hajat lembur peristiwa ritual kesuburan

13
Naskah diterima pada 6 Januari, revisi akhir 22 Maret 2018| 31 HAJAT LEMBUR PERISTIWA RITUAL KESUBURAN Oleh: Asep Jatnika Jurusan Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, ISBI Bandung Jln. Buah Batu No. 212 Bandung 40265 e-mail: [email protected] ABSTRAK Seni Terebang merupakan media ritual Hajat Lembur sebagai produk kreatif terkait dengan kompleksitas kehidupan masyarakat agraris tradisional sawah. Upacara ritual ini merupakan peristiwa kesuburan dalam mengkultuskan Dewi Sri sebagai Dewi Padi, yaitu simbol yang harus dihormati dan dipupusti karena dianggap sebagai sumber dari segala kehidupan yang akan membawa berkah keselamatan, kesehatan, rejeki yang melimpah, serta kesuburan hasil pertanian. Untuk meng- eksplanasi ritual Hajat Lembur menggunakan pendekatan teori Fungsi laten dengan menggunakan metode deskriptif analisis. Ritual ini memberikan manfaat untuk keharmonisan antara manusia dan alam, sehingga terciptanya iklim cosmos dalam kehidupan masyarakat baik secara lahir maupun bathin. Kata Kunci: Hajat lembur, Ritual Kesuburan, Seni Terebang. ABSTRACT Hajat Lembur Fertility Ritual Events, June 2018. Terebang art is a ritual media of Hajat Lembur as a creative product related to the complexity of the life of traditional rice fields of agrarian society.This ritual is a fertility event in culturing Dewi Sri as a Goddess of Rice, a symbol that must be respected and supported because it is considered as the source of all life that will bring blessings to safety, health, abundant fortune, and fertility of agricultural products. To explore the ritual of Hajat Lembur, using the theory of latent function approach using descriptive analysis method. This ritual provides benefits for harmony between humans and nature, so that the creation of a cosmos climate in people's lives both physically and mentally. Keywords: Hajat Lembur, Fertility Ritual, Terebang Art. PENDAHULUAN Cikal bakal keberadaan peristiwa ritual Hajat Lembur di Cipanas Tanjungkerta Sume- dang pada dasarnya terpengaruh oleh keper- cayaan animisme, dinamisme, tetomisme, dan adanya proses sinkretis sistem kepercayaan dengan agama. Animisme seringkali sejajar de- ngan kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa. Kepercayaan animisme sebagian besar ber- kembang dikalangan rakyat dan sedikit ke- mungkinan berkembang dikalangan para bang- sawan, sehingga sesungguhnya peristiwa ini lahir dari kalangan rakyat sebagai hasil dari ritus pertanian. Menurut Geerzt, (1992: 5), bahwa peristiwa ritual yang dilakukan oleh masyararakat me- miliki kedalaman makna simbolis yang bersifat memperkuat motivasi dan menetapkan suasana

Upload: others

Post on 19-Oct-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: HAJAT LEMBUR PERISTIWA RITUAL KESUBURAN

Naskah diterima pada 6 Januari, revisi akhir 22 Maret 2018| 31

HAJAT LEMBUR PERISTIWA RITUAL KESUBURAN

Oleh: Asep Jatnika

Jurusan Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, ISBI Bandung

Jln. Buah Batu No. 212 Bandung 40265

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Seni Terebang merupakan media ritual Hajat Lembur sebagai produk

kreatif terkait dengan kompleksitas kehidupan masyarakat agraris

tradisional sawah. Upacara ritual ini merupakan peristiwa kesuburan

dalam mengkultuskan Dewi Sri sebagai Dewi Padi, yaitu simbol yang

harus dihormati dan dipupusti karena dianggap sebagai sumber dari

segala kehidupan yang akan membawa berkah keselamatan, kesehatan,

rejeki yang melimpah, serta kesuburan hasil pertanian. Untuk meng-

eksplanasi ritual Hajat Lembur menggunakan pendekatan teori Fungsi

laten dengan menggunakan metode deskriptif analisis. Ritual ini

memberikan manfaat untuk keharmonisan antara manusia dan alam,

sehingga terciptanya iklim cosmos dalam kehidupan masyarakat baik secara lahir maupun bathin.

Kata Kunci: Hajat lembur, Ritual Kesuburan, Seni Terebang.

ABSTRACT

Hajat Lembur Fertility Ritual Events, June 2018. Terebang art is a ritual media of Hajat Lembur as a

creative product related to the complexity of the life of traditional rice fields of agrarian society.This ritual is

a fertility event in culturing Dewi Sri as a Goddess of Rice, a symbol that must be respected and supported

because it is considered as the source of all life that will bring blessings to safety, health, abundant fortune,

and fertility of agricultural products. To explore the ritual of Hajat Lembur, using the theory of latent

function approach using descriptive analysis method. This ritual provides benefits for harmony between

humans and nature, so that the creation of a cosmos climate in people's lives both physically and mentally.

Keywords: Hajat Lembur, Fertility Ritual, Terebang Art.

PENDAHULUAN

Cikal bakal keberadaan peristiwa ritual

Hajat Lembur di Cipanas Tanjungkerta Sume-

dang pada dasarnya terpengaruh oleh keper-

cayaan animisme, dinamisme, tetomisme, dan

adanya proses sinkretis sistem kepercayaan

dengan agama. Animisme seringkali sejajar de-

ngan kepercayaan kepada Tuhan yang Maha

Esa. Kepercayaan animisme sebagian besar ber-

kembang dikalangan rakyat dan sedikit ke-

mungkinan berkembang dikalangan para bang-

sawan, sehingga sesungguhnya peristiwa ini

lahir dari kalangan rakyat sebagai hasil dari

ritus pertanian.

Menurut Geerzt, (1992: 5), bahwa peristiwa

ritual yang dilakukan oleh masyararakat me-

miliki kedalaman makna simbolis yang bersifat

memperkuat motivasi dan menetapkan suasana

Page 2: HAJAT LEMBUR PERISTIWA RITUAL KESUBURAN

Makalangan Vol. 5, No. 2, Edisi Juni 2018| 32

hati bagi pendukungnya. Sehubungan dengan

itu menurut Radam (2001: 2), bahwa:

Sebagai sistem komunikasi simbolik, pemaham-

an atas ritual yang di dalamnya terdapat kan-

dungan makna yang dapat diinterpretasi bahwa

ritual adalah pernyataan yang bersifat simbolik

sebagai sistem komunikasi yang mengkomuni-

kasikan keyakinan pengikutnya kepada sekalian

orang. Peristiwa ritual merupakan wujud nyata

dari kepercayaan, karena upaya untuk mem-

benarkan keyakinan masyarakatnya terhadap

suatu yang dikultuskan.

Focklore seperti dongeng yang berhubung-

an dengan mitologi tentang Dewi Sri misalnya,

memuat kandungan makna yang memiliki

fungsi dan nilai yang sangat penting dalam

pola pikir masyarakat, terutama masyarakat

petani tradisional. Adapun tujuannya yaitu

mengatur sikap, sistem nilai moral manusia

yang membentuk aturan normatif dalam ber-

sosialisasi, serta untuk menciptakan tertib

sosial. Sebagaimana yang diungkapkan oleh

Ekajati (1980: 289), bahwa:

Dalam mitilogi yang berhubungan dengan

usaha-usaha pertanian orang Sunda sangat

menghormati Nyi Pohaci Sanghiyang Sri, yang

dianggap sebagai penjelmaan padi. Oleh ka-

rena itu padi dan beras selalu disimpan secara

baik dan khusus yang disebut goah untuk padi,

dan padaringan untuk beras. Di tempat itulah

orang menaruh sasajen setiap malam jumat

atau malam selasa... pak tani pantang ber-

nyanyi-nyanyi, bersiul-siul, dan meniup seru-

ling di dekat goah, leuit, atau padaringan, karena

dapat menggangu ketenangan Dewi Sri.

Sejalan dengan pemahaman tersebut, Koen-

jaraningrat (1988: 322), mengatakan bahwa

masyarakat petani Sunda mengenal dongeng-

dongeng yang bersangkut paut dengan ta-

naman padi, yaitu cerita Nyi Pohaci Sri. Hal ini

bisa dilihat diantaranya dalam kehidupan

masyarakat Cipanas, mereka percaya dan

yakin akan adanya Nyi Pohaci Sanghyang Sri

atau Nyai Sriyang bisa memberikan kesu-

buran dan keberhasilan dalam usaha per-

tanian. Dengan adanya kepercayaan itu, mas-

yarakat tetap melaksanakan aturan yang telah

mereka sepakati dari generasi sebelumnya.

Menurut Kuntowijoyo (1999: 54), bahwa

banyak cara untuk melaksanakan aturan kero-

hanian salah satunya dengan media seni,

masyarakat primitif jelas mencampurkan seni

dan agama, sedangkan agama besar di dunia

mempunyai sikap yang berbeda. Dipertegas

oleh Sumardjo (2000: 327), religius bahwa:

Dalam upacara agama asli Indonesia, kesenian

sering dipakai untuk mencapai pertemuan tra-

sendental tersebut. Melalui kesenian tercapai

pengalaman khusus, yakni pengalaman estetik

yang dibangun dengan unsur-unsur bentuk

berdasarkan sistem kepercayaan mereka, maka

pengalaman estetik menjadi satu dengan pe-

ngalaman religius dan melalui kesenian me-

reka mencapai pengalaman.

Sumardjo (2000: 10), mengatakan bahwa

seni adalah sesuatu yang memuat hal-hal

transidental, sesuatu yang tidak kenal se-

belumnya dan dapat kita kenal lewat karya

seni. Peristiwa ritual yang menggunakan ke-

senian sebagai media di dalamnya juga men-

jadi embrio munculnya keanekaragaman ke-

senian.

Menurut Dhavamony (1995: 167), menga-

takan bahwa perilaku ritus masyarakat di Ci-

panas dipimpin oleh Sesepuh sebagai represen-

tasi masyarakat dalam berkomunikasi dengan

dewi padi dalam hal ini Nyai Sri. Tindakan

tersebut terutama tertuang dalam bentuk ri-

tual, sehingga dikatakan bahwa ritual meru-

pakan agama dalam tindakan. Esensi yang

terdapat dalam peristiwa Hajat Lembur dapat

dilihat dalam suatu perilaku ritual dan ke-

agamaan dalam masyarakat Cipanas Tanjung-

kerta Sumedang.

METODE

Seni Terebang sebagai media ritual dalam

Hajat Lembur merupakan produk kreatif yang

Page 3: HAJAT LEMBUR PERISTIWA RITUAL KESUBURAN

Makalangan Vol. 5, No. 2, Edisi Juni 2018 | 33

berkaitan dengan kompleksitas kehidupan so-

sial budaya masyarakat. Maka dari itu, untuk

mengeksplanasi ritual Hajat Lembur metode

yang digunakan pada penelitian ini meng-

gunakan pendekatan teori Fungsi laten de-

ngan metode deskriptif analisis. Untuk meng-

hasilkan data yang akurat maka pada pene-

litian ini dilakukan beberapa tahapan diatara-

nya studi pustaka, observasi, wawancara, do-

kumentasi dan tahapan analisis data.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Sesepuh Orang Pinilih

Sesepuh sebagai orang yang dituakan ber-

arti ahli atau guru dalam artian orang yang

punya keahlian sepiritual dalam berkomuni-

kasi dengan dunia mistis diantaranya Nyai Sri

atau roh leluhur. Sesepuh merupakan orang

pilihan yang mempunyai khrisma di mata

masyarakat juga mempunyai kemampuan be-

rupa ilmu yang mumpuni sehingga dijadikan

panutan masyarakat. Untuk menjadi Sesepuh

diutamakan orang yang mempunyai keterika-

tan garis keturunan dengan para leluhur,

sehingga keterikatan darah sangat menentu-

kan untuk menjadi Sesepuh.

Menurut pendapat Nandang Setiawan

(wawancara; September 2018), untuk menjadi

seorang Sesepuh tidak sembarang orang karena

harus menempuh persyaratan ritual, diutama-

kan berasal dari keturunan langsung tetapi

tidak menutup kemungkinan berasal dari luar

keturunan asalkan sudah memenuhi per-

syaratan yang sudah ditentukan dan diper-

caya oleh masyarakat. Pendapat tadi diperte-

gas oleh Berri (1999: 33), bahwa:

Kebudayaan diwariskan secara vertikal, hori-

zontal dan miring. Pewarisan budaya secara

vertikal adalah pewarisan budaya yang dilaku-

kan dari generasi tua ke generasi muda melalui

garis keturunan, atau garis kekerabatan yang

dibentuk secara kelompok komunitas; Pewaris-

an budaya secara horizontal adalah pewarisan

Gambar 1. Sesepuh Memimpin Ritual

(Dokumentasi: Asep Jatnika, 2018)

budaya yang dilakukan oleh individu atau

kelompok tanpa batasan keturunan atau ke-

kerabatan; Pewarisan budaya secara miring

adalah pewarisan budaya yang diperoleh dari

orang dewasa lain dan lembaga-lembaga tanpa

memandang hal itu terjadi dalam budaya sen-

diri atau dari budaya lain.

Senada dengan pendapat Leslie White (dalam

Garna, 1996: 158), bahwa kebudayaan itu ber-

mula dari wujudnya manusia, dan diturunkan

dari satu generasi ke generasi lainnya yang

diakibatkan oleh hakekat kebudayaan yang

simbolik itu.

Sesepuh dianalogikan sebagai syaman da-

lam artian dipercaya bisa menyembuhkan

orang sakit atau orang yang kena guna-guna.

Peran sesepuh bila merujuk pada kosmologi

Sunda lama memiliki kedudukan terhormat

yang penuh makna, Sesepuh memiliki makna

“Yang Maha Kuasa”, sebagai representasi

masyarakat dalam berkomunikasi dengan

Nyai Sri. Pandangan lain dari masyarakat

bahwa sesepuh dalam pertistiwa Hajat Lembur

merupakan pemimpin yang menjadi perantara

berkomunikasi antara masyarakat dengan

Nyai Sri. Terebang sebagai media komunikasi

antara Sesepuh dengan roh leluhur sebagai

ungkapan rasa yang paling dalam dan subtil,

yang dianologikan sebagai munajat kepada

Tuhan Yang Maha Kuasa, manusia sebagai

hamba yang lemah. Terjadinya peristiwa ritual

kesuburan di Cipanas merupakan keyakinan

masyarakat, maka terjadi sinkretisme antara

agama dan kepercayaan, terbukti walaupun

masyarakat memeluk agama Islam tapi tidak

meninggalkan kepercayaan kepada roh-roh

Page 4: HAJAT LEMBUR PERISTIWA RITUAL KESUBURAN

Makalangan Vol. 5, No. 2, Edisi Juni 2018 | 34

nenek moyang (animisme), atau percaya terha-

dap benda yang dianggap mempunyai kekua-

tan (dinamisme).

Kepemimpinan yang dimiliki Sesepuh da-

pat dipengaruhi oleh faktor sosial yang di pe-

roleh melalui proses pewarisan dan pengala-

man masing-masing individu. Menurut Mur-

gianto (1985: 65), menyatakan kepemimpinan

didukung oleh: Genetik (pembawaan sejak lahir). Seseorang

dapat menjadi pemimpin karena sedarah atau

keturunan. Sosial, mengatakan bahwa kepe-

mimpinan bukan diperoleh berdasarkan ke-

turunan, tetapi karena pengaruh sosial dam

kondisi masyarakat. Dengan demikian teori ini

menyatakan bahwa semua orang dapat saja

menjadi pemimpin asal memiliki bakat-bakat

yang cukup dapat dikembangkan melalui pen-

didikan, pengalaman, latihan dan bergantung

pula akan ada tindakan kesempatan serta iklim

yang memungkinkan menjadi pemimpin.

Untuk menyandang predikat Sesepuh bila

merujuk pada ajaran Sunda lama dalam nas-

kah “Sanghyang Siksakandang Karesian” terda-

pat berbagai hal syarat yang harus dijalankan

serta dihindari oleh manusia dalam hal ini

Sesepuh sebagai pemimpin ritual, dikemuka-

kan oleh Komala (1518, 1981: 32-47), diantara-

nya:

(1). Catur Utama (empat keutamaan): guru ka-

mulan (ilmu dari bapak dan ibu), guru hawan

(belajar dari lingkungan), guru tangtu (belajar

dari bacaan), guru mulya (balajar dari guru pen-

deta); (2). Catur jogja (empat hal yang terpuji):

‘emas’ berarti ucapan yang tepat dan jujur,

‘perak’ berarti hati yang tentram, baik dan

bahagia ‘permata’ berarti hidup dalam keadaan

cerah, puas dan leluasa, serta ‘intan’ berarti

murah senyum dan tertawa dan baik hati.

Adapun yang harus dihindari, antara lain (1).

Shangyang catur yatna (empat kewaspadaan):

siwok cante (jangan salah makan), simak mante

(jangan salah mengambil), simur cante (jangan

salah bergaul), dan damar cante (jangan salah

menjalankan tugas).

Gambar 2. Menari sebagai Media Doa

(Dokumentasi: Asep Jatnika, 2018)

2. Tari Sebagai Media Doa

Ritual Hajat Lembur tidak lepas dari tari

sebagai media ungkap serta representasi rasa

syukur terhadap Tuhan, Sesepuh sebagai orang

yang dituakan juga sebagai pemimpin ritual

tidak lepas dari tarian sebagai media ungkap

doa. Dalam ritual ini tarian yang diungkap-

kan merupakan proses komunikasi sekaligus

media doa dan salah satu bukti bagi karuhun

orang Sunda memiliki rasa syukur tidak cu-

kup diungkapkan dengan kata-kata. Seperti

menurut Ahimsa (2003: 9), bahwa rasa syukur

tidak mesti diungkapkan dengan puji-puji,

setiap gerak tubuh, setiap desah nafas, dan

setiap lirikan mata bisa menjadikan media

untuk mengungkapkan rasa syukur.

Selendang sebagai pelengkap ritual dalam

menari yang dibawakan oleh Sesepuh digera-

kan dengan tarian halus seiring dengan alunan

musik Terebang. Selendang identik dengan

perempuan dalam konteks ritual masyarakat

agraris mempunyai makna kesuburan dalam

hal ini Nyai Sri. Seperti menurut Anis Sujana

(2016: 13), bahwa:

Kehadiran selendang pada ruang ritual meru-

pakan telisik dan fungsi pragmatis sehari-hari,

keterlibatan selendang pada ruang ritual me-

nunjukan gejala sebab akibat dari fungsi selen-

dang dalam kehidupan sehari-hari.

Sesepuh menari dalam peristiwa ritual se-

bagai ungkapan doa dilakukan diambang an-

tara sadar dan tidak sadar, karena tarian yang

Page 5: HAJAT LEMBUR PERISTIWA RITUAL KESUBURAN

Makalangan Vol. 5, No. 2, Edisi Juni 2018 | 35

dibawakan di luar kesadaran seolah-olah ber-

gerak menari ada yang membimbing. Tari

yang sifatnya monoton itu sebagai bentuk

ungkap estetik dalam melakukan ritual, tarian

dalam ritual itu dapat dipandang sebagai

wujud ekspresi simbolik para pendukungnya

saat melakukan komunikasi transendental de-

ngan roh leluhur/Nyai Sri.

Tarian yang dilakukan mempunyai pe-

ranan yang sangat dominan serta mempunyai

kekuatan magis yang akan membangkitkan

vitalitas baik pada penari juga peserta ritual.

Tari sebagai media ungkap dalam berko-

munikasi antara masyarakat dengan roh le-

luhur/Nyai Sri, seperti Clare Holt (2000: 124),

mengemukakan:

Di dunia yang belum beradab, tari adalah se-

buah jampi-jampi pembebasan seperti nya-

nyian dan doa-doa. Tari mengiringi upacara

dari semua aspek penting dari kehidupan,

kemakmuran dan kesuburan ditimbulkan de-

ngan tari-tari pada penanaman dari permulaan

siklus baru setelah panen.

Menari untuk keperluan ritual yang pa-

ling utama bukan susunan tari, atau garapan

pola lantai, bahkan siapa penari (cantik dan

muda belia), yang pokok dalam peristiwa ini

adalah makna-makna simbolis yang mengi-

baratkan hubungan antara penari dengan

mahluk gaib, roh halus, atau Dewi Sri, me-

rupakan lambang-lambang makna kesuburan.

Mengenai ritual kesuburan senada dengan

paparan Soedarsono (1991:3 5), tentang tarian

yang melambangkan kesuburan, sebagai ber-

ikut:

Dalam budaya masyarakat agraris, kesuburan

tanah merupakan satu-satunya harapan yang

selalu didambakan oleh para petani. Dalam

benak petani tradisional sampai sekarang ini

masih banyak terbesit sisa-sisa kebiasaan masa

lampau yang dianggap sulit untuk ditinggal-

kan. Sadar atau tidak sadar mereka berangga-

pan, bahwa kesuburan tanah juga perkawinan

tidak cukup dengan dicapai lewat peningkatan

sistem penanaman baru, tetapi juga perlu di-

upayakan lewat kekuatan yang tak kasat mata.

Kekuatan itu antara berupa magi simpatetis,

yang hanya bisa didapatkan dengan perbuatan

yang melambangkan terjadinya pembuahan,

yaitu hubungan antara pria dan wanita. Hu-

bungan ini masyarakat yang masih meles-

tarikan budaya purba kadang-kadang dilaku-

kan agak realistis. Sedangkan bagi masyarakat

yang sudah maju dilakukan sebagai simbolis.

Magi simpatetis yang mampu mempengaruhi

pembuahan atau kesuburan dapat dilakukan

lewat tari.

3. Seni Terebang Sebagai Media Ritual

Pandangan masyarakat Cipanas tentang

Seni Terebang merujuk pada latar belakang

misi penyebaran Agama Islam oleh para wali,

yaitu Sunan Bonang. Bila dikaji lebih lanjut seni

Terebang lahir dan berkembang setelah Pria-

ngan berada dibawah pengaruh budaya Jawa

dalam hal ini Mataram dan masuknya Islam

terlihat dengan sudah membudayanya peng-

gunaan sawah yang permanen. Danasasmita

(1984: 5), mengemukakan bahwa seperti sudah

diketahui pada masa-masa sebelum budaya

Jawa masuk ke Priangan masyarakat Sunda

merupakan tipologi masyarakat ladang yang

bersifat semi nomaden (berpindah-pindah tem-

pat). Setiap tahun biasanya mereka mening-

galkan tempat huniannya setelah terlebih

dahulu membakar bekas lahan pertanian, hal

ini tentunya memperkecil kesempatan bagi

berkembangnya suatu bentuk peninggalan se-

perti candi, kuil, dan sebagainya. Menurut Da-

nasasmita (1976: 12), bahwa:

Dengan masuknya pengaruh Islam juga buda-

ya Jawa dalam hal ini Mataram di Priangan

khususnya di daerah Sumedang mencapai

puncaknya pada masa pemerintahan Pangeran

Rangga Gempol III, dimana segala sesuatu yang

bergaya Mataram dianggap sebagai ciri intelek

dan kehalusan budi. Sehingga budaya Mata-

ram begitu cepat diserap oleh masyarakat Pria-

ngan sehingga dijadikan panutan yang ditiru

oleh masyarakat sehingga muncul suatu perio-

de Pasundan Eksiganda.

Page 6: HAJAT LEMBUR PERISTIWA RITUAL KESUBURAN

Makalangan Vol. 5, No. 2, Edisi Juni 2018 | 36

Peristiwa lahirnya Terebang selain sebagai

misi penyebaran Agama Islam juga karena

pada waktu itu adanya masa krisis pangan,

karena gagal panen akhirnya masyarakat me-

ngalami paceklik sehingga secara psikologis

masyarakat menjadi traumatis. Suatu jalan pin-

tas untuk mengatasi krisis tadi dengan me-

ngadakan suatu ritual hajat lembur. Benar

tidaknya penuturan masyarakat tentang Seni

Terebang tetapi masyarakat sangat memper-

cayai dan menjungjung tinggi cerita tersebut.

Hal yang mendasari lahirnya Seni Terebang

meresap secara kuat dalam keyakinan mas-

yarakat, sehingga menumbuhkan suatu ke-

yakinan untuk menghindar dari pengalaman

yang pahit dalam hal ini krisis pangan. Se-

muanya itu berhubungan dengan adanya

sikap dan alam pikiran mistis masyarakat, ka-

rena mereka percaya dan yakin bahwa adanya

masa krisis itu disebabkan adanya kemarahan

dari mahluk dunia gaib sehingga roh-roh le-

luhur menjadi marah juga terganggunya suatu

keseimbangan alam. Suatu upaya mencapai

suatu keseimbangan yang bersifat cosmos de-

ngan mengadakan ritual hajat lembur.

Untuk masyarakat agraris seni tidak lepas

dari penyelenggaraan peristiwa ritual dianta-

ranya seni Terebang yang berfungsi sebagai

sarana ritual sebagai rasa syukur para petani

atas diberi limpahan rejeki serta ungkapan

rasa hormat dan terima kasih kepada Tuhan

dan kepada Nyai Sri sebagai tokoh simbolik

yang mereka kultuskan atas diberi limpahan

rejeki. Dalam masyarakat agraris seperti hal-

nya di masyarakat Cipanas menghormati Nyai

Sri tidak lepas dari media kesenian sebagai

media ungkap rasa syukur kepada Sang Illahi,

salah satu media seni yang digunakan yaitu

seni Terebang, seperti pendapat Soedarsono

(1999: 57), bahwa:

Dilingkungan masyarakat Indonesia yang ma-

sih kental nilai kehidupan agrarisnya, seni per-

tunjukannya memiliki fungsi ritual yang sangat

banyak fungsi ritual tersebut bukan hanya ber-

kenaan dengan peristiwa daur hidup yang di-

anggap penting seperti misalnya kelahiran, po-

tong gigi, potong rambut yang pertama, turun

tanah, khitanan, pernikahan, serta kematian

berbagai kegiatan yang di anggap penting juga

memerlukan seni pertunjukan seperti misalnya

berburu, menanam padi, panen, bahkan sam-

pai pula persiapan untuk perang.

Warga masyarakat Cipanas masih tetap

setia mempertahankan nilai-nilai kehidupan

yang dibalut oleh kearifan tradisi. Mereka

melaksanakan dan mempercayai suatu kekua-

tan magis melalui media kesenian yaitu Tere-

bang, sementara kesenian ini hidup di tengah-

tengah masyarakat khususnya di daerah Ci-

panas yang difungsikan dalam tatanan kehi-

dupannya yang berkaitan dengan masalah ke-

percayaan dan hiburan. Dalam konteks ke-

hidupan manusia yang lebih luas, Terebang

mempunyai fungsi yang signifikan dalam

kompleksitas pola kehidupan yang berkem-

bang di masyarakat Cipanas Tanjungkerta.

Aktifitas yang tercermin dalam pertunju-

kan Terebang menjadi bagian dari keseluruhan

kehidupan masyarakat Cipanas. Konsep fu-

ngsi seperti dikemukakan Brown (dalam Razak

1950: 210), bahwa aktivitas merupakan bagian

memberi sumbangan terhadap aktifitas secara

keseluruhan dalam sebuah sistem.

Hal itu memberi indikasi bahwa kelanju-

tan struktur sosial secara keseluruhan dalam

sebuah sistem dapat terus dilangsungkan me-

lalui proses kehidupan sosial. Aktivitas dari

tindakan individu dan kelompok individu

merupakan rangkaian yang diberikan kepada

seluruh sistem kehidupan dalam keseluruhan

sistem sosial. Fungsi menunjuk kepada pe-

ranan proses kehidupan sosial atau aktivitas

Page 7: HAJAT LEMBUR PERISTIWA RITUAL KESUBURAN

Makalangan Vol. 5, No. 2, Edisi Juni 2018 | 37

Gambar 3. Seni Terebang Sebagai Media Ritual

(Dokumentasi: Asep Jatnika, 2018)

sebuah komunitas bagi kelangsungan struktur

sosial yang mewadahi sebuah sistem. Sebalik-

nya bahwa suatu proses kehidupan sosial atau

aktifitas sebuah komunitas dikatakan tidak

fungsional apabila aktivitas tersebut tidak

mampu lagi memberi sumbangan bagi sistem

sosialnya. Merton (dalam Kaplan, 2002: 79),

menjelaskan fungsi manifes dan fungsi laten,

dan fungsi laten merupakan gambaran pelak-

sanaan ritual Hajat Lembur. Karena peristiwa

ritual kalau dianalogikan pada teori Merton

mempunyai dua fungsi yaitu fungsi manifes

atau fungsi tersirat (hiburan), dan fungsi Laten

atau fungsi tidak tersirat (Ritual). Berdasarkan

pemaparan tadi peristiwa Hajat Lembur di Ci-

panas Tanjungkerta dapat dianalogikan seba-

gai bagian dari proses kehidupan sosial yang

sangat signifikan bagi proses kehidupan sosial

budaya masyarakat Cipanas Tanjungkerta.

4. Sesaji Sebagai Syarat Ritual

Dalam peristiwa ritual sesaji merupakan

pelengkap yang paling diutamakan karena

menyangkut salah satu syarat berlangsungnya

suatu upacara. Sesaji bukan mempersembah-

kan makanan kepada yang tunggal, sesaji

adalah simbol-simbol dualistik kosmik yang

disatukan. Simbol ini mengacu pada makna

lelaki dan perempuan, misalnya pisang (kos-

mik lelaki) disandingkan dengan jeruk (pe-

rempuan), rokok dijajarkan dengan kaca rias

atau bedak, air kopi (hitam), disandingkan de-

ngan air putih dengan air teh (merah). Ketiga

dunia kosmik kaum peladang disatukan (la-

ngit, bumi, dan manusia di muka bumi), rujak

dengan tujuh macam buah-buahan, bunga

tujuh macam, merupakan simbol tingkat-ting-

kat langit dan bumi. Tebu disandingkan de-

ngan kelapa muda, ayam dan telur merupakan

simbol asal serta akar manusia dari dunia atas.

Tumpeng adalah simbol gunung yang ber-

makna Axis Mundi penghubung dualisme la-

ngit dan bumi. Seperti menurut Sumardjo

(2006: 81-82), bahwa Tumpeng adalah simbol

paradoks kosmik itu sendiri, penghubung du-

nia bawah dan dunia atas.

Dari setiap sesaji dalam Ritual Hajat lembur

padahakikatnya Nyai Sri mengandung makna

tersendiri, yaitu diantaranya:

a. Pangradinan

Di dalam Pangradinan terdapat alat-alat ke-

cantikan seperti cermin, sisir, kebaya, cerutu,

gelang, selendang, minyak, sirih yang lengkap

dengan isinya, merupakan alat keperluan

wanita serta alat kecantikan untuk kaum pe-

rempuan, juga merupakan sesaji untuk roh-

roh dunia atas yang berasas perempuan yang

meng-gambarkan simbol dari Dewi Sri. Gula

merah, gula batu, kopi pahit, kopi manis

merupakan simbol dalam kehidupan manusia,

bagaimana kita harus bersikap dalam men-

jalani kehidupan. Misalnya cermin yang mem-

peringatkan kita agar selalu mawas diri dan

introsfeksi terhadap pola tingkah laku kita.

b. Parupuyan

Parupuyan atau tempat membakar keme-

nyan yang terbuat dari tanah liat kegunaan-

nya untuk membakar kemenyan, merupakan

simbol kehidupan manusia. Bahwa manusia

berasal dari tanah dan hidup di dunia ini

harus digunakan untuk mencari darma, ke-

haruman dan kebaikan budi. Dari asap parupu-

yan ini sebagai alat penghubung atau unda-

Page 8: HAJAT LEMBUR PERISTIWA RITUAL KESUBURAN

Makalangan Vol. 5, No. 2, Edisi Juni 2018 | 38

ngan kepada para leluhur dan Sanghyang Sri,

dari sisi lain asap dari perupuyan ini untuk

membersihkan tempat upacara agar terhindar

dari kekuatan negatif (chaos), dan menimbul-

kan kukuatan positif (cosmos), dan mengun-

dang para leluhur untuk hadir waktu upacara.

c. Minyak goreng

Merupakan watak dari minyak adalah

lembut, halus, jadi dalam sikap dan perkataan

harus bersifat bijaksana dan lemah lembut.

d. Congcot, Liwet, Bakar Ikan Emas Di Atas

Congcot

Merupakan simbol kemulusan dan ketu-

lusan hati, dimaksudkan bahwa manusia jika

hidupnya diwarnai dengan ketulusan hati

akan memperoleh kemulusan, tanpa rintangan

yang berarti, dan manusia itu sendiri dari se-

gala sikap dan segala tindakannya akan selalu

dihargai.

e. Tumpeng Rosul

Tumpeng Rosul yang di bagian atasnya ada

bakakak hayam dan puncak manik, merupakan

gambaran kehendak yang maha kuasa. Me-

ngandung makna bahwa manusia harus pas-

rah dan berserah diri pada yang maha kuasa

yaitu Alloh. Sumardjo (2003: 23), menegaskan,

Tumpeng melambangkan gunung suatu poros

kosmos (axis mundi), yang menghubungkan

dunia manusia dengan dunia atas.

f. Kendi

Kendi yang dibungkus kain hijau yang

berisi air juga pohon hanjuang serta kipas ter-

buat dari bambu (Sunda=hihid), merupakan

simbol dari unsur lingkungan sekitar manusia

yaitu tanah, air, tumbuh-tumbuhan, serta

angin. Daun hanjuang sebagai simbol hubung-

an manusia dengan Tuhan, dan merupakan

falsafah hidup dari manusia.

g. Ineban

Ineban merupakan wadah kecil yang di-

bungkus kain kuning yang di dalamnya berisi

tektek (sirih) pangradinan, atau lipatan sirih

yang berbumbu lengkap, juga beras, merupa-

kan simbol kemampuan dan keahlian yang

menggambarkan bahwa manusia dicipta-kan

dengan keahlian dan kemampuan masing-

masing.

h. Telor, Beras, Uang Logam

Telor, beras, uang logam merupakan sim-

bol dari kehidupan manusia yang ber-makna

bahwa hidup manusia itu untuk mencari ke

makmuran serta keturunan. Beras sebagai ba-

han makanan pokok dan uang logam se-bagai

simbol kemakmuran, serta telur sebagai sim-

bol laki-laki dan perempuan yang akan meng-

hasilkan keturunan.

i. Rujak-rujakan, Umbi-umbian, Serta Bunga

Tujuh Macam

Rujak-rujakan, umbi-umbian, serta bunga

tujuh macam merupakan simbol kesatuan dan

persatuan, yang mengandung makna bahwa

dalam kehidupan bermasyarakat harus men-

jaga persatuan dan kesatuan agar keutuhan

dalam bermasyarakat tetap terjaga.

j. Bubur Merah, dan Bubur Putih

Bubur merah, dan bubur putih merupakan

dua sisi yang berpasangan dalam kehidupan

umat manusia. Bubur putih melambangkan

asas lelaki (putih dunia atas), dan asa perem-

puan (merah dunia manusia).

Cerutu lambang laki-laki, ubi jalar, ubi

kayu melambangkan laki-laki dan perempuan,

telur adalah awal kehidupan, kelapa muda

yang dilubangi bagian atasnya yang disatukan

dengan batang hanjuang yang berarti bersatu-

nya asa lelaki dan asas perempuan. Sumardjo,

(2003: 23), mengatakan bahwa:

Pada dasarnya sesaji melukiskan bersatunya

cosmos, dunia atas dan dunia manusia. Hadir-

nya yang di atas dan dunia manusia, inilah

syarat keselamatan, rahayu, kesejahtraan dan

kesuburan. Jumlah tujuh dari buah-buahan dan

bunga-bungaan, diartikan sebagai lambang tu-

juh pohaci penjaga kebutuhan para petani. Tu-

juh pohaci atau bidadari mewakili air, padi,

daging, buah, laut (garam), tuak, minuman ke-

Page 9: HAJAT LEMBUR PERISTIWA RITUAL KESUBURAN

Makalangan Vol. 5, No. 2, Edisi Juni 2018 | 39

ras, sayur mayur, itu kebutuhan pokok masya-

rakat tani untuk dapat terus hidup selamat di

dunia ini.

5. Nyai Sri Dalam Kepercayaan Masyarakat

Cipanas

Pandangan dari para pakar tentang mitos

seperti pendapat Sri Mulyono (1989: 28), me-

nyebutkan bahwa mitos adalah ceritera kuno

yang isinya dianggap bertuah, berguna bagi

kehidupan generasi ke generasi manusia serta

dipercaya dan dijungjung tinggi oleh pendu-

kungnya. Dijelaskan oleh Van Peurseuen (1976:

37), bahwa mitos itu memberikan arah kepada

kelakuan manusia dan merupakan suatu pe-

doman bagi kebijaksanaan manusia.

Pada dasarnya mitos suatu penuturan ten-

tang kenyataan dari sesuatu yang gaib, yang

berkaitan erat dengan makna hidup manusia

dan duniannya. Kehadiran mitos dalam kehi-

dupan masyarakat didasari oleh adanya suatu

sistem kepercayaan misalnya kepercayaan

akan adanya dunia gaib dan manusia sadar

akan adanya suatu alam dunia yang tak tam-

pak dan berada di luar batas panca indranya

serta di luar batas akalnya, kepercayaan akan

dewa-dewa, kepercayaan akan mahluk halus,

dan kepercayaan akan adanya kekuatan sakti.

Tidak mengherankan apabila dalam mitos

biasanya terkait kepercayaan yang pada ke-

nyataanya berpengaruh besar dan turut me-

nentukan kehidupan manusia serta dunia.

Dalam mitos senantiasa dituturkan suatu ce-

ritera tentang dewa-dewa, mahluk gaib, dan

kekuatan sakti untuk mengintegrasikan keper-

cayaan yang mendasarinya.

Dilihat dari pemikiran tadi sikap dan alam

pikiran masyarakat yang bersangkutan cen-

derung pada sikap dan alam pikiran mitis,

karena pada alam pikiran itulah kehidupan

mitos bisa berlangsung baik. Hal ini disebab-

kan karena dasar kelangsungan hidup suatu

mitos adalah kepercayaan yang tertanam da-

lam jiwa masyarakat pendukungnya. Mas-

yarakat seperti ini menggambarkan mitos di-

anggap kebenaran yang pasti dan tidak bisa

diganggu gugat. Begitu kuatnya kepercayaan

atau keyakinan tersebut sehingga bagi mas-

yarakat mitos dianggap mampu memberikan

suatu orientasi pada hidup dan kehidupan di

dunia.

Pada masyarakat agraris masih dijumpai

sikap dan alam pikiran mistis yang percaya

pada tempat keramat serta pada mahluk gaib

yang ngageugeuh suatu tempat. Kekuatan gaib

misalnya Nyai Sri dianggap sebagai dewi

kesuburan sebagai cikal bakal tanaman padi,

sikap dan alam pikiran mistis ini sangat men-

dasari setiap warga masyarakat. Mitologi Nyai

Sri yang berakar dari kepercayaan akan ada-

nya yang melindungi tanaman padi dan di-

anggap sebagai pemberi kesuburan, serta di-

anggap sebagai ceritera yang dianggap suci

oleh masyarakat terutama oleh kaum petani.

Ceritera ini mengandung nilai dan makna

dalam mendasari aktivitas masyarakat ter-

utama kaitannya dengan budaya pertanian.

Di daerah Sunda Nyai Sri yang lebih di-

kenal dengan sebutan Nyi Pohaci Sang Hyang

Sri Dangdayang Tisnawati, menurut Ben Su-

harto (1999: 24), Sri merupakan Dewi yang

lahir dari telur. Telur tersebut berasal dari titik

air mata Dewa Anta, yaitu seorang Dewa yang

cacat. Ia bersedih menangis tidak dapat meng-

haturkan bahan untuk mendirikan balai per-

temuan para Dewa. Kecantikan Sri yang lahir

dari telur padi membuat Batara Guru jatuh

cinta dan ingin mempersunting namun ber-

hasil digagalkan oleh para Dewa dengan jalan

membunuh Sri dan langsung menguburkan-

nya di bumi. Sangat aneh bahwa dari kepala

tumbuh pohon kelapa, mata tumbuh padi,

dari arah dada tumbuh padi pulut, dari arah

kemaluan tumbuh pohon enau serta bagian

Page 10: HAJAT LEMBUR PERISTIWA RITUAL KESUBURAN

Makalangan Vol. 5, No. 2, Edisi Juni 2018 | 40

lain tumbuh rerumputan. Istilah Dewi Sri me-

nurut Satjadibrata (1950: 350), bahwa:

Sri berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Cri,

yang berarti cahaya atau sari yang berarti inti.

Sri menurut kepercayaan masyarakat Sunda

khususnya masyarakat petani adalah penjel-

maan seorang Dewi yang membawa padi

sehingga Nyai Sri ini selalu disamakan dengan

ibu padi, dan menurut kepercayaan Dewi Sri

ini selalu hadir pada setiap butir padi.

Ceritera tentang padi terdapat juga dalam

wawacan sulanjana, seperti menurut Adimi-

hardja (1980: 176), bahwa:

Pada tanah kuburan Puhatji ada pohon yang

tumbuh, dari bagian kepalanya tumbuh pohon

nyiur yang buahnya berwarna hijau dan

kuning. Dari bagian telinga tumbuh berbagai

jenis jamur, dari matanya tumbuh tanaman

padi yang berbuah lima butir yang berlainan

warnanya ada yang merah, kuning, hitam,

putih dan hijau. Ada padi yang berbulu dan

ada pula yang tidak berbulu. Padi yang

berwarna putih keluar dari bagian putih

matanya, padi yang berwarna hitam keluar

dari rambut, sedangkan yang ke luar dari ba-

gian jantungnya ke luar padi ketan dalam ber-

bagai warna pula banyaknya lima butir. Dari

jari-jari Puhatji tumbuh berbagai jenis bambu

besar dan kecil dan berbagai jenis kacang

menjalar tumbuh ke atas, sedangkan dari

bagian buah dada Puhatji tumbuh berbagai

macam buah-buahan. Segala tumbuh-tumbu-

han yang ke luar dari badan Puhatji dicatat de-

ngan cermat oleh Ki Bagawat dan kemudian

dilaporkan kepada Dewa Guru.

Ceritera lain tentang asal muasal padi me-

nurut Sumardjo (2003: 323), bahwa:

Naga Anta (dewa Anta) menitikan tiga air mata

ketika diancam mau disiksa Batara Guru. Tiga

titik air mata ini menjelma menjadi tiga butir

telur. Dua telur berubah menjadi segala macam

hama padi, sedangkan satu telur menjadi dua

anak kembar, Bambang Kusiang dan Nyi Pohaci.

Mentruasi pertama Nyi Pohaci jatuh ke tanah

dan menjadi padi merah, sedangkan tubuhnya

setelah mati menjadi macam-macam tanaman

padi.

Beraneka macam ceritera tentang padi

merupakan emanasi dari Nyi Pohaci sebagai

dewi pemberi kesuburan bagi masyarakat

petani, sehingga muncul etika bagaimana

memperlakukan padi dengan baik mulai dari

persemaian hingga panen bahkan sampai

proses penyimpanan di lumbung padi (leuit).

Kebiasaan bertani pada saat persemaian

(tebar) dipilih padi terbaik untuk dijadikan

induk padi. Induk padi ini dibuat untuk

harapan akan membawa dampak yang besar

terhadap pertumbuhan padi lainnya. Apabila

padi hasil semaian ditanam kembali disawah

(tandur), induk padi ini disimpan ditempat

khusus, antara ditengah sawah atau dipojok

sawah dibarengi dengan mantera-mantera.

Dalam menanam padi (kersa nyai) menurut

Sukatja (wawancara; September 2018), bahwa

ada suatu tata-cara yang berupa mantera atau

jangjawokan yang mereka sebut Ajian Panca-

sona, sebagai berikut:

Sri iku sabangsa satunggal nu jadi tangan

pangawasa di kaula,

Geni iku sabangsa satunggal nu jadi tangan

pangawasa di kaula,

Banyu iku sabangsa satunggal nu jadi tangan

pangawasa di kaula,

Baraja iku sabangsa satunggal nu jadi tangan

pangawasa di kaula,

Sewet iku sabangsa satunggal nu jadi tangan

pangawasa di kaula.

Diartikan sebagai berikut:

Padi merupakan penguasa yang menguatkan

kehidupan kita, yang mana padi merupakan

makanan pokok, Api yang menyempurnakan

makanan yang ada pada kita, Air merupakan

cahaya bagi kita, Alat-alat pertanian merupa-

kan surga bagi kita, Pakaian merupakan suatu

kebutuhan bagi kita.

Dalam kepercayaan warga masyarakat Ci-

panas bahwa padi yang sedang dalam proses

pertumbuhan harus diperlakukan seperti wa-

nita hamil. Mereka memiliki pamali atau pan-

Page 11: HAJAT LEMBUR PERISTIWA RITUAL KESUBURAN

Makalangan Vol. 5, No. 2, Edisi Juni 2018 | 41

tangan, misalnya tidak boleh membuat ke-

gaduhan di sawah dan tidak boleh membuat

perapian disana karena hal tersebut dipercaya

akan menghambat pertumbuhannya. Sumar-

djo (2003: 241-242), menyebutkan Nyi Pohaci

Sanghyang Sri (geura emok mangka denok, geura

hejo mangka lebok) merupakan penjaga padi

yang amat terkenal. Setiap perkembangan dari

pertumbuhan padi memiliki pohacinya ma-

sing-masing, yaitu:

a. Pohaci Terus Rarang (ngaran pare keur

sumihung);

b. Pohaci Rambat Rarang (ngaran pare bijil akar);

c. Pohaci Lencop Herang (ngaran pare keur

jumarum);

d. Pohaci Lencop Hirup (ngaran pare keur

tumumbuh);

e. Pohaci Lenggang Herang (ngaran pare keur

cumanggah);

f. Pohaci Lenggok Maya (ngaran Pare keur

kumala);

g. Pohaci Pencar Hurip (nu miseuweu memeh

reuneuh);

h. Pohaci Naga Gini (ngaran pare keur kumisi);

i. Pohaci Jayang Gana (liwat beukahna tepi ka

repat);

j. Pohaci Jayang Gini (nyapare tungkul angesi);

k. Pohaci Tenjo Maya (ngaran pare beuneur

hejo);

l. Pohaci Pangdurat Sari (ngaran pare beurat

sangga);

m. Pohaci Lenggok Kuning (ngaran pare keur

konengna).

Setelah padi dipanen masih ada tata cara

yang harus dijalani oleh masyarakat petani

yang mana padi harus disimpan pada rumah

padi atau disebutnya leuit, leuit ini memiliki

pohacinya sendiri-sendiri, diantaranya:

Karang leuit unggal poe sukla disapuan, bilik

leupit rambatan alaan ruweudeun para pohaci,

leuit aya ngarana Pohaci Gending Manik Tanpa

Emas: tihang tengah Pohaci Naga Langgeng,

pananggeuyna Pohaci Tanggeuyan Jati, bilikna

Pohaci Dindingan Jati, pantona Pohaci Ineuban

Jati, sipandakna Pohaci Adeugan Jati, tarajena

Pohaci Tampayan Jati.

Ketika padi mulai ditumbuk dalam lesung

juga ada etika yang harus dijalankan agar para

pohaci dalam penumbukan padi tidak lari

ketakutan dan hasil tumbukan kurang bagus

atau tidak sejahtera. Pohaci Lesung (lisung)

adalah sorowong jati begitu juga ketika beras

dimasak ada norma-norma yang mana proses

memasak beras menjadi nasi dijaga para

pohaci, diantaranya:

Suluhna aya ngarana pohaci runtuyan jati,

sueneuna pohaci leunyap herang, parakona pohaci

leungkeuran jati, hawuna pohaci dungkukan jati,

seengna pohaci danu hawu, aseupanana pohaci

kukusan jati, dulangna pohaci talaga jati, turub

dulangna pohaci pamayung jati, ari kejona pohaci

Junjungan Sari.

Diartikan sebagai berikut:

Kayu bakar namanya Pohaci Runtuyan Jati,

Api namanya Pohaci Leunyap Herang, Rak piring

namanya Pohaci Leungkeuran Jati, Perapian

namanya Dungkukan Jati, Tempat menanak nasi

namanya Pohaci Danu Hawu, tempat kukusan

namanya Pohaci Kukusan Jati.

Seluruh warga masyarakat Cipanas adalah

pemeluk agama Islam yang taat, kepercayaan

terhadap Nyai Sri tidak luntur dan berkurang,

bahkan menjadi lebih penting, terutama pe-

ngaruh terhadap keselarasan dan keseimbang-

an alam. Sejak pengaruh Islam masuk lebih

menekankan wewenang pria dan Nyi Pohaci

tetap menjadi bagian dari wewenang kaum

wanita. Dalam sistem kepercayaan tradisional

Sunda, hal yang paling penting dalam kese-

larasan alam adalah menjaga keseimbang-an

antara wewenang kaum pria dan wanita. Hal

ini tampak jelas dalam budaya pertanian di

Sunda, dimana wewenang pria dan wanita

dimunculkan dalam keseimbangan.

Page 12: HAJAT LEMBUR PERISTIWA RITUAL KESUBURAN

Makalangan Vol. 5, No. 2, Edisi Juni 2018 | 42

Sebagai Ibu Padi, pelindung tanaman, dan

sebagai simbol kesuburan, Nyai Sri sangat di

junjung tinggi oleh warga masyarakat. Peng-

hormatan terhadapnya menjadi bagian yang

sangat penting untuk menjaga keselarasan dan

keseimbangan alam. Hal ini merupakan salah

satu ciri adanya sikap dan alam pikiran mitis

yang meresap dalam keyakinan masyarakat.

Keyakinan seperti ini bagi mereka merupakan

suatu kebenaran dan terus berlangsung secara

turun-temurun.

Kepercayaan dan keyakinan masyarakat

khususnya masyarakat Cipanas terhadap mi-

tos Nyai Sri sangat mempengaruhi tindakan

atau aktivitas mereka. Keyakinan itu memberi

arah pada mereka tentang bagaimana mem-

perlakukan padi, memperlakukan kersa Nyai,

dan memperlakukan hal-hal lain yang be-

rkaitan dengan mitos tersebut. Kepercayaan

serta keyakinan tentang munculnya seni Tere-

bang sebagai media ritus yang berkaitan de-

ngan budaya pertanian serta identik dengan

Nyai Sri sebagai pelindung tanaman.

KESIMPULAN

Hajat Lembur sebagai peristiwa budaya

yang sifatnya ritual secara turun temurun

diwariskan dari satu generasi ke generasi.

Sesepuh mempunyai fungsi selain berperan

sebagai pemimpin ritual juga shaman, merupa-

kan representasi masyarakat dalam berkomu-

nikasi dengan roh leluhur/Nyai Sri yang di-

percaya sebagai dewi kesuburan. Seni Tere-

bang dijadikan media atau sarana ritual yang

mempunyai fungsi serta peran yang sangat

signifikan bagi masyarakat.

Ritual Hajat Lembur merupakan peristiwa

yang berkaitan dengan kesuburan, padi se-

bagai simbol dari Nyai Sri yang harus di-

hormati dan dipupusti, karena dianggap se-

bagai sumber dari segala kehidupan yang

akan mendatangkan berkah keselamatan, ke-

sehatan, rejeki yang melimpah, serta ke-

suburan lahan pertanian terutama padi.

Seni Terebang sebagai produk kreatif yang

berkaitan dengan kompleksitas kehidupan

masyarakat, di dalamnya terjadi peristiwa

sosial yang berhubungan dengan komunitas

para petani. Seni Terebang memiliki ciri khas

dan keunikan, sehingga menjadi suatu ke-

banggaan dan bagian yang integral bagi ke-

hidupan masyarakat petani.

Seni Terebang sebagai sarana pengesahan

identitas masyarakat pendukung, dari sisi lain

sebagai sarana untuk memperkuat solidaritas,

juga sebagai sarana ritual. Kepercayaan ter-

hadap roh leluhur dan Nyai Sri sebagai dewi

kesuburan menumbuhkan sikap, pola perilaku

dan keyakinan masyarakat terhadap Dewi Sri

yang dipercaya sebagai simbol kesuburan.

Makna yang terkandung dalam peristiwa

Hajat Lembur mengandung makna simbolik,

terutama dalam pola pertunjukan, perangkat

ritual, tarian, serta waktu dan tempat per-

tunjukan. Selain ada kaitannya dengan mak-

sud dan tujuan dari ritual juga adanya nilai-

nilai serta norma yang terkandung di da-

lamnya. Dari berbagai bentuk yang besifat

simbolik diwujudkan dalam peristiwa ritual

ini, makna yang ingin disampaikan yang

paling mendasar adalah makna kesuburan.

Merupakan hal yang wajar mengingat peris-

tiwa hajat lembur ini lahir karena adanya

kepercayaan terhadap Nyai Sri yang identik

dengan simbol serta prinsif kesuburan yang

mereka percayai bersama.

DAFTAR FUSTAKA

Dhavamony, Mariasusuai. 1995. Fenomenologi

Agama. Yogyakarta: Kanisius.

Ekajati, Edi. 1980. Masyarakat sunda dan Ke-

budayaannya. Jakarta: Giri Mukti Pusaka.

Page 13: HAJAT LEMBUR PERISTIWA RITUAL KESUBURAN

Makalangan Vol. 5, No. 2, Edisi Juni 2018 | 43

Garna, Judistira. K. 1999. Metode Penelitian

Pendekatan Kualitatif, Seri Ceramah Kuliah.

Bandung: Primaco Akademika.

. 1996. Ilmu-Ilmu Sosial, Dasar-

Konsep-Posisi. Bandung: Program Pasca

Sarjana Universitas Pajajaran.

Greetz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama.

Yogyakarta: Kanisius.

Holt. Clare. 2000. Art In Indonesia. Terjemahan

Soedarsono, Melacak Jejak Perkembangan Seni

Di Indonesia, Masyarakat Seni Pertunjukan

Indonesia (MSPI), Bandung.

Kaplan, David, dan Albert A. Manners. 2002.

Teori Budaya, Terjemahan Landung Sima-

tupang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Peursen. C. A. Van. 1976. Strategi Kebudayaan,

edisi ke dua. Yogyakarta: Penerbit Ka-

nisius.

Radam, Noerid Halaoi. 2001. Relegi.Orang

Bukit. Yogyakarta: Yayasan Semesta.

Subagya, Rachmat. 1981. Agama Asli Indonesia,

Jaya Pirusa. Jakarta.

Soedarsono. 1991. Tayub Akhir Abad ke-20,

dalam Soedarso SP. ed. Beberapa Catatan

Tentang Perkembangan Kesenian Kita.

Yogyakarta: BP. ISI.

Suharto, Ben. 1999. Tayub Pertunjukan dan Ritus

Kesuburan. Diterbitkan oleh Masyarakat

Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI).

Sujana, Anis. 2016. Selendang Dalam kehidupan

Masyarakat Sunda Dulu dan Sekarang (Tin-

jauan Fungsi Telisik dan Estetik).

Sumardjo, Jakob, dkk. 2000. Filsafat Seni, Ban-

dung: Penerbit ITB.

. 2003. Simbol-Simbol Artepak Budaya

Sunda, Tafsir-tafsir Pantun Sunda.

Suryadipura, R. Paryana. 1950. Alam Pikiran.

Djakarta-Bandung: Neijenhuis & Co. NV.