diskursus pemikiran politik islam di indonesia

295

Click here to load reader

Upload: husni-bertahlil

Post on 06-Aug-2015

248 views

Category:

Documents


17 download

DESCRIPTION

tentang berbagai pemikiran politik yang berkembang di Indonesia

TRANSCRIPT

Page 1: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

DR. Ainur Rofiq, M.AgDosen Fakultas SyariahIAIN Sunan Kalijaga

NOTA DINASHal : Skripsi Saudara Ahmad Anfasul Marom Kepada Yth:

Dekan Fakultas SyariahIAIN Sunan KalijagaDi Yogyakarta

As-salamu’alaikum Wr.Wb.

Setelah membaca, mengoreksi dan menyarankan perbaikan seperlunya, maka menurut kami skripsi saudara:

Nama : Ahmad Anfasul MaromNIM : 99363504Judul : “DISKURSUS PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA

(Studi Pemikiran M. Natsir dan Abdurrahman Wahid tentang Relasi Islam dan Negara),”

Sudah dapat diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar sarjana strata satu dalam Perbandingan Mazhab dan Hukum pada Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Bersama ini kami ajukan skripsi tersebut untuk diterima selayaknya dan mengharap agar segera dimunaqasyahkan, untuk itu kami ucapkan terima kasih.

Was-salamu’alaikum Wr.Wb.

Yogyakarta, 29 Syawal 1424 H

23 Desember 2003 M

Pembimbing I

DR. Ainur Rofiq, M.Ag.

ii

Page 2: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

NIP: 150289213

M. Nur, S.Ag, M.AgDosen Fakultas SyariahIAIN Sunan Kalijaga

NOTA DINASHal : Skripsi Saudara Ahmad Anfasul Marom Kepada Yth:

Dekan Fakultas SyariahIAIN Sunan KalijagaDi Yogyakarta

As-salamu’alaikum Wr.Wb.

Setelah membaca, mengoreksi dan menyarankan perbaikan seperlunya, maka menurut kami skripsi saudara:

Nama : Ahmad Anfasul MaromNIM : 99363504Judul : “DISKURSUS PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA

(Studi Pemikiran M. Natsir dan Abdurrahman Wahid tentang Relasi Islam dan Negara)”.

Sudah dapat diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar sarjana strata satu dalam perbandingan Mazhab dan Hukum pada Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Bersama ini kami ajukan skripsi tersebut untuk diterima selayaknya dan mengharap agar segera dimunaqasyahkan, untuk itu kami ucapkan terima kasih.

Was-salamu’alaikum Wr.Wb.

Yogyakarta, 29 Syawal 1424 H

23 Desember 2003 M

iii

Page 3: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Pembimbing II

M. Nur, S.Ag, M.Ag.

NIP: 150282522

PENGESAHAN

Skripsi berjudul

DISKURSUS PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA(STUDI PEMIKIRAN M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID

TENTANG RELASI ISLAM DAN NEGARA)

Yang disusun oleh:

Ahmad Anfasul MaromNIM: 99363504

Telah dimunaqasyahkan di depan sidang munaqasyah pada tanggal 10 Februari 2004 M / 19 Dzulhijjah 1424 H. Dan dinyatakan telah dapat diterima sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana dalam Hukum Islam.

Yogyakarta, 1 Muharram 1425 H

22 Februari 2004 M

DEKANFAKULTAS

SYARI’AHIAIN SUNAN

KALIJAGA

iv

Page 4: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Drs. Malik Madany, M.Ag.

NIP: 150182698

Panitia MunaqasyahKetua Sidang

Sekretaris Sidang

Drs. Kholid Zulfa, M.Si Drs. Slamet Khilmi NIP: 150266740 NIP:150252260

Pembimbing I Pembimbing II

DR. Ainur Rofiq, M.Ag. M. Nur, S.Ag, M.Ag.

NIP: 150289213 NIP: 150282522

Penguji I Penguji II

DR. Ainur Rofiq, M.Ag. A. Yani Anshori, S.Ag, M,Ag

NIP: 150289213 NIP: 150276308

v

Page 5: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Kupersembahkan;Untuk Kampus Putih IAIN

Ibu (Almarhumah) dan BapakMbak Luluk, Mas Asfan, Mbak Arin,

Adikku Azim, serta Ponakan-ponakanku

Guru-Guruku Yang Penuh Ikhlas MendidikkuDan Yang Tak Sekedar Hasrat Perjuangan

Yakni Sang Waktu Yang Setia Mengiringi Pengembaraan Intelektualku

Motto:

vi

Page 6: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

رك صد لك نشـرح وزرك ●ألم الذى ●ووضعـناعنك

ظهـرك ذكرك أنقض لك مع ●ورفعنا فإن!

العسريسـرا ●العسريسـرا مع فرغت ●إن! فإذا

فارغـب ●فانصـب !ك رب ●وإلى

Artinya:

Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? (1) Dan kami telah menghilangkan beban darimu (2) Yang memberatkan punggungmu (3) Dan kami tinggikan sebutan (nama) mu (4) Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (5) Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (6) Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain (7) Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap (8) . (QS. Alam Nasyrah : 1-8)

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN

vii

Page 7: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Penulisan transliterasi Arab-Latin dalam penyusunan skripsi ini

menggunakan pedoman transliterasi dari keputusan bersama Menteri Agama RI

dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI no. 158 dan no. 0543 b/U/1987.

Secara garis besar uraiannya adalah sebagai berikut:

A. Konsonan Tunggal

Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan

ا

ب

ت

ث

ج

ح

خ

د

ذ

ر

ز

س

ش

ص

ض

ط

Alif

Ba’

Ta’

Sa’

Jim

H{a

Kha

Dal

Z|al

Ra’

Zai

Sin

Syin

S{ad

D{ad

T{a

Tidak dilambangkan

B

T

S|

J

H{

Kh

D

Z|

R

Z

S

Sy

S{

D{

T{

Tidak dilambangkan

Be

Te

Es (titik di atas)

Je

Ha (titik di bawah)

Ka dan ha

De

Zet (titik di atas)

Er

Zet

Es

Es dan Ye

Es (titik di bawah)

De (titik di bawah)

Te (titik di bawah)

viii

Page 8: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

ظ

ع

غ

ف

ق

ك

ل

م

ن

و

هـ

ء

ي

Z{a

‘Ain

Gain

Fa’

Qaf

Kaf

Lam

Mim

Nun

Wau

Ha’

Hamzah

Ya

Z{

‘-

G

F

Q

K

L

M

N

W

H

’-

Y

Zet (titik di bawah)

Koma terbalik (di atas)

Ge

Ef

Qi

Ka

El

Em

En

We

Ha

Apostrof

Ye

B. Konsonan Rangkap

Konsonan rangkap yang disebabkan Syaddah ditulis rangkap.

Contoh : ل ditulis نز! nazzala.

ditulis بهن! bihinna.

C. Vokal Pendek

Fathah ( _ _ ) ditulis a, Kasrah ( _ _ ) ditulis I, dan Dammah ( _ _ ) ditulis u.

Contoh : ditulis أحمد ah}mada.

ditulis رفق rafiqa.

صلح ditulis s}aluha.

ix

Page 9: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

D. Vokal Panjang

Bunyi a panjang ditulis a, bunyi I panjang ditulis I dan bunyi u panjang ditulis

u, masing-masing dengan tanda hubung ( - ) di atasnya.

1. Fathah + Alif ditulis a

فال ditulis fala>

2. Kasrah + Ya’ mati ditulis i

ميثاق ditulis mi>s}aq

3. Dammah + Wawu mati ditulis u

أصول ditulis us}u>l

E. Vokal Rangkap

1. Fathah + Ya’ mati ditulis ai

الزحيلي ditulis az-Zuh}aili>

2. Fathah + Wawu mati ditulis au

طوق ditulis t}auq

F. Ta’ Marbutah di Akhir Kata

Bila dimatikan ditulis h. Kata ini tidak berlaku terhadap kata ‘Arab yang sudah

diserap ke dalam bahasa Indonesia seperti: salat, zakat dan sebagainya kecuali

bila dikehendaki lafaz aslinya.

Contoh : المجتهد .ditulis Bida>yah al-Mujtahid بداية

G. Hamzah

x

Page 10: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

1. Bila terletak di awal kata, maka ditulis berdasarkan bunyi vokal yang

mengiringinya.

إن ditulis inna

2. Bila terletak di akhir kata, maka ditulis dengan lambang apostrof ( ’ ).

وطء ditulis wat}’un

3. Bila terletak di tengah kata dan berada setelah vokal hidup, maka ditulis

sesuai dengan bunyi vokalnya.

ربائب ditulis raba>’ib

4. Bila terletak di tengah kata dan dimatikan, maka ditulis dengan lambang

apostrof ( ’ ).

.ditulis ta’khużu>naتأخذون

H. Kata Sandang Alif + Lam

1. Bila diikuti huruf qamariyah ditulis al.

البقرة ditulis al-Baqarah.

2. Bila diikuti huruf syamsiyah, huruf ا diganti dengan huruf syamsiyah

yang bersangkutan.

النساء ditulis an-Nisa’.

KATA PENGANTAR

xi

Page 11: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

الرحيم الرحمن الله بسم

الله إال إله ال أن أشهد ، العالمين رب لله الحمدهدانا الذى سبحان ، الله رسول محمدا أن وأشهد

، الدين يوم إلى للتابعين عبرة وجعلها ، الغابرين بقصصالله صلى الله رسول محمد سيدنا على والسالم والصالة

األخالق بمكارم مملؤة حياته كانت الذى ، وسلم عليهبعد أما ، أجمعين وأصحابه أله وعلى ، الصفات ومحاسن

Puji syukur saya haturkan ke Hadirat Allah s.w.t. Yang telah

menganugerahkan nikmat Islam dan Iman. Shalawat dan salam semoga senantiasa

dicurahkan kepada Nabi Muhammad S.A.W. Rasul pembawa misi pembebasan

dari pemujaan terhadap berhala, Rasul dengan misi suci untuk menyempurnakan

akhlak yang mulia. Semoga kesejahteraan senantiasa menyelimuti keluarga dan

sahabat Nabi beserta seluruh ummat Islam.

Dengan tetap mengharapkan pertolongan, karunia dan hidayah-Nya, al-

hamdulillah penyusun mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini untuk

melengkapi salah satu syarat memperolah gelar sarjana dalam Fakultas Syari’ah

IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dengan judul : Diskursus Pemikiran Politik

Islam di Indonesia: Studi Pemikiran M. Natsir dan Abdurrahman Wahid tentang

Relasi Islam dan Negara.

Penyusun menyadari, penyusunan skripsi ini tentunya tidak bisa lepas dari

kelemahan dan kekurangan serta menjadi pekerjaan yang berat bagi penyusun

yang jauh dari kesempurnaan intelektual. Namun, berkat pertolongan Allah

S.W.T. Dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan.

xii

Page 12: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Karena itu, dalam kesempatan ini penyusun ingin mengucapkan terima kasih

sedalam-dalamnya kepada:

1. Malik Madany, M.Ag. Selaku Dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta.

2. Drs. Abdul Halim, MA dan Moh. Agus Nadjib, M.Ag, selaku Ketua

Jurusan dan Sekretaris Jurusan PMH.

3. Dr. Ainur Rofiq, M.Ag, selaku pembimbing I, dan sekaligus sahabat

diskusi dalam penyusunan skripsi ini, yang dengan sabar bersedia

membimbing kesulitan penyusun di tengah kesibukan waktunya.

4. M. Nur, S.Ag, M.Ag, selaku pembimbing II yang telah banyak

memberikan masukan dan arahannya yang sangat berharga dalam

membantu penyempurnaan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen beserta seluruh civitas akademika Fakultas

Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, penyusun ucapkan terima

kasih atas semua pengetahuan yang telah diberikan. Selain itu,

penyusun ucapkan terima-kasih pula pada pihak-pihak yang banyak

membantu proses akumulasi data, di antaranya seluruh pegawai UPT

dan perpustakaan Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga, perpustakaan

ST. Ignatius, dan Perpustakaan LKiS, yang semuanya ada di

Yogyakarta.

6. Bank Indonesia (BI), yang telah memberikan bantuan beasiswa atas

penulisan skripsi ini, sehingga meringankan penyusun dalam

memperoleh data buku atau karya ilmiah yang berkaitan.

xiii

Page 13: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

7. Seluruh keluarga yang berkat kasih-sayangnya benar-benar memahami

kemauan saya, terkhusus Ayahanda dan Ibunda tercinta (almarhumah),

yang senantiasa melantunkan do’a di sela-sela waktunya dengan tulus

dan ikhlas, demi proses pengembaraan intelektual ananda. Untuk

kakak-kakak dan adikku: Mbak Luluk-Mas Sohib, Mas Asfan-Mbak

Anis, Mbak Arin-Mas Jun, adinda Azim, serta keponakan-

keponakanku, yaitu Bahru, Arul, Najib, Humaida, Nadim, Aliya, yang

telah banyak menaruh perhatian, dan harapan pada diri penyusun. Tak

lupa juga penyusun ucapkan terima-kasih kepada semua keluarga

terkait yang mendukung studi saya di Yogyakarta.

8. Saudara Ahmad Sahidah, M.Ag, dan Ainul Yaqin, M.Ed, Mas

Umarrudin Masdar, S.Ag, Mas Isfah (Alex), Mas Udin, dan Mas Atho’

yang ikut memperkaya wawasan saya mengenai sejarah dan

perkembangan politik di Tanah Air ini, melalui perbincangan ringan

yang selalu menyegarkan, serta untuk seluruh komunitas “Griya

Natural” 45i Sapen yang hampir setiap hari selalu bersama dalam

menjalani proses belajar.

9. Rekan-rekan “Senat Mahasiswa” di Lembaga S M I (Senat Mahasiswa

Institut) IAIN Sunan Kalijaga, sahabat-sahabat diskusi di pergerakan

Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), teman-teman kelas PMH-2 ’99

yang sedikit banyak turut membantu proses pendewasaan berfikir, dan

mereka yang tidak bisa penyusun sebut satu persatu di sini.

xiv

Page 14: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

10. Yang tidak sekedar indah, yang terakhir dan yang telah memberikan

arti dalam diri penyusun, Tatinia.

Semoga mereka semua selalu mendapatkan rahmat, hidayah dan ma’unah

dari Allah S.W.T. Amin.

Yogyakarta, 23 Desember 2003

Penyusun

xv

Page 15: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

A

h

m

a

d

A

n

f

a

s

u

l

M

a

r

o

m

xvi

Page 16: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i

HALAMAN NOTA DINAS ............................................................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN ..........................................................................

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................…. v

xvii

Page 17: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

HALAMAN MOTTO ......................................................................................

vi PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB

LATIN ............................................

vii

KATA PENGANTAR ......................................................................................

xi

DAFTAR ISI .....................................................................................................

xv

BAB I : PENDAHULUAN ............…..................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1

B. Pokok Masalah ................................................................... 7

C. Tujuan Dan Kegunaan ...................................................... 7

D. Telaah Pustaka ................................................................... 8

E. Kerangka Teoretis .......................................................... 11

F. Metode Penelitian .............................................................. 19

G. Sistematika Pembahasan .................................................. 22

BAB II : ASAL - USUL DAN TIPOLOGI PEMIKIRAN TENTANG

RELASI ISLAM DAN NEGARA ........................................… 24

A. Awal Perdebatan Islam dan Negara di

Indonesia ...................................................................................

.......... 24

B. Tipologi Pemikiran Islam dan Negara ........................... 45

1. Perspektif Modernisme ............................................. 48

xviii

Page 18: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

2. Perspektif Neo-Modernisme ...................................... 51

BAB III : POKOK-POKOK PEMIKIRAN M. NATSIR DAN

ABDURRAHMAN WAHID TENTANG RELASI ISLAM DAN

NEGARA ............................................……….....................….. 57

A. Sketsa Biografi M.Natsir .............................................…. 57

1. Latar belakang Sosial Politik ..................................... 57

2. Pemikiran M. Natsir tentang Relasi Islam dan Negara

........................................................................................ 68

B. Sketsa Biografi Abdurrahman Wahid ............................ 85

1. Latar belakang Sosial Politik ..................................... 85

2. Pemikiran Gus Dur tentang Relasi Islam dan Negara

........................................................................................ 96

BAB IV : ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN M. NATSIR

DAN ABDURRAHMAN

WAHID.................................................. 111

A. Persamaan ........................................................................ 111

B. Perbedaan ......................................................................... 117

C. Implikasi ........................................................................... 129

BAB V : PENUTUP ................................................................................ 148

A. Kesimpulan ....................................................................... 148

B. Saran-Saran ...................................................................... 150

BIBLIOGRAFI ................................................................................................ 151

LAMPIRAN-LAMPIRAN: ............................................................................ I

xix

Page 19: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Lampiran I. Terjemahan ........................................................ I

Lampiran II. Biografi

Ulama ................................................. III

Lampiran III. Daftar Istilah .................................................. VII

Lampiran IV. Curiculum Vitae ............................................. IX

BAB I

PENDAHULUAN

xx

Page 20: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

A. Latar Belakang Masalah.

Gagasan tentang relasi Islam dan Negara selalu menjadi wacana aktual di

Indonesia meskipun telah diperdebatkan beberapa tahun yang lalu, dan

mengalami fluctuative discourse dalam percaturan politik di Indonesia, akan

tetapi wacana ini selalu survive pada momen-momen tertentu. Hampir bisa

dipastikan ketegangan dan perdebatan ini muncul menjelang pemilu karena

momen ini merupakan kesempatan besar bagi semua golongan yang ingin

memperjuangkan aspirasi politiknya, baik itu yang berideologikan nasionalis,

maupun Islam.

Sejak pancasila dijadikan dasar ideologi formal Republik Indonesia pada

tahun 1945 oleh Soekarno, pancasila menjadi bagian perdebatan politik yang

tak terelakan oleh Politikus dan Agamawan, khususnya Islam.1 Pada tahun

1950-1955 melahirkan sistem multipartai, ini merupakan kesempatan besar

bagi Partai Islam untuk memperjuangkan Islam sebagai asas Negara, akan

tetapi apa yang dicita-citakannya masih belum bisa dicapai sampai sekarang.

Hal yang sama terjadi pada 1999 tahun lalu yang menggunakan sistem

multipartai dan lagi-lagi Islam belum cukup kuat untuk meletakkan ideologi

Islam sebagai dasar negara. Berhubung partai politik merupakan salah satu

alat untuk mewujudkan cita-cita gagasan, tidak menutup kemungkinan bahwa

pemilu 2004 yang akan datang juga muncul polemik sistem negara apalagi

Islam formalis masih berada di ujung kekakalahan.

1 Douglas E. Ramage, Percaturan Politik di Indonesia: Demokrasi, Islam, dan Ideologi Toleransi, alih bahasa Hartono Hadikusumo, cet. ke-1(Jogjakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 2

xxi

Page 21: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Sebelumnya pada tahun 1978-1985 telah terjadi ideologisasi pancasila

yang diinstruksikan oleh Soeharto, dan kemudian menimbulkan perdebatan

yang luar biasa di kalangan tokoh dan gerakan ideologi Islam. Insiden politik

semacam itu sempat terulang kembali pada tahun 1990 di negeri ini, yakni

mengenai perdebatan ideologi. Sebenarnya sumber perdebatan itu adalah

relasi Islam dan negara,2 khususnya mengenai sistem negara apa yang akan

dipakai untuk membangun Indonesia, apakah berasaskan Islam atau sekuler ?

Penelitian ini mengambil judul "Diskursus Pemikiran Politik Islam di

Indonesia (Studi Pemikiran M. Natsir dan Abdurrahman Wahid3 tentang

Relasi Islam dan Negara)," penyusun lebih memfokuskan pada dua tokoh ini

yang tentunya telah banyak mewarnai wacana perdebatan Islam dan Negara

sepanjang lahirnya kemerdekaan bangsa Indonesia sampai saat ini.

Menurut Munawir Sjadzali ada tiga kategori dalam memandang hubungan

Islam dan negara di kalangan tokoh Islam. Pertama, aliran konservatif

tradisionalis, yang berpendapat Islam adalah agama yang sempurna dalam

mengatur aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara, oleh sebab

itu tidak ada alasan memisahkan keduanya. Di antara para tokoh aliran ini

ialah Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, aliran integratif modernis, yang

berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai sistem negara yang detail tetapi di

dalamnya terdapat nilai etika kehidupan bernegara. Tokoh yang terkemuka

yaitu M. Husein Haikal. Dan yang Ketiga, aliran nasionalis sekuler, Islam

2 Ibid., hlm. 19.

3 Untuk penulisan selanjutnya Penyusun akan mengganti nama Abdurrahman Wahid menjadi Gus Dur yang telah akrab dikalangan masyarakat luas.

xxii

Page 22: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

tidak ada hubunganya dengan negara karena menurut aliran ini Muhammad

tidak pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh utama aliran ini ialah

Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein.4

Dari ketiga aliran tersebut, M. Natsir dan Gus Dur memang masuk dalam

kategori aliran integratif modernis yang sebenarnya dalam klasifikasinya

Munawir Sjadzali merupakan terma dari modernis, dalam hal ini penyusun

lebih suka memposisikan M. Natsir sebagai tokoh modernis, sedangkan Gus

Dur sebagai tokoh neo-modernis (meminjam istilah Greg Barton), ini karena

pemikirannya yang liberal dan rasional tentang isu kontemporer (baik itu

politik, budaya dan agama) dengan tetap setia pada posisi konservatif-

tradisional bahwa kejujuran dan kebenaran al-Qur'an tidak perlu diganggu

gugat.5

Kedua tokoh ini menarik untuk dikaji. Pertama, secara umum keduanya

masuk dalam kategori aliran yang sama yaitu integratif modernis tetapi beda

pendapat mengenai relasi Islam dan negara, khususnya azas negara, apalagi

kelompok (background) yang diwakilinya sangat kontradiktif dengan gagasan

dan prilaku politik tokoh tersebut, Gus Dur yang dibesarkan dalam lingkungan

kaum tradisionalis,6 yaitu NU yang nota bene orientasi politiknya berkiblat

pada ulama klasik seperti Al-Mawardi dan Al-Ghazali ternyata mampu

4 Baca, Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, edisi ke-5 (Jakarta: UI Press, 1993), hlm. 1-2.

5 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, alih bahasa Nanang Tahqiq, cet. ke-1 (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 518.

6 Laode Ida dan A. Thantowi Jauhari, Gus Dur di antara Keberhasilan dan Kenestapaan, (Jakarta: Rajawali Press, 1999), hlm. 39.

xxiii

Page 23: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

mengapresiasikan pemikiran liberal yang cenderung ala Ali Abd al-Raziq,7

sedangkan M. Natsir yang dibesarkan dalam lingkungan modernis justru lebih

akrab dengan pemikiran politik Islam fundamentalis seperti al-Maududi yang

sangat menginginkan Islam dijadikan sebuah dasar negara karena menurut M.

Natsir sendiri meniru sistem pemerintahan Barat adalah tindakan sekuler yang

bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.8

Kedua, wacana ini selalu aktual di Indonesia apalagi ketika mendekati

pemilu. Dan tentunya gagasan kedua tokoh tersebut juga masih banyak

mempengaruhi wacana perdebatan Islam dan negara di Indonesia. Setidaknya

kedua alasan inilah yang menyebabkan penelitian ini dilakukan.

M. Natsir menawarkan Islam sebagai azas negara bukanlah aksi

pembangkangan negara (makar), akan tetapi lebih pada penghidupan

demokrasi. Oleh sebab itu dalam pidatonya pada sidang pleno konstituante (12

November 1957) ia menghendaki negara Indonesia ini berazaskan ideologi

Islam. "Negara demokrasi berdasarkan Islam".9 Keinginannya ini Bukan

semata-mata karena Islam agama mayoritas di Indonesia melainkan ajaran

Islam mengenai ketatanegaraan dan kehidupan bermasyarakat itu mempunyai

sifat yang sempurna dalam menjamin kerukunan beragama dan bernegara.10

7 Andrée Feillard, NU vis-a-vis NEGARA: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta: LkiS, 1999), hlm. 380.

8 M. Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, cet. ke-1 (Jakarta: Media Dakwah, 2001), hlm. 200.9

? Ibid.10 Ibid., hlm. 203.

xxiv

Page 24: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Sementara mengenai sistem pemerintahan suatu negara, M. Natsir

berpendapat boleh meniru pemerintahan Barat asalkan tidak melanggar nilai-

nilai dasar Islam. Karena baginya Islam memang tidak mempunyai sistem

ketatanegaraan yang sempurna.11 Ini menarik untuk dicermati satu sisi M.

Natsir terbuka untuk memakai sistem apa yang akan dipakai di Indonesia sisi

lain dia bersikeras memperjuangkan Islam sebagai azas ideologi negara.12

Sedangkan menurut Gus Dur apabila politik, budaya dan agama

diideologikan fungsinya bisa terdistorsi karena yang muncul bukanlah struktur

yang lebih baik melainkan konflik horizontal.13 Hal yang senada diungkapkan

oleh Cak Nur bahwa Islam bukanlah sebuah ideologi, sebab pendapat Islam

sebagai ideologi hanya akan menyamakan agama itu setaraf dengan ideologi-

ideologi yang ada di dunia.14

Dalam memandang relasi Islam dan negara, masalah ketatanegaraan

merupakan hal yang tak bisa ditinggalkan, sebab faktor inilah yang kemudian

seringkali memunculkan perdebatan antara kelompok muslim idealis dan

realis di negara kita. Adanya “Sistem Kekhalifahan” di masa Rasulullah

S.A.W. dan Sahabat membuat sebagian masyarakat muslim dunia semakin

11 Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan Fundamentalis. (Magelang: IndonesiaTera, 2001), hlm. 70.

12 Natsir berpendapat bahwa Islam bukan hanya suatu agama tapi juga sebuah ideologi karena di dalamnya mengandung dua unsur yaitu Mu‘ammalah ma‘a Allah dan Mu‘a,,alah ma‘a an-Nas. baca M. Natsir, Agama dan Negara, 219.

13 ? Dedy Djamaluddin Malik dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholis Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), hlm. 77.

14 ? Ibid. hlm. 169.

xxv

Page 25: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

menyakini bahwa jauh sebelum sistem demokrasi muncul, sebenarnya Islam

telah mempunyai sistem Tata Negara sendiri.

Dalam perspektif Ahl as-Sunnah wa al-Jama>‘ah pemerintahan

dinilai dari segi fungsionalnya bukan pada formalitas bentuknya, apakah

negara Islam atau bukan. Disamping itu, menurut Gus Dur Islam tidak

mempunyai konsep pemerintahan yang definitif, misalnya tentang suksesi

kepemimpinan terkadang memakai istikhla>f, bay‘ah, dan ahl al-

H{alli wa al-Aqdi (sistem formatur). Hal ini menunjukkan Islam

inkonsisten dan tidak mempunyai konsep yang baku.15

Atas dasar pemikiran inilah, Gus Dur menerima ideologi pancasila sebagai

azas negara, dan yang terpenting baginya adalah umat Islam bisa

melaksanakan kehidupan beragama secara penuh dan tetap berpegang pada

etika sosial (social ethic).

Berbeda dengan M. Natsir yang menolak secara tegas ideologi pancasila

sebagai dasar negara Indonesia. Tetapi bukan berarti jalannya pemerintahan

terlepas dan terpisah dari keagamaan begitu saja karena baginya Islam sendiri

tidak asing dengan nilai-nilai demokrasi dan kemajemukan. Menurut

penyusun "posisi Gus Dur yang menempatkan pancasila sebagai pra-syarat

demokratisasi dan pembangunan keIslaman yang sehat di Indonesia

nampaknya harus dilihat dari perspektif neo-modernisme."16

15 ? Ibid.

16 ? Andrrée Fillard dkk., Gus Dur NU dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm. 104.

xxvi

Page 26: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Integrasi antara kemajemukan, demokrasi, Islam dan nasionalisme inilah yang secara intelektual politis melatarbelakangi keikutsertaan Islam dalam diskursus politik dan ideologi negara di Indonesia

selama ini.B. Pokok Masalah.

Dari uraian di atas dipaparkan bahwa ada persamaan dan perbedaan

pemikiran di antara M. Natsir dan Gus Dur mengenai hubungan Islam dan

negara, keduanya sama-sama menjunjung nilai demokrasi tetapi berbeda

dalam gagasan dan prilaku politiknya Hal ini bisa disebabkan latar belakang

sosiohistoris yang berbeda. Oleh sebab itu perlu penyusun tegaskan bahwa

fokus dari permasalahan ini yaitu:

1. Bagaimanakah pemikiran kedua tokoh tersebut mengenai relasi Islam dan

negara?

2. Mengapa kedua tokoh itu mengajukan tesis yang berbeda?

3. Apa implikasi tesis mereka terhadap pemikiran politik Islam di Indonesia?

Tiga pokok masalah di atas diharapkan dapat mewakili (cover) dari

beberapa masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini. Di samping itu juga

berguna untuk memperjelas arah penelitian yang dimaksud.

C. Tujuan dan Kegunaan.

Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana dalam bidang Perbandingan Madzhab Dan Hukum di Fakultas

Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain itu juga ada tujuan yang lain

yaitu:

xxvii

Page 27: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

1. Untuk mendapatkan penjelasan (explanation) yang lebih tajam tentang

karakteristik pemikiran antara M. Natsir dan Gus Dur mengenai wacana Islam

dan negara, khususnya azas negara Indonesia.

2. Mengidentifikasi asal-usul gagasan kedua tokoh tersebut dalam perspektif

perbandingan, baik itu latar belakang sosial, pendidikan dan politik.

3. Mendapatkan deskripsi yang jelas mengenai implikasi kedua gagasan

tersebut dalam konteks perkembangan Islam dan politik Indonesia saat ini.

Adapun dari penulisan ini diharapkan dapat diambil beberapa manfaat atau

kegunaan, di antaranya:

1. Dapat diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi secara signifikan

terhadap karakteristik pemikiran kedua tokoh tersebut dalam mengkaji azas

negara (Pancasila).

2. Bisa dijadikan salah satu sumber diskusi dalam mengkaji relasi Islam dan

negara di Indonesia, khususnya dalam perspektif Islam modernis dan neo-

modernis.

3. Sebagai prediksi, sejauh mana implikasi kedua pemikiran itu dalam

perubahan dan perkembangan politik Islam di Indonesia saat ini.

