gbs melly

51
BAB I PRESENTASI KASUS I. IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. S Umur : 30 tahun Alamat : Selengit Pekerjaan : Buruh Agama : Islam Tanggal Pemeriksaan : 03 Oktober 2013 II. ANAMNESIS (Autoanamnesis) Keluhan Utama : Tidak bisa menggerakan kedua kaki Keluhan Tambahan : Kelemahan kedua tangan Riwayat penyakit sekarang: Pasien datang oleh keluarganya ke IGD RSUD Arjawinangun dengan keluhan kedua kaki tidak bisa digerakkan sejak kurang lebih 3 hari SMRS. Kedua kaki tidak bisa digerakan secara tiba-tiba saat pasien bangun tidur,sebelum tidur pasien merasakan kedua kaki keram dan seperti kesemutan . 1 hari sebelum kejadian,pasien merasakan seluruh badan terasa lemas terutama pada kedua ektremitas,kelemahan terjadi perlahan yang diawalai terlebih dahulu paada 1

Upload: bahrun

Post on 24-Nov-2015

47 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

BAB IPRESENTASI KASUS

I. IDENTITAS PASIENNama:Tn. SUmur:30 tahunAlamat:SelengitPekerjaan:BuruhAgama:IslamTanggal Pemeriksaan:03 Oktober 2013

II. ANAMNESIS (Autoanamnesis)Keluhan Utama: Tidak bisa menggerakan kedua kakiKeluhan Tambahan: Kelemahan kedua tanganRiwayat penyakit sekarang: Pasien datang oleh keluarganya ke IGD RSUD Arjawinangun dengan keluhan kedua kaki tidak bisa digerakkan sejak kurang lebih 3 hari SMRS. Kedua kaki tidak bisa digerakan secara tiba-tiba saat pasien bangun tidur,sebelum tidur pasien merasakan kedua kaki keram dan seperti kesemutan . 1 hari sebelum kejadian,pasien merasakan seluruh badan terasa lemas terutama pada kedua ektremitas,kelemahan terjadi perlahan yang diawalai terlebih dahulu paada kedua tungkai . Kelemahan tersebut dirasakan tidak berkurang saat istirahat . Keesokan harinya pasien merasakan kedua tangan lemas tetapi masih dapat digerakan . Pasien masih bisa bicara normal,Keluhan sulit menelan, sesak nafas, bicara pelo, dan kelemahan pada otot sekitar wajah dan mata disangkal. Keluhan tidak disertai penurunan kesadaran pasien, tidak disertai kejang, mual muntah dan sakit kepala. Rasa baal, kesemutan seperti memakai sarung tangan dan kaos kaki pada kedua tungkai dan lengan disangkal pasien. Selama keluhan terjadi, pasien masih dalam keadaan sadar, orientasi, bahasa dan daya ingat pasien masih baik.Pasien mengatakan mengalami nyeri BAK dan demam sejak 3hari sebelum kejadian . riwayat flu, batuk, sakit telinga, sakit tenggorokan, operasi, dan trauma disangkal pasien . Keluhan tidak bisa mencium bau- bauan, gangguan penglihatan, gangguan penderangan, gangguan keseimbangan disangkal oleh pasien.rasa tebal didaerah wajah juga disangkal oleh pasien, pasien juga menyangkal tidak ada kesulitan dalam menelan.Pasien mengatakan tidak mempunyai riwayat hipertensi .Pasien menyangkal kalau mempunyai riwayat penyakit jantung dan pengobatan paru . Pasien juga menyangkal adanya keluhan sering haus terus menerus dan sering kencing pada malam hari. Pasien menyangkal kalau sebelumnya pasien pernah mengalami keluhan yang sama. Pasien juga menyangkal ada keluhan kejang dan nyeri kepala yang hebat. Pasien juga mengaku pada saat awal gejala terjadi tidak meminum obat apapun. Hanya penderita yang mengalami sakit seperti ini dalam keluarga. Penderita tidak mempunyai kebiasaan merokok maupun minum minuman beralkohol.Riwayat penyakit dahulu: Riwayat hipertensi ( - ) Riwayat keluhan yang sama sebelumnya ( - ) riwayat DM ( - ) riwayat penyakit jantung ( - ) riwayat penyakit paru ( - )

