fajriatin wahyuningsih - fkik.pdf

106
ANALISIS SPASIAL KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PENGASINAN KOTA BEKASI TAHUN 2011-2013 SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) Oleh: FAJRIATIN WAHYUNINGSIH 1110101000005 PEMINATAN EPIDEMIOLOGI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/ 2014 M

Upload: vanliem

Post on 03-Jan-2017

240 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

i

ANALISIS SPASIAL KEJADIAN DEMAM BERDARAH

DENGUE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PENGASINAN

KOTA BEKASI TAHUN 2011-2013

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana

Kesehatan Masyarakat (SKM)

Oleh:

FAJRIATIN WAHYUNINGSIH

1110101000005

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435 H/ 2014 M

Page 2: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

ii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan

Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi

yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Juli 2014

Fajriatin Wahyuningsih

ii

Page 3: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

iii

iii

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI

KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

Skripsi, 7 Juli 2014

Fajriatin Wahyuningsih, NIM: 1110101000005

ANALISIS SPASIAL KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI

WILAYAH KERJA PUSKESMAS PENGASINAN KOTA BEKASI TAHUN

2011-2013

XIII+ 88 halaman, 11 tabel, 8 gambar, 6 lampiran

ABSTRAK

Latar Belakang: Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di wilayah kerja

Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi cenderung meningkat selama tahun 2011-2013.

Tahun 2011 terdapat 49 kejadian DBD, tahun 2012 terdapat 42 kejadian dan tahun

2013 terdapat 139 kejadian. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui distribusi

spasial penyebaran kejadian DBD dan distribusi frekuensi kepadatan penduduk,

kepadatan jentik vektor, penyelidikan epidemiologi DBD serta fogging fokus di

wilayah kerja Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi tahun 2011-2013.

Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi deskriptif

dengan ecological study. Populasi penelitian ini ialah seluruh kejadian DBD di wilayah

kerja Puskesmas Pengasinan dari tahun 2011-2013 dengan kriteria memiliki alamat

jelas dengan jumlah yaitu 216 kejadian DBD. Penelitian ini menggunakan data

sekunder yang meliputi data kejadian DBD dari Puskesmas Pengasinan serta data

jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi pada tahun

2011-2013 dan data primer terkait lokasi geografis kejadian DBD. Adapun instrumen

penelitian yang digunakan ialah tabel checklist dokumen, lembar observasi kejadian

DBD dan Global Positiong System (GPS) Garmin tipe Ex-Trex 30.

Hasil Penelitian: Hasil penelitian didapatkan bahwa pola penyebaran kejadian DBD di

wilayah kerja Puskesmas Pengasinan dari tahun 2011-2013 berpola mengelompok

dengan nilai Nearest Neighbour Index (NNI) yang semakin menurun, yakni 0,86 tahun

2011, 0,78 tahun 2012, dan 0,64 tahun 2013. Adapun luas penyebaran kejadian DBD

di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan dari tahun 2011-2013 semakin meluas, yakni

509,838 Ha tahun 2011; 535,316 Ha tahun 2012; dan 570,869 Ha tahun 2013. Tahun

2011-2013 Incidence Rate (IR) DBD, penyelidikan epidemiologi dan fogging fokus

mengalami peningkatan akan tetapi kepadatan penduduk dan kepadatan jentik vektor

mengalami penurunan.

Simpulan: Kejadian DBD dari tahun 2011-2013 di wilayah kerja Puskesmas

Pengasinan paling banyak berada di Kelurahan Pengasinan. Berdasarkan penelitian

tersebut diharapkan program intervensi kesehatan dapat dilakukan di sekitar wilayah

penyebaran kejadian DBD dengan menyesuaikan luas wilayah sebaran kejadian DBD

untuk mencegah terjadinya KLB DBD. Kata Kunci: Spasial, Epidemiologi, Demam Berdarah Dengue

Daftar Bacaan: 67 (2003-2013)

Page 4: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

iv

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ISLAMIC STATE UNIVERSITY

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES

STUDY PROGRAM OF PUBLIC HEALTH

Undergraduated Thesis, 7th

July 2014

Fajriatin Wahyuningsih, NIM: 1110101000005

SPATIAL ANALYSIS THE INCIDENCE OF DENGUE HAEMORRHAGIC

FEVER IN HEALTH CENTER PENGASINAN AREA BEKASI 2011-2013

XIII+ 88 pages, 11 tables, 8 pictures, 6 appendixs

ABSTRACT

Introduction : Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) in health center Pengasinan area

has increased during 2011-2013. There was been 49 cases of DHF in 2011, 42 cases in

2012 and 139 cases in 2013. This study was conducted to determine the spread of DHF

incidence through spatial analysis and to describe incidence of DHF with population

and larvae density, epidemiological investigations and fogging focus.

Methods: This study was epidemiological study with ecological. The population study

was all of the case DHF in health center Pengasinan area from 2011-2013 with the

criteria data should have a legal address, and the amount is 216 the cases of DHF. This

study used secondary and primary data. The primary data was related to the

geographic location of the incidence of DHF. The research instrument used a

document checklist table, observation sheets and Global Positiong System (GPS)

Garmin Ex-Trex type 30.

Results: The results showed that the spread pattern of DHF incidence in health center

Pengasinan at 2011-2013 were clustered pattern, and the value of NNI is decreased

0.86 in 2011, 0.78 in 2012 and 0.64 in 2013. Wide spread of DHF has increased in

health center Pengasinan area from 2011-2013, 509,838 Ha in 2011; 535,316 Ha in

2012; and 570,869 Ha in 2013. From 2011-2013 Incidence Rate of DHF,

epidemiological investigations and fogging focus have increased, but population and

larvae density has decreased.

Conclusion: Pengasinan village has higher incidence of DHF compare to Sepanjang

Jaya village during 2011-2013 in health center Pengasian area. The health intervention

programs are expected to do in the area around the incident spread of DHF through

adjusting the spreading area of DHF to prevent outbreaks.

Keywords: Spatial, Epidemiology, Dengue Haemorrhagic Fever

Reading list: 67 (2003-2013)

Page 5: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

v

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi dengan Judul

ANALISIS SPASIAL KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI

WILAYAH KERJA PUSKESMAS PENGASINAN KOTA BEKASI TAHUN

2011-2013

Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, Juli 2014

Mengetahui

Pembimbing I

Ratri Ciptaningtyas, S. Sn. Kes

NIP. 19840404 200912 2 007

Pembimbing II

Minsarnawati, S. KM, M.Kes

NIP. 19750215 200901 2 003

Page 6: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

vi

vi

PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

Jakarta, Juli 2014

Mengetahui

Penguji I

Hoirun Nisa, Ph. D

NIP. 19790427 200501 2 005

Penguji II

dr. Sholah Imari, M. Sc

Penguji III

Catur Rosidati, MKM

NIP. 19750210 200801 2 018

Page 7: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

vii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap : Fajriatin Wahyuningsih

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat, tanggal lahir : Bekasi, 30 Desember 1992

Warganegara : Indonesia

Agama : Islam

Alamat : Jalan Narogong Permai XIII no 8 A RT 04 RW 02

Kecamatan Rawalumbu Kota Bekasi Provinsi Jawa

Barat

Telepon : 085888232723

E-mail : [email protected]

Pendidikan Formal : 1. TK Bani Saleh 2 Bekasi (1997-1998)

2. SD Bani Saleh 2 Bekasi (1998-2004)

3. SMP Bani Saleh 2 Bekasi (2004-2007)

4. MA Negeri 2 Kota Bekasi (2007-2010)

5. Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Program Studi Kesehtaan Masyarakat, Peminatan

Epidemiologi (2010-2014)

Page 8: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat-Nya saya

dapat menyelesaikan penelitian ini. Penulisan skripsi ini dalam rangka memenuhi

persyaratan untuk mendapatkan gelar S1 Sarjana Kesehatan Masyarakat. Saya

menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sangat sulit

untuk menyelesaikan penelitian ini, oleh sebab itu saya mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Kedua orang tua saya Drs. H Sariban, M.Pd dan Hj. Gunarti, S. Pdi yang

telah memberikan dukungan penuh dan memberikan motivasi serta do’a

yang tiada henti.

2. Bapak Prof.Dr.(HC).dr.MK.Tadjudin,Sp.And selaku Dekan Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta.

3. Ibu Febrianti, M. Si selaku Kepala Prodi Kesehatan Masyarakat UIN

Jakarta dan dosen pembimbing akademik.

4. Ibu Ratri Ciptaningtyas, S. Sn. Kes. selaku dosen pembimbing 1 dan Ibu

Minsarnawati, S. KM, M. Kes. selaku dosen pembimbing 2 sekaligus PJ

Peminatan Epidemiologi yang senantiasa memberikan motivasi dan

bimbingannya.

5. Bapak Fajar Nugraha, S. Si, M. Si selaku dosen mata kuliah Sistem

Informasi Geografis dan membantu dalam analisis spasial.

6. Ibu dr. Anne Nur Chandrani MARS selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota

Bekasi.

7. Bapak Andi Widyo Suryono, S. Sos selaku Lurah Kelurahan Pengasinan

dan Bapak Faizal Alang, S. Sos selaku Lurah Kelurahan Sepanjang Jaya

yang telah memberikan izin untuk penelitian dan pengambilan data.

8. Ibu dr. Krisadriyani Ratnawati selaku Kepala Puskesmas Pengasinan yang

telah memberikan izin untuk penelitian di wilayah kerja Puskesmas

Pengasinan dan pengambilan data dan Ibu Goyi Rahmawati Putri, A. Md

selaku pemegang program DBD di Puskesmas Pengasinan yang telah

membantu pengumpulan data.

9. Adinda Oktisya Puji dan Hasna Tsanyfitri yang telah membantu

pengumpulan data di lapangan.

10. Seluruh teman mahasiswa epidemiologi angkatan 2010 dan 2011 yang

senantiasa memberi motivasi dan dukungan kepada saya.

Atas bantuan dari semua pihak tersebut saya tidak bisa membalas apa-apa, dan

hanya bisa berdo’a semoga Allah SWT membalas kebaikannya. Semoga skripsi

ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Amin.

Jakarta, 7 Juli 2014

Peneliti

Page 9: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

ix

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... ii

ABSTRAK ................................................ .......................................................... iii

ABSTRACT......... .................................................................................................. iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN ......................................................................... v

KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix

DAFTAR TABEL .................................................................................................. xi

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xii

DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 4

1.3 Pertanyaan Penelitian .................................................................................. 5

1.4 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 5

1.4.1 Tujuan Umum ................................................................................... 5

1.4.2 Tujuan Khusus .................................................................................. 5

1.5 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 6

1.5.1 Bagi Puskesmas Pengasinan ............................................................. 6

1.5.2 Bagi Dinas Kesehatan Kota Bekasi................................................... 6

1.5.3 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat ...................................... 7

1.5.4 Bagi Peneliti ...................................................................................... 7

1.5.5 Bagi Peneliti Lain .............................................................................. 7

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 9

2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD) ............................................................... 9

2.1.1 Pengertian .......................................................................................... 9

2.1.2 Etiologi DBD .................................................................................... 9

2.1.3 Penularan DBD ............................................................................... 11

2.1.4 Riwayat Alamiah Penyakit DBD .................................................... 11

2.2 Epidemiologi DBD .................................................................................... 14

2.2.1 Karakteristik Host ........................................................................... 14

2.2.2 Karakteristik Perilaku...................................................................... 17

2.2.3 Karakteristik Lingkungan................................................................ 19

2.2.4 Karakteristik Vektor ....................................................................... 22

2.2.5 Pelayanan Kesehatan ....................................................................... 24

2.3 Analisis Spasial ......................................................................................... 28

2.3.1 Manfaat Analisis Spasial Bagi Informasi Kesehatan ..................... 28

2.4 Kerangka Teori .......................................................................................... 32

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ................. 33

3.1 Kerangka Konsep ...................................................................................... 33

3.2 Definisi Operasional .................................................................................. 35

Page 10: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

x

x

BAB 1V ................................................................................................................. 38

METODE PENELITIAN ...................................................................................... 38

4.1 Desain Penelitian ....................................................................................... 38

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................................... 38

4.3 Populasi Penelitian .................................................................................... 39

4.4 Instrumen Penelitian .................................................................................. 39

4.5 Manajemen Data ....................................................................................... 39

4.5.1 Pengumpulan Data .......................................................................... 39

4.5.2 Pengolahan Data ............................................................................. 41

4.6 Analisis Data .............................................................................................. 42

4.6.1 Analisis Univariat ........................................................................... 42

4.6.2 Analisis Spasial ............................................................................... 43

4.7 Penyajian Data ............................................................................................. 45

BAB V ................................................................................................................... 46

HASIL ................................................................................................................... 46

5.1 Karakteristik Wilayah Penelitian ................................................................. 46

5.1.1 Peta Wilayah .................................................................................... 46

5.1.2 Kependudukan .................................................................................. 47

5.2 Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan .......................... 49

5.2.1 Morbiditas dan Mortalitas Kejadian DBD ....................................... 49

5.2.2 Pola Penyebaran Kejadian DBD ...................................................... 51

5.2.3 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Menurut Jenis Kelamin dan ... 57

Kelompok Umur ........................................................................................ 57

5.2.4 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Kepadatan

Penduduk ................................................................................................... 58

dan Kepadatan Jentik Vektor .................................................................... 58

5.2.5 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Penyelidikan ..... 60

Epidemiologi DBD dan Fogging Fokus ................................................... 60

BAB VI ................................................................................................................. 62

PEMBAHASAN ................................................................................................... 62

6.1 Keterbatasan Penelitian .............................................................................. 62

6.2 Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan .......................... 62

6.2.1 Pola Penyebaran Kejadian DBD .................................................... 64

6.2.2 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Menurut Jenis Kelamin dan

Kelompok Umur ........................................................................................ 67

6.2.3 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Kepadatan

Penduduk dan Kepadatan Jentik Vektor ................................................... 71

6.2.5 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Penyelidikan ... 76

Epidemiologi DBD dan Fogging Fokus .................................................... 76

BAB VII ................................................................................................................ 81

SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 81

7.1 Simpulan ..................................................................................................... 81

7.2 Saran ........................................................................................................... 82

7.2.1 Bagi Puskesmas ................................................................................ 82

7.2.2 Bagi Peneliti Lain ............................................................................. 83

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 84

Page 11: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

xi

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 2.1 Penelitian Analisis Spasial DBD ..................................................30

Tabel 3.1 Definisi Operasional .....................................................................35

Tabel 4.1 Jadual Penelitian .......................................................................... 39

Tabel 4.2 Sumber Data ................................................................................ 40

Tabel 5.1 Jumlah Kepadatan Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas

Pengasinan Tahun 2011-2013 ..................................................... 48

Tabel 5.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Umur

di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan Tahun 2011-2013 ...... 49

Tabel 5.3 Morbiditas dan Mortalitas DBD di Wilayah Kerja Puskesmas

Pengasinan Tahun 2011-2013 ..................................................... 50

Tabel 5.4 Analisis Pola Penyebaran .............................................................53

Tabel 5.5 Distribusi Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan

Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur Tahun 2011-2013..58

Tabel 5.6 Jumlah Kejadian DBD Berdasarkan Kepadatan Penduduk dan

Kepadatan Jentik Vektor di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan

Tahun 2011-2013 ...........................................................................59

Tabel 5.7 Jumlah Kejadian DBD Berdasarkan Penyelidikan Epidemiologi

dan Fogging Fokus di Wilayah kerja Puskesmas Pengasinan Tahun

2011-2013.......................................................................................61

Page 12: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 2.1 Kerangka Teori ................................................................................. 32

Gambar 3.1 Kerangka Konsep ............................................................................. 34

Gambar 5.1 Peta Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan .....................................47

Gambar 5.2 Peta Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan Tahun

2011-2013 ........................................................................................51

Gambar 5.3 Peta Distribusi Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas

Pengasinan Tahun 2011 ...................................................................53

Gambar 5.4 Peta Distribusi Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas

Pengasinan Tahun 2012 ...................................................................54

Gambar 5.5 Peta Distribusi Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas

Pengasinan Tahun 2013 ...................................................................55

Gambar 5.6 Polygon Peta Penyebaran Kejadian DBD di Wilayah Kerja

Puskesmas Pengasinan Tahun 2011-2013 Melalui Analisis Convex

Hulls..................................................................................................56

Page 13: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

xiii

xiii

DAFTAR SINGKATAN

ABJ : Angka Bebas Jentik

CFR : Case Fatality Rate (%)

DBD/ DHF : Demam Berdarah Dengue/ Dengue Haemorrhagic Fever

Dinkes : Dinas Kesehatan

Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia

GPS : Global Positiong System

IR : Insidens Rate (per 100.000 penduduk)

Jumantik : Juru Pemantau Jentik

Kemenkes RI : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

KLB : Kejadian Luar Biasa

NNI : Nearest Neighbor Index

P2PDBD : Program Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah Dengue

P2PL : Program Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit

PE DBD : Penyelidikan Epidemiologi Demam Berdarah Dengue

PJB : Pemantauan Jentik Berkala

PSN 3 M : Pemberantasan Sarang Nyamuk dengan Menutup Menguras

Mengubur

SKD-KLB : Sistem Kewaspadaan Dini-Kejadian Luar Biasa

WHO : World Health Organizati

Page 14: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan

di Indonesia. Berdasarkan data Departemen Kesehatan Republik Indonesia

(2009), masalah DBD di Indonesia mengalami peningkatan khususnya tahun

2008-2009, yaitu Incidence Rate (IR) sebesar 59,02 per 100.000 penduduk dan

Case Fatality Rate (CFR) 0,86% di tahun 2008 menjadi 68,2 per 100.000

penduduk dan 0,89% di tahun 2009 . Pada tahun yang sama, Jawa Barat

merupakan provinsi dengan kasus kematian karena DBD terbanyak di Indonesia

dengan CFR sebesar 0,83%.

Berdasarkan data Profil Kesehatan Republik Indonesia (2011) diketahui

ternyata kejadian DBD menjadi masalah di Jawa Barat dengan IR sebesar 31,87

per 100.000 penduduk, dan mengakibatkan 26% wilayah Jawa Barat terjangkit

DBD. Sedangkan, berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat

(2011) diketahui bahwa Kota Bekasi menempati urutan ke lima dengan kejadian

DBD paling tinggi se- Jawa Barat dengan CFR sebesar 1,43% pada tahun 2011.

