gambaran faktor host dan lingkungan fisik...
TRANSCRIPT
GAMBARAN FAKTOR HOST DAN LINGKUNGAN FISIK RUMAH
PADA PENDERITA KUSTA DI KOTA TANGERANG SELATAN
TAHUN 2017
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh
JUWITA WIJAYANTI
NIM: 1112101000042
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
ii
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN Skripsi, Juli 2017 Nama : Juwita Wijayanti, NIM : 1112101000042 GAMBARAN FAKTOR HOST DAN LINGKUNGAN FISIK RUMAH PADA PENDERITA KUSTA DI KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2017 xv + 108 halaman, 5 tabel, 4 bagan, 9 grafik, 3 lampiran
ABSTRAK Kusta adalah penyakit menular kronis yang menyebabkan berbagai macam
masalah yang meluas sampai masalah sosial, ekonomi, dan psikologis. Indonesia telah mencapai eliminasi kusta pada tahun 2000, namun masih terdapat wilayah yang memiliki Prevalence Rate > 1/10.000 penduduk yaitu Puskesmas Jombang, Parigi, Pondok Kacang Timur dan Serpong 2.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Gambaran faktor host dan lingkungan fisik rumah pada penderita kusta di Kota Tangerang Selatan tahun 2017. Penelitian ini merupakan penelitian deskripstif kuantitatif dengan menggunakan desain case series. Sampel penelitian ini adalah seluruh penderita kusta di Kota Tangerang Selatan yang berjumlah 34 orang dengan menggunakan metode total sampling. Pengumpulan data dengan melakukan pengisian kuesioner, pengukuran dan observasi. Analisis yang digunakan adalah analisis univariat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor host pada kejadian kusta mayoritas kelompok usia produktif yaitu 88,2%, jenis kelamin laki-laki sebesar 64,7%, tingkat pendidikan rendah sebesar 76,5 %, tingkat pengetahuan rendah sebesar 55,90%, jenis pekerjaan yaitu buruh/tani sebesar 50%, riwayat kontak berisiko sebesar 14,70%, kebiasaan mandi berisiko sebesar 55,90%, kebiasaan meminjam pakaian berisiko sebesar 64,7%, kebiasaan meminjam handuk berisiko sebesar 61,8% dan kebiasaan membersihkan lantai rumah berisiko sebesar 64,7%. Faktor lingkungan fisik rumah pada penderita kusta paling banyak memiliki suhu rumah berisiko sebesar 67,6%, pencahayaan alami di dalam rumah berisiko sebesar 55,90%, jenis lantai rumah berisiko yaitu 5,9%, luas ventilasi rumah berisiko sebesar 50% dan kepadatan hunian yang berisiko 41,2%.
Oleh karena itu, masyarakat disarankan untuk melakukan deteksi dini dan pengobatan MDT jika menderita kusta, memakai pakaian panjang, menghindari meminjam handuk, mandi minimal 2 kali sehari dan menghindari meminjam pakaian. Selain itu masyarakat juga disarankan untuk membersihkan lantai rumah menggunakan antiseptik, menyesuaikan jumlah penghuni di dalam kamar sesuai dengan syarat rumah yang sehat dan membiasakan diri untuk membuka jendela pada siang hari.
Kata Kunci : Kusta, Host, Lingkungan, case series Daftar Bacaan : 114 (1985-2016)
iii
SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAMS SPECIALISATION ENVIRONMENTAL HEALTH Thesis, July 2017 Name: Juwita Wijayanti, NIM: 1112101000042 DESCRIPTION OF HOST AND PHYSICAL ENVIRONMENT OF HOUSE FACTORS IN LEPROSY IN SOUTH TANGERANG 2017 xv + 108 pages, 5 tables, 4 charts, 9 graphs,3 attachments
ABSTRACT Leprosy is a chronic infectious disease that causes problems that extend to
social, economic, and psychological problems. Indonesia has achieved leprosy elimination in 2000, but there are still areas with Prevalence Rate> 1/10.000 population, those are Jombang Primary Health Care, Parigi, Pondok Kacang Timur and Serpong 2.
This study aims to determine the description of host factors and the physical environment of the house in leprosy patients in South Tangerang 2017. This research is a quantitative descriptive research using case series design. The sample of this research is all of leprosy patient in South Tangerang which amounted to 34 people using total sampling method. Data collection by filling out questionnaires, measurements and observations. The analysis used is univariate analysis.
The result of this research showed that host factor on leprosy is in productive age group is 88,2%, leprosy in male is 64,7%, low level of education is 76,5%, low knowledge level 55,90%, type of work is workers / farmers 50%, 14,70% risky contact, 55,0% risky habit of bathing, 64,7% risky habit of borrowing clothes, 61,8% risky habit of borrowing towels and risk habit of cleaning the floor is 64,7%. Physical environmental of house factors in leprosy at most has house temperature at risk equal to 67,6%, natural lighting in house at risk equal to 55,90%, floor type at risk that is 5,9%, risky house ventilation is 50% and risky room occupancy density of 41,2%.
Therefore, people are advised to do early detection and treatment of MDT if suffering from leprosy, wear long clothes, avoid borrowing towels, bathing at least 2 times a day and avoid borrowing clothes. In addition, people are also advised to clean the floor of the house using antiseptic, adjust the number of occupants in the room in accordance with the requirements of a healthy home and get used to open the window during the day.
Key Words: Leprosy, Host, Environment, Case Series
Reading List: 114 (1985-2016)
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA DIRI
Nama : Juwita Wijayanti
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/Tanggal Lahir : Tangerang, 14 Agustus 1994
Status : Belum menikah
Agama : Islam
Alamat : Kampung Peusar Nomor 111 RT. 006 RW. 01
Kelurahan Binong Kecamatan Curug Kabupaten
Tangerang 15810
Mobile : 087889880809
E-mail : [email protected]
PENDIDIKAN FORMAL
2000 – 2006 : SD Negeri Binong 2 Tangerang
2006 – 2009 : SMP Negeri 6 Tangerang
2009 – 2012 : SMA Negeri 8 Tangerang
2012 − Sekarang : Peminatan Kesehatan Lingkungan
Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
PENDIDIKAN INFORMAL
2004 – 2005 : Kursus Bahasa Inggris di Practical Education
Center (PEC) Tangerang
2012 : Tes TOEFL & TOAFL di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
vii
PENGALAMAN ORGANISASI
2010 : Anggota Forum Remaja Islam SMA Negeri 8
Tangerang
2011 : Pemegang Program Keputrian Forum Remaja
Islam SMA Negeri 8 Tangerang
2014 – 2016 : Anggota Divisi Forum dan Silaturahmi
Environmental Health Student Assosoation
(ENVIHSA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Gambaran
Faktor Host dan Lingkungan Fisik Rumah Pada Penderita Kusta di Kota
Tangerang Selatan Tahun 2017”.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu:
1. Keluarga terkasih, Bapak Sayoeti, T.A., Ibu Supiyanah, A Didi Nurhadi, Teh
Siti Supriyatin dan Nenek Suhaya yang selalu memberikan do’a, kasih sayang,
dukungan dan semangat untuk menyelesaikan skripsi.
2. Bapak Prof. Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Ibu Fajar Ariyanti, M.Kes, Ph.D selaku Kepala Program Studi Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Yuli Amran, SKM., MKM. selaku Dosen Pembimbing I yang selalu sabar
dalam memberikan nasihat serta arahan dalam pembuatan skripsi ini.
5. Ibu Dr. Ela Laelasari, SKM., M.Kes. selaku Dosen Pembimbing II yang selalu
memberikan masukan dan arahan dalam pembuatan skripsi ini.
6. Seluruh jajaran Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan yang telah
memberikan izin untuk melakukan penelitian di Kota Tangerang Selatan.
ix
7. Ibu Dewi Utami Iriani, M. Kes, Ph.D, Ibu Ratri Ciptaningtyas, MHS dan Ibu
Nining Mularsih, M.Epid selaku tim penguji skripsi yang telah memberikan
masukan untuk perbaikan skripsi ini.
8. Sahabat tercinta yaitu Rika Apriyanti, Nurzia Ulhaq, Yulya Elizabeth, Laily
Rachmayanti, Syifa Azkiya, Mariatul Qibtiyah, Riskah Wahyuni, Ayu Savitri,
Evi Luthfiyah dan Ayu Sajida yang selalu menghibur dan mendoakan.
9. Erika Novianti, Sri Widiyastuti, Yola Dwi Putri dan Fatia Gusti Rahma yang
selalu mendengarkan keluh kesah selama menyusun skripsi serta selalu
memberikan motivasi dan bantuan kepada penulis.
10. Jama’ah kesehatan lingkungan 2012 : Abd, Agus, Isa, Dwi, Jijah, Bella, Mba
Nia, Hanif, Hanun, Isna, Ivan, Dhira, Rani, Yuni, Sarah, Uting, Syifa, Tyas,
Ukhty, Yola, Yolan, Yufa, Destin dan Pude.
11. Teman-teman kesehatan masyarakat angkatan 2012.
12. Semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan skripsi ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan pada skripsi ini,
oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.
Jakarta, Juli 2017
Penulis
x
DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... i
ABSTRAK .............................................................................................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN................................................................................... iv
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN ........................................................................ v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................... vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii
DAFTAR BAGAN .............................................................................................. xiv
DAFTAR GRAFIK ............................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 5
C. Pertanyaan Penelitian ............................................................................... 6
D. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 6
1. Tujuan Umum ........................................................................................... 6
2. Tujuan Khusus .......................................................................................... 7
E. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 7
F. Ruang Lingkup ............................................................................................. 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 9
A. Penyakit Kusta .......................................................................................... 9
1. Pengertian Penyakit Kusta ........................................................................ 9
2. Etiologi ..................................................................................................... 9
3. Tanda dan Gejala Penyakit Kusta .......................................................... 10
4. Cara Penularan Penyakit Kusta .............................................................. 10
5. Klasifikasi Penyakit Kusta ..................................................................... 11
6. Masalah yang Timbul Akibat Penyakit Kusta ........................................ 12
7. Pencegahan ............................................................................................. 12
B. Determinan Kusta Menurut Teori Segitiga Epidemiologi...................... 13
1. Host (Pejamu) ......................................................................................... 14
2. Agen ....................................................................................................... 21
xi
3. Lingkungan ............................................................................................. 21
C. Kerangka Teori ....................................................................................... 24
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ................. 25
A. Kerangka Konsep ................................................................................... 25
B. Definisi Operasional ............................................................................... 27
BAB IV METODE PENELITIAN ....................................................................... 30
A. Desain Penelitian .................................................................................... 30
B. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. 30
C. Populasi dan Sampel .............................................................................. 30
D. Pengumpulan Data ................................................................................. 34
E. Instrumen Penelitian................................................................................... 34
F. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen .................................................... 37
G. Pengolahan dan Analisis Data ................................................................ 40
BAB V HASIL PENELITIAN ............................................................................. 42
A. Distribusi Kejadian Kusta Berdasarkan Host ......................................... 42
1. Umur ....................................................................................................... 42
2. Jenis Kelamin ......................................................................................... 43
3. Tingkat Pendidikan ................................................................................. 43
4. Tingkat Pengetahuan .............................................................................. 44
5. Jenis Pekerjaan ....................................................................................... 46
6. Riwayat Kontak ...................................................................................... 46
7. Personal Hygiene .................................................................................... 47
8. Kebiasaan Membersihkan Lantai Rumah ............................................... 48
B. Distribusi Frekuensi Kejadian Kusta Berdasarkan Lingkungan Fisik Rumah ............................................................................................................... 49
1. Suhu Rumah ........................................................................................... 49
2. Pencahayaan Alami di dalam Rumah ..................................................... 49
3. Jenis Lantai ............................................................................................. 50
4. Luas Ventilasi Rumah ............................................................................ 50
5. Kepadatan Hunian Kamar ...................................................................... 50
BAB VI PEMBAHASAN ..................................................................................... 51
A. Keterbatasan Penelitian .......................................................................... 51
xii
B. Distribusi Kejadian Kusta Berdasarkan Faktor Host ............................. 51
1. Umur ....................................................................................................... 51
2. Jenis Kelamin ......................................................................................... 54
3. Tingkat Pendidikan ................................................................................. 56
4. Tingkat Pengetahuan .............................................................................. 59
5. Jenis Pekerjaan ....................................................................................... 66
6. Riwayat Kontak ...................................................................................... 68
7. Personal Hygiene ................................................................................... 70
8. Kebiasaan Membersihkan Lantai Rumah ............................................... 78
C. Distribusi Kejadian Kusta Berdasarkan Faktor Lingkungan Fisik Rumah 79
1. Suhu Rumah ........................................................................................... 80
2. Pencahayaan Alami di dalam Rumah ..................................................... 82
3. Jenis Lantai ............................................................................................. 85
4. Luas Ventilasi Rumah ............................................................................ 87
5. Kepadatan Hunian kamar ....................................................................... 90
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 93
A. Simpulan ................................................................................................. 93
1. Distribusi Kejadian Kusta Berdasarkan Host ......................................... 93
2. Distribusi Kejadian Kusta Berdasarkan Lingkungan Fisik Rumah ........ 93
B. Saran ....................................................................................................... 94
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 96
LAMPIRAN ........................................................................................................ 104
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Tanda Utama Kusta Pada Tipe PB dan MB………………….... 11
Tabel 2.2 Tanda lain Untuk Menentukan Klasifikasi Kusta……………... 12
Tabel 3.1 Definisi Operasional…………………………………………… 27
Tabel 4.1 Data Kasus Penderita Kusta di Kota Tangerang Selatan Tahun 2016…………………………………………………………....
33
Tabel 5.1 Jumlah Jawaban Benar Per Item Dalam Kuesioner Pengetahuan Penderita Kusta…………………………………..
45
xiv
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Proses Penularan Penyakit Kusta………...………………….... 11
Bagan 2.2 Segitiga Epidemiologi………………………….……………... 13
Bagan 2.3 Kerangka Teori…..………………………………...…………. 24
Bagan 3.1 Kerangka Konsep……………………………………………... 26
xv
DAFTAR GRAFIK
Grafik 5.1 Distribusi penderita kusta berdasarkan umur di Kota Tangerang Selatan Tahun 2017……………………….……....
42
Grafik 5.2 Distribusi penderita kusta berdasarkan jenis kelamin di Kota Tangerang Selatan Tahun 2017……………………………….
43
Grafik 5.3 Distribusi penderita kusta berdasarkan tingkat pendidikan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2017…………………………
44
Grafik 5.4 Distribusi penderita kusta berdasarkan tingkat pengetahuan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2017……………………........
44
Grafik 5.5 Distribusi penderita kusta berdasarkan jenis pekerjaan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2017…………………….................
46
Grafik 5.6 Distribusi penderita kusta berdasarkan riwayat kontak di Kota Tangerang Selatan Tahun 2017…………………….................
47
Grafik 5.7 Distribusi penderita kusta berdasarkan personal hygiene yang berisiko di Kota Tangerang Selatan Tahun 2017……………...
47
Grafik 5.8 Distribusi penderita kusta berdasarkan kebiasaan membersihkan lantai rumah di Kota Tangerang Selatan Tahun 2017……………………...........................................................
48
Grafik 5.9 Distribusi penderita kusta berdasarkan komponen lingkungan fisik rumah yang berisiko di Kota Tangerang Selatan Tahun 2017……………………...........................................................
49
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut laporan WHO, faktor lingkungan berpengaruh secara signifikan
terhadap lebih dari 80% penyakit (Mundiatun dan Daryanto, 2015). Masalah
kesehatan dan penyakit berbasis lingkungan yang disebabkan oleh kondisi
lingkungan yang tidak memadai, baik kualitas maupun kuantitasnya dapat
mengakibatkan berbagai penyakit seperti Diare, ISPA, TB Paru, Malaria dan
Kusta (Ahmadi, 2011).
Penyakit kusta adalah penyakit menular dan menahun yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae. penyakit ini menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan
tubuh lainnya kecuali susunan syaraf pusat (Kemenkes RI, 2007). Penyakit kusta
diklasifikasikan dalam dua tipe yaitu tipe Pausibasilar (PB) dan tipe Multibasilar
(MB), namun penderita kusta dengan tipe Multi Baciler (MB) dapat menularkan
penyakitnya pada orang lain (Depkes RI, 2007).
Penyakit kusta masih menjadi masalah secara global maupun nasional.
World Health Organization melaporkan jumlah kasus kusta yang terdaftar pada
akhir kuartal pertama tahun 2015 secara global adalah 175.554 kasus dengan
prevalensi 0,31 per 10.000 penduduk. Sedangkan jumlah kasus baru pada tahun
2014 sebesar 213.899 kasus dengan tingkat kasus baru yang terdeteksi 3,78 per
100.000 penduduk (WHO, 2015). Indonesia menempati peringkat ketiga dunia
2
pada tahun 2013 dengan kasus baru kusta terbanyak setelah India (134.752 kasus)
dan Brasil (33.303 kasus) (Kemenkes RI, 2015).
Indonesia telah mencapai eliminasi kusta pada tahun 2000 lalu, namun
hingga kini penemuan kasus kusta masih dijumpai di beberapa daerah. Untuk itu,
Kemenkes RI menargetkan agar seluruh provinsi dapat mencapai status eliminasi
kusta pada tahun 2019 (Depkes RI, 2015). Sepanjang tahun 2013, Kementerian
Kesehatan RI mencatat 16.825 kasus kusta baru (Kemenkes RI, 2015). Kemudian
pada tahun 2014, prevalensi kusta di Indonesia sebesar 0,79 per 10.000 penduduk
dengan penemuan kasus baru berada pada angka 6,75 per 100.000 penduduk.
Di Provinsi Banten pada tahun 2012 Prevalence Rate penyakit kusta adalah
7,38 per 100.000 penduduk. Penemuan kasus baru kusta tahun 2013 adalah 6,13
per 100.000 penduduk. Namun provinsi Banten mengalami kenaikan jumlah
penderita dalam kurun waktu 2011-2013 sebanyak 202 kasus (Profil Kesehatan
Provinsi Banten, 2012).
Menurut Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan (2014), Tangerang
Selatan merupakan wilayah otonomi baru yang cukup banyak ditemukan
penderita kusta. Angka penemuan penderita kusta di kota Tangerang Selatan
tahun 2008 (9 orang); 2009 (20 orang); 2010 (48 orang); 2011 (49 orang); 2012
(73 orang); 2013 (68 orang). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa
penderita kusta di kota Tangerang Selatan dari tahun 2008 sampai dengan tahun
2013 terus mengalami peningkatan dengan total penderita yang tercatat mencapai
267 penderita. Sementara itu Prevalence rate penyakit kusta di Kota Tangerang
Selatan tahun 2012 (0,81 per 10.000 penduduk); tahun 2013 (0,38 per 10.000
3
penduduk); tahun 2014 (0,38 per 10.000 penduduk) dan tahun 2015 adalah 0,61
per 10.000 penduduk.
Menurut Kemenkes RI, eliminiasi kusta dicapai jika Prevalence Rate kurang
dari 1 per 10.000 penduduk (<10 per 100.000 penduduk). Suatu daerah dikatakan
endemik tinggi jika Prevalence Rate >1/10.000 penduduk, dan dikatakan daerah
endemik rendah jika Prevalence Rate <1/10.000 penduduk dengan New Case
Detection Rate (NCDR) <5/100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2012).
Kota Tangerang Selatan merupakan salah satu kota yang masih ditemukan
kasus kusta. Berdasarkan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, pada tahun
2015 terdapat beberapa wilayah puskesmas yang memiliki angka Prevalence Rate
> 1 per 10.000 penduduk. Wilayah Puskesmas yang memiliki Prevalence Rate > 1
yaitu Puskesmas Jombang dengan Prevalence Rate 1,72 per 10.000 penduduk,
Puskesmas Parigi dengan Prevalence Rate 1,75 per 10.000 penduduk dan
Puskesmas Pondok Kacang Timur dengan Prevalence Rate 2,03 per 10.000
penduduk serta Puskesmas Serpong 2 dengan Prevalence Rate 1,03 per 10.000
penduduk.
Penyakit kusta merupakan suatu penyakit menular yang menimbulkan
berbagai macam dampak. Dampak yang ditimbulkan bukan hanya dari sisi medis
saja, tapi juga meliputi masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan
ketahanan nasional (Kemenkes RI, 2012). Menurut Pusat Data dan Informasi
Kemenkes RI tahun 2015, dalam kehidupan sehari-hari penderita dan mantan
penderita kusta sering mendapatkan perlakuan diskriminatif seperti dalam
kesempatan mencari lapangan pekerjaan, beribadah di rumah ibadah,
menggunakan kendaraan umum, mendapatkan pasangan hidup, dan lain-lain.
4
Susanto, dkk. (2009) menambahkan, penderita kusta maupun mantan
penderita kusta yang mengalami kecacatan biasanya ditolak dan diabaikan
masyarakat bahkan oleh keluarganya sendiri. Selain itu, mereka juga harus
kehilangan pekerjaan. Penderita kusta dianggap sangat berbahaya karena dapat
menularkan penyakit ini kepada orang lain. Padahal penyakit kusta adalah
penyakit yang penularannya paling lambat di antara penyakit menular lainnya.
Stigma inilah yang membuat masyarakat penyandang kusta memilih hidup
berkelompok, atau mengelompokkan diri. Sikap hidup seperti ini malah membuat
permasalahan semakin banyak dan menumpuk.
Mata rantai penularan penyakit kusta dapat diputus melalui intervensi yang
sesuai, dan hal ini dapat dilakukan jika proses terjadinya infeksi penyakit tersebut
diketahui (Kemenkes RI, 2012). Penelitian oleh Purwanto (2013) menunjukkan
bahwa sebanyak 83,20 % penderita kusta berada pada usia produktif. Sementara
itu, penelitian Peter, dkk. (2002) yang menyatakan bahwa kusta lebih sering
terjadi pada pria dibanding wanita dengan perbandingan masing-masing hampir
2:1.
Faktor penting dalam terjadinya kusta adalah adanya sumber penularan dan
sumber kontak, baik dari penderita maupun dari lingkungan (Depkes RI, 2012).
Kuman kusta hidup dengan baik pada lingkungan yang lembab, maka dari itu
faktor lingkungan sangat penting dalam penularan penyakit kusta terutama faktor
lingkungan fisik rumah. Hal ini sejalan dengan literatur yang mengatakan bahwa
persyaratan kesehatan rumah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
derajat kesehatan individu, keluarga dan masyarakat (Sanropie, 1992).
5
Menurut penelitian Enis (2009) ditemukan bahwa karakteristik rumah yang
berhubungan dengan terjadinya penyakit kusta diantaranya adalah jenis lantai.
Penelitian lain dilakukan oleh Rismawati (2013) yang menunjukkan adanya
hubungan antara suhu rumah, pencahayaan alami di dalam rumah, luas ventilasi
rumah, kepadatan hunian kamar, kebiasaan membersihkan lantai rumah dan
kebiasaan mandi dengan kejadian kusta. Penelitian yang dilakukan oleh
Yuniarasari tahun 2014, variabel yang berhubungan dengan kusta adalah tingkat
pengetahuan, personal hygiene dan jenis pekerjaan. Sementara itu, penelitian
Noorlatifah, dkk. (2010) menunjukkan hubungan antara kondisi fisik rumah,
riwayat kontak, dan tingkat pendidikan dengan kejadian kusta.
Berdasarkan paparan yang telah disampaikan sebelumnya, penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui gambaran faktor host dan lingkungan fisik rumah
pada penderita kusta di kota Tangerang Selatan tahun 2017.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dijelaskan di latar belakang,
diperoleh informasi bahwa jumlah penderita penyakit kusta masih tinggi di Kota
Tangerang Selatan. Hal ini terbukti dengan masih adanya wilayah kerja
Puskesmas yang memiliki Prevalence Rate > 1 per 10.000 penduduk yaitu
Puskesmas Jombang (1,72 per 10.000 penduduk), Puskesmas Parigi (1,75 per
10.000 penduduk), Puskesmas Pondok Kacang Timur (2,03 per 10.000 penduduk)
serta Puskesmas Serpong 2 (1,03 per 10.000 penduduk). Padahal Indonesia telah
mencapai eliminasi kusta pada tahun 2000 lalu. Untuk itu, Kemenkes RI
menargetkan agar seluruh provinsi dapat mencapai status eliminasi kusta pada
tahun 2019.