Riwayat penyakit keluarga: Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama dengan pasienIII. PEMERIKSAAN FISIKA. Status PresentKeadaan Umum: Tampak sakit sedangKesadaran: Compos mentisGCS: E4M6V5Vital Sign: TD160/100 mmHg Nadi88 x/menit Respirasi20 x/menit Suhu36,50 CKepala: NormocephalMata: CA (-/-), SI (-/-), Pupil isokor, reflex cahaya (+)THT: Dalam batas normalLeher: Pembesaran KGB (-), Pembesaran thyroid (-)Thoraks: Cor BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)Pulmo vesicular bronkial sound (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)Abdomen: cembung, supel, simetris, bising usus (+) normal 12x/menit Nyeri tekan (-) Nyeri lepas (-)Ekstremitas atas: Akral hangat, Edema (-/-), sianosis (-/-)Ekstremitas bawah: Akral hangat, Edema (-/-), sianosis (-/-)

B. Status NeurologiKesadaran/GCS: E4M6V5PupilKananKiri

BentukBulatBulat

Diameter3 mm3 mm

refleks cahaya langsung++

refleks cahaya tak lansung++

Tanda rangsang meningealkanankiri

Kaku kuduk-

Brudzinski I--

Laseque>70>70

Kernig>135>135

Brudzinski II--

Saraf KranialKananKiri

N. I (olfactorius)Tidak dilakukanTidak dilakukan

N. II(opticus)

Visus Lapang pandang Warna Funduskopi

Konfrontasi Reflek cahaya langsungBaikBaikBaikTidak dilakukanBaikBaik

BaikBaikBaikTidak dilakukanBaikBaik

N. III (oculomotorius) Ptosis Pergerakan bola mata

-Baik-Baik

N. IV (troklearis)BaikBaik

34

N. V (trigeminus) Mengunyah

Sensibilitas wajah Reflek korneasimetriskanan = kiriKanan = kiri+

N. VI(abdusen)BaikBaik

N. VII (facialis) Siul Kerut dahi Tersenyum Perasa lidah Angkat alis+Simetris kanan kiriSimetris kanan kiri+Kanan = kiri

N. VIII(vestibulococlearis) Tes rhinne

Tes weber

Tes swabachBaik

Tidak adaLateralisasi

Tidakmemanjang BaikTidak ada lateralisasi

Tidak memanjang

N. IX (glossofaringeus) Posisi uvula

Reflek muntahTidak ada deviasiSulit dilakukan

N. X (vagus)++

N. XI (asesorius) Menengok Mengangkat bahuBaik+Baik+

N. XII (hipoglosus) Menjulurkan lidah Tremor Kanan kiri Tidak ada deviasi-normal

MotorikKananKiri

Kekuatan ekstremitas atas ekstremitas bawah3130

Refleks fisiologis biceps

triceps

patella

achillesmenurun

menurun

menurun

menurunmenurun

menurun

menurun

menurun

Refleks patologis Hoffman Tromner Babinski Chaddok Oppenheim Gordon Schifer Gorda ----------------

Keseimbangan dan KoordinasikananKiri

Romberg--

Disdiadokokinesis--

Tes finger to nose--

Tes tumit- lutut--

Rebound phenomen--

Fungsi Vegetatif: BAB (+), BAK (+), keringat (+)Tes sensibilitas : Eksteroseptif / rasa permukaan (superior / inferior )Rasa raba:+/+Rasa nyeri:+/+Rasa suhu panas:+/+Rasa suhu dingin:+/+Propioseptif / rasa dalam(superior / inferior )Rasa sikap:+/+Fungsi sensibilitas kortikalasteriognosis:+/+Fungsi luhurFungsi bahasa:baikFungsi orientasi:baikFungsi memori:baikFungsi emosi:baik

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANGLab (03 oktober 2013)KGDS : 126 MG/DLWBC: 13.0 10^3/lELEKTROLIT : dalam batas normal,tidak ada kelainan

