dalam pokok pokok dan garis garis besarnya saja. Sedangkan ketentuan ketentuan yang berlanjut akan diatur dalam berbagai peraturan pelaksanaan lainnya. maka untuk mencegah terjadinay kekosongan hukum ( Rechts Vacum ), maka dicantumkan pasal pasal 56, 57, dan pasal 58 tersebut didalam UUPA, yang antara lain menyebutkan bahwa selain peraturan peraturan pelaksanaan belum ada, maka peraturan peraturan yang lama tetap berlaku dengan sayarat syarat tertentu.

~ Pasal 56 misalnya khusus mengenai peraturan peraturan hak milik ; ~ Pasal 57 mengenai hipotik dan kredit Verbanda ; ~ Pasal 58 , adalah peraturan peralihan yang bersifat umum.

Pasal 57 UUPA : secara tegas menyebutkan peraturan peraturan manakah yang masih berlaku demikian pula syarat syaratnya. Yang dinyatakan masih berlaku dalam pasal 27 ini ialah ketentuan ketentuan mengenai credit verbanda, sebagaimana tersebut dalam S.1908 No. 542 dan diubah dengan S. 1937 No. 190. peraturan peraturan tersebut tetap berlaku selama Undang Undang mengenai hak tanggungan, sebagaiman yang dimaksud pasal 51 UUPA belum ada. Sementara itu peraturan peraturan hipotik dan credit verband sudah diubah sepanjang mengenai pembuatan akta dan pendaftarannya, yaitu dengan berlakunya Peraturan Pemeintahan No. 10 tahun 1961, tentang Pendaftaran Tanah ( L.N. 1961 28 )

Pasal 58 UUPA, merupakan pasal peralihan yang bersifat umum. Yang dinyatakan tetap berlaku yaitu peraturan peralihan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, mengenai bumi, air dan kekayaan alam terkandung di dalmnya dan peraturan mengenai hak hak atas tanah, yang ada pada mulai berlakunya UUPA. Syarat syarat yang harus dipenuhi bagi terus berlakunya peraturan peraturan tersebut, antara lain adalah :

I : UUPA menghendaki sesuatu soal diatur didalam peraturan pelaksanaan selama pelaksanaan itu belum ada., maka yang berlakua adalah peraturan yang lama ;

II : Jika syarat yang pertama telah dirpenuhi masih perlu diuji apakah isinya tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan ketentuan UUPA.

III : Jika kedua syarat tersebut dipenuhu, maka apabila perlu peraturan yang lama itu harus diberi tafsiran sesuai dengan jiwa ketentuan ketentuan UUPA. Apa ketentuan dan jiwa UUPA, yang dipakai sebagai ukuran bagi, masih berlaku atau tidak berlakunya peraturan peraturan yang lama itu. Ketentuan dan jiwa UUPA yang dipakai sebagai ukuran, antara lain adalah :

1. Bahwa UUPA tidak menghendaki berlangsungnya dualisme dalam hukum Agraria ( Buku II B.W dicabut, pasal pasal yang mengenai Agraria, kecuali hipotik diadakan unipikasi hukum, yang berdasarkan hukum Adat Vide pasal. 5 UUPA ) ;

2. UUPA tidak mengadakan perbedaan antara warga negara Indonesia asli dan keturunan asing ( pasal 9 ayat 2 ) ;

3. UUPA tidak mengenal dengan soal soal Agraria ( pasal 9 ayat 2 ) ;

4. UUPA tidak menghendaki adanya penghisapan atas manuasia oleh manusia ( pasal 10, 11, 12, 15, 41, dan 42 ).

Contoh penerapan pasal 58 UUPA, lebih dahulu perlu dipastikan bahwa yang akan ditinjau itu benar suatu peraturan Hukum Agraria. Apakan onteigenings ordonantie 1920 ( S. 1920 574 ), masih berlaku ?Ordonasi ini mengatur cara cara pencabutan hak dan tidak terbatas pada bidang Agraria saja. Dalam pasal 16 UUPA ditetapkan, bahwa harus dibuat suatu Undang Undang yang mengatur cara cara pencabutan hak hak atas tanah.

Pada saat mulai berlakunya UUPA, Undang Undang mengenai tata cara pencabutan hak hak atas tanah belum ada. Dengan dipenuhi syarat pertama, sedangkan isinya juga tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA, maka onteigenings ordonantie 1920 ( S. 1920 574 ), masih tetap berlaku. Tetapi segera setelah Undang Undang yang dimaksud pasal 18 UUPA itu terbentuk dan mulai berlaku yaitu UU. No. 20 Tahun 1961, tentang pencabutan hak hak atas tanah dan benda benda lain yang ada di atasnya, maka ordonasi yang lain itu tidak berlaku lagi. Contoh lain yang dari peraturan lama masih berlaku ialah Peraturan Pemerintahan No. 8 Tahun 1953, tentang penguasaaan tanah tanah negara. UUPA menentukan di dalam pasal 2 ayat 4 bahwa soal penguasaan tanah tanah negara, sebagai pelaksanaan hak menguasai dari negara, harus diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pada tanggal 24 September 1960, peraturan yang dimaksud jelas belum ada. Oleh karena itu maka untuk sementara PP No. 8 Thn 1953 inipun memenuhi syarat kedua dari pasal 58.