Sampai saat ini, penyakit DBD masih menjadi masalah kesehatan di Kota

Bekasi. Berdasarkan laporan Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas

Kesehatan Kota Bekasi (2013), telah terjadi peningkatan kejadian DBD dari tahun

2011-2013. Pada tahun 2011 IR DBD sebesar 27 per 100.000 penduduk, tahun

2012 sebesar 37 per 100.000 penduduk dan tahun 2013 sebesar 58 per 100.000

Page 15: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

2

penduduk serta telah melewati indikator IR DBD nasional tahun 2013 sebesar 52

per 100.000 penduduk.

Terdapat beberapa wilayah di Kota Bekasi yang menjadi wilayah endemis

DBD selama tahun 2011-2013, salah satunya Kecamatan Rawalumbu. Puskesmas

Pengasinan merupakan Puskesmas dengan wilayah kerja yang berada di

Kecamatan Rawalumbu dan memiliki jumlah kejadian DBD paling tinggi di

antara wilayah kerja puskesmas lain di Kecamatan Rawalumbu dengan 139

kejadian dari jumlah 149 kejadian DBD di Kecamatan Rawalumbu pada tahun

2013.

Kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan cenderung

meningkat dari tahun 2011-2013. Pada tahun 2011 terdapat 49 kejadian DBD

dengan 2 kejadian meninggal. Tahun 2012 terdapat 42 kejadian dengan 2 kejadian

meninggal. Tahun 2013 kejadian DBD mengalami peningkatan 3 kali lipat dari

dua tahun sebelumnya yakni 139 kejadian.

Kejadian DBD dapat menimbulkan kematian dan Kejadian Luar Biasa

(KLB), oleh karena itu kejadian DBD perlu diatasi berdasarkan faktor yang dapat

berhubungan dengan kejadian DBD. Kejadian DBD yang tinggi dapat dipengaruhi

oleh mobilitas serta kepadatan penduduk (Putri, 2008).

Faktor kepadatan penduduk dapat berhubungan dengan kejadian DBD di

suatu wilayah. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Daud (2005) di

Kota Palu dengan desain cross sectional melalui analisis spasial diketahui bahwa

kepadatan penduduk berhubungan dengan kejadian DBD. Penelitian lain oleh

Page 16: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

3

Suyasa et al (2007) di Kota Denpasar juga menunjukkan bahwa kepadatan

penduduk berhubungan dengan kejadian DBD.

Program penanggulangan DBD seperti penyelidikan epidemiologi DBD

dan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) DBD berdampak pada angka kejadian

DBD. Sebagaimana penelitian yang telah dilakukan oleh Hairani (2009) di Kota

Depok dengan desain ecological study melalui analisis spasial, diketahui bahwa

semakin besar cakupan penyelidikan epidemiologi DBD maka semakin rendah

angka kejadian DBD. Adapun kegiatan PJB dapat mengetahui kepadatan jentik

vektor di suatu lingkungan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Erliyanti

(2008) di Kota Metro Provinsi Lampung, diketahui bahwa kepadatan jentik vektor

berhubungan dengan angka kejadian DBD.

Penyelesaian masalah DBD dapat dilakukan dengan teknik analisis

manajemen penyakit berbasis wilayah dengan analisis spasial (Achmadi, 2005).

Pemanfaatan analisis spasial kejadian DBD diharapkan dapat memberikan

manfaat untuk mengetahui pola penyebaran penyakit DBD sehingga dapat

menyelesaikan masalah DBD berdasarkan luas wilayah. Sebagaimana

pemanfaatan analisis spasial yang telah dilakukan di Dinas Kesehatan Provinsi

Sumatera Selatan oleh Hasyim (2009), dapat memperlihatkan pola penyebaran

DBD melalui pemetaan dan dihubungkan dengan determinan lain seperti kegiatan

upaya pengendalian DBD yang telah dilakukan di Provinsi Sumatera Selatan.

Penelitian lain juga telah dilakukan oleh Faiz et al (2013) di Kota Semarang,

diketahui bahwa analisis spasial dapat menghasilkan informasi tentang pola

Page 17: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

4

penyebaran DBD cenderung berkelompok di Kota Semarang dan dapat digunakan

untuk upaya pengendalian berdasarkan wilayah sebaran di Kota Semarang.

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan pada bulan Februari 2014

diketahui bahwa pemanfaatan analisis spasial belum digunakan di Dinas

Kesehatan Kota Bekasi dan Puskesmas Pengasinan. Diketahui juga bahwa tidak

adanya penelitian sebelumnya mengenai faktor yang berhubungan dengan

kejadian DBD di Puskesmas Pengasinan. Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti

bagaimana penyebaran kejadian DBD dengan analisis spasial dan mengamati

faktor yang berhubungan dengan kejadian DBD, karena sampai saat ini kejadian

DBD masih tinggi.

1.2 Rumusan Masalah

Kejadian DBD di Kota Bekasi terus mengalami peningkatan dari tahun

2011-2013. Puskesmas Pengasinan merupakan Puskesmas dengan jumlah

kejadian DBD yang tinggi di Kota Bekasi. Berdasarkan pengamatan sebelumnya,

diketahui bahwa belum pernah dilakukan penelitian tentang faktor yang

berhubungan dengan kejadian DBD dan penyebaran DBD melalui analisis spasial

di Puskesmas Pengasinan. Analisis spasial diharapkan dapat mengidentifikasi

distribusi pola penyebaran penyakit DBD di Puskesmas Pengasinan. Oleh karena

itu, peneliti ingin meneliti bagaimana penyebaran kejadian DBD di wilayah

tersebut karena sampai saat ini DBD masih tinggi.

Page 18: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

5

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana distribusi spasial terhadap pola dan luas penyebaran kejadian

DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi tahun 2011-

2013?

2. Bagaimana distribusi frekuensi kejadian DBD menurut kelompok umur

dan jenis kelamin di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi

tahun 2011-2013?

3. Bagaimana distribusi frekuensi kejadian DBD berdasarkan kepadatan

penduduk dan kepadatan jentik vektor di wilayah kerja Puskesmas

Pengasinan Kota Bekasi tahun 2011-2013?

4. Bagaimana distribusi frekuensi kejadian DBD berdasarkan penyelidikan

epidemiologi DBD dan fogging fokus di wilayah kerja Puskesmas

Pengasinan Kota Bekasi tahun 2011-2013?

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui penyebaran kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas

Pengasinan Kota Bekasi tahun 2011-2013.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui distribusi spasial terhadap pola dan luas penyebaran

kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi

tahun 2011-2013.

Page 19: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

6

2. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian DBD menurut kelompok

umur dan jenis kelamin di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan Kota

Bekasi tahun 2011-2013.

3. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian DBD berdasarkan

kepadatan penduduk dan kepadatan jentik vektor di wilayah kerja

Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi tahun 2011-2013.

4. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian DBD berdasarkan

penyelidikan epidemiologi DBD dan fogging fokus di wilayah kerja

Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi tahun 2011-2013.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Puskesmas Pengasinan

Penelitian ini dapat menjadi sumber informasi terkait wilayah

rentan dengan mengetahui penyebaran DBD serta bahan untuk

pelaksanaan program pengendalian DBD di Puskesmas Pengasinan Kota

Bekasi.

1.5.2 Bagi Dinas Kesehatan Kota Bekasi

Penelitian ini dapat menjadi sumber informasi untuk mengevaluasi

dan meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya bagi program

pengendalian dan pemberantasan penyakit DBD di Kota Bekasi melalui

pemetaan penyakit berdasarkan wilayah.

Page 20: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

7

1.5.3 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat

Penelitian ini dapat menjadi sumber informasi dan dokumentasi

yang dapat digunakan untuk data dalam penelitian serupa di masa

mendatang, serta menjadi informasi berbasis bukti yang menjadi dasar

advokasi dalam upaya peningkatan program pengendalian DBD.

1.5.4 Bagi Peneliti

Penelitian ini merupakan sarana untuk memenuhi persyaratan guna

mendapat gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat dan mendalami

pengetahuan ilmu kesehatan masyarakat khususnya bidang epidemiologi.

1.5.5 Bagi Peneliti Lain

Penelitian ini dapat menjadi bahan referensi, informasi dan

pertimbangan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai gambaran

spasial kejadian DBD dan upaya program pengendalian serta

pemberantasannya.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian epidemiologi deskriptif dengan

ecological study. Analisis spasial digunakan untuk mengetahui pola dan luas

penyebaran kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan tahun 2011-

2013. Adapun variabel dalam penelitian ini ialah umur, jenis kelamin, kepadatan

penduduk, kepadatan jentik vektor, fogging fokus, penyelidikan epidemiologi

DBD dan kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi.

Page 21: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

8

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang meliputi data kejadian

DBD dari Puskesmas Pengasinan serta data jumlah penduduk di wilayah kerja

Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi pada tahun 2011-2013 dan data primer terkait

lokasi geografis kejadian DBD. Penelitian ini menggunakan instrumen penelitian

seperti tabel checklist dokumen, lembar observasi kejadian DBD dan Global

Positiong System (GPS) Garmin tipe Ex-Trex 30. Penelitian ini dilaksanakan

selama bulan April-Mei tahun 2014.

Page 22: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD)

2.1.1 Pengertian

DBD merupakan jenis penyakit menular yang masih menjadi

masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Sejak pertama kali dilaporkan

pada tahun 1968 jumlah kejadian DBD cenderung meningkat, demikian

juga penyebarannya bertambah luas. Keadaan ini erat kaitannya dengan

peningkatan mobilitas penduduk dan majunya teknologi melalui

transportasi sehingga memudahkan penyebaran virus dengue dan vektor

penularnya ke berbagai wilayah.

DBD adalah penyakit yang ditandai dengan beberapa gejala klinis

seperti: demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas dan berlangsung

terus menerus selama 2-7 hari, terjadi manifestasi perdarahan (petekie,

purpura, pendarahan konjungtiva, epistkasis, ekimosis, melena dan

hematuri), uji Tourniqet positif, Trombositopeni (100.000/ µl atau kurang),

terjadi peningkatan hematokrit 20% atau lebih, bila status lanjut dapat

disertai pembesaran hati (Kemenkes RI, 2011a).

2.1.2 Etiologi DBD

Penyakit DBD disebabkan oleh virus Dengue. Virus Dengue dapat

ditularkan oleh vektor Aedes aegypti. Aedes aegypti adalah spesies

nyamuk tropis dan subtropis yang biasanya ditemukan antara garis lintang

Page 23: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

10

350 LU dan 35

0 LS, kira-kira berhubungan dengan musim dingin isoterm

100 C. Distribusi Aedes aegypti juga dibatasi oleh ketinggian dan biasanya

tidak ditemukan di atas ketinggian 1000 m, akan tetapi pernah dilaporkan

distribusi nyamuk ini pada ketinggian 2121 m di India, pada 2200 m di

Kolombia dan pada ketinggian 2400 m di Eritrea (WHO dan Depkes RI,

2003).

Virus dengue merupakan bagian dari famili Flaviviridae. Keempat

serotipe virus dengue (DEN-1, DEN-2. DEN-3, DEN-4) dapat dibedakan

dengan metode serologi. Infeksi pada manusia oleh salah satu serotipe

menghasilkan imunitas seumur hidup terhadap infeksi ulang oleh serotipe

yang jenisnya sama, tetapi hanya memberikan perlindungan sementara

terhadap serotipe yang lain.

Virus dengue berbagai serotipe sekarang menjadi endemis

dibanyak negara tropis (Chin, 2000). Akan tetapi, pada setiap wilayah

memiliki karakteristik serotipe DBD yang berbeda dengan wilayah lain

seperti di Indonesia. Berdasarkan penelitian epidemiologi yang dilakukan

oleh Prasetyowati dan Astuti (2010) menemukan bahwa virus DEN-2

adalah serotipe yang dominan di Jawa Barat. Studi epidemiologi lain juga

dilakukan oleh Yamanaka et al (2009) diketahui bahwa pada penderita

Demam Dengue (DD) dan DBD justru ditemukan virus DEN-1 genotip IV

yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat.

Page 24: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

11

2.1.3 Penularan DBD

Penyakit DBD merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui

gigitan nyamuk yang infektif, terutama Aedes aegypti. Bila terinfeksi,

nyamuk tetap akan terinfeksi seumur hidupnya, menularkan virus ke

individu rentan selama menggigit dan menghisap darah. Nyamuk betina

yang terinfeksi juga dapat menurunkan virus ke generasi nyamuk dengan

penularan transovarian, tetapi ini jarang terjadi dan kemungkinan tidak

memperberat penularan yang signifikan pada manusia.

Manusia adalah penjamu utama yang dikenai virus, meskipun

beberapa studi menunjukkan bahwa monyet pada beberapa bagian dunia

dapat terinfeksi dan mungkin bertindak sebagai sumber virus untuk

nyamuk penggigit. Virus bersirkulasi dalam darah manusia terinfeksi pada

kurang lebih waktu dimana mereka mengalami demam, dan nyamuk yang

tak terinfeksi bisa mendapatkan virus apabila mereka menggigit individu

saat keadaan viraemik. Virus kemudian berkembang di dalam nyamuk

selama periode 8 – 10 hari, setelah itu nyamuk dapat menularkan ke

manusia lain selama menggigit atau menghisap darah berikutnya. Lama

waktu yang diperlukan untuk inkubasi ekstrinsik ini tergantung pada

kondisi lingkungan, khususnya suhu sekitar (WHO, 2004).

2.1.4 Riwayat Alamiah Penyakit DBD

Perjalanan penyakit DBD sering susah diramalkan, karena gejala

klinis DBD menyerupai penyakit lain dan sebagian penderita dengan

Page 25: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

12

renjatan berat dapat disembuhkan walaupun hanya dengan pengobatan

yang sederhana. Penjelasan tentang riwayat alamiah penyakit DBD dapat

dibagi menjadi beberapa fase, yaitu fase suseptibel (rentan), subklinis,

klinis dan akhir.

Fase suseptibel dimulai pada saat nyamuk Aedes aegypti yang tidak

infektif kemudian menjadi infektif setelah menggigit manusia yang sakit

atau dalam keadaan viremia (WHO, 2004). Nyamuk Aedes aegypti yang

telah menghisap virus dengue dapat menjadi penular DBD seumur

hidupnya.

Fase subklinis merupakan tahapan yang dimulai dari paparan agen

penyebab DBD hingga timbulnya manifestasi klinis disebut dengan masa

inkubasi DBD. Pada fase ini penyakit belum menampakkan tanda dan

gejala klinis, atau disebut dengan fase subklinis (asimtomatis). Masa

inkubasi ini dapat berlangsung dalam hitungan detik pada reaksi toksik

atau hipersensitivitas.

Fase subklinis DBD ialah waktu setelah virus Dengue masuk

bersama air liur nyamuk ke dalam tubuh, virus tersebut kemudian

memperbanyak diri dan menginfeksi sel-sel darah putih serta kelenjar

getah bening untuk kemudian masuk ke dalam sistem sirkulasi darah.

Virus ini berada di dalam darah hanya selama 3 hari sejak ditularkan oleh

nyamuk (Lestari, 2007).

Pada fase subklinis ini, jumlah trombosit dalam tubuh masih dalam

keadaan normal selama 3 hari pertama (Rena et al, 2009). Akan tetapi,

Page 26: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

13

sebagai perlawanan tubuh akan membentuk antibodi, selanjutnya akan

terbentuk kompleks virus-antibodi dengan virus yang berfungsi sebagai

antigennya. Kompleks antigen-antibodi ini akan melepaskan zat-zat yang

merusak sel-sel pembuluh darah, yang disebut dengan proses autoimun.

Proses autoimun menyebabkan permeabilitas kapiler meningkat yang salah

satunya ditunjukkan dengan melebarnya pori-pori pembuluh darah kapiler

dan dapat mengakibatkan bocornya sel-sel darah seperti trombosit dan

eritrosit (Widoyono, 2008). Jika hal ini terjadi, maka penyakit DBD akan

memasuki fase klinis dimana sudah mulai ditemukan gejala dan tanda

secara klinis adanya suatu penyakit.

WHO (2004) membagi menjadi 4 (empat) tingkatan derajat berat

penyakit DBD, antara lain:

a. Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya

manifestasi perdarahan ialah uji tourniqet.

b. Derajat II : Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan

atau perdarahan lain. Terjadi hemokonsentrasi yaitu peningkatan

hematokrit di atas atau sama dengan 20% karena perembesan plasma.

c. Derajat III : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan

lemah, tekanan darah menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,

sianosis dengan tanda kebiruan di sekitar mulut, kulit dingin dan

lembap dan anak tampak gelisah.

d. Derajat IV : Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan

tekanan darah tidak terukur.

Page 27: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

14

Fase terakhir dalam perjalan penyakit DBD ialah tahap pemulihan

atau kematian jika tidak tertangani dengan baik. Tahap pemulihan

bergantung pada penderita dalam melewati fase kritisnya. Tahap

pemulihan dapat dilakukan dengan pemberian infus atau transfer

trombosit. Bila penderita dapat melewati masa kritisnya maka pada hari

keenam dan ketujuh penderita akan berangsur membaik dan kembali

normal pada hari ketujuh dan kedelapan, namun apabila penderita tidak

dapat melewati masa kritisnya maka akan menimbulkan kematian (Lestari,

2007).

2.2 Epidemiologi DBD

Komponen penyebab kejadian suatu penyakit dapat diklasifikasikan

berdasarkan karakteristik host, agent¸dan environment (Gertsman, 2003).

Sedangkan berdasarkan paradigma sehat oleh Hl. Blum (1974) dalam

Notoadmodjo (2007) terdapat empat faktor determinan yang berkontribusi

terhadap status kesehatan yakni faktor genetik, perilaku, lingkungan dan

pelayanan kesehatan.

2.2.1 Karakteristik Host

2.2.1.1 Umur dan Jenis Kelamin

Penyakit DBD dapat terjadi pada semua orang, namun ada

beberapa kecenderungan kejadian DBD pada karakteristik

tertentu. Selama satu dekade terakhir ini kejadian DBD cenderung

Page 28: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

15

mengalami kenaikan proporsi pada kelompok umur dewasa

dibandingkan usia 5-14 tahun. Adapun kejadian DBD

berdasarkan jenis kelamin hampir sama, baik laki-laki maupun

perempuan memiliki persentase sebesar 53,78% dan 46,23%

untuk terkena DBD pada tahun 2008 (Kemenkes RI, 2010).