V. RESUMEPasien 30 tahun, dengan keluhan tidak bisa menggerakan kedua kaki sejak 3hari SMRS. Kelemahan dirasakan terkebih dahulu pada tungkai yaitu 1 hari smrs, kemudian disusul oleh kelemahan pada kedua lengan pada. Keluhan tidak disertai penurunan kesadaran pasien, tidak disertai kejang, muntah dan sakit kepala. Keluhan sulit menelan, bicara pelo, dan kelemahan pada otot sekitar wajah dan mata juga disangkal. Keluhan kesemutan disangkal. Pasien mengatakan mengalami nyeri BAK dan demam sejak 3hari sebelum kejadian . Riwayat sakit telinga, batuk-flu, mencret, hipertensi dan diabetes disangkal. Kesadaran compos mentis, GCS = 15, TD = 160/1000 mmHg, nadi = 88 x/menit, RR = 22 x/menit dan suhu = 36,5 C. Dari pemeriksaan neurologis ditemukan : reflex fisiologis menurun dan kekuatan motorik menurun. Pemeriksaan penunjang,adanya leukositosis .VI. DIAGNOSISDiagnosis klinis: Tetraparesis, ISK, Hipertensi Grade II.Diagnosis topis: Diagnosis etiologi: Guillain Barre Sindrom

VII. DIAGNOSIS BANDINGMisternia gravisHipokalemiMielitis transversa

VIII. PENATALAKSANAANI. 1. Umum Mengurangi kegiatan yang berlebihan Istirahat cukup 6-8 jam per hari.2. Diet Makan makanan yang bergizi dan bervitamin, seperti sayur dan buah-buahan. Mengurangi makanan dan minuman yang mengandung pengawet.3. Medikamentosa IVFD RL Ceftriaxone 1x2 Ranitidine 3x1 Dexametason 3x2 Antrain 3x1 Captopril 12,5mg 1x14. Rehabilitasi Fisioterapi

IX. PROGNOSISQuo ad vitam: dubia ad bonamQuo ad functionam: dubia ad bonamQuo ad sanationam : dubia ad bonam

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

DEFINISIMerupakan suatu kelompok heterogen dari proses yang diperantarai oleh imunitas, suatu kelainan yang jarang terjadi dimana sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri. Kelainan ini ditandai oleh adanya disfungsi motorik, sensorik, dan otonom. Dari bentuk klasiknya, GBS merupakan suatu polineuopati demielinasi dengan karakteristik kelemahan otot asendens yang simetris dan progresif, paralisis, dan hiporefleksi, dengan atau tanpa gejala sensorik ataupun otonom. Namun, terdapat varian GBS yang melibatkan saraf kranial ataupun murni motorik. Pada kasus berat, kelemahan otot dapat menyebabkan kegagalan nafas sehingga mengancam jiwa.ETIOLOGIDahulu sindrom ini diduga disebabkan oleh infeksi virus. Tetapi akhir-akhir ini terungkap bahwa ternyata virus bukan sebagai penyebab. Teori yang dianut sekarang adalah suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune responde maupun immune mediated process.Sindrom terlihat dicetuskan oleh infeksi virus atau bakteri akut, seperti infeksi saluran pernapasan atau infeksi saluran gastrointestinal yang muncul 1 atau 3 minggu sebelumnya. Antibodi yang dihasilkan pada saat infeksi menyerang selubung myelin yang melapisi sel-sel neuron dan kemudian menyebabkan paralysis, kelemahan otot dan kelemahan fungsi sensoris. Sindrom ini dapat pula didahului oleh vaksinasi, kehamilan, atau setelah pembedahan pada bulan sebelum terjadinya sindrom.Patogenesis dan PatofisiologiTidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan organisme pengganggu. Namun pada GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri. Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme (misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin.Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis; berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot dapat ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam.Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat.Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan. Untungnya, fase ini bersifat sementara, sehingga apabila sistem imun telah kembali normal, serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali pulih.Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan medulla spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan medulla spinalis, menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan sebagai saraf perifer motorik, sensorik, dan otonom (involunter).Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati perifer.GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur, transmisi sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer.Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2. Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa lapis.Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat.Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat.

Gb. 11. Manifestasi KlinisPasien dengan GBS umumnya hanya akan mengalami satu kali serangan yang berlangsung selama beberapa minggu, kemudian berhenti spontan untuk kemudian pulih kembali.

2. Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:a. Fase progresif.Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap, dikenal sebagai titik nadir. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala.b. Fase plateau.Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.c. Fase penyembuhanAkhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan sampai waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.

7. Terdapat enam subtipe sindroma Guillain-Barre, yaitu:a. Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), yang merupakan jenis GBS yang paling banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang membrane sel Schwann.b. Sindroma Miller Fisher (MFS), merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan bermanifestasi sebagai paralisis desendens, berlawanan dengan jenis GBS yang biasa terjadi. Umumnya mengenai otot-otot okuler pertama kali dan terdapat trias gejala, yakni oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia. Terdapat antibodi Anti-GQ1b dalam 90% kasus.c. Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik Cina; menyerang nodus motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko. Hal ini disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini musiman dan penyembuhan dapat berlangsung dengan cepat. Didapati antibodi Anti-GD1a, sementara antibodi Anti-GD3 lebih sering ditemukan pada AMAN.d. Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN), mirip dengan AMAN, juga menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang saraf sensorik dengan kerusakan akson yang berat. Penyembuhan lambat dan sering tidak sempurna.e. Neuropati panautonomik akut, merupakan varian GBS yang paling jarang; dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan kardiovaskular dan disritmia.f. Ensefalitis batang otak Bickerstaffs (BBE), ditandai oleh onset akut oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperefleksia atau refleks Babinski. Perjalanan penyakit dapat monofasik ataupun diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas dan ireguler terutama pada batang otak, seperti pons, midbrain, dan medulla. Meskipun gejalanya berat, namun prognosis BBE cukup baik.8. Diagnosisa. Kerusakan myelin pada GBS menyebabkan adanya gangguan fungsi saraf perifer, yakni motorik, sensorik, dan otonom. Manifestasi klinis yang utama adalah kelemahan motorik yang bervariasi, dimulai dari ataksia sampai paralisis motorik total yang melibatkan otot-otot pernafasan sehingga menimbulkan kematian. Awalnya pasien menyadari adanya kelemahan pada tungkainya, seperti halnya kaki karet, yakni kaki yang cenderung tertekuk (buckle), dengan atau tanpa disestesia (kesemutan atau kebas).b. Umumnya keterlibatan otot distal dimulai terlebih dahulu (paralisis asendens Landry), meskipun dapat pula dimulai dari lengan. Seiring perkembangan penyakit, dalam periode jam sampai hari, terjadi kelemahan otot-otot leher, batang tubuh (trunk), interkostal, dan saraf kranialis.c. Pola simetris sering dijumpai, namun tidak absolut. Kelemahan otot bulbar menyebabkan disfagia orofaringeal, yakni kesulitan menelan dengan disertai oleh drooling dan/atau terbukanya jalan nafas, serta kesulitan bernafas.d. Kelemahan otot wajah juga sering terjadi pada GBS, baik unilateral ataupun bilateral; sedangkan abnormalitas gerak mata jarang, kecuali pada varian Miller Fisher.e. Gangguan sensorik merupakan gejala yang cukup penting dan bervariasi pada GBS. Hilangnya sensibilitas dalam atau proprioseptif (raba-tekan-getar) lebih berat daripada sensibilitas superfisial (raba nyeri dan suhu). Sensasi nyeri merupakan gejala yang sering muncul pada GBS, yakni rasa nyeri tusuk dalam (deep aching pain) pada otot-otot yang lemah, namun nyeri ini terbatas dan harus segera diatasi dengan analgesik standar dan arefleksia. Hilangnya sensasi nyeri dan suhu umumnya ringan; bahkan disfungsi kandung kencing dapat terjadi pada kasus berat, namun sifatnya transien; bila gejalanya berat, harus dicurigai adanya penyakit medulla spinalis. Tidak dijumpai demam pada GBS; jika ada, perlu dicurigai penyebab lainnya. Pada kasus berat, didapati hilangnya fungsi otonom, dengan manifestasi fluktuasi tekanan darah, hipotensi ortostatik, dan aritmia jantung9. Pemeriksaan penunjang a. Cairan serebrospinal (CSS)Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih lanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset. Derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit mononuclear/mm.b. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG) Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal.c. EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit. Dapat pula dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan denervasi EMG.d. Pemeriksaan darahPada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah dapat meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala.e. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi saraf pada kultur jaringan. Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya hepatitis viral yang akut atau sedang berlangsung; umumnya jarang karena virus hepatitis itu sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.f. Elektrokardiografi (EKG) menunjukkan adanya:1. Elektrokardiografi (EKG) menunjukkan adanya perubahan gelombang Tserta sinus takikardia.2. Gelombang T yang mendatar atau inverted pada lead lateral3. Peninggian kompleks QRS kadang dijumpai, namun tidak sering.4. Deviasi sumbu ke kiri5. Penurunan segmen ST6. Memanjangnya interval QT7. Kelainan ini dapat terjadi pada keadaan tekanan darah normal dan tidak ada hubungannya dengan derajat kelumpuhan.g. Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru) akan menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending).h. Pemeriksaan patologi anatomi, umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal. Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi ini akan muncul bersama dengan demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam berbagai derajat. Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf kranial. Infiltrat sel-sel radang (limfosit dan sel mononuclear lainnya) juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ lainnya.10. Kriteria Diagnostik untuk Sindroma Guillain-Barre Temuan yang dibutuhkan untuk diagnosis Kelemahan progresif kedua anggota gerak atau lebih Arefleksiab. Temuan klinis yang mendukung diagnosis : Gejala atau tanda sensorik ringan Keterlibatan saraf kranialis (bifacial palsies) atau saraf kranial lainnya Penyembuhan dimulai 2-4 minggu setelah progresivitas berhenti Disfungsi otonom Tidak adanya demam saat onset Progresivitas dalam beberapa hari hingga 4 minggu Adanya tanda yang relatif simetrisc. Temuan laboratorium yang mendukung diagnosis:Peningkatan protein dalam CSS dengan jumlah sel > umur mudaPria = perempuanUmur di bawah 40 tahunPerempuan >> laki2