B. Peraturan peraturan yang dicabut secara tidak tegas.

Peraturan peraturan yang meskipun tidak dicabut secara tegas oleh UUPA, tetapi dengan berlakunya UUPA sudah tidak berlaku lagi. Peraturan peraturan tersebut antara lain yang terkenal, misalnya :

( Larangan pengasingan tanah S. 1875 179.

S. 1875 179 ini melarang pemindahan hak milik orang orang Indonesia kepada orang asing. Kini dengan ketentuan dalam UUPA, bahwa hanya wargan negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia, maka larangan tersebut tidak berlaku lagi, sebab larangan tersebut sudah tercakup dalam ketentuan ketentuan UUPA, misalnya :

Pasal 26 ayat 2:

bahwa setiap pemindahan yang dimaksud untuk atau tidak langsung memindahkan hak milik atas tanah kepada orang asing, kepada warganegara Indonesia yang mempunyai dwi kewarganegaraan atau kepada badan hukum yang tidak ditetapkan oleh pemerintah adalah batal karena hukum .Larangan dalam ketentaun pasal 26 ayat 2 ini dapat dipandang sebagai pengganti dari pada larangan pengasingan tanah menurut staat blaad 1875 No. 179. ( Isi dari pada Undang Undang Pokok Agraria

Selain konsiderans dan ketentuan pencabutan atas beberapa peraturan Agraria lama, maka UUPA isinya dibagi menjadi 5 bagian, yaitu sebagai berikut :

Bagian PERTAMA : Bab I : Dasar dasar dan ktentuan ketentuan pokok,

Bab II : Hak hak atas tanah, air, dan ruang angkasa serta pendaftaran tanah ;

Bab III : Ketentuan ketentuan Pidana ;

Baba IV : Ketentuan ketentuan Peralihan.

Bagian KEDUA : Ketentuan ketentuan konversi ;

Bagian KETIGA : Perubahan susunan Pemerintahan Desa ;

Bagian KEEMPAT :Hak hak dan wewenang atas bumi dan air dari Swapraja atau bekas Swapraja ;Bagian KELIMA :Nama dari pada Undang Undang ini dan ketetuan ketentuan mulai berlakunya UUPA.

( Hubungan antara Bangsa dengan bumi, air ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Di dalam pasal 2 UUPA ditentuakan hak daripada Negara sebagai organisasi seluruh rakyat yaitu hak menguasai atas bumi, air, ruang angkasa serata kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Dasar hukumnya disamping pasal 1 UUPA, juga berdasarkan pada pasal 33 UUD 1945.

Perkataan hak menguasai ini bukan berarti memiliki, tetapi interprestasi secara outentieknya menjelaskan hak yang memberi wewenag kepada negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia untuk pada tingkatan yang tertinggi :a). Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, pengunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya ;

b). Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang orang dengan bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya ;

c). Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang orang dengan perbuatan perbuatan hukum mengenai bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Hak menguasai dari negara itu meliputi semua tanah baik yang sudah dihaki oleh orang lain, maupun yang tidak. Hak menguasai dari negara atas tanah yang sudah dihaki oleh seseorang dengan suatu hak, misalnya hak milik dibatasi oleh isi daripada hak itu sendiri misalnya hak milik dibatasi oleh isi daripada hak itu sendiri, artinya sampai seberapa jauh negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai hak itu untuk menggunakan haknya.Demikianlah antara lain memory penjelasan UUPA, sedangkan kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh.

Berdasarkan hak menguasai dari pada negara ini, maka negara dapat memberikan tanah tanah yang belum ada haknya kepada seseorang atau bangunan, dan sebagainya atau negara dapat memberikan dengan hak pengelolahan kepada suatu Departemen atau Pemerintah Daerah untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing masing. Disaping itu kekuasaan negara atas tanah sedikit banyaknya dibatasi oleh hak ulayat dari kesatuan kesatuan msyarakat kesatuan Hukum Adat sepanjang kenyataannya hak ulayat itu masih ada.UUPA mengakui adanya hak ulayat itu, oleh karena itu hak ulayat ini akan diperhatikan sepanjang kenyataannya masih ada, misalnya :

Dalam pemberian hak Guna Usaha, maka masyarakat hukum setempat sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberi Recognitie yang memang ia berhak menerimanya selaku pemegang Hak Ulayat tersebut.Pelaksanaan daripada hak menguasai dari negara itu dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Pemerinatah Daerah atau masyarakat hukum setempat. Tetapi pelimpahan ini hanya terbatas pada wewenag untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, ruang angkasa. Wewenang untuk mengatur misalnya, perencanaan kota, peraturan mengenai pembuatan bangunan bangunan dan lain lain. Wewenang untuk mengatur misalnya menyiapkan tanah tanah untuk pembangunan perumahan rakyat, industri dan sebagainya.

VI. HAK HAK ATAS TANAHDalam hukum graria yang berlaku sekarang ini orang orang dan badan badan hukum dapat mempunyai hak hak atas tanah, yaitu hak hak atas permukaan bumi. Hak hak atas tanah memberi wewenang kepada pemegang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan.

