refreat gbs stase saraf
DESCRIPTION
guallian bare syindrom referat adalahTRANSCRIPT
REFERAT
Tatalaksana
Guillain-Barre Syndrome
Disusun Oleh:
ANGGIA FITRI WIDYANI
1102010023
Pembimbing :
dr. Mukhdiyar Kasim, Sp.S
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
KEPANITERAAN BAGIAN ILMU SARAF RSUD CILEGON
1
MEI 2014
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, penyusun
menampilkan referat yang berjudul “Tatalaksana Guillain Barre Syndrome”.
Adapun referat ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian
kepanitraan klinik di bagian syaraf RSUD Cilegon.
Terwujudnya referat ini merupakan berkat bantuan dan dorongan dari
berbagai pihak. Penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dr. Mukhdiyar Kasim, Sp.S selaku konsulen pembimbing referat, yang
telah meluangkan waktu dalam membimbing dan memberi masukan-masukan
kepada penyusun dan juga kepada seluruh dokter lainnya yang turut membantu
membimbing penyusun serta kepada seluruh koass lainnya selama kepaniteraan
di bagian Saraf. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang sebesar-besarnya
atas bantuan yang diberikan selama ini.
Penyusun menyadari referat ini masih jauh dari kata sempurna, oleh
karena itu penyusun mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun
sehingga penyusunan referat ini dapat menjadi lebih baik dan sesuai dengan
hasil yang diharapkan.
Akhir kata dengan mengucapkan Alhamdulillah, semoga Allah SWT selalu
meridhoi kita dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.
Cilegon, 8 April 2014
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………2
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………….3
BAB I. PENDAHULUAN …………………………………………………………………..4
BAB II. PEMBAHASAN ……………………………………………………………………5
2.1 DEFINISI …………………………………………………………………………5
2.1 KLASIFIKASI ……………………………………………………………………6
2.3 GEJALA KLINIS ………………………………………………………………..7
2.4 DIAGNOSIS …………………………………………………………………….8
2.5. TATALAKSANA ……………………………………………………………..13
2.6 KOMPLIKASI ………………………………………………………………….19
2.7 PROGNOSIS …………………………………………………………………..19
BAB III. KESIMPULAN …………………………………………………………………….20
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………21
3
BAB I
PENDAHULUAN
Guillain-Barre Syndrome (GBS) adalah salah satu penyakit ‘demyelinating’ saraf
dan merupakan salah satu polineuropati, karena hingga sekarang belum dapat
dipastikan penyebabnya. Kebanyakan kasus GBS terjadi sesudah proses infeksi, diduga
karena sistem kekebalan tubuh yang tidak berfungsi. Gejalanya adalah kelemahan otot
(parese hingga plegia), biasanya perlahan, mulai dari bawah ke atas. Jadi gejala awalnya
tidak bisa berjalan, atau gangguan berjalan. Sebaliknya penyembuhannya diawali dari
bagian atas tubuh ke bawah, sehingga bila ada gejala sisa biasanya gangguan berjalan.
Guillain-Barre Syndrome (GBS) merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup
sering dijumpai pada usia dewasa muda. GBS ini seringkali mencemaskan penderita dan
keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat
menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik.
Beberapa nama lain untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic polyneuritis, Acute
Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome,
Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.
Penyakit ini disebabkan oleh autoimun dan muncul akibat dipicu oleh infeksi
sebelumnya (antecedent infections). Dalam dua pertiga dari kasus, penyebab yang paling
sering disebabkan oleh infeksi pernapasan dan infeksi saluran pencernaan (Pieter et al.,
2008). Semua kelompok usia dapat terkena penyakit ini, namun paling sering terjadi
pada dewasa muda dan usia lanjut. Laki-laki cenderung lebih mudah terkena yaitu
sebesar 1,5 : 1 dibanding wanita (Burns, 2008). Insidensi kasus Sindrom Guillain Barre
yang berkaitan dengan infeksi akut non spesifik sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai
4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau
infeksi gastrointestinal. Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian, pada 3 %
pasien, yang disebabkan oleh gagal napas dan aritmia. Sekitar 30 % penderita memiliki
gejala sisa kelemahan setelah 3 tahun. Tiga persen pasien dengan SGB dapat mengalami
relaps yang lebih ringan beberapa tahun setelah onset pertama. Bila terjadi
kekambuhan atau tidak ada perbaikan pada akhir minggu IV maka termasuk Chronic
4
Inflammantory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (CIDP). Pengobatan secara
simtomatis dan perawatan yang baik dapat memperbaiki prognosisnya.