Kesemutan pada tangan dan kaki (fenomena gloves and stocks)Bangun tidur penderita merasa segar setelah beraktifitas penderita merasa lemah

Lemah bersifat acendenKelemahan otot terutama yang sering digunakan seperti otot bola mata, otot-otot untuk menelan dan untuk bicara, tidak ada keluhan sensorik

Pemeriksaan penunjangLP : sel normal, protein tinggi (disosiasi sitoalbuminik)Pemeriksaan antibodi anti reseptor asetilkolin : titer antibodi ini meninggi pada 90% penderita MG

2. Mielitis transversaMielitis transversa adalah radang medulla spinalis yang mengenai segmen medulla spinalis (substansia alba & grisea). Penyebab dari penyakit ini bisa karena proses infeksius atau noninfeksius.Gambaran klinis: Pasca infeksi / pasca vaksinasi mulai timbul deficit neurology setelah 5 10 hari Perjalanan penyakit akut 50% timbul dalam waktu 12 jam 75% timbul dalam waktu 24 jam Mula-mula berupa demam, malaise, mialgia. Deficit neurologik berupa: Kelemahan ekstremitas Gangguan sensibilitas Gangguan genitourinaria & defekasi Segmen medulla spinalis yang sering terkena antara segmen thoracal 2 - thorakal 6 KHAS : Spinal Shock semua fungsi di bawah lesi tersebut berhentiPada pemeriksaan laboratorium: Pleiositosis moderat 20 200 sel/mm3 . limfosit lebih banyak. Protein sedikit meningkat 50 120 mg/dl. Kadar glukosa normal.