6
Faktor yang diduga sebagai pencetus kejadian kusta antara lain umur, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, jenis pekerjaan, riwayat kontak,
personal hygiene (kebiasaan mandi, kebiasaan meminjam pakaian, kebiasaan
meminjam handuk), kebiasaan membersihkan lantai rumah, suhu rumah,
pencahayaan alami di dalam rumah, jenis lantai, luas ventilasi rumah dan
kepadatan hunian kamar. Maka dari itu, peneliti ingin melakukan penelitian
tentang gambaran faktor host dan lingkungan fisik rumah pada penderita kusta di
kota Tangerang Selatan tahun 2017.
C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran faktor host (umur, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, tingkat pengetahuan, jenis pekerjaan dan riwayat kontak,
personal hygiene (kebiasaan mandi, kebiasaan meminjam pakaian,
kebiasaan meminjam handuk) dan kebiasaan membersihkan lantai
rumah) pada penderita kusta di Kota Tangerang Selatan tahun 2017?
2. Bagaimana gambaran faktor lingkungan fisik rumah (suhu rumah,
pencahayaan alami di dalam rumah, jenis lantai, luas ventilasi rumah dan
kepadatan hunian kamar) pada penderita kusta di Kota Tangerang
Selatan tahun 2017?
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Diketahuinya gambaran faktor host dan lingkungan fisik rumah pada
penderita kusta di kota Tangerang Selatan tahun 2017.
7
2. Tujuan Khusus
a) Diketahuinya gambaran faktor host (umur, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, tingkat pengetahuan, jenis pekerjaan dan riwayat kontak,
personal hygiene (kebiasaan mandi, kebiasaan meminjam pakaian,
kebiasaan meminjam handuk) dan kebiasaan membersihkan lantai
rumah) pada penderita kusta di Kota Tangerang Selatan tahun 2017.
b) Diketahuinya gambaran faktor lingkungan fisik rumah (suhu rumah,
pencahayaan alami di dalam rumah, jenis lantai, luas ventilasi rumah
dan kepadatan hunian kamar) pada penderita kusta di Kota
Tangerang Selatan tahun 2017.
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan
Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan
Pemerintah kota Tangerang Selatan khususnya Dinas Kesehatan kota
Tangerang Selatan dalam menyusun program kebijakan mengenai penyakit
kusta serta melakukan upaya pencegahan untuk menurunkan angka
kesakitan dan kecacatan akibat kusta di Kota Tangerang Selatan.
2. Bagi Masyarakat
Menambah pengetahuan dan informasi keluarga dan penderita tentang
penyakit kusta serta dapat mengiformasikan tentang determinan yang
mempengaruhi kejadian kusta.
8
3. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat menjadi bahan informasi tentang penyakit kusta
dan juga dapat dijadikan pedoman dalam melakukan penelitian yang
memiliki topik tentang kusta.
F. Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran faktor host dan
lingkungan fisik rumah pada penderita kusta di kota Tangerang Selatan tahun
2017. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari 2017 – Maret tahun 2017
di Kota Tangerang Selatan. Penelitian ini menggunakan desain studi Case Series.
Jenis data yang digunakan adalah data primer. Penelitian ini menggunakan
kuesioner, pengukuran dan observasi pada penderita kusta.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit Kusta
1. Pengertian Penyakit Kusta
Penyakit kusta adalah penyakit menular, menahun dan disebabkan oleh
kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan
jaringan tubuh lainnya kecuali susunan syaraf pusat (Kemenkes RI, 2007).
Penyakit kusta pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya
menyerang kulit, mukosa (mulut) saluran pernafasan bagian atas, sistem
retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Penyakit kusta adalah salah
satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks.
Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis, tetapi meluas sampai
masalah sosial, ekonomi, dan psikologis (Djuanda, 2007).
2. Etiologi
Penyakit kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang
ditemukan oleh G.H. Armauer Hansen tahun 1873 di Norwegia. Basil ini
bersifat tahan asam, bentuk pleomorf lurus, batang ramping dan sisanya
berbentuk paralel dengan kedua ujung-ujungnya bulat dengan ukuran
panjang 1-8 µm dan diameter 0,25-0,3 µm. Basil ini menyerupai kuman
berbentuk batang yang gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora.
Dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen basil yang hidup dapat berbentuk batang
yang utuh, berwarna merah terang, dengan ujung bulat (solid), sedang basil
yang mati bentuknya terpecah-pecah (fragmented) atau granular. Basil ini
10
hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu rendah dan tidak dapat
dikultur dalam media buatan (in vitro) (Zulkifli, 2009).
3. Tanda dan Gejala Penyakit Kusta
Tanda-tanda seseorang menderita kusta adalah kulit timbulnya bercak
putih seperti panu yang semakin lama semakin lebar. Kemudian ada bintil-
bintil kemerahan di kulit, bagian tubuh yang tidak berkeringat, kesemutan
pada anggota badan atau bagian raut muka, muka berbenjol-benjol dan
tegang (Facies leomina) dan mati rasa karena kerusakan syaraf tepi
(Kemenkes RI, 2015).
Gejala yang timbul pada tahap awal yaitu hipopigmentasi,
hiperpigemantasi dan kemerahan pada kulit. Gejala-gejala umum pada
penyakit kusta antara lain reaksi panas dari derajat rendah hingga menggigil,
anoreksia, nausea, kadang-kadang disertai vomitus, cephalgia, kadang
disertai iritasi, orchitis dan pleuritis, kadang disertai nephrosia, nepritis,
hepatosplenomegali dan neuritis (Kemenkes RI, 2015).
4. Cara Penularan Penyakit Kusta
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kuman dapat masuk melalui
kulit yang lecet di bagian tubuh bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal.
Penularan terjadi jika M. Leprae yang hidup keluar dari tubuh penderita dan
masuk ke dalam tubuh orang lain. Secara teoritis penularan ini terjadi
dengan kontak yang lama dengan penderita. Tempat masuk kuman kusta ke
dalam tubuh pejamu diperkirakan adalah melalui saluran pernapasan bagian
atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh (Kemenkes RI, 2007).
11
Berikut adalah bagan penularan penyakit kusta.
Bagan 2.1 Proses Penularan Penyakit Kusta
5. Klasifikasi Penyakit Kusta
Pada tahun 1982, Ahli dari WHO mengembangkan klasifikasi untuk
memudahkan pengobatan penyakit kusta. Dalam klasifikasi ini, pasien kusta
dibagi dalam dua tipe yaitu tipe Pausibasilar (PB) dan tipe Multibasilar
(MB). Klasifikasi ini ditetapkan berdasarkan gambaran klinis dan hasil
pemeriksaan BTA melalui pemeriksaan kerokan jaringan kulit.
Pedoman utama untuk menentukan klasifikasi kusta adalah sebagai
berikut (WHO, 1997):
Tabel 2.1 Tanda Utama Kusta pada Tipe PB dan MB
Tanda Utama PB MB Bercak Kusta Jumlah 1-5 Jumlah > 5 Penebalan syaraf tepi disertai gangguan fungsi (mati rasa atau kelemahan otot, di daerah yang dipersarafi saraf yang bersangkutan).
Hanya 1 syaraf Lebih dari 1 syaraf
Kerokan jaringan kulit BTA negatif BTA positif
Apabila satu dari tanda utama MB ditemukan, maka pasien
diklasifikasikan sebagai kusta MB. Sementara itu, tanda lain yang dapat
dijadikan sebagai pertimbangan dalam menentukan klasifikasi penyakit
kusta yaitu:
Mycobacterium leprae
Kejadian Kusta
1. Kulit 2. Saluran pernafasan
Atas
Jaringan/lingkungan yang bersuhu rendah
12
Tabel 2.2 Tanda Lain untuk Menentukan Klasifikasi Kusta
Tanda Lain PB MB Distribusi Unilateral atau bilateral
asimetris Bilateral simetris
Permukaan bercak Kering, kasar Halus, mengkilap Batas Bercak Tegas Kurang tegas Mati rasa pada bercak
Jelas Biasanya kurang jelas
Deformitas Proses terjadi lebih cepat
Terjadi pada tahap lanjut
Ciri-ciri khas - Madarosis, hidung pelana, wajah singa (facies leonine), ginekomastia pada laki-laki.
6. Masalah yang Timbul Akibat Penyakit Kusta
Masalah terkait keluarga penderita kusta yaitu mereka takut tertular
sehingga tidak dapat merawat luka penderita kusta, dan sering mengisolasi
penderita kusta. Masalah tersebut mengakibatkan tuna sosial, tuna wisma,
tunakarya dan cenderung melakukan kejahatan atau gangguan di lingkungan
masyarakat (Depkes RI, 2002).
7. Pencegahan
Secara umum, penyakit kusta dapat dicegah dengan terjanganya
kebersihan diri dan lingkungan. Hal ini dikarenakan penyakit kusta diduga
dapat dengan mudah menular melalui penderita kusta apabila disokong oleh
lingkungan dan kebersihan diri yang buruk.
Adapun usaha untuk pemutusan rantai penularan penyakit kusta dapat
dilakukan melalui :
1) Pengobatan Multi Drug Therapy (MDT) penderita kusta
MDT adalah kombinasi obat yang terdiri dari 2 atau 3 obat, yaitu
dapson dan rifampisin untuk semua pasien, dengan tambahan
13
clofazimin untuk pasien multibasiler. Kombinasi obat ini membunuh
patogen dan menyembuhkan pasien kusta (WHO, 2017).
2) Isolasi terhadap penderita kusta. Namun hal ini tidak dianjurkan
karena penderita yang sudah berobat tidak akan menularkan
penyakitnya ke orang lain.
3) Melakukan vaksinasi BCG pada kontak serumah dengan
penderita kusta.
Dari hasil penelitian di Malawi, tahun 1996 didapatkan bahwa
pemberian vaksinasi BCG satu dosis dapat memberikan perlindungan
sebesar 50%, dengan pemberian dua dosis dapat memberikan perlindungan
terhadap kusta hingga 80%. Namun demikian penemuan ini belum menjadi
kebijakan program di Indonesia dan masih memerlukan penelitian lebih
lanjut, karena penelitian dibeberapa negara memberikan hasil yang berbeda
(Departemen Kesehatan RI, 2006).
B. Determinan Kusta Menurut Teori Segitiga Epidemiologi
Keterkaitan setiap faktor dalam penyakit dapat dianalisis menggunakan
segitiga epidemiologi (Timmreck, 2004). Segitiga epidemiologi dikemukakan
oleh John Gordon dan La Richt pada tahun 1950. Teori ini menjelaskan bahwa
timbul atau tidaknya penyakit pada manusia dipengaruhi oleh tiga faktor utama,
yaitu host, agent dan lingkungan (Rajab, 2009).
Bagan 2.2 Segitiga Epidemiologi
Host
Agen
Lingkungan
14
Berikut adalah penjelasan dari determinan penyakit kusta berdasarkan teori
segitiga epidemiologi.
1. Host (Pejamu)
a. Umur
Menurut Kemenkes RI (2012) kusta diketahui terjadi pada semua
umur yang berkisar antara bayi sampai dengan usia lanjut atau dengan
kata lain kusta dapat menyerang dari umur tiga minggu sampai dengan
umur lebih dari 70 tahun, namun penderita kusta yang terbanyak adalah
pada usia produktif.
Purwanto (2013) yang menunjukkan bahwa sebanyak 83,20 %
penderita kusta berada pada usia produktif. Satu lagi penelitian dengan
hasil yang sama dilakukan di Rumah Sakit Kusta Kediri, mayoritas
penderita kusta adalah usia dewasa dengan persentase 90% (Nabila,
dkk. 2012).
b. Jenis Kelamin
Penelitian yang dilakukan Peter, et.al (2002) yang menyatakan
bahwa terdapat perbedaan jumlah penderita kusta antara pria dan
wanita. Kusta lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita dengan
perbandingan masing-masing hampir 2:1.
c. Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan upaya persuasi atau pembelajaran kepada
masyarakat agar masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan
(praktik) untuk memelihara (mengatasi masalah-masalah) dan
meningkatkan kesehatannya. Tingkat pendidikan dianggap sebagai
15
salah satu unsur yang menentukan pengalaman dan pengetahuan
seseorang, baik dalam ilmu pengetahuan maupun kehidupan sosial
(Notoatmodjo, 2005; Budioro, 1997).
Tingkatan pendidikan menurut Undang-Undang No 20 Tahun 2003
adalah: Pendidikan dasar/rendah (SD – SMP/MTs); Pendidikan
Menengah (SMA/SMK/Sederajat); dan Pendidikan Tinggi (Perguruan
Tinggi).
Dari hasil penelitian oleh Martomijoyo (2014) diperoleh data
sebanyak 29 (80,6 %) responden memiliki tingkat pendidikan rendah (<
SD-SMP) dan setelah dilakukan uji statistik, menunjukkan adanya
hubungan antara faktor pendidikan dengan kejadian penyakit kusta.
Artinya dengan memiliki pendidikan yang rendah akan berisiko lebih
tinggi terjangkit penyakit kusta. Jadi, pendidikan merupakan faktor
yang sangat berperan dalam penyebaran dan penularan penyakit kusta.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin mudah
menerima dan memahami berbagai macam informasi yang diberikan
kepadanya.
d. Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil penginderaan manusia atau hasil
tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata,
mulut, telinga dan sebagainya). Secara sendirinya, pada waktu
penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat
dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek yang
berbeda-beda (Notoatmodjo, 2005).
16
Berdasarkan penelitian, pengetahuan yang rendah tentang penyakit
kusta secara tidak langsung dapat menimbulkan stigma yang negatif
terhadap penyakit kusta. Rendahnya pengetahuan tentang penyakit
kusta, mengakibatkan penderita kusta tidak mengetahui akibat buruk
yang ditimbulkan oleh penyakit kusta seperti cacat fisik. Stigma yang
buruk disebabkan karena kecacatan fisik yang tampak jelas pada
penderita kusta inilah yang menyebabkan para penderita dijauhi oleh
masyarakat disekitarnya (Das, 2006).
e. Jenis Pekerjaan
Berdasarkan penelitian Muchtar, dkk (2009) di Poliklinik Kulit dan
Kelamin RS Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar periode 2002-2003
diperoleh data jenis pekerjaan yang terbanyak adalah petani dengan
persentase 57,5%.
Menurut penelitian Yuniarasari (2014) tentang faktor risiko yang
berhubungan dengan kejadian kusta hasilnya adalah terdapat hubungan
antara jenis pekerjaan dengan kejadian kejadian kusta. Sementara itu
menurut penelitian Norlatifah, dkk. tahun 2010, hasil uji statistik
didapatkan bahwa jenis pekerjaan bukan merupakan faktor risiko
penularan kusta.
Notoatmodjo (2012) mengungkapkan bahwa jenis pekerjaan dibagi
menjadi :1) Pedagang; 2) Buruh/Tani; 3) PNS; 4) TNI/POLRI: 5)
Pensiunan; 6) Wiraswasta dan 7) Ibu Rumah Tangga.
17
f. Riwayat Kontak
Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui dengan
jelas, penularan di dalam rumah tangga dan kontak/hubungan dekat
dalam waktu yang lama tampaknya sangat berperan dalam penularan
(Chin, 2000).
Menurut Depkes RI (2007) kontak dengan penderita kusta
dikatakan berisiko jika >2 tahun dan tidak berisiko jika kontak terjadi
≤2 tahun. Hasil penelitian Norlatifah, dkk. tahun 2010 menunjukan
bahwa secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat
kontak dengan kejadian kusta pada responden. Peluang orang dengan
riwayat kontak serumah tertular penyakit kusta 5,06 kali lebih besar
dibandingkan dengan tidak ada riwayat kontak serumah.
g. Personal Hygiene
Personal hygiene atau kebersihan diri adalah tindakan pencegahan
yang meliputi tanggung jawab individu untuk meningkatkan kesehatan
serta membatasi menyebarnya penyakit menular, terutama yang
ditularkan secara kontak langsung (Noor, 2006).
Penularan penyakit kusta menurut sebagian ahli melalui saluran
pernafasan dan kulit (kontak langsung yang lama dan erat), kuman
mencapai permukaan kulit melalui folikel rambut dan kelenjar keringat
(Mansjoer, 2000).
Penelitian yang dilakukan oleh Yudied, dkk. tahun 2007
menyatakan bahwa faktor risiko lingkungan yang berpengaruh yaitu
kondisi sanitasi yang kurang baik meliputi fasilitas sanitasi yang jelek,
18
kebiasaan masyarakat tidur bersama-sama, memakai pakaian bergatian,
handuk mandi secara bergatian dan buang air besar di kebun juga dapat
memicu terjadinya penularan berbagai macam penyakit yang tidak
menutup kemungkinan penyakit kusta.
1) Kebiasaan Mandi
Personal hygiene atau kebersihan diri adalah tindakan
pencegahan yang meliputi tanggung jawab individu untuk
meningkatkan kesehatan serta membatasi menyebarnya penyakit
menular, terutama yang ditularkan secara kontak langsung (Noor,
2006).
Penularan penyakit kusta belum diketahui secara pasti, tetapi
menurut sebagian ahli melalui saluran pernafasan dan kulit (kontak
langsung yang lama dan erat), kuman mencapai permukaan kulit
melalui folikel rambut, kelenjar keringat, dan diduga melalui
saluran air susu ibu (Mansjoer, 2000).
Menurut penelitian Rismawati (2013) tentang hubungan antara
sanitasi rumah dan personal hygiene dengan kejadian kusta
multibasiler diperoleh bahwa ada hubungan antara kebiasaan mandi
dengan kejadian kusta multibasiler.
Menurut Depdikbud (1986) mandi merupakan upaya perawatan
kulit yang dilakukan dengan cara mandi minimal 2 kali sehari yaitu
pagi dan sore menggunakan air yang bersih. Perawatan kulit
merupakan keharusan yang mendasar (Depdikbud, 1986).
19
2) Kebiasaan Meminjam Pakaian
Penelitian yang dilakukan oleh Yudied, dkk. tahun 2007
menyatakan bahwa faktor risiko lingkungan yang berpengaruh yaitu
memakai pakaian bergatian dapat memicu terjadinya penularan
berbagai macam penyakit yang tidak menutup kemungkinan
penyakit kusta.
Faktor risiko higiene perorangan yang mempengaruhi terhadap
penularan penyakit kusta diantaranya adalah memakai pakaian
secara bergantian (Entjang, 2000).
3) Kebiasaan Meminjam Handuk
Penelitian yang dilakukan oleh Yudied, dkk. tahun 2007
menyatakan bahwa faktor risiko lingkungan yang berpengaruh yaitu
memakai handuk mandi secara bergatian dapat memicu terjadinya
penularan berbagai macam penyakit yang tidak menutup
kemungkinan penyakit kusta.
Menurut teori yang dikemukakan oleh Entjang (2000) faktor
risiko higiene perorangan yang mempengaruhi terhadap penularan
penyakit kusta diantaranya adalah penggunaan handuk secara
bergantian.
h. Kebiasaan Membersihkan Lantai Rumah
Akumulasi debu, tanah atau kontaminasi mikroba lain pada
permukaan secara estetik tidak menyenangkan sekaligus merupakan
sumber infeksi. Maka membersihkan debu ini menjadi penting untuk
mengurangi jumlah mikroorganisme serta mengupayakan lingkungan
20
yang bersih (Tietjen, 2004). M. leprae ditemukan pada tanah di sekitar
lingkungan rumah penderita, hal ini dibuktikan dengan salah satu
penelitian menggunakan telapak kaki mencit sebagai media kultur, M.
leprae juga mampu hidup beberapa waktu di lingkungan. Selain itu, M.
leprae juga dapat ditemukan pada debu rumah penderita (Yuniarti,
2011).
i. Vaksinasi BCG
Vaksin BCG merupakan vaksin yang berfungsi meningkatkan
kekebalan tubuh terhadap TBC tetapi menunjukkan adanya
perlindungan yang besar terhadap kusta (Meima, dkk., 2004). Menurut
IDAI (2015) imunisasi BCG diberikan pada usia 2-3 bulan karena pada
bayi usia <2 bulan sistem imun anak belum matang.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Baker, dkk. (1993)
menunjukkan bahwa status vaksinasi BCG berhubungan dengan
kejadian kusta semua tipe.
j. Status Ekonomi
Penyakit kusta adalah salah satu manifestasi dari kemiskinan karena
sebagian besar penderita kusta berasal dari golongan ekonomi lemah.
Penyakit kusta jika tidak ditangani dapat menyebabkan cacat, dan hal
tersebut menjadi penghalang bagi pasien kusta untuk menjalani
kehidupan bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial
ekonominya (Widoyono, 2011).
Pendapatan merupakan salah satu faktor yang mempunyai peran
dalam mewujudkan kondisi kesehatan seseorang. Pendapatan yang
21
diterima seseorang akan mempengaruhi daya beli terhadap barang-
barang kebutuhan pokok dan barang-barang kebutuhan lainnya seperti
sandang dan papan (Ligia, 2006; Dwi, 2012).
2. Agen
Penyakit kusta disebabkan oleh M .leprae yang ditemukan oleh G.H.
Armauer Hansen tahun 1873 di Norwegia. Basil ini bersifat tahan asam,
bentuk pleomorf lurus, batang ramping dan sisanya berbentuk paralel
dengan kedua ujung-ujungnya bulat dengan ukuran panjang 1-8 µm dan
diameter 0,25-0,3 µm. Basil ini menyerupai kuman berbentuk batang yang
gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora. Dengan pewarnaan Ziehl-
Nielsen basil yang hidup dapat berbentuk batang yang utuh, berwarna merah
terang, dengan ujung bulat (solid), sedang basil yang mati bentuknya
terpecah-pecah (fragmented) atau granular. Basil ini hidup dalam sel
terutama jaringan yang bersuhu rendah dan tidak dapat dikultur dalam media
buatan (in vitro) (Zulkifli, 2009).
3. Lingkungan
a. Lingkungan Fisik
1) Suhu Rumah
M. Leprae yang bertahan hidup lama dalam temperatur kamar
dapat mempertinggi risiko penularan kusta antar anggota keluarga
yang menderita penyakit kusta. Pertumbuhan optimal kuman kusta
pada suhu 270 - 300 C (Depkes RI, 2012).
22
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rismawati didapatkan
bahwa ada hubungan antara suhu rumah dengan kejadian kusta
multibasiler (Rismawati, 2011).
2) Pencahayaan Alami di dalam Rumah
Pencahayaan di dalam rumah diukur menggunakan luxmeter.
Pencahayaan minimal yang ada di dalam rumah yaitu 60 lux. Hal ini
ditetapka oleh Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1077/Menkes/Per/V/2011 Tentang Pedoman Penyehatan
Udara Dalam Ruang Rumah.
3) Jenis Lantai
Menurut Kepmenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang
ketentuan persyaratan kesehatan rumah tinggal menyatakan bahwa
lantai rumah harus kedap air dan mudah dibersihkan.
Menurut penelitian Enis (2009) ditemukan bahwa karakteristik
rumah yang berhubungan dengan terjadinya penyakit kusta
diantaranya adalah jenis lantai.
4) Luas Ventilasi Rumah
Dampak dari ventilasi yang tidak memenuhi syarat yaitu
pertukaran oksigen didalam rumah dapat berkurang sehingga dapat
menyebabkan penyakit yang dapat menular lewat udara tertular
dengan orang serumah dengan penderita. Dengan adanya ventilasi
serta digunakan sesuai peruntukannya maka sinar matahari serta
udara dapat masuk maka sehingga dapat mencegah pertumbuhan
bakteri (Makinan, 2012)
23
Hasil penelitian Norlatifah, dkk. (2010) menunjukan bahwa
secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara kondisi
fisik rumah dengan kejadian kusta. Rumah responden banyak yang
tidak memiliki ventilasi lebih dari 10% dari luas lantai.
5) Kepadatan Hunian Kamar
Menurut penelitian yang dilakukan Rismawati (2013)
didapatkan bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian kamar
dengan kejadian kusta multibasiler. Responden dengan kepadatan
hunian kamar tidak memenuhi syarat memiliki risiko 3,231 kali
lebih besar menderita kusta multibasiler bila dibandingkan
responden dengan kepadatan hunian kamar memenuhi syarat.
6) Kelembaban
Menurut Kepmenkes No.829/Menkes/SK/VII/1999, kelembaban
yang baik yaitu berkisar antara 40 - 70 %. Berdasarkan penelitian
Wicaksono, dkk. (2015) hasil analisis univariat didapatkan bahwa
pada variabel kelembaban, untuk kelompok kasus mayoritas
mempunyai ruangan tidur yang kelembabannya tidak memenuhi
syarat (90%).