BAB II
PEMBAHASAN
I. DEFINISI
Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan
tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri
dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang
sifatnya progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris,
otonom,maupun susunan saraf pusat. GBS merupakan Polineuropati akut,
bersifat simetris dan ascenden, yang biasanya terjadi 1 – 3 minggu dan kadang
sampai 8 minggu setelah suatu infeksi akut.
Guillain Barre syndrome ( GBS ) merupakan Polineuropati pasca infeksi
yang menyebabkan terjadinya demielinisasi saraf motorik kadang juga mengenai
saraf sensorik. Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah polineuropati yang
menyeluruh, dapat berlangsung akut atau subakut, mungkin terjadi spontan atau
sesudah suatu infeksi.
Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita dan bukan merupakan penyakit yang menular juga tidak diturunkan secara herediter. Penyakit ini merupakan proses autoimun. Tetapi sekitar setengah dari seluruh kasus terjadi setelah penyakit infeksi virus atau bakteri seperti dibawah ini :
Infeksi virus : Citomegalovirus (CMV), Ebstein Barr Virus (EBV), enterovirus, Human Immunodefficiency Virus (HIV).
Infeksi bakteri : Campilobacter Jejuni, Mycoplasma Pneumonie. Pasca pembedahan dan Vaksinasi. 50% dari seluruh kasus terjadi sekitar 1-3 minggu setelah terjadi penyakit
Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) dan Infeksi Saluran Pencernaan.Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi melalui mekanisme imunologi.8
5
II. KLASIFIKASI
1. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan yang
lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi saluran
cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari serabut
saraf sensorik dan motorik yang berat dengan sedikir demielinisasi.
2. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)
Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibody gangliosid
meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki gejala klinis
motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi dengan asending dan
paralysis simetris. AMAN dibedakan dengan hasil studi elektrodiagnostik dimana
didapatkan adanya aksonopati motorik. Pada biopsy menunjukkan degenerasi
‘wallerian like’ tanpa inflamasi limfositik. Perbaikannya cepat, disabilitas yang
dialami penderita selama lebih kurang 1 tahun.
3. Miller Fisher Syndrome
Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus SGB.
Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat
pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas.
Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan
minggu atau bulan
4. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)
CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala
neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih
dominant dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal.
5. Acute pandysautonomia
Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi. Disfungsi
dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan terjadinya
hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis,
penurunan salvias dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.
6
III. GEJALA KLINIS
Guillain-Barre Syndrome (GBS) ditandai dengan timbulnya suatu
kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan didahului
parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi
sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer. Ciri-ciri klinis
GBS ialah:
1.Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe
lower motor neurone. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari
kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan,
anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat
anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf
kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau
arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat
dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat
dari bagian proksimal.1,4
2.Gangguan Sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga
bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif biasanya
minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan.
Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif.
Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik. 1,4
3.Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot
muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa
ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan
N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena
7
akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang
berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus 4.
4.Gangguan Fungsi Otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita GBS4. Gangguan
tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi
merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya
keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin
jarang dijumpai 1,4. Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu
atau dua minggu.
5.Kegagalan Pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat
fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh
paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada
10-33 persen penderita 1,4.
6.Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan
pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang
menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak
berkurang 4.
IV. DIAGNOSIS
Pemeriksaan Fisik
Kerusakan myelin pada GBS menyebabkan adanya gangguan
fungsi saraf perifer, yakni motorik, sensorik, dan otonom. Manifestasi
klinis yang utama adalah kelemahan motorik yang bervariasi, dimulai dari
ataksia sampai paralisis motorik total yang melibatkan otot-otot
pernafasan sehingga menimbulkan kematian. Awalnya pasien menyadari
adanya kelemahan pada tungkainya, seperti halnya ‘kaki karet’, yakni kaki
8
yang cenderung tertekuk (buckle), dengan atau tanpa disestesia
(kesemutan atau kebas).5
Pola simetris sering dijumpai, namun tidak absolut. Kelemahan
otot bulbar menyebabkan disfagia orofaringeal, yakni kesulitan menelan
dengan disertai oleh drooling dan/atau terbukanya jalan nafas, serta
kesulitan bernafas. Kelemahan otot wajah juga sering terjadi pada GBS,
baik unilateral ataupun bilateral; sedangkan abnormalitas gerak mata
jarang.
