filsafat ilmu ira as

72
FILSAFAT ILMU Artikel Ilmiah Filsafat Ilmu Disusun oleh : Nama : Ira Susanti Nomor Induk Mahasiswa : 06111005014 Dosen Pembimbing : Drs. Emil El Faisal, M.Si UNIVERSITAS SRIWIJAYA INDRALAYA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

Upload: ester-ravinska

Post on 05-Jan-2016

248 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

dtyh

TRANSCRIPT

FILSAFAT ILMU

Artikel Ilmiah Filsafat Ilmu

Disusun oleh :

Nama : Ira Susanti

Nomor Induk Mahasiswa : 06111005014

Dosen Pembimbing : Drs. Emil El Faisal, M.Si

UNIVERSITAS SRIWIJAYA INDRALAYA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

2014

Artikel 1

FILSAFAT ILMU “Etika dalam Pengembangan Ilmu dan Teknologi”

Etika memang bukanlah bagian dari ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

Etika lebih merupakan sarana untuk memperoleh orientasi kritis yang berhadapan dengan

moralitas. Kendati demikian etika tetaplah berperan penting dalam IPTEK. Penerapan

IPTEK dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari memerlukan adanya dimensi etis

sebagai pertimbangan yang terkadang ikut berpengaruh dalam proses perkembangan

IPTEK selanjutnya.

Hakikatnya, IPTEK dipelajari untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi

manusia, dan bukan sebaliknya, menghancurkan eksistensi manusia dan justru menjadikan

manusia budak teknologi. Oleh karena itu, tanggung jawab etis diperlukan untuk

mengontrol kegiatan dan penggunaan IPTEK. Dalam kaitan hal ini, terjadi keharusan

untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan

ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang,

dan bersifat universal. Keberadaan tanggung jawab etis tidak bermaksud menghambat

kemajuan IPTEK. Justru dengan adanya dimensi etis yang mengendalikan, kemajuan

IPTEK akan semakin berlomba-lomba meningkatkan martabat manusia sebagai “tuan”

teknologi dan bukan hamba teknologi. Tanggung jawab etis juga diharapkan mampu

menginspirasi, memacu, dan memotivasi manusia untuk mengembangkan teknologi yang

IPTEK yang tidak mencelakakan manusia serta aman bagi lingkungan hidup.

Pada awalnya teknologi diciptakan untuk meringankan dan membebaskan manusia dari

kesulitan hidupnya. Namun manusia justru terjebak dalam kondisi konsumerisme yang

semakin meningkatkan ketergantungan manusia akan teknologi dan parahnya, menjadikan

manusia budak teknologi. Manusia semestinya memajukan IPTEK sesuai dengan nilai

intrinsiknya sebagai pembebas beban kerja manusia. Bila tidak sesuai, maka teknologi

justru akan menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat, karena ada yang diuntungkan

dan ada yang dirugikan. Selain itu, martabat manusia akan semakin direndahkan dengan

menjadi budak teknologi, berbagai penyakit sosial merebak di masyarakat, hingga pada

fenomena dehumanisasi ketika manusia kehilangan peran dan fungsinya sebagai makhluk

spiritual.

Apakah kemajuan iptek itu merendahkan atau meningkatkan keberadaan manusia

sangat ditentukan oleh manusia itu sendiri, karena IPTEK sendiri merupakan salah satu

dari 7 cultural universal yang dihasilkan manusia yang terdiri dari: sistem mata

pencaharian, sistem kepercayaan, bahasa, sistem kemasyarakatan, kesenian, sistem ilmu

pengetahuan, dan sistem peralatan hidup. Oleh karena itu, perkembangan IPTEK haruslah

diikuti kedewasaan manusia untuk mengerti mana yang baik dan yang buruk, mana yang

semestinya dan yang tidak semestinya dilakukan dalam pengembangan IPTEK. Di sinilah

peran etika untuk ikut mengontrol perkembangan IPTEK agar tidak bertentangan dengan

niilai dan norma dalam masyarakat, serta tidak merugikan manusia sendiri. Etika, terutama

etika keilmuan sangatlah penting dalam kehidupan ilmiah karena etika keilmuan

menyoroti kejujuran, tanggung jawab, serta bebas nilai atau tidak bebas nilai dalam ilmu

pengetahuaan.

Berbicara masalah bebas nilai atau tidaknya ilmu pengetahuan sangatlah relevan dengan

apa yang terjadi di zaman Renaissance, yang terkenal dengan paham Aufklarung yang

mendewakan rasionalitas manusia. Pada zaman kegelapan (Dark Age), gereja senantiasa

mengatur dan mengendalikan kaum cendekiawan sehingga mereka merasa sangat

terkekang. Setiap teori atau penemuan-penemuan baru hanya dapat dipergunakan dengan

persetujuan dan pengakuan gereja. Sejak saat itulah para cendekiawan Barat beranggapan

bahwa nilai dan norma hanya menghambat kemajuan IPTEK. Pemahaman

rasional tentang dirinya dan alam mengantar manusia pada suatu pragmatisme ilmiah,

dimana perkembangan ilmu dianggap berhasil ketika memiliki konsekuensi-konsekuensi

pragmatis. Keadaan ini pula yang menggiring ilmuwan untuk menjaga jarak terhadap

problem nilai secara langsung.

Untuk menentukan bahwa ilmu itu bebas nilai atau tidak, maka diperlukan

sekurang-kurangnya 3 faktor sebagai indikator. Pertama, ilmu tersebut harus bebas dari

pengandaian dan pengaruh faktor eksternal seperti politik, ideologi, agama, budaya,

dll. Kedua, perlunya kebebasan usaha ilmiah demi terjaminnya otonomi ilmu

pengetahuan.Ketiga, tidak luputnya penelitian ilmiah dari pertimbangan etis yang selalu

dituding menghambat kemajuan ilmu pengetahuan. Indikator pertama dan kedua

memperlihatkan upaya ilmuwan untuk menjaga objektivitas ilmiah ilmu pengetahuan,

sedangkan indikator ketiga ingin menunjukkan adanya faktor X yang hampir mustahil

dihindarkan dari perkembangan ilmu pengetahuan, yaitu pertimbangan etis. Selain 3

indikator tadi, masih ada indikator keempat yang amat sulit ditolak oleh ilmu pengetahuan,

yakni kekuasaan. Perkembangan IPTEK selalu sarat dengan berbagai kepentingan,

terutama kepentingan kekuasaan yang kadang memunculkan konflik kepentingan antara

ilmuwan dengantruth claim melawan penguasa dengan authority claimnya. Dan di negara

berkembang, konflik itu hampir selalu dimenangkan pihak penguasa.

Ilmu sendiri, baik secara teoritis maupun praktis tidak pernah bebas dari nilai.

Selalu ada kepentingan yang bermain di dalam ilmu itu. Namun, pertimbangan etis

semestinya hanya berperan sebagai rambu-rambu saja, dan bukannya mengekang

perkembangan IPTEK tersebut. Kesalahan Barat adalah mereka menganggap bahwa ilmu

selalu bebas nilai dan sudah semestinya ilmu pengetahuan tidak berhubungan dengan

agama (sekularisme). Akan tetapi, intervensi nilai yang berlebihan ke dalam ilmu

pengetahuan juga akan mengekang kreativitas manusia dalam berpikir. Ilmu pengetahuan

semata-mata hanya menjadi alat dari berbagai macam kepentingan, terutama kepentingan

ideologis dan politik.

Karena IPTEK tidaklah bebas nilai, maka sudah sewajarnya kita mengkuti

perkembangannya, asalkan jangan sampai kita terjebak rasa ketergantungan pada

teknologi. Teknologi hanyalah alat untuk membantu meringankan beban kerja kita

sehingga jangan sampai justru kita menjadi malas dan diperbudak teknologi. Dalam

perkembangan teknologi komunikasi dan komunikasi kontemporer sendiri, sudah begitu

banyak media yang dikembangkan untuk memperlancar komunikasi dan memperpendek

jarak antar manusia. Sebut saja komputer, jaringan telepon selular yang dibantu adanya

satelit komunikasi, serta internet yang mengusung Super Highway Communication dengan

electronic mail. Selain itu, telepon selular di beberapa negara pun sudah dilengkapi

fasilitas 3G atau bahkan 4G yang memungkinkan manusia mengakses data dalam waktu

yang amat singkat.

Komentar :

Menurut saya setelah membaca artikel diatas dapat kita ketahui bahwa berbagai

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengantar kita pada kemudahan-

kemudahan untuk mengerjakan pekerjaan sehari-hari baik di rumah, sekolah, maupun

kantor. Namun, jangan sampai justru dengan segala fasilitas itu kita menjadi diperbudak

oleh alat. Kita adalah manusia yang bisa berpikir dan menciptakan berbagai macam

peralatan. Oleh karena itu hendaknya kita menciptakan teknologi sesuai dengan keadaan

dan kebutuhan manusia, bukannya membuat manusia harus menyesuaikan diri dengan

teknologi.

Artikel 2

FILSAFAT ILMU SEBAGAI SARANA

PENALARAN ILMIAH DAN PENERAPANNYA

DALAM PENELITIAN

A.   Pendahuluan

      Manusia lahir dalam keadaan misterius. Artinya  sangat sulit mengetahui mengapa, 

bagaimana,  dan untuk apa kelahirannya itu.  Yang pasti diketahui ialah bahwa manusia

dilahirkan oleh Tuhan melalui manusia lain (orang tua),  sadar akan hidup dan

kehidupannya dan sadar pula akan tujuan hidupnya.  Yaitu kembali kepada Tuhan.

Kehadirannya ke dunia seperti buku tanpa bab pendahuluan dan penutup.  Ia  akan

menghadapi isinya saja.  Ia harus menyusun sendiri bab pendahuluan dan penutupnya itu

berdasarkan fakta  yang tersirat dalam  lembaran-lembaran isinya.

Oleh karena itu setiap orang akan cenderung berbeda pandangannya tentang ide

penutup buku yang menggambarkan tujuan akhir hidupnya nanti.  Hal ini setiap orang

tidak sama kemampun imajinasinya terhadap lembaran-lembaran isi buku yang

menggambarkan fakta atau kenyataan hidup ini.  Perbedaan-perbedaan itu hendaknya

justru dipandang sebagai sumber kekayaan pengetahuan tentang misteri hidup dan

kehidupan manusia.

Menurut  Soertrisno dkk., sesungguhnya manusia adalah mahluk yang lemah, yang

keberadaannya sangat tergantung kepada penciptanya. Akan tetapi kebergantungan

terhadap sang pencipta tersebut bukanlah semata-mata melainkan ketergantungan

(dependence) yang berkeleluasan (indevendence).  Manusia menerima ketergantungan itu

dengan otonomi, independensi, serta kreaktifitasnya sedemikian rupa sehingga mampu

mempertahankan  dan mengembangkan hidup dan kehidupannya.

B.   Pembahasan

1.    Filasafat Ilmu Dari Dulu sampai Sekarang

             Melihat dari sejarah hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami

perkembangan yang sangat cepat. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani,

“philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan

ilmu pengetahuan dikemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang

lain.

            Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu

pengetahuan,  maka kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap

kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan.

            Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang

menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi.

Filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana

ditunjukkan oleh ilmu. Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat

dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu.Ilmu tidak dapat

tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat.

2.  Pemikiran Yang Berkembang

      Teori kebenaran yang ada pada filsafat ilmu digunakan sebagai dasar untuk

menghasilkan kebenaran untuk berpikir tepat dan logis. Dengan adanya cara berpikir logis,

maka pengetahuan manusia akan kebenaran dan cara memperoleh pengetahuan juga

berkembang. Semua orang memiliki pemahaman yang sama akan sesuatu hal yang dari

dahulu hingga sekarang tetap sama. Sebagai contoh, meja dari dahulu hingga sekarang

tetaplah bernama meja tidak digantikan dengan yang lain.

      Namun bila dilihat dari sisi lain bahwa  teori kebenaran juga merupakan batas

pengetahuan dalam landasan teori kebenaran. Pembatasan pengetahuan itu dibatasi oleh

panca indera kita. Selain pengetahuan dari indera, juga ada pengetahuan non indera yang

menjadi sumber pengetahuan manusia. Itu berasal dari akal budi manusia atau rasio

manusia. Melalui akal, manusia dapat berpikir secara tepat dan logis, dapat memiliki

gagasan atau ide dan hasil dari berpikir itu adalah pengetahuan yang rasional.

            Perkembangan semua pengetahuan tersebut sangat pesat.  Makin banyak

pengalaman,  semakin mendorong manusia untuk mencari dan mengembangkannya dan

makin banyak cabang pengetahuan tersebut. Perkembangan pengetahuan manusia

mengakibatkan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan manusia. Menurut Chalmers

pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan diperkirakan sejak 400 tahu yang lalu. Sejak

pemikir-pemikir seperti Copermicus,  Galileo,  Kappler,  dan yang lebih jelas lagi sejak F.

Bacon pada abad ke 15 dan 16.

3. Penalaran Ilmiah

            Pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran,  maka

proses berpikir itu harus dilakukan suatu cara tertentu.  Suatu penarikan kesimpulan baru

dianggap sahih (valid) kalau proses kesimpulan terseburt dilakukan menurut cara tertentu.

Cara penarikan kesimpulan ini disebut logika,  dimana logika secara luas dapat

didefinisikan sebagai pengkajian untuk berpikir secara sahih. Terdapat bermacam-macam

cara penarikan kesimpulan, namun untuk kesesuaian studi yang memusatkan diri pada

penalaran ilmiah.

            Baik logika deduktif maupun logika induktif dalam proses penalarannya, 

merupakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya benar. Kenyataan

ini membawa kita kepada sebuah pernyataan yaitu bagaimanakah caranya mendapatkan

pengetahuan yang benar. Sebenarnya terdapat dua cara yang pokok bagi manusia untuk

mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama mendasarkan diri pada rasio dan

yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman.

4.  Penerapan dalam Penelitian  Ilmiah

            Sebelum melakukan tindakan atau penerapan dalam penelitian ilmiah,  maka

terlebih  dahulu harus memahami  struktur penelitian dan penulisan ilmiah. Pemilihan

bentuk dan cara penulisan dari  khasanah yang tersedia merupakan masalah selera dan

prefrensi program dengan memperhatikan berbagai faktor lainnya seperti   masalah apa

yang sedang dikaji,  siapakah pembaca tulisan ini  dan dalam rangka kegiatan keilmuan

apa karya ilmiah ini disampaikan.

             Penulisan ilmiah pada dasarnya merupakan argumentasi penalaran keilmuan yang

dikomunikasikan lewat bahasa tulisan.  Maka itu mutlak diperlukan penguasaan yang baik

mengenai hakikat keilmuan agar dapat melakukan penelitian dan sekaligus

mengkomunikasikannya secara tertulis. Sehingga tidak lagi menjadi soal dari mana dia

akan memulai,  sesudah itu melakngkah ke mana.  Sebab penguasaan tematis dan teknik

akan menjamin suatu keseluruhan bentuk yang utuh.

            Demikian juga bagi seorang penulis ilmiah yang baik,  tidak jadi masalah apakah

hipotesis ditulis langsung setelah perumusan masalah,  ditempat  mana akan dinyatakan

postulat,  asumsi,  atau prinsip,  sebab dia tahu benar hakikat dan fungsi unsur-unsur

tersebut dalam keseluruhan struktur penulisan ilmiah.

            Setelah masalah dirumuskan denganbaik, maka seorang peneliti menyatakan tujuan

penelitiannya.  Tujuan penelitian ini adalah pernyataan mengenai ruang lingkup dan

kegiatan yang akan dilakukan berdasarkan masalah yang dirumuskan.Setelah itu

dibahaslah kemungkinan-kemungkinan kegunaan penelitian yang merupakan manfaat

yang dapat dipetik dari pemecahan masalah yang didapat dari peneliti. Menurut Jujun S.

mengemukakan secara kronologis dapat kita simpulkan enam kegiatan dalam langkah

dalam pengajuan masalah yaitu latar belakang masalah,  identifikasi masalah,  pembatasan

masalah,  perumusan masalah,  tujuan dan kegunaan penelitian. Patut dikemukakan bahwa

terdapat kaitan yang erat antara keenam kegiatan tersebut.

            Antara latar belakang masalah dan kegunaan penelitian kadamg-kadang sudah

terdapat kaitan yang bersifat a priori umpamanya sebuah penelitian akan digunakan

sebegian dasar penyusunan kebijakan secara nasional. Tentu saja hasil penelitian

dipergunakan untuk kebijakan bersifat nasional maka hal ini akan mempengaruhi empat

kegiatan lainnya terutama sekali proses pembatasan masalah,  sebab untuk generalisasi ke

tingkat nasional kita tidak mungkin melakukan infersens dari hasil penelitian yang terbatas

pada suatu kecamatan.

            Penyusunan kerangka teoritis.  Setelah masalah berhasil dirumuskan dengan baik

maka langkah kedua dalam metode ilmiah adalah mengajukan hipotesis.  Hipotesis

merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang diajukan.  Seperti diketahui

dalam memecahkan berbagai persoalan terdapat bermacam cara yang dapat ditempuh

manusia.  Namun secara garis besarnya maka cara tersebut dapat dikategorikan kepada

cara ilmiah dan non ilmiah.

            Dengan meletakkan kerangka teoritis pada fungsi sebenarnya maka kita lebih maju

dalam meningkatkan mutu keilmuan  keegiatan penelitian. Secara ringkas langkah dalam

menyusun kerangka teoritis dan pengauan hipotesis adalah: pengkajian mengenai teori-

teori ilmiah yang akan dipergunakan dalam analisis, pembahasan mengenai penelitian-

penelitian yang relevan,  penyusunan kerangka berpikir, dalam pengajuan hipotesis dengan

menggunakan premis-premis dan perumusan hipotesis.

            Metodologi penelitian. Pada bagian ini setelah berhasil merumuskan hipotesis yang

diturunkan secara deduktif dari pengetahuan ilmiah yang relevan maka langkah berikutnya

adalah mengajukan hipotesis tersebut secara empirik. Secara ringkas  dalam penyusunan

dalam metodologi penelitian mencakup kegiatan sebagai berikut: tujuan penelitian secara

lengkap dan operasional dalam bentuk pertanyaan yang mengidentifikasikan variabel-

variabel dan karakteristik-karakteristik hubungan yang akan diteliti, tempat dan waktu

penelitian dimana akan dilakukan generalisasi mengenai variabel-variabel yang ditelit, 

metode penelitian yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian dan tingkat generalisasi

yang diharapkan,teknik pengambilan contoh yang relevan dengan tujuan penelitian tingkat

keumuman dan metode penelitian,  teknik pengumpulan data yang mencakup identifikasi

variabel yang akan dikumpulkan,  suber data,  teknik pengukuran,  instrument,  dan teknik

mendapatkan data,  teknik analisis data yang mencakup langkah-langkah dan teknik

analisis yang dipergunakan yang ditetapkan berdasarkan pengajuan hipotesis.

            Setelah perumusan masalah, pengajuan hipotesis dan penetapan metode penelitian

maka sampailah kita kepada langkah berikutnya yakni melaporkan hasil apa yang kita

temukan berdasarkan hasil penelitian. Sebaiknya bagian ini betul-betul dipergunakan

untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan selama penelitian untuk menarik

kesimpulan penelitian. Deskripsi tentang langkah-langkah dan cara pengelompokan data

sebaiknya sudah dinyatakan dalam metodologi penelitian. Namun sering kita melihat

bahwa bagian ini dipenuhi dengan pernyataan-peryataan yang kurang relevan dan

pembahasan hasil penelitian yang menyebabkan menjadi kurang tajamnya fokus analisis

dalam pengkajian.

            Dengan memahami struktur  penelitian dan penulisan ilmiah,  maka barulah dalam

peroses  penerapan ilmia dapat dilakukan dengan baik sehinga hasilnya-pun dapat dicapai

dengan baik serta bermanfaat kepada pengembangan ilmu pengetahuan.

Komentar :

Dari artikel diatas menurut teori kebenaran yang ada pada filsafat ilmu digunakan sebagai

dasar untuk menghasilkan kebenaran untuk berpikir tepat dan logis. Dengan adanya cara

berpikir logis, maka pengetahuan manusia akan kebenaran dan cara memperoleh

pengetahuan juga berkembang. Kemampuan menalar ini menyebabkan manusia mampu

mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia kekuasaan-kekuasaannya.

Penulisan ilmiah pada dasarnya merupakan argumentasi penalaran keilmuan yang

dikomunikasikan lewat bahasa tulisan. Maka itu mutlak diperlukan penguasaan yang baik

mengenai hakikat keilmuan agar dapat melakukan penerapan dalam suatu penelitian dan

sekaligus mengkomunikasikannya secara tertulis.

Artikel 3

Perkembangan Filsafat Islam

A. Latar Belakang

Awalnya filsafat disebut sebagai induk ilmu pengetahuan (mother of science) sebab

filsafat seakan-akan mampu menjawab pertanyaan tentang segala sesuatu atau segala hal,

baik yang berhubungan dengan alam semesta, maupun manusia dengan segala

problematika dan kehidupannya. Namun seiring dengan perubahan zaman, perkembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi yang melahirkan berbagai disiplin ilmu baru dengan

masing-masing spesialisasinya, filsafat seakan-akan telah berubah fungsi dan perannya.

Dewasa ini, peran dan fungsi filsafat mengalami perkembangan dalam

posisi approach(pendekatan). Filsafat, dengan cara kerjanya yang bersifat sistematis,

universal, dan radikal, yang mengupas sesuatu secara mendalam ternyata sangat relevan

dengan problematika hidup dan kehidupan manusia serta mampu menjadi perekat kembali

antara berbagai macam disiplin ilmu yang terpisah kaitannya satu sama lain. Dengan

demikian, dengan menggunakan analisa filsafat, berbagai macam ilmu yang berkembang

sekarang ini, akan menemukan kembali relevansinya dengan hidup dan kehidupan

masyarakat dan lebih mampu lagi meningkatkan fungsinya bagi kesejahteraan hidup

manusia.

Filsafat pendidikan telah mengalami perubahan dan kemajuan yang cukup besar. Dulu

filosof sebagai penguasa tunggal berwenang dalam merumuskan suatu filsafat tentang

pendidikan yang sistematis sebagaimana idealisme, realisme, dan pragmatisme untuk

menyimpulkan prinsip-prinsip umum filosofis tentang tujuan pendidikan. Namun sekarang

hal itu tidak dapat dilakukan secara sepihak, sebab telah terdapat keragaman keahlian yang

dimiliki masyarakat, ini berarti harus ada koherensi antara filosof dan perkembangan

pemikiran dan kebutuhan masyarakat.

B. Periodisasi Perkembangan Filisafat Islam

Jalaluddin dan Usman Said dalam bukunya Filsafat Pendidkan Islam Konsep dan

Perkembangan mengemukakan perkembangan periodisasi filsafat pendidikan Islam

sebagai berikut:

1. Periode awal perkembangan Islam

Pemikiran mengenai filsafat pendidikan pada periode awal ini merupakan perwujudan

dari kandungan ayat-ayat al-Qur’an dan al-hadis, yang keseluruhannya membentuk

kerangka umum ideologi Islam. Dengan kata lain, bahwa pemikiran pendidikan Islam

dilihat dari segi al-Qur’an dan hadis, tidaklah muncul sebagai pemikiran yang terputus,

terlepas hubungannya dengan masyarakat seperti yang digambarkan oleh Islam. Pemikiran

itu berada dalam kerangka paradigma umum bagi masyarakat seperti yang dikehendaki

oleh masyarakat. Dengan demikian pemikiran mengenai pendidikan yang dilihat dalam al-

Qur’an dan hadis mendapatkan nilai ilmiahnya.

Pada periode kehidupan Rasulullah saw. ini tampaknya mulai terbentuk pemikiran

pendidikan yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits secara murni. Jadi hal-hal yang

berkaitan dengan pendidikan berbentuk pelaksanaan ajaran al-Qur’an yang diteladani oleh

masyarakat dari sikap dan prilaku hidup Nabi Muhammad saw.

2. Periode klasik

Periode klasik mencakup rentang masa pasca pemerintahan khulafa’ al-Rasyidun

hingga awal masa imperialis Barat. Rentang waktu tersebut meliputi awal kekuasaan Bani

Ummayah zaman keemasan Islam dan kemunduran kekuasaan Islam secara politis hingga

awal abad ke-19.

Walaupun pembagian ini bersifat tentative, namun terdapat beberapa pertimbangan

yang dijadikan dasar pembagian itu. Pertama, sistem pemerintahan; kedua, luas wilayah

kekuasaan; ketiga, kemajuan-kemajuan yang dicapai; dan keempat, hubungan antar

negara.

Dari dasar pertimbangan tersebut, maka diketahui bahwa di awal periode klasik terlihat

munculnya sejumlah pemikiran mengenai pendidikan. Pemikiran mengenai pendidikan

tersebut tampak disesuaikan dengan kepentingan dan tempat serta waktu. Beberapa karya

ilmuan Muslim pada periode klasik yang karya-karyanya secara langsung memuat

pembahasan mengenai pendidikan yaitu:

Ibn Qutaibah (213-276 H), nama lengkapnya Abu Muhammad Abdullah Ibn Muslim

Qutaibah al-Dainuri, keahliannya adalah bahasa Arab dan sejarah; karya yang terkenal : al-

Ma’ani al-Kabirah, syakl al-Qur’an, Gharib al-Qur’an, Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits,

Fadhl al-Arab, al-Syi’r wa al-Syu’ara; al-Ma’arif, al-Radd ‘ala al Jahimmiyah wa al-

Musyibbihah, Imamah wa al-Siyasah, dan ‘Uyun al-Akhbar. Pemikirannya menyangkut

tentang masalah pendidikan bagi kaum wanita, ilmu yang bermanfaat dan nilai-nilai bagi

yang mengembangkannya.

Perkembangan filsafat pendidikan Islam pada periode klasik ini masih menyimpan

tokoh-tokoh seperti ; Ibnu Masarrah (269-319) yang pemikirannya menyangkut tentang

jiwa dan sifat-sifat manusia, Ibnu Maskawaih (330-421), pemikirannya tentang pentingnya

pendidikan akhlak, Ibnu Sina (370-428), karya besarnya as-Syifa dan al-Qanun al-

Tibb sebuah karya ensiklopedi kedokteran, dan Al-Gazali (450/1058-505/1111 M), karya

besarnya sering menjadi acuan berbagai pandangan masyarakat dan sangat terkenal

yaitu Ihya’ Ulum al-Din, menurutnya bahwa pendidikan yang baik adalah yang dapat

mengantarkan manusia kepada keredaan Allah swt., yang tentunya selamat hidup dunia

dan akhirat.

3. Periode Modern 

Periode modern merujuk pada pembagian periodesasi sejarah Islam, yaitu menurut

Harun Nasution, bahwa periode modern dimulai sejak tahun 1800 M. periode ini ditandai

dengan dikuasainya Bani Abbas dan Bani Ummaiyah secara politik dan dilumpuhkan oleh

imperialis Barat. Namun ada tiga kerajaan besar Islam yang masih memegang hegemoni

kekuasaan Islam, yaitu Turki Usmani (Eropa Timur dan Asia-Afrika), kerajaan Safawi

(Persia), dan kerajaan Mughol (India).

Beberapa pemikir pendidikan yang tersebar di sejumlah kekuasaan Islam tersebut sebagai

tokoh yang ada kaitannya dengan perkembangan filsafat pendidikan Islam pada periode

modern, seperti:

Muhammad Abduh (1849-1905), tokoh ini yang memulai membongkar kejumudan

umat Islam dengan konsep rasionalitasnya, pemikirannya tentang pendidikan yang

disebarkan melalui majalah al-Manar dan al-‘Urwat al-Wusqa menjadi rujukan bagi tokoh

pembaharu di dunia Islam. Muhammad Rasyid Ridha meneruskan gagasannya melalui

majalah al-Manar dan Tafsir al-Manar, Kasim Amin dengan bukunya Tahrir al-

Mar’ah, Farid Wajdi dengan bukunya Dairat al-Ma’arif, Syeikh Thanthawi Jauhari

melalui karangannya al-Taj al-Marshuh bi al-Jawahir al-Qur’an wa al-Ulum. Dan masih

banyak lagi tokoh pembaharuan dalam Islam yang mendasarkan pola pikirnya merujuk

konsep pemikiran Muhammad Abduh.

Isma’il Raj’i al-Faruqi (1921-1986), membidangi secara profesional bidang

pengkajian Islam, pemikirannya tersebar di berbagai dunia Islam, dan karya

pentingnnya; Cristian Ethics, An Historical Atlas of Religions of the World, Trialogue of

Abrahamic Faith, dan The Cultural Atlas of Islam, pandangannya bahwa umat Islam

sekarang berada dalam keadaan yang lemah, dan dualisme sistem pendidikan yang

melahirkan kejumudan dan taqlid buta. Oleh sebab itu pendidikan harus dikembangkan ke

arah yang lebih modern dan berorientasi katauhidan.

Puncak dari pemikiran filsafat pendidikan Islam periode modern terangkum dalam

komperensi pendidikan Islam sedunia di Makkah tahun 1977 sebagai awal pencetusan

konsep tentang penanganan pendidikan Islam. Selanjutnya di Islamabad (1980)

menghasilkan pedoman tentang pembuatan pola kurikulum, di Dhakka (1981)

menghasilkan tentang perkembangan buku teks, dan di Jakarta (1982) telah menghasilkan

tentang metodologi pengajaran.

Komentar :

Filsafat telah berkembang dan berubah fungsi dari induk ilmu pengetahuan menjadi

semacam pendekatan dan perekat berbagai macam ilmu pengetahuan yang telah

berkembang pesat dan terpisah satu dengan lainnya (interdisciplinary approach), dan lebih

kental lagi bahwa filsafat sebagai alat analisis dalam memecahkan permasalahan filosofis

dari dunia ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia (philosophical analysis)

Perkembangan filsafat pendidikan Islam terbagi dalam periode awal jaman

permulaan Islam yang dibawa Rasul Muhammad saw., dan khulafa al-Rashidin, periode

klasik yang dimulai dari pasca pemerintahan khulafa al-Rashidun sampai awal masa

imperialisme Barat, rentang itu dapat pula dimulai dari awal kekuasaan Bani Ummayyah

sampai pada kemuduran kekuasaan Islam secara politis hingga abad ke-19, dan periode

modern dan perkembangan filsafat pendidikan Islam yang mencuat dalam sebuah

konferensi pendidikan Islam sedunia.

Artikel 4

Relevansi Antara Ilmu, Takdir dan Qadar

A.Pendahuluan

Salah satu ciri utama berpikir filsafat atau berfilsafat adalah bertanya dan terus

mempertanyakan dalam upaya mencapai hakikat (kesejatian) sesuatu yang dipertanyakan

dengan jawaban yang benar. Dalam filsafat sebuah pertanyaan melahirkan jawaban yang

kembali dipertanyakan.

Karena obyek filsafat adalah semua jenis materi yang ada di alam ini, maka

lahirlah suatu cabang filsafat yang disebut filsafat ilmu yang karakteristiknya terkait

dengan logika dan metodologi. Kadang-kadang filsafat ilmu dikembangkan pengertiannya

dengan metodologi. Jadi filsafat ilmu ialah penyelidikan filosofis tentang ciri-ciri

pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memerolehnya. Dengan kata lain filsafat ilmu

adalah penyelidikan lainjutan. Akan tetapi, yang perlu untuk dipahami adalah bahwa

filsafat ilmu itu pada dasarnya science of science.

Salah satu obyek kajian filsafat ilmu adalah membahas tentang esensi ilmu sendiri

dan hal-hal yang terkait dengan taqdir dan qadar atau penentuan nasib. Pembahasan yang

demikian itu, adalah termasuk masalah-masalah filosofis yang amat pelik dan rumit di

kalangan para pemikir Muslim sejak abad pertama hijriah. Yang jelas, masing-masing

ketiga masalah tersebut memiliki sistem kerja yang saling terkait satu dengan lainnya.

Untuk mengetahui esensi ilmu serta kaitannya dengan masalah taqdir dan qadar, maka

pengkajiannya perlu ditinjau dengan pendekatan filosofis. Sehingga, masalah yang perlu

dibahas di sini adalah apa yang dimaksud dengan ilmu, taqdir dan qadar serta bagaimana

kerelevansiannya satu dengan lain.

B. Pengertian Ilmu

Kata ilmu berasal dari bahasa Arab, yakni‘ilmun yang berakar kata dari

kata ‘alima-ya’lamu-‘ilmunyang berarti pengetahuan. Ilmu juga berarti pengetahuan yang

jelas tentang se-suatu. DalamKamus Besar Bahasa Indonesia, ilmu adalah pengetahuan,

suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat

digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.

Sedangkan menurut The Liang Gie, ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia yang rasional

dan kognitif dengan berbagai metode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga

menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala-gejala alam dan

kemasyarakatan dengan tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman,

memberikan penjelasan atau memperoleh penerapan.

Berdasar dari pengertian di atas, maka yang dimaksud ilmu adalah suatu hasil yang

diperoleh dari pemikiran manusia untuk mencari hakikat suatu kebenaran dengan cara

sistematis, baik mengenai alam dan manusia itu sendiri.

C. Pengertian Takdir

Kata takdir berasal dari bahasa Arab, yakni taqdîr yang berakar kata dari

kata qaddara yang berarti ukuran terhadap sesuatu atau memberi kadar. Menurut istilah,

takdir adalah suatu ukuran yang sudah ditentukan Tuhan sejak zaman azali baik atau

buruknya sesuatu, tetapi bisa saja berubah jika ada usaha untuk merubahnya. Sehingga,

jika Allah telah mentaqdirkan demikian, maka itu berarti bahwa Allah telah memberi

kadar/ukuran/batas tertentu dalam diri, sifat atau kemampuan maksimal makhluk-Nya.

Kemampuan pada diri manusia inilah yang boleh berubah, dan terkadang memang

mengalami perubahan disebabkan oleh usaha manusia itu sendiri.

Manusia mempunyai kemampuan terbatas sesuai ukuran yang diberikan oleh Allah

kepadanya. Manusia misalnya, ditakdirkan untuk tidak dapat menembus angkasa luar,

tetapi dengan akalnya ia mampu merubah takdir itu, yakni dengan cara menciptakan suatu

alat untuk sampai ke sana. Quraish Shihab menyatakan bahwa dengan adanya takdir tidak

menghalangi manusia untuk berusaha menentukan masa depannya sendiri, sambil

memohon bantuan Ilahi.

C. Pengertian Qadar

Kata qadar berasal dari bahasa Arab, yakni al-qadr yang berarti menetapkan.

Pengertian ini disepadankan dengan kata al-hukm artinya; penetapan, sehingga dalam al-

Quran ditemukan istilah yang disebut dengan malam qadr yaitu malam yang ditetapkan

oleh Allah atas perjalanan hidup makhluk selama setahun.

Menurut istilah, qadar adalah ketetapan atau ketentuan Tuhan sejak azali dan tidak

ada satu makhluk pun yang dapat merubahnya. Dengan kata lain qadar merupakan undang-

undang, di mana manusia tidak mampu merubahnya. Dalam ilmu kalam, istilah qadar ini

disamakan dengan qadha, yakni penetapan Allah yang tidak berubah-ubah.

Karena qadar merupakan ketetapan Allah, maka apa yang telah ditetapkan-Nya

tiada kuasa bagi makhluk-Nya untuk mengadakan perubahan atas ketetapan tersebut.

Misalnya saja, Allah telah menetapkan bagi bulan suatu manzilah untuk mengelingi

matahari, maka walau bagaimana pun usaha manusia untuk merubahnya, sungguh sia-

sialah usahanya, karena qadarnya memang sudah demikian.

D. Relevansi Antara Ilmu, Taqdir dan Qadar

Relevansi yang dimaksud dalam kajian ini adalah adanya hubungan erat antara satu

dengan lain, yaitu ilmu, taqdir dan qadar saling terkait. Dalam hal ilmu lahir dari proses

berpikir manusia; dan dengan ilmu itu manusia mampu mengetahui berbagai ukuran-

ukuran yang disebut taqdir dan ia juga mampu mengetahui ketentuan Tuhan yang disebut

qadar. Pengetahuan (ilmu) tersebut, tentu saja lahir dari asas berfikirnya yang dituntun

oleh wahyu.

Indikasi di atas memberikan landasan bagi perumusan pandangan mengenai hal-hal

mendasar dalam tinjauan filosofis. Dengan dasar itu, maka dapat dikatakan bahwa antara

ilmu, taqdir dan qadar dalam Filsafat Ilmu memang memiliki keterkaitan yang sangat erat

menurut pandangan Islam. Salah satu ayat yang dapat dijadikan dasar perumusan

mengenai hal tersebut adalah firman Allah dalam QS. Ali Imran ayat 190-191 sebagai

berikut:

) �اب� �ب ل� األ� �ول�ي أل� �ات ي آل� �ه�ار� و�الن �ل� �ي الل ف� �ال� ت و�اخ� ر�ض�

� و�األ� م�و�ات� الس� ل�ق� خ� ف�ي �ن� ون�) 190إ �ر� �ذ�ك ي �ذ�ين� ال

�اط�ال) ب ه�ذ�ا �ق�ت� ل خ� م�ا �ا �ن ب ر� ر�ض�� و�األ� م�و�ات� الس� ل�ق� خ� ف�ي ون� �ر� �ف�ك �ت و�ي �ه�م� �وب ن ج� و�ع�ل�ى و�ق�ع�ود)ا �ام)ا ق�ي �ه� الل

) �ار� الن ع�ذ�اب� �ا ف�ق�ن �ك� ان �ح� ب 191س�

Terjemahnya:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang

terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (190); (yaitu) orang-orang yang

mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka

memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami,

tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah

kami dari siksa neraka" (191).

Dari ayat tersebut diperoleh gambaran tentang orang yang disebut sebagai ulul al-

bâb, yang cirinya dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Memiliki pandangan bahwa seluruh realitas yang ditunjukkan oleh fenomena alam

semesta adalah tanda-tanda adanya Allah dengan segala ke-Maha-an dalam sifat-sifat-Nya

(seperti Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Agung, dan lain-lain) yang menciptakan

alam semesta ini. Peristiwa-peristiwa di alam semesta ini kesemuanya berada dalam

pengetahuan Tuhan dan sebagian kecilnya berada dalam pegetahuan atau ilmu manusia.

Peristiwa-peristiwa yang itu sementara ulama menyimpulkannya sebagai sunnatullah yang

tidak sepenuhnya cenderung dipersamakan dengan takdir. Alasannya,

karena sunnatullah yang digunakan oleh Alquran adalah hukum-hukum Tuhan yang pada

dasarnya tidak akan mungkin berubah. Sedangkan taqdir mencakup hukum-hukum atau

undang-undang alamiah yang mungkin saja dapat berubah, jika manusia mempergunakan

ilmunya dengan sebaik-baiknya. Kalau pun manusia tidak mampu merubahnya, maka

tetaplah hukum Tuhan itu sebagai sunnatullah dan itulah disebut dengan qadar. Misalnya

saja, telah menjadi sunnatullah bahwa air itu sifatnya hangat, tetapi air itu boleh

ditaqdirkan menjadi dingin dan panas. Tetapi bila saja, air yang hangat itu dibiarkan

begitu, maka ia tetap hangat dan itulah qadar yang ditetapkan Allah atasnya.

2. Berfikir dalam keaadaan senantiasa sadar (zikir) akan Allah. Dengan filosofi berfikir

yang demikian itu ia memikirkan segala kejadian di alam semesta, termasuk di dalamnya;

memikirkantaqdir yang ada dalam penciptaan bumi, sehingga mendorong dirinya untuk

berikhtiar dan menhhasilkan sesuatu dari tindakan-tindakannya sendiri. Kemudian, dari

pikirannya tersebut menghasilkan pengetahuan bahwa dalam pergantian siang dan malam

merupakan suatu qadaratau ketentuan mutlak, sehingga; (1)kesadaran keTuhanannya

senantiasa terawat (ditunjukkan oleh cetusan kata Rabbana); dan (2)menemukan kejelasan

makna (ilmu) tentang ketidaksia-siaan ciptaan Allah.

3. Menjadikan pengetahuannya beresensi sebagai doa. Dengan kata lain, ketika bentuk

penggunaan pengetahuan tersebut sebagai alat untuk melaksanakan berbagai kegiatan

duniawi yang merupakan taqdir, maka ia berupaya mencegah dirinya menemui azab

neraka, yang pada pengertian hakikinya merupakan perwujudan ibadah kepada Allah,

sehingga Allah lah yang menentukan diterimanya doanya dan itulah qadar-nya (diterima

atau tidak).

Manusia dengan ilmu pengetahuannya menjadikan dirinya ber-qudrah atau memiliki

kekuatan melaksanakan kehendaknya, dan bukan tunduk pada taqdir (ukuran)Tuhan, akan

tetapi ia tunduk pada qadar (ketentuan) Tuhan. Dengan ilmu atau pengetahuan yang

dimilikinya, manusia mampu mengelola alam ini sesuai dengan taqdir-nya, tetapi

terkadang terjadi hal-hal yang di luar kehendak atau keinginan manusia itu sendiri yang

merupakan qadar yang ditetapkan oleh Tuhan.

Komentar :

Dari artikel diatas dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan erat antara satu dengan lain,

yaitu ilmu, taqdir dan qadar saling terkait. Dalam hal ilmu lahir dari proses berpikir

manusia; dan dengan ilmu itu manusia mampu mengetahui berbagai ukuran-ukuran yang

disebut taqdir dan ia juga mampu mengetahui ketentuan Tuhan yang disebut qadar.

Dengan demikian, posisi ilmu dan taqdir serta qadar jika ditinjau dengan pendekatan

filosofis, sungguh akan bermuara pada adanya kerelevansian yang utuh. Dari tinjauan

filosofis, ditemukan adanya suatu kerelevansian antara ilmu dan taqdir serta qadar. Dalam

hal ini ilmu merupakan suatu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia dan nilai

kebenarannya relatif. Sedangkan taqdir merupakan ukuran tertentu bagi manusia untuk

berbuat dan nilai kebenarannya spekulatif. Sementara Qadar merupakan ketentuan yang

tidak dapat diganggu gugat oleh manusia dan nilai kebenarannya absolut.

Artikel 5

Hati-hati Belajar Filsafat Ilmu Sekular

Di berbagai perguruan tinggi, khususnya di tingkat Pasca Sarjana, para mahasiswa

biasanya diajarkan mata kuliah “Filsafat Ilmu”.  Sejauh ini, sudah banyak diterbitkan buku

tentang Filsafat Ilmu.   Sayangnya, kuatnya dominasi sekularisme – yang menolak campur

tangan agama -- dalam bidang keilmuan kontemporer turut berpengaruh dalam perumusan

konsep Filsafat Ilmu yang diajarkan di perguruan tinggi saat ini. Beberapa kutipan isi buku

Filsafat Ilmu berikut ini bisa disimak.

Sebagai contoh, sebuah buku yang sangat terkenal berjudul “Filsafat Ilmu: Sebuah

Pengantar Populer”, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995, cetakan kesembilan),

mengutip pendapat Auguste Comte (1798-1857) yang membagi tiga tingkat perkembangan

pengetahuan manusia, yaitu religius, metafisik, dan positif.  Selanjutnya, diuraikan:

“Dalam tahap pertama maka asas religilah yang dijadikan postulat ilmiah sehingga

ilmu merupakan deduksi atau penjabaran dari ajaran religi. Tahap kedua orang mulai

berspekulasi tentang metafisika (keberadaan) wujud yang menjadi objek penelaahan yang

terbebas dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan  di atas dasar postulat

metafisik tersebut. Sedangkan tahap ketiga adalah tahap pengetahuan ilmiah, (ilmu)

dimana asas-asas yang dipergunakan diuji secara positif  dalam proses verifikasi yang

obyektif.” (hal. 25).

Karakteristik berpikir “filsafat” dijelaskan dalam buku ini, yaitu:  pertama,

menyeluruh; kedua, mendasar; ketiga, spekulatif.  Tentang bidang telaah filsafat, ditulis

dalam buku ini: “Selaras dengan dasarnya yang spekulatif, maka dia menelaah segala

masalah yang mungkin dapat dipikirkan oleh manusia. Sesuai dengan fungsinya sebagai

pionir dia mempermasalahkan hal-hal yang pokok: terjawab masalah yang satu, dia pun

mulai merambah pertanyaan lain.”  (hlm. 23-25).

Ada lagi sebuah buku berjudul “Filafat Ilmu”  yang disusun Tim Dosen Filsafat

Ilmu sebuah Universitas terkenal di Yogyakarta (1996, cetakan pertama). Ditulis dalam

pendahuluan buku ini:

“Ada beberapa pendekatan yang dipilih manusia untuk memahami, mengolah, dan

menghayati dunia beserta isinya. Pendekatan-pendekatan tersebut adalah filsafat, ilmu

pengetahuan, seni, dan agama. Filsafat adalah usaha untuk memahami atau mengerti dunia

dalam hal makna dan nilai-nilainya… Filsafat berusaha untuk menyatukan hasil-hasil ilmu

dan pemahaman tentang moral, estetika, dan agama. Para filsuf telah mencari suatu

pandangan tentang hidup secara terpadu, menemukan maknanya serta mencoba

memberikan suatu konsepsi yang beralasan tentang alam semesta dan tempat manusia di

dalamnya. (Yogyakarta: Liberty, 1996), hlm. 1.)

****

Itulah beberapa contoh materi kuliah Filsafat Ilmu yang diajarkan kepada para

mahasiswa. Jika ditelaah beberapa uraian pada dua buku “Filsafat Ilmu” tersebut, akan

dijumpai problematika yang serius. Teori positivisme Comte – dalam perspektif Islam –

jelas sangat bermasalah. Sebab, ia meletakkan agama sebagai jenis pengetahuan yang

paling primitif dan akan punah saat manusia memasuki era positivisme atau empirisisme,

dimana yang diakui sebagai ilmu hanyalah pengetahuan yang didapat dari  panca indera

manusia.  Teori Comte ini pun sekarang tak terbukti. Sebab, manusia – di Barat dan di

Timur – di tengah perkembangan yang fantastis dari sains dan teknologi tetap memegang

kepercayaan pada hal-hal yang metafisik dan juga agama. Di negara-negara Barat sendiri,

banyak manusia percaya kepada “dukun ramal” (fortune teller).

Juga, faktanya, saat ini, dunia ilmu pengetahuan pun sudah menerima kebenaran di

luar positivisme. Seorang mahasiswa tidak mungkin mengklarifikasi semua pernyataan

keilmuan yang diajarkan kepadanya oleh dosennya. Misalnya, saat dosen menjelaskan,

bahwa kecepatan cahaya adalah sekitar 270.000 km/detik, maka si mahasiswa hanya

diminta untuk percaya, tanpa perlu membuktikan secara empiris. Ketika si dosen

menjelaskan, bahwa suatu rumus adalah rumus buatan Phytagoras, maka si mahassiwa

juga harus percaya saja, dan tidak mungkin membuktikan secara empiris. 

Bahkan, seorang Profesor filsafat akan puas menjadi “muqallid” (pentaqlid);  hanya

percaya saja kepada segala macam penjelasan pramugari, saat bepergian menggunakan

pesawat terbang. Ia begitu mudah percaya  kepada orang yang mungkin sama sekali tidak

pernah dikenalinya. Ia percaya kepada orang yang dikatakan sebagai pilot, meskipun ia

sama sekali tidak kenal. Sang profesor tadi juga tidak minta pembuktian, apa benar pilot

pesawat itu, benar-benar seorang pilot. Ia hanya percaya pada cerita orang yang mungkin

tak dikenalnya. Alhasil, si professor menerima “kebenaran ilmiah”, bukan berdasarkan

metode empiris, tetapi menerima kebenaran ilmiah dari jalur pemberitaan. Inilah yang

dalam konsep epistemologi Islam disebut sebagai jalur kebenaran ilmiah melalui “khabar

shadiq” (true report). 

Bagi seorang Muslim, pengetahuan yang didapat dari jalur khabar shadiq ini juga

merupakan ilmu. Sebab, ia diperoleh dari sumber-sumber terpercaya, semisal al-Quran dan

hadits Nabi Muhammad SAW.  Ilmu yang diraih dari jalur khabar shadiq ini juga diterima

secara universal. Misal, dalam soal pengakuan anak terhadap kedua orang tuanya.  Sangat

jarang terjadi, ada anak yang meminta pembuktian secara rasional dan empiris berkenaan

dengan status hubungannya dengan kedua orang tuanya. Misalnya, anak meminta bukti

ilmiah berupa tes DNA. Kita biasanya menerima saja cerita-cerita dari orang yang kita

percayai, bahwa orang tua kita adalah A dan B. Pengetahuan semacam ini – dalam konsep

epistemologi Islam – juga disebut sebagai “ilmu”, yang juga diraih dengan metode ilmiah.

Karena itu, dalam perspektif Islam, tidaklah tepat jika dikatakan, suatu ilmu hanya

dapat diraih dari metode empiris dan rasional.  Pengetahuan tentang Allah, tentang para

Nabi, tentang akhirat, tentang keutamaan bulan Ramadhan, keutamaan ibadah haji, dan

sebagainya, juga dikatakan sebagai “ilmu” sebab didapatkan dari sumber-sumber

terpercaya (khabar shadiq), meskipun hal itu di atas jangkauan akal (supra rasional). 

Masalah “cara-cara meraih ilmu” (epistemologi) saat ini telah banyak dibahas oleh para

pakar keilmuan Islam.

Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, Direktur Center for Advanced Studies on

Islam, Science, and Civilization -- Universiti Teknologi Malaysia, dalam makalahnya yang

berjudul Konsep Ilmu dalam Tinjauan Islam, menjelaskan, bahwa dalam Tradisi Islam, 

ilmu  pengetahuan tiba melalui pelbagai saluran, yaitu pancaindera (al-hawass al-

khamsah), akal fikiran sihat (al-’aql al-salim), berita yang benar (al-khabar al-sadiq), dan

intuisi (ilham).

Tentang akal fikiran sehat, Prof. Wan Mohd Nor menjelaskan, bahwa aspek akal

manusia merupakan saluran penting yang dengannya diperoleh ilmu pengetahuan tentang

sesuatu yang jelas, yaitu perkara yang dapat difahami dan dikuasai oleh akal, dan tentang

sesuatu yang dapat dicerap dengan indera.   Akal fikiran (al-’Aql) bukan hanya rasio. Akal

adalah “fakultas mental” yang mensistematisasikan dan mentafsirkan fakta-fakta empiris

menurut kerangka logika, yang memungkinkan pengalaman inderawi menjadi sesuatu

yang dapat difahami. Akal adalah entitas spiritual yang rapat dengan hati (al-qalb), yaitu

menjadi tempat intuisi. Dengan demikian, akal adalah perantara yang menghubungkan

akal-fikiran dengan intuisi.

“Oleh sebab itu, sesiapa yang membatasi fungsi akal-fikiran sebagai aspek yang

rasional dan dapat dicerap oleh indera, maka ia telah menyelewengkan akal fikiran

daripada kualiti yang sebenarnya dan, dengan demikian, menjadikan akal fikirannya tidak

sihat. Perlu diketahui bahwa hati yang dikatakan sebagai sumber intuisi bukanlah hati

fisik, melainkan realiti yang terdapat di alam roh yang menggunakan semua daya yang lain

sebagai instrument,” tulis Prof. Wan Mohd Nor.

‘Berita yang benar’,  jelas Prof. Wan Mohd Nor,  adalah sumber lain ilmu

pengetahuan yang terdiri daripada dua jenis. Jenis yang pertama adalah berita yang

terbukti secara terus-menerus dan disampaikan oleh mereka yang kebaikan akhlaknya

tidak mengizinkan akal fikiran kita untuk membayangkan bahwa mereka akan melakukan

dan menyebarkan kesalahan. Hadis mutawatir adalah contoh yang sangat tepat tentang

jenis berita ini. Kesepakatan umum para ahli, ilmuwan, dan sarjana juga dianggap sebagai

bahagian daripada jenis ini. Meskipun memiliki autoriti, kesepakatan tersebut masih dapat

dipersoalkan menurut kaedah rasional dan empirikal, sebagaimana yang terjadi dalam kes

laporan sejarah, geografi, dan sains. Jenis yang kedua adalah berita mutlak, yang dibawa

oleh Nabi berdasarkan wahyu.

Demikian paparan Prof. Wan Mohd Nor tentang sumber-sumber ilmu dalam Islam,

yang tidak membatasi hanya dari sumber panca indera (empiris) dan akal (rasional).

Pandangan Islam tentang sumber ilmu – yang bisa disebut sebagai metode ilmiah – ini

berbeda dengan penjelasan pada sebagian buku Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian

sekular yang membatasi kategori “ilmiah” hanya pada hal-hal yang rasional dan empiris. 

(Dikutip dari Makalah yang pernah dibentangkan oleh Prof Wan Mohd Nor Wan Daud

saat bertindak sebagai Pembicara Utama dalam Workshop Dasar-Dasar Epistemologis

Dalam Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi, Universitas Muhamadiyah Yogyakarta,

Indonesia, 11 April 2005. Dengan sedikit editing, makalah ini telah dipublikasikan di

Jurnal Ta’dibuna, Jurnal Program Doktor Pendidikan Islam, UIKA Bogor, Nomor 2, Vol.

I, 2012.) 

 

****

 

Konsep ilmu dalam Islam itu berbeda dengan banyak buku Filsafat Ilmu yang kini

diajarkan kepada para mahasiswa. Dalam buku “Filsafat Ilmu” yang telah disebut

terdahulu, dinyatakan: “Dapat disimpulkan bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan

yang disusun secara konsisten dan kebenarannya telah diuji secara empiris. Dalam hal ini

harus disadari bahwa proses pembuktian dalam ilmu tidaklah bersifat absolut…. Ilmu tidak

bertujuan untuk mencari kebenaran absolut melainkan kebenaran yang bermanfaat bagi

manusia dalam tahap perkembangan tertentu.”  (1995:131-132).

Jika konsep dan definisi “ilmu” itu diterapkan untuk Ilmu Ushuluddin, Ilmu Tafsir

al-Quran, atau Ilmu Ushul Fiqih, maka akan menimbulkan kerancuan yang sangat serius.

Sebab, pengetahuan bahwa Allah itu Satu adalah ilmu yang mutlak yang didasarkan pada

sumber yang mutlak benar, yaitu al-Quran. Begitu juga ilmu tentang keharaman babi, zina,

dan khamr, adalah ilmu yang mutlak juga.  Penafsiran bahwa Nabi Isa a.s. tidak wafat di

tiang salib, juga merupakan ilmu yang mutlak benarnya, yang tidak akan berubah sampai

Akhir Zaman.

Adalah sangat keliru jika orang belajar ilmu bukan untuk meyakini kebenaran suatu

ajaran, atau bahkan tidak ditujukan untuk mengenal Tuhan yang sebenarnya. Prof. Wan

Mohd Nor, dalam makalahnya yang dirujuk pada bagian terdahulu, menjelaskan, bahwa

dari segi  linguistik, perkataan ‘ilm berasal daripada akar kata ‘ain-lam-mim yang diambil

daripada perkataan ‘alamah, yaitu “tanda, penunjuk, atau petunjuk yang dengannya sesuatu

atau seseorang dikenal; kognisi atau label; ciri; petunjuk; tanda”.  Dengan demikian,

ma’lam (jamak: ma’alim) berarti “tanda jalan” atau “sesuatu yang dengannya seseorang

membimbing dirinya atau sesuatu yang membimbing seseorang”. Seiring dengan itu,

‘alam juga dapat diartikan sebagai “penunjuk jalan”.  Maka bukan tanpa alasan jika

penggunaan istilah âyah (jamak: ayat) dalam al-Qur’an yang secara literal berarti “tanda”

merujuk pada ayat-ayat al-Qur’an dan fenomena alam.

Demikian, penjelasan Prof. Wan Mohd Nor. Dan memang, kata ilmu, alam, dan

‘ilm (‘ilm dengan makna “yakin”), memiliki akar kata yang sama. Ini menarik, karena

“alam” jika dipahami sebagai ayat Allah, maka akan menghasilkan ilmu yang

mengantarkan manusia kepada keyakinan pada Allah SWT. Karena itulah, Allah SWT

memperingatkan bahwa nanti di akhirat, neraka jahanam akan dijejali dengan manusia-

manusia dan jin yang mereka memiliki mata tetapi tidak sampai dapat memahami ayat-

ayat Allah; juga telinga dan akal mereka tak sampai mengantarkan mereka kepada

pemahaman dan keimanan kepada Allah. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih

sesat. (QS al-A’raf: 179).

Orang yang berilmu diletakkan pada derajat yang tinggi, karena dengan ilmunya itu

dia mengenal Tuhannya dan mengenal agama Tuhan yang sebenarnya. ”Allah menyatakan

bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat

dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan demikian). Tiada Tuhan melainkan Dia,

Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi

Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali

sesudah datang pengetahuan (’ilm) kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) diantara

mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah

sangat cepat hisab-Nya.” (QS 3:18-19).

Komentar :

Saya sepakat dengan judul artikel ini bahwa kita harus hati-hati (waspada / aware) ketika

belajar filsafat ilmu. Namun bukan berarti kita "tidak boleh" belajar filsafat ilmu ala barat,

karena penting menurut saya buat kita untuk mempelajari "kerangka berpikir" dari para

tokoh filsafat barat termasuk Comte, jadi penekanannya pada kerangka berpikir mereka.

Waspada dan hati-hati sangat perlu dalam mempelajari apapun, tapi jangan pernah

berhenti belajar itu yang lebih penting lagi. Tentu, agar manusia menjadi mulia, tidak

boleh ia sembarangan menerima ilmu. Ilmu-ilmu yang baiklah yang perlu dipelajari.

Sebab, ilmu-ilmu yang baik itulah yang akan mengantarkan manusia kepada keimanan dan

kebahagiaan. Karena begitu penting dan strategisnya kedudukan ilmu dalam Islam, maka

seyogyanya Perguruan Tinggi tidak lagi mengajarkan mata kuliah Filsafat Ilmu yang

sekular, yang menafikan wahyu sebagai sumber ilmu. Kini, menjadi tugas berat dan mulia

bagi para cendekiawan Muslim untuk merumuskan mata kuliah Filsafat Ilmu yang benar.

Artikel 6

B. Naturalisme dalam Filsafat

NATURALISME merupakan teori yang menerima “nature” (alam) sebagai

keseluruhan realitas. Istilah “nature” telah dipakai dalam filsafat dengan bermacam-macam

arti, mulai dari dunia fisik yang dapat dilihat oleh manusia, sampai kepada sistem total dari

fenomena ruang dan waktu. Natura adalah dunia yang diungkapkan kepada kita oleh sains

alam. Istilah naturalisme adalah sebaliknya dari istilah supernaturalisme yang mengandung

pandangan dualistik terhadap alam dengan adanya kekuatan yang ada (wujud) di atas atau

di luar alam ( Harold H. Titus e.al. 1984.

Materialisme adalah suatu istilah yang sempit dari dan merupakan bentuk dari

naturalisme yang lebih terbatas. Namun demikian aliran ini pada akhirnya lebih populer

daripada induknya, naturalisme, karena pada akhirnya menjadi ideologi utama pada

negara-negara sosialis seperti Uni Soviet (kini Rusia) dan Republik Rakyat Cina (RRC).

Materialisme umumnya mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada kecuali materi, atau

bahwa nature (alam) dan dunia fisik adalah satu.

Materialisme dapat diberikan definisi dengan beberapa cara. Di antaranya, pertama:

Materialisme adalah teori yang mengatakan bahwa atom materi yang berada sendiri dan

bergerak merupakan unsur-unsur yang membentuk alam, dan bahwa akal dan kesadaran

(consiousness) termasuk di dalamnya. Segala proses fisikal merupakan mode materi

tersebut dan dapat disederhanakan menjadi unsur-unsur fisik.

Kedua, definisi tersebut mempunyai implikasi yang sama, walaupun condong

untuk menyajikan bentuk matarialisme yang lebih tradisional. Belakangan, doktrin tersebut

dijadikan sebagai “energism” yang mengembalikan segala sesuatu kepada bentuk energi,

atau sebagai suatu bentuk dari “positivisme” yang memberi tekanan untuk sains dan

mengingkari hal-hal seperti ultimate nature of reality (realitas yang paling tinggi). Inilah

yang pada akhirnya mereka ragu-ragu apakah tuhan benar-benar ada atau tidak, yang jelas

mereka tidak mampu menjangkaunya. Bahkan sebagian mengingkari sama sekali sehingga

menjadi atheis.

Democritus adalah seorang filosof Yunani Kuno yang hidup sekitar tahun 460-370

SM. Ia adalah atomis pertama, materialis pertama dan perintis sains mekanik. Ketika

ditanya, “Alam ini dibuat dari apa?” atau “Apakah yang riil itu” ia menjawab, “Alam

terdiri dari dua bagian. Pertama adalah atom, bagian yang sangat kecil sekali dan tak

terbatas jumlahnya, mempunyai kualitas yang sama, tetapi mengandung perbedaan yang

bemacam-macang tentang besar dan bentuknya. Kedua adalah ruang kosong di mana

atom-atom tersebut bergerak.

Atom adalah terlalu kecil untuk dilihat mata, dan tak dapat rusak. Atom

menggabungkan diri berkombinasi dengan cara bermacam-macam membentuk manusia,

binatang, tanam-tanaman, batu-batuan dan sebagainya. Jika atom itu dalam jumlah yang

sangat besar bertabrakan serta terpental ke berbagai jurusan, timbullah bermacam-macam

benda. Atom ini bersama gerakan-gerakannya di angkasa merupakan penjelasan tentang

fenomena-fenomena. Democritus merupakan seorang rasionalis yang mengatakan bahwa

akal itu tahu benda-benda yang benar. Persepsi indra hanya memberi pengetahuan yang

relatif.

Materialisme moderen mengatakan bahwa alam (universe) merupakan kesatuan

material yang tak terbatas; alam termasuk di dalamnya segala materi dan energi (gerak

atau tenaga) selalu ada dan akan tetap ada. Dan bahwa alam (world) adalah realitas yang

keras, dapat disentuh, material, objektif, yang dapat diketahui oleh manusia. Materialisme

moden mengatakan, materi ada sebelum jiwa (mind), dan dunia material adalah yang

pertama. Sedangkan pemikiran tentang dunia ini adalah nomor dua.

Kelompok materialis, sebagaimana kelompok aliran-aliran lainnya tidak sepakat

atas segala persoalan, atau tidak berpegang seluruhnya kepada persoalan-persoalan

tersebut di atas. Dalam dunia sekarang, materialisme dapat mengambil salah satu dari dua

bentuk, satu mekanisme atau materialisme mekanik (mechanistic materialism) dengan

tekanan pada sains alam; dan kedua materialisme dialektik (dialectical materialsm) yang

merupakan filsafat resmi Rusia, Cina, dan kelompok-kelompok komunis lainnya di seluruh

dunia. Materialisme mekanik mempunyai daya tarik yang sangat besar oleh karena

kesederhanaannya. Dengan menerima pendekatan itu, seseorang merasa telah dapat

membebaskan diri dari problema-problema yang membingungkan yang selama beabad-

abad. Apa yang riil (benar, sungguh-sungguh ada) dalam manusia adalah badannya, dan

ukuran kebenaran atau realitas adalah sentuhan penglihatan dan suara, yakni alat-alat

verifikasi eksperimental. (Juhaya S. Pradja, 1987)

Banyak ahli pikir berpendapat bahwa jika sains dapat menjelaskan segala sesuatu

dengan sebab mekanik saja, akibatnya tak ada alasan untuk percaya kepada Allah dan

tujuan dari alam. Hukum yang sama berlaku bagi manusia, binatang-binatang yang rendah

dan planet. Kesadaran pikiran adalah hasil dari perubahan-perubahan dalam otak atau

syaraf. Alam diatur dengan hukum fisik materi, walaupun hal itu menyangkut proses yang

sangat kompleks dan halus dari akal manusia. Hidup hanya merupakan proses fisiologi dan

hanya mempunyai arti fisiologi.

Banyak sekali ahli filsafat, humanis, idealis, pragmatis, dan lain-lain mengatakan

bahwa materialisme mekanik tidak menjelaskan seluruh problem. Kebanyakan orang

mengakui bahwa terdapat sistem di dunia yang dapat dijelaskan dengan secara mekanik

dengan sebaik-baiknya, dan hanya sedikit orang yang mempersoalkan nilai pemakaian

interprestasi mekanik di bidang di mana interpretasi tersebut membantu pemahaman kita.

Tapi banyak orang menyangsikan prinsip-prinsip mekanik untuk memberikan dasar yang

memuaskan bagi penjelasan segala bahwa materialisme adalah suatu contoh dari reductive

fallacy yang terjadi jika situasi yang kompleks atau suatu keseluruhan yang sederhana.

Contohnya, ketika seorang materialis mengatakan bahwa akal itu adalah sekadar bentuk

dari materi, para kritikus mengatakan bahwa ia melakukan suatu kesalahan yaitu reduction

yang kasar.

C. Naturalisme dalam Filsafat Pendidikan

Naturalisme dalam filsafat pendidikan mengajarkan bahwa guru paling alamiah

dari seorang anak adalah kedua orang tuanya. Oleh karena itu, pendidikan bagi naturalis

dimulai jauh hari sebelum anak lahir, yakni sejak kedua orang tuanya memilih jodohnya.

Tokoh filsafat pendidikan naturalisme adalah John Dewey, disusul oleh Morgan Cohen

yang banyak mengkritik karya-karya Dewey. Baru kemudian muncul tokoh-tokoh seperti

Herman Harrell Horne, dan Herbert Spencer yang menulis buku berjudul Education:

Intelectual, Moral, and Physical. Herbert menyatakan bahwa sekolah merupakan dasar

dalam keberadaan naturalisme. Sebab, belajar merupakan sesuatu yang natural, oleh

karena itu fakta bahwa hal itu memerlukan pengajaran juga merupakan sesuatu yang

natural juga. Paham naturalisme memandang guru tidak mengajar subjek, melainkan

mengajar murid.

Terdapat lima tujuan pendidikan paham naturalisme yang sangat terkenal yang

diperkenalkan Herbert Spencer melalui esai-esainya yang terkenal berjudul “Ilmu

Pengetahuan Apa yang Paling Berharga?”. Kelima tujuan itu adalah (1) Pemeliharaan diri;

(2) Mengamankan kebutuhan hidup; (3) Meningkatkan anak didik; (4) Memelihara

hubungan sosial dan politik; (5) Menikmati waktu luang.

Spencer juga menjelaskan enam prinsip dalam proses pendidikan beraliran

naturalisme. Delapan prinsip tersebut adalah (1) Pendidikan harus menyesuaikan diri

dengan alam; (2) Proses pendidikan harus menyenangkan bagi anak didik; (3) Pendidikan

harus berdasarkan spontanitas dari aktivitas anak; (4) Memperbanyak imlu pengetahuan

merupakan bagian penting dalam pendidikan; (5) Pendidikan dimaksudkan untuk

membantu perkembangan fisik, sekaligus otak; (6) Praktik mengajar adalah seni menunda;

(7) Metode instruksi dalam mendidik menggunakan cara induktif; (8) Hukuman dijatuhkan

sebagai konsekuensi alam akibat melakukan kesalahan. Kalaupun dilakukan hukuman, hal

itu harus dilakukan secara simpatik.

Komentar :

Menurut saya Paham ini bisa melahirkan manusia-manusia demokratis, sebab segala

sesuatu dikembalikan pribadi masing-masing. Namun kelemahan utama aliran ini adalah

bahwa anak yang lahir juga dipengaruhi oleh lingkungannya. Jika lingkungan di sekitar

baik, maka anak tersebut cenderung baik. Sebaliknya, jika kehidupan di sekitarnya buruk,

anak cenderung berkembang ke arah buruk.

Artikel 7

Filsafat Ilmu : Islam vs Barat

PROF Dr Wan Mohd Noer Wan Daud dalam makalahnya berjudul Konsep Ilmu

dalam Tinjauan Islam menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan itu diperoleh melalui

beberapa saluran, yaitu pancaindera (al hawass al khamsah), akal fikiran sehat (al aql al

salim), berita yang benar (al khabar al shadiq) dan intuisi (ilham).

Tentang akal fikiran sehat, Prof Wan menjelaskan bahwa aspek akal merupakan

saluran penting yang dengannya diperoleh ilmu pengetahuan tentang sesuatu yang jelas, ,

yaitu perkara yang dapat dipahami dan dikuasai oleh akal dan tenang sesuatu yang dapat

dicerap oleh indera. Akal fikiran (al aql) bukan hanya rasio. Akal adalah “fakultas mental”

yang mensistematisasikan dan menafsirkan fakta-fakta empiris menurut kerangka logika,

yang memungkinkan pengalaman inderawi menjadikan sesuatu yang dapat dipahami. Akal

adalah entitas spiritual yang rapat dengan hati (al qalb), yaitu menjadi tempat intuisi.

Berita yang benar (al khabar al shadiq) adalah sumber ilmu pengetahuan yang

terdiri dari dua jenis. Pertama adalah berita yang terbukti secara terus menerus

(bersambung) dan disampaikan oleh mereka yang kebaikan akhlaknya tidak mengizinkan

akal pikiran kita untuk membayangkan bahwa mereka akan melakukan dan menyebarkan

kesalahan. Hadits Mutawatir adalah contoh yang sangat tepat untuk jenis berita ini.

Kesepakatan umum para ahli, ilmuwan dan sarjana juga dianggap sebagai bagian dari jenis

ini. Meskipun memiliki otoritas, kesepakatan tersebut masih dapat dipersoalkan kaidah

rasional dan empirical, sebagaimana yang terjadi dalam kasus laporan sejarah, geografi

dan sains. Jenis yang kedua adalah berita mutlak (kebenarannya) yang dibawa oleh Nabi

berdasarkan wahyu.

Buku Filsafat Ilmu karya Dr Adian Husaini dkk ini (tebal 310 halaman) mengritik

buku popular Filsafat Ilmu karya Jujun S Suriasumantri. Misalnya pendapat Jujun tentang

ilmu: “Dapat disimpulkan bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun

secara konsisten dan kebenarannya telah diuji secara empiris. Dalam hal ini harus disadari

bahwa proses pembuktian dalam ilmu tidaklah bersifat absolute…Ilmu tidak bertujuan

untuk mencari kebenaran absolute melainkan kebenaran yang bermanfaat bagi manusia

dalam tahal perkembangan tertentu.” (hlm. 131-132).

Jika konsep dan definisi ilmu Jujun itu diterapkan untuk ilmu Ushuluddin, ilmu

tafsir al Qur’an dan ilmu Ushul Fiqh maka akan menimbulkan kerancuan besar. Sebab

pengetahuan bahwa Allah itu Satu adalah ilmu yang mutlak yang didasarkan pada sumber

yang mutlak benar, yaitu Al Qur’an. Begitu juga ilmu tentang keharaman babi, zina dan

khamr, adalah ilmu yang mutlak juga. Penafsiran bahwa Nabi Isa as tidak wafat di tiang

salib, adalah ilmu yang mutlak benarnya, yang tidak berubah sampai akhir zaman.

Jika filsuf Yunani dan banyak filsuf lainnya masih berspekulasi tentang asal mula

dan masa depan kehidupan, maka filsafat dalam Islam –yang berdasarkan wahyu- sudah

memberikan ilmu yang jelas dan tidak spekulatif. Asal usul manusia sudha sangat jelas,

yaitu beradal dari keturunan Adam as. Ketika manusia menolak informasi dari wahyu,

maka secara otomatis, mereka akan berspekulasi. Malangnya berspekulasi kemudian diberi

nilai yang sangat tinggi, yaitu sedang berfilsafat.

Masalah epistemologi ilmu  -theory of knowledge—ini adalah masalah yang

penting. Epistemologi berbicara tentang sumber-sumber ilmu dan bagaimana manusia bisa

meraih ilmu. Sementara itu knowledge atau ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang

sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Islam adalah agama yang sangat menghargai

ilmu. Al Quran adalah kitab yang begitu besar perhatiannya terhadap aktivitas pemikiran

dan keilmuan. Ini misalnya tergambar dari penyebutan kata “al ilm” dan derivasinya,

mencapai 823 kali.

Menurut Dr Adian, yang diajarkan pertama kali kepada Nabi Adam as adalah ilmu

tentang nama-nama benda (al Baqarah 31). Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad saw berkaitan dengan perintah membaca (iqra’) dan menulis yang

disimbolkan dengan pena (al qalam). Wahyu ini pun sudah berbicara tentang proses

penciptaan manusia yang berasal dari ‘al alaq’ (sesuatu yang melekat). Jadi sejak awal Al

Quran mengingatkan bahwa proses membaca dan belajar tidak boleh dipisahkan dengan

keimanan.

Fakta sejarah membuktikan bagaimana ketinggian peradaban Islam yang dilandasi

keilmuan. Seorang sejawaran Irlandia, Tim Wallace-Murphy, dalam bukunya, What Islam

did for Us: Understanding Islam’a Contribution to Western Civilization (London: Watkins

Publishing, 2006), menggambarkan kejayaan keilmuan Islam yang kemudian memberikan

jasa besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern di Barat. Ia membuat

perbandingan kehidupan peradaban Islam dan peradaban Barat di masa kejayaan Islam di

Andalusia (Spanyol) : “Kehidupan bagi sebagian besar masyarakat Kristen Eropa adalah

singkat, brutal dan biadab, dibandingkan dengan kehidupan yang canggh, terpelajar dan

rezim yang toleran di wilayah Muslim Spanyol).”

Kaum Kristen di Eropa, menurut Tim Wallace-Murphy, mengenal ilmu

pengetahuan bukanlah langsung dari warisan tradisi Yunani, tetapi melalui buku-buku

berbahasa Arab yang ditulis oleh Ilmuwan-ilmuwan Muslim dan Yahudi. Mereka belajar

dan menerjemahkan secara bebas pada pusat-pusat pembelajaran Islam di Spanyol, yang

disebutnya sebagai “the gratest culture centre in Europe”. Ketika itu Barat menjadikan

kampus-kampus di Spanyol sebagai model. Tahun 1263 berdirilah Oxford University, dan

tak lama sesudah itu berdiri Cambridge University. “It was well known and respected

colleges in al Andalus that became a models on which Oxford and Cambridge were

based,”tulis Wallace-Murphy. Jadi kampus-kampus terkenal di Eropa seperti Oxford dan

Cambridge didirikan dengan mengambil model kampus-kampus terkenal dan hebat yang

ada di Andalusia.

Dr Salmah, Dosen di UPM Serawak Malaysia dalam bukunya Andalusia

menyatakan: “Pada zamannya Universiti Cordova telah diperbesar dan dipertingkatkan

peranannya sehingga muncul sebagai universiti yang terbaik dan terbesar di dunia.

Universiti Cordova ini telah berupaya menandingi Universiti Al Azhar di Kaherah (Kairo)

dan Nizamiyah di Baghdad. Ia telah berjaya menarik ramai pelajar sama ada Kristian,

Yahudi dan Islam, bukan sahaja dari Andalus tetapi juga dari Negara-negara di Eropah,

Afrika dan Asia.”

Universitas Cordova yang letaknya di Masjid Cordova adalah tempat yang paling

baik untuk belajar pada saat itu. Saat itu telah ada jurusan astronomi, matematika,

kedokteran, teologi dan undang-undang/hukum. Amir Hasan Siddiqi sebagaimana dikutip

Salmah menyatakan: “Pada abad ke-10 M Apabila Cordova (ibu Negara kerajaan Umayah

Spanyol) mula menyaingi Baghdad, pasang surut aliran budaya  dan pembelajaran yang

bertimbal balik. Semasa abad yang berikutnya, bertambah ramai lagi pelajar dari wilayah

Islam Timur dan Kristian Eropah berduyun-duyun datang ke Universiti Cordova, Toledo,

Granada dan Seville

untuk menimba ilmu dari perigi ilmu pengetahuan yang mengalir ke sana dengan banyak

sekali.

Komentar :

Dengan membaca artikel diatas kita dapat mengetahui bahwa Gaya hidup dan

budaya barat sudah sangat berpengaruh terhadap budaya Indonesia khususnya islam. Baik

dalam hal pakaian, makanan, musik, dan lain-lain. Sebagian besar budaya Barat yang

masuk ke Indonesia adalah sisi negatif dari budaya barat. Seperti sifat berfoya-foya,

materialis, pergaulan bebas, dan lain-lain. Budaya barat sudah sangat mempengaruhi

sehingga sebagian besar orang Indonesia lebih menyukai membeli produk luar negri

daripada produk Indonesia sendiri. Walaupun budaya barat sudah bercampur dengan

budaya Indonesia, tetapi sebagian besar orang Indonesia masih bisa membedakan yang

mana budayanya dan yang mana budaya barat.

Berdasarkan pembahasan tersebut, saran penulis adalah sebagai berikut.

menyaring budaya barat yang masuk ke Indonesia. Sehingga hanya sisi positif dari budaya

barat yang masuk ke Indonesia. Kita juga harus menyaring budaya barat yang masuk ke

Indonesia, agar budaya kita tidak hilang karena budaya barat yang masuk tersebut

artikel 8

Penerapan Aksiologi dalam Pendidikan

Telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya bahwa aksiologi adalah ilmu

pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan (Kattsoff,

1992:327)  atau studi tentang hakikat tertinggi, realitas, dan arti dari nilai-nilai (Sarwan,

1984:22). Penerapan aksiologi sebagai nilai-nilai dalam dunia pendidikan dapat

dikemukakan sebagai berikut:

1. Aliran filsafat progressivisme telah memberikan sumbangan yang besar terhadap dunia

pendidikan karena meletakkan dasar-dasar kemerdekaan, dan kebebasan kepada anak

didik, (Hamdani, 1993:146). Oleh karena itu, filsafat ini tidak menyetujui pendidikan yang

otoriter. Sebab pendidikan otoriter akan mematikan potensi pebelajar untuk

mengembangkan potensinya.

Untuk itu pendidikan sebagai alat untuk memproses dan merekonstruksi

kebudayaan baru yang memberikan warna dan corak dari kreasi yang dihasilkan dari

situasi yang tercipta secara edukatif.

Sekolah yang ideal adalah sekolah yang pelaksanaan pendidikannya terintegrasi

dengan lingkungannya. Sekolah adalah bagian dari masyarakat, sehingga harus diupayakan

pelestarian karakteristik lingkungan sekolah atau daerah tempat sekolah itu berada dengan

prinsip learning by doing (belajar dengan berbuat). Tegasnya, sekolah bukan hanya

berfungsi sebagai transfer of knowledge (pemindahan pengetahuan), melainkan juga

sebagai transfer of value (pendidikan nilai-nilai) sehingga anak menjadi terampil dan

berintelektual.

2. Aliran essensialisme berpandangan bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai

budaya yang telah ada sejak awal peradaban manusia. Kebudayaan yang diwariskan

kepada kita telah teruji oleh seluruh zaman, kondisi, dan sejarah. Kesalahan kebudayaan

modern sekarang menurut aliran ini ialah cenderung menyimpang dari nilai-nilai yang

diwariskan itu (Sahabuddin, 1997:191).

Esessialisme memandang bahwa seorang pebelajar memulai proses pendidikannya

dengan memahami dirinya sendiri, kemudian bergerak keluar untuk memahami dunia

objektif. Dari mikrokosmos menuju makrokosmos. Dengan landasan pemikiran tersebut,

maka belajar dapat didefinisikan sebagai jiwa yang berkembang pada dirinya sendiri.

3. Aliran perenialisme berpandangan bahwa pendidikan sangat dipengaruhi oleh

pandangan tokoh-tokoh seperti Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas. Menurut Plato

manusia secara kodrati memiliki tiga potensi yaitu nafsu, kemauan, dan pikiran.

Pendidikan hendaknya berorientasi pada potensi itu dan kepada masyarakat, agar

kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat dapat terpenuhi. Sedangkan Aristoteles

lebih menekankan pada dunia kenyataan. Tujuan pendidikan adalah kebahagian untuk

mencapai tujuan itu, maka aspek jasmani, emosi dan intelektual harus dikembangkan

secara seimbang.

Menurut Robert Hutchkins dalam (Jalaluddin, 1997:96) bahwa manusia

adalah animal rasionale, maka tujuan pendidikan adalah mengembangkan akal budi agar

seseorang dapat hidup penuh kebijaksanaan demi kebaikan hidup itu sendiri.

4. Aliran rekonstruksionisme ingin merombak kebudayaan lama dan membangun

kebudayaan baru melalui lembaga dan proses pendidikan. Perubahan ini dapat terwujud

bila melalui usaha kerja sama semua umat manusia atau bangsa-bangsa. Masa depan umat

manusia adalah suatu dunia yang diatur dan diperintah oleh rakyat secara demokratis,

bukan dunia yang dikuasai oleh suatu golongan. Cita-cita demokrasi yang sebenarnya

bukan hanya dalam teori melainkan harus menjadi kenyataan, dan terlaksana dalam

praktik. Hanya dengan demikian dapat pula diwujudkan satu dunia yang dengan potensi-

potensi teknologi mampu meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, kemakmuran,

keamanan, dan jaminan hukum bagi masyarakat, tanpa membedakan warna kulit,

nasionalitas, kepercayaan, dan agama. (Sahabuddin, 1987:194).

Komentar :

Menurut saya pendidikan bertujuan untuk mewariskan nilai-nilai yang dipandang penting

untuk pembinaan kepribadian seseorang. Implikasi dan nilai-nilai (aksiologi) di dalam

pendidikan harus diintegrasikan secara utuh dalam kehidupan pendidikan secara praktis

dan tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai yang meliputi kecerdasan, nilai-nilai ilmiah,

nilai moral, dan nilai agama. Hal ini tersimpul di dalam tujuan pendidikan, yakin

membawa kepribadian secara sempurna. Pengertian sempurna disini ditentukan oleh

masing-masing pribadi, masyarakat, bangsa sesuai situasi dan kondisi.

Artikel 9

Filsafat Ilmu Islami : Manusia Bisa Tahu Yang Benar

Manusia normal pada hakikatnya dapat mengetahui kebenaran dengan segala

kemampuan dan keterba-tasannya. Ia juga bisa memilih (ikhtiyar) dan memilah (tafriq)

membedakan(tamyiz), menilai dan menentukan (tahkim) mana yang benar dan mana yang

salah, mana yang berguna dan mana yang berbahaya, dan seterusnya.

‘Kemampuan’ yang dimaksud adalah kapasitas manusia lahir dan batin, mental dan

spiritual, dengan segala bentuk dan rupanya. Ada pun ‘keterbatasan’ merujuk pada

keterbatasan intrinsik manusiawi maupun ekstrinsik non-manusiawi, Keterbatasan yang

dimiliki manusia meskipun ada, tidak sampai berakibat gugurnya nilai kebenaran maupun

keabsahan atau validitas dari ilmu itu sendiri. Sedangkan kondisi ‘normal’ yakni keadaan

seorang yang sempurna (tidak cacat) dan sehat (tidak sakit atau terganggu), baik fisik

maupun mentalnya, jasad dan ruhnya, terutama sekali akal dan hati (qalb)-nya.

Maka dalam diskursus Filsafat Ilmu yang Islami, mengetahui (‘ilm) dan

mengenal (ma‘rifah)bukan sesuatu yang mustahil. Pendirian kaum Muslimin Ahlus

Sunnah wal-Jama’ah dalam soal ini disimpulkan oleh Abu Hafs Najmuddin ‘Umar ibn

Muhammad an-Nasafi secara ringkas: haqa’iqul asyya’ tsabitah, wal-ilmu biha

mutahaqqiqun, khilafan lis-sufistha’iyyah (Lihat: Matanal-‘Aqa‘id dalam Majmu‘

Muhimmat al-Mutun, Kairo: al-Matba ‘ah al-Khayriyyah, 1306 H).

Ditegaskan bahwasanya hakikat, kuiditas atau esensi dari segala sesuatu itu tetap

sehingga bisa ditangkap oleh akal minda kita. Hakikat segala sesuatu dikatakan tidak

berubah karena  yang  berubah-ubah itu hanya sifat-sifatnya, a’rad, lawahiq atau lawazim-

nya saja, sehingga ia bisa diketahui dengan jelas. Sebagai contoh, manusia bisa dibedakan

dari monyet, ayam tidak kita samakan dengan burung, atau rotidengan batu. Maka ilmu

tentang kebenaran tidak mustahil untuk diketahui oleh manusia sebagaimana ditegaskan

dalam  kitab suci al-Qur’an surah az-Zumar (39:9): “…. katakanlah: Apakah sama, orang

yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui?”

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: Bagaimana cara, dengan apa atau dari

ilmu apa dapat  diketahui dan dipastikan? Meminjam formulasi wacana filsafat

modern: How is knowledge possible? Jawaban pertanyaan ini adalah ilmu diperoleh

melalui tiga sumber, yaitu persepsi indera (idrak al-hawass), proses kognitif akal yang

sehat (ta‘aqqul) termasuk intuisi(hads), dan melalui informasi yang benar (khabar shadiq).

Demikian ditegaskan oleh Sa‘duddin at-Taftazani, Syarh al-‘Aqa‘id an-

Nasafiyyah, cetakan Istanbul: al-Matba’ah al- ‘Uthmaniyyah, 1308 H.

Permasalahan tersebut juga disinyalir dalam al-Qur’an surat an-Nahl (16):78,

Qaf (50):37, al-A’raf (7): 179, Ali ‘Imran (3):138, dan masih banyak lagi. Persepsi

inderawi yang digunakan manusia untuk memperoleh ilmu meliputi kelima indera

(pendengar, pelihat, perasa, penyium, penyentuh), di samping indera keenam yang

disebut al-hiss al-musytarak atau sensus communis, yang menyertakan daya ingat atau

memori (dzakirah), daya penggambaran(khayal) atau imajinasi, dan daya perkiraan atau

estimasi (wahm) (Silakan lihat: Imam al-Ghazali, Ma‘arij al-Quds ila Madarij Ma‘rifat

an-Nafs, Beirut, 1978). Sedangkan proses akal mencakup nalar (nazar) dan alur

pikir (fikr), seperti dinyatakan oleh Imam ar-Razi dalam kitabMuhassal Afkar al-

Mutaqaddimi wa 1-Muta’akhkhirin, cetakan Kairo: al-Matba’ah al-Husayniyyah,

1969. Dengan nalar dan pikir ini manusia bisa berartikulasi, menyusun proposisi,

menyatakan pendapat, berargumentasi, melakukan analogi, membuat putusan dan menarik

kesimpulan. Selanjutnya, dengan intuisi ruhani seseorang dapat menangkap pesan-pesan

ghaib, isyarat-isyarat ilahi, menerima ilham, fath, kasyf, dan sebagainya.

Selain persepsi indera dan proses akal sehat, sumber ilmu manusia yang tak kalah

pentingnya adalah khabar sadiq, yakni informasi yang berasal dari atau disandarkan pada

otoritas. Sumber khabar sadiq, apalagi dalam urusan agama, adalah wahyu (Kalam Allah

dan Sunnah Rasul-Nya) yang diterima dan ditransmisikan(ruwiya) dan

ditransfer (nuqila) sampai ke akhir zaman.Mengapa hanya khabar sadiq yang diakui

sebagai sumber ilmu? Mengapa tidak semua informasi bisa dan atau harus diterima?

Lantas kapan suatu proposisi, informasi, pernyataan, ucapan, pengakuan, kesaksian, kabar

mesti ditolak? Apa patokan dan ukurannya? Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini pun

telah dirumuskan oleh para ulama ahli hadis dan usul fiqh.

Secara umum, khabar atau kabardalam arti berita, informasi, cerita, riwayat,

pernyataan, atau ucapan, berdasarkan nilai kebenarannya dapat diklasifikasikan menjadi

kabar benar (shadiq)dan kabar palsu (kadzib). Sebagian ulama bahkan berpendapat

pemilihan ini perlu diperjelas lagi dengan kriteria ‘dengan sendirinya’ (bi-

nafsihi atau lidzatihi) yakni tanpa diperkuat oleh sumber lainnya, dan ‘dengan yang

lain’ (bi-ghayrihi) yakni karena didukung dan diperkuat oleh sumber lain. Khabar

shadiq menurut Imam an-Nasafi, al‘Aqa’iddibedakan menjadi dua macam.

Pertama, khabar mutawatir, yaitu informasi yang tidak diragukan lagi karena berasal dan

banyak sumber yang tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta. Maka kabar jenis ini

merupakan sumber ilmu yang pasti kebenarannya (mujib li l-’ilmi d-dharuri). Kedua,

informasi yang dibawa dan disampaikan oleh para Rasul yang diperkuat dengan mukjizat.

Informasi melalui jalur ini bersifat istidlali dalam arti baru bisa diterima dan diyakini

kebenarannya (yakni menjadi ilmu dharuri alias necessary knowledge) apabila telah

diteliti dan dibuktikan terlebih dulu statusnya. Keterangan Imam an-Nasafi ini

menggabungkan aspek kualitas dan kuantitas narasumber.

Penting sekali diketahui bahwa tidak semua informasi atau pernyataan yang

berasaldari orang banyak bisa serta-merta dianggap mutawatir. Mengingat implikasi

epistemologisnya yang sangat besar, para ulama telah menetapkan sejumlah syarat sebagai

patokan untuk menentukan apakah sebuah kabar layak disebut mutawatir atau tidak.

Berkenaan dengankhabar al-wahid atau khabar al-ahad, para ulama juga telah

menetapkan persyaratan yang cukup ketat, tidak hanya untuk nara sumbernya, tapi

mencakup isi pesan yang disampaikannya, serta cara penyampaiannya. Maka sebuah kabar

yang membawa ilmu mesti diklasifikasi juga berdasarkan kualitas sumber-sumbernya,

siapa pembawa atau penyebarnya atau orang yang mengatakannya, lalu bagaimana

kualifikasi serta otoritasnya (sanad atau isnadnya).

Sikap kritis terhadap sumber dan isi ilmu dalam juga perlu dilakukan terhadap sumber

intern masyarakat Islam sendiri. Hal ini dapat dilacak dan sejarah keilmuan Islam sejak

kurun pertama Hijriyah. Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq, ‘Umar ibn al-Khattab dan Ali ibn

Abi Talib terkenal sangat berhati-hati dalam menerima suatu laporan atau khabar dari para

Sahabat mengenai ucapan, perbuatan ataupun keputusan yang ditetapkan Rasulullah SAW.

Untuk menepis kemungkinan terjadinya tindakan pemalsuan dan dusta atas nama

Rasulullah SAW, para khalifah bukan hanya melakukan pemeriksaan

seksama (tatsabbut) dengan cara meminta minimal dua orang saksi (istisyhad) dan

menuntut sumpah (istihlaf, bahkan juga mengimbau agar orang

tidak gampangan mengeluarkan hadith (iqlal fi r-riwayah). Untuk ini kita bisa merujuk

kitab Hujjiyyat as-Sunah karya  ‘Abd al-Ghani ‘Abd al-Khaliq, Washington: International

Institute of Islamic Thought, 1986.

Sikap selektif terhadap sumber ilmu yang dikembangkan menjadi

metode isnad ternyata masih sangat relevan dalam tradisi intelektual di jaman modern ini.

Pentingnya metode ini dapat dirujuk kepada pernyataan ulama salaf ‘Abdullah ibn al-

Mubarak (w. 181 H 797 M): “Tanpa sandaran otoritas, niscaya setiap orang akan berbicara

tentang apa saja sesuka-hatinya (lawla l-isnad, laqala man sya’a ma sya’a).” Sedangkan

Abu Hurayrah r.a., Ibn ‘Abbas r.a., Zayd ibn Aslam, Ibn Sirin, al-Hasan al-Basri, ad-

Dhahhak, Ibrahim an-Nakha’i pun telah berpesan: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama.

Karena itu, perhatikanlah dengan siapa kalian berguru dalam soal agama (inna hadza-

l-’ilma dinun, fa unzhuru ‘amman ta’khudhuna dinakum). (Imam Abu Hatim Muhammad

ibn Hibban, kitab al-Majruhin min al-Muhaddithin wa d-Dhu‘afa’ wa l-Matrukin, cetakan

Aleppo: Dar al-Wa’y, 1396 H.

Komentar :

Dari artikel diatas dapat kita simpulkan bahwa ilmu haruslah dicari dari sumber-sumber

yang otoritatif yaitu mereka yang memiliki pandangan hidup Islam dan terpancarkan dari

prinsip-prinsip ajaran agama Islam itu sendiri. Maka dapat kita simpulkan bahwa filsafat

ilmu itu mencakup arti mengetahui, obyek pengetahuan, sumber ilmu pengetahuan, dan

proses mengetahui yang dalam Islam memiliki ciri khas tersendiri dan karenanya secara

substantif sangat berbeda dengan filsafat ilmu dalam peradaban-peradaban lain. Prinsip -

prinsip (usul) dan dasar-dasar (mabadi’) filsafat Ilmu dalam Islam telah dirumuskan

olehpara ulama Islam terdahulu (salaf) dan golongan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah

berasaskan kitab suci al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW sehingga tidak empirisistik

hanya mengandalkan persepsi inderawi dan bukan pula rasionalistik mendewakan

kemampuan akal belaka, akan tetapi dikuatkan oleh wahyu otentik yang berasal dari Allah

swt, Sang Pemilik ilmu.

Artikel 10

FISAFAT ILMU DAN AGAMA

PENDAHULUAN

Ilmu Sejarah telah dapat membuktikan tentang pengungkapan ilmiah manusia yang sangat

menonjol di dunia adalah di zaman Yunani Kuno (abad IV dan V S.M). Bangsa Yunani

ditakdirkan Allah sebagai manusia yang mempunyai akal jernih. Bagi mereka ilmu itu adalah suatu

keterangan rasional tentang sebab-musabab dari segala sesuatu didunia ini. Dunia adalah kosmos

yang teratur dengan aturan kausalitas yang bersifat rasional. Demikianlah tiga dasar yang

menguasai ilmu orang Yunani pada waktu itu, yaitu: Kosmos, Kausalitas dan rasional. Pada

hakikatnya kelahiran cara berfikir ilmiah itu merupakan suatu revolusi besar dalam dunia ilmu

pengetahuan, karena sebelum itu manusia lebih banyak berpikir menurut gagasan-gagasan magi

dan mitologi yang bersifat gaib dan tidak rasional. 

Dengan berilmu dan berfilsafat manusia ingin mencari hakikat kebenaran daripada segala

sesuatu. Dalam berkelana mencari pengetahuan dan kebenaran itu menusia pada akhirnya tiba pada

kebenaran yang absolut atau yang mutlak yaitu ‘Causa Prima’ dari pada segala yang ada, bahwa

dalam hal ini yaitu Allah Maha Pencipta, Maha Besar, dan mengetahui.

Oleh karena itu kita setuju apabila disebutkan bahwa manusia itu adalah mahluk pencari

kebenaran. Dengan demikian Di dalam mencari kebenaran itu manusia selalu bertanya.

Dalam kenyataannya makin banyak manusia makin banyaklah pertanyaan yang timbul. Manusia

ingin mengetahui perihal sangkanparannya, asal mula dan tujuannya, perihal kebebasannya dan

kemungkinan-kemungkinannya. Dengan sikap yang demikian itu manusia sudah menghasilkan

pengetahuan yang luas sekali yang secara sistematis dan metodis telah dikelompokan kedalam

berbagai disiplin keilmuwan. Namun demikian karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,

maka sejumlah besar pertanyaan tetap relevan dan aktual seperti yang muncul pada ribuan tahun

yang lalu, yang tidak terjawab oleh Ilmu pengetahuan seperti antara lain: tentang asal mula dan

tujuan manusia, tentang hidup dan mati, tentang hakikat manusia sebagainya.

Ketidak mampuan Ilmu pengetahuan dalam menjawab sejumlah pertanyaan itu, maka Filasafat

tempat menampung dan mengelolahnya. Filsafat adalah ilmu yang tanpa batas, tidak hanya

menyelidiki salah satu bagian dari kenyataan saja, tetapi segala apa yang menarik perhatian

manusia.

Latar Belakang

Yang melatar belakang belakangi Penulis mengambil tema “Fisafat Ilmu dan

Agama” dari mata kuliah Filsafat Ilmu adalah merupakan kajian dari pengembangan pada

penerapan sistem yang erat kaitanya dengan Manusia dengan transendennya dapat

mengatasi struktur alam jasmani, dengan budinya dapat mengembangkan ilmu

pengetahuannya. Manusia dengan ilmu pengetahuannya mencari bukti-bukti sebagai

evidensi untuk mendapatkan kebenaran. Hanya dengan ilmu pengetahuanlah manusia

mendapatkan kebenaran,namun karena sifat tidak puas yang ada pada manusia, maka

manusia selalu mencari kebenaran.

Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dan tujuan dari Penulis menyajikan Tema diatas adalah sejalan

dengan uraian Tugas Tengah Semester dari mata kuliah Filsafat Ilmu, dngan upaya untuk

lebih memahami bahwa menurut Magnis, "Filsafat sebagai usaha tertib, metodis, yang

dipertanggungjawabkan secara intelektual untuk melakukan apa yang sebetulnya

diharapkan dari setiap orang yang tidak hanya mau membebek saja, yang tidak hanya mau

menelan mentah-mentah apa yang sudah dikunyah sebelumnya oleh pihak-pihak lain.

Yaitu untuk mengerti, memahami, mengartikan, menilai, mengkritik data-data dan fakta-

fakta yang dihasilkan dalam pengalaman sehari-hari dan melalui ilmu-ilmu. Filsafat

sebagai latihan untuk belajar mengambil sikap, mengukur bobot dari segala macam

pandangan yang dari pelbagai penjuru ditawarkan kepada kita. Kalau kita disuruh

membangun masyarakat, filsafat akan membuka implikasi suatu pembangunan yang

misalnya hanya mementingkan kerohanian sebagai ideologi karena manusia itu memang

bukan hanya rohani saja. Atau, kalau pembangunan hanya material dan hanya mengenai

prasarana-prasarana fisik saja, filsafat akan bertanya sejauh mana pembangunan itu akan

menambah harapan manusia kongkrit dalam masyarakat untuk merasa bahagia.

Dasar Hukum

1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan

Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Otonom.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Nasional

Pendidikan.

5. Intrusi Presiden Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Gerakan Nasional Percepatan Wajib

Belajar Pendidikan dasar 9 Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara.

6. Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Rencana Stratejik Pembangunan

provinsi.

7. Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Anggaran Pendapatan Belanja

Daerah Provinsi.

8. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemeriharaan Bahasa Sastra dan

Aksara Daerah.

9. Keputusan Gubernur Jawa Barat tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas

Pendidikan Provinsi Jawa Barat.

10. Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi

untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.

11. Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar

Kompetensi Lulusan untuk Satuan pendidikan Dasar dan Menengah.

12. Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006 Tentang

Pelaksanaan Peraturan Mendiknas Nomor 22 dan 23.

Hasil Yang Ingin Dicapai.

Secara prioritas dari kajian makalah yang penulis paparkan, ada hal-hal yang ingin di capai

dan juga merupakan salah satu dukungan dari akselerasi Program pengembangan dilapangan

terkait dengan ilmu pengetahuan sendiri mempunyai pengertian sebagai hasil usaha pemahaman

manusia yang disusun dalam satu sistematika mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-

bagian dan hukum-hukum tentang hal ikhwal yang diselidiinya (alam, manusia, dan juga agama)

sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran manusia yang dibantu penginderaannya, yang

kebenarannya diuji secara empiris, riset dan experimental, di samping adanya hal yang ingin di

capai berkenaan dengan penerapan dari sajian mata kuliah Filsafat Ilmu yang diantaranya adalah :

1. Memahami konsep dasar filsafat, Ilmu, dan Agama kedudukan, fokus, cakupan, tujuan dan

fungsinya untuk dapat dijadikan landasan pemikiran, perencanaan dan pengembangan ilmu dan

pendidikan secara akademik dan profesional.

2. Mampu memahami filsafat, Ilmu, dan Agama untuk mengembangkan diri sebagai ilmuwan

maupun sebagai pendidik dengan penggunaan alternatif metodologi penelitian, baik pendekatan

kuantitatif dan kualitatif maupun perpaduan kedua-duanya dalam konsentrasi bidang studi yang

menjadi minat utamanya.

3. Mampu menerapkan filsafat, Ilmu, dan Agama sebagai dasar pemikiran, perencanaan dan

pengembangan khususnya landasan keilmuan dan landasan pendidikan yang dijiwai nilai-nilai

ajaran agama dan nilai-nilai luhur budaya masyarakat Indonesia yang bermanfaat bagi masyarakat,

bangsa dan negara serta umat manusia dalam pemahaman dan perkembangan lingkungan dinamika

global.

FISAFAT ILMU DAN AGAMA

Dalam perspektif falâsifah, filsafat dan agama merupakan dua pendekatan mendasar

menuju pada kebenaran. Apa yang hendak dibedakan dengan tajam di sini bukan filsafat, yang

dipahami sebagai sistem rasional pemahaman (inteleksi) dan wahyu yang dirumuskan secara

bebas; dan agama, yang dipahami sebagai tradisi wahyu secara total. Ini sangat jelas tampak dari

perkataan dan Al-Fârâbî tentang filsafat dan agama. Istilah yang digunakannya untuk menyatakan

perbedaan agama dari filsafat adalah millah; bukan dîn. Ini menunjukkan kehendak Al-Fârâbî

membedakan filsafat secara kontras tidak dengan tradisi wahyu dalam totalitasnya, melainkan

dengan dimensi eksoterik tradisi wahyu. Karena itu, dia lebih suka menggunakan istilah millah

daripada dîn. Millah lebih tepat karena dia mengacu pada komunitas religius di bawah sanksi ilahi

dengan seperangkat kepercayaan dan undang-undang atau perintah-perintah hukum moral yang

didasarkan pada wahyu. Dimensi ekstemal dari tradisi wahyu harus diidentifikasi dengan

kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik komunitas religius ini.

1. FILSAFAT.

Kata-kata "filsafat", "filosofi", "filosofis", "filsuf", "falsafi" bertebaran di sekeliling kita.

Apakah pemakaiannya dalam kalimat-kalimat sudah tepat atau sesuai dengan arti yang dimilikinya,

kita acapkali tidak merisaukan hal itu, mungkin karena kita sendiri juga kurang paham dan belum

berkesempatan memeriksa beberapa literatur atau pun bertanya kepada mereka yang berkompeten

menjelaskan hal itu. Sementara itu, kita mengerti bahwa beberapa peristilahan ada karena memiliki

latar belakang yang unik.

Suatu peristilahan perlu dipahami konteks-nya untuk memperoleh kejelasan maknanya, baik itu

konteks sosial, budaya bahkan politik. Karena suatu peristilahan pada hakikatnya adalah

melukiskan atau pun mewakili suatu konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dari yang

dilukiskan atau diwakilinya. Submenu Terminologi memperlihatkan bagaimana istilah-istilah yang

disebutkan tadi bisa digunakan. Dalam bagian ini juga dapat diperoleh uraian lebih lanjut mengenai

relasi antara filsafat, ilmu dan agama; hal yang tak jarang menjadi bahan persoalan.

Di dalam memberikan rumusan yang pasti tentang apa yang termuat dalam kata "filsafat" adalah

suatu pekerjaan yang terlalu berani dan sombong! Saya ingin mulai dari sini. Memang, para

peminat filsafat, kita sulit mendefinisikan kata yang satu ini. Bahkan para filsuf (ahli filsafat) pun

mengakuinya. Apa yang membuatnya demikian adalah oleh karena terdapatnya beragam-ragam

paham, metode dan tujuan, yang dianut, ditempuh dan dituju oleh masing-masing filsuf. Namun,

sebuah pengertian awal mesti diberikan; maksudnya sebagai kompas agar kita tidak tersesat arah di

dalam perjalanan memahami filsafat. Mengingat maksud ini, maka pengertian tersebut haruslah

bersifat dapat dipahami sebanyak-banyak orang, sehingga dapat dijadikan tempat berpijak

bersama.

Baiklah kita menilik dahulu kata "filsafat" ini dari akar katanya, dari mana kata ini datang.

Kata "filsafat" berasal dari bahasa Yunani, philosophia: philein artinya cinta, mencintai, philos

pecinta, sophia kebijaksanaan atau hikmat. Jadi filsafat artinya "cinta akan kebijaksanaan". Cinta

artinya hasrat yang besar atau yang berkobar-kobar atau yang sungguh-sungguh. Kebijaksanaan

artinya kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Filsafat berarti hasrat atau keinginan

yang sungguh akan kebenaran sejati. Demikian arti filsafat pada mulanya.

Dari arti di atas, kita kemudian dapat mengerti filsafat secara umum.Filsafat adalah suatu ilmu,

meskipun bukan ilmu vak biasa, yang berusaha menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk

memperoleh kebenaran. Bolehlah filsafat disebut sebagai: suatu usaha untuk berpikir yang radikal

dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Hal yang

membawa usahanya itu kepada suatu kesimpulan universal dari kenyataan partikular atau khusus,

dari hal yang tersederhana sampai yang terkompleks. Filsafat, "Ilmu tentang hakikat". Di sinilah

kita memahami perbedaan mendasar antara "filsafat" dan "ilmu (spesial)" atau "sains". Ilmu

membatasi wilayahnya sejauh alam yang dapat dialami, dapat diindera, atau alam empiris. Ilmu

menghadapi soalnya dengan pertanyaan "bagaimana" dan "apa sebabnya". Filsafat mencakup

pertanyaan-pertanyaan mengenai makna, kebenaran, dan hubungan logis di antara ide-ide dasar

(keyakinan, asumsi dan konsep) yang tidak dapat dipecahkan dengan ilmu empiris.

2. Ilmu.

adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan

pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia, Segi-segi ini

dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian

dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari

keterbatasannya. 

“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan yang dikaruniahi

ilmu” (Al Mujadilah: 11)

Ilmu (Science) haruslah "diusahakan" dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus

dilaksanakan dengan metode tertentu dan terukur, dan akhirnya "aktivitas yang

bermetode" itu akan mendatangkan pengetahuan yang sistematis (tahu / mengerti).

Kesatuan dan interaksi dari ketiga komponen yang tersusun menjadi Ilmu (science)

dapat dijelaskan dengan bagan di bawah ini:

Begitu banyak definisi ilmu yang dikemukakan oleh para pakar (scientist) sesuai latar belakang

masing-masing, namun pendapat Marx dan Hillix secara tepat menegaskan bahwa ihnu merupakan

usaha keseluruhan yang bulat (total enterprise) dari manusia itu sendiri. Karakteristik dari ilmu

haruslah rasional, kuantitatif, infinite (tidak hingga), atomic (discrete) dan seculer.  

Syarat-syarat ilmu

Berbeda dengan pengetahuan ilmu merupakan pengetahuan khusus dimana seseorang mengetahui

apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu.

Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah

ada lebih dahulu.

1. Objektif. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah

yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya

dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam

mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek,

dan karenanya disebut kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau

subjek penunjang penelitian.

2. Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan

terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensi dari upaya ini adalah

harus terdapat cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari

kata Yunani “Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode

tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.

3. Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek,

ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga

membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , mampu

menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun

secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.

4. Universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat

umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180º. Karenanya universal

merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-

umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam mengingat

objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam

ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.

3. AGAMA

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar kata agama. Namun akan sedikit sulit

mendefenisikan pengertian agama itu sendiri. Hal tersebut diakui sendiri oleh Mukti Ali, salah

seorang pakar ilmu perbandingan agama di Indonesia yang mengatakan; “Barangkali tak ada kata

yang paling sulit diberikan pengertian dan defenisi selain dari kata agama.” 

Menurut Mukti Ali, terdapat tiga argumentasi yang dapat dijadikan alasan dalam menanggapi

statemen tersebut. Pertama karena pengalaman agama adalah soal batin dan subjektif. Kedua

barangkali tidak ada orang yang begitu semangat dan emosional daripada membicarakan agama.

Karena itu, membahas arti agama selalu dengan emosi yang kuat dan yang ketiga konsepsi tentang

agama akan dipengaruhi oleh tujuan orang yang memberikan pengertian agama.

Adapun pengertian agama dari segi istilah dapat dikemukakan sebagai berikut. Elizabet K.

Nottingham mengatakan bahwa agama adalah gejala yang begitu sering terdapat dimana-mana

sehinnga sedikit membantu usaha-usaha kita untuk membuat abstraksi ilmiah. Lebih lanjut

Nottingham mangatakan bahwa agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur

dalamnya makna dari keberadaannya sendiri dan keberadaan alam semesta. Agama dapat

membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna, dan juga perasaan takut dan ngeri.

Sementara itu Durkheim mengatakan agama adalah pantulan dari solidaritas social. Bahkan kalau

dikaji katanya Tuhan itu sebenarnya adalah ciptaan masyarakat

Definisi tentang agama sangatlah banyak namun harun nasution sendiri mendefinisikan agama

sebagai berikut : 

a. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi.

b. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.

c. Mengingatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber

yang berada di luar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.

d. Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertntu.

e. Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari kekuatan gaib.

f. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang bersumber pada kekuatan gaib.

g. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap

kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.

h. Ajaran yang diwahyukan tuhan melalui seorang manusia melalui seorang rasul.

1. Apakah Agama Bisa Jadi Sumber Ilmu ?

"Ilmu adalah mengetahui sesuatu sesuai dengan hakikatnya", kata Ar-Ragîb Al-Ashfihânî dalam

mendefinisikan ilmu. Banyak hakikat kehidupan yang membutuhkan penyingkapan manusia agar

bisa menuai kebahagian hidup dan melepaskan kebodohan dari dirinya. Dan kini manusia telah

banyak menyingkap misteri alam semesta hingga mampu memberikan kenyamanan dan

kemudahan dalam melakukan aktifitas hidupnya. Tetapi terdapat hakikat yang paling besar dan

agung yang pertama harus disingkap oleh manusia sebelum yang lainnya agar tidak tersesat dalam

kejahilan yang hakiki dan menghantarkannya kepada kesengsaraan selamanya di akhirat kelak.

Yaitu hakikat tentang diri manusia sendiri dan hakikat alam semesta. Dari mana manusia

diciptakan, siapa yang menciptakan dan untuk apa ia diciptakan?. Terjawabnya pertanyaan-

pertanyaan ini dengan benar sangat menentukan kebahagian hidup manusia di dunia dan akhirat.

Sebaliknya tidak tersingkapnya hakikat besar ini menjadikan manusia hidup seperti hewan bahkan

lebih buruk.

Secara umum mempelajari ilmu pengetahuan agama dibagi dalam dua bagian; ada

pengetahuan agama yang wajib diketahui oleh setiap individu atau yang dikenal dengan istilah

fardhu 'aini. Dan ada pengetahuan agama yang hukum mempelajarinya adalah fardhu kifâyah.

Artinya tidak setiap orang dituntut mengetahuinya. 

Tetapi umat Islam secara jamaah (kolektif) wajib mengetahuinya. Jika tidak ada yang

mempelajarinya, semua berdosa dan jika ada sebagian yang telah mempelajarinya, yang tidak

mempelajari tidak terkena dosa. Seperti memperdalam pengetahuan agama secara rinci untuk

menjawab problematika umat.

Sedangkan ilmu pengetahuan dunia dan umum, hukum mengetahuinya adalah fardhu

kifâyah. Artinya harus ada sebagian umat Islam yang menjadi dokter misalnya. 

Pada dasarnya bukan setiap orang harus mengetahui ilmu kedokteran.

Dengan demikian nampak jelas bagi kita, bahwa ilmu agama memiliki nilai lebih dari ilmu

pengetahuan dunia. Sebab, bodoh dari ilmu dunia hanya membuat manusia sengsara di dunia.

Tetapi ketika manusia bodoh dari pengetahuan agama membuat manusia sengsara di dunia dan

akhirat. Seluruh Nabi dan Rasul pun diutus Allah ke dunia dengan membawa ilmu pengetahuan

agama, yaitu untuk menjelaskan kepada manusia, apa yang harus ia lakukan di dunia ini. Ilmu

pengetahuan ini tidak dapat disingkap oleh akal manusia tanpa diutusnya para Rasul dan

diturunkannya kitab-kitab Allah. 

Manusia yang mampu menyingkap banyak hakikat alam semesta dengan ilmu pengetahuan dunia

yang ia miliki, namun jahil dari ilmu pengetahuan agama yang diwariskan oleh para Nabi dan lupa

terhadap akhirat, sesungguhnya bukan orang yang berilmu di sisi Allah. Tetapi termasuk orang

yang bodoh. Allah berfirman:

"…tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari

kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai." (QS. 30:7)

2. Apakah Ilmu Bisa Jadi Bekal Dalam Menjalankan Agama ?

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah

yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)

agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum (30): 30) 

Manusia dengan transendennya dapat mengatasi struktur alam jasmani, dengan budinya dapat

mengembangkan ilmu pengetahuannya. Manusia dengan ilmu pengetahuannya mencari bukti-bukti

sebagai evidensi untuk mendapatkan kebenaran. Hanya dengan ilmu pengetahuanlah manusia

mendapatkan kebenaran,namun karena sifat tidak puas yang ada pada manusia, maka manusia

selalu mencari kebenaran.

bahwa hukum-hukum dan undang-undang yang diturunkan untuk manusia yang bersumber

dari Nabi dan Rasul mustahil bertentangan dengan "syariat akal". Abul Hasan 'Amiri, dalam kitab

al-Itmâm lifadhâil al-anâm, membahas hubungan antara teori (ilmu) dan amal, di situ ia

menekankan pentingnya ilmu bagi amal. Di tempat lain ia katakan bahwa wahyu, ilham, lintasan

ide, dan pikiran merupakan bentuk ibadah akal (an-nusuk al-aql). An-nusuk berarti ibadah,

kesucian, dan kedekatan kepada Tuhan, menurut 'Amiri hukum-hukum Ilahi adalah rasional dan

apa yang rasional dapat menyebabkan kesucian dan kedekatan keda Tuhan. Ibnu Sina, dalam salah

satu karyanya juga mengungkapkan bahwa tafakkur, berpikir, dan kontemplasi juga merupakan

salah satu bentuk ibadah dan doa. Menurut Ibnu Sina, tafakkur dalam kerangka teoritis dan praktis

(terapan) pada hakikatnya adalah bahwa manusia berakal mengulurkan tangannya kepada realitas

mutlak yang maha sempurna untuk memohon agar hakikat, rahasia, dan ilmu atas segala sesuatu

tersingkap baginya.

Musa bin Maimun, seorang filosof Yahudi, karena terpengaruh filsafat Islam beranggapan

bahwa tafakkur dan kontemplasi sebagai salah satu bentuk ibadah yang dapat mengantarkan

manusia pada kebahagiaan, karena itu ia berupaya merujukkan akal dan agama. Ia, dalam kitabnya

Dilâlah al-hairîn, berkata, "Tafakkur dan berpikir merupakan jalan kesempurnaan manusia. Ilmu

dan makrifat adalah salah satu bentuk ibadah yang sesungguhnya dapat mengantarkan seorang

hamba dekat kepada Tuhan, makrifat dapat menyingkap hakikat dan rahasia eksistensi. Semakin

tinggi dan sempurna pengetahuan manusia maka semakin ia dekat kepada Tuhan dan semakin

dalam kecintaannya kepada-Nya" Walaupun menurutnya ibadah merupakan hasil dari kecintaan,

tetapi kecintaan seseorang kepada Tuhan berbanding lurus dengan ilmu dan makrifatnya.

Dalam hal ini jelas bahwa ilmu adalah merupakan bekal bagi manusia dalam menjalani hidup dan

kehidupan, termasuk ketika melakukan hubungan bersosialisasi dengan lingkungan, melalui ilmu

pemgetahuan yang benar dan bermanfaat, dapat di jadikan tolok ukur dalam mengaplikasikan ilmu

yang di kuasainya dalam kehidupan sehari-hari.