makalah gbs

58
MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III “ASKEP GANGGUAN SISTEM IMUNOLOGI I ASUHAN KEPERAWATAN GUILLAIN BARRE SYNDROME (GBS)Disusun Untuk Memenuhi Tugas Keperawatan Medikal Bedah II. Disusun Oleh : Kelompok 17 Deshy Lia S. (09060035) PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN

Upload: zhezhe

Post on 02-Aug-2015

1.530 views

Category:

Documents


20 download

TRANSCRIPT

Page 1: MAKALAH gbs

MAKALAH

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III

“ASKEP GANGGUAN SISTEM IMUNOLOGI I

ASUHAN KEPERAWATAN GUILLAIN BARRE SYNDROME (GBS)”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Keperawatan Medikal Bedah II.

Disusun Oleh :

Kelompok 17

Deshy Lia S. (09060035)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2012

Page 2: MAKALAH gbs

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam,atas rahmat dan hidayah-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini penulis buat dengan tujuan

memenuhi tugas Keperawatan Medikal Bedah III.

Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada :

1.Team dosen mata kuliah KMB selaku dosen pembimbing mata kuliah.

2.Teman – teman dan berbagai pihak yang telah membantu terselasaikannya makalah ini.

Penulis berharap agar setelah membaca makalah ini , para pembaca dapat memahami dan

mendapatkan pengetahuan yang lebih baik, sehingga dapat di aplikasikan untuk

mengembangkan kompetensi dalam bidang keperawatan. Penulis juga menyadari sepenuhnya

bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan, untuk itu penulis membuka diri

menerima berbagai saran dan kritik demi perbaikan di masa mendatang.

Page 3: MAKALAH gbs

DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Masalah

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Guillain Barre Syndrome

2.2 Etiologi Guillain Barre Syndrome 

2.3 Patofisiologi Guillain Barre Syndrome

2.4 Tanda dan Gejala Guillain Barre Syndrome

2.5 Diagnosa Banding Guillain Barre Syndrome

2.6 Pemeriksaan penunjang Guillain Barre Syndrome

2.7 Komplikasi Guillain Barre Syndrome

2.8 Penatalaksanaan Guillain Barre Syndrome

2.9 Pencegahan Guillain Barre Syndrome

2.10 Asuhan Keperawatan Guillain Barre Syndrome 

Page 4: MAKALAH gbs

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Guillain Barre syndrome (GBS) adalah penyakit neurologi yang sangat jarang,

kejadiannya bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama

periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan rata-

rata insidensi 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun

dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun.

Insidensi sindroma Guillain-Barre Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3

bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari

pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam,

5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia

mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan

bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun)

dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di

Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-

rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian

musim hujan dan kemarau.

Penyakit ini sering menyebabkan kelumpuhan yang cukup sering dijumpai pada

usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderita dan keluarganya karena

terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian,

meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik. GBS biasanya mempunyai

prognosa yang baik yaitu sekitar 80% tetapi sekitar 15 % nya mempunyai gejala sisa/

defisit neurologis.

Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic

polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious

Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre

Strohl Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa itu Guillain Barre Syndrome?

1.2.2 Bagaimana etiologi Guillain Barre Syndrome?

Page 5: MAKALAH gbs

1.2.3 Seperti apa patofisiologi Guillain Barre Syndrome?

1.2.4 Bagaimana Tanda dan Gejala Guillain Barre Syndrome?

1.2.5 Apa saja diagnosa banding Guillain Barre Syndrome?

1.2.6 Apa saja pemeriksaan penunjang Guillain Barre Syndrome?

1.2.7 Apa saja komplikasi Guillain Barre Syndrome?

1.2.8 Bagaimana penatalaksanaan Guillain Barre Syndrome?

1.2.9 Bagaimana pencegahan Guillain Barre Syndrome?

1.2.10 Bagaimana Asuhan Keperawatan Guillain Barre Syndrome?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Agar pembaca dapat memahami lebih jauh tentang penyakit Guillain Barre

Syndrome.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Untuk mengetahui pengertian Guillain Barre Syndrome.

1.3.2.2 Untuk mengetahui etiologi Guillain Barre Syndrome.

1.3.2.3 Untuk mengetahui patofisiologi Guillain Barre Syndrome.

1.3.2.4 Untuk mengetahui Tanda dan Gejala Guillain Barre Syndrome.

1.3.2.5 Untuk mengetahui diagnosa banding Guillain Barre Syndrome.

1.3.2.6 Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang Guillain Barre Syndrome.

1.3.2.7 Untuk mengetahui komplikasi Guillain Barre Syndrome.

1.3.2.8 Untuk mengetahui penatalaksanaan Guillain Barre Syndrome.

1.3.2.9 Untuk mengetahui pencegahan Guillain Barre Syndrome.

1.3.2.10 Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Guillain Barre Syndrome.

1.4 Manfaat

Tulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi baik bagi tenaga

kesehatan ataupun masyarakat umum mengenai Guillain Barre Syndrome.

BAB II

Page 6: MAKALAH gbs

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Guillain Barre Syndrome.

Guillan Bare Syndrome adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan

akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut

Bosch, GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid

yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya

adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.

Terdapat enam subtipe sindroma Guillain-Barre, yaitu:

1. Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), yang merupakan jenis GBS

yang paling banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan GBS.

Disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang membrane sel Schwann.

2. Sindroma Miller Fisher (MFS), merupakan varian GBS yang jarang terjadi

dan bermanifestasi sebagai paralisis desendens, berlawanan dengan jenis

GBS yang biasa terjadi. Umumnya mengenai otot-otot okuler pertama kali

dan terdapat trias gejala, yakni oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia.

Terdapat antibodi Anti-GQ1b dalam 90% kasus.

3. Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik Cina;

menyerang nodus motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko.

Hal ini disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang aksoplasma saraf

perifer. Penyakit ini musiman dan penyembuhan dapat berlangsung dengan

cepat. Didapati antibodi Anti-GD1a, sementara antibodi Anti-GD3 lebih

sering ditemukan pada AMAN.

4. Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN), mirip dengan AMAN, juga

menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang saraf sensorik

dengan kerusakan akson yang berat. Penyembuhan lambat dan sering tidak

sempurna.

5. Neuropati panautonomik akut, merupakan varian GBS yang paling jarang;

dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan

kardiovaskular dan disritmia.

6.  Ensefalitis batang otak Bickerstaff’s (BBE), ditandai oleh onset akut

oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperefleksia atau refleks

Page 7: MAKALAH gbs

Babinski (menurut Bickerstaff, 1957; Al-Din et al.,1982). Perjalanan penyakit

dapat monofasik ataupun diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas dan ireguler

terutama pada batang otak, seperti pons, midbrain, dan medulla. Meskipun

gejalanya berat, namun prognosis BBE cukup baik.

2.2 Etiologi Guillain Barre Syndrome.

Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti

penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/ penyakit yang

mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:

1. Infeksi : Misal radang tenggorokan atau radang lainnya.

2. Iinfeksi Virus : Misal Measles, Mumps, Rubela, Influenza A,

Influenza B, Varicella zoster, Infections mono nucleosis (vaccinia, variola,

hepatitis inf, coxakie)

3. Infeksi Lain : Mycoplasma Pneumonia, Salmonella Thyposa,

Brucellosis, Campylobacter Jejuni pada enteritis .