Gangguan sensorik merupakan gejala yang cukup penting dan
bervariasi pada GBS. Hilangnya sensibilitas dalam atau proprioseptif
(raba-tekan-getar) lebih berat daripada sensibilitas superfisial (raba nyeri
dan suhu). Sensasi nyeri merupakan gejala yang sering muncul pada GBS,
yakni rasa nyeri tusuk dalam (deep aching pain) pada otot-otot yang
lemah, namun nyeri ini terbatas dan harus segera diatasi dengan
analgesik standar dan arefleksia. Hilangnya sensasi nyeri dan suhu
umumnya ringan. Bahkan Disfungsi kandung kencing dapat terjadi pada
kasus berat, namun sifatnya transien. Bila gejalanya berat, harus dicurigai
adanya penyakit medulla spinalis. Tidak dijumpai demam pada GBS; jika
ada, perlu dicurigai penyebab lainnya. Pada kasus berat, didapati
hilangnya fungsi otonom, dengan manifestasi fluktuasi tekanan darah,
hipotensi ortostatik, dan aritmia jantung.5
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot
yang bersifat difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau
bahkan menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan
adanya kelemahan pada otot otot intercostal. Tanda rangsang meningeal
seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks
patologis seperti refleks Babinsky tidak ditemukan.
Pemeriksaan Penunjang
9
Cairan serebrospinal (CSS) Yang paling khas adalah adanya
disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein (100-1000
mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada
kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS normal;
setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih kanjut di
saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi
sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset. Derajat penyakit
tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis
umumnya di bawah 10 leukosit mononuclear/mm.
Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi
(EMG) Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat
demyelinasi saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal
(menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau absennya respon
gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar
saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang telah
terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal.5
EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat
pula dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu
setelah onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari
normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan
tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien
GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar
10% penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan
periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta
berkurangnya KHS dan denervasi EMG.
Pemeriksaan darah Pada darah tepi, didapati leukositosis
polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur,
limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada
fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju
10
endap darah dapat meningkat sedikit atau normal, sementara anemia
bukanlah salah satu gejala.5
Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat,
dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat
demyelinasi saraf pada kultur jaringan. Abnormalitas fungsi hati terdapat
pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya hepatitis viral yang
akut atau sedang berlangsung; umumnya jarang karena virus hepatitis itu
sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.4
Elektrokardiografi (EKG) menunjukkan adanya perubahan
gelombang Tserta sinus takikardia. Gelombang T akan mendatar
atau inverted pada leadlateral. Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai,
namun tidak sering.
Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru) akan
menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan
(impending).
Pemeriksaan patologi anatomi, adanya infiltrat limfositik
mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal. Pada fase lanjut,
infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi ini akan muncul bersama dengan
demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam berbagai derajat
Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga
ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila
terjadi pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf kranial. Infiltrat
sel-sel radang (limfosit dan sel mononuclear lainnya) juga didapati pada
pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ lainnya.
Diagnosis GBS umumnya ditentukan oleh adanya kriteria klinis dan beberapa temuan klinis yang didukung oleh pemeriksaan elektrofisiologis dan cairan serebrospinal (CSS). Kriteria Diagnostik untuk Sindroma Guillain-Barre, ialah :
Temuan yang dibutuhkan untuk diagnosis
11
o Kelemahan progresif kedua anggota gerak atau lebiho Arefleksia
Temuan klinis yang mendukung diagnosis o Gejala atau tanda sensorik ringano Keterlibatan saraf kranialis (bifacial palsies) atau saraf
kranial lainnyao Penyembuhan dimulai 2-4 minggu setelah progresivitas
berhentio Disfungsi otonomo Tidak adanya demam saat onseto Progresivitas dalam beberapa hari hingga 4 mingguo Adanya tanda yang relatif simetris
Temuan laboratorium yang mendukung diagnosiso Protein dalam CSS dengan jumlah sel <10 sel/μl
Temuan elektrofisiologis mengenai adanya demyelinasi: melambatnya atau terbloknya hantaran saraf
Diagnosis Banding
GBS harus dibedakan dengan beberapa kelainan susunan saraf pusat seperti myelopathy, dan poliomyelitis. Pada myelopathy ditemukan adanya spinal cord syndrome dan pada poliomyelitis kelumpuhan yang terjadi biasanya asimetris, dan disertai demam.
