hiperusemia dan sle
DESCRIPTION
nnTRANSCRIPT
DEFINISI
Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar asam urat darah diatas normal. Secara
biokomiawi akan terjadi hipersaturasi yaitu kelarutan asam urat di serum yang melewati ambang
batasnya. Batasan hiperurisemia secara ideal yaitu kadar asam urat diatas 2 standar deviasi hasil
laboratorium pada populasi normal. Namun secara pragmatis dapat digunakan patokan kadar asam urat
>7 mg% pada laki-laki, dan >6 mg% pada perempuan, berdasarkan berbagai studi epidemologi selama
ini. Keadaan hiperurisemia akan beresiko timbulnya arthritis gout, nefropati gout, atau batu ginjal.
Hiperurisemia dapat terjadi bisa terjadi akibat peningkatan metabolisme asam urat (overproduction),
penurunan ekskresi asam urat urin (underexcretion), atau gabungan keduanya.
Lupus Eritematosus Sistemik (selanjutnya disingkat sebagai LES) merupakan penyakit autoimun
multisistem yang berat, dimana tubuh membentuk berbagai jenis antibodi, termasuk antibodi terhadap
antigen nuklear (ANAs), sehingga menyebabkan kerusakan berbagai organ. Manifestasi klinisnya
tergantung organ mana yang terkena. Dengan demikian tampilan klinis LES sangat bervariasi baik berat-
ringannnya maupun gejala dan tandanya. Hal ini tentu saja menyulitkan dokter untuk mendiagnosis
secara dini. Jika pasien terdiagnosis dalam keadaan sudah jelas semua tanda dan gejalanya timbul,
biasanya penyakitnya sudah berat, penatalaksaannya lebih sulit, butuh obat-obatan yang lebih mahal
dan prognosisnyapun lebih buruk.
Hiperurisemia telah lama ditetapkan sebagai faktor etiologi utama dalam gout. Namun, dalam beberapa
tahun terakhir, banyak penelitian yang menunjukkan bahwa hyperuricemia memainkan peran dalam
perkembangan dan patogenesis sejumlah penyakit metabolik, hemodinamik, dan patologis sistemik,
termasuk sindrom metabolik, hipertensi, stroke, dan aterosklerosis. Dalam beberapa penelitian, terapi
yang menurunkan kadar uric acid dapat mencegah atau memperbaiki komponen-komponen tertentu
dalam sindrom metabolik. Diketahui juga terdapat hubungan antara asam urat dan perkembangan lupus
eritematosus sistemik; dimana hubungan antara penyakit rematik lainnya seperti rheumatoid arthritis
dan osteoarthritis masih kurang jelas.
PATOFISIOLOGIS
LES ditandai dengan adanya produksi autoantibodi, terbentuknya kompleks imun, dan episode aktivasi
komplemen yang tidak terkendali. LES disebabkan oleh interaksi antara gen yang dicurigai berperan
pada LES dan faktor lingkungan yang menghasilkan respon imun abnormal. Respon tersebut terdiri dari
hiperaktivitas sel T helper sehingga terjadi hiperaktivitas sel B juga. Terjadi gangguan mekanisme
downregulating yang menimbulkan respon imun abnormal antara lain produksi autoantibodi yang
beberapa diantaranya membentuk kompleks imun, dan depositnya dijaringan menimbulkan kerusakan.
Etiologi lupus secara pasti masih belum jelas. Menurut anggapan sekarang penyakit LES dapat
ditimbulkan karena gangguan sistem imun pada sel B dan sel T, atau pada interaksi antara kedua sel
tersebut. Hal tersebut akan menyebabkan aktivasi sel-sel B poliklonal, akibatnya terjadi pembentukan
autoantibodi secara berlebihan. Autoantibodi adalah antibodi patologik yang terbentuk akibat sistem
imun tubuh tidak dapat membedakan antara “self ” dan “nonself ”. Selain itu banyak faktor lain yang
berperan terhadap timbulnya penyakit LES, antara lain faktor genetik, defisiensi komplemen, hormon,
lingkungan, stress, obat-obatan dan faktor-faktor lain.
1. Genetik
Beberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit LES dengan gen Human Leukocyte
Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Individu dengan
gen HLA DR2 dan DR3 mempunyai risiko relatif menderita penyakit LES 2-3 kali lebih besar daripada
yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA DR5. Peneliti lain menemukan bahwa penderita penyakit LES
yang mempunyai epitop antigen HLA-DR2 cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA, sedangkan
penderita yang mempunyai epitop HLA-DR3 cenderung membentuk autoantibodi anti-Ro/SS-A dan anti-
La/SS-B. Penderita penyakit LES dengan epitop-epitop HLA-DR4 dan HLA-DR5 memproduksi
autoantibodi anti-Sm dan anti-RNP.
2. Defisiensi komplemen
Pada penderita penyakit LES sering ditemukan defisiensi komplemen C3 dan atau C4, yaitu pada
penderita penyakit LES dengan manifestasi ginjal. Defisiensi komplemen C3 dan atau C4 jarang
ditemukan pada penderita penyakit LES dengan manifestasi pada kulit dan susunan saraf pusat. Individu
yang mengalami defek pada komponen-komponen komplemennya, seperti Clq, Clr, Cls mempunyai
predisposisi menderita penyakit LES dan nefritis lupus. Defisiensi komplemen C3 akan menyebabkan
kepekaan terhadap infeksi meningkat, keadaan ini merupakan predisposisi untuk timbulnya penyakit
kompleks imun. Penyakit kompleks imun selain disebabkan karena defisiensi C3, juga dapat disebabkan
karena defisiensi komplemen C2 dan C4 yang terletak pada MHC kelas II yang bertugas mengawasi
interaksi sel-sel imunokompeten yaitu sel Th dan sel B. Komplemen berperan dalam sistem pertahanan
tubuh, antara lain melalui proses opsonisasi, untuk memudahkan eliminasi kompleks imun oleh sel
karier atau makrofag. Kompleks imun akan diikat oleh reseptor komplemen (Complement receptor = C-
R) yang terdapat pada permukaan sel karier atau sel makrofag. Pada defisiensi komplemen, eliminasi
kompleks imun terhambat, sehingga jumlah kompleks imun menjadi berlebihan dan berada dalam
sirkulasi lebih lama.
3. Hormon
Pada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi sistem imuns sedangkan estrogen memperkuat
sistem imun. Predominan lupus pada wanita dibandingkan pria memperlihatkan adanya pengaruh
hormon seks dalam patogenesis lupus. Pada percobaan di tikus dengan pemberian testosteron
mengurangi lupus-like syndrome dan pemberian estrogen memperberat penyakit.
4. Lingkungan
Pengaruh fisik (sinar matahari), infeksi (bakteri, virus, protozoa), dan obat-obatan dapat
mencetuskan atau memperberat penyakit autoimun. Mekanismenya dapat melalui aktivasi sel B
poliklonal atau dengan meningkatkan ekspresi MHC kelas I atau II.
5. Obat-obatan
Beberapa macam obat telah diketahui menyebabkan timbulnya gejala klinik yang menyerupai penyakit
LES ini. Obat-obatan yang telah disepakati berhubungan erat dengan kejadian lupus ini diantaranya :
Carbamazepine, Chlorpromazine, Diphenylhydantoin, Ethosuximide, Hydralazine, Isoniazid, Methyldopa,
Penicillamine, Procainamide, Quinidine, dan Sulfasalazine. Obat-obat tersebut diduga dapat bereaksi
dengan antigen DNA atau histon dan menyebabkan antigen-antigen tersebut menjadi lebih imunogenik.
6. Stres
Stres mempengaruhi respon imun dan sistem saraf pusat. Sistem imun seperti halnya sistem yang
mempertahankan homeostasis tubuh lainnya, terintegrasi dalam proses-proses fisiologis lain dan
dimodifikasi oleh otak. Faktor-faktor lain seperti usia, neoplasia, gizi dapat berpengaruh terhadap
penyakit autoimun. Diduga faktor-faktor tersebut dapat menimbulkan aktivasi poliklonal sel B.
Tabel 1. Autoantibodi yang berkaitan dengan penyakit autoimun 13,14,21
Spesifisitas Epitop Keterangan
ds-DNA
Smith
RNP
SS-A (Anti-Ro)
SS-B (Anti-La)
Phospholipid
Centromere
Berhubungan dengan bentuk lupus yang
berat, seperti nefritis lupus tipe
glomerulonefritis proliferatif difus, dan lupus
dengan target organ jantung dan paru.
Berhubungan dengan nefritis lupus tipe
membranopati
Berhubungan dengan Raynaud’s phenomenon
dan indikasi keterlibatan pulmo dan
muskuloskeletal
Lupus kutaneus, sicca complex, dan sindroma
lupus neonatal
Apabila ada maka meningkatkan resiko lupus
neonatal
Predisposisi fetal loss, trombus, dan
trombositopenia
Didapatkan pada LES tanpa sindroma CREST
SCL-70 (topoisomerase)
hanya ada Raynaud’s phenomenon
Mengindikasikan perubahan ke arah
skleroderma
Yang et al. menunjukkan bahwa tingkat SUA dapat digunakan untuk memprediksi perkembangan
penyakit ginjal pada pasien dengan SLE. Mereka menemukan bahwa SUA secara independen terkait
dengan perkembangan lupus nefritis pada pasien SLE.
PENATALAKSANAAN
Sebagian besar kasus hiperurisemia (termasuk hiperurisemia asimptomatik) mempunyai latar belakang
penyebab primer, sehingga memerlukan pengendalian kadar asam urat jangka panjang. Perlu
compliance yang baik dari pasien untuk mencapai tujuan terapi di atas, dan hal itu hanya didapat
dengan edukasi yang baik. Pengendalian diet rendah purin juga menjadi bagian tata laksana yang
penting.
Kontrol hiperurisemia dilakukan dengan diet rendah purin, serta menghindari obat-obatan yang
meningkatkan kadar asam urat serum terutama diuretik.
Selanjutkan diperlukan urate lowering agent seperti golongan xanthine oxidase inhibitor, maupun
uricosuric agent, dengan catatan tidak boleh dimulai pada saat serangan akut.
Pada hiperurisemia asimptomatik terapi farmakologik dimulai jika kadar asam urat serum >9 mg/dL.
Sedangkan pada penderita gout telah diketahui bahwa pemberian urate lowering agent juga menjadi
faktor pencetus serangan akut, sehingga diberikan juga kolkisin dosis prevensi 0,6 mg 1-3 kali perhari,
atau OAINS dosis rendah, dan dimulai setelah tidak adanya tanda-tanda inflamasi akut. Rilonacept,
suatu inhibitor IL-1 sedang dikembangkan sebagai obat pencegah serangan akut pada awal terapi
penurun asam urat. Target terapi adalah menurunkan kadar asam urat serum sampai di bawah 6,8
mg/dL (lebih baik sampai 5-6 mg/ dL).
Jenis urate lowering agent yang pertama yaitu golongan xanthine oxidase inhibitor dengan cara kerja
penghambatan oksidasi hipoxantin menjadi xantin, dan xantin menjadi asam urat. Obat yang termasuk
golongan ini adalah allopurinol. Diberikan mulai dosis 100 mg/hari dan dinaikkan tiap minggu sampai
tercapai target (rata-rata diperlukan minimal 300 mg/hari). Pada gangguan fungsi ginjal dosis harus
disesuaikan. Jenis obat yang lain seperti febuxostat, non-purine xanthine oxidase inhibitor yang juga
cukup poten, maupun pegylated recombinant uricase, masih dikembangkan. Sedangkan jenis urate
lowering agent yang kedua yaitu golongan uricosuric agent, bekerja dengan cara menghambat reabsorsi
urat di tubulus renalis. Yang paling sering dipakai adalah probenesid dan sulfinpirazon. Probenesid
dengan dosis 0,5-3 gram dibagi 2-3 kali perhari. Sedangkan sulfinpirazon diberikan dengan dosis 300-400
mg dibagi 3-4 kali perhari. Pemakaian obat urikosurik ini lebih diindikasikan pada keadaan dengan
ekskresi asam urat di urin <800 mg perhari, dan dengan fungsi ginjal yang masih baik (creatinine
clearance >80ml/menit). Risiko batu ginjal semakin besar pada kadar asam urat di urin yang tinggi. Pada
beberapa kasus yang sulit dikendalikan dengan obat tunggal, kombinasi uricosuric agent dan xanthine
oxidase inhibitor dapat dibenarkan.
Untuk penanganan LES sendiri terbagi menjadi nonfarmakologis dan farmkologis.
Non Farmakologis
1. Edukasi
Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan penyakit yang kronis.
Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang berbagai macam manifestasi klinis yang dapat
terjadi, tingkat keparahan penyakit yang berbeda-beda sehingga penderita dapat memahami dan
mengurangi rasa cemas yang berlebihan. Pada wanita usia reproduktif sangat penting diberikan
pemahaman bahwa bila akan hamil maka sebaiknya kehamilan direncanakan saat penyakit sedang
remisi, sehingga dapat mengurangi kejadian flare up dan risiko kelainan pada janin maupun
penderita selama hamil.
2. Dukungan sosial dan psikologis. Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut
sertakan peer group atau support group sesama penderita lupus. Di Indonesia ada 2 organisasi pasien
Lupus, yakni care for Lupus SD di Bandung dan Yayasan Lupus Indonesia di Jakarta. Mereka bekerjasama
melaksanakan kegiatan edukasi pasien dan masyarakat mengenai lupus. Selain itu merekapun
memberikan advokasi dan bantuan finansial untulk pasienyang kurang mampu dalam pengobatan.
3. Istirahat
Penderita SLE sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup, selain perlu dipikirkan
penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan depresi.
4. Tabir surya
Pada penderita SLE aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar sinar matahari, sehingga
dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang berlebihan dan menggunakan tabir
surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit sebelum terpapar, diulang tiap 4-6 jam.
5. Monitor ketat
Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila terdapat demam yang tidak
jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat sejalan dengan pemberian obat immunosupresi
dan kortikosteroid. Risiko kejadian penyakit kejadian kardiovaskuler, osteoporosis dan keganasan
juga meningkat pada penderita SLE, sehingga perlu pengendalian faktor risiko seperi merokok,
obesitas, dislipidemia dan hipertensi.
Farmakologis
Terapi Imunomodulator
1. Siklofosfamid
Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat, terutama nefropati lupus.
Pengobatan dengan kortikosterod dan siklofosfamid (bolus iv 0,5-1 gram/m2) lebih efektif dibanding
hanya kortikosteroid saja, dalam pencegahan sequele ginjal, mempertahankan fungsi ginjal dan
menginduksi remisi ginjal. Manifestasi non renal yang efektif dengan siklofosfamid adalah sitopenia,
kelainan sistem saraf pusat, perdarahan paru dan vaskulitis.
Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan sampai 2,5-3 mg/kgBB dengan
kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit > 3500/mm3. Monitoring jumlah leukosit dievaluasi tiap 2
minggu dan terapi intravena dengan dosis 0,5-1 gram/m2 setiap 1-3 bulan.
Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang dapat ditemukan rambut rontok
namun hilang bila obat dihentikan. Leukopenia dose-dependent biasanya timbul setelah 12 hari
pengobatan sehingga diperlukan penyesuaian dosis dengan leukosit. Risiko terjadi infeksi bakteri,
jamur dan virus terutama Herpes zoster meningkat. Efek samping pada gonad yaitu menyebabkan
kegagalan fungsi ovarium dan azospermia. Pemberian hormon Gonadotropin releasing hormone
atau kontrasepsi oral belum terbukti efektif. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang
mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.
2. Mycophenolate mofetil (MMF)
MMF merupakan inhibitor reversibel inosine monophosphate dehydrogenase, yaitu suatu enzim
yang penting untuk sintesis purin. MMF akan mencegah proliferasi sel B dan T serta mengurangi
ekspresi molekul adhesi. MMF secara efektif mengurangi proteinuria dan memperbaiki kreatinin
serum pada penderita SLE dan nefritis yang resisten terhadap siklofosfamid. Efek samping yang
terjadi umumnya adalah leukopenia, nausea dan diare. Kombinasi MMF dan Prednison sama
efektifnya dengan pemberian siklosfosfamid oral dan prednison yang dilanjutkan dengan
azathioprine dan prednisone. MMF diberikan dengan dosis 500-1000 mg dua kali sehari sampai
adanya respons terapi dan dosis obat disesuaikan dengan respons tersebut. Pada penderita SLE
dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.
3. Azathioprine
Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan mempengaruhi
fungsi imun seluler dan humoral. Pada SLE obat ini digunakan sebagai alternatif siklofosfamid untuk
pengobatan lupus nefritis atau sebagai steroid sparing agent untuk manifestasi non renal seperti
miositis dan sinovitis yang refrakter. Pemberian mulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu
dapat dinaikkan dengan interval waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3 mg/kgBB/hari dengan syarat
jumlah leukosit > 3500/mm3 dan metrofil > 1000. Jika diberikan bersamaan dengan allopurinol maka
dosisnya harus dikurangi menjadi 60-75%. Efek samping yang terjadi lebih kuat dibanding
siklofosfamid, yang biasanya terjadi yaitu supresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal.
Azathioprine juga sering dihubungkan dengan hipersensitifitas dengan manifestasi demam, ruam di
kulit dan peningkatan serum transaminase. Keluhan biasanya bersifat reversibel dan menghilang
setelah obat dihentikan. Oleh karena dimetabolisme di hati dan dieksresikan di ginjal maka fungsi
hati dan ginjal harus diperiksa secara periodik. Obat ini merupakan pilihan imunomodulator pada
penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB/hari karena relatif
aman.
4. Leflunomide (Arava)
Leflunomide merupakan suatu inhibitor de novo sintesis pyrimidin yang disetujui pada pengobatan
rheumatoid arthritis. Beberapa penelitian telah melaporkan keuntungan pada pasien SLE yang pada
mulanya diberikan karena ketergantungan steroid. Pemberian dimulai dengan loading dosis 100
mg/hari untuk 3 hari kemudian diikuti dengan 20 mg/hari.
5. Methotrexate
Methotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu kali seminggu, dan terbukti efektif
terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping yang biasa terjadi adalah peningkatan serum
transaminase, gangguan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer, sehingga perlu dimonitor ketat
fungsi hati dan ginjal. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat
golongan ini sebaiknya dihindarkan.
6. Siklosporin
Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat ditoleransi dan
menimbulkan perbaikan yang nyata terhadap proteinuria, sitopenia, parameter imunologi (C3, C4,
anti-ds DNA) dan aktifitas penyakit. Jika kreatinin meningkat lebih dari 30% atau timbul hipertensi
maka dosisnya harus disesuaikan efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi, hiperplasia
gusi, hipertrikhosis, dan peningkatan kreatinin serum. Siklosporin terutama bermanfaat untuk
nefritis membranosa dan untuk sindroma nefrotik yang refrakter, sehingga monitoring tekanan
darah dan fungsi ginjal harus dilakukan secara rutin. Siklosporin A dapat diberikan pada penderita
nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari karena relatif aman.
Agen Biologis
1. Aktivasi sel T, interaksi sel T dan sel B, deplesi sel B
Perkembangan terapi terakhir telah memusatkan perhatian terhadap fungsi sel B dalam mengambil
autoAg dan mempresentasikannya melalui immunoglobulin spesifik terhadap sel T di permukaan
sel, selanjutnya mempengaruhi respons imun dependen sel T. Anti CD 20 adalah suatu antibodi
monoklonal yang melawan reseptor CD 20 yang dipresentasikan limfosit B.
2. Anti CD 20
Anti CD 20 (Rituximab; Rituxan) memiliki pontensi terapi untuk SLE yang refrakter. Beberapa
penelitian memberikan keberhasilan terapi pada manifestasi lupus refrakter seperti sistem saraf
pusat, vaskulitis dan gangguan hematologi.
3. LJP 394
LJP 394 (Abetimus sodium; Riquent) telah didisain untuk mencegah rekurensi flare renal pada pasien
nefritis dengan cara mengurangi antibody terhadap ds-DNA melalui toleransi spesifik antigen secara
selektif. Substansi ini merupakan suatu senyawa sintetik yang terdiri dari rangkaian
deoksiribonukleotida yang terikat pada rantai trietilen glikol.
4. Anti B lymphocyte stimulator
Stimulator limfosit B (BlyS) merupakan bagian dari sitokin TNF (tumor necrosis factor), yang
mempresentasikan sel B. LymphoStatB merupakan antibod monoklonal terhadap BlyS.
5. Sitokin inhibitor
Meskipun telah ada penelitian yang menunjukkan penurunan sekresi TNF alfa dan meliorasi
leukopenia, proteinuria dan deposisi imun kompleks pada binatang percobaan, namun tidak ada
studi klinis agen anti TNF yang diberikan pada penderita SLE.
6. Anti malaria
Obat anti malaria yang digunakan pada SLE adalah hidroksiklorokuin, klorokuin, dan quinakrin.
Digunakan untuk keluhan konstitusional, manifestasi di kulit, musculoskeletal dan serositis.
Kombinasi obat antimalaria memiliki efek sinergis dan digunakan bila penggunaan satu macam obat
tidak efektif. Hidroksiklotokuin (200–400 mg/hari) dan Quinakrin (100 mg/hari) sebagai steroid
sparing agent memiliki efek samping yang ringan dan reversibel, yaitu perubahan warna kulit
menjadi kekuningan.
Mekanisme bagaimana hidroksiklorokuin mencegah kerusakan organ belum jelas. Hidroksiklorokuin
menurunkan kadar lipid dan kemungkinan anti trombotik. Yang perlu diperhatikan adalah efek
samping pada mata meskipun relatif aman bila digunakan pada dois rendah (< 6,5 mg/kgBB/hari).
Namun demikian rekomendasi saat ini adalah melakukan pemeriksaan mata sebelum mulai
pengobatan dan setiap 6 – 12 bulan kemudian. Antimalaria jarang sekali menyebabkan kelainan
kongenital pada janin. Oleh karena itu direkomendasaikan untuk diberikan juga pada penderita
nefropati lupus yang hamil dan dapat diberikan sampai masa menyusui. Kejadian IUGR juga
berkurang dengan pemberian hidroksiklorokuin.
Hormon Seks
Bromokriptin yang secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi prolaktin terbukti
bermanfaat mengurangi aktifitas penyakit SLE. Dehidroepiandrosteron (DHEA) bermanfaat untuk SLE
dengan aktifitas ringan sampai sedang. Danazole (sintetik steroid) dengan dosis 400-1200 mg/hari
bermanfaatuntuk mengontrol sitopenia autoimun terutama trombositopeni dan anemia hemolitik.
Estrogen replacement therapy (ERT) dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien SLE yang mengalami
menopause, namun masih terdapat perdebatan mengenai kemampuan kontraseptif oral atau ERT dalam
menimbulkan flare SLE. Untuk itu terapi ini harus ditunda pada pasien dengan riwayat trombosis.
Kortikosteroid
Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis SLE. Sediaan topikal atau
intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intra artikular digunakan untuk artritis, sedangkan sediaan
oral atau parenteral untuk kelainan sistemik. Pemberian per oral dosisnya bervariasi dari 5-30 mg
prednison (metilprednisolon) per hari secara tunggal atau dosis terbagi, efektif untuk mengobati
keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis dan serositis. Seringkali kortikosteroid diberikan
bersamaan dengan antimalaria atau imunomodulator dengan tujuan untuk mendapatkan induksi yang
cepat kemudian diturunkan dosisnya. Adanya keterlibatan organ penting seperti nefritis, cerebritis,
kelainan hematologi atau vaskulitis sistemik, umumnya memerlukan prednison dosis tinggi (1-2
mg/kgBB/hari). Kortikosteroid parenteral juga dapat digunakan pada keadaan yang sangat berat,
mengancam jiwa, dengan dosis metilprednisolon bolus 1000 mg selama 3 hari berturut-turut.
Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian glukokortikoid lama antara lain habitus cushingoid,
peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler, akne, hirsutism, percepatan osteoporosis,
nekrosis iskemi tulang, katarak, glaucoma, diabetes mellitus, myopati, hipokalemia, menstruasi yang
tidak teratur, iritabilitas, insomnia, dan psikosa. Oleh karenanya setelah aktifitas penyakit terkontrol,
dosis kortikosteroid harus segera diturunkan atau kalau mungkin dihentikan atau diberikan dalam dosis
terkecil selang sehari.
Untuk meminimalisasi osteoporosis, dapat diberikan suplemen kalsium 1000 mg/ hari pada pasien
dengan eksresi kalsium urin 24 jam lebih dari 120 mg. Diberikan pula vitamin D 50.000 unit 1-3 kali
seminggu (monitor hiperkalsemia). Dalam mencegah osteoporosis dapat pula diberikan kalsitonin dan
bifosfonat (alendronat, didronel atau actonel). Kortikosteroid pada umumnya dapat ditoleransi dengan
baik selama kehamilan meskipun dapat menimbulkan eksaserbasi diabetes dan hipertensi. Tidak
terdapat bukti bahwa kortikosteroid menyebabkan defek kongenital tetapi mungkin dapat
menyebabkan berat badan bayi lahir rendah dan ketuban pecah dini.
NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug)
NSAID digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri muskuloskeletal, pleuritis, perikarditis dan sakit
kepala. Efek samping NSAID pada ginjal, hati, sistem saraf pusat harus dibedakan dengan aktifitas lupus
yang menghebat. Adanya proteinuria yang baru timbul atau perburukan fungsi ginjal dapat disebabkan
oleh aktifitas SLE atau efek NSAID. NSAID juga dapat menyebabkan meningitis aseptik, sakit kepala,
psikosis dan gangguan kognitif, meningkatkan serum transaminase secara reversibel. Gangguan
gastrointestinal merupakan efek samping paling sering ditimbulkan oleh inhibitor COX non-selektif.
Inhibitor COX-2 selektif lebih sedikit efek sampingnya pada gastrointestinal. Pada penderita SLE dengan
nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan karena dapat
mengakibatkan kelainan kongenital dan dieksresikan dalam air susu.
Plasmaferesis
Peranan plasmaferesis pada nefropati lupus masih kontroversi. Indikasinya adalah kasus lupus disertai
krioglobulinemia, sindroma hiperviskositas dan TTP (Thrombotyc Thrombocytopenic Purpura).
Immunoglobulin Intravena
Immunoglobulin intravena (IV Ig) adalah imunomodulator dengan mekanisme kerja yang luas, meliputi
blokade reseptor Fc, regulasi komplemen dan sel T. Tidak seperti immunosupresan, IV Ig tidak
mempunyai efek meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-
turut memberikan perbaikan pada trombositopeni, artritis, nefritis, demam, manifestasi kulit dan
parameter immunologis. Efek samping yang terjadi adalah demam, mialgia, sakit kepala dan artralgia,
serta kadang meningitis aseptik. Kontraindikasi diberikan pada penderita SLE dengan defisiensi IgA.
DAFTAR PUSTAKA
1. Review of Hyperuricemia as New Marker for Metabolic Syndrome. Laura Billiet, Sarah
Doaty, James D. Katz, and Manuel T. Velasquez. Department of Medicine, The George
Washington University, 2150 Pennsylvania Avenue, NW, Washington, DC 20037, USA.
Received 5 August 2013; Accepted 12 December 2013; Published 16 February 2014
2. Z. Yang, Y. Liang, W. Xi, Y. Zhu, C. Li, and R. Zhong, “Association of serum uric acid with lupus nephritis in systemic lupus erythematosus,” Rheumatology International, vol. 31, no. 6, pp. 743–748, 2011.
3. Wortmann RL. Gout and hyperuricemia. In: Firestein GS, Budd RC, Harris ED, Rudy S, Sergen JS, editors. Kelley’s Textbook of Rheumatology. 8thed. Philadelphia:Saunders; 2009.p.1481-506
4. Terkeltaub RA. Gout: treatment. In: Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White PH, Editors. 13thed. New York:Springer;2008.p.258-262
5. 9. Emmerson BT. The Management of gout. In: Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblatt ME, Weisman MH, Editors. Rheumatology. 3rded. Edinburg: Elsevier; 2003.p.1925-36