4. Vaksinasi : Rabies, Swine flu

5. Pembedahan

6. Penyakit sistematik:

a) Keganasan ; Hodgkin’s Disease, Carcinoma,Lymphoma.

b) Systemic lupus erythematosus

c) Tiroiditis

d) Penyakit Addison

7. Kehamilan terutama pada trimester ketiga atau dalam masa nifas.

GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi

kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1

sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan

atas atau infeksi gastrointestinal. Dimana faktor penyebab diatas disebutkan bahwa

infeksi usus dengan Campylobacter Jejuni biasanya memberikan gejala kelumpuhan

yang lebih berat. Hal ini dikarenakan struktur biokimia dinding bakteri ini mempunyai

persamaan dengan struktur biokimia myelin pada radik, sehingga antibody yang

terbentuk terhadap kuman ini bisa juga menyerang myelin.

Page 8: MAKALAH gbs

Pada dasarnya guillain barre adalah “Self Limited” atau bisa timbuh dengan

sendirinya. Namun sebelum mencapai kesembuhan bisa terjadi kelumpuhan yang

meluas sehingga pada keadaan ini penderita memerlukan respirator untuk alat bantu

nafasnya.

Telah diketahui bahwa infeksi Salmonela Thyposa juga dapat menyebabkan

GBS. Kemungkinan timbulnya sindrom Guillain-Barre pada demam tifoid perlu lebih

diketahui dan disadari, khususnya di Indonesia di mana demam tifoid masih

merupakan penyakit menular yang besar.

Tabel 1: Jenis - jenis infeksi yang sering menjadi penyebab GBS

2.3 Patofisiologi Guillain Barre Syndrome.

Page 9: MAKALAH gbs

Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang

mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui

dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi

pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi.

Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan

jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:

1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell

mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.

2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi

3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran

pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf

tepi.

Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas

seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang

paling sering adalah infeksi virus.

a. Teori-teori Imun.

Faktor humoral (antibodi terhadap gangliosid) - respon seluler (aktivasi

makrofag). Berbagai laporan melaporkan adanya antibodi terhadap glikolipid,

termasuk GM1, GQ1b, berbagai gangliosid lain, seluruh komponen membran

akson Histologi saraf tepi menunjukkan infiltrasi monosit perivaskuler

endoneurial dan demielinasi multifocal. Saraf-saraf tepi dapat terkena dari radiks

sampai akhiran saraf distal (poliradikuloneuropati) .

Gullain Barre Syndrome diduga juga disebabkan oleh kelainan system imun

lewat mekanisme limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody

mediated demyelinisation. Masih diduga, mekanismenya adalah limfosit yang

berubah responya terhadap antigen.Limfosit yang berubah responnya menarik

makrofag ke saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin diserang sehingga

selubung myelin terlepas dan menyebabkan system penghantaran implus

terganggu. Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka

semua saraf perifer dan myelin saraf perifer, maka semua saraf dan cabangnya

merupakan target potensial, dan biasannya terjadi difus. Kelemahan atau

hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi atau karena axor telah

Page 10: MAKALAH gbs

mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi biasannya

dimulai beberapa minggu setyelah proses keradangan terjadi. GBS menyebabkan

inflamasi dan destruksi dari myelin dan menyerang beberapa saraf. Oleh karena

itu GBS disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy

(AIDP).

Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini

belum diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh

penyakit autoimun.

b. Peran Imunitas Seluler.

Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting

disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang

(bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan

kedalam jaringan limfoid dan peredaran.

Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus

dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah

menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan

imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen

presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada

limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi

marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa

TNF. Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh

aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk

mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan

mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping

menghasilkan TNF dan komplemen.

Sumber lain mengatakan ,infeksi baik yang disebabkan oleh bakteri

maupun virus, dan antigen lain memasuki sel Schwann dari saraf dan kemudian

mereplikasi diri. Antigen tersebut mengaktivasi sel limfosit T. Sel limfosit T ini

mengaktivasi proses pematangan limfosit B dan memproduksi autoantibodi

spesifik. Ada beberapa teori mengenai pembentukan autoantibodi , yang pertama

adalah virus dan bakteri mengubah susunan sel sel saraf sehingga sistem imun

tubuh mengenalinya sebagai benda asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa

Page 11: MAKALAH gbs

infeksi tersebut menyebabkan kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya

sendiri berkurang. Autoantibodi ini yang kemudian menyebabkan destruksi

myelin bahkan kadang kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon.

Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang myelin

disebabkan oleh karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan

myelin. Hal ini menyebabkan terjadinya respon imun terhadap myelin yang di

invasi oleh antigen tersebut.

Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat

mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya

untuk merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih sedikit impuls

sensoris dari seluruh bagian tubuh.

c. Patologi

Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran

pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf

tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke

empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada

hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada

hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada

myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari

ke enam puluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur.

Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah

infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan

epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila

peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan

myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan

selubung myelin dari sel schwan dan akson.

Pemeriksaan secara patologis pada saraf penderita penyakit Guillain-Barre

Syndrome menunjukkan kalau terjadi proses penghancuran selaput myelin pada

saraf tepi. Baik pada pangkalnya (akar saraf) ataupun pada bagian yang lebih

ujung (distal). Pada umumnya yang terserang akar saraf tulang belakang bagian

depan (anterior root nerves of spinal cord), tetapi tidak menutup kemungkinan

akar saraf bagian belakang (posterior root nerves of spinal cord). Uniknya selaput

Page 12: MAKALAH gbs

myelin yang terserang dimulai dari saraf tepi paling bawah, terus naik ke saraf

tepi yang lebih tinggi (Fredericks et all 1996, dan Nolte 1999).

Fungsi selaput myelin adalah mempercepat konduksi saraf. Oleh karenanya

hancurnya selaput ini mengakibatkan keterlambatan konduksi saraf, bahkan

mungkin terhenti sama sekali (Nolte 1999). Sehingga penderita GBS mengalami

gangguan motor dan sensorik. Kelambatan kecepatan konduksi otot bisa dilihat

dari hasil pemeriksaan EMG. Disamping itu, hancurnya selaput myelin mungkin

juga menyerang cranial nerves (Pryor & Webber 1998) termasuk diantaranya

nervus vagus, yang merupakan bagian dari sistem saraf otonomik. Oleh karena

itu, bila saraf yang terserang cukup tinggi tingkatnya, sistem saraf otonomik

mungkin saja terganggu. Selain nervus vagus, cranial nerves yang lain mungkin

saja terserang, misalnnya saraf ke-XI.

Gangguan motorik yang pada GBS diawali dengan kelemahan otot bagian

bawah. Mula-mula yang dirasakan kelemahan (parese), bila berlanjut menjadi

lumpuh (plegia). Diawali dari gangguan berjalan, seperti misalnya kaki 'terseret',

hingga tidak bisa berdiri. Perlahan-lahan kelemahan 'naik' otot lebih tinggi,

seperti lutut dan paha, sehingga penderita tidak bisa berdiri. Bila yang berlanjut

kelemahan otot bisa terjadi pada otot di sepajang tulang punggung, punggung dan

dada. Terus hingga ke tangan dan lengan. Bila otot-otot pernafasan terganggu,

akan terjadi kelemahan dalam bernafas. Penderita merasa nafasnya berat.