GBS juga harus dibedakan dengan neuropati akut lainnya seperti porphyria, diphteria, dan neuropati toxic yang disebabkan karena keracunan thallium, arsen, dan plumbum.
Kelainan neuromuscular junction seperti botulism dan myasthenia gravis juga harus dibedakan dengan GBS. Pada botulism terdapat keterlibatan otot otot extraoccular dan terjadi konstipasi. Sedangkan pada myasthenia gravis terjadi ophtalmoplegia.
Myositis juga memberikan gejala yang mirip dengan GBS, namun kelumpuhan yang terjadi sifatnya paroxismal. Pemeriksaan CPK menunjukkan peningkatan sedangkan LCS normal.2
12
V. TATALAKSANA
Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan
terutama secara simptomatis. Tujuan utama penatalaksanaan adalah
mengurangi gejala, mengobati komplikasi, mempercepat penyembuhan dan
memperbaiki prognosisnya. Penderita pada stadium awal perlu dirawat di rumah
sakit untuk terus dilakukan observasi tanda-tanda vital. Penderita dengan gejala
berat harus segera di rawat di rumah sakit untuk mendapatkan bantuan
pernafasan, pengobatan dan fisioterapi. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan
adalah :
1. Perawatan umum
Perawatan yang baik sangat penting dan terutama ditujukan pada
perawatan kulit dengan mencegah luka baring pada posisi tidur, perawatan
saluran pencernaan, mulut, faring dan trakhea. Perawatan Infeksi paru dan
saluran kencing harus segera diobati. Bila nyeri otot dapat diberikan analgetik.
Respirasi diawasi secara ketat, terhadap perubahan kapasitas vital dan gas darah
yang menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan. Pada kasus kelumpuhan
bifasial, diberikan air mata buatan dan taping kelopak mata untuk mencegah
iritasi kornea.
2. Perawatan Sistem pernapasan
Gagal nafas merupakan penyebab utama kematian pada penderita GBS.
Pengobatan lebih ditujukan pada tindakan suportif dan fisioterapi. Bila perlu
dilakukan tindakan trakeostomi, penggunaan alat Bantu pernapasan (ventilator)
bila vital capacity turun dibawah 50%. Jika pernafasan buatan diperlukan untuk
waktu yang lama maka trakheotomi harus dikerjakan.
Trakeostomi dilakukan bila diperkirakan bantuan nafas lebih dari 10 hari.
Keputusan untuk menghentikan alat bantu nafas dan melepaskan selang
13
endotrakeal atau trakeostomi didasarkan pada derajat penyembuhan fungsi
respirasi. Proses weaning umumnya dimulai saat kapasitas vital mencapai kurang
lebih 10 ml/kg dan dapat dipertahankan selama beberapa jam.
Kegagalan pernapasan neuromuskular yang memerlukan ventilasi
mekanis terjadi pada 20% - 30% pasien SGB. Ahli saraf harus memantau tanda-
tanda klinis dari kegagalan pernafasan yang akan terjadi, termasuk takipnea,
penggunaan otot pernapasan tambahan, gerakan tidak sinkron antara dada
dan perut, dan takikardia. Kapasitas vital di bawah 20mL/kg,
tekanan inspirasi maksimal (PImax) < 30cm H2O, atau tekanan
ekspirasi maksimal (PEmax) < 40cm H2O memprediksi serangan
pernapasan akut.Dalam waktu kurang dari 1 minggu,
kelemahan wajah, ketidakmampuan untuk batuk, ketidakmampuan untuk
mengangkat kepala dari bantal, dan atelektasis pada rontgen dada adalah faktor
lain yang berhubungan dengan kegagalan pernapasan dan kebutuhan
mekanik ventilation. Durasi rata-rata ventilasi mekanis untuk SGB adalah 2-6
minggu.6
Kebutuhan dan indikasi trakeostomi harus didasarkan pada status
individu terkait trakeostomi pada awalnya meningkatkan kenyamanan pasien
dan keselamatan jalan napas, namun trakeostomi juga dapat
mengakibatkan cacat permanen dan telah dikaitkan dengan komplikasi
seperti perdarahan dan infeksi. Keputusan untuk
melakukan trakeostomi dapat menunggu 2 minggu setelah intubasi, tetapi
jika pada 2 minggu pasien tidak menunjukkan perbaikan fungsi paru dan
kekuatan pernapasan yang signifikan, maka trakeostomi dapat menjadi pilihan.