12. Penatalaksanaana. Penatalaksanaan Medikamentosa Intravenous immunoglobulin 0,4 g/kg/d IV selama 5 hari untuk dewasa, dosis tinggi immunoglobulin dapat memblok keruksakan antibody dalam darah, dimana itu berperan menjadi GBS. Heparin dengan BM rendah yang terfraksi : Enoxaparin ( Lovenox ) Kortikosteroidb. Rehabilitasi Medik Fisioterapi : Alih baring dan peregangan otot untuk mencegah kekakuan juga untuk mencegah terjadinya ulkus dekubitus ROM exercise ( latihan lingkup gerak sendi ) secara pasif dan aktif untuk alat gerak atas dan bawah Latihan pernafasaan Latihan dengan tahanan terhadap kelompok otot-otot besar Ambulasi dimulai dengan duduk, berdiri dan berjalan dengan menggunakan parallel bar Terapi Okupasi : Cara tidur benar yaitu dengan mengganjal kedua anggota gerak bawah untuk mencegah terjadinya drop foot Mencegah penggunaan otot persendian berlebihan sehingga dapat menimbulkan kelelahan Ortotik dan ProstetikaBalutan untuk menyokong dorsofleksi kaki dan kepala lutut dipakai splint temporer,kemudian a light spring wire brace untuk drop foot jika diperlukan Psikososial Memberitahukan keluarga tentang prognosis penyakit dan mengajak keluarga untuk menjalankan program terapi bersama tim medis untuk mencapai hasil maksimal Meningkatkan gizi penderita dan menghindari infeksi Melakukan evaluasi psikologi secara teratur terhadap penderitac. Program Rehabilitasi Medik yang Intensif dan Benar pada SGBPada stadium akut penderita menunjukan otot yang komplit atau sedang berjalan. Sasaran rehabilitasi Medik adalah memelihara luas gerak sendi (mencegah kekakuan otot)d. TerapiPada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat simtomatik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).e. PlasmaparesisPlasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktautoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama). Teknik Pelaksanaana. Secara manualPlasmaferesis dalam jumlah yang sedikit (misalnya sampai kira-kira 500 ml) dapat dilakukan secara manual. Darah vena dikeluarkan ke dalam kantung yang berisi antikoagulan. Setelah kantung penuh atau sudah tercapai jumlah yang diinginkan, aliran darah diputuskan dan penderita diberi larutan NaCl 0,9% agar aliran pada vena tetap terbuka. Darah dalam kantung diputar dalam centrifuge, plasmanya dibuang dan komponen lain dikembalikan ke penderita.b. Dengan menggunakan cell separatorPrinsip kerja cell separator dapat berupa continuous flow centrifugation (CFC) atau intermittent flow centrifugation (IFC). Pada CFC proses pengambilan darah, pemisahan komponen dan pengembalian komponen berjalan secara kontinyu, sedangkan pada IFC proses tersebut berjalan secara bergantian. Saat ini sedang dikembangkan cell separator yang menggunakan teknik membrane filtration. Dengan cara ini, plasma mengalir melalui membran yang akan menyaring komponen spesifik yang ada di dalam plasma. Cairan PenggantiFederal and American Association of Blood Bank memberi pedoman bahwa plasmaferesis sejumlah 1000 ml/minggu dapat dilakukan tanpa cairan pengganti yang mengandung protein pada donor dengan ukuran badan rata-rata, tetapi dengan tetap memantau kadar protein serum donor tersebut. Terapi plasma-feresis tentu berbeda dengan plasmaferesis pada donor, tetapi setidak-tidaknya pedoman ini dapat dipakai sebagai pegangan Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 34 pada penderita dengan keadaan gizi yang baik. Biasanya juga dianjurkan diit tinggi protein bila bukan merupakan kontra-indikasi. Fresh frozen plasma, albumin atau derivat plasma lain dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan koloid sebagai pengganti plasma penderita. Pemakaian plasma sebagai cairan pengganti, penting pada penyakit-penyakit akibat kekurangan suatu faktor dalam plasma misalnya thrombotic thrombocytopenic purpura. Pada penyakit-penyakit dengan komponen plasma yang patogen, penentuan jenis cairan pengganti juga penting; misalnya clearance kompleks imun dapat ditingkatkan dengan memberikan cairan pengganti yang mengandung komplemen, meskipun ada penulis lain yang menganjurkan pemberian cairan yang tidak mengandung komplemen. Pada umumnya tidak diperlukan elektrolit pengganti baik pada plasmaferesis dengan jumlah kecil maupun dengan jumlah besar. Jadi dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini belum ditemukan cairan pengganti yang optimal dan mungkin tidak akan pernah ditemukan karena hal ini sangat individual. Efek Samping PlasmaferesisSetiap plasmaferesis menimbulkan kerusakan vena yangdapat bersifat ringan maupun berat. Setiap penderita dapat mengalami serangan vasovagal yang disebabkan oleh hipovolemia dan diperberat oleh stres psikis. Keseimbangan cairan harus diperhatikan untuk menghindari hipo atau hipervolemia. Penderita-penderita yang memiliki gangguan fungsi hepar cenderung untuk mengalami keracunan sitrat. Hal ini terutama terjadi bila menggunakan cairan pengganti yang mengandung sitrat misalnya plasma. Telah dilaporkan juga penurunan jumlah trombosit dan faktor-faktor pembekuan. Penurunan jumlah trombosit selain akibat plasmaferesis,juga diakibatkan oleh pemakaian obat-obat sitostatika yang diberikan bersamaan dengan plasmaferesis untuk mencegah rebound phenomena. Penderita yang memiliki kelainan kadar elektrolit mem-punyai risiko untuk mengalami aritmia jantung. Beberapa penulis melaporkan tidak ada perubahan kadar elektrolit akibat plasmaferesis, tetapi penulis lain menyatakan bahwa terjadi ketidak seimbangan elektrolit. Reaksi urtikaria atau kadang-kadang anafilaksis dapat timbul pada penderita yang memakai plasma sebagai cairan pengganti. Risiko timbulnya hepatitis juga meningkat bila dipakai plasma.Suatu kendala lain yang membatasi penggunaan plasma-feresis adalah tingginya biaya. Komplikasi terapi plasmapheresisMeskipun plasmapheresis sangat membantu dalam kondisi medis tertentu, seperti terapi lainnya, ada risiko potensial dan komplikasi. Penyisipan kateter intravena agak besar dapat menyebabkan perdarahan, paru tusukan (tergantung pada lokasi penyisipan kateter), dan, jika kateter dibiarkan terlalu lama, maka bisa terinfeksi.Selain menempatkan kateter, prosedur itu sendiri memiliki komplikasi. Ketika darah pasien berada di luar tubuh melewati mesin plasmapheresis, darah memiliki kecenderungan untuk membeku. Untuk mengurangi kecenderungan, dalam satu protokol yang umum, sitrat diinfuskan sementara darah berjalan melalui sirkuit. Sitrat mengikat kalsium dalam darah, kalsium yang penting bagi darah untuk membeku. Sitrat sangat efektif dalam mencegah darah dari pembekuan, namun penggunaannya dapat mengakibatkan mengancam jiwa tingkat kalsium yang rendah. Hal ini dapat dideteksi dengan menggunakan tanda Chvostek atau tanda trousseau's. Untuk mencegah komplikasi ini, kalsium diinfuskan intravena saat pasien mengalami plasmapheresis tersebut; di samping itu, kalsium suplementasi melalui mulut juga dapat diberikan.Komplikasi lainnya termasuk: Potensi paparan produk darah, dengan risiko reaksi transfusi atau transfusi penyakit menular Penekanan sistem kekebalan tubuh pasien Perdarahan atau hematoma dari penempatan jarum Terapi Plasmaferesis pada Sindroma Gullien BarrePenatalaksanaan pasien SGB seringkali sangat rumit dan pengobatan medis dan perawatan yang baik sangat mempengaruhi keluaran (outcome). Dalam fase dini yang masih progresif, harus dilakukan observasi yang seksama dan perawatan di rumah sakit adalah wajib, juga pada kasus-kasus yang enteng. Karena terjadi perbaikan spontan pada kebanyakan kasus, maka penatalaksanaan terutama ditujukan pada perawatan yang baik dan menghindari komplikasi infeksi sekunder, namun penatalaksanaan tetap rumit dan melelahkan. Walaupun dalam kepustakaan disebutkan, bahwa hanya 2 jenis terapi (plasmaferesis dan Imunoglobulin) yang secara spesifik dapat mempengaruhi jalannya penyakit, namun terdapat tindakan-tindakan lain yang membantu untuk mencegah terjadinya komplikasi yang sering menyertai penyakit ini. Pengobatan medikamentosa pada saat ini terutama ditujukan pada imunomodulasi. Menurut petunjuk guideline dari American Academy of Neurology (AAN), maka pengobatan SGB yang dimulai secara dini dalam waktu 2 4 minggu setelah gejala pertama timbul, dapat mempercepat waktu penyembuhan. Hanya plasmaferesis (plasma exchange therapy) dan imunoglobulin intravena (IVIg 7s) yang terbukti efektif. Kedua modalitas pengobatan ini telah terbukti dapat memperpendek waktu penyembuhan sampai 50 % , namun harganya mahal dan ada kesukaran dalam cara memberi dan efektivitas ke 2 regimen pengobatan itu hampir sama dan komparabel.Walaupun terbukti menurunkan beratnya penyakit dan memperpendek waktu adanya gejala, namun outcome jangka panjang belum jelas dipengaruhi oleh obat-obatan ini Plasmaferesis (PE) secara historis dan case control studies terbukti menurunkan beratnya penyakit dan gejala-gejalanya dan memperpendek durasi SGB, namun efeknya biasanya tidak segera dan tidak dramatis. PE seringkali digunakan pada anak-anak dan pada sindroma Miller Fisher; suatu varian SGB, namun belum ada bukti definitif mengenai efektivitas PE pada ke 2 penyakit ini, namun telah dipakai secara luas. PE sebaiknya diberikan secepat mungkin pada penderita SGB yang tidak dapat berjalan tanpa bantuan (unable to walk unassisted). Plasmaferesis adalah suatu metode untuk memisahkan komponen darah dengan menggunakan mesin sehingga plasma dipisahkan dari sel darah merahnya, lalu plasma dibuang dan sel darah merahnya dicampurkan dengan larutan koloid pengganti yaitu albumin 4 % dalam larutan salin, lalu dimasukkan kembali kedalam tubuh.Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).Plasma yang akan diganti dalam 4-5x PE yang dilakukan dalam jangka waktu 7 10 hari seluruhnya adalah kira-kira 250 cc/kgbb. Harus dipakai suatu alat dengan pengaliran yang terus-menerus (continuous flow machine), dan cairan pengganti plasma yang dipakai adalah albumin 5%. Pelaksanaan PE yang lebih intensif, misalnya setiap hari tidak dianjurkan, PE biasanya aman dan ditoleransi dengan baik. Untuk melakukan PE dipilih vena perifer yang baik dan bisa juga dilakukan didaerah subklavia.Komplikasi yang bisa timbul adalah instabilitas otonom, hiperkalsemia dan perdarahan karena faktor pembekuan ikut dihilangkan dan infeksi.f. Pengobatan imunosupresan: Imunoglobulin IVPengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh. Obat sitotoksikPemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah: 6 merkaptopurin (6-MP) Azathioprine CyclophosphamidEfek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.

13. PrognosisPrognosis akan lebih baik apabila penderita berusia muda, selama sakit tidak memerlukan pernafasan bantuan, perjalanan penyakit yang lebih lambat, dan tidak terjadi kelumpuhan total.Sekitar 85% pasien dengan SGB berhasil sembuh dengan penyembuhan fungsi dalam 6-12 bulan. Penyembuhan maksimal dalam 18 bulan setelah onset, bagaimanapun pada beberapa pasien memiliki kelemahan yang menetap, arefleksia, dan parestesia. Sekitar 7-15% pasien memiliki gejala neurologist sisa yang menetap termasuk bilateral footdrop. Otot tangan instrinsik kebas, sensori ataxia, dan disestesia. Angka kematian 60 tahun, berat, memerlukan pernafasan bantuan. Pada umumnya, prognosis yang jelek secara langsung berhubungan dengan beratnya episode akut dan lambatnya onset pada pengobatan spesifik

DAFTAR PUSTAKA

1. Sidharta, 2004, Stroke dalam Neurologi Klinis dalam Praktek umum, ED 5, Dian Rakyat, Jakarta, hal : 260-275.2. Pranata, Hardhi. Sindroma Guillain Barre dalam Pengenalan dan penatalaksanaan Kasus-Kasus Neurologi. Departemen. Neurologi RSPAD Gatot Soebroto. Jakarta. Hal 48-54.3. Tamtama, Eddy. 2001. Sindroma Guillain Barre dalam Pemeriksaan Neurologis.UPF Neurologi RSUD Gunung Jati. Cirebon.Hal 48-58.