Adapun kejadian DBD di wilayah Kota Bekasi

berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi tahun 2013

diketahui bahwa kejadian DBD paling banyak diderita oleh laki-

laki sebesar 55% dibandingkan perempuan sebesar 45%.

Sedangkan kejadian DBD menurut kelompok umur di Kota

Bekasi paling banyak terjadi pada kelompok umur di atas 15

tahun sebesar 70%.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dardjito et al

(2008) di Banyumas dengan desain case control dan sampel

sebanyak 100 penderita DBD (50 kasus dan 50 kontrol) diketahui

bahwa usia (p=0,024, OR= 19,056, CI=1,418-128,022) dan jenis

kelamin (p=0,002, OR=4,896, CI= 1,864-17,252) memiliki

hubungan dengan kejadian DBD. Akan tetapi berdasarkan

penelitian oleh Djati et al (2012) di Kabupaten Gunung Kidul

dengan desain case control dan sampel sebanyak 70 penderita

DBD (35 kasus dan 35 kontrol) diketahui bahwa usia memiliki

hubungan dengan kejadian DBD (p= 0,004), sedangkan jenis

Page 29: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

16

kelamin tidak memiliki hubungan dengan kejadian DBD

(p>0,05).

2.2.1.2 Pengetahuan

Pengetahuan seseorang biasanya dapat mempengaruhi

kondisi kesehatan seseorang melalui perilaku, karena merupakan

domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan

seseorang (Notoadmodjo, 2007). Sebagaimana penelitian yang

telah dilakukan oleh Fatma (2006) di Demak dengan desain case

control dan sampel sebanyak 104 (52 kasus dan 52 kontrol)

diketahui bahwa tingkat pengetahuan memiliki hubungan dengan

kejadian DBD. Penelitian lain juga dilakukan oleh Suhardiono

(2005) di Kota Medan dengan desain cross sectional dan sampel

berjumlah 100 orang, diketahui bahwa tingkat pengetahuan

mengenai DBD memiliki hubungan dengan kejadian DBD (p=

0,015, OR= 3,077, CI= 1,218-7,776).

2.2.1.3 Imunitas dan Status Gizi

Menurut Soegijanto (2003) dalam Candra (2010) imunitas

individu dapat mempengaruhi derajat infeksi DBD. Secara

invitro, antibodi terhadap virus dengue mempunyai 4 fungsi

biologis yaitu netralisasi virus, sitolisis komplemen, antibody

dependent cell-mediated cytotoxity (ADCC). Berdasarkan

Page 30: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

17

perannya, terdiri dari antibodi netralisasi atau neutralizing

antibody yang memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah

infeksi virus, dan antibody non netralising serotype yang

mempunyai peran reaktif silang dan dapat meningkatkan infeksi

yang berperan dalam patogenesis DBD dan Dengue Shock

Syndroem (DSS).

Kekebalan host terhadap infeksi juga dipengaruhi oleh

faktor lain, antara lain: usia dan status gizi, usia lanjut akan

menurunkan respon imun dan penyerapan gizi. Status gizi dapat

menyebabkan tingkat keparahan kejadian penyakit infeksi.

Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Hakim L dan

Kusnandar. J. A (2012) dengan desain cross sectional dan sampel

berjumlah 200 orang penderita DBD, diketahui bahwa status gizi

memiliki hubungan dengan kejadian DBD (p=0,004). Penelitian

lain juga dilakukan oleh Nelli (2007) dengan desain cross

sectional dan sampel berjumlah 94 orang penderita DBD,

diketahui 63,6% renjatan DBD lebih banyak dialami oleh

penderita dengan status gizi kurang.

2.2.2 Karakteristik Perilaku

Perilaku kesehatan menurut Notoadmodjo (2007) ialah suatu

respons seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan

penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Becker

Page 31: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

18

(1979) dalam Notoadmodjo (2007) mengklasifikasikan perilaku yang

dapat berhubungan dengan kesehatan, yaitu:

a. Perilaku kesehatan, yaiu hal – hal yang berkaitan dengan tindakan

atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan mengingkatkan

kesehatannya, seperti mencegah penyakit.

b. Perilaku sakit, yaitu tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh

individu yang merasa sakit untuk merasakan dan mengenal rasa

sakitnya.

c. Perilaku peran sakit, yaitu segala tindakan atau kegiatan yang

dilakukan oleh individu yang sedang sakit untuk memperoleh

kesembuhan.

Perilaku sehat individu pada kejadian DBD dapat dilihat dari

perilaku mencegah penyakit DBD seperti penggunaan kelambu,

penggunaan obat nyamuk dan penggunaan kassa nyamuk. Penggunaan

kelambu dan penggunaan obat nyamuk memiliki hubungan dengan

kejadian DBD pada seseorang. Sebagaimana penelitian yang telah

dilakukan oleh Ratag et al (2013) di Manado dengan desain case control

dan sampel berjumlah 96 (48 kasus dan 48 kontrol), diketahui bahwa

penggunaan kelambu (p=0,000, OR=8,2, CI=2,22-30,48) dan penggunaan

obat nyamuk (p=0,000, OR= 30,3, CI=9,88-93,07) memiliki hubungan

dengan kejadian DBD. Penelitian lain juga dilakukan oleh Kusnadi (2010)

di Lombok Timur, diketahui bahwa penggunaan kelambu memiliki

hubungan dengan kejadian DBD. Sedangkan penelitian yang dilakukan

Page 32: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

19

oleh Widodo (2012) di Kota Mataram dengan desain case control dan

sampel berjumlah 198 orang, diketahui bahwa penggunaan kassa nyamuk

memiliki hubungan dengan kejadian DBD (p=0,011, OR= 0,41 CI=0,206-

0,815) .

Perilaku kesehatan seseorang dapat disadari secara langsung

maupun tidak bahwa perilaku mereka dapat mempengaruhi kesehatan,

seperti perilaku mobilisasi. Mobilisasi penduduk akan mendorong

terjadinya KLB penyakit infeksi (Wilder dan Gubler, 2008). Sebagaimana

penelitian yang telah dilakukan oleh Roose (2008) di Pekanbaru dengan

desain case control dan sampel berjumlah 170 (85 kasus dan 85 kontrol),

diketahui bahwa mobilisasi merupakan faktor dominan yang berhubungan

dengan kejadian DBD (OR=20,90). Penelitian serupa juga dilakukan

Rahayuningsih (2012) dan diketahui bahwa ada hubungan antara

mobilisasi dengan kejadian DBD (p=0,006, OR= 0,5,371) .

2.2.3 Karakteristik Lingkungan

2.2.3.1 Lingkungan Fisik

Kondisi lingkungan erat kaitannya dengan kehidupan

manusia. Virus membutuhkan tempat dengan kondisi yang sesuai

agar bisa bertahan hidup dan menginfeksi kepada host.

Lingkungan fisik maupun non fisik memiliki sejumlah

karakteristik tertentu yang dapat mempengaruhi kondisi

perkembangan suatu penyakit.

Page 33: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

20

Virus dengue dapat berkembang dengan baik berdasarkan

kondisi wilayah tertentu. Penyakit DBD dapat menyebar pada

semua tempat kecuali tempat-tempat dengan ketinggian 1000

meter dari permukaan laut karena pada tempat yang tinggi dengan

suhu yang rendah perkembangbiakan Aedes aegypti tidak

sempurna.

Kondisi faktor lingkungan fisik seperti unsur iklim yang

terdiri dari: curah hujan, kelembaban nisbi, suhu udara dapat

mempengaruhi kejadian DBD melalui keberadaan vektor.

Perubahan iklim yang ditandai dengan peningkatan suhu rata-rata

dapat mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti

dengan memperpendek waktu yang diperlukan untuk berkembang

dari fase telur menjadi nyamuk dewasa sehingga potensi penular

DBD tinggi (Dudiarto dan Anggraeni, 2001; Mangguang, 2010).

Kondisi iklim dapat berhubungan dengan kejadian DBD.

Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Wirayoga (2013) di

kota Semarang dengan desain correlation study dan diketahui

bahwa faktor iklim khususnya curah hujan dan kelembaban udara

berhubungan dengan kejadian DBD (p=0,001, r=0,403 dan

p=0,001, r=0,533).

Page 34: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

21

2.2.3.2 Lingkungan Sosial

Lingkungan sosial merupakan lingkungan yang

berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi seperti arus

urbanisasi. Urbanisasi dapat menimbulkan masalah sosial yaitu

kepadatan penduduk (Dudiarto dan Anggraeni, 2001). Kepadatan

penduduk juga dapat menyebabkan masalah kesehatan.

Wilayah dengan kepadatan dan mobilitas penduduk yang

tinggi biasanya juga memiliki kejadian DBD yang tinggi

(Kemenkes RI, 2010). Mobilitas penduduk yang tinggi berakibat

pada pertumbuhan penduduk perkotaan yang cepat, hal tersebut

bisa disebabkan karena membaiknya sarana dan prasarana

transportasi sehingga pengendalian populasi menjadi lemah dan

memungkinkan terjadinya KLB DBD (Candra, 2010).

Sebagaimana penelitian yang telah dilakukan oleh Daud

(2005) dengan desain cross sectional melalui analisis spasial dan

sampel berjumlah 545 kejadian DBD, diketahui bahwa kepadatan

penduduk memiliki hubungan dengan kejadian DBD (p=0,004) .

Penelitian lain yang dilakukan oleh Suyasa et al (2007) dengan

sampel berjumlah 90 penderita dan desain cross sectional,

diketahui bahwa kepadatan penduduk berhubungan dengan

kejadian DBD (p= 0,024).

Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan tidak terkendali

dapat mengakibatkan permasalahan seperti kesenjangan sosial

Page 35: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

22

dan kemiskinan. Faktor kemiskinan dapat mengakibatkan orang

tidak mempunyai kemampuan untuk menyediakan rumah yang

layak dan sehat, pasokan air minum dan pembuangan sampah

yang benar, sehingga kesehatan dapat terganggu.

2.2.4 Karakteristik Vektor

Kejadian DBD dapat dipengaruhi oleh keberadaan vektor dan jenis

vektor, sebagaimana penjelasan yang telah tertera pada bagian sub bab

etiologi DBD. Tidak semua jenis vektor dapat menularkan penyakit DBD.

Keberadaan dan perkembangbiakan vektor DBD dipengaruhi oleh

karakteristik fisik dan geografis lingkungan.

Aedes aegypti sebagai vektor penular DBD mengalami

metamorfosis lengkap/ metamorfosis sempurna yaitu dengan bentuk siklus

hidup berupa telur, larva, pupa dan dewasa. Larva nyamuk akan

menggantungkan dirinya pada permukaan air untuk mendapatkan oksigen

dari udara. Pupa nyamuk akan berenang naik turun dari bagian dasar ke

permukaan air. Dalam waktu dua atau tiga hari perkembangan pupa sudah

sempurna dan siap menjadi nyamuk dewasa (Palgunadi et al, 2013).

Nyamuk dewasa siap mengisap darah dan memiliki pola aktivitas

gigitan. Hanya nyamuk betina yang mengisap darah dan kebiasaan

mengisap darah pada Aedes aegypti umumnya pada waktu siang hari

sampai sore hari. Kegiatan menggigit dapat berbeda menurut umur, waktu

dan lingkungan.

Page 36: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

23

Upaya penanggulangan DBD dapat dilakukan dengan pengendalian

vektor sebelum menjadi nyamuk dewasa yakni dengan mengidentifkasi

keberadaan jentik vektor. Sebagaimana penelitian yang telah dilakukan

oleh Erliyanti (2008) di Kota Metro Provinsi Lampung diketahui bahwa

keberadaan jentik vektor memiliki hubungan dengan kejadian DBD

(p=0,000, OR=9,796, CI=4,304-22,299). Keberadaan jentik vektor dapat

juga diidentifikasi dari kepadatan jentik vektor.

Kepadatan jentik vektor biasanya dinyakatan oleh Angka Bebas

Jentik (ABJ). Perhitungan ABJ dapat dilakukan dengan cara (Kemenkes

RI, 2011a):

a. ABJ

Jumlah rumah/bangunan yang bebas jentik

X 100%

Jumlah rumah/bangunan yang diperiksa

b. Container Index:

Jumlah container ada jentik

X 100%

Jumlah container yang diperiksa

c. House Index:

Jumlah rumah yang ditemukan jentik

X 100%

Jumlah rumah yang diperiksa

d. Breteau Index:

Jumlah container dengan jentik

X 100%

100 rumah

Page 37: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

24

2.2.5 Pelayanan Kesehatan

2.2.5.1 Tata Laksana Kasus

Sampai saat ini belum ada obat ataupun vaksin DBD.

Adapun prinsip dasar pengobatan DBD ialah penggantian cairan

tubuh yang hilang karena kebocoran plasma (Kemenkes RI, 2010).

Di samping itu, pengobatan DBD dapat dikelompokkan menjadi

pengobatan simptomatif dan suportif. Pengobatan DBD yang sesuai

diharapkan dapat menurunkan tingkat keparahan dan penyebab

kematian DBD.

DBD merupakan penyakit menular yang dapat

menimbulkan wabah. Berdasarkan UU No 4 tahun 1984 tentang

wabah penyakit menular dan Peraturan Menteri Kesehatan No.

1501 tahun 2010, setiap penderita yang termasuk tersangka DBD

harus segera dilaporkan selambat-lambatnya 24 jam oleh unit

pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas.

2.2.5.2 Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB)

Penyakit DBD berpotensi mengakibatkan KLB bila tidak

ditanggulangi dengan tepat. Pemerintah Republik Indonesia telah

membuat suatu program kesehatan untuk mencegah terjadinya

KLB DBD melalui program penanggulangan DBD. Program

penanggulangan tersebut antara lain:

Page 38: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

25

a. Penemuan dan Pelaporan Penderita

Petugas kesehatan di unit-unit pelayanan kesehatan harus

segera melaporkan penemuan penderita DBD. Penemuan dan

pelaporan penderita untuk mencegah terjadinya KLB disebut

dengan Penyelidikan Epidemiologi DBD. Penyelidikan

Epidemiologi DBD dilakukan dengan pencarian penderita atau

tersangka DBD lainnya dan pemeriksaan jentik ditempat tinggal

penderita dan rumah/ bangunan sekitarnya, termasuk tempat-

tempat umum dalam radius sekurang-kurangnya 100 meter

(Kemenkes RI, 2011a). Penemuan penderita DBD dengan cepat

diharapkan dapat mengurangi kejadian DBD, dan kegiatan tata

laksana kasus dapat segera diterapkan.

b. Penanggulangan Fokus

Penanggulangan fokus dapat dilakukan dengan

penyemprotan insektisida atau disebut dengan fogging fokus,

jika dari penyelidikan epidemiologi ditemukan penderita atau

tersangka DBD sekurang-kurangnya 3 orang dengan tanda

demam tanpa sebab yang jelas dan terdapat hasil jentik di

wilayah tersebut (Kemenkes RI, 2011a). Penyemprotan

insektisida dapat diikuti dengan kegiatan penyuluhan dan

gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) oleh masyarakat.

Pelaksanaan penanggulangan fokus yang tepat

diharapkan dapat mencegah kejadian KLB DBD. Berdasarkan

Page 39: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

26

penelitian yang telah dilakukan oleh Rahayani (2010) di Kota

Surabaya dengan pendekatan analisis spasial, diketahui bahwa

kegiatan penanggulangan fokus dapat mempengaruhi kejadian

DBD (p= 0,001, r=0,206) .

c. Pemberantasan Vektor Intensif

Pemberantasan vektor intensif dapat dilakukan melalui

kegiatan pengendalian vektor dan gerakan PSN. Pengendalian

vektor dapat dilakukan secara biologi, kimiawi dan manajemen

lingkungan (Kemenkes RI, 2011a). Sedangkan gerakan PSN

dapat dilakukan dengan kegiatan seperti pemberantasan sarang

nyamuk melalui peran aktif masyarakat melalui langkah 3 M,

yaitu:

1. Menguras tempat-tempat penampungan air secara teratur

paling sedikit seminggu sekali atau menaburkan bubuk

abate ke dalamnya.

2. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air.

3. Mengubur atau menyingkirkan barang bekas yang dapat

menampung air hujan seperti kaleng-kaleng bekas dan

plastik (Depkes, 2007).

Pelaksanaan pemberantasan vektor diharapkan dapat

mencegah terjadinya KLB DBD melalui kegiatan PSN dengan

menilai keberadaan jentik vektor. Sebagaimana penelitian yang

dilakukan oleh Santoso dan Budiyanto (2008) di Kota

Page 40: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

27

Palembang dengan desain cross sectional dan sampel berjumlah

606 orang, diketahui bahwa gerakan PSN mempengaruhi

keberadaan jentik vektor DBD. Penelitian serupa juga

dilakukan oleh Harya et al (2013) di Kota Bengkulu dengan

sampel berjumlah 280 orang, dan diketahui bahwa memang ada

hubungan antara gerakan PSN dengan keberadaan jentik vektor

(p=0,002) .

d. Penyuluhan

Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan yang

dilakukan dengan cara menyebarkan pesan, menanamkan

keyakinan, sehingga diharapkan dapat merubah perilaku

kesehatan seseorang. Dalam hal ini, kegiatan penyuluhan terkait

informasi penularan dan pencegahan DBD dapat disebarluaskan

ke masyarakat agar masyarakat dapat melakukan kegiatan

penanggulangan dan pengendalian DBD secara mandiri.

e. Pemantauan Jentik Berkala

Kegiatan Pemantauan Jentik Berkala (PJB) dapat

dilakukan oleh juru pemantau jentik (jumantik) (Kemenkes RI,

2011a). Kegiatan ini bertujuan untuk memantau tingkat

kepadatan jentik dari hasil pemeriksaan rumah-rumah dan

tempat-tempat umum. Keberadaan jumantik diharapkan dapat

menurunkan kejadian DBD melalui peran aktif masyarakat.

Sebagaimana penelitian yang telah dilakukan oleh Widayani

Page 41: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

28

(2011) di Kabupaten Sleman, diketahui bahwa adanya hubungan

antara keberadaan jumantik dengan kejadian DBD.

2.3 Analisis Spasial

Analisis spasial merupakan teknik atau proses yang melibatkan sejumlah

hitungan dan evaluasi logika (matematis) yang dilakukan dalam rangka mencari

atau menemukan (potensi) hubungan yang terdapat di antara unsur-unsur

geografis (Prahasta, 2009). Adapun sistem informasi geografis menurut Chrisman

(1997) dalam Prahasta (2009) terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data,

manusia, organisasi dan lembaga yang digunakan untuk mengumpulkan,

menyimpan dan menganalisis serta menyebarluaskan informasi mengenai daerah-

daerah di permukaan bumi.

Pemanfaatan analisis spasial harus didukung dengan data spasial. Data

spasial adalah data yang berkaitan dengan lokasi berdasarkan geografi yang terdiri

dari lintang-bujur dan wilayah. Menurut Pfeiffer et al (2008) dalam Faiz (2013)

data spasial menerapkan prinsip distribusi geografis berupa fenomena fisikal

seperti iklim, kepadatan penduduk atau permasalahan kesehatan sesuai lokasi

sebenarnya.

2.3.1 Manfaat Analisis Spasial Bagi Informasi Kesehatan

Analisis spasial dengan sistem informasi geografis, memiliki

peranan penting terutama di bidang kesehatan. Saat ini pemanfaatan

Page 42: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

29

analisis spasial memberikan kontribusi dalam bidang kesehatan seperti

(Nuckols et All, 2004):

a) Memonitor status kesehatan untuk mengidentifikasi status kesehatan

yang ada di masyarakat.

b) Menentukan studi populasi dalam studi epidemiologi.

c) Mengidentifikasi sumber dan rute infeksi penularan penyakit.

d) Memperkirakan terinfeksinya suatu lingkungan karena paparan

tertentu.

e) Mengukur masalah kesehatan masyarakat di suatu wilayah.

Pemanfaatan analisis spasial juga dapat memperkirakan paparan

penyakit pada wilayah tertentu (Yu et al, 2006) serta untuk monitoring

kesehatan dengan identifikasi sumber paparan dalam studi epidemiologi

tertentu (Nukcols, 2004). Analisis spasial dapat dilakukan dengan

melakukan geocoding alamat di area studi selama periode waktu yang

relevan dengan penyakit. Hal tersebut dilakukan untuk memonitor dan

mengontrol penyebaran penyakit melalui langkah pengawasan.

Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh beberapa

peneliti lain, diketahui bahwa pemanfaatan analisis spasial dapat

digunakan untuk penelitian penyakit DBD. Berikut ialah tabel terkait

penelitian terdahulu tentang pemanfaatan analisis spasial pada kejadian

DBD:

Page 43: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

30

Tabel 2.1

Penelitian Analisis Spasial DBD

Nama

Peneliti Tahun Desain

Populasi dan

Sampel

Penelitian

Analisis Spasial

yang Digunakan Hasil

Widyawati,

et al

2011 Ecological

Study

Populasi: Semua

kejadian DBD di

Kelurahan

Pademangan

Jakarta Utara

berjumlah 138

kejadian DBD

Sampel: Seluruh

data populasi

Elementary anlysis

dengan data

sekunder dan

primer melalui

observasi lokasi

kejadian DBD

Penggunaan

analisis spasial

dapat memprediksi

lokasi potensial

penyakit DBD

melalui data ABJ

di Kelurahan

Pademangan

Jakarta Utara

Febriyetti 2010 Ecological

Study

Populasi: Semua

Kejadian DBD

di DKI Jakarta

2000-2009

Sampel: Seluruh

data populasi

Overlay atau

tumpang susun

layar dengan

menggunakan data

sekunder

Penggunaan

analisis spasial

dapat memberikan

informasi pola

variasi cuaca dan

kasus DBD secara

spasial di DKI

Jakarta

Rosli, et al 2010 Ecological

Study

Populasi: Semua

kasus dengue

yang berhasil

tercatat di Sub

distrik Hulu

Langat Selangor

Malaysia tahun

2003 sebanyak

197 kasus

Sampel: Seluruh

data populasi

Nearest Neighbour

Index dengan

menggunakan data

primer terkait titik

lokasi geografi

kasus DBD

Penggunaan

analisis spasial

memberikan

informasi bahwa

kasus dengue di

Sub distrik Hulu

Langat Selangor

Malaysia tahun

2003 berpola

mengelompok

dengan nilai NNI

sebesar 0,518755

Hairani L.K 2009 Ecological

Study

Populasi: Semua

Kejadian DBD

di Kecamatan

Cimanggis Kota

Depok tahun

2005-2008

sebanyak 2133

kejadian DBD

Sampel: Seluruh

data populasi

Overlay atau

tumpang susun

layar dengan

menggunakan data

sekunder

Penggunaan

analisis spasial

dapat memberikan

informasi daerah

penyebaran DBD

di Kecamatan

Cimanggis Kota

Depok

Putri M. K 2008 Ecological

Study

Populasi: Semua

Kejadian DBD

Overlay atau

tumpang susun

Penggunaan

analisis spasial

Page 44: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

31

di Kotamadya

Jakarta Timur

tahun 2004-2006

Sampel: Seluruh

data populasi

layar dengan

menggunakan data

sekunder

dapat memberikan

informasi daerah

penyebaran DBD

di Kotamadya

Jakarta Timur dan

menentukan daerah

rawan melalui ABJ

Page 45: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

32

2.4 Kerangka Teori

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Sumber: HL. Blum (1974) dalam Notoadmodjo (2007); Gertsman (2003); Kemenkes RI (2011)

Lingkungan Fisik:

Suhu

Kelembaban Udara

Kecepatan Angin

Curah Hujan

Ketinggian Tempat

Karakteristik Individu:

Umur

Jenis Kelamin

Imunitas

Status Gizi

Perilaku:

Penggunaan Kelambu

Penggunaan Kassa Nyamuk

Penggunaan Obat Nyamuk

Mobilisasi

Lingkungan Sosial:

Kepadatan Penduduk

Vektor:

Kepadatan Jentik

Vektor

Jenis Nyamuk

Program Pelayanan

Kesehatan:

Pemeriksaan Jentik

Berkala

Gerakan PSN

Program Pelayanan Kesehatan:

Penyelidikan Epidemiologi

Fogging Fokus

Kejadian

DBD

Pengetahuan

Penyuluhan

Page 46: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

33

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya diketahui ada beberapa faktor

yang dapat berhubungan dengan kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD).

Peneliti memilih kepadatan penduduk, kepadatan jentik vektor, fogging fokus,

penyelidikan epidemiologi DBD, jenis kelamin, umur dan kejadian DBD sebagai

variabel penelitian.

Namun terdapat faktor yang tidak menjadi variabel penelitian ini, hal ini

terjadi karena pertimbangan khususnya terkait kondisi data sekunder yang

tersedia. Berdasarkan pendahuluan yang telah dilakukan pada Februari 2014,

diketahui bahwa data terkait status gizi, status imunitas dan pendidikan tidak

tersedia di institusi penelitian. Sedangkan jenis nyamuk yang menggigit,

kebiasaan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), penggunaan kelambu,

penggunaan kassa, penggunaan obat nyamuk dan mobilisasi tidak dijadikan

variabel, karena peneliti akan melakukan penelitian pada satu waktu saja.

Sedangkan faktor tersebut membutuhkan informasi tentang komponen perilaku

dan pengamatan untuk waktu tiga tahun dan jika diukur sesaat dikhawatirkan

terjadi bias informasi.

Suhu, kelembaban udara, kecepatan angin, curah hujan, ketinggian tempat

dan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) tidak dijadikan variabel penelitian oleh

peneliti. Hal tersebut dikarenakan telah ada penelitian sebelumnya terkait

hubungan iklim yakni suhu, kelembaban udara, kecepatan angin dan curah hujan

Page 47: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

34

dengan kejadian DBD di kota Bekasi oleh Zainudin (2005) melalui analisis

spasial, dan didapatkan informasi bahwa tidak ada hubungan antara iklim dengan

kejadian DBD. Di samping itu iklim, ketinggian tempat, dan PJB pada wilayah

yang akan diteliti tidak memiliki variasi nilai dan terlalu homogen. Peneliti juga

mendapatkan informasi bahwa wilayah yang akan diteliti semuanya telah

mengikuti pembinaan Kelompok Kerja Operasional Pemberantasan Penyakit

DBD (Pokjanal DBD) dan terbentuk tim juru pemantau jentik (jumantik) di setiap

kelurahan untuk melakukan PJB.

Oleh karena itu, kerangka konsep yang dipakai dalam penelitian dapat

digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3.1

Kerangka Konsep

Kejadian DBD

Jenis Kelamin

Umur

Kepadatan Penduduk

Kepadatan Jentik Vektor

Penyelidikan Epidemiologi DBD

Fogging Fokus

Page 48: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

35

3.2 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Cara Ukur Hasil Ukur Skala

Ukur

1 Kejadian

DBD

Penderita DBD di wilayah

kerja Puskesmas Pengasinan dan

tercatat oleh petugas Puskesmas

Pengasinan pada buku register

Puskesmas dengan alamat jelas

yang dapat diobservasi melalui

lintang geografi serta dijadikan

data spasial

1. Telaah dokumen dihitung dengan:

Jumlah kejadian baru DBD di wilayah

kerja Puskesmas Pengasinan pada tahun

2011-2013

Jumlah Penduduk di wilayah kerja

Puskesmmas Pengasinan pada tahun yang

sama

2. Observasi langsung terhadap titik lokasi

lintang geografis menggunakan alat GPS

dan tabel observasi

Angka insidens

rate per

100.000

penduduk

Peta titik

kejadian DBD

dengan skala

1:16000

Rasio

2 Umur Lamanya tahun kehidupan yang

dimiliki oleh penderita DBD

yang tertera dalam buku register

DBD Puskesmas Pengasinan

Telaah dokumen 1. 0-4 tahun

2. 5-14 tahun

3. 15-24

tahun

4. 25-49

Ordinal

Tabel 3.1

Definisi Operasional

Page 49: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

36

tahun

5. > 50 tahun

3 Jenis

Kelamin

Karakteristik identitas berupa

jenis kelamin penderita yang

tertera dalam buku register DBD

Puskesmas Pengasinan

Telaah dokumen 1. Laki-laki

2. Perempuan

Ordinal

4 Kepadatan

Penduduk

Jumlah penduduk yang berada di

wilayah kerja Puskesmas

Pengasinan dibagi satuan luas

wilayah tersebut

Telaah dokumen dan dihitung dengan:

Jumlah penduduk

Luas wilayah

Jiwa/ km2

Rasio

5 Kepadatan

Jentik Vektor

Persentase jumlah jentik vektor

penular DBD yang diambil dari

nilai Angka Bebas Jentik (ABJ)

dari setiap kelurahan yang telah

dilakukan oleh petugas

Puskesmas Pengasinan

Telaah dokumen dan dihitung dengan:

Mencari rata-rata nilai ABJ di wilayah kerja

Puskesmas Pengasinan dari tahun 2011-2013,

nilai ABJ didapat dengan menghitung:

Jumlah rumah di wilayah kerja Puskesmas

Pengasinan yang bebas jentik

x100 %

Jumlah rumah yang diperiksa

% Rasio

6 Penyelidikan

Epidemiologi

DBD

Kegiatan pelacakan penderita

lainnya dan pemeriksaan jentik

nyamuk penular penyakit DBD

Telaah dokumen

Jumlah

penyelidikan

epidemiologi

Rasio

Page 50: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

37

di rumah penderita/tersangka

dan rumah-rumah sekitarnya

dalam radius sekurang-kuranya

100 meter, serta tempat umum

yang diperkirakan menjadi

sumber penyebaran penyakit

lebih lanjut yang dilakukan oleh

petugas Puskesmas Pengasinan

7 Fogging

Fokus

Kegiatan penanggulangan fokus

dengan penyemprotan memakai

insektisida di wilayah

Puskesmas Pengasinan yang

terdapat penderita DBD

Telaah dokumen

Jumlah fogging

fokus

Rasio

Page 51: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

38

BAB 1V

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian epidemiologi deskriptif

dengan ecological study. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui

penyebaran kejadian Demam Beradarah Dengue (DBD) di wilayah kerja

Puskesmas Pengasinan tahun 2011-2013. Desain ecological study dipakai

karena pada penelitian ini menggunakan data sekunder berbasis populasi.

Kelemahan penelitian ini ialah kemungkinan adanya data kejadian

DBD yang tidak terlaporkan ke Puskesmas karena penelitian ini hanya

menggunakan data sekunder yang bersumber dari Puskesmas. Adapun

variabel yang diukur pada penelitian ini ialah, umur, jenis kelamin,

kepadatan penduduk, kepadatan jentik vektor, pelaksanaan fogging fokus

dan pelaksanaan penyelidikan epidemiologi DBD dan kejadian DBD di

wilayah kerja Puskesmas Pengasinan.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan

yang terdiri dari dua kelurahan yakni: Kelurahan Pengasinan dan

Kelurahan Sepanjang Jaya. Pengumpulan data telah dilakukan selama

bulan April-Mei tahun 2014. Adapun jadual penelitian yang telah

dilakukan dapat digambarkan sebagai berikut:

Page 52: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

39

Tabel 4.1

Jadual Penelitian

Kegiatan

Bulan

April Mei Juni

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Revisi Proposal Penelitian

Pengambilan data sekunder

Observasi lapangan

Analisis data

Penyusunan laporan

Bimbingan

4.3 Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kejadian DBD di

wilayah kerja Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi dari tahun 2011-2013

yang berhasil tercatat di Puskesmas Pengasinan pada buku register DBD

dengan kriteria memiliki alamat jelas yaitu berjumlah 216 kejadian DBD

sedangkan 14 kejadian lainnya tidak memiliki alamat jelas sehingga tidak

diteliti.

4.4 Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan instrumen berupa tabel ceklist data,

tabel observasi plotting kejadian DBD dan alat Global Positiong System

(GPS) Garmin tipe Ex-Trex 30.

4.5 Manajemen Data

4.5.1 Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui dua teknik, yaitu

pengumpulan data sekunder dan data primer. Pengumpulan data

Page 53: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

40

sekunder dilakukan untuk mendapatkan data kejadian DBD,

kepadatan penduduk, pelaksanaan penyelidikan epidemiologi

(PE) DBD, pelaksanaan fogging fokus dan kepadatan jentik

vektor. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penelitian

ini telah diperoleh dari berbagai instansi seperti:

Tabel 4.2

Sumber Data

No Sumber Data

1 Data kejadian DBD dari Puskesmas Pengasinan

2 Data kepadatan penduduk dari Kelurahan Sepanjang Jaya

dan Kelurahan Pengasinan

3 Data cakupan PE DBD dari Puskesmas Pengasinan

4 Data cakupan fogging fokus dari Puskesmas Pengasinan

5 Data kepadatan jentik vektor/ ABJ dari Puskesmas

Pengasinan

Pengumpulan data primer dilakukan dengan melakukan

observasi ke tempat tinggal penderita DBD untuk mendapatkan

data spasial DBD melalui alat GPS Garmin tipe Ex-Trex 30 dan

lembar observasi plotting kejadian DBD. Adapun tahapan

pengumpulan data spasial dilakukan sebagai berikut:

a. Collecting, merupakan tahapan pengumpulan data kejadian

DBD dari laporan Puskesmas tahun 2011-2013, dan

berdasarkan laporan kejadian DBD yang berhasil tercatat

pada buku register DBD jumlah kejadian DBD selama 2011-

2013 adalah 230 kejadian DBD.

Page 54: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

41

b. Cleaning, merupakan tahapan pemilihan data terkait kejadian

DBD yang memiliki alamat jelas agar dapat dijadikan data

spasial dan berdasarkan hasil telaah dokumen dari keterangan

pada buku register DBD diketahui bahwa jumlah kejadian

DBD selama 2011-2013 adalah 220 kejadian.

c. Plotting, merupakan tahapan obbservasi dengan perekaman

dan pencatatan lokasi penderita DBD melalui alat GPS dan

berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan diketahui

bahwa jumlah kejadian DBD selama 2011-2013 yang dapat

ditemukan sesuai dengan lokasi rumah penderita adalah 216

kejadian.

4.5.2 Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan setelah data berhasil dikumpulkan.

Pengolahan data menggunakan beberapa software pendukung seperti

software pengolah data dan software pengolah khusus data spasial

seperti Quantum GIS liboa versi 1.8.0. dan Easy GPS. Tahapan

pengolahan data dilakukan berdasarkan analisis yang akan digunakan

yakni analisis spasial dan analisis statistik. Adapun tahapan pengolahan

data untuk analisis spasial ialah:

a. Transferring, merupakan proses memindahkan data waypoint

kejadian DBD dari alat GPS ke komputer melalui kabel usb dan

software Easy GPS.

Page 55: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

42

b. Processing, merupakan proses perubahan data waypoint menjadi

data spasial kejadian DBD menjadi bentuk shapefile ke

Quantum GIS versi 1.8.0

c. Cleaning, merupakan pembersihan data atau pengecekan data

dengan melihat jumlah titik lokasi kejadian DBD dengan tabel

observasi plotting kasus untuk menghindari kesalahan.

Sedangkan tahapan pengolahan data statistik untuk analisis

univariat ialah:

a. Processing, merupakan proses memasukkan data ke dalam

software pengolah data statistik dengan template yang sudah

dipersiapkan sebelumnya.

b. Cleaning, merupakan pembersihan data atau pengecekan data yang

berhasil dikumpulkan dengan memperhatikan tujuan dan definisi

operasional penelitian untuk menghindari kesalahan.

c. Editting, merupakan tahapan menyusun data setelah tahapan

cleaning agar siap untuk dianalisis.

4.6 Analisis Data

4.6.1 Analisis Univariat

Analisis univariat digunakan untuk mengetahui distribusi

frekuensi kejadian DBD berdasarkan kelompok umur dan jenis

kelamin, kepadatan penduduk, kepadatan jentik vektor, penyelidikan

epidemiologi DBD dan fogging fokus.