Pasal 4 UUPA, menentukan bahwa atas dasar hak menguasai dari negara, akan ditentukan adanya macam macam hak atas tanah yang dapat diberikan kepada dan dapat dipunyai oleh orang orang serta badan badan hukum. Badan badan hukum disebut tersendiri karena ada hak atas tanah yang pada asasnya tidak dapat dipunyai oleh badan badan hukum yaitu hak milik ( perhatikan pasal 21 ayat 2 ), baik orang orang dapat mempunyai hak hak itu secara sendiri sediri maupun bersama sama dengan orang lain. Jelaslah bahwa hak hak perorangan atas tanah tetap diakui dalam hukum Agraria kita sekarang ini, meskipun dengan pembatasan pembatasan.

Penetapan hak hak atas tanah di dalam UUPA dicantumkan dalam pasal 16 ayat 1. Dari pasal tersebut maka kita ketahui bahwa, hak hak atas tanah menurut hukum Agraria kita sekarang adalah :

a). Hak milik ; b) Hak Guna Usaha ; c). Hak Guna Bangunan

d). Hak Pakai ;

e). Hak Sewa ;

f). Hak Membuat Tanah ;

g). Hak memungut Hasil Hutan.

Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 5 UUPA, bahwa hukum Agraria sekarang adalah hukum Adat, maka penetapan hak hak atas tanah seperti tercantum dalam pasal 16 ayat 1 tersebut didasarkan pula pada sistematik hukum Adat. Sedangkan Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan adalah hak hak baru, yang diadakan oleh UUPA, untuk memenuhi keperluan masyarakat modern dawasa ini.

Disamping hak hak atas tanah seperti tersebut di atas yang secara terperinci disebutkan dalam pasal 16 ayat 1, maka kita temui pula di dalam UUPA,Hak hak atas tanah yang bersifat sementara yaitu hak hak atas tanah sebagaimana di sebut dalam pasal 53, yaitu :

a). Hak Gadai Tanah

b). Hak Usaha Bagi Hasil ;

c). Hak Menumpang ;

d). Hak Sewa tanah pertanian.

Hak hak tersebut dalam pasal 53 ini nantinya diusahakan untuk dihapuskan, oleh karena itu hak hak tersebut disebut sebagai hak yang bersifat sementara.Disebut sebagai hak hak atas tanah yang bersifat sementara, maksudnya pada suatu ketika lembaga lembaga hukum akan dihapus ( ditiadakan ), karena dianggap tidak sesuai dengan asas asas dari pada hukum Agraria yang baru. Salah satu asas penting dari hukum Agraria yang baru, ialah bahwa dalam usaha usaha di bidang Agraria tidak boleh terjadi ( ada ) pemerasan, tidak terjadi, apa yang dikenal dengan sebutan exploitation de I home par I home.Secara berturut turut akan kita bicarakan mengenai hak hak atas tanah seperti yang tercantum di dalam pasal 16 ayat 1 UUPA, yaitu :

1. Hak Milik

A. Isi dan Sifatnya

Hak milik adalah( hak atas tanah yang bersifat turun temurun, terkuat dan terpenuhi yang dapat dipunyai seseorang atas tanah, dengan mengigat kepada fungsi sosialnya, demikina yang dirumuskan dalam pasal 20 ayat 1 UUPA.

Sifat sifat hak milik yang turun temurun atau dapat diwariskan, terkuat dan terpenuhi, dimaksudkan sebagai hak yang paling kuat dan paling penuh, sehingga tidak dapat diartikan sebagai hak yang mutlak tidak dapat diganggu gugat seperti rumusan hak eigendom di dalam KUH Perdata. Kata kata terkuat dan terpenuhi dimaksud untuk menunjukkan perbedaan hak milik dan hak hak lainnya, dimana hak milik ini adalah hak yang paling kuat dan paling penuh yang dapat dipunyai oleh seseorang. Selain daripada itu hak milik atas tanah harus berfungsi sosial sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 UUPA, bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsai social. Secara hukumnya hak milik atas tanah di atur dalam UUPA dalam pasal pasal 20 sampai dengan pasal 27.Namun demikian yang berkaitan dengan hak hak lainnya, maka hak milik disebut pula dalam pasal pasal 35 dan 37 sehubungan Hak Guna Bangunan, pasal 41 dan pasal 43, yang berkaitan dengan Hak Pakai, pasal 44, yang berkaitan dengan Hak Sewa, pasal 46, berhubungan dengan Hak memungut hasil hutan, pasal 49, bersangkutan dengan badan badan keagamaan dan sosial, pasal 50, bersangkutan dengan pengaturannya lebih lanjut, pasal 51, bersangkutan dengan Hak tanggunagan dan pasal 56 sebagai pasal peralihan. Pengaturan Hak Milik dipunyai pula dalam pasal dari pada ketentuan ketentuan KONVERSI, yaitu pasal I, pasal II, dan pasal III dan pasal VII.