Kadang-kadang gejala GBS juga disertai gangguan saraf otonomik,

sehingga akan terjadi gangguan saraf simpatik dan para simpatik. Yang tampak

adalah gejala naik-turunnya tekanan darah secara tiba-tiba, atau pasien

berkeringat di tempat yang dingin (Pryor & Webber 1998). Bila terjadi gangguan

cranial nerves akibatnya adalah tidak bisa menelan, berbicara atau bernafas, atau

kelemahan otot-otot muka. Uniknya kelemahan otot biasanya simetris, artinya

anggota badan yang kiri mengalami kelemahan yang sama dengan anggota badan

kanan.

Selain gangguan motorik, biasanya juga disertai gangguan sensorik.

Gangguannya bisa berupa rasa kesemutan, 'terbakar', tebal, atau nyeri. Pola

penyebaran gangguan sensorik biasanya tidak sama dengan gangguan motorik.

Gangguan sensorik bisa berpindah dari waktu ke waktu (Fredericks et all 1996).

Sebagai akibat dari gangguan motorik dan sistem saraf otonomik, terjadi

gangguan kardiopulmonari. Berawal dari nafas berat, oleh karena kelemahan otot

Page 13: MAKALAH gbs

pernafasan (baik otot intercostal maupun diafragma), hingga gangguan ritmik

oleh karena gangguan saraf otonomik. Akibatnya fungsi paru menjadi terganggu.

Paru tidak bisa mengembang secara maksimal akibatnya kapasitas vital menurun,

dan bisa menimbulkan atelektasis. Bila kondisi ini berlanjut, bisa terjadi infeksi

paru, pneumonia, yang akan memperburuk kondisi. Ditambah kenyataannya

pasien dalam kondisi seperti di atas biasanya hanya terbaring, posisi yang hanya

akan menurunkan fungsi paru (Pryor & Webber 1998). Bila fungsi glotis

terganggu, akibat terganggunya sistem otonomik, penderita mungkin akan

tersedak. Sehingga makanan masuk ke saluran pernafasan, dan akan menambah

infeksi paru.

Akibat terganggunya saraf otonomik, irama jantung juga terganggu.

Sehingga tekanan darah bisa naik-turun secara mendadak, atau 'flushing', yaitu

muka memerah secara mendadak. Gejala-gejala tersebut akan terus muncul dalam

waktu maksimal 2 minggu. Sesudah itu akan berhenti, hingga proses

penyembuhan terjadi sekitar 2 sampai 4 minggu sesudah kelemahan berhenti.

Page 14: MAKALAH gbs

Gambar 1: Sistem imunopathologi saraf pada SGB 4

Kasifikasi

Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:

1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)

2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy

3. Acute motor axonal neuropathy (AMAN)

4. Acute motor sensory axonal neuropathy

5. Fisher’s syndrome

6. Acute pandysautonomia.

Page 15: MAKALAH gbs

Gambar 2: Skema klasifikasi SGB

2.4 Tanda dan Gejala Guillain Barre Syndrome

Pasien dengan GBS umumnya hanya akan mengalami satu kali serangan yang

berlangsung selama beberapa minggu, kemudian berhenti spontan untuk kemudian

pulih kembali.Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:

1. Fase progresif.

Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala

menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan

progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung

seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir

klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan

mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko

kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta

gejala.

2. Fase plateau.

Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik

perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat

kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama

dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih

Page 16: MAKALAH gbs

ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,

keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini.

Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus,

serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang

meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses

penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien

langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain

mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase

penyembuhan.

3. Fase penyembuhan .

Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan

penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang

menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan

saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk

membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang

normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara

optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang

beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan

penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap

menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat

penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase

infeksi.

Gangguan autonom terlihat pada lebih dari 50%, gangguan otonomik biasanya

bermanifestasi sebagai takikardia tetapi bisa menjadi gangguan yang lebih serius

yaitu disfungsi saraf otonom.termasuk aritmia, hipotensi, hipertensi, dan

dismotilitas Gastrointestinal.

Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of

Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:

I. Gejala Utama:

- Terjadinya kelemahan yang progresif.

- Hiporefleksi

II. Gejala Tambahan:

Page 17: MAKALAH gbs

a. Ciri-ciri klinis:

- Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal

dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3

minggu, dan 90% dalam 4 minggu.

- Relatif simetris

- Gejala gangguan sensibilitas ringan

- Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral.

Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan

otot-otot menelan, kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari otot

ekstraokuler atau saraf otak lain

- Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat

memanjang sampai beberapa bulan.

- Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi

dan gejala vasomotor.

- Tidak ada demam saat onset gejala neurologis

b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:

- Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi

peningkatan pada LP serial.

- Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3

- Varian:

a. Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala.

b. Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3

c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:

- Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya

kecepatan hantar kurang 60% dari normal.

d. Gejala yang menyingkirkan diagnosis.

- Kelemahan yang sifatnya asimetri

- Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten

- Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul

- Gejala sensoris yang nyata

Page 18: MAKALAH gbs

Kelemahan ascenden dan simetris. Anggota gerak bawah terjadi lebih dulu dari

anggota gerak atas. Kelemahan otot proksimal lebih dulu terjadi dari otot distal,

kelemahan otot trunkal ,bulbar dan otot pernafasan juga terjadi.Kelemahan terjadi

akut dan progresif bisa ringan sampai tetraplegi dan gangguan nafas. Penyebaran

hiporefleksia menjadi gambaran utama, pasien GBS biasanya berkembang dari

kelemahan nervus cranial, seringkali kelemahan nervus fasial atau faringeal.

Kelemahan diaframa sampai nervus phrenicus sudah biasa. Sepertiga pasien GBS inap

membutuhkan ventilator mekanik karena kelemahan otot respirasi atau orofaringeal.

1. Puncak defisit dicapai 4 minggu

2. Recovery biasanya dimulai 2-4minggu

3. Gangguan sensorik biasanya ringan bisa parasthesi, baal atau sensasi sejenis

4. Gangguan Nn cranialis: facial drop, diplopia disartria, disfagia (N. VII, VI, III, V,

IX, dan X)

5. Banyak pasien mengeluh nyeri punggung dan tungkai

Menurut Maria Belladonna terdapat beberapa tanda abnormalitas

a. Abnormalitas motorik (kelemahan)

Mengikuti gejala sensorik, khas: mulai dari tungkai, ascenden ke lengan -

10% dimulai dengan kelemahan lengan - Walaupun jarang, kelemahan bisa

dimulai dari wajah (cervical-pharyngeal-brachial) Kelemahan wajah terjadi pada

setidaknya 50% pasien dan biasanya bilateral - Refleks: hilang / pada sebagian

besar kasus

b. Abnormalitas sensorik

Klasik : parestesi terjadi 1-2 hari sebelum kelemahan, glove & stocking

sensation, simetris, tak jelas batasnya - Nyeri bisa berupa mialgia otot panggul,

nyeri radikuler, manifes sebagai sensasi terbakar, kesemutan, tersetrum - Ataksia

sensorik krn proprioseptif terganggu - Variasi : parestesi wajah & trunkus.

c. Disfungsi Otonom

1) Hipertensi - Hipotensi - Sinus takikardi / bradikardi

2) Aritmia jantung - Ileus - Refleks vagal

Page 19: MAKALAH gbs

3) Retensi urine

Gambar 2: fase perjalan klinis.

Fase-fase serangan GBS Maria Belladonna

a. Fase Prodromal

Fase sebelum gejala klinis muncul.

b. Fase Laten

a. Waktu antara timbul infeksi/ prodromal yang

b. Mendahuluinya sampai timbulnya gejala klinis.

c. Lama : 1 – 28 hari, rata-rata 9 hari

c. Fase Progresif

a. Fase defisit neurologis (+)

b. Beberapa hari - 4 mgg, jarang > 8 mgg.

c. Dimulai dari onset (mulai tjd kelumpuhan yg

d. Bertambah berat sampai maksimal

e. Perburukan > 8 minggu disebut› chronic inflammatory-demyelinating

polyradiculoneuropathy (CIDP)

d. Fase Plateau

a. Kelumpuhan telah maksimal dan menetap.

b. Fase pendek :2 hr, >> 3 mg, jrg > 7 mg

e. Fase Penyembuhan

Page 20: MAKALAH gbs

a. Fase perbaikan kelumpuhan motorik

b. beberapa bulan

Diagnosa GBS terutama ditegakkan secara klinis. GBS ditandai dengan

timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan

didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi

sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer.

Tabel 2: Gejala klinis GBS

GBS merupakan penyebab paralisa akut yang dimulai dengan rasa baal,

parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisa ke empat

ekstremitas yang bersifat asendens. Parestesia ini biasanya bersifat bilateral. Refelks

fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang sama sekali. Kerusakan saraf

motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar secara progresif ,

dalam hitungan jam, hari maupun minggu,ke ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat.

Kerusakan saraf motoris ini bervariasi mulai dari kelemahan sampai pada yang

Page 21: MAKALAH gbs

menimbulkan quadriplegia flacid. Keterlibatan saraf pusat , muncul pada 50 % kasus,

biasanya berupa facial diplegia. Kelemahan otot pernapasan dapat timbul secara

signifikan dan bahkan 20 % pasien memerlukan bantuan ventilator dalam bernafas.

Anak anak biasanya menjadi mudah terangsang dan progersivitas kelemahan dimulai

dari menolak untuk berjalan, tidak mampu untuk berjalan, dan akhirnya menjadi

tetraplegia .

Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan dengan

kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya proprioseptif dan sensasi getar.

Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa parestesia dan disestesia pada

extremitas distal. Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai kelemahan otot yang

terjadi. Terutama pada anak anak. Rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi awal

pada lebih dari 50% anak anak yang dapat menyebabkan kesalahan dalam

mendiagnosis. Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat

menimbulkan kematian. Kelainan ini dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau

hipertensi, aritmia bahkan cardiac arrest , facial flushing, sfincter yang tidak

terkontrol, dan kelainan dalam berkeringat.Hipertensi terjadi pada 10 – 30 % pasien

sedangkan aritmia terjadi pada 30 % dari pasien.Kerusakan pada susunan saraf pusat

dapat menimbulkan gejala berupa disfagia, kesulitan dalam berbicara,dan yang paling

sering ( 50% ) adalah bilateral facial palsy.Gejala gejala tambahan yang biasanya

menyertai GBS adalah kesulitan untuk mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi,

konstipasi, kesulitan menelan dan bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas

dalam, dan penglihatan kabur (blurred visions).

2.5 aDiagnosa Banding Guillain Barre Syndrome

a. Kelainan batang otak

- Trombosis arteri basilaris dengan infark batang otak*

- Ensefalomielitis batang otak

b. Kelainan medulla spinalis

- Mielitis transversa.

- Mielopati nekrotik akut.

- Kompresi neoplasma pada medulla spinalis servikal / foramen magnum.

- Mielopati akut lain.

Page 22: MAKALAH gbs

c. Kelainan sel kornu anterior

- Poliomielitis

- Rabies

- Tetanus

d. Poliradikulopati.

- Difteri

- Paralisis Tick

- Logam berat : arsen, timbal, thallium, emas.

- Keracunan organofosfat.

- Heksakarbon (neuropati penghirup lem).

- Perhexiline.

- Obat-obatan : vincristine, disulfiram, nitrofurantoin.

- Critical illness polyneuropathy

e. Kelainan transmisi neuromuskuler

- Myastenia gravis

- Botulismus

- Hipermagnesemi

- Paralisis yang diinduksi antibiotika

- Bisa gigitan ular

f. Miopati

- Polimiositis

- Miopati akut lain, misalnya akibat induksi obat

g. Abnormalitas metabolik

- Hipokalemi

- Hipermagnesemia

- Hipofosfatemia

h. Lain-lai

Page 23: MAKALAH gbs

- Histeri

- Malingering

2.6 Pemeriksaan penunjang Guillain Barre Syndrome

a. LCS

a. Disosiasi sitoalbumin.

Pada fase akut terjadi peningkatan protein LCS > 0,55 g/l, tanpa peningkatan

dari sel < 10 limposit/mm3 - Hitung jenis pada panel metabolik tidak begitu

bernilai 5 Peningkatan titer dari agent seperti CMV, EBV, membantu

menegakkan etiologi.

a. Antibodi glicolipid

b. Antibodi GMI

b. EMG

a. Gambaran poliradikuloneuropati

b. Test Elektrodiagnostik dilakukan untuk mendukung klinis bahwa paralisis

motorik akut disebabkan oleh neuropati perifer.

c. Pada EMG kecepatan hantar saraf melambat dan respon F dan H abnormal.

c. Ro: CT atau MRI

Untuk mengeksklusi diagnosis lain seperti mielopati.

d. Cairan serebrospinal (CSS).

Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya

jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis

(peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total

protein CSS normal; setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan

lebih kanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik

dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset.  Derajat

penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis

umumnya di bawah 10 leukosit mononuclear/mm.

e. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG).

Page 24: MAKALAH gbs

Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi

saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok

konduksi distal) dan prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda

keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar saraf motorik, serta

berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS

kurang dari 60% normal.EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor

unit Dapat pula dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4

minggu setelah onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang

dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan

tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien

GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10%

penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode

penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya

KHS dan denervasi EMG.

f. Pemeriksaan Darah .

Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan

pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase

awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis;

eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah dapat meningkat sedikit atau

normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala.Dapat dijumpai respon

hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan immunoglobulin

IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi saraf pada kultur jaringan.

Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan

adanya hepatitis viral yang akut atau sedang berlangsung; umumnya jarang

karena virus hepatitis itu sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.

g. Elektrokardiografi (EKG)

Menunjukkan adanya perubahan gelombang Tserta sinus

takikardia. Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead lateral.

Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak sering.

h. Tes Fungsi Respirasi (pengukuran kapasitas vital paru) akan menunjukkan

adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending).

Page 25: MAKALAH gbs

i. Pemeriksaan Patologi Anatomi

Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya

infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal.

Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi ini akan muncul

bersama dengan demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam

berbagai derajat Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari

akar hingga ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat

bila terjadi pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf

kranial. Infiltrat sel-sel radang (limfosit dan sel mononuclear lainnya) juga

didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ lainnya.

2.7 Komplikasi Guillain Barre Syndrome

a. Paralisis menetap

b. Gagal nafas

c. Hipotensi

d. Tromboembolisme

e. Pneumonia

f. Aritmia Jantung

g. Ileus

h. Aspirasi

i. Retensi urin

j. Problem psikiatrik

k. Polinneuropatia terutama oleh karena defisiensi atau metabolic.

l. Tetraparese oleh karena penyebab lain.

m. Hipokalemia

n. Miastenia Gravis

o. Adhoc commite of GBS

p. Tick Paralysis

q. Kelumpuhan otot pernafasan.

r. Dekubitus

Page 26: MAKALAH gbs

GBS dapat berdampak pada kinerja dan kehidupan pribadi pasien dalam jangka

waktu yang lama, dapat sampai 3 sampai 6 tahun setelah onset penyakit. Kesembuhan

biasanya berlangsung perlahan dan dapat berlangsung bertahun-tahun. Baik pasien

maupun keluarga pasien harus diberitahu tentang keadaan pasien yang sebenarnya untuk

mencegah ekspektasi yang berlebihan atau pesimistik. Kesembuhan pasien berlangsung

selama tahun – tahun pertama, terutama enam bulan pertama, tetapi pada sebagian besar

pasien dapat sembuh sempurna pada tahun kedua atau setelahnya.

Kecacatan yang permanen terlihat pada 20% - 30% pasien dewasa.tetapi lebih

sedikit pada anak-anak. Disabilitas yang lama pada dewasa lebih umum pada axonal

GBS dan GBS yang berbahaya, misalnya pada pasien dengan ventilator.

Gangguan fungsi otonomik yang serius dan fatal termasuk aritmia dan hipertensi

ekstrim atau hipotensi terjadi kurang lebih 20% dari pasien dengan GBS.gangguan lain

yang signifikan adalah ileus dinamik, hipontremia, dan defisiensi dari fungsi mukosa

bronchial.

2.8 Penatalaksanaan Guillain Barre Syndrome

A. Fisioterapi

Penatalaksanaan fisioterapi pada penderita GBS harus dimulai sejak awal,

yaitu sejak kondisi pasien stabil. Oleh karena perjalananan penyakit GBS yang

unik, ada dua fase yang perlu diperhatikan dalam memberikan fisioterapi. Yang

pertama adalah fase ketika gejala masih terus berlanjut hingga berhenti sebelum

kondisi pasien terlihat membaik. Pada fase tersebut yang diperlukan adalah

mempertahankan kondisi pasien, meskipun kondisi pasien akan terus menurun.

Sedangkan yang kedua adalah pada fase penyembuhan, ketika kondisi pasien

membaik. Pada fase ini pengobatan fisioterapi ditujukan pada penguatan dan

pengoptimalan kondisi pasien. Pada fase pertama penekanan pada semua problem

menjadi sangat penting. Sedangkan pada fase kedua hanya problem

muskuloskeletal dan kardiopulmari yang menjadi penekanan. Secara keseluruhan

penatalaksanaan fisioterapi ditujukan pada pengoptimalan kemampuan

fungsional.

Meskipun ada 4 komponen problem dari sudut fisioterapi, penatalaksanaannya

tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Oleh karenanya sulit memisahkan

satu masalah dengan masalah yang lain. Penulis berusaha memisahkan

penatalaksanaan fisioterapi berdasarkan tiap problem, sesuai dengan penguraian

Page 27: MAKALAH gbs

problem di atas supaya lebih detail. Tetapi pada prakteknya, pemberian fisioterapi

tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain.

a. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Problem Muskuloskeletal

Seperti telah disebutkan di atas, masalah muskuloskeletal adalah penting

baik pada fase pertama maupun kedua oleh karena bukan hanya motorik

adalah masalah utama penderita GBS, tetapi juga skeletal sebagai akibat dari

gangguan motorik. Pada fase pertama yang perlu diberikan adalah

mempertahankan kekuatan otot, panjang otot, luas gerak sendi (LGS), tanpa

melupakan bahwa kondisi pasien masih akan terus memburuk dalam waktu

maksimal 2 minggu.

Bila panjang otot dan LGS terus terjaga pada fase pertama, fisioterapi

pada fase kedua ditekankan peningkatan kekuatan otot, dengan tetap

memperhitungkan jumlah motor unit yang kembali bekerja.

b. Penatalaksanaan pada masalah kekuatan otot

Pada fase pertama, program awal yang bisa diberikan adalah latihan aktif,

bila memungkinkan. Bila penderita tidak mampu menggerakkan sendiri

anggota badannya, sebaiknya bantuan diberikan (=aktif asistif). Bila kemudian

kondisi kelemahan otot sangat menonjol, latihan pasif harus diberikan; artinya

fisioterapis yang menggerakkan angota badan penderita. Oleh karena dalam

fase ini, kondisi penderita akan menurun, maka biasanya bantuan yang

diberikan fisioterapis kepada pasien semakin banyak dari waktu ke waktu.

Sebaiknya seorang fisioterapis mempunyai sistematis dalam

menggerakkan anggota tubuh pasien, sehingga tidak ada bagian yang terlewati.

Selain itu fisioterapis juga akan bisa sekaligus mengamati perkembangan

motorik pasien bila dilakukan secara sistematis. Dianjurkan menggerakkan

anggota tubuh dari bawah, sehingga akan diakhiri dengan bagian tubuh yang

terkuat. Secara psikis hal ini juga akan sangat membantu motivasi pasien.

Selain menggerakkan bagian tubuh secara sistematis, juga sebaiknya arah

gerakan tiap sendi dibuat secara sistematis, sehingga tidak ada gerakan otot

yang tertinggal.

Dalam menggerakkan anggota badan, sebaiknya fisioterapis mengamati

tingkat toleransi pasien terhadap latihan. Jangan sampai pasien dibiarkan

terlalu lelah atau memaksa menggerakkan anggota tubuh, karena akan

merusak motor unit. Berikan kesadaran kepada pasien bahwa pada waktunya

Page 28: MAKALAH gbs

ototnya akan kembali bergerak, asalkan dilakukan gerakan secara rutin. Bagi

pasien GBS, frekuensi latihan seharusnya tidak terlalu tinggi dalam satu sesi,

untuk mencegah kelelahan, mengingat jumlah motor unit yang bekerja hanya

terbatas. Intensitas latihan dalam sehari bisa ditingkatkan dengan melakukan

lebih banyak sesi dalam sehari.

Penatalaksanaan pada fase kedua tidak jauh berbeda dengan fase

sebelumnya. Sasaran utama pada fase ini adalah peningkatan kekuatan otot.

Meskipun demikian latihan yang diberikan masih harus tidak boleh terlalu

berat, karena jumlah motor unit yang aktif terbatas. Program latihan aktif

seharusnya ditingkatkan bila penderita sudah mampu melakukan latihan aktif

dan memenuhi LGS normal tanpa kesulitan. Latihan kemudian meningkat

menjadi aktif resistif, artinya menggunakan beban unntuk meningkatkan

kekuatan otot.

Jenis latihan bisa bervariasi, bisa menggunakan beban manual, artinya

fisioterapis memberikan beban secara manual, hingga latihan dengan alat,

seperti misalnya quadricep bench. Dalam memberikan program latihan,

hendaknya selalu diingat bahwa tujuan akhir program fisioterapi adalah

memaksimalkan kemampuan fungsional. Jadi dalam meningkatkan kekuatan

otot, perlu diingat otot-otot mana saja yang diperlukan dalam beraktivitas, atau

mensiasati bila ada keterbatasan.

Untuk mengukur perubahan kondisi pasien, bisa digunakan pengukuran

kekuatan otot (MMT- manual muscles testing). Tentu saja pada fase pertama

kekuatan pasien tidak akan mengalami kenaikan, sesuai dengan perjalanan

penyakit. Tetapi pengukuran kekuatan terakhir pasien, saat kekuatan biasanya

berhenti sebelum kemudian membaik, bisa dijadikan titik balik pengukuran

pada tahap berikutnya. Sebaiknya pengukuran dilakukan secara berkala,

misalnya tiap minggu, atau tiap 3 hari. Dengan demikian fisioterapis maupun

penderita bisa melihat perkembangan yang terjadi, yang mungkin juga akan

menjadi motivasi keduanya.

c. Penatalaksanaan pada Luas Gerak Sendi (LGS)

Bersamaan dengan digerakkannya otot anggota tubuh penderita, bisa

dikatakan semua sendi sudah digerakkan. Hanya perlu diingat bahwa pada fase

pertama, otot penderita GBS biasanya tidak mampu menggerakkan LGS

secara penuh. Oleh karenanya fisioterapis perlu membantu penderita untuk

Page 29: MAKALAH gbs

menggerakkan sendi sesuai dengan luas gerak sendi yang normal, minimal

yang fungsional.

Sama seperti memberikan latihan untuk otot, menggerakkan sendi

sebaiknya juga dilakukan secara sistematis supaya tidak ada yang tertinggal.

Sesudah gerakan aktif setiap sendi oleh penderita, sebaiknya ditambahkan 2

sampai 3 kali gerakan sendi oleh fisioterapis dalam LGS maksimal untuk

mempertahankan LGS. Berbeda dengan program untuk kekuatan otot, untuk

mempertahankan sendi sama pada fase pertama dan kedua.

Ukuran yang dipergunakan untuk mengukur luas gerak sendi adalah

pengukuran sudut setiap sendi. Alat yang digunakan adalah goniometer.

Pengukurannya dilakukan dengan satuan derajat. Dalam satu institusi biasanya

disepakati sistem apa yang digunakan, posisi penderita dan posisi goniometer

pada setiap sudut pengukuran. Seharusnya tidak akan ada perubahan LGS dari

waktu ke waktu, agar pada akhirnya penderita masih mempunyai kemampuan

fungsional yang maksimal.

d. Penatalaksanaan pada Panjang Otot

Pada saat melakukan latihan untuk mempertahankan LGS, sebagian besar

otot juga terpelihara panjangnya. Kecuali beberapa otot yang panjangnya

melewati dua sendi. Untuk otot-otot tersebut, perlu gerakan khusus untuk

mempertahankan panjangnya. Otot-otot seperti quadricep, iliotibial band,

sartorius adalah contoh otot yang melewati dua sendi. Otot-otot tersebut

penting dalam kegiatan sehari-hari, misalnya duduk, bersila atau bersimpuh.

Sehingga bila panjang ototnya tidak terpelihara, maka akan berpengaruh pada

aktivitas penderita bila sembuh nanti.

Agak sulit membuat pengukuran panjang otot, oleh karena panjang otot

tiap individu akan berbeda tergantung pada aktivitas dan keturunan.

Karenanya untuk mengetahui panjang otot yang normal, secara nalar, berarti

fisioterapis harus tahu penderita sebelum menderita GBS. Kenyataannya hal

itu tidak mungkin terjadi. Sehingga salah satu cara untuk mengetahui panjang

otot adalah menanyakan aktivitas penderita, apakah penderita biasa bersila,

duduk sambil menumpangkan kaki atau bersimpuh.

Dengan demikian bisa diukur apakah panjang otot yang bersangkutan

cukup untuk kembali melakukan kembali aktivitasnya. Cara lain yang bisa

digunakan adalah membandingkan otot sebelah kiri dan kanan, karena

Page 30: MAKALAH gbs

biasanya keduanya mempunyai panjang otot yang sama. Pencatatannya baru

dilakukan bila ada keterbatasan panjang otot.

e. Penatalaksanaan pada Problem Kardiopulmonari

Masalah kardiopulmonari lebih menonjol pada fase pertama. Pada kasus

GBS yang berat, terjadi kelemahan otot-otot intercostal disebabkan karena

berkurangnya jumlah motor unit yang terkonduksi. Akibatnya tidak dapat

melakukan inspirasi secara penuh, sehingga kapasitas vital menjadi berkurang.

Seperti yang telah disebutkan di atas, menurunnya kemampuan batuk, akan

menurunkan kemampuan untuk membersihkan saluran pernafasan. Sehingga

saluran pernafasan semakin menyempit, dan ekspansi paru menjadi berkurang

juga. Sehingga pada akhirnya kembali terjadi penurunan kapasitas vital.

f. Penatalaksanaan pada Kemampuan Ekspansi Dada

Berbeda dengan masalah muskuloskeletal yang lain, latihan pasif tidak

bisa dilakukan dengan mudah. Latihan pasif hanya bisa dilakukan dengan

bantuan ventilator atau manual hyperinflation. Dengan terpenuhinya volume

sesuai dengan kapasitas vital, maka pertukaran gas dalam alveoli menjadi

meningkat dan mampu memenuhi kebutuhan ventilasi. Selain itu juga

memelihara kelenturan jaringan-jaringan lunak disekitarnya, sehingga LGS

persendian disekitar tulang rusuk terpelihara.

Dengan demikian bila kekuatan otot interkostal sudah kembali membaik,

rongga dada sudah siap kembali mengembang.Bila otot intercostal dan

diafragma sudah menigkat, maka latihan penguatan harus segera diberikan.

Oleh karena tekanan positif yang diberikan lewat ventilator dan manual

hyperinflation bisa memberikan efek samping, seperti barotrauma. Maka

latihan aktif harus segera diberikan. Pemberian latihan masih harus

memperhatikan aturan rendah frekuensi dalam satu sesi dan banyak sesi dalam

sehari. Ini berarti harus diberikan kesempatan istirahat cukup bagi penderita

diantara sesi latihan, untuk menghindari kelelahan.

g. Penatalaksaaan pada Pembersihan Saluran Pernafasan

Dalam keadaan normal, setiap hari dihasilkan sekitar 100 ml sekresi

saluran pernafasan dalam sehari. Pembersihan dilakukan sebagai bagian dari

sistem pertahanan, yakni didorong oleh cilia yang kemudian tertelan. Bila

sekresi yang dihasilkan lebih dari normal, atau ada kegagalan kerja cilia, maka

diperlukan mekanisme batuk untuk mengeluarkannya dari saluran pernfasan.

Page 31: MAKALAH gbs

Agar bisa meletupkan batuk yang kuat, seseorang harus bisa menghirup cukup

volume udara.

Sehingga seorang penderita GBS dengan kelemahan otot pernafasan yang

menonjol tidak mampu melakukan batuk yang kuat untuk mengeluarkan

sekresi. Bila sekresi dibiarkan menumpuk, maka diameter saluran pernafasan

akan menyempit. Ini berarti volume udara yang bisa masuk ke paru berkurang,

sehingga kemampuan ventilasi menjadi berkurang.

Pada fase awal, pada penderita GBS dengan kelemahan otot pernafasan

yang menonjol, pembersihan saluran pernafasan bisa dilakukan dengan

bantuan ventilator atau manual hyperinflation. Dengan teknik tertentu, maka

panjang ekspirasi bisa diperpendek, sehingga kecepatan udara yang keluar

pada waktu ekspirasi bisa meningkat. Dengan demikian sekresi saluran

pernafasan bisa dikeluarkan. Selain menggunakan bantuan ventilator dan

manual hyperinflation, bisa dilakukan postural drainage untuk membantu

memindahkan sekresi dari saluran pernafasan yang distal ke yang lebih

proksimal. Untuk membersihkan sekresi dari saluran pernafasan, penderita

harus mampu batuk, atau bila tidak harus dilakukan suction.

Selama melakukan postural drainage, haruslah diwaspadai tanda-tanda

gangguan otonomik, seperti kecepatan nafas permenit, nadi permenit, atau

saturasi penderita agar selalu dalam batas normal. Jelaslah bahwa melatih

batuk sejak dini sangatlah diperlukan untuk meningkatkan kemampuan

pembersihan saluran pernafasan. Hal ini biasanya bisa terlaksana pada fase ke-

dua, ketika otot-otot pernafasan mulai menguat. Atau pada fase pertama bila

kelemahan otot-otot pernafasan masih mampu menghasilkan batuk, sehingga

latihan batuk berguna untuk mempertahankan kekuatan otot.

h. Penatalaksanaan pada Gangguan Menelan

Jika terjadi juga gangguan menelan, maka resiko infeksi dada semakin

tinggi. Oleh karena kemungkinan masuknya benda asing ke saluran pernafasan

menjadi lebih besar. Benda tersebut kemudian akan menjadi sumber infeksi

dada. Dalam hal ini ada dua masalah dalam sistem respiratori, yakni benda itu

sediri, dan sekresi yang berlebihan akibat adanya benda asing yang masuk ke

saluran pernafasan. Bila kemampuan pasien untuk batuk kuat, maka pasien

mampu mengeluarkan benda asing dari saluran pernafasan dan membersihkan

Page 32: MAKALAH gbs

sekresi. Sayangnya, biasanya gangguan menelan disertai kelemahan otot

pernafasan, sehingga penderita tidak mampu batuk.

Namun penderita dengan gangguan menelan biasanya menerima makanan

melalui slang yang langsung masuk ke lambung, sehingga tidak perlu

dikawatirkan akan masuk ke saluran pernafasan. Pada fase pertama tidak

banyak fisioterapi yang bisa dilakukan. Tetapi pada fase ke dua program

fisioterapi yang bisa diberikan adalah segera memberikan latihan batuk, bila

otot-otot pernafasan sudah bertambah kuat. Sehingga pada saatnya penderita

belajar menelan, resiko masuknya benda asing ke saluran pernafasan sudah

teratasi.

i. Penatalaksanaan pada Problem Saraf Otonomik

Seperti disebutkan diatas, gangguan saraf otonomik akan timbul, bila

kehancuran selaput myelin mencapai tingkat thoracal atau lebih tinggi, yakni

cranial nerves. Pada umumnya gangguann saraf otonnomik tersebut adalah hal

yang perlu dicermati dalam melakukan tindakann fisioterapi. Gangguan-

gangguan tersebut antara lain labilnya tekanan darah, keluarnya keringat tidak

sesuai keadaan, atau postural hipotensi. Gangguan-gangguan tersebut akan

mejadi masalah, biasanya pada waktu mobilisasi. Pada waktu mobilisasi,

misalnya dari berbaring ke duduk, tubuh memerlukan berbagai adaptasi, oleh

karena terjadi perbedaan pengaruh terhadap tubuh.

Tanpa gangguan saraf otonomik pun, seseorang yanng berbaring lama

memerlukan waktu untuk beradaptasi terhadap tekanan darah. Adaptasi

tersebut teratasi oleh karena pusat pengaturan tekanan darah mendapatkan

input, kemudian tekanann darah meningkat atas pengaruh saraf otonnom. Bila

terjadi gangguan saraf otonnomik, maka adaptasi tersebut akan terganggu.

Maka, dalam memberikan tindakan fisioterapi harus selalu dicermati

tekanan darah dari waktu ke waktu. Oleh karena yang diukur adalah tekanan

darah, maka yang dijadikan aturan adalah tekanan darah. Bila memungkinkan

digunakan spirometer elektronik yang terus bisa dimonitor setiap saat.

Disamping tekanan darah, bisa dicermati kemampuan komunikasi penderita,

atau warna muka sebagai indikator tekanan darah.

j. Penatalaksanaan pada Problem Sensasi

Problem sensasi pada penderita GBS yang muncul adalah rasa terbakar,

kesemutan, rasa tebal atau nyeri. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk

Page 33: MAKALAH gbs

mengurangi ketidaknyamanan akibat rasa tebal, rasa terbakar, atau kesemuta.

Secara teori rasa nyeri bisa dikurangi dengan pemberian TNS. Rasa nyeri bisa

disebabkan murni oleh karena gangguan sensasi.

Tetapi nyeri pada punggung mungkin juga disebabkan oleh kurangnya

gerakan pada sendi-sendi tulang belakang. Bila sesudah peregangan sendi-

sendi tulang belakang beserta otot-otot disekitarnya, rasa nyeri berkurang,

maka rasa nyeri tersebut disebabkan oleh kurangnya gerakan. Tetapi bila rasa

nyeri tersebut tidak hilang, maka gangguan tersebut disebabkan oleh gangguan

sensasi. Seringkali rasa nyeri yang timbul karena kombinasi keduanya.

Jadi bila sesudah peregangan rasa nyeri berkurang, tetapi tidak hilang

sama sekali. Bila rasa nyeri disebabkan oleh kuranngnya gerakan sendi,

tindakan yang bisa dilakukan adalah peregangan lebih lanjut, atau lebih

spesifik bisa dilakukan manipulasi atau mobilisasi pada tulang belakang

tertentu. Selain ketidaknyamanan, rasa tebal juga bisa menimbulkan

komplikasi, yaitu dekubitus.

Rasa tebal menyebabkan penderita tidak dapat merasakan tekanan kasur

pada penonjolan-penonjolan tulang, sehingga memungkinkan terjadi lecet dan

akhirnya dekubitus. Oleh karenanya perubahan posisi harus selalu dilakukan

sebagai usaha pencegahan. Idealnya perubahan posisi dilakukan setiap 2 jam,

dan setiap penonjolan tulang harus selalu mendapat perhatian.

B. Medikamentosa

Pasien pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan

observasi tanda tanda vital.Ventilator harus disiapkan disamping pasien sebab

paralisa yang terjadi dapat mengenai otot otot pernapasan dalam waktu 24 jam.

Ketidakstabilan tekanan darah juga mungkin terjadi. Obat obat anti hipertensi dan

vasoaktive juga harus disiapkan .Pasien dengan progresivitas yang lambat dapat

hanya diobservasi tanpa diberikan medikamentosa.Pasien dengan progresivitas

cepat dapat diberikan obat obatan berupa steroid. Namun ada pihak yang

mengatakan bahwa pemberian steroid ini tidak memberikan hasil apapun juga.

Steroid tidak dapat memperpendek lamanya penyakit, mengurangi paralisa yang

terjadi maupun mempercepat penyembuhan.

Plasma exchange therapy (PE) telah dibuktikan dapat memperpendek lamanya

paralisa dan mepercepat terjadinya penyembuhan. Waktu yang paling efektif

Page 34: MAKALAH gbs

untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Regimen

standard terdiri dari 5 sesi ( 40 – 50 ml / kg BB) dengan saline dan albumine

sebagai penggantinya. Perdarahan aktif, ketidakstabilan hemodinamik berat dan

septikemia adalah kontraindikasi dari PE .

Intravenous inffusion of human Immunoglobulin ( IVIg ) dapat menetralisasi

autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut.

IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian menetralisir

antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak terbentuk.

Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan

dosis 0,4 g / kg BB / hari selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan dengan

IVIg tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya

memberikan PE atau IVIg. Fisiotherapy juga dapat dilakukan untuk

meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas otot setelah paralisa.Heparin dosis

rendah dapat diberikan unutk mencegah terjadinya trombosis .

Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum

bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri,

perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala

sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi

khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan

melalui sistem imunitas (imunoterapi).

1. Kortikosteroid

Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid

tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.

2. Plasmaparesis

Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan

faktor autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB

memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat,

penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang

lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg

BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal

onset gejala (minggu pertama).

Page 35: MAKALAH gbs

3. Pengobatan imunosupresan:

a. Imunoglobulin IV

Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan

dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih

ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan

dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.

b. Obat sitotoksik

Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:

6 merkaptopurin (6-MP)

azathioprine

cyclophosphamid

Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit

kepala. 2

c. Terapi fisik: - alih baring

1) latihan ROM dini u/ cegah kontraktur

2) Hidroterapi

d. Supportif: profilaksis DVT (heparin s.c).

e. Analgesik

Analgesic ringan atau OAINS mungkin dapat digunakan untuk

meringankan nyeri ringan, namun tidak untuk nyeri yang

sangat,penelitian random control trial mendukung penggunaan

gabapentin atau carbamazepine pada ruang ICU pada perawatan SGB

fase akut. Analgesic narkotik dapat digunakan untuk nyeri dalam, namun

harus melakukan monitor secara hati-hati kepada efeksamping denervasi

otonomik.terapi ajuvan dengan tricyclic antidepressant , tramadol,

gabapentin, carbamazepine, atau mexilitene dapat ditambahkan untuk

penatalaksanaan nyeri neuropatik jangka panjang.

Pengobatan fase akut termasuk program penguatan isometric,

isotonic, isokinetic, dan manual serta latihan secara progresif.

Rehabilitasi harus difokuskan untuk posisi limbus, posture, orthotics,dan

nutrisi yang sesuai.

Page 36: MAKALAH gbs

C. Pemulihan

1. 80% pasien pulih dalam waktu 6 bulan

2. 15% pulih sempurna

3. 65% pulih dengan defisit neurologis ringan yg tak pengaruhi ADL

4. 5-10% mengalami kelamahan motorik menetap

5. Pada pasien dengan kelemahan motorik menetap, pemulihan dapat

berlangsung >2 tahun

6. Mortalitas: 3-5%

7. Relaps: 2-10%

8. Perburukan: 6% menjadi CIDP (Chronic Inflammatory Demyelinating

Polyradiculoneuropathy) 4

D. Prognosis

Faktor yang mempengaruhi buruknya prognostik:

1. Penurunan hebat amplitudo potensial aksi berbagai otot

2. Umur tua

3. Kebutuhan dukungan ventilator

4. Perjalanan penyakit progresif & berat.

Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada

sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95%

terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan

keadaan antara lain:

a. pada pemeriksaan NCV- EMG relatif normal

b. mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset

c. progresifitas penyakit lambat dan pendek

d. pada penderita berusia 30-60 tahun

Page 37: MAKALAH gbs

2.9 Pencegahan Guillain Barre Syndrome

2.10 Asuhan Keperawatan Guillain Barre Syndrome 

1. B1 (Breathing)

Kesulitan bernafas / sesak, pernafasan abdomen, apneu, menurunnya kapasitas

vital / paru, reflek batuk turun, resiko akumulasi secret.

2. B2 (Bleeding)

Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi, wajah kemerahan.

3. B3 (Brain)

Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi nyeri turun, perubahan

ketajaman penglihatan, ganggua keseimbangan tubuh, afasis (kemampuan bicara

turun), fluktuasi suhu badan.

4. B4 (Bladder)

Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat

berkemih.

5. B5 ( Bowel)

Kesulitan menelan-mengunyah, kelemahan otot abdomen, peristaltic usus turun,

konstipasi sampai hilangnya sensasi anal.

6. B6 (Bone)

Gangguan mobilitas fisik-resiko cidera / injuri fraktur tulang, hemiplegi,

paraplegi.

Page 38: MAKALAH gbs

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Guillain Bare Syndrom (GBS) secara khas digambarkan dengan kelemahan

motorik yang progresif dan arefleksia. Mekanisme autoimun dipercaya

bertanggungjawab atas terjadinya sindrom ini. Terapi farmakoterapi dan terapi fisik,

prognosis GBS tergantung pada progresifitas penyakit, derajat degenerasi aksonal,

dan umur pasien.

GBS merupakan penyakit serius dengan angka kesakitan dan kematian yang

cukup tinggi. Walaupun tersedia adanya ICU, ventilator, dan terapi imunomodulator

spesifik, sekitar 5 % dari pasien GBS dapat mengalami kematian dan 12% tidak dapat

berjalan tanpa bantuan selama 48 minggu setelah gejala pertama muncul 20 % pasien

akan tetap hidup dengan memiliki gejala sisa.

Selama ini para peneliti tetap mencari alternatif yang paling baik dan paling

efektif dari PE dan IVIg, dan para dokter harus dapat mengenali gejala GBS sehingga

dapat menegakkan diagnosis sedini mungkin. Penegakan diagnosis lebih dini akan

memberikan prognosis yang lebih baik.

3.2  Kritik

Makalah ini masih belum cukup sempurna dan masih ada banyak kesalahan sehingga

kami mohon kritik dan saran yang membangun guna untuk menyempurnakan

makalah kami yang selanjutnya.

3.3 Saran

Berusaha dan selalu bekerja sama akan membawa kita menuju keberhasilan dalam

menyelesaikan masalah dan mengerjakan tugas.serta melakukan tugas dengan penuh

tanggung jawab akan membuat kita semakin menjadi dewasa dan mandiri