24
C. Kerangka Teori
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dijabarkan sebelumnya maka
kerangka teori yang digunakan untuk menjelaskan gambaran faktor host dan
lingkungan fisik rumah pada penderita kusta adalah teori trias epidemiologi yang
dikemukakan oleh John Gordon. Berikut ini adalah kerangka teori dari gambaran
faktor host dan lingkungan fisik rumah pada penderita kusta di kota Tangerang
Selatan tahun 2017:
Bagan 2.3 Kerangka Teori
Keterangan
Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti
9. Vaksinasi BCG 10. Status Ekonomi
Faktor Host 1. Umur 2. Jenis Kelamin 3. Tingkat Pendidikan 4. Tingkat Pengetahuan 5. Jenis pekerjaan 6. Riwayat Kontak 7. Personal Hygiene
a. Kebiasaan Mandi b. Kebiasaan Meminjam Pakaian c. Kebiasaan Meminjam Handuk
8. Kebiasaan Membersihkan Lantai Rumah
Kejadian Kusta
Agen Penyakit Kusta
Mycobacterium leprae
Lingkungan Fisik Rumah 1. Suhu Rumah 2. Pencahayaan Alami di dalam Rumah 3. Jenis Lantai 4. Luas Ventilasi Rumah 5. Kepadatan Hunian Kamar
6. Kelembaban
25
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep
Pada penelitian ini, variabel yang diteliti adalah umur, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, tingkat pengetahuan, jenis pekerjaan, riwayat kontak, personal
hygiene (kebiasaan mandi, kebiasaan meminjam pakaian dan kebiasaan
meminjam handuk), kebiasaan membersihkan lantai rumah, suhu rumah,
pencahayaan alami di dalam rumah, jenis lantai, luas ventilasi rumah dan
kepadatan hunian kamar.
Kemudian pada penelitian ini, agen penyakit kusta yaitu bakteri
Mycobacterium leprae tidak diteliti karena penelitian ini lebih cenderung
menjabarkan faktor host dan lingkungan fisik rumah pada penderita kusta.
Vaksinasi BCG tidak diteliti karena vaksin tersebut diberikan pada umur dua
hingga tiga bulan sehingga apabila ditanyakan kepada responden maka
dikhawatirkan akan menimbulkan bias pada penelitian. Selain itu kelembaban
juga tidak diteliti karena iklim pada suatu kota/kabupaten bersifat homogen, maka
dari itu peneliti tidak meneliti kelembaban.
26
Berikut ini adalah kerangka konsep dari gambaran faktor host dan
lingkungan fisik rumah pada penderita kusta di kota Tangerang Selatan tahun
2017.
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
Host 1. Umur 2. Jenis Kelamin 3. Tingkat Pendidikan 4. Tingkat Pengetahuan 5. Jenis pekerjaan 6. Riwayat Kontak 7. Personal Hygiene
a. Kebiasaan Mandi b. Kebiasaan Meminjam Pakaian c. Kebiasaan Meminjam Handuk
8. Kebiasaan Membersihkan Lantai Rumah
Kejadian Kusta
Lingkungan Fisik Rumah 1. Suhu Rumah 2. Pencahayaan Alami di dalam Rumah 3. Jenis Lantai 4. Luas Ventilasi Rumah 5. Kepadatan Hunian Kamar
27
B. Definisi Operasional
Berikut ini adalah definisi operasional dari gambaran faktor host dan
lingkungan fisik rumah pada penderita kusta di kota Tangerang Selatan tahun
2017.
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional
Cara Ukur Alat Ukur
Hasil Ukur Skala
1. Umur Lama hidup responden yang terhitung sejak lahir sampai dengan men-derita kusta.
Wawancara Kuesioner 1=Produktif (15-64 tahun) 2=Tidak Produktif (<15 tahun dan >64 tahun) (Kemenkes RI, 2012)
Ordinal
2. Jenis Kelamin
Keadaan yang sesuai dengan kodrat/jenis kelamin berdasarkan keadaan anatomis.
Wawancara Kuesioner 1= Laki-laki 2= Perempuan
Nominal
3. Tingkat Pendidikan
Pendidikan terakhir yang bersifat formal dan berlangsung di sekolah yang ditempuh oleh responden.
Wawancara Kuesioner 1=Rendah (Tidak Sekolah, SD, SMP) 2=Menengah(SMA/SMK/Sederajat) 3=Tinggi (perguruan Tinggi) (Undang-Undang No 20 Tahun 2003)
Ordinal
4. Tingkat Pengetahuan
Sesuatu yang diketahui oleh responden terkait dengan penyakit kusta.
Wawancara Kuesioner 1=Rendah (skor≤ mean/median) 2=Tinggi (skor> mean/median).
Ordinal
5. Jenis pekerjaan
Kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan penghasilan.
Wawancara Kuesioner 1= Pedagang 2= Buruh/Tani 3= PNS 4= TNI/POLRI 5= Pensiunan 6= Wiraswasta 7= Ibu Rumah Tangga (Notoatmodjo, 2012). 8=Lain-lain.
Nominal
6. Riwayat Jumlah waktu Wawancara Kuesioner 1=Berisiko (>2 tahun) Ordinal
28
No Variabel Definisi Operasional
Cara Ukur Alat Ukur
Hasil Ukur Skala
Kontak dalam tahun responden kontak dengan penderita kusta yang serumah sebelum responden dinyatakan menderita kusta.
2=Tidak Berisiko (≤2 tahun) (Depkes RI, 2007).
7. Personal Hygiene
Upaya pencegahan penyakit melalui tindakan membersihkan diri
7a. Kebiasaan Mandi
Tindakan membersihkan diri yang dilakukan responden.
Wawancara Kuesioner 1=Buruk (<2 kali sehari) 2=Baik (≥2 kali sehari) (Depdikbud, 1986).
Ordinal
7b. Kebiasaan Meminjam Pakaian
Tindakan memakai pakaian milik orang lain.
Wawancara Kuesioner 1=Berisiko (jika memiliki kebiasaan meminjam pakaian) 2=Tidak Berisiko (jika tidak memiliki kebiasaan meminjam pakaian) (Entjang, 2000).
Ordinal
7c. Kebiasaan Meminjam Handuk
Tindakan memakai handuk milik orang lain.
Wawancara Kuesioner 1=Berisiko (Jika Memiliki kebiasaan meminjam Handuk) 2=Tidak Berisiko (jika tidak memiliki kebiasaan meminjam handuk) (Entjang, 2000).
Ordinal
8. Kebiasaan Membersih-kan Lantai Rumah
Ada atau tidaknya penggunaan antiseptik pada saat membersihkan lantai rumah
Wawancara Kuesioner 1=Berisiko (Tidak menggunakan antiseptik) 2= Tidak berisiko (menggunakan antiseptik) (Rismawati, 2013).
Ordinal
9. Suhu Rumah Angka yang menunjukkan panas udara (dalam celcius)
Pengukuran Termo-hygro-meter
1=Berisiko (270 C – 300 C) 2=Tidak Berisiko (<270C dan >300C)
Ordinal
29
No Variabel Definisi Operasional
Cara Ukur Alat Ukur
Hasil Ukur Skala
di dalam rumah diukur menggunakan Thermohygro-meter
(Dinkes RI, 2007)
10. Pencahayaan Alami di dalam Rumah
Intensitas cahaya di dalam rumah responden diukur menggunakan Luxmeter.
Pengukuran Luxmeter 1=Berisiko (<60 lux) 2=Tidak Berisiko (≥60 lux) (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1077/MENKES/PER/V/2011)
Ordinal
11. Jenis Lantai Jenis bahan yang digunakan sebagai dasar sebuah ruangan.
Wawancara Kuesioner 1= Kedap Air 2=Tidak Kedap Air (Kepmenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang ketentuan persyaratan kesehatan rumah tinggal).
Ordinal
12. Luas Ventilasi Rumah
Perbandingan antara luas ventilasi dan luas lantai rumah, dengan menggunakan meteran
Pengukuran Meteran 1=Berisiko (<10%) 2=Tidak Berisiko (≥10%) (Kepmenkes RI No.829/Menkes/ SK/ VII/1999).
Ordinal
13. Kepadatan Hunian Kamar
Perbandingan antara luas lantai kamar dengan jumlah penghuni kamar tersebut.
Pengukuran Meteran 1=Berisiko (<4m2/orang) 2=Tidak Berisiko (≥4m2/orang) (Kepmenkes RI No.829/Menkes/SK/VII/1999)
Ordinal
30
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain case
series. Pada penelitian ini, analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan
lebih mendalam tentang faktor host dan lingkungan fisik rumah pada penderita
kusta di kota Tangerang Selatan tahun 2017. Selain itu, pendekatan kuantitatif
bertujuan untuk menggambarkan distribusi penderita berdasarkan variabel host
dan lingkungan fisik rumah.
Variabel independen dalam penelitian ini adalah umur, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, jenis pekerjaan, riwayat kontak, personal
hygiene (kebiasaan mandi, kebiasaan meminjam pakaian, kebiasaan meminjam
handuk), kebiasaan membersihkan lantai rumah, suhu rumah, pencahayaan alami
di dalam rumah, jenis lantai, luas ventilasi rumah dan kepadatan hunian kamar.
Sedangkan variabel dependen pada penelitian ini adalah kejadian kusta.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan kota Tangerang Selatan selama bulan Januari -
Maret tahun 2017.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi target pada penelitian ini adalah seluruh penderita kusta di 21
wilayah puskesmas yang berada di Kota Tangerang Selatan. Populasi
31
penelitian ini adalah penderita kusta yang tercatat dalam buku register
kohort kusta padap periode Januari sampai dengan Desember tahun 2016.
Wilayah puskesmas yang menjadi cakupan dalam penelitian adalah
Puskesmas Pondok Jagung, Ciputat, Kampung Sawah, Jombang, Pondok
Aren, Pamulang, Ciputat Timur, Jurangmangu, Keranggan, Parigi, Pondok
Benda, Benda Baru, Situ Gintung, Pondok Ranji, Paku Alam, Pondok
Pucung, Pondok Betung, Pondok Kacang Timur, Serpong 2, Rawa Buntu
dan Sawah Baru.
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh penderita kusta dengan tipe
MB (multibasiler), penelitian ini hanya meneliti pasien kusta MB karena
sesuai dengan Depkes RI (2005) bahwa sumber penularan penyakit kusta
adalah penderita kusta dengan jenis MB, hal tersebut juga disampaikan oleh
Amirudin (2003). Penderita kusta tipe Multi Baciler (MB) dapat menularkan
penyakitnya pada orang lain karena dalam tubuh penderita terdapat
Mycobacterium leprae (Depkes RI, 2007). Berdasarkan hal tersebut, sampel
penelitian ini adalah penderita kusta tipe MB dan terdaftar pada register
kohort penyakit kusta pada periode Januari sampai dengan Desember tahun
2016.
Adapun untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dilihat tanda-
tanda utama yaitu sebagai berikut: (Kemenkes RI, 2012)
a. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit dapat berbentuk bercak putih (hipopigmentasi) atau
kemerahan (eritema) yang mati rasa (anestesi).
32
b. Penebalan syaraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi syaraf.
Gangguan fungsi syaraf ini merupakan akibat dari peradangan syaraf
tepi kronis. Gangguan fungsi syaraf ini dapat berupa:
1) Gangguan fungsi sensoris : mati rasa
2) Gangguan fungsi motoris : kelemahan (paresis) atau kelumpuhan
(paralisis) otot
3) Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak-retak
c. Adanya basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (slit
skin smear).
Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan metode total
sampling, dengan jumlah kasus yang terdaftar sepanjang tahun 2016 yaitu
sebanyak 65 orang. Sementara itu sampel dapat dikeluarkan jika :
a. Penderita kusta telah pindah rumah saat penelitian berlangsung
b. Penderita kusta telah meninggal dunia
c. Peneliti tidak dapat menemukan rumah penderita
33
Berikut ini adalah data kasus penderita kusta di Kota Tangerang Selatan
tahun 2016.
Tabel 4.1 Data Kasus Penderita Kusta Di Kota Tangerang Selatan Tahun 2016
No. Puskesmas Jumlah Penderita Kusta
1 Pondok Jagung 2 2 Ciputat 3 3 Kampung Sawah 1 4 Jombang 4 5 Pondok Aren 2 6 Pamulang 8 7 Ciputat Timur 4 8 Jurangmangu 4 9 Keranggan 2 10 Parigi 7 11 Pondok Benda 2 12 Benda Baru 1 13 Situ Gintung 3 14 Pondok Ranji 1 15 Paku Alam 1 16 Pondok Pucung 1 17 Pondok Betung 2 18 Pondok Kacang Timur 5 19 Serpong 2 2 20 Rawa Buntu 3 21 Sawah Baru 7
JUMLAH 65 Sumber: Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2016
Peneliti tidak dapat mengakses keberadaan semua penderita kusta karena
terdapat beberapa alamat penderita kusta yang kurang jelas. Pada data
tersebut, penderita kusta yang memiliki alamat yang jelas terdapat 53 orang.
Dari 53 orang penderita, terdapat 11 orang yang tidak dapat diakses
keberadaannya dan 8 orang yang tidak bersedia untuk menjadi responden,
sehingga sampel dalam penelitian ini berjumlah 34 orang penderita kusta.
34
D. Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data primer yang diperoleh dari pengisian
kuesioner oleh penderita kusta di Kota Tangerang Selatan yang tercatat dalam
register kohort kusta dari bulan Januari sampai dengan Desember tahun 2016.
Selain pengisian kuesioner, pengumpulan data juga dilakukan dengan cara
melakukan pengukuran dengan beberapa alat, yaitu meteran, luxmeter dan
thermohygrometer untuk variabel suhu rumah, pencahayaan alami di dalam
rumah, luas ventilasi rumah dan kepadatan hunian kamar. Kemudian lembar
observasi digunakan untuk melihat jenis lantai rumah penderita kusta.
Pengambilan data didahului dengan pemberian informed consent dan
penjelasan mengenai tujuan penelitian serta petunjuk pengisian kuesioner.
Variabel yang diukur menggunakan kuesioner yaitu umur, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, tingkat pengetahuan, jenis pekerjaan, riwayat kontak, personal
hygiene (kebiasaan mandi, kebiasaan meminjam pakaian), kebiasaan meminjam
handuk dan kebiasaan membersihkan lantai rumah.
E. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data ialah kuesioner,
register kohort kusta dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, lembar
observasi, meteran, luxmeter dan thermohygrometer. Pengumpulan data dilakukan
dengan mengisi kuesioner dengan panduan lembar kuesioner, lembar observasi
dan lembar pengukuran untuk variabel tertentu. Instrumen dalam penelitian ini
dijelaskan sebagai berikut:
1. Register kohort penderita kusta di Kota Tangerang Selatan pada periode
bulan Januari sampai dengan Desember 2016.
35
2. Lembar observasi untuk melihat kondisi jenis lantai rumah responden.
Hasil observasi dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu:
a. Kedap air : semen, keramik, ubin dan tegel
b. Tidak kedap air : papan/kayu dan tanah
3. Lembar pengukuran untuk mengukur variabel suhu rumah, pencahayaan
alami di dalam rumah, luas ventilasi rumah dan kepadatan hunian kamar.
Penjelasan dari masing-masing variabel adalah sebagai berikut:
a. Suhu rumah
Pengukuran yang dilakukan untuk melihat panas udara di dalam
rumah (dalam celcius) diukur menggunakan alat Thermohygrometer.
Hasil pengukuran dikelompokan dalam dua kategori yaitu:
1) Berisiko : 270 – 300 C
2) Tidak Berisiko : <270 C dan >300 C
Langkah pengukuran suhu rumah adalah sebagai berikut:
1) Siapkan alat yang akan digunakan
2) Cek baterai apakah telah terpasang dengan benar
3) Tunggu beberapa saat hingga angka yang ditunjukan oleh alat
stabil
4) Catat hasil pengukuran
b. Pencahayaan alami di dalam rumah
Pengukuran intensitas cahaya di dalam rumah menggunakan alat
Luxmeter. Hasil pengukuran dikelompokan menjadi dua kategori yaitu:
1) Berisiko : < 60 lux
2) Tidak berisiko : ≥ 60 lux
36
Langkah pengukuran pencahayaan alami menurut SNI 03-2396-
2001 tentang tata cara perancangan pencahayaan alami pada bsngunan
adalah sebagai berikut:
1) Siapkan alat yang akan digunakan
2) Menandai titik ukur sesuai dengan titik ukur ada gambar
Sumber: SNI 03-2396-2001
Keterangan:
a. Titik ukur utama (TUU), diambil pada tengah kedua dinding
samping, yang berada pada jarak 1/3 dari bidang lubang
cahaya efektif.
b. Titik ukur samping (TUS), diambil pada jarak 0,5 m dari
dinding samping, yang juga berada pada jarak 1/3 dari lubang
cahaya efektif, dan d adalah ukuran kedalaman ruangan,
diukur mulai dari bidang cahaya efektif hingga pada dinding
seberangnya, atau hingga pada “bidang” batas dalam ruangan
yang hendak dihitung pencahayaannya itu.
3) Hidupkan luxmeter kemudian atur dengan skala tertentu
4) Bawalah alat ke titik pengukuran yang telah ditentukan, setinggi
bidang kerja yaitu 0,75 meter.
37
5) Bacalah hasil pengukuran setelah menunggu beberapa saat
sehingga didapat nilai yang stabil.
6) Catat hasil pengukuran pada lembar hasil penelitian untuk
intensitas penerangan.
7) Matikan alat setelah selesai melakukan pengukuran.
c. Luas ventilasi rumah
Perbandingan antara luas ventilasi dan luas lantai rumah diukur
menggunakan rollmeter. Hasil pengukuran di kategorikan menjadi dua
bagian yaitu:
1) Berisiko : <10%
2) Tidak berisiko : ≥10%
d. Kepadatan hunian kamar
Membandingkan luas lantai kamar dengan jumlah penghuni kamar
tersebut diukur menggunakan rollmeter. Hasil pengukuran dikategorikan
menjadi dua yaitu:
1) Berisiko : <4m2 / orang
2) Tidak berisiko : ≥4m2/orang
4. Kuesioner untuk mengukur variabel umur, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, tingkat pengetahuan, jenis pekerjaan, riwayat kontak,
personal hygiene dan kebiasaan membersihkan lantai rumah.
F. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Kuesioner dikatakan valid jika alat ukur yang ditentukan tepat dapat
mengukur objek yang akan diukur ataupun dapat mengukur apa yang harus
38
diukur. Sedangkan kuesioner dinilai reliabel jika alat ukur menghasilkan hasil
ukur yang konsisten jika dilakukan pengukuran berkali-kali.
1. Validitas kuesioner
Uji validitas dilakukan untuk mengetahui item pada kuesioner yang
valid maupun tidak valid sehingga diketahui item kuesioner tersebut dapat
digunakan dalam penelitian atau tidak. Uji validitas untuk jenis pertanyaan
dengan skala Guttman yaitu variabel pengetahuan dan personal hygiene
dilakukan dengan uji validitas isi. Uji validitas ini dilakukan dengan
melihat tanggapan responden terhadap kuesioner yang diberikan oleh
peneliti. Responden pada uji validitas ini adalah 30 penderita kusta yang
berada di Kota Tangerang. Setiap item dalam kuesioner dianggap valid
jika responden dapat langsung menjawab dan memahami item kuesioner
serta mampu mengerjakan item kuesioner sesuai dengan estimasi waktu
yang ditetapkan oleh peneliti. Sementara itu item kuesioner yang tidak
dapat dijawab secara langsung dan melebihi estimasi waktu yang telah
ditetapkan dikeluarkan dari kuesioner.
Hasil uji validitas yang dilakukan oleh peneliti didapatkan empat
pertanyaan yang tidak valid yaitu :
a. Pertanyaan C11
Pertanyaan ini tidak valid karena terdapat empat responden yang
menjawab pertanyaan melibihi estimasi waktu yang ditetapkan dan tiga
responden tidak dapat langsung menjawab pertanyaan tetapi bertanya
kepada peneliti maksud dari pertanyaan tersebut.
39
b. Pertanyaan C14
Pertanyaan ini tidak valid karena terdapat satu responden yang
menjawab pertanyaan melibihi estimasi waktu yang ditetapkan dan dua
responden tidak dapat langsung menjawab pertanyaan tetapi bertanya
kepada peneliti maksud dari pertanyaan tersebut.
c. Pertanyaan C17
Pertanyaan ini tidak valid karena terdapat tujuh responden yang
menjawab pertanyaan melibihi estimasi waktu yang ditetapkan dan tujuh
responden tidak dapat langsung menjawab pertanyaan tetapi bertanya
kepada peneliti maksud dari pertanyaan tersebut.
d. Pertanyaan C18
Pertanyaan ini tidak valid karena terdapat tiga responden yang
menjawab pertanyaan melibihi estimasi waktu yang ditetapkan dan tiga
responden tidak dapat langsung menjawab pertanyaan tetapi bertanya
kepada peneliti maksud dari pertanyaan tersebut.
2. Reliabilitas kuesioner
Uji reliabilitas dilakukan setelah kuesioner dinyatakan valid.
Pengujian reliabilitas dilakukan dengan menggunakan rumus statistik
cronbach alpha dengan membandingkan nilai r tabel dengan nilai r hasil
(cronbach alpha). Kuesioner dinyatakan reliabel jika r hasil > r tabel.
40
G. Pengolahan dan Analisis Data
Setelah jawaban kuesioner dikumpulkan, penulis melakukan pengolahan
data melalui berapa tahapan, yaitu:
1. Editing, penulis melakukan pengecekan isian formulir atau kuesioner
apakah jawaban yang ada dikuesioner sudah lengkap, jelas, relevan, dan
konsisten.
2. Coding, penulis merubah data yang berbentuk huruf menjadi data
berbentuk angka yang berguna untuk mempermudah analisis data dan
mempercepat entry data. Setiap jawaban yang tersedia memiliki pilihan
jawaban A dan B. Jawaban A diberi kode 1 dan jawaban B diberi kode 2,
kecuali pada pertanyaan jenis pekerjaan dan riwayat kontak yang tidak
diberi kode. Pada pertanyaan jenis pekerjaan, responden langsung
mengisi sesuai dengan pekerjaan responden sedangkan pada pertanyaan
riwayat kontak responden menjawab dengan angka.
3. Entry data, penulis meng-entry data dari kuesioner dengan program
komputer tertentu.
4. Cleaning data, penulis mengecek kembali data yang sudah dientry
apakah data kesalahan atau tidak.
5. Analisa data, penulis menganalisa data secara statistik untuk
memudahkan interpretasi dan pengujian hipotesis lebih lanjut.
Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis univariat.
Analisis data ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik setiap variabel
dalam penelitian ini. Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis
distribusi frekuensi. Variabel dengan skala nominal dan ordinal (umur, jenis
41
kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, jenis pekerjaan, riwayat kontak,
kebiasaan mandi, kebiasaan meminjam pakaian, kebiasaan meminjam handuk,
kebiasaan membersihkan lantai rumah, suhu rumah, pencahayaan alami di dalam
rumah, jenis lantai, luas ventilasi rumah dan kepadatan hunian kamar) akan
digunakan nilai frekuensi (%), kemudian data akan disajikan dalam bentuk grafik.
42
BAB V
HASIL
A. Distribusi Kejadian Kusta Berdasarkan Host
Pada penelitian ini, komponen host yang diteliti adalah umur, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, jenis pekerjaan, riwayat kontak, personal
hygiene (kebiasaan mandi, kebiasaan meminjam pakaian, kebiasaan meminjam
handuk) dan kebiasaan membersihkan lantai rumah. Berikut adalah hasil dari
penelitian berupa distribusi kejadian kusta berdasarkan faktor host:
1. Umur
Berikut ini adalah grafik umur penderita kusta di Kota Tangerang
Selatan:
Grafik 5.1 Distribusi Penderita Kusta Berdasarkan Umur di Kota Tangerang
Selatan Tahun 2017
88.2
11.8
0102030405060708090
100
Umur
Pers
enta
se (%
)
Produktif
Tidak Produktif
43
Berdasarkan grafik 5.1 dapat diketahui bahwa penderita kusta sebagian
besar terdapat pada kategori produktif (15 tahun dan 64 tahun) yaitu 30
orang (88,2%).