Sesuai dengan sifat dan nama dari UUPA, yaitu peraturan Dasar Pokok Agraria, maka apa yang diatur di dalamnya baru merupakan ketentuan ketentuan pokok saja. Menurut pasal 50 ayat 1 UUPA, ketentuan ketentuan lebih lajut mengenai hak milik akan diatur dengan Undang Undang. Dalam pada itu beberapa soal tertentu dapat diatur ddengan peraturan pemerintah ( perhatikan pasal 21, 22, 24, dan 26. ).

Selama Undang Undang dan Peraturan Pemerintahan yang dimaksud pasal 50 ayat 1, belum terbentuk maka berdasarkan ketentuan pasal 56, berlakulah untuk sementara : ketentuan ketentuan hukum Adat setempat dan peraturan peraturan lainnya mengenai hak atas tanah yang memberi wewenag sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud pasal 20 UUPA, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA itu sendiri.

B. Sifat dan Ciri Ciri Hak MilikSifat dan cirri ciri hak milik dapat kita sebutkan antara lain :1. Hak milik adalah hak atas tanah yang kuat, menurut pasal 20, bukan hak yang terkuat ;2. Hak milik adalah hak yang turun temurun dan dapat beralih, artinya dapat diwariskan kepada ahli waris pemegang hak ( pasal 20 ) ;

3. Hak milik dapat menjadi induk dari pada hak atas tanah lain, artinya dapat di bebani dengan hak hak atas tanah lain, yaitu hak guna Bangunan ( pasal 37 ), Hak Pakai ( pasal 41 ), hak sewa ( pasal 44 ), hak gadai ( menurut hukum adapt Jo pasal 7 UUPA No. 56 PrP. 1960 ), hak usaha bagi hasil (Hukum Adat jo.UU. no.2 tahun 1960) dan hak untuk menumpang (Hukum Adat). Sebaliknya hak milik tidak dapat berinduk pada hak-hak tersebut.

4. Hak milik dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan (hipotik atau kredit verband) (pasal 25).

5. Hak milik dapat dialihkan kepada pihak lain, yaitu dijual, ditukarkan dengan benda lain, dihibahkan dan diberikan dengan wasiat (dilegaatkan) (pas. 20 jo pas.26).

6. Hak milik dapat dilepaskan oleh pemegang haknya, sehingga tanahnya menjadi tanah negara (pasal 27).

7. Hak milik dapat diwakafkan (tanahnya dijadikan tanah wakaf) (pasal 49 ayat 3 jo P.P.no.28 tahun 1977) sekarang dalam bentuk UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf.Karena hak milik merupakan hak yang kuat berarti bahwa hak milik itu tidak mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain. Oleh sebab itu hak milik tersebut salah satu hak atas tanah yang wajib didaftarkan (pasal 23 jo pasal 10 P.P. no.10 tahun 1961) sekarang PP No. 24 tahun 1997.

Hak milik mempunyai sifat turun-temurun dan dapat dialihkan, artinya dapat diwariskan oleh ahli waris dari sipemegang hak milik. Ini berarti pula bahwa hak milik tidak ditentukan jangka waktunya, seperti halnya hak guna bangunan, hak guna usaha. Hak milik tidak hanya berlangsung selama pemegang (yang punya) masih hidup, tetapi pemilikan tanahnya akan dilanjutkan oleh ahli warisnya setelah ia meninggal dunia.

C. Subjek Dari Pada Hak Milik.

Siapa-siapa yang dapat mempunyai hak milik atas tanah ? Pada asasnya hak milik hanya dapat dimiliki oleh seorang-seorang, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain.

Pasal 21 UUPA menentukan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah ialah :

Warga Negara Indonesia.

Badan-badan hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Menurut Hukum Agraria yang lama, setiap orang boleh mempunyai tanah dengan hak eigendom, baik ia warga negara maupun orang asing, baik bukan Indonesia asli maupun orang Indonesia asli. Badan-badan boleh mempunyai hak eigendom, baik badan-badan hukum Indonesia, maupun badan-badan hukum asing.

Sesuai dengan asas kebangsaan (pasal 9 ayat 1) maka hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia. Sedangkan badan-badan hukum hanyalah badan-badan hukum yang ditunjuk dan ditetapkan oleh Pemerintah yang dapat mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia.

Mengapa badan-badan hukum pada asasnya tidak diperbolehkan mempunyai hak milik atas tanah dan hanya badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, sebabnya adalah :

1. Untuk menghindari adanya penyelundupan-penyelundupan terhadap ketentuan batas maksimum pemilikan atas tanah.

Pasal 7 dan pasal 17 UUPA menentukan bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan atas tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.

Penetapan batas maksimum pemilikan atas tanah ini ditetapkan dengan UU.no.56 Prp.tahun 1960.

2. Badan-badan hukum tidak perlu mempunyai hak milik atas tanah, tetapi cukup dengan hak-hak lainnya, asal ada jaminan yang cukup bagi keperluannya.

Undang-Undang Pokok Agraria dalam pasal 49 menentukan bahwa badan-badan hukum yang bergerak dibidang keagamaan dan sosial dapat mempunyai hak milik atas tanah, sepanjang tanah-tanah tersebut dipergunakan langsung untuk usahanya dibidang sosial dan keagamaan, misalnya untuk bangunan-bangunan.