Page 56: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

43

4.6.2 Analisis Spasial

Analisis spasial yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan point pattern methode. Point pattern methode dalam

epidemiologi spasial merupakan penampilan distribusi kejadian

penyakit berdasarkan ruang (Lai et al, 2009). Adapun point pattern

methode yang digunakan pada penelitian ini memakai analisis spasial

elementary analaysis of disease, Nearest Neighbour Index (NNI) dan

Convex hulls .

Elementary analysis of disease digunakan untuk mengetahui,

penyebaran penyakit di masyarakat yang terungkap melalui plotting

kejadian penyakit (di lokasi rumah individu yang terinfeksi) yang aktif

dengan geocoding atau alamat yang sesuai (Lai et al, 2009).

Elementary analysis of disease digunakan untuk mengetahui

penyebaran kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan

berdasarkan titik kejadian DBD yang tergambarkan pada peta.

Analisis NNI digunakan untuk mengetahui pola penyebaran

kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan tahun 2011-

2013. Menurut Rosli et al (2010) nilai NNI dapat dihitung dengan

rumus sebagai berikut:

Page 57: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

44

Keterangan:

: rata-rata jarak observasi antara masing-masing kejadian dan

tetangga terdekatnya,

: expected NNI

: jarak antara kejadian i dan kejadian tetangga terdekatnya,

m : jumlah kejadian

A : luas daerah.

Analisis convex hulls digunakan untuk mengetahui luas

wilayah penyebaran dari lokasi terjauh kejadian DBD di wilayah kerja

Puskesmas Pengasinan. Convex hulls menurut Prahasta (2009)

dilakukan dengan cara membuat unsur spasial baru bertipe poligon

yang mempersentasikan domain horizontal dari titik-titik yang saling

terhubung.

Pada penelitian ini, nilai NNI dan convex hulls diketahui dari

perhitungan lokasi geografis kejadian DBD yang dihasilkan melalui

software Quantum GIS lisboa versi 1.8. Adapun nilai NNI yang akan

dihasilkan antara lain (Cromley dan McLafferty, 2002):

a. NNI = 1 berarti kejadian DBD di wilayah pengamatan berpola

acak (random)

NNI =

Page 58: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

45

b. NNI < 1 berarti kejadian DBD di wilayah pengamatan berpola

berkelompok (clustered)

c. NNI > 1 berarti kejadian DBD di wilayah pengamatan berpola

menyebar (dispersed).

4.7 Penyajian Data

Pada penelitian ini penyajian data ditampilkan ke dalam bentuk

tabel dan peta. Penyajian dalam bentuk tabel digunakan untuk

menyajikan distribusi frekuensi kejadian DBD berdasarkan jenis kelamin

dan umur, penyelidikan epidemiologi DBD, fogging fokus, kepadatan

jentik vektor dan kepadatan penduduk. Sedangkan penyajian dalam

bentuk peta digunakan untuk menyajikan distribusi kejadian DBD serta

pola penyebaran DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan.

Page 59: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

46

BAB V

HASIL

5.1 Karakteristik Wilayah Penelitian

5.1.1 Peta Wilayah

Puskesmas Pengasinan berada di Kecamatan Rawalumbu Kota Bekasi

dan memiliki karakteristik wilayah dataran rendah dengan ketinggian 19 m

di atas permukaan laut. Puskesmas Pengasinan memiliki wilayah kerja

sebanyak dua kelurahan yaitu Pengasinan dan Sepanjang Jaya, dengan luas

wilayah masing-masing 2,72 km2 dan 2,94 km

2. Puskesmas Pengasinan

secara geografis terletak di Kelurahan Pengasinan.

Kelurahan Pengasinan meliputi wilayah lingkungan perumahan dan

perkampungan warga, sedangkan Kelurahan Sepanjang Jaya didominasi

dengan lingkungan perumahan dengan status sosial yang lebih tinggi

dibandingkan dengan Kelurahan Pengasinan. Berikut ialah peta wilayah

kerja Puskesmas Pengasinan:

Page 60: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

47

Gambar 5.1

Peta Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan

5.1.2 Kependudukan

Wilayah kerja Puskesmas Pengasinan memiliki luas cakupan pelayanan

berdasarkan luas wilayah dan jumlah penduduk yang ada di Kelurahan

Pengasinan dan Sepanjang Jaya. Berikut adalah jumlah penduduk dan luas

wilayah kerja Puskesmas Pengasinan:

Tabel 5.1

Jumlah Kepadatan Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan

Tahun 2011-2013

Kelurahan Luas

(Km2)

2011 2012 2013

Jum.

Penduduk

Kepadatan

(Jiwa/ Km2)

Jum.

Penduduk

Kepadatan

(Jiwa/ Km2)

Jum.

Penduduk

Kepadatan

(Jiwa/ Km2)

Pengasinan 2,72 52311 19231,99 52410 19268,38 52326 19237,50

Sepanjang Jaya 2,94 33589 11424,83 32428 11029,93 32182 10946,26

Total 5,66 85900 15176,68 84838 14989,05 84508 14930,74

Sumber: Data Kelurahan Pengasinan dan Sepanjang Jaya

Keterangan:

Puskesmas

Page 61: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

48

Berdasarkan tabel 5.1 diketahui bahwa kepadatan penduduk di wilayah kerja

Puskesmas Pengasinan setiap tahunnya mengalami perubahan. Selama tahun

2011-2013 kepadatan penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan

mengalami penurunan, hal ini disebabkan karena di Kelurahan Sepanjang Jaya

dan Pengasinan mengalami mutasi penduduk keluar dengan jumlah lebih besar

daripada pendatang. Jika dilihat berdasarkan wilayah kelurahan, diketahui bahwa

kepadatan penduduk kelurahan Pengasinan lebih tinggi dari pada Kelurahan

Sepanjang Jaya setiap tahunnya. Adapun jumlah penduduk di wilayah kerja

Puskesmas Pengasinan menurut jenis kelamin dan kelompok umur dapat

dikelompokkan sebagai berikut:

Tabel 5.2

Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur di

Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan Tahun 2011-2013

Keterangan Tahun

Jenis Kelamin 2011 2012 2013

Perempuan 42558 41874 41873

Laki- laki 43342 42964 42635

Total 85900 84838 84508

Kelompok Umur

0-4 5555 5471 5556

.5-14 13614 13472 13506

15-24 15161 14959 15048

25-49 40038 39663 39452

> 50 11532 11273 10946

Total 85900 84838 84508

Sumber: Data Kelurahan Pengasinan dan Sepanjang Jaya

Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa dari tahun 2011-2013 jumlah

penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan berjenis kelamin laki-laki lebih

tinggi dari pada perempuan. Adapun jumlah penduduk menurut kelompok umur

tahun 2011-2013 di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan paling banyak berada

Page 62: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

49

pada kelompok umur 25-49 tahun di antara kelompok umur lainnya, sedangkan

kelompok umur 0-4 tahun merupakan kelompok umur dengan jumlah paling

rendah di antara kelompok umur lainnya.

5.2 Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan

5.2.1 Morbiditas dan Mortalitas Kejadian DBD

Morbiditas dan mortalitas kejadian DBD dapat diketahui melalui

jumlah kasus kejadian DBD serta jumlah meninggal akibat DBD. Jumlah

kejadian DBD dan meninggal akibat DBD di wilayah kerja Puskesmas

Pengasinan selama tahun 2011-2013 ialah sebagai berikut:

Tabel 5.3

Morbiditas dan Mortalitas DBD di Wilayah Kerja Puskesmas

Pengasinan Tahun 2011-2013

Kelurahan

Tahun

2011 2012 2013

K IR M CFR K IR M CFR K IR M CFR

Pengasinan 39 74,55 1 2,56 20 38,16 1 5 94 179,64 0 0

Sepanjang Jaya 7 20,84 1 14,28 20 61,68 1 5 36 111,86 0 0

Total 46 53,55 2 4,34 40 47,15 2 5 130 153,83 0 0

Sumber: Data Puskesmas Pengasinan (kejadian dan meninggal), Kelurahan Pengasinan dan Sepanjang

Jaya (jumlah penduduk) , Keterangan: K= Kasus, M= Meninggal, IR= Incidens Rate per 100.000

penduduk, CFR= Case Fatality Rate (%)

Berdasarkan tabel 5.3 diketahui bahwa angka kejadian DBD pada

populasi penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan (IR DBD) dan

kematian terhadap kasus DBD (CFR DBD) dari tahun 2011-2013

mengalami perubahan. Pada tahun 2012-2013 terjadi peningkatan angka

kejadian DBD pada populasi penduduk sebesar tiga kali lipat, sedangkan

Page 63: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

50

pada tahun 2011-2012 terjadi peningkatan angka kematian terhadap kasus

DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan.

Jika dilihat berdasarkan wilayah kelurahan pada tahun 2011, diketahui

bahwa Kelurahan Pengasinan memiliki angka IR DBD lebih tinggi daripada

Kelurahan Sepanjang Jaya. Adapun IR DBD di wilayah kerja Puskesmas

Pengasinan tahun 2011 berada di atas indikator IR nasional DBD tahun

2011 (54 per 100.000 penduduk). CFR DBD di wilayah kerja Puskesmas

Pengasinan juga berada di atas CFR nasional (2%).

Pada tahun 2012 diketahui bahwa IR DBD di wilayah kerja Puskesmas

Pengasinan tahun 2012 berada di bawah IR nasional DBD. Akan tetapi,

CFR DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan mengalami peningkatan

dan berada di atas CFR nasional.

Jika dilihat berdasarkan wilayah kelurahan pada tahun 2013, diketahui

bahwa Kelurahan Pengasinan memiliki IR DBD lebih tinggi daripada

Kelurahan Sepanjang Jaya. Adapun IR DBD di wilayah kerja Puskesmas

Pengasinan tahun 2013 mengalami peningkatan dan berada jauh di atas IR

nasional DBD, akan tetapi tidak ada kejadian meninggal akibat DBD.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka kejadian DBD di

wilayah kerja Puskesmas Pengasinan dari tahun 2011-2013 dapat

digambarkan sebagai berikut:

Page 64: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

51

Gambar 5.2

Peta Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan Tahun 2011-

2013

Berdasarkan gambar 5.2 diketahui bahwa kejadian DBD dapat

disimbolkan dengan titik pada peta. Kejadian DBD tahun 2013 lebih

banyak dibandingkan kejadian DBD pada tahun 2011 dan 2012. Jika dilihat

berdasarkan wilayah kelurahan sepanjang tahun 2011-2013, diketahui

bahwa Kelurahan Pengasinan lebih banyak memiliki titik kejadian DBD

dibandingkan Kelurahan Sepanjang Jaya.

5.2.2 Pola Penyebaran Kejadian DBD

Pola penyebaran kejadian DBD diketahui dengan menghitung indeks

jarak tetangga terdekat atau Neaesrt Neighbour Index (NNI) serta convex

Keterangan:

Kejadian DBD

th.2011

Kejadian DBD

th.2012

Kejadian DBD

th.2013

Meninggal

Puskesmas

Page 65: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

52

hulls yang didapat melalui software Quantum GIS dan didapatkan hasil

sebagai berikut:

Tabel 5.4

Analisis Pola Penyebaran

Parameter Tahun

2011 2012 2013

Luas wilayah (Ha) 509,838 535,316 570,863

Jumlah titik kasus 46 40 130

NNI 0,86 0,78 0,64

Pola sebaran Clustered Clustered Clustered

Berdasarkan tabel 5.4 diketahui bahwa, nilai NNI kejadian DBD dari

tahun 2011-2013 mengalami penurunan dan diikuti dengan peningkatan

jumlah kasus DBD. Nilai NNI kejadian DBD dari tahun 2011-2013 berada

di bawah angka 1 yang artinya pola penyebaran kejadian DBD di wilayah

kerja Puskesmas Pengasinan tahun 2011-2013 berpola mengelompok.

Penurunan nilai NNI dari tahun 2011-2013 menandakan bahwa jarak rata-

rata antara kasus DBD dari satu wilayah ke wilayah lainnya semakin dekat.

Di samping itu, luas wilayah kejadian DBD selama tahun 2011-2013

juga semakin bertambah. Pertambahan luas wilayah selama tahun 2011-

2013 menandakan bahwa wilayah penyebaran DBD semakin meluas.

Pola penyebaran kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan

juga dapat digambarkan berdasarkan tahun kejadian melalui peta

penyebaran kejadian DBD sebagai berikut

Page 66: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

53

Gambar 5.3

Peta Distribusi Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan

Tahun 2011

Berdasarkan gambar 5.3 diketahui bahwa kejadian DBD tahun 2011

disimbolkan dengan titik berwarna biru pada peta, sedangkan kejadian

meninggal akibat DBD disimbolkan dengan titik warna merah. Jika dilihat

berdasarkan wilayah kelurahan, diketahui bahwa titik kejadian DBD di

kelurahan Pengasinan lebih banyak dari pada Kelurahan Sepanjang Jaya.

Terdapat 1 kejadian meninggal di Kelurahan Pengasinan dan Sepanjang

Jaya. Sebagaimana analisis NNI yang telah dilakukan terhadap titik kejadian

DBD, didapatkan hasil bahwa pola penyebaran kejadian DBD di wilayah

kerja Puskesmas Pengasinan pada tahun 2011 memiliki nilai NNI sebesar

Keterangan:

Kejadian DBD

Meninggal

Puskesmas

Page 67: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

54

0,86 yang artinya pola penyebaran DBD di atas berpola berkelompok

(clustered).

Gambar 5.4

Peta Distribusi Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan

Tahun 2012

Berdasarkan gambar 5.4 diketahui bahwa kejadian DBD tahun 2012

disimbolkan dengan titik berwarna hitam pada peta. Jika dilihat berdasarkan

wilayah kelurahan, diketahui bahwa jumlah titik hitam di wilayah

Kelurahan Pengasinan sama dengan Kelurahan Sepanjang Jaya. Terdapat 1

kejadian meninggal di Kelurahan Pengasinan dan Sepanjang Jaya. Ada titik

kejadian DBD yang posisinya dekat dengan Puskesmas Pengasinan.

Sebagaimana analisis NNI yang telah dilakukan terhadap titik kejadian

DBD, didapatkan hasil bahwa pola penyebaran kejadian DBD di wilayah

kerja Puskesmas Pengasinan pada tahun 2012 memiliki nilai NNI sebesar

Keterangan:

Kejadian DBD

Meninggal

Puskesmas

Page 68: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

55

0,77 yang artinya pola penyebaran DBD di atas berpola berkelompok

(clustered).

Gambar 5.5

Peta Distribusi Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan

Tahun 2013

Berdasarkan gambar 5.5 diketahui bahwa kejadian DBD tahun 2013 di

wilayah Kelurahan Pengasinan disimbolkan dengan titik berwarna kuning

pada peta. Jika dilihat berdasarkan wilayah kelurahan, diketahui bahwa titik

kejadian DBD lebih banyak terdapat di Kelurahan Pengasinan dari pada

Kelurahan Sepanjang Jaya. Ada titik kejadian DBD yang posisinya dekat

dengan Puskesmas Pengasinan. Sebagaimana analisis NNI yang telah

dilakukan dari titik kejadian DBD, didapatkan hasil bahwa pola penyebaran

kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan pada tahun 2013

Keterangan:

Kejadian DBD

Puskesmas

Page 69: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

56

memiliki nilai NNI sebesar 0,64 yang artinya pola penyebaran DBD di atas

berpola berkelompok (clustered).

Pertambahan luas penyebaran kejadian DBD di wilayah kerja

Puskesmas Pengasinan selama tahun 2011-2013 juga dapat digambarkan

seperti peta di bawah ini:

Gambar 5.6

Polygon Peta Penyebaran Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas

Pengasinan Tahun 2011-2013 Melalui Analisis Convex Hulls

a b

c

Keterangann: a= Luas penyebaran kejadian DBD tahun 2011, b= Luas penyebaran kejadian

DBD tahun 2012, c= Luas penyebaran DBD tahun 2013, *peta diperkecil hingga 45%

Page 70: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

57

Berdasarkan gambar 5.6 dapat diketahui bahwa luas penyebaran

kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan dari tahun 2011-

2013 semakin bertambah. Menurut analisis convex hulls diketahui bahwa

luas penyebaran kejadian DBD paling luas ialah pada tahun 2013 seluas

570,863 Ha, kemudian tahun 2012 seluas 535,516 Ha dan tahun 2011 seluas

509,838 Ha. Artinya luas penyebarannya meningkat dari tahun ke tahun.

5.2.3 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Menurut Jenis Kelamin dan

Kelompok Umur

Jumlah kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan

menurut jenis kelamin dan kelompok umur dapat disajikan dalam tabel di

bawah ini:

Tabel 5.5

Distribusi Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas

Pengasinan Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur Tahun

2011-2013

Variabel

Tahun

2011 2012 2013

n % IR n % IR n % IR

Jenis Kelamin

Perempuan 25 54,34 58,74 21 52,5 50,15 56 43,07 133,74

Laki – laki 21 45,65 48,45 19 47,5 44,22 74 56,92 173,57

Total 46 100 53,55 40 100 47,15 130 100 153,83

Kelompok Umur

0-4 tahun 2 4,34 36 3 7,5 54,8 12 9,23 215,9

5-14 tahun 13 28,26 95,4 14 35 103,9 34 26,15 251,7

15-24 tahun 12 26,08 79,1 10 25 66,8 39 30 259,1

25-49 tahun 16 34,78 39,9 8 20 20,1 32 24,61 81,1

> 50 tahun 3 6,52 26 5 12,5 44,3 13 10 118,7

Total 46 100 53,5 40 100 47,1 130 100 153,8 Sumber: Data Puskesmas Pengasinan , Keterangan: IR= Incidens Rate per 100.000 penduduk

Page 71: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

58

Berdasarkan tabel 5.5 diketahui bahwa pada tahun 2011-2012 penyakit

DBD paling banyak diderita oleh perempuan, sedangkan pada tahun 2013

paling banyak diderita oleh laki-laki. Sedangkan kejadian DBD pada setiap

kelompok umur selalu mengalami perubahan. Angka IR DBD paling tinggi

terjadi pada kelompok umur 5-14 pada tahun 2011-2012 dan kelompok

umur 15-24 tahun pada tahun 2013. Ada peningkatan IR DBD pada

kelompok umur 0-4 tahun di tahun 2013.

5.2.4 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Kepadatan Penduduk

dan Kepadatan Jentik Vektor

Jumlah kepadatan jentik vektor dapat dilihat melalui rata- rata nilai

Angka Bebas Jentik (ABJ). Suatu wilayah memiliki kepadatan jentik vektor

tinggi apabila memiliki nilai ABJ di bawah 95%. Adapun jumlah kejadian

DBD berdasarkan kepadatan penduduk dan kepadatan jentik vektor di

wilayah kerja Puskesmas Pengasinan ialah sebagai berikut:

Tabel 5.6

Jumlah Kejadian DBD Berdasarkan Kepadatan Penduduk dan

Kepadatan Jentik Vektor Melalui ABJ di Wilayah Kerja

Puskesmas Pengasinan Tahun 2011-2013

Kelurahan

2011 2012 2013

IR DBD Kepadatan

Penduduk ABJ IR DBD Kepadatan

Penduduk ABJ IR DBD Kepadatan

Penduduk ABJ

Pengasinan 74,55 19231,99 94 38,16 19268,38 96,25 179,64 19237,50 95,75

Sepanjang

Jaya 20,84 11424,83 95,38 61,68 11029,93 97,25 111,86 10946,26 96,5

Total 53,55 15176,68 94,69 47,15 14989,05 96,75 153,83 14852,83 96,13

Sumber: Data Puskesmas Pengasinan, Kelurahan Pengasinan dan Sepanjang Jaya , Keterangan:

IR= Incidens Rate per 100.000 penduduk , Kepadatan Penduduk dalam Jiwa/ Km2

Page 72: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

59

Berdasarkan tabel 5.6 diketahui bahwa pada tahun 2011-2013 kejadian

DBD pada populasi penduduk (IR DBD) di wilayah kerja Puskesmas

Pengasinan mengalami peningkatan, tingkat kepadatan penduduk

mengalami penurunan dan nilai ABJ di wilayah kerja Puskesmas

Pengasinan cenderung mengalami peningkatan atau kepadatan jentik vektor

menurun.

Jika dilihat berdasarkan wilayah kelurahan, diketahui bahwa pada tahun

2011 dan 2013 IR DBD paling tinggi terjadi pada wilayah dengan

kepadatan penduduk paling tinggi serta nilai ABJ paling rendah atau

kepadatan jentik vektor tinggi yakni Kelurahan Pengasinan. Sedangkan pada

tahun 2012 IR DBD paling tinggi terjadi pada wilayah dengan kepadatan

penduduk yang paling rendah serta wilayah dengan nilai ABJ paling tinggi

atau kepadatan jentik vektor rendah yakni Kelurahan Sepanjang Jaya.

Diketahui bahwa nilai ABJ di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan dari

tahun 2011-2013 mengalami perubahan. Pada tahun 2011, kepadatan jentik

vektor di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan tinggi karena nilai ABJ di

bawah 95%, sedangkan pada tahun 2012-2013 kepadatan jentik vektor

rendah karena nilai ABJ berada di atas 95%. Dan diketahui dari tahun

2011-2013 nilai ABJ Kelurahan Sepanjang Jaya lebih tinggi dibandingkan

Kelurahan Pengasinan.

Page 73: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

60

5.2.5 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Penyelidikan

Epidemiologi DBD dan Fogging Fokus

Penyelidikan epidemiologi dilakukan sebagai upaya penanggulangan

DBD. Penyelidikan epidemiologi dilakukan oleh petugas Puskesmas

berasarkan kasus DBD yang berhasil terlaporkan. Penyelidikan

epidemiologi dilakukan untuk mencegah KLB.

Fogging fokus merupakan kegiatan penyemprotan insektisida di

wilayah yang terdapat penderita DBD. Jumlah fogging fokus DBD di

wilayah kerja Puskesmas Pengasinan didapatkan dari pelaksanaan fogging

fokus terhadap kejadian DBD yang berhasil diselidiki melalui

penyelidikan epidemiologi.

Adapun jumlah kejadian DBD berdasarkan penyelidikan

epidemiologi DBD dan fogging fokus di wilayah kerja Puskesmas selama

tahun 2011-2013 adalah sebagai berikut:

Tabel 5.7

Jumlah Kejadian DBD Berdasarkan Penyelidikan Epidemiologi

(PE) DBD dan Fogging Fokus di Wilayah Kerja Puskesmas

Pengasinan Tahun 2011-2013

Kelurahan

2011 2012 2013

Kejadian

DBD PE (%) FF (%)

Kejadian

DBD PE (%) FF (%)

Kejadian

DBD PE (%) FF (%)

Pengasinan 39 5 (71,4) 1 (50) 20 16 (61,5) 4 (100) 94 72 (78,3) 8 (100)

Sepanjang

Jaya 7 2 (28,6) 1 (50) 20 10 (38,5) 0 36 20 (21,7) 0 (0)

Total 46 7 (100) 2 (100) 40 26 (100) 4 (100) 139 92 (100) 8 (100)

Sumber: Data Puskesmas Pengasinan , Keterangan: PE = Penyelidikan Epidemiologi FF=

Fogging Fokus

Berdasarkan tabel 5.7 diketahui bahwa jumlah penyelidikan

epidemiologi DBD dan fogging fokus di wilayah kerja Puskesmas

Page 74: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

61

Pengasinan selama tahun 2011-2013 mengalami peningkatan. Jika dilihat

berdasarkan wilayah kelurahan, diketahui bahwa dari tahun 2011-2013

jumlah penyelidikan epidemiologi DBD dan fogging fokus paling banyak

dilakukan di Kelurahan Pengasinan. Dari tahun 2011-2013 kejadian DBD

paling tinggi terjadi pada wilayah dengan penyelidikan epidemiologi DBD

dan fogging fokus paling tinggi.

Page 75: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

62

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini menggunakan data sekunder untuk variabel kejadian DBD,

populasi penduduk, ABJ, penyelidikan epidemiologi dan fogging fokus. Pada

penelitian ini tidak semua data tentang kejadian DBD dapat dianalisis karena

terdapat data dengan alamat tidak jelas. Hal ini terjadi karena 14 pasien tidak

memberikan alamat yang sebenarnya. Oleh karena itu, pengolahan data dilakukan

hanya dari data sekunder yang tersedia, sehingga ada peluang penderita yang tidak

teridentifikasi sebagai kasus DBD.

6.2 Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Pengasinan

Penyakit DBD merupakan penyakit infeksi yang banyak ditemukan di daerah

tropis. Penyakit DBD sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan

mengakibatkan kematian pada masyarakat. Penyakit DBD termasuk penyakit

infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue mengakibatkan

spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara yang paling ringan, demam

dengue (DD), DBD dan demam dengue yang disertai renjatan atau Dengue Shock

Syndrome (DSS) (Chandra, 2010).

Permasalahan penyakit DBD di suatu wilayah dapat diketahui dengan melihat

jumlah kejadian DBD serta jumlah meninggal akibat DBD. Sedangkan angka

kejadian DBD di suatu wilayah dapat dilihat dari angka Incidence Rate (IR) dan

Page 76: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

63

angka kematian terhadap kasus DBD di wilayah tersebut dilihat dari Case Fatality

Rate (CFR) DBD.

Sebagaimana hasil penelitian yang diperoleh, diketahui bahwa IR DBD di

wilayah kerja Puskesmas Pengasinan berada di atas angka IR nasional pada tahun

2011 dan 2013. Dan angka CFR DBD berada di atas CFR nasional pada tahun

2011-2012 (tabel 5.4).

IR dan CFR DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan berada di atas

angka IR dan CFR nasional tidaklah terlepas dari permasalahan DBD yang tidak

kunjung selesai khususnya di Kota Bekasi. Pada tahun 2013 angka kejadian DBD

di Kota Bekasi telah melewati indikator nasional yaitu sebesar 52 per 100.000

penduduk dan seluruh wilayah di Kota Bekasi menjadi endemis DBD (Dinas

Kesehatan Kota Bekasi, 2013).

Kondisi lingkungan geografis di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan Kota

Bekasi juga sangat mendukung berkembangbiaknya virus DBD sehingga kejadian

DBD tinggi. Kondisi lingkungan wilayah kerja Puskesmas Pengasinan dengan

banyak komplek perumahan penduduk yang biasanya memiliki pekarangan rumah

atau tempat penampungan air dapat berisiko untuk menjadi sumber penularan

DBD. Hal ini disebabkan karena banyaknya tempat yang mudah menjadi sarang

nyamuk, seperti pekarangan rumah, tempat penampungan air dan kaleng-kaleng

kosong yang dibuang sembarangan, serta tempat minum burung atau tatakan pot

bunga yang kurang pengontrolan kebersihannya. Sebagaimana Achmadi (2011)

menyebutkan bahwa larva nyamuk penular DBD dapat ditemukan di air bersih,

Page 77: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

64

wadah yang dibuat oleh manusia seperti ban, kaleng, tangki air hujan, tong air,

vas dan botol-botol.

6.2.1 Pola Penyebaran Kejadian DBD

Penyakit DBD dapat ditularkan oleh nyamuk di wilayah dengan

karakteristik tertentu. Spesies nyamuk penular DBD dapat ditemukan di

wilayah dengan ketinggian tidak lebih dari 1000 m di atas permukaan laut

(WHO dan Depkes RI, 2003). Sebagaimana penelitian yang telah

dilakukan, diketahui bahwa wilayah kerja Puskesmas Pengasinan Kota

Bekasi berada pada ketinggian 19 m di atas permukaan laut, hal tersebut

menandakan bahwa spesies nyamuk penular DBD dapat hidup dan

berkembangbiak dengan baik. Dengan demikian, Kota Bekasi termasuk

daerah yang rawan berjangkitnya penyakit DBD.

Sesungguhnya penyakit DBD di wilayah kerja Puskesmas

Pengasinan dapat dicegah agar tidak menyebabkan KLB melalui kegiatan

penanggulangan. Penanggulangan penyakit DBD bisa dilakukan secara

efektif, apabila dilakukan sesuai kejadian di lapangan seperti pemetaan

penyakit.

Menurut Achmadi (2005) pemetaan penyakit bisa memberikan

informasi geografis yang cukup kompleks tentang kejadian penyakit,

sedangkan menurut Lai et al (2009) pemetaan penyakit dapat memberikan

informasi penyakit berdasarkan fenomena geografis. Sebagaimana

penelitian oleh Widyawati et al (2011) dengan pemanfaatan analisis

Page 78: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

65

spasial di Kelurahan Pademangan Barat, diketahui tampilan titik sebaran

kejadian DBD dapat menggambarkan kejadian DBD secara geografis di

lapangan. Sebaran kejadian DBD dapat diidentifikasi dengan karakteristik

keadan geografis di sekitar titik kejadian.

Pemetaan penyakit dapat dimanfaatkan untuk menyusun langkah

penanggulangan DBD dengan menerapkan teknik analisis spasial (Nucklos

et al, 2004). Pemanfaatan teknik analisis spasial dapat memberikan

informasi mengenai lokasi penyebaran kejadian DBD dan pola penyebaran

yang sesungguhnya melalui tampilan muka bumi. Sebagaimana penelitian

oleh Rasidi et al (2014) dengan analisis spasial diketahui bahwa kejadian

DBD selama tahun 2003-2009 dengan jumlah kejadian sebesar 6076 kasus

di Kecamatan Seremban Malaysia dapat memperlihatkan pola penyebaran

kasus DBD yang membentuk kelompok (clustered).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa

penyebaran kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan dapat

digambarkan melalui titik sebaran berdasarkan lokasi geografis di

lapangan. Sebagaimana hasil yang telah didapatkan, diketahui bahwa

kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan pada tahun 2013

terlihat lebih banyak dibandingkan tahun 2011 dan 2012 (gambar 5.2).

Dan berdasarkan wilayah kelurahan, diketahui bahwa kejadian DBD di

wilayah kerja Puskesmas Pengasinan dari tahun 2011-2013 paling banyak

berada di Kelurahan Pengasinan serta terdapat titik kejadian DBD berada

dekat dengan lokasi Puskesmas Pengasinan pada tahun 2012-2013.

Page 79: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

66

Hasil penelitian secara analisis spasial telah menunjukkan bahwa

pola penyebaran kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan

dari tahun 2011-2013 berpola mengelompok (clustered) dengan nilai NNI

yang mengecil, yakni sebesar 0,86 (gambar 5.3) tahun 2011, 0,77 (gambar

5.4) tahun 2012 dan 0,64 (gambar 5.5) tahun 2013. Di samping itu, luas

area penyebaran kejadian DBD selama tahun 2011-2013 juga semakin

meluas (gambar 5.6).

Apabila di suatu wilayah memiliki pola penyakit berkelompok dan

jarak yang berdekatan secara geografis, hal tersebut dapat menandakan

probabilitas faktor hubungan sebab akibat terhadap kejadian DBD semakin

bertambah (Timmreck, 2005). Nilai NNI kejadian DBD di wilayah kerja

Puskesmas Pengasinan yang mengalami penurunan tahun 2011-2013,

memiliki arti bahwa jarak antara penderita DBD yang satu dengan yang

lainnya semakin berdekatan dan menandakan bahwa probabilitas faktor

hubungan sebab akibat semakin tahun juga semakin bertambah, sehingga

perlu adanya analisis untuk mencari sumber penyakit DBD khususnya

terkait faktor individu.

Pertambahan luas area penyebaran kejadian DBD menandakan

bahwa wilayah risiko penularan penyakit DBD semakin meluas. Informasi

tentang luas wilayah penularan DBD dapat digunakan petugas Puskesmas

untuk meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan melalui kegiatan

penanggulangan DBD. Kegiatan penanggulangan DBD yang dapat

Page 80: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

67

dilakukan antara lain Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) dan

Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) DBD.

Pola penyebaran kejadian DBD yang telah diketahui melalui

analisis spasial dapat dimanfaatkan untuk penanggulangan KLB DBD

dengan cara melakukan penyelidikan yang mengarah pada sumber yang

ditemukan (Davis et al,2014). Informasi mengenai pola penyebaran

kejadian DBD sebenarnya juga dapat digunakan untuk menyusun strategi

intervensi program kesehatan (Aziz et al, 2012). Pola penyakit DBD yang

berkelompok di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan sebenarnya dapat

mempermudah petugas Puskesmas untuk melakukan intervensi program

kesehatan dibanding pola menyebar.

Analisis spasial lebih lanjut seperti perbandingan wilayah secara

lebih luas ke depannya sangatlah dibutuhkan, sehingga dapat mengetahui

wilayah mana yang lebih berkelompok pola penyebaran DBD di

bandingkan wilayah lain. Oleh karena itu diperlukan analisis tentang

perbandingan pola penyebaran antar wilayah yang ada di wilayah kerja

Puskesmas Pengasinan dan wilayah kerja Puskesmas lainnya yang berada

di Kecamatan Rawalumbu Kota Bekasi.

6.2.2 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Menurut Jenis Kelamin dan

Kelompok Umur

Penyakit DBD merupakan penyakit yang dapat ditularkan oleh

nyamuk ke manusia (WHO, 2004). Penyakit DBD dapat diderita oleh

Page 81: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

68

setiap orang. Kecenderungan kejadian DBD berdasarkan jenis kelamin

hampir sama (Kemenkes RI, 2010).

Penyakit DBD dapat diderita oleh siapa saja baik muda maupun tua,

anak anak atau orang dewasa, laki-laki juga wanita. Akan tetapi selama

satu dekade terakhir, penyakit DBD cenderung mengalami kenaikan

proporsi pada kelompok umur dewasa di bandingkan usia 5-14 tahun

(Kemenkes RI, 2014).

Beberapa hasil penelitian lain menyatakan bahwa terdapat hubungan

antara jenis kelamin dan kelompok umur dengan kejadian DBD

sebagaimana penelitian oleh Dardjito et al (2008) menyatakan bahwa ada

hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian DBD dengan OR sebesar

4,896. Sedangkan berdasarkan penelitian oleh Subagia et al (2012) di

Denpasar, diketahui bahwa laki-laki berpotensi terkena kejadian DBD

dibanding perempuan dengan OR sebesar 1,878. Laki-laki memiliki risiko

lebih besar dibandingkan perempuan karena laki-laki lebih banyak

beraktifitas.

Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Dardjito et al (2008) di

Kabupaten Banyumas, diketahui bahwa kelompok umur <12 tahun

memiliki risiko lebih tinggi kejadian DBD dibandingkan kelompok umur

lainnya dengan nilai OR sebesar 19,056. Sedangkan penelitian oleh Daud

(2005), proporsi kejadian DBD paling banyak di Kota Palu sebesar 46,6%

berada pada kelompok umur <15 tahun sebagai kelompok umur anak usia

sekolah.

Page 82: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

69

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa

penyakit DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan dapat diderita oleh

laki-laki maupun perempuan (tabel 5.5). Pada tahun 2011-2012 penyakit

DBD paling banyak diderita oleh perempuan, sedangkan pada tahun 2013

penyakit DBD paling banyak diderita oleh laki-laki.

Diketahui bahwa jumlah kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas

Pengasinan berdasarkan kelompok umur selalu mengalami perubahan dari

tahun 2011-2013 (tabel 5.5). Jumlah kejadian DBD paling banyak tidak

selalu diikuti oleh angka Incidence Rate (IR) DBD paling tinggi. Hal ini

dikarenakan angka IR DBD dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang ada

di setiap wilayah kerja Puskesmas Pengasinan.

Pada tahun 2011-2012 IR DBD di wilayah kerja Puskesmas

Pengasinan paling banyak berada pada kelompok umur 5-14 tahun yang

merupakan kelompok umur anak usia sekolah. Anak usia sekolah dapat

tertular DBD baik di lingkungan rumah maupun sekolah. Pada pagi hari

anak sekolah beraktifitas di lingkungan sekolah, sedangkan pada sore hari

mereka berada di rumah. Pola ini sesuai dengan kebiasaan nyamuk penular

DBD menggigit manusia.

Diketahui juga bahwa pola penyebaran DBD di wilayah kerja

Puskesmas Pengasinan memiliki pola berkelompok. Hal tersebut dapat

menandakan bahwa adanya penularan DBD yang bersumber pada satu

wilayah seperti sekolah. Di samping itu, berdasarkan pengamatan yang

telah dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan terdapat fasilitas

Page 83: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

70

pendidikan mulai dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas.

Oleh karena itu dibutuhkan analisis lebih lanjut seperti distance index

untuk membuktika adanya korelasi penularan DBD dengan tempat potensi

sumber penular DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan.