2. Jenis Kelamin
Berikut ini adalah grafik distribusi penderita kusta berdasarkan jenis
kelamin :
Grafik 5.2 Distribusi Penderita Kusta Berdasarkan Jenis Kelamin di Kota
Tangerang Selatan tahun 2017
Berdasarkan grafik 5.2 dapat diketahui bahwa penderita kusta paling
banyak adalah jenis kelamin laki-laki yaitu 22 orang (64,7%).
3. Tingkat Pendidikan
Berikut ini adalah tingkat pendidikan pada penderita kusta di Kota
Tangerang Selatan Tahun 2017 :
64.7
35.3
0102030405060708090
100
Jenis Kelamin
Pers
enta
se(%
)
Laki - Laki
Perempuan
44
Grafik 5.3 Distribusi Penderita Kusta Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kota
Tangerang Selatan tahun 2017
Berdasarkan grafik 5.3 dapat diketahui bahwa penderita kusta sebagian
besar memiliki tingkat pendidikan rendah yaitu 76,5%.
4. Tingkat Pengetahuan
Berikut ini adalah tingkat pengetahuan pada penderita kusta di Kota
Tangerang Selatan Tahun 2017 :
Grafik 5.4 Distribusi Penderita Kusta Berdasarkan Tingkat Pengetahuan di Kota
Tangerang Selatan tahun 2017
Berdasarkan grafik 5.4 dapat diketahui bahwa penderita kusta paling
banyak memiliki tingkat pengetahuan rendah (≤ median) yaitu 19 orang
(55,90 %).
76.5
17.6 5.9
0102030405060708090
100
Tingkat Pendidikan
Pers
enta
se(%
)
Rendah
Menengah
Tinggi
55.9
44.1
0102030405060708090
100
Tingkat Pengetahuan
Pers
enta
se(%
)
Rendah
Tinggi
45
Berikut ini adalah tabel jumlah jawaban benar pada masing-masing item
dalam kuesioner pengetahuan penderita kusta :
Tabel 5.1 Jumlah Jawaban Benar Per Item Dalam Kuesioner Pengetahuan Penderita Kusta
No. Item Kuesioner Variabel Tingkat Pengetahuan Benar n=34 (%)
Penyebab Penyakit Kusta 1. Apakah penyakit kusta disebabkan oleh
Mycobacterium Leprae ? 22 64,7
Tanda Dan Gejala Penyakit Kusta 2. Kelainan kulit berwarna merah/putih yang mati rasa 26 76,5 3. Kulit yang kering dan retak 16 47,1 4. Kulit melepuh dan nyeri 15 44,1 5. Gangguan gerak anggota badan 17 50 6. Penebalan/pembengkakan pada bercak yang ada di
kulit 14 41,2
7. Organ yang diserang Adalah Kulit, Otot dan Mata 14 41,2 Cara Penularan Penyakit Kusta 8. Penyakit kusta ditularkan melalui saluran pernapasan
bagian atas 14 41,2
9. Penyakit kusta ditularkan melalui transfusi darah dengan penderita kusta 7 20,6
10. Penyakit kusta terjadi akibat kontak kulit langsung yang lama dan erat dengan penderita kusta 17 50
Usia 11. Penyakit kusta menyerang pada usia 15 – 64 tahun 10 29,4 Tempat Penularan Penyakit Kusta 12. Penyakit kusta mudah menyebar di lingkungan yang
lembab jarang terkena sinar matahari 18 52,9
13. Kusta dapat menular pada rumah yang dijaga kebersihannya 9 26,5
Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa item kuesioner yang
paling banyak dijawab benar oleh penderita kusta adalah “kelainan kulit
berwarna merah/putih yang mati rasa” yaitu sebanyak 26 orang (76,5%).
Sedangkan item kuesioner yang paling sedikit dijawab benar oleh penderita
kusta adalah “Penyakit kusta ditularkan melalui transfusi darah dengan
penderita kusta” yaitu sejumlah 7 orang (20,6%).
46
50
14.7 20.6
14.7
0102030405060708090
100
Jenis Pekerjaan
Pers
enta
se(%
)
Buruh/Tani
Wiraswasta
Ibu Rumah Tangga
Lain-lain
5. Jenis Pekerjaan
Berikut ini adalah jenis pekerjaan pada penderita kusta di Kota
Tangerang Selatan Tahun 2017 :
Grafik 5.5 Distribusi Penderita Kusta Berdasarkan Jenis Pekerjaan di Kota
Tangerang Selatan tahun 2017
Berdasarkan grafik 5.5 dapat diketahui bahwa penderita kusta sebagian
besar memiliki pekerjaan sebagai buruh/tani yaitu 17 orang (50 %).
6. Riwayat Kontak
Berikut ini adalah hasil penelitian berupa riwayat kontak pada penderita
kusta di Kota Tangerang Selatan Tahun 2017 :
47
Grafik 5.6 Distribusi Penderita Kusta Berdasarkan Riwayat Kontak di Kota
Tangerang Selatan tahun 2017
Berdasarkan grafik 5.6 dapat diketahui bahwa penderita kusta sebagian
besar memiliki riwayat kontak yang tidak berisiko (≤ 2 tahun) yaitu 29 orang
(85,30 %).
7. Personal Hygiene
Personal hygiene atau kebersihan diri pada penderita kusta di Kota
Tangerang Selatan Tahun 2017 disajikan dalam grafik berikut ini :
Grafik 5.7 Distribusi Penderita Kusta Berdasarkan Personal Hygiene yang
Berisiko di Kota Tangerang Selatan tahun 2017
14.7
85.3
0102030405060708090
100
Riwayat Kontak
Pers
enta
se (%
) Berisiko
Tidak Berisiko
55.9 64.7 61.8
0102030405060708090
100
Personal Hygiene
Pers
enta
se (%
) Kebiasaan Mandi
Kebiasaan MeminjamPakaian
Kebiasaan MeminjamHanduk
48
a. Kebiasaan Mandi
Berdasarkan hasil penelitian yang diperlihatkan pada grafik 5.7,
penderita kusta paling banyak memiliki kebiasaan mandi yang buruk
yaitu 19 orang (55,90 %).
b. Kebiasaan Meminjam Pakaian
Berdasarkan grafik 5.7 dapat diketahui bahwa penderita kusta
sebagian besar memiliki kebiasaan meminjam pakaian yang berisiko
yaitu 22 orang (64,70 %).
c. Kebiasaan Meminjam Handuk
Berdasarkan grafik 5.7 tentang distribusi penderita kusta berdasarkan
personal hygiene, dapat diketahui bahwa penderita kusta paling banyak
memiliki kebiasaan meminjam handuk yang berisiko yaitu 21 orang
(61,80 %).
8. Kebiasaan Membersihkan Lantai Rumah
Berikut ini adalah hasil penelitian berupa kebiasaan membersihkan lantai
rumah pada penderita kusta di Kota Tangerang Selatan Tahun 2017 :
Grafik 5.8 Distribusi Penderita Kusta Berdasarkan Kebiasaan Membersihkan
Lantai Rumah di Kota Tangerang Selatan tahun 2017
64.7
35.3
0102030405060708090
100
Kebiasaan Membersihkan LantaiRumah
Pers
enta
se(%
)
Berisiko
Tidak Berisiko
49
Berdasarkan grafik 5.8 dapat diketahui bahwa penderita kusta
sebagian besar memiliki kebiasaan membersihkan lantai yang berisiko
yaitu 22 orang (64,70 %).
B. Distribusi Frekuensi Kejadian Kusta Berdasarkan Lingkungan Fisik
Rumah
Distribusi frekuensi komponen lingkungan fisik rumah yang berisiko pada
penderita kusta di Kota Tangerang Selatan Tahun 2017 disajikan dalam grafik
berikut ini:
Grafik 5.9 Distribusi Penderita Kusta Berdasarkan Komponen Lingkungan Fisik Rumah
yang Berisiko di Kota Tangerang Selatan tahun 2017
1. Suhu Rumah
Berdasarkan grafik 5.9 dapat diketahui bahwa penderita kusta sebagian
besar memiliki suhu rumah yang berisiko yaitu 23 orang (67,60 %).
2. Pencahayaan Alami di dalam Rumah
Berdasarkan grafik 5.9 tentang distribusi penderita kusta berdasarkan
komponen lingkungan fisik yang berisiko dapat diketahui bahwa penderita
67.6
55.9
5.9
50 41.2
0102030405060708090
100
Lingkungan Fisik Rumah
Pers
enta
se (%
) Suhu
Pencahayaan Alami
Jenis Lantai
Luas Ventilasi
Kepadatan Hunian
50
kusta paling banyak memiliki pencahayaan alami di dalam rumah yang
berisiko yaitu 19 orang (55,90 %).
3. Jenis Lantai
Berdasarkan grafik 5.9 dapat diketahui bahwa penderita kusta yang
memiliki jenis lantai tidak kedap air yaitu 5,90%.
4. Luas Ventilasi Rumah
Berdasarkan grafik 5.9 dapat diketahui bahwa penderita kusta yang
memiliki luas ventilasi rumah yang berisiko dan tidak berisiko berjumlah
sama yaitu 17 orang (50 %).
5. Kepadatan Hunian Kamar
Berdasarkan grafik 5.9 tentang distribusi penderita kusta berdasarkan
komponen lingkungan fisik yang berisiko dapat diketahui bahwa penderita
kusta yang memiliki kepadatan hunian kamar berisiko yaitu 14 orang (41,20
%).
51
BAB VI
PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian
1. Data alamat penderita kusta yang kurang lengkap menyebabkan peneliti
tidak dapat mengakses seluruh penderita kusta di Kota Tangerang Selatan.
2. Penelitian ini hanya bersifat menggambarkan dan menggali lebih dalam
mengenai karakteristik host dan lingkungan fisik rumah pada penderita
kusta, sehingga tidak dijelaskan hubungan masing-masing faktor dengan
kejadian kusta.
B. Distribusi Kejadian Kusta Berdasarkan Faktor Host
Distribusi kejadian kusta berdasarkan faktor host yang meliputi faktor umur,
jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, jenis pekerjaan riwayat
kontak, personal hygiene (kebiasaan mandi, kebiasaan meminjam pakaian,
kebiasaan meminjam handuk) serta kebiasaan membersihkan lantai rumah
dijelaskan pada uraian berikut ini :
1. Umur
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menimbulkan masalah dari
segi medis, sosial, ekonomi dan juga budaya. Penyakit kusta diketahui dapat
menyerang berbagai usia dari bayi sampai usia lanjut (3 minggu – 70 tahun),
dengan kelompok usia terbanyak adalah usia produktif (Rachmat, 2007;
Amirudin, dkk. 2007; Kemenkes RI, 2012). Menurut Kemenkes RI (2010)
usia produktif berkisar antara 15 – 64 tahun. Menurut Noordeen (1994)
52
insiden kusta yang meningkat sesuai dengan peningkatan usia diduga
disebabkan karena masa inkubasi penyakit kusta yang sangat lama dan
gambaran klinis dari kusta muncul terlambat. Kemungkinan lainnya adalah
kusta pada umur dewasa disebabkan oleh adanya reinfeksi pada individu yang
sebelumnya telah terinfeksi dan mengalami penurunan kekebalan saat
beranjak dewasa.
Pendapat lain diungkapkan oleh Amirudin (2012), usia produktif adalah
usia dimana seseorang memiliki pergaulan atau aktifitas lebih tinggi dibanding
usia tidak produktif. Hal ini memungkinkan seseorang dengan usia produktif
lebih rawan untuk tertular penyakit kusta.
Sedangkan menurut Scollard, dkk. (1994) kusta banyak menyerang pada
usia produktif karena secara teori seseorang yang produktif apalagi memiliki
pekerjaan yang berat dengan gaya hidup yang tidak sehat dapat menyebabkan
menurunnya daya tahan tubuh orang tersebut, sehingga dapat mempercepat
pertumbuhan bakteri penyebab penyakit kusta. Jadi semakin produktif umur
seseorang maka akan semakin cepat masa inkubasi penyakit kusta.
Sejalan dengan teori yang telah diuraikan di atas, penelitian di Kota
Tangerang Selatan menunjukkan bahwa sebagian besar penderita kusta
terdapat pada kategori umur produktif yaitu sebanyak 30 orang (88,2%).
Selain itu jika dilihat umur berdasarkan jenis pekerjaan, sebanyak 82,4%
responden pada umur produktif memiliki pekerjaan sebagain buruh/tani yang
merupakan pekerjaan yang membutuhkan energi banyak. Penelitian tersebut
membenarkan teori yang telah dikemukakan oleh Scollard (1994) pada uraian
sebelumnya.
53
Penelitian lain yang sejalan dengan penelitian di Kota Tangerang Selatan
dilakukan oleh Purwanto (2013) yang menunjukkan bahwa sebanyak 83,20 %
penderita kusta berada pada usia produktif. Satu lagi penelitian dengan hasil
yang sama dilakukan di Rumah Sakit Kusta Kediri, mayoritas penderita kusta
adalah usia dewasa dengan persentase 90% (Nabila, dkk. 2012).
Ternyata umur tidak selalu berhubungan dengan kejadian kusta hal ini
dibuktikan oleh penelitian Norlatifah (2010) di Kota Tapin yang hasil uji
statistiknya adalah tidak terdapat hubungan antara umur dengan kejadian
kusta. Menurut Noordeen (1994) Hasil penelitian di Jepang, Amerika Serikat,
dan Eropa Utara menunjukkan bahwa prevalensi kusta pada kelompok anak-
anak lebih tinggi daripada dewasa. Hasil berbeda terjadi di Pulau Nauru yang
menunjukkan bahwa penderita kusta ditemukan pada semua kelompok umur
dalam jumlah yang relatif sama. Temuan ini memperkuat dugaan bahwa kusta
mempunyai masa inkubasi yang cukup bervariasi dan faktor yang menentukan
distribusi umur pada penderita kusta lebih disebabkan oleh lamanya paparan
dari kuman kusta. Hal serupa diungkapkan oleh Hargrave (2010) usia tua
dapat meningkatkan risiko tertular kusta akibat menurunnya sistem imunitas
seluler tubuh.
Berdasarkan uraian di atas, kusta dapat menyerang pada semua umur
terutama umur produktif. Menurut Kemenkes RI (2012) upaya pengendalian
penularan pada penderita Kusta di Indonesia selama ini dengan Vaksin BCG
serta pengobatan MDT pada pasien kusta. Maka dari itu semua kelompok
umur harus mencegah penularan penyakit kusta dengan melakukan vaksin
54
BCG sejak kecil serta melakukan deteksi dini dan pengobatan MDT jika
terdiagnosa memiliki penyakit kusta.
2. Jenis Kelamin
Menurut Kemenkes RI (2012) kusta dapat menyerang pada laki-laki
maupun perempuan, namun sebagian besar negara di dunia menunjukkan
bahwa laki-laki lebih banyak terserang kusta dibandingkan pada perempuan
(kecuali beberapa negara Afrika). Angka kejadian kusta pada perempuan
rendah kemungkinan adalah karena faktor lingkungan dan sosial budaya. Pada
suatu kebudayaan, akses perempuan ke pelayanan kesehatan sangat terbatas
sehingga adanya kasus kusta pada perempuan tidak terdaftar. Selain itu
perempuan lebih malu jika penyakit yang dideritanya diketahui oleh orang
lain, sehingga perempuan memiliki kecenderungan tidak segera ke pelayanan
kesehatan jika sakit. Hal serupa juga disampaikan oleh Noordeen (1994),
rendahnya angka prevalensi kusta pada perempuan bisa juga disebabkan
karena tidak terdeteksinya penderita kusta perempuan.
Selain itu Noordeen juga mengatakan bahwa tingginya prevalensi kusta
pada laki-laki kemungkinan karena gaya hidup laki-laki yang membuka
peluang untuk terinfeksi. Seperti adanya kecenderungan laki-laki untuk tidak
memakai pakaian di kehidupan sehari-hari, hal ini diyakini meningkatkan
kemungkinan risiko tertular kusta melalui kontak kulit. Rendahnya prevalensi
kusta pada perempuan kemungkinan disebabkan oleh faktor lingkungan dan
biologis. Salah satu faktor lingkungan yang berperan dalam penularan kusta
yakni perbedaan kebiasaan gaya berpakaian. Gaya berpakaian wanita timur
55
yang lebih tertutup dibandingkan laki-laki dapat meminimalkan kesempatan
adanya kontak kulit.
Uraian di atas menyatakan bahwa laki-laki lebih banyak menderita kusta
dibandingkan perempuan. Hal ini juga terjadi pada penelitian di Kota
Tangerang Selatan yaitu kejadian kusta paling banyak terjadi pada jenis
kelamin laki-laki yaitu 22 orang (64,7%). Penelitian yang dilakukan Peter,
et.al (2002) menyatakan bahwa terdapat perbedaan jumlah penderita kusta
antara pria dan wanita. Kusta lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita
dengan perbandingan masing-masing hampir 2:1. Penelitian lain yang
menunjukkan bahwa kusta lebih rendah pada wanita adalah Ali, dkk. (1966);
Doull, dkk. (1945) dan Ranade, dkk. (1995). Kemudian penelitian Patmawati
(2015) juga menunjukkan hasil analisis karakteristik responden pada
kelompok kasus kusta menurut jenis kelamin yaitu laki-laki 86 orang (70,5%)
dan perempuan 36 orang (29,5%). Lebih lanjut, hasil penelitian Nabila, dkk.
(2012) didapatkan jenis kelamin laki-laki sejumlah 90 penderita (75%),
sedangkan perempuan sejumlah 30 penderita (25%).
Sebuah teori lain menyebutkan bahwa laki-laki lebih banyak menderita
kusta karena laki-laki kurang memperhatikan kebersihan diri dibandingkan
dengan perempuan (Varkevisser, 2009). Hal tersebut terbukti pada penelitian
di Kota Tangerang Selatan dimana 73,7% responden laki-laki memiliki
kebiasaan mandi ≤2 kali sehari.
Perempuan tidak selalu lebih banyak menderita kusta dibandingkan laki-
laki. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Yuniarasari (2014) yang hasilnya
adalah penderita kusta lebih banyak terjadi pada perempuan yaitu 57,7% (30
56
orang). Penelitian oleh Nurcahyati (2016) juga menunjukkan hasil perempuan
penderita kusta lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki yaitu sebesar
52,7% (29 orang). Muharry (2014) melakukan penelitian di Kecamatan Tirto
Kabupaten Pekalongan, hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian kusta. Hasil analisis
yang sama terdapat pada penelitian Yuniarasari (2014).
Berbicara tentang kaitan jenis kelamin dengan kejadian kusta, hal ini tidak
luput dari faktor adat istiadat. Pada awalnya, laki-laki sebagai kepala keluarga
dituntut bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Namun, seiring
berjalannya waktu, saat ini sudah banyak wanita yang bekerja dan menjadi
tulang punggung keluarganya (Manyullei, 2012).
Berdasarkan penjelasan di atas, baik laki-laki maupun perempuan
memiliki potensi untuk menderita penyakit kusta. Walaupun pada beberapa
penelitian laki-laki cenderung lebih banyak menderita kusta. Maka dari itu,
masyarakat disarankan untuk memakai pakaian panjang untuk meminimalisasi
kontak kulit dengan penderita kusta serta lebih peduli akan kebersihan diri dan
lingkungan.
3. Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan upaya persuasi atau pembelajaran kepada
masyarakat agar masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan/praktik untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Tingkat pendidikan dianggap
sebagai salah satu unsur yang menentukan pengalaman dan pengetahuan
seseorang, baik dalam ilmu pengetahuan maupun dalam kehidupan sosial
(Notoatmodjo, 2005; Budioro, 1997). Tingkatan pendidikan menurut Undang-
57
Undang No 20 Tahun 2003 adalah: Pendidikan dasar/rendah (SD–
SMP/MTs); Pendidikan Menengah (SMA/SMK/Sederajat); dan Pendidikan
Tinggi (Perguruan Tinggi).
Penelitian di Kota Tangerang Selatan, hasilnya adalah sebagian besar
penderita kusta berpendidikan rendah (76,5%). Hasil penelitian oleh
Patmawati, dkk. (2015) menunjukkan bahwa proporsi tingkat pendidikan
responden terbanyak adalah tidak tamat sekolah dasar yaitu 38 (62,3%).
Warsini (2007) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan penderita kusta yang
paling banyak adalah pendidikan SD ke bawah sebesar 63,9 %. Tidak hanya
itu, penelitian oleh Martomijoyo (2014) didapatkan data sebanyak 29 (80,6 %)
responden memiliki tingkat pendidikan rendah (< SD-SMP). Ratnawati (2016)
menyatakan bahwa tingkat pendidikan memiliki hubungan yang bermakna
dengan kejadian penyakit kusta. Tingkat pendidikan merupakan faktor risiko
kejadian penyakit kusta dimana orang yang berpendidikan rendah berpeluang
terjangkit penyakit kusta 4,375 kali lebih besar dibandingkan dengan orang
yang berpendidikan tinggi. Martomijoyo (2014) juga menunjukkan adanya
hubungan antara faktor pendidikan dengan kejadian penyakit kusta. Jadi,
pendidikan merupakan faktor yang sangat berperan dalam penyebaran dan
penularan penyakit kusta. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka
semakin mudah menerima dan memahami berbagai macam informasi yang
diberikan kepadanya.
Selain itu pendidikan juga berpengaruh terhadap pencegahan penyakit
kusta. Hal tersebut diungkapkan oleh Notoatmodjo (2005) bahwa pendidikan
berpengaruh terhadap upaya agar masyarakat menjaga kesehatannya. Hal ini
58
dibuktikan oleh penelitian Setyaningrum (2013) yang menyatakan terdapat
hubungan antara tingkat pendidikan dengan praktik pencegahan penularan
kusta. Selain itu, hal tersebut didukung dengan persentase praktik pencegahan
penyakit kusta yang kurang baik pada responden yang berpendidikan rendah
(28,6%).
Selain penelitian Setyaningrum (2013), penelitian di Kota Tangerang
Selatan menunjukkan hasil yang sejalan. Jika dilihat antara pendidikan dengan
kebiasaan meminjam handuk, sebanyak 81% responden yang memiliki tingkat
pendidikan rendah juga memiliki kebiasaan meminjam handuk yang berisiko.
Data tersebut membuktikan bahwa semakin tinggi pendidikan maka akan
berpengaruh pula terhadap praktik pencegahan penyakit kusta. Dalam hal ini,
mengurangi kebiasaan meminjam handuk merupakan salah satu upaya
pencegahan penularan penyakit kusta. Seperti yang telah dinyatakan oleh
Entjang (2000) faktor risiko higiene perorangan yang mempengaruhi terhadap
penularan penyakit kusta diantaranya adalah penggunaan handuk secara
bergantian. Hal ini terjadi karena kusta menurut para ahli kusta menular
melalui saluran pernafasan dan kulit (kontak langsung yang lama dan erat),
kuman mencapai permukaan kulit melalui folikel rambut dan kelenjar keringat
(Mansjoer, 2000).
Berdasarkan uraian di atas pendidikan merupakan salah satu faktor yang
berperan dalam praktik pencegahan penyakit kusta, oleh karena itu tenaga
kesehatan di Puskesmas setempat diharapkan dapat membantu masyarakat
terutama yang memiliki pendidikan rendah, dalam meningkatkan kesadaran
akan pentingnya pencegahan terhadap penyakit kusta melalui penyuluhan.
59
Pendidikan kesehatan menjadi faktor yang sangat penting, pendidikan
kesehatan bertujuan untuk membantu individu mengendalikan kesehatannya
dengan memengaruhi, memungkinkan, dan menguatkan keputusan atau
tindakan sesuai dengan nilai dan tujuan mereka dalam hal ini terkait dengan
kesehatan (Maulana, 2009). Didukung oleh literatur yang menyebutkan bahwa
pendidikan kesehatan berperan dalam melakukan intervensi faktor perilaku
sehingga perilaku seseorang sesuai dengan nilai-nilai kesehatan dikemukan
oleh Green dalam Notoatmodjo (2003).
Kemudian dengan bertambahnya informasi serta pengetahuan masyarakat
melalui pendidikan kesehatan tentang penyakit kusta diharapkan dapat
menghilangkan stigma dalam masyarakat dengan mengubah paham
masyarakat terhadap penyakit kusta serta menurunkan transmisi penyakit
kusta pada tingkat tertentu sehingga kusta tidak menjadi masalah kesehatan
masyarakat. Selain itu menggunakan handuk masing-masing merupakan salah
satu upaya pencegahan penularan penyakit kusta.
4. Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan adalah hasil dari tahu.
Seseorang biasanya mendapatkan pengetahuan setelah orang tersebut
melakukan penginderaan terhadap suatu obyek. Penginderaan biasanya terjadi
melalui panca indera manusia seperti indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa, dan raba. Namun sebagian besar pengetahuan manusia
diperoleh melalui mata dan telinga.
Perilaku seseorang dapat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan. Penelitian
Tamsuri (2010) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan
60
dan perilaku pasien dalam upaya pencegahan penularan penyakit kusta.
Fitriani (2011) menyetujui hal tersebut, Fitriani memberikan contoh apabila
seseorang yang sedang mengalami reaksi kusta mendapat informasi tentang
kusta (penyebab, gejala, penanganan, dan sebagainya), maka pengetahuan
yang didapat akan membawa orang tersebut untuk berpikir dan berperilaku
yang tepat bagaimana cara menghadapi kusta agar kusta tidak menjadi parah
dan tidak menularkan kepada orang lain.
Menyambung literatur yang disampaikan oleh Fitriani (2011), selanjutnya
yang akan di bahas adalah item-item pertanyaan yang terdapat dalam
kuesioner tentang tingkat pengetahuan responden. Item-item tersebut terdiri
dari penyebab penyakit kusta, tanda dan gejala, cara penularan, usia dan
tempat penularan penyakit kusta. Berikut ini adalah rincian dari item tersebut:
a. Penyebab kusta
Penyebab penyakit kusta adalah bakteri dengan nama Mycobacterium
Lepra. Penyakit tersebut menyerang saraf tepi (perifer) dan kulit.
Kerusakan saraf tepi pada penderita kusta dapat menimbulkan cacat dan
kelumpuhan pada tangan, kaki dan wajah (Irianto, 2014). Hasil penelitian
di Kota Tangerang Selatan menunjukkan bahwa 64,7% responden
menjawab item pertanyaan penyebab penyakit kusta dengan benar. Hal
tersebut membuktikan bahwa pengetahuan responden tentang penyebab
penyakit kusta cukup baik. Apabila penyebab penyakit kusta diketahui,
diharapkan masyarakat juga dapat melakukan pencegahan pertumbuhan
dan penularan bakteri tersebut terutama pada ruang lingkup rumah masing-
masing.
61
b. Tanda Dan Gejala Penyakit Kusta
Menurut Kemenkes RI (2015) salah satu gejala kusta antara lain adalah
terjadinya penebalan dan pembengkakan pada bercak di kulit tubuh.
Diketahui bahwa responden yang menjawab item pertanyaan tersebut
dengan benar hannya 41,2%. Kusta erat kaitannya dengan faktor
pengetahuan. Ketidaktahuan akan tanda dan gejala penyakit kusta
menyebabkan mereka tidak segera berobat padahal penderita yang belum
menjalani pengobatan dapat menularkan kusta kepada orang lain. Hal
inilah yang biasanya menyebabkan terjadinya ledakan penderita baru di
suatu daerah (Susanto, 2006). Sesuai dengan pernyataan tersebut, menurut
Depkes RI (2012) pasien yang sudah minum obat MDT tidak akan
menularkan penyakitnya kepada orang lain.
Selain itu rendahnya pengetahuan responden tentang kusta berdampak
pada rendahnya kesadaran penderita dalam melakukan perawatan diri.
Responden yang memiliki pengetahuan yang rendah tentang kusta,
mengakibatkan ketidaktahuan akan akibat buruk yang ditimbulkan oleh
kusta seperti cacat fisik (Kazeem dan Adegun, 2011).
c. Cara penularan
Penularan terjadi jika M. Leprae yang hidup keluar dari tubuh
penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Secara teoritis penularan
ini terjadi dengan kontak yang lama dengan penderita. Tempat masuk
kuman kusta ke dalam tubuh pejamu diperkirakan adalah melalui saluran
pernapasan bagian atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh
(Kemenkes RI, 2007).
62
Pada item pertanyaan “Penyakit kusta ditularkan melalui transfusi
darah dengan penderita kusta” hanya 20,6% responden yang mampu
menjawab dengan benar. Rendahnya pengetahuan responden tentang cara
penularan penyakit kusta menyebabkan sulitnya memutus mata rantai
penularan penyakit kusta sehingga pemberantasan kusta sulit tercapai. Hal
tersebut sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Harahap (2010) dan
Ranque, dkk. (2007), tujuan utama pemberantasan penyakit kusta adalah
memutus rantai penularan untuk menurunkan insidensi penyakit,
mengobati dan menyembuhkan penderita serta mencegah kecacatan.
d. Usia
Menurut Kemenkes RI (2012) kusta diketahui terjadi pada semua umur
yang berkisar antara bayi sampai dengan usia lanjut atau dengan kata lain
kusta dapat menyerang dari umur tiga minggu sampai dengan umur lebih
dari 70 tahun, namun penderita kusta yang terbanyak adalah pada usia
produktif yaitu kisaran 15 – 64 tahun. Hasil penelitian di Kota Tangerang
Selatan menunjukkan sebanyak 29,4% responden menjawab dengan benar
item pertanyaan usia yang paling banyak diserang penyakit kusta.
Pengetahuan responden tentang umur yang paling banyak diserang
penyakit kusta rendah, sehingga diharapkan semua kelompok umur harus
mencegah penularan penyakit kusta dengan melakukan vaksin BCG sejak
dini serta melakukan deteksi dini dan pengobatan MDT jika terdiagnosa
memiliki penyakit kusta sesuai dengan anjuran Kemenkes RI (2012).
63
e. Tempat Penularan Penyakit Kusta
Kuman kusta di luar tubuh manusia dapat hidup 24 – 48 jam bahkan
ada yang berpendapat hingga 7 – 9 hari tergantung pada suhu dan cuaca di
luar tubuh manusia tersebut. Kuman kusta hidup pada lingkungan yang
lembab, jadi cahaya matahari harus masuk ke dalam rumah untuk
mematikan kuman kusta (Kemenkes RI, 2015). Berdasarkan penelitian di
Kota Tangerang Selatan, 52,9% responden benar dalam menjawab item
pertanyaan “Penyakit kusta mudah menyebar pada lingkungan yang
lembab dan jarang terkena sinar matahari”. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa pengetahuan responden tentang tempat penularan penyakit kusta
sudah cukup baik. Hal ini berbanding lurus dengan hasil penelitian
lingkungan fisik rumah berupa variabel jenis lantai yang hasilnya sangat
baik yaitu 94,1 % responden memiliki jenis lantai rumah yang kedap air.
Pada penelitian di Kota Tangerang Selatan, rendahnya tingkat pengetahuan
masyarakat tentang kusta terlihat dari banyaknya responden yang tidak
mengetahui tanda dan gejala, cara penularan dan usia yang paling sering
diserang penyakit kusta.
Menurut Susanto (2006) kusta sangat erat kaitannya dengan pengetahuan.
Penderita kusta yang mempunyai pengetahuan rendah biasanya tidak segera
memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan, padahal penderita yang tidak
melakukan pengobatan dapat menularkan kusta kepada orang lain. Kondisi
tersebut mengakibatkan terjadinya ledakan kejadian kusta di masyarakat. Jadi
dapat dikatakan bahwa pengetahuan rendah secara tidak langsung dapat
mengakibatkan ledakan kejadian kusta. Kondisi tersebut terjadi di Kota
64
Tangerang Selatan. Menurut Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan (2014),
Tangerang Selatan merupakan wilayah otonomi baru yang cukup banyak
ditemukan penderita kusta. Angka penemuan penderita kusta di kota
Tangerang Selatan tahun 2008 (9 orang); 2009 (20 orang); 2010 (48 orang);
2011 (49 orang); 2012 (73 orang); 2013(68 orang). Dari data tersebut dapat
disimpulkan bahwa penderita kusta di kota Tangerang Selatan dari tahun 2008
sampai dengan tahun 2013 terus mengalami peningkatan dengan total
penderita yang tercatat mencapai 267 penderita. Tingkat pendidikan yang
rendah diyakini menjadi penyebab terus meningkatnya penderita kusta di Kota
Tangerang Selatan setiap tahunnya karena berdasarkan penelitian di Kota
Tangerang Selatan mayoritas responden memiliki tingkat pendidikan yang
rendah yaitu 55,90 %.
Penelitian-penelitian lain yang mengungkapkan hasil tingkat pengetahuan
rendah dilakukan oleh Tamsuri (2010) yang menunjukkan bahwa terdapat 22
responden (50 %) berpengetahuan tidak baik tentang penyakit kusta di
Kecamatan Tanjunganom Kabupaten Nganjuk. Hasil penelitian Suwoyo, dkk.
(2010) menunjukkan bahwa sebagian besar responden berpengetahuan kurang.
Penelitian Tamsuri menunjukkan hasil uji statistik ada hubungan antara
pengetahuan dan perilaku pasien dalam upaya pencegahan penularan penyakit
kusta. Penelitian oleh Muharry (2014) juga menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan kejadian kusta.
Seseorang yang berpengetahuan buruk mempunyai risiko 2,464 kali lebih
besar menderita kusta dibandingkan dengan seseorang yang berpengetahuan
baik.
65
Soemirat (2009) menambahkan, masyarakat dengan pengetahuan tentang
kesehatan yang rendah maka keadaan kesehatan lingkungannya pun buruk
demikian juga status kesehatannya. Apabila dilihat antara tingkat pengetahuan
dengan luas ventilasi rumah pada penelitian di Kota Tangerang Selatan
menunjukkan hasil yang sejalan. Hasil penelitian tersebut adalah 58,8%
responden yang tingkat pengetahuannya rendah memiliki ventilasi rumah yang
berisiko yaitu ≤10% dari luas lantai (Kepmenkes RI No. 829/Menkes/SK/
VII/1999). Seperti yang kita ketahui, ventilasi yang berisiko dapat
menghambat pertukaran udara sehingga dapat menularkan penyakit kepada
orang lain melalui udara. Selain itu ventilasi yang baik membuat sinar
matahari dan udara dapat masuk sehingga dapat mencegah pertumbuhan
bakteri (Makinan, 2012).
Berdasarkan penjabaran di atas, petugas kesehatan perlu lebih banyak
melakukan kegiatan penyuluhan kepada masyarakat ataupun pada penderita.
Sesuai dengan pendapat Mubarak (2011) bahwa pengalaman merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang. Pengalaman yang
didapat dari penyuluhan yang rutin dari petugas kesehatan diharapkan dapat
meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta. Terlebih lagi,
meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang penyebab, tanda dan gejala,
cara penularan dan tempat penularan seharusnya dapat mengurangi penularan
penyakit kusta di masyarakat sehingga pemberantasan penyakit kusta bisa
dicapai.
66
5. Jenis Pekerjaan
Notoatmodjo (2012) mengungkapkan bahwa jenis pekerjaan dibagi
menjadi :1) Pedagang; 2) Buruh/Tani; 3) PNS; 4) TNI/POLRI: 5)
Pensiunan; 6) Wiraswasta dan 7) Ibu Rumah Tangga. Hasil penelitian di
kota Tangerang Selatan menunjukkan bahwa sebanyak 17 orang (50 %)
penderita kusta memiliki pekerjaan sebagai buruh/tani.
Selain penelitian di Kota Tangerang Selatan, penelitian dari Ellyke
(2012) juga menunjukkan sebagian besar (41,7%) penderita kusta di
Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember bermatapencaharian sebagai
buruh tani. Penelitian lain dilakukan oleh Muchtar, dkk. (2009) dimana pada
penelitian tersebut penderita kusta memiliki jenis pekerjaan yang terbanyak
adalah petani dengan persentase 57,5%.
Penelitian lain yang juga menjukkan hasil yang sama dilakukan oleh
Firmansyah, dkk. (2013) tentang hubungan persepsi penderita tentang
dukungan keluarga dengan keteraturan perawatan dan pengobatan pada
penderita kusta di Kecamatan Banjarharjo Kabupaten Brebes dimana
mayoritas penderita kusta bekerja sebagai buruh/tani yaitu sebesar 50%.
Seperti yang telah kita ketahui pekerjaan sebagai buruh/tani seringkali
kontak dengan tanah dan juga lingkungan yang kotor, padahal tanah dan
lingkungan kotor merupakan tempat yang baik untuk perkembangbiakan
bakteri. Hal ini dibenarkan oleh Amirudin (2012) yang mengatakan bahwa
bakteri kusta atau dikenal dengan Mycrobacterium leprae dapat hidup di
luar tubuh manusia, yaitu pada tanah hingga 46 hari.
67
Tarmisi, dkk. (2016) menunjukkan bahwa kebersihan individu
masyarakat di Desa Air Panas masih kurang baik. Hal tersebut dipangaruhi
salah satunya oleh jenis pekerjaan masyarakat yang rata-rata sebagai petani
sehingga sering berada pada lingkungan yang kotor dan tidak sehat dan
kesibukan mereka pada pertanian menyebabkan kurangnya perhatian
terhadap kebersihan individu. Kondisi tersebut sesuai dengan teori yang
menyatakan bahwa seseorang dengan pekerjaan yang berat dengan gaya
hidup yang tidak sehat dapat menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh
orang tersebut, sehingga dapat mempercepat pertumbuhan bakteri penyebab
penyakit kusta (Scollard, 1994).
Kemudian apabila kita membandingkan antara jenis pekerjaan dengan
jenis kelamin, hasilnya adalah sebanyak 72,7% penderita kusta yang
berprofesi sebagai buruh/tani berjenis kelamin laki-laki sedangkan
perempuan hanya 8,3%. Jika dilihat dari perbandingan antara jenis pekerjaan
dengan jenis kelamin, laki-laki memiliki kecenderungan yang lebih besar
untuk tertular penyakit kusta. seperti yang telah kita ketahui, tingginya
jumlah kusta pada laki-laki kemungkinan karena gaya hidup laki-laki,
seperti adanya kecenderungan laki-laki untuk tidak memakai pakaian di
kehidupan sehari-hari diyakini meningkatkan kemungkinan risiko tertular
kusta melalui kontak kulit (Noordeen, 1994).
Berdasarkan uraian di atas, sebagian besar responden memiliki
matapencaharian sebagai petani dan berjenis kelamin laki-laki. Sesuai
dengan pendapat Noordeen (1994) yang menyatakan bahwa laki-laki lebih
mudah terserang kusta karena kecenderungan untuk tidak memakai pakaian
68
dalam kehidupan sehari-hari, maka setiap orang harus memakai pakaian
pada keseharian terutama saat beraktifitas di luar rumah, seperti saat bekerja.
Hal tersebut dilakukan untuk memperkecil kemungkinan tertular bakteri
kusta dari kontak kulit.
6. Riwayat Kontak
Riwayat kontak merupakan riwayat seseorang kontak dengan penderita
kusta. Penularan penyakit kusta dapat terjadi melalui kontak langsung yang
lama dan erat melalui saluran pernapasan bagian atas dan melalui kontak kulit
(Depkes RI, 2012). Menurut Depkes RI (2007) kontak dengan penderita kusta
dikatakan berisiko jika >2 tahun dan tidak berisiko jika kontak terjadi ≤2
tahun.
Pernyataan tersebut dibuktikan oleh penelitian Tarmizi, dkk. (2016) yang
menunjukkan bahwa dari 27 responden yang mempunyai riwayat kontak
serumah dengan penderita kusta, 16 responden (76,2 %) diantaranya
mengalami kejadian kusta. Berdasarkan uji statistik, orang dengan riwayat
kontak serumah berisiko tertular penyakit kusta 15,127 kali lebih besar
dibandingkan dengan tidak ada riwayat kontak serumah dan bermakna secara
signifikan.
Lain hal nya dengan hasil penelitian di Kota Tangerang Selatan didapatkan
bahwa sebagian besar penderita kusta memiliki riwayat kontak serumah yang
tidak berisiko (≤ 2 tahun) yaitu 29 orang (85,30 %). Penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara lama
kontak dengan kejadian kusta di wilayah kerja puskesmas Gunem dan
puskesmas Sarang Kabupaten Rembang, dimana sebagian besar responden
69
tidak memiliki risiko lama kontak dengan anggota keluarga yang menderita
kusta yaitu sebanyak 84,6% (Yuniarasari, 2014). Berdasarkan penelitian
tersebut, banyak responden yang tidak memiliki riwayat kontak dengan
anggota keluarga yang didiagnosa menderita penyakit kusta. Sedangkan
responden yang memiliki anggota keluarga yang dinyatakan menderita kusta
telah mendapatkan pengobatan secara teratur. Depkes RI (2007) menyatakan
bahwa penderita penyakit kusta yang telah minum obat sesuai regimen WHO
tidak menjadi sumber penularan kepada orang lain. Selain itu Menurut
Fischer, dkk. (2008) selain kontak serumah, kontak sosial memiliki faktor
risiko penularan berkali-kali lebih tinggi dibandingkan dengan kontak
serumah dengan penderita kusta.
Berbagai literatur memberikan pendapat yang berbeda-beda mengenai
pengaruh kontak terhadap kejadian kusta. maka dari itu, dapat disimpulkan
bahwa orang yang berisiko tertular kusta tidak terbatas pada anggota keluarga
secara langsung hidup di dalam rumah yang sama dengan penderita kusta.
Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa peristiwa kontak cenderung lebih
sering dan intens serta risiko lebih tinggi pada kelompok yang berada di
rumah yang sama dengan penderita, namun kelompok dengan kontak tetangga
dan kontak sosial tampaknya tidak dapat diabaikan begitu saja (Moet, dkk.
2006).
Teori yang dikemukakan oleh Entjang (2008) bahwa perbaikan personal
hygiene dapat mencegah terjadinya penyakit menular salah satunya penyakit
kusta. Meskipun penyakit kusta yang ditularkan melalui kontak langsung
dengan kulit yang lama serta akibat pergaulan yang rapat dan berulang-ulang,
70
namun penyakit ini dapat hilang dengan sendirinya jika ada usaha perbaikan
personal hygiene. Maka dari itu, perlu perbaikan kebersihan individu perlu
dilakukan untuk mencegah penularan penyakit kusta. Selain itu deteksi dini
juga disarankan kepada orang yang memiliki riwayat kontak dengan penderita
kusta sesuai dengan pendapat WHO (2010) yang mengungkapkan bahwa
kontak serumah dengan penderita kusta seringkali memunculkan penderita
kusta baru, Untuk itu keluarga dekat penderita kusta direkomendasikan untuk
melakukan pemeriksaan setiap tahun hingga lebih dari 6 tahun.
Selain itu vaksinasi BCG pada kontak serumah merupakan salah satu
upaya pengendalian atau pemutusan rantai penularan kusta. Vaksinasi BCG
adalah vaksin yang menyebabkan peningkatan kekebalan tubuh terhadap
terhadap kusta (Meima, dkk. 2004). Berdasarkan penelitian yang dilakukan di
Malawi, vaksinasi BCG satu dosis dapat memberikan perlindungan sebesar
50% terhadap kusta, dan dua dosis dapat memberikan perlindungan terhadap
kusta hingga 80%. Akan tetapi, penemuan ini belum menjadi kebijakan
program di Indonesia dan masih memerlukan penelitian yang lebih lanjut
(Depkes RI, 2007).
7. Personal Hygiene
Menurut Perry (2005) personal hygiene merupakan suatu tindakan untuk
memelihara kebersihan serta kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik
dan psikis. Personal hygiene yang sangat penting diterapkan pada penderita
kusta diantaranya adalah perawatan kulit. Kebersihan ini sangat penting
karena kulit merupakan pertahanan tubuh yang pertama dari kuman penyebab
penyakit. Kulit berfungsi untuk menerima berbagai macam rangsangan dari
71
luar tubuh serta menjadi pintu masuk utama kuman penyakit ke dalam tubuh.
Bila kulit bersih dan terpelihara, maka dapat terhindar dari berbagai penyakit,
gangguan atau kelainan (Tarwoto, 2006).
Dalam penelitian ini terdapat beberapa komponen personal hygiene yang
dijadikan sebagai variabel penelitian. Diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Kebiasaan Mandi
Mandi merupakan salah satu sarana untuk membersihkan kotoran yang
ada di badan, terutama di kulit karena kulit merupakan salah satu aspek
vital yang perlu diperhatikan dalam hygiene perorangan. Kulit merupakan
pembungkus elastik yang berfungsi untuk melindungi tubuh dari pengaruh
lingkungan sehingga diperlukan perawatan yang cukup agar dapat
mempertahankan fungsinya (Isro’in dan Andarmoyo, 2012).
Menurut Wolf (2004) mandi 2 kali sehari merupakan suatu keharusan
untuk menjaga kenyamanan tubuh. Mandi dapat menyegarkan dan
melepaskan dari rasa gelisah serta terhindar dari bau badan yang kurang
sedap. Selain untuk kenyamanan fisik, mandi juga merupakan kebutuhan
integritas kulit supaya tubuh dapat terhindar dari berbagai macam penyakit
infeksi. Sejalan dengan teori dari Wolf, Soedarto (2009) mengatakan
bahwa memelihara personal hygiene atau kebersihan pribadi dapat
mengurangi terjadinya penularan dan penyebaran penyakit kusta. Praktik
personal hygiene bertujuan untuk peningkatan kesehatan dimana kulit
merupakan garis pertahanan pertama untuk melawan infeksi (Potter dan
Perry, 2006).
72
Sejalan dengan teori tersebut, penelitian Muharry (2014) menyebutkan
bahwa personal hygiene adalah faktor yang berhubungan dengan kejadian
kusta. Variabel kebersihan perorangan dalam penelitian tersebut
diantaranya adalah kebiasaan mandi. Dalam penelitian ini personal
hygiene buruk mempunyai risiko 12,103 kali lebih besar menderita kusta
dibandingkan dengan seseorang yang memiliki kondisi kebersihan
perorangan baik. Penelitian di Kota Tangerang Selatan pun menunjukkan
hasil yang sejalan yakni sebanyak 55,90% penderita kusta memiliki
kebiasaan mandi yang buruk. Winarsih (2013) juga mengungkapkan
bahwa mayoritas responden memiliki personal hygiene buruk sebanyak 33
orang atau 78,6% Hal tersebut tentu semakin menguatkan bahwa
kebiasaan mandi merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan
kejadian kusta.
Mubarak (2009) menambahkan bahwa personal hygiene yang baik
yaitu dengan cara membiasakan diri untuk mandi minimal 2 kali sehari,
menggunakan sabun yang tidak bersifat iritatif, gunakan sabun keseluruh
tubuh terutama area lipatan kulit, jangan gunakan sabun mandi untuk
wajah dan yang terakhir keringkan tubuh menggunakan handuk setelah
mandi. Personal hygiene yang kurang kurang baik dapat terjadi akibat
beberapa faktor diantaranya adalah faktor usia, tingkat pengetahuan atau
perkembangan individu dan lingkungan tempat tinggal. Berdasarkan
penelitian di Kota Tangerang Selatan, sebanyak 68,4% penderita kusta
yang pengetahuannya rendah memiliki kebiasaan mandi <2 kali sehari.
Hasil tersebut mendukung pernyataan Mubarak yang mengatakan salah
73
satu faktor kebersihan diri yang buruk dipengaruhi oleh tingkat
pengetahuan.
Pengetahuan merupakan hal penting dalam membentuk perilaku
seseorang. Infeksi penderita kusta dipengaruhi oleh pengetahuan yang
dimiliki masyarakat karena pengetahuan dapat mempengaruhi personal
hygiene dari penderita kusta tersebut. Pengetahuan yang baik akan
menghasilkan perilaku pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan
yang baik pula (Fitriani, 2011; Perry dan Potter; 2006; Notoatmodjo,
2012). Terbukti dengan hasil penelitian Wibowo dan Wahyuni (2013), dari
69 responden dengan pengetahuan tinggi tentang kusta sebanyak 68 orang
memiliki personal hygiene yang baik.
