gangguan kognitif

31
BAB I PENDAHULUAN Cedera kepala merupakan trauma mekanik pada kepala yang bukan bersifat congenital ataupun degenerative, tetapi disebabkan serangan/benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana dapat menyebabkan gangguan fungsi neurologis, kognitif, maupun psikososial yang bersifat sementara atau menetap. Cedera kepala atau trauma kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neorologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia dan pengaruh massa karena hemoragig, serta edema cereblal disekitar jaringan otak. 1,2,3 Trauma kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan terjadi kurang lebih 0.5-1 juta kasus per tahun. Di Indonesia kajadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari pasien yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera kepala sedang dan 10% termasuk cedera kepala berat. 1,2 Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter mempunyai pengetahuan praktis 1

Upload: dekita-diatmika

Post on 27-Dec-2015

189 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Gangguan kognitif pasca cedera kepala

TRANSCRIPT

Page 1: gangguan kognitif

BAB I

PENDAHULUAN

Cedera kepala merupakan trauma mekanik pada kepala yang bukan bersifat

congenital ataupun degenerative, tetapi disebabkan serangan/benturan fisik dari

luar yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana dapat

menyebabkan gangguan fungsi neurologis, kognitif, maupun psikososial yang

bersifat sementara atau menetap. Cedera kepala atau trauma kepala adalah

gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma

tajam. Defisit neorologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia dan

pengaruh massa karena hemoragig, serta edema cereblal disekitar jaringan

otak.1,2,3

Trauma kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama

pada kelompok usia produktif dan terjadi kurang lebih 0.5-1 juta kasus per tahun.

Di Indonesia kajadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai

500.000 kasus. Dari jumlah diatas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di

rumah sakit. Dari pasien yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokan sebagai

cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera kepala sedang dan 10% termasuk

cedera kepala berat.1,2

Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter

mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada

penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan

tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya

cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting

untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Sebagai tindakan selanjutnya yang

penting setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang

memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan

CT Scan kepala. 1,4

Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang

memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara

konservatif. Prognosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan

1

Page 2: gangguan kognitif

dilakukan secara tepat dan cepat. Pada korban cedera kepala, yang harus

diperhatikan adalah pernafasan, peredaran darah dan kesadaran, sedangkan

tindakan resusitasi, anamnesa dan pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus

dilakukan secara serentak.Tingkat keparahan cedera kepala harus segera

ditentukan pada saat pasien tiba di Rumah Sakit.1,2,4

Kemajuan dalam penanganan cedera kepala dapat menurunkan mortalitas, selama

25 tahun terakhir ini. Akan tetapi dari angka yang berhasil untuk tetap bertahan

hidup sering mengalami gejala sisa berupa gangguan kognitif yang bersifat kronis.

Gangguan kognitif yang sering timbul setelah cedera kepala adalah gangguan

memory dan belajar ( memory and learning process ), gangguan konsentrasi,

atensi, kecepatan memproses informasi dan fungsi eksekutif. Cedera kepala akan

menyebabkan keadaan hipoksik iskemik sehingga akan diekspresikan faktor

neurotropik yaitu brain-derived neurotrophic factor (BDNF) yang sangat berperan

dalam fungsi kognitif. Ekspresi BDNF mencapai puncaknya pada hari ke tiga

pasca cedera dan pada hari keempat kadarnya mula menurun.2,3,5

Akibat adanya gangguan kognitif terutama gangguan kognitif dengan derajat berat

akan menyebabkan disabilitas dan ketergantungaan dirumah dan dimasyarakat,

sehingga akan menggangu didalam kehidupan berkeluarga, aktivitas pendidikan,

pekerjaan, dan interaksi soaial. Dibandingakan dengan gangguan fisik gejala sisa

kognitif lebih banyak berperan pada disabilities yang menetap.1,5

2

Page 3: gangguan kognitif

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Cedera kepala

Cedera kepala adalah trauma mekanik

pada kepala yang terjadi baik secara

langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan

fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat sementara

ataupun permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala

adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun

degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang dapat

mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan

kemampuan kognitif dan fungsi fisik.1,4,6

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Berdasarkan mekanisme

terjadinya, cedera kepala dapat dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera

kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan

mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul. Sedang cedera kepala

tembuus disebabkan oleh peluru atau tusukan.2,6

Jika dilihat dari berat ringannya, cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan

nilai Glasgow Coma Scale (GCS) yaitu sebagai berikut :1,6

1. Cedera kepala berat (CKB) jika nilai GCS 3- 8.

Hilang kesadaran lebih dari 24 jam, juga meliputi contusion cerebral,

laserasi, atau adanya hematoina atau edema.

2. Cedera kepala sedang (CKS) memiliki nilai GCS 9-12.

Hilang kesadaran atau amnesia antara 30 menit – 24 jam, dapat mengalami

fraktur tengkorak, disorientasi ringan (bingung).

3. Cedera kepala ringan (CKR) dengan nilai GCS 13-15.

3

Page 4: gangguan kognitif

Dapat terjadi kehilangan kesadaran kurang darri 30 menit, tetapi ada juga

yang menyebut kurang dari 24 jam, jika ada penyerta seperti fraktur

tengkorak, kontusio atau tematom (sekitar 55%).