Peraturan Menteri Agraria no,2 tahun 1960 jo Peraturan Menteri Agraria no.5 tahun 1960, telah menetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah antara lain :

( Maskapai Andil Indonesia ;( Bank-bank yang didirikan oleh Negara Indonesia (Bank-Bank Negara) ;( Badan urusan produksi bahan makanan dan pembukaan tanah.

Kemudian dengan Peraturan Pemerintah no.38 tahun 1963 oleh Pemerintah ditetapkan pula badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah yaitu :

1 Bank-bank yang didirikan oleh Negara ;2 Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Perkoperasian ;3 Badan-badan Hukum yang ditunjuk oleh Menteri Agraria (sekarang Menteri Dalam Negeri) setelah mendengar Menteri Agama ;4 Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Agraria (sekarang Menteri Dalam Negeri) setelah mendengar Menteri Sosial.D. Dapatkah Orang Asing Mempunyai Hak Milik Atas Tanah Di Indonesia.

Sesuai dengan ketentuan pasal 21 ayat 1 dan 2, bahwa hanya warga negara Indonesia dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, maka orang-orang asing tidak dapat mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia. Bagi orang-orang yang sesudah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat, karena pencampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik atas tanah dan sesudah berlakunya UUPA, kehilangan kewarganegaraannya, maka ia wajib melepaskan hak milik atas tanahnya didalam jangka waktu satu tahun, sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu satu tahun tersebut lampau, hak milik atas tanah itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebani tetap berlangsung (pasal 21 ayat 3 UUPA). Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa didalam hak-hak tertentu orang-orang asing secara sah dapat memperoleh hak milik atas tanah, hanya saja orang-orang asing itu tidak boleh memegang hak milik atas tanahnya untuk lebih dari satu tahun. Jadi paling lama satu tahun ia wajib mengalihkan hak miliknya atas tanah itu kepada warga negara Indonesia. Adapun cara yang sah yang dimaksudkan pasal 21 ayat 3 ialah :

( Pewarisan tanpa wasiat.

( Percampuran harta karena perkawinan.

E. Terjadinya Hak Milik.

Menurut pasal 22 UUPA, hak milik atas tanah terjadi karena :

1. Menurut Hukum Adat.

2. Karena penetapan Pemerintah.

3. Karena Undang-Undang.

Dengan terjadinya hak milik itu, maka timbullah hubungan hukum antara sesuatu subjek dengan bidang tanah tertentu; dimana tanah tersebut sebelum itu berstatus tanah Negara atau tanah lain (tanah hak guna bangunan, tanah hak guna usaha dsb.). Dengan terjadinya hak milik itu tanah yang bersangkutan berstatus tanah hak milik. Cara memperoleh hak milik demikian disebut, originair. Hak milik bisa juga diperoleh secara derivatif. Menurut cara derivatif, suatu objek memperoleh tanah dari subjek memperoleh tanah dari subjek lain yang semula sudah berstatus tanah hak milik, misalnya karena jual beli, tukar menukar, hibah, pemberian dengan wasiat atau warisan. Dengan terjadinya peristiwa-peristiwa hukum itu, maka hak milik yang sudah ada beralih dari subjek yang satu kepada yang lain. Yang akan kita bicarakan disini adalah cara memperoleh hak milik secara originair.

1. Terjadinya Hak Milik menurut Hukum Adat.

Menurut pasal 22 UUPA, terjadinya hak milik menurut Hukum Adat akan diatur dengan Peraturan Pemerintah, agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan kepentingan umum dan negara. Terjadinya hak atas tanah menurut Hukum Adat lazimnya bersumber pada pembukaan hutan yang merupakan bagian tanah ulayat suatu masyarakat hukum adat. Pembukaan hutan secara tidak teratur bisa membawa akibat yang merugikan kepentingan umum dan negara, yang berupa kerusakan tanah, erosi, tanah longsor, banjir dan sebagainya.

3. Terjadinya Hak Milik karena penetapan Pemerintah.

Terjadinya Hak Milik ini karena ditetapkan oleh Pemerintah melalui instansi yang berwenang menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (pasal 22 ayat 2). Tanah yang diberikan dengan Hak Milik ini semula berstatus tanah Negara. Hak milik inipun dapat diberikan sebagai perubahan dari pada hak yang sudah dipunyai oleh pemohon, misalnya hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai. Hak milik inipun merupakan pemberian hak baru. Dalam kedua hal itu hak miliknya diperoleh secara originair.

Mengenai tata cara permohonan dan pemberian hak atas tanah telah diatur tata caranya dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri no.5 tahun 1973 dan kewenangan pemberian hak atas tanah telah pula diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri no.6 tahun 1972.

Pemberian hak milik atas Negara, terjadi karena adanya permohonan yang bersangkutan. Pemohon harus memenuhi persyaratan untuk memperoleh tanah dengan hak milik, seperti yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri no.5 tahun 1973.

4. Terjadinya Hak Milik karena Undang-Undang.Hak milik dapat juga terjadi karena ketentuan undang-undang, artinya undang-undanglah yang menentukan/menciptakannya. Sebagai contoh dapat dikemukakan terjadinya hak milik karena berlakunya pasal I, pasal II, dan pasal VII ayat 1 dari ketentuan-ketentuan konversi UUPA.

