farkol antidepresip-antipsikotropik (1)
DESCRIPTION
antipsikotropikTRANSCRIPT
MAKALAH FARMAKOLOGI
OBAT ANTIDEPRESI - ANTIINFLAMASI
Disusun oleh :
1. Fulki Ghilman (G1F011067)
2. Suci Ramadhani (G1F014023)
3. Windi Agle Liza (G1F014025)
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2015
BAB 1
PENYAKIT
1. DEPRESI
1.1. Pengertian
Depresi adalah gangguan mental umum yang menyajikan dengan mood
depresi, kehilangan minat atau kesenangan, perasaan bersalah atau rendah diri, tidur
terganggu atau nafsu makan, energi rendah, dan hilang konsentrasi. Masalah ini dapat
menjadi kronis atau berulang dan menyebabkan gangguan besar dalam kemampuan
individu untuk mengurus tanggung jawab sehari-harinya (WHO, 2011). Episode
depresi biasanya berlangsung selama 6 hingga 9 bulan, tetapi pada 15-20% penderita
bisa berlangsung selama 2 tahun atau lebih.
1.2. Penyebab Depresi
Dasar penyebab depresi yang pasti tidak diketahui, banyak usaha untuk
mengetahui penyebab dari gangguan ini. Menurut Kaplan, faktor-faktor yang
dihubungkan dengan penyebab depresi dapat dibagi atas: faktor biologi, faktor
genetik dan faktor psikososial. Dimana ketiga faktor tersebut juga dapat saling
mempengaruhi satu dengan yang lainnya (Sadock & Sadock, 2010).
a. Faktor Biologi
Faktor neurotransmiter: Dari biogenik amin, norepinefrin dan serotonin
merupakan dua neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan
mood. Norepinefrin hubungan yang dinyatakan oleh penelitian ilmiah dasar antara
turunnya regulasi reseptor B-adrenergik dan respon antidepresan secara klinis
memungkinkan indikasi peran sistem noradrenergik dalam depresi. Bukti-bukti
lainnya yang juga melibatkan presinaptik reseptor adrenergik dalam depresi, sejak
reseptor reseptor tersebut diaktifkan mengakibatkan penurunan jumlah norepinefrin
yang dilepaskan. Presipnatik reseptor adrenergik juga berlokasi di neuron
2
serotonergik dan mengatur jumlah serotonin yang dilepaskan. Dopamin juga sering
berhubungan dengan patofisiologi depresi. Faktor neurokimia lainnya seperti gamma
aminobutyric acid (GABA) dan neuroaktif peptida (vasopressin dan opiate endogen)
telah dilibatkan dalam patofisiologi gangguan mood (Bernardin And Russell, 1998).
b. Faktor Genetik
Data genetik menyatakan bahwa faktor yang signifikan dalam perkembangan
gangguan mood adalah genetik. Pada penelitian anak kembar terhadap gangguan
depresi berat pada anak, pada anak kembar monozigot adalah 50%, sedangkan dizigot
10-25% (Sadock & Sadock, 2010). Menurut penelitian Hickie et al., menunjukkan
penderita late onset depresi terjadi karena mutasi pada gene methylene
tetrahydrofolate reductase yang merupakan kofaktor yang terpenting dalam
biosintesis monoamin. Mutasi ini tidak bisa diketemukan pada penderita early onset
depresi (Hickie et al, 2001).
c. Faktor Psikososial
Peristiwa kehidupan dan stres lingkungan dimana suatu pengamatan klinik
menyatakan bahwa peristiwa atau kejadian dalam kehidupan yang penuh ketegangan
sering mendahului episode gangguan mood. Suatu teori menjelaskan bahwa stres
yang menyertai episode pertama akan menyebabkan perubahan fungsional
neurotransmiter dan sistem pemberi tanda intra neuronal yang akhirnya perubahan
tersebut menyebabkan seseorang mempunyai resiko yang tinggi untuk menderita
gangguan mood selanjutnya (Sadock & Sadock, 2010).
Faktor kepribadian premorbid menunjukkan tidak ada satu kepribadian atau
bentuk kepribadian yang khusus sebagai predisposisi terhadap depresi. Semua orang
dengan ciri kepribadian manapun dapat mengalami depresi, walaupun tipe
kepribadian seperti dependen, obsesi kompulsif, histironik mempunyai risiko yang
besar mengalami depresi dibandingkan dengan lainnya (Sadock & Sadock, 2010).
Faktor Psikoanalitik dan Psikodinamik : Freud (1917) menyatakan suatu
hubungan antara kehilangan objek dan melankoli. Ia menyatakan bahwa kemarahan
3
pasien depresi diarahkan kepada diri sendiri karena mengidentifikasikan terhadap
objek yang hilang. Freud percaya bahwa introjeksi merupakan suatu cara ego untuk
melepaskan diri terhadap objek yang hilang (Sadock & Sadock, 2010).
Menurut penelitian Bibring mengatakan depresi sebagai suatu efek yang dapat
melakukan sesuatu terhadap agresi yang diarahkan kedalam dirinya. Apabila pasien
depresi menyadari bahwa mereka tidak hidup sesuai dengan yang dicita-citakannya,
akan mengakibatkan mereka putus asa (Tasman, 2008).
Faktor ketidakberdayaan yang dipelajari dimana ditunjukkan dalam hewan
percobaan, dimana binatang secara berulang-ulang dihadapkan dengan kejutan listrik
yang tidak dapat dihindarinya, binatang tersebut akhirnya menyerah dan tidak
mencoba sama sekali untuk menghindari kejutan selanjutnya. Mereka belajar bahwa
mereka tidak berdaya. Pada penderita depresi, dapat menemukan hal yang sama dari
keadaan ketidak berdayaan tersebut (Sadock & Sadock, 2010).
Pada teori kognitif, Beck menunjukkan perhatian gangguan kognitif pada
depresi. Dia mengidentifikasikan 3 pola kognitif utama pada depresi yang disebut
sebagai triad kognitif, yaitu pandangan negatif terhadap masa depan, pandangan
negatif terhadap diri sendiri, individu menganggap dirinya tak mampu, bodoh,
pemalas, tidak berharga, dan pandangan negatif terhadap pengalaman hidup (Sadock
& Sadock, 2010).
2. PSIKOTIK
2.1. Patofisiologi
Schizophrenia merupakan sindrom heterogen kronis yang ditandai dengan
pola pikir yang tidak teratur, delusi, halusinasi, perubahan perilaku yang tidak tepat
serta adanya gangguan fungsi psikososial (Dipiro,2005).
Patofisiologi schizophrenia dihubungkan dengan genetic dan lingkungan.
Faktor genetic dan lingkungan saling berhubungan dalam patofisiologi terjadinya
schizophrenia. Neurotransmitter yang berperan dalam patofisiologinya adalah DA,
4
5HT, Glutamat, peptide, norepinefrin (Price, 2006). Pada pasien skizoprenia terjadi
hiperreaktivitas system dopaminergik (hiperdopaminergia pada sistem mesolimbik →
berkaitan dengan gejala positif, dan hipodopaminergia pada sistem mesocortis dan
nigrostriatal → bertanggungjawab terhadap gejala negatif dan gejala ekstrapiramidal)
Reseptor dopamine yang terlibat adalah reseptor dopamine-2 (D2) yang akan
dijumpai peningkatan densitas reseptor D2 pada jaringan otak pasien skizoprenia.
Peningkatan aktivitas sistem dopaminergik pada sistem mesolimbik yang
bertanggungjawab terhadap gejala positif. Sedangkan peningkatan aktivitas
serotonergik akan menurunkan aktivitas dopaminergik pada sistem mesocortis yang
bertanggung-jawab terhadap gejala negatif (Ikawati, 2009).
Adapun jalur dopaminergik saraf yang terdiri dari beberapa jalur, yaitu :
1. Jalur nigrostriatal: dari substantia nigra ke basal ganglia → fungsi gerakan,
EPS
2. Jalur mesolimbik : dari tegmental area menuju ke sistem limbik → memori,
sikap, kesadaran, proses stimulus
3. Jalur mesocortical : dari tegmental area menuju ke frontal cortex →
kognisi, fungsi sosial, komunikasi, respons terhadap stress
4. Jalur tuberoinfendibular: dari hipotalamus ke kelenjar pituitary →
pelepasan prolaktin (Ikawati, 2009).
Dalam anatomi manusia, sistem ekstrapiramidal adalah jaringan saraf yang
terletak di otak yang merupakan bagian dari sistem motor yang terlibat dalam
koordinasi gerakan. Sistem ini disebut "ekstrapiramidal" untuk membedakannya dari
saluran dari korteks motor yang mencapai target mereka dengan melakukan
perjalanan melalui "piramida" dari medula. Para piramidal jalur (kortikospinalis dan
beberapa saluran corticobulbar) langsung dapat innervate motor neuron dari sumsum
tulang belakang atau batang otak (sel tanduk anterior atau inti saraf kranial tertentu),
sedangkan ekstrapiramidal sistem pusat sekitar modulasi dan peraturan (tidak
langsung kontrol) sel tanduk anterior (Ikawati, 2009).
Saluran ekstrapiramidal yang terutama ditemukan dalam formasi reticular
pons dan medula, dan neuron sasaran di sumsum tulang belakang yang terlibat dalam
5
refleks, penggerak, gerakan kompleks, dan kontrol postural. Ini adalah saluran pada
gilirannya dimodulasi oleh berbagai bagian dari sistem saraf pusat, termasuk
nigrostriatal jalur, ganglia basal, otak kecil, inti vestibular, dan daerah sensorik yang
berbeda dari korteks serebral. Semua peraturan komponen dapat dianggap sebagai
bagian dari sistem ekstrapiramidal, karena mereka memodulasi aktivitas motorik
tanpa langsung innervating motor neuron (Ikawati, 2009).
Pemeriksaan CT scan dan MRI pada penderita schizophrenia menunjukkan
atropi lobus frontalis yang menimbulkan gejala negatif dan kelainan pada
hippocampus yang menyebabkan gangguan memori (Price, 2006).
Skizofrenia merupakan penyakit yang mempengaruhi otak. Pada otak terjadi
proses penyampaian pesan secara kimiawi (neurotransmitter) yang akan meneruskan
pesan sekitar otak. Pada penderita skizofrenia, produksi neurotransmitter-dopamin-
berlebihan, sedangkan kadar dopamin tersebut berperan penting pada perasaan
senang dan pengalaman mood yang berbeda. Bila kadar dopamin tidak
seimbang;berlebihan atau kurang; penderita dapat mengalami gejala positif dan
negatif seperti yang disebutkan di atas. Penyebab ketidakseimbangan dopamin ini
masih belum diketahui atau dimengerti sepenuhnya. Pada kenyataannya, awal
terjadinya skizofrenia kemungkinan disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor
tersebut. Faktor-faktor yang mungkin dapat mempengaruhi terjadinya skizofrenia,
antara lain: sejarah keluarga, tumbuh kembang ditengah-tengah kota, penyalahgunaan
obat seperti amphetamine, stres yang berlebihan, dan komplikasi kehamilan.
Seringkali pasien yang jelas skizophrenia tidak dapat dimasukkan dengan
mudah ke dalam salah satu tipe. PPDGJ mengklasifikasikan pasien tersebut ke dalam
tipe tak terinci. Kriteria diagnostic menurut PPDGJ III yaitu :
- Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
- Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik,
atau katatonik.
- Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca
skizofrenia (Maslim, 2003).
6
Scizophrenia pada pasien ini diduga akibat faktor dari konsumsi Chimeng
(ganja) yang berkepanjangan yang mengakibatkan gangguan pada sistem saraf.
Pasien ini mengalami scizophrenia dengan gejala positif yang ditegakkan dengan
adanya fakta bahwa pasien ini sering mengamuk, sering ingin membunuh ayahnya,
dan didapati pasien mudah menjalin hubungan jiwa (tidak bersifat tertutup), masih
bisa menunjukkan mimik.
Sejumlah obat dihubungkan dengan timbulnya skizofrenia, termasuk kanabis,
kokain, dan amfetamin. Sekitar sebagian dari penderita skizofrenia merupakan
pengguna obat-obatan dan/atau alkohol secara berlebihan. Peran kanabis dapat
merupakan penyebab, tetapi obat lainnya dapat digunakan hanya sebagai cara untuk
mengatasi depresi, kecemasan, kebosanan dan rasa kesepian.
Ganja di asosiasi kan dengan peningkatan bergantung dosis pada risiko
berkembangnya gangguan psikotik di mana penggunaan yang sering berkorelasi
dengan dua kali peningkatan risiko psikosis dan skizofrenia. Walaupun penggunaan
ganja diterima sebagai sebab yang berkontribusi terhadap skizofrenia oleh banyak
pihak, hal itu tetaplah kontroversial. Amfetamin, kokain, dan pada derajat tertentu
yang lebih rendah, alkohol, dapat menyebabkan psikosis yang bergejala sangat serupa
dengan skizofrenia. Meskipun tidak secara umum dipercaya sebagai satu sebab
penyakit, penderita skizofrenia menggunakan nikotin dengan rerata yang jauh lebih
besar dibandingkan populasi pada umumnya.
2.2 Klasifikasi Skizofrenia
a. Tipe paranoid: Terdapat waham atau halusinasi auditori, tetapi tidak
ada gangguan pemikiran, perilaku yang tidak teratur, atau ketumpulan afektif.
Waham yang ada merupakan waham menyiksa dan/atau waham kebesaran, tetapi
sebagai tambahan, dapat juga hadir tema-tema lain seperti kecemburuan, religiusitas,
atau somatisasi. (Kode DSM 295.3/kode ICD F20.0)
7
b. Tipe tidak teratur : Diberi namaskizofrenia hebefrenik dalam ICD.
Gangguan pemikiran dan ketumpulan afektif hadir secara bersamaan. (Kode DSM
295.1/kode ICD F20.1)
c. Tipe katatonik : Subjek mungkin hampir tidak bisa bergerak atau
menampakkan gerakan gelisah tanpa sebab. Gejala dapat termasuk stupor katatonik
dan fleksibilitas lilin. (Kode DSM 295.2/kode ICD F20.2)
d. Tipe tidak dibedakan: Gejala psikotik hadir tetapi kriteria untuk tipe
paranoid, tidak teratur atau katatonik belum dipenuhi. (Kode DSM 295.9/kode ICD
F20.3)
e. Tipe residual: Gejala positif hadir hanya dalam intensitas rendah.
(Kode DSM 295.6/kode ICD F20.5)
Kriteria ICD-10 memberikan dua subtipe tambahan:
a. Depresi pascaskizofrenia: Episode depresi yang terjadi setelah sakit
skizofrenia, yakni ketika beberapa gejala skizofrenia ringan mungkin masih dapat
ditemukan. (ICD code F20.4)
b. Skizofrenia sederhana : Gejala negatif dan dominan berkembang
perlahan-lahan dan progresif tanpa riwayat episode psikotik. (kode ICD F20.6)
Menurut Price (1994) patofisiologi haemoroid adalah akibat dari kongesti
vena yang disebabkan oleh gangguan venous rectum dan vena haemoroidalis Ditensi
vena awalnya merupakan struktur yang normal pada daerah anus, karena vena ini
berfungsi sebagai katup yang dapat membantu menahan beban. Namun bila distensi
terus menerus akan terjadi gangguan vena berupa pelebaran-pelebaran pembuluh
darah vena. Distensi tersebut bisa disebabkan karena adanya sfingter anal akibat
konstipasi, kehamilan, tumor rectum, pembesaran prostate. Nyeri dan perdarahan
adalah dua gejala utama dari haemorroid.
8
BAB 2
PENGGOLONGAN OBAT
1) OBAT ANTIDEPRESAN
Obat antidepresan yaitu obat-obatan yang mampu memperbaiki suasana jiwa
(mood) atau obat untuk mengatasi atau mencegah depresi mental (Anonim,
2007). Berdasarkan mekasnisme aksinya dibedakan menjadi :
A. Golongan Trisiklik
Golongan obat ini bekerja dengan menghambat ambilan kembali
(reuptake) neurotransmiter di otak. Dari beraneka jenis antidepresi
trisiklik terdapat perbedaan potensi dan selektivitas hambatan ambilan
kembali (reuptake) berbagai neurotransmiter. Ada yang sangat sensitif
terhadap norepinefrin, ada yang sangat sensitif terhadap serotonin dan ada
pula yang sensitive terhadap dopamin. Efek samping Obat depresi
golongan ini biasanya menyebabkan mulut kering, tremor ringan, detak
jantung cepat, konstipasi dan mengantuk. Contoh Obat golongan ini yaitu,
Imipramine, Amitriptiline, dan Nortriptilin (Anonim, 2007).
1. Imipramine
Mekanisme kerja : Menghambat reuptake norepinefrin dan pada
tingkat yang lebih rendah, serotonin di SSP.
Farmakokinetik : Imipramin diabsorpsi secara cepat di saluran cerna
walau tidak sempurna (50%). Kadar plasma puncak terjadi pada 0,5 –
1 jam setelah pemberian per oral. Dengan waktu paruh 16 jam.
Pemberian dosis adalah 100 – 200 mg/hari.
Efek samping : mempunyai efek samping muskarinik dan efek
samping pada jantung.
2. Amitriptiline
Mekanisme Kerja : Amitriptilin bekerja dengan cara menghambat
ambilan kembali (reuptake) neuron transmitter seperti norepinefrin
9
dan serotonin di ujung saraf pada sistem saraf pusat. Amitriptilin
digunakan terutama untuk pengobatan depresi berat dan depresi klinis.
Farmakokinetik : Mudah diabsorbsi per oral dan karena bersifat
lipofilik, tersebar luas dan mudah masuk SSP, obat mempunyai waktu
paruh yang panjang. Obat ini dimetabolisme di hati. dosis awal 75 mg
1 kali (lansia dan remaja 30-75 mg/hari), dosis terbagi, atau dosis
tunggal menjelang tidur. Naikkan bertahap bila perlu, maksimal 150
mg.
Efek Samping : Mulut kering, mata kabur, konstipasi, takikardia dan hipotensi.
B. Golongan Tetrasiklik
Meningkatkan aktifitas noradrenergik dan serotonergik sentral melalui
efek antagonis terhadap autoreseptor dan heteroreseptor adrenergik α 2
presenaptik sentral. Contoh obatnya yaitu Mirtazapin
1. Mirtazapin
Mekanisme Obat : Mekanisme kerjanya sebagai antagonis pada
presinaptic α 2 adrenergic autoreseptor dan heteroreseptor, sehingga
meningkatkan aktivitas nonadrenergik dan seratonergik.
Efek Samping : Berupa mulut kering, peningkatan berat badan, dan
konstipasi
C. Golongan Aminoketone
Mekanisme kerja obat golongan ini yaitu antidepresan yang memiliki efek
yang tidak begitu besar dalam reuptake norepinefrin dan serotonin.
Bupropion merupakan satu – satunya obat golongan aminoketon.
1. Bupropion
Bupropion bereaksi secara tidak langsung pada sistem serotonin, dan
efikasi Bupropion mirip dengan antidepresan trisiklik dan SSRI
10
(Mann, 2005). Bupropion digunakan sebagai terapi apabila pasien
tidak berespon terhadap antidepresan SSRI (Mann, 2005). Dosis lazim
bupropion adalah 150-300 mg/hari (Mann, 2005). Efek samping yang
ditimbulkan Bupropion yaitu mual, muntah, tremor, insomnia, mulut
kering, dan reaksi kulit.
D. Golongan SSRI (Selective Serotonin Uptake Inhibitors)
Obat ini bekerja dengan mengahmbat reuptake serotonin menuju ke ujung
syaraf, namun tidak mempengaruhi reuptake norefinefrin maupun
dopamin. Efek samping dari obat ini adalah mulut kering, mual,
kecemasan, insomnia, masalah seksual dan sakit kepala. Contoh obatnya
adalah Fluoksetin (paling sering digunakan), Sitalopram, Fluvoksamin,
Paroksetin dan Sertalin (Nugroho, 2012).
1. Fluoksetin
Fluoxetin khusus menghambat saraf pengambilan kembali (reuptake)
serotonin, s eh i ngga meningkatkan konsentrasi serotonin pada
sinapsis dan memperkuat transmisi saraf serotonergik. Untuk
pemberian awal, biasanya dosis fluoxetine dimulai 20 mg per hari
pada pagi hari. Selanjutnya, dosis lazim untuk mengatasi depresi
berkisar 20-40 mg per hari.
Farmakokinetik : Fluoksetin diabsorbsi mudah secara per oral dari
saluran pencernaan dengan konsentrasi plasma puncak 6-8 jam setelah
pemberian oral. Fluoksetin didistribusikan ke seluruh tubuh. Waktu
paruh antara 1 sampai 4 hari setelah dosis tunggal dan rata-rata hampir
70 jam. Fluoksetin dimetabolisme di hati.
Efek Samping : Efek samping fluoxetin bermacam-macam. Efek
yang sering timbul antara lain efek seretogenik dan sindroma
serotonin. Efek seretogenik yang timbul berupa mual ,muntah,
11
malaise umum, nyeri kepala,gangguan tidur dan nervositas.
Sindroma serotonin adalah gejala berupa kegelisahan, demam, dan menggigil,
konvulsi,dan kekakuan hebat, tremor, diare, gangguan koordinasi.
2. Paroksetin
Farmakokinetik : Pada pengobatan depresi, pemberian paroxetine
diawali dengan dosis 20 mg per hari. Pasien tua bisa memulai dengan
dosis 10 mg per hari. Batas atas dosis adalah 40 -60 mg per hari.
Efek Samping : Efek samping paroxetine secara umum mirip
dengan SSRI lainnya. Tapi paroxetine lebih cenderung menimbulkan
sedasi dan konstipasi. Hal ini disinyalir sebagai akibat aktivitas
antikolinergiknya.
3. Sertaline
Sertraline adalah penghambat ambilan (uptake) serotonin (5HT) yang
poten dan spesifik.
Farmakokinetik : Pada pemberian dosis tunggal antara 50–200 mg,
maka didapatkan kadar puncak plasma 4,5–8,4 jam setelah
pemberian peroral. Waktu paruh plasma berkisar antara 26 jam.
Ikatan protein plasma adalah 98%. Sertraline mengalami
metabolisme pertama di hati.
Efek Samping : Pada umumnya adalah anoreksia, mual, diare,
dispepsia, tremor, sakit kepala, insomnia, kantuk, berkeringat, mulut
kering, disfungsi seksual.
E. Golongan Monoamine Oxidase (MAO) inhibitors
Jenis obat golongan ini beraksi dengan menghambat kerja enzim MAO
sehingga meningkatkan konsentrasi norefinefrin (noradrenalin atau NA),
serotonin dan dopamin dalam otak. Efek samping termasuk mulut kering,
tremor, insomnia, delirium, konvulsi, hipotensi postural dan konstipasi.
12
Contoh obatnya adalah Fenelzin, Selegillin, dan Tranilsipromin
(Nugroho, 2012).
1. Fenelzin
Dosis lazim 30-90 mg/hari. Efek samping dari obat ini yang sering
muncul yaitu postural hipotensi. Efek samping ini lebih sering muncul
pada penggunaan fenelzin dan tranilsipromin.
F. Golongan Triazolopiridin Mekanisme kerja obat golongan ini yaitu antagonis pada reseptor 5-HT2
dan menghambat ambilan kembali 5-HT, contoh obatnya yaitu Trazodon
dan nefazodon.
G. Golongan SNRI (Serotonin /Norepinephrin Reuptake Inhibitor)
Antidepresan golongan Serotonin /Norepinephrin Reuptake Inhibitor
(SNRI) mekanisme kerjanya mengeblok monoamin dengan lebih selektif
daripada antidepresan trisiklik, serta tidak menimbulkan efek yang tidak
ditimbulkan antidepresan trisiklik (Mann, 2005). Obat yang termasuk
golongan SNRI yaitu Venlafaxine dan Duloxetine..
1. Venlafaxine
Cara kerja menginhibisi reuptake norepinefrin dan serotonin secara
kuat. Dosis awal venlafaxine XR yang direkomendasikan adalah 37.5
mg -75 mg per hari. Dosis bisa dinaikkan dengan penambahan hingga
75 mg per hari, setiap 4-7 hari, sampai dengan dosis maksimum per
hari 225 mg. Profil keamanan vanlafaxine sebanding dengan SSRI dan
lebih rendah dari TCA. Efek samping yang paling umum dijumpai
adalah nausea, pusing, insomnia, mengantuk, dan mulut kering. Efek
antikolinergik secara signifikan lebih ringan dibandingkan dengan
antidepresan lainnya.
13
2) OBAT ANTIPSIKOTIK
Obat ini juga dinamakan neuroleptika, antiskizopfrenia, atau transquilizer.
Pemberian obat jenis ini tidak bersifat kuratif karena sebenarnya tidak
menyembuhkan namun mengupayakan penderita untuk menjalankan aktivitas
normal. Semua obat antipsikotik bekerja dengan cara mengeblok aktifitas
dopamin, dan kebanyakan juga mengeblok reseptor serotonin (5-HT2). Obat
antipsikotik dibagi menjadi dua :
A) Antipsikotik Tipikal
Obat golongan ini bekerja dengan cara menghambat reseptor dopamin
terutama D-2, dan juga menghambat reseptor asetilkolin muskarinik, α
adrenergik, histamin (H-1) dan serotonin (5-HT). Aktivitas antipsikotik ini
berkaitan dengan aktivitasnya pada reseptor dopamin D-2. Contoh obat
golongan ini adalah Klorpromazin, Haloperidol, Asetofenazin,
Klorprotiksen, Mesoridazen, Perfenazin, Thioridazin dan
Proklorferazin. Obat ini dapat menghasilkan efek samping
ekstrapiramidal meliputi distonia akut, akatisia, gejala parkinson dan
tardive dyskinesia (Nugroho, 2012).
1. Heliperidol
Haloperidol merupakan antipsikotik tipikal atau merupakan generasi
pertama. Haloperidol sebagai antipsikotik bekerja dengan mekanisme
pengeblokan pada reseptor dopamine pada sistem syaraf pusat.
Kerugian dari antipsikotik generasi pertama adalah besarnya
kemungkinan muncul efek samping ekstra pirmidal (EPS). Dosis
haloperidol per oral adalah 0,5mg-40mg / hari (Tatro, 2003).
2. Klorpromazin
14
Khasiat anti-psikotisnya lemah sedangkan daya antihistamin dan alfa
adrenergnya lebih kuat.
Farmakokinetika : Reabsorpsinya di usus baik, tetapi
bioavailabilitasnya hanya 30% Zat ini mudah melintasi barrier darah,
kadarnya dalam cairan otak lebih tinggi daripada dalam darah.
Ekskresinya lewat kemih sebagai metabolitnya. Dosis Untuk
pengobatan psikotik : 75-800 mg/hari dalam dosis terbagi tiap 6-8 jam.
Untuk anti-emetik : 25-50 mg/hari. Anak-anak : sehari 2-4 mg/kg
berat badan, dalam dosis terbagi tiap 6-8 jam.
B. Golongan Atipikal
Obat ini beraksi terutama pada dua reseptor yaitu reseptor serotonin (5-
HT) dan dopamin, meskipun penghambatan pada reseptor 5-HT lebih
poten dibandingkan pada reseptor dopamin. Efek samping
ekstrapiramidalnya rendah. Contoh obatnya adalah Sulpirid, Risperidon,
Sertindol, Quetiapin dan Olanzapin (Nugroho, 2012).
1. Risperidon
Risperidone termasuk antipsikotik turunan benzisoxazole. Risperidone
merupakan antagonis monoaminergik selektif dengan afinitas tinggi
terhadap reseptor serotonergik 5-HT2 dan dopaminergik D2.
Risperidone berikatan dengan reseptor α1-adrenergik. Risperione tidak
memiliki afinitas terhadap reseptor kolinergik.
Farmakokinetika : Risperidone diabsorpsi sempurna setelah
pemberian oral, konsentrasi plasma puncak dicapai setelah 1-2 jam.
Absorpsi risperidone tidak dipengaruhi oleh makanan. Hidroksilasi
merupakan jalur metabolisme terpenting yang mengubah risperidone
menjadi 9-hidroxyl-risperidone yang aktif. Waktu paruh eliminasi dari
fraksi antipsikotik yang aktif adalah 24 jam. Studi risperidone dosis
tunggal menunjukkan konsentrasi zat aktif dalam plasma yang lebih
15
tinggi dan eliminasi yang lebih lambat pada lanjut usia dan pada
pasien dengan gangguan ginjal. Konsentrasi plasma tetap normal pada
pasien dengan gangguan fungsi hati. Tiap pasien bisa diresepkan
takaran risperidone yang berbeda-beda. Penentuan dosis ini tergantung
pada usia, jenis kondisi, serta respons tubuh pasien terhadap obat.
Takaran risperidone yang umumnya dianjurkan untuk pengidap
skizofrenia dewasa adalah 2 mg per hari yang kemudian akan
ditingkatkan menjadi 4 mg untuk penggunaan pada hari kedua dan
seterusnya. Total dosis tersebut dapat diberikan dengan frekuensi
sekali minum atau beberapa kali dalam sehari. Untuk orang lanjut usia,
dosis awalnya adalah 1 mg per hari dan kemudian bisa tetap pada 1 mg
atau dinaikkan menjadi 2 mg.
Efek Samping : Yang umum terjadi insomnia, agitasi, rasa cemas,
sakit kepala dan efek samping ekstrapiramidal mungkin terjadi (namun
insiden dan keparahannya jauh lebih ringan bila dibandingkan dengan
haloperidol), seperti: tremor, rigiditas, hipersalivasi, bradikinesia,
akathisia, distonia akut.
2. Olanzapin
Olanzapin merupakan obat antispikotik generasi kedua (atipikal) yang
menunjukkan efikasi untuk pengobatan skizofrenia yaitu memiliki
efek yang lebih baik dibanding obat konvensional dalam mengurangi
simptom-simptom positif. Olanzapine menghambat semua reseptor-
dopamin (D1 s/ d D5) dan reseptor H1, 5HT2, adrenergis, dan
kolinergis, dengan afinitas lebih tinggi untuk reseptor 5-HT2
dibandingkan D2. Untuk pengobatan skizofrenia, DEWASA : pada
awalnya 5 sampai 10 mg sekali sehari. REMAJA dan ANAK-ANAK
usia 13-17 tahun : pada awalnya 2,5 mg atau 5 mg sekali sehari.
ANAK-ANAK usia 13 tahun ke bawah : ditentukan oleh dokter. Efek
16
samping Olanzapine yang paling umum dan potensial adalah
menambah berat badan (Leutch et al., 2013).
3. Quetiapin
Quetiapin dapat memperbaiki gejala positif, negatif, kognitif dan
mood. Dapat juga memperbaiki pasien yang resisten dengan
antipsikotik generasi pertama tetapi hasilnya tidak sebaik apabila
diterapi dengan Clozapine.
Farmakokinetika : Absorbsinya berlangsung cepat setalah pemberian oral.
Konsentrasi plasma puncak dicapai dalam waktu 1,5 jam setelah pemberian.
Metabolisme terjadi di hati. Untuk skizoprenia 25 mg 2 kali sehari pada hari
ke-1, 50 mg 2 kali sehari pada hari ke-2, 100 mg 2 kali sehari pada hari ke-3,
150 mg 2 kali sehari pada hari ke-4, kemudian disesuaikan dengan respons,
dosis lazim 300-450 mg per hari dalam dosis terbagi 2; maksimal 750 mg
sehari.
17
BAB 3
KESIMPULAN
1. OBAT ANTIDEPRESAN
No Golongan Contoh Mekanisme
1. Trisiklik Imipramine dan
Amitriptiline
menghambat ambilan kembali
(reuptake) neurotransmiter di
otak
2. Heterosiklik Amoxapine, Maptrotiline,
Trazodone, Bupropion,
Mirtazapine, Nefazodone
mengeblok pengambilan
kembali (reuptake) amina
biogenik dan norefinefrin dan
serotonin pada ujung syaraf
3. SSRI (Selective
Serotonin
Uptake
Inhibitors)
Fluoksetin (paling sering
digunakan), Sitalopram,
Fluvoksamin, Paroksetin
dan Sertalin
mengahmbat reuptake
serotonin menuju ke ujung
syaraf, namun tidak
mempengaruhi reuptake
norefinefrin maupun dopamin
4. Monoamine
Oxidase (MAO)
inhibitors
Fenelzin, Tranilsipromid,
Isokarboksasid dan
Iproniazid
menghambat kerja enzim
MAO sehingga meningkatkan
konsentrasi norefinefrin
(noradrenalin atau NA),
serotonin dan dopamin dalam
otak
5. SNRI (Serotonin
Norephinephrine
Reuptake
Inhibitor)
Venlafaxine, Trazodone,
Nefazodone, Mirtazapine
dan Bupropion
memblok ambilan kembali
serotonin dannorepinefrin
18
2. OBAT ANTIPSIKOTIK
Golongan Contoh obat Mekanisme
Antipsikotik
Tipikal
Klorpromazin,
Haloperidol,
Asetofenazin,
Klorprotiksen,
Mesoridazen, Perfenazin,
Thioridazin dan
Proklorferazin
Menghambat reseptor dopamin
terutama D-2, dan juga
menghambat reseptor asetilkolin
muskarinik, α adrenergik, histamin
(H-1) dan serotonin (5-HT)
Atipikal Sulpirid, Risperidon,
Sertindol, Quetiapin dan
Olanzapin
Beraksi pada dua reseptor yaitu
reseptor serotonin (5-HT) dan
dopamin, meskipun penghambatan
pada reseptor 5-HT lebih poten
dibandingkan pada reseptor
dopamin
19
DAFTAR PUSTAKA
Anonim., 2007. Farmakologi dan Terapi. edisi 5, Departemen Farmakologi
Terapeutik, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.
Bernardin And Russell, 1998, Human Resource Management, Second Edition,
Singapore, McGraw-Hill Book Co.
Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Yees, G. C., Matake, G. R., Wells, B. G., Posey, L. M.,
2005, Pharmacotherapy A Pathophysiology Approach Sixth Edition, New
York : McGraw-Hill, Medical Publishing Division.
Mann, J. J., 2005, The Medical Management of Depressi, The New England Journal
of Medicine, 17 (353) : 1819 – 1834.
Nugroho, Agung Endro., 2012. Farmakologi : Obat-obat penting dalam
pembelajaran ilmu farmasi dan dunia kesehatan. Pustaka Pelajar :
Yogyakarta.
Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. 1994. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Jakarta : EGC
Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry. Behavior
Sciences/Clinical Psychiatry. 10th ed. Lippincott Williams & Wilkins, 2007,
p.527-30.
Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry.
9th Ed., 2010, p.3652-63.
Sewell, RA; Ranganathan, M, D'Souza, DC (2009 Apr). "Cannabinoids and
psychosis". International review of psychiatry (Abingdon, England) 21 (2):
152–62. doi:10.1080/09540260902782802. PMID 19367509.
Tasman, A., Kay J., Leiberman, J.A., First, M.B., Maj, M., 2008. Psychiatry:
Mood Disorder. 3rd ed. Willey - Blackwell. England.
20