Berdasarkan uraian di atas, kebiasaan mandi yang buruk dapat
menimbulkan risiko untuk tertular kusta. Oleh karena itu, perbaikan
kebersihan diri harus ditingkatkan untuk mencegah penularan penyakit
kusta dengan cara membiasakan diri untuk mandi minimal 2 kali sehari
serta keringkan tubuh menggunakan handuk setelah mandi.
b. Kebiasaan Meminjam Pakaian
Menurut Irianto (2007), pakaian banyak menyerap keringat yang
dikeluarkan oleh kulit. Pakaian bersentuhan langsung dengan kulit
sehingga apabila pakaian yang kotor dan basah karena keringat makan
akan menjadi tempat berkembangnya bakteri di kulit. Selain itu pakaian
yang basah oleh keringat akan menimbulkan bau yang tidak sedap. Seperti
yang telah kita ketahui kuman kusta dapat masuk ke dalam tubuh pejamu
melalui saluran pernapasan bagian atas dan melalui kontak kulit
74
(Kemenkes RI, 2007). Maka dari itu, penularan penyakit kusta yang
ditularkan melalui kontak kulit sangat erat kaitannya dengan kebiasaan
meminjam pakaian, karena pakaian bersentuhan langsung dengan kulit
ketika dipakai.
Menjaga kebersihan diri (personal hygiene) untuk mencegah penyakit
tersebut sangat diperlukan mengingat seperti yang telah disampaikan
sebelumnya bahwa penyakit kusta dapat menular melalui kontak langsung
yang lama dan erat melalui permukaan kulit dan kelenjar keringat (Depkes
RI, 2006).
Salah satu upaya kebersihan diri yang dapat dilakukan agar terhindar
dari penyakit kusta yaitu dengan cara menjadi kebersihan kulit. Dalam
kaitannya dengan kebersihan badan, pakaian juga memiliki peran penting
dalam mencegah penularan suatu penyakit, terutama penyakit kulit. Untuk
itu penggantian pakaian secara rutin harus dilakukan dan tidak dianjurkan
untuk bertukar pakaian dengan orang lain, terutama mereka yang memiliki
riwayat penyakit kulit menular (Sjamsunir, 1978). Rudolph (2008)
memiliki pandangan yang sama yakni hindari bertukar pakaian dengan
orang lain untuk mencegah penularan penyakit kusta.
Penelitian yang meneliti tentang kebiasaan meminjam pakaian
dilakukan oleh Susanti, dkk. (2016), dari 64 orang yang menderita kusta,
terdapat 37 orang (57,8 %) yang mempunyai personal hygiene buruk.
Salah satu item yang di ditanyakan pada kuesioner adalah kebiasaan
meminjam pakaian pada responden. Simunati (2013) juga menunjukkan
75
hasil yang sejalan yaitu mayoritas responden (66%) tidak menjaga
kebersihan tubuh dengan baik.
Berdasarkan hasil penelitian di Kota Tangerang Selatan, penderita
kusta sebagian besar memiliki kebiasaan meminjam pakaian yang berisiko
yaitu 22 orang (64,70 %). Apabila dilihat dari kebiasaan meminjam
pakaian dengan tingkat pendidikan, 61,5% responden yang mempunyai
kebiasaan meminjam pakaian berisiko berpendidikan rendah. Kondisi
tersebut menunjukkan bahwa tindakan seseorang dalam pencegahan
penyakit dipengaruhi oleh tingkat pendidikan.
Menurut Wahit (2012) tindakan kebersihan diri salah satunya dapat
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan seseorang. Jadi dapat disimpulkan
bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin baik pula
kemampuan mereka dalam menyerap informasi yang diterima, sehingga
informasi tersebut dapat mereka terapkan dalam kehidupan sehari hari
yang terwujud dalam tindakan pencegahan penularan penyakit kusta.
Tindakan pencegahan penularan penyakit kusta yang baik maka risiko
penularan penyakit kusta pun semakin berkurang. Demikian pula yang
disampaikan oleh Riyanto dan Budiman (2013) dimana pendidikan adalah
faktor yang mempengaruhi proses belajar seseorang. Semakin tinggi
pendidikan maka semakin mudah orang tersebut dalam menerima dan
memahami informasi yang didapatnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, kebiasaan meminjam pakaian yang
berisiko kemungkinan dapat disebabkan oleh tingkat pendidikan yang
rendah pada responden. Maka dari itu, masyarakat diharapkan dapat
76
meningkatkan perilaku menjaga kebersihan individu dalam mencegah
penularan penyakit kusta, salah satu diantaranya dengan cara menghindari
kebiasaan menggunakan pakaian secara bergantian dengan orang lain.
c. Kebiasaan Meminjam Handuk
Pemakaian handuk yang tidak terpisah merupakan salah satu faktor
hygiene perorangan yang dapat memengaruhi penularan kusta
(Faturrahman, 2010). Rudolph (2008) juga mengatakan bahwa salah satu
tindakan yang dapat dilakukan untuk pencegahan penularan penyakit kusta
antara lain dengan tidak memakai peralatan mandi milik orang lain.
Hal serupa juga dinyatakan oleh Lita (2005), menurut Lita handuk
sebaiknya tidak boleh dipakai secara bersama-sama karena dapat dengan
mudah menularkan bakteri dari penderita ke orang lain. Apabila handuk
tidak pernah dijemur dibawah terik matahari atau tidak dicuci dalam
jangka waktu yang lama maka kemungkinan jumlah bakteri yang ada pada
handuk semakin banyak dan berisiko untuk menularkan penyakit kepada
orang lain.
Berdasarkan hasil penelitian di Kota Tangerang tentang distribusi
penderita kusta berdasarkan personal hygiene, dapat diketahui bahwa
penderita kusta paling banyak memiliki kebiasaan meminjam handuk yang
berisiko yaitu 21 orang (61,80 %). Menurut penelitian Tarmizi, dkk (2016)
kebiasaan masyarakat di Desa Air Panas yang menjadi responden dalam
penelitian tersebut sering menggunakan handuk secara bergantian dengan
anggota keluarga yang lain. Hal itu sangat memungkinkan untuk menjadi
sarana penularan kuman kusta.
77
Kebiasaan meminjam handuk yang dalam penelitian ini digolongkan
sebagai perilaku personal hygiene, erat kaitannya dengan tingkat
pengetahuan seseorang. Teori determinan perilaku kesehatan dari
Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2003) menyimpulkan bahwa salah
satu hal yang mempengaruhi perilaku adalah pengetahuan. Informasi yang
diperoleh individu dapat membangun sikap dan persepsi sebagai dasar
untuk bertindak.
Teori dari Lawrence Green dibuktikan oleh penelitian di Kota
Tangerang Selatan Tahun 2017. Dapat diketahui bahwa 57,1% penderita
kusta di Kota Tangerang Selatan yang memiliki pengetahuan rendah
memiliki kebiasaan meminjam handuk anggota keluarga lain. Hal ini tentu
semakin memperkuat bahwa tingkat pengetahuan mempengaruhi perilaku
seseorang untuk melakukan tindakan pencegahan terhadap penularan
penyakit kusta. Sejalan dengan penelitian di Kota Tangerang Selatan,
penelitian Tamsuri (2010) menunjukkan hasil terdapat hubungan antara
pengetahuan dan perilaku pasien dalam upaya pencegahan penularan
penyakit kusta di wilayah kerja Puskesmas Tanjunganom Kabupaten
Nganjuk.
Berdasarkan uraian yang telah dibahas sebelumnya, diketahui bahwa
kebiasaan menggunakan handuk secara bersama-sama dapat menyebabkan
penularan penyakit kusta kepada orang lain. Oleh karena itu, masyarakat
diharapkan dapat menghindari penggunaan handuk secara bergantian
dengan anggota keluarga lain untuk meminimalisasi risiko penularan
penyakit kusta. Sesuai dengan pernyataan Entjang (2000) bahwa personal
78
hygiene dapat mencegah terjadinya penyakit menular. Penyakit kusta dapat
hilang dengan sendirinya jika ada usaha perbaikan personal hygiene.
Tubuh yang terjaga kebersihannya akan terlindungi dari kuman penyebab
penyakit.
8. Kebiasaan Membersihkan Lantai Rumah
Menurut Depkes RI (2006) jenis lantai dengan plester yang retak atau
berdebu serta tidak kedap air berpotensi terhadap keberadaan bakteri M.
Leprae. Kuman kusta mampu hidup di luar tubuh manusia dan dapat
ditemukan pada tanah atau debu di sekitar lingkungan rumah penderita. Di
luar tubuh manusia (dalam kondisi tropis) kuman kusta dari sekret nasal dapat
bertahan sampai 9 hari. Oleh karena itu, membersihkan lantai dengan
antiseptik menjadi hal yang sangat penting karena dapat mengurangi potensi
keberadaan kuman kusta di lantai rumah.
Pelczar dan Chan (2005) mengungkapkan bahwa antiseptik merupakan
suatu bahan yang menghambat atau membunuh mikroorganisme dengan
mencegah pertumbuhan atau menghambat aktivitas metabolism
mikroorganisme. Diketahui bahwa antiseptik mengandung bahan fenol,
dimana fenol merupakan salah satu germisidal kuat yang telah digunakan
dalam jangka waktu yang panjang. Germisidal adalah kemampuan suatu
senyawa antiseptik untuk membunuh mikroorganisme dalam jangka waktu
tertentu (Campbell, 2004).
Suatu literatur menyebutkan bahwa akumulasi debu, tanah atau
kontaminasi mikroba lain pada permukaan secara estetik tidak menyenangkan
dan juga merupakan sumber infeksi. Membersihkan debu dalam hal ini
79
menjadi penting untuk mengurangi jumlah mikroorganisme yang dapat
menularkan penyakit serta mengupayakan lingkungan yang bersih (Tietjen,
2004). Penggunaan antiseptik adalah penting untuk optimalisasi pengurangan
mikroorganisme.
Penelitian terhadap pasien rawat jalan kusta Poliklinik Kusta RSUD
Tugurejo dilakukan oleh Rismawati (2013) yang menunjukkan bahwa 80%
pasien tidak membersihkan lantai dengan antiseptik. Kemudian berdasarkan
hasil penelitian, penderita kusta di Kota Tangerang Selatan sebagian besar
memiliki kebiasaan membersihkan lantai yang berisiko yaitu 64,70 %. Selain
itu apabila dilihat antara kebiasaan membersihkan lantai rumah dengan jenis
lantai, didapatkan hasil sebanyak 90,9% responden yang memiliki laintai
kedap air, memiliki kebiasaan membersihkan lantai yang berisiko.
Berdasarkan penjelasan di atas, perlu adanya usaha untuk mengupayakan
lingkungan yang bersih dengan cara membersihkan lantai rumah
menggunakan antiseptik. Selain itu, masyarakat juga perlu diberi informasi
tentang pentingnya antiseptik dalam membersihkan lantai rumah.
C. Distribusi Kejadian Kusta Berdasarkan Faktor Lingkungan Fisik Rumah
Faktor risiko penularan berbagai jenis penyakit khususnya penyakit berbasis
lingkungan salah satunya adalah konstruksi rumah dan lingkungan yang tidak
memenuhi syarat kesehatan. Menurut WHO, rumah yang terlalu sempit dapat
mengakibatkan penyakit bagi para penghuni. Seharusnya rumah dapat memenuhi
persyaratan teknis dan hygiene yaitu tidak terlalu padat penghuni, keadaan
ventilasi baik, pencahayaan cukup, kelembaban rumah memenuhi syarat dengan
80
ketentuan jenis lantai dan dinding rumah kedap air serta atap rumah dalam
keadaan baik agar tidak terjadi kebocoran (Dirjen P2PL, 2005).
Menurut penelitian dari Muharry (2014) menunjukkan bahwa penyebab
penyebaran penyakit kusta adalah lingkungan fisik rumah. Seseorang yang
memiliki lingkungan fisik rumah buruk mempunyai risiko 10,532 kali lebih besar
menderita kusta dibandingkan dengan seseorang yang memiliki lingkungan fisik
rumah baik.
1. Suhu Rumah
M. Leprae bertahan hidup lama dalam temperatur kamar dapat
mempertinggi risiko penularan kusta antar anggota keluarga yang menderita
penyakit kusta. Pertumbuhan optimal kuman kusta pada suhu 270 - 300 C
(Depkes RI, 2012). Jika suhu di dalam rumah terlalu pengap maka rumah
tersebut berpotensi menyebarkan kuman kusta (Depkes RI, 2006).
Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian di Kota Tangerang Selatan
mendapati bahwa mayoritas penderita kusta memiliki suhu rumah yang
berisiko (suhu rumah 270 – 300 C) yaitu 23 orang (67,60 %). Sejalan dengan
penelitian ini, Rismawati (2013) memperoleh hasil bahwa ada hubungan
antara suhu rumah dengan kejadian kusta. Responden dengan suhu rumah
berisiko memiliki risiko 4,295 kali lebih besar menderita kusta bila
dibandingkan responden dengan suhu rumah tidak berisiko. Penelitian lain
yang menunjukkan hasil yang sama dilakukan oleh Faturahman (2011) yang
menunjukkan adanya hubungan antara suhu rumah dengan kejadian kusta di
Kabupaten Cilacap.
81
Lain halnya dengan penelitian Ellyke (2012) yang menunjukkan bahwa
suhu tidak berhubungan dengan kejadian kusta di Kecamatan Jenggawah
Kabupaten Jember. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Yuniarasari (2014)
yang hasilnya tidak terdapat hubungan antara suhu dan kejadian kusta di kerja
Puskesmas Gunem dan Puskesmas Sarang Kabupaten Rembang.
Suhu rumah bukan menjadi variabel berdiri sendiri yang berperan dalam
penularan penyakit kusta karena menurut Depkes RI (2006) suhu didalam
rumah dipengaruhi oleh jumlah penghuni di dalam rumah dan luas rumah
yang ditempati. Ketidakseimbangan antara jumlah penghuni dalam rumah dan
luas rumah akan mengakibatkan peningkatan suhu di dalam rumah dan
keadaan ini dapat menularkan penyakit kusta. Penelitian di Kota Tangerang
Selatan mendukung pernyataan tersebut, hasil analisis menunjukkan bahwa
dari responden yang memiliki suhu rumah berisiko, sebanyak 64,3% memiliki
kepadatan hunian rumah yang berisiko (<4 m2 per orang). Kondisi tersebut
tentu semakin memperkuat pernyataan bahwa pengingkatan suhu di rumah
adalah akibat jumlah penghuni di dalam rumah.
Suhu rumah yang berisiko ditambah dengan kepadatan hunian yang
berisiko pula tentu merupakan kondisi yang sangat mengkhawatirkan karena
pada keadaan tersebut penyakit kusta dapat dengan mudah ditularkan kepada
orang lain. Hal tersebut dikuatkan oleh literatur yang mengatakan bahwa
jumlah penghuni di dalam ruangan akan berpengaruh terhadap kadar oksigen,
uap air dan juga suhu ruangan tersebut. Kepadatan hunian yang tidak
memenuhi syarat akan mengganggu pertukaran udara bersih di dalam ruangan
sehingga kebutuhan akan udara bersih tidak terpenuhi. Semakin banyak
82
jumlah penghuni ruangan maka semakin cepat udara di dalam ruangan
menjadi tercemar dan timbulnya bakteri di ruangan tersebut (Suharmadi,
1995).
Suyono (1985) menambahkan bahwa semakin banyaknya penghuni di
dalam ruangan maka kadar oksigen bebas menurun sebanyak 0,04% sehingga
sistem imun penghuninya menurun. Selain itu ruangan sempit membuat nafas
menjadi sesak dan mudah tertular penyakit dari anggota keluarga lain.
Berdasarkan penjabaran mengenai pengaruh suhu rumah terhadap kejadian
kusta, menyesuaikan jumlah penghuni di dalam rumah sesuai dengan syarat
rumah yang sehat menjadi sangat penting untuk dilakukan, mengingat hal
tersebut dilakukan untuk mewujudkan suhu di dalam rumah yang sesuai
dengan standar kesehatan sehingga kuman kusta tidak mudah berkembang di
dalam rumah dan penularan penyakit kusta pun dapat diatasi.
2. Pencahayaan Alami di dalam Rumah
Kuman kusta di luar tubuh manusia dapat hidup 24 – 48 jam bahkan ada
yang berpendapat hingga 7 – 9 hari tergantung pada suhu dan cuaca di luar
tubuh manusia. Jadi, sinar matahari harus masuk ke dalam rumah dan jangan
sampai terdapat tempat yang lembab di dalam rumah karena semakin panas
cuaca makan kuman kusta juga akan lebih cepat mati (Kemenkes RI, 2015).
Menyambung pernyataan dari Kemenkes RI, Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1077/Menkes/Per/V/2011 Tentang Pedoman
Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah menetapkan pencahayaan alami di
dalam rumah agar tidak menjadi tempat berkembangnya kuman kusta minimal
60 lux.
83
Efek negatif dari pencahayaan alami di dalam rumah yang kurang
dijelaskan oleh Amirrudin, dkk. (2003). Kurangnya cahaya yang masuk ke
dalam rumah menyebabkan kelembaban yang tinggi. Kondisi ini merupakan
media tumbuh yang baik bagi kuman kusta dan mikroorganisme lainnya.
Kelembaban tinggi menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering
sehingga kurang efektif dalam menghalangi mikroorganisme.
Berdasarkan penelitian di Kota Tangerang Selatan, sebagian besar
responden memiliki pencahayaan alami di dalam rumah <60 lux, yang artinya
pencahyaan tersebut tidak memenuhi syarat atau berisiko menjadi tempat
untuk tumbuhnya bakteri kusta. Persentase responden dengan pencahyaan
alami di dalam rumah yang berisiko adalah sebesar 55,90 %. Penelitian
Nurcahyati, dkk. (2016) menunjukkan hasil yang sejalan yaitu mayoritas
responden yang mengalami kusta mempunyai lingkungan dengan kondisi
yang tidak baik, salah satunya pencahayaan alami di dalam rumah.
Penelitian yang juga sejalan dilakukan oleh Patmawati (2015) diketahui
bahwa tingkat pencahayaan rumah responden yang kurang dari 60 lux ( tidak
memenuhi syarat) sebanyak 83 orang (70,3%) dan hasil uji statistik
memperlihatkan bahwa terdapat hubungan antara pencahayaan rumah dengan
kejadian penyakit kusta.
Selain itu, berdasarkan penelitian Faturahman (2011) yang dilakukan pada
70 sampel di Kabupaten Cilacap bahwa pencahayaan rumah yang tidak
memenuhi syarat berisiko 6 kali lebih besar untuk terjadinya kusta
dibandingkan ruangan yang pencayahaannya baik. Tingkat pencahayaan pada
rumah penderita kusta dimana sinar matahari tidak dapat langsung masuk dan
84
menyinari ruangan, disebabkan karena sebagian besar rumah mempunyai
jendela dan ventilasi yang tidak memenuhi syarat. Keterkaitan antara
pencahayaan alami di dalam rumah dengan ventilasi juga dibuktikan oleh
penelitian di Kota Tangerang Selatan, dari seluruh responden yang
pencahayaan alami di dalam rumahnya berisiko, 64,7% diantaranya memiliki
ventilasi rumah yang berisiko pula.
Hasil penelitian yang menunjukkan adanya kaitan antara pencahayaan
alami di dalam rumah dengan ventilasi didukung oleh literatur yang
dikemukakan oleh Susanta (2001) yang menyatakan bahwa salah satu fungsi
ventilasi adalah sebagai jalan masuk sinar ultraviolet ke dalam ruangan
dimana seperti yang telah diketahui bahwa M. leprae dapat terbunuh oleh
sinar ultraviolet. Hal yang sama dinyatakan oleh Makinan (2012), menurut
beliau ventilasi yang memenuhi syarat membuat sinar matahari dan udara
dapat masuk sehingga dapat mencegah pertumbuhan bakteri (Makinan, 2012).
Namun penelitian oleh Ratnawati (2016) menunjukkan hasil yang bertolak
belakang dimana pencahayaan rumah tidak memiliki hubungan yang
bermakna dengan kejadian kusta. Sebenarnya semua cahaya pada dasarnya
dapat mematikan, namun tergantung pada jenis dan lama cahaya tersebut
menyinari ruangan (Notoatmodjo, 2003a), jadi hal tersebut memungkinkan
adanya hasil penelitian yang bertolak belakang.
Berdasarkan penjabaran di atas, mayoritas responden di Kota Tangerang
Selatang mempunyai pencahayaan alami di dalam rumah yang berisiko (<60
lux). Oleh karena itu, membuka jendela pada siang hari menjadi penting sesuai
dengan teori yang dikemukakan Susanta (2001) yang menyatakan bahwa
85
kondisi ventilasi terbuka pada siang hari membuat udara dapat mengalir
sehingga tidak pengap dan lembab. Seperti yang telah diketahui udara yang
pengap dan lembab merupakan kondisi yang baik untuk perkembangan kuman
kusta.
3. Jenis Lantai
Menurut Kepmenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang ketentuan
persyaratan kesehatan rumah tinggal menyatakan bahwa lantai rumah harus
kedap air dan mudah dibersihkan. Lantai yang memenuhi syarat kesehatan
adalah lantai yang terbuat dari semen/tegel/ubin/keramik dan tidak rusak
kondisinya. Amirudin (2012) juga mengatakan bahwa jenis bahan bangunan
rumah akan mempengaruhi jumlah debu dalam rumah, Mycrobacterium
leprae juga dapat bertahan hidup ditanah hingga 46 hari.
Menurut Sanropie, dkk. (1989), lantai memiliki kemungkinan lebih besar
dalam untuk lebih cepat kotor dibandingkan dengan permukaan bangunan
lain, seperti langit-langit dan dinding. Telah terbukti bahwa dengan
membunuh kuman-kuman yang terdapat di lantai dan semua permukaan dapat
menurunkan kemungkinan infeksi melalui luka terbuka yang ada di
permukaan tubuh. Menurut beliau juga, lantai tanah sebaiknya tidak
digunakan lagi karena bila musim hujan akan lembab sehingga dapat
menimbulkan penyakit terhadap penghuninya. Karena itu perlu dilapisi
dengan lapisan yang kedap air seperti disemen, dipasang tegel, keramik.
Jenis lantai dengan plester yang retak atau berdebu serta tidak kedap air
berpotensi terhadap keberadaan bakteri M. Leprae. Kuman kusta mampu
hidup di luar tubuh manusia dan dapat ditemukan pada tanah atau debu di
86
sekitar lingkungan rumah penderita. Di luar tubuh manusia (dalam kondisi
tropis) kuman kusta dari sekret nasal dapat bertahan sampai 9 hari (Depkes RI,
2006). Oleh karena itu meskipun jenis lantai kedap air menjaga kebersihan
lantai dan memilihara dari kerusakan tetap perlu dilakukan.
Suatu penelitian di Kota Tangerang Selatan menunjukkan hasil yang
bertolak belakang. Diketahui bahwa sebagian besar responden kusta yang
memiliki jenis lantai kedap air yaitu 94,1%. Penelitian lain terkait jenis lantai
dilakukan oleh Rismawati (2013) terhadap pasien rawat jalan kusta Poliklinik
Kusta RSUD Tugurejo yang menunjukkan bahwa hanya 45% pasien kusta
memili kondisi rumah dengan lantai tidak kedap air sedangkan 55% lainnya
memiliki lantai rumah yang kedap air. Hasil penelitian Rismawati (2013) juga
menunjukkan bahwa jenis lantai tidak berhubungan dengan kejadian kusta.
Selain faktor jenis lantai, ternyata kebiasaan membersihkan lantai rumah
pun menjadi salah satu faktor yang perlu di pertimbangkan. Penelitian yang
menunjukkan adanya hubungan antara kebiasaan membersihkan lantai rumah
dengan menggunakan antiseptik di lakukan oleh Rismawati (2016). Hasil
serupa juga diperoleh dari hasil penelitian di Kota Tangerang Selatan yaitu
dari seluruh responden yang memiliki lantai kedap air 90,9% diantaranya
memiliki kebiasaan membersihkan lantai yang berisiko yaitu membersihkan
lantai tidak menggunakan antiseptik.
Penelitian oleh Faturahman (2011) juga menunjukkan hasil yang berbeda
yaitu terdapat hubungan antara jenis lantai dengan kejadian kusta. Penelitian
lain dilakukan oleh Nurcahyati (2016) yang menunjukkan bahwa mayoritas
responden yang mengalami kusta mempunyai lingkungan dengan kondisi
87
yang tidak baik, antara lain mempunyai rumah dengan lantai yang tidak kedap
air. Penelitian oleh Ratnawati (2016) pun mengungkapkan hal yang sama
dimana kondisi lantai rumah memiliki hubungan yang bermakna dengan
kejadian penyakit kusta. Orang yang tinggal di dalam rumah dengan lantai
yang tidak memenuhi syarat kesehatan 8,846 kali lebih berpeluang tertular
penyakit kusta dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan kondisi lantai
rumah yang sehat.
Berdasarkan uraian di atas, terdapat beberapa penelitian menunjukkan
adanya hubungan antara jenis lantai dengan kejadian kusta, adapula yang
menujukkan hasil sebaliknya. Selain faktor jenis lantai, ternyata kebiasaan
membersihkan lantai rumah pun menjadi salah satu faktor yang perlu di
pertimbangkan. Oleh karena itu masyarakat diharapkan untuk menjaga
kebersihan lingkungan rumah terutama kebersihan lantai. Misalnya selalu
membersihkan lantai rumah dengan menggunakan antiseptik.
4. Luas Ventilasi Rumah
Ventilasi merupakan usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang
menyenangkan dan menyehatkan bagi kehidupan manusia. Penilaian luas
ventilasi rumah diukur dengan cara membandingkan antara luas ventilasi dan
luas lantai rumah. Secara umum menurut Kepmenkes RI No. 829/Menkes/SK/
VII/1999 luas ventilasi yang memenuhi syarat adalah ≥10% dari luas lantai.
Ventilasi yang tidak memenuhi syarat memiliki dampak buruk yaitu
pertukaran udara ataupun oksigen yang terdapat di dalam rumah menjadi
berkurang sehingga dapat menyebabkan penyakit yang dapat menular lewat
udara dapat ditularkan dengan mudah kepada orang yang serumah dengan
88
penderita. Ventilasi yang memenuhi syarat membuat sinar matahari dan udara
dapat masuk sehingga dapat mencegah pertumbuhan bakteri (Makinan, 2012).
Hal yang sama dikemukakan oleh Susanta (2001) yang menyatakan bahwa
kondisi ventilasi yang berada dalam keadaan terbuka pada siang hari
merupakan syarat yang menentukan kualitas udara. Ventilasi terbuka membuat
udara dapat mengalir sehingga tidak pengap dan lembab. Seperti yang telah
diketahui udara yang lembab berpotensi sebagai tempat hidup
mikroorganisme. Mikroorganisme yang berada di udara diduga sebagai
penyebab gejala berbagai penyakit antara lain penyakit kulit. Kuman di udara
dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara salah satunya dari
debu yang berterbangan. Ruangan yang kotor akan berisi udara yang banyak
mengandung mikroorganisme. Agar pertukaran udara dalam ruangan berjalan
dengan baik, perlu dibuat ventilasi silang. Fungsi ventilasi lainnya adalah
sebagai jalan masuk sinar ultraviolet ke dalam ruangan dimana seperti yang
telah diketahui bahwa M. leprae dapat terbunuh oleh sinar ultraviolet.
Penelitian yang juga memperlihatkan pengaruh ventilasi terhadap kejadian
kusta dilakukan di Kota Tangerang Selatan yang hasilnya adalah responden
yang memiliki luas ventilasi rumah yang berisiko adalah sebanyak 50 %.
Kemudian penelitian Norlatifah, dkk. (2010) menunjukan bahwa secara
statistik terdapat hubungan yang bermakna antara kondisi fisik rumah dengan
kejadian kusta. Rumah responden banyak yang tidak memiliki ventilasi lebih
dari 10% dari luas lantai. Sejalan dengan penelitian tersebut Nurcahyati, dkk.
(2016) menunjukkan bahwa mayoritas responden yang mengalami kusta
mempunyai lingkungan dengan kondisi yang tidak baik, salah satunya adalah
89
ventilasi yang berisiko. Penelitian oleh Rismawati (2013) juga menunjukkan
adanya hubungan antara luas ventilasi dengan kejadin kusta.
Penelitian lain yang menyatakan hasil yang sama dilakukan oleh
Patmawati (2015) yang mengatakan bahwa ventilasi yang tidak memenuhi
syarat merupakan faktor risiko kejadian kusta. Hasil penelitian di Kabupaten
Poliwali Mandar menunjukkan bahwa responden yang mempunyai rumah
dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko mengalami
kusta 3,4 kali lebih tinggi daripada responden yang mempunyai rumah dengan
ventilasi memenuhi syarat.
Teori dari Makinan (2012) dan Susanta (2001) yang mengatakan bahwa
ventilasi dapat mempengaruhi masuknya cahaya matahari ke dalam rumah di
dukung oleh hasil penelitian di Kota Tangerang. Dari seluruh responden yang
memiliki luas ventilasi rumah yang berisiko 57,9% diantaranya memiliki
pencahayaan alami di dalam rumah <60 lux. Berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1077/Menkes/Per/V/2011 Tentang
Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah menetapkan pencahayaan
alami di dalam rumah agar tidak menjadi tempat berkembangnya kuman kusta
minimal 60 lux. Jadi dapat disimpulkan bahwa dari seluruh responden yang
memiliki ventilasi berisiko 57,9% diantaranya memiliki pencahyaan alami di
dalam rumah yang berisiko untuk media tumbuhnya kuman kusta. Kesimpulan
ini menunjukkan bahwa luas ventilasi menentukan jumlah cahaya matahari
yang dapat masuk ke dalam rumah.
Berdasarkan penjabaran tersebut, masyarakat diharapkan untuk
membiasakan diri untuk selalu membuka jendela ataupun ventilasi yang
90
berada di rumah. Sesuai dengan pendapat Susanta (2001) yang menyatakan
bahwa kualitas udara ditentukan oleh kondisi ventilasi yang terbuka sehingga
udara dapat mengalir dan tidak pengap serta lembab, dimana udara lembab
dapat menjadi tempat hidup M. Leprae.
5. Kepadatan Hunian kamar
Kepadatan hunian ruang tidur adalah perbandingan antara luas ruang tidur
dengan jumlah individu yang menempati ruang tidur tersebut (Keman, 2005).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.829/Menkes/SK/VII/1999
tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, luas kamar tidur minimal 8 m2 dan
tidak dianjurkan untuk ditempati lebih dari 2 orang dalam satu ruang tidur.
Artinya kepadatan hunian kamar tidur tidak memenuhi syarat jika <4 m2 per
orang.
Suyono (1985) mengungkapkan dampak negatif dari kepadatan hunian
kamar yang tidak memenuhi syarat. Menurut Suyono, semakin banyaknya
penghuni di dalam ruangan maka kadar oksigen bebas dalam ruangan
menurun sebanyak 0,04% sehingga sistem imun penghuninya menurun,
ruangan yang sempit membuat nafas menjadi sesak dan mudah tertular
penyakit dari anggota keluarga lain.
Penelitian di Kota Tangerang Selatan menemukan hasil yang kurang baik
karena terdapat 41,20% responden yang memiliki kepadatan hunian kamar
yang berisiko. Kepadatan hunian kamar yang berisiko pada penelitian tersebut
adalah kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat yaitu <4 m2 per orang
sesuai yang telah dijelaskan oleh Menteri Kesehatan RI
No.829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan.
91
Penelitian oleh Nurcahyati, dkk. (2016) menunjukkan adanya hubungan
antara kepadatan hunian dengan kejadian kusta di Kecamatan Konang dan
Kecamatan Geger. Hasil penelitian lain yang sejalan adalah penelitian yang
dilakukan oleh Tarmizi (2016) dan penelitian oleh Kora (2016) di Kabupaten
Maluku Tenggara Barat yang menyatakan bahwa responden yang mempunyai
hunian yang padat memiliki peluang untuk mengalami kejadian kusta 6 – 7
kali lebih tinggi daripada responden dengan hunian yang memenuhi syarat.
Penelitian oleh Rismawati (2013) menunjukkan hasil yang sama yaitu ada
hubungan antara kepadatan hunian kamar dengan kejadian kusta.
Hasil penelitian Tarmizi (2016) kebanyakan responden memiliki status
sosial dan ekonomi rata-rata rendah. Didapatkan bahwa satu rumah dihuni
oleh keluarga yang terdiri dari bapak, ibu, anak-anak dan bahkan cucu.
Akibatnya terjadilah kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat dan
menyebabkan tingginya risiko peneluran penyakit infeksi dalam hal ini
penyakit kusta.
Akan tetapi pada penelitian Ellyke (2012) menyatakan bahwa dari hasil uji
statistik disimpulkan tidak terdapat hubungan antara kejadian kusta dengan
kepadatan hunian di Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember. Kepadatan
hunian tidak berhubungan dengan penyakit kusta, Hal ini diduga karena pada
penelitian tersebut semua responden (100%) suhu di dalam kamar tidurnya
memenuhi syarat. Seperti yang telah diketahui sebelumya bahwa M. Leprae
dapat tumbuh dengan optimal pada suhu 270 - 300 C. Namun pada penelitian
tersebut seluruh responden memiliki suhu kamar yang memenuhi syarat
dimana kuman kusta tidak dapat berkembang pada suhu tersebut.
92
Apabila melihat pengaruh kepadatan hunian dan suhu rumah terhadap
kejadian kusta di Kota Tangerang Selatan, didapatkan dari seluruh responden
yang memiliki kepadatan hunian berisiko 64,3% diantaranya memiliki suhu
rumah yang berisiko pula. Hal tersebut dikuatkan oleh literatur yang
mengatakan bahwa jumlah penghuni di dalam ruangan akan berpengaruh
terhadap kadar oksigen, uap air dan juga suhu ruangan tersebut. Kepadatan
hunian yang tidak memenuhi syarat akan mengganggu pertukaran udara bersih
di dalam ruangan sehingga kebutuhan akan udara bersih tidak terpenuhi.
Semakin banyak jumlah penghuni ruangan maka semakin cepat udara di
dalam ruangan menjadi tercemar dan timbulnya bakteri di ruangan tersebut
(Suharmadi, 1995).
Tentunya hasil tersebut membuktikan bahwa kepadatan hunian berpotensi
untuk mempengaruhi suhu ruangan. Kepadatan hunian yang tidak memenuhi
syarat ditambah dengan suhu rumah yang optimal untuk perkembangbiakan
kuman kusta tentu dapat meningkatkan kemungkinan munculnya penderita
kusta baru dan juga terjadinya penularan penyakit kusta.
Berdasarkan uraian di atas, penderita kusta memiliki kepadatan hunian
yang berisiko. Masyarakat sebaiknya bisa melakukan usaha pengendalian,
yaitu dengan cara mengatur jumlah anggota keluarga yang tidur di dalam satu
kamar sesuai dengan standar rumah sehat untuk menghindari terjadinya
kepadatan hunian agar risiko kejadian penyakit kusta dapat dikurangi. Selain
itu, anggota keluarga yang menderita penyakit sebaiknya tidur terpisah dengan
anggota keluarga lain.
93
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang gambaran faktor host dan lingkungan
fisik rumah pada penderita kusta di Kota Tangerang Selatan Tahun 2017 dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Distribusi Kejadian Kusta Berdasarkan Host
Kejadian Kusta mayoritas terjadi pada kelompok usia produktif dengan
persentase sebesar 88,2%. Kejadian kusta sebagian besar terjadi pada jenis
kelamin laki-laki sebesar 64,7%. Tingkat pendidikan pada penderita kusta
paling banyak adalah pendidikan rendah sebesar 76,5 %. Tingkat pengetahuan
pada penderita kusta paling banyak adalah pengetahuan rendah yaitu sebesar
55,90%. Jenis pekerjaan yang ditekuni penderita kusta paling banyak yaitu
buruh/tani sebesar 50%. Penderita kusta yang memiliki riwayat kontak yang
berisiko sebesar 14,70 %. Penderita kusta yang memiliki kebiasaan mandi
yang berisiko sebesar 55,90%. Penderita kusta yang memiliki kebiasaan
meminjam pakaian yang berisiko yaitu sebesar 64,7%. Penderita kusta yang
memiliki kebiasaan meminjam handuk yang berisiko yaitu sebesar 61,8%.
Penderita kusta yang kebiasaan membersihkan lantai rumah yang berisiko
yaitu sebesar 64,7%.
2. Distribusi Kejadian Kusta Berdasarkan Lingkungan Fisik Rumah
Penderita kusta paling banyak memiliki suhu rumah yang berisiko yaitu
sebesar 67,6%. Penderita kusta paling banyak memiliki pencahayaan alami di
94
dalam rumah yang berisiko yaitu sebesar 55,90%. Penderita kusta memiliki
jenis lantai rumah yang berisiko yaitu 5,9%. Penderita kusta yang memiliki
luas ventilasi rumah yang berisiko yaitu sebesar 50%. Penderita kusta yang
memiliki kepadatan hunian yang berisiko 41,2%.
B. Saran
1. Bagi Puskesmas
a. Menggiatkan penyuluhan tentang penyakit kusta kepada masyarakat
ataupun pada penderita. Penyuluhan yang rutin diharapkan dapat
meningkatkan pengetahuan sehingga masyarakat dapat meningkatkan
usaha pencegahan penularan penyakit kusta.
b. Bekerjasama dengan masyarakat dan stakeholder untuk melakukan
penemuan pasien secara aktif melalui kegiatan kunjungan pasien dan
pemeriksaan kontak, Rapid Village Survey (RVS), Chase Survey,
Pemeriksaan Sekolah Dasar, Leprosy Elimination Campaign (LEC)
dan Special Action Program for Elimination Leprosy (SAPEL).
c. Mencatat data nama dan alamat rumah penderita kusta secara lengkap
agar mudah untuk melakukan kunjungan ke rumah penderita tersebut.
2. Bagi Masyarakat
a. Melakukan deteksi dini dan pengobatan MDT jika terdiagnosa
memiliki penyakit kusta.
b. Mengurangi risiko penularan kusta dengan cara memakai pakaian
panjang, menghindari penggunaan handuk secara bersama-sama,
mandi minimal 2 kali sehari dan menghindari kebiasaan menggunakan
pakaian secara bergantian dengan orang lain.
95
c. Meningkatkan usaha mewujudkan lingkungan yang bersih dan sehat
dengan cara membersihkan lantai rumah menggunakan antiseptik,
menyesuaikan jumlah penghuni di dalam kamar sesuai dengan syarat
rumah yang sehat dan membiasakan diri untuk membuka jendela pada
siang hari. Usaha-usaha tersebut dilakukan untuk mengurangi potensi
perkembangan kuman kusta di dalam lingkungan rumah.
3. Bagi Peneliti Lain
Peneliti selanjutnya sebaiknya melakukan penelitian yang menjelaskan
tentang hubungan masing-masing faktor dengan kejadian kusta, termasuk
faktor status vaksinasi BCG, status ekonomi dan kelembaban rumah.
Diketahuinya hubungan masing-masing faktor dengan kejadian kusta
diharapkan dapat memutus penularan penyakit kusta. Seperti yang telah
diketahui mata rantai penularan penyakit kusta dapat diputus melalui
intervensi yang sesuai.
96
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, UF. 2011. Dasar-Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Jakarta:
Rajawali Pers. Ali, PM and Prasad KVN. 1966. Contact surveys in leprosy. Lepr Rev 37: 173–
182. Amirudin MD, Hakim Z, Darwis E. 2003. Diagnosis Penyakit Kusta. Dalam:
Sjamsoe-Daili ES, Menaldi SL, Ismiarto SR, dkk., Kusta, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Amirudin, MD. 2012. Penyakit Kusta Sebuah Pendekatan Klinis. Makassar: Brilian International.
Baker, DM., JS Nguyen Van Tam., SJ Smith. 1993. Protective Efficacy of BCG Vaccine Against Leprosy in Southern Malawi. Epidemiology Infection Volume 111 February 1993.
Budioro. 1997. Pengantar Ilmu Kesehatan Masyarakat, Semarang: FKM UNDIP. Campbell, J. B. Reece, L. G dan Mitchell. 2004. Biologi Edisi Kelima Jilid 3.
Jakarta: Erlangga. Chin , James. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular, Terjemahan oleh I
Nyoman Kandun. Jakarta : Infomedika. Darmaputra, IN, Fauzi N, dan Agusni, I. 2009. Kecacatan pada Penderita Kusta
Baru di Divisi Kusta URJ Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Periode 2004-2006. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 21/No. 1/April 2009. Hal. 9-17.
Das, V. 2006. Stigma, Contagion, Defect: Issues in the Antropology of Public Health.
Departemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman Nasional Pengendalian Kusta. Jakarta: Depkes RI.
Depdikbud. 1986. Tuntutan Pendidikan Kesehatan Perbadi. Jakarta. Depkes RI. 2005. Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta :
Depkes RI dan Ditjen PPM &PL. Depkes RI. 2006. Buku pedoman nasional pemberantasan penyakit kusta. Edisi
18. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Depkes RI. 2007. Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta :
Depkes RI.. Depkes RI. 2012. Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta :
Depkes RI Depkes RI. 2015. Menkes Canangkan Resolusi Jakarta Guna Hilangkan Stigma
dan Diskriminasi Kusta. Online. Tersedia: http://www.depkes.go.id/article/view/15012700001/menkes-canangkan-resolusi-jakarta-guna-hilangkan-stigma-dan-diskriminasi-kusta.html#sthash.AUT8vtzv.dpuf diakses pada 18 Juli 2016.
Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 2014. Profil Dinas Kesehatan Kota Tangerang Tahun 2013.
Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah, 2005, Penilaian Rumah Sehat, Semarang: DKP Jateng
97
Dinas Keshatan Kota Tangerang. 2011. Analisa Situasi Program Pemberantasan Penyakit Kusta Kota Tangerang Tahun 2011. Tangerang: Dinas Kesehatan Kota Tangerang.
Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. 2002. Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat. Jakarta: Departemen Kesehatan.
Ditjen PP&PL Kemenkes RI. 2012. Profil Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Djuanda, Adhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta :FKUI. Doull, JA, Guinto RC and Rodriguez JN, Bancroft H. 1945. Risk of Attack in
Leprosy in Relation to Age at Exposure. Am J Trop Med 25: 435–439. Dwi, S., Sri N., Isnani Z.A. 2012. Faktor Risiko Multidrug Resistant Tuberculosis
(MDR-TB). Jurnal Kemas, 8 (1): 60-66 Enis Gancar, 2009, Hubungan Karakteristik Rumah dengan Kejadian Kusta pada
Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Taman Kabupaten Pemalang, Skripsi : Universitas Diponegoro Semarang.
Entjang, Indan. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Faturahman, Yuldan. 2011. Prossiding seminar nasional faktor lingkungan fisik rumah yang berhubungan dengan penyakit kusta di Kabupaten Cilacap. Tasikmalaya: Universitas Siliwangi Press.
Firmasyah, Andry., Edi Soesanto dan Ernawati. 2013. Hubungan Persepsi Penderita Tentang Dukungan Keluarga Dengan Keteraturan Perawatan Dan Pengobatan Pada Penderita Kusta Di Kecamatan Banjarharjo Kabupaten Brebes. Jurnal Keperawatan Fikkes UMS Volume 6 Nomor 2 Tahun 2013.
Fischer, dkk. 2008. The spatial distribution of leprosy in four villages in Bangladesh:An observational study. The Netherlands: University Medical Center Rotterdam.
Fitriani, S. 2011. Promosi Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Harahap, Maruli. 2010. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates. Hargrave, J., Wallace, T., Lush, D. 2010. Guidelines for The Control of Leprosy
in The Northern Territory, 3rd edition, Departement of Health and Families www.nt.gov.au/health/cdc. Online. Diakses pada 09 Mei 2017.
IDAI. 2015. Melengkapi/Mengejar Imunisasi Bagian II. Online. Tersedia: http://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/melengkapi-mengejar-imunisasi-bagian-ii diakses pada 27 Juni 2017 pukul 21:52.
Irianto, K. 2007. Menguak Dunia Mikroorganisme. Bandung CV Yrama Widya. Irianto, K. 2014. Bakteriologi, Mikologi & Virology Panduan Medis &Klinis.
Jakarta: Alfabeta. Isro’in, L. Dan Andarmoyo, S. 2012. Personal Hygiene Konsep, Proses Dan
Aplikasi Dalam Praktik Keperawatan. Yogyakarta Graha Ilmu. Johnson, Christopher M. 2007. Cutting Edge: A Common Polymorphism Impairs
Cell Sur- face Trafficking and Functional Responses of TLR1 but Protects against Leprosy. The Journal of Immunology, 178(12): 7520-7524.
Kazeem, O and Adegun, T. 2011. Leprosy Stigma: Ironing out the creases. Lepr Rev. Vol. 82, 103-108.
Keman, Soedjajadi . 2005. Kesehatan perumahan dan lingkungan pemukiman. Jurnal Kesehatan Lingkungan.
98
Kemenkes RI. 2010. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2009. Jakarta : Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan.
Kemenkes RI. 2007. Pedoman nasional Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes RI. 2012. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kemenkes RI. 2015. Hari Kusta Sedunia 2015: Hilangkan Stigma! Kusta Bisa Sembuh Tuntas. Online. Tersedia: http://www.depkes.go.id/pdf.php?id=15012300020 diakses pada 30 Desember 2015
Kemenkes RI. 2015. Infodatin Kusta. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Tangerang Selatan. 2016. Tata Kawan Kumuh Tanpa Menggusur. Online. Tersedia: http://tangselpos.co.id/2016/07/21/tata-kawasan-kumuh-tanpa-menggusur/ diakses pada 30 Juni 2017 pukul 20;52.
Kepmenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang ketentuan persyaratan kesehatan rumah tinggal.
Ligia, RS Kerr-Pontes. 2006. Socioeconomic, environmental, and behavioural risk factors for leprosy in North-east Brazil: results of a case– control study. Int. J. Epidemiol., 35(4): 994- 1000
Lita, S. 2005. Perilaku Santri Dalam Upaya Pencegahan Penyakit Skabies di Pondok Pesantren Ulumu Qur’an Stabat. Medan: USU press.
Lubis, Arfan dan Sutopo. 2003. Kusta: Suatu Tinjauan Teoritis. Jurnal.Vol.4 no.1 Makinan, A. 2012. Karakteristik Lingkungan Fisik Rumah Penderita Kusta Di
Wilayah Puskesmas Nuangan Kecamatan Nuangan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur. (Online), http://ejurnal.fikk.ung.ac.id/index.php/PHJ/article/view/183 diakses pada 20 Mei 2017
Mansjoer, Arief. 2000, Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius Fakultas.
Manyullei, Syamsuar., dkk. 2002. Gambaran Faktor Yang Berhubungan Dengan Penderita Kustadi Kecamatan Tamalate Kota Makassar. Indonesian Journal of Public Health Vol. 1 No. 1 : 10 – 17 Juli 2012.
Maulana, H. 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC. Meima, Abraham, W. Cairns S, Smith, Gerrit J. Van Oortmassen, Jan
H.Richardus, J. Dik F. Habbema. 2004. The Future Incidence of Leprosy: a Scenario Analysis. Bulletin of the World Health Organization, Volume 82 No 5, hlm. 373-380.
Moet, F.J, Pahan D, Schuring R.P, Oskam L, Richardus J.H. 2006. Physical Distance,Genetic Relationship, Age and Leprosy Classifi cation are Independent Risk Factors for Leprosy in Contacts of Patients with Leprosy. Journal Infectious Disease 193 (3): 346-53.
Mubarak, Wahit Iqbal. 2009. Buku Ajar Keperawatan Manusia. Jakarta: Salemba Medika.
Mubarak, Wahit. 2011. Promosi Kesehatan Untuk Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.
99
Muchtar, SV, Amiruddin, MD, dan Yogi, Y. 2009. Lepromin Test pada Penderita Kusta. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 21/No. 1/April 2009. Hal. 18-24.
Muharry, Andy. 2014. Faktor Risiko Kejadian Kusta. Jurnal Kesehatan Masyarakat 9 (2) (2014) 174-182.
Mukono, H.J. 2006. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan: Edisi Kedua. Surabaya: Airlangga University Press.
Mundiatun dan Daryanto. 2015. Pengelolaan Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gava Media.
Nabila, Annisa Qoyyum., dkk. 2012. Profil Penderita Kusta di Rumah Sakit Kusta Kediri Periode Januari 2010 Sampai Desember 2010. Jurnal Saintika Medika ISSN: 0216-759X Volume 8 No 2 Desember 2012
Noordeen, SK. 1994. The Epidemiology of Leprosy. In: Hasting RC. Leprosy. Churchil Livingstone. Edinburg.
Norlatifah, dkk. 2010. Hubungan Kondisi Fisik Rumah, Sarana Air Bersih Dan Karakteristik Masyarakat Dengan Kejadian Kusta di Kabupaten Tapin Kalimantan Selatan. Jurnal Kesehatan Masyarakat Vol. 4 No. 3, September 2010 : 144 – 239.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip-prinsipDasar.Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003a. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2012. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo. (2012). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nurcahyati, Sri., Basuki, Hari. Dan Arief Wibowo. 2016. Sebaran Kasus Kusta Baru Berdasarkan Faktor Lingkungan Dan Sosial Ekonomi Di Kecamatan Konang Dan Geger Kabupaten Bangkalan. Jurnal Wiyata, Vol. 3 No. 1 Tahun 2016 P-ISSN 2355-6498.
Patmawati, dkk. 2015. Faktor Risiko Lingkungan dan Perilaku Penderita Kusta di Kabupaten Polewali Mandar. Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 43, No. 3, September 2015 : 207-212.
Pelczarm, M.J., dan Chan, E.C.S. 2005. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: UI Press.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1077/Menkes/Per/V/2011 Tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah
Peter, E.S., dkk. 2002. Male-Female (Sex) Diff erences in Leprosy Patients in South Eastern Nigeria: Female Present Late for Diagnosis and Treatment and Have Higher Rates of Deformity.73:262-267.
Perry dan Potter. 2006. Fundamental Keperawatan Edisi 4. Jakarta: EGC. Profil Kesehatan Provinsi Banten Tahun 2012. Dinas Kesehatan Provinsi Banten.
100
Rachmat, H. 2007. Program Pemberantasan Penyakit Kusta di Indonesia. Jakarta: Balai penerbit FKUI.
Amirudin, MD., Hakim, Z. dan Darwis E. 2007. Diagnosis Penyakit Kusta. Dalam Daili ES dkk editor. Jakarta; Balai Penerbit FKUI.
Raharjati, E. G. 2009. Hubungan Karakteristik Rumah dengan Kejadian Kusta (MorbusHansen) pada Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Taman Kabupaten Pemalang. Online. Tersedia: http://eprints.undip.ac.id/30630/1/3716.pdf diakses pada 21 Mei 2017.
Rajab, Wahyudin. 2009. Buku Ajar Epidemiologi untuk Mahasiswa Kebidanan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Ranade, MG and Joshi GY. 1995. Long-term follow-up of families in an endemic area. Indian J Lepr 67: 411–425.
Ranque, B., Nguyen V.T, Vu H.T, Nguyen T.H, Nguyen N.B, Pham X.K. 2007. Age is an Important Risk Factor for Onset and Sequelae of Reversal Reactions in Vietnamese Patients with Leprosy. Clinical Infectious Disease Vol. 44 No. 1. Maret 2007
Ratnawati. (2008). Hubungan Persepsi Mutu Pelayanan Kesehatan dengan Tingkat Kepatuhan Berobat Pasien Kusta di Puskesmas Kabupaten Blora. Jurnal Undip, Semarang.
Ratnawati, Riska. 2016. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Risiko Kejadian Penyakit Kusta (Morbus Hansen). Jurnal Tunas-Tunas Riset Kesehatan Volume VI Nomor 3, Agustus 2016
Rismawati, Dwina. 2013. Hubungan Sanitasi Rumah dengan Kusta MB. UJPH 2 (1) Unnes Journal of Public Health. Online. Tersedia: http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph diakses pada 09 Juni 2015.
Riyanto, A dan Budiman. 2013. Kapita Selekta Kuesioner Pengetahuan dan Sikap Dalam Penelitian Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.
Rudolph, Abraham. 2008. Buku Ajar Pediatrik. Jakarta: Salemba Medika. Sanropie, Djasio., Seoemini, Marlina, N., Poerwanto, P.,Wardoyo, Hernady, S.,
Prihatin, PE., Asmawidjaja, T., Sancoko., H., Sutena, M., Masra, F., Nerawati, ATD. 1989. Komponen Sanitasi Rumah Sakit Untuk Institusi Pendidikan Tenaga Sanitasi. Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan. Jakarta: Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan.
Sanropie D. (1992). Pedoman Bidang Studi Perencanaan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
Scollard, DM, Adams LB, Gillis TP, Krahenbuhl JL, Truman RW, Williams DL. The continuing challenges of Leprosy. Clin. Microbial. Rev 2006; 19 (2): 338-381.
Soedarto. 2009. Penyakit Menular di Indonesia.Jakarta: Sagung Seto. Soemirat, J. 2009. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press. Soemirat, J. 2011. Kesehatan Lingkungan. Gajah Mada University Press:
Yogyakarta. Sjamsunir, Adam. 1978. Hygiene Perseorangan, Jakarta:Bhatara Karya Aksara. Suharmadi. 1985. Perumahan Sehat. Bandung: Sekolah Pembantu Penelik
Hygiene, Depkes RI.
101
Sulidah. 2016. Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Masyarakat Terkait Kusta Terhadap Perlakuan Diskriminasi Pada Penderita Kusta. Jurnal Medika Respati Vol XI Nomor 3 Julil 2016 ISSN : 1907 - 3887 53.
SNI 03-2396- 2001 Tentang Tata Cara Perancangan Sistem Pencahayaan Alami Pada Bangunan Gedung.
Susanto, N. 2006. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Kecacatan Penderita Kusta (Kajian di Kabupaten Sukoharjo). Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.
Susanto. 2009. Penderita Kusta Di Indonesia Meningkat Tajam. http/www.eng.suaramedia.com/4834-rjenderita-kusta-di-indonesia-meningkat-taiam. Diakses 06 September 2016.
Suyono. 1985. Pokok Bahasan Modul Perumahan Dan Pemukiman Sehat. Jakarta:Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Depkes RI.
Tamsuri, Anas. 2010. Hubungan Pengetahuan Dan Perilaku Pencegahan Penularan Penyakit Kusta Di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjunganom Kabupaten Nganjuk. Jurnal AKP No. 2 Edisi 1 9 Juli – 31 Desember 2010.
Tarwoto, Wartonah. 2006. Keperawatan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Tietjen, Linda. 2004. Panduan Pencegahan Infeksi. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Timmreck, Thomas. 2004. Epidemiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: EGC. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Varkevisser, CM., Lever, P. 2009. Gender and Leprosy: Case Studies in
Indonesia, Nigeria, Nepal and Brazil. Lepr. Rev. (2009) 80. pp. 65-75. Vinay, Kulkarni. 2009. Human Immunodeficiency Virus and Leprosy Coinfection
in Pune, India. J. Clin. Microbiol., 47(9): 2998-2999. Warsini, S. 2007. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penularan Kusta pada
Kontak Serumah di Propinsi DIY dan Kabupaten Klaten. Tesis. Yogyakarta : Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
WHO. 1973. Standard Classification of Occupation. Online. Tersedia: http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---dgreports/---dcomm/---publ/documents/publication/wcms_172572.pdf diakses pada 18 Januari 2017.
WHO. 1997. MDT Question and Answers. Action Programme fot The Elimination of Leprosy.
WHO. 2010. Global Leprosy Situation 2010. Weekly Epidemiological Record No. 35, 337-338.
WHO. 2015. Global Leprosy Update, 2014: Need For Early Case Detection. Online. Tersedia: http://www.who.int/wer/2015/wer9036.pdf?ua=1 diakses pada 30 Desember 2015
WHO. 2015. Leprosy. Online. Tersedia: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs101/en/ diakses pada 30 Desember 2015.
WHO. 2017. Leprosy. Online. Tersedia: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs101/en/ diakses pada 27 Juni 2017 pukul 20:34.
102
Wibowo, Edi dan Wahyuni. 2013. Pengetahuan Penyakit Kusta Meningkatkan Perilaku Personal Hygiene Pada Penderita Kusta Di Puskesmas Padas Kabupaten Ngawi. Jurnal Infokes Volume 3 No. 2 Agustus 2013.
Wolf, W. 2000. Dasar-Dasar Ilmu Keperawatan. Penerbit Gunung Agung. Jakarta.
World Health Organization. 2013. Prevalence of Leprosy. Online. Tersedia: http://www.who.int/lep/sotuation/prevalence/en/index.html diakses pada 09 Juni 2015.
Yudied dkk, 2008, Kajian Pengendalian Potensial Faktor Risiko Penularan Penyakit Kusta dan Intervensinya di Puskesmas Pragaan Kabupaten Sumenep Tahun 2007, Buletin Human Media Volume 03 Nomor 03 September 2008.
Yuniarasari, Yessita. 2014. Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian Kusta. Unnes Journal of Public Health 3 (1) (2014).
Yuniarti Arsyad, dkk, 2011, Perbandingan Titer Antibodi Anti Phenolic Glycolipid-1 Pada Narakontak Serumah dan Narakontak Tidak serumah Penderita Kusta Tipe Multibasiler di Daerah Endemik Kusta Kabupaten Majene Sulawesi Barat, (Online), (http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/328431b90bce17969050e0d5f3df0480.pdf), diakses tanggal 18 November 2016.
Zulkifli. 2009. Penyakit Kusta dan Masalah yang Ditimbulkannya. Online. Tersedia: http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-zulkifli2.pdf diakses pada 09 Juni 2015.
103
LAMPIRAN
104
LAMPIRAN
Lampiran 1
GAMBARAN FAKTOR HOST DAN LINGKUNGAN FISIK RUMAH PADA PENDERITA KUSTA DI KOTA TANGERANG SELATAN
TAHUN 2017
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.
Saya Juwita Wijayanti, mahasiswa semester 10 Peminatan Kesehatan
Lingkungan Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sedang melakukan penelitian
“Gambaran Faktor Host dan Lingkungan Fisik Rumah Pada Penderita Kusta di
Kota Tangerang Selatan Tahun 2017”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
karakteristik penderita kusta di Kota Tangerang Selatan Tahun 2017. Peneliti
berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk penderita kusta maupun
masyarakat secara umum berupa informasi karakteristik kusta.
Peneliti mengharapkan kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/i untuk ikut
berpartisipasi dalam penelitian ini dengan cara mengisi kuesioner yang peneliti
berikan. Bapak/Ibu/Saudara/i berhak untuk menerima ataupun menolak
keikutsertaan dalam penelitian ini. Informasi yang Bapak/Ibu/Saudara/I berikan
akan dirahasiakan oleh peneliti, selain itu Bapak/Ibu/Saudara/i dapat memperoleh
hasil dari penelitian ini dengan menghubungi nomor telepon (087889880809).
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.
Lampiran 2
Dengan ini, saya BERSEDIA ikut serta dalam penelitian ini.
Jakarta, … / ………………………….. 2017
Peneliti Informan
Juwita Wijayanti …………………………
105
KUESIONER GAMBARAN FAKTOR HOST DAN LINGKUNGAN FISIK RUMAH
PADA PENDERITA KUSTA DI KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2017
• Bacalah setiap pertanyaan dan jawaban secara seksama • Beri tanda silang (X) pada kolom jawaban yang tersedia
A. KETERANGAN PENGUMPUL DATA A1 Nama Pengumpul Data A2 Tanggal Pengumpulan Data B. KARAKTERISTIK RESPONDEN B1 Nomor Responden B2 Nama Responden B3 Umur (Saat penelitian dilakukan) B4 Umur (Saat didiagnosis penyakit kusta) B5 Jenis Kelamin
B6 Pendidikan Terakhir
1. Tidak Sekolah 2. SD 3. SMP 4. SMA 5. Perguruan Tinggi
C. PENGETAHUAN TENTANG PENYAKIT KUSTA
No. Pertanyaan Koding (Diisi
Peneliti) Penyebab Penyakit Kusta
C1 Apakah penyakit kusta disebabkan oleh Mycobacterium Leprae? a. Ya b. Tidak
Tanda Dan Gejala Penyakit Kusta
C2 Kelainan kulit berwarna merah/putih yang mati rasa a. Ya b. Tidak
C3 Kulit yang kering dan retak a. Ya b. Tidak
C4 Kulit melepuh dan nyeri a. Ya b. Tidak
C5 Gangguan gerak anggota badan a. Ya b. Tidak
C6 Penebalan/pembengkakan pada bercak yang ada di kulit a. Ya b. Tidak
C7 Organ yang diserang adalah kulit, otot dan mata a. Ya b. Tidak
106
Cara Penularan Penyakit Kusta
C8 Penyakit kusta ditularkan melalui saluran pernapasan bagian atas a. Ya b. Tidak
C9 Penyakit kusta ditularkan melalui transfusi darah dengan penderita kusta a. Ya b. Tidak
C10 Penyakit kusta terjadi akibat kontak kulit langsung yang lama dan erat dengan penderita kusta a. Ya b. Tidak
Usia
C11 Penyakit kusta kebanyakan menyerang pada usia 15 – 64 tahun a. Ya b. Tidak
Tempat Penularan Penyakit Kusta
C12 Penyakit kusta mudah menyebar di lingkungan yang lembab jarang terkena sinar matahari a. Ya b. Tidak
C13 Kusta dapat menular pada rumah yang dijaga kebersihannya a. Ya b. Tidak
D. JENIS PEKERJAAN D1 Apa pekerjaan Anda? ….
E. RIWAYAT KONTAK E1 Berapa lama anda kontak dengan penderita kusta yang
serumah sebelum dinyatakan menderita kusta? …. tahun.
F. PERSONAL HYGIENE F1 Apakah Anda mandi dua kali (atau lebih) dalam sehari
a. Ya b. Tidak
F2 Apakah Anda memiliki kebiasaan meminjam pakaian kepada anggota keluarga lain? a. Ya b. Tidak
F3 Apakah Anda memiliki kebiasaan meminjam handuk kepada anggota keluarga lain? a. Ya b. Tidak
G. KEBIASAAN MEMBERSIHKAN LANTAI RUMAH G1 Apakah anda memakai antiseptik pada saat membersihkan
lantai rumah? a. Ya b. Tidak
H. JENIS LANTAI H1 Apa jenis lantai yang Anda gunakan di rumah Anda?
a. Semen/ubin/keramik b. Papan/kayu/tanah
107
LEMBAR PENGUKURAN GAMBARAN FAKTOR HOST DAN LINGKUNGAN FISIK RUMAH
PADA PENDERITA KUSTA DI KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2017
No. Variabel Hasil Pengamatan Keterangan
1. Suhu Rumah 1 2 3 Rata-rata
2. Pencahayaan Alami di dalam Rumah
1 2 3 Rata-rata
3. Luas Ventilasi Rumah Luas
Ventilasi Luas Lantai
4. Kepadatan Hunian Kamar p l L Penghuni
LEMBAR OBSERVASI GAMBARAN FAKTOR HOST DAN LINGKUNGAN FISIK RUMAH PADA
PENDERITA KUSTA DI KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2017
No. Variabel Hasil Pengamatan Keterangan
1. Jenis Lantai a. Semen b. Keramik c. Papan/kayu d. Tanah
108
Lampiran 2
OUTPUT SPSS
1. Umur kel_umur
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Produktif 30 88.2 88.2 88.2
tidak produktif 4 11.8 11.8 100.0
Total 34 100.0 100.0
kel_umur * jenis pekerjaan Crosstabulation
jenis pekerjaan
Total buruh/tani Wiraswasta IRT lain-lain
kel_umur produktif Count 14 5 6 5 30
% within jenis pekerjaan 82.4% 100.0% 85.7% 100.0% 88.2%
tidak produktif
Count 3 0 1 0 4
% within jenis pekerjaan 17.6% .0% 14.3% .0% 11.8%
Total Count 17 5 7 5 34
% within jenis pekerjaan 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%
2. Jenis Kelamin
jenis kelamin penderita kusta
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Laki-Laki 22 64.7 64.7 64.7
Perempuan 12 35.3 35.3 100.0
Total 34 100.0 100.0
jenis kelamin penderita kusta * kebiasaan mandi Crosstabulation
kebiasaan mandi
Total ya tidak
jenis kelamin penderita kusta
Laki-Laki Count 8 14 22
% within kebiasaan mandi 53.3% 73.7% 64.7%
Perempuan Count 7 5 12
% within kebiasaan mandi 46.7% 26.3% 35.3% Total Count 15 19 34
% within kebiasaan mandi 100.0% 100.0% 100.0%
109
3. Tingkat Pendidikan
kel_didik
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Rendah 26 76.5 76.5 76.5
Sedang 6 17.6 17.6 94.1
Tinggi 2 5.9 5.9 100.0
Total 34 100.0 100.0
kel_didik * kebiasaan meminjam handuk Crosstabulation
kebiasaan meminjam handuk
Total ya tidak
kel_didik Rendah Count 17 9 26
% within kebiasaan meminjam handuk 81.0% 69.2% 76.5%
Sedang Count 3 3 6
% within kebiasaan meminjam handuk 14.3% 23.1% 17.6%
Tinggi Count 1 1 2
% within kebiasaan meminjam handuk 4.8% 7.7% 5.9%
Total Count 21 13 34 % within kebiasaan meminjam handuk 100.0% 100.0% 100.0%
4. Tingkat Pengetahuan
kel_tahuu
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid rendah 19 55.9 55.9 55.9
tinggi 15 44.1 44.1 100.0
Total 34 100.0 100.0
kel_tahuu * kel_venti Crosstabulation
kel_venti
Total Berisiko Tidak Berisiko
kel_tahuu rendah Count 10 9 19
% within kel_venti 58.8% 52.9% 55.9%
tinggi Count 7 8 15
% within kel_venti 41.2% 47.1% 44.1% Total Count 17 17 34
% within kel_venti 100.0% 100.0% 100.0%
110
5. Jenis Pekerjaan jenis pekerjaan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid buruh/tani 17 50.0 50.0 50.0
Wiraswasta 5 14.7 14.7 64.7
IRT 7 20.6 20.6 85.3
lain-lain 5 14.7 14.7 100.0
Total 34 100.0 100.0
jenis pekerjaan * jenis kelamin penderita kusta Crosstabulation
jenis kelamin penderita kusta
Total Laki-Laki Perempuan
jenis pekerjaan buruh/tani Count 16 1 17
% within jenis kelamin penderita kusta 72.7% 8.3% 50.0%
Wiraswasta Count 4 1 5
% within jenis kelamin penderita kusta 18.2% 8.3% 14.7%
IRT Count 0 7 7
% within jenis kelamin penderita kusta .0% 58.3% 20.6%
lain-lain Count 2 3 5
% within jenis kelamin penderita kusta 9.1% 25.0% 14.7%
Total Count 22 12 34 % within jenis kelamin penderita kusta 100.0% 100.0% 100.0%
6. Riwayat Kontak kel_rikon
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Berisiko 5 14.7 14.7 14.7
Tidak Berisiko 29 85.3 85.3 100.0
Total 34 100.0 100.0 7. Personal Hygiene
a. Kebiasaan Mandi Klpk_mandi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Buruk 19 55.9 55.9 55.9
Baik 15 44.1 44.1 100.0
Total 34 100.0 100.0
111
kel_tahuu * kebiasaan mandi Crosstabulation
kebiasaan mandi
Total ya tidak
kel_tahuu
rendah Count 6 13 19
% within kebiasaan mandi 40.0% 68.4% 55.9%
tinggi Count 9 6 15
% within kebiasaan mandi 60.0% 31.6% 44.1% Total Count 15 19 34
% within kebiasaan mandi 100.0% 100.0% 100.0%
b. Kebiasaan Meminjam Pakaian
kel_pakai
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Berisiko 22 64.7 64.7 64.7
Tidak Berisiko 12 35.3 35.3 100.0
Total 34 100.0 100.0
kel_pakai * kel_didik Crosstabulation
kel_didik
Total Rendah Sedang Tinggi
kel_pakai Berisiko Count 16 4 2 22
% within kel_didik 61.5% 66.7% 100.0% 64.7%
Tidak Berisiko Count 10 2 0 12
% within kel_didik 38.5% 33.3% .0% 35.3% Total Count 26 6 2 34
% within kel_didik 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%
c. Kebiasaan Meminjam Handuk kel_handuk
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Berisiko 21 61.8 61.8 61.8
Tidak Berisiko 13 38.2 38.2 100.0
Total 34 100.0 100.0
kel_tahuu * kebiasaan meminjam handuk Crosstabulation
kebiasaan meminjam handuk
Total ya tidak
kel_tahuu rendah Count 12 7 19
% within kebiasaan meminjam handuk 57.1% 53.8% 55.9%
112
tinggi Count 9 6 15
% within kebiasaan meminjam handuk 42.9% 46.2% 44.1%
Total Count 21 13 34 % within kebiasaan meminjam handuk 100.0% 100.0% 100.0%
8. Kebiasaan Membersihkan Lantai Rumah Kel_Bshlantai
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Berisiko 22 64.7 64.7 64.7
Tidak Berisiko 12 35.3 35.3 100.0
Total 34 100.0 100.0
kel_lantai * kel_bshltai Crosstabulation
kel_bshltai
Total Berisiko Tidak Berisiko
kel_lantai Kedap Air Count 20 12 32
% within kel_bshltai 90.9% 100.0% 94.1%
Tidak Kedap Air Count 2 0 2
% within kel_bshltai 9.1% .0% 5.9% Total Count 22 12 34
% within kel_bshltai 100.0% 100.0% 100.0%
9. Suhu Rumah kel_suhu
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Berisiko 23 67.6 67.6 67.6
tidak berisiko 11 32.4 32.4 100.0
Total 34 100.0 100.0
kel_suhu * kel_padat Crosstabulation
kel_padat
Total Berisiko Tidak Berisiko
kel_suhu Berisiko Count 9 14 23
% within kel_padat 64.3% 70.0% 67.6%
tidak berisiko Count 5 6 11
% within kel_padat 35.7% 30.0% 32.4% Total Count 14 20 34
% within kel_padat 100.0% 100.0% 100.0%
113
10. Pencahayaan Alami di dalam Rumah
kel_chya
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Berisiko 19 55.9 55.9 55.9
Tidak Berisiko 15 44.1 44.1 100.0
Total 34 100.0 100.0
kel_chya * kel_venti Crosstabulation
kel_venti
Total Berisiko Tidak Berisiko
kel_chya Berisiko Count 11 8 19
% within kel_venti 64.7% 47.1% 55.9%
Tidak Berisiko Count 6 9 15
% within kel_venti 35.3% 52.9% 44.1% Total Count 17 17 34
% within kel_venti 100.0% 100.0% 100.0%
11. Jenis Lantai kel_lantai
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Kedap Air 32 94.1 94.1 94.1
Tidak Kedap Air 2 5.9 5.9 100.0
Total 34 100.0 100.0
kel_lantai * kel_bshltai Crosstabulation
kel_bshltai
Total Berisiko Tidak Berisiko
kel_lantai Kedap Air Count 20 12 32
% within kel_bshltai 90.9% 100.0% 94.1%
Tidak Kedap Air Count 2 0 2
% within kel_bshltai 9.1% .0% 5.9% Total Count 22 12 34
% within kel_bshltai 100.0% 100.0% 100.0%
12. Luas Ventilasi Rumah kel_venti
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Berisiko 17 50.0 50.0 50.0
Tidak Berisiko 17 50.0 50.0 100.0
Total 34 100.0 100.0
114
kel_venti * kel_chya Crosstabulation
kel_chya
Total Berisiko Tidak Berisiko
kel_venti Berisiko Count 11 6 17
% within kel_chya 57.9% 40.0% 50.0%
Tidak Berisiko Count 8 9 17
% within kel_chya 42.1% 60.0% 50.0% Total Count 19 15 34
% within kel_chya 100.0% 100.0% 100.0%
13. Kepadatan Hunian Kamar
kel_padat
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Berisiko 14 41.2 41.2 41.2
Tidak Berisiko 20 58.8 58.8 100.0
Total 34 100.0 100.0
kel_padat * kel_suhu Crosstabulation
kel_suhu
Total Berisiko tidak berisiko
kel_padat Berisiko Count 9 5 14
% within kel_padat 64.3% 35.7% 100.0%
Tidak Berisiko Count 14 6 20
% within kel_padat 70.0% 30.0% 100.0% Total Count 23 11 34
% within kel_padat 67.6% 32.4% 100.0%
115
Lampiran 3 Hasil Observasi
Jenis Lantai Rumah Pada Penderita Kusta
Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3
Gambar di atas merupakan gambaran hasil observasi jenis lantai di rumah
penderita kusta di Kota Tangerang Selatan. Gambar 1 dan gambar 2 merupakan
lantai rumah penderita kusta berupa semen, sedangkan gambar 3 merupakan jenis
lantai keramik.