Menurut pasal-pasal tersebut, maka jika syarat-syaratnya dipenuhi hak eigendom atas tanah, hak agrarisch eigendom, hak milik (adat), hak yasan, hak andarbeni, hak atas druwo, hak pesini, hak grant sultan, landerijen bezitsrecht, hak altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir dan hak-hak lainnya yang sifatnya sama dengan hak milik dan akan ditegaskan oleh Menteri Agraria, sejak tanggal 24 september 1960 karena hukum (Van Rechtswege) menjadi hak milik. Demikian juga dikonversi menjadi hak milik karena hukum pada tanggal 24 september 1960, apa yang disebut hak gogolan, pekulen atau sanggun yang bersifat tetap, yaitu hak gogolan yang para gogolnya terus-menerus menggarap tanah yang sama dan jika meninggal dunia hak gogolnya itu tidak kembali kepada desa untuk diberikan kepad magang gogol, tetapi diwaris oleh ahli waris yang tertentu. (lihat pasal 20 ayat 2 Peraturan Menteri Agraria no.2 tahun 1960).

F. Hapusnya Hak Milik.

Undang-Undang Pokok Agraria pada pasal 27, menetapkan hapusnya hak milik atas tanah karena :

a. Tanahnya jatuh kepada Negara.

Karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18. Karena tanahnya diserahkan secara sukarela oleh pemiliknya. Karena ditelantarkan. Karena ketentuan-ketentuan pasal 21 ayat 3 dan pasal 26 ayat 2.b. Tanahnya musnah.Bahwa hak milik sebagai hubungan hukum yang konkrit antara suatu subjek dengan sebidang tanah tertentu, menjadi hapus karena tanahnya musnah adalah sudah wajar karena objeknya tidak ada lagi. Kemusnahan tanah itu misalnya disebabkan karena tanahnya longsor, atau berubahnya aliran sungai. Kalau yang hanya sebagian, maka hak milik tetap berlangsung atas sisa tanahnya.

Sebab-sebab jatuhnya hak milik kepada Negara seperti disebutkan dalam pasal 27 UUPA, bukanlah bersifat limitatif, karena kita mengetahui masih ada sebab-sebab lain. Hak milik juga dapat hapus dan tanahnya jatuh kepada Negara, disebabkan pelanggaran terhadap sesuatu ketentuan undang-undang, misalnya pelanggaran terhadap ketentuan landreform, mengenai pembatasan maksimum serta larangan pemilikan tanah secara absentee. (perhatikan ketentuan-ketentuan UU. no.56 prp.tahun 1960 jo P.P no.224 tahun 1961).

Hapusnya hak milik atas tanah karena ketentuan pasal 21 ayat 3, seperti sudah dijelaskan dimuka bahwa yang dapat mempunyai hak milik hanyalah warga negara Indonesia dan badan-badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah dan memenuhi syarat-syaratnya.Hapusnya hak milik karena ketentuan pasal 26 ayat 2, pihak yang menerima tanah hak milik dalam jual beli, tukar-menukar, hibah, hibah wasiat dengan sendirinya harus memenuhi syarat sebagai subjek hak milik. Apakah akibatnya kalau jika pihak yang menerima tidak memenuhi syarat tersebut diatur dalam pasal 26 ayat 2. Setiap jual beli, penukaran (tukar-menukar), penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termasuk pasal 21 ayat 2 UUPA, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta pembayaran yang telah diterima pemilik tidak dapat dituntut kembali (Vide pas.26 ayat 2 UUPA).

Berbeda apa yang ditetapkan dalam pasal 21 ayat 3, maka cara-cara beralihnya hak milik pada pasal 26 ayat 2 adalah perbuatan-perbuatan hukum yang merupakan suatu tindakan positif, yang dengan sengaja ditujukan kepada peralihan hak, dimana pihak-pihak yang bersangkutan dianggap sudah mengetahui, bahwa hak milik itu hanya boleh dipunyai oleh pihak-pihak yang memenuhi syarat-syarat tertentu saja, maka menurut pasal 26 ayat 2 akibat-akibatnya pun ditentukan berbeda dengan peristiwa-peristiwa hukum yang diatur dalam pasal 21 ayat 3.

Pencabutan hak milik oleh Pemerintah, yang didasarkan pasal 18 UUPA. Menurut pasal 18 UUPA bahwa untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang. Ketentuan pasal 18, pada satu pihak memberikan landasan hukum kepada penguasa untuk dapat memperoleh tanah yang diperlukan guna penyelenggaraan kepentingan umum, sedang pada pihak lain merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-haknya atas tanah terhadap tindakan sewenang-wenang. Pencabutan hak untuk kepentingan umum dimungkinkan, tetapi dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat mana selain ditetapkan dalam suatu undang-undang yang mengatur cara-cara melakukan pencabutan hak itu. Dengan demikian maka pelaksanaan pasal 18 pada hakekatnya merupakan pelaksanaan asas dalam pasal 6 UUPA.