Diffuse injury (DI) merupakan salah satu jenis cedera kepala yang diakibatkan

oleh proses gesekan (shearing) pada akson sehingga terjadi robekan akson dan

myelin di substansia alba yang sangat luas. Studi gambaran CT scan dari National

Institute of Health Traumatic Coma Data Bank di United States pada 735

penderita cedera kepala ditemukan DI sebanyak 39 %.3,5

Berdasarkan gambaran CT-Scan kepala DI dibedakan menjadi empat tingkatan

yaitu :3,5

1. DI grade I

Tidak tampak adanya kelainan pada CT-Scan

2. DI grade II

Sisterna masih terlihat dengan midline shift 0.5 mm dan/atau terdapat lesi

dengan densitas tinggi atau campuran kurang dari 25cc, termasuk adanya

fragmen tulang atau benda asing.

3. DI grade III

Terdapat gambaran tertekan atau menghilangnya cistern (edema) dengan

midline shift 0.5 mm dan/atau terdapat lesi dengan densitas tinggi atau

campuran kurang dari 25cc.

4. Di grade IV

Terdapat midline shift lebih dari 5 mm dan/atau terdapat lesi dengan

densitas tinggi atau campuran kurang dari 25cc.

Trauma kepala merupakan salah satu penyebab umum dari kematian dan

kecacatan terutama pada kelompok usia produktif dan terjadi kurang lebih 0.5-1

juta kasus per tahun, dimana pada korban yang masih dapat bertahan sering

disertai dengan gejala sisa berupa gangguan kognitif. Di Indonesia kajadian cidera

kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas,

10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari pasien yang sampai di

4

Page 5: gangguan kognitif

rumah sakit, 80% dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk

cedera kepala sedang dan 10% termasuk cedera kepala berat.1,2

Cedera kepala akan menyebabkan keadaan hipoksik iskemik sehingga akan

diekspresikan faktor neurotropik yaitu brain-derived neurotrophic factor (BDNF)

yang sangat berperan dalam fungsi kognitif. Ekspresi BDNF mencapai puncaknya

pada hari ke tiga pasca cedera dan pada hari keempat kadarnya mula menurun.3,5

2.2 Definisi Gangguan kognitif

Pengertian kognitif adalah suatu proses dimana semua masukan sensoris (taktil,

visual, dan auditorik) akan dirubah, diolah, disimpan dan selanjutnya digunkan

untuk hubungan interneuron secara sempurna sehingga individu mampu

melakukan penalaran terhadap masukan sensoris tersebut. Fungsi kognitif

mencakup lima domain, yaitu atensi (pemusatan perhatian), bahasa, memori (daya

ingat), visuopatial (pengenalan ruang), excecutive function (fungsi eksekutif :

fungsi perencanaan, pengorganisasian, dan pelaksanaan).1,4

Gangguan kognitif merupakan respon maladaptive yang ditandai dengan keadaan

dimana seseorang mengalami masalah dalam daya ingat, pembelajaran (terutama

terhadap hal-hal yang baru), konsentrasi, atau pembuatan keputusan yang

mempengaruhi kehidupan sehari-harinya. gangguan kognitif erat kaitannya

dengan fungsi otak, karena kemampuan pasien untuk berpikir akan dipengaruhi

oleh keadaan otak. Penelitian dijerman menunjukan bahwa sebagian besar pasien

DI mengalami gangguan atensi, fungsi eksekutif, serta memori dan belajar sebesar

77 %, sedangkan penelitian prospektif belanda menunjukan gangguan memori

38%, atensi 32%, dan keterlambatan proses berpikir 28%.4,5

Gangguan kognitif umumnya disebabkan oleh gangguan fungsi susunan saraf

pusat (SSP). SSP memerlukan nutrisi untuk berfungsi, setiap gangguan

pengiriman nutrisi mengakibatkan gangguan fungsi SSP. Faktor yang dapat

menyebabkan adalah penyakit infeksi sistematik, gangguan peredaran darah,

keracunan zat. Banyak faktor lain yang menurut beberapa ahli dapat menimbulkan

gangguan kognitif, seperti kekurangan vitamin, malnutrisi, gangguan jiwa

fungsional. Setiap kejadian diotak dapat berakibat gangguan kognitif. Hipoksia

5

Page 6: gangguan kognitif

dapat berupa anemia Hipoksia, Hitoksik Hipoksia, Hipoksemia Hipoksia, atau

Iskemik Hipoksia. Semua Keadaan ini mengakibatkan distribusi nutrisi ke otak

berkurang.4,5

Gangguan kognitif bervariasi mulai dari gangguan kognitif ringan sampai berat.

Pada gangguan kognitif ringan seseorang mulai mengalami perubahan pada fungsi

kognitif, tetapi masih memungkinkan untuk melakukan aktivitas sehari – harinya,

dan gangguan kognitif dengan derajat berat dapat mengarahkan pada ketidak

mampuan dalam memahami sesuatu dan ketidak mampuan dalam berbicara dan

menulis yang pada akhirnya menghasilkan ketidak mampuan dalam hidup secara

mandarin.1,3,4

Gangguan kognitif dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan konsentrasi

terhadap stimulus (misalnya, pertanyaan harus diulang), proses pikir yang tidak

tertata (misalnya tidak relevan atau inkoheren), dan minimal 2 dari yang berikut :

-       Menurunkan tingkat kesadaran.

-       Gangguan persepsi, Ilusi, halusinasi.

-       Gangguan tidur, tidur berjalan dan insomnia atau ngatuk pada siang hari.

-       Meningkat atau Menurunnya aktivitas psikomotor.

-       Disorientasi, tempat, waktu, orang.

-       Gangguan daya ingat, tidak dapat mengingat hal baru, misalnya nama

beberapa benda setelah lima menit. 3,4,5

Akibat beratnya gangguan kognitif akan menyebabkan disabilitas dan

ketergantungaan dirumah dan dimasyarakat, sehingga akan menggangu didalam

kehidupan berkeluarga, aktivitas pendidikan, pekerjaan, dan interaksi soaial.

Dibandingakan dengan gangguan fisik gejala sisa kognitif lebih banyak berperan

pada disabilities yang menetap.1,5

2.3 Patofisiologi

Kerusakan otak secara patologis akibat trauma kapitis dapat dikelompokkan

menjadi dua stadium utama yaitu cedera primer dan sekunder.7,8

1. Cedera Otak Primer (Primary Brain Injury)

6

Page 7: gangguan kognitif

Cedera otak primer merupakan kerusakan otak yang terjadi secara langsung

akibat dari mekanisme trauma yang terjadi. Biasanya hal ini sering terjadi

akibat kecelakaan atau benturan. Cedera primer dihasilkan oleh tekanan

akselerasi dan deselerasi yang merusak struktur intrakranial oleh karena

pergerakan yang tidak seimbang dari tengkorak dan otak.

Patofisiologi cedera primer dapat dibedakan lagi menjadi dua yaitu lesi fokal

dan lesi difus. Focal brain injury khas berhubungan dengan pukulan terhadap

kepala yang menimbulkan kontusio serebral dan hematoma. Cedera fokal

mempengaruhi morbiditas dan mortalitas berdasarkan lokasi, ukuran dan

progresifitasnya. Sedangkan diffuse axonal injury disebabkan oleh tekanan

inersial yang sering berasal dari kecelakaan sepeda motor. Pada praktisnya

cedera difus dan fokal sering terjadi secara bersamaan. Fraktur tengkorak,

epidural hematoma, subdural hematoma, dan intrasereberal hematoma adalah

beberapa contoh kasus yang digolongkan sebagai cedera otak primer.

2. Cedera Otak Sekunder (Secondary Brain Injury)

Cedera otak sekunder terjadi setelah trauma awal dan ditandai dengan

kerusakan neuron- neuron akibat respon fisiologis sistemik terhadap cedera

awal. Cedera sekunder melibatkan hasil kejadian vaskuler dan hematologi

yang menyebabkan pengurangan dan perubahan aliran darah otak (cerebral

blood flow) yang menimbulkan hipoksia dan iskemik.

Faktor sekunder akan memperberat cedera otak dikarenakan adanya laserasi

otak, robekan pembuluh darah, spasme vaskuler, oedem serebral, hipertensi

intrakranial, pengurangan CBF, iskemik, hipoksia dan lainnya yang dapat

menimbulkan kerusakan dan kematian neuron.

2.4 Gejala Klinis

Gejala neuropsikiatrik yang merupakan sekuele dari trauma kapitis dapat meliputi

masalah perhatian (atensi) dan arousal, konsentrasi dan fungsi eksekutif,

perubahan intelektual, gangguan memori, perubahan kepribadian, gangguan

afektif, gangguan ansietas, psikosis, epilepsi pasca traumatik, gangguan tidur,

agresi, dan iritabilitas.9

7

Page 8: gangguan kognitif

Sekuele ini dapat muncul akibat dari kerusakan fisik langsung pada otak dan

akibat dari faktor sekunder seperti gangguan vaskuler, anoksia dan oedem

serebral. Beratnya sekuele neuropsikiatrik pada trauma kapitis ditentukan oleh

berbagai faktor yang telah ada saat sebelum, selama, maupun sesudah cedera.9

Trauma kapitis kebanyakan berhubungan dengan defisit kognitif, yang mencakup

gangguan arousal, atensi, memori, konsentrasi, bahasa dan fungsi eksekutif.

Peneliti sebelumnya telah mengemukakan bahwa defisit kognitif dapat dibedakan

menjadi 4 kelompok menurut waktu terjadinya bila dikaitkan dengan fase pada

trauma kapitis. Pertama pasien akan mengalami kehilangan kesadaran atau koma

yang terjadi segera setelah trauma kapitis. Fase kedua ditandai dengan campuran

gangguan kognitif dan tingkah laku, seperti agitasi, confusion, disorientasi dan

perubahan aktifitas psikomotor. Kedua fase ini terjadi beberapa hari sampai satu

bulan setelah cedera, dan merupakan bentuk dari delirium pasca traumatik. Fase

ketiga berlangsung pada periode 6-12 bulan yang merupakan fase penyembuhan

cepat fungsi kognitif, diikuti oleh penyembuhan yang bersifat plateau selama 12-

24 bulan setelah cedera. Fase keempat ditandai dengan sekuele kognitif yang

permanen, fase ini disebut juga sebagai demensia oleh karena trauma kapitis. 10

2.5 Diagnosis

Pemeriksaan neuropsikologi masih merupakan kunci utama untuk menentukan

adanya defisit kognitif. Diagnosis gangguan kognitif ringan berdasarkan hasil

evaluasi diagnostik yang meliputi pemeriksaan neurologis, pemeriksaan status

mental, evaluasi neuro psikologis dan psikiatris, pemeriksaan fisik termasuk tes

laboratorium, pencitraan (CT-Scan atau MRI), dan peninjauan kembali dari

riwayat medis pasien dan obat-obatan yang pasien saat ini sedang dipakai.

Evaluasi ini dilengkapi dengan pengamatan klinis dari gejala-gejala pasien, onset

(mendadak atau bertahap), presentasi (bagaimana gejala-gejala muncul), dan

perkembangan gejala dari waktu ke waktu.11,12

Penilaian fungsi kognitif meliputi lima bagian pokok yaitu atensi, bahasa,

memori, visual ruang dan fungsi eksekutif. Atensi adalah kemampuan untuk

memfokuskan (memusatkan) dan mempertahankan perhatian pada suatu masalah.

8

Page 9: gangguan kognitif

Atensi memungkinkan seseorang untuk menyeleksi aliran stimulus eksogen dan

endogen yang mengaliri otak yang dianggap perlu dari hal-hal yang perlu

diabaikan. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan observasi apakah perhatian

pasien mudah terpengaruh oleh benda di sekitarnya, salah satu cara

pemeriksaannya adalah dengan menyuruh pasien menghitung mundur mulai dari

angka 20.11,12,13

Bahasa dapat dinilai dari kelancarannya, bicara spontan, komprehensi, repetisi dan

penamaan. Bicara spontan dapat dinilai pada waktu wawancara bagaimana

kelancaran bicaranya, berputar-putar atau kesulitan mencari kata-kata.

Komprehensi dapat dinilai dengan menginstruksikan pasien melakukan perintah-

perintah atau menjawab pertanyaan. Gangguan komprehensi menunjukkan adanya

disfungsi lobus temporalis posterior atau korteks lobus parietotemporal. Pada

pemeriksaan visual ruang, pasien diinstruksikan menggambar obyek atau

menyalin gambar geometris. Adanya gangguan visual ruang menunjukkan lesi

fokal otak di hemisfer posterior. Memori adalah kemampuan untuk mempelajari

informasi, mempertahankan, menyimpan dan memanggil kembali suatu informasi.

Pemeriksaan fungsi memori dapat dilakukan dengan menilai orientasi tempat dan

waktu, atau menilai kemampuan mengingat kembali hal-hal yang pernah terjadi

atau berkaitan dengan pasien (recall). Gangguan fungsi semantik adalah jika

pasien tidak bisa menjawab fakta-fakta secara umum, misalnya dalam satu

minggu ada berapa hari.12,13,14

Adanya gangguan memori verbal berarti kerusakan pada hemisfer kiri, sedangkan

gangguan memori visual menunjukkan adanya kerusakan pada hemisfer kanan.

Gangguan memori recall dan rekognisi berhubungan dengan atrofi lobus

temporalis mesial dan thalamus. Fungsi eksekutif terdiri dari pemecahan masalah,

pemikiran, abstrak, kalkulasi, dan mengambil keputusan. Pemeriksaan fungsi

eksekutif dapat dilakukan dengan cara pasien disuruh membedakan hal-hal yang

mirip misalnya mobil dengan kereta, menginterpretasikan peribahasa, atau

menjawab pertanyaan. 12,13,14

9

Page 10: gangguan kognitif

Pemeriksaan status mental singkat yang telah terstandardisasi bertujuan untuk

mengkristalkan pemeriksaan fungsi-fungsi kognitif kompleks melalui satu atau

dua pertanyaan. Salah satu pemeriksaan mental mini yang cukup populer adalah

tes Mini Mental State Examination (MMSE) yang diperkenalkan oleh Folstein

(1971). MMSE digunakan sebagai alat untuk mendeteksi adanya gangguan

kognitif pada seseorang/individu, mengevaluasi perjalanan suatu penyakit yang

berhubungan dengan proses penurunan kognitif dan memonitor respon terhadap

pengobatan. MMSE sangat reliabel untuk menilai gangguan fungsi kognitif dan

dapat digunakan secara luas sebagai pemeriksaan yang sederhana untuk penapisan

adanya gangguan fungsi kognitif. MMSE berisi 11 item pertanyaan dan perintah

meliputi orientasi waktu, tempat, ingatan segera, memori jangka pendek, dan

kemampuan pengurangan serial atau membaca terbalik. 11,12,13,14

Nilai MMSE dipengaruhi dipengaruhi oleh faktor sosiodemografik, behavior dan

lingkungan. MMSE menilai fungsi-fungsi kognitif secar kuantitatif dengan skor

maksimal adalah 30. Berdasarkan skor atau nilai tersebut, status kognitif pasien

dapat digolongkan menjadi 3 yaitu status kognitif normal (nilai 24-30), probable

gangguan kognitif (nilai 17-23) dan definite gangguan kognitif (nilai 0-16). Pada

penelitian ini, gangguan kognitif ditegakkan bila didapatkan nilai MMSE 0-23,

yaitu meliputi kriteria probable dan definite gangguan kognitif. 11,12,13,14

10

Page 11: gangguan kognitif

Gambar 1. Mini Mental State Examination11

2.6 Diagnosis Banding

Gangguan kognitif pasca trauma dibedakan dengan beberapa gangguan mental

organik. Secara umum menurut DSM-IV, ganguan mental organik

diklasifikasikan menjadi tiga kelompok berdasarkan kepada gejala utamanya yang

merupakan gangguan berbahasa, gangguan kognitif seperti halnya penurunan daya

ingat, dan juga gangguan perhatian. Ketiga kelompok gangguan mental itu adalah

delirium, dimensia, serta gangguan amnestik. Anamnesis yang mendalam dan

terarah sangat diperlukan untuk menentukan etiologi gangguan kognitif yang

muncul.

(1) Delirium

Gejala utama dari gangguan delirium ini adalah gangguan kesadaran serta

kognitif. Gejala mental yang ditunjukkan adalah adanya gangguan pada tingkat

mood, persepsi, serta perilaku. Kemudian mengenai gambaran klinis dari delirium

ini adalah penurunan kejernihan kesadaran terhadap lingkungan dengan adanya

penurunan kemampuan untuk berkonsentrasi, mempertahankan ataupun

mengalihkan perhatian yang berfluktuasi. Gangguan awalnya berupa mengantuk,

11

Page 12: gangguan kognitif

perasaan cemas, insomnia, halusinasi, dan mengalami mimpi buruk saat tidur.

Gangguan lain yang biasanya menyertai adalah berupa gangguan tidur-bangun,

selalu mengantuk pada siang hari. Onset terjadinya gangguan ini secara

mendadak/tiba-tiba.12,13,15

(2) Demensia

Sindrom ini yang ditandai dengan berbagai gangguan fungsi kognitif tanpa adanya

gangguan pada kesadaran. Gangguan pada fungsi kognitif itu dapat berupa

gangguan pada intelegensi secara umum, ingatan, belajar, orientasi, bahasa,

konsentrasi, perhatian, dan juga kemampuan sosial. Gangguannya pun dapat

berupa progresif, statis, permanen dan juga reversible jika diberikan pengobatan

tepat pada waktunya. Penyebab dari gangguan mental ini adalah 75 persen

demensia Alzheimer serta demensia vaskular, sisanya dikarenakan oleh penyakit

Huntington, Pick, serta truma kepala. Gambaran dari gangguan ini awalnya

berupa gangguan daya ingat yang baru, selanjutnya ingatan yang sudah lama pun

juga akan mengalami gangguan pula. Selain itu ditemukan juga gangguan bahasa

serta gangguan orientasi pada gangguan ini. Gangguan ini disertai dengan

perubahan kepribadian menjadi lebih introvert, mudah marah, dan sering

mengalami halusinasi. 12,13,15

(3) Amnestik

Gangguan mental ini ditandai dengan gangguan tunggal yang berupa penurunan

daya ingat yang bisa mengakibatkan gangguan fungsi sosial serta pekerjaan.

Penyebab yang paling umum ditemui pada gangguan mental ini adalah alkohol

serta trauma kepala. Gangguan pada daya ingat ditandai dengan adanya gangguan

kemampuan dalam mempelajari sebuah pengetahuan baru yang bisa disebut

dengan amnesia anterograd, serta tidak mampu mengingat pengetahuan yang

sebelumnya atau amnesia retrograd. Periode waktu dimana pasien terjadi amnesia

kemungkinan dimulai langsung pada saat trauma atau beberapa saat setelah

trauma. Ingatan tentang waktu saat gangguan fisik mungkin juga hilang. Daya

ingat jangka pendek (short-term memory) dan daya ingat baru saja (recent

memory) biasanya terganggu. Daya ingat jangka panjang (remote post memory)

12

Page 13: gangguan kognitif

untuk informasi atau yang dipelajari secara mendalam (overlearned) seperti

pengalaman pada anak-anak adalah baik, tetapi daya ingat untuk peristiwa yang

lama (lebih 10 tahun) terganggu. Gangguan amnestik ditandai terutama oleh

gejala tunggal suatu gangguan daya ingat yang menyebabkan gangguan bermakna

dalam fungsi sosial atau pekerjaan. 12,13,15

2.7 Terapi Gangguan Kognitif

Terapi bertujuan untuk mengembalikan keterampilan yang hilang serta

mengimbangi kemampuan yang telah diubah secara permanen. Kebanyakan

individu merespon baik terhadap program yang sudah disesuaikan dengan latar

belakang dan kepentingan mereka.16,17 Terapi dalam gangguan kognitif pasca

trauma kepala dibagi menjadi dua yaitu terapi non-farmakologis dan terapi

farmakologis.16,17

Terapi non-farmakologis

1. Rehabilitasi Kognitif

Pelatihan ini disesuaikan berdasarkan hasil dari tes neuropsikologis.

Rehabilitasi ini melibatkan 2 proses yaitu pengembalian fungsi yang masih bisa

untuk dikembalikan menjadi normal, dan mempelajari bagaimana melakukan

suatu hal jika fungsi nya tidak bisa dikembalikan.16,17 Terapi ini dapat

dilakukan saat rawat inap di rumah sakit dan di rumah pasien sendiri. Terapi

rehabilitasi yang dilakukan saat rawat inap antara lain16 :

a. Sustained Attention Training

1. Mendengarkan urutan kata dan mengidentifikasi ketika ada stimulus

kata yang sebelumnya sudah disajikan.

2. Pemahaman terhadap kalimat dalam paragraf (singkat dan simple),

yang semakin lama semakin dibuat sulit sepanjang pelatihan.

3. Mengurutkan angka dengan urutan meningkat atau menurun.

4. Aktivitas matematika.

b. Alternating Attention Training

13

Page 14: gangguan kognitif

1. Pasien dilatih untuk mengidentifikasi definisi kata dan urutan kata.

2. Pasien dilatih menggunakan pena dan kertas dimana pasien harus

mengisi lengkap kalimat yang beberapa katanya di kosongkan dengan

angka dan huruf secara lengkap.

3. Kegiatan ini dimulai dengan angka, yang harus berurutan ditambahkan

atau dikurangi dengan materi – materi lain yang disajikan.

c. Selective Attention Training

1. Setiap tes pada sustained attention, ditambahkan suara atau gerakan

yang menganggu.

2. Pasien ditugaskan untuk menggambar dengan kertas dan pena pada

selembar kertas yang penuh dengan bekas dan desain pada latar

belakang.

d. Divided Attention Training

1. Pasien membaca beberapa paragraf, dan memperhatikan isinya.

2. Pasien menyelesaikan sustained attention training, dimana pasien harus

mampu merespon stimulus verbal atau visual.

2. Memori

Terapi untuk mengembalikan fungsi memori dibagi menjadi 3 tahap16 :

a. Mengartikan suatu rangsangan

Dalam rangka untuk merehabilitasi memori, aspek pertama adalah

melakukan verifikasi apakah pasien dapat mempertahankan perhatian yang

cukup pada stimulus / tugas yang diberikan. Aspek kedua adalah untuk

menilai apakah pasien mampu memecahkan stimulus yang diberikan

terhadap kata atau benda (stimulus verbal maupun visual) atau dapat

mengkategorikan kata-kata atau benda ke setiap kelompok semantik.

Latihan yang digunakan adalah pengulangan kata. Dilakukan secara

bersamaan, melibatkan kategorisasi kata-kata seperti dengan menanyakan

apakah kucing adalah binatang yang terlihat di kebun binatang atau dengan

menimbulkan sajak dari kata tertentu.

b. Penyimpanan Memori

14

Page 15: gangguan kognitif

Pelatihan ini mencakup pembelajaran terhadap hal-hal baru atau

keterampilan lama yang hilang. Bila ada lesi hippocampus bilateral,

mekanisme retensi memori belajar jangka panjang akan hilang. Proses

pengulangan verbal dan menulis penting dilakukan untuk pelatihan ini.

c. Membangkitkan ingatan masa lalu

Pelatihan ini dilakukan dengan gambar atau kata-kata. Pengulangan,

menulis, menggambar dan proses verbal penting dalam pelatihan ini.

Individu yang mengalami cedera lobus frontal, dapat mengingat fakta,

namun tidak mampu mengasosiasikannya dengan waktu dan tempat

terjadinya. Cara yang digunakan untuk mengembalikan ingatan masa lalu

adalah mengulangi fakta-fakta yang mampu diingat pasien menggunakan

gambar, atau mengulangi cerita sampai pasien mengingatnya.

Terapi yang dapat dilakukan dirumah pasien sendiri, diawali dengan

evaluasi terhadap kondisi neurologis, neuropsikologis, kemampuan

berbicara dan terapi okupasi. Setelah evaluasi ini dilakukan, tim

interdispiliner akan menetapkan strategi pengobatan. Langkah dibawah ini

memungkinkan untuk dilakukan pelatihan dirumah:

1. Mengingat peristiwa dalam satu hari (pada akhir hari) atau hari

sebelumnya (di pagi hari)

2. Jika memungkinkan, setelah mengingat peristiwa, pasien

menuliskannya di buku tulis

3. Menerima informasi baru – ringkasan berita tentang kegiatan di

keluarga, membaca infomasi yang singkat

4. Menyusun rencana aktivitas yang akan dilakukan setiap pagi,

setiap hari dan setiap minggu

5. Membicarakan cerita masa lalu yang telah dilupakan atau yang

susunan ceritanya tidak dapat diingat dengan baik

6. Melakukan segala aktivitas sehari-hari dengan perhatian, fungsi

eksekutif, bahasa dan memori

7. Penggunaan obat hanya digunakan jika dirasa perlu : ACH

inhibitor, antidepressant, Ritalin

15

Page 16: gangguan kognitif

Terapi farmakologis

Terapi farmakologi yang diberikan disesuaikan dengan penurunan fungsi kognitif

yang menyertai. Penurunan fungsi kognitif dibagi menjadi 3 kategori : gangguan

fungsi eksekutif, gangguan pada memori, gangguan kecepatan proses berpikir. 17,18

Fungsi Eksekutif17 :

a. AMH (Amantideine Hydrochloride) direkomendasikan untuk

meningkatkan fungsi kognitif umum setelah trauma. Beberapa studi

menyatakan penggunaan amantadine 200-400mg/hari terbukti aman untuk

meningkatkan fungsi kognitif pasien dengan cedera otak sedang hingga

berat dan dimulai dari hari ke 3 sampai 5 bulan kedepan. Amantadine

dengan dosis 400mg/hari juga dapat meningkatkan fungsi eksekutif tanpa

manfaat yang signifikan dalam perhatian atau memori pada pasien dengan

cedera kepala ringan sampai berat 6 bulan pasca cedera.

b. Bromokriptin direkomendasikan untuk meningkatkan fungsi eksekutif

setelah trauma. Dosis yang dianjurkan adalah 2,5 mg. Tetapi bromokriptin

tidak efektif digunakan pada trauma yang sedang dan berat.

Fungsi Memori17:

a. Cholinesterase Inhibitor (Donepezil). Obat yang biasa digunakan dalma

terapi Alzeimer Disease ini juga memiliki manfaat jika digunakan sebagai

terapi pada trauma kepala. Donepezil dapat digunakan pada fase akut dan

lambat dari penurunan memori yang terjadi pada cedera ringan, sedang,

dan berat. Dosis yang disarankan 5 – 10mg/hari selama beberapa minggu.

b. Rivastigmine (3-6mg / hari) telah menunjukan efektivitas pada cedera

ringan jika dimulai 1 tahun setelah cedera dan aman jika digunakan

selama 12 – 38 minggu.

Fungsi dalam Kecepatan Proses Berpikir16,17

a. MPD (Methylphenidate) direkomendasikan untuk meningkatkan fungsi

atensi dan kecepatan proses berpikir. Suatu studi menyatakan pasien

16

Page 17: gangguan kognitif

cedera otak ringan sampai berat yang menggunakan methylphenidate

mengalami peningkatan atensi dan proses berpikir. Dosis standar yang

efektif dan aman digunakan adalah 0,3 mg/kg dua kali sehari.

Methylphenidate tidak menurunkan ambang kejang, oleh karena itu obat

ini aman digunakan pada pasien dengan resiko kejang yang tinggi.

b. Dextroamphetamine juga digunakan untuk meningkatkan proses berpikir

pasca trauma otak. Dosis yang diberika 5-30mg/hari dinyatakan efektif

sebagai terapi atensi.

2.8 Komplikasi

Komplikasi terhadap fungsi kognitif yang dapat timbul akibat trauma kepala :18

- Kesulitan mengerti perkataan dan tulisan

- Kesulitan berbicara dan menulis

- Kesulitan mengorganisasikan pikiran dan ide

- Kesulitan mengikuti percakapan

2.9 Prognosis

Prognosis dari gangguan kognitif pasca cedera kepala sulit untuk ditentukan.

Tidak ada pengukuran yang jelas untuk menilai prognosis dari gangguan kognitif

pasca cedera kepala. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa prognosis dari

gangguan kognitif pasca trauma kepala ditentukan oleh tipe cedera kepala yang

dialami dan berat cedera kepala yang dialami19,20.

Pasien dengan cedera kepala terbuka memiliki prognosis yang lebih buruk

dibandingkan pasien dengan cedera kepala tertutup. Pasien dengan cedera kepala

terbuka cenderung memiliki fungsi kognitif yang buruk pasca cedera dan akan

terus mengalami penurunan fungsi kognitif sampai 30 tahun setelahnya. Faktor

yang menentukan tingkat keburukan gangguan kognitif pada pasien pasca cedera

kepala terbuka adalah skor kognitif sebelum cedera, volume dari jaringan otak

yang hilang dan regio otak yang cedera19,20.

17

Page 18: gangguan kognitif

Pada pasien dengan cedera kepala tertutup, gangguan kognitif yang dialami

cenderung lebih baik dibandingkan dengan pasien dengan cedera kepala terbuka.

Pasien dengan cedera kepala ringan cenderung memiliki gangguan kognitif ringan

dan gangguan neurobehavior dengan onset akut. Pasien dengan cedera kepala

sedang cenderung akan memiliki gangguan sampai dengan 6 bulan. Pasien dengan

cedera kepala berat akan memiliki defisit kognitif menetap selama lebih dari 6

bulan19,20.

BAB III

KESIMPULAN

1. Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara

langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada

gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat

bersifat sementara ataupun permanent.

2. Gangguan kognitif merupakan respon maladaptive yang ditandai dengan

keadaan dimana seseorang mengalami masalah dalam daya ingat,

pembelajaran (terutama terhadap hal-hal yang baru), konsentrasi, atau

pembuatan keputusan yang mempengaruhi kehidupan sehari-harinya.

gangguan kognitif erat kaitannya dengan fungsi otak, karena kemampuan

pasien untuk berpikir akan dipengaruhi oleh keadaan otak

3. Gejala neuropsikiatrik yang merupakan sekuele dari trauma kapitis dapat

meliputi masalah perhatian (atensi) dan arousal, konsentrasi dan fungsi

eksekutif, perubahan intelektual, gangguan memori, perubahan

18

Page 19: gangguan kognitif

kepribadian, gangguan afektif, gangguan ansietas, psikosis, epilepsi pasca

traumatik, gangguan tidur, agresi, dan iritabilitas.

4. Diagnosis gangguan kognitif ringan berdasarkan hasil evaluasi diagnostik

yang meliputi pemeriksaan neurologis, pemeriksaan status mental,

evaluasi neuro psikologis dan psikiatris, pemeriksaan fisik termasuk tes

laboratorium, pencitraan (CT-Scan atau MRI), dan peninjauan kembali

dari riwayat medis pasien dan obat-obatan yang pasien saat ini sedang

dipakai.

5. Terapi bertujuan untuk mengembalikan keterampilan yang hilang serta

mengimbangi kemampuan yang telah diubah secara permanen. Terapi

dalam gangguan kognitif pasca trauma kepala dibagi menjadi dua yaitu

terapi non-farmakologis dan terapi farmakologis

DAFTAR PUSTAKA

1. Japardi iskandar, 2004, Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif.

Sumatra Utara: USU Press.

2. C.H.Salmond, D.A.Chatfield, D.K.Menon, J.D.Pickard, B.J.Sahakian.

2005. Cognitive sequelae of head injury: involvement of basal forebrain

and associated structures. Brain Vol. 128 No.1 : 189–200

3. Sureyya S. Dikmen, PhD; John D. Corrigan, PhD, ABPP; Harvey S.

Levin, PhD; Joan Machamer, MA; William Stiers, PhD, ABPP; Marc G.

Weisskopf, PhD, ScD. 2009. Cognitive Outcome Following Traumatic

Brain Injury. J Head Trauma Rehabil. Vol. 24, No. 6, pp. 430–438

4. Stuart, Gw. and Sundeen S.J (1995). Perbandingan Delirium, Depresi dan

Demensia.St.louis: Mosby year book

5.  Wilson, H.S, and Kneils, C.R . (1992). Psychiatric Nursing . California :

Addison Wesley Nursing.

19

Page 20: gangguan kognitif

6. American College of Surgeons, 1997, Advance Trauma Life Suport.

United States of America: Firs Impression

7. Morris, Terri. Traumatic Brain Injury. 2010. Springer.

8. Anthony M. Avellino. Increased Intracranial Pressure. 2005. Bernard

Lmaria.

9. Shere, Mark. Et al. Multidimensional Assessment of Acute Confusion After

Traumatic Brain Injury. 2005. Arch Phys Med Rehabil vol 86.

10. Rao, v. And Lyketos, C. 2000. Neurophsyciatric Sequele of Traumatic

Brain Injury. Psychosomatics

11. Dikot, Y., & Ong, PA., 2007. Diagnosis Dini dan Penatalaksanaan Demensia di

Pelayanan Medis Primer. Asosiasi Alzheimer Indonesia (AAzI) Cab. Jawa Barat

& Asna Dementia Standing Commiitee.

12. Setyopranoto, I., & Lamsudin, R., 2008. Kesepakatan penilaian Mini Mental

State Examination (MMSE) pada penderita stroke iskemik akut di RSUP Dr.

Sardjito Yogyakarta, Berkala Neuro Sains vol.1, 1, 73-76.

13. Setyopranoto, I., Lamsudin, R., Dahlan, P., 2007. Peranan stroke iskemik akut

terhadap timbulnya gangguan fungsi kognitif di RSUP. Dr. Sardjito, Berkala

Neurosains, vol. 2, 1, 227-234.

14. Turana, Y., Mayza, A., Luwempouw S.F., 2004. Pemeriksaan Status Mini Mental

pada usia lanjut di Jakarta. Medika, vol. 30, 9, 563-568.

15. Nevid S, Jeffrey., Spencer A Rathus ., dan Beverly Greeny. 2005. Psikologi

Abnormal Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.

16. Frire, FR, et.all. Cognitive Rehabilitation Following Traumatic Brain Injury.

Dement Neuropsychol 2011, 5 (1) : 17 – 25

17. Bales JW, Wagner AK, Kline AE, Dixon CE. Persistent Cognitive Dysfunction

After Traumatic Brian Injury : A Dopamine Hypothesis. Neurosci Biobehav Rev

2009 ; 33 (7) : 981 – 1003.

18. Scher LM. Traumatic Brain Injury : Pharmacotherapy options for cognitive

deficits. Current Psychiatry Vol 1- no 2 : 21-37.

19. Dikmen, S et. all. Cognitive Outcome Following Traumatic Brain Injury. J Head

Trauma Rehabil Vol. 24, No. 6, pp. 430–438 Copyright c 2009 Wolters Kluwer

Health | Lippincott Williams & Wilkins

20

Page 21: gangguan kognitif

20. Skandsen et.all. Cognitive Impairment 3 Months After Moderate and Severe

Traumatic Brain Injury: A Prospective Follow-Up Study. Arch Phys Med

Rehabil Vol 91, December 2010

21