3. Perawatan gangguan system saraf otonom
Disfungsi otonom akut berkembang di sebagian besar pasien dengan SGB
dan merupakan penyebab terbesar kematian pada pasien. Gangguan jantung
dan hemodinamik adalah komplikasi yang paling serius dan sering, seperti
hipertensi, hipotensi postural, takikardia dapat timbul dan terjadi pada sebagian
14
besar pasien SGB, pemantauan tekanan darah dan denyut jantung sangat
dianjurkan.
Selain itu pasien SGB juga sering mengalami dysautonomia fungsi usus dan
kandung kemih. Retensi urin dapat terjadi pada sepertiga pasien SGB. Disfungsi
kandung kemih sangat umum pada pasien SGB yang merupakan gejala klinis
sekunder untuk disfungsi saraf parasimpatis sakral dan saraf motorik pudenda.
Penanganan tersebut dapat dikelola oleh sistem drainase kemih steril tertutup.
Gangguan motilitas gastrointestinal terjadi pada 15% penderita SGB, pada
pasien pada ileus proksimal, manifestasi yang paling sering adalah
distensi perut, nyeri dan kram sedangkan pada
ileus distal gastrointestinal bermanifestasi sebagai sembelit. Gangguan motilitas
tersebut bersifat sementara namun terkadang dapat terjadi selama berhari-
hari hingga berminggu-minggu. Pemeriksaan abdomen termasuk auskultasi,
pengukuran lingkar perut, dan poto polos abdomen merupakan standar untuk
pasien SGB, terutama dengan dysautonomia. Dismotilitas biasanya
dapat dikelola secara efektif oleh suspensi makanan
enteral,pengisapan nasogastrik, dan eritromisin atau neostigmine.
Nutrisi parenteralmungkin diperlukan jika gangguan bertahan lebih
dari beberapa hari. Bila mungkin, menghindari narkotika juga sangat
membantu dalam mengurangi dismotilitas.4
4. profilaksis terhadap DVT (deep vein thrombosis)
Imobilisasi yang disebabkan oleh SGB merupakan faktor risiko pencetus
terjadinya Deep Vein Trombosis (DVT) dan emboli paru. Pemberian heparin sub
kutan dan difraksinasi atau stoking merupakan penanganan yang
direkomendasikan untuk pasien SGB non-ambulatory sampai mereka bisa
berjalan secara mandiri. Rekomendasi ini didasarkan pada bukti bahwa heparin
subkutan (5000 U/12 jam) atau enoxaparin (40mg setiap hari) mengurangi
insiden DVT pada pasien ortopedi dan pasien bedah urologis.6
5. Analgesik
15
Analgesik ringan atau OAINS mungkin dapat digunakan untuk meringankan
nyeri ringan, namun tidak untuk nyeri yang sangat,penelitian random control
trial mendukung penggunaan gabapentin atau carbamazepine pada ruang ICU
pada perawatan SGB fase akut. Analgesic narkotik dapat digunakan untuk nyeri
dalam, namun harus melakukan monitor secara hati-hati kepada efek samping
denervasi otonomik.terapi ajuvan dengan tricyclic antidepressant , tramadol,
gabapentin, carbamazepine, atau mexilitene dapat ditambahkan untuk
penatalaksanaan nyeri neuropatik jangka panjang. Jenis nyeri paling umum
adalah rasa sakit yang mendalam, sakit punggung dan nyeri ekstremitas bawah
dan dysesthetic ekstremitas. Intensitas nyeri berkorelasi buruk dengan tingkat
kecacatan. Dalam sebuah penelitian, 75% pasien SGB membutuhkan analgesik
opioid oral atau parenteral dan 30% dirawat dengan infus morfin intravena (1-7
mg/jam). Gabapentin (15mg/kg/hari) dan carbamazepine (300mg setiap hari)
yang dilaporkan efektif untuk mengurangi rasa sakit pada pasien dengan SGB.
Ajuvan terapi lain (misalnya, mexiletine, tramadol, obat-obatan antidepresan
trisiklik) juga dapat membantu dalam pengelolaan jangka pendek dan jangka
panjang nyeri neuropatik. Acetaminophen atau obat anti-inflammatory juga bisa
dicoba sebagai pengobatan lini pertama tetapi sering tidak terlalu efektif.6
6. Fisioterapi
Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan
kolaps paru. Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi.
Segera setelah penyembuhan mulai (fase rekonvalesen), maka fisioterapi aktif
dimulai untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.
Gerakan pasti pada kaki yang lumpuh mencegah deep vein thrombosis,
spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota gerak yang
lumpuh, dan kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif.
Segera setelah penyembuhan mulai maka fisioterapi aktif dimulai untuk
melatih dan meningkatkan kekuatan otot. Disfungsi otonom harus dicari dengan
16
pengawasan teratur dari irama jantung dan tekanan darah. Bila ada nyeri otot
dapat dapat diberikan analgetik.
7. Imunoterapi
Tujuan pengobatan SGB ini untuk mengurangi beratnya penyakit dan
mempercepat kesembuhan ditunjukan melalui system imunitas.
7.1. Plasma exchange therapy (PE)
Pertukaran plasma atau Plasma Exchange (PE) dan IVIG merupakan
immunotherapies yang efektif untuk pasien dewasa dan anak dengan SGB jika
diberikan selama beberapa minggu pertama dalam perjalanan penyakit. Untuk
pasien dengan SGB, PE biasanya diberikan sebagai satu volume plasma, 50 mL/kg
pada lima kesempatan terpisah selama 1 sampai 2 minggu.4
Plasmapheresis dianjurkan untuk pasien dengan kelemahan sedang hingga
berat. Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan
faktor autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB
memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat,
penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih
pendek. Waktu yang paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu
setelah munculnya gejala. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah
40-50 ml/kg dalam waktu 7-10 hari dilakukan empat sampai lima kali exchange.
Digunakan larutan saline dan albumin sebagai cairan pengganti plasma. Manfaat
terapi paling jelas apabila terapi dimulai 2 minggu setelah onset.
Efek samping PE meliputi hipotensi, septikemia, pneumonia, pembekuan
darah, komplikasi dari akses vena sentral, dan hipokalsemia. Sitrat
diinfuskan untuk antikoagulasi atau sebagai bagian dari fresh frozen plasma
dapat menyebabkan hipokalsemia atau asidosis metabolik. Gejala hipokalsemia
termasuk parestesia, kram otot, aritmia jantung, ketidakstabilan hemodinamik
berat, status kardiovaskuler tidak stabil,septicemia, perdarahan aktif, dan
kehamilan merupakan kontraindikasi dalam penggunaan PE.10
7.2. Imunoglobulin IV
17
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat menetralisasi
autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut.
Pengobatan dengan gamma globulin intravena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan.
Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan dosis
0,4 g / kgBB /hari selama 5 hari. IVIG mungkin dipertimbangkan pada pasien
dengan masalah akses vena, sepsis, instabilitas kardiovaskuler, ataupun
penderita yang gagal setelah diterapi dengan plasmapheresis. Tidak ada interaksi
dengan obat ini dan sebaiknya tidak diberikan pada kehamilan. Efek samping
IVIG adalah gagal ginjal, infark miokard, muntah dan meningismus. Secara
umum, reaksi negatif terhadap IVIG biasanya ringan dan terjadi pada kurang dari
10% pasien. IVIG meningkatkan viskositas darah, sehingga dapat meningkatkan
risiko kejadian tromboembolik. IVIG dikontraindikasikan untuk pasien dengan
hipersensitivitas terhadap regimen ini, defisiensi IgA, antibody anti IgE/IgG.,
hipertrigliserida, atau hypergammaglobulinemia.
7.3. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah 6 merkaptopurin (6-MP),
azathioprine, cyclophosphamide. Efek samping dari obat-obat ini adalah
alopecia, muntah, mual, dan sakit kepala.
7.4. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid
tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB. Dilaporkan 3 dari 5
penderita memberi respon dengan methyl prednisolone sodium succinate
intravenous dan diulang tiap 6 jam diikuti pemberian prednisone oral 30 mg
setiap 6 jam setelah 48 jam pengobatan intravenous. Efek samping dari obat-
obatan ini adalah alopecia, muantah, mual dan sakit kepala. Dalam kombinasi
dengan IVIG, metilprednisolon intravena (500 mg per hari selama 5 hari,
diberikan dalam waktu 48 jam dari dosis pertama IVIG) dapat mempercepat
pemulihan tapi tidak secara signifikan mempengaruhi hasil pengobatan. Terapi
18
kortikosteroid merupakan alternatif untuk PE yang tidak menggunakan transfusi
darah sebagai pengganti cairan, sehingga mengurangi risiko infeksi atau reaksi
alergi.
VI. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau
cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi,
trombosis vena dalam, paralisis permanen pada bagian tubuh tertentu, dan
kontraktur pada sendi
VII. PROGNOSIS
Prognosis dari SGB masih bervariasi, namun terdapat beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi prognosi penyakit tersebut. Pada usia
lanjut umumnya menunjukkan prognosis yang lebih buruk. Tingkat
keparahan SGB ditentukan dalam tahap awal perjalanan penyakit.9
Pasien dengan GBS 95% dapat bertahan hidup dengan 75 % diantaranya
sembuh total. Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti dropfoot dan postural
tremor masih mungkin terjadi pada sebagian pasien. GBS juga dapat
menyebabkan kematian, pada 5 % pasien, yang disebabkan oleh gagal napas dan
aritmia.
Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama
kali timbul. Dari 3 % pasien dengan GBS dapat mengalami relaps yang lebih
ringan beberapa tahun setelah onset pertama.
BAB III
19
KESIMPULAN
Sindrom Guillain-Barré, ditandai oleh kelemahan motorik yang progresif
dan areflexia. Penyakit ini berhubungan dengan saraf sensorik, otonom, dan
kelainan batang otak yang bersifat umum. Gejala-gejala biasanya mirip seperti
penyakit yang disebabkan karena virus.
Tingkat kematian keseluruhan adalah 5 sampai 10%. Kematian biasanya
disebabkan oleh kegagalan pada jantung atau kegagalan yang berhubungan
dengan pernapasan, apalagi jika disertai dengan dysautonomia.
Sindrom Guillain-Barré merupakan penyakit autoimun, bisa juga
disebabkan oleh virus, bakteri dan faktor-faktor lain. Lumbal pungsi, studi
Elektrodiagnostik, MRI dan pemeriksaan mikroskopik merupakan pemeriksaan
pendukung pada diagnosis ini.
Penatalaksanaan bisa diberikan IVIG atau plasmapharesis. Tujuan
pemberian farmakoterapi dipakai untuk mengurangi morbiditas dan mencegah
komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA
20
1. Hadinoto, S, 1996, Sindroma Guillain Barre, dalam : Simposium Gangguan
Gerak, hal 173-179, Badan Penerbit FK UNDIP, Semarang.
2. Harsono, 1996, Sindroma Guillain Barre, dalam : Neurologi Klinis, edisi I :
hal 307-310, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
3. Mardjono M, 1989, Patofisiologi Susunan Neuromuskular, dalam :
Neurologi Klinis Dasar, edisi V : hal 41-43, PT Dian Rakyat, Jakarta.
4. Pieter A van Doorn, Liselotte Ruts, Bart C Jacobs Clinical features,
pathogenesis, and treatment of Guillain-Barré syndrome. Lancet
Neurol 2008; 7: 939–50. Department of Neurology, Gravendijkwal 230,
3015CE Rotterdam, Netherlands.
5. Sidharta, P, 1992, Lesu-Letih-Lemah, dalam : Neurologi Klinis dalam
praktek Umum : ha; 160-162, PT Dian Rakyat, Jakarta.
6. Ted M. Burns, M.D.1 Guillain-Barre´ Syndrome. Semin Neurol 2008
April;28(2):152-167. by Thieme Medical Publishers, Inc., 333 Seventh
Avenue, New York, NY 10001, USA.
7. Victor Maurice, Ropper Allan H. Adams and Victor’s Principles of
neurology. 7th edition. USA: the McGraw-Hill Companies; 2001. p.1380-
87.
8. Japardi. I, 2005. Guillain Barre Syndrome. Fakultas Kedokteran. Bagian
Ilmu Bedah. Universitas Sumatera Utara
9. Van Koningsveld R, Schmitz PI, Ang CW, et al. Infections and course of
disease in mild forms of Guillain-Barre
syndrome. Neurology2002; 58: 610–14.
10. Lehmann HC, Hartung HP, Hetzel GR, Stuve O, Kieseier BC. Plasma
exchange in neuroimmunological disorders: part 2. Treatment of
neuromuscular disorders. Arch Neurol 2006;63:1066–1071
21