Pencabutan hak seperti yang dimaksudkan pasal 18 UUPA adalah pengambilantanah kepunyaan sesuatu pihak oleh negara secara paksa, yang mengakibatkan hak atas tanah hapus, tanpa pemegang hak melakukan pelanggaran atau lalai dalam memenuhi suatu kewajiban hukum. Undang-undang yang memuat ketentuan umum mengenai syarat-syarat dan tata cara melakukan pencabutan hak pada waktu sebelum berlakunya UUPA adalah yang disebut Onteigenings Ordonnanantie yang dimuat dalam S.1920 no.574 dan dirubah dengan S.1947 no.96. Pencabutan hak menurut ordonantie ini harus dilalui jalan yang panjang dan memerlukan waktu yang lama, karena harus diikutsertakan tiga instansi yaitu : dari badan legislatif, eksekutif dan pengadilan. Setelah tanggal 24 september 1960, onteigenings ordonantie ini masih berlaku, yaitu sampai lahirnya undang-undang sebagai pelaksanaan pasal 18 UUPA. Undang-undang yang dimaksud pasal 18 UUPA adalah undang-undang no.20 tahun 1961, yaitu tentang pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya (L.N.1961 no.288). Undang-undang no.20 tahun 1961 ini mulai berlaku tanggal 26 september 1961. Menurut Undang-Undang no.20 tahun 1961 ini, maka pencabutan hak-hak atas tanah hanya dapat dilakukan untuk kepentingan umum, termasuk untuk kepentingan bangsa, negara dan kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula untuk kepentingan pembangunan sebagai cara terakhir untuk memperoleh tanah yang diperlukan, yaitu jika musyawarah dengan pemilik tanah tidak membawa hasil yang diharapkan. Sebagai peraturan pelaksanaan dari undang-undang no.20 tahun 1961 ini telah dikeluarkan Instruksi Presiden no.9 tahun 1973 dan Peraturan Pemerintah no.39 tahun 1973.

Undang-Undang no.20 tahun 1961, untuk melakukan pencabutan hak atas tanah ada 2 cara yaitu : cara biasa dan cara khusus, yaitu dalam keadaan yang sangat mendesak, yang memerlukan penguasaan tanah dan atau benda-benda yang ada diatasnya dengan segera.

a) Cara Biasa

Pada cara ini, maka yang berkepentingan, yaitu pihak yang memerlukan tanah, harus mengajukan permohonan kepada Presiden, dengan perantaraan Menteri Dalam Negeri, melalui Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan. Oleh Gubernur Kepala Daerah, kemudian diusahakan untuk diadakan penafsiran atas lokasi (tanah) yang haknya akan dicabut, mengenai ganti kerugian yang dilakukan oleh suatu panitia yaitu panitia Penafsir. Pertimbangan dari Kepala Daerah sangat diperlukan dalam hal ini. Ganti kerugian tidak selaku berupa uang, tetapi dapat juga rumah atau tanah ataupun fasilitas lainnya. Ganti rugi diberikan tidak hanya pemilik tanah, tetapi juga orang-orang yang secara sah menempati rumah-rumah atau menggarap tanah yang bersangkutan. Keputusan Presiden tentang pencabutan hak atas tanah atau benda-benda yang ada diatasnya, diumumkan dalam Berita Negera R.I . dan turunanya disampaikan kepada pemilik yang dicabut haknya. Isi Surat Keputusan Presiden tersebut diumumkan melalui surat-surat kabar. Penggunaan tanah baru dilakukan setelah surat Keputusan Presiden tersebut diperoleh, pembayaran ganti kerugian kepada pemilik dan diselenggarakan penampungannya. Keputusan Presiden ini tidak dapat diganggu gugat dimuka pengadilan. Namun demikian mengenai besarnya ganti rugi dapat dimintakan bandng kepada Pengadilan Tinggi.

b) Cara Khusus

Pencabutan hak dengan cara khusus ini dilakukan apabila dalam keadaan yang sangat mendesak dimana diperlukannya penguasaan tanah dengan segera, misalnya dalam hal terjadinya wabah atau bencana alam, yang memerlukan tanah untuk tempat penampungan para korban dengan segera. Dalam hal ini setelah permohonan pencabutan hak diajukan, dan meskipun belum ada Keputusan Presiden, tanah yang diperlukan sudah dapat dikuasai dengan surat Keputusan Menteri Dalam Negeri. Apabila telah dilakukan penguasaan tanah, tetapi karena sesuatu alasan permintaan pencabutan hak ditolak oleh Presiden, maka tanah tersebut harus dikembalikan kepada yang berhak dalam keadaan seperti semula/memberi ganti kerugian yang layak/sepadan.

PERALIHAN HAK MILIK Seperti dikemukakan dimuka, bahwa hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada orang lain (pasal 20 ayat 2). Pengertian beralih menunjuk kepada berpindahnya hak milik kepada pihak lain karena pemiliknya meninggal dunia. Peralihan hak milik karena pewarisan itu terjadi karena hukum, artinya dengan meninggalnya si pemilik maka ahli warisnya memperoleh tanah hak miliknya itu, menurut hukum Barat sejak ia (pemilik) meninggal dunia (pasal 833 ayat 1 KUUH perdata), sedang menurut Hukum Adat sejak hutang-hutangnya diselenggarakan.

Pengertian dialihkan, menunjuk pada berpindahnya hak milik kepada pihak lain karena perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar pihak tersebut memperoleh hak itu. Adapun perbuatan hukum itu dapat berupa jual-beli, tukar-menukar, hibah atau pemberian dengan wasiat (lazim disebut hibah wasiat atau legaat), dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia diatur dalam pasal 957 dan seterusnya. Pada jual-beli, tukar-menukar dan hibah, hak milik yang bersangkutan beralih sewaktu pemiliknya masih hidup, sedang pada pemberian dengan wasiat, peralihan hak milik itu terjadi setelah ia (si pemilik) meninggal dunia. Dalam jual-beli, tukar-menukar dan hibah adalah perbuatan hukum, yang berupa penyerahan tanah-tanah hak milik kepada pihak lain untuk selama-lamanya. Pada jual-beli, pemiliknya menerima penggantian berupa uang, pada tukar-menukar penggantiannya berupa benda lain, sedang pada hibah pemilik tidak menerima apa-apa.

Peralihan hak milik didalam UUPA, selain disebut dalam pasal 20 disebut pula dalam pasal 21 ayat 3 yaitu pewarisan tanpa wasiat atau pewarisan abentestato. Pasal 23 UUPA, mengatur soal pendaftarannya yaitu bahwa adanya peralihan hak itu harus didaftarkan, sedang pasal 26, merupakan pengawasannya serta akibat-akibatnya, jika hak milik dialihkan kepada pihak lain yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagai subjek.

JUAL BELI TANAH HAK MILIKDidalam Undang-Undang Pokok Agraria kita tidak menemukan rumusan pengertian daripada jual-beli, baik didalam pasal-pasalnya, maupun didalam penjelasannya.

Rumusan jual-beli kita temukan didalam Hukum Barat, yaitu diatur didalam pasal 1457, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Pasal 1457 KUUH Perdata menyebutkan jual-beli adalah suatu persetujuan, dengan nama pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.

Pasal 1458 KUUH Perdata, jual-beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak pada saat mereka mencapai kata sepakat mengenai benda yang diperjualbelikan, serta harganya, meskipun benda tersebut belum diserahkan dan harganya belum dibayar. Dengan terjadinya jual-beli menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, benda yang bersangkutan belumlah beralih kepaa pembelinya meskipun harga sudah dibayar, tapi barang tersebut belum diserahkan, sedangkan kalau jual-beli itu mengenai tanahnya sudah diserahkan kedalam kekuasaan pembeli. Hak millik tersebut baru beralih kepada pemiliknya jika telah dilakukan apa yang dikenal dengan adanya penyerahan secara yuridis (yuridischelevering), yang wajib diselenggarakan denga pembuatan akta dimuka Kepala Kantor Pendaftaran Tanah selaku overschrijvings ambtenaar,

Menurut Hukum Adat, jual beli tanah bukan merupakan perjanjian, seperti dimaksud pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tetapi suatu perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah yang bersangkutan olah penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya, pada saat mana pihak pembeli menyerahkan harganya kepada penjual.

Dengan dilakukannya jual-beli tersebut maka hak milik atas tanah itu beralih kepada pembeli.

Jual-beli menurut hukum adat bersifat CONTANT atau TUNAI, artinya pembayaran harga dan penyerahan haknya dilakukan pada saat yang bersamaan. Pada saat itu jual-beli, menurut hukum telah selesai. Biasanya jual-beli itu dilakukan dihadapan Kepala Adat, dimana disamping Kepala Adat itu bertindak sebagai saksi, juga bertindak sebagai Kepala Adat, yang menanggung bahwa jual-beli tidak melanggar hukum yang berlaku. Dengan dilakukannya jual-beli dimuka Kepala Adat, maka jual-beli itu menjadi terang, bukan suatu perbuatan hukum yang gelap.

Dengan demikian maka pembeli mendapat dari masyarakat yang bersangkutan, sebagai pemilik yang baru dan akan mendapat perlindungan hukum, bila dikemudian hari ada gugatan dari pihak ketiga, yang menganggap jual-beli tersebut tidak sah (keputusan Mahkamah Agung tanggal 10 februari 1960).

Seperti dimuka sudah disebutkan bahwasanya UUPA, tidak mencantumkan rumusan apa yang dimaksud dengan jual-beli, seperti dimaksud oleh pasal 26.

Namun demikian mengingat bahwa Hukum Agraria kita memakai sistem dan asas-asas hukum adat, maka pengertian jual-beli tanah, haruslah diartikan sebagai perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak milik, yaitu penyerahan tanah untuk selama-lamanya oleh penjual kepada pembeli. Jual-beli yang mengakibatkan beralihnya hak milik atas tanah dari penjual kepada pembeli termasuk hukum agraria atau hukum tanah.

Sebelum diselenggarakannnya pendaftaran Tanah menurut Pereturan Pemerintah no.10 tahun 1961, acara jual-beli tanah masih diselenggarakan menurut ketentuan hukum atau peraturan yang lama.

Menurut pasal 19 Peraturan Pemerintah no.10 tahun 1960 jo.PP 24 tahun 1997 antara lain disebutkan : Setiap Perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah.dan seterusnya harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapkan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria (