hubungan hipertensi terhadap gangguan kognitif
TRANSCRIPT
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hipertensi merupakan masalah kesehatan global yang memerlukan
penanggulangan secara baik, karena hipertensi merupakan salah satu faktor resiko
penting yang dapat menyebabkan kerusakan organ target seperti otak, jantung,
ginjal dan pembuluh darah.1 Menurut WHO dan the International Society of
Hypertension (ISH), saat ini terdapat 600 juta penderita hipertensi di seluruh
dunia, dan 3 juta di antaranya meninggal setiap tahunnya. Tujuh dari setiap 10
penderita tersebut tidak mendapatkan pengobatan secara adekuat.2
Di Amerika Serikat, menurut Center for Diseases Control and Prevention
dan National Center for Health Statistic 23,1% dari penduduk Amerika Serikat
diperkirakan akan menderita hipertensi.3 Di Indonesia sampai saat ini belum
terdapat penyelidikan yang bersifat nasional, multisenter dan yang dapat
menggambarkan prevalensi hipertensi secara tepat. Pada umumnya prevalensi
penderita hipertensi berkisar antara 8,6 – 10 % dan 1,8 – 28,6 % penduduk yang
berusia diatas 20 tahun adalah penderita hipertensi.4
Hipertensi juga merupakan penyakit yang umum pada populasi lansia di
barat, dengan prevalensi 41% untuk pria dan 54% untuk wanita 75 tahun.
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah tunggal (TD) > 160 mm Hg
sistolik dan / atau > 95 mm Hg diastolik . Data epidemiologis dari Framingham
menebutkan bahwa tidak ada hubungan antara BP dan kinerja kognitif ketika
diukur secara bersamaan, namun, ketika data ini dianalisa kembali selama 20
tahun, hasilnya berbanding terbalik terkait dengan kognitif performance. Tiga
studi lebih lanjut telah menunjukkan hubungan antara hipertensi dengan
kerusakan kognitif. Hipotesis dari penelitian ini adalah bahwa kinerja kognitif
pada orang dewasa yang lebih tua tanpa penyakit serebrovaskular yang jelas akan
terganggu sejalan dengan meningkatnya TD.5
Beberapa penelitian menyatakan bahwa ada hubungan antara peningkatan
tekanan darah sistolik dengan penurunan fungsi kognitif. Mekanisme pasti
1
2
terjadinya gangguan fungsi kognitif pada penderita hipertensi belum jelas
diketahui. Apabila tekanan darah sistolik yang tinggi dan kronis akan
mengakibatkan gangguan fungsi kognitif yang dapat berlanjut menjadi demensia
vaskular dibandingkan dengan individu yang normotensi.6 Demensia merupakan
salah satu penyakit yang paling sering terjadi pada orang-orang dengan usia
lanjut.7 Demensia adalah suatu sindrom penurunan fungsi kognitif yang
bermanifestasi sebagai gangguan memori sehingga mengganggu pekerjaannya,
aktivitas sosial atau hubungan dengan orang lain disertai dua atau lebih gangguan
modalitas kognitif lainnya yaitu orientasi, atensi, berfikir abstrak, fungsi bahasa,
fungsi visuospasial, fungsi eksekutif dan praksis.8
Gangguan mikrovaskular otak diduga berperan pada kejadian vascular
cognitive impairment. Keadaan ini dapat diakibatkan oleh beberapa faktor
penyebab kelainan mikrovaskular seperti, hipertensi, diabetes mellitus, merokok
dan inflamasi.9 Hipertensi dapat mengakibatkan gangguan fungsi kognitif melalui
beberapa mekanisme, misalnya suatu infark multiple kecil dapat mengakibatkan
demensia, hal ini tergantung pada jumlah, lokasi dan simetrisitas dari lesi.5
Jenis demensia yang paling lazim ditemui berikutnya adalah demensia
vaskuler, yang secara kausatif dikaitkan dengan penyakit serebrovaskuler.
Hipertensi merupakan faktor predisposisi bagi seseorang untuk menderita
demensia. Demensia vaskuler meliputi 15 hingga 30 persen dari seluruh kasus
demensia. Demensia vaskuler paling sering ditemui pada seseorang yang berusia
antara 60 hingga 70 tahun dan lebih sering pada laki-laki daripada wanita. Sekitar
10 hingga 15 persen pasien menderita kedua jenis demensia tersebut.10
Demensia vaskular dapat juga terjadi sebagai akibat dari gangguan
sirkulasi darah di otak, misalnya pada stroke hemoragik, stroke infark karena
emboli atau trombosis yang akan menyebabkan kematian jaringan otak. Dari
berbagai jenis kasus demensia vaskular, jenis yang paling banyak ditemukan
adalah demensia multi infark. Selain itu penyakit Binswanger (demensia vascular
subkortikal) dan demensia karena penyakit sindroma lupus eritomatosus (SLE)
merupakan kasus demensia vaskular yang jarang ditemukan.11
2
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hipertensi
Hipertensi merupakan keadaan yang umum terjadi, di Indonesia 1,8%
- 28,6% penduduk berusia diatas 20 tahun menderita hipertensi,1,19 sedangkan di
Amerika angka kejadian pada populasi dewasa adalah 29 %. Hipertensi
merupakan salah satu faktor resiko untuk terjadinya infark miokard, gagal
jantung, stroke, demensia, penyakit ginjal.
2.1.1 Pembagian Hipertensi
Tahun 2003 National High Blood Pressure Education Program
(NHBPEP) mengeluarkan Joint National Committee 7 (JNC 7) Joint National
Committee 7 membagi tekananan darah menjadi :
• Normal, bila tekanan darah sistolik < 120 mmHg dan tekanan
darah diastolik < 80 mmHg.
• Prehipertensi, bila tekanan darah sistolik 120 mmHg - l39 mmHg
atau tekanan diastolik 80 - 89 mmHg.
• Hipertensi derajat 1 bila tekanan darah sistolik 140 - 159 mmHg
atau tekanan darah diastolik 90 - 99 mmHg .
• Hipertensi derajat 2 bila tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau
tekanan darah diastolik ≥ 100 mmHg.19
Berdasarkan etiologi dari hipertensi, hipertensi dapat dibagi menjadi dua
golongan yaitu hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau
idiopatik dan hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang disebabkan oleh
penyakit lain. Hipertensi primer meliputi lebih kurang 90% dari seluruh
pasien hipertensi dan 10 % lainnya disebabkan oleh hipertensi sekunder.
Hanya 50% dari golongan hipertensi sekunder yang dapat diketahui
sebabnya.4,22
2.1.2 Kelainan vaskular akibat hipertensi
Telah diketahui hipertensi dapat menyebabkan komplikasi berupa
3
4
kerusakan pada pembuluh darah otak, pembuluh darah jantung, retina dan ginjal.
Dengan demikian erat sekali kaitan antara kenaikan tekanan darah dengan
kerusakan pembuluh darah.12 Pembuluh darah dilapisi oleh selapis sel yang
disebut endotel. Endotel yang berfungsi baik dapat menyebabkan vasokonstriksi
dan vasodilatasi yang seimbang. Endotel juga berperan dalam proses reduksi
oksidasi, dan respon inflamasi terhadap kerusakan vaskular. Hipertensi akan
menyebabkan tekanan pada dinding pembuluh darah sehingga terjadi
aktivitas atau kerusakan endotelium yang akan mengakibatkan terjadinya
disfungsi endotel. Faktor resiko lain yang dapat menyebabkan terjadinya
disfungsi endotel adalah, diabetes melitus, hiperlipidemia, proses menua
dan merokok.12,13 Endotel terletak diantara lumen dengan sel otot polos
pembuluh darah. Sel endotel ini akan mensintesis atau melepas sejumlah
molekul vasoaktif dan tromboregulatorik, serta factor pertumbuhan. Substansi-
substansi yang dilepaskan oleh sel endotel meliputi, nitric oxide (NO),
prostasiklin, endotelin, factor pertumbuhan sel endotel, interleukin, penghambat
plasminogen dan factor von Willebrand.14
Pada pembuluh darah sedang, trombosit dan monosit akan mengalir
dengan bebas dan oksidasi dari low density lipoprotein (LDL) akan
dicegah dengan produksi NO yang cukup.16 Apabila terjadi kerusakan endotel
seperti pada hipertensi yang disertai dengan peningkatan LDL, maka LDL
yang teroksidasi akan melekat pada endotel, kemudian LDL ini akan diikat oleh
molekul adhesi (vascular cell adhesion molecule/VCAM) dan selanjutnya akan
menarik monosit sehingga akan terjadi peningkataan produksi chemokines yang
akan menumpuk di dalam tunika intima. Monosit akan menjadi matang dan
akan menjadi makrofag yang aktif, yang bersama dengan sel T akan
mengeluarkan mediator inflamasi (sitokin). LDL yang sudah berubah tadi
akan dimasukan kedalam makrofag, sehingga terbentuklah sel busa (foam cell).
Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya atherosclerotic plaque. Plak ini
akan membesar dan ditutup oleh lapisan penutup (fibrous cap). Pada
keadaaan tertentu fibrous cap ini dapat pecah dan menyebabkan terbentuknya
thrombus.14
4
5
2.2 Kognitif
Pengertian mengenai kognitif menurut Benson FD , Cognition is the
process by which information (internal and external) is manipulated in the brain.
Pendapat lain menurut Kaplan dan Sadock (1975), Cognition is mental process
of knowing and becoming aware. Pengertian yang lebih lebih sesuai dengan
behavior neurology dan neuropsikologi : kognitif adalah suatu proses dimana
semua masukan sensoris (taktil, visual dan auditorik) akan diubah, diolah,
disimpan dan selanjutnya digunakan untuk hubungan interneuron secara sempurna
sehingga individu mampu melakukan penalaran terhadap masukan sensoris
tersebut.
Fungsi kognitif mempunyai empat item utama yang dapat
dianalogkan dengan kerja dari komputer, yaitu:
1. Fungsi reseptif, yang melibatkan kemampuan untuk
menyeleksi, memproses, mengklasifikasikan dan
mengintegrasikan informasi.
2. Fungsi memori dan belajar, yang maksudnya adalah
mengumpulkan informasi dan memanggil kembali.
3. Fungsi berpikir adalah mengenai organisasi dan reorganisasi
informasi.
4. Fungsi ekspresif, yaitu informasi-informasi yang didapat
dikomunikasikan dan dilakukan.15
2.3 Insidensi
Sebuah studi dari 2.505 pria berusia antara 71-93 tahun menemukan
bahwa pria dengan tekanan sistolik 140 mm Hg atau lebih tinggi 77% lebih
mungkin mengembangkan demensia dibandingkan pria dengan tekanan sistolik di
bawah 120 mm Hg. Dan sebuah studi yang mengevaluasi tekanan darah dan
fungsi kognitif pada orang antara 18-46 tahun dan antara 47-83 tahun menemukan
bahwa dalam kedua kelompok usia sistolik tinggi dan tekanan diastolik terkait
dengan penurunan kognitif dari waktu ke waktu.22
2.4 Etiopatologi
5
6
Mekanisme pasti terjadinya gangguan kognitif pada hipertensi belum
sepenuhnya dipahami. Suatu hipertensi menyebabkan percepatan terjadinya
arterosklerosis pada jaringan otak yang berimplikasi pada gangguan kognitif, yang
mana pada penelitian sebelumnya ditunjukan adanya hubungan bermakna antara
derajat retinopati hipertensi sebagai akibat hipertensi lama yang mana selain
proses terjadinya vasokontriksi pada pembuluh darah retina sendiri juga peristiwa
arterosklerosis.20
Kapiler dan arteriola jaringan otak akan mengalami penebalan dinding
oleh karena terjadi deposisi hyalin dan proliferasi tunika intima yang akan
menyebabkan penyempitan diameter lumen dan peningkatan resistensi pembuluh
darah. Hal tersebut memicu terjadinya gangguan perfusi serebral, memungkinkan
terjadinya iskemia berkelanjutan pada gangguan aliran pembuluh darah yang kecil
hingga timbul suatu infark lakuner. Hipertensi kronik dapat menyebabkan
gangguan fungsi sawar otak yang menyebabkan peningkatan permeabilitas sawar
otak. Hal iniakan menyebabkan jaringan otak khususnya substansi alba menjadi
lebih mudah mengalami kerusakan akibat adanya stimulus dari luar. Hipertensi tak
terkontrol yang menetap berhubungan dengan kerusakan WMH (White Matter
Hyperintensities) yang lebih besar. Tingkat tekanan darah tampaknya juga
berperan, dengan nilai tekanan darah yang lebih tinggi berhubungan dengan
derajat WMH yang lebih tinggi.20,24
WMH dan silent infarct dianggap sebagai penanda iskemi serebral kronik
yang disebabkan oleh kerusakan pembuluh darah serebral kecil. Peningkatan
tekanan darah sistolik mepengaruhi fungsi kognitif terutama pada usia lanjut,
dimana terjadinya gangguan mikrosirkulasi dan disfungsi endotel juga berperan
pada gangguan fungsi kognitif pada hipertensi. Penatalaksanaan efektif hipertensi
dapat mempertahankan fungsi kognitif, beberapa penelitian menunjukkan bahwa
tingkat tekanan darah tertentu, terutama tekanan darah sistolik sebesar setidaknya
130 mmHg penting dalam mempertahankan fungsi kognitif pada lansia.
Retinopati merupakan indikator kontrol tekanan darah yang buruk pada pasien
hipertensif, risiko demensia telah mengalami peningkatan pada kelompok dengan
retinopati. Sehingga penatalaksanaan hipertensi yang adekuat dapat sekaligus
mengurangi risiko berulangnya stroke iskemik sebagai pemicu timbulnya
6
7
gangguan kognitif, juga mengurangi komplikasi vaskular dan aterosklerosis yang
ikut mempengaruhi penurunan fungsi kognitif pada orang dengan lanjut usia.20
Sumber lain menyebutkan bahwa pada orang dewasa, efek hipertensi pada
otak diduga karena tekanan darah sistolik melebihi mekanisme autoregulatory
otak. Hal ini menyebabkan kerusakan pada pembuluh otak kecil yang dapat
menyebabkan gangguan autoregulasi, infark lakunar, angiopati amiloid, dan
bahkan atrofi otak. Pada orang dewasa, angiopati amiloid dan atrofi otak dapat
terlihat mirip dengan penyakit Alzheimer. Perubahan ini membuat sulit untuk
membedakan hipertensi yang berhubungan dengan penyakit Alzheimer dari
demensia vaskular sekunder karena hipertensi.25
Peningkatan tekanan darah pada penderita hipertensi akan menyebabkan
perburukan kemampuan autoregulasi otak karena peningkatan tekanan sistolik dan
diastolik mempengaruhi pembuluh darah di otak. Selain itu, hipertensi juga
menurunkan vasoreaktif pembuluh darah di otak. Jadi, hipertensi pada pembuluh
darah yang besar menyebabkan aterosklerotik, sedangkan pada pembuluh darah
yang kecil menyebabkan interna vaskular remodelling. Intinya, seperti dijelaskan,
hipertensi dapat menyebabkan gangguan fungsi kognitif meski belum demensia
dan belum mengalami stroke.20
2.5 Gejala Klinis
Manifestasi gangguan fungsi kognitif dapat meliputi gangguan pada aspek
bahasa, memori, emosi, visuospasial dan kognisi.
a. Gangguan bahasa
Menurut Critchley (1959) yang dikutip dari Sidarta (1989) gangguan
bahasa yang terjadi pada demensia terutama tampak pada kemiskinan kosa kata.
Pasien tak dapat menyebutkan nama benda atau gambar yang ditunjukkan
padanya (confrontation naming), tetapi lebih sulit lagi menyebutkan nama benda
dalam satu kategori (category naming), misalnya disuruh menyebutkan nama
buah atau hewan dalam satu kategori. Sering adanya diskrepansi antara penamaan
konfrontasi dan penamaan kategori dipakai untuk mencurigai adanya demensia
dini. Misalnya orang dengan cepat dapat menyebutkan nama benda dalam satu
kategori, ini didasarkan karena adanya abstraksinya mulai menurun.20
7
8
b. Gangguan memori
Sering merupakan gejala yang pertama timbul pada demensia dini. Tahap
awal terganggu adalah memori baru, yakni cepat lupa apa yang baru saja
dikerjakan, lambat laun memori lama juga dapat terganggu. Fungsi memori
dibagi dalam tiga tingkatan bergantung lamanya rentang waktu antara stimulus
dan recall, yaitu :
1. Memori segera (immediate memory), rentang waktu antara stimulus dan
recall hanya beberapa detik. Di sini hanya dibutuhkan pemusatan
perhatian untuk mengingat (attention).
2. Memori baru (recent memory), rentang waktu lebih lama yaitu beberapa
menit, jam, bulan bahkan tahun.
3. Memori lama (remote memory), rentang waktunya bertahun-tahun
bahkan seusia hidup.21
c. Gangguan emosi
Gangguan ini sering timbul pada penderita stroke. Sekitar 15% pasien
mengalami kesulitan kontrol terhadap ekspresi dari emosi. Tanda lain adalah
menangis dengan tiba-tiba atau tidak dapat mengendalikan tawa. Efek langsung
yang paling umum dari penyakit pada otak pada personality adalah emosi yang
tumpul, disinhibition, kecemasan yang berkurang atau euforia ringan, dan
menurunnya sensitifitas sosial. Dapat juga terjadi kecemasan yang berlebihan,
depresi dan hipersensitif.20,23
d. Gangguan visuospasial
Sering timbul dini pada demensia. Pasien banyak lupa waktu, tidak tahu
kapan siang dan malam, lupa wajah teman dan sering tidak tahu tempat sehingga
sering tersesat (disorientasi waktu, tempat dan orang). Secara obyektif gangguan
visuospasial ini dapat ditentukan dengan meminta pasien mengkopi gambar atau
menyusun balok-balok sesuai bentuk tertentu.23
e. Gangguan kognisi (cognition)
Fungsi ini yang paling sering terganggu pada pasien demensia, terutama
daya abstraksinya. Ia selalu berpikir konkret, sehingga sukar sekali memberi
makna peribahasa. Juga daya persamaan (similarities) mengalami penurunan.5
Sedangkan gejala vaskular seperti:
8
9
a) Sakit kepala,
b) Sesak nafas apabila melakukan aktivitas,
c) Tekanan darah yang tinggi,
d) Ekg yang menunjukkan kelaianan22
2.6 Pemeriksaan Fungsi Kognitif
a. Mini Mental State Examination (MMSE)
Pemeriksaan gangguan fungsi kognisi salah satunya adalah dengan
menggunakan Mini Mental State Examination (MMSE) atau Tes Mini Mental
(TMM), untuk menilai fungsi kognisi yang telah digunakan secara luas oleh para
klinis untuk praktek klinik maupun penelitian. Selain untuk mendeteksi gangguan,
juga untuk follow up perjalanan penyakit dan memonitor respon pengobatan. Tes
ini mudah dilakukan dan membutuhkan waktu yang sangat singkat, kira-kira 10
menit. MMSE ini pertama dikembangkan oleh Folstein dkk (1969) sebagai tes
pendamping yang dapat digunakan untuk mendeteksi gangguan kognitif. TMM
telah digunakan dalam berbagai kultur dan etnik dan telah diterjemahkan dalam
berbagai bahasa.20,23
Versi modifikasi juga telah digunakan untuk orang dengan gangguan
pendengaran. Beberapa penelitian telah dilaporkan bahwa MMSE menunjukkan
level sensitivitas dan spesifisitas yang dapat diterima. Fehrer dkk melaporkan
bahwa 4 dari 5 item bahasa dari MMSE sensitivitasnya rendah tapi disimpulkan
bahwa subtest memori, atensi dan konsentrasi dan konstruksi adalah valid.Tes ini
meliputi pemeriksaan orientasi, registrasi, atensi dan kalkulasi, mengenal kembali
(recall) dan bahasa. Bila pada pemeriksaan didapatkan nilai 23 atau kurang diduga
terdapat gangguan kognitif. Tes ini cukup untuk skrining adanya gangguan fungsi
kognitif dan demensia. Dowell M et all, 1871 menyatakan bahwa MMSE :
1. Mudah dilakukan dan menunjukkan reliabilitas yang bagus. Validitas
sebagai tes skrining secara umum dapat diterima.
2. Meskipun batas yang tetap sudah ditentukan, validitasnya lemah untuk
pasien dengan gangguan psikiatrik.
3. Tidak dapat digunakan untuk mendeteksi disfungsi otak fokal.
4. Tidak dapat digunakan untuk mendeteksi demensia ringan.23
9
10
Beberapa penulis melaporkan bahwa nilai MMSE dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti faktor sosiodemografik, termasuk di dalamnya adalah
usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dan status perkawinan, yang
kedua adalah faktor lingkungan dan faktor behavior, yang termasuk pada faktor
ini adalah beban kehidupan secara umum, stress fisik, kontak sosial, aktifitas
fisik,merokok dan minum alkohol. Penelitian lain melaporkan usia dan
pendidikan mempengaruhi nilai MMSE. Sedangkan peneliti lain melaporkan
bahwa yang mempengaruhi nilai MMSE hanya tingkat pendidikan saja. Beberapa
modifikasi dari MMSE telah dilakukan supaya dapat digunakan pada negara
tertentu. Terdapat beberapa perbedaan diantara para ahli dalam menentukan
klasifikasi penilaian MMSE. Grut et al dan Folstein et al mendapatkan nilai
MMSE normal lebih besar atau sama dengan 27. Wind mengatakan nilai MMSE
normal (27-30), curiga gangguan kognitif (22-26), dan pasti gangguan kognitif (<
21). Kukull et al menyatakan nilai normal MMSE adalah lebih besar atau sama
dengan 27.20,23
b. Clock Drawing Test (CDT)
CDT (Clock Drawing Test) telah diusulkan sebagai tes skrining cepat
untuk disfungsi kognitif sekunder untuk demensia, delirium, atau kisaran penyakit
neurologis dan psikiatris. Menurut Sulaiman, CDT melengkapi tes skrining cepat
termasuk MMSE dan merupakan komponen "7 Menit Neurokognitif Pemutaran
Baterai". Kekuatan dan kelemahan dari tes menggambar jam terletak pada
jumlah kognitif, motor dan fungsi persepsi yang diperlukan untuk keberhasilan
penyelesaian secara bersamaan. orientasi, konseptualisasi waktu, organisasi
spasial visual, memori dan fungsi eksekutif, pemahaman pendengaran, memori
visual, pemprograman motorik, pengetahuan numerik, instruksi semantik,
penghambatan stimulus mengganggu, konsentrasi dan frustrasi toleransi. Fungsi
eksekutif yang diperlukan.23
2.7 Lokasi Kelaianan
Penurunan kognitif akibat faktor risiko vaskuler biasanya banyak
terdapat pada kerusakan di pembuluh darah kecil ( small vessel disease ) di otak
dan khususnya di daerah limbik, paralimbik, diensefalon, basal otak bagian depan,
10
11
lobus frontal dan substansia alba di daerah area 44. Gangguan fungsi eksekutif,
kemampuan verbal dan gerakan psikomotor adalah hal yang membedakan
penurunan kognitif akibat faktor risiko vaskuler atau demensia akibat faktor
risiko vaskuler. Pada penurunan kognitif akibat faktor risiko vaskuler mempunyai
gangguan yang menonjol yaitu terdapat gangguan fungsi eksekutif, atensi,
kemampuan verbal dan psikomotor, akan tetapi memiliki gangguan memori yang
ringan.23
2.8 Diagnosis dan Penatalaksanaan
Deteksi dini memberikan gambaran perkembangan penurunan kognitif
awal akibat faktor risiko vaskuler sebelum terjadinya kerusakan lanjut yang
menyebabkan penurunan kualitas hidup manusia. cara pendekatan, prinsip-
prinsip deteksi dini dan tata laksana penurunan kognitif akibat faktor risiko
vaskuler memerlukan pendekatan khusus di tingkat layanan primer maupun
tingkat rujukan dengan menggunakan instrumen instrument penilaian khusus dan
bentuk-bentuk intervensi khusus. Deteksi dini dan tata laksana faktor risiko
vaskular dengan gangguan kognitif dilakukan pada penyandang hipertensi,
terutama pada kelompok usia lanjut. Yang merupakan suatu rangkaian kegiatan
yang berkesinambungan. Kegiatan deteksi dini dan tata laksana gangguan
kognitif pada faktor resiko vaskuler dilakukan dengan tahapan :
A. Deteksi Dini
1. Deteksi Dini Faktor Risiko vaskular
Penilaian faktor risiko vaskular meliputi wawancara dengan menggunakan
kuisioner yang meliputi identitas diri, riwayat penyakit, riwayat anggoat keluarga
yang menderita DM, penyakit jantung koroner, hiperkolesterol, pengukuran
tekanan darah dan denyut nadi, pengukuran indeks antropometri yaitu pengukuran
berat badan, tinggi badan, lingkar pinggang, dan lingkar pinggul, pemeriksaan
laboratorium darah antara lain Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) bagi yang
belum tahu atau belum pernah terdiagnosis. TTGO yaitu pemeriksaan kadar gula
darah pada 2 jam setelah minum larutan 75 gr glukosa, Kadar Kolesterol Darah
(Kolesterol Total, LDL, HDL, dan Trigliserida).22
2. Deteksi Dini Gangguan Kognitif
Deteksi dini gangguan kognitif dilakukan dengan menggunakan
11
12
instrumen Montreal Cognitive Assessment (MOCA) yang telah divalidasi di
Departement Neurologi FKUI RSCM. Komponen-komponen penilaian deteksi
dini gangguan kognitif meliputi penilaian visuospasial/eksekutif, penamaan
(naming), memori, atensi, bahasa, abstraksi, delayed recall, orientasi. Penilaian ini
dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan di tingkat pelayanan primer (puskesmas)
dan ditindaklanjuti di tingkat rumah sakit divisi neurobehavior departemen
neurologi.22,28
B. Penatalaksanaan
Sebagai upaya tata laksana faktor risiko vaskular dapat dilakukan di
puskesmas maupun di rumah sakit. tata laksana faktor risiko vaskular di
puskesmas meliputi penatalaksanaan perilaku, mengatasi obesitas /menurunkan
kelebihan berat badan,mengurangi asupan garam di dalam tubuh, menciptakan
keaddaan rileks, melakukan olah raga teratur,berhenti merokok, mengurangi
konsumsi alcohol, terapi farmakologis. Tata laksana faktor risiko vaskular di
rumah sakit meliputi penilaian lanjut faktor risiko vaskular menggunakan
instrument / peralatan spesifik khusus, penilaian vaskular yaitu anamnesis keluhan
vaskular seperti sakit kepala, sesak nafas apabila melakukan aktivitas, tanda-tanda
khusus gangguan vascular lainnya, pemeriksaan tekana darah, EKG, dan
pemeriksaan lainnya (TCD, EECP). Terapi farmakologis untuk pencegahan
komplikasi akibat faktor risiko vaskular dan pengobatan komplikasi akibat faktor
risiko vascular.22
1. Tata laksana Gangguan Kognitif
Tata laksana gangguan kognitf dilakukan melalui pendekatan Brain
Restoration sesuai dengan gangguan yang didapat dari hasil penilaian deteksi dini
dengan instrument MOCA-INA ataupun dengan CERAD-neuropsychological
battery. Tata laksana gangguan kognitif secara garis besar meliputi:
a) Atensi
Atensi adalah suatu komponen proses kognitif yang berkaitan erat dengan
tingkat kesadaran yang tinggi (High Consious) yang berkaitan erat dengan fungsi
kognitif (High Cortical Function).Penanganan tata laksana dapat dilakukan oleh
tenaga perawat terlatih dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) Gunakan model penanganan yang disesuaikan dengan teori atensi
12
13
2) Gunakan terapi kegiatan yang terorganisir secara hirarkis.
3) Lakukan secara berulang-ulang
4) Keputusan jenis penanganan dipilih berdasarkan data pasien
5) Secara aktif memfasilitasi generalisasi dari awal pengobatan
6) Latihan diberikan bersifat fleksibel22
Aktivitas latihan berupa :
Atensi Penerimaan (Sustained attention) :
- Latihan yang memerlukan mendengarkan kata-kata atau urutan kata
dalam kaset, dan menekan bel bila sudah mengenal kata atau urutan
tersebut
- Latihan mendengarkan dari pengertian suatu paragraph
- Latihan yang membutuhkan sebuah urutan nomor urut yang didengar dan
disajikan dalam bentuk urutan menaik atau menurun
- Latihan berhitung
Atensi Alternatif (Alternating Attention)
- Latihan yang memerlukan mendengarkan untuk satu jenis kata atau urutan
dalam kaset yang diberikan, dan kemudian beralih untuk mendengarkan
jenis yang berbeda kata atau urutan
- tugas-tugas yang menghasilkan angka atau huruf
- Kegiatan di mana responden dimulai dengan nomor yang ditunjuk dan
kemudian ditukar dengan menambahkan dan mengurangkan nomor yang
dipilih
Atensi Untuk Seleksi (Selective Attention)
- Diberikan dua macam rangsangan secara bersamaan yaitu mendengar
bunyi musik sambil berbicara. Apakah aktifitas tersebut dapat dilakukan
dengan perhatian tetap pada satu aktifitas
- Setiap perhatian yang dilakukan terus menerus sambil diberikan latar
belakang dengan kebisingan
Pembagian Perhatian (Divided Attention)
- Membaca paragraf untuk pemahaman dan sekaligus memindai kata
(misalnya, saat membaca, klien harus menghitung jumlah angka)
13
14
- Pada waktu yang sama menyelesaikan tugas yang membutuhkan perhatian
yang terus menerus sambil melakukan tugas lain contoh : komputer
- Menyelesaikan tugas-waktu pemantauan (yang membutuhkan waktu
perhatian) sambil melakukan aktivitas perhatian lain yang
berkelanjutan.22,27
b) Memori
Memori merupakan komponen penting sebagai suatu proses penyimpanan
informasi (information storage) dan proses pemanggilan kembali informasi
tersebut (retrieval/recall information) Latihan memori dapat dilakukan dengan
pengulangan dari suatu pelatihan) Memori melalui praktek latihan:
- Penggunaan memori untuk meningkatkan latihan memori menunjukkan
bahwa memori dapat diperkuat
- Menyarankan bahwa latihan memori kemungkinan besar dapat
disebabkan melalui peningkatan kemampuan pusat perhatian.
- Kami telah melakukan pada klien yang memiliki gangguan "memori"
hasilnya telah berkurang setelah mengikuti pelatihan dalam proses
perhatian
1. Memori melalui strategi pelatihan
- Melalui visual
- Strategi organisasi verbal (misalnya, membentuk akronim; membuat
asosiasi kata dengan memasangkan beberapa kata-kata)
- Elaborasi semantik (menghubungkan kata-kata atau ide-ide dalam cerita)
2. menentukan pelatihan memori yang akan dilakukan
- Teknik restoratif dirancang khusus untuk meningkatkan memori pasien
yang berfungsi untuk meningkatkan proses dalam fungsi memori.
3. Metamemory pelatihan
- Mengajar selfinstructional untuk mengajar rutinitas pemantauan diri (yaitu,
eksekutif strategi) agar meningkatkan fungsi memori mereka.28
2.9 Prognosis
Ilmuwan Eropa melaporkan bahwa terapi jangka panjang antihipertensi
mengurangi risiko demensia sebesar 55%. Beberapa studi Amerika sedikit kurang
14
15
optimis. Salah satu terapi terkait dengan risiko 38% lebih rendah. Penelitian lain
melaporkan bahwa setiap tahun terapi dikaitkan dengan penurunan 6% dalam
risiko demensia, khususnya, pria yang diobati selama 12 tahun atau memiliki
risiko 65% lebih rendah dari penyakit Alzheimer daripada pria dengan hipertensi
yang tidak diobati. Studi lain di Amerika mengenai terapi pria dan wanita terkait
penurunan 36% dalam risiko penyakit Alzheimer, diuretik tampaknya menjadi
obat yang paling menguntungkan. Dan tim peneliti dari Harvard dan Universitas
Boston melaporkan bahwa enam bulan terapi antihipertensi benar-benar
meningkatkan aliran darah ke otak, memberikan penjelasan yang baik untuk
manfaat yang diamati dalam studi klinis.18
15
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Mekanisme pasti terjadinya gangguan fungsi kognitif pada penderita
hipertensi belum jelas diketahui. Telah diterima secara luas bahwa hipertensi
menyebabkan percepatan terjadi arteriosklerosis pada jaringan otak yang pada
penelitian ditunjukkan dengan adanya hubungan yang bermakna antara derajat
arteriosklerosis pembuluh darah dengan terjadinya gangguan kognitif. Kapiler dan
arteriol jaringan otak akan mengalami penebalan dinding oleh karena terjadi
deposisi hyalin dan proliferasi tunika intima yang akan menyebabkan
penyempitan diameter lumen dan peningkatan resistensi pembuluh darah. Hal
tersebut akan penyebabkan penurunan perfusi jaringan otak yang dapat
menyebabkan iskemia dan infark lakunar jaringan otak. Hipertensi kronik dapat
menyebabkan gangguan fungsi sawar otak yang menyebabkan peningkatan
permeabilitas sawar otak. Hal ini akan menyebabkan jaringan otak khususnya
substansi putih menjadi lebih mudah mengalami kerusakan.
Kerusakan pembuluh darah kecil jaringan otak selain menyebabkan
peningkatan resistensi pembuluh darah otak tetapi juga menyebabkan gangguan
fungsi vasomotor dan penurunan kapasitas dilatasi pembuluh darah otak. Di lain
pihak juga dilaporkan bahwa tekanan darah sistemik merupakan faktor yang amat
menentukan perfusi jaringan otak sehingga pada penderita hipertensi kronik
dimana telah terjadi adaptasi mekanisme autoregulasi pembuluh darah otak,
tekanan darah yang tinggi diperlukan untuk menjaga perfusi jaringan otak yang
adekuat. Tekanan darah yang lebih rendah pada kelompok dengan gangguan
fungsi kognitif dibandingkan dengan kelompok yang tanpa gangguan fungsi
kognitif mungkin diakibatkan dari arteriosklerosis yag timbul, dimana pada
penderita hipertensi yang disertai arteriosklerosis yang berat akan mengakibatkan
16
17
kekakuan pada pembuluh darah yang mengakibatkan tekanan darah yang lebih
rendah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Joint National committee VII. 2003. US department of health and human services. NIH Publication.
2. WHO-ISH Hypertension Guideline Committee. 2003. Guidelines of the management of hypertension. J Hypertension 21(11):1983-92.
3. Lee Paul. Hypertension. Available in http://www.eMedicine.com/oph/topic 488.htm. [diakses pada: 29 November 2012].
4. Susalit E, Kapojos EJ, Lubis HR. 2001. Dalam Hipertensi Primer. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 3. Jakarta: BPFKUI 453 – 472.
5. Harrington, F. 2000. Cognitive Performance in Hypertensive and Normotensive Older Subjects. Hypertension 36:1079-1082.
6. Tzourio C. 2002. Vascular factor and cognition: toward prevention of dementia?. Medicografia 24:113-117.
7. Leys D, Parnetti L, Pasquier F. 1999. Vascular dementia. Current review of cerebrovascular disease. Philadelphia Edisi 3: Current Medicine Inc. 13747.
8. Perdossi, 2007. Diagnosis Dini Dan Penatalaksanaan Demensia. Kelompok Studi Neuro-behaviour. 1-8.
9. Wong TY, Klein R, Sharrett AR,Nieto FJ,Boland LL, Couper DJ, et al. 2002. Retinal microvascular abnormalities and Impairment in middle-aged persons. Stroke: 1487-92.
10. Roan Witjaksana. Delirium dan Demensia. Available in http://www.idijakbar.com/prosiding/delirium.htm. [diakses pada: 30 November 2012].
11. Moroney JT, Bagiella E, Desmond DW. 1997. Meta-analayis of the Hachinski ischemic score in pathologicaly verified dementia. Neurology 49:1196-15.
12. Markum MS. 2002. Hipertensi, dislipidemia dan atherosclerosis. Dalam Simposium on Management of Hypertension in special conditions. Jakarta.
17
18
13. Haller H. 1997. Endothelial function, General consideration. Drugs 53(suppl):30 – 41.
14. Sica DA. 2000. Endothelial cell function. Eur Heart Journal supp(B) B13-21.
15. Mattei P,Viridis A, Ghiadoni L, Taddei S, Salvetti A. 1997. Endothelial function in hypertension , Journal of Nephrology. 11:192-97.
16. Sutarjo B. 2002. Disfungsi endotel pada hipertensi. Dalam Simposium On Management of Hypertension in special conditions. Jakarta.
17. Wiyoto. 2002. Gangguan Fungsi Kognitif Pada Stroke in Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan ilmu penyakit saraf 2002. Surabaya: FK UNAIR. 1- 31
18. Harvard Health Publications. 2009. Blood pressure and your brain. Avalable in http://www.health.harvard.edu/newsletters/Harvard_Mens_Health Watch/ 2009/October/blood-pressure-and-your-brain. [Diakses tanggal: 10 Oktober 2012].
19. Semplicini, Andrea & Inverso, Giulia. 2009. Cognitive impairment in hypertension. SciTopics. Available in http://www.scitopics.com/Cognitive impairment_in_hypertension.html. [diakses pada: 1 November 2012].
20. Hidayati. 2011. Hipertensi Menyebabkan Gangguan Kognitif . Jurnal Medika. Edisi No 04 Vol XXXVI – 2011. Available in http://jurnalmedika.com/edisi-tahun-2011/edisi-no-04-vol-xxxvii-2011/309-kegiatan/594-hipertensi - menyebabkan-gangguan-kognitif. [diakses pada 2 November 2012].
21. Pusat Intelegensia Kesehatan. 2012. Petunjuk Teknis Deteksi Dini Gangguan Kognitif Pada Faktor Risiko Vaskular. Kementerian Kesehatan RI.
22. Kurniati. 2009. Stroke Iskemik. Diakses tanggal: 10 Oktober 2012. Diakses dari: http//:eprints.undip.ac.id/33597/5/Bab_4
23. Harvard Health Publications. 2009. Blood pressure and your brain. Diakses tanggal: 10 Oktober 2012. Diakses dari: http://www.health.harvard.edu/newsletters/Harvard_Mens_Health_Watch/2009/October/blood-pressure-and-your-brain
24. Waldstein, S. 2010. The Relation of Hypertension to Cognitive Function. Diakses tanggal: 10 Oktober 2012. Diakses dari: http://www.psychologicalscience.org/journals/cd/12_1/Waldstein.cfm
25. Kilander, L. Hypertension Is Related to Cognitive Impairment. Hypertension. 1998; 31: 780-786
18
19
26. Cha, S. The Effects of Hypertension on Cognitive Function in Children and Adolescents. International Journal of Pediatrics Volume 2012 (2012).
27. Gorelick, P. Vascular Contributions to Cognitive Impairment and Dementia : A Statement for Association Healthcare Professionals From the American Heart Association/American. Stroke 2011;42:2672-2713; originally published online July 21, 2011; Stroke.
28. Hadjiev, D. Cerebral Blood Flow Changes in Elderly Hypertensive Patients and Cognitive Functions. 2007;38:e153; originally published online September 13, 2007; Stroke.
19