f2 - leprosy (revisi).doc
TRANSCRIPT
1
MEWASPADAI PENYEBARAN
MYCOBACTERIUM LEPRA TERHADAP
PENDERITA DENGAN TERAPI MDT
(F.2)
Oleh:
dr. Rizki Trya Permata
Anggota:
dr. Oktania Putri Kusnawan
dr. Merry Susanti
dr. Syifa Andini Suparman
dr. Astri Kania
Pendamping:
dr. Dorlina Panjaitan
KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KOMITE INTERNSIP DOKTER INDONESIA
PUSKESMAS GUNUNG ALAMKABUPATEN ARGAMAKMUR BENGKULU UTARA
2014
2
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat, taufik
dan hidayah-Nya penulisan laporan ini dapat diselesaikan. Laporan ini disusun sebagai laporan
tugas Puskesmas formula 2 (F2) dokter internsip.
Penulis menyadari bahwa selesainya penulisan laporan ini tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak baik berupa bimbingan, hasil diskusi kelompok, buku-buku referensi serta hal
lainnya. Oleh karena itu penulis berdoa mudah-mudahan segala bantuan yang telah diberikan
selama ini akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada yang terhormat pendamping kami yang telah banyak memberikan bimbingan. Penulis
juga menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada teman-teman yang telah banyak
membantu dalam proses penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis
sangat mengharapkan saran dan kritik membangun agar dapat memberikan yang lebih baik di
kemudian hari. Akhir kata, mudah-mudahan laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
memerlukan.
Arga Makmur, Mei 2014
Penulis
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dewasa ini air menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian yang seksama dan
cermat. Karena untuk mendapatkan air yang bersih, sesuai dengan standar tertentu, saat ini
menjadi barang yang mahal karena air sudah banyak tercemar oleh bermacam-macam limbah
dari hasil kegiatan manusia, baik limbah dari kegiatan rumah tangga, limbah dari kegiatan
industri dan kegiatan-kegiatan lainnya. Dan ketergantungan manusia terhadap air pun semakin
besar sejalan dengan perkembangan penduduk yang semakin meningkat. (Mukrimah Rahman)
Salah satu kebutuhan penting akan kesehatan lingkungan adalah masalah air bersih,
persampahan dan sanitasi, yaitu kebutuhan akan air bersih, pengelolaan sampah yang setiap hari
diproduksi oleh masyarakat serta pembuangan air limbah yang langsung dialirkan pada saluran
atau sungai. Hal tersebut meyebabkan pendangkalan saluran atau sungai, tersumbatnya saluran/
sungai karena sampah pada saat musim penghujan selalu terjadi banjir dan menimbulkan
penyakit.(Wakurnia Wati)
Masalah air merupakan masalah yang utama, baik masalah penyediaan air bersih di kota
dan didesa, maupun masalah penyaluran dan pengelolaan air buangan penduduk dan industri. Air
sangat dibutuhkan oleh semua makhluk hidup di dunia. Oleh karena itu, seiring dengan
meningkatnya kebutuhan manusia berbagai upaya dilakukan untuk menyediakan air bersih yang
aman bagi kesehatan. Adapun air yang sehat harus memenuhi empat kriteria parameter.
Parameter pertama adalah parameter fisik yang meliputi padatan terlarut, kekeruhan, warna, rasa,
bau, dan suhu. Parameter kedua adalah parameter kimiawi yang terdiri atas berbagai ion,
4
senyawa beracun, kandungan oksigen terlarut dan kebutuhan oksigen kimia. Parameter yang
ketiga adalah parameter biologis meliputi jenis dan kandungan mikrooganisme baik hewan
maupun tumbuhan. Parameter yang terakhir adalah parameter radioaktif meliputi kandungan
bahan – bahan radioaktif.
Beberapa penyakit yang dapat ditimbulkan oleh air yang mengandung mikrobiologi
maupun senyawa-senyawa pencemar lainnya, antara lain disebut dengan istilah water washed
disease. Salah satu penyakit yang tergolong dalam water washed disease yaitu leprosy atau
kusta.
Secara garis besarnya penyakit water washed diseases dapat terjadi apabila air yang
masuk ke dalam tubuh tercemar oleh kotoran, atau dapat pula ditularkan melalui kotoran
langsung yaitu antara feses dan mulut. Dalam kondisi hieginis yang buruk karena tidak
tersedianya air bersih yang cukup untuk pencucian, penularan penyakit atau infeksi dapat
dikurangi dengan penyediaan air tambahan, dalam hal ini kualitasnya tidak perlu setaraf dengan
air minum. Beberapa faktor risiko lingkungan lainnya yang berpengaruh seperti kondisi sanitasi
yang kurang baik meliputi kebersihan rumah, kelembapan udara, fasilitas sanitasi yang jelek dan
juga kebiasaan masyarakat tidur bersama-sama, pakai pakaian bergantian dan BAB di kebun
juga dapat memicu terjadinya penularan berbagai macam penyakit dan tidak menutup
kemungkinan kusta.
Penyakit kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium leprae yang secara primer menyerang saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit,
mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis.
Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di daerah tropis dan
5
subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka penyakit ini bisa menyerang di
mana saja.
Penyakit kusta dapat menyebabkan kecacatan yang diakibatkan oleh kerusakan saraf,
sehingga penyakit ini dianggap sangat menakutkan. Jumlah kecacatan yang disebabkan oleh
penyakit ini cukup dominan, khususnya bila penyakit ini tidak ditangani secara cermat dapat
menimbulkan tingkat kecacatan permanen (Iwan Priyatna, 2005).
Cacat permanen yang ditimbulkan oleh penyakit kusta menimbulkan pendapat yang
keliru dari masyarakat terhadap kusta, yaitu rasa takut yang berlebihan. Hal ini akan memperkuat
persoalan sosial ekonomi pada penderita kusta. Kondisi cacat tersebut akan menjadi halangan
bagi penderita dalam kehidupan bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonomi
mereka. Kerusakan secara fisik dan mental yang dialami oleh seorang penderita kusta dapat
menimbulkan kerugian dalam bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya, karena tidak sedikit
orang yang masih beranggapan bahwa berinteraksi dengan penderita kusta akan sangat
berbahaya bagi diri mereka. Maka dari itu, tidak jarang para penderita kusta mengalami kesulitan
berinteraksi dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan bermasyarakat (Iwan Priyatna, 2005).
Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian
besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan
kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai di bidang kesehatan,
pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Hal ini menyebabkan penyakit kusta
masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, disamping besarnya masalah di bidang medis
juga masalah sosial yang ditimbulkan oleh penyakit ini memerlukan perhatian yang serius.
Menurut laporan WHO pada tahun 2001, penderita kusta di Indonesia menempati
peringkat ke-4 di dunia, setelah India, Brazil, dan Myanmar. Prevalensi penyakit kusta di
6
Indonesia berturut-turut dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2007 adalah sebagai berikut :
0,93/10.000 penduduk ; 0,98/10.000 penduduk ; 1,03/10.000 penduduk ; 1,05/10.000 penduduk.
Dengan penyebaran <10/100.000 penduduk di Sumatera, Kalimantan, Bali, Jawa Barat, dan Jawa
Tengah. 10-20/100.000 penduduk di Jawa Timur, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah.
>20/100.000 penduduk di Papua, Maluku, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara.
Dari data yang tertulis di atas, didapatkan prevalensi kusta yang cukup tinggi, padahal
telah banyak dilakukan upaya penanggulangan kusta di Indonesia dengan tujuan menurunkan
angka morbiditas melalui eradikasi penderita kusta dari 1,3/10.000 menjadi 1/10.000. Beberapa
upaya penanggulangan penyakit kusta telah diluncurkan oleh pemerintah dalam rangka
mendukung terwujudnya eradikasi penderita menjadi 1/10.000 penduduk, salah satunya adalah
penyuluhan intensif tentang kusta pada sasaran risiko kusta (preventif), paket pengobatan gratis
pada penderita kusta (kuratif), dan pemulihan kesehatan pada penderita kusta yang menderita
cacat (rehabilitatif). Melihat bahaya dari penyakit tersebut bagi manusia, maka perlu perhatian
dan penanganan lebih lanjut terhadap perilaku sehat dan sanitasi lingkungan.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PERMASALAHAN
2.1. Leprosy/ Lepra/ Kusta
2.1.1 Definisi
Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae (M.
leprae) yang pertama menyerang saraf tepi selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut,
saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis, kecuali susunan
saraf pusat.
2.1.2 Epidemiologi
Terdapat 10-20 juta orang yang menderita kusta di seluruh dunia
Paling umum ditemukan di negara tropis dengan prevalensi 1-2% dari populasi
Masalah kesehatan di Indonesia, sering dihubungkan dengan kemiskinan dan tempat
tinggal (rural residence).
Onset penyakit ini hampir mengenai seluruh usia. Lebih sering mengenai pada usia muda
(masa usia produktif), dengan rata-rata onset pada usia lebih dari 35 tahun.
Berdasarkan distribusi jenis kelamin kejadian leprosy lebih sering terjadi pada pria
dibandingkan wanita dengan perbandingan 2:1
Tahun 2002, masih terdapat 13 provinsi dan 111 kabupaten yang belum dapat dieliminasi
Papua dan Jawa Timur merupakan provinsi yang paling banyak ditemukan kasus kusta
8
2.1.3 Etiologi
Penyakit kusta ini disebabkan Mycobacterium leprae
Klasifikasi ilmiah
Filum : Actinobacteria
Ordo : Actinomycetales
Subordo : Corynebacterineae
Family : Mycobacteriaceae
Genus : Mycobacterium
Spesies : M. leprae
Karakteristik
- Merupakan bakteri tahan asam yang kuat, gram (+) aerob, organisme berbentuk
batang, dikelilingi oleh selubung lilin yang tebal, obligat intraselular.
- Panjang 1-8 μm dan diameter 0,3 μm.
- Pertumbuhan baik pada temperature 320-350 C.
- Tidak dapat tumbuh di medium artificial/ kultur jaringan
- Dapat tumbuh pada telapak kaki tikus normal dan armadillo
- Infektivitasnya rendah
- Mekanisme pasti transmisi M.leprae tidak diketahui secara pasti.
o Sebagian besar melalui kontak langsung penderita dengan orang sehat
o Dapat juga melalui sistem pernafasan (tapi harus jelas ada M.leprae pada
sekret nasalnya)
o Melalui tanah yang terkontaminasi (kebanyakan didaerah endemik)
9
- Masa inkubasi minimal beberapa minggu dan maksimal 30 tahun atau lebih. Secara
umum masa inkubasi leprosy adalah 3-5 tahun, tapi untuk lepromatous bisa mencapai
20 tahun atau lebih.
- Reservoir : manusia, armadillo, simpanse.
- Portal of exit of M. leprae : kulit dan mukosa hidung.
- Portal of entry of M. leprae :
Portal of entry M. leprae ke dalam tubuh manusia belum sepenuhnya diketahui. Tapi
yang dipertimbangkan adalah melalui kulit dan saluran pernapasan atas
- Diagnosis: Kerokan kulit atau kerokan selaput mukosa hidung dengan pisau skalpel,
atau bahan dari biopsi kulit daun telinga dibuat menjadi sediaan mikroskopik pada
gelas alas dan diwarnai dengan teknik Ziehl-Neelsen. Biopsi kulit atau saraf yang
menebal memberikan gambaran histologik yang khas. Tidak ada tes serologik yang
bermanfaat.
Gambar Mycobacterium leprae
2.1.4 Klasifikasi
Berdasarkan kongres Madrid 1953, diklasifikasikan menjadi
Tabel Klasifikasi leprosy
Tipe Lesi Pem. Bakteriologi Tes Lepromin
Imakula hipopigmentasi, batas tegas, anestesi, anhidrasi
- kuat
TTTuberculoid
makula eritematosa bulat / lonjong, permukaan kering, batas tegas, anestesi, - + kuat
10
bagian tengah sembuhBT
Borderline Tuberculoid
makula eritematosa tidak teratur, batas tak tegas, kering, mula-mula ada tanda kontraktur, anetesi
+ / - + / -
BBMidborderline
makula eritematosa, menonjol, bentuk tidak teratur, kasar, ada lesi satelit, penebalan saraf dan kontraktur
+ -
BLBorderline
Lepromatous
makula infiltrat merah mengkilat, tak teratur, batas tak tegas, pembengkakan saraf
banyak basil -
LLLepromatous
Infiltrat difus berupa nodus simetri, permukaan mengkilat, saraf terasa sakit, anestesi
+ kuat -
Tabel Spektrum Lepra Secara Klinis, Bakteriologik, Patologik & ImunologikGambaran
Tuberculoid (TT,BT) Leprosy
Borderline (BB, BL) Leprosy
Lepromatous (LL) Leprosy
Lesi Kulit
1 atau beberapa makula atau plak berbentuk annular asimetris dengan batas tegas dan menonjol, pada bagian sentral cenderung berwarna putih
Intermediate antara lesi tipe BT dan LL; plak kurang jelas dengan batas sedikit tegas; jumlah sedikit atau banyak.
Nodul dan plak banyak atau berinfiltrasi luas, simetris, batas tidak tegas ; xanthoma-like or dermatofibroma papules; leonine facies dan alis mata gundul
Lesi Saraf
Awalnya lesi kulit tidak terasa (anestesi);saraf dekat lesi terkadang membesar; seringkali terjadi abses saraf pada BT
Lesi kulit hipestesia atau anesthesia ; batang saraf palsi, terkadang simetris.
Palsi sarah bervariasi; pada bagian akral, distal sering mengalami anestesia simetris.
Basil Tahan Asam
0–1+ 3–5+ 4–6+
Limfosit 2+ 1+ 0–1+
Differensiasi Makrofag
Epithelioid
Epithelioid pada BB; biasanya tidak berdifferensiasi, tetapi mengalami perubahan menjadi foamy pada BL
Perubahan Foamy ; dapat tidak berdifferensiasi pada lesi awal
Langhans' 1–3+ — —
11
Tuberculoid (TT,BT) Leprosy
Borderline (BB, BL) Leprosy
Lepromatous (LL) Leprosy
giant cells
Tes Kulit Lepromin
+++ — —
Tes Transformasi
LimfositUmumnya positif 1–10% 1–2%
CD4+/CD8+ T-cell ratio in
lesions1.2 BB (NT); BL: 0.48 0.50
M. leprae PGL-1
antibodies60% 85% 95%
Keterangan: BB, mid-borderline; BL, borderline lepromatous; BT, borderline tuberculoid; TT, polar tuberculoid; LL, polar lepromatous; BI, bacteriologic index; NT, not tested; PGL-1, phenolic glycolipid 1
2.1.5 Faktor Resiko
Tidak semua orang yang terkena M.leprae akan menderita kusta, ada faktor-faktor yang
mempengaruhi, diantaranya :
1. Malnutrisi
2. Imunitas
3. Usia, banyak mengenai pada dewasa muda , 35 tahun
4. Tingkat sosioekonomi ; kebersihan rumah dan kelembaban udara yang kurang baik
5. Jenis kelamin, banyak mengenai laki-laki
6. Ras (Asia dan Afrika)
12
2.1.6 Manifestasi Klinis
1. Tuberculoid leprosy
Merupakan tipe yang paling ringan, pada umumnya gejalanya meliputi kulit dan saraf
perifer. Lesi awal biasanya berupa macula yang batasnya dapat dilihat dengan jelas dan hipestesi,
kemudian lesi ini akan membesar dan meliputi saraf tepi yang terdekat sehingga batasnya akan
terlihat meninggi dan lesinya akan membentuk seperti cincin karena bagian tengahnya akan
menjadi atropi dan menurun kebawah.
Pasien biasanya mempunyai satu atau lebih lesi hipopigmen yang terdistribusi secara
asimetris, anestetik, dan non pruritik. Biasanya lesi kulit pada leprosy bervariasi dalam
diamaternya, kering, anhidrotik, dan meliputi saraf perifer (ulnar, posterior auricular, peroneal
dan postibial)
2. Lepromatous leprosy
Merupakan jenis yang lebih parah dari tuberculoid leprosy. Lesi awal biasanya berupa
papula atau nodula berwarna kemerahan, kemudian akan berkembang jadi berdiameter sampai 2
cm. Lalu papula dan nodula yang baru akan bermunculan dan akan saling menyatu, kemudian
pasien akan terlihat lesi yang terdistribusi secara simetris menyerupai plak yang meninggi dan
infitrasi dermal yang meluas, sehingga apabila terdapat di wajah, akan terlihat penampakan
leonine face pada pasien. Manifestasi berikutnya meliputi kehilangan alis dan bulumata, telinga
yang seperti pendulum dan kuli yang kering.
13
Gambar Pasien dengan leonine face
2.1.7 Diagnosis
Untuk mendiagnosis penyakit leprosy yang pertama adalah adanya kulit yang
hiperpigmentasi atau kemerahan dengan sensasi rasa yang berkurang, selanjutnya adanya
keterlibatan dari saraf perifer, diperlihatkan dengan adanya penebalan dengan kehilangan rasa
dan kelemahan dari otot yang ada di tangan, kaki maupun wajah, dan adanya M.leprae pada lesi.
Cara untuk diagnosa kusta (leprosy)
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda klinis:
Lesi kulit + kehilangan sensor saraf + kerusakan saraf + BTA (+).
Organisme tidak dapat dikultur.
Biopsi kulit pewarnaan Fite Faraco.
Apus dari kulit dicari BTA (+) periksa jumlah dengan menggunakan bacillary
index (BI) atau morphology index (MI).
Kerusakan saraf dapat diperiksa dengan menggunakan histamine test atau methacholine
sweat test.
Lepromin skin test tidak terlalu berguna untuk menegakkan diagnosis
14
2.1.8 Diagnosis Banding
1. Sarcoidosis
- Adanya perineural inflamasi
- Retikulosis granulomatosa generalisata kronik progresif tanpa sebab yang jelas
- Melibatkan banyak oragan termasuk kulit, paru, kelenjar limfe, hati, limpa, mata,
tulang kecil tangan dan kaki
- Histologisna ditandai dengan tuberkel sel epiteloid tanpa perkijuan pada sleuruh organ
atau jaringan yang kena
- Laboratorium menunjukkan: hiperkalsemia, hipergammaglobulinemia, reaktifitas
terhadap tuberculin rendah
- Tidak ada sensori loss dan penebalan saraf
2. Leishmaniasis
- Infeksi yang disbabkan oleh Leishmania
- Terjadi di Amerika lokasi lesi lebih disekitar mulut dan hidung dan pinggirannya lebih
menonjol dibanding lepra
- Ada leukopenia dan splenomegali serta agranulositosis
- Pada kulit terdapat papula tunggal/majemuk pada bagian tubuh yang terpapar jadi
nodul kemudian pecah membentuk tukak yang dikelilingi sel radang
- Pemeriksaan Leishman-body akan (+)
3. Lupus Vulgaris
15
- Bentuk tuberkulosisi kulit paling berat sering pada muka
- Timbul bercak nodul coklat kemerahan (jeli apel) dalam korium menyebar ke perofer
dengan atrofi sentral ulkus & jaringan parut
- Tendensi pembentukan scar dan tidak ada perubahan sensoris
4. Syphilis
- Lesi makulanya mirip dengan lepra hanya tidak ada gangguan sensoris dan rekasi
terhadap terapinya baik
5. Yaws
- Lesi makulanya mirip dengan lepra hanya tidak ada gangguan sensoris dan rekasi
terhadap terapinya baik
6. Granuloma Annulare
- Massa/ nodul granulasi tumor dengan fibroblas dan kapiler yang tumbuh aktif
(kumpulan makrofag termodifikasi menyerupai sel epitel)
- Nodulnya keras, kemerahan dalam satu lingkaran hingga membentuk cincin
- Tidak ada sensory loss, penebalan saraf tidak ada, gambaran histo PA berbeda
7. Psoriasis
8. Seborrhoic dermatitis
9. Scars from burn injury
10. Tinea
11. Eczema
16
Beberapa hal yang penting dalam menentukan DD lepra :
- makula hipopigmentasi
- anestesi
- pemeriksaan bakteriologi : BTA
- pembengkakan / pengerasan saraf tepi / cabang – cabangnya
2.1.9 Managemen Leprosy
Prinsip terapi Leprosy:
1. Petugas kesehatan mampu mendiagnosis dan menentukan terapi yang tepat
2. Dapat mencegah kemungkinan komplikasi (lepra reaction, neuritis dan komplikasi mata)
3. Jika ada komplikasi, dapat mengobati terjadinya kerusakan saraf (prednisolon untuk
menjaga pada tahap batang perifer).
4. Mencegah infeksi dengan pemberian obat dan dosis yang tepat
5. Melakukan rehabilitasi untuk paralytic disability (clawhand, footdrop, lagopthalmos,
wristdrop) dan immobilisasi untuk ekstremitas.
6. Memperhatikan dan melakukan pemeriksaan terhadap orang yang sebelumnya kontak
dengan pasien.
7. Promoting community action (partisipasi masyarakat dalam merubah ‘image’ leprosy dan
mengurangi stigma penyakit leprosy, serta meyakinkan bahwa penyakit ini bisa
disembuhkan).
17
Ada 3 obat yang direkomendasikan untuk leprosy berdasarkan standar MDT dengan
durasi yang dibatasi, dan tidak disarankan untuk penggunaan monoterapi. Obat-obatan tersebut
antara lain :
Rifampicin (rifampin, rifadin, rimactane)
- Rifampicin merupakan derivat semisintetik rifamycin yang menghambat sintesis
RNA patogen mikroba spektrum luas.
- Obat bakterisidal paling efektif melawan M.Leprae.
- Dosis bulanan 600 mg (highly bactericidal) sama efektifnya dengan rifampicin
harian. Terbukti non toksik walaupun pada kasus tertentu dilaporkan terjadi gagal
ginjal, trombositopenia, influenza like syndrome, dan hepatitis.
- Efek samping : urin coklat kemerahan, sputum, keringat.
- Menurunkan efek steroid dan mengganggu efektivitas kontrasepsi oral.
Clofazimine (Lamprene, B663, G30320)
- Senyawa rimino derivat phenazine dye.
- Absorpsi baik jika diformulasikan dengan microcrystalline oil-wax base
- Aktivitas bakterisidal melawan M.Leprae, meningkatkan aktivitas anti inflamasi
- Non toksik
18
- Dosis tinggi (200-300 mg harian) digunakan untuk mengontrol reaksi leprosy pada
pasien yang tidak boleh mengkonsumsi kortikosteroid karena ketergantungan,
toksisitas, ataupun kontraindikasi yang lain
- Efek samping : Pigmentasi kulit (hilang setelah penghentian terapi 6-12 bulan), pada
dosis yang lebih tinggi bisa terjadi keluhan gastrointestinal.
Dapsone (DDS, 4,4’-diaminodiphenylsulfone)
- Inhibitor sintetase folate synthesizing enzyme system M.Leprae
- Tidak mahal dan relatif tidak toksik. Pada kasus tertentu dilaporkan terjadi delayed
hypersensitivity reaction, agranulocytosis, dan mild hemolytic anemia.
- Dosis 100 mg harian : Bakterisidal lemah melawan M.Leprae
- Jika digunakan sebagai monoterapi memiliki efektivitas yang terbatas dan
menyebabkan resistensi.
Standar regimen MDT yang digunakan berdasarkan WHO adalah :
Multibacillary Leprosy
Untuk dewasa direkomendasikan :
- Rifampicin : 600mg 1 bulan 1x, supervised
- Dapsone : 100mg harian, self administrated
- Clofazimine : 300mg 1bulan 1x (supervised) dan 50mg harian (self administrated)
Durasi : 12 bulan
Paucibacillary Leprosy
Untuk dewasa direkomendasikan :
- Rifampicin : 600mg 1bulan 1x, supervised
- Dapsone : 100mg harian, self administrated
19
Durasi : 6 bulan
Untuk anak-anak dosisnya dikurangi dari yang di atas
Untuk penyakit leprosy karena merupakan masalah dalam kesehatan masyarakat maka
perlu dilakukan beberapa strategi dalam mengeliminasi leprosy sebagai masalah kesehatan
masyarakat yang dititik beratkan pada deteksi dini kasus dan pengobatan dengan MDT, targetnya
menurunkan prevalensi <1 kasus/10.000 populasi. Terapi dengan MDT bersamaan dengan
deteksi dini kasus merupakan jalan terbaik
Tujuan utama strategi ini adalah menurunkan prevalensi ke level terendah, menurunkan
transmisi serta insidensi penyakit, lalu menghitung insidensi dengan sistem informasi rutin
Sedangkan untuk eliminiasi leprosy sebagai masalah kesehatan masyarakat lebih
diutamakan daripada eradikasi. Ketersediaan pelayanan MDT dan akses pasien terhadap
pelayanan fasilitas kesehatan terdekat merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam
pelaksanaan strategi ini.
2.1.10 Pencegahan dan kontrol
Pencegahan dan kontrol
1. Vaksinasi pada saat lahir dengan Bacille Calmette-Guerin (BCG)
2. Kemoprofilaksis dengan menggunakan dapsone
3. Apabila pasien membutuhkan perawatan di rumah sakit harus diisolasi dengan baik.
4. Penemuan kasus dengan segera dan pemberian terapi yang terpadu
5. Menjaga keluarga dari pasien agar terhindar dari penularan.
6. Peningkatan kondisi kebesihan sehai – hari, terutama higienitas dalam semua perilaku
kehidupan sehari – hari.
20
7. Pemberian pendidikan kebersihan dan mengenai penyakit lepra.
2.1.11 Cara-cara Pemberantasan
1) Tindakan Pencegahan
a. Pencegahan Primodial
Pencegahan primodial yaitu upaya pencegahan pada orang-orang yang belum memiliki
faktor resiko penyakit kusta melalui penyuluhan. Penyuluhan tentang penyakit kusta adalah
proses peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat oleh petugas kesehatan
sehingga masyarakat dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari
penyakit kusta.
b. Pencegahan Primer (Primary Prevention)
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan seseorang yang telah
memiliki faktor resiko agar tidak sakit. Tujuan dari pencegahan primer adalah untuk mengurangi
insidensi penyakit dengan cara mengendalikan penyebab-penyebab penyakit dan faktor-faktor
resikonya.
Untuk mencegah terjadinya penyakit kusta, upaya yang dilakukan adalah memperhatikan
dan menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal, personal hygiene, deteksi dini adanya
penyakit kusta dan penggerakan peran serta masyarakat untuk segera memeriksakan diri atau
menganjurkan orang-orang yang dicurigai untuk memeriksakan diri ke puskesmas.
c. Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)
Pencegahan sekunder merupakan upaya pencegahan penyakit dini yaitu mencegah orang
yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit dan menghindari komplikasi.
21
Tujuan pencegahan sekunder adalah untuk mengobati penderita dan mengurangi akibat-akibat
yang lebih serius dari penyakit yaitu melalui diagnosis dini dan pemberian pengobatan.
Pencegahan sekunder ini dapat dilakukan dengan melakukan diagnosis dini dan
pemeriksaan neuritis, deteksi dini adanya reaksi kusta, pengobatan secara teratur melalui
kemoterapi atau tindakan bedah.
Untuk menetapkan diagnosa dini penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda pokok
atau “cardinal sign” pada badan, yaitu :
Lesi (Kelainan) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit/ lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hipopigmentasi) atau
kemerah-merahan (eritematosa) yang mati rasa (anestesi).
Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan juga dapat disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis
perifer). Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa:
Gangguan fungsi sensoris : mati rasa
Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan (paralisis)
22
Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak-retak.
Ditemukan Basil Tahan Asam
Adanya bakteri tahan asam di dalam kerokan jaringan kulit (BTA positif). Pemeriksaan
kerokan hanya dilakukan pada kasus yang meragukan.
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari tanda-tanda utama di
atas. Apabila hanya ditemukan cardinal sign ke-2 dan petugas ragu perlu dirujuk kepada ahli
kusta, jika masih ragu orang tersebut dianggap sebagai kasus yang dicurigai (suspek).
Tanda-tanda tersangka kusta (suspek) :
Tanda-tanda pada kulit
1. Bercak/Kelainan kulit yang merah atau putih di bagian tubuh
2. Kulit mengkilap
3. Bercak yang tidak gatal
4. Adanya bagian-bagian tubuh yang tidak berkeringat/ tidak berambut.
5. Lepuh tidak nyeri.
Tanda-tanda pada saraf
1. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk & nyeri pada anggota badan/ muka.
2. Gangguan gerak anggota badan atau bagian muka
3. Adanya cacat (deformitas)
4. Luka (ulkus) yang tidak mau sembuh
d. Pencegahan Tersier (Tertiary Prevention)
Tujuan pencegahan tersier adalah untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan
rehabilitasi. Rehabilitasi adalah upaya yang dilakukan untuk memulihkan seseorang yang sakit
23
sehingga menjadi manusia yang lebih berdaya guna, produktif, mengikuti gaya hidup yang
memuaskan dan untuk memberikan kualitas hidup yang sebaik mungkin, sesuai tingkatan
penyakit dan ketidakmampuannya. Pencegahan tersier meliputi:
1. Pencegahan Kecacatan
Pencegahan cacat kusta jauh lebih baik dan lebih ekonomis daripada penanggulangannya.
Pencegahan ini harus dilakukan sedini mungkin, baik oleh petugas kesehatan, maupun oleh
penderita itu sendiri dan keluarganya.
Upaya pencegahan cacat terdiri atas :
Upaya pencegahan cacat primer, yang meliputi :
a) Diagnosa dini dan penatalaksanaan neuritis
b) Pengobatan secara teratur dan adekuat
c) Deteksi dini adanya reaksi kusta
d) Penatalaksanaan reaksi kusta
Upaya pencegahan cacat sekunder, yang meliputi :
a) Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka
b) Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah
terjadinya kontraktur.
c) Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak
mendapat tekanan yang berlebihan.
d) Bedah septik untuk mengurangi perluasan infeksi.
e) Perawatan mata, tangan dan atau kaki yang anestesi atau mengalami kelumpuhan
otot.
24
2. Rehabilitasi
Rehabilitasi yang dilakukan meliputi rehabilitasi medik, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi
ekonomi. Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara lain
dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, tetapi
fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki.
Cara lain adalah kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang sesuai cacat tubuhnya,
sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat dilakukan
terapi psikologik (kejiwaan).
2.1.12 Prognosis
- Prognosis tergantung dari tipe kusta yang diderita. Tipe BL biasanya sering
melibatkan kerusakan saraf yang cepat dan parah.
- Prognosis juga tergantung dari terapi pasien, kepatuhan pasien, ketepatan dan seberapa
cepat pasien melakukan terapi.
- Kekambuhan terjadi pada 0.10-0.14% dari pasien pada 10 tahun pertama.
- Dikarenakan penurunan sistem imun, kehamilan dapat memicu relaps atau reaksi
kembali penyakit, khususnya jika pasien hamil lebih muda dari usia 40 tahun.
25
2.2. Water-Washed Disease
Water-washed disease adalah penyakit yang disebabkan oleh kurangnya air dan tidak
terjaminnya kebersihan untuk pemeliharaaan kebersihan (higienitas perorangan). Banyak
terdapat di daerah tropis. Penyakit yang dipengaruhi oleh penularannya sangat banyak, antara
lain :
a. Penyakit infeksi saluran pencernaan : bersifat feca-oral seperti diare, kolera, tifoid,
hepatitis infektiosa, disentri basiler.
b. Penyakit infeksi kulit dan selaput lendir. Penyakit yang erat kaitannya dengan higienitas
perorangan yang buruk : infeksi jamur pada kulit, konjungtivitis.
c. Penyakit yang disebabkan oleh insekta pada kulit & selaput lendir.
d. Penyakit yang ditentukan oleh tersedianya air bersih untuk higienitas perorangan untuk
mencegah invasi parasit pada tubuh dan pakaian : skabies, leprosy (kusta), dan
sebagainya.
Secara garis besarnya penyakit water washed diseases dapat terjadi apabila air yang
masuk ke dalam tubuh tercemar oleh kotoran dapat pula ditularkan dengan kotoran secara
langsung yaitu antara fecal-oral. Dalam kondisi hieginis yang buruk karena tidak tersedianya air
bersih yang cukup untuk pencucian, penularan penyakit atau infeksi dapat dikurangi dengan
penyediaan air tambahan, dalam hal ini kualitasnya tidak perlu setaraf dengan air minum.
Faktor risiko lingkungan berpengaruh yaitu kondisi sanitasi yang kurang baik meliputi
kebersihan rumah, kelembapan udara, fasilitas sanitasi yang jelek dan juga kebiasaan masyarakat
tidur bersama-sama, pakai pakaian bergantian dan buang air besar di kebun juga dapat memicu
terjadinya penularan berbagai macam penyakit dan tidak menutup kemungkinan kusta. Salah
satu penyakit yang tergolong dalam water-washed disease yaitu: lepra (kusta).
26
2.3. Permasalahan
2.3.1. Data Administrasi Pasien
a. Nama / Umur : Tn. S / 35 tahun
b. No. register : Puskesmas Gunung Alam
c. Status pendidikan : SMP
d. Status sosial : Menengah kebawah
2.3.2. Data Demografis
a. Alamat : Gunung Selan
b. Agama : Islam
c. Suku : Rejang
d. Pekerjaan : Buruh
e. Bahasa Ibu : Bahasa rejang, bahasa Indonesia
f. Jenis Kelamin : Laki-laki
2.3.3 Data Biologik
a. Tinggi Badan : 168 cm
b. Berat Badan : 60 kg
c. Habitus : Astenikus
2.3.4 Data Klinis
a. Anamnesis :
27
Keluhan utama : Bercak keputihan di daerah lengan kanan, dada, perut, punggung
wajah, dan lutut sekitar lebih dari 2 bulan
Riwayat Penyakit sekarang :
Pasien mengeluh bercak putih pada kulit sejak 2 bulan yang lalu
Awalnya terdapat bercak kemerahan kecil di daerah lengan kanan bawah semakin
lama semakin membesar dan meluas dan menyebar ke lengan atas, dada, perut,
punggung, wajah dan lutut.
Tidak terasa gatal ataupun nyeri pada bercak-bercak tersebut.
Terasa tebal pada bercak-bercak tersebut, tetapi tidak terlalu jelas dengan daerah
kulit normal yang dirasakan.
Pasien mengatakan bila terbentur sesuatu tidak terasa sakit dari pada sebelum
pasien muncul bercak-bercak ini.
Pasien menyangkal adanya rontok bulu mata, alis, dan demam.
Riwayat alergi/ penyakit : Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa.
Riwayat asma, kencing manis, darah tinggi di sangkal.
Riwayat keluarga : tidak ada keluarga atau teman pasien yang mengalami keluhan
yang serupa. Riwayat alergi makanan dan obat pada keluarga di sangkal.
Riwayat pengobatan : tidak ada.
Riwayat sosial : pasien sudah mendapatkan penyakit ini sejak pasien tinggal di
Bengkulu Selatan. Pasien adalah petugas rumah sakit yang bertugas mengantar
tabung oksigen. Pasien mengaku pada saat bertugas di RS terdapat penderita yang
mengalami gejala kulit yang sama seperti pasien. Pasien tiap hari selalu kontak
dengan penderita tersebut selama 2 minggu.
28
Riwayat perilaku higienitas dan lingkungan :
o Pasien memiliki kebiasaan malas mandi, terkadang mandi 2 kali sehari.
o Tempat tinggal berada di daerah yg cukup padat dengan suplai air bersih
sangat kurang. Sehari-hari menggunakan air sungai dan sumur.
b. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : terlihat sakit ringan
Kesadaran : komposmentis
Tanda vital
- Tekanan darah : tidak dilakukan
- Nadi : tidak dilakukan
- Respirasi : tidak dilakukan
- Suhu : tidak dilakukan
Untuk dugaan diagnosa : (status dermatologikus dan pemeriksaan
neurologikus)
- Distribusi :
regional, bilateral, asimetris
- Lokasi :
29
bagian thorak, abdomen, wajah, lutut, punggung, brachialis, dan plantar
manus dekstra.
- Jenis lesi :
o Regio thorak, abdomen, wajah, punggung: plaque > 5,
hipopigmentasi dengan tepi meninggi, batas tegas, multiple,
skuama (-), erosi (-), ekskroisi (-).
o Region lutut : plak eritema, konfluens, batas tegas, sedikit
menimbul, kering, skuama (-).
o Regio brachialis : patch hipopigmentasi, multipel, diskrit, bentuk
bulat, ukuran miliar, batas tegas, sedikit menimbul, kering. Batas
tidak jelas pada telapak tangan.
o Madarosis (-), leonine face (-), saddle nose (-), claw hand (-).
- Efloresensi :
sebagian besar berupa makulo-plak hipopigmentasi, batas tegas.
Status Neurologikus :
N.Auricularis magnus sinistra mengalami pembesaran, konsistensi
kenyal, nyeri tekan (+).
N.Ulnaris sinistra mengalami pembesaran konsistensi kenyal, nyeri
tekan (+).
Pemeriksaan anastesi terhadap rasa nyeri pada tempat lesi (+) dari
pada kulit normal.
30
Pemeriksaan anastesi terhadap rasa raba pada tempat lesi (+) dari
pada kulit normal.
Pemeriksaan suhu panas dingin pada lesi, tidak bisa membedakan
suhu panas dingin pada tempat lesi.
2.3.5 Diagnosis Banding
- Leprosy
- Ptiriasis Versikolor
- Tinea korporis
2.3.6 Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan.
Usulan Pemeriksaan Penunjang :
Biopsi kulit pewarnaan Fite Faraco.
Apus dari kulit BTA
Lepromin skin test
2.3.7 Diagnosis
Morbus Hansen/ Leprosy/ Lepra
2.3.8 Penatalaksanaan
Non - Farmakologi :
- Menerangkan tentang penyakit dan pengobatannya
- Istirahat di rumah
- Menjaga keluarga dari pasien agar terhindar dari penularan.
31
- Peningkatan kondisi kebesihan sehai – hari, terutama higienitas dalam semua
perilaku kehidupan sehari – hari
- Pemberian pendidikan kebersihan dan mengenai penyakit lepra
- Edukasi untuk kontrol ulang untuk mencegah neuritis
Farmakologi :
Sistemik :
Rifampicin : 600 mg/bulan (diminum di depan petugas kesehatan).
Dapson : 100 mg/hari diminum di rumah
Lamprene : 300mg/bulan (diminum di depan petugas kesehatan), dilanjutkan
dgn 50 mg/hari (diminum di rumah)
Durasi : 12 bulan
2.3.9 Prognosis
Quo ad Vitam : ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad malam
Quoa ad Sanationam : dubia ad bonam
32
BAB III
PERENCANAAN DAN PEMILIHAN INTERVENSI
3.1. Metode Penyuluhan
Metode penyuluhan yang dilakukan untuk mensosialisasikan tentang penyakit lepra/
kusta dan kaitannya dengan kesehatan lingkungan sehingga kejadian penyakit lepra dapat
ditekan. Dengan sasaran para penghuni rumah pasien dan masyarakat sekitar. Dilakukan dengan
pemberian informasi dan memberikan permahaman, selanjutnya dilakukan diskusi 2 arah
mengenai kendala-kendala yang dihadapi dalam membentuk lingkungan yang sehat.
3.2. Intervensi
Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit yang dideritanya merupakan infeksi yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae dan bersifat kronik progresif, mula-mula
menyerang saraf tepi, dan kemudian terdapat manfestasi kulit.
Menjelaskan tentang penyakit leprosy (kusta), cara penularan, gejala klinis, dan
perjalanan penyakitnya.
Menjelaskan hubungan kejadian leprosy dengan kesehatan lingkungan terutama dengan
memperhatikan dan menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal, personal hygiene,
deteksi dini adanya penyakit kusta dan penggerakan peran serta keluarga dan masyarakat
untuk segera memeriksakan diri atau menganjurkan orang-orang yang dicurigai untuk
memeriksakan diri ke puskesmas.
33
Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya mengenai upaya pencegahan primordial,
primer, sekunder dan terutama tersier agar tidak terjadi penyebaran penyakit dan
komplikasi yang lebih berat.
Edukasi kepada pasien untuk mengikuti beberapa program terapi seperti pemeliharaan
kulit harian, proteksi tangan dan kaki, latihan fisioterapi dan rehabilitasi mental.
Menjelaskan kepada pasien, keluarga dan masyarakat mengenai persyaratan air bersih
yang layak digunakan untuk keperluan sehari-hari, antara lain baik dari segi persyaratan
kualitas (kualitas fisik, kimia, mikrobiologi dan radiologis) maupun persyaratan dari segi
kuantitas.
Melakukan promoting community action :
- Partisipasi masyarakat dalam merubah ‘image’ leprosy dan mengurangi
stigma penyakit leprosy, serta meyakinkan bahwa penyakit ini bisa
disembuhkan.
- Melakukan pemeriksaan sampel air sungai sebagai sumber air yang digunakan
pasien untuk dilakukan pemeriksaan mikrobiologi, untuk mencegah
penyebaran bakteri kepada masyarakat lainnya.
- Partisipasi keluarga dan masyarakat untuk melakukan program pembersihan/
penyulingan sumber air yang berasal dari air sungai, mata air, danau, sumur,
dan air hujan yang telah dihilangkan zat-zat kimianya, gas racun, atau kuman-
kuman yang berbahaya, agar air dapat digunakan untuk keperluan air munim,
rumah tangga dan industri.
34
BAB IV
PELAKSANAAN (PROSES INTERVENSI)
4.1. Strategi Penanganan Masalah
Diagnosis Klinis : Morbus Hansen/ Leprosy/ Lepra/ Kusta
Penanganan masalah :
Promotif :
- Menjelaskan kepada pasien dan penghuni rumah bahwa leprosy termasuk
penyakit yang ditular secara kontak langsung (kulit – kulit) dan tidak langsung
yaitu melalui lingkungan. Mycobacterium leprae dapat ditemukan pada udara
di sekitar rumah, menempel pada pakaian penderita, dan debu rumah.
- Menjelaskan kepada penghuni rumah bahwa penyakit dapat dicegah dengan
menjaga kebersihan diri dan lingkungan, seperti mandi dan mencuci pakaian
dengan menggunakan air bersih, pasien disarankan menggunakan masker
untuk menghindari penyebaran penyakit lewat udara, mencuci tangan dengan
cara yang benar.
- Menjelaskan tentang penyakit dan pencegahan leprosy, serta upaya-upaya
agar penyakit tidak berulang kembali dan pengoptimalan terapi untuk
mencegah komplikasi lanjut.
- Melakukan uji mikrobiologi terhadap sampel sumber air yang sering
digunakan pasien untuk keperluan sehari-hari.
Preventif :
35
- Penyuluhan tentang penyakit kusta → peningkatan pengetahuan, kemauan dan
kemampuan masyarakat oleh petugas kesehatan sehingga masyarakat dapat
memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit kusta.
- Vaksinasi pada saat lahir dengan Bacile Calmette-Guerin (BCG)
- Kemoprofilaksis dengan menggunakan dapsone.
- Menggunakan sumber air yang berasal dari air sungai, mata air, danau, sumur,
dan air hujan yang telah dihilangkan zat-zat kimianya, gas racun, atau kuman-
kuman yang berbahaya, agar air dapat digunakan untuk keperluan air munim,
rumah tangga dan industri.
Kuratif :
- Rifampicin : 600 mg/bulan (diminum di depan petugas kesehatan).
- Dapson : 100 mg/hari diminum di rumah
- Lamprene : 300mg/bulan (diminum di depan petugas kesehatan), dilanjutkan
dgn 50 mg/hari (diminum di rumah)
Durasi : 12 bulan
Rehabilitatif :
- Anjurkan kepada pasien untuk meningkatkan asupan makanan yang bergizi
untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan istirahat di rumah.
- Edukasi pasien mengenai upaya pncegahan cacat sekunder, antara lain:
Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka (pemeliharaan kulit
harian, proteksi tangan & kaki)
36
Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk
mencegah terjadinya kontrktur
Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami
kelumpuhan dan bedah septik untuk mengurangi perluasan infeksi
Dukungan psikososial dan keluarga
Rehabilitasi mental (memerlukan bimbingan agar dapat melewati
tahap-tahap gangguan kejiwaan).
- Anjuran agar pasien kontrol kembali untuk menilai keefektifan terapi dan
upaya mencegah komplikasi.
37
Gambar 1. Penjelasan Mengenai Leprosy Kepada Pasien
38
Gambar 2. Peran Pasien dan Keluarga dalam Pencegahan Penyakit Leprosy
39
40
Gambar 3. Peran Pasien dan Keluarga dalam Pengobatan Penyakit Leprosy
BAB V
MONITORING DAN EVALUASI
5.1. Monitoring
Monitoring difokuskan pada aspek promotif dan preventif dengan mewujudkan
kesehatan lingkungan yang dapat mencegah penyebaran penyakit leprosy baik dalam
lingkungan keluarga pasien dan masyarakat. Peran serta keluarga dan masyarakat
merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan, kelangsungan dan kemandirian
pembangunan kesehatan, terutama dalam hal ini mengenai pengobatan pasien dan
pencegahan penyebaran penyakit leprosy. Peran serta keluarga dan masyarakat dalam
pencegahan penyakit leprosy diwujudkan antara lain dengan menjalankan cara hidup
sehat dan penyelenggara berbagai upaya/ pelayanan kesehatan.
5.2. Evaluasi
Upaya yang dilakukan untuk menekan angka kesakitan dan kecacatan akibat
leprosy, yaitu melalui program pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar,
antara lain:
- Laporan ke instansi kesehatan setempat
41
- Isolasi: tidak diperlukan untuk penderita kusta tipe tuberkuloid; isolasi terhadap
kontak harus dilakukan untuk kasus kusta lepromatosa sampai saat pengobatan
kombinasi diberikan. Perawatan di rumah sakit biasanya dilakukan selama penanganan
reaksi obat. Tidak diperlukan prosedur khusus untuk kasus yang dirawat di RS. Di RS
umum diperlukan ruangan terpisah untuk alasan kesopanan atau sosial. Terhadap
penderita yang sudah dianggap tidak menular lagi, tidak ada pembatasan bagi yang
bersangkutan untuk bekerja dan bersekolah.
- Disinfeksi serentak dilakukan terhadap lendir hidung penderita yang menular.
Dilakukan pembersihan menyeluruh.
- Karantina: tidak dilakukan.
- Imunisasi terhadap orang-orang yang kontak dan tidak kontak: tidak dilakukan secara
rutin.
- Investigasi orang-orang yang kontak dari sumber infeksi: pemeriksaan dini paling
bermanfaat, tetapi pemeriksaan berkala di rumah tangga dan orang-orang yang kontak
dekat sebaiknya dilakukan 12 bulan sekali selama 5 tahun setelah kontak terakhir
dengan kasus yang menular.
- Pengobatan spesifik: Mengingat sangat tingginya tingkat resistensi dari dapsone dan
munculnya resistensi terhadap rifampin maka pemberian terapi kombinasi (multidrug
theraphy) sangatlah penting.
42
DAFTAR PUSTAKA
1. Liliyani. “Gambaran Klinis Fungsi Kaki Penderita Cacat Kusta ‘Drop Foot Pasca
Bedah Tpt’ Periode Januari 1991 – Desember 1995 Di Rs Kusta Tugurejo
Semarang.” Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.
2. Mansjoer, Arif, et.al. “Kapita Selekta Kedokteran Edisi III (Jilid 2).”Jakarta: Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000.
3. Brooks, Geo F., Janet S. Butel, Stephen A. Morse.“Jawetz, Melnick & Adelberg
Mikrobiologi Kedokteran edisi 23.” Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC), 2004.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Skabies, Pedoman Pengobatan Dasar di
Puskesmas. DEPKES RI. Jakarta. 2007. Hal: 208-10.
4. “Penyakit Kusta.” http://ebookbrowsee.net/chapter-ii-pdf-d90320567 (akses tanggal 26
April 2014), Universitas Sumatera.
5. Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-4. Jakarta: Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.
6. Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNPAD/RSHS. Standar Pelayanan Medik
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Bandung: Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK UNPAD/RS dr. Hasan Sadikin. 2005.
43