Tindakan penanggulangan DBD di wilayah kerja Puskesmas

Pengasinan sebenarnya dapat dilakukan secara efektif melalui kegiatan

pencegahan kepada anak usia sekolah. Hal tersebut dapat dilakukan

melalui kegiatan kader jumantik cilik atau kegiatan Pemberantasan Sarang

Nyamuk (PSN) DBD di lingkungan sekolah. Namun demikian, diketahui

bahwa kegiatan tersebut belum dilakukan di sekolah-sekolah yang berada

pada wilayah kerja Puskesmas Pengasinan.

Pada tahun 2013 telah terjadi perubahan yakni IR DBD di wilayah

kerja Puskesmas Pengasinan paling banyak diderita oleh kelompok umur

15-24 tahun. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi

diketahui bahwa kejadian DBD di Kota Bekasi tahun 2013 paling banyak

diderita oleh laki-laki dan kelompok umur di atas 15 tahun. Hal tersebut

sejalan dengan hasil penelitian yang ditemukan di Puskesmas Pengasinan

Kota Bekasi.

Kejadian DBD pada kelompok umur dewasa dapat diakibatkan karena

aktivitas luar dan perilaku mobilisasi. Oleh karena itu dibutuhkan analisis

lebih lanjut tentang aktivitas dan perilaku mobilisasi penduduk di wilayah

kerja Puskesmas Pengasinan.

Page 84: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

71

Pada tahun 2013 juga diketahui adanya perubahan peningkatan IR

DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan yakni pada kelompok umur

0-4 tahun atau usia balita. Hal ini dapat memungkinkan adanya penularan

setempat dikarenakan usia balita tidak melakukan kegiatan mobilisasi

seperti anak usia sekolah atau dewasa. Sehingga dibutuhkan penelitian

lebih lanjut untuk menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap

penularan kejadian DBD di Puskesmas Pengasinan.

6.2.3 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Kepadatan

Penduduk dan Kepadatan Jentik Vektor

Penyakit DBD merupakan penyakit menular yang dapat ditangani

dengan manajemen penyakit berbasis wilayah (Achmadi, 2005).

Penanganan penyakit DBD yang berbasis wilayah dapat ditinjau dari segi

lingkungan sosial seperti arus urbanisasi penduduk yang dapat

menimbulkan kepadatan penduduk.

Kepadatan penduduk di suatu wilayah bisa berdampak pada

penyebaran penyakit DBD (Daud, 2005). Penyakit DBD ditularkan

melalui vektor nyamuk yang mempunyai daya terbang hingga jarak 100

meter (WHO, 2003). Oleh karena itu, wilayah dengan kepadatan penduduk

yang tinggi menandakan risiko penularan melalui nyamuk harus

diwaspadai, karena kemampuan daya terbang nyamuk yang cukup dekat.

Kepadatan penduduk dapat mempengaruhi kejadian DBD

sebagaimana penelitian oleh Daud (2005) dengan sampel berjumlah 545

kejadian DBD dari 12 Kelurahan di Kecamatan Palu Selatan,

Page 85: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

72

menunjukkan hasil bahwa adanya hubungan antara kepadatan penduduk

dengan kejadian DBD (p = 0,0049). Penelitian oleh Astuti (2009) dengan

sampel berjumlah 1571 kejadian DBD dari 11 Kelurahan di Kecamatan

Tambora menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepadatan penduduk

dengan kejadian DBD (p =0,002, r=0,516). Penelitian oleh Hairani (2009)

dengan sampel berjumlah 2133 kejadian DBD dari 13 Kelurahan di

Kecamatan Cimanggis Depok didapatkan hasil bahwa ada hubungan

antara kepadatan penduduk dengan kejadian DBD (p=0,026, r=0,309).

Sebagaimana hasil penelitian yang diperoleh, diketahui bahwa pada

tahun 2012-2013 IR DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan

mengalami peningkatan, akan tetapi kepadatan penduduk mengalami

penurunan (tabel 5.6). Peningkatan IR DBD di wilayah kerja Puskesmas

Pengasinan dipengaruhi oleh jumlah kasus DBD yang meningkat dan

jumlah penduduk yang semakin menurun. Jika dilihat berdasarkan

Kelurahan, selama tahun 2011-2013 kejadian DBD paling banyak terjadi

di Kelurahan Pengasinan.

Banyaknya kejadian DBD yang berada di Kelurahan Pengasinan

selama tahun 2011-2013 berkaitan dengan jumlah kejadian DBD yang

setiap tahun cenderung lebih tinggi dibandingkan Kelurahan Sepanjang

jaya. Jumlah DBD di Kelurahan Sepanjang Jaya yang lebih rendah

dibandingkan Pengasinan berkaitan dengan jumlah penduduk di Kelurahan

Sepanjang jaya yang memang lebih rendah dibandingkan Kelurahan

Pengasinan. Di samping itu, wilayah Kelurahan Sepanjang Jaya

Page 86: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

73

didominasi dengan wilayah perumahan dengan status sosial lebih tinggi

sehingga ada kemungkinan penderita DBD berobat ke Rumah Sakit di luar

Kota Bekasi dan tidak tercatat di Dinas Kesehatan Kota Bekasi maupun

Puskesmas Pengasinan.

Penurunan tingkat kepadatan penduduk di wilayah kerja

Puskesmas Pengasinan selama tahun 2011-2013 terjadi karena penduduk

di Kelurahan Pengasinan dan Sepanjang Jaya mengalami mutasi

penduduk keluar dengan jumlah lebih besar daripada pendatang. Adapun

peningkatan kejadian DBD dapat terjadi dikarenakan oleh hal lain seperti

penanganan masalah DBD yang belum efektif dari tahun ke tahun,

sehingga kepadatan penduduk menurun namun jumlah kejadian DBD

justru meningkat.

Penyebaran penyakit DBD tidak hanya dipengaruhi oleh kepadatan

penduduk melainkan juga dapat dipengaruhi oleh kepadatan jentik vektor

penular DBD. DBD dapat ditularkan oleh vektor jenis tertentu, seperti

Aedes Aegypti (WHO, 2003). Keberadaan vektor penular DBD dapat

diidentifikasi dari kepadatan jentik vektor, karena siklus perkembangan

nyamuk penular DBD tidak membutuhkan waktu yang lama. Jentik vektor

DBD dapat ditemukan pada tempat yang berpotensi untuk

perkembangbiakan nyamuk Aedes Aegypti seperti genangan air pada

pekarangan rumah dan tempat penampungan air, kaleng-kaleng bekas,

tatakan pot dan lain sebagainya.

Page 87: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

74

Penanggulangan DBD sebenarnya dapat dilakukan melalui

pengendalian vektor dengan mengidentifikasi keberadaan jentik vektor.

Sebagaimana penelitian yang telah dilakukan oleh Erliyanti (2008) di Kota

Metro diketahui bahwa keberadaan jentik vektor memiliki hubungan

dengan kejadian DBD (p=0,000, OR=9,796, CI=4,304-22,299).

Kepadatan jentik vektor di suatu wilayah dapat dilihat dari rata-rata

nilai ABJ yang dihasilkan melalui kegiatan PJB. PJB oleh petugas

Puskesmas. Kepadatan jentik vektor yang tinggi ditandai oleh nilai ABJ

yang rendah yakni < 95 %. Sedangkan kepadatan jentik vektor yang

rendah ditandai oleh nilai ABJ yang tinggi yakni > 95 % (Kemenkes RI,

2011).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa secara

deskriptif menunjukan bahwa kejadian DBD terjadi pada wilayah dengan

kepadatan vektor tinggi (tabel 5.6). Pada tahun 2011-2013 IR DBD dan

nilai ABJ di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan cenderung mengalami

peningkatan.

Pada tahun 2012-2013 nilai ABJ di wilayah kerja Puskesmas

Pengasinan sudah di atas 95 %. IR DBD paling tinggi dapat terjadi pada

wilayah dengan ABJ paling rendah (tabel 5.6). Penelitian spasial yang

telah dilakukan menunjukkan bahwa pola penyebaran DBD di wilayah

kerja Puskesmas Pengasinan berpola mengelompok dari tahun 2011-2013.

Pola penyebaran yang mengelompok merupakan indikator bahwa ada

Page 88: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

75

konsentrasi habitat vektor, sehingga berpotensi terjadi penularan setempat

(Boewono et Al, 2012).

Angka kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan masih

tinggi walaupun kepadatan jentik vektor rendah, itu dapat terjadi karena

beberapa hal seperti pelaksanaan PJB dalam mengidentifikasi kepadatan

jentik vektor. PJB yang selama ini dilakukan oleh petugas Puskesmas

tidak dilakukan pada seluruh rumah atau tempat-tempat umum yang

memiliki kejadian DBD paling tinggi dan bisa saja jentik yang ditemukan

bukan merupakan jentik vektor penular DBD.

Melalui pemanfaatan informasi dari hasil analisis spasial kejadian

DBD, Puskesmas Pengasinan dan pihak Kelurahan diharapkan dapat

mengaktifkan kembali peran Kelompok Kerja Operasional (Pokjanal)

DBD melalui kegiatan kader jumantik di setiap RW yang ada, khususnya

wilayah dengan kejadian DBD paling banyak. Hal tersebut dapat

membantu petugas untuk melaksanakan kegiatan PJB, sehingga data PJB

yang ditemukan dapat mewakili seluruh wilayah yang ada di wilayah kerja

Puskesmas Pengasinan.

Penelitian selanjutnya dibutuhkan untuk menganalisis lebih lanjut

antara kemampuan daya terbang vektor melalui pengamatan terhadap

tempat perindukan vektor. DBD dengan kejadian DBD yang terjadi.

Analisis tersebut dapat dilakukan dengan analisis distance index. Analisis

distance index dapat mengukur jarak kejadian DBD dengan tempat

perindukan vektor. Analisis distance index diharapkan dapat memberikan

Page 89: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

76

informasi adanya hubungan antara pola penyebaran DBD yang

berkelompok dengan kemampuan daya terbang vektor DBD. Pada

penelitian ini tidak dilakukan analisis tersebut dikarenakan penelitian ini

berfokus pada pola penyebaran kejadian DBD bukan kejadian DBD

terhadap habitat vektor.

6.2.5 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Penyelidikan

Epidemiologi DBD dan Fogging Fokus

Penyelidikan epidemiologi DBD merupakan kegiatan pencarian

penderita tersangka atau DBD lainnya dari penderita yang telah

terlaporkan sebelumnya. Penyelidikan epidemiologi DBD dilakukan

langsung oleh petugas Puskesmas dengan mengunjungi rumah penderita

DBD. Penemuan penderita DBD melalui penyelidikan epidemiologi

dilakukan untuk mencegah terjadinya KLB DBD (Kemenkes RI, 2011a).

Tujuan dilakukan penyelidikan epidemiologi ialah untuk menentukan jenis

tindakan apa yang harus dilakukan dan luasnya cakupan wilayah untuk

dilakukan kegiatan pemberantasan DBD (Haryanti, 2010).

Pelaksanaan penyelidikan epidemiologi DBD juga berkaitan dengan

pelaksanaan fogging fokus DBD. Fogging fokus merupakan cara untuk

pemberantasan nyamuk dewasa dengan melakukan pengasapan

insektisida. Fogging fokus dilakukan apabila diketahui terdapat kasus

DBD positif dari hasil penyelidikan epidemiologi DBD (Kemenkes RI,

2011a). Pelaksanaan fogging memiliki hubungan dengan kejadian DBD di

Page 90: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

77

suatu wilayah, sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh lain oleh

Hairani (2009) di Kecamatan Cimanggis Kota Depok (p=0,045).

Sebagaimana hasil penelitian yang diperoleh, diketahui bahwa pada

tahun 2011-2013 penyelidikan epidemiologi DBD dan fogging fokus

mengalami peningkatan. Jika dilihat berdasarkan wilayah kelurahan,

diketahui bahwa dari tahun 2011-2013 jumlah penyelidikan epidemiologi

DBD dan fogging fokus paling banyak dilakukan pada wilayah dengan

jumlah kasus DBD paling tinggi yaitu Kelurahan Pengasinan (tabel 5.7).

Kejadian DBD paling tinggi dapat terjadi pada wilayah dengan

penyelidikan epidemiologi DBD dan fogging fokus paling banyak dapat

berkaitan dengan adanya ketersediaan anggaran dalam program

penanggulangan DBD di Puskesmas Pengasinan. Ketersediaan anggaran

dapat diprioritaskan ke dalam program penanggulangan DBD melalui

penyelidikan epidemiologi jika kasus yang ditemukan tinggi, hal tersebut

dilakukan sebagai langkah upaya penanggulangan DBD.

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan peneliti, diketahui

bahwa pelaksanaan penyelidikan epidemiologi di lapangan sebenarnya

memiliki hambatan. Semua kejadian DBD paling banyak terdata karena

datang ke Rumah Sakit, sedangkan Rumah Sakit sering mengalami

keterlambatan pelaporan ke pihak Dinas Kesehatan. Keterlambatan

pelaporan dari Rumah Sakit ke Dinas Kesehatan Kota Bekasi

mengakibatkan keterlambatan penerimaan informasi kejadian DBD ke

Puskesmas Pengasinan.

Page 91: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

78

Penyelidikan epidemiologi sering dilakukan ketika penderita telah

sembuh, sehingga kejadian DBD yang ditemukan tidak banyak. Hal

tersebut dikarenakan pemberian informasi kejadian DBD yang berasal dari

Rumah Sakit oleh Dinas Kesehatan Kota Bekasi ke Puskesmas Pengasinan

masih dilakukan secara manual, sehingga Puskesmas Pengasinan

mengalami keterlambatan informasi tentang kejadian DBD. Oleh karena

itu dibutuhkan peralatan atau sistem tambahan untuk mengatasi masalah

tersebut dengan cara penambahan fasilitas faksimili di setiap Puskesmas,

email atau layanan sms center agar informasi dapat langsung diterima dari

Rumah Sakit ke Puskesmas Pengasinan.

Melalui analisis spasial dapat diketahui pola penyebaran DBD di

wilayah kerja Puskesmas Pengasinan yakni berpola berkelompok dari

tahun 2011-2013. Dengan memanfaatkan informasi tersebut, Puskesmas

Pengasinan juga diharapkan dapat membangun komunikasi dengan

melibatkan peran serta masyarakat dengan aksi tanggap kejadian DBD

yang bersumber dari masyarakat, sehingga tidak perlu menunggu waktu

lama tentang informasi kejadian DBD dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi.

Puskesmas juga diharapkan dapat melakukan pencarian penderita dan

pencatatan kejadian DBD melalui surveilans aktif di wilayah kerja

Puskesmas. Jika surveilans secara aktif dilakukan maka pelaksanaan

penyelidikan epidemiologi DBD diharapkan juga dapat berjalan secara

efektif karena banyak kejadian yang ditemukan secara cepat.

Page 92: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

79

Pelaksanaan fogging fokus juga mengalami hambatan. Fogging fokus

selama ini dilakukan dengan mengacu ada atau tidaknya kejadian DBD

yang terjadi di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan. Kegiatan fogging

fokus bisa dilakukan apabila ada laporan dari masyarakat terkait kejadian

DBD di wilayahnya, kemudian ditindak lanjuti oleh petugas Puskesmas

Pengasinan ke Dinas Kesehatan Kota Bekasi. Selama ini fogging hanya

dilaksanakan dalam satu siklus saja karena keterbatasan anggaran, padahal

seharusnya penyemprotan dilakukan dalam 2 siklus (Depkes RI, 2008).

Penyemprotan kedua dilakukan selang 1 minggu setelah penyemprotan

pertama.

Penyemprotan dengan satu siklus mungkin hanya membunuh nyamuk

dewasa saja, tetapi tidak untuk jentik yang bisa berkembang beberapa

minggu kemudian menjadi nyamuk dewasa kembali. Oleh karena itu,

berdasarkan hasil uji statistik didapatkan hasil tidak ada hubungan antara

fogging fokus dengan kejadian DBD.

Melalui analisis spasial dapat diketahui pola penyebaran DBD di

wilayah kerja Puskesmas Pengasinan dari tahun 2011-2013 yaitu memiliki

pola penyebaran berkelompok. Pola penyebaran berkelompok dapat

menjadi tanda adanya fokus sumber penularan pada wilayah tertentu.

Dengan memanfaatkan informasi tersebut, maka pelaksanaan fogging

fokus yang hanya satu siklus diharapkan tetap dapat dilakukan secara

efektif, yakni dengan cara melakukan penyemprotan di wilayah yang

Page 93: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

80

memiliki penyebaran paling berkelompok dan mengambil titik tengah di

antara semua kejadian yang ada.

Penelitian selanjutnya dibutuhkan untuk menghitung mean center atau

titik tengah dari lokasi kasus-kasus DBD dan membandingkan kasus DBD

di setiap RW yang ada. Dalam penelitian ini tidak dilakukan hal tersebut

karena penelitian ini hanya berfokus untuk mengidentifkasi pola dan luas

penyebaran kejadian DBD.

Page 94: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

81

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di wilayah kerja Puskesmas

Pengasinan selama bulan April-Mei 2014 maka simpulan yang didapatkan

adalah sebagai berikut :

1. Penyebaran kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan dari

tahun 2011-2013 paling banyak berada di Kelurahan Pengasinan,

penyebaran DBD berpola berkelompok (clustered) dengan nilai NNI yang

semakin mengecil, yakni 0,86 tahun 2011, 0,78 tahun 2012, dan 0,64

tahun 2013 dan wilayah penyebarannya semakin meluas, yakni 509, 838

Ha tahun 2011, 535,316 Ha tahun 2012, dan 570,869 Ha tahun 2013.

2. Pada tahun 2011-2012 penyakit DBD paling banyak diderita oleh

perempuan dan kelompok umur 5-14 tahun, sedangkan pada tahun 2013

penyakit DBD paling banyak diderita laki-laki dan kelompok umur 15-24

tahun serta adanya peningkatan kejadian DBD pada kelompok umur 0-4

tahun.

3. Pada tahun 2011-2013 IR DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan

mengalami peningkatan, sedangkan tingkat kepadatan penduduk dan

kepadatan jentik vektor mengalami penurunan. IR DBD paling tinggi

terjadi pada wilayah dengan kepadatan penduduk paling tinggi serta nilai

ABJ paling rendah atau kepadatan jentik vektor tinggi yakni Kelurahan

Pengasinan.

Page 95: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

82

4. Pada tahun 2011-2013 jumlah penyelidikan epidemiologi DBD dan

fogging fokus di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan mengalami

peningkatan. Kejadian DBD paling tinggi terjadi pada wilayah dengan

penyelidikan epidemiologi DBD dan fogging fokus paling tinggi.

7.2 Saran

7.2.1 Bagi Puskesmas

1. Program intervensi kesehatan dapat dilakukan di sekitar wilayah

penyebaran lokasi kejadian DBD, khususnya pada wilayah dengan

kejadian paling banyak, yakni Kelurahan Pengasinan dengan

menyesuaikan luas wilayah sebaran kejadian DBD untuk mencegah

terjadinya KLB DBD.

2. Program intervensi penanggulangan penyakit DBD lebih diprioritaskan

kepada anak sekolah seperti pembentukan kader jumantik cilik serta

PSN DBD di lingkungan sekolah dan kepada ibu rumah tangga untuk

mencegah penularan setempat di lingkungan rumah.

3. Aktifkan kembali peran serta masyarakat lewat pokjanal DBD dalam

kegiatan PJB di setiap RW untuk menjaga agar kepadatan jentik vektor

tidak tinggi.

4. Puskesmas Pengasinan dapat menambah fasilitas seperti faksmili untuk

mempermudah dan mempercepat pelaporan kejadian DBD dari Dinas

Kesehatan ke Puskesmas jika memiliki anggaran yang cukup atau jika

anggaran terbatas dapat dilakukan sistem penyebaran informasi melalui

email atau sms center.

Page 96: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

83

5. Melakukan surveilans aktif secara rutin dan mengajak partisipasi

masyarakat dalam pelaksanaanya untuk pencarian penderita DBD agar

kasus DBD yang tertangkap lebih banyak khususnya di lokasi yang

jauh dengan Puskesmas sehingga segera dilakukan penyelidikan

epidemiologi DBD.

7.2.2 Bagi Peneliti Lain

1. Perlu diadakan penelitian lanjutan untuk mengetahui sumber terjadinya

DBD seperti hubungan individu, perilaku dan faktor lain yang mungkin

berhubungan dengan kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas

Pengasinan Kota Bekasi.

2. Penelitian selanjutnya dapat dilakukan melalui analisis distance index

dan mean center untuk mengetahui secara lebih lanjut mengenai sebab

pola penyebaran yang terjadi.

3. Memilih unit penelitian yang lebih luas lagi seperti tingkat kecamatan

atau kota pada penelitian spasial sehingga bisa membandingkan

kejadian DBD di suatu kelompok dengan wilayah lain.

Page 97: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

84

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, UF. 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Penerbit Buku

Kompas: Jakarta.

_____________. 2011. Dasar-Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Rajawali

Press: Jakarta.

Asmara. Lela. 2007. Hubungan Angka Bebas Jentik (ABJ) dengan Incidence Rate

Kasus Tersangka Demam Berdarah Dengue di Tingkat Kecamatan

Kotamadya Jakarta Timur Tahun 2005-2007. Skripsi. Fakultas Kesehatan

Masyarakat Uniiversitas Indonesia. Depok.

Astuti, Dian. 2009. Analisis Spasial Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di

Kecamatan Tambora, Jakarta Barat Tahun 2007-2009. Skripsi. Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok.

Aziz, S., Ngui, R., Lim, Y.A.L., Sholehah, I., Nur Farhana, J., Azizan, A.S. dan

Wan Yusoff, W.S. 2012. Spatial Pattern Of 2009 Dengue Distribution in

Kualalumpur Using GIS Application. Journal of Tropical Biomedicine

29(1): 113–120.

Boewono, D.T., Ristiyanto, Widiarti, U. Widyastuti. 2012. Distribusi Spasial

Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD), Analisis Indeks Jarak dan

Alternatif Pengendalian Vektor di Kota Samarinda Provinsi Kalimantan

Timur. Jurnal Media Litbang Kesehatan 22 (3): 131-137.

BPS. 2012. Jawa Barat Dalam Angka. Jawa Barat: Badan Pusat Statistika.

Candra, A. 2010. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan

Faktor Risiko Penularan. Jurnal Aspirator 2(2) : 110 –119.

Chin,J. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Terjemahan I Nyoman

Kandun, Edisi 17. Jakarta: Kemenkes RI.

Cromley, E.K dan S. McLaffery. 2002. GIS and Public Health. New York: The

Guilford Press.

Dardjito. E, S. Yunarno, C. Wibowo, A. Saprasetya, dan H. Dwiyanti. 2008.

Beberapa Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Penyakit

Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Banyumas. Jurnal Media Litbang

Kesehatan 8 (3): 126-136.

Daud, Oslan. 2005. Studi Epidemiologi Kejadian Penyakit DBD dengan

Pendekatan Spasial Sistem Informasi Geografis di Kecamatan Palu Selatan

Kota Palu. Tesis. Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Davis, G.S, N. Sevdalis dan L.N. Drumright. 2014. Spatial and Temporal

Analyses To Investigate Infectious Disease Transmission Within

Healthcare Settings. Journal of Hospital Infection 86: 227-243.

Depkes RI. 2008. Modul Pelatihan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam

Berdarah Dengue (PSN-DBD) Dengan Pendekatan Komunikasi

Perubahan Perilaku. Jakarta: Dirjen PP dan PL.

Page 98: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

85

Dinkes Kota Bekasi. 2013. Laporan Program Pemberantasan dan

Penganggulangan Penyakit Demam Dengue Berdarah Bidang

Pengendalian Masalah Kesehatan Kota Bekasi Tahun 2011-2013.

Djati, A. P, B. Rahayujati, dan S. Raharto. 2012. Fsaktor Risiko Demam Berdarah

Dengue di Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunungkidul Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional Kesehatan, 31 Maret.

Universitas Jend. Soedirman: 1-6.

Dudiarto, E dan D. Anggareni. 2001. Pengantar Epidemiologi Edisi 2. Jakarta:

EGC.

Erliyanti. 2008. Hubungan Lingkungan Fisik dan Karakteristik Individu Terhadap

Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Metro. Tesis. Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia: Depok.

Faiz. N, R. Rahmawati, dan D. Safitri. 2013. Analisis Spasial Penyebaran

Penyakit Demam Berdarah Dengue Dengan Indeks Moran Dan Geary’s C

(Studi Kasus Di Kota Semarang Tahun 2011). Jurnal Gaussian 2 (1): 69-

78.

Fatma, F. A. 2006. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan dan Sikap Orang Tua

Terhadap Kejadian DBD pada Anak Usia Sekolah diWilayah Kerja

Puskesmas Demak I. Skripsi. Program Studi Keperawatan Universitas

Muhammadiyah Semarang.

Febriyetti. 2010. Pola hubungan variasi cuaca yang mencakup curah hujan, suhu

udara, kelembaban, kecepatan angin, dan lama penyinaran matahari

terhadap pola kejadian DBD secara korelasi dan spasial di DKI Jakarta

tahun 2000-2009. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Indonesia. Depok.

Gerstman, B. B. 2003. Epidemiology Kept Simple: An Introduction to Classic and

Modern Epidemiology Second Edition. Canada: Wiley-Liss, Inc.

Hairani, L. K. 2009. Gambaran Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD)

dan Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Angka Insidensnya di Wilayah

Kecamatan Cimanggis Kota Depok tahun 2005-2008. Skripsi. Kesehatan

Masyarakat Universitas Indonesia. Depok.

Hakim, L dan J. A Kusnandar. 2012. Hubungan Status Gizi dan Kelompok Umur

Dengan Status Infeksi Virus Dengue. Jurnal Aspirator 4 (1): 34-45.

Harya. F, A. Fitriani dan Sudiyanto. 2013. Hubungan Pemberantasan Sarang

Nyamuk dan Sampah Padat Dengan Keberadaan Jentik Aedes Aegypti di

Wilayah Kerja Puskesmas Lingkar Timur Tahun 2013. Artikel Penelitian.

Stikes Dehasen: Bengkulu.

Haryanti, E. 2010. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keterlambatan

Petugas Dalam Melaksanakan Penyelidikan Epidemiologi Demam

Berdarah Dengue (DBD) Puskesmas di Kota Semarang tahun 2010.

Skripsi. Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang: Semarang.

Hasyim, H. 2009. Analisis Spasial Demam Berdarah Dengue di Provinsi Sumatera

Selatan. Jurnal Pembangunan Manusia 9 (3).

Kemenkes RI. 2013. Buku Saku Pengendalian Demam Berdarah Untuk

Pengelola Program DBD Puskesmas. Jakarta: Dirjen PP dan PL.

Page 99: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

86

_____________. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi: Topik Utama DBD Volume

2, Agustus 2010.

_____________. 2011a. Modul Pengendalian dan Pemberantasan Demam

Berdarah . Jakarta: Dirjen PP dan PL.

_____________. 2011b. Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan

Lingkungan Dalam Pengendalian Penyakit Arbovirus Tahun 2010.

Jakarta: Dirjen PP dan PL.

____________. 2012. Profil Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2011.

Kusnadi, B. 2010. Laporan Penyelidikan KLB Demam Chikungunya di Lombok

Timur Tahun 2010. Laporan proyek Lapangan. Program Pasca Sarjanan

(FETP) Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.

Lai. P.C, F.M. So dan K. W Chan. 2009. Spatial Epidemiological Approaches in

Disease Mapping and Analysis. London: CRC Press.

Lestari, K. 2007. Epidemiologi Dan Pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD)

di Indonesia. Jurnal Farmako Universitas Padjadjaran, 5 (3) .

Mangguang, M D. 2010. Analisis Epidemiologi Penyakit Demam Berdarah

Dengue Melalui Pendekatan Spasial Temporal dan Hubungannya Dengan

Faktor Iklim di Kota Padang Tahun 2008-2010. Artikel penelitian Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas. Padang.

Nelli, S. 2007. Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Renjatan Pada Penderita

Anak Demam Berdarah Dengue Periode Januari – Juni 2006 di RS M.

Djamil Padang. Tesis. Program Studi Biomedik Universitas Andalas:

Padang.

Notoatmodjo, S. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu & Seni. Jakarta: Rineka Cipta.

Nukcols. J. R, M. H. Word dan L. Jarup. 2004. Using Geographic Information

Systems for Exposure Assessment in Environmental Epidemiology

Studies. Journal of Environmental Health Perspectives 112 ( 9): 107-

105.

Palgunadi. B.U dan Rahayu. 2013. Aedes Aegypti sebagai Vektor Penyakit

Demam Berdarah Dengue. Artikel Penelitian. Universitas Wijaya Kusuma:

Surabaya.

Prahasta, E. 2009. Sistem Informasi Geografis Konsep-Konsep Dasar (Perspektif

Geodesi dan Geomatika). Bandung: Informatika.

Prasetyowati, H dan E.P. Astuti. 2010. Serotipe Virus Dengue di Tiga

Kabupaten/Kota Dengan Tingkat Endemisitas DBD Berbeda di Propinsi

Jawa Barat. Jurnal Aspirator 2 (2): 120 –124.

Putri, M. K. 2008. Analisis Spasial Kejadian Demam Berdarah Dengue di

Kotamadya Jakarta Timur Tahun 2005-2007.Skripsi. Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Indonesia: Depok.

Rahayani, B.R. 2010. Analisis Spasial Faktor Kepadatan Penduduk, Angka Bebas

Jentik, dan Cakupan Penanggulangan Fokus Dengan Kejadian Demam

Berdarah Dengue di Kota Surabaya Tahun 2006-2009. Skripsi. Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga: Surabaya.

Rahayuningsih, S. 2012. Hubungan Antara Faktor Demografi Dengan Kejadian

Demam Berdarah Dengue (Studi di Rumah Sakit Umum Daerah Ungaran).

Skripsi. Universitas Muhammdiyah Semarang.

Page 100: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

87

Rasidim M.N.M, Sahani. M, Othman. H, Hot. R, Idrus. S, Ali. Z.M, Choy. E.H,

dan Rosli. M.H. 2013. Aplikasi Sistem Maklumat Geografi untuk

Pemetaan Reruang-masa: Suatu Kejadian Kes Dengi di Daerah Seremban,

Negeri Sembilan, Malaysia. Journal of Sains Malysiana 42 (8): 1073-

1080. Ratag. B, J. Prang, dam N. O Soputan. 2013. Analisis Faktor-Faktor Yang

Berhubungan Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue Pada Pasien

Anak di Irina E. Blu RSUP Prof. DR.R.D Kandou Manado. Artikel

Penelitian. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi.

Renya, N. M., S. Utama, dan T. Parwati. 2009. Kelainan Hematologi pada

Demam Berdarah Dengue. Jurnal Penyakit Dalam 10 (3): 218-225.

Roose, A. 2008. Hubungan Sosiodemografi dan Lingkungan Dengan Kejadian

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Bukit Raya Kota

Pekanbaru Tahun 2008. Tesis. Program Pasca Sarjanan Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara: Medan.

Rosli, M.H., Er, A.C., Asmahani A., M. Naim M.R., dan Harsuzilawati. 2010.

Spatial Mapping of Dengue Incident: A Case Study in Hulu Langat

District, Selangor, Malaysia. International Journal of Human and Social

Sciences 5(6) : 410 - 414.

Santoso dan A. Budiyanto. 2008. Hubungan Pengetahuan Sikap & Perilaku (PSP)

Masyarakat Terhadap Vektor DBD di Kota Palembang Provinsi Sumatera

Selatan. Jurnal Ekologi Kesehatan 7 (2): 732-739.

Subagia. K, A.A.S. Sawitri, dan D.N. Wirawan. 2013. Lingkungan Dalam Rumah,

Mobilitas, dan Riwayat Kontak Penderita Sebagai Determinan Kejadian

Demam Berdarah Dengue di Denpasar Tahun 2012. Jurnal Public Health

and Preventive Medicine, 1 (1).

Suhardiono. 2005. Sebuah Analisis Faktor Risiko Perilaku Masyarakat Terhadap

Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Keurahan Halvetia Tengah

Medan Tahun 2005. Jurnal Mutiara Kesehatan Indonesia. 1 (2); 48-65.

Sunardi. 2007. Deteksi Endemisitas Demam Berdarah Dengue (DBD)

Menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) di Kecamatan Grogol

Kabupaten Sukoharjo . Tesis. Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.

Suyasa, I. N. G, N.A. Putra, dan I.W.R. Aryanta. (2007). Hubungan Faktor

Lingkungan dan Perilaku Masyarakat Dengan Keberadaan Vektor Demam

Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Selatan.

Jurnal Ecotrophic 3 (1): 1-6. Timmreck, T. C. 2005. Epidemiologi Suatu Pengantar. Terjemahan: Fauziah,

Apriningsih dan Palupi. Jakarta: EGC.

WHO & Depkes RI. 2003 Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit. Jakarta:

EGC

WHO. 2004. Demam Berdarah Dengue Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan,

Pengendalian Edisi 2. Jakarta: EGC.

Widayani, P. 2011. Pemodelan Spasial Epidemiologi Demam Berdarah Dengue

Menggunakan Sistem Informasi Geografi Di Kecamatan Depok

Kabupaten Sleman Yogyakarta. Artikel Penelitian. Universitas Gadjah

Mada. Yogyakarat.

Page 101: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

88

Widodo, N. P. 2012. Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam

Berdarah Dengue (DBD) di Kota Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat

Tahun 2012. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia:

Depok.

Widoyono. 2008. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan

Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga.

Widyawati, I.F. Nitya, S Syaukat, R.P. Tambunan, dan T.E.B Soesilo. 2011

Penggunaan Sistem Informasi Geografis Efektif Memprediksi Potensi

Demam Berdarah di Kelurahan Endemik. Jurnal Makara Kesehatan 5(1):

21-30.

Wilder S. A dan Gubler D. 2008. Geographic Expansion of Dengue: the Impact

of International Travel. Journal Med Clin Nam Vol. 92:1377-90.

Wirayoga, M. A. 2013. Hubungan Kejadian Demam Berdarah Dengue Dengan

Iklim di Kota Semarang Tahun 2006-2011. Jurnal Kesmas Universitas

Semarang 2(4): 1-9.

Yamanaka.A, K.C. Mulyatno, H. Susilowati, E. Hendrianto, A.P Ginting, dan D.

D Sary. 2011. Displacement Of The Predominant Dengue Virus From

Type 2 To Type 1 With A Subsequent Genotype Shift From IV To I In

Surabaya 2008-2010. Journal of Plos One 6(11):1-8.

Yu C.L, S. F. Wang, P. C. Pan, M. T. Wu, C. K . Ho, T. J. Smith, dan Y. Li. 2006.

Residential Exposure to Petrochemicals and The Risk Of Leukemia: Using

Geographic Information System Tools To Estimate Individual-Level

Residential Exposure. American Journal of Epidemiology Vol. 164: 200-

207.

Zainudin. 2005. Analisis Spasial Kejadian DBD di Kota Bekasi Tahun 2003.

Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok.

Page 102: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

89

Lampiran 1

TABEL CHECKLIST DATA

(Telaah Dokumen)

Jenis Data Keterangan

Laporan Kejadian DBD tahun 2011

Laporan Kejadian DBD tahun 2012

Laporan Kejadian DBD tahun 2013

Laporan pelaksanaan fogging fokus tahun 2011

Laporan pelaksanaan fogging fokus tahun 2012

Laporan pelaksanaan fogging fokus tahun 2013

Laporan pelaksanaan PE tahun 2011

Laporan pelaksanaan PE tahun 2012

Laporan pelaksanaan PE tahun 2013

Laporan data ABJ per kelurahan tahun 2011

Laporan data ABJ per kelurahan tahun 2012

Laporan data ABJ per kelurahan tahun 2013

Laporan jumlah penduduk per kelurahan tahun 2011

Laporan jumlah penduduk per kelurahan tahun 2012

Laporan jumlah penduduk per kelurahan tahun 2013

Page 103: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

90

Lampiran 2

Tanggal: ....................................

LEMBAR OBSERVASI PLOTTING KASUS

No Nama Penderita Kelurahan RW RT Jalan Xo

Yo

Page 104: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

91

Page 105: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

92

Page 106: Fajriatin Wahyuningsih - fkik.pdf

93