D. Telaah Pustaka.

M. Natsir dan Gus Dur adalah tokoh pemikir dan sekaligus seorang

politikus yang sangat dikenal oleh masyarakat luas, meskipun keduanya hidup

pada masa yang berlainan, namun gagasannya selalu aktual bahkan sering

dijadikan rujukan dalam diskusi dan aksi politik.

xxviii

Page 28: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Penelitian ini mempunyai Dua variabel. Pertama, mengenai diskursus

pemikiran politik Islam di Indonesia. Kedua, pemikiran M. Natsir dan Gus

Dur mengenai Relasi Islam dan Negara di Indonesia. Banyak buku atau karya

ilmiah yang membahas M. Natsir dan Gus Dur, baik itu biografi, prilaku

politik maupun gagasannya. Akan tetapi pembahasan itu sering kali tidak

dilakukan secara bersamaan hanya difokuskan pada satu tokoh saja kalau

memang ada yang mengkaji perbandingan itu juga tidak membahas M. Natsir

dan Gus Dur sekaligus. Karena penulisan ini meliputi dua variabel di atas,

maka penyusun merasa perlu menelaah buku-buku yang berkaitan dengan

variabel tersebut.

Dalam tesisnya A. Syafi'i Maarif yang dibukukan dengan judul Islam dan

Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Karya

ini meneliti tentang relasi Islam dan politik yang kemudian menggambarkan

prilaku partai-partai Islam dalam menghadapi kebijakan politik Soekarno saat

itu, khususnya partai Masyumi yang dibubarkannya. Di sini penyusun sempat

membahas M. Natsir namun tidak lengkap karena lebih memfokuskan pada

gerakan partai politiknya.

Disamping itu, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam:

Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama'at Islami

(Pakistan) karya Yusril Ihza Mahendra, buku ini lebih menitik beratkan pada

partai-partai di atas meskipun ada tokoh yang dilibatkan seperti M. Natsir dan

Maududi sebagai representasi dari modernisme dan fundamentalisme akan

xxix

Page 29: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

tetapi kedua tokoh itu tidak menjadi fokus kajiannya karena lebih pada partai

tempat tokoh ini berpolitik.

Bahtiar Effendy dalam bukunya Islam dan Negara: Transformasi

Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (1998) yang menjelaskan

relasi Islam dan negara di Indonesia. Dengan kesimpulan bahwa buku ini

hanya menyoroti keterwakilan kaum muslim secara proporsional dalam

lembaga-lembaga negara dan dipertahankannya komitmen bahwa Indonesia

bukanlah negara sekuler. Di samping itu penulis juga menyinggung sedikit

polemik M. Natsir dengan Soekarno mengenai azas negara.

Sedangkan Ahmad Suhelmi dalam bukunya Soekarno Versus Natsir:

Kemenangan Barisan Megawati Reinkarnasi Nasionalis Sekuler (1999) juga

mengkaji pemikiran kenegaraan dalam perspektif M. Natsir, khususnya

pandangan M. Natsir vis-a-vis Soekarno. Buku ini lebih melihat sosok pemikir

M. Natsir dibanding Natsir yang mewakili tokoh modernisme Islam.

Sementara itu, Buku politics in Indonesia: Democracy, Islam and Ideology

of Tolerance yang ditulis Douglas E. Ramage membahas Islam dan

demokrasi, khususnya mengenai ideologi pancasila dalam relevansinya

dengan persoalan dekonfensionalisasi politik Islam di Indonesia. Buku ini

merupakan hasil penelitian yang banyak didasarkan pada wawancara personal

untuk melihat pola pemikirannya Abdurrrahman Wahid dalam mengakaji

pancasila sebagai asas negara.

Skrpisi yang dibukukan dengan judul Membaca Pikiran Gus Dur dan

Amin Rais tentang Demokrasi. Karya Umaruddin Masdar, berusaha melacak

xxx

Page 30: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

pola pemikiran kedua tokoh tersebut dalam mempertemukan Islam dan

demokrasi. Dalam hal ini penulis lebih memfokuskan pada konsep demokrasi

dengan menggunakan teori politik sunni sebagai rujukan utama untuk meneliti

gagasan kedua tokoh tersebut.

Sedangkan buku Islam Demokrasi Atas Bawah: Polemik Perjuangan

Umat Model Gus Dur dan Amien Rais yang disunting oleh Arief Affandi

merupakan buku yang lebih menyoroti tentang strategi perjuangan kedua

tokoh tersebut dalam menyikapi gerakan demokratisasi di Indonesia.

Dan yang terakhir tesis yang berjudul Menyingkap Pemikiran Politik Gus

Dur Dan Amien Rais Tentang Negara karya Ma'mun Murod al-Brebesy, tesis

ini telah dibukukan dengan fokus kajian membandingkan pemikiran kedua

tokoh tersebut mengenai relasi Islam dan negara, civil society dan

demokratisasi.

Selain buku-buku di atas penyusun juga menelaah karya asli dari kedua

tokoh tersebut yang banyak berupa tulisan lepas dan artikel media.

E. Kerangka Teoretis.

Lahirnya kemerdekaan Indonesia membuat para tokoh nasional, baik

paham nasionalis, sekuler maupun Islam untuk berfikir serius dalam

meletakan dasar filosofis negara, terlepas itu perjuangan atau kepentingan

golongan yang jelas Indonesia saat itu memerlukan konsep dasar negara yang

kuat sehingga terjamin kemaslahatannya dan terhindar dari segala

kemudlaratan .

xxxi

Page 31: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Lebih lanjut, karena penelitian ini mengkaji masalah Islam dan negara

maka penyusun mengkategorikannya dalam perspektif Fiqih as-

Siyya>syah atau Siyya>syah as-Syar‘iyyah. Menurut Abdul Wahab

Khallaf definisi Siyya>syah as-Syar‘iyyah ialah wewenang seorang

penguasa atau pemimpin dalam mengatur kepentingan umum demi terciptanya

kemaslahatan dan terhindar dari kemudaratan.17 Dengan demikian siapapun

yang ingin membangun pemerintahan yang baik harus berlandaskan pada

Mas}lah}ah al-Mursalah (kepentingan umum).

Menurut Imam Malik Mas}lah}ah al-Mursalah itu merupakan salah

satu dari epistimologi syari'ah. Dengan syarat bahwa: 1) kepentingan umum

itu bukanlah suatu hal yang berkaitan dengan ibadat (transeden). 2)

kepentingan umum itu selaras dan tidak bertentangan dengan nilai dasar

Syari‘ah (Al-qur'an dan Sunnah).3) kemaslahatan umum itu haruslah

merupakan kepentingan esensial yang sangat diperlukan.18

Setidaknya kepentingan esensial yang diperlukan di atas sejalan dengan

dirumuskannya lima tujuan syari'ah meskipun tidak tercover secara Ka>ffah,

lima tujuan tersebut yaitu: memelihara kemaslahatan agama, memelihara jiwa,

memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta dan

kehormatan.19

17 ? Abdul Aziz Dahlan (ed), dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996)V: 1626, artikel "Siyasyah as-Syar'iyyah". 18

? Dikutip dari, Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 7

19 Ismail Muhammad Syah dkk., Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 67.

xxxii

Page 32: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Objek kajian fiqih siyasah atau Siya>syah as-Syari‘yyah menurut

Abdul Wahab Khallaf adalah membuat peraturan dan perundang-undangan

yang dibutuhkan untuk mengurus negara sesuai dengan dasar ajaran agama

yang bertujuan merealisasikan kemaslahatan manusia untuk kebutuhan

mereka.20 Dengan demikian secara garis besar bahasan Fiqih as-

Siya>syah meliputi tiga aspek utama di antaranya: 1) Peraturan dan

Perundang-Undangan Negara sebagai pedoman dan landasaan idiil dalam

mewujudkan kemaslahatan umat. 2) Pengorganisasian untuk mewujudkan

kemaslahatan. 3) Mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat serta hak

dan kewajiban masing-masing dalam usaha mencapai negara.21

Untuk mengkaji pemikiran politik Islam memang tidak lepas dari Fiqih

as-Siya>syah dan hukum Islam. Hukum Islam dibagi menjadi dua yaitu

hukum yang bersifat Qat}‘i (Syari'ah) dan yang bersifat Z}anni (fiqih),

karena politik seringkali mengalami perubahan sesuai dengan situasi maka

penyusun memasukkanya dalam kategori fiqih. Dimana fiqih siyasah

mempunyai dimensi yang sangat luas dalam mengimplementasikan kehidupan

bernegara seperti menjamin kemaslahatan, keadilan dan kestabilan.22

Dengan demikian al-Mas}lahah al-Mursalah menempati posisi yang

sangat penting dalam mengkaji diskursus relasi Islam dan negara, lebih khusus

20 Abdul Wahab Khallaf, Al-Siyasat al-Syari'at, (AL-Qahirat: Dār al-Anshār, 1977), hlm. 4.21

? J. Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 28.

22 ? K.H. Ibrahim Hoesen, “Fiqih Siyasi dalam Tradisi Pemikiran Islamik Klasik” , Jurnal Ulumul Qur'an, No.2 Vol. IV (1993), hlm. 58. lihat, Muhammad Azhar, Filsafat Politik Perbandingan Antara Islam Dan Barat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 15.

xxxiii

Page 33: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

lagi dalam menentukan sistem dasar ketatanegaraan. Apakah berideologikan

Islam atau sekuler? Karena yang terpenting bukanlah formalitas bentuk

pemerintahan tetapi esensi nilai dasar al-Qur'an dan Sunnah tetap berjalan

(tidak kontradiktif),23 sehingga terciptalah kemaslahatan umum sesuai dengan

kebutuhan zaman.

Dalam diskursus pemikiran politik Islam dewasa ini, penyusun meminjam

istilah Munawir Sjadzali dalam mengkategorikan aliran yang concern

terhadap relasi Islam dan negara, meskipun berbeda dalam menggunakan

terma aliran ini akan tetapi substansinya sama. Ada tiga aliran dalam hal ini.

Pertama, aliran konservatif tradisionalis, yang berpendapat Islam adalah

agama yang sempurna dalam mengatur aspek kehidupan manusia termasuk

kehidupan bernegara karena menurutnya Islam adalah ad-Din wa ad-

Daulah, tokoh aliran ini ialah Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, aliran

integratif modernis, yang berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai sistem

negara yang detail tetapi di dalamnya terdapat nilai etika kehidupan bernegara.

Tokoh aliran ini ialah Muhammad Abduh dan Muhammad Husein Haikal.

Ketiga, aliran nasionalis sekuler, yang mengatakan Islam tidak ada

hubungannya dengan negara karena menurut aliran ini Muhammad tidak

pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh aliran ini ialah Ali Abd al-

Raziq dan Thaha Husein.24

23 ? Nilai dasar al-Qur’an dalam hal ini ialah amanah, musyawarah, keadilan, kebebasan, perdamaian, kesejahteraan dan ketaatan rakyat. Lihat, M. Tahir Azhary, Negara Hukum, hlm. 79.24 ? Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 1-2. M. Azhar, Filsafat Politik, hlm. 14. lihat juga Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 57.

xxxiv

Page 34: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Dalam paragraf ini penyusun mencoba memaparkan beberapa tokoh

politik sunni kontemporer sebagai landasan teoritis penelitian ini, diantaranya

Jamaluddin al-Afghani, Abdul Raziq dan Fazlur Rahman.25 Tokoh-tokoh ini

dikaji guna membidik kerangka teoritis pemikiran M. Natsir dan Gus Dur.

Jamaluddin al-Afghani, 26 Pemikiran politiknya besifat reaktif terhadap

kondisi kemunduran umat Islam saat itu, dengan menganjurkan pembentukan

Jam‘iyah Isla>miyah yang biasa disebut Pan-Islamisme,27 ikatan ini

didasarkan pada akidah Islam yang bertujuan 1) menentang sistem

pemerintahan yang despotik (sewenang-wenang) dan diganti dengan sistem

pemerintahan yang berdasarkan musyawarah seperti yang diajarkan Islam, 2)

menentang kolonialisme atas dominasi barat.28

Dalam perjalanan politiknya ia selalu memunculkan gagasan revolusioner,

seperti pembentukan pemerintah dan dewan melalui partisipasi rakyat, selain

itu dia juga menganjurkan kepada rakyat untuk merebut kebebasan dan

kemerdekaannya melalui revolusi kalau perlu dengan pertumpahan darah.29

Hal inilah yang sering kali mengakibatkan pengusiran atas dirinya dari negara

25 ? Untuk memastikan tokoh-tokoh tersebut adalah kelompok pemikir kontemporer, baca. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 111. M. Azhar, Filsafat Politik, hlm. 142.26

? Ia dilahirkan pada tahun 1838 di As'adabad, dekat Kanar, wilayah Kabul, Afganistan. Dikutip dari Munawir Sjadzali, Ibid, hlm. 117.

27 ? Pan-Islamisme yaitu suatu ikatan politik yang bertujuan mempersatukan seluruh ummat Islam di dunia, yang kemudian saat ini berembrio menjadi OKI, yang tidak jauh berbeda visi dan misinya. Lihat, M. Azhar, Filsafat Politik, hlm. 107.

28 ? Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 126.

29 ? Ibid., hlm.128-129.

xxxv

Page 35: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

yang ia kunjungi.30 Oleh sebab itu Afghani lebih cocok diposisikan sebagai

tokoh aktivis dan agitator politik daripada pemikir politik.

Ali Abdul Raziq,31 menurutnya nabi Muhammad hanyalah seorang utusan

Allah yang ditugaskan syiar agama Islam, untuk itu tidak ada maksud dalam

misinya mendirikan sebuah negara Islam (Khilafah).32 Dia sama seperti nabi-

nabi sebelumnya bukan nabi atau pendiri negara yang diutus mendirikan

kerajaan dalam arti politik, lebih lanjut ia menolak adanya keharusan sistem

khilafah dalam pengertian pemimpin negara, karena menurutnya tidak ada

ayat ataupun hadis yang bisa dijadikan dasar kuat untuk mendirikan khilafah.

al-Raziq memang mengakui perlunya pemerintahan untuk mengatur negara

tapi bukan berarti harus bentuk khilafah boleh konstitusional, diktator,

republik atau totaliter.33

Meskipun ia mengakui Ijma‘ sebagai H{ujjah Syar‘iyyah akan tetapi

dalam hal ini ia tidak mengakuinya sebagai ijma' yang shahih, alasannya sejak

sistem khilafah dibentuk sampai sekarang selalu saja ada pihak oposisi yang

tidak setuju dan seringkali menimbulkan bencana bagi Islam dan umatnya,

terkecuali Abu Bakar, Umar dan Usman.34

30 ? Negara-negara tersebut yaitu: Afganistan, India, Mesir, Inggris, Prancis, Teheran, dan Persia. Baca, Ibid., hlm. 117.

31 ? Lahir pada tahun 1888 dan wafat 1966 M, ia penganut Abduh meskipun secara langsung tidak sempat belajar banyak darinya. Disamping itu dia cukup reseptif dan akomodaif terhadap peradaban Barat yang kemudian membawanya pada semangat nasionalisme dan paham sekulerisme di kalangan cendikiawan Islam Mesir. Karyanya yang terkenal yaitu Islam wa Usul al-Hukm. Dikutip dari Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 139.

32 ? Ibid., hlm. 142.

33 ? M. Azhar, Filsafat Politik, hlm. 116.

34 ? Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 141.

xxxvi

Page 36: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Fazlur Rahman,35 pada hakikatnya Pemikiran politik Rahman didasarkan

pada konsepsi al-Qur'an. Dalam al-Qur'an, menurut Rahman, umat merupakan

suatu "penengah" sehingga menjadi saksi terhadap umat manusia. Umat Islam

diharapkan mampu menengahi antara sikap kekakuan ideologi komunisme

dan kapitalisme atau sikap ekstrem yang lain.36 "Tugas umat adalah

menciptakan ketertiban di muka bumi di mana tata tertib itu merupakan

sosiopolitis yang harus ditegakkan atas dasar etika yang sah dan viable.37

Sebagaimana yang tertulis dalam al-Qur’an.38

أمـ خير بالمعروف ةكنتم تأمرون للنـاس أخرجتأهل ولوأمن بالله المنكروتؤمنون عن وتـنهون

وأكثرهم المؤمنون منهم خيرالهم لكان الكـتاب: الفاسقـون عمران( )١١۰ال

إالان بغـيرحق ديارهم أخرجوامن الذينببعض بعضهم الناس الله ولودفع يقولواربنـاالله

ومساجديذكرفيهااسم وصلوات وبيع صوامع لهدمتلقوى الله إن ينصره من الله كثيـراولينصرن الله

: عزيز )٤٠الحج(

35 ? Dikutip dari Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan,1989), hlm. 79. 36

? M. Azhar, Filsafat Politik, hlm. 155.

37 ? Ibid.

38 Ali ‘Imran (4 ) : 110., dan al-Hajj (17): 40.

xxxvii

Page 37: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Lebih lanjut, menurut Rahman Istilah syura yang merupakan nilai dasar

al-Qur'an bisa dikembangkan menjadi sebuah institusi yang efektif dan

permanen seperti halnya di Barat, akan tetapi apabila secara formal

institusional proses dan bentuk demokrasi ‘ala Barat itu tetap sejalan dengan

orientasi nilai dasar Islam maka sistem ini bisa diterapkan di dunia Islam.39

Rahman memang liberal dan radikal dalam gagasannya, menurut hemat

penyusun sikap ini muncul sebagai respon terhadap tantangan modernitas

yang tak terelakan. Rahman dikenal sebagai pemikir kontemporer yang

menggagas aliran neo-modernisme Islam. Dikatakan demikian karena

pemikirannya yang selalu berusaha menemukan titik temu antara kaum Islam

modernis dengan kaum Islam tradisionalis, bagi Rahman meskipun

modernisme memberikan sumbangan positif pada era kebangkitan Islam tetapi

tetap memperlihatkan kelemahan dan kekurangan tertentu.40

Demikianlah sepintas gambaran mengenai tokoh-tokoh Islam kontempoer

yang nantinya diharapkan banyak membantu penyusun dalam membuat

kerangka teoritis, menurut penyusun tidak ada seorang tokohpun yang bisa

dibidik Pemikirannya menganut satu paham tokoh sebelumnya karena dalam

kenyataannya banyak tokoh yang mengadopsi suatu paham tertentu untuk

masalah tertentu dan paham lain untuk masalah yang lain pula.

39 ? Ibid., hlm. 156.

40 ? "Salah satu kelemahan tersebut ialah kurangnya sistematika dan metodologi yang komprehensif untuk menafsirkan al-Qur'an dan Sunnah, selain itu penolakannya terhadap potensi kekayaan pemikiran Islam tradisional."Baca, Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan, hlm. 12.

xxxviii

Page 38: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Hal yang sama terjadi pada M. Natsir dan Gus Dur, sekilas pemikiran

Natsir tampak maududian akan tetapi banyak juga diwarnai paham Abduhis.

F. Metode Penelitian.

Dalam sub bab ini perlu penyusun paparkan tentang metode penelitian

yang digunakan. Antara lain meliputi jenis penelitian, sifat penelitian, tehnik

pengumpulan data, pendekatan-pendekatannyadan analisa data.

1. Jenis penelitian.

Kajian ini merupakan penelitian pustaka (library research), yang mana

lebih mengutamakan bahan perpustakaan sebagai sumber utamanya. Karena

ini studi tokoh maka ada dua metode pokok untuk memperoleh pemikiran

tokoh tersebut. Pertama, penelitian pikiran dan keyakinan kedua tokoh

tersebut. Kedua, penelitian tentang biografinya sejak dari permulaan sampai

akhir pemikiran politiknya.41

2. Sifat Penelitian.

Studi yang merupakan penelitian pustaka ini lebih bersifat deskriptif-

analisis dan komparatif. Yang dimaksud dengan deskriptif adalah

menggambarkan karakteristik dan fenomena yang terdapat dalam masyarakat

atau literatur. Dengan kata lain karakter dan fenomena yang dikaji dalam

penelitian ini ialah karakter dari kedua tokoh tersebut dan fenomena yang

mempengaruhi pemikiran mereka. Adapun analisis disini adalah analisis

dalam pengertian historis, yakni meneliti akar sejarah yang melatarbelakangi

41

? H. A. Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 34.

xxxix

Page 39: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

gagasan mereka, dalam hal ini penyusun lebih memfokuskan pada dua aliran

pemikiran Islam kontemporer yakni modernis dan neo-modernis yang

penyusun anggap sebagai representasi dari kedua tokoh tersebut.

Sedangkan komparatif berarti membandingkan pemikiran kedua tokoh

tersebut dalam proses penelitiannya, supaya mendapatkan letak persamaan dan

perbedaan yang tepat.

3. Tehnik Pengumpulan Data.

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua macam yaitu: data primer dan data sekunder. Karya-karya asli dari kedua tokoh tersebut baik buku, artikel dan kumpulan tulisan yang dibukukan dianggap sebagai data primer. Sedangkan karya yang mengkaji tentang gagasan kedua tokoh tersebut dan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan

kajian ini dimasukkan sebagai data sekunder.4. Pendekatan.

Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan

normatif dan sosio-historis. Yang dimaksud pendekatan normatif ialah suatu

pendekatan untuk menjelaskan masalah yang dikaji dengan norma atau hukum

(fiqih) yang berlaku sebagai upaya penegasan. Hal ini penting untuk

dilakukan karena diskursus Islam dan negara merupakan bagian dari kajian

hukum Islam, khususnya fiqih siya>sah.

Adapun pendekatan sosio-historis yaitu pendekatan yang menyatakan

bahwa setiap produk pemikiran itu merupakan hasil interaksi pemikir dengan

xl

Page 40: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

lingkungan sosio-kultural dan sosio-politik yang mengitarinya.42 Berkaitan

dengan penelitian ini sudah barang tentu sosial politik dan kultur yang

melatarbelakangi metode pemikiran M. Natsir dan Gus Dur akan dikaji

sepanjang peristiwa tersebut mempengaruhi pemikiran mereka dalam masalah

ini.

5. Analisa Data

Setelah data terkumpul penyusun akan menganalisa dengan metode

kualitatif analisis deduksi dan komparasi. Deduksi yaitu metode yang berawal

dari pengetahuan umum ditarik ke pengetahuan khusus.43 Dalam hal ini

analisa dari kedua tokoh tersebut tentang Islam dan negara di Indonesia,

khususnya mengenai asas negara akan dipersempit dalam paradigma

modernisme dan neo-modernisme Islam. Sementara komparasi dimaksudkan

untuk membandingkan pemikiran kedua tokoh tersebut apakah terdapat

persamaan dan perbedaan yang tajam dan signifikan di antara keduanya.44

G. Sistematika Pembahasan.

Dalam pembahasan ini penyusun membagi menjadi lima bab. Bab pertama

memuat pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah,

42 ? M. Atho' Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hlm. 105. 43

? Sutrisno Hadi, Metodologi Reseach, (Yogyakarta:Andi Offset, 1989), hlm. 42. Di samping itu penelitian ini berupa telaah pustaka maka metode yang dipakai adalah deduksi sebab metode ini memang tidak menuntut penelitiaan lapangan. Baca, Soenjoto, Peneliti dan Peteliti, (Yogyakarta: Ranggon Studi, 1983), hlm. 8.

44 ? Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 51.

xli

Page 41: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teoritis, metodologi penelitian,

dan yang terakhir sistematika pembahasan.

Bab kedua melacak asal-usul dan tipologi relasi agama dan negara dalam

sejarah politik Islam, yang tentunya berimplikasi terhadap pemikiran tokoh

politik Islam Indonesia dalam mengkaji hubungan Islam dan negara di

Indonesia. Selain itu karakteristik pemikiran ini kemudian dibagi pada dua

perspektif, yaitu modernisme dan neo-modernisme. Yang dalam

pembahasannya kedua perspektif tersebut akan dihadapkan pada dua tokoh

yang dikaji.

Bab ketiga memaparkan biografi M. Natsir dan Gus Dur.

Penelaahan ini meliputi latar belakang sosial dan prilaku politik

kedua tokoh tersebut dalam menggagas relasi Islam dan negara di

Indonesia. Bab ini juga menyinggung sedikit cita-cita ideologi

negara yang mereka perjuangkan sebagai repesentasi tokoh muslim

yang peduli terhadap bangsa, di antaranya yang berkaitan dengan

Islam, demokrasi dan dasar negara.

Bab keempat menganalisa pemikiran kedua tokoh tersebut

tentang relasi Islam dan negara, khususnya tentang demokrasi dan

ideologi pancasila, yaitu dengan membandingkan gagasan kedua

tokoh di atas, apakah dalam penelitian ini terdapat persamaan dan

perbedaan yang signifikan. Selain itu, bab ini juga berusaha

menjelaskan implikasi gagasan kedua tokoh tersebut terhadap tokoh

xlii

Page 42: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

politisi muslim Indonesia dan pemikiran politik Islam generasi saat

ini.

Bab kelima penutup, berisi kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan

dimaksudkan untuk memperlihatkan letak signifikansi penelitian ini dengan

penelitian sebelumnya, dengan memberikan konklusi pemikiran M. Natsir dan

Gus Dur tentang hubungan Islam dan negara di Indonesia, sedangkan saran-

saran ditujukan bagi para penyusun atau peneliti yang akan mengkaji masalah-

masalah yang berkaitan dengan variabel skripsi ini lebih lanjut.

BAB II

ASAL-USUL DAN TIPOLOGI PEMIKIRAN

TENTANG RELASI ISLAM DAN NEGARA

A. Awal Perdebatan Islam dan Negara di Indonesia.

xliii

Page 43: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Wacana tentang makna, penafsiran dan fungsi pancasila telah menjadi

perdebatan sepanjang sejarah perpolitikan Indonesia, setidaknya sejak bangsa

ini merdeka, perdebatan ini selalu menjadi aktual di kalangan akademisi dan

politisi Indonesia sampai saat ini. Apalagi didorong dengan lahirnya beberapa

Partai Islam, permintaan diberlakukannya syariat Islam di Aceh (NAD),

munculnya teroris-teroris yang berkedok Islam, laskar serta organisasi yang

bernafaskan Islam kanan, di antaranya Laskar Jihad, Hizbu Tahrer, Jaringan

Islamiyah dan Front Pembela Islam (FPI). Selain itu yang paling jelas menjadi

indikator perlunya kejelasan relasi Islam dan negara dalam kehidupan

berbangsa terlihat pada menguatnya ide-ide pencantuman Syari‘at Isla>m

dalam amandemen UUD 45 setiap ST MPR hasil pemilu 1999.45

Hal ini juga sering terjadi dalam wacana politik Indonesia di penghujung

tahun 1990-an yang juga sibuk memperdebatkan ideologi dan peristiwa-

peristiwa politik yang pernah terjadi dalam sejarah bangsa ini, di antaranya

mengenai hubungan Islam dan negara, peran ABRI dalam politik, dan bentuk

demokrasi yang sesuai dengan negara ini.46 Dalam skripsi ini penyusun

menitikberatkan pada masalah yang pertama yaitu mengenai hubungan Islam

dan negara.

Untuk memperjelas tahap-tahap perjuangan umat Islam Indonesia dalam

merespon perdebatan Islam dan negara. M. Rusli Karim membagi menjadi

empat tahap. Tahap pertama, 1912 hinggga proklamasi kemerdekaan, tahap

45 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir, cet. ke-1 (Bandung: Teraju, 2002), hlm. xi

46 ? Douglas E. Ramage, Percaturan Politik, hlm. 16.

xliv

Page 44: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

kedua 1945-1955, tahap ketiga, 1955-1965 dan tahap keempat 1965 sampai

sekarang.47 Akan tetapi dalam bab ini penyusun akan memfokuskan asal-usul

lahirnya perdebatan Islam dan negara sepanjang sejarah perpolitikkan

Indonesia secara global.

Perdebatan ini mulai aktual sejak dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-

Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebagai upaya persiapan

kemerdekaan yang diharapkan,48 dan telah disetujui oleh pemerintahan Jepang.

Hal ini juga dinyatakan dalam pidato Perdana Menteri Kuniaki Koiso kepada

Parlemen Jepang pada tahun 1944 yang menjanjikan kemerdekaan Indonesia

dalam "waktu dekat".49

Akan tetapi kalau kita teliti lebih dalam bahwa persinggungan antara Islam

dan negara di Nusantara ini sudah berlangsung lama sebelum Indonesia

merdeka yakni di bawah tekanan kolonial Belanda dan Jepang, namun

demikian untuk melacak isu tentang istilah negara Islam di Indonesia

bukanlah suatu pekerjaan mudah, karena sejauh ini yang diketahui hanyalah

pemimpin-pemimpin Sarekat Islam (SI) seperti Surjopronoto dan Dr. Sukiman

Wirjosandjojo yang telah mewacanakan suatu kekuasaan atau pemerintahan

Islam di akhir tahun 1920-an.50 Saat itu Surjopronoto menggunakan tema een

47 Tahap keempat ini masih dibagi lagi menjadi empat era: 1965-1972 sebagai era mencari bentuk, 1973-1985 sebagai era partai tunggal, 1985 1989 sebagai era transisi rekonsiliasi, dan 1990 sampai sekarang sebagai era akomodasi, baca M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, cet. ke-1 (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999), hlm. 21.

48 ?Badan Penyelidik Usaha-Usaha kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) di bentuk pada tanggal 7 Desember 1945 yang terdiri dari tokoh-tokoh kelompok sosial, etnis, regional dan politisi di Hindia Belanda yang diduduki Jepang. Lihat, Douglas E Ramage, ibid, hlm. 18.

49 ?Deliar Noer, Partai Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987), hlm. 30. Lihat juga Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, vol. VI (Jakarta: Departemen P&K, 1984), hlm. 66.

50 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. Viii.

xlv

Page 45: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Islamietsche regeering (Suatu Pemerintahan Islam) sementara Sukiman

memakai istilah een eigen Islamietisch bestuur onder een eigen vlag (Suatu

kekuassan Islam di bawah benderanya sendiri) semua ini digunakan untuk

menciptakan kekuasaan Islam di Indonesia yang substansinya sebagai alat

mencapai kemerdekaan.51

Barangkali wacana dan teori tentang Negara Islam ini belum banyak

ditulis secara terperinci oleh pemimpin Islam pada saat itu, sehingga dalam

sidang BPUPKI pada 1945 wacana ini terkesan begitu aktual diperdebatkan

karena secara resmi peristiwa ini muncul pertama kalinya dalam panggung

politik Indonesia.

