disusun oleh -...
TRANSCRIPT
PEMBERIAN POSISI MIRING 30 DERAJAT TERHADAP
PENCEGAHAN TERJADINYA LUKA TEKAN GRADE I
PADA TN. D DENGAN STROKE NON HEMORAGIK
DI BANGSAL ANGGREK RSUD SUKOHARJO
DISUSUN OLEH :
YUNI ERNAWATI
NIM. P11.123
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2014
i
PEMBERIAN POSISI MIRING 30 DERAJAT TERHADAP
PENCEGAHAN TERJADINYA LUKA TEKAN GRADE I
PADA TN. D DENGAN STROKE NON HEMORAGIK
DI BANGSAL ANGGREK RSUD SUKOHARJO
Karya Tulis Ilmiah
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
DISUSUN OLEH :
YUNI ERNAWATI
NIM. P11.123
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2014
ii
iii
iv
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya
Tulis Ilmiah dengan judul “Pemberian Posisi Miring 30 Derajat Terhadap
Pencegahan Terjadinya Luka Tekan Grade I Pada Tn. D dengan Stroke Non
Hemoragik di Bangsal Anggrek Rsud Sukoharjo.”
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi – tingginya
kepada yang terhormat :
1. Atiek Murharyati, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku Ketua Program studi DIII
Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu
di Stikes Kusuma Husada Surakarta dan selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi,
perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya
karya tulis ilmiah ini.
2. Meri Oktariani, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku Sekretaris Ketua Program studi
DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba
ilmu di Stikes Kusuma Husada Surakarta dan selaku dosen penguji II yang
telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inpirasi,
perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya
karya tulis ilmiah ini.
vi
3. Joko Kismanto, S.Kep.,Ns selaku dosen penguji I yang telah membimbing
dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman
dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya karya tulis ilmiah ini.
4. Semua dosen Program studi DIII Keperawatan Stikes Kusuma Husada
Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya
serta ilmu yang bermanfaat.
5. Kedua orangtuaku, yang selalu menjadi inspirasi dan motivasiku dalam
penyusunan karya tulis ilmiah ini serta menyelesaikan pendidikanku.
6. Kakak perempuanku beserta suami, adik laki-lakiku, dan orang-orang terkasih
yang selalu memberikan semangatnya untuk penyusunan karya tulis ilmiah ini
dan semangatnya dalam menyelesaikan pendidikanku.
7. Teman-teman Mahasiswa Program Studi DIII Keperawatan Stikes Kusuma
Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-
persatu, yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual.
Semoga karya tulis ilmiah ini bermanfaat untuk perkembanngan ilmu
keperawatan dan kesehatan. Amin.
Surakarta, 14 Mei 2014
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ................................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN ....................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................... iv
KATA PENGANTAR ............................................................................... v
DAFTAR ISI .............................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................. 1
B. Tujuan Penulisan .......................................................... 4
C. Manfaat Penulisan ....................................................... 5
BAB II LANDASAN TEORI
A. STROKE
1. Definisi ................................................................... 6
2. Klasifikasi Stroke ................................................... 7
3. Etiologi ................................................................... 8
4. Patofisiologi ............................................................ 9
5. Manifestasi Klinik .................................................. 9
B. ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN STROKE
1. Pengkajian Keperawatan ......................................... 12
2. Diagnosa Keperawatan ............................................ 15
viii
3. Intervensi Keperawatan .......................................... 16
C. ULKUS DEKUBITUS ATAU LUKA TEKAN
1. Definisi ................................................................... 24
2. Etiologi .................................................................... 24
3. Patofisiologi ............................................................ 25
4. Manifestasi Klinis.................................................... 26
5. Derajat Luka Tekan ................................................. 26
D. IMOBILISASI
1. Definisi ................................................................... 27
2. Macam-Macam Imobilisasi .................................... 28
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Imobilisasi .............................................................. 29
4. Masalah yang Timbul Akibat Imobilisasi .............. 29
E. POSISI MIRING 30 DERAJAT ................................... 30
BAB III LAPORAN KASUS
A. Identitas Klien .............................................................. 32
B. Pengkajian Riwayat Kesehatan .................................... 32
C. Perumusan Masalah Keperawatan................................. 37
D. Intervensi Keperawatan ................................................. 39
E. Implementasi Keperawatan .......................................... 41
F. Evaluasi Keperawatan ................................................... 43
ix
BAB IV PEMBAHASAN
A. Pengkajian ..................................................................... 48
B. Perumusan Masalah ...................................................... 51
C. Intervensi Keperawatan ................................................. 59
D. Implementasi Keperawatan .......................................... 63
E. Evaluasi Keperawatan .................................................. 66
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................... 70
B. Saran ............................................................................. 72
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Genogram Tn. D ...................................................................... 33
xi
LAMPIRAN
Lampiran I : Asuhan Keperawatan
Lampiran II : Jurnal
Lampiran III : Lembar Konsul
Lampiran IV : Format Pendelegasian
Lampiran V : Log Book
Lampiran VI : Daftar Riwayat Hidup
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
National Pressure Ulcers Advisory Panel (NPUAP-EPUAP) (2009)
dalam Tarihoran (2010). Luka tekan adalah cedera yang terlokalisasi pada
kulit dan atau jaringan dibawahnya, biasanya diatas tonjolan tulang, sebagai
akibat adanya tekanan, atau kombinasi dari tekanan dan gesekan. Luka tekan
muncul akibat empat faktor : tekanan, gesekan, fiksasi, dan lembab. Luka
tekan yang terjadi akibat rusaknya epidermis, dermis, dan kadang-kadang
jaringan subkutis dan tulang bawahnya. Luka tekan ini biasanya dijumpai pada
orang-orang yang dirawat di tempat tidur atau mengalami penurunan
mobilitas, seperti penderita stroke (Corwin, 2009).
Stroke adalah defisit neurologis yang mempunyai awitan tiba-tiba,
berlangsung lebih dari 24 jam, dan disebabkan oleh penyakit serebrovaskular.
Stroke terjadi pada saat terdapat gangguan aliran darah ke bagian otak. Aliran
darah terganggu karena adanya sumbatan pembuluh darah, karena trombus
atau embolus, atau ruptur pembuluh darah (Morton et al, 2012).
Luka tekan menjadi persoalan serius di seluruh belahan dunia dan
menghabiskan biaya triliunan dolar setiap tahunnya (Corwin, 2009). Marison
(2003) dalam jurnal keperawatan HKBP balige (2013) mengatakan luka tekan
merupakan ancaman yang sangat besar bagi populasi pasien yang dirawat di
rumah sakit maupun perawatan lainnya. Murayam (2007) dalam Era (2009)
2
mengatakan bahwa di Indonesia kejadian luka tekan pada pasien yang di rawat
di rumah sakit mencapai 33%.
Compas (2010) dalam Tarihoran (2012) Luka tekan harus segara
ditangani secara khusus, guna mencegah komplikasi-komplikasi morbiditas
dan mortilitas, komplikasi tidak hanya berdampak pada masalah fisik, tapi
juga psikologis, ekonomi dan sosial. Secara fisik, menyebabkan angka
kesakitan dan kematian yang tinggi akibat komplikasi nyeri dan infeksi dari
luka tekan. Angka kematian pasien dengan luka tekan di rumah sakit per tahun
mencapai 40%, sedangkan pasien yang meninggal setelah satu tahun
perawatan luka tekan dari rumah sakit sebesar 60%. Secara psikologis luka
tekan berdampak pada kualitas hidup dari pasien tersebut dan mempengaruhi
fungsi peran sosialnya dengan masyarakat sekelilingnya. Sedangkan secara
ekonomi, luka tekan merupakan penyakit termahal ke empat di negara
Belanda. Dengan adanya luka tekan khususnya pada pasien dirawat, akan
berdampak pada hari rawat yang lebih lama dan biaya rawat yang berbanding
lurus meningkat.
Dalam melakukan pengkajian risiko luka dekubitus, diperlukan
kejelian dari pada perawat terhadap kondisi pasien dan mempertimbangkan
kemungkinan risiko yang dapat mengkontribusi terjadinya luka tekan
(Muttaqin, 2008).
Kusmawan (2008) dalam Jurnal keperawatan HKBP balige (2013)
merubah posisi dapat melancarkan peredaran darah serta memperbaiki
pengaturan metabolisme tubuh mengembalikan kerja fisiologi organ-organ
3
vital dan perubahan posisi juga memungkinkan kulit yang tertekan terekspose
udara.
Colin (1996) dalam Tarihoran (2010) saat pasien diposisikan miring
sampai dengan 90 derajat, akan menimbulkan kerusakan suplai oksigen yang
dramatis pada area trokanter dibandingkan dengan pasien yang diposisikan
yang hanya diposisikan miring 30 derajat. Maklebust dalam “rule of 30”
dimana posisi kepala tempat tidur ditinggikan sampai 30 derajat dapat
disanggah dengan bantal atau busa. Posisi ini terbukti menjaga pasien terbebas
dari penekanan pada area trokanter dan sakral. Pada kenyataannya pengaturan
posisi masih belum konsisten pada setiap pasien. Intervensi pengaturan posisi
bagi pasien-pasien yang beresiko tinggi terjadi luka tekan masih belum
dipandang serius, terlihat dari masih banyaknya tampilan pasien-pasien stroke
tidak dalam posisi yang benar.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan di RSUD Sukoharjo, menulis
melakukan wawancara dengan 5 orang perawat, 3 diantaranya memberikan
penjelasan bahwa selama ini saat memiringkan posisi tidur pasien ke kanan
atau ke kiri belum berdasarkan hasil penelitian, atau hanya sedekar
memiringkan. Sedangkan berdasarkan hasil observasi penulis menemukan
setiap perawat yang memposisikan pasien miring kanan atau kiri tidak
diperhatikan sudutnya.
Pada pasien Tn. D dengan kondisi stroke non hemoragik di bangsal
anggrek RSUD Sukoharjo tampak imobilisasi dan perlu adanya pencegahan
terhadap timbulnya ulkus dekubitus atau luka tekan, maka penulis tertarik
4
untuk mengaplikasikan hasil riset Tarihoran (2010) tentang pemberian posisi
miring 30 derajat untuk mencegah terjadinya luka tekan. Karena aplikasi dari
posisi miring 30 derajat ini cukup dapat dilakukan oleh perawat, mengingat
tidak diperlukan energi yang besar untuk memiringkan pasien.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Melaporkan hasil karya tulis ilmiah pemberian posisi miring 30
derajat untuk mencegah terjadinya luka tekan grade 1 pada Tn. D dengan
stroke non hemoragik di RSUD Sukoharjo.
2. Tujuan Khusus
a) Penulis mampu melakukan pengkajian pada Tn. D dengan stroke.
b) Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn. D dengan
stroke.
c) Penulis mampu menyusun rencana Asuhan Keperawatan pada Tn. D
dengan stroke.
d) Penulis mampu melakukan implementasi pada Tn. D dengan stroke.
e) Penulis mampu melakukan evaluasi pada Tn. D dengan stroke.
f) Penulis mampu menganalisa hasil pemberian posisi miring 30 derajat
untuk mencegah terjadinya luka tekan grade 1 pada Tn. D dengan
stroke non hemoragik.
5
C. Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
Menambah wawasan dan pengalaman dalam memberikan asuhan
keperawatan pada Tn. D dengan stroke non hemoragik.
2. Bagi Institusi
Digunakan sebagai informasi bagi institusi pendidikan dalam
pengembangan dan peningkatan mutu dimasa yang akan datang.
3. Bagi Rumah Sakit
Sebagai bahan pertimbangan oleh pihak rumah sakit dalam
menjalankan asuhan keperawatan pada Tn. D dengan stroke non
hemoragik.
4. Bagi Pasien dan Keluarga
Pasien dan keluarga mendapatkan informasi dan pengetahuan
tentang cara merawat pasien stroke non hemoragik agar terhindar dari luka
tekan dengan pemberian posisi miring 30 derajat.
6
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Stroke
1. Definisi
Stroke merupakan penyakit atau gangguan fungsional otak berupa
kelumpuhan saraf (deficit neurologic) akibat terhambatnya aliran darah ke
otak. Secara sederhana stroke akut didefinisikan sebagai penyakit otak
akibat terhentinya suplai darah ke otak karena sumbatan (stroke iskemik)
atau perdarahan (stroke hemoragik) (Junaidi, 2011).
Smeltzer (2001) dalam Ariani (2012) menjelaskan bahwa stroke
adalah kehilangan fungsi otak diakibatkan oleh berhentinya suplai darah
ke bagian otak, biasanya merupakan akumulasi penyakit serebrovaskular
selama beberapa tahun.
Stroke adalah suatu kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke
suatu bagian otak tiba-tiba terganggu, karena sebagian sel-sel otak
mengalami kematian akibat gangguan aliran darah karena sumbatan atau
pecahnya pembuluh darah otak (Nabyl, 2012)
Stroke adalah defisit neurologis yang mempunyai awitan tiba-tiba,
berlangsung lebih dari 24 jam, dan disebabkan oleh penyakit
serebrovaskular. Stroke terjadi saat terdapat gangguan aliran darah ke
bagian otak. Aliran darah terganggu karena adanya sumbatan pembuluh
darah, karena trombus atau embolus, atau ruptur pembuluh darah (Morton
et al, 2012)
7
2. Klasifikasi Stroke
Satyanegara (1998) dalam Ariani (2012) gangguan peredaran
darah otak atau stroke dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu non-
hemoragik atau iskemik atau infark dan stroke hemoragik.
1) Non-hemoragik atau iskemik atau infark
a. Serangan Iskemi Sepintas (Transient Ischemic Attack-TIA)
TIA merupakan tampilan peristiwa berupa episode-episode
serangan sesaat dari suatu disfungsi serebral fokal akibat gangguan
vaskular, dengan lama serangan sekitar 2-15 menit sampai paling
lama 24 jam.
b. Defisit Neurologis Iskemik Sepintas ( Reversible Ischemic
Neurology Deficit-RIND)
Gejala dan tanda gangguan neurologis yang berlangsung
lebih lama dari 24 jam dan kemudian pulih kembali (dalam jangka
waktu kurang dari tiga minggu).
c. In Evolutional atau Progressing Stroke
Gejala gangguan neurologis yang progresif dalam waktu
enam jam atau lebih.
d. Stroke Komplet (Completed Stroke/ Permanent Stroke)
Gejala gangguan neurologis dengan lesi-lesi yang stabil selama
periode waktu 18-24 jam, tanpa adanya progesivitas lanjut.
8
2) Stroke hemoragik
Perdarahan intrakranial dibedakan berdasarkan tempat
perdarahannya, yakni di rongga subraknoid atau di dalam parenkim
otak (intraserebral). Ada juga perdarahan yang terjadi bersamaan pada
kedua tempat di atas seperti : perdarahan subaraknoid yang bocor ke
dalam otak atau sebaliknya. Selanjutnya gangguan-gangguan arteri
yang menimbulkan perdarahan otak spontan dibedakan lagi
berdasarkan ukuran dan lokasi regional otak.
3. Etiologi Stroke
Faktor resiko adalah suatu faktor atau kondisi tertentu yang
membuat seseorang rentan terhadap serangan stroke
1) Faktor risiko internal, yang tidak dapat dikontrol ataudiubah atau
dimodifikasi :
a. Umur : makin tua kejadian stroke makin tinggi.
b. Ras atau suku bangsa : bangsa Afrika atau Negro, Jepang, dan
Tiongkok lebih sering terkena stroke. Orang yang berwatak keras
terbiasa cepat atau buru-buru, seperti orang Sumatra, Sulawesi, dan
Madura rentan terserang stroke.
c. Jenis kelamin : laki-laki lebih berisiko dibanding wanita.
d. Riwayat keluarga (orang tua, saudara) yang pernah mengalami
stroke pada usia muda maka yang bersangkutan berisiko tinggi
terkena stroke.
9
2) Faktor risiko eksternal, yang dapat dikontrol atau diubah atau
dimodifikasi, yaitu : hipertensi, diabetes melitus atau kencing manis,
Transient ischemic attack (TIA) : serangan lumpuh sementara, fibrilasi
atrial jantung, paska stroke : mereka yang pernah terserang stroke,
abnormalitas lemak : lipoprotein,fibrinogen tinggi dan perubahan
hemoreologikal lain, perokok (utamanya rokok sigaret), peminum
alkohol, hiperhomocysteinemia, infeksi : virus dan bakteri, obat-
obatan, misalnya obat kontrasepsi oral atau pil KB, obesitas atau
kegemukan, kurang aktifitas fisik, hiperkolesterolemia, stres fisik dan
mental (Junaidi, 2011).
4. Patofisiologi
Serebral iskemik bermula dari terhambatnya atau berkurangnya
aliran darah ke otak akibat sumbatan aliran darah seperti trombosis, emboli
dan ateroma. Keadaan kekurangan darah tersebut mengakibatkan otak
tidak mendapat suplai oksigen yang memadai, sampai pada saatnya
oksigen yang diterima otak berkurang dari 20 ml per 100 gram jaringan
otak per menit menjadi depolarisasi membran sel neuron (Junaidi, 2004).
5. Manifestasi klinis Stroke
Smeltzer (2001) dalam Ariani (2012) tanda dan gejala stroke adalah
sebagai berikut :
10
1) Defisit lapang penglihatan
a. Homonimus hemianopsia (kehilangan setengah lapang
penglihatan)
Tidak menyadari orang atau objek di tempat kehilangan,
penglihatan, mengabaikan salah satu sisi tubuh, kesulitan menilai
jarak.
b. Kehilangan penglihatan perifer
Kesulitan melihat pada malam hari, tidak menyadari objek atau
batas objek
c. Diplopia
Penglihatan ganda
2) Defisit motorik
a. Hemiparesis
Kelemahan wajah, lengan, dan kaki pada sisi yang sama. Paralisis
wajah (karena lesi pada hemisfer yang berlawanan).
b. Ataksia
Berjalan tidak mantap, tegak. Tidak mampu menyatukan kaki,
perlu dasar berdiri yang luas.
c. Disartria
Kesulitan dalam membentuk kata.
d. Disfagia
Kesulitan dalam menelan.
11
3) Defisit verbal
a. Afasia ekspresi
Tidak mampu membentuk kata yang dapat dipahami, mungkin
mampu bicara dalam respons kata tunggal.
b. Afasia repretif
Tidak mampu memahami kata yang dibicarakan, mampu bicara
tetapi tidak masuk akal.
c. Afasia global
Kombinasi baik afasia reseptif dan ekspresif.
4) Defisit kognitif
Penderita stroke akan kehilangan memori jangka pendek dan
penjang, penurunan lapang perhatian, kerusakan kemampuan untuk
berkonsentrasi, alasan abstrak buruk, dan perubahan penilaian.
5) Defisit emosional
Penderita akan mengalami kehilangan kontrol diri, labilitas
emosional, penurunan toleransi pada situasi yang menimbulkan stres,
depresi, menarik diri, rasa takut, bermusuhan dan marah, serta
perasaan isolasi.
12
B. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Stroke
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian adalah proses mengumpulkan data relevan yang
kontinue tentang respon manusia, status kesehatan, kekuatan, dan masalah
klien (Dermawan, 2012).
Pada pasien stroke perlu dilakukan pemeriksaan tingkat kesadaran
yang dikenal sebagai Glascow Coma Scale (GCS) untuk mengamati
pembukaan kelopak mata, kemampuan bicara, dan tanggap motorik
(gerakan).
1) Membuka mata
Membuka spontan : 4
Membuka dengan perintah : 3
Membuka mata dengan rangsang nyeri : 2
Tidak mampu membuka mata : 1
2) Kemampuan berbicara
Orientasi dan pengertian baik : 5
Pembicaraan yang kacau : 4
Pembicaraan tidak pantas dan kasar : 3
Dapat bersuara, merintih : 2
Tidak ada suara : 1
3) Tanggapan motorik
Menaggapi perintah : 6
Reaksi gerakan lokal terhadap rangsang : 5
13
Reaksi menghindar terhadap rangsang nyeri : 4
Tanggapan fleksi abnormal : 3
Tanggapan ekstensi abnormal : 2
Tidak ada gerakan : 1
Sementara itu, untuk pemeriksaan kekuatan otot adalah sebagai
berikut.
0 : Tidak ada kontraksi otot
1 : Terjadi kontraksi otot tanpa gerakan nyata
2 : Pasien hanya mampu menggeserkan tangan atau kaki
3 : Mampu angkat tangan, tidak mampu menahan gravitasi
4 : Tidak mampu menahan tangan periksa
5 : Kekuatan penuh
(Ariani, 2012)
Selain itu pada penderita stroke juga dilakukan pemeriksaan
saraf kranial
Saraf I : Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada fungsi
penciuman.
Saraf II : Disfungsi persepsi visual karena gangguan jarak sensorik
primer di antara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual-
spasiel (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area
spasial) sering terlihat pada pasien dengan hemiplagia kiri. Klien
14
mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa bantuan karena
ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.
Saraf III, IV dan VI : Apabila akibat stroke mengakibatkan paralisis
sesisi otot-otot okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan
konjugat unilateral di sisi yang sakit.
Saraf V : Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis saraf
trigenimus, didapatkan penurunan kemampuan koordinasi gerakan
mengunyah. Penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral dan
kelumpuhan sesisi otot-otot pterigoideus internus dan eksternus.
Saraf VII : Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris,
otot wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.
Saraf VIII : Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf IX dan X : Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran
membuka mulut.
Saraf XI : Tidak ada atrofi otot sternokleideus dan trapezius.
Saraf XII : Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan
fasikulasi. Indra pengecapan normal.
Dilakukan juga pemeriksaan refleks, yaitu :
1) Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum,
atau periosteum derajat refleks pada respons normal.
15
2) Pemeriksaan refleks patologis, pada fase akut refleks fisiologis sisi
yang lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks
fisiologis akan muncul kembali di dahului dengan refleks
patologis.
(Muttaqin, 2008)
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan mencerminkan masalah kesehatan yang
dapat diatasi oleh perawatan yang mamberikan arahan untuk intervensi
keperawatan (Dermawan, 2012).
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah :
1) Risiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan peningkatan
volome intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri.
2) Perubahan perfusi jaringan serebral yang berhubungan dengan
perdarahan intraserebral, oklusi otak, vasospasme, dan edema otak.
3) Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan
akumulasi sekret, kemampuan batuk menurun, penurunan mobilitas
fisik sekunder, perubahan tingkat kesadaran.
4) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparase/
hemiplagia, kelembaban neuromuskular pada ektremitas.
5) Risiko gangguan intregitas kulit yang berhubungan dengan tirah baring
yang lama.
16
6) Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan
neuromuskular, menurunnya kekuatan dan kesadaran, kehilangan
kontrol/ koordinasi otot.
7) Kerusakan komuniksi verbal yang berhubungan dengan efek dari
kerusakan pada area bicara pada hemisfer otak, kehilangan kontrol
tonus otot fasial atau oral, dan kelemahan secara umum.
8) Risiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan kelemahan otot dalam mengunyah dan menelan.
9) Risiko infeksi yang berhubungan dengan sistem pertahanan primer
(cedera pada jaringan paru, penurunan aktivitas silia), malnutrisi,
tindakan invasif (Muttaqin, 2008).
3. Intervensi Keperawatan
Rencana keperawatan adalah memprioritaskan diagnosa
keperawatan, menentukan hasil akhir perawatan klien, mengidentifikasi
tindakan keperawatan dan klien yang sesuai dan rasional ilmiahnya, dan
menetapkan rencana asuhan keperawatan (Dermawan, 2012).
1) Risiko peningkatan TIK berhubungan dengan peningkatan volume
intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri.
Dalam waktu 2 x 24 jam diharapkan tidak terjadi peningkatan
TIK pada klien, dengan kriteria hasil : klien tidak gelisah, klien tidak
mengeluh nyeri kepala, mual dan muntah, GCS 4, 5, 6, tidak terdapat
papiledema, TTV dalam batas normal.
17
a. Kaji faktor penyebab dan situasi atau keadaan individu atau
penyebab koma atau penurunan perfusi jaringan dan kemungkinan
penyebab peningkatan TIK.
Rasional : deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji
status neurologis atau tanda-tanda kegagalan untuk menentukan
perawatan kegawatan atau tindakan pembedahan.
b. Monitor tanda-tanda vital.
Rasional : memantau keadaan klien.
c. Bantu klien jika batuk, muntah.
Rasional : aktivitas ini dapat meningkatakan tekanan TIK.
d. Berikan cairan intravena sesuai degan yang diindikasikan.
Rasional : pemberian cairan digunakan untuk menurunkan edema
cerebri.
2) Perubahan perfusi jaringan serebral yang berhubungan dengan
perdarahan intraserebral, oklusi otak, vasospasme, dan edema otak.
Dalam waktu 2 x 24 jam perfusi jaringan otak dapat tercapai
optimal, dengan kriteria hasil : klien tidak gelisah, tidak ada keluhan
nyeri kepala, mual, kejang, pupil isokor, dan tanda-tanda vital normal.
a. Berikan penjelasan kepada keluarga pasien tentang sebab-sebab
peningkatan TIK dan akibatnya.
Rasional : keluarga lebih berpartisipasi dalam penyembuhan.
18
b. Baringkan pasien total dengan posisi tidur tanpa bantal.
Rasional : perubahan intrakranial dapat menyebabkan risiko
terjadinya herniasi otak.
c. Monitor tanda-tanda vital.
Rasional : memantau keadaan pasien.
d. Monitor asupan dan keluaran.
Hipertermi dapat menyebabkan peningkatan IWL dan
meningkatkan risiko dehidrasi.
e. Monitor AGD.
Rasional : adanya kemungkinan asidosis.
3) Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan
akumulasi sekret, kemampuan batuk menurun, penurunan mobilitas
fisik sekunder, perubahan tingkat kesadaran.
Dalam waktu 2 x 24 jam diharapakan klien mampu
meningkatkan dan mempertahankan keefektifan jalan napas agar tetap
bersih dan mencegah aspirasi, dengan kriteria hasil : bunyi napas
terdengar bersih, ronki tidak terdengar, selang trakea bebas sumbatan,
menunjukan batuk yang efektif, tidak ada penumpukan sekret.
a. Kaji keadaan jalan napas.
Rasional : obstruksi mungkin saja dapat disebabkan oleh akumulasi
sekret.
b. Berikan minum hangat.
Rasional : membantu mengencerkan sekret.
19
c. Ubah posisi secara teratur.
Rasional : mengatur mengeluarkan sekret.
d. Kolaborasi pemberian obat-obatan bronkodilator.
Rasional : mengatur ventilasi dan melepaskan sekret.
4) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparase/
hemiplagia, kelembaban neuromuskular pada ektremitas.
Dalam waktu 2 x 24 jam klien mampu menjelaskan aktivitas
fisik sesuai dengan kemampuannya, dengan kriteria hasil : klien dapat
ikut serta dalam program latihan, tidak terjadi kontraktur sendi,
meningkatnya kekuatan otot.
a. Kaji mobilitas pasien.
Rasional : mengetahui tingkat kemampuan klien.
b. Beri posisi miring 30 derajat.
Rasional : mencegah terjadinya luka tekan.
c. Bantu pasien dalam melakukan ROM.
Rasional : untuk memelihara fleksibilitas sendi.
d. Kolaborasi dengan fisioterapi untuk latihan fisik.
Rasional : peningkatan mobilisasi dapat ditingkatkan dengan
latihan fisik.
e. Ajarkan pada pasien dan keluarga dalam pemberian posisi miring
30 derajat.
Rasional : memandirikan pasien dan keluarga untuk mencegah
terjadinya luka tekan.
20
5) Risiko gangguan intregitas kulit yang berhubungan dengan tirah baring
yang lama.
Dalam waktu 2 x 24 jam diharapkan klien mampu
mempertahankan keutuhan kulit, dengan kriteria hasil : klien mampu
berpartisipasi terhadap pencegahan luka, mengetahui penyebab dan
cara pencegahan luka, tidak ada tanda-tanda kemerahan.
a. Anjurkan untuk melakukan ROM.
Rasional : meningkatkan aliran darah ke semua daerah.
b. Ubah posisi tiap 2 jam.
Rasional : menghindari tekanan.
c. Jaga kebersihan kulit.
Rasional : mempertahankan keutuhan kulit.
d. Lakukan masase pada daerah yang menonjol.
Rasional : menghindari kerusakan kapiler-kapiler.
6) Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan
neuromuskular, menurunya kekuatan otot dan kesadaran, kehilangan
kontrol atau koordinasi otot.
Dalam waktu 2 x 24 jam diharapkan terjadi peningkatan
perilaku perawatan diri, dengan kriteria hasil : klien menunjukan
perubahan gaya hidup untuk kebutuhan merawat diri, klien mampu
melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan tingkat kemampuan,
mengidentifikasi personal atau masyarakat yang dapat membantu.
21
a. Kaji kemampuan dan tingkat penurunan dalam skala 0-4 untuk
melakukan ADL.
Rasional : membantu dalam mengantisipasi dan merencanakan
pertemuan kebutuhan individual.
b. Hindari apa yang tidak dapat dilakukan klien dan bantu bila perlu.
Rasional : bagi klien dalam keadaan cemas dan tergantung hal ini
dilakukan untuk mencegah frustasi dan harga diri klien.
c. Tempatkan perabotan di dinding, jauhkan dari jalan.
Rasional : menjaga keamanan klien bergerak disekitar tempat tidur.
d. Konsultasi ke dokter terapi okupasi.
Rasional : untuk mengembangkan terapi dan melengkapi
kebutuhan khusus.
7) Kerusakan komuniksi verbal yang berhubungan dengan efek dari
kerusakan pada area bicara pada hemisfer otak, kehilangan kontrol
tonus otot fasial atau oral, dan kelemahan secara umum.
Dalam waktu 2 x 24 jam klien dapat menunjukan pengertian
terhadap masalah komunikasi, mampu mengekspresikan perasaannya,
mampu menggunakan bahasa isyarat, dengan kriteria hasil :
terciptanya suatu komunikasi di mana kebutuhan klien dapat dipenuhi,
klien mampu merespons setiap berkomunikasi secara verbal maupun
isyarat.
a. Kaji tipe disfungsi.
Rasional : menentukan kerusakan pada otak.
22
b. Bedakan afasia dengan disatria.
Rasional : dapat menentukan pilihan intervensi sesuai dengan tipe
gangguan.
c. Katakan untuk mengikuti perintah secara sederhana seperti tutup
matamu dan lihat ke pintu.
Rasional : untuk menguji afasia reseptif.
d. Kolaborasi konsultasi ke ahli terapi wicara.
Rasional : mengkaji kemampuan verbal individu.
8) Risiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan kelemahan otot dalam mengunyah dan menelan.
Dalam waktu 2 x 24 jam diharapkan klien kebutuhan nutrisi
terpenuhi, dengan kriteria hasil : turgor kulit baik, asupan dapat masuk
dengan sesuai kebutuhan, terdapat kemampuan menelan, BB
meningkat.
a. Observasi tekstur turgor kulit.
Rasional : mengetahui status gizi klien.
b. Lakukan oral higiene.
Rasional : kebersihan mulut merangsang nafsu nutrisi.
c. Observasi intake dan output nutrisi.
Mengetahui keseimbangan nutrisi klien.
d. Berikan makanan secara perlahan dengan lingkungan yang tenang.
Rasional : klien mampu berkonsentrasi pada mekanisme makanan.
23
9) Risiko infeksi yang berhubungan dengan sistem pertahanan primer
(cedera pada jaringan paru, penurunan aktivitas silia), malnutrisi,
tindakan invasif.
Dalam waktu 2 x 24 jam diharapkan infeksi tidak terjadi saat
perawatan, dengan kriteria hasil : individu mengenal faktor-faktor
risiko, mengenal tindakan pencegahan atau mengurangi faktor risiko
infeksi, menunjukan teknik-teknik untuk meningkatkan lingkungan
yang aman.
a. Catat faktor-faktor risiko untuk terjadinya infeksi.
Rasional : kelemahan, malnutrisi merupakan faktor-faktor yang
memungkinkan infeksi.
b. Auskultasi suara napas.
Rasional : adanya ronki atau mengi menunjukan adanya sekresi
yang tertahan, yang memerlukan ekspektoran.
c. Lakukan teknik isolaso sesuai indikasi.
Rasional : sesuai dengan diagnosa yang spesifik haris memperoleh
perlindungan infeksi orang lain seperti TB.
d. Berikan anti biotik sesuai indikasi.
Rasional : diberikan sesuai sifat patogen dan infeksi yang terjadi.
(Muttaqin, 2008)
24
C. Ulkus Dekubitus Atau Luka Tekan
1. Definisi Luka Tekan
Ulkus dekubitus atau luka tekan adalah suatu area yang terlokalisir
dengan jaringan mengalami nekrosis yang biasanya terjadi pada bagian
permukaan tulang yang menonjol, sebagai akibat dari tekanan dalam
jangka waktu lama yang menyebabkan peningkatan tekanan kapiler
(Suriadi, 2004).
Workman (2006) dalam Era (2009) Luka tekan adalah kerusakan
jaringan yang terjadi apabila kulit dan jaringan lunak di bawahnya tertekan
oleh tonjolan tulang dan permukaan eksternal dalam jangka waktu yang
lama.
2. Etiologi Luka Tekan
1) Usia
Usia lanjut mudah sekali untuk terjadi luka tekan karena pada
usia lanjut terjadi perubahan kualitas kulit dimana adanya penurunan
elastisitas, dan kurangnya sirkulasi pada dermis.
2) Temperatur
Kondisi tubuh yang mengalami peningkatan temperatur akan
berpengaruh pada temperatur jaringan. Setiap terjadi peningkatan
metabolisme akan menaikkan 1 derajat celcius dalam temperatur
jaringan. Dengan adanya peningkatan temperatur ini akan berisiko
terhadap iskemik jaringan.
25
3) Nutrisi
Sebagian besar dari hasil penelitian mengatakan adanya
hubungan yang bermakna pada klien yang mengalami luka tekan
dengan malnutrisi.
4) Tekanan
Faktor tekanan, terutama sekali bila tekanan tersebut terjadi
dalam jangka waktu lama yang menyebabkan jaringan mengalami
iskemik.
5) Pergesekan dan pergeseran
Gaya gesekan adalah sebagai faktor yang menimbulkan luka
iskemik. Hal ini biasanya akan terjadi apabila pasien di atas tempat
tidur kemudian sering merosot, dan kulit sering kali mengalami
regangan dan tekanan yang mengakibatkan terjadinya iskemik pada
jaringan.
6) Kelembaban
Kondisi kulit pada pasien yang sering mengalami lembab akan
mengkontribusi kulit menjadi maserasi kemudian dengan adanya
gesekan dan pergeseran, memudahkan kulit mengalami kerusakan.
Kelembaban ini dapat akibat dari incontinensia, drain luka, banyak
keringat dan lainnya (Era, 2010).
3. Patofisiologi
Luka dekubitus atau luka tekan merupakan dampak dari tekanan
yang terlalu lama pada area permukaan tulang yang menonjol dan
26
mengakibatkan berkurangnya sirkulasi pada area yang tertekan dan lama
kelamaan jaringan setempat mengalami iskemik, hipoksia dan berkembang
menjadi nekrosis (Suriadi, 2004).
4. Manifestasi klinis Luka Tekan
Manifestasi klinis pada luka tekan untuk pertama kali ditandai
dengan kulit eritema atau kemerahan, terdapat ciri khas dimana bila
ditekan dengan jari, tanda eritema akan lama kembali lagi atau persisten.
Kemudian diikuti dengan kulit mengalami edema, dan temperatur di area
tersebut meningkat atau bila diraba akan terasa hangat. Tanda pada luka
tekan ini akan dapat berkembang hingga sampai ke jaringan otot dan
tulang (Suriadi, 2004).
5. Derajat Luka Tekan
1) Derajat I
a. Terlihat area kemerahan berbatas tegas yang persisten pada kulit
yang berwarna terang.
b. Pada kulit yang lebih gelap, terlihat area kemerahan, biru, atau
keunguan.
2) Derajat II
a. Kehilangan sebagian ketebalan kulit apidermis atau dermis.
b. Ulkus superfisial.
c. Terdapat abrasi, lepuhan, atau kawah (gaung) dangkal.
27
3) Derajat III
a. Kehilangan seluruh ketebalan kulit.
b. Kerusakan atau nekrosis jaringan subkutaneus.
c. Dapat meluas ke bawah tetapi tidak sampai ke fasia.
d. Terdapat kawah atau gaung yang dalam dengan atau tanpa batas
yang tegas.
4) Derajat IV
a. Kehilangan seluruh ketebalan kulit.
b. Destruksi yang luas, terdapat jarinagn nekrosis, atau kerusakan
sampai ke otot, tulang, atau struktur penunjang lainnya
c. Kemungkinan terbentuk terowongan dan saluran sinus(Weinstock,
2008).
D. Imobilisasi
1. Definisi
Imobilisasi adalah ketidakmampuan untuk bergerak bebas yang
disebabkan oleh kondisi dimana gerakan terganggu atau dibatasi secara
terapeutik. Konsep imobilisasi merupakan hal relatif dalam arti tidak saja
kehilangan pergerakan total, tetapi juga terjadi penurunan aktivitas
normalnya. Pada keadaan imobilisasi, pasien tidak dapat menghindari
pembatasan gerakan pada setiap aspek kehidupan. (Potter & Perry, 2006).
Dalam hubungannya dengan perawatan pasien, maka imobilisasi
adalah keadaan dimana pasien berbaring lama di tempat tidur, tidak dapat
28
bergerak secara bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan
(aktivitas). Imobilisasi pada pasien tersebut dapat disebabkan oleh
penyakit yang dideritanya, trauma, fraktur pada ektremitas, atau
menderita kecacatan (Asmadi, 2008).
2. Macam-macam Imobilisasi
Menurut Alimul (2006), ada beberapa macam keadaan
imobilisasi yang dihadapi oleh pasien, antara lain :
a. Imobilisasi fisik merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik
dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan,
seperti pada pasien dengan hemiplegia yang tidak mampu
mempertahankan tekanan di daerah paralis sehingga tidak dapat
mengubah posisi tubuhnya untuk mengurangi tekanan.
b. Imobilitas intelektual, merupakan suatu keadaan dimana ketika
seseorang mengalami keterbatasan daya pikir, seperti pada pasien
yang mengalami kerusakan otak akibat suatu penyakit.
c. Imobilisasi emosional, merupakan keadaan ketika seseorang
mengalami pembatasan secara emosional karena adanya perubahan
secara tiba-tiba dalam menyesuaikan diri. Sebagai contoh, keadaan
stress yang dilatarbelakangi oleh tindakan invasi pembedahan
amputasi anggota tubuh yang sangat dicintai.
d. Imobilisasi sosial, merupakan suatu keadaan invidu yang mengalami
hambatan dalam melakukan interaksi sosial karena keadaan
29
penyakitnya sehingga dapat memengaruhi peran dalam kehidupan
sosial.
3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Imobilisasi
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2004), faktor-faktor yang
memengaruhi imobilisasi adalah sebagai berikut :
a. Gangguan pada muskuloskeletal biasanya dipengaruhi oleh beberapa
keadaan tertentu seperti osteoporosis.
b. Beberapa kasus kardiovaskuler yang dapat berpengaruh terhadap
mobilitas adalah hipotensi, vasodilatasi, dan peningkatan valsava
manuver.
c. Keadaan gangguan sistem respirasi yang dapat berpengaruh terhadap
mobilitas antara lain penurunan gerak pernapasan, bertambahnya
sekresi paru, atelektasis, dan pneumonia.
4. Masalah yang Timbul Akibat dari Imobilisasi
Ada beberapa masalah yang dapat ditimbulkan akibat imobilisasi
fisik menurut Asmadi (2008) antara lain :
a. Imobilisasi yang lama dapat menyebabkan kerusakan pada sistem
inttegumen seperti abrasi dan dekubitus. Hal tersebut disebabkan
karena terjadi gesekan dan penurunan sirkulasi darah pada daerah yang
tertekan, sehingga terjadi ischemia.
b. Pada sistem kardiovaskuler dipengaruhi oleh imobilisasi terjadi tiga
perubahan utama yakni hipotensi, ortostatik, peningkatan beban kerja
jantung, dan pembentukan trombus.
30
c. Terjadi perubahan di sistem respirasi adalah menurunnya kadar
hemoglobin, ekspansi paru menurun, terjadi kelemahan pada otot yang
menyebabkan metabolisme terganggu. Kadar hemoglobin menurun
mengakibatkan aliran oksigen dari alveoli menuju ke jaringan menurun
sehingga memicu terjadinya anemia. Ekspansi paru menurun terjadi
karena tekanan yang meningkat di permukaan paru.
d. Imobilisasi menyebabkan perubahan pada eliminasi urin. Infeksi
saluran kemih terjadi karena kadar urin yang berlebih tersimpan dalam
pelvis renal.
e. Penurunan massa otot sebagai akibat dari kecepatan metabolisme yang
turun dan kurangnya aktivitas sehingga kekuatan otot melemah
f. Dampak terhadap neurosensori pada pasien dengan pemasangan gips
menyebabkan kerusakan jaringan dan menimbulkan gangguan syaraf
distal dari gips.
g. Perubahan perilaku akibat imobilitas antara lain timbulnya kecemasan,
emosi yang tinggi, depresi, perubahan siklus tidur, mekanisme koping
turun, dan menurunnya mekanisme kemampuan perawatan diri.
E. Posisi Miring 30 Derajat
Hidayat (2006) dalam Jurnal keperawatan HKBP balige (2013)
menyatakan bahwa merubah posisi merupakan kemampuan individu untuk
bergerak secara bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan aktivitas guna mempertahankan kesehatan.
31
Young (2004) dalam Tarihoran (2010) Saat ini telah dikembangkan
bentuk pengaturan posisi yang dikenal sebagai posisi miring 30 derajat.
Mengatur posisi miring 30 derajat pada pasien guna mencegah terjadinya luka
tekan. Prosedur awalnya, pasien ditempatkan persis ditengah tempat tidur,
dengan menggunakan bantal untuk menyanggah kepala dan leher. Selanjutnya
tempatkan satu bantal pada sudut antara bokong dan matras, dengan cara
miringkan panggul setinggi 30 derajat. Bantal yang berikutnya ditempatkan
memanjang diantara kedua kaki.
32
BAB III
LAPORAN KASUS
Asuhan keperawatan pada Tn. D dengan stroke non hemoragik di bangsal
anggrek RSUD Sukoharjo. Pengkajian dilakukan pada hari senin, tanggal 7 April
2014 jam 09.00 WIB. Metode pengkajian auto dan alloanamnesa.
A. Identitas Klien
Pasien seorang laki-laki bernama Tn. D yang berusia 61 tahun
beragama islam, pasien beragama islam dan berlatar pendidikan SD, Tn. D
sehari-hari bekerja sebagai seorang petani. Tn. D tinggal di Rejosari RT 3/RW
3, Rejosari, Polokarto, Sukoharjo.
Pada tanggal 4 April 2014 Tn. D dibawa ke IGD RSUD Sukoharjo
karena tangan dan kaki kirinya lumpuh dari semalam. Dari IGD Tn. D dibawa
ke bangsal anggrek untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.
B. Pengkajian Riwayat Kesehatan
1. Riwayat kesehatan pasien
Sebelum dibawa ke rumah sakit Tn. D mengeluhkan tangan dan
kakinya lumpuh sejak tanggal 3 April 2014 malam, Tn. D mual dan
muntah. Kemudian oleh keluarga di bawa ke IGD RSUD Sukoharjo.
Kemudian dari IGD pasien dibawa ke bangsal Anggrek untuk
mendapatkan perawatan lebih lanjut.
33
Saat dilakukan pengkajian oleh mahasiswa Tn. D mengeluhkan
pusing, mual dan muntah 2 kali sehari, kurang lebih 100 cc dengan warna
putih kecoklatan dengan isi nasi dan air teh, Tn. D tidak mau makan dan
hanya sedikit minum, serta tangan dan kaki kirinya lumpuh.Riwayat
penyakit dahulu, keluarga pasien mengatakan pasien belum pernah
menderita penyakit yang sama, dalam keluarga tidak ada penyakit
menurun seperti hipertensi dan diabetes militus.
Genogram :
Keterangan :
Laki – laki :
Laki – laki meninggal :
Laki – laki pasien :
Perempuan :
Perempuan meninggal :
Tinggal serumah :
Gambar 3.1 Genogram Tn. D
X X
X X
X
X
34
Riwayat kesehatan lingkungan, Tn. D mengatakan lingkungan
rumah dan sekitar rumahnya bersih serta terawat dengan baik.
2. Pola kesehatan fungsional
Pengkajian pola kesehatan fungsional menurut Gordon, pada pola
persepsi dan pemeliharaan kesehatan Tn. D mengatakan bahwa sehat itu
sangat penting dan mahal. Pada pola persepsi nutrisi dan metabolisme
sebelum sakit Tn. D mengatakan makan habis 1 porsi nasi dengan sayur
seadanya tanpa ada pantangan, selama sakit Tn. D mengatakan tidak nafsu
makan, makan hanya beberapa sendok. Pada pola eliminasi Tn. D
mengatakan BAB sehari satu kali dan BAK 3-5 kali sehari pada saat
belum sakit, sedangkan ketika sakit Tn. D BAB satu kali sehari dan BAK
2-4 kali sehari.
Pola aktivitas dan latihan, sebelum sakit Tn. D mampu melakukan
kemampuan perawatan diri secara mandiri meliputi : makan atau minum,
toileting, berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah, dan ambulasi
atau ROM. Selama sakit Tn. D dalam memenuhi kemampuan perawatan
diri makan atau minum, toileting, berpakaian, mobilitas ditempat tidur,
dan ambulasi di bantu oleh orang lain, dan berpindah dibantu orang lain
dan alat. Pola istirahat dan tidur, sebelum sakit Tn. D mengatakan tidur
selama 6-8 jam, dengan kualitas tidur yang baik. Selama sakit Tn. D
mengatakan tidur selama 4-5 jam, tidur tidak bisa nyenyak dan sering
terbangun dimalam hari karena kondisi yang tidak tenang. Pada pola
kognitif perseptual Tn. D mengalami perubahan, ketika sehat Tn. D tidak
35
ada gangguan dalam berbicara, penglihatan, pendengaran maupun
penciuman, namun ketika sakit Tn. D saat berbicara terbata-bata dan
penglihatannya kabur.
Pada pola persepsi konsep diri, gambaran diri Tn. D mengatakan
senang dengan keadaanya sebelum sakit dan selama sakit Tn. D
merasakan perubahan anggota tubuhnya termasuh keadaan tangan dan
kaki kirinya yang lemah, ideal diri Tn. D mengatakan berharap cepat
sembuh dan ingin segera pulang, harga diri Tn. D mengatakan merasa
tidak berguna sebagai kepala keluarga, dan peran diri Tn. D mengatakan
sebelum sakit Tn. D dapat melakukan perannya sebagai kepala keluarga,
namun saat sakit Tn. D tidak dapat menjalankan perannya dengan baik.
Dalam pola hubungan peran, sebelum sakit Tn. D mengatakan
memiliki hubungan yang baik dengan keluarga dan lingkungannya, selama
sakit pasein mengatakan memiliki hubungan yang baik dengan keluarga
dan lingkungannya. Pola seksual reproduksi Tn. D seorang suami dengan
satu orang istri dan 4 orang anak. Pada pola mekanisme kopingTn. D
mengatakan pasien pasrah kepada penciptanya atas penyakit yang di
deritanya, walau demikian Tn. D masih semangat untuk sembuh dan
menjalani pengobatannya. Tn. D seorang yang beragama islam dan selalu
berusaha menjalankan kewajibannya.
3. Pemeriksaan fisik
Tn. D tampak lemah dengan kesadaran composmentis, dengan
tekanan darah 200/95 mmHg, nadi 80x/ menit, pernafasan 22x/ menit, dan
36
suhu 36,6 o
C. Bentuk kepala Tn. D mesocepal, kulit bersih, rambut bersih
dengan muka simetris. Mata simetris, konjungtiva tidak anemis, sklera
tidak ikterik, penglihatan kabur. Keadaan hidung normal, tidak ada sekret.
Mulut normal, bibir simetris, tidak ada sariawan, mukosa bibir kering, gigi
normal. Keadaan telinga normal kanan dan kiri, tidak ada serumen, dan
berfungsi dengan baik. Keadaan leher tidak ada kaku kuduk dan tidak ada
pembesaran kelanjar tyroid.
Hasil pemeriksaan dada, pemeriksaan paru-paru inspeksi bentuk
dada simetris, palpasi vokal fremitus sama antara kanan dan kiri, perkusi
sonor disemua lapang paru, auskultasi vesikular disemua lapang paru.
Hasil pemeriksaan jantung, inspeksi ictus cordis tidak tampak,
palpasi ictus cordis tidak tampak, perkusi pekak, auskultasi tidak ada
suara tambahan atau bising jantung. Suara bunyi jantung satu dan dua
irama regular.
Hasil pemeriksaan abdomen, inpeksi bentuk datar, tidak ada jejas,
auskultasi peristaltik usus 18x permenit, perkusi pekak dikuadran 1 dan
tympani dikuadran 2, 3,dan 4. Palpasi tidak ada nyeri tekan.
Genetalia bersih, normal. Rektum bersih dan normal, serta
ekstremitas atas kanan normal dan kiri lemah, dan ektremitas bawah kanan
normal dan kiri lemah.
4. Pemeriksaan Laboraturium
Hasil pemeriksaan CT-Scan pada tanggal 5 April 2014 didapatkan
hasil X foto CT-Scan kepala, irisan axial dengan jarak irisan 5 mm, tanpa
37
kontras : tidak tampak diskontinuitas tulang-tulang cranium sulcus dan
gynus berkurang, tampak lesy hypodens luas pada lobus temporoparietal
kanan, tidak tampak pelebaran kedua ventrikel lateralis, tidak tampak
deviasi linea mediana. Kesan gambar infark cerebri pada lobus
temporaparietal kanan.
Pada hasil laboraturium pada tanggal 5 April 2014 didapatkan
glukosa darah puasa 93 mg/dl, glukosa 2 jam PP 110 mg/dl, cholesterol
total 153 mg/dl, HDL cholesterol 111 mg/dl, LDLcholesterol 40 mg/dl,
trigliserida 94 mg/dl, ureum 46 mg/dl, creatinin 1.5 mg/dl, asam urat 12.8
mg/dl.
5. Therapy
Therapy yang diperoleh Tn. D adalah asering 20 tpm, citicolin 250
mg/12 jam, amlodipine 10 mg/ 24 jam, piracetam 1 gr/ 6 jam,
ondancentron 4 mg/ 8 jam dan asetosal 1/ 24 jam.
C. Rumusan Masalah Keperawatan
Hasil pengkajian secara wawancara dan observasi kepada pasien,
penulis menemukan masalah antara lain :
1. Masalah utama pada Tn. D adalah ketidakefektifan perfusi jaringan
cerebral berhubungan dengan gangguan aliran arteri atau vena.
Ditandai dengan data subyektifTn. D mengatakan pusing, tangan
dan kaki kirinya lumpuh, dan data obyektif terjadi perubahan respon
38
motorik, terjadi paralisis pada ekstremitas kiri, kelemahan otot, TD 200/95
mmHg, gambaran infark cerebri temporaparietal kanan.
2. Masalah keperawatan kedua adalah hambatan mobilitas fisik berhubungan
dengan kelamahan otot.
Yang ditandai dengan data subyektifTn. D mengatakan tangan dan
kaki kirinya lumpuh, dan data obyektifnya adalah Tn. D lemah, pasien
terbaring di tempat tidur, Tn. D tergantung orang lain untuk memenuhi
kebutuhannya dan pasien terjadi kelumpuhan.
3. Masalah keperawatan yang ketiga adalah gangguan pola tidur yang
berhubungan dengan bising.
Yang ditandai dengan data subyektif Tn. D mengatakan tidak dapat
tidur dengan nyenyak, dan data obyektifnya adalah pasien tidur 4-5 jam,
pasien melaporkan tidurnya tidak bisa nyenyak, Tn. D terbangun saat
malam hari, dan Tn. D tampak lesu.
4. Masalah keperawatan yang keempat adalah risiko nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan kurangnya intake makanan.
Yang ditandai dengan data subyektif Tn. D mengatakan mual dan
muntah 2 kali sehari, dan data obyektifnya adalah Tn. D lemah, Tn. D
tidak menghabiskan porsi makannya.
39
D. Intervensi Keperawatan
Tujuan yang dibuat penulis berdasarkan masalah keperawatan adalah
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 kali 24 jam diharapkan
masalah dapat teratasi dengan kriteria hasil menggunakan metode SMART
(Spesific, Measurable, Achieveble, Rasional, and Timing) dan intervensi
keperawatan dengan metode ONEC (Observation, Nursing needed, Education,
and Colaboration), intervensi keperawatan untuk Tn. D adalah :
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan gangguan
aliran arteri dan vena.
Dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x
24 jam diharapkan Tn. D perfusi jaringan adekuat dengan kriteria hasil :
klien tidak gelisah, tidak ada keluhan nyeri kepala, mual, kejang, pupil
isokor, dan tanda-tanda vital normal.
Intervensi yang diberikan pada Tn. D adalah berikan penjelasan
kepada keluarga pasien tentang sebab-sebab peningkatan TIK dan
akibatnya agar keluarga dapat berpartisipasi dalam penyembuhan klien,
baringkan pasien total dengan posisi tidur tanpa bantal karena perubahan
intrakranial dapat menyebabkan risiko terjadinya herniasi otak, monitor
tanda-tanda vital untuk memantau keadaan pasien, monitor asupan dan
keluaran karena hipertermi dapat menyebabkan peningkatan IWL dan
meningkatkan risiko dehidrasi.
40
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan otot.
Dengan tujuan dalam waktu 2 x 24 jam klien mampu menjelaskan
aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya, dengan kriteria hasil : klien
dapat ikut serta dalam program latihan, tidak terjadi kontraktur sendi,
meningkatnya kekuatan otot.
Intervensi yang diberikan adalah kaji mobilitas pasien untuk
mengetahui tingkat kemampuan klien, beri posisi miring 30 derajat untuk
mencegah terjadinya luka tekan, bantu pasien dalam melakukan ROM
untuk memelihara fleksibilitas sendi, kolaborasi dengan fisioterapi untuk
latihan fisik, ajarkan pada pasien dan keluarga dalam pemberian posisi
miring 30 derajat, untuk memandirikan pasien dan keluarga untuk
mencegah terjadinya luka tekan.
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan bising.
Dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x
24 jam diharapkan klien dapat istirahat tidur dengan maksimal, dengan
kriteria hasil : tidak menunjukan perilaku gelisah, wajah tidak pucat,
melaporkan dapat tidur cukup.
Intervensi yang diberikan pada Tn. D adalah kaji pola istirahat
tidur untuk mengetahui kemudahan tidur pasien, pantau keadaan umum
pasien untuk mengetahui kesadaran pasien, ciptakan suasana nyaman
untuk membantu relaksasi, ajarkan teknik relaksasi untuk mengurangi
kegelisahan.
41
4. Risiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kurangnya intake makanan.
Dengan tujuan Dalam waktu 2 x 24 jam diharapkan klien
kebutuhan nutrisi terpenuhi, dengan kriteria hasil : turgor kulit baik,
asupan dapat masuk dengan sesuai kebutuhan, terdapat kemampuan
menelan, Berat badan meningkat.
Intervensi yang diberikan adalah observasi turgor kulit untuk
mengetahui mengetahui kapitali revil dari kulit pasien, lakukan oral
higiene, untuk kebersihan mulut merangsang nafsu nutrisi, observasi
intake dan output nutrisi untuk mengetahui keseimbangan nutrisi klien,
berikan makanan secara perlahan dengan lingkungan yang tenang agar
klien mampu berkonsentrasi pada mekanisme makanan.
E. Implementasi Keperawatan
Tindakan keperawatan yang diberikan pada tanggal 7 April 2014 pada
jam 09.00 WIB mengobservasi keadaan umum pasien didapatkan respon
subyektif Tn. D mengatakan tangan dan kaki kirinya lumpuh dan respon
obyektif adalah Tn. D lemah, Tn. D terbaring lemah ditempat tidur, Tn. D
tergantung dengan orang lain. Pada jam 09.20 WIB mengkaji pola tidur pasien
didapatkan respon subyektif Tn. D mengatakan tidur tidak bisa nyenyak dan
respon obyektifnya Tn. D melaporkan tidur 4-5 jam, tidur tidak nyenyak, Tn.
D lesu. Pada jam 10.00 WIB dilakukan tindakan pemberian posisi miring 30
derajat untuk mencegah terjadinya luka tekan didapatkan respon subyektif Tn.
42
D mengatakan tangan dan kakinya lumpuh dan di dapatkan respon obyektif
Tn. D diberikan posisi miring 30 derajat.
Pada jam 11.00 WIB dilakukan tindakan memonitor tanda-tanda vital
didapatkan respon obyektif TD : 200/95 mmHg, N : 80 kali/ menit, RR : 22
kali/ menit, S : 36,6 oC. Pada jam 11.45 WIB memberikan makan selagi
hangat didapatkan respon subyektif Tn. D tidak nafsu makan dan respon
obyektifnya adalah Tn. D tidak menghabiskan porsi makannya. Pada jam
12.00 WIB dilakukan tindakan pemberikan posisi miring 30 derajat untuk
mencegah terjadinya luka tekan didapatkan respon obyektif pasien tampak
diberikan posisi miring 30 derajat. Pada jam 13.00 WIB menciptakan
lingkungan yang nyaman didapatkan respon obyektif pasien tampak terbaring
ditempat tidur. Pada jam 14.00 WIB Tn. D di berikan posisi miring 30 derajat
untuk mencegah terjadinya luka tekan didapatkan respon obyektif Tn. D
diposisikan miring 30 derajat.
Pada tanggal 8 April 2014 jam 09.00 WIB mengobservasi keadaan
umum pasien didapatkan respon subyektif Tn. D mengatakan tangan dan kaki
kirinya lumpuh dan respon obyektif adalah Tn. D lemah, Tn. D terbaring
lemah ditempat tidur, Tn. D tergantung dengan orang lain. Pada jam 09.20
pola tidur pasien didapatkan respon subyektif Tn. D mengatakan tidur tidak
bisa nyenyak dan respon obyektifnya Tn. D melaporkan tidur 4-5 jam, tidur
tidak nyenyak, Tn. D lesu. Pada jam 10.00 WIB dilakukan tindakan
pemberian posisi miring 30 derajat untuk mencegah terjadinya luka tekan
didapatkan respon subyektif Tn. D mengatakan tangan dan kakinya tidak
43
dapat di gerakan dan di dapatkan respon obyektif Tn. D diberikan posisi
miring 30 derajat.
Pada jam 11.00 WIB dilakukan tindakan memonitor tanda-tanda vital
didapatkan respon obyektif TD : 160/ 80 mmHg, N : 82 kali/ menit, RR : 24
kali/ menit, S : 36,8 oC. Pada jam 11.45 WIB memberikan makan selagi
hangat didapatkan respon subyektif Tn. D tidak nafsu makan dan respon
obyektifnya adalah Tn. D tidak menghabiskan porsi makannya. Pada jam
12.00 WIB dilakukan tindakan pemberikan posisi miring 30 derajat untuk
mencegah terjadinya luka tekan didapatkan respon obyektif Tn. D diberikan
posisi miring 30 derajat. Pada jam 13.00 WIB menciptakan lingkungan yang
nyaman didapatkan respon obyektif TN. D terbaring ditempat tidur. Pada jam
14.00 WIB pasien di berikan posisi miring 30 derajat untuk mencegah
terjadinya luka tekan didapatkan respon obyektif Tn. D diposisikan miring 30
derajat.
F. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi dilakukan setelah tindakan keperawatan pada hari itu juga,
penulis melakukan evaluasi dengan metode wawancara dan observasi terhadap
pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
Pada hari senin, 7 April 2014 pada jam 14.10 WIB pada diagnosa
ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan gangguan aliran arteri
dan vena didapatkan data subyektif pasien mengatakan pusing, tangan dan
kaki kirinya lumpuh, data obyektifnya terjadi parilisis pada ekstremitas kiri,
44
kelemahan otot, selalu dibantu saat beraktivitas, TD : 200/ 95 mmHg, analisis
masalah belum teratasi, planning lanjutkan intervensi. Monitor status
neurologis, monitor TTV, berikan pendidikan kesehatan, kolaborasi dengan
dokter.
Pada jam 14.20 WIB pada diagnosa hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan kelemahan otot didapatkan data subyektif pasien
mengatakan tangan dan kaki kirinya lumpuh, data obyektifnya pasien tampak
lemah, pasien tampak terbaring lemah di atas tempat tidur, pasien tergantung
pada orang lain, analisis masalah belum teratasi, planning lanjutkan
intervensi. Observasi kehilangan atau gangguan keseimbangan, berikan posisi
miring 30 derajat, anjurkan pemberian lingkungan yang tenang, ajarkan
kepada keluarga pasien agar memberikan posisi miring 30 derajat.
Pada jam 14.30 WIB pada diagnosa gangguan pola tidur berhubungan
dengan bising di dapatkan data subyektif pasien mengatakan tidak bisa tidur
nyenyak, data obyektif pasien melaporkan tidur 4-5 jam, pasien tampak lesu,
pasien tampak terbangun saat malam hari, analisis masalah belum teratasi,
planning lanjutkan intervensi. Kaji pola tidur, pantau keadaan umum pasien
dan TTV, ajarkan relaksasi.
Pada jam 14.40 WIB pada diagnosa risiko gangguan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurangnya intake makanan
didapatkan data subyektif pasien mengatakan mual, muntah tidak nafsu
makan, di dapatkan data obyektif pasien tampak lemah, pasien tampak tidak
menghabiskan porsi makan, makan hanya habis setengah porsi, analisis
45
masalah belum teratasi, planning lanjutkan intervensi. Observasi keadaan
umum, observasi pola makan, anjurkan makan sedikit tapi sering, kolaborasi
dengan ahli gizi.
Pada hari selasa, tanggal 8 April 2014 jam 14.10 WIB pada diagnosa
ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan gangguan aliran arteri
dan vena didapatkan data subyektif pasien mengatakan tangan dan kaki
kirinya lumpuh, data obyektifnya terjadi parilisis pada ekstremitas kiri,
kelemahan otot, selalu dibantu saat beraktivitas, TD : 160/ 80 mmHg, analisis
masalah belum teratasi, planning lanjutkan intervensi. Monitor status
neurologis, monitor TTV, berikan pendidikan kesehatan, kolaborasi dengan
dokter.
Pada jam 14.20 WIB pada diagnosa hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan kelemahan otot didapatkan data subyektif pasien
mengatakan tangan dan kaki kirinya lumpuh, data obyektifnya pasien tampak
lemah, pasien tampak terbaring lemah di atas tempat tidur, pasien tergantung
pada orang lain, analisis masalah belum teratasi, planning lanjutkan
intervensi. Observasi kehilangan atau gangguan keseimbangan, berikan posisi
miring 30 derajat, anjurkan pemberian lingkungan yang tenang, ajarkan
kepada keluarga pasien agar memberikan posisi miring 30 derajat.
Pada jam 14.30 WIB pada diagnosa gangguan pola tidur berhubungan
dengan bising di dapatkan data subyektif pasien mengatakan tidak bisa tidur
nyenyak, data obyektif pasien melaporkan tidurnya tidak nyenyak, pasien
tampak lesu, pasien tampak terbangun saat malam hari, analisis masalah
46
belum teratasi, planning lanjutkan intervensi. Kaji pola tidur, pantau keadaan
umum pasien dan TTV, ajarkan relaksasi.
Pada jam 14.40 WIB pada diagnosa risiko gangguan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurangnya intake makanan
didapatkan data subyektif pasien mengatakan mual, muntah tidak nafsu
makan, di dapatkan data obyektif pasien tampak lemah, pasien tampak tidak
menghabiskan porsi makan, makan hanya habis setengah porsi dan sedikit
minum, analisis masalah belum teratasi, planning lanjutkan intervensi.
Observasi keadaan umum, observasi pola makan, anjurkan makan sedikit tapi
sering, kolaborasi dengan ahli gizi.
47
BAB IV
PEMBAHASAN
Luka tekan adalah suatu area yang terlokalisir dengan jaringan mengalami
nekrosis yang biasanya terjadi pada bagian permukaan tulang yang menonjol,
sebagai akibat dari tekanan dalam jangka waktu lama yang menyebabkan
peningkatan tekanan kapiler (Suriadi, 2004). Luka tekan yang terjadi akibat
rusaknya epidermis, dermis, dan kadang-kadang jaringan subkutis dan tulang
bawahnya. Luka tekan ini biasanya dijumpai pada orang-orang yang dirawat di
tempat tidur atau mengalami penurunan mobilitas, seperti penderita stroke
(Corwin, 2009).
Stroke merupakan penyakit atau gangguan fungsional otak berupa
kelumpuhan saraf (deficit neurologic) akibat terhambatnya aliran darh ke otak.
Secara sederhana stroke akut didefinisikan sebagai penyakit otak akibat
terhentinya suplai darah ke otak karena sumbatan (stroke iskemik) atau
perdarahan (stroke hemoragik) (Junaidi, 2011). Menurut Satyanegara (1998)
dalam Ariani (2012), gangguan peredaran darah otak atau stroke dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu non hemoragik atau iskemik atau infark dan
stroke hemoragik. Stroke non hemoragik sendiri masih dibagi menjadi empat,
yaitu serangan iskemi sepintas (TIA), defisit neurologis iskemik sepintas (RIND),
progressing stroke, stroke komplet.
Luka tekan sendiri diklasifikasikan menjadi empat derajat, yang pertama
derajat I terlihat area kemerahan berbatas tegas yang persisten pada kulit yang
48
berwarna terang, dan pada kulit yang lebih gelap terlihat area kemerahan, biru,
atau keunguan. Derajat II kehilangan sebagian ketebalan kulit epidermis atau
dermis, terdapat ulkus superfisial, terdapat abrasi, lepuhan, atau kawah (gaung)
dangkal. Derajat III kehilangan seluruh ketebalan kulit, kerusakan atau nekrosis
jaringan subkutaneus, dapat meluas ke bawah tetapi tidak sampai ke fasia,
terdapat kawah atau gaung yang dalam dengan atau tanpa batas yang tegas.
Derajat IV kehilangan seluruh ketebalan kulit, destruksi yang luas, terdapat
jaringan nekrosis atau kerusakan sampai ke otot, tulang, atau struktur penunjang
lainnya, dan bisa terjadi kemungkinan terbentuknya terowongan dari saluran sinus
(Weinstock, 2008).
Pada bab ini penulis membahas mengenai pemberian posisi miring 30
derajat untuk mencegah terjadinya luka tekan grade I pada asuhan keperawatan
Tn. D dengan stroke non hemoragik di ruang Anggrek RSUD Sukoharjo.
Pembahasan pada bab ini terutama membahas adanya kesesuaian antara penelitian
jurnal dan teori dengan kasus yang terjadi di lapangan. Proses asuhan keperawatan
seperti pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang komprehensif meliputi
biologis, psikologis, sosial, dan spiritual melalui tahap pengkajian, perumusan
masalah, rencana tindakan, tindakan keperawatan, dan evaluasi.
A. Pengkajian
Pengkajian adalah proses mengumpulkan data relevan yang kontinue
tentang respon manusia, status kesehatan, kekuatan, dan masalah klien. Tujuan
dari pengkajian adalah untuk memperoleh informasi tentang keadaan
49
kesehatan klien, menentukan masalah keperawatan dan kesehatan klien,
menilai keadaan kesehatan klien, membuat keputusan yang tepat dalam
menentukan langkah-langkah berikutnya (Dermawan, 2012).
Pengkajian terhadap Tn. D dengan stroke non hemoragik di ruang
Anggrek RSUD Sukoharjo menggunakan metode autoanamnesa dan
alloanamnesa, dimulai dari biodata pasien , riwayat kesehatan, pengkajian
pola kesehatan Gordon, pengkajian fisik, dan di dukung dengan hasil
laboratorium dan hasil pemeriksaan penunjang. Metode dalam
mengumpulkan data adalah observasi yaitu, dengan mengamati perilaku dan
keadaan pasien untuk memperoleh data tentang masalah-masalah yang
dialami klien. Selanjutnya data dasar tersebut digunakan untuk menentukan
diagnosis keperawatan untuk mengatasi masalah-masalah klien (Dermawan,
2012).
Pada pasien stroke biasanya mengalami tanda seperti kelemahan, mati
rasa, perubahan penglihatan, disartria (gangguan berbicara), disfagia
(kesulitan menelan), atau afasia (kesulitan berbicara) (Morton, 2008).
Menurut Smeltzer (2001) dalam Ariani (2012) manifestasi stroke antara lain :
defisit lapang penglihatan, defisit motorik, defisit verbal, defisit kognitif, dan
defisit emosional.
Sedangkan pada Tn. D dengan stroke non hemoragik, saat dilakukan
pengkajian di dapatkan data pasien mengatakan tangan dan kaki kirinya
lumpuh, terjadi kelemahan otot sehingga untuk memenuhi kebutuhan
aktivitasnya Tn. D dibantu orang lain dan alat, hal ini menandakan pada Tn. D
50
mengalami perubahan respon motorik atau defisit motorik. Pasien mengatakan
penglihatannya kabur dan saat berbicara kata-kata yang diucapkan pasien
terdengar tidak begitu jelas, hal ini menandakan Tn . D mengalami defisit
lapang penglihatan dan defisit verbal maupun kognitif.
Selain itu pasien juga mengatakan mual dan muntah dengan frekuensi
2 kali dalam sehari, kurang lebih 100 cc dengan warna putih kecoklatan,
pasien mengatakan tidak mau makan dan hanya sedikit minum, hal ini
menandakan bahwa pasien mengalami disfagia atau kesulitan dalam menelan.
Pada pasien Tn. D tidak mengalami defisit emosional dikarenakan Tn. D
pasrah kepada tuhan atas penyakit yang dideritanya, hal ini terkaji pada pola
mekanisme koping yang mengatakan bahwa pasien pasrah kepada penciptanya
atas penyakit yang di deritanya, walau demikian pasien masih semangat untuk
sembuh dan menjalani pengobatannya.
Pada pengkajian fisik tanda-tanda vital pasien di dapatkan hasil :
tekanan darah 200/95 mmHg, nadi 80 x/ menit, Respirasi 22 x/ menit, suhu
36,6o C. Pada saat dilakukan CT-Scan didapatkan hasil gambaran infark
cerebri pada lobus temporoparietal kanan. Pada hasil laboraturium didapatkan
hasil glukosa darah puasa 93 mg/dl, glukosa 2 jam PP 110 mg/dl, cholesterol
total 153 mg/dl, HDL cholesterol 111 mg/dl, LDL cholesterol 40 mg/dl,
trigliserida 94 mg/dl, ureum 46 mg/dl, creatinin 1.5 mg/dl, asam urat 12.8
mg/dl.
51
Therapy yang diperoleh Tn. D adalah asering 20 tpm, citicolin 250
mg/12 jam, amlodipine 10 mg/ 24 jam, piracetam 1 gr/ 6 jam, ondancentron 4
mg/ 8 jam dan asetosal 1/ 24 jam.
B. Perumusan Masalah
Diagnosa keperawatan mencerminkan masalah kesehatan yang dapat
diatasi oleh perawatan yang mamberikan arahan untuk intervensi keperawatan
(Dermawan, 2012). Diagnosa yang mungkin muncul, pertama risiko
peningkatan TIK yang berhubungan dengan peningkatan volume intrakranial,
penekanan jaringan otak, dan edema serebri. Kedua, perubahan perfusi
jaringan serebral yang berhubungan dengan perdarahan intraserebral, oklusi
otak, vasospasme, dan edema otak. Ketiga, ketidakefektifan bersihan jalan
napas yang berhubungan dengan akumulasi sekret, kemampuan batuk
menurun, penurunan mobilitas fisik sekunder, perubahan tingkat kesadaran.
Keempat, hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparase/
hemiplagia, kelembaban neuromuskular pada ektremitas. Ketiga, risiko
gangguan intregitas kulit yang berhubungan dengan tirah baring yang lama.
Kelima, Risiko gangguan intregitas kulit yang berhubungan dengan tirah
baring yang lama. Keenam, defisit perawatan diri yang berhubungan dengan
kelemahan neuromuskular, menurunnya kekuatan dan kesadaran, kehilangan
kontrol/ koordinasi otot. Ketujuh, kerusakan komuniksi verbal yang
berhubungan dengan efek dari kerusakan pada area bicara pada hemisfer otak,
kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral, dan kelemahan secara umum.
52
Kedelapan, risiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan kelemahan otot dalam mengunyah dan menelan dan yang
kesembilan Risiko infeksi yang berhubungan dengan sistem pertahanan primer
(cedera pada jaringan paru, penurunan aktivitas silia), malnutrisi, tindakan
invasif (Muttaqin, 2008).
Setelah dilakukan pengkajian pada Tn. D dengan stroke non
hemoragik di ruang Anggrek RSUD Sukoharjo, dapat diambil masalah
keperawatan ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan
gangguan aliran arteri dan vena, hambatan mobilitas fisik berhubungan
dengan kelemahan otot, gangguan pola tidur berhubungan dengan bising,
risiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurangnya
intake makanan.
Diagnosa masalah berdasarkan Muttaqin (2008) yang diangkat penulis
hanya 3 diantaranya, yaitu ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral
berhubungan dengan gangguan aliran arteri dan vena, hambatan mobilitas
fisik berhubungan dengan kelemahan otot, risiko nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurangnya intake makanan. Sedangkan
disini penulis mengangkat diagnosa keperawatan gangguan pola tidur
berhubungan dengan bising yang tidak terdapat pada Muttaqin (2008)
dikarenakan pada saat dilakukan pengkajian pasien mengeluhkan tidurnya
terganggu dikarenakan kebisingan yang terjadi di rumah sakit.
53
Berikut diagnosa keperawatan yang telah diangkat penulis beserta
analisanya :
1. Diagnosa keperawatan ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral
berhubungan dengan gangguan aliran arteri dan vena adalah penurunan
sirkulasi darah ke otak yang dapat mengganggu kesehatan (Wilkinson,
2009).
Masalah keperawatan yang diambil penulis ketidakefektifan
perfusi jaringan cerebral sesuai dengan Wilkinson (2009). Batasan
karakteristik pada diagnosa ini perubahan fungsi motorik, perubahan
tekanan darah (Wilkinson, 2009). Penulis memprioritaskan diagnosa
ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral karena berdasarkan keaktualan
masalah yang mengancam nyawa sesuai dengan Hierarki Maslow (1974),
yang memprioritas kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan paling utama.
Penulis mengambil prioritas diagnosa ini berdasarkan data
subyektif Tn. D mengatakan pusing, tangan dan kaki kirinya lumpuh, dan
data obyektif terjadi perubahan respon motorik, terjadi paralisis pada
ekstremitas kiri, kelemahan otot yang ditandai dengan aktivitas klien yang
selalu dibantu oleh orang lain dan alat, TD : 200/85 mmHg, gambaran
infark cerebri pada lobus temporoparietal kanan. Pada Tn. D sesuai
dengan batasan karakteristik pada Wilkinson (2009) yaitu terjadi
perubahan fungsi motorik dan perubahan tekanan darah.
54
2. Diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
kelemahan otot adalah keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh atau satu
atau lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah. Batasan karakteristik
pada diagnosa ini adalah kesulitan membolak – balik posisi, perubahan
cara berjalan, pergerakan gemetar, keterbatasan kemampuan untuk
melakukan ketrampilan motorik kasar, keterbatasan kemampuan untuk
melakukan ketrampilan motorik halus, keterbatasan rentang pergerakan
sendi, pergerakan lamat (Wilkinson, 2009).
Sedangkan yang dialami pasien, di dapatkan data subyektif pasien
mengatakan tangan dan kaki kirinya lumpuh, dan data obyektifnya adalah
Tn. D lemah, Tn. D terbaring di tempat tidur, pasien tergantung orang lain
untuk memenuhi kebutuhannya dan pasien terjadi kelumpuhan.
Yang dialami oleh pasien sudah sesuai dengan batasan
karakteristik dalam Wilkinson (2009), hal ini dikarenakan untuk
memenuhi kebutuhan aktivitasnya pasien selalu dibantu oleh orang lain
dan alat.
3. Diagnosa keperawatan gangguan pola tidur berhubungan dengan bising
adalah gangguan kualitas dan kuantitas waktu tidur akibat faktor eksternal.
Batasan karakteristik pada diagnosa ini adalah keluhan verbal merasa
kurang istirahat, kurang puas tidur, melaporkan sering terjaga (Wilkinson,
2009).
Pada Tn. D didapatkan hasil pengkajian dengan data subyektif
pasien mengatakan tidak dapat tidur dengan nyenyak, dan data
55
obyektifnya adalah pasien tidur 4-5 jam, pasien melaporkan tidurnya tidak
bisa nyenyak, pasien terbangun saat malam hari, dan pasien lesu. Hal yang
dialami Tn. D ini sudah sesuai dengan batasan karakteristik sesuai dengan
Wilkinson (2009), hal ini di karenakan pasien mengeluhkan tidak dapat
tidur dengan nyenyak, dan pasien tampak terbangun saat malam hari.
4. Diagnosa keperawatan risiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan kurangnya intake makanan adalah berisiko pada
asupan nutrisi yang berlebihan (Wilkinson, 2009). Batasan karakteristik
pada diagnosa ini muntah, kurang nafsu makan (Hawan, 2011).
Saat dilakukan pengkajian pada Tn. D didapatkan data subyektif
pasien mengatakan mual dan muntah 2 kali sehari, dan data obyektifnya
adalah pasien lemah, pasien tidak menghabiskan porsi makannya. Yang
dialami Tn. D sudah sama dengan batasan karakteristik oleh Hawan
(2011).
Dan berikut ini diagnosa keperawatan menurut Muttaqin (2008) yang
tidak diangkat oleh penulis :
1. Risiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan peningkatan volome
intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri.
Peningkatan tekanan intra kranial merupakan suatu keadaan klinis
ketika mekanisme dinamis cairan intracranial yang biasanya
berkompetensi terhadap terjadinya peningkatan tekanan intracranial (TIK),
menjadi tidak proposional sebagai respon terhadap stimulus berbahaya dan
tidak berbahaya yang beragam. Dengan batasan karakteristik : nilai dasar
56
tekanan intracranial >10mmhg, peningkatan TIK yang tidak proposional
setelah terdapat satu stimulus lingkungan atau stimulus tindakan
keperawatan, peningkatan bentuk gelombang P2 TIK, peningkatan tekanan
intracranial >10mmhg secara berulang selama lebih dari 5 menit setelah
terdapat stimulus eksternal yang bermacam – macam, variasi hasil uji
respon – volume ( rasio volume tekan >2, indeks tekanan volume <10),
bentuk gelombang TIK dalam amplitude yang luas (Wilkinson, 2009).
Diagnosa keperawatan risiko peningkatan tekanan intra kranial
tidak diangkat oleh penulis dikarenakan batasan karakteristik pada diagnosa
keperawatan ini tidak dialami oleh Tn. D.
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan
akumulasi sekret, kemampuan batuk menurun, penurunan mobilitas fisik
sekunder, perubahan tingkat kesadaran.
Ketidakefektifan bersihan jalan napas merupakan ketidakmampuan
untuk membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran napas untuk
mempertahankan bersihan jalan napas. Dengan batasan karakteristik :
tidak ada batuk, suara napas tambahan, perubahan frekuensi napas,
perubahan irama napas, sianosis, kesulitan berbicara atau mengeluarkan
suara, penurunan bunyi napas, dispnea, sputum dalam jumlah yang
berlebihan, batuk yang tidak efektif, ortopnea,geliah,mata terbuka lebar
(Wilkinson, 2009).
57
Diagnosa keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan napas tidak
diangkat oleh penulis dikarenakan batasan karakteristik pada diagnosa
keperawatan ini tidak dialami oleh Tn. D dengan stroke non hemoragik.
2. Risiko gangguan intregitas kulit yang berhubungan dengan tirah baring
yang lama.
Kerusakan integritas kulit merupakan perubahan atau gangguan
epidermis dan atau dermis. Dengan batasan karakteristik : kerusakan
lapisan kulit, gangguan permukaan kulit, invasi struktur tubuh (Wilkinson,
2009).
Diagnosa keperawatan risiko gangguan integritas kulit tidak
diangkat penulis dikarenakan batasan karakteristik pada diagnosa
keperawatan ini tidak dialami oleh Tn. D dengan stroke non hemoragik.
3. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan
neuromuskular, menurunnya kekuatan dan kesadaran, kehilangan kontrol/
koordinasi otot.
Defisit perawatan diri merupakan hambatan kemampuan untuk
melakukan atau menyelesaikan aktivitas diri untuk diri sendiri. Dengan
batasan karakteristik : ketidakmampuan memenuhi kebutuhan toilething,
ketidakmampuan berhias, ketidakmampuan makan, ketidakmampuan
berpakaian (Wilkinson, 2009).
Diagnosa keperawatan defisit keperawatan diri tidak diangkat oleh
penulis dikarenakan pada penulis kurang teliti saat melakukan pengkajian,
58
seharusnya penulis bisa lebih teliti saat melakukan pengkajian sehingga
semua masalah yang dialami Tn. D dapat terselesaikan.
4. Kerusakan komuniksi verbal yang berhubungan dengan efek dari
kerusakan pada area bicara pada hemisfer otak, kehilangan kontrol tonus
otot fasial atau oral, dan kelemahan secara umum.
Kerusakan komunikasi verbal merupakan penurunan, kelambatan,
atau ketidakmampuan untuk menerima, memproses, mengirim, dan atau
menggunakan sistem tombol. Dengan batasan karakteristik : tidak ada
kontak mata, tidak dapat bicara, kesulitan memahami pola, komunikasi
yang biasa, kesulitan menyusun kata, kesulitan menyusun kalimat,
kesulitan dalam kehadiran tertentu, kesulitan dalam menggunakan ekspresi
tubuh, kesulitan menggunakan ekspresi wajah, disorientasi terhadap orang,
tidak bicara, dispnea, gagap, pelo, sulit bicara, menolak bicara (Wilkinson,
2009).
Diagnosa keperawatan kerusakan komunikasi verbal tidak diangkat
oleh penulis dikarenakan batasan karakteristik pada diagnosa ini tidak
dialami oleh Tn. D dengan stroke non hemoragik.
5. Risiko infeksi yang berhubungan dengan sistem pertahanan primer (cedera
pada jaringan paru, penurunan aktivitas silia), malnutrisi, tindakan invasif.
Risiko infeksi merupakan suatu keadaan dimana seseorang
mengalami peningkatan risiko terserang organisme patogenik. Dengan
batasan karakteristik : prosedur invasif, tidak cukup pengetahuan dalam
menghindari paparan pathogen, trauma, destruksi jaringan dan
59
peningkatan paparan lingkungan, malnutrisi, pertahanan primer tak
adekuat (kulit tak utuh, trauma jaringan, penurunan gerak silia, cairan
statis, perubahan sekresi pH, perubahan peristaltic) (Wilkinson, 2009).
Diagnosa keperawatan risiko infeksi tidak diangkat penulis
dikarenakan batasan karakteristik pada diagnosa keperawatan ini tidak
dialami oleh Tn. D.
C. Intervensi Keperawatan
Perencanaan adalah suatu proses di dalam pemecahan masalah yang
merupakan keputusan awal tentang sesuatu apa yan akan dilakukan,
bagaimana dilakukan, kapan dilakukan, siapa yang melakukan dari semua
tindakan keperawatan. (Dermawan, 2012). Intervensi atau rencana yang akan
dilakukan oleh penulis disesuaikan dengan kondisi pasien dan fasilitas yang
ada, sehingga rencana tindakan dapat dilaksanakan dengan SMART, Spesifik,
Measurable, Acceptance, Rasional dan Timing. (Dermawan, 2012).
Pembahasn dari intervensi yang meliputi tujuan, kriteria hasil dan
tindakan yaitu pada diagnosa keperawatan.
1. Ketidakefektifan perfusi jaingan cerebral berhubungan dengan gangguan
aliran arteri dan vena.
Dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x
24 jam diharapkan Tn. D perfusi jaringan adekuat dengan kriteria hasil :
klien tidak gelisah, tidak ada keluhan nyeri kepala, mual, kejang, pupil
isokor, dan tanda-tanda vital normal.
60
Intervensi yang dianjurkan adalah Berikan penjelasan kepada
keluarga pasien tentang sebab-sebab peningkatan TIK dan akibatnya agar
keluarga dapat berpartisipasi dalam penyembuhan klien, baringkan pasien
total dengan posisi tidur tanpa bantal karena perubahan intrakranial dapat
menyebabkan risiko terjadinya herniasi otak, monitor tanda-tanda vital
untuk memantau keadaan pasien, monitor asupan dan keluaran karena
hipertermi dapat menyebabkan peningkatan IWL dan meningkatkan risiko
dehidrasi, monitor AGD untuk mengetahui adanya kemungkinan asidosis
(Muttaqin, 2008).Pada Tn. D tidak dilakukan monitor AGD dikarenakan
kurangnya ketelitian dari penulis. Seharusnya penulis lebih teliti dalam
memberikan intervensi pada Tn. D.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan otot
Dengan tujuan dalam waktu 2 x 24 jam klien mampu menjelaskan
aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya, dengan kriteria hasil : klien
dapat ikut serta dalam program latihan, tidak terjadi kontraktur sendi,
meningkatnya kekuatan otot.
Intervensi yang diberikan adalah kaji mobilitas pasien untuk
mengetahui tingkat kemampuan klien, beri posisi miring 30 derajat untuk
mencegah terjadinya luka tekan, bantu pasien dalam melakukan ROM
untuk memelihara fleksibilitas sendi, kolaborasi dengan fisioterapi untuk
latihan fisik, ajarkan pada pasien dan keluarga dalam pemberian posisi
miring 30 derajat, untuk memandirikan pasien dan keluarga untuk
mencegah terjadinya luka tekan (Muttaqin, 2008).
61
Pada diagnosa hambatan mobilitas fisik ini penulis melakukan
intervensi pengaplikasian pemberian posisi miring 30 derajat pada Tn. D
dengan stroke non hemoragik. Pemberian posisi miring 30 derajat ini di
maksutkan untuk mencegah terjadinya luka tekan grade I pada pasien tirah
baring yang mengalami penurunan mobilisasi.
Ulkus dekubitus atau luka tekan adalah suatu area yang terlokalisir
dengan jaringan mengalami nekrosis yang biasanya terjadi pada bagian
permukaan tulang yang menonjol, sebagai akibat dari tekanan dalam
jangka waktu lama yang menyebabkan peningkatan tekanan kapiler
(Suriadi, 2004). Luka tekan grade I terlihat area kemerahan berbatas tegas
yang persisten pada kulit yang berwarna terang. Pada kulit yang lebih
gelap, terlihat area kemerahan, biru, atau keunguan (Weinstock, 2008).
Young (2004) dalam Tarihoran (2010) saat ini telah dikembangkan bentuk
pengaturan posisi yang dikenal sebagai posisi miring 30 derajat.
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan bising
Dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x
24 jam diharapkan klien dapat istirahat tidur dengan maksimal, dengan
kriteria hasil : tidak menunjukan perilaku gelisah, wajah tidak pucat,
melaporkan dapat tidur cukup.
Tindakan keperawatan yang dianjurkan adalah jelaskan pentingnya
tidur yang adekuat agar pasien mengetahui betapa pentingnya istirahat
tidur, fasilitasi untuk mempertahankan aktivitas sebelum tidur agar pasien
dapat lebih mudah untuk tidur, ciptakan lingkungan yang nyaman agar
62
kondisi istirahat pasien lebih kondusif, kolaborasi pemberian obat
tiduruntuk membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan istirahat tidur
(Hawan, 2011).
Intervensi yang diberikan pada Tn. D, selain intervensi yang
dianjurkan penulis memberikan intervensi kaji pola istirahat tidur untuk
mengetahui kemudahan tidur pasien, berikan tidur siang jika diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan tidur pasien (Wilkinson, 2007). Disini penulis
tidak memberikan intervensi pemberian obat tidur dikarenakan
ketidaktelitian penulis dalam pemberian terapi obat. Seharusnya penulis
lebih teliti dalam pemberian terapi obat.
4. Risiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kurangnya intake makanan
Dengan tujuan Dalam waktu 2 x 24 jam diharapkan klien
kebutuhan nutrisi terpenuhi, dengan kriteria hasil : turgor kulit baik,
asupan dapat masuk dengan sesuai kebutuhan, terdapat kemampuan
menelan, Berat badan meningkat.
Intervensi yang diberikan adalah observasi tekstur turgor kulit
untuk mengetahui status gizi klien, lakukan oral higiene untuk kebersihan
mulut merangsang nafsu nutrisi, observasi intake dan output nutrisi untuk
mengetahui keseimbangan nutrisi klien, berikan makanan secara perlahan
dengan lingkungan yang tenang agar klien mampu berkonsentrasi pada
mekanisme makanan (Muttaqin, 2008).
63
Pada Tn. D penulis tidak melakukan intervensi pemberian oral
hygiene dikarenakan oral hygiene pasien masih sangat baik, pasien dibantu
keluarganya dalam memenuhi kebutuhan perawatan dirinya.
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang lebih baik
yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Dermawan, 2012).
Untuk diagnosa pertama yaitu ketidakefektifan perfusi jaringan
cerebral berhubungan dengan gangguan aliran arteri dan vena implementasi
yang dilakukan penulis adalah memberikan penjelasan kepada keluarga pasien
tentang sebab-sebab peningkatan TIK dan akibatnya agar keluarga dapat
berpartisipasi dalam penyembuhan klien, implementasi yang selanjutnya
membaringkan pasien total dengan posisi tidur tanpa bantal karena perubahan
intrakranial dapat menyebabkan risiko terjadinya herniasi otak. Implementasi
selanjutnya memonitor tanda-tanda vital untuk memantau keadaan pasien, dan
memonitor asupan dan keluaran karena hipertermi dapat menyebabkan
peningkatan IWL dan meningkatkan risiko dehidrasi.
Untuk diagnosa yang kedua yaitu hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan kelemahan otot yang dilakukan penulis adalah mengkaji
mobilitasi pasien untuk mengetahui tingkat kemampuan klien, membantu
pasien dalam melakukan ROM untuk memelihara fleksibilitas sendi,
implementasi selanjutnya berkolaborasi dengan fisioterapi untuk latihan fisik.
64
Implementasi yang diberikan selanjutnya adalah memberikan posisi miring 30
derajat seperti yang disebutkan dalam jurnal Tarihoran (2010). Ulkus
dekubitus atau luka tekan adalah suatu area yang terlokalisir dengan jaringan
mengalami nekrosis yang biasanya terjadi pada bagian permukaan tulang yang
menonjol, sebagai akibat dari tekanan dalam jangka waktu lama yang
menyebabkan peningkatan tekanan kapiler (Suriadi, 2004).
Hidayat (2006) dalam Jurnal keperawatan HKBP balige (2013)
menyatakan bahwa merubah posisi merupakan kemampuan individu untuk
bergerak secara bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan aktivitas guna mempertahankan kesehatan.
Young (2004) dalam Tarihoran (2010) Saat ini telah dikembangkan
bentuk pengaturan posisi yang dikenal sebagai posisi miring 30 derajat.
Mengatur posisi miring 30 derajat pada pasien guna mencegah terjadinya luka
tekan. Prosedur awalnya, pasien ditempatkan persis ditengah tempat tidur,
dengan menggunakan bantal untuk menyanggah kepala dan leher. Selanjutnya
tempatkan satu bantal pada sudut antara bokong dan matras, dengan cara
miringkan panggul setinggi 30 derajat. Bantal yang berikutnya ditempatkan
memanjang diantara kedua kaki.
Asuhan keperawatan pada Tn. D dengan stroke non hemoragik, pasien
mengalami penurunan mobilisasi, sehingga harus di berikan tindakan
keperawatan untuk tetap mempertahankan kepatenan integritas kulit pasien
agar tidak terjadi luka tekan. Pada asuhan keperawatan Tn. D ini dilakukan
aplikasi dari jurnal penelitian Tarihoran (2010) yang meneliti tentang dampak
65
pemberian posisi miring pada pasien imobilisasi khususnya pasien dengan
stroke untuk mencegah terjadinya luka tekan grade I. Pemberian posisi miring
30 derajat ini dilakukan sesering mungkin, sama halnya dengan perubahan
posisi yang dilakukan 1-2 jam sesuai kebutuhan yang diungkapkan oleh Era
(2009).
Implementasi selanjutnya selain penulis memberikan posisi miring 30
derajat secara langsung kepada pasien, penulis juga mengajarkan kepada
pasien dan kelurga cara pemberian posisi miring 30 derajat untuk mencegah
terjadinya luka tekan grade I. Hal ini dimaksutkan agar pasien dan keluarga
bisa mandiri dalam merawat keluarganya yang mengalami penurunan
mobilisasi, mengingat betapa pentingnya perubahan posisi pada pasien yang
imobilisasi.
Untuk diagnosa keperawatan yang ketiga adalah gangguan pola tidur
berhubungan dengan bising, pada diagnosa ini penulis melakukan
implementasi mengkaji pola istirahat tidur untuk mengetahui kemudahan tidur
pasien, memberikan tidur siang jika diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
tidur pasien. Implementasi yang selanjutnya adalah menjelaskan pentingnya
tidur yang adekuat agar pasien mengetahui betapa pentingnya istirahat tidur,
yang selanjutnya memfasilitasi pasien untuk mempertahankan aktivitas
sebelum tidur agar pasien dapat lebih mudah untuk tidur, implementasi yang
selanjutnya ciptakan lingkungan yang nyaman agar kondisi istirahat pasien
lebih kondusif.
66
Untuk diagnosa keperawatan yang keempat adalah risiko nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurangnya intake makanan,
implementasi yang diberikan adalah mengobservasi tekstur turgor kulit untuk
mengetahui status gizi klien, implementasi selanjutnya mengobservasi intake
dan output nutrisi untuk mengetahui keseimbangan nutrisi klien, dan
selanjutnya memberikan makanan secara perlahan dengan lingkungan yang
tenang agar klien mampu berkonsentrasi pada mekanisme makanan.
E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi didefinisikan sebagai keputusan asuhan keperawatan antara
dasar tujuan keperawatan klien yang telah ditetapkan dengan respon perilaku
klien yang tampil. (Dermawan, 2012).
Evaluasi yang akan dilakukan oleh penulis disesuaikan dengan kondisi
pasien dan fasilitas yang ada, sehingga rencana tindakan dapat dilaksanakan
dengan SOAP, subjective, objective, analisa, planning. (Dermawan, 2012).
Pada hari senin, 7 April 2014 pada jam 14.10 WIB pada diagnosa
ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan gangguan aliran arteri
dan vena didapatkan data subyektif pasien mengatakan pusing, tangan dan
kaki kirinya lumpuh, data obyektifnya terjadi parilisis pada ekstremitas kiri,
kelemahan otot, selalu dibantu saat beraktivitas, TD : 200/ 95 mmHg, analisis
masalah belum teratasi, planning lanjutkan intervensi. Monitor status
neurologis, monitor TTV, berikan pendidikan kesehatan, kolaborasi dengan
dokter.
67
Pada jam 14.20 WIB pada diagnosa hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan kelemahan otot didapatkan data subyektif pasien
mengatakan tangan dan kaki kirinya lumpuh, data obyektifnya pasien tampak
lemah, pasien tampak terbaring lemah di atas tempat tidur, pasien tergantung
pada orang lain, analisis masalah belum teratasi, planning lanjutkan
intervensi. Observasi kehilangan atau gangguan keseimbangan, berikan posisi
miring 30 derajat, anjurkan pemberian lingkungan yang tenang, ajarkan
kepada keluarga pasien agar memberikan posisi miring 30 derajat.
Pada jam 14.30 WIB pada diagnosa gangguan pola tidur berhubungan
dengan bising di dapatkan data subyektif pasien mengatakan tidak bisa tidur
nyenyak, data obyektif pasien melaporkan tidur 4-5 jam, pasien tampak lesu,
pasien tampak terbangun saat malam hari, analisis masalah belum teratasi,
planning lanjutkan intervensi. Kaji pola tidur, pantau keadaan umum pasien
dan TTV, ajarkan relaksasi.
Pada jam 14.40 WIB pada diagnosa risiko gangguan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurangnya intake makanan
didapatkan data subyektif pasien mengatakan mual, muntah tidak nafsu
makan, di dapatkan data obyektif pasien tampak lemah, pasien tampak tidak
menghabiskan porsi makan, makan hanya habis setengah porsi, analisis
masalah belum teratasi, planning lanjutkan intervensi. Observasi keadaan
umum, observasi pola makan, anjurkan makan sedikit tapi sering, kolaborasi
dengan ahli gizi.
68
Pada hari selasa, tanggal 8 April 2014 jam 14.10 WIB pada diagnosa
ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan gangguan aliran arteri
dan vena didapatkan data subyektif pasien mengatakan tangan dan kaki
kirinya lumpuh, data obyektifnya terjadi parilisis pada ekstremitas kiri,
kelemahan otot, selalu dibantu saat beraktivitas, TD : 160/ 80 mmHg, analisis
masalah belum teratasi, planning lanjutkan intervensi. Monitor status
neurologis, monitor TTV, berikan pendidikan kesehatan, kolaborasi dengan
dokter.
Pada jam 14.20 WIB pada diagnosa hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan kelemahan otot didapatkan data subyektif pasien
mengatakan tangan dan kaki kirinya lumpuh, data obyektifnya pasien tampak
lemah, pasien tampak terbaring lemah di atas tempat tidur, pasien tergantung
pada orang lain, analisis masalah belum teratasi, planning lanjutkan
intervensi. Observasi kehilangan atau gangguan keseimbangan, berikan posisi
miring 30 derajat, anjurkan pemberian lingkungan yang tenang, ajarkan
kepada keluarga pasien agar memberikan posisi miring 30 derajat.
Pada jam 14.30 WIB pada diagnosa gangguan pola tidur berhubungan
dengan bising di dapatkan data subyektif pasien mengatakan tidak bisa tidur
nyenyak, data obyektif pasien melaporkan tidurnya tidak nyenyak, pasien
tampak lesu, pasien tampak terbangun saat malam hari, analisis masalah
belum teratasi, planning lanjutkan intervensi. Kaji pola tidur, pantau keadaan
umum pasien dan TTV, ajarkan relaksasi.
69
Pada jam 14.40 WIB pada diagnosa risiko gangguan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurangnya intake makanan
didapatkan data subyektif pasien mengatakan mual, muntah tidak nafsu
makan, di dapatkan data obyektif pasien tampak lemah, pasien tampak tidak
menghabiskan porsi makan, makan hanya habis setengah porsi dan sedikit
minum, analisis masalah belum teratasi, planning lanjutkan intervensi.
Observasi keadaan umum, observasi pola makan, anjurkan makan sedikit tapi
sering, kolaborasi dengan ahli gizi.
70
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pengkajian
Pengkajian terhadap Tn. D dengan stroke non hemoragik di ruang
Anggrek RSUD Sukoharjo didapatkan hasil pengkajian Tn. D mengatakan
tangan dan kaki kirinya lumpuh, mual dan muntah, tidak nafsu makan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan hasil tekanan darah 200/95 mmHg,
nadi 80 x/ menit, respirasi 22 x/ menit, dan suhu 36,6oC. Pada hasil CT-
Scan gambaran infark cerebri pada lobus temporoparietal kanan.
2. Rumusan Masalah
Setelah dilakukan pengkajian pada Tn. D dengan stroke non
hemoragik di ruang Anggrek RSUD Sukoharjo, penulis mengangkat
diagnosa keperawatan ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral
berhubungan dengan gangguan aliran arteri dan vena, hambatan mobilitas
fisik berhubungan dengan kelemahan otot, gangguan pola tidur
berhubungan dengan bising, risiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan kurangnya intake makanan.
3. Intervensi Keperawatan
Setelah penulis mengangkat diagnosa keperawatan, tahap
selanjutnya adalah melakukan intervensi keperawatan. Pada intervensi
keperawatan ini penulis lebih menekankan intervensi keperawatan
71
pemberian posisi miring 30 derajat untuk mencegah terjadinya luka tekan
grade I yang diberikan pada diagnosa keperawatan hambatan mobilitas
fisik berhubungan dengan kelemahan otot. Intervensi yang dilakukan
berdasarkan dari hasil penelitian Tarihoran (2010).
4. Implementasi Keperawatan
Pada tahap implementasi keperawatan pada asuhan keperawatan
pada Tn. D dengan stroke non hemoragik dilalukan aplikasi dari jurnal
penelitian Tarihoran (2010). Dalam jurnal ini membahas pemberian posisi
miring 30 derajat untuk mencegah terjadinya luka tekan grade I pada
pasien imobilisasi, khususnya penderita stroke. Prosedur awalnya, pasien
ditempatkan persis ditengah tempat tidur, dengan menggunakan bantal
untuk menyanggah kepala dan leher. Selanjutnya tempatkan satu bantal
pada sudut antara bokong dan matras, dengan cara miringkan panggul
setinggi 30 derajat. Bantal yang berikutnya ditempatkan memanjang
diantara kedua kaki (Tarihoran, 2010).
5. Evaluasi Keperawatan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam Tn. D
dengan stroke non hemoragik tidak tampak tanda-tanda resiko kerusakan
intregitas kulit, tidak terlihat area kemerahan berbatas tegas yang persisten
pada kulit yang berwarna terang. Pada kulit yang lebih gelap, terlihat area
kemerahan, biru, atau keunguan (Weinstock, 2008).
72
6. Analisa Aplikasi Jurnal dengan Kasus
Asuhan keperawatan pada Tn. D dengan stroke non hemoragik di
bangsal Anggrek di RSUD Sukoharjo. Pada pasien ini diberikan tindakan
aplikasi dari jurnal Tarihoran (2010) yang berisi tentang pemberian posisi
miring 30 derajat untuk mencegah terjadinya luka tekan grade I. Setelah
dilakukan tindakan tersebut dapat dievaluasi bahwa luka tekan grade I
tidak terjadi pada Tn. D.
B. Saran
Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan pada Tn. D dengan
stroke non hemoragik penulis akan memberikan usulan dan masukan yang
positif khususnya dibidang kesehatan antara lain :
1. Bagi Penulis
Setelah melakukan tindakan keperawatan pada pasien stroke non
hemoragik dengan imobilisasi diharapkan penulis dapat lebih mengetahui
cara pencegahan terjadinya luka tekan grade I pada pasien dengan
penurunan mobilisasi.
2. Bagi Institusi
Diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan pendidikan yang
lebih berkualitas sehingga dapat menghasilkan perawat yang profesional,
terampil, inovatif dan bermutu dalam memberikan asuhan keperawatan
secara komprehensif berdasarkan ilmu dan kode etik keperawatan.
73
3. Bagi Rumah Sakit
Diharapkan rumah sakit dapat memberikan pelayanan kesehatan
dan mempertahankan hubungan kerjasama baik antara tim kesehatan
maupun klien sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan asuhan
keperawatan yang optimal pada umumnya dan klien dengan imobilisasi
pada khususnya.
4. Bagi Keluarga dan Pasien
Setelah melakukan asuhan keperawatan pada Tn. D dengan stroke
non hemoragik diharapkan pasien dan keluarga mampu merawat anggota
keluarganya yang mengalami penurunan mobilisasi untuk mencegah
terjadinya luka tekan grade I dengan pemberian posisi miring 30 derajat.
74
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, T. A. 2012. Sistem Neurobehaviour. Edisi Pertama. Salemba Medika.
Jakarta
Corwin, E. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta
Dermawan, D. 2012. Proses Keperawatan Penerapan Konsep & Kerangka Kerja.
Edisi Pertama. Gosyen Publishing. Yogyakarta
Era, D. K. 2009. Efektifitas Skala Braden Dalam Memprediksi Kejadian Luka
Tekan di Bangsal Bedah – Dalam RSU Prof. Dr. W. Z. Yohanes Kupang.
Tesis. Magister Ilmu Keperawatan Kekhususan Keperawatan Medikal
Bedah Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia. Depok
Junaidi, I. 2011. STROKE, Waspadai Ancamannya. Edisi Pertama. CV.ANDI
OFFSET. Yogyakarta
Marina, B. Dame, E. Yenni, F. 2014. Pencegahan Kejadian Luka Tekan Melalui
Masase Virgin Coconut Oil Pada Pasien Dengan Imobilisasi. Universita
Pelita Harapan. B. Marina, D Elysabeth, YF Sitanggang – 2014 –
dspace.library.uph.ed. 15 April 2014 (09:38)
Morton, P. D. Dorrie F. Carolyn, M. Barbara, M. 2008. Keperawatan Kritis
Pendekatan Asuhan Holistik. Volume kedua. EGC. Jakarta
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Edisi Pertama. Salemba Medika. Jakarta
NANDA Internasional Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2009 –
2011. EGC. Jakarta
R. A, Nabyl. 2012. Deteksi Dini Gejala & Pengobatan Stroke Solusi Hidup Sehat
dan Bebas Stroke. Cetakan Pertama. Aulia Publishing. Yogyakarta
Sari, D. M. Jenti, S. 2012 .Pengaruh Mobilisasi Pasif Terhadap Pencegahan
Dekubitus PadaPasien di Zaal E RS HKBP Balige.http://www.e-
jurnal.com/2013/10/pengaruh-mobilisasi-pasif-terhadap.html?m=1. 18 April
2014 (18:54)
Suriadi. 2008. Perawatan Luka. Cetakan Pertama. Sagung Seto. Jakarta
Tarihoran, D. E. T. 2010. Pengaruh Posisi Miring 30 Derajat Terhadap Kejadian
Luka Tekan Grade I (Non Blanchable Erythema) Pada Pasien Stroke di
Siloam Hospital. Tesis. Program Pasca Sarjana Ilmu Keperawatan
Peminatan Keperawatan Medikal Bedah Universitas Indonesia. Depok
75
Weinstock, D. 2008. Rujukan Cepat di Ruang ICU/ CCU. Edisi Pertama. EGC.
Jakarta
Widodo, A. 2007. Uji Kepekaan Instrumen Pengkajian Risiko Dekubitus dalam
Mendeteksi Dini Risiko Kejadian Dekubitus di RSIS. Universitas
Muhamadiyah Surakarta. A. Widodo – 2007 – publikasiilmiah.ums.ac.id. 15
April 2014 (09:36)
Wilkinson, J. M. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan Intervensi NIC
dan Kriteria Hasil NOC. Edisi ketujuh. EGC. Jakarta