e newsletter edis iii desember 2013

12
1 Opini: Reproduksi Aktivis Antikorupsi Hal……………3 (Ilusi) Pemerintahan Terbuka Hal…………….5 Korupsi Birokrasi Hal…………….6 Berita Kegiatan: Parlemen Indonesia Gagal Awasi Korupsi di Sektor Pertahanan Hal………………7 No Impunity Workshop Hal……………….8 Climate Finance Integrity Hal………………8 Menera Kemajuan Implementasi PLN Bersih di 13 Unit Hal………….9 Website Pengaduan Masyarakat Resmi Diluncurkan Hal………….10 Monitoring Pelaksanaan Inpres No. 1 Th 2013 di Kota Banjarmasin dan Medan Hal…………….11 Launching Pemantauan REDD+ di Sulteng Hal………….12 TRANSPARANSI E-newsletter Transparency International Indonesia Edisi III Vol VIII Desember 2013 Daftar Isi Foto Dok. MSH 2013

Upload: en-vhajrine

Post on 11-Mar-2016

222 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: E newsletter edis iii desember 2013

E-newsletter Edisi III Vol VIII Desember 2013

1

Opini: Reproduksi Aktivis Antikorupsi Hal……………3 (Ilusi) Pemerintahan Terbuka Hal…………….5 Korupsi Birokrasi Hal…………….6 Berita Kegiatan: Parlemen Indonesia Gagal Awasi Korupsi di Sektor Pertahanan Hal………………7 No Impunity Workshop Hal……………….8 Climate Finance Integrity Hal………………8 Menera Kemajuan Implementasi PLN Bersih di 13 Unit Hal………….9 Website Pengaduan Masyarakat Resmi Diluncurkan Hal………….10 Monitoring Pelaksanaan Inpres No. 1 Th 2013 di Kota Banjarmasin dan Medan Hal…………….11 Launching Pemantauan REDD+ di Sulteng Hal………….12

TRANSPARANSI E-newsletter Transparency International Indonesia Edisi III Vol VIII Desember 2013

Daftar Isi

Foto Dok. MSH 2013

Page 2: E newsletter edis iii desember 2013

E-newsletter Edisi III Vol VIII Desember 2013

2

Transparency International Indonesia (TI-I) didirikan di Jakarta pada tanggal 18 September 2000 oleh sejumlah aktivis anti korupsi dan profesional berkomitmen untuk penciptaan pemerintahan yang transparan dan akuntabel di Indonesia. TI-I mulai sebagai Chapter Transparency International yang berbasis di Berlin, namun akhirnya diakuisisi Status Hukum Indonesia dari Asosiasi terdaftar di bawah Akta Notaris No 3, (18-10-2000) ditandatangani oleh Notaris Ayu Resmiyati, SH dan baru Akta Notaris Nomor 43, ditandatangani oleh Notaris SP. Henny Singgih. TI Indonesia dikenal untuk jaringan yang kuat dengan para pemangku kepentingan pembangunan berbagai tingkat nasional dan bekerja dengan lebih dari 99 Chapter lain di seluruh dunia. TI-I adalah unik di antara LSM Indonesia lainnya di Indonesia karena menggabungkan think thank dan organisasi gerakan sosial. Sebagai wadah pemikir, TI-I melakukan review kebijakan dan kebijakan atau legal drafting, mempromosikan reformasi kebijakan dalam lembaga penegak hukum dan pemerintah. Salah satu prestasi TI-I terbesar adalah untuk mengoperasionalkan anti-korupsi pendekatan dan alat dalam bidang berbagai kebijakan seperti pengadaan, transparansi dalam anggaran publik dan penganggaran partisipatif. Sejak tahun 2004, TI Indonesia menerbitkan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia, berdasarkan metodologi TI dari survei Indeks Persepsi Korupsi Internasional. CPI Indonesia kini telah menjadi salah satu indikator pemerintahan yang paling penting yang digunakan oleh para pembuat kebijakan dan sektor swasta di Indonesia untuk menginformasikan kebijakan mereka. Indeks ini juga berguna untuk kelompok aksi warga dan media untuk mengukur kemajuan upaya anti-korupsi di Indonesia. Untuk lebih memperluas gerakan anti-korupsi untuk tingkat sub-nasional, TI-I juga telah dilakukan dan menerbitkan Barometer Anti-Korupsi Provinsi, yang pertama kali dilakukan dan dipublikasikan di Provinsi Aceh Sebagai organisasi gerakan sosial, TI-I aktif dalam kampanye publik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya memerangi korupsi di Indonesia. Untuk mencapai hal ini, TI-I telah mengembangkan sejumlah alat untuk mempromosikan 'pemantauan kebijakan publik seperti kerangka audit sosial dan penciptaan forum warga di kota-kota di seluruh Indonesia. TI-juga menjadi rumah kampanye yang kuat untuk gerakan anti korupsi sejak diperkenalkannya kampanye kreatif menggunakan Film, Animasi, Mural, Komunitas Teater dan ICT untuk meningkatkan pesan anti korupsi dan melibatkan orang-orang ke dalam gerakan. Staf TI-I, Board dan anggota berasal dari berbagai latar belakang mulai dari ekonom, pengacara, pakar komunikasi, ilmuwan politik dan antropolog, mencerminkan suatu pendekatan terpadu terhadap anti-korupsi. Board TI-I merupakan tokoh masyarakat senior dengan berbagai latar belakang profesional mulai dari akademisi, akuntan, pengacara dan LSM. Salah satu anggota dewan TI-I, Erry Riyana Harjapamekas menjabat sebagai Wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari 2003 - 2007.

Para pembaca setia e-newsletter Transparansi,

Di penghujung tahun 2013 ini, Transparansi kembali hadir untuk menyapa anda pembaca setia. Dalam edisi Desember 2013 ini, Transparansi menurunkan beberapa artikel dari pegiat Transparency International Indonesia yang menghiasi di beberapa media massa nasional. Kali ini e-newsletter menurunkan tiga buah opini tentang antikorupsi.

Opini yang pertama datang dari Deputi Transparency International Indonesia, Dedi Haryadi yang bertutur tentang pentingnya reproduksi aktifis antikorupsi untuk membendung kekuatan koruptor yang sangat cepat dan ganas. Berikutnya opini ditulis oleh Ilham B. Saenong tentang Pemerintahan Terbuka. Dimana dalam tulisannya, Ilham berpendapat bahwa peran penting partisipasi publik untuk ikut mengawasi agenda Pemerintah Terbuka yang sudah diterapkan oleh Indonesia. Opini terakhir disajikan oleh Reza Syawawi dengan tema korupsi birokrasi. Menurut Reza, salah satu penyebab korupsi adalah birokrasi yang tidak efektif dan efisien.

Selain opini dari pegiat Transparency International Indonesia, e-Newsletter Transparansi edisi kali ini juga mengabarkan seputar kegiatan yang dihadiri dan dilaksanakan oleh Transparency International Indonesia, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Peluncuran indeks pengawasan parlemen terhadap sektor pertahanan menjadi salah satu berita yang diturunkan sebagai sebuah liputan dalam edisi kali ini. Dalam rilisnya, Transparency International Indonesia menyatakan bahwa dua pertiga parlemen di 82 negara-negara di dunia dinilai gagal melakukan pengawasan terhadap sektor pertahanan. Parlemen Indonesia menempati posisi berisiko tinggi, gagal melakukan pengawasan dan cenderung membiarkan sektor pertahanan memiliki risiko korupsi yang tinggi.

Edisi kali ini juga menurunkan berita tentang Transparency International Indonesia yang mendampingi program PLN Bersih di 13 unit PLN di Indonesia. Dalam kajiannya, Transparency International Indonesia menilai 13 unit pilot project mengimplementasikan PLN Bersih secara baik. Penilaian ini dilakukan agar program PLN Bersih mampu memenuhi mandatnya untuk menciptakan bisnis ketenagalistrikan yang bebas dari praktik korupsi, sehingga pelayanan publik lebih optimal.

Dari daerah, Transparansi kali ini menurunkan berita tentang peluncuran website pengaduan masyarakat di Makassar dan Banjarbaru. Website ini bertujuan untuk mengajak masyarakat berpartisipasi dalam melakukan pengawasan pengadaan barang dan jasa. Website tersebut dapat diakses di www.pantaupbj.or.id. Transparency International Indonesia juga mendapatkan kesempatan melakukan pendampingan pelaksanaan Inpres No.1 Tahun 2013 bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pendampingan dilakukan di Banjarmasin, Banjarbaru dan Medan.

Dari Sulawesi Tengah, Transparency International Indonesia meluncurkan program Pemantauan REDD+ di Palu. Implementasi REDD+ di Indonesia khususnya di Sulawesi Tengah ditandai dengan ditetapkannya Pergub No.36/2012. Selain kegiatan di dalam negeri, Transparency International Indonesia juga turut serta menghadiri kegiatan di luar negeri. Kegiatan tersebut antara lain workshop “No Impunity” di Rumania dan workshop Promoting Transparency and Accountability In Climate Finance Governance di Thailand. Demikianlah gambaran sekilas tentang e-Newsletter Transparansi edisi Desember ini dari kami. Semoga bermanfaat dan selamat membaca. Salam Transparansi

Salam Redaksi

Page 3: E newsletter edis iii desember 2013

E-newsletter Edisi III Vol VIII Desember 2013

3

Opini

Reproduksi Aktivis Antikorupsi Oleh Dedi Haryadi

Reproduksi alamiah

Mengapa sampai terjadi defisit aktivis ? Pertama, jalur, jenjang dan propek karir aktivis anti korupsi dan LSM pada umumnya kurang jelas. “Profesi” ini belum cukup dikenal apalagi mapan. Sehingga belum jadi pilihan cita-cita anak-anak dan orang tua. Mudah bagi anak-anak dan orang tua membayangkan menjadi dokter, insinyur, pengacara, pilot, guru, bidan dan lain-lain. Demikian juga calon mertua lebih mudah mengenali profesi-profesi itu dari calon menantunya ketimbang profesi sebagai aktivis anti korupsi.

Risiko keamanan dan keselamatan kerja yang tinggi dalam advokasi anti korupsi tidak bisa disebut sebagai alasan tidak mau atau enggannya orang menjalani profesi ini. Sebab pekerjaan atau usaha apa sih yang tidak berisiko ? Buruh pabrik tekstil berisiko tergencet mesin. Petani berisiko gagal panen. Nelayan berisiko karam ditelan ombak. Pedagang kaki lima berisiko digusur Satpol Pamong Praja. Jurnalis berisko diculik dan dihina. Baru saja Prabowo misalnya, menghina wartawan dengan mengatakan jurnalis mudah disogok. Risiko keamanan dan keselamatan sebenarnya tergantung juga pada strategi dan pendekatan yang digunakan lembaga dalam mengembangkan advokasi anti korupsinya.

Ada lembagaI yang memilih pendekatan keterlibatan konstruktif (constructive engagement) dalam kerja-kerja advokasinya. Mereka bekerja lebih pada sisi pencegahan, bukan penindakan. Diantaranya dengan memberikan bantuan teknis pada institusi pemerintah, partai politik atau korporasi dalam mengembangkan program dan jaring pengaman anti korupsi (anti corruption safeguard).

Lembaga lain mungkin lebih menonjol pada sisi pemberantasan korupsi. Melakukan litigasi kasus korupsi, melaporkannya pada institusi penegak hukum, khsususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan mempublikasikannya pada khalayak melalui media. Menyebut nama dan mempermalukanya di depan public (naming and shaming) juga kerap dilakukan dalam advokasi anti korupsinya. Misalnya menyusun dan merilis nama politisi yang memusuhi gerakan anti korupsi dan KPK. Lebih jauh mereka juga mengajurkannya untuk tidak memilihnya dalam Pemilu legislatif bulan April 2014 mendatang.

Cukup berisiko memang. Itulah kenapa tempo hari, Tama Satrya Langkun, aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), dibacok orang. Tapi pembacokan ini mempunyai nilai politis yang tinggi, sampai-sampai Tama dilongok presiden SBY ketika menjalani perawatan di rumah sakit. Kalau diasuransikan, premi asuransi kematian aktivis dengan pendekatan seperti ini, pasti lebih mahal dibandingkan dengan aktivis anti korupsi lain yang pendekatannya lebih lembut (soft)

Beruntunglah lansekap sosial, politik dan kultural kita saat ini lebih demokratis dan terbuka sehingga resiko keamanan dan keselamatan dalam kerja-kerja ini sekarang lebih bisa dikelola. Dulu jaman Orba tekanan dan intimidasi itu datang dari negara (vertikal). Secara sembunyi-sembunyi atau terang- terangan negara menggunakan state repressive apparatus-nya, seperti polisi, tentara atau jaksa untuk membungkam kritik atau laporan penyimpangan.

……..bersambung ke hal 4

Saat ini gerakan anti korupsi mengalami defisit aktivis. Itulah mengapa muncul istilah tujuh el (7L): lu lagi, lu lagi and then lo lu lagi. Maksudnya dalam setiap pertemuan diskusi, seminar, pelatihan atau lokakarya, atau mengungkap dan melaporkan kasus korupsi, orangnya itu itu juga. Jumlah aktivis anti korupsi bisa dihitung dengan

jari. Mereka ada di kota-kota besar. Tapi seperti volume uang beredar, mereka juga terkonsentrasi di Jakarta. Makin jauh dari Jakarta, makin sulit menemukan mereka. Aktivis anti korupsi di daerah yang sukses biasanya juga ingin hijrah ke Jakarta. Diserap oleh lembaga dana atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) anti korupsi yang lebih besar.

Reproduksi koruptor dan pendalaman korupsi

Kelangkaan aktvis anti korupsi jelas sebuah paradoks. Karena, pertama, reproduksi koruptor berjalan mulus dan sangat cepat. Lihatlah profil mereka yang dicokok KPK dan Kejaksaan Agung akhir-akhir ini. Mereka mewakili generasi baru dalam kancah kejahatan korupsi baik yang sudah terbukti bersalah maupun masih tersangka. Ada Muhammad Nazaruddin, Angelina Sondakh, Wa Ode Nurhayati, Gayus Tambunan, Dhana Widyatmika, Andi Malarangeng, Anas Urbaningrum, dan lain-lain.

Kedua, kejahatan korupsi mengalami pendalaman. Ini anomali. Di tempat yang lain, transisi demokrasi itu, melanjut ke tahap penguatan dan pendalaman demokrasi. Di sini yang menguat dan mendalam itu korupsinya. Indikasi pendalamam korupsi cukup jelas. Bidang, jabatan atau profesi yang dulu dianggap “bersih” sekarang terkontaminasi juga. Dari segi pelaku jumlah koruptor mencapai ribuan. Bayangkan hampir setengah jumlah kepala daerah (gubernur dan bupati/walikota) dan ribuan anggota DPR/DPRD terlibat korupsi. Sengketa pilkada dan pengadaan kitab suci sekarang jadi ajang korupsi. Perguruan tinggi, dosen dan bahkan guru besarnya juga terlibat korupsi.

Ada ironinya juga di sini. Disatu sisi ada pendalaman tapi juga ada pendangkalan. Dari segi modus korupsi terjadi pendangkalan luar biasa. Saya tidak habis pikir bagaimana mungkin orang sekelas Ketua Mahkamah Kontitusi, atau Ketua Satuan Kerja Khusus (SKK) Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi terlibat dalam urusan teknis penyuapan. Kalau korupsinya mau rapi dan berkelas, semestinya untuk urusan teknis mereka menuntut tahu beres.

Page 4: E newsletter edis iii desember 2013

E-newsletter Edisi III Vol VIII Desember 2013

4

Sekarang tekanan dan intimidasi itu, kalaupun ada, biasanya datang dari samping (horisontal), seperti dari preman atau ormas kepemudaan yang disewa oleh orang yang kepentingan atau kredibilitasnya terganggu dengan laporan aktivis anti korupsi.

Kedua, tidak ada proses repropduksi (regenerasi) aktivist anti korupsi yang jelas dan terencana. Di dunia LSM lahirnya aktivis anti korupsi lebih karena proses alamiah (by nature) dan kebetulan (by chance). Itu pun tidak banyak; satu, dua, atau tiga orang saja dalam satu periode tak tentu. Bisa setahun, atau lebih. Hal ini jelas berbeda dengan institusi militer, kepolisian, kejaksaan, kehakiman atau partai politik. Mereka mempunyai proses reproduksi yang jelas dan ajeg untuk menghasilkan tentara baru, polisi baru, jaksa baru, hakim baru, politisi baru. Sekali mereproduksi bisa puluhan bahkan ratusan orang. Kewenangan yang dimiliki dan penguasaan sumberdaya yang jelas memungkinkan mereke mempunyai proses reproduksi personalia yang jelas dan ajeg.

Jihadis anti korupsi

Kita harus segera hijrah dari reproduksi alamiah ke reproduksi yang disengaja dan terencana dalam memasok aktivis anti korupsi. ICW bukan hanya sadar akan kegawatan masalahnya tapi juga sudah mengambil langkah nyata dengan mengembangkan sekolah anti korupsi (Sakti). Inisiatif seperti ini harus disambut, diperkuat dan direplikasi.

Penguatan perlu dilakukan dengan pelembagaan teologi anti korupsi yang bukan hanya bisa menjadikan arena advokasi anti korupsi sebagai arena jihad, tetapi juga mentransformasikan aktivis anti korupsi sebagai jihadis (mujahid) anti korupsi. Meskipun istilah jihad sangat kuat berasosiasi dengan Islam, akan tetapi seharusnya ia bisa dikemas menjadi lintas agama dan keyakinan. Mantap kan kalau Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu dan lain-lain bisa memasok jihadis anti korupsinya.

Bagi jihadis anti korupsi nilai dasar dan motivasi keterlibatannya dalam gerakan anti korupsi bukan lagi soal memperbaiki tata kelola sumberdaya, atau tata kelola pemerintahan an sich tetapi ini adalah pergulatan dan perjuangan memengkan yang haq atas kebatilan. Prospeknya jelas: menang atau mati syahid.

Diharapkan pelembagaan teologi anti korupsi ini akan menarik pemuda dan orang tua untuk menjadi jihadis anti korupsi. Mereka akan memobilisasi dan mencurahkan sumberdayanya sendiri untuk menjadi jihadis anti korupsi. Sumberdaya, nyali, militansi sebagian orang yang selama ini dipakai untuk merazia secara illegal warung yang menjual minuman keras, lokalisasi pelacuran dan perjudian, dan lain lain seharusnya bisa direalokasikan untuk kepentingan jihad anti korupsi. Energi dan pemikiran terbaik mereka (jika ada) barangkali akan lebih berguna untuk memproduksi pusat-pusat pendidikan dan pelatihan jihadis anti korupsi. Dengan cara itu reproduksi aktivis anti korupsi bisa lebih terjamin. Stok anktivis anti korupsi bisa dipenuhi.

Dedi Haryadi, Deputy Sekjen Transparency International Indonesia

Tulisan ini disalin dari Harian Kompas, 11 November 2013

Link: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002926441

Opini,…..sambungan dari halaman 3

Foto Dok. TI Indonesia Seorang pengendara sepeda motor sedang melihat mural bertemakan antikorupsi

Page 5: E newsletter edis iii desember 2013

E-newsletter Edisi III Vol VIII Desember 2013

5

Di Meksiko dan Inggris, misalnya, perumusan rencana aksi pertama berlangsung kejar target sehingga gagal menyerap proposal masyarakat sipil. Baru pada rencana aksi kedua, kedua negara mulai membuka ruang konsultasi yang memadai. Pemerintah juga masih berbicara melalui medium dan kanal yang menurut mereka relevan, seperti jajak pendapat, lokakarya, dan semacamnya. Pemerintah Ukraina menyelenggarakan diskusi terbatas kepada ornop yang sering jadi mitranya. Di Indonesia, meski pemerintah sudah mengupayakan 31 kali diskusi grup fokus di sejumlah provinsi, beberapa kompetisi gagasan/aksi terasa masih formalistik dan hanya menjangkau elemen masyarakat tertentu.

Sebaliknya, masyarakat sipil cenderung belum memanfaatkan ruang partisipasi secara optimal. Kelompok yang sudah lama bergerak dalam isu hak sipil, antiko- rupsi, dan pembangunan masih curiga terhadap agenda di balik OGP. Ada tensi antara tetap menjadi watchdog dan terlibat aktif dalam proses yang berjalan.

Di Moldova, pemahaman terhadap OGP yang rendah membuat masyarakat sipil hanya menjadi stempel bagi agenda yang disodorkan pemerintah. Di Ghana, meski OGP dirasa sangat penting, partisipasi masyarakat sipil masih rendah dalam beberapa konsultasi.

Strategi keterbukaan OGP menjadikan masyarakat sipil tujuan akhir dan pemangku kepentingan utama. Perumusan isu prioritas OGP harus lebih serius dan terlembaga. Setidaknya tiga strategi yang dapat digunakan menjamin OGP.

Pertama, menyelenggarakan konsultasi publik yang luas dan berkala. OGP dapat menyelenggarakan people summit (nasional) dan people forum (regional). Perhelatan ini mengidentifikasi agenda masyarakat sipil hingga merumuskan shadow action plan untuk rencana aksi berikutnya. People summit/forum diperlukan karena persoalan sektoral dan regional di Indonesia beragam.

Kedua, mengembangkan infrastruktur demokrasi berbasis teknologi komunikasi dan informatika untuk menjaring harapan dan gagasan warga secara cepat dan murah. Tak ada alasan mengabaikan infrastruktur ini bagi daerah tertinggal karena sudah menjadi bagian dari instrumen partisipasi dan kontrol.

Ketiga, merevitalisasi musyawarah perencanaan pembangunan. OGP tinggal memastikan bahwa usul dan umpan balik warga tidak terpotong agenda birokrat dan politikus. OGP dapat mulai dengan mengawal suara rakyat minimal di tingkat kabupaten/kota, tahap yang biasanya aspirasi warga dibuang.

Pada akhirnya momentum OGP harus dilihat sebagai investasi menuju demokrasi partisipatoris. Kita tidak ingin OGP berakhir seperti banyak inisiatif global lain yang bersifat elitis dan tak berarti bagi rakyat. Keterbukaan tidak cukup hanya dengan komitmen, tetapi juga strategi dan cara yang benar. Tanpa itu, pemerintahan terbuka akan tetap jadi ilusi.

Ilham B Saenong, Direktur Program Transparency International Indonesia

Tulisan ini disalin dari Harian Kompas, 13 November 2013

Link: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003041000

SEBUAH lelucon sering dilontarkan tentang pemerintahan terbuka. Dua kata ini, pemerintah dan terbuka, tidak bisa disandingkan. Pemerintah lazim bekerja dengan logikanya sendiri: dalam ranah yang tertutup dan tidak ingin dikontrol. Sementara itu, warga menuntut keterbukaan, keterlibatan politik, dan integritas

pemerintah dalam menghadirkan pelayanan publik yang berkualitas dan bebas dari korupsi. Nyatanya Open Government Partnership (OGP) yang baru saja melangsungkan pertemuan tahunan, 30 Oktober-1 November 2013, di London, kini menjadi inisiatif yang berkembang pesat. Dari hanya delapan negara pendiri pada September 2011, kini 61 negara bergabung mendorong pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan partisipatoris.

Pertanyaannya, bagaimana OGP dapat mendorong pemerintah yang terbuka?

Kemitraan setara OGP merupakan sebuah kerangka kerja tata pemerintahan yang unik karena sejak awal menegaskan pentingnya kemitraan antara pemerintah dan masyarakat sipil. Pengambilan keputusan dan kontrol program-program pemerintah harus dilakukan secara partisipatoris sehingga komitmen atas keterbukaan mereka bukan sekadar jargon.

Di tingkat global, kemitraan sejajar ditunjukkan dengan adanya wakil masyarakat sipil sebagai satu dari dua co-chair OGP. Wakil masyarakat sipil juga duduk dalam panitia acara memandu arah dan pengembangan OGP.

Di tingkat nasional dibentuk tim-tim kerja sama antara pemerintah dan organisasi masyarakat sipil. Setiap negara anggota juga wajib menjalani mekanisme peninjauan independen (umumnya oleh unsur masyarakat sipil) untuk mengukur implementasi komitmen negara dalam kurun waktu yang ditetapkan. Realitasnya, kendala waktu dan cara bekerja yang konvensional membuat hubungan kemitraan tidak selalu mencerminkan semangat kesetaraan. Kolaborasi pemerintah dengan masyarakat sipil masih berlangsung terbatas, khususnya dalam menjalankan komitmen negara anggota.

(Ilusi) Pemerintahan Terbuka Oleh Ilham B. Saenong

Opini

Page 6: E newsletter edis iii desember 2013

E-newsletter Edisi III Vol VIII Desember 2013

6

Korupsi Birokrasi Oleh Reza Syawawi

Opini

Jika belajar dari kasus Gayus, ada satu hal yang luput dari penegakan hukum, yaitu memidanakan pemberi suap. Ada dua pelaku pemberi suap, pertama adalah individu pemberi suap dan kedua adalah korporasi yang berada di belakang individu tersebut. Dalam kasus Gayus, ada ratusan perusahaan yang diduga terlibat dalam kasus mafia pajak, tetapi tidak satu pun dari perusahaan tersebut yang diseret ke pengadilan. Padahal berdasarkan undang-undang, subjek hukum tindak pidana korupsi tidak hanya individu, tetapi korporasi juga dapat dikenai pidana. Karena itu, penegak hukum seyogianya tidak melokalisasi pelaku suap-menyuap dalam konteks individu, tetapi juga memidanakan korporasi sebagai bagian dari subjek hukum. Dalam ketentuan Pasal 1 angka (3) UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa subjek hukum terdiri atas perseorangan dan korporasi. Dalam Pasal 20 ayat (1) juga ditegaskan, “Dalam hal tindak pidana korupsi oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya“. Namun, tentu saja penjatuhan pidana terhadap korporasi hanya dapat berbentuk pidana denda, bukan pidana badan (penjara). Pidana denda ini juga dimungkinkan untuk adanya pemberatan maksimum sepertiga dari pidana denda yang dapat dijatuhkan. Pencucian uang Dalam kasus HS, dugaan pencucian uang juga dituduhkan kepada yang bersangkutan atas penempatan uang yang diduga uang suap ke dalam bentuk polis asuransi. Metode pencucian uang semacam ini bisa dikategorikan baru memasuki tahap awal, yaitu layering atau penempatan. Pada tahap ini terjadi pengalihan sejumlah mata uang menjadi bentuk lain (polis asuransi) sehingga ada dugaan untuk menyamarkan sumber uang. Jika melihat data yang disajikan PPATK, ada sekitar 16 pejabat di lingkungan DJBC yang memiliki transaksi mencurigakan. HS hanyalah 1 dari 16 pejabat tersebut, padahal PPATK telah melaporkan transaksi mencurigakan tersebut kepada polisi sejak 2011 yang lalu. Lambannya penegak hukum dalam menindaklanjuti setiap laporan PPATK telah berkontribusi atas maraknya kasus pencucian uang yang melibatkan birokrasi. Tesis sederhananya adalah ketika penegakan hukum tumpul dan lamban, seketika kejahatan akan semakin merajalela. Maka dalam konteks ini, peran semua lembaga perlu dimaksimalkan dalam rangka pemberantasan pencucian uang. Menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyebutkan ada 6 lembaga yang berwenang melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara RI, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan RI (penjelasan Pasal 74). Dalam konteks ini, DJBC sebagai salah satu penyidik sudah sepatutnya melakukan koreksi dan penegakkan hukum terhadap para pegawai/pejabat di lingkungannya. Setidaknya di internal DJBC atau bahkan Kementerian Keuangan menelusuri para pegawainya yang menurut PPATK telah melakukan aktivitas keuangan yang mencurigakan. DJBC tidak perlu dan selalu menunggu pihak lain untuk menangkap para pegawainya. Instrumen pengawasan di internal harusnya juga bekerja secara simultan. Ada banyak mekanisme yang bisa diterapkan, misalnya dengan menggunakan LHKPN (laporan harta kekayaan penyelenggara negara) sebagai basis data pembanding. DJBC sebetulnya telah memulai langkah ini dengan mewajibkan hampir 40% pegawainya untuk menyerahkan LHKPN kepada KPK. Dengan verifikasi yang ketat, penangkapan terhadap HS sebetulnya bisa diminimalkan. Verifikasi tersebut dibutuhkan untuk menilai apakah transaksi yang dilakukan sesuai dengan profil seseorang atau tidak. Jika tidak, di situlah fungsi penegakan hukum berjalan. Apalagi transaksi tersebut berhubungan dengan tindak pidana yang lain. Semoga kasus HS menjadi pembelajaran bagi birokrat lain yang mencari keuntungan pribadi dengan cara yang melanggar hukum. Semoga! ! Reza Syawawi, Peneliti Hukum dan Kebijakan TI Indonesia Artikel ini disalin dari Media Indonesia, edisi 06 November 2013

“DALAM perkara uang, semua orang mempunyai agama yang sama.“ (Voltaire) UNGKAPAN filsuf tersebut kiranya menyiratkan betapa korupsi tak lagi mengenal batas, mulai politisi, pegawai negeri (birokrasi), hakim, advokat, jaksa, polisi, hingga pengusaha yang berkelindan dalam kubangan busuk bernama korupsi. Belakangan ada lagi pegawai negeri yang ditangkap karena diduga

menerima suap dari pengusaha, yakni Heru Sulastiyono (HS), Kasubdit Ekspor-Impor Bea Cukai Tipe A Tanjung Priok, Jakarta Utara. Ia diduga menerima suap yang disamarkan dalam bentuk polis asuransi senilai Rp11, 4 miliar. Suap itu diberikan atas jasanya memberikan konsultasi bagi penghindaran pajak perusahaan. Di samping itu, dalam laporan PPATK ditemukan juga transaksi mencurigakan (suspicious transaction) dalam rekeningnya hingga Rp60 miliar (Editorial MI, 31/10). Mungkin masih berbekas di memori publik tentang Bahasyim Assifie, bekas pejabat di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Gayus Tambunan, bekas pegawai DJP golongan III A, dan Dhana Widyatmika, bekas pegawai Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta. Ketiganya menjadi contoh paling kongkret tentang birokrat yang dijerat atas tuduhan pidana pencucian uang (money laundering) dan tindak pidana korupsi. Kasus HS menjadi pelajaran berikutnya bagi para birokrat yang menumpuk dana haram dari aktivitas mereka sebagai pegawai negeri. Jika diselisik lebih dalam, keempat pegawai negeri itu berasal dari satu institusi yang sama, yaitu Kementerian Keuangan. Suap-menyuap Kementerian Keuangan menjadi salah satu lembaga yang menjadi percontohan bagi pelaksanaan reformasi birokrasi di jajaran pemerintahan. Dua direktorat, yaitu DJP dan Ditjen Bea dan Cukai (DJBC), yang bernaung di bawah kementerian itu menjadi pelopornya. Tonggak reformasi birokrasi yang dimulai sejak 2006 seketika rontok akibat perilaku korup para pegawainya. Jika diperbandingkan, nilai korupsi dan pencucian uang dari kasus itu menyaingi atau bahkan melebihi kasus-kasus korupsi yang dilakukan para politikus. Korupsi oleh birokrasi sebetulnya merupakan jenis korupsi yang sangat tradisional, misalnya, dalam hal pelayanan publik di kantor pemerintahan yang terendah (desa/kelurahan). Hampir tak bisa dimungkiri, pungutan tidak sah sering kali mewarnai dalam setiap aktivitas pelayanan publik. Motifnya bisa dalam bentuk apa pun, bahkan ada yang menyebutnya sebagai sebuah kebiasaan. Jika dibandingkan dengan dugaan tindak pidana korupsi dan pencucian uang oleh Heru, sebetulnya perbedaannya hanyalah dalam hal nominal uang yang digunakan sebagai suap. Namun, tentu saja dampaknya menjadi berbeda jika suap dengan nominal kecil tidak sampai menimbulkan atau setidaknya potensi kerugian bagi negara. Akan tetapi, dengan nominal suap yang begitu besar dampaknya sangat mungkin menimbulkan kerugian negara. Dalam kasus Heru, hilangnya pendapatan pajak bagi negara tentu menjadi bentuk kerugian yang besar dan nyata bagi negara.

Page 7: E newsletter edis iii desember 2013

E-newsletter Edisi III Vol VIII Desember 2013

7

Berita Kegiatan

JAKARTA - Dua pertiga parlemen di 82 negara-negara di dunia dinilai gagal melakukan pengawasan terhadap sektor pertahanan. Parlemen Indonesia menempati posisi berisiko tinggi, gagal melakukan pengawasan dan cenderung membiarkan sektor pertahanan memiliki risiko korupsi yang tinggi. Demikian hasil kajian Transparency International Inggris yang dipublikasikan bersama Transparency International Indonesia, Senin (16/9) di Hotel Atlet Century Park, Senayan, Jakarta. Hasil kajian dipublikasikan dalam bentuk indeks pengawasan parlemen terhadap sektor pertahanan dengan judul ‘Watchdogs?: The Quality of Legislative Oversight of Defense in 82 Countries’. “Posisi Indonesia mengecewakan. Sektor pertahanan merupakan sektor strategis yang harus diawasi. Lemahnya pengawasan terhadap sektor pertahanan negara sering mengakibatkan memburuknya kondisi alutsista, hilangnya aset-aset militer,

maraknya korupsi dan banyaknya dana-dana yang tidak terawasi,” tanggap Dadang Trisasongko, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia.

Korupsi di sektor pertahanan sendiri bukanlah barang baru. Setiap tahun, diperkirakan minimal 20 milyar dollar AS anggaran militer global dikorupsi. Potensi korupsi di sektor ini semakin meningkat mengingat 82 negara yang disurvei berporsi 94 persen dari total anggaran militer global sebesar 1,6 trilyun dollar AS. “Korupsi di sektor pertahanan sangat berbahaya bagi operasionalisasi pertahanan, merusak kepercayaan, dan menghamburkan uang negara,” jelas Oliver Cover, peneliti pertahanan dan perwakilan Transparency International Inggris. Dalam penjelasannya, Oliver memaparkan bahwa posisi parlemen Indonesia berada pada level 33,3-49,9% dari skala 0-100% (kritis ke paling tidak berisiko tidak melakukan pengawasan). Pembagian level risiko: 0-16,6% (kritis), 16,7-33,2% (paling berisiko), 33,3-49,9% (berisiko), 50,0-66,6% (moderat), 66,7-83,2% (tidak berisiko), dan 83,3-100% (paling tidak berisiko). Kemudian, level-level tersebut diklasifikasikan ke dalam dua informasi: level 0-49,9% (parlemen gagal melakukan pengawasan sehingga korupsi terjadi di sektor pertahanan), dan 50-100% (parlemen memiliki pengawasan yang cukup sehingga korupsi di sektor pertahanan dapat diminimalisir). Untuk mencapai level berisiko, survei mengakumulasikan keseluruhan nilai yang didapat parlemen Indonesia pada tujuh indikator. Pertama, adanya pengawasan untuk penganggaran rahasia sektor pertahanan, (2) adanya pengawasan dan debat dalam penganggaran sektor pertahanan, (3) adanya transparansi dalam penganggaran sektor pertahanan, (4) adanya pengawasan terhadap pengadaan barang dan jasa sektor pertahanan, (5) adanya pengawasan dan debat terhadap pembuatan kebijakan sektor pertahanan, (6) adanya pengawasan terhadap badan intelijen, dan terakhir, adanya adanya audit eksternal bagi parlemen untuk mengawasi sektor pertahanan. Seperti dipaparkan Oliver, secara umum kecenderungan pengawasan parlemen terhadap sektor pertahanan yang terjadi di Indonesia mengikuti kecenderungan global. “Namun perlu diperhatikan bahwa lemahnya pengawasan parlemen Indonesia terhadap kebijakan eksploitasi sumber daya alam di kehutanan dan pertambangan yang dilakukan sektor pertahanan melalui yayasan, terhadap penentuan item-item rahasia, dan terhadap pemilihan informasi mana saja yang berguna untuk melindungi keamanan nasional dan intelijen; memperburuk level akhir yang diperoleh Indonesia”, terang Oliver. Oleh karenanya, sebagai tindak lanjut hasil temuan, riset merekomendasikan agar para pemangku kepentingan duduk bersama memperkuat pengawasan. Parlemen, eksekutif, lembaga audit, masyarakat sipil dan media harus bekerjasama memperkuat pengawasan, terutama di indikator-indikator yang dikritisi. Bentuk-bentuk kerjasama ini bermacam-macam. Para pemangku kepentingan dapat bertemu dalam beragam forum dari forum perencanaan, forum legislasi, sampai forum pemeriksaan audit. Selain itu, Pemilu 2014 perlu menjadi tonggak penting menghasilkan parlemen yang lebih memiliki komitmen untuk membangun sektor pertahanan sesuai dengan tuntutan demokrasi dan pemerintahan yang bersih. Masyarakat perlu lebih cerdas lagi untuk memilih wakil-wakil mereka kelak di parlemen.

Parlemen Indonesia Gagal Awasi Korupsi di Sektor Pertahanan

Foto Dok. TI Indonesia

Dari kiri ke kanan Direktur Program TI Indonesia Ilham B. Saenong, Pengamat Militer Letjend (Purn) Agus Widjojo, Project lead Government Defence Anti-Corruption Index TI UK Oliver Cover, Dosen Universitas Indonesia Edi Prasetyo, Perwakilan dari Kemenhan M. Syafii, dan Direktur Imparsial Al Araf.

Page 8: E newsletter edis iii desember 2013

E-newsletter Edisi III Vol VIII Desember 2013

8

Bucharest, Oktober 2013., Transparency International Indonesia mendapat kesempatan untuk menghadiri acara “No Impunity Workshop” yang diadakan di Bucharest, Rumania, 8-9 Oktober 2013. Acara yang merupakan rangkaian pertemuan untuk merumuskan No Impunity on Corruption ini bertujuan untuk tidak lagi memberikan ruang pada pelaku korupsi.

Acara tersebut merupakan pertemuan jaringan Transparency International di seluruh dunia. Hadir dalam workshop ini dari beberapa negara di Eropa, Amerika Latin, Asia Timur, Asia Tenggara dan Afrika. Sementara dari Transparency International Indonesia diwakili oleh Ratna Dasahasta selaku Project Officer dan sekaligus Pemred dari Korupedia.

Acara dibagi menjadi 2 agenda. Pertama, membangun scorecard methodology dengan mencari gap yang terjadi di masing-masing negara dalam hal proses peradilan. Kemudian yang kedua adalah membangun online platform untuk kampanye ini. Proses membangun online platform ini baru sebatas melihat platform yang dikembangkan di Transparency International Indonesia dan Transparency International Lithuania.

Dalam pertemuan ini terjadi pertukaran informasi antara negara-negara dengan yang menganut common law dan civil law system. Dan tentu kampanye melalui online platform seperti yang dipresentasikan oleh Transparency International Lithuania mengenai mapping pengusaha atau tokoh politik yang berafiliasi dengan perusahaan media tertentu.

Selesai acara itu diharapkan timbul inisiatif-inisiatif baru dari para peserta untuk aktif dalam program No Impunity on corruption. Transparency International Indonesia sendiri akan berusaha mengembangkan strategi kampanye baru yang mengusung tema “No Impunity on Corruption” sebagai bentuk dukungan dan kampanye di tingkat nasional. Isu yang akan dikembangkan adalah kajian tentang celah dalam sistem hukum masing-masing negara yang mendukung IMPUNITY terhadap kajahatan korupsi. Dan bagaimana membawa isu ini kedalam kampanye lebih luas ke masyarakat melalui online platform yang akan dilakukan oleh TI’s. [RD/NF]

No Impunity Workshop

Bangkok, Agustus 2013., Transparency International Indonesia mendapat kehormatan diundang untuk menghadiri workshop Promoting Transparency and Accountability In Climate Finance Governance yang diadakan di Hotel Swissotel Nai Lert Park, Bangkok pada tanggal 26 – 29 Agustus 2013 Acara yang bertujuan untuk saling berbagi tentang temuan penting mengenai tantangan dan peluang, serta bagaimana pendanaan iklim diatur secara global maupun nasional. Selain itu workshop membahas dan mengembangkan ide-ide dan solusi untuk memperbaiki kebijakan dan praktik pembiayaan iklim untuk memastikan transparansi lebih bermakna dan berarti, diperjuangkan untuk mewujudkan akuntabilitas nyata. Workshop ini juga memformulasikan seperangkat rekomendasi untuk lembaga pembiayaan iklim dan lebih luas lagi untuk masyarakat pada umumnya. Adapun peserta yang hadir dalam acara ini adalah anggota Transparency International dari berbagai Negara diantaranya Bangladesh, Pakistan, Malaysia, Vietnam, Indonesia, PNG, Phillipines, dan Kamboja. Selain dari anggota Transparency International, workshop ini juga dihadiri dari kalangan pemerintah dan juga para lembaga donor diantaranya CIFOR, KPK, UKP4, UNDP dan lain-lain. Dalam pertemuan tersebut dibahas status perkembangan REDD di Indonesia saat ini terutama yang berkaitan dengan institusi REDD, FREDDI dan lembaga MRV. Selain itu juga mengidentifikasi sumber-sumber dana iklim dan jumlah yang diprediksi telah masuk ke Indonesia. Sementara dari Transparency International Indonesia bercerita mengenai pengalamannya dalam melakukan penilaian tentang resiko korupsi dalam REDD, peningkatan kapasitas dalam memantau REDD, pengorganisasi warga dan kampanye anti korupsi REDD+.[MM/NF]

Climate Finance Integrity

Berita Kegiatan

Gambar Ilustrasi

Acara Promoting Transparency and Accountability In Climate Finance Governance yang diadakan di Bangkok 26 – 29 Agustus 2013

Page 9: E newsletter edis iii desember 2013

E-newsletter Edisi III Vol VIII Desember 2013

9

Jakarta, Transparency International Indonesia dan PT. PLN (Persero) telah menandatangani perjanjian kerja sama untuk implementasi program Good Governance dan Anti Korupsi. Fokus kerja sama tersebut adalah mereformasi sistem pengadaan dan pelayanan publik. Berbagai capaian penting di tingkat nasional yang telah mulai menunjukkan hasil yang positif. Di bawah Program PLN Bersih beberapa inisiatif anti korupsi telah diterbitkan. Misalnya, PT. PLN (Persero) telah menerbitkan panduan untuk menerapkan pilar PLN Bersih di segala lini proses bisnisnya. Pilar PLN Bersih tersebut adalah Partisipasi (P), Integritas (I), Transparansi (T), dan Akuntabilitas (A).

Sebagai tahap awal penerapan Program PLN Bersih di seluruh lini bisnis PLN, program PLN Bersih di inisiasi di 13 (tiga belas) unit pilot project. Ketiga belas unit tersebut adalah Distribusi Jakarta Raya Tangerang, Lampung, Jawa Barat dan Banten, Jawa Tengah dan DIY, Jawa Timur, Bali, Wilayah Sumatera Utara, Wilayah Bangka Belitung, Pusat Pemeliharaan Ketenagalistrikan, Pusat Pendidikan dan Pelatihan, Jasa Sertifikasi, dan Unit Pembangkitan Jawa Bali. Sebagai bagian dari upaya menilai kemajuan perkembangan program PLN Bersih di 13 (tiga belas) unit pilot project, PLN-TII-Pihak Independen melakukan penilaian. Penilaian ini dilakukan guna melihat bukti pelaksanaan program PLN Bersih di lapangan disertai dengan identifikasi hambatan dan ruang perbaikan yang diperlukan bagi unit untuk semakin memantapkan Program PLN Bersih untuk menghilangkan praktik korupsi di PLN.

Hasil dari penilaian terhadap 13 (tiga belas) unit pilot project didapati bahwa implementasi PLN Bersih dinilai baik. Terdapat unit yang memiliki posisi relatif lebih tinggi dari unit lainnya. Hal ini dikarenakan unit tersebut telah lebih dulu mengimplementasikan inisiatif anti korupsi dalam PITA. Penilaian ini bermanfaat bagi PLN-TII untuk melakukan pemantauan terhadap tahapan pelaksanaan PLN Bersih di daerah. Hal ini dilakukan agar program PLN bersih mampu memenuhi mandatnya untuk menciptakan bisnis ketenagalistrikan yang bebas dari praktik korupsi, sehingga pelayanan publik lebih optimal. [WHY]

Menera Kemajuan Implementasi PLN Bersih di 13 Unit

Berita Kegiatan

“Assesment pilot project PLN Bersih ini untuk melihat progress atau untuk memotret pelopor PLN Bersih dan lingkungan sekitarnya termasuk manajemen unit terkait dan vendornya.”

Dadang Trisasongko, Sekretaris Jenderal TI Indonesia

Foto Dok. PLN

Tim examiner independen PLN Bersih yang terdiri dari Dadang Trisasongko (TII), Muhammad Yani (YLKI), didampingi anggota tim PLN Bersih dari PLN Pusat memverifikasi apakah PLN Pusdiklat, benar-benar telah mengimplementasikan inisiatif PLN Bersih.

Tentang PLN BERSIH Manajemen PT PLN (Persero) telah menegaskan komitmennya untuk menjalankan praktek penyelenggaraan korporasi yang bersih dan bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, sekaligus menegakkan Good Corporate Governance (GCG) dan anti korupsi dalam penyediaan tenaga listrik bagi masyarakat. Salah satu bentuk ketegasan komitmen untuk “ PLN Bersih “ dinyatakan melalui aksi korporasi yang nyata, yakni menjalin kerjasama dengan jaringan organisasi global anti korupsi Transparency International Indonesia (TII). Kerjasama ini, sudah berjalan sejak awal Maret lalu, ketika Dirut PLN Nur Pamudji dan Ketua Dewan Pengurus TII Natalia Subagio menandatangani nota kesepakatan kerjasama PLN – TII pada 6 Maret 2012 di Kantor PLN Pusat. Kerjasama ini bertujuan untuk lebih memastikan bahwa PLN, dalam menjalankan usahanya untuk menyediakan listrik bagi masyarakat luas, sungguh-sungguh menerapkan praktek GCG dan anti korupsi. Kerjasama yang dibangun meliputi reformasi dalam Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) serta reformasi di sisi pelayanan pelanggan. Transparency International Indonesia (TII) merupakan salah satu chapter Transparency International, sebuah jaringan global NGO antikorupsi yang mempromosikan transparansi dan akuntabilitas kepada lembaga-lembaga negara, partai politik, bisnis, dan masyarakat sipil. Bersama lebih dari 90 chapter lainnya, TII berjuang membangun dunia yang bersih dari praktik dan dampak korupsi di seluruh dunia. TII memadukan kerja think-tank dan gerakan sosial. Di samping itu, TII juga mengembangkan Pakta Integritas sebagai sistem pencegahan korupsi di birokrasi pemerintah. Fakta tentang TII ini, menguatkan keyakinan PLN bahwa menjalin kerjasama dengan PLN merupakan langkah yang sangat strategis untuk memperbaiki sistem di dalam tubuh PLN. Sebab membangun sistem memang tidak mudah. “Kami gembira direksi PLN memiliki komitmen yang sangat tinggi untuk membangun dan membentuk sistem yang sustainable yang sejalan dengan penerapan GCG dan prinsip anti korupsi. Hal ini menunjukkan keseriusan PLN dalam upaya pemberantasan korupsi. Dengan demikian, publik semakin mengetahui bila kondisi PLN semakin baik “, kata Natalia Subagio. Diharapkan dengan adanya kerjasama ini, baik PLN, pelanggan, vendor/mitra kerja maupun stake holder lainnya sama-sama dapat terhindar dari kegiatan-kegiatan yang berpotensi menimbulkan korupsi. Menciptakan PLN yang didasarkan pada tata kelola perusahaan yang baik dan benar, transparan dan anti korupsi. Ini semua demi “PLN Yang Bersih “ *) (Sumber: www. plnbersih.com)

Page 10: E newsletter edis iii desember 2013

E-newsletter Edisi III Vol VIII Desember 2013

10

Transparency International Indonesia secara resmi meluncurkan website pengaduan masyarakat di Kota Makassar dan Banjarbaru. Website yang bertujuan untuk mengajak masyarakat berpartisipasi dalam melakukan pengawasan pengadaan barang dan jasa ini diluncurkan di dua kota yaitu Makassar 11/09 dan Banjarbaru 18/09. Untuk dapat mengakes website tersebut bisa berselancar di www.pantaupbj.or.id. Di Makassar, acara diadakan di Ruang Pola Kantor Walikota Makassar. Dihadiri oleh Walikota Makassar Ilham Arif Sirajuddin, ketua LPI Makassar Alim Israk, jajaran dinas pemkot, KMK, NGO dan media. Sementara dari Transparency International Indonesia diwakili oleh Sekretaris jenderal Dadang Trisasongko dan Koordinator Program Wawan Suyatmiko. Sedangkan di Banjarbaru acara diadakan di Auditorium Pemkot Banjarbaru. Dihadiri oleh Walikota Banjarbaru Bpk Ruzaidin Noor, koordinator LPI Ibu Eka Yusnida, Koordinator Program Wawan Suyatmiko, KMK, NGO, dan Media. Secara garis besar, baik di Makassar dan Banjarbaru, pemerintah menyambut baik adanya website pengaduan masyarakat ini. Karena dengan adanya website ini masyarakat bisa secara langsung mengadukan pelanggaran seputar PBJ yang terjadi melalui Short Message Service (SMS), website, formulir online dan formulir offline. Selain itu juga masyarakat bisa memantau perkembangan laporannya dengan mengecek laporannya di website tersebut. Selain di dua kota tersebut, website pengaduan masyarakat ini juga disosialisasikan di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Transparency International Indonesia berharap dengan adanya website pengaduan ini, masyarakat lebih aktif dalam berpartisispasi melaporkan penyimpangan-penyimpangan seputar PBJ yang terjadi. Karena dengan peran aktif masyarakat sistem tersebut bisa berjalan dengan baik. [NF]

Website Pengaduan Masyarakat Resmi Diluncurkan

Berita Kegiatan

"Melalui website yang bersifat online itu diharapkan memudahkan masyarakat menyampaikan keluhan dan pengaduannya terhadap setiap proses PBJ." Walikota Banjarbaru, Ruzaidin Noor

Foto Dok. TI Indonesia

Pantau PBJ adalah sebuah website database yang menyajikan laporan-laporan masyarakat tentang penyimpangan yang terjadi dalam bidang pengadaan barang/jasa, pelayanan publik dan infrastruktur. Melalui website diharapkan mampu mempermudah kerja-kerja lembaga Pemantau Independen Pengadaan barang/Jasa (LPI-PBJ) dalam pengawasan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.

Masyarakat bisa melaporkan penyimpangan melalui fitur-fitur yang ada. Diantaranya sms, website, formulir online, dan formulir offline (manual).

Laporan yang masuk akan diverifikasi terlebih dahulu sebelum diunggah ke website. Selanjutnya masyarakat dan lembaga bersama-sama melakukan pengawasan terhadap apa yang sudah dilaporkan dan sejauh mana laporannya ditindaklanjuti.

Suasana Peluncuran Website Pengaduan Masyarakat di Banjarbaru yang dihadiri oleh Walikota Banjarbaru Ruzaidin Noor, Koordinator LPI PBJ Banjarbaru Eka Yusnida dan Program Manager untuk CHM TI Indonesia Wawan Suyatmiko.

Page 11: E newsletter edis iii desember 2013

E-newsletter Edisi III Vol VIII Desember 2013

11

Transparency International Indonesia mendapat kesempatan melakukan pendampingan pelaksanaan Inpres No.1 Tahun 2013 bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Acara dilakukan di 2 daerah yaitu di Banjarmasin, Banjarbaru (10-13 September 2013) dan di Medan (10-16 Oktober 2013)

Dalam kegiatan ini ada 19 Satuan kerja yang dikunjungi oleh tim monitoring. Di Banjarbaru ada 9 satuan kerja yang dikunjungi oleh timTransparency International Indonesia dan Kemendikbud diantaranya Dinas Pendidikan Propinsi Kalsel di Banjarmasin, Universitas Lambungmangkurat di Banjarmasin, Politeknik Negeri di Banjarmasin, Kopertis Wil XI di Banjarmasin, Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan di Banjarbaru, PAUDNI di Banjarbaru, Balai Arkeologi di Banjarbaru, dan Pusat Pengembangan Bahasa di Banjarbaru

Metode monitoring yang digunakan adalah dengan kuesioner, yakni tim monitoring sudah dibekali dengan lembar pertanyaan. Pertanyaan yang diajukan berupa pertanyaan tertutup, artinya jawabannya “ya” atau “tidak”. Sementara di Medan, satuan kerja yang dikunjungi sebanyak 10 satuan kerja antara lain; P4TK Mesin dan Listrik Sumatera Utara, Univ. Sumatera Utara, Politeknik Negeri Medan, Kopertis Wil. I Medan, Univ. Negeri Medan (Unimed), Lembaga Penjamnin Mutu Pendidikan Sumut, PAUDNI Regional I Medan, Balai Bahasa Sumut, Balai Arkeologi Medan, Dinas Pendidikan Prov. Sumut.

Berita Kegiatan

Pertanyaan juga bersifat spesifik, ada perbedaan pertanyaan untuk masing-masing Satker. Pertanyaan berkisar seputar penyaluran dan pemanfaatan dana BOS untuk SMP dan BOP untuk Perguruan Tinggi. Untuk dana BOP, yang ingin diketahui adalah sudah seberapa besar serapan dana ini pada kwartal 2 (Juni s/d Agustus). Ternyata serapan dana BOP ini untuk Universitas Lambung Magkurat dan Poltek sangat rendah, sampai kwartal 2 ini serapan tidak lebih dari 20%, padahal seharusnya serapan itu sudah 75%. Kecilnya serapan ini menurut Purek II Unilam adalah minimnya kegiatan penelitian/riset yang dilakukan, sehingga mempengaruhi serapan dana BOP. Pertanyaan lain adalah seputar rencana rekruitmen PNS dilingkup Kemendikbud, apakah sudah ada informasi atau ada permintaan penambahan PNS di Satker.

Sementara di Medan, satuan kerja yang didatangi sebanyak 10 satuan kerja antara lain; P4TK Mesin dan Listrik Sumatera Utara, Univ. Sumatera Utara, Politeknik Negeri Medan, Kopertis Wil. I Medan, Univ. Negeri Medan (Unimed), Lembaga Penjamnin Mutu Pendidikan Sumut, PAUDNI Regional I Medan, Balai Bahasa Sumut, Balai Arkeologi Medan, Dinas Pendidikan Prov. Sumut.

Temuan di Sumut ini tidak jauh berbeda dengan di Kalsel. Hanya saja ada yang menarik ketika berkunjung ke Dinas Pendidikan Prov. Sumut, narasumber berkeluh kesah dengan rendahnya alokasi dana dari APBD Prov. Sumut untuk lembaga ini, sejak berlakunya UU Otonomi, maka sector pendidikan menjadi urusan Kota/Kabupaten dan berimplikasi kepada keberadaan Dinas ditingkat Propinsi. Mereka beranggapan sebaiknya Dinas Pendidikan Provinsi di lebur saja.

Secara umum, selama kegiatan pendampingan ini hal yang menjadi titik perhatian belum tersosialisasinya Inpres No. 1 tahun 2013 ini ke Satker yang berada di bawah Kemendikbud. Ini terbukti dengan beberapa pernyataan yang disampaikan kalau mereka belum pernah membaca regulasi ini, termasuk turunannya (Stranas 2012 – 2025). Selain itu juga masih banyaknya tenaga honorer yang dikaryakan yang berakibat “pengambilan” dana program untuk membayar gaji. Sementara di Balai Arkeologi, baik di Kalsel ataupun di Sumut terjadi kekurangan tenaga Administrasi, sehingga para peneliti merangkap melakukan pekerjaan2 administratif harian.[JO/NF]

Monitoring Pelaksanaan Inpres No. 1 Th 2013 di Kota Banjarmasin dan Medan

Gambar Ilustrasi

Gambar Ilustrasi

Page 12: E newsletter edis iii desember 2013

E-newsletter Edisi III Vol VIII Desember 2013

12

Peluncuran Pemantauan REDD+ di Sulawesi Tengah

Berita Kegiatan

Foto Dok. Pantau –REDD.org

E-NEWSLETTER TRANSPARANSI diterbitkan oleh Transparency International Indonesia PENANGGUNG JAWAB: Dadang Trisasongko. REDAKTUR PELAKSANA: Wawan H. Suyatmiko. Co-REDAKTUR PELAKSANA: Nur Fajrin. REDAKSI: Dedi haryadi, Lia Toriana, Utami Nurul H, Agus Sarwono, Ilham B. Saenong, Dwipoto Kusumo, Soraya Aiman, Ratnaningsih Dasahasta, Fahmi Badoh, Jonni Oeyoen, Rivan Praharsya, Teguh Setiono, Wahyudi, Reza Syawawi, Teguh Sudarmanto. ALAMAT REDAKSI: Jl. Senayan Bawah No.17, Blok S, Rawa Barat, Jakarta 12180. Tel: 6221 7208515, Fax: 6221 7267815, Email: [email protected], Web: www.ti.or.id REDAKSI MENERIMA ARTIKEL ATAU TULISAN DARI PIHAK LUAR SECARA SUKARELA, YANG BERKAITAN DENGAN ISU GERAKAN ANTIKORUPSI DI INDONESIA DAN LUAR NEGERI, PANJANG ARTIKEL ATAU TULISAN 300 KARAKTER

Implementasi Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD)+ di Indonesia khususnya di Sulawesi Tengah semakin menunjukkan titik terang dengan dilakukannya berbagai persiapan termasuk telah ditetapkannya Pergub No.36/2012. Untuk pengawasan implementasinya, Transparency International meluncurkan Pemantauan REDD+, Sabtu (31/8) di Hotel Santika Palu. Hadir dalam acara tersebut Kepala Bidang Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah Susilowati, Koordinator Yayasan Merah Putih & Pantau REDD+ Sulteng Azmi Sirajuddin. Sementara dari Transparency International Indonesia diwakili oleh Koordinator Program Media dan Kampanye Dwipoto Kusumo. Menurut Dwipoto Kusumo, implementasi REDD+ harus dipantau agar bisa berhasil, karena implikasinya cukup besar terutama lahan hutan yang menjadi obyek dari REDD+ itu sendiri. Sulawesi Tengah adalah satu dari 11 provinsi yang ditetapkan sebagai lokasi REDD+. Dengan luas hutan Sulteng yang mencakup 4,1 juta hektar dan meliputi 700 desa yang berada di dalamnya dan dengan penduduk mesti menjadi fokus perhatian. “Ini yang melandasi mengapa REDD+ harus dipantau implementasinya,” ujarnya. Selain peluncuran pemantauan REDD+, juga dilakukan sosialisasi poster “Manfaat dari Hutan Anda – Memastikan REDD+ Berhasil” di beberapa titik strategis Kota Palu. Diantaranya di Talise, PLN-Tanjung Dako, Jembatan 4, RRI-Gunung Sidole, Mesjid Raya, SDN 10-Mawar, Mesjid Agung-Imam Bonjol, Lintas Kabupaten, dan DPRD Propinsi Sulawesi Tengah. [DK/NF]

5-6 Desember 2013

FGD: Inisiasi Indonesia Bersih dari Uang Pelicin untuk Masyarakat Sipil,

Jakarta

8 Desember

Rangkaian kegiatan peringatan hari antikorupsi sedunia.

Plaza barat, Pintu VIP Barat GBK- Jakarta

Agenda Kegiatan

Koordinator Program Media and Campaign TI Indonesia Dwipoto Kusumo saat acara launching Pemantauan REDD+ di Palu Sulteng