Anggota BPUPKI ini terdiri dari berbagai macam kelompok ideologi yang

akhirnya mengalami kesulitan dalam mencari titik temu (Kalimah as-

Sawa’) posisi masing-masing anggota tersebut, di antaranya. Pertama,

mereka yang ingin menegakkan demokrasi konstitusional sekuler. Kedua,

mereka yang menganjurkan negara integralistik, dan ketiga. Yang paling

emosional dan konfrontasional adalah mereka yang menginginkan Islam

dijadikan dasar negara.52

Badan penyelidik ini mengadakan dua kali sidang, pada sidang pertama,

dari 29 Mei - 2 Juni 1945 membahas masalah umum, dalam sidang ini

Soekarno membuat pidato yang sangat berpengaruh tentang dasar negara dan

kemudian dikenal dengan Lahirnya Pancasila.53 Sedangkan pada sidang

51 Ibid.52 ? Douglas E. Ramage, Percaturan Politik, hlm. 19.

53 ? Departemen Penerangan, Lahirnya Pancasila, (Jakarta:). kalau memang tulisan Yamin tentang perdebatan sidang BPUPKI dapat dipercaya maka lahirnya pancasila itu belum tentu

xlvi

Page 46: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

kedua, 10-14 Juni 1945 membahas tentang isi konstitusi negara yang akan

dibentuk.54 Dalam kedua pembahasan sidang ini menimbulkan perdebatan

keras di antara para anggota penyelidik terutama kalangan Islam yang diwakili

Abdoel Kahar Moezakkir dengan cita-cita ideologi Islamnya dan kalangan

nasionalis diwakili oleh Soekarno yang cenderung netral terhadap agama.

Masalah yang sangat krusial dan mengundang perdebatan dalam sidang ini

adalah tentang “peletakkan dasar negara” sebab masalah ini berkaitan dengan

integritas agama, budaya dan bangsa yang plural. Karena khawatir akan

kegagalan Badan Penyelidik yang terus-menerus semakin memanas maka para

anggota mengambil iniasiatif dengan membentuk panitia BPUPKI yang terdiri

dari 9 orang.55

Semula anggota BPUPKI ini berjumlah 62 orang, lalu ditambah enam

orang yang kebanyakan berasal dari Jawa dan satu orang lagi dari Jepang

yakni Ichibangase yang menjabat sebagai ketua yunior dan anggota luar biasa,

untuk mengamati secara lebih detail keanggotaan Badan Penyelidik ini maka

penyusun paparkan pendapat Prawoto Mangkusasmito, dari 68 anggota

BPUPKI, hanya 15 orang (+ 20%) yang menyuarakan aspirasi politik Islam

gagasan Soekarno murni karena sebelum Soekarno melahirkan konsep Pancasila , Yamin telah mengemukakan kelima sila tesebut dalam pidatonya di depan sidang Badan Penyelidik, yaitu: peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ke-Tuhanan, peri kerakyatan , peri kesejahteraan rakyat yang juga meliputi keadilan sosial. lihat, Muhamad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959), hlm. 87-21.

54 Mengenai sidang BPUPKI terdapat perbedaan dalam tenggang waktunya, dalam bukunya Deliar Noer sidang pertama berlangsung dari 29-Mei-2 Juni 1945 dan sidang kedua dari 10-14 Juni 1945, sedangkan menurut Yamin sidang pertama berlangsung dari 29 Mei-1 Juni dan sidang keduanya berlangsung dari 10-16 Juli 1945, dikutip dari karyanya Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, cet. ke-1 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 17.55 ?Deliar Noer, Parta-Partai Islam, hlm. 34-35.

xlvii

Page 47: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

yakni berasal dari nasionalisme-Islam, sedangkan 80 %-nya berasal dari

kelompok nasionalis-sekuler.56 Statistik ini menunjukkan betapa tidak

seimbangnya representasi dari masing-masing kelompok itu.

Di antara wakil dari kelompok Islam yaitu; K. H. Mas Mansur, Abdul

Kahar Muzakkir, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Masykur, K.H. A. Wahid

Hasyim, Abikusno Cokrosujoso, H. Agus Salim, Sukiman Wiryosanjoyo,

K.H. A. Sanusi, dan K.H. Abdul Halim, sedangkan wakil dari kelompok

nasionalis, antara lain, Rajiman Widiodiningrat, Soekarno, Mohammad Hatta,

Prof. Soepomo, Wongsonegoro, Sartono, R. P. Soeroso, Dr. Buntaran

Martoatmojo dan Muhammad Yamin, untuk Ketua dan wakil ketua BPUPKI

dijabat oleh Rajiman Widiodiningrat dan R. P. Soeroso, ini menunjukkan

bahwa kepemimpinan BPUPKI berada di tangan kelompok nasionalis. 57

Akan tetapi karena banyaknya anggota Badan Penyelidik yang malah

dikhawatirkan akan membawa kegagalan Badan Penyelidik itu sendiri (atas

perdebatan yang semakin memanas) maka dibentuklah Panitia Kecil BPUPKI

yang hanya terdiri dari 9 orang itu, yaitu: empat orang dari kalangan Islam (H.

Agus salim, K.H. Wahid Hasyim, Abikusno, dan Abdul Kahar Muzakkir) dan

lima orang dari kalangan Naionalis (Soekarno, Mohammad Hatta, A. A.

Maramis, Achmad Subarjo, dan M. Yamin).58

Dalam panitia ini, Islam politik mempunyai kepentingan untuk

menjadikan Islam sebagai dasar negara, sebab menurutnya yang paling banyak

56 ? Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Refleksi, (Jakarta: Hudaya, 1970), hlm. 60-61.

57 ? Muhamad Yamin, Naskah Persiapan, hlm. 60-61. 58 ? Deliar Noer, Partai-Partai Islam, hlm. 35.

xlviii

Page 48: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

berkorban dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia adalah kelompok

Islam. Kepentingan tersebut menimbulkan reaksi keras dari kelompok

nasionalis sekuler yang memang secara kuantitatif anggota mereka dalam

badan ini merupakan mayoritas, sebagai jalan tengah akhirnya Jepang

membentuk “Panitia Sembilan” di atas.

Pada tanggal 21 Juni 1945 BPUPKI menyetujui Piagam Jakarta yang

rumusan sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban

menjalankan Syari‘at Isla>m bagi pemeluk-pemeluknya”,59 kesepakatan

ini merupakan hasil perjuangan Islam politik dalam kepentingannya saat itu,

akan tetapi umat Islam terpaksa harus kecewa karena dalam UUD 1945 yang

disahkan pada 18 Agustus 1945 itu, ternyata telah menghapuskan Piagam

Jakarta tersebut.60 Ini merupakan kekecewaan Islam politik yang pertama

dalam perjuangan politiknya.

Diterimanya pancasila sebagai asas dan ideologi negara merupakan

puncak dari pertentangan dan sekaligus menunjukkan kekalahan kelompok

Islam yang harus berkompromi dengan kepentingan lain. Umat Islam yang

sebelumnya memperjuangkan ideologi Islam sebagai dasar negara dalam

mukadimah UUD 1945 harus mengalah dengan pancasila. Keinginan keras

umat Islam saat itu bisa dimaklumi, selain sebagai pejuang mayoritas

kemerdekaan, pancasila sendiri menyimpan dua faktor yang sangat debatable.

59 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, hlm. 170. 60 Ibid., hlm. 23.

xlix

Page 49: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Pertama, tentang kandungan pancasila itu sendiri. Kedua, tentang makna

penting pancasila jika dibanding dengan agama.61

Kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta rupanya hanya mampu

bertahan selama 57 hari, ini dikarenakan pengiring redaksi sila pertama yang

mewajibkan umat Islam menjalankan Syari‘at Isla>m dirasakan oleh

kawasan Timur Indonesia sebagai sikap diskriminatif terhadap pemeluk

agama lain.62 Maka demi persatuan bangsa akhirnya para pemimpin politik

Islam terpaksa menelan kekecewaan cita-cita politiknya pada 18 Agustus

1945 dengan menghilangkan anak kalimat tersebut dari pembukaan UUD

1945.

Peristiwa ini dikenal sebagai sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan

Indonesia) yang merupakan pengganti dari BPUPKI yang telah dibubarkan.

Jumlah anggota PPKI semula sebanyak 21 orang, kemudian atas usul

Soekarno akhirnya ditambah menjadi 27 orang, dan yang menarik dicermati

dari total jumlah ini ternyata hanya tiga anggota dari organisasi Islam, yaitu Ki

Bagus Hadikusumo, K.H. Wahid Hasyim dan Kasman Singodimedjo.63 Betapa

ironisnya umat Islam sebagai mayoritas populasi dan penggerak melawan

penjajah di negeri ini hanya diwakili oleh tiga anggota.

Sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 bertujuan menetapkan UUD dan

memilih presiden dan wakilnya, kebetulan presiden yang dipilih adalah ketua

61 Deliar Noer, Islam, Pancasila dan Asas Tunggal, (Jakarta: yayasan perkhidmatan, 1983), hlm.108.

62 Hatta, Memoir, (Jakarta: Tintamas, 1978), hlm. 452- 458.63 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi

Terpimpin 1959-1965, cet. ke-1 (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 29.

l

Page 50: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

dan wakil PPKI saat itu yaitu Soekarno dan Hatta. Secara kultural Soekarno

mewakili kultur Jawa sedangkan Hatta dari kultur Minang/Sumatera, terang

saja latar belakang Hatta ini bisa dijadikan pelebur sikap keras Ki Bagus yang

selalu bersekukuh mempertahankan rumusan Piagam Jakarta. Soekarno

sebenarnya sangat kewalahan menghadapi konsistensi Ki Bagus yang tetap

bertahan dengan Piagam tersebut, maka melalui Hatta yang memanfaatkan

Teuku Moehammad Hassan anggota PPKI dari Sumatera berhasil melunakan

sikap keras Ki Bagus dan dalam waktu 15 menit anak kalimat pada sila

Ketuhanan itu diganti dengan Yang Maha Esa.64

Akar perdebatan ini tidak lepas dari letupan pertarungan ideologi saat itu,

yaitu Nasionalis dan Islam.65 Golongan nasionalis adalah kelompok yang

berprinsip bahwa ad-Din wa ad-Daulah (agama dan negara) harus

dipisahkan secara tegas dan proporsional, dengan keyakinan bahwa fungsi

agama hanya mengurusi ajaran-ajaran yang berkaitan dengan kehidupan

akhirat dan urusan pribadi saja, Sedangkan negara memang merupakan

masalah politik yang berurusan dengan duniawi.66 Sementara itu golongan

Islam saat itu berprinsip bahwa agama (dalam hal ini Islam) tidak dapat

dipisahkan dari urusan kenegaraan, karena Islam menurut mereka tidak hanya

64 Prawoto Mangkusasmito, Perumusan Historis, hlm 21-22. Hatta, Memoir, hlm 457-458.

65 Akan tetapi apabila diteliti lebih jauh pertarungan ideologi yang menjadi pertimbangan dalam peletakkan dasar negara saat itu bukan hanya ideologi nasionalis dan Islam, tetapi lebih besar dari itu yaitu pertarungan dua ideologi besar dunia antara kapitalis dan komunis. Baca Hasyim Wahid dkk, Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangkitan Indonesia, cet. ke-1 (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm.17-24.

66 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 4.

li

Page 51: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan saja, melainkan juga

hubungan sesama manusia, lingkungan dan alam semesta.67

Indikasi pertarungan ideologi ini bisa dilihat sejak tahun 1920-1930-an

dari kasus retaknya hubungan Sarekat Islam (SI) dengan Partai Nasionalis

Indonesia (PNI), kasus Jawi Hisworo, majalah Timboel, Swara Oemoem dan

peristiwa itu perdebatan sengit antara tokoh Nasionalis-Muslim, seperti

Tjokroaminoto, Agus Salim, Ahmad Hassan dan M. Natsir dengan tokoh-

tokoh Nasionalis-sekuler yang diwakili Tjipto Mangunkusumo, Soekarno dan

lain-lain, Polemik inilah yang kemudian berlanjut sampai sekarang. 68

Di sisi lain, konsep “Piagam Madinah” dan praktek pemerintahan Islam

pada zaman Rasulullah, sahabat dan komunitas muslim lainnya juga ikut

mempengaruhi lahirnya perdebatan Islam dan negara di Indonesia, sebab

munculnya terma Piagam Jakarta di Indonesia sedikit banyak terinspirasi dari

konsep Piagam Madinah yang pasti tidak bisa lepas dari persinggungan

wacana politik Islam yang telah berlaku di bangsa Arab itu. Selain itu praktik

67 Ibid., lihat juga, Endang Saefuddin Anshary, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler, tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1949-1959, (Bandung: Pustaka Salman, 1981), hlm. 8.

68 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm 4 dan 54-55. Yang dimaksud nasionalis sekuler adalah kelompok pemimpin politik Indonesia yang menolak secara tegas agama sebagai dasar negara, kelompok ini terdiri dari muslim, katolik, protestan, Hindu dll. Meskipun secara personal mereka bukan kaum sukularis dan kelompok yang tidak lepas dari sentimen, tendensi dan afiliasi keagamaan. Mereka tetap memilih untuk tidak menggunakan agama sebagai ideologi politik. Sebaliknya apa yang dimaksud nasionalis muslim adalah kelompok pemimpin muslim yang menginginkan Islam harus dijadikan dasar negara, karena bagi mereka agama dan politik tidak bisa dipisahkan, jelasnya bahwa tidak ada pemisahan antara persoalan duniawi dan ukhrawi dalam ajaran Islam. Baca, Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, hlm. 5.

lii

Page 52: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

pemerintahan Negara Turki yang memisahkan negara dan agama juga ikut

mewarnai perdebatan ini.69

Jadi, untuk memaparkan secara lebih jelas pemikiran politik tokoh Islam

dan keterkaitan mereka dalam memperjuangkan negara berdasarkan Islam di

Indonesia, perlu penyusun bahas secara singkat tentang teori-teori yang

diajukan para intelektual muslim.

Secara umum pemikiran politik Muslim bisa diklasifikasikan menjadi tiga

teori.70 Pemikiran pertama berpendapat bahwa negara dan agama tidak harus

dipisahkan, karena Islam merupakan agama yang integral dan komprehensif

dalam mengatur kehidupan baik urusan duniawi maupun ukhrawi, oleh sebab

itu menurut pandangan ini konstitusi negara harus didasarkan pada Islam.

Tokoh teori ini antara lain , Abu A’la Maududi71 (1903-1979) dari Pakistan

yang memimpin Jamiy‘ah al-Isla>m, Sayyid Qutb72 (1906-1966) dan para

ideolog lain Ikhwan al-Muslimin73 dari Mesir. Baik Jam‘iyah al-

69 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 5, Soekarno, Memudahkan Pengertian Islam, di Bawah Bendera Revolusi (Jakarta:Panitia di bawah bendera revolusi, 1994), hlm. 369- 402.

70 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 1-2. M. Azhar, Filsafat Politik Perbandingan Antara Islam dan Barat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 14. lihat juga Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, hlm. 57.

71 Maududi , Islamic Law and Constitution, alih bahasa Khursihid Ahmad, edisi ke-10 (Lahore: Islamic Publication, 1990), hlm. 203. Maududi adalah seorang politikus dan pengarang yang terkenal dalam Islam, dia pernah akan dijatuhi hukuman mati oleh penguasa karena aktivitas politiknya pada tahun 1953, namun hukuman tersebut dibatalkan atas desakan pemimpin dunia muslim pada Pemerintahan Pakistan.

72 Pada tahun 1966, Sayyid Qutb dan beberapa pemimpin Ikhwan al-Muslimun lainya ditangkap dan diadili, setelah Nasser mengetahui rencana makar mereka dalam menjatuhkan rezim, salah satu karyanya yaitu, Khas}ais} at-Tas}awwuri al-Isla>mi wa Muqawwamatuhu (Kairo: Issa al-Babi al-Halabi wa Shuraka’uhu, 1962); Hadha al-Din, (Kairo: Dar al-Qalam, 1962).

73 Tentang Ikwan al-Muslimun, bisa dibaca dalam karyanya, Richard P. Mitcell, The Society of Muslim Brothers, (Oxford: Oxford University Press, 1969).

liii

Page 53: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Isla>m maupun Ikhwan al-Muslimin dikenal sebagai gerakan

Fundamentalis di Iran, Pakistan dan Saudi Arabia, hal ini bisa dilihat dari

jargon politiknya bahwa ad-Din wa ad-Daulah (agama dan Negara) tidak

bisa dipisahkan.74 Pandangan komprehensif ini dikutip dari nash al-Qur’an75:

تتبعوا وال !فة كآ فىالسلم ادخلوا أمنوا ين ياأيهاالذم!بين عدو! لكم !ه إن الشيطـن )٢٠٨البقرة( : .خطوات

Menurut teori yang kedua, agama dan negara harus dipisahkan, urusan

agama sebatas pada urusan pibadi dan ukhrawi tidak perlu mencampuri urusan

politik. Oleh sebab itu konstitusi negara dalam pandangan ini tidak harus

didasarkan pada Islam, namun pada nilai sekuler, contoh konkret teori ini

adalah negara Turki Modern. Teori ketiga, sepakat dengan adanya pemisahan

antara agama dan negara dalam arti konstitusi negara tidak harus didasarkan

Islam, akan tetapi nilai agama harus menjadi ruh kehidupan masyarakat

bernegara, 76

Ketiga teori ini mewakili pilihan-pillihan yang dapat menentukan

karakteristik struktur sosial dan politik negara-negara muslim dunia dalam

menghadapi tantangan modernitas. Terutama teori pertama ini sangat kuat

mewarnai pemikiran politik muslim Indonesia tahun 1940-an dan 1950-an,

karena dalam sidang BPUPKI 1945 maupun konstituante (1956-1959) para

pemimpin muslim berjuang keras agar Islam dijadikan dasar negara.77 Selain

74 Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, hlm. 37.

75 al-Baqarah (2): 208.76 Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, hlm. 38.

77 Faisal Ismail, Ibid.

liv

Page 54: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

itu tidak ada indikasi yang tampak bahwa pemikiran politik nasionalis-muslim

Indonesia saat itu, dipengaruhi oleh Kemal Attaturk ataupun Ali Abd al-

Raziq (1888-1966) yang berpendapat bahwa Nabi tidak pernah berupaya

membangun sebuah negara, beliau hanyalah seorang utusan yang dikirim oleh

Tuhan semata.

Dengan mempertimbangkan faktor-faktor di atas, konflik ideologi antara

kaum nasionalis-sekuler dan nasionalis-muslim bisa diperkirakan sejak

menjelang kemerdekaan (Sidang BPUPKI). Melengkapi data sebelumnya,

pada tanggal 31-Mei 1945 Soepomo lebih mendukung gagasan Hatta yang

mengusulkan bentuk Indonesia sebagai negara kesatuan daripada keinginan

umat Islam dalam meletakkan dasar negara , yakni memisahkan negara dari

persoalan agama.78

Menurut Soepomo sendiri, jika negara Islam diciptakan di Indonesia maka

sudah pasti persoalan minoritas, persoalan kelompok-kelompok kecil agama

dan yang lainnya akan muncul. Meskipun Islam menjamin kelompok agama

lain sebaik mungkin, kelompok kecil ini tidak akan merasakan keterlibatannya

dalam negara, karena cita-cita negara Islam tidak sesuai dengan cita-cita

negara kesatuan yang diharapkan bersama.79

Pada tahun 1953 Soekarno juga mengungkapkan kekhawatirannya secara

terbuka tentang implikasi-implikasi negatif yang muncul, apabila umat Islam

Indonesia tetap memaksakan kehendaknya (negara Islam), yakni pengakuan

78

? Lihat Muhammad Hatta, Memoir, hlm. 456-458, M. Yamin, Naskah Persiapan, Vol. I, hlm. 115.

79 Dikutip dari Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, hlm. 40.

lv

Page 55: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Islam secara legal formal di negara ini.80 Dengan mengingat kekhawatiran

yang diungkapkan Hatta pada tahun 1945, Soekarno mengatakan bahwa ia

cemas, kalau banyak bagian negara Republik Indonesia memisahkan diri, atau

negara bekas jajahan Hindia Belanda seperti Irian Barat juga tidak ikut

menggabungkan diri dengan Indonesia yang ber-ruh Islami ini.81

Melihat keberatan kelompok nasionalis-muslim terhadap Negara Sekuler

mengharuskan kita meninjau kembali sejarah Islam yang menyatukan

pemahaman antara agama (di>n) dan negara (daulah). Istilah “negara”

dalam bahasa Indonesia mempunyai arti; pertama, organisasi di suatu wilayah

yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. Kedua,

kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang

diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintahan yang efektif,

mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan

nasionalnya.82

Dalam Bab ini penyusun merasa perlu mengkaji pula istilah-istilah dalam

kajian politik Islam seperti daulah, khalifah, imamah dan kesultanan yang

seringkali dikonotasikan dengan istilah negara. Di samping itu teori-teori

tersebut paling tidak ikut mempengaruhi pemikiran politik Islam di Indonesia.

a. Daulah.

80 Dikutip dari, Douglas E. Ramage. Percaturan Politik, hlm. 29.

81 Ibid.82 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, edisi ke-2, cet. ke-3 (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 685.

lvi

Page 56: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Istilah daulah berasal dari bahasa Arab yang bermakna bergilir, beredar

dan berputar (rotate, alernate, take turns or Occur priodically).83 menurut

Olaf Schuman istilah “daulah” sama dengan “dinasti atau wangsa” yang

berarti sistem kekuasaan yang berpuncak pada seorang pribadi dan didukung

oleh keluarganya atau clanya.84 Jadi dalam konteks sekarang istilah tersebut

bisa diartikan negara, selain itu Paham ini juga erat dengan paham Da>r al-

Isla>m yang bermakna bahwa kekuasaan tertinggi terletak di tangan seorang

penguasa muslim yang memberlakukan Hukum Islam sebagai hukum utama

di dalam wilayahnya.85

Menurut sejarah istilah ini pertama kali digunakan dalam politik Islam

ketika masa kemenangan kekhalifahan dinasti Abbasiyyah pada pertengahan

abad delapan.86 Kalau memang istilah ini pernah ada, berarti masa itu terdapat

pada daullah Umayyah yang kemudian begilir pada keluarga Bani Abbas

(Daulah Abbasiyyah).87

b. Khilafah.

Istilah “Khila>fah” berasal dari bahasa arab yang bermakna perwakilan

atau pergantian. Dalam perspektif politik sunni, khilafah didasarkan pada dua

83 Sebenarnya yang dimaksud bergilir, beredar dan berputar adalah perputaran (legitimasi) kekuasaan dari yang lama (demisioner) kepada yang baru diamanati oleh kekuasaan lama tersebut. Lihat Olaf Schumann, “Dilema Islam Kontemporer antara Masyarakat Modern dan Negara Islam,” Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, No, 2, Vol I (Jakarta : Paramadina, 1999), hlm. 57.

84 Olaf Schumann, Ibid., hlm. 59.85

? Ibid.

86 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, alih bahasa Ihsan Ali Fausi, (Jakarta: Gramedia, 1994), hlm. 50.

87 M. Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta: Logos, 2000), hlm. 78.

lvii

Page 57: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

rukun, yaitu: konsensus elit politik (ijma‘) dan pemberian legitimasi

(Bay‘ah).88 Oleh sebab itu sudah menjadi hal yang lazim dalam pemilihan

pemimpin Islam bahwa pemilihan pemimpin ditetapkan oleh elit politik

melalu ijma‘ kemudian baru di Bay‘ah , menurut Harun Nasution sistem ini

menyerupai dengan sistem republik daripada sistem kerajaan, karena

pemimpin dalam hal ini dipilih bukan merupakan sistem monarkhi yang

bersifat turun-temurun.89

Sistem khilafah ini pertama kali digunakan dalam politik Islam setelah

Nabi Muhammad wafat, yaitu pada masa khalifah Abu Bakar, dalam pidato

inagurasinya Abu Bakar menyatakan dirinya sebagai Khalifah Rasul Allah

dalam artian sebagai “Pengganti Rasulullah” yang bertugas meneruskan misi-

misinya.90 Sedangkan menurut Bernard Lewis istilah khalifah muncul pertama

kali pada masa pra-Islam abad ke-6 Masehi dalam suatu prasasti Islam di

Arabia.91

c. Imamah.

Selain kedua istilah di atas, “imamah” dalam kajian Islam juga sering

digunakan sebagai teori yang menyerupai makna negara. Menurut Mawardi,

imam bisa dimaknai khalifah, raja, sultan atau kepala negara, dengan

demikian menurut Munawir Sjadzali, Mawardi memberikan ruang bagi agama

88 Hamid Enayat, alih bahasa Asep Hikmat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad ke 20, (Bandung: Pustaka, 1998), hlm. 8.

89 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, cet. ke-5 (Jakarta: UI Press, 1985), I: 95.

90 M. Din Syamsuddin, Etika Agama, hlm. 80.

91 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, hlm. 61.

lviii

Page 58: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

suatu jabatan politik yaitu kepala negara.92 Sementara menurut Taqiyuddin an-

Nabhani, imamah dan khilafah merupakan dua istilah yang sama maknanya,

karena khilafah adalah suatu kepemimpinan yang berlaku secara umum bagi

seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari’at

dan mensyiarkan Islam ke seluruh penjuru dunia.93

Pada dasarnya teori imamah lebih banyak berkembang di aliran syi’ah

daripada aliran sunni, dalam aliran Syi’ah Imama>h menekankan dua

rukun, yaitu kekuasaan imam (wilayah) dan kesucian Imam (‘ismah).94

d. Kesultanan.

Adapun istilah kesultanan seringkali diartikan kekuasaan dalam kitab al-

Qur’an, menurut Lewis ada seorang penulis dari kelompok scribal, Abd

Hamid, yang hidup pada awal abad kedelapan, secara umum menggunakan

istilah sultan untuk pemerintah.95

Dari uraian di atas, tampak bahwa istilah negara dalam Islam memiliki

beberapa sinonim di antaranya Daulah, Khila>fah, Ima>mah dan

S{ult}aniyyah, oleh sebab itu merupakan hal yang lazim kalau wacana

Negara Islam selalu hangat untuk diperdebatkan, karena secara de facto

ternyata Islam mempraktekkan beberapa istilah yang bersinonom dengan

konsep negara, sedangkan secara konseptual atau de jure Islam memang tidak

92 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 63.

93 Dikutip dari Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 32. baca juga karya asli, Taqiyuddin an-Nabhani, alih bahasa Moh. Magfur Wachid, Sistem Pemerintahan dan Realitas Doktrin, Sejarah dan Doktrin, Sejarah Empirik, (Bangil: Al-Izzah,1996), hlm. 39.

94

? Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni, hlm. 9. M. Din Syamsuddin, Etika Agama, hlm. 79.

95 Bernard Lewis, Bahasa Politik, hlm. 49.

lix

Page 59: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

mengenal konsep negara yang detail. Namun demikian patut diteliti apakah

teori-teori tersebut untuk konteks modern saat ini bisa dikategorikan sebuah

konsep negara.

Mengingat wacana negara Islam di Indonesia selalu menjadi perdebatan

panjang dalam sejarah didirikannya negara ini, sejak pra-kemerdekaan sampai

sekarang. Patut dicari apa sebenarnya yang membuat tokoh muslim

berkeinginan keras meletakkan Islam sebagai dasar negara Indonesia? Salah

satu jawaban atas pertanyaan ini, yaitu karena mereka bertujuan menerapkan

Syari‘at secara efektif di seluruh penjuru wilayah negara, M. Natsir salah

satu tokoh Islam yang kontra dengan gagasan Soekarno mengklaim bahwa

kemerdekaan Indonesia merupakan salah satu cita-cita Islam oleh sebab itu

pencapaian kemerdekaan Indonesia merupakan bagian integral dari

perjuangan Islam untuk menerapkan Syari‘at.96

Tampaknya klaim ini didasarkan pada kenyataan saat itu, bahwa umat

Islam Indonesia sebagai kelompok mayoritas mempunyai peran yang sangat

besar dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Untuk mendukung

opini ini bisa dilihat dari semangat jihad Islam yang terukir dalam sejarah

tanah air ini, seperti Sultan Babullah dari Ternate, Sultan Hasanuddin dari

Makassar, Pangeran Diponegoro (pemimpin Perang Diponegoro 1825-1830,

Imam Bonjol (pemimpin Perang Padri 1921-1937), Teuku Umar, Tjut

Nya’Dien dan Tengku Tjhik di Tiro (pemimpin Perang Aceh tahun 1872-

96 Dikutip dari Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, hlm. 41.

lx

Page 60: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

1912).97 Di samping itu terdapat juga ulama-ulama Jawa, salah satunya Syekh

Hayim Asy’ari yang terkenal dengan “Resolusi Jihadnya”.

Selain alasan di atas, kekecewaan umat Islam atas dihapuskannya “Piagam

Jakarta” bisa juga dipahami melalui berbagai organisasi kultural dan

ekonomis Islam yang telah didirikan jauh sebelum Indonesia merdeka, apalagi

organisasi tersebut banyak memberi konstribusi dalam kemerdekaan ini,

misalnya Sarekat Islam (didirikan tahun 1912), gerakan Modernis

Muhammadiyah (yang juga didirikan tahun 1912, dan organisasi Tradisionalis

NU (didirikan 1926).98 Menurut hemat penyusun organisasi ini merupakan

alat konsolidasi yang sangat efektif saat itu.

Meski dalam kenyataanya umat Islam merupakan mayoritas dalam bangsa

ini dan organisasi Islam memainkan peran penting pada masa kemerdekaan,

menurut Fred von den Mehden "Indonesia sebagai satu bangsa Islam tidak

seluruhnya sepakat dengan apa yang harus dilakukan sebagai pemeluk

Islam”.99 Hal ini mungkin disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran dan

praktik agama yang dikerjakan, sebagaimana yang dinyatakan Cliford Geertz

bahwa rakyat Indonesia terbagi menjadi tiga aliran atau trikotomi, yaitu

Priyayi, Santri dan Abangan.100

97 Ibid. 98

? Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia, 1900-1942 (Singapura: Oxford University Press, 1973). Lihat juga Douglas E. Ramage, Percaturan Politik, hlm. 26.

99 Fred von den Mehden, Religion and Modernization in South East Asia Syracuse: Syracause University Press, 1986), hlm. 184. Douglas E. Ramage, Percaturan Politik, hlm. 27.

100 Aliran santri menunjuk pada pemeluk Islam yang taat dan setiap harinya dekat dengan prilaku spritual atau sosial yang didasarkan pada al-Qur’an. Sementara Abangan adalah pemeluk Islam nominal, yang bagi mereka Islam adalah lapisan terakhir yang menyelubungi kepercayaan-kepercaaan relegius Hindu, Budha, dan kejawen. Baca, Douglas E. Ramage. Ibid, hlm. 27.

lxi

Page 61: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Perbedaan relegius dan politik dalam komunitas Muslim tampak jelas

dalam wacana pancasila, Seperti halnya yang penyusun bahas di atas. Dengan

demikian suatu dinamika “Islam versus Pancasila” telah mempengaruhi

sebagian besar perdebatan dan wacana pemikiran politik Indonesia sepanjang

tahun 1980-an sampai 1990-an.101 Sebagaimana yang akan dibahas dalam bab-

bab berikut, dinamika ini memiliki implikasi-implikasi penting bagi

perpolitikan nasional.

Dalam catatan sejarah, tuntutan-tuntutan Islam politik atas negara sangat

tampak dalam pemberontakkan Darul Islam melawan Pemerintahan Pusat

antara tahun 1948-1962.102 Akibat serangan pemberontakan ini, bentuk

konkret ancaman “ekstrem kanan” (istilah yang secara resmi dipakai untuk

menunjuk fundamentalisme Islam di era Orde Baru) semakin jelas. Djohan

Effendi menambahkan bahwa Darul Islam mempertinggi kecurigaan militer

bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara partai-partai Islam dengan

pemberontak Darul Islam. Satu-satunya perbedaan, menurut pihak militer

adalah bahwa yang pertama memperjuangkan negara Islam dengan jalan legal,

sedangkan yang kedua dengan kekuatan illegal.103

Deliar Noer, tidak sepakat dengan cara pandang militer ini, baginya cita-

cita partai Islam ini dilakukan secara demokratis. Jadi tentu berbeda dengan

gerakan Darul Islam yang dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo, gerakan ini

101 Douglas E. Ramage. Ibid, hlm. 28.102 Mengenai pemberontakan Darul Islam bisa dilihat B.J. Boland, The Struggle of Islam

in Modern Indonesia, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1971 dan 1982), hlm. 54-74.

103 Dikutip dari Douglas E. Ramage. Percaturan Politik, hlm. 31. Djohan Effendi, The contribution of the Islamic Parties to the Decline of Democracy in the 1950s, makalah Confrence on Indonesia Democracy, Monash University, 18 Desember 1992.

lxii

Page 62: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

menggunakan kekerasan dan mementingkan simbol-simbol, seperti nama

Darul Islam, istilah Imam untuk Kepala negara dan lain sebagainya,

Sedangkan partai Islam lebih pada substansi tujuan. Dalam kasus ini gerakan

Kartosuwiryo tidak berkesempatan mengembangkan pemikiran substansi

tujuannya karena terburu menggunakan kekerasan.104 Peristiwa ini sedikit

banyak menumbuhkan citra negatif pada sebagian kalangan bangsa kita dalam

merespon hubungan Islam dan negara, yang kemudian berdampak negatif pula

terhadap cita-cita dan perjuangan partai-partai Islam selama ini.

Dan saat itu, citra negatif ini digunakan untuk mendeskriditkan kedudukan

partai Masyumi105 dan umat Islam secara umum. Padahal dalam kasus DI ini

secara perlahan-lahan juga ditunggangi oleh golongan yang tidak bersimpati

terhadap RI, di antaranya orang-orang Belanda seperti Jungschlager, Schmidt,

dan Van Kleef. Selain itu masalah pemberontakan PRRI/Permesta (1958-

1961) juga sering dihubungkan dengan cita-cita Islam sehingga membuat

partai Masyumi dibubarkan (tahun 1960), walupun banyak orang Kristen yang

terlibat di dalamnya karena tokoh-tokoh cabang Parkindo dan komandan

daerah yang beragama Kristen jelas-jelas menyokong pemberontakan ini.106

Posisi Islam semakin mengkhawatirkan ketika Soekarno membubarkan

partai Islam terbesar, Masyumi, karena dituduh terlibat dalam pemberontakan

regional berideologi Islam. Dalam usaha menyeimbangkan kekuatan-kekuatan

ideologis antara Islam, nasionalisme, dan komunisme Soekarno tidak hanya

104 Deliar Noer, Partai-Partai Islam, hlm. 430.105 NU saat itu masih bergabung dalam partai tersebut.

106 Ibid.

lxiii

Page 63: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

menganjurkan konsep Pancasila, melainkan juga sebuah konsep

NASAKOM,107 yang akhirnya malah menimbulkan struktur politis dan

ideologis yang labil pada awal tahun 1960-an karena masing-masing

kepentingan politisnya jelas saling berlawanan.108

Demikian pembahasan asal-usul perdebatan Islam dan negara di Indonesia. Semoga prawacana ini akan lebih memudahkan kita dalam memahami bab-

bab berikutnya.B. Tipologi Pemikiran Relasi Islam dan Negara.

Islam di Indonesia dewasa ini tidak lepas dari dinamika pemikiran dan

gerakan pembaharuan, di antaranya dipengaruhi ide-ide pembaharuan Abduh

yang dianggap rasional-liberal, dan kemudian di Indonesia berpadu dengan

faham Wahabiyyah yang skriptural-formal.109 Di sisi lain, masih terdapat

kuatnya madzhab yang dilestarikan oleh para kyai melalui pesantren, yang

dianggap sebagai basis kelompok tradisionalis Islam. Dengan adanya

dialektika modernis versus tradisionalis inilah yang akhirnya melahirkan

pemikiran neo-modernisme Islam Indonesia.

Sebelum membahas lebih jauh, penyusun ingin mempertegas antara Islam

dan pemikiran Islam. Menurut Moslem Abdurrahman “Islam” adalah wahyu,

sedangkan “pemikiran Islam” adalah kebenaran subjektif yang dihasilkan dari

107

? NASAKOM, berarti persatuan antara nasionalisme, agama dan komunisme. Konsep ini dimunculkan Soekarno pada masa demokrasi terpimpin.

108

? Douglas E. Ramage. Percaturan Politik, hlm. 34.

109 Moslem Abdurrahman, Islam Transformatif, cet. ke-2 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 66.

lxiv

Page 64: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

penangkapan seseorang terhadap pesan obyektif Tuhan.110 Sebagai kebenaran

subjektif pemikiran Islam bisa berubah-rubah sesuai dengan konteks dan

perkembangan pemahaman seseorang tersebut terhadap pesan Tuhan. Oleh

sebab itu untuk memamahami tokoh pemikir Islam harus diletakkan pada

kerangka Ijtiha>d.

Suatu hal yang wajar sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia wacana

relasi Islam dan negara mendapatkan komentar, kritik dan debat yang tajam

karena masalah ini termasuk kategori Ijtiha>d seseorang dalam memahami

teks Tuhan.

Pada tahun 1940-an sampai 1990-an sering terjadi perdebatan hangat

mengenai masalah tersebut, Seperti yang penyusun bahas sebelumnya.

Padahal perdebatan ini sudah pernah menemukan titik temunya, yaitu dalam

konsep “Piagam Jakarta”, yang kemudian dianulir sehari setelah

kemerdekaan. Upaya penyelesaian masalah tersebut pada sidang konstituante

kandas di tengah jalan karena dipotong oleh Soekarno melalui Dekrit 1959.

Demikian pula yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru, yang sengaja

menutupi kemungkinan-kemungkinan pembicaraan mengenai persoalan

tersebut.

Diawali perdebatan antara Natsir dan Soekarno, akhirnya Islam mencari

jalannya sendiri dalam kehidupan sosial politiknya dengan cara yang bisa

dibilang formalistik, agar kehadirannya tidak hanya dirasakan tapi juga diakui.

110 Ibid., hlm. 67.

lxv

Page 65: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Dalam pandangan umum, langkah-langkah ini telah menempatkan Islam

dalam posisi antagonistik vis-a-vis negara dengan seluruh implikasinya.111

Akhirnya, situasi inilah yang mendorong pemikir Islam Indonesia generasi

kedua (sejak tahun 1970-an), yang kemudian sering disebut sebagai kelompok

“Islam kultural”. Dalam pandangan ini Islam politik merupakan sesuatu yang

sulit untuk dijual karena trauma politik yang membekas para aktivis politik

saat itu, baik dari pihak Islam politik maupun negara. Untuk itu generasi

kedua ini tidak menginginkan Islam dijadikan sebuah ideologi, dengan

memfokuskan pada bidang garapan “transformasi sosial” yang disesuaikan

dengan kebutuhan tertentu. Di antaranya pandangan dasar Nurcholish Madjid

yang mengemukakan desakralisasi; Abdurrahman Wahid dengan gagasan

Pribumisasi Islam,112 Dawam Rahardjo yang menggeluti Masyarakat pedesaan

melalui pesantren; dan Munawir Sjadzali yang menyatakan perlunya melihat

Islam dalam konteks Indonesia.113

Sebenarnya kalau dilihat dari aspek politik, aktivitas Islam kultural dan

Islam politik mempunyai persamaan, karena kalangan inilah yang meletakkan

dasar-dasar kehidupan politik yang demokratis, dengan menonjolkan aspek-

aspek keadilan, musyawarah, dan egalitarianisme yang disesuaikan dengan

111 Bahtiar Effendy, (RE) Politisasi Islam, Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, cet. ke-1 (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 191.

112 Yang dimaksud Pribumisasi Islam adalah bagaimana mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri. Jadi bukan meninggalkan norma demi budaya, akan tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan budaya dengan mempergunakan pemahaman nash, yaitu fiqih dan qaidah fiqih. Lihat Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam” dalam Islam Indonesia Menatap Masa Depan, (Jakarta: P3M, 1989), hlm. 83.

113 Bahtiar Effendy, (RE) Politisasi Islam, hlm. 191.

lxvi

Page 66: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

spirit Islam. Lebih spesifik dalam pembahasan ini, Munawir Sjadzali

mengklasifikasikan relasi Islam dan negara menjadi tiga kategori.

Pertama, aliran konservatif, yang berpendapat Islam adalah agama yang

sempurna dalam mengatur aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan

bernegara, oleh sebab itu tidak ada alasan memisahkan keduanya. Di antara

para tokoh aliran ini ialah Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, aliran

modernis, yang berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai sistem negara

yang detail tetapi di dalamnya terdapat nilai etika kehidupan bernegara. Tokoh

yang terkemuka yaitu M. Husein Haikal. Ketiga, aliran sekuler, Islam tidak

ada hubunganya dengan negara karena menurut aliran ini Muhammad tidak

pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh utama aliran ini ialah Ali

Abd al-Raziq dan Thaha Husein114

Akan tetapi dalam tipologi ini, penyusun akan mengkaji pada kategori

kedua, yakni aliran Modernis, yang kemudian penyusun klasifikasikan

kembali menjadi dua aliran: modernis dan neo-modernis. Pemetaan ini

didasarkan pada analisa pemikiran yang telah bekembang, bahwa pemikiran

politik Islam di Indonesia memang tidak lepas dari hubungan dialektis antara

aliran tradisionalis dan modernis,115 yang akhirnya melahirkan neo-

modernisme tersebut.

Dalam pandangan politik Islam, kelompok modernis biasanya

menggunakan pendekatan struktural yang dapat juga disebut sebagai kaum

114 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 1-2.

115 Untuk lebih lengkapnya baca, Moslem Abdurrahman, Menyimak Pemikiran Islam, dalam karyannya, Islam Transformatif, hlm.62-114.

lxvii

Page 67: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

idealis, sementara kelompok neo-modernis menggunakan pendekatan kultural

yang biasa disebut kaum realistis atau akomodasionis.116

1. Perspektif Modernisme.

Pemikiran modernisme Islam sudah dimulai sejak abad ke 20-an sebelum

Indonesia merdeka. Pada tahun 1912 didirikan sarekat Islam, yakni sebuah

organisasi politik Islam modern pertama kali di Indonesia yang didasarkan

pada sebuah prinsip antipenjajahan.117 Di bawah pengaruh modernisme Islam,

nilai-nilai demokrasi menjadi suatu yang lazim di kalangan intelektual muslim

prakemerdekaan.118

Menurut Mukti Ali, munculnya Modernisme karena didorong kesadaran

akan kemunduran umat Islam yang disebabkan telah meninggalkan sumber

ajaran al-Qur’an yang asli, Oleh sebab itu kalangan modernisme seringkali

menyerukan umat Islam untuk “kembali kepada al-Qur’an dan sunnah secara

murni”.119 Sebagai reaksi terhadap Barat, wajar apabila kalangan modernisme

mengagendakan sebuah apologia melalui “ideologisasi Islam” bahwa Islam

adalah agama yang Ka>ffah.

Dalam konteks pembahasan, perspektif ini dihadapkan penyusun pada

pemikiran M. Natsir. Tokoh ini dikategorikan dalam perspektif modernis

116 Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan, hlm. 227.117

? Anders Uhlin, alih Bahasa Rofik Suhud, Oposisi Berserak, Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, cet. ke-2 (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 32

118 Deliar Noer, Pengantar ke pemikiran politik, (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), hlm. 215-216.

119 Dikutip dari, Moslem Abdurrahman, Islam Transformatif, hlm. 28.

lxviii

Page 68: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

karena gagasannya yang rasional-fundamental, penulis katakan rasional-

fundamental karena satu sisi Natsir mengakui bahwa di dalam Islam juga

mengandung unsur-unsur demokrasi, dalam artian demokrasi adalah sistem

pemerintahan yang bermanfaat bagi rakyat atau dari rakyat oleh rakyat untuk

rakyat,120 sisi fundamentalnya, M. Natsir bersikap keras meletakkan Islam

sebagai dasar negara, dengan tujuan supaya ajaran Islam bisa laksanakan

secara utuh dan konsekuen dalam kehidupan bernegara.121

Ide-ide pemikiran modernisme tentang Islam dan negara cenderung

bercirikan konservatif, liberal dan demokratis sosial.122 Di Indonesia sendiri

menurut Dawam Rahardjo ciri yang menonjol dari kalangan modernisme

adalah “apologik”, pemurnian dan “skripturalistik”,123 sedangkan dalam

pandangan Liddle istilah modernisme dalam politik mempunyai dua corak,

pertama, “skripturalistis”-yang masih menginginkan bentuk negara Islam dan

berlakunya undang-undang Islam; kedua, “substansialis”-kelompok ini lebih

mengedepankan pada isi daripada bentuk.124

120 Moh. Mahfud MD, Konfigurasi Politik dan Hukum pada Era Orde Lama Dan Orde Baru, dalam, M. AS. Hikam,dkk., Wacana Politik Hukum dan Demokrasi Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1999), hlm. 20.

121 Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 98.

122 Bahtiar Effendy dan Fachry Ali, Merambah Jalan Baru Islam, (Bandung: Mizan, 1986), hlm. 171. Baca juga, Anders Uhlin, Oposisi Berserak, hlm. 77.

123 M. Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Prilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim.(Bandung:Mizan, 1993), hlm. 284. lihat juga, M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, hlm. 211.

124 Dikutip dari, M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, hlm. 211, lihat karya asli William Liddle, Media Dakwah Scripturalism: One Form of Islamic Political Thought and Action in New Order Indonesia. kertas kerja belum diterbitkan.

lxix

Page 69: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Untuk memperjelas pada pembahasan lebih lanjut, perlu penyusun

tegaskan bahwa yang dimaksud modernisme di sini adalah aliran pemikiran

yang selalu mengidealkan pemerintahan Islam, dengan tetap menerima sistem

Barat asalkan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Sebenarnya secara

genetik kelompok ini sudah ada sebelum Orde Baru lahir, yaitu Masyumi dan

Muhammadiyah.125 Kedua organisasi ini mempunyai pemikiran yang sama

dalam memandang konsep negara, menurut tokoh-tokoh modernis, Islam dan

negara mempunyai hubungan integral, tetapi bukan berarti menolak sistem

Barat secara totalitas. Karena menurut M. Natsir sendiri Islam memang tidak

mempunyai sistem ketatanegaraan yang sempurna, maka dari itu apabila

negara Islam nanti didirikan boleh mengadopsi sistem Barat asal tidak

bertentangan dengan nilai-nilai Islam.126

Pada intinya aliran modernisme semacam ini mendukung negara Islam

secara ideologis, karena baginya secara tekstual, al-Qur’an dan Sunnah telah

menunjukkan perangkat dasar negara yang dapat diterapkan di zamannya.127

Selain itu, masih ada alasan-alasan lain yang akan dibahas dalam bab

selanjutnya, mengapa tokoh modernisme seperti M. Natsir ingin menjadikan

Indonesia sebagai negara Islam. Untuk lebih lengkapnya akan penyusun bahas

dalam bab selanjutnya.

2. Perspektif Neo-Modernisme.

125 Ibid. 126 Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 70-72.

127 Ibid., hlm. 73.

lxx

Page 70: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Pola pemikiran neo-modernisme sangat identik dengan Fazlur Rahman,

menurutnya meskipun di era modern pemikiran modernisme memberikan

sumbangan positif terhadap kebangkitan Islam, tetapi aliran ini masih

menunjukkan kelemahan-kelemahan tertentu, di antaranya adalah kurangnya

metodologi dalam menafsirkan al-Qur’an dan Sunnah, dan terlalu apriori

terhadap kekayaan potensi pemikiran Islam tradisional.128

Lebih lanjut, Nurcholis Madjid menyatakan bahwa meninggalkan tradisi

lama akan menimbulkan jump to conslusion (kesimpulan yang melompat),

artinya mengambil pokoknya saja tanpa memahami latar belakangnya,129

dengan meminjam istilah H.A.R. Gibb, dia mengkritik kaum modernisme

Islam bahwa kalangan ini menurutnya, akan terancam intellectual

impoverisment (pemiskinan intelektual), karena pemikiran-pemikirannya

seringkali terjebak pada proses pengambilalihan konsep-konsep Barat. Oleh

sebab itu kaum neo-modernisme menggunakan kaidah Islam klasik berikut

ini, 130 sebagai prinsip pengembangan pemikirannya. Yaitu:

األصلح ةالمحافظـ بالجديد واألخذ الصالح القديم على

Neo-Modernisme adalah aliran pemikiran yang melakukan usaha-usaha

untuk menemukan titik temu antara kaum Islam tradisionalis dengan kaum

128 Dikutip dari, Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan, hlm. 12.129 Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 178.

130 Ibid.

lxxi

Page 71: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Islam modernis.131 Di Indonesia sendiri gagasan neo-modernisme Islam

dimulai sejak tahun 1970-an, sebagai pemikiran generasi kedua setelah

modernisme yang mengarah pada Islam politik, kemudian pada tahun 1980-an

generasi kedua ini dikenal dengan sebutan Islam kultural.132

Menurut Greg Barton, ada lima ciri yang menonjol dari aliran neo modernisme. Pertama, neo modernisme adalah gerakan pemikiran progresif yang mempunyai sikap positif terhadap modernitas, perubahan dan pembangunan. Kedua, aliran ini sangat berbeda dengan fundamentalisme yang menganggap Barat sebagai ancaman bagi umat Islam. Neo-modernis justru membela ide-ide liberal Barat, tetapi juga mengajukan argumentasi bahwa Islam juga mempunyai kepedulian yang sama terhadap ide-ide Barat seperti demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Ketiga, neo-modernisme Islam mengarfimasi semangat sekularisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena menurutnya al-Qur’an dan Sunnah tidak pernah menyuruh mendirikan negara Islam. Keempat, neo-modernisme sangat mengedepankan pemahaman Islam yang terbuka, inklusif dan liberal, khususnya dalam merespon pluralisme masyarakat. Kelima, neo-modernisme selalu berijtihad dalam membuat sintesis antara khazanah pemikiran Islam tradisional dengan gagasan-gagasan Barat mengenai ilmu-ilmu sosial dan humoniora.133

Banyak penulis yang mengkategorikan tokoh-tokoh muslim Indonesia,

seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Dawam Rahardjo, dan

Munawir Sjadzali masuk dalam aliran ini, di antaranya.134 Dalam pembahasan

ini, corak pemikiran neo-modernisme akan penyusun hadapkan dengan

pemikiran Abdurrahman Wahid, ia seorang neo-modernis yang latar belakang

sosialnya berasal dari golongan tradisionalis, meskipun Abdurrahman Wahid

sangat kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah di tahun 1990-an, tetapi

dia tergolong akomodasionis terhadap sistem sosial yang berlaku di

Indonesia.135

131 Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan, hlm. 11.

132 Bahtiar Effendy, (RE) Politisasi Islam, hlm. 191.133 Dikutip dari, Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang

Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 122.

134 Bahtiar Effendy, (RE) Politisasi Islam, hlm. 191.

135 Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan, hlm. 18.

lxxii

Page 72: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Dalam memandang relasi Islam dan negara, kalangan ini lebih suka

menggunakan pendekatan kultural, yakni dengan memerankan Islam sebagai

“faktor komplementer” untuk mengembangkan sosio-ekonomi, politik, dan

moralitas bangsa. Di antara kalangan neo-modernis yang paling utama

mendukung pendekatan kultural ini adalah Nurcholis Madjid dan

Abdurrahman Wahid, meskipun mereka tidak sepenuhnya sama dalam

berpendapat, tetapi mereka menyadari bahwa secara historis ekspresi Islam

ideologis tidak pernah berhasil.136

Selain itu, menurut Abdurrahman Wahid kalau Islam di Indonesia

dijadikan faktor alternatif, yakni diideologikan, maka fungsinya bisa

terdistorsi karena yang muncul bukanlah struktur yang lebih baik melainkan

konflik horizontal dan ancaman disintegrasi bangsa,137 hal yang senada

diungkapkan oleh Nurcholish Madjid bahwa Islam bukanlah sebuah ideologi,

sebab pendapat Islam sebagai ideologi hanya akan menyamakan agama itu

setaraf dengan ideologi-ideologi yang ada di dunia.138

Meskipun demikian, bukan berarti pemikir neo-modernisme ini

mengabaikan aspek agama dalam politik, karena dalam pemikirannya selalu

mempertimbangkan aspek fiqih. Hal ini terlihat dalam pemikiran

Abdurrahman Wahid yang mengajukan dalil agar kebijaksanaan pemerintah

harus senantiasa disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan fiqih, dalam kaidah

136 Ibid., hlm. 239.

137 ? Dedy Djamaluddin M, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 77. baca juga, Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 116.

138 ? Dedy Djamaluddin M, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 169.

lxxiii

Page 73: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

fiqihnya "Tas}araf al Ima>m manu>t}un bi al-Mas}lahah"

(kebijaksanaan kepala pemerintah harus mengikuti kesejahteraan rakyat)”.139

Pokok pikiran kedua aliran ini, baik modernisme maupun neo-modernisme

dalam memandang agama dan negara sudah tentu berbeda, karena secara

teoritis dalam konteks agama dan negara kedua pemikiran tersebut memang

terbagi dua, yakni idealistik dan realistik. Dalam kerangka pemikiran

idealistik dirumuskan sebuah sistem negara yang sepenuhnya berdasarkan

wawasan Islam. Kelompok inilah yang kemudian menggunakan Islam sebagai

“tawaran alternatif” dan selanjutnya penyusun kategorikan dalam “kelompok

modernis”. Sementara pemikiran realistik lebih tertarik menempatkan Islam

sebagai “faktor komplementer”, yang menekankan pada substansi bukan

sebuah bentuk formal, 140 dan kemudian penyusun kategorikan sebagai

kelompok neo-modernisme.

Sebenarnya kedua kelompok di atas sama-sama menyadari bahwa di

dalam al-Qur’an maupun Sunnah memang tidak ada yang menyatakan untuk

mendirikan negara Islam, akan tetapi dalam aksi politiknya masing-masing

berbeda. Kelompok modernis lebih suka menggunakan pendekatan Islam

politik dalam kehidupan bernegara, karena untuk memberlakukan syari’ah

pasti membutuhkan kekuatan politik dan yang memiliki kekuatan itu adalah

negara, sedangkan negara dalam pandangan mereka adalah penjaga

syari’ah.141 Sementara generasi kedua, neo-modernisme tidak tertarik dengan

139 Ibid., hlm. 170.140 Ibid.

141 Amien Rais, Cakrawala Islam, (Bandung: Mizan, 1987), hlm. 41.

lxxiv

Page 74: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

pendekatan Islam politik tetapi lebih pada Islam kultural, yang menempatkan

syari’ah sebagai tata nilai masyarkat dalam kehidupan bernegara, karena pada

dasarnya agama adalah urusan pribadi yang tidak bisa diintervensi siapapun.

Dari uraian di atas, bisa dimengerti mengapa persoalan agama dan negara di Indonesia selalu menjadi pembicaraan hangat di kalangan intelektual muslim kita. Ini tidak lain karena pengaruh geneologi pemikiran yang melatarbelakangi

keduanya, baik itu faktor organisasi ataupun studi yang dijalaninya.

lxxv

Page 75: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

BAB III

POKOK-POKOK PEMIKIRAN

M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID

TENTANG RELASI ISLAM DAN NEGARA

Sketsa Biografi M. Natsir

1. Latar Belakang Sosial Politik

Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, nama M. Natsir tidak pernah luput

dari pembahasan. Selain seorang tokoh yang gigih memperjuangkan cita-cita

Islam, dia juga dikenal sebagai bapak pemersatu bangsa karena mosi yang

dilontarkannya dalam Sidang Parlemen RIS 3 April 1950, yang kemudian

dikenal dengan Mosi Integral Nastir.142 M. Natsir berasal dari Sumatera Barat,

daerah yang memang banyak memunculkan tokoh-tokoh pembaharu nasional,

baik dalam bidang politik, pendidikan, maupun keagamaan. Diantaranya:

Imam Bonjol, HAMKA, Haji Agus Salim, Muhammad Hatta, dan Sutan

Sjahrir.143

Secara tidak langsung, masyarakat Minangkabau telah akrab dengan dunia

politik, budaya dan agama. Hal ini bisa dilihat dari masyarakatnya sendiri

142 Anwar Harjono, dkk, Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, cet. ke-3 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm.10. Selama pemerintahan RIS (Republik Indonesia Serikat), Indonesia terpecah-belah menjadi 17 negara bagian. Keadaan inilah yang akhirnya menggigihkan semangat M. Nastir untuk meyakinkan masyarakat bahwa ada kemungkinan RI bisa bersatu kembali.

143 Thohir Luth, M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 21.

lxxvi

Page 76: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

yang terdiri dari sejumlah republik (negeri-negeri), dan dibentuk sesuai tradisi

kepala kelompok suku keluarga yang didasarkan pada suatu sistem

Matriarchat.144 Di sisi lain adat-istiadat, suku juga sangat dipertahankan,

terutama oleh golongan adat atau kaum tradisionalis.

Akibat tradisi keagamaan yang berlangsung di daerah itu, melahirkan para

gerakan pembaharu Islam, mereka adalah ulama muda yang dipengaruhi oleh

gerakan Wahabi di Arab Saudi dan gerakan pembaharuan Islam Mesir.

Bahkkan di antara mereka itu ada yang berguru secara langsung kepada

tokoh-tokoh Wahabi, dan dipengaruhi kuat dengan gagasan-gagasannya M.

Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh.145 Salah satu tuntutan gerakan ini

adalah pemurnian ajaran Islam (purifikasi).

Menurut Mahmud Yunus, awal timbulnya aliran pembaharuan Islam ini

disebabkan beredarnya buku yang mengecam ulama dengan melarang berdiri

waktu membaca “Maulid Nabi” (waktu Marh}aban) dan melafalkan

Us}alli ketika niat sholat.146 Deliar Noer menambahkan, selain dua masalah

di atas Syeikh Ahmad Khatib selaku penulis buku tersebut, juga menentang

keras praktik T{ariqah Naqsabandiyyah dan peraturan-peraturan adat

tentang warisan. Padahal kedua praktik itu telah menjadi tradisi masyarakat

setempat.147

144 Dikutip dari, Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 29. lihat juga, B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies: Selected Writing, Vol. I, (Amsterdam: W Van Hoeve ltd, 1955), hlm. 95.

145 Ibid.

146 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidayat Agung, 1982), hlm. 91. Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 29.

lxxvii

Page 77: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Gerakan pembaharuan ini, menurut penyusun membawa implikasi besar

dalam kehidupan masyarakat. Pertama, gerakan ini menimbulkan reaksi keras

dari kalangan tradisionalis dan Kepala suku. Akibatnya masyarakat

terpolarisasi menjadi kaum adat dan puritan. Kedua, gerakan ini membawa

perubahan-perubahan positif bagi kehidupan keagamaan masyarakat

Minangkabau, sehingga mengkondisikan lahirnya institusi keagamaan. Seperti

yang di tulis Mahmud Yunus bahwa ada sisi positif dari dealektika dikotomi

di atas, antara lain:

“Dari kalangan pembaharu melahirkan Sumatera Thawalib, majalah al-Munir, al-Bayan, al-Imam al-Basyir dan al-Ittiqan, sedangkan dari kalangan tradisional ada Tarbiyah Islamiyah dan majalah al-Mizan. Kedua golongan itu juga berlomba-lomba menyelidiki, membahas, mendalami ilmu-ilmu agama, dan mencari dalil untuk memperkuat fakta masing-masing, akibatnya ilmu agama semakin berkembang di Minangkabau dan melahirkan banyak madrasah agama.”148

M. Natsir lahir pada tgl 17 Jumadil Akhir 1326 H, bertepatan dengan tanggal 17 Juli 1908 di Jembatan Berukir Alahan Panjang, Kabupaten Solok. Ia merupakan anak ketiga dari pasangan Idris Sutan Saripado Dan Khadijah,149 pola pemikirannya sedikit banyak dipengaruhi dengan kondisi sosiologis di mana ia tumbuh, yakni saat masyarakat Minangkabau bersemangat bangkit melawan politik kolonial dan

mengadakan perubahan doktrin keagamaan.

147 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 91.

148 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, 92

149 Ajib Rosidi, M. Natsir, Sebuah Biografi, (Jakarta: Girimurti Pustaka, 1990), hlm. 145-152.

lxxviii

Page 78: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Pendidikan formalnya ditempuh di HIS (Holland Inlandische School) Adabiyah150 dan Madrasah Diniyah Solok pada tahun 1916-1923. setelah lulus dari HIS ia melanjutkan ke MULO151 (Meer Uitgerbreid Lager Onderswij) Padang. M. Natsir mulai terlibat organisasi sejak di MULO, awalnya ia masuk Jong Sumatranen Bond di Padang, dan kemudian beralih ke Jong Islameten Bond (JIB), kedua organisasi tersebut diketuai oleh Sanusi Pane. Pada Juli 1927 ia tamat dari MULO dan melanjutkan ke AMS152 (Algemene Middelbare School) dengan

jurusan sastra Barat (Eropa) klasik di Bandung. 153

Jika dilihat dari jenjang pendidikannya, M. Natsir tampak menguasai bahasa-bahasa Eropa tersebut, dengan demikian bisa dipastikan kalau ia tidak banyak mengalami kesulitan dalam memahami karya-karya bangsa Eropa, di antaranya sejarah, filsafat, sastra, politik dan orientalisme.154 Selain itu, M. Natsir sendiri mengakui bahwa bahasa-bahasa Eropa; Belanda,

150 H.I.S. (Hollands Inlandsche School) Adabiyah adalah madrasah sekolah agama yang pertama di Minangkabau, sekolah ini didirikan oleh almarhum Abdullah Ahmad pada 1909. Adabiyah ini berlangsung sebagai sekolah agama sampai tahun 1914, yang kemudian berubah menjadi H.I.S pada tahun 1915. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 63.

151 MULO adalah sekolah rendah dengan program yang diperluas. Sekolah ini berfungsi sebagai subkultur AMS, sekolah kejuruan, dan sekolah terminal bagi mereka yang tidak melanjutkan studinya. Di dalamnya terdiri 4 program bahasa, yaitu: Belanda, Prancis, Inggris, dan Jermaan. Setengah waktu digunakan untuk pelajaran bahasa, sepertiga untuk matematika dan ilmu pengetahuan sosial. Baca, S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 122 dan 128.

152 AMS adalah sekolah lanjutan MULO dan sebagai persiapan untuk Universitas di Nederland, oleh sebab itu bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa belanda. Ibid, hlm. 137-141.

153 Yusril Ihza Mahendra, “Modernisme Islam dan Demokrasi: Pandangan Politik Natsir,” Jurnal ISLAMIKA, no 13, (1994), hlm. 65.

154 Kamaruzzaman, Relasi Islam Dan Negara, hlm. 55.

lxxix

Page 79: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Inggris dan sebagainya memang banyak membantu kecerdasan bangsa Indonesia.155

Namun demikian, ia juga mempunyai kepedulian khusus terhadap karya-karya klasik ulama Islam yang berbahasa Arab. Baginya bahasa Arab bukanlah bahasa agama semata, bukan satu dialek atau salah satu bahasa propinsi, malainkan suatu bahasa dunia yang merupakan kunci dari berbagai pengetahuan yang kaya raya untuk mengutarakan suatu pengertian, dari yang mudah sampai yang sesulit-sulitnya atau dari yang bersifat Maddah (konkrit) sampai yang bersifat Ma‘nawi (abstrak), oleh sebab itu baginya bahasa

Arab lebih kaya dari bahasa Eropa manapun juga.156

Melalui bahasa arab tersebut, tidak heran juga kalau M. Natsir sangat tertarik dengan karya Ibnu Taimiyah dan Ibn Qayyim.157 Di samping itu ia juga tertarik dengan pemikiran-pemikiran keagamaan para tokoh modernis, seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha,

Ahmad Khan, dan Syed Amir Ali di Asia Selatan.158

Pada dasarnya M. Natsir telah mengenal ajaran-ajaran Islam yang bercorak pembaharuan sejak usia muda, hal ini bisa dilihat dari pengaruh gurunya, Tuanku Mudo Amid, seorang pengikut gerakan pembaharuan Islam yang juga merupakan kawan dekat Haji Rasul yakni seorang tokoh pembaharu

155 M. Natsir, Capita Selecta, cet. ke-3 (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 132.

156 Ibid., hlm. 133.

157 Dikutip dari, Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 55.

158 Ali Nuhannif, Mohammad Natsir Pemadu Politik dan Dakwah, dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam (ed.). Tokoh dan Pimpinan Agama: Biografi Sosial-Intelektual, (Jakarta: Badan Litbang Agama Depag RI dan PPIM, 1998). Hlm. 227. Lihat juga, Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 55.

lxxx

Page 80: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

pemikiran di Minangkabau. Selain itu, M. Natsir mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan Haji Abdullah Ahmad secara teratur, seorang tokoh

pembaharu di Padang.159

Pemikiran Natsir semakin berkembang ketika ia belajar pada tokoh utama Persis (Persatuan Islam) di Bandung160, Ahmad Hassan, salah seorang pendiri organisasi Persis, selain Ahmad Hassan ada juga Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus yang ikut mendirikan organisasi tersebut, tanpa bermaksud memperkecil peranan Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus sebagai pelopor pendiri Persis, namun organisasi ini memang baru terlihat karakternya sebagai kubu gerakan muslim modernis

pada waktu dipimpin oleh Ahmad Hassan.161 Menurut M. Natsir ada dua alasan mengapa ia tertarik berguru pada Ahmad Hassan. Pertama, Hassan sangat menguasai berbagai ajaran Islam, hal ini terlihat bagaimana Hassan mampu menghadapi persoalan masyarakat muslim yang berkembang saat itu. Kedua, pendekatan Hassan terhadap kajian Islam sangatlah menarik bagi generasi muda muslim karena cara yang digunakan sangat berbeda dengan para

ulama lainnya.162

159 Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 56.

160 Persis resmi dibentuk pada tanggal 12 September 1923 oleh sekelompok Muslim yang pada dasarnya menaruh perhatian pada kajian dan kegiatan keagamaan, tetapi kemudian meluas pada diskusi pergerakan dan wacana pembaharuan Islam. Lihat Howard Fidersfield, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentith Century Indonesia, (Ithacha: Cornell University Press, 1970), hlm. 11., Baca juga, Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, hlm. 95.

161 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 36.

162 Akhmad Minhaji, Ahmad Hassan and Islamic Legal Reform in Indonesia (1887-1958), (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2001), Hlm. 340; Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara,

lxxxi

Page 81: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Selain pengaruh dari tokoh-tokoh di atas, kondisi sosial masyarakat Minangkabau juga ikut mempengaruhi corak pemikiran M. Natsir. Karena pada masa kecil, ia telah menyaksikan pertentangan antara kaum adat dan agamawan di daerahnya. Oleh sebab itu tidak menutup kemungkinan kalau pandangan Natsir tentang keagamaan nanti sedikit banyak terpengaruh dengan fenomena yang ia lihat sewaktu kecil, yaitu pertentangan antara kaum adat dengan kaum muslim puritan, yang kemudian ikut membentuk pemikirannya dalam menentang paham

sekulerisme.Pola pemikiran politik Natsir mulai terlihat khas ketika ia berdomisili di Bandung, di mana ia banyak terlibat dalam organisasi, di antaranya Jong Islamieten Bond 163(the Association of Muslim Youth) dan Persis (The Unity of Islam). JIB berdiri pada tanggal 1 Januari 1925, organisasi ini merupakan perkumpulan generasi muda muslim yang didirikan di Jakarta dan kemudian membuka cabang di daerah-daerah. Pada tahun 1929 M. Natsir menjadi anggota JIB cabang Bandung.164 Dan kemudian ia mengajar Islam di Hollands Inlandse Kweekkschool (HIK) atau sekolah

guru dan MULO di kota ini juga .

hlm. 56.163 JIB merupakan organisasi yang bertujuan untuk mempelajari dan memotivasi hidupnya

agama Islam, menumbuhkan rasa simpati dan toleran antar sesama muslim atau dengan golongan yang lain, menyelenggarakan kursus agama, seni, darmawisata dan olah raga dengan menggunakan label Islam, selain itu orgainasasi ini juga meningkatkan kemajuan jasmani dan rohani anggotanya dengan cara menahan diri dan sabar. Untuk lebih detailnya baca, Mohammad Roem, Sejarah Berdirinya Jong Islamieten Bond, dalam Kustiniyati Mochtar (peny), Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI, (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm 129.

164 Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 57.

lxxxii

Page 82: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Namun demikian, pengaruh Persis terhadap dirinya lebih dominan ketimbang JIB. Karena dalam Persis M. Natsir merasa lebih banyak mendapatkan teman yang dapat memecahkan masalah yang sedang berkembang dalam pemikirannya, khususnya dalam bidang politik dan agama.165 M. Natsir mempunyai hubungan yang dekat dengan tokoh-tokoh Persis, apalagi ia juga sangat tekun dalam mengikuti kelas khusus yang memang diperuntukkan anggota muda Persis oleh Hassan, terutama yang sedang belajar di sekolah

menengah Belanda.166 Ditambah lagi, adanya majalah Persis Pembela Islam 167 yang memberinya kesempatan untuk menuangkan pendapat-pendapatnya dalam bentuk tulisan, selain itu yang menarik bagi Natsir adalah perhatian besarnya Persis pada kegiatan-kegiatan pendidikan, tabligh dan publikasi.168 Yang semuanya itu mengantarkannya sebagai pejuang, negarawan, dan agamawan di negara Republik Indonesia ini.169 Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa Persis merupakan wahana awal yang menjadikannya sebagai tokoh nasional, karena melalui kegiatan yang dipelopori Persis seperti tablig, penerbitan majalah, buku, dan pendidikan itulah ia berkesempatan terjun langsung

165 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, hlm. 100.

166 Ibid.

167 Pembela Islam adalah Majalah tengah bulanan yang diterbitkan tokoh-tokoh Persis di Bandung (1929-1935), dan kemudian majalah ini dilarang penguasa karena dianggap menyerang misi Kristen.

168 Ibid.

169 Thoir Luth, M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, hlm 29; Kamaruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 58.

lxxxiii

Page 83: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

sebagai juru bicara, pendidik, dan team redaksi Pembela Islam.170

Selain pengalaman organisasi di atas, secara akademis ia juga terlihat lebih serius dalam mempelajari ilmu pengetahuan Barat di AMS Bandung daripada sebelumnya, di sekolahan ini ia telah banyak mempelajari berbagai aspek sejarah peradaban Islam, Romawi, dan Yunani dengan menggunakan literatur yang berbahasa Arab, Prancis

dan Latin.171 Jadi bisa dikatakan bahwa dalam usia yang relatif muda (21 tahun) Natsir telah menguasai lima bahasa asing (Belanda, Arab, Inggris, Prancis, dan Latin), dengan demikian tidak heran apabila ia dengan mudah menjelajahi dunia intelektual. Melihat kecerdasan yang dimiliki Natsir, Pemerintah Belanda sempat menawarkan sebuah beasiswa untuk mengantarkannya ke Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta atau Sekolah Tinggi Ekonomi di Rotterdam Belanda, tetapi ia menolak tawaran beasiswa tersebut karena

kecintaannya terhadap studi keislaman saat itu.172

Kesadaran Natsir untuk menentang sistem kolonial Belanda, mulai terlihat saat ia mengkritik pandangan guru Belandanya yang menganggap bahwa sistem kerja kolonial di pabrik-pabrik gula di Jawa telah banyak memberi keuntungan kepada petani. Menurut M. Natsir yang mendapat keuntungan bukanlah petani

170 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 37.171 Dikutip dari Ahmad Suhelmi, Ibid, hlm. 33.

172 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, hlm. 100.

lxxxiv

Page 84: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

melainkan para pemilik modal dan bupati yang memaksa rakyatnya untuk menyewakan tanah mereka dengan sewa rendah. Dan justru sistem inilah menurutnya yang membuat petani semakin menderita

karena tidak pernah bebas dari beban-beban hutang.173 Inilah awal perlawanan Natsir terhadap kolonial Belanda, ia mulai berontak akan penindasan yang dilakukan Belanda atas bangsanya. Dari peristiwa tersebut, ia terdorong untuk mempelajari politik lebih dalam, ia sadar bahwa untuk melawan tirani kolonialisme sangat ditentukan oleh perjuangan politik rakyat.174 Oleh sebab itu bisa dimungkinkan bahwa pemikiran politik Natsir pasca kemerdekaan juga dipengaruhi atas perjuangan politiknya ketika memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini melawan

bangsa kolonial.Sedangkan Peristiwa lain yang juga memperkuat cita-cita politik

keislaman Natsir pada periode ini adalah responnya terhadap kalangan

nasionalis netral agama atau yang biasa dikenal dengan sebutan kalangan

sekuler, yang dipelopori oleh PNI dengan tokoh utamanya Ir. Soekarno,

Tjipto Mangunkusumo dan lain-lain.175 Organisasi ini berbasiskan anggota di

Bandung, tempat di mana Natsir mengembangkan pemikiran politik dan

agamanya. Sebagai aktivis Persis yang bermukim di kota tersebut, M. Natsir

tertarik dan seringkali mengujungi propoganda PNI yang dikampanyekan

173 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 34.

174 Ibid.

175 Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965, cet. ke-2 (Bandung: Mizan, 2000), hlm 49. Lihat juga, Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 38.

lxxxv

Page 85: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Soekarno, hanya saja ia tidak suka ketika kampanye PNI merendahkan aturan-

aturan agama.176

Perbedaan ideologi politik itulah, yang kemudian mempengaruhi

perdebatan keras di antara keduanya dalam menentukan bentuk dan dasar

negara, setelah kemerdekaan Indonesia ini tercapai. Dan selanjutnya, yang

perlu dicermati setelah kondisi di atas adalah keterlibatan Natsir dalam

mendirikan partai Islam di Indonesia yaitu Masyumi. Partai ini didirikan pada

tanggal 7 Novemper 1945 dalam kondisi revolusi yang bergolak untuk

menentang tentara kolonial yang hendak kembali lagi ke Indonesia.177

Menurut Yusril Ihza Mahendra, ide pembentukan partai ini datang dari

sejumlah tokoh politik dan pergerakan sosial keagamaan Islam Indonesia yang

telah aktif sejak zaman Belanda. Di antaranya adalah Haji Agus Salim, Prof.

Abdul Kahar Muzakkir, Abdul Wahid Hasyim, Mohammad Natsir,

Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Dr. Sukiman Wiryosajoyo, Ki

Bagus Hadikusumo, Mohammad Mawardi, dan Dr. Abu Hanifah.178

M. Natsir sendiri pernah memimpin partai ini selama beberapa periode,

dalam pidatonya yang disampaikan pada hari jadinya Masyumi yang

kesebelas (7 november 1956), ia menyampaikan bahwa Masyumi didirikan

176 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 39.177 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam:

Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia dan Partai Jama’at I-islami (Pakistan), (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 62.

178 Ibid.

lxxxvi

Page 86: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

atas hasrat umat Islam yang diwakili oleh para tokoh Ulama dan Zuama dari

seluruh kepulauan Indonesia di ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta.179

Dalam organisasi partai tersebut, pada tahun 1945, M. Natsir masih

menjadi anggota, selanjutnya pada tahun 1945 ia dipilih sebagi ketua sampai

lima kali berturut-turut dari tahun 1951, 1952, 1954, dan 1956.180 Masyumi

merupakan partai Islam yang asalnya terdiri dari empat macam organisasi

masyarakat yang bernafaskan Islam, yaitu Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama,

Perikatan Umat Islam, dan persatuan Umat Islam Indonesia.181

Namun demikian, pada bulan April 1952 Nahdlatul Ulama sebagai

Organisasi Masyarakat terbesar di nusantara ini, yang sekaligus menjadi salah

satu anggota Partai Masyumi sebelumnya, akhirnya memisahkan diri dari

keanggotaan partai tersebut dan kemudian mendirikan partai politik sendiri.182

2. Pemikiran M. Natsir tentang Relasi Islam dan Negara.

Dalam pidatonya di Pakistan, M. Natsir menyatakan dengan tegas bahwa Indonesia merupakan negara Islam, meskipun tidak disebutkan dalam konstitusi, Islam adalah agama negara. Baginya secara de facto sudah pasti

menunjukkan bahwa Islam diakui sebagai agama dan anutan jiwa bangsa Indonesia, bahkan lebih dari itu persoalan kenegaraan di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari agama.183

Menurut A. Muchlis, M. Natsir beranggapan bahwa urusan kenegaraan pada dasarnya merupakan bagian integral Islam, yang di dalamnya mengandung falsafah hidup atau ideologi seperti kalangan Kristen, Fasis Atau

Komunisme.184 Dengan berdasarkan H{ujjah nas} al-Qur’a>n yang dianggapnya mendukung pendapatnya tentang Islam sebagai dasar negara, Natsir menyebutkan185:

ون ليعبـد إال اإلنس و الجن ماخلقـت : و )٥٦الذاريات(

179 Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm.59.

180 Lihat data lengkap Deliar Noer, Partai Islam, Hlm. 107-111.181 Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 60.

182 Andrée Feillard, NU Vis-à-Vis Negara: Pencariaan isi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta: LkiS, 1999), hlm. 45.

183 M. Natsir, Agama dan Negara, 128.

184 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 87.185 aż-ża>riya>t (27) : 56.

lxxxvii

Page 87: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Jadi, ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang muslim di dunia ini hanyalah ingin menjadi hamba Allah dengan arti yang sepenuhnya, agar mendapat kejayaan dunia dan akhirat kelak.186

Namun demikian, untuk mencapai kejayaan tersebut, menurut M. Natsir Allah telah memberikan aturan-aturan kepada manusia, yakni:

Aturan atau cara kita berlaku berhubungan dengan Tuhan yang menjadikan kita, dan cara kita berhubungan dengan sesama manusia. Di antaranya aturan-aturan yang berhubungan

dengan sesama manusia, yang kemudian di antara aturan-aturan yang berhubungan dengan muamalah sesama makhluk itu, diberikan garis-garis besarnya seseorang terhadap

masyarakat, dan hak serta kewajiban masyarakat terhadap diri seseorang, yang saat ini diistilahkan dengan urusan kenegaraan.187

Untuk melacak pemikiran M. Natsir tentang negara, menurut Ahmad

Suhelmi ada dua faktor yang perlu diperhatikan. Pertama, faktor sosial politik

pada tahun 1940-an yang memunculkan polemik dan pertarungan ideologi

antara kaum nasionalis Islam dengan nasionalis sekuler. Kedua, faktor

emosional Natsir selaku tokoh negarawan muslim saat itu, akhirnya

melahirkan gagasan-gagasan yang cukup reaksioner terhadap pemikiran

Soekarno yang cenderung sekuler.188

Sedangkan dalam konteks eforia politik Islam saat itu, wacana tersebut

juga sedang hangat diperdebatkan di Timur Tengah karena isu tentang

sekulerisme juga sangat kuat di sana. Yakni pemisahan antara agama dan

negara seperti halnya yang diterapkan Kemal Fasya di Turki.189

Oleh sebab itu, tidak menutup kemungkinan bahwa pemikiran-pemikiran

Soekarno banyak dipengaruhi oleh sekularisasi yang sedang terjadi di Turki,

186 M. Natsir, Capita Selecta, hlm. 436.

187 Ibid.

188 Ahmad Suhelmi, Soekarno Versus Natsir, hlm.73. lihat Juga, Kamaruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 61. Deliar Noer juga berpendapat bahwa pandangan mereka ( Soekarno dan Natsir) mewakili pandangan dua golongan besar di Indonesia, yakni golongan nasionalis Islam dan nasionalis netral agama, baca Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, 315.

189 Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 61.

lxxxviii

Page 88: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

dan di sisi lain, M. Natsir juga berkeinginan memposisikan Indonesia seperti

Pakistan yang telah menjadi Republik Islam, meskipun dengan cara

memperkenalkan Pancasila yang sebelumnya ia tentang sendiri.190

Di samping itu, banyaknya ide pembaharuan dari tokoh-tokoh Indonesia

dan Timur Tengah yang melekat dalam jiwa Natsir, juga telah ikut

mempengaruhi pemikirannya dalam menggagas kenegaraan dalam Islam.

Khususnya dalam menyumbangkan pemikirannya tentang bentuk negara

Indonesia yang ideal menurut Islam, Padahal saat itu Indonesia belum

merdeka.

M. Natsir pernah menegaskan dalam pidatonya dalam sidang Pleno

Konstituante 12 November 1957 bahwa mengenai dasar negara Indonesia

hanya mempunyai dua pilihan, yaitu Sekulerisme; tanpa agama (La>

diniyyah) dan paham agama (Dini>).191 Dari pernyataan tegas Natsir

tersebut bisa disimpulkan bahwa M. Natsir telah memberikan dua pilihan

tersebut sebagai respon atas menguatnya dualisme pemikiran Islam saat itu

antara yang menginginkan dasar negara Islam dan sekular.

Paham sekulerisme menurutnya sangat berbahaya dalam membentuk

masyarakat ke depan, karena paham ini akan menagakibatkan manusia

kehilangan pegangan hidup yang asasnya kokoh, yakni gampang terserang

penyakit syaraf dan rohani, seorang sekulerisme memang beranggapan bahwa

190 Ibid.

191 M. Natsir, Agama dan Negara, hlm. 204.

lxxxix

Page 89: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

konsep tentang Tuhan adalah relatif, yakni ditentukan oleh keadaan

masyarakat sendiri, bukan oleh Wahyu.192

Sebagaimana yang ia katakan bahwa ajaran sekulerisme, selalu

memandang remeh kehidupan agama, karena “menurunkan nilai-nilai hidup

manusia dari taraf kehidupan kepada taraf kemasyarakatan semata-mata”.193

Paham inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor yang

menggerakkan fikiran Natsir, sebagai pemikir Islam. Dengan

memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Selain itu berdasarkan atas

alasan bahwa secara sosiologis, mayoritas penduduk Indonesia adalah

muslim, dan masyarakat muslimlah yang mempunyai andil besar dalam

mengusir penjajah dari bumi nusantara ini, di samping itu baginya ajaran

Islam mempunyai sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dalam

menjamin keragaman hidup antar berbagai golongan.194

Adapun Thohir Luth, memandang bahwa alasan Natsir bersama-sama

partai-partai Islam lainnya mengusulkan Islam sebagai dasar negara karena

tiga hal. Pertama, adanya fakta sosiologis, yakni mayoritas masyarakat

Indonesia adalah muslim. Kedua, adanya fakta normatif yang jauh sebelum

Pancasila lahir, umat Islam di Indonesia telah menjadikan dan mengamalkan

Islam dalam kehidupan sehari-harinya. Ketiga, adanya komitmen yang sangat

kuat tentang Islam dalam diri Natsir, hal ini terbukti dalam pernyataannya

192 Ibid., hlm. 206

193 Ibid.

194 Dikutip dari Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 62.

xc

Page 90: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

yang memperjuangkan Islam sebagai pedoman kehidupan bernegara dan

bermasyarakat.195

Kalau kita meminjam perkataan seorang orientalis, H.A.R. Gibb, kata

Natsir, maka kita dapat simpulkan bahwa Islam is much more than a religious

system, it is a complete civilization, Islam itu lebih dari sebuah sistem

peribadatan, ia merupakan suatu kebudayaan yang lengkap dan sempurna.196

Artinya Islam tidak hanya membicarakan persoalan keakhiratan unsich,

melainkan juga masalah keduniawiaan, seperti masalah sosial politik, hukum

dan pendidikan.

Bukan hanya itu, Natsir juga menyebutkan bahwa agama Islam adalah

agama yang meliputi semua kaedah-kaedah, hudud-hudud (batas-batas) dalam

muamalah (pergaulan) masyarakat, menurut garis yang telah ditetapkan oleh

Islam.197 Dengan demikian bisa dikatakan bahwa berdasarkan : pertama.

Watak holistik Islam, kedua, keunggulan Islam atas ideologi dunia lain, dan

ketiga, kenyataaan bahwa Islam dipeluk oleh mayoritas masyarakat

Indonesia, Natsir dan teman-temannya mengusulkan agar Islam dijadikan

ideologi bangsa Indonesia.198

Sedangkan menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif menyatakan bahwa ketika

Mohammad Natsir berbicara tentang kelebihan agama, mengemukakan dua

195 Thohir Luth, M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, hlm. 105.

196 Anwar Harjono, dkk, Pemikiran dan Perjuangan, hlm. 199.

197 Natsir, Capita Selecta, hlm. 437.

198 Bahtiar Efendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 107. Yang dimaksud teman-teman Natsir adalah Kasman Singodimedjo, Zaenal Abidin, Isa Anshari, dan K.H.Masjkur.

xci

Page 91: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

premis pokok. Pertama, agama memberi kemungkinan lebih banyak kepada

pemeluknya untuk mencari ilmu pengetahuan dan kebenaran; sedangkan

dalam filsafat hanya mengakui tiga dasar berpikir tidak mengakui adanya

wahyu, yaitu empirisme, rasionalisme dan intusionisme. Kedua, jangkauan

agama meliputi seluruh aspek kehidupan.199

Dari pandangan-pandangan tokoh dan pendapat Natsir sendiri, yang

menyebutkan alasan historis sosiologis di atas; mayoritas penduduk Indonesia

adalah beragama Islam, maka sangat ironis jika agama Islam menjadi

minoritas di negara ini. oleh sebab, itu untuk memperkuat ajaran Islam dalam

jiwa masyarakat muslim Indonesia, Islam perlu dijadikan dasar negara.

apalagi dalam sejarah dinyatakan bahwa sejak Islam masuk di Indonesia telah

menjadi salah satu sumber kekuatan politik di nusantara ini, ini terbukti

dengan banyaknya kerajaan-kerajaan Islam yang hampir semuanya

menjadikan Islam sebagai dasar ideologi kerajaan tersebut.200

Menarik untuk dicermati kembali isi pidato Natsir, yang terkesan tidak

konsisten dalam menyatakan alasan. Sebelumnya ia berpendapat bahwa sudah

sewajarnya Islam dijadikan dasar negara karena secara sosiologis umat Islam

di Indonesia memang mayoritas jumlahnya, sedangkan dalam kesempatan lain

ia menyatakan:

“bukan semata-mata umat Islam adalah golongan terbanyak di kalangan rakyat Indonesia seluruhnya, kami memajukan Islam sebagai dasar negara kita, tetapi berdasarkan pada

199 Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, cet. ke-3 (Jakarta:LP3ES, 1996) hlm. 164.

200 Dikutip dari Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 65. untuk lebih lengkapnya mengenai kedatangan Islam dan perkembangannya di Indonesia. Baca, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Abad XVII dan XVIII: Melcak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 23-58.

xcii

Page 92: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

keyakinan kami bahwa ajaran-ajaran Islam yang mengenai ketatanegaraan dan masyarakat hidup itu mempunyai sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat, serta dapat menjamin hidup keagaman atas saling harga menghargai antara berbagai golongan di dalam negara ini”.201

Dengan usaha meyakinkan pada seluruh lapisan bangsa Indonesia, M.

Natsir juga menyatakan dalam pidatonya, “kalau pun besar tidak akan

melanda, kalupun tinggi malah akan melindungi”.202

Sedangkan dalam sisi lain, Yusril Ihza Mahendra mengatakan, bahwa

pernyataan Natsir sebagai salah satu anggota Masyumi tentang maksud suatu

negara akan bersifat Islam bukan berarti secara formal harus dinamakan

negara Islam ataupun berdasarkan Islam, tetapi negara disusun sesuai dengan

ajaran-ajaran Islam, baik dalam teori maupun praktiknya.203 Dan mengenai

dasar negara menurut Natsir dapat dirumuskan dalam klausul-klausul yang

bersifat umum sepanjang mencerminkan kehendak-kehendak Islam.204

Untuk menjelaskan sebuah negara, menurut Natsir tidak perlu memberi

definisi panjang karena malah tidak akan menjelaskan pengertian apa-apa

tentang negara ini, apalagi sudah terdapat banyak pandangan tokoh yang

berlainan dalam hal ini di antaranya, Ibnu Khaldun, Machiavely, Hegel, Marx,

Adam Smith, Robert Owen, Plato, Agustinus, Hobbes, Rosseau dan lain

sebagainya.205

201 M. Natsir, Agama dan Negara, hlm. 203.

202 Ibid.

203 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme, hlm. 205.

204 Ibid., yang diperkuat dengan hasil wawancara antara Yusril dan M. Natsir pada 24 Oktober 1988.

205 M. Natsir, Agama dan Negara, hlm. 198.

xciii

Page 93: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Negara menurut Natsir adalah suatu institusi yang mempunyai hak, tugas

dan tujuan khusus. Institusi secara umum adalah suatu badan atau organisasi

yang mempunyai tujuan khusus dan dilengkapi oleh alat-alat material,

peraturan-peraturan sendiri dan diakui oleh umum.206

Lebih dari itu, Natsir menambahkan bahwa untuk sesuatu dinamakan

institusi apabila207 :

a. Bertujuan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat di lapangan jasmani maupun rohani.b. Diakui oleh masyarakat.c. Mempunyai alat untuk melaksanakan tujuan.d. Mempunyai peraturan-peraturan, norma-norma dan nilai-nilai tertentu.e. Berdasarkan atas paham hidup.f. Mempunyai keanggotaan.g. Mempunyai daerah berlakunya.h. Mempunyai kedaulatan atas anggotanya.i. Memberikan hukuman terhadap pelanggaran atas peraturan-peraturan dan norma-

normanya.

.Maka negara sebagai suatu institutsi, menurutnya harus mempunyai: a)

wilayah. b) Rakyat. c) Pemerintah. D) Kedaulatan. E) Undang-undang Dasar,

atau suatu sumber hukum dan kekuasaan lain yang tidak tertulis. 208 Melihat

dari karakteristik yang disampaikan Natsir di atas, maka bisa dikatakan

bahwa konsep negara yang dinyatakan termasuk syarat-syarat negara modern.

Menurutnya, dalam kenegaraan Islam memang hanya mengatur dasar dan

pokok-pokoknya saja, seperti halnya kepentingan dan keperluan masyarakat

manusia yang tidak berubah-ubah selama manusia masih bersifat manusia,

206 Ibid.

207 Ibid., hlm 199.

208 Ibid.

xciv

Page 94: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

baik itu manusia zaman unta, manusia zaman kapal terbang dan lain

sebagainya.209

Mengenai bersikerasnya M. Natsir dalam memperjuangkan Islam sebagai

dasar negara republik ini, karena ia berpandangan bahwa negara bisa menjadi

alat yang kokoh bagi berlakunya hukum-hukum Islam.210 Dengan demikian

negara hanyalah sebuah alat untuk mencapai tujuan, yakni mewujudkan

ajaran-ajaran Islam.

Sebagaimana di atas, Natsir menegaskan bahwa negara bukanlah tujuan

akhir Islam, melainkan hanya alat untuk merealisasikan aturan-aturan Islam

yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah, ia menyebutkan bahwa di antara

aturan-aturan tersebut yaitu kewajiban belajar, kewajiban zakat,

pemberantasan perzinaan dan lain-lain.211 Menurutnya negara di sini berfungsi

sebagai alat untuk mencapai tujuan “kesempurnaan berlakunya undang-

undang Ilahi,baik yang berkenaan dengan kehidupan manusia sendiri,

(sebagai individu) ataupun sebagai anggota masyarakat”.212

Menanggapi statemen tentang tidak adanya doktrin agama yang menyuruh

dan mendirikan negara sebagaimana dinyatakan oleh Soekarno, bahwa tidak

ada ijma‘ ulama yang memerintahkan membentuk negara dibantah oleh

209 Natsir, Capita Selecta, hlm. 447.

210 Ibid., hlm. 452.

211 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 89.

212 Natsir, Capita Selecta, hlm. 442.

xcv

Page 95: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Natsir, menurutnya pengutipan ijma‘ oleh Soekarno tentang masalah ini

hanya mempersulit persoalan.213

Menurut Natsir, ada atau tidak adanya Islam, eksistensi negara nerupakan

keharusan di dunia ini dan di zaman apapun, mendirikan negara tidak perlu

disuruh Rasulullah lagi, eksistensi negara telah ada sebelum dan sesudah

Islam, Jadi dengan Islam atau tidak tetap saja merupakan sebuah negara.214

Melihat pemikiran Natsir tentang dasar negara Indonesia di atas,

menimbulkan kesan bahwa Natsir selama perjuangannya adalah anti

Pancasila, padahal dalam pidatonya di depan Pakistan Institute of World

Affairs pada 1952, sikapnya yang anti Pancasila berubah. Ia menyatakan

bahwa:

Tidak diragukan lagi Pakistan adalah sebuah negeri Islam karena telah

menyatakan Islam sebagai agama negara, begitu pula Indonesia, menurutnya

negara ini juga negeri Islam, karena kenyataannya negara ini diakui sebagai

agama rakyat, meskipun dalam konstitusi kami tidak dinyatakan tegas sebagai

agama negara. Tetapi Indonesia tidak mengeluarkan agama dari sistem

kenegaraan, bahkan kepercayaan tauhid (monothestic belief) telah

ditempatkan pada tempat teratas dari sila Pancasila , yang berfungsi sebagai

dasar etik, moral dan spritual bangsa dan negara kita.215

Dalam tulisannya yang berjudul “Apakah Islam bertolak belakang dengan

doktrin al-Qur’an ?”, Natsir mengatakan:

213 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 89.

214 M. Natsir, Capita Selecta, hlm.442-443.

215 Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 66.

xcvi

Page 96: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

“Pancasila adalah formulasi lima cita-cita kebaikan sebagai hasil dari konsensus para pemimpin kita pada tahap perjuangan sembilan tahun yang lalu. Dan sebagai lima dasar kebaikan tidaklah bertentangan dengan al-Qur’an, kecuali apabila dimasuki oleh sesuatu yang tidak sesuai dengan al-Qur’an. Dalam pandangan umat Islam, rumusan Pancasila tidak memperlihatkan sesuatu yang asing dalam ajaran al-Qur’an, dan meskipun tidak identik dengan Islam itu sendiri, Pancasila telah mencakup cita-cita islam. Dan kemudian ia menambahkan, Pancasila adalah manifestasi dari maksud dan cita-cita tentang kebaikan dimana kita akan melakukan setiap usaha untuk meletakannya ke dalam praktik negara kita.216

Namun kemudian, Natsir terlihat inkonsisten dengan pendiriaannya, pada

1957 di sidang konstituante ia kembali menolak Pancasila sebagai dasar

negara, karena ideologi ini dianggap sebagai hasil ciptaan manusia dan

tergolong sekuler. Dalan hal ini Syafi’i Ma’arif memandang bahwa mungkin

Natsir mengambil sikap keras dalam majelis karena telah terjadi pengaburan

interprestai Pancasila yang dibuat-buat oleh masyarakat kita.217

Bahkan dalam sidang konstituante tersebut, terang-terangan ia menyatakan

bahwa sidang konstituante adalah forum tempat mengemukakan pendapat dan

pikiran anggota secara lurus, jujur, dan mencerminkan pemikiran yang hidup

di masyarakat. Oleh sebab itu ia beranggapan bahwa kesempatan inilah yang

tepat untuk menolak Pancasila .218

Menurut Njoto, salah satu tokoh komunis, mengatakan bahwa penerimaan

Natsir terhadap Pancasila selama 12 tahun sebagai dasar dan ideologi negara

sekedar “di bibir saja”, karena dalam majelis tersebut, ia sepenuhnya menolak

Pancasila , dan bahkan mengusulkan Islam sebagai dasar dan ideologi

negara.219

216 Dikutip dari, Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, hlm. 72

217Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, hlm. 155.

218 Deliar Noer, Partai Islam, hlm. 141.

219 Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni. 72

xcvii

Page 97: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Dan lebih keras lagi, Njoto menyerang pandangan Natsir di atas, dengan

mempertanyakan mengapa Natsir dalam sidang-sidang majelis,

memperlihatkan sikap-sikap “kejam” terhadap Pancasila dengan

menyebutnya tidak berdasar, netral, dan streril yang sepenuhnya menolak

Pancasila. Njoto kemudian mengajukan pertanyaan: Natsir yang mana yang

harus diikuti, apakah Natsir pada tahun 1954 atau Natsir pada tahun 1957?

Atau malah tidak kedua-duanya.220

Sebagai seorang demokrat sejati Natsir harus menerima Pancasila sebagai

dasar negara, yang telah diberlakukan sejak 1945 sampai tejadinya perdebatan

ideologis di majelis konstituante 1957. Namun perlu diketahui bahwa apa

yang dilakukan Natsir dalam sidang konstituante tersebut secara

konstitusional adalah sah, karena pada saat itu majelis belum menetapkan

dasar negara baru yang permanen. Dan sebagaimana tokoh politik yang lain,

Natsir sebagai representasi dari pihak muslim berhak mengajukan Islam

sebagai dasar negara melawan pendukung Pancasila dalam momen itu.221

Perubahan sikap Natsir dalam sidang konstituante saat itu, menurut Deliar

Noer dipicu oleh tiga alasan. Pertama, majelis konstituante merupakan forum

tertinggi bagi para anggotanya untuk mengusulkan ideologi negara yang

mereka yakini dan cocok untuk negara Indonesia. Kedua, dalam majelis,

Natsir dan teman-temanya memikul tanggung jawab agama dan politik dalam

memperjuangkan aspirasi politik umat Islam, yang menginginkan Islam

sebagai dasar negara. Ketiga, sebagaimana wakil-wakil non muslim yang

220 Ibid., hlm. 73.

221 Ibid., hlm. 74.

xcviii

Page 98: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

menjelaskan argumentasi usulan mereka, Natsir juga menjelaskan usulannya

secara argumentatif pula.222

Sementara mengenai sistem pemerintahan suatu negara, Natsir

mengatakan boleh saja meniru negara non Islam asalkan tidak menyalahi

ajaran-ajaran Islam, sebab dari syarat-sayarat negara yang ia sebut di atas

adalah tidak sepenuhnya sistem negara Islam. Kemudian menyinggung soal

nama penguasa negara, Natsir juga tidak bersikeras menggunakan istilah-

istilah penguasa Islam, menurutnya boleh saja bernama khalifah, Amir al-

Mu‘minin, presiden dan lain sebagainya.223

Selain itu titel “kholifah” menurutnya tidak menjadi syarat mutlak dalam

pemerintahan Islam, bukan conditio sine qua non, yang terpenting adalah

seorang kepala negara tersebut sanggup bertindak bijaksana dan menerapkan

peraturan-peraturan Islam dengan semestinya dalam susunan kenegaraan baik

dalam kaidah maupun praktiknya.224 Dan untuk syarat sebagai kepala negara

Islam, Natsir menilai dari sisi: agamanya, sifat dan tabi’atnya, akhlak dan

kecakapannya dalam menjalankan kekuasaan yang diberikan kepadanya. Jadi,

bukan dari bangsa dan keturunannya atau semata-mata keintelekannya saja.225

Dalam menjalankan roda pemerintahan, seorang kepala negara menurut

Natsir, wajib bermusyawarah dengan orang-orang yang layak diajaknya dalam

mengatur umat. Adapun untuk urusan-urusan yang di luar ketetapan agama,

222 Deliar Noer, Partai Islam, hlm. 284-285. Lihat juga, Faisal, Ibid., hlm. 74.

223 Natsir, Capita Selecta, hlm. 447.

224 Ibid., hlm.443..

225 Ibid., hlm. 448. Baca juga Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 90

xcix

Page 99: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

semua boleh diatur menurut keadaan zaman, dengan cara-cara yang

Muna>sabah, dan tidak melanggar hukum-hukum yang telah ditetapkan.226

Oleh sebab itu, Natsir membolehkan umat Islam untuk mencontoh sistem

negara lain, dalam hal ini ia menuliskan:

Bila sudah ada sistem yang dikehendaki itu terdapat di negara-negara lain, kita orang Islam ada hak mencontoh negara itu selama tidak berlawanan atau bertentangan dengan aturan-aturan yang diadakan Islam. Sebab tiap-tiap hasil kebudayaan, bukanlah monopoli salah satu bangsa atau salah satu negara saja. Kita ada hak mengambil peraturan-peraturan yang baik, yang tidak berlawanan dengan agama kita, dari Inggris, Jepang, Rusia, atau dari Finlandia umpamanya.227

Dengan demikian Natsir mengakui sistem pemerintahan sekular, sebab

dari negara-negara yang ia sebut di atas adalah negara yang memisahkan

agama dan negara. dan lebih spesifik, bisa dikatakan bahwa Natsir

menganggap Islam tidak mempunyai sistem negara yang lengkap sehingga ia

harus mencontoh Barat.

Lebih lanjut, Yusril Ihza Mahendra juga mengatakan hal yang sama, yakni

contoh negara-negara yang disebutkan Natsir di atas sangatlah liberal, karena

Jepang di masa itu adalah sebuah negara totaliter yang berhaluan fasis, apalagi

Rusia adalah sebuah negara komunis. Contoh-contoh itu lanjut Yusril, sengaja

ditunjukkan oleh Natsir, semata-mata ingin memeperlihatkan bahwa doktrin

politik Islam itu bersifat terbuka untuk beradaptasi dengan sistem-sistem

pemerintahan yang telah ada di dunia ini.228

Namun demikian, ketika Natsir berbicara tentang sistem pemerintahan

demokrasi, perlu dicermati lebih lanjut, sebab dalam pandangannya prinsip

226 Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 69.

227 Natsir, Capita Selecta, hlm. 450.

228 Dikutip dari, Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 70.

c

Page 100: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

musyawarah dalam Islam tidak selalu identik dengan azas demokrasi,

meskipun ia mengemukakan bahwa Islam anti Istiibdad (despostisme), anti

absolutisme dan kesewenang-wenangan.229 Bukan berarti bahwa dalam

pemerintahan Islam semua urusan diserahkan kepada keputusan majelis

Syura, sebab Dalam parlemen negara Islam yang boleh dimusyawarahkan

hanyalah masalah tata cara pelaksanaan hukum Islam (syari’at Islam), bukan

dasar negaranya.230

Dalam Islam pengertian demokrasi diartikannya suatu aturan yang

memberikan hak kepada rakyat untuk mengkritik dan membetulkan

pemerintahan yang zalim, kalau perlu menggunakan kekuatan dan kekerasan

untuk menghilangkannya.231

Natsir mengakui bahwa demokrasi itu baik, akan tetapi sistem kenegaraan

Islam tidaklah menggantungkan semua urusannya kepada instrumen

demokrasi, menurutnya demokrasi tidak kosong dari berbagai bahaya yang

terkandung di dalamnya. Ia menyatakan bahwa perjalanan demokrasi dari

abad ke abad telah memperlihatkan beberapa sifatnya yang baik. Akan tetapi

bukan berarti ia lepas sama sekali dari pelbagai sifat-sifat bahaya.232

Dengan tegas ia mengatakan bahwa Islam adalah suatu pengertian, suatu

paham, suatu begrip sendiri, yang juga mempunyai sifat-sifat sendiri. Intinya

“Islam tak usah demokrasi 100%, bukan pula otokrasi 100%, Islam itu…yah

229 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 91

230 M. Natsir, Capita Selecta, hlm. 452.

231 Ibid., hlm. 439.

232 Ibid., hlm. 452.

ci

Page 101: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Islam”.233 Hal ini disebabkan karena politik tidaklah semata-mata harus

didasarkan kepada kemauan mayoritas anggota parlemen. Keputusan itu tidak

dapat melampaui H{udud (batas-batas) yang telah ditetapkan Tuhan.234

Dari uraian di atas, Natsir tidak menjelaskan bagaimana sesungguhnya

demokrasi dalam Islam. Namun kemudian dalam sidang konstituante 1957 ia

memperkenalkan konsep demokrasi yang ia maksudkan, “Thestic

Democracy”, yaitu demokrasi yang dilandasakan pada nilai-nilai ketuhanan.235

Maksudnya keputusan mayoritas yang berpedoman kepada nilai-nilai

ketuhanan, yang kemudian ia anggap sebagai ijma’ yang mengikat untuk

tempat dan zaman tertentu.

Oleh sebab itu, berangkat dari pandangan-pandangan Natsir di atas dapat

ditarik kesimpulan sementara bahwa hubungan Islam dan negara tidak dapat

dipisahkan, dan secara tersurat ia mendukung Islam dijadikan ideologi negara.

kesimpulan tersebut bisa dilihat dari pernyataannya bahwa:

Fungsi agama dalam negara sangatlah penting dan tidak boleh diabaikan sama sekali, lebih lanjut ia mendefiniskan persatuan agama dan negara. Bagi kita kaum muslimin negara bukanlah suatu badan tersendiri yang menjadi tujuan, melainkan sebuah alat. Persatuan tersebut bukanlah dimaksudkan bahwa agama itu cukup dimasuk-masukkan saja di sana sini kepada negara, bukan begitu!

Dan urusan kenegaraan pada dasarnya adalah satu bagian yang tak dapat dipisahkan, satu “intergreerend deel” dari Islam. Yang menjadi tujuan adalah kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan perikehidupan manusia sendiri (individu), ataupun sebagai masyarakat236.

233 Ibid., hlm. 453.

234 Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 71.

235 Ibid., baca juga, Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Islam, hlm. 79.

236 Natsir, Capita Selecta, 442.

cii

Page 102: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Dan pada intinya. Pertama, sistem ketatanegaraan dalam pandangan Natsir

boleh meniru bentuk mana saja (Barat), asalkan tidak bertentangan dengan

ajaran Islam. Kedua, menurutnya, hubungan agama dan negara dalam politik

Islam tidak dapat dipisahkan satu sama lain, sebab Islam tidak seperti agama

yang lain. Islam baginya telah menyediakan perangkat dasar yang dapat

diterapkan sesuai zamannya. Ketiga, berdasarkan fakta di atas, Natsir sebagai

tokoh muslim tampak ingin sekali menjadikan Islam sebagai dasar negara

Indonesia.

Kemudian, Natsir juga menghimbau kepada kaum muslimin agar dalam

masalah persatuan atau pemisahan agama dan negara ini tidak menjadikan

“sejarah sebagai ukuran” kebenaran terakhir.237

Sketsa Biografi Abdurrahman Wahid

1. Latar Belakang Sosial Politik

Berbeda dengan Natsir, Abdurrahman Wahid lahir dari latar belakang

kalangan tradisional, sejak kecil ia dididik dan dibesarkan dalam naungan

keluarga ulama. Kakeknya adalah seorang pelopor pesantren Tebuireng,

Jombang dan sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hadratus Syeikh

Hasyim Asy’ari.

Pada saat usia kanak-kanak ia tidak seperti kebanyakan anak-anak

seusianya, Gus Dur tidak memilih tinggal bersama ayahnya, tetapi ikut

bersama kakeknya. Dan saat tinggal serumah dengan kakeknya itulah, ia

237 Ibid., hlm. 489.

ciii

Page 103: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

mulai mengenal politik dari orang-orang yang tiap hari hilir mudik di rumah

kakeknya.238

Tahun 1950, Gus Dur dan saudara-saudaranya harus pindah ke Jakarta,

sebab saat itu bapaknya dilantik menjadi menteri agama Republik Indonesia.

Sehingga mengharuskannya bermukim di Jakarta. Keluarga Gus Dur tinggal

di Hotel Des Indes yang sekarang menjadi pusat pertokoan Duta Merlin.

Karena kedudukan bapaknya ini pulalah, ia semakin akrab dengan dunia

politik yang ia dengar dari rekan-rekan ayahnya saat bincang-bincang di

rumahnya itu. Lagi pula, Gus Dur termasuk anak yang sangat peka mengamati

dunia sekelilingnya. Maka tak heran menurut pengakuan ibunya, “sejak usia

lima tahun, dia sudah lancar membaca, dan gurunya saat itu adalah bapaknya

sendiri”.239

Selain membaca buku, Gus Dur mempunyai hobi lain, yaitu: main bola,

catur, musik, dan nonton film. Di usia yang masih belasan tahun ia sudah

banyak menghabiskan segala macam majalah, buku, surat kabar. Mulai dari

filsafat, sejarah, agama, cerita silat, dan fiksi cerita.240 Buku-buku itu bisa ia

dapatkan dari perpustakaan pribadi bapaknya, yang memang terdapat berbagai

macam buku yang dikoleksinya, baik buku yang diterbitkan oleh orang-orang

katolik atau non muslim lainnya.241

238 Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 79.

239 Ibid.

240 Ibid.

241 Greg Barton, Biografi Gus Dur, The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta: LkiS, 2003), hlm. 40.

civ

Page 104: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Sementara itu, perkenalannya dengan musik dimulai lewat pertemuannya

dengan seorang pria Jerman, teman baik bapaknya yang telah berpindah ke

agama Islam dan dipanggil dengan nama Williem Iskandar Bueller. Dan dari

sinilah pertama kali Gus Dur tertarik dan mencintai musik klasik, khususnya

karya Bethoven.242

Kegemaran Gus Dur terhadap berbagai hal tersebut, membuat sekolah

formalnya terganggu, bahkan sampai membuatnya tidak naik kelas di sekolah

menengah ekonomi pertama (SMEP). Ini disebabkan sangat gandrungnya ia

dalam menonton sepak bola dan membaca buku, di samping itu juga karena ia

masih dalam keadaan sedih karena kehilangan bapaknya saat kecelakaan

mobil tanggal 18 April 1953.243

Gus Dur dilahirkan di Denanyar, Jombang, pada tanggal 4 sya’ban

menurut penanggalan Islam, yang kemudian bertepatan dengan tanggal 7

September 1940 M. Namun demikian perayaan hari kelahirannya selalu

diadakan pada tanggal 4 Agustus,244 hal ini memang aneh, sebagaimana

terlihat dalam aspek kepribadiannya yang nyleneh pula, seringkali

mengundang kontroversial.

Ditilik dari geneologi keluarganya, Gus Dur termasuk dari golongan

“darah biru” pesantren. Ia merupakan anak dari K.H. Abdul Wahid Hasyim,

yang ia sendiri merupakan anak dari Hadratu al-Syaikh Hasyim Asy’ari,

242 Ibid., hlm. 39.243 Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 80.

244 Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm. 25. Memang dalam kebanyakan penulis yang menulis biografi Gus Dur selalu menganggapnya tanggal 4 bulan Agustus sebagai hari kelahirannya.

cv

Page 105: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

pendiri pesantren Tebuireng, Jombang. Sementara ibunya, bernama Nyai Hj.

Siti Salekhah yang merupakan anak dari K.H. Bisri Syamsuri, pendiri

pesantren Denanyar, Jombang. Dan kedua kakeknya itu dikenal sebagai

Founding Father NU di samping K.H. Wahab Hasbullah.245

Walupun bapaknya seorang menteri dan terkenal di lingkungan Jakarta,

Gus Dur tidak ingin sekolah di sekolahan elit yang biasanya dimasuki anak-

anak pejabat pemerintah, ia lebih menyukai sekolah-sekolah biasa,

menurutnya sekolahan elit membuatnya tidak betah.

Gus Dur memulai pendidikan formalnya di Sekolah Rakyat (SD) KRIS, di

Jakarta Pusat. Ia hanya mengikuti kelas tiga dan empat di sekolahan ini,

karena kemudian ia pindah ke Sekolah Dasar Matraman Perwari, yang terletak

di dekat rumah keluarganya yang baru di Matraman, Jakarta Pusat.246

Pada tahun 1953, Gus Dur tamat dari sekolah dasarnya di Jakarta. Lalu

setahun setelah tamat SD, pada tahun 1954 ia melanjutkan ke Sekolah

Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta dan berhasil

menamatkannya pada tahun 1956.247 Di kota ini persisnya di desa Kauman,

Gus Dur bermukim di rumah salah seorang teman ayahnya, Kiai Junaidi,

seoarang ulama kecil yang terlibat dalam gerakan organisasi Muhammadiyah.

Bahkan Lebih dari itu, ia juga termasuk anggota Majelis Tarjih (Dewan

Penasihat Agama Muhammadiyah). Selain itu, Gus Dur juga mengaji tiga kali

245 Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, (Jakarta: Grasindo, 1999), hlm. 27.

246 Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm. 40.

247 Hartono Ahmad Jaiz, Gus Dur Menjual Bapaknya, Bantahan Pengantar Buku: Aku Bangga Jadi Anak PKI, (Jakarta: Darul Falah, 2003), hlm. 30. akan tetapi menurut tulisannya Greg Barton, tentang Biorafi Gus Dur, ia tamat dari SMEP pada tahun 1957. Lihat, hlm. 49.

cvi

Page 106: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

seminggu di pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, di bawah asuhan

K.H. Ali Maksum. 248

Ketika di Jakarta, Gus Dur sudah mampu berbicara bahasa Inggris dengan

baik dan bisa membaca tulisan dalam bahasa Prancis dan Belanda, serta sudah

mengerti bahasa Arab tetapi masih pasif. Namun ketika ia belajar di kota

Yogyakarta, perkembangan bahasanya berkembang cepat.249 Bagi Gus Dur

yang suka membaca buku, Jogja merupakan kota pembawa berkah bagi

perkembangannya.

Setelah tamat dari SMEP di Yogyakarta pada tahun 1957, Gus Dur mulai

mengikuti pelajaran pesantren secara penuh, tepatnya di pesantren Tegalrejo

Magelang, yang terletak di sebelah utara kota Yogyakarta. Ia belajar di

pesantren ini dari tahun 1957-1959 pada Kiai Khudori, salah satu pemuka

NU.250

Kemudian pada tahun 1959, Gus Dur pindah ke pesantren Tambak beras

Jombang. Di bawah bimbingan Kiai Wahab Chasbullah, sampai pada tahun

1963. Di sini ia sempat mengajar dan menjadi kepala sekolah, namun

kemudian Gus Dur pindah lagi ke pesantren Krapyak Yogyakarta dan tinggal

di rumah Kiai Ali Ma’shum.251 Pada masa-masa itulah (sejak akhir 1950-an

248 Ini sangat menarik untuk dicermati, karena Gus Dur lahir dari latar belakang NU, yang pada saat itu jelas sekali tidak ada pertautan antara organisasi modernis Muhammadiyah dengan kaum tradisionalis NU, baik dalam aspek pendekatan maupun penafsiran agama. Baca Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm. 47-49.

249 Greg Barton, Ibid, hlm. 49.

250 Di bawah asuhan Kiai Khudori, Gus Dur termasuk santri yang cerdas dan berbakat. Karena kebanyakan para santri di sini menghabiskan waktu studinya selama empat tahun sedangkan Gus Dur cuma dua tahu, selain di pesantren Gus Dur juga menghabiskan sebagaian besar waktunya di luar kelas dengan membaca buku-buku Barat. Lihat Greg Barton, Ibid, hlm. 50.

251 Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur, hlm. 119.

cvii

Page 107: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

sampai 1963) Gus Dur mengalami konsolidasi dalam studi formalnya tentang

Islam dan sastra Arab klasik.

Di samping itu, perpindahannya dari Yogyakarta ke Magelang dan

kemudian ke Jombang, yang dalam proses pertumbuhan dari kanak-kanak

menjadi remaja, menjadikannya mulai serius memasuki dunia bacaan: tokoh-

tokoh teori sosial Eropa dan novel-novel besar Inggris, Parancis dan Rusia.

Sebagai seorang remaja ia mulai mencoba memahami tulisan-tulisan Plato dan

Aristoteles, dua pemikir penting bagi sarjana-sarjana mengenai Islam zaman

pertengahan.

Pada saat yang sama ia juga tertarik menggeluti karya Das Kapital yang

ditulis oleh Marx dan What is Tobe Done nya Lenin. Kedua buku itu

menurutnya gampang diperoleh, karena saat itu partai komunis Indonesia

membuat kemajuan besar. Di samping itu ia juga tertarik pada ide Lenin

tentang ketelibatan sosial secara radikal, seperti dalam Infantile Communism

(kekiri-kirian Penyakit Kekanak-kanakan) dan dalam Little Res Book-Mao

(kutipan kata-kata ketua Mao).252

Setelah menimba ilmu dari pesantren-pesantren di atas, pada tahun 1964

Gus Dur memperoleh kesempatan belajar ke Universitas al-Azhar Kairo

Mesir, melalui beasiswa Departemen Agama. Saat itu ia sedang berumur 23

tahun, dan telah menyelesaikan gramatika bahasa Arab sebanyak 1000 bait

(Alfiah) di luar kepala. Di negeri ini, Gus Dur mengambil spesialisasi bidang

Syari’ah. Namun, ia merasa tidak betah belajar di sini karena materi yang

252 Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm. 53.

cviii

Page 108: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

diajarkannya tidak jauh berbeda dengan apa yang ia dapatkan di pesantren

dulu.253

Oleh sebab itu, di Mesir Gus Dur lebih memilih aktif di organisasi

Perhimpunan Mahasiswa Indonesia daripada menekuni belajarnya. Dengan

demikian, sebagian waktunya ia habiskan untuk membaca di perpustakaan

terkenal di kota itu, American University Library, sebuah perpustakaan

terlengkap di kota Kairo dan waktu lebihnya ia manfaatkan menonton film.254

Namun demikian bukan berarti Gus Dur kecewa sepenuhnya kepada institusi

al-Azhar, karena di kota ini ia juga banyak memanfaatkan kelompok diskusi

dengan para intelektual muda Mesir untuk bertukar fikiran, di samping

menonton kegemarannya film-film Prancis dan sepak bola.255

Dari Kairo Gus Dur pindah ke Irak, untuk mengikuti kuliah di Universitas

Baghdad, Fakultas Sastra, selama empat tahun. Di sini ia banyak belajar

tentang sastra dan kebudayaan Arab, filsafat Eropa dan teori sosial. Menurut

pengakuannya ia sangat senang dengan sistem Universitas Baghdad ini karena

kampus tersebut jauh lebih mirip Eropa daripada al-Azhar Kairo, selain itu

Gus Dur juga pernah menjadi ketua Perhimpunan Mahasiswa Indonesia Timur

Tengah dari tahun 1964 sampai 1970.256

Di negeri inilah bakat empirismenya tumbuh pesat, lingkungan baru ini

juga membantunya banyak membaca karya-karya pemikiran seperti pemikiran

253 Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 83.

254 Greg Barton, Biografi Gus Dur, hlm. 83.

255 Greg Barton dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, (Yogyakarta: LkiS, 1997), hlm. 164.

256 Ibid., hlm. 165.

cix

Page 109: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Emile Durkhim. Minatnya tentang Indonesia juga mulai tumbuh di

Universitas tersebut, sebab referensi buku tentang Indonesia cukup banyak

tersedia di sana. Dan akhirnya di univesitas Baghdad ini pulalah ia diminta

untuk meneliti asal-usul historis Islam di Indonesia.257

Lalu pada tahun 1971, Gus Dur melanjutkan petualangannya ke negeri

Eropa dengan harapan bisa belajar di salah satu universitas di sana, tetapi

harapan ini sukar terwujud, karena background studinya di Kairo dan

Baghdad tidak diakui di Eropa. Ia juga sempat bermaksud pergi ke McGill

Univesity di Kanada, untuk belajar program studi Islam yang sangat

diseganinya. Tapi tidak kesampaian karena ia lebih memilih balik ke

Indonesia. 258 Tetapi, kemudian ia memutuskan untuk tetap tinggal di

Indonesia saja, sebagian karena diilhami oleh berita-berita perkembangan baru

dunia pesantren yang menggembirakan.259

Setelah itu, akhirnya Gus Dur kembali lagi ke Indonesia dan kehidupan

pesantren. Pada tahun 1972-1974, ia menjadi dosen dan dekan Fakultas

Ushuluddin di Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY), yang sekarang

menjadi Institut Keislaman Hasyim Asy’ari (IKAHA), Jombang. Kemudian

dari tahun 1975-1979, ia menjadi sekretaris umum pondok pesantren

Tebuireng, Jombang.260

257 Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 83.

258 Greg Barton dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal, hlm. 165.

259 Akan tetapi dalam wawancaranya Ma’mun Murod dengan Gus Dur, dinyatakan bahwa petualangan Gus Dur ke Eropa yang menghabiskan waktu selama satu tahun itu, yaitu setengah tahun di Belanda, empat bulan di Jerman, dan dua bulan di Prancis. Sempat mengantarkannya menjadi kandidat Master (S2) di Sorbone University, Prancis. Baca, Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama, hlm. 33.

260 Greg Barton dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal, hlm. 165.

cx

Page 110: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Selama periode ini, Gus Dur juga banyak terlibat dalam kepemimpinan

nasional NU. Sampai akhirnya pada tahun 1979 ia hijrah ke Jakarta, dan

mengawali kariernya di PB NU sebagai katib awal Syuriah NU, dan menjadi

dosen IAIN Syarif Hidayatullah, sebelum akhirnya mendirikan Pesantren

Ciganjur, di Jakarta Selatan.261 Selain itu, ia juga banyak terlibat dalam

berbagai proyek dan aktivitas di Jakarta termasuk mengajar di dalam program

pelatihan bulanan kependetaan Protestan.262

Setelah menetap di Jakarta, secara teratur ia melakukan kontak dengan

intelektual muslim progresif di Jakarta, seperti Nurcholish Madjid dan Djohan

Effendi untuk ikut bergabung dalam forum diskusi dan lingkaran studi

mereka. Meskipun latar belakang pendidikannya berbeda, akan tetapi Gus Dur

jauh lebih siap untuk menggagas wacana agama yang bercorak liberal.263

Rentetan petualangan pendidikannya di atas, telah menjadikannya sebagai

tokoh intelektual yang berfikiran liberal, longgar dan moderat. Bahkan

menurut Greg Barton, meskipun Gus Dur tidak pernah menempuh pendidikan

formalnya di Barat, akan tetapi sikap dan pemikirannya jauh lebih siap untuk

berpartisipasi dalam wacana-wacana besar mengenai pemikiran Barat,

pendidikan Islam dan masyarakat muslim. Selain belajar secara otodidak,

studinya di Baghdad juga banyak memberikan dasar-dasar yang baik

mengenai wacana liberal yang bercorak Barat dan sekular.264

261 Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama, hlm. 33

262 Greg Barton dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal, hlm. 165.

263 Ibid.

264 Ibid., hlm. 166.

cxi

Page 111: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Karena sikap liberal, progresif dan inklusif inilah, kemudian ia diberi

kepercayaan untuk menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)

pada tahun 1982-1985. Ia juga pernah menjadi juri pada Festifal Film

Indonesia, yang saat itu masih dianggap tabu oleh kaum santri (NU).265 Sikap

dan pemikiran Gus Dur semakin liberal dan progresif ketika dipercaya

menjabat ketua PBNU pada tahun 1984,266 hal ini bisa dilihat dari gagasan-

gagasannya,267 seperti Pribumisasi Islam, orang-orang non muslim menjadi

presiden Indonesia, rukun tetangga (sosial), dan lain sebagainya.268

Kemudian dari tahun 1985 hingga 1990 ia berkhidmat dalam Majelis

Ulama Indonesia (MUI), dan sejak tahun 1994 ia menjadi penasehat

International Dialogue Foundation on Perspective Studies of Syari’ah and

Secular Law, di Den Haag.269

Namun sebelumnya dalam periode yang sama tahun 1993, Gus Dur

dinobatkan sebagai seorang yang layak menerima piagam “Ramon Magsasay”

dan hadiah senilai 50.000 dollar AS, sebuah penghargaan bergengsi yang

diberikan pada tokoh Asia karena dinilai telah memberi kemajuan yang khas

265 Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur, hlm. 120.

266 Gus Dur telah terpilih empat kali menjabat ketua PBNU, di antaranya pada tahun 1984, 1989, 1994 dan 1999. Baca Douglas E. Ramage, Percaturan Politik, hlm. 83.

267 Maksud Pribumisasi Islam ialah mengokohkan kembali akar budaya kita dengan tetap berusaha menciptakan masyarakat yang taat beragama. Kemudian Rukun tetangga, sebuah istilah yang memandang dimensi pribadi menjadi dimensi sosial. Berangkat dari usaha menjembatani persoalan antara kehidupan muslim yang baik tapi a-sosial dengan muslim yang begitu sosial tapi tanpa keimanan. Baca, K.H. Imron Hamzah dan Drs. Choirul Anam, Sebuah Dialog Mencari Kejelasan, Gus Dur Diadili Kiai-Kiai, cet. ke-1 (Surabaya: Jawa Pos, 1989), hlm. 30

268 Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama, hlm. 33

269 Greg Barton dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal, hlm. 166.

cxii

Page 112: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

bagi bangsanya.270 Bersamaan pada periode itu, Gus Dur juga terlibat dalam

aktivitas-aktivitas sosial, seperti LSM Fodem (Forum Demokrasi), di sini ia

menjabat sebagai ketuanya.271

Karena kritik politiknya terhadap kediktatoran negara dan gagasan-

gagasannya yang berkaitan dengan demokrasi, pluralisme agama, kebebasan

berpendapat, dan pribumisasi Islam, telah mendapat respon dari kalangan luas

(sejak tahun 1980-an sampai 1990-an), maka tidak aneh saat reformasi 1998

terjadi, ia dijuluki sebagai salah satu tokoh pembawa gerbong reformasi.

Akhirnya pada tahun 1998 pasca reformasi, Gus Dur yang saat itu masih

aktif menjabat ketua umum PBNU mendirikan sebuah Partai Kebangkitan

Bangsa (PKB), pada tanggal 23 Juli 1998, dengan menyatakan bahwa PKB

bukanlah Partai Islam dan merupakan partai yang menginginkan negara

sekuler.272 Dengan dukungan PKB dan Partai-Partai Islam yang dinamakan

“poros tengah” saat itu, telah berhasil mengantarkannya pada kursi

kepresidenan pada tahun 1999 di masa reformasi ini.

Terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden, dengan cara yang sangat

demokratis telah mengangkat citra kelompok santri dalam percaturan politik

270 Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 93. tokoh tokoh Asia tersebut ialah Noboru Iwamura (Jepang), Banoo Coyaji (India), Vo-Tong Xuan (Vietnam), dan Bievendido Lumbrera (Filiphina).

271 Jabatannya di Fodem bersamaan dengan masa jabatannya sebagai ketua PBNU, oleh sebab itu menimbulkan kritik keras di kalangan NU, khususnya pamannya sendiri, K.H. Yusuf Hasyim. Namun Gus Dur tetap tabah, bahkan sempat menyatakan akan memilih Fodem daripada NU, ini menunjukkan bahwa Gus Dur sebenarnya seorang demokrat. M. Arief Hakim, Gus Dur dan Demokrasi, dalam Membangun Budaya Kerakyatan: Kepemimpinan Gus Dur Dan Gerakan Sosial NU, (Yogyakarta, Titian Ilahi Press), hlm. 147

272 Dikutip dari karyanya Bahrul Ulum, Bodohnya NU Apa NU Dibodohi?, Jejak Langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah Meneropong Paradigma Politik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz: 2002), hlm. 135-136.

cxiii

Page 113: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

nasional, yang sebelumnya seringkali dimarginalkan. Namun sayang masa

pemerintahan Gus Dur harus berhenti di tengah jalan pada tanggal 23 Juli

2001 secara inkonstitusional karena sikap politiknya yang mengundang

banyak kritik, dari pengamat dan lawan politik yang mengantarkannya dulu.

Cara pemberhentian ini benar-benar menyakiti kalangan santri, yang

kemudian membuat mereka terpaksa kembali menelan kepahitan politik di

awal sejarah reformasi ini. Namun yang menjadi cukup menarik setelah ia

dijatuhkan dari kepresidenan, Gus Dur kembali membuat geger masyarakat

muslim dengan menerima penobatan sebagai anggota kehormatan Legium

Kristus pada 28 Januari 2002 di Tataaran Tonando, Minahasa, Sulawesi

Utara.273 Dan mengenai peran Gus Dur di PKB saat ini (tahun 2003-2004), ia

masih menjabat sebagai ketua Dewan Syura partai tersebut.

2. Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Relasi Islam dan Negara.

Masalah relasi Islam dan negara merupakan salah satu hal yang penting

dalam pemikiran Gus Dur, oleh sebab itu banyak orang yang melakukan

review terhadap pemikirannya ini. Secara garis besar bisa dikatakan bahwa

arus pemikiran Gus Dur mengenai relasi Islam dan negara dapat dikategorikan

sebagai pemikiran yang sekularistik, yaitu pemisahan antara agama dan

negara, yang sejalan dengan pemikiran Ali Abd al-Raziq.

Berbeda dengan M. Natsir dengan berbagai alasannya di atas, yang

menginginkan Islam dijadikan kekuatan ideologi dan dasar negara ini. Gus

Dur sebaliknya, ia menolak Islam dijadikan ideologi, karena menurutnya

273 Hartono Ahmad Jaiz, Gus Dur Menjual Bapaknya, hlm. 32.

cxiv

Page 114: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

kalau agama, politik dan budaya diideologikan fungsinya akan terdistorsi dan

bukan malah mendapatkan struktur yang lebih baik, melainkan justru akan

memicu disintegrasi yang berbasis sekretarian dan konflik horizontal.274

Menurutnya, ada dua alasan mengapa ia menolak didirikannya negara

Islam.275 Pertama, argumentasi normatif-teologis, yang menyebutkan bahwa

Daulah Isla>miyyah (Islamic State) tidak pernah disebutkan secara

eksplisit dalam al-Qur’an. Memang dalam al-Qur’an ada ayat yang berbunyi

Baldatun T{ayibatun wa rabbun Gafur, sebuah ayat yang lebih pada

konteks sosiologis, yaitu negara yang baik, penuh pengampunan Tuhan. Atas

dasar inilah Islam tidak memberi konsep yang jelas, melainkan hanya

memberi nilai etik bagi kehidupan bangsa dan negara.

Kedua, argumentasi historis, yaitu berkaitan dengan fakta bahwa dalam

sejarah Islam tidak pernah menunjukan adanya mekanisme baku bagaimana

suksesi dalam Islam. Ini bisa dilihat dari keempat khalifah pertama

sepeninggalnya Rasulullah, semuanya diangkat melalui mekanisme yang

berbeda satu sama lain,276 padahal pengangkatan seorang kepala negara

merupakan kunci utama untuk mengetahui sistem kenegaraan.

Selain itu, dalam konteks negara pluralistik seperti Indonesia, menjadikan

Islam atau agama apapun sebagai ideologi negara hanya akan memicu

disintegrasi bangsa, karena menurutnya sangat tidak mungkin memberlakukan

formalisme agama tertentu dalam komunitas agama masyarakat yang sangat 274 Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 78.

275 Dikutip dari, Khamami Zada, Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan, (Jakarta: Lakpesdam, 2002), hlm. 122-123.

276 Mengenai hal ini bisa dibaca lebih jauh dalam karyanya, Munawir Sjadzali, Islam, dan Tata Negara, hlm. 21-33.

cxv

Page 115: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

beragam. Oleh sebab itu, baginya pluralitas merupakan hukum alam atau

Sunnatullah di negeri ini, dan seharusnya Islam dijadikan sebuah nilai etik

sosial (social ethics), yang berarti Islam berfungsi komplementer dalam

kehidupan negara.277

Apabila Islam dijadikan ideologi negara, berarti akan membuka peluang

intervensi negara terhadap agama dan politisasi agama, padahal ajaran-ajaran

agama itu sendiri bersifat privat, yang berjalan di kalangan masyarakat melalui

persuasif, bukan melalui perundangan negara yang bersifat kohesif.

Selanjutnya, Gus Dur menyatakan bahwa agama merupakan dimensi privat

yang paling independen dari manusia dan tidak boleh diintervensi oleh negara

yang bersifat publik.278

Baginya Islam adalah agama yang penuh dengan kasih sayang, toleran dan

keadilan. Untuk itu Gus Dur sepakat dengan aksioma bahwa Islam adalah

agama pembebasan (a liberating religion), yang lahir dalam konteks protes

terhadap ketidakadilan di tengah komersial Arab dengan nilai-nilai dasarnya,

seperti musyawarah, persamaan dan keadilan.279

Pemaksaan formalisasi hukum Islam melalui struktur negara, bagi Gus

Dur, merupakan pengingkaran terhadap demokrasi yang ingin ditegakkan di

negeri ini, padahal dalam negara demokrasi nilai egalitarianisme sangatlah

277 Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur, hlm. 129.

278 Khamami Zada, Neraca Gus Dur, hlm. 125.

279 Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur, hlm. 127.

cxvi

Page 116: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

dijunjung tinggi, bukan malah menjadikan pemeluk agama lain menjadi warga

negara kelas dua.280

Dalam pandangan Greg Barton, Fachry Ali, dan Bachtiar Effendi, Gus

Dur dikategorikan dalam aliran neo-modernis.281 Ini dikarenakan gagasan-

gagasannya yang liberal dan tetap menggunakan esensi khazanah pemikiran

tradisional (legacy of past).

Berkaitan dengan ideologi Pancasila, yang ia sampaikan dalam

sambutannya saat menerima penghargaan Magsaysay, Gus Dur menunjukkan

pemikirannya dengan berkomentar mengenai prestasi umat Islam Indonesia:

“Pada mulanya ada semacam pertentangan antara Islam, yang saat itu ditawarkan dalam bentuk ideologi melawan Pancasila , di satu sisi adalah pemberontakan kelompok militan muslim yang dikenal pada tahun 1950-an sebagai Darul Islam. Sisi lain, pertentangan itu tercermin dalam kemacetan sidang konstituante pada tahun 1959, yang ditugaskan menetapkan sebuah konstitusi bagi republik ini.

Sebagai sebuah bangsa, Indonesia mampu menyelesaikan masalah itu secara pasti, yaitu dengan menghasilkan sebuah formulasi mendasar bahwa Pancasila dijadikan asas dasar dan ideologi setiap organisasi, sementara agama tetap dijadikan landasan kepercayaan. Pengakuan atas berbagai ragam agama dan ideologi nasional itu memberi jaminan kebebasan bagi setiap pemeluk agama untuk menjalankan kepercayaannya masing-masing”.282

Lebih dari itu, Gus Dur juga menyatakan bahwa tanpa Pancasila negara

Indonesia akan bubar, ideologi ini merupakan asas negara yang harus kita

miliki dan perjuangkan. Dan Pancasila ini akan saya pertahankan dengan

280 Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama, hlm. 169.

281 Baca, Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikian Islam Indonesia Masa Orde Baru, cet. ke-2 (Bandung: Mizan, 1990). Hlm. 29-81.

282 Dikutip dari, Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 93.

cxvii

Page 117: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

nyawa saya sendiri, tidak peduli apakah ia dikebiri angkatan bersenjata,

dimanipulasi umat Islam, atau malah disalahgunakan oleh keduanya.283

Ini merupakan pernyataan yang penuh resiko pada tahun 1990-an, karena

pada saat itu rakyat Indonesia sudah sangat bosan dan jenuh mendengar

Pancasila yang selalu disebut oleh pejabat-pejabat dan hampir setiap hari

dipropogandakan dalam media massa. Seolah-olah Pancasila saat itu telah

menjadi mantra pemerintahan dalam menjalankan kebijakan, dan sempat

menjadi ejekan karena semua kegiatan harus berlabelkan Pancasila , seperti

pers Pancasila , ekonomi Pancasila , bahkan sepak bola Pancasila .284

Selanjutnya, mengenai relasi antara agama dan negara yang selalu

menimbulkan ketegangan sejak periode awal Indonesia merdeka, antara kaum

nasionalis dan kaum muslim. Gus Dur sebagaimana K.H. Achmad Siddiq,

berupaya untuk mencairkan ketegangan tersebut, dengan menyatakan bahwa

Islam sebagai agama memberlakukan nilai-nilai normatif dalam kehidupan

perorangan maupun kolektif, sedangkan negara tidak mungkin

memberlakukan nilai-nilai yang tidak diterima oleh masyarakat yang berbeda-

beda agama dan pandangan hidupnya.285

Singkatnya, Gus Dur menginginkan adanya pemisahan wewenang

fungsional agama dan negara yang berbau sekularistik. Lalu bagaimana ia

283 Dikutip dari pernyataan Gus Dur dalam, Douglas E. Ramage, Percaturan Politik, hlm. 80.

284 Ibid., hlm. 85.285 Abdurrahman Wahid, Islam, Ideologi dan Etos Kerja di Indonesia, dalam Budhy

Munawar Rahman, Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 583. lihat juga Khamami Zada, Neraca Gus Dur, hlm. 124.

cxviii

Page 118: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

menanggapi tuntutan sebagian masyarakat yang selalu mendesak penerapan

syari’at Islam dengan mengundangkan secara positif dalam hukum negara?

Untuk menjawab ini, Gus Dur berbicara tentang “hukum Islam” yang

dalam kenyataannya hanya berlaku sebagai panduan moral yang dilakukan

atas kesadaran masyarakat, mengikat dengan sendirinya (Mulzimun

binafsihi), bukan karena dipaksa negara. Dan menurutnya, sebuah hukum

agama dapat diundangkan negara apabila hal itu dapat berlaku untuk seluruh

komponen masyarakat, meskipun berbeda agama, (Wad‘u al-Ah}kam fi

H{alati Imka>niyyah Wad‘ihi). 286

Sebagaimana yang ia katakan di atas, bahwa rumusan Pancasila sebagai

ideologi negara harus kita pegang teguh. Di samping itu, yang terpenting bagi

umat Islam menurut Gus Dur adalah pengaturannya (al-H{ukmu) bukan al-

Qur’an. Dalam Islam sendiri tidak mengenal sistem pemerintahan yang

definitif, seperti yang dikatakan negara bangsa (nation state) saat ini, memang

pernah ada tiga sistem yang dipakai dalam Islam, di antaranya sistem

Istikhlaf, Bay‘ah, Ahl H{alli wa al-‘Aqdi, tetapi ini hanya terjadi dalam

tempo 13 tahun.287

Ada beberapa teoritisi Islam seperti al-Mawardi (al-Ah}ka>m as-

S}ultaniyyah), Ibnu Abi ‘Arabi, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun

(Muqadimah), yang telah banyak merumuskan konsepsi kenegaraan. Dan

286 Khamami Zada, Neraca Gus Dur, hlm. 124.287 K.H. Imron Hamzah dan Drs. Choirul Anam, Sebuah Dialog Mencari Kejelasan, hlm.

55.

cxix

Page 119: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

ternyata paham kebangsaan ini, menurut Gus Dur pernah digali oleh pikiran

cemerlang Ibnu Khaldun.288

Dalam konteks ini, Gus Dur setuju dengan pendapat Ibnu Khaldun yang

menyatakan, bahwa agama saja tidak cukup untuk dapat membentuk negara.

Pembentukan negara, disamping paham keagamaan juga diperlukan rasa

‘As}h}abiyyah (perasaan keterikatan) untuk membentuk ikatan sosial

kemasyarakatan. Sebab, menurut Ibnu Khaldun, alasan berdirinya sebuah

negara karena adanya perasaan kebangsaan.289

Dan yang tak kalah penting menurutnya adalah fungsi negara sebagai

penyerap heterogenitas dan kepentingan masyarakat, oleh sebab itu tidak aneh

kalau Gus Dur menolak Islam sebagai ideologi negara di Indonesia, sekalipun

agama itu merupakan anutan mayoritas penduduk di negara ini.290

Di Indonesia, hubungan Islam dan negara pernah mengalami ketegangan

politik yang tajam, sebab Islam politik dianggap sebagai pesaing yang

mengusik basis kebangsaan. Ketegangan itu bisa dikatakan relatif berhenti,

setidaknya secara de jure, semua ormas Islam menerima Pancasila sebagai

satu-satunya asas organisasi pada tahun 1980-an yang lalu.291

Ada dua hal yang ditawarkan Gus Dur dalam menetralisasi ketegangan

kedua pihak tersebut. Pertama, menjadikan Islam sebagai etika sosial dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, mengembangkan Islam sesuai

288 Ibid.

289 A. Gaffar Karim, Metamorfosis NU dan Politisasai Islam Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm.105.

290 Ibid.291 Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur, hlm. 132.

cxx

Page 120: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

dengan konteks setempat atau yang biasa dikenal pribumisasi Islam. Dan

kedua tawaran itu kemudian mengarah pada penempatan Islam sebagai faktor

komplementer dalam kehidupan sosio-kultural dan politik di Indonesia.292

Dengan berprinsip al-Gayah wa al-Wasa>il (tujuan dan cara

penyampaiannya), Gus Dur menegaskan bahwa Islam bertugas melestarikan

sejumlah nilai dan prilaku sosial yang mengaitkan pencapaian tujuan dengan

kemulian cara yang digunakan. Oleh sebab itu, menurutnya selama tujuan

masih tetap, maka cara penyampaian menjadi masalah sekunder, dan yang

dimaksud nilai dan prilaku tersebut adalah Ah}laq al-Karimah.293

Jelaslah dengan demikian, Islam berfungsi sebagai etika sosial yang

memandu jalannya kehidupan bernegara bukan sebagai bentuk kenegaraan

tertentu.294 Pendapat-pendapat Gus Dur tersebut merupakan konsekuensinya

dalam memperjuangkan demokrasi dan semangat pluralisme di negeri ini.

Di samping itu, menurutnya dalam prespektif Ahl as-Sunnah wa al-

Jama‘ah, pemerintahan ditilik dan dinilai dari segi fungsionalnya, bukan dari

norma formal eksistensinya, negara Islam atau bukan.295 Selama kaum muslim

dapat menyelenggarakan kehidupan beragama mereka secara penuh, maka

bentuk pemerintahannya tidak lagi menjadi pusat pemikirannya.

292 Ibid., hlm 132-133.

293 Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama, hlm. 75.

294 Ibid.

295 Abdurrahman Wahid, “Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia,” Prisma, no. 4 (April 1984), hlm 35. lihat juga, Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 169.

cxxi

Page 121: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Dan atas dasar kerangka berfikir inilah, NU di bawah aksi politik yang

dimotori Gus Dur secara sadar menerima asas tunggal Pancasila, dan tentunya

dengan mendapat persetujuan para ulama organisasi tersebut. Lebih lanjut,

Pancasila dalam pandangan NU merupakan ideologi bangsa yang sejalan

dengan visi Imam Syafi’i tentang tiga jenis negara: Da>ru al-Isla>m,

Da>ru al-H{arbi dan Da>ru as-S}ulh}.296 Dan Gus Dur sendiri

dengan penuh keyakinan menyatakan bahwa pemerintahan yang

berideologikan Pancasila ini, bisa dikategorikan dalam negara damai

(Da>ru as-S}ulh) yang harus dipertahankan.

Melihat kebijakan NU, yang dalam sejarah politik Indonesia acapkali

menunjukkan sikap akrab dengan negara, tak heran kalau banyak orang yang

menuduh NU sebagai organisasi opurtunistik. Namun Gus Dur membantah

itu, karena bagi NU, pedomannya bukanlah strategi perjuangan politik atau

ideologi Islam dalam artian yang abstrak, melainkan keabsahan di mata

hukum fiqih.297

Secara teoritis, Gus Dur juga mengakui bahwa pemikiran negara dalam

Islam telah terbagi menjadi dua arus, yakni idealistik dan realistik.298 Dalam

pemikiran idealistik menginginkan sebuah konsep kenegaraan yang

sepenuhnya berwawasan Islam, yang kemudian arus ini dinamakan Gus Dur

sebagai kelompok alternatif.

296 Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm 170.

297 Ibid.

298 Ibid.

cxxii

Page 122: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Sementara pandangan realistik, lebih tertarik pada pemecahan masalah

bagaimana perkembangan historis yang berkaitan dengan negara dapat

ditampung dalam pandangan Islam, yang kemudian dalam konteks ini Islam

dijadikan sebagai faktor komplementer bagi ideologi negara.

Gus Dur seringkali memunculkan gagasan kontroversial di mata

masyarakat, baik ketika di NU, PKB maupun di Pemerintahan. Oleh sebab itu,

ia kerap memperoleh serangan sebagai pro-Kristen, agen Zionis dan berbagai

tuduhan minor lainnya.299 Ini dikarenakan sepak terjangnya yang terkesan

tidak membela Islam.

Bahkan menurut Liddle, di antara para tokoh tradisionalis, Gus Dur adalah

seorang tokoh yang paling unik, karena sering memimpin ke mana para

pengikutnya tidak mau ikut.300 Sedangkan meminjam analisis Cak Nun,

menurutnya kita bisa melihat sepak terjang Gus Dur, baik dari sikapnya yang

biasa-biasa saja, yang kontroversial, yang radikal, yang gendheng, maupun

yang membingungkan. Karena semuanya itu terletak pada grand theory yang

tidak sukar dipahami.

Pertama, dalam perspektif universal ia bermaksud menumbuhkan demokrasi setelanjang-telanjangnya.

Kedua, dalam konstelasi keindonesiaan ia bermaksud menerapkan suatu ideologi nasionalisme habis-habisan, yakni dengan menomorsatukan apa pun yang indikatif terhadap primordialisme dan anti-nasionalisme.

Ketiga, khusus kaitannya dengan Islam, Gus Dur dengan segala resikonya berkehendak melakukan domestikasi atau pembumian nilai-nilai Islam dalam kerangka nuansa kultural yang tak bersedia ditawar oleh segala “kegamangan teologis” apapun.301

299 A. Gaffar Karim, Metamorfosis NU, hlm. 108.

300 Dikutip dari, Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 95.

301 Ibid., hlm. 94. Untuk lebih jelasnya baca, Emha Ainun Nadjib, “Gus Dur Pelindung Minoritas,” Yogya Post, (12 April 1991).

cxxiii

Page 123: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Sejak dipilih sebagai pemimpin NU pada tahun 1984, retorika Gus Dur

semakin bernada liberal dan progresif, ia banyak bersikap positif dan fleksibel

dalam merespon modernitas, dan menegaskan bahwa watak pluralistik dan

multi komunal masyarakat Indonesia harus dipertahankan dari

kecenderungan-kecenderungan sektarianistik. Berkaitan dengan sumber-

sumber pemikiran Islam, ia mengkombinasikan antara apa yang baik dalam

nilai-nilai modernitas dengan komitmen terhadap rasionalitas, keulamaan dan

kebudayaan tradisional.

Untuk mendukung tujuan-tujuan demokratis dan sosialnya, Gus Dur lebih

sering menggunakan ideologi Pancasila daripada Islam dalam melegitimasi

partisipasinya dalam wacana politik dan pengekspresian gagasan kunci

politiknya. Dari sini bisa dilihat bahwa pemikiran politiknya didasarkan pada

visi politik yang demokratis, sekular dan nasionalis.302

Bagi Gus Dur Pancasila adalah ideologi nasional yang esensial untuk

mempertahankan kesatuan nasional. Pandangan ini menurutnya penting untuk

disampaikan karena beberapa muslim memandang Pancasila sebagai ideologi

sekular yang tidak sesuai dengan Islam. Ia kemudian menunjukkan bahwa

ayahnya, Wahid Hasyim, seorang pemimpin NU pada tahun 1945 juga

sepakat mendukung sebuah negara nasional non Islam.303

302 Douglas E. Ramage, Demokrasi, Toleransi Agama Dan Pancasila : Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid, dalam Greg Barton dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal, hlm. 194.

303 Pernyataan Wahid Hasyim, dikutip dari, Ibid., hlm 196. baca juga, Douglas E. Ramage, Percaturan Politik, hlm.93.

cxxiv

Page 124: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Untuk memahami sepenuhnya politik Abdurrahman Wahid dan

penggunaannya terhadap Pancasila dalam mengembangkan demokratisasi,

perlu ditinjau terlebih dahulu “keluarnya NU” dari panggung politik formal

pada tahun 1984. Padahal pada tahun 1983, NU adalah ormas Islam yang

pertama kali menyetujui asas tunggal.

Keputusan untuk keluar dari politik atau yang dikenal dengan kembali ke

khittah 1926, menurut Gus Dur, bukan hanya karena adanya keinginan untuk

memusatkan perhatian pada tujuan-tujuan sosial, pendidikan dan keagamaan,

tetapi juga sebagai respons terhadap depolitisasi orde baru. Singkatnya, NU

ingin tetap menjaga independensi politiknya dan menghindari intervensi serta

manipulasi pemerintah, karena saat itu pemerintah terus-terusan menekan

politik Islam dengan menggunakan Pancasila untuk membatasi kegiatan

partai politik yang legal pada tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an.304

Selanjutnya, berkaitan dengan perannya sebagai Kepala Presiden yang

relatif singkat. Visi demokrasi, humanisme dan toleransi agama yang Gus Dur

perjuangkan semakin kuat, ini terlihat dalam upaya pencabutan Inpres No. 14

tahun 1967 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat cina. Dalam Inpres

ini, terlihat tidak adanya pengakuan hak-hak penganut Konghucu sehingga

mereka terpaksa harus pindah ke agama lain, Namun pada masa Pemerintahan

Gus Dur Inpres No. 14 tahun 1967 itu dicabut dengan Kepres No. 6 tahun

2000.305

304 Ibid., hlm. 200.305 Khamami Zada, Neraca Gus Dur, hlm. 142.

cxxv

Page 125: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Selain itu, ada ide yang lebih kontroversial, yakni pencabutan Tap MPRS

XXV/1966 tentang pembubaran PKI dan pelarangan penyebaran Marxisme,

Leninisme dan Komunisme, yang menurutnya telah mendiskriminasikan

sebagian warga dalam kehidupan publik dan negara. Akan tetapi ide

pencabutan kemudian memunculkan gelombang demonstran selama kurun

masa kekuasaannya dan akhirnya di tolak oleh MPR.306

Di luar masalah tersebut, Gus Dur juga harus menghadapi sebuah cita-cita

politik yang bertolak belakang dengan trade mark pemikirannya, yakni

adanya masyarakat muslim yang ingin menghidupkan kembali “Piagam

Jakarta” dan mengharapakan penerapan Syari‘ah Islam melalui power

negara. sebagai seorang demokrat Gus Dur tidak memangkas keinginan itu

melalui kekuasaannya, melainkan membiarkan rakyat untuk menguji wacana

tersebut.

Akhirnya, pada Sidang Tahunan Agustus 2000, dua partai politik Islam

(PPP dan PBB) mengusulkan kembali “Tujuh Kata Piagam Jakarta”307 untuk

dimasukkan dalam pasal yang mengatur bab agama dalam proses amandemen

1945. Tetapi hasrat kedua parpol tersebut gagal, karena banyaknya kalangan

yang khawatir akan campur tangan negara terhadap agama dan politisasi

agama, sebagaimana yang pernah diungkapkan Gus Dur.308

Berdasarkan uraian panjang lebar di atas, dapat disimpulkan beberapa hal

pemikirannya mengenai hubungan Islam dan negara. Pertama, Gus Dur

306 Ibid., 62.

307 Tujuh kata itu berbunyi: …dan kewajiban menjalankan Syari‘ah Isla>m bagi para pemeluknya.

308 Ibid., hlm. 145.

cxxvi

Page 126: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

selalu ingin menjaga independensi keberagamaan masyarakat dalam

menghadapi negara, karena ketaatan seseorang harus muncul dari kesadaran

pribadi, bukan dari paksaan negara.

Kedua, penolakan Gus Dur terhadap sebagian masyarakat muslim yang

ingin menjadikan Islam sebagai ideologi negara, merupakan konsekuensi dari

pemahaman demokrasi yang ia perjuangakan, yakni menempatkan masyarakat

secara egaliter di hadapan negara. Karena pengistimewaan agama tertentu

dalam negara yang plural ini, berarti pengingkaran nilai-nilai demokrasi.

Ketiga, negara tidak boleh mengintervensi urusan-urusan agama

masyarakat. Begitu juga sebaliknya agama tidak perlu mengemis legitimasi

kepada negara karena hal tersebut bukan menguatkan eksistensi agama

sebagai kepercayaan, melainkan justru merendahkan.

Sebagai seorang pemikir dan aktivis Islam, sikap dan gagasan Gus Dur

mengenai relasi Islam dan negara sebenarnya cukup jelas, yaitu bagaimana

membangun independensi agama dan para pemeluknya vis a vis negara. Yang

mana agama sebagai wilayah privat manusia seharusnya tidak boleh

dicampuri oleh siapapun.

Sikap itu begitu tegas disampaikan oleh Gus Dur, baik melalui tulisan-

tulisan maupun ceramahnya, yang menunjukkan bahwa ia menolak bentuk

formalisme agama dalam kehidupan politik, baik sebagai kehendak

masyarakat maupun sebagai kehendak negara. Hal ini juga bisa dilihat dari

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dideklarasikannya, partai mayoritas

cxxvii

Page 127: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

muslim yang tidak melabelkan Islam, sebuah refleksi pemikirannya dalam

membangun relasi Islam dan negara.

cxxviii

Page 128: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

BAB IV

ANALISIS

TERHADAP

PEMIKIRAN

M. NATSIR DAN

ABDURRAHMAN

WAHID

A. Persamaan.

Sebagaimana yang telah diuraikan pada Bab III, bahwa gambaran kedua

tokoh di atas sangat diperlukan untuk menganalisa pemikiran keduanya. Di

antaranya mengenai latar belakang kehidupan, karier politik, dan organisasi

yang menjadi dapur pertama pemikiran politiknya. Selain itu ulasan tersebut,

setidaknya dapat dijadikan pertimbangan sebelum menempatkan atau

mengklaim kedua tokoh tersebut dalam kategori aliran tertentu.

Pada bab-bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa M. Natsir sebagai Prototype modernisme Islam dan Gus Dur sebagai neo-modernisme Islam, telah banyak mewarnai sejarah perpolitikan Indonesia. Terlepas dari itu, perlu diakui bahwa perdebatan Islam dan negara sudah lama terjadi, sejak dasawarsa 1930-an antara M. Natsir dan Soekarno, yang kemudian dalam situasi itulah Islam menapaki langkah-langkah yang boleh dibilang idealistik atau formalistik. Singkatnya,

cxxix

Page 129: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

gerakan ini ingin menjadikan Islam sebagai ideologi negara.309

Situasi inilah yang mendorong aktivis dan pemikir Islam generasi kedua

pada tahun 1970-an, yang kemudian dinamakan Islam kultural. Dalam

pandangan kelompok ini, Islam politik merupakan sesuatu yang sulit dijual,

karena masih kuatnya trauma politik yang membekas antara aktivis politik

Islam dengan negara. Oleh sebab itu kalangan ini lebih memilih garapan

transformasi sosial, dengan menawarkan Islam yang sesuai dengan konteks

Indonesia dan tidak begitu ideologis.310

Meskipun keduanya hidup pada masa yang tidak bersamaan, tetapi

pemikiran politik kedua tokoh tersebut masih tetap mewarnai panggung

politik Indonesia sampai saat ini. Yang kemudian terpolarisasi pada kelompok

modernis dan neo-modernis.

Dalam diskursus kaum modernis, ada dua faktor yang telah disepakati

sebagai penyebab kemunduran dunia Islam. Pertama, secara internal, praktik-

praktik keagamaan umat Islam telah banyak yang menyimpang dari ajaran

Islam yang asli, al-Qur’an dan Hadits, yang kemudian menyebabkan umat

Islam mengalami kemunduran, oleh sebab itu pembaharuan doktrin Islam

sangat diperlukan. Kedua, peradaban Barat sekular yang mulai masuk dalam

percaturan peradaban Islam, dianggap sebagai faktor lain (eksternal) yang

dominan menyebabkan kemuduran dunia Islam.311

309 Bahtiar Effendy, (RE) Politisasi Islam, hlm. 190.310 Ibid.

311 Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais, hlm. 160.

cxxx

Page 130: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Di Indonesia Gerakan modernis ini termanifestasikan dalam beberapa

organisasi, seperti Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad dan Sarekat Islam,

sebuah organisasi yang mengedepankan motif gerakan kembali ke al-Qur’an

dan Hadis, yang menurutnya sebagai sumber ilmu yang otentik, abadi dan

akan tetap relevan dengan perubahan zaman dan tempat. (S{a>lih} Likulli

Zama>nin wa Maka>nin).

Dengan demikian pemikiran-pemikiran politik kaum modernis Islam

banyak diwarnai oleh idiom-idiom al-Qur’an dan Hadis. Pada dasarnya

doktrin kembali ke al-Qur’an dan Hadis di atas, merupakan rintisan yang tepat

dengan realitas politik Islam saat itu, hanya saja doktrin tersebut kemudian

terkontaminasi dengan sikap anti Barat yang rigid dan akhirnya melahirkan

pemikiran normatif dan cenderung apologetik, misalnya dengan menawarkan

sistem ekonomi Islam dan negara Islam sebagai alternatif menghadapi Barat.

Dalam diskursus politik Islam (al-Fiqh as-Siya>syi), upaya untuk

mewujudkan kesejahteraan masyarakat dirumuskan dalam suatu kaidah312:

بالمصلحـ منوط الرعـية على اإلمام ةتصرف

Menurut Abd al-Wahab Khalaf, kaidah di atas dapat dijadikan sebagai

landasan teori hukum atau referensi untuk pengambilan keputusan hukum

aktual, apabila memenuhi tiga kriteria berikut ini. Pertama, maslahah itu

bersifat essensial, yakni kepentingan yang secara praksis dapat mewujudkan

kesejahteraan umum dan mencegah timbulnya kerusakan. Kedua, maslahah

itu ditujukan pada kepentingan rakyat banyak, bukan individu. Ketiga,

312 Abd al-Hamid Hakim, As-Sulam, (Jakarta: Sa’adiyah Putra, t.t.), II: 65.

cxxxi

Page 131: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

maslahah itu tidak bertentangan dengan ketetentuan atau dalil-dalil umum

nash.313

Teori kemaslahatan inilah yang kemudian dijadikan pisau analisis oleh M.

Natsir dan Gus Dur dalam memecahkan persoalan hubungan Islam dan

negara. Dan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pemikiran kedua

tokoh tersebut, memang perlu diawali dari teori ini.

Ada beberapa persamaan dari kedua tokoh tersebut dalam merespon

hubungan Islam dan negara. Dan yang pasti secara esensial kedua tokoh

tersebut sepakat bahwa tujuan diterapkannya demokrasi di negeri ini adalah

untuk mencapai kemaslahatan bersama dan keadilan yang merata bagi umat

manusia.

Dalam sejarah politik Indonesia, M. Natsir dan Gus Dur dikenal sebagai

pemikir muslim yang sekaligus praktisi politik terkemuka di negeri ini,

keduanya sama-sama mempunyai komitmen untuk menjadikan Islam sebagai

agama pembebas yang membebaskan manusia dari segala bentuk eksploitasi

dan diskriminasi

Sedangkan sisi persamaan yang dominan antara M. Natsir dengan Gus Dur

dalam membangun relasi Islam dan negara adalah pengakuan mereka tentang

tidak adanya sistem politik yang rigid dalam Islam sebagaimana yang telah

ada dewasa ini, dan bagi mereka yang ada dalam Islam hanyalah prinsip dasar

berbangsa dan bernegara, seperti musyawarah, keadilan, persamaan,

kebebasan, dan kebersamaan.

313 Abd al-Wahab Khalaf, ‘Ilm Usūl al-Fiqh, cet. ke-11 (Kairo: Dar al-Qalam, 1977), hlm. 86-87.

cxxxii

Page 132: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Menurut Natsir, dalam kenegaraan, Islam hanyalah mengatur dasar dan

pokok-pokokmya saja seperti yang dinyatakan di atas, maka dari itu dalam

membangun sebuah negara M. Natsir banyak menggunakan syarat-syarat

sebuah negara modern, di antaranya harus mempunyai wilayah, rakyat,

Pemerintah, Kedaulatan, Undang-Undang Dasar atau sumber hukum atau

kekuasaan lain yang tidak tertulis.314

Masih dalam konteks yang sama, Gus Dur juga menyatakan secara tegas

bahwa Islam tidak memberi konsep yang jelas untuk membangun sebuah

negara, melainkan hanya memberi nilai etik bagi kehidupan bangsa dan

negara. Secara historis juga telah terbukti bahwa dari keempat khalifah

sepeninggalnya Rasulullah, semuanya diangkat melalui mekanisme yang

berbeda satu sama lain,315 ini menunjukkan bahwa Islam memang tidak

mempunyai mekanisme baku sebuah suksesi, padahal pengangkatan seorang

kepala negara merupakan kunci utama untuk mengetahui sistem kenegaraan.

Oleh sebab itu, sistem demokrasi menurut kedua tokoh tersebut

merupakan sistem yang paling realistik untuk mewujudkan terbentuknya suatu

masyarakat yang adil, egaliter dan manusiawi sebagaimana yang dicita-

citakan Islam. Karena dengan adanya nilai-nilai dasar di atas Islam bisa

dikatakan sebagai agama pembebas sepenuhnya kompatibel dengan aturan

demokrasi.

314 Natsir, Capita Selecta, hlm. 199.

315 Mengenai hal ini bisa dibaca lebih jauh dalam karyanya, Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 21-33.

cxxxiii

Page 133: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Mengenai tipologi pemikiran kedua tokoh tersebut, memang tidak

sepenuhnya murni sebagaimana yang telah penyusun tempatkan, sebab

walaupun Yusril mengkategorikan Natsir sebagai kalangan modernis, akan

tetapi tidak jarang pendapat-pendapat Natsir yang mengarah pada faham

fundamentalisme, menentang pemisahan agama dan negara. Begitu juga

dengan pemikiran Gus Dur, yang menurut Greg Barton seringkali terkesan

sekuler , namun juga terkadang terlihat konservatif dalam wacana keislaman

yang lain.

Sebagaimana Abduh, M. Natsir menganggap sumber kekuasaan bagi

pemerintahan adalah rakyat. Karena itu, demokrasi yang berdasarkan doktrin

kedaulatan rakyat diterima secara terbuka, akan tetapi bukan berarti ia

menerima konsep sekulerisme sebagaimana yang inheren dalam sistem

demokrasi Barat. Oleh sebab itu ia menawarkan sebuah konsep thestic

democracy, yaitu demokrasi yang sesuai dengan prinsip tauhid.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa konsep demokrasi ini ditujukan untuk

menetapkan hak-hak dan kewajiban timbal balik antara rakyat dengan

penguasa, dan sistem yang ada harus mampu menegakkan keadilan,

kebebasan, persamaan sebagaimana yang dituntut oleh Islam secara radikal.

Menurutnya, Syari‘ah sebagai suatu sistem hukum terpadu dan lengkap

hanya bisa dilaksanakan apabila ada suatu otoritas yang melakasanakan

penerapan (law enforcement), sehingga pelaksanaan Syari‘ah memerlukan

dukungan kekuasaan politik, yaitu negara. Dengan demikian tujuan pertama

cxxxiv

Page 134: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

didirikannya negara demokrasi adalah untuk menjaga dan melindungi

Syari‘at itu sendiri.

Sedangkan Gus Dur ingin menegakkan demokrasi yang seutuhnya, artinya

tidak ada tendensi agama yang melekat pada konsep ini. Dengan demikian ada

perbedaan yang sangat mendasar mengenai paradigma dalam

memperjuangkan konsep demokrasi, meskipun keduanya sama-sama

menerima demokrasi secara terbuka. Dan sebenarnya sikap ini sudah jelas

terlihat di atas, bagaimana reaksi dan sikap keduanya dalam memandang

Pancasila di negeri ini.

Atas dasar pemahaman, Islam mempunyai prinsip-prinsip dasar dalam

berbangsa dan bernegara, maka keduanya sepakat untuk menjadikan

demokrasi sebagai sistem yang paling rasional untuk negara republik ini.

Terlepas bagaimana cara kedua tokoh itu dalam memperjuangkannya.

B. Perbedaan.

Sedangkan sisi perbedaan antara pemikiran M. Natsir dan Gus Dur dalam

memandang relasi Islam dan negara yang paling fundamental terdapat dua hal.

Pertama, respon mereka terhadap paham sekuler, yang memisahkan antara

agama dan negara. Kedua, pemikiran politik mereka dalam menyikapi

demokrasi dan ideologi Pancasila sebagai dasar negara di Indonesia ini.

Berangkat dari wacana relasi Islam dan negara di atas, M. Natsir dengan

tegas menolak negara yang berdasarkan sekularisme, menurutnya sekularisme

adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan, dan sikap yang

cxxxv

Page 135: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

hanya sebatas keduniawian saja. Walaupun para sekularis mengakui adanya

Tuhan, tapi dalam kehidupan sehari-harinya tidak menganggap perlu adanya

hubungan jiwa dengan Tuhan, baik dalam sikap, tingkah laku, ibadah dan

tindakan sehari-harinya.

Ditarik dalam konteks Indonesia, tampaknya M. Natsir ingin

membuktikan bahwa Indonesia telah terkontaminasi dengan paham ini.

Baginya dengan adanya konsep Pancasila berarti telah terbukti bahwa negara

Indonesia telah terjangkit penyakit sekularisme, karena konsep ini jelas

bercorak La>-diniyyah yang tidak mau mengakui wahyu sebagai

sumbernya, di samping itu Pancasila adalah hasil penggalian dari

masyarakat.316

Dilihat dari beberapa pernyataan Natsir pada bab-bab sebelumnya, bisa

dikatakan bahwa hubungan Islam dan negara, menurutnya tidak dapat

dipisahkan, karena keduanya mempunyai fungsi timbal balik, simbiosis

mutualisme. Baginya, negara adalah sebuah alat bukan tujuan, berarti negara

di sini selain merupakan institusi pemerintahan, juga mempunyai kekuatan

penuh untuk menjaga dan memberlakuan undang-undang Syari‘ah, yang

berkenaan dengan kehidupan manusia sebagai individu, maupun masyarakat

secara kolektif.317

Sedangkan Gus Dur, lebih mengasumsikan agama sebagai sumber

motivasi pandangan hidup bangsa atau ideologi negara (Pancasila).

Maksudnya agama berperan mendorong kegiatan individu melalui nilai-nilai

316 Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, hlm. 127.

317 Natsir, Capita Selecta, hlm. 442.

cxxxvi

Page 136: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

yang diserap Pancasila dengan menjadikannya sebagai bentuk pandangan

hidup bangsa.318 Jadi agama di sini hanyalah bersifat dialogis bukan simbiosis.

Pola pemikiran Gus Dur ini bisa dikategorikan cukup sekuler, mengingat

gagasan yang ia hasilkan selalu mengesampingkan simbolisasi agama

terhadap negara atau sebaliknya. Ia tidak pernah berkeinginan untuk

memanfaatkan negara sebagai alat pemberlakuan hukum agama tertentu,

seperti tuntutan diberlakuannya syariah oleh negara, karena menurutnya hanya

akan menciptakan diskriminasi agama.

Dan tentunya, kalau kebijakan tersebut sampai diterapkan di negara yang

sangat heterogen ini, berarti kita telah melakukan pengingkarana terhadap

nilai-nilai demokrasi, karena telah mengabaikan prinsip-prinsip pluralisme

agama, persamaan hak dan kemaslahatan umat. Jadi, bagi Gus Dur, Pancasila

sebagai ideologi negara sudah sesuai dengan konteks demokrasi dan tidak

perlu lagi diperdebatkan, apalagi diganti. Meskipun ia merupakan hasil ijtihad

manusia.

Selain itu, demokrasi yang menurut Natsir dan Gus Dur merupakan

konsep paling rasional untuk sistem negara. Secara tegas dikatakan Natsir,

Islam tetap tidak perlu menganut demokrasi 100%, dan konsep demokrasi

yang cocok bagi Indonesia adalah demokrasi yang tidak meninggalkan nilai-

nilai ketuhanan, thestic democracy, maksudnya, keputusan mayoritas yang

berpedoman pada ketuhanan.319 Ini menunjukkan bahwa Natsir selaku tokoh

318 Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, hlm. 92.

319 Yusril Ihza Mahendra, “Modernisme Islam dan Demokrasi: Pandangan Politik M. Natsir,” Jurnal Islamika, No. 3, (1994), hlm. 79. baca juga Kamaruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 71.

cxxxvii

Page 137: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

modernis muslim sangat selektif dalam menerapkan filterisasi (saringan)

terhadap Barat.

Dalam modernisasi politik Islam, Natsir mempunyai pandangan untuk

berusaha menerapkan ajaran dan nilai-nilai, kerohanian, sosial, dan politik

Islam yang terkandung di dalam al-Qur’an dan sunnah dengan menyesuaikan

terhadap perkembangan zaman. Selanjutnya, Natsir mewajibkan seoarang

muslim untuk berpolitik sebagai sarana dakwah Islam.320

Berbeda dengan Natsir, Gus Dur menilai demokrasi sebagai suatu

kedaulatan rakyat sepenuhnya, ia tidak sepakat kalau urusan Tuhan

dicampuradukkan dalam kepentingan ini. Baginya demokrasi adalah urusan

manusia yang diberi kebebasan untuk mengatur dunia, sedangkan kedaulatan

Tuhan (Syari‘ah) merupakan prinsip-prinsip universal yang menjadi patokan

etik moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.321

Terlebih lagi, apabila hukum Islam atau hukum gereja harus diberlakukan

oleh negara melalui (taqnin, legislasi) ajaran agama tersebut pada hakikatnya

merupakan pengingkaran hakikat demokrasi yang ingin kita tegakkan di

negeri ini,322 karena akan menjadikan mereka yang tidak memeluk agama

mayoritas menjadi warga negara kelas dua dan kehilangan haknya dalam

memperoleh keadilan sesama dalam bernegara.

Untuk merealisasikan demokrasi tersebut, ada enam kaidah demokrasi

dalam Islam, yaitu: 1) Ta‘a>ruf (saling mengenal); 2) Syu>ra

320 Thoir Luth, M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya, hlm. 85.

321 Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien, hlm. 176.

322 Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama, hlm. 169.

cxxxviii

Page 138: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

(musyawarah); 3) Ta‘a>wun (kerja sama); 4) Mas}lah}ah

(menguntungkan masyarakat); 5) ‘Adl (adil); dan 6) Tagyir (perubahan).323

Natsir dan Gus Dur sama-sama terlibat dalam pemerintahan, akan tetapi

keduanya mempunyai tujuan politik yang berbeda, Natsir masuk dalam

birokrasi pemerintahan berharap akan bisa memperjuangkan pemeberlakuan

syari’ah Islam melalui otoritas negara. Sedangkan Gus Dur justru sebaliknya,

ia malah berkeinginan untuk meminimalisir intervensi negara terhadap agama,

termasuk penolakannya terhadap pemberlakuan syari’ah di negara ini.

Berbicara mengenai Syari‘ah, terdapat berbagai macam pemahaman.

Menurut terori klasik, Syari‘ah merupakan kehendak Ilahi yang suci dan

bertujuan mengatur kehidupan masyarakat muslim.324 Sedangkan dalam al-

Qur’an kata Syir‘ah atau Syari‘ah dimaknai agama,325 baik sebagai jalan

lurus (T{ariq Mustaqi>mah) yang ditentukan oleh Allah untuk manusia

atau suatu ketentuan yang harus dilaksanakan. Ketika nabi Muhammad

S.A.W. ditanya tentang syari’at Islam, beliau menjelaskan tentang sholat,

zakat, puasa, dan haji.326

Ini menunjukkan bahwa secara terminologis, Syari‘ah pada masa nabi

Muhammad S.A.W. digunakan untuk menyebut masalah essensial dalam

ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah yang telah diyakini

kesahihannya. Lebih lanjut, Manna al-Qattan (ahli fiqh) mendefiniskan

323 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 91-105.

324 Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam; Sebuah Pengantar, cet. ke-2 (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm. 16.

325 Al-Qur’an, Surat 5: 51: 17.

326 Mun’im A. Sirry., Ibid.

cxxxix

Page 139: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Syari‘ah sebagai segala ketentuan Allah bagi hambanya yang meliputi

masalah akidah, ibadah, dan tata kehidupan umat manusia untuk mencapai

kebahagian mereka di dunia dan akhirat.

Berdasarkan definisi Syari‘ah di atas, ulama fiqih dan usul fiqih

menyatakan bahwa Syari‘ah merupakan sumber fiqih. Dinyatakan demikian,

karena fiqih merupakan hasil ijtihad atau pemahaman ulama terhadap ayat-

ayat suci al-Qur’an tersebut.

Ada beberapa definisi fiqih yang kemudian dikemukakan oleh ulama.

Imam Abu Hanifah yang mendefinisikan fiqih dengan Ma‘rifat al-Nafsi

ma>laha wa ma> ‘alaiha (pengetahuan seseorang tentang hak-hak dan

kewajibannya), definisi ini memberi gambaran bahwa fiqih meliputi aspek

kehidupan, baik dari akidah, hukum sampai pada tingkah laku kehidupan.327

Sedangkan al- Amidi, seorang ulama Syafi’iyyah terkemuka dalam

bukunya al-Ih}kam fi us}uli al-Ah}ka>m, mendefinisikan fiqih sebagai

ilmu tentang hukum-hukum syari’ah amaliah dari dalil-dalilnya yang

terperinci (‘adilah tafs}iliyyah),328 selain itu, menurut fuqaha Malikiyyah,

fiqih adalah ilmu tentang perintah-perintah syari’ah dalam masalah khusus

yang diperoleh dari aplikasi teori Istidla>l atau pencarian hukum dengan

dalil (process of reasoning).

Tampaknya, pola pemikiran Gus Dur di atas, didasarkan pada

pertimbangan fiqih bahwa urusan politik atau negara lebih pada kepentingan

dan kreativitas manusia, sehingga masuk dalam wilayah fiqih. Dan sebagai

327 Ibid., hlm. 13.

328 Ibid., hlm. 14; Al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, I: 5.

cxl

Page 140: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

wilayah fiqih, setiap apa yang dirumuskan dan diinterpretasikan merupakan

produk ijtihad yang bebas. Namun demikian, kreativitas itu harus mengacu

pada kemaslahatan rakyat, sebagaimana dalam kaidah fiqihnya bahwa

“seluruh kebijakan penguasa harus sesuai dengan kepentingan seluruh warga

negara”.

Paradigma di ataslah, yang kemudian secara teoritis membedakan gagasan

kedua tokoh tersebut, Walaupun pada masalah-masalah tertentu mereka juga

mempunyai persamaan pendapat. Pola pemikiran Natsir yang cenderung

idealistik dalam memahami ad-Din wa ad-Daulah, sebenarnya merupakan

konsekuensi logis dari pemikiran politik yang didasarkan pada konsep tauhid.

Konsep tauhid menderivasikan prinsip-prinsip universal yang kemudian

menjadi sumber etik-moral bagi sebuah negara demokrasi, selain itu Natsir

juga lebih suka mendasarkan gagasannya pada dua sumber utama Syari‘ah,

al-Qur’an dan sunnah, daripada menggunakan metodologi khazanah

intelektual sunni klasik, seperti fiqih, Us}ul al-Fiqh ataupun Qawa>‘id

al-Fiqhiyyah.

Di samping paradigma, faktor perbedaan masa kehidupan juga cukup

mempengaruhi pola pemikiran keduanya, di mana Natsir hidup pada masa

kolonial dan pasca kolonial yang selalu berjuang memerdekakan bangsa ini

melalui jargon Islam. Sedangkan gagasan dan perjuangan Gus Dur dihadapkan

pada masa 1980-an, pasca kolonial. Namun demikian, apa yang dihadapi Gus

Dur tentang wacana keislaman sebenarnya juga masih banyak diwarnai

wacana-wacana keislaman di masa Natsir hidup.

cxli

Page 141: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Perbedaan paradigma dan masa itulah yang kemudian melahirkan

polarisasi aliran, antara modernisme dan neo-modernisme. Gerakan

modernisme di Indonesia lahir sejak tahun 1912-an, sebagai salah satu respon

intelektual terhadap berbagai persoalan aktual modern yang secara umum

menempatkan Islam pada posisi dilematis, antara keharusan menyesuaikan diri

dengan perubahan arus modernitas atau menegaskan diri sebagai agama secara

eksklusif.

Modernisme Islam mempunyai kecenderungan kuat untuk mengembalikan

kejayaan dan keunggulan Islam atas partai atau peradaban yang lain, dengan

cara memperbaharui doktrin-doktrin sesuai dengan tuntutan zaman. Secara

teoritis gerakan ini cenderung eksklusif karena dasar argumentasinya lebih

ditekankan pada sumber Syari‘ah yang absolut, al-Qur’an dan sunnah.

Lain halnya, dengan pemikiran neo-modernisme Islam, yang baru lahir

pada masa 1970-an. Kalangan ini cenderung akomodasionis dalam merespon

tradisionalisme dan modernisme. Menurutnya, sikap modernitas seharusnya

tidak menggantikan sama sekali nulai-nilai lama dengan nilai-nilai baru,

seperti apa yang diungkapkan oleh mayoritas kalangan modernis Islam saat

ini, melainkan bahwa antara tradisi dan modernitas harus dilihat sebagai

proses kontinuitas.

Sedangkan untuk mengelaborasi wacana pemikiran Islam semacam ini,

bagi mereka penggunaan metodologi fiqh atau Qawa>‘id al-Fiqh

transformatif lebih cocok daripada memakai konsep tauhid yang cenderung

dogmatis. Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa gagasan modern yang mereka

cxlii

Page 142: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

tawarkan bukan berarti anti tradisionalisme sama-sekali, seperti apa yang

tertulis dalam Qawa>‘id al-Fiqh.

األصلح ةالمحافظـ بالجديد واألخذ الصالح القديم على

Selain kaidah di atas, masih banyak kaidah lain yang digunakan sebagai

upaya melaksanakan transformasi gagasan. Di antaranya,329 yaitu:

المصالح جلب على مقدم سد المفا درءالضرورة ةالحاجـ منزل تـنزل

المحظورة تبيح الضرورةSelanjutnya, Gus Dur menjelaskan bahwa apa yang ditawarkan kelompok

modernis, seperti legalisme (pemikiran keislaman yang telah dibakukan lewat

mazhab yang empat) baik dalam kerangka mazhab fiqih, maupun melalui

pembaharuan (pemurnian) ternyata malah tidak mampu menjawab tantangan

zaman. Ditambah lagi, over idealissasi Islam sebagai sistem kehidupan

alternatif tidak menunjukkan prospek yang baik, bahkan menjurus ke situasi

traumatik di masa depan.

Untuk itu, menurutnya perlu dibuat kerangka pemahaman kontekstualisasi

ajaran Islam dengan berdasarkan asas-asas sebagai berikut: 1) asas

menyeluruh. 2) asas keterbukaan. 3) asas kontinuitas sejarah. 4) asas

deinstitusionalisasi Islam, 5) asas depoloitisasi Islam. 6) asas kesejarahan 7)

asas pluralitas. 8) dan asas konvergensi.330

329 Abd al-Hamid Hakim, Ibid, II: 65.

330 Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 182.

cxliii

Page 143: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Beradasarkan uraian di atas dan bab-bab sebelumnya, bisa disimpulkan

bahwa antara M. Natsir dan Gus Dur sangat berbeda dalam memandang relasi

Islam dan negara, Natsir beranggapan bahwa agama dan negara tidak dapat

dipisahkan sebagai konsekuensi dari penolakannya atas paham sekular,

sebaliknya dengan Gus Dur, ia lebih mengarah pada paham sekular,

memisahkan agama dan negara, tetapi dengan tetap menjadikan nilai-nilai

agama sebagai motivasi bukan formalisasi dalam berbangsa dan bernegara.

Dan pandangan inilah, yang kemudian mempengaruhi sikap mereka dalam

menerima ideologi Pancasila. Bagi Gus Dur, meskipun Pancasila merupakan

hasil ijtihad manusia yang ditentukan oleh kondisi sosialnya, akan tetapi

konsep ini harus tetap dipertahankan demi kemaslahatan bangsa Indonesia

yang plural ini, sedangkan Natsir lebih memilih Islam sebagai ideologi negara

daripada Pancasila, karena dengan ideologi ini masyarakat akan terjamin

kehidupan beragama dan bernegaranya.331

Demikianlah persamaan dan perbedaan antara pemikiran M. Natsir dan

Gus Dur. Sebenarnya apa yang ingin penyusun tegaskan di sini adalah bahwa

pemikiran kedua tokoh di atas, sangat dipengaruhi oleh realitas sosial politik

di saat mereka hidup. Dan dari sisi inilah, yang kemudian melahirkan

klasifikasi pemikiran, yakni modernisme dan neo-modernisme. Untuk lebih

singkatnya bisa dilihat dalam tabel berikut ini.

331 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 114

cxliv

Page 144: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

PERSAMAAN

PEMIKIRAN

M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID

1. Islam adalah agama pembebasan (a liberating religion) yang membebaskan manusia dari segala bentuk eskploitasi dan diskriminasi.

2. Sebagai agama pembebasan Islam sepenuhnya kompatibel dengan demokrasi.

3. Demokrasi diterima sebagai sistem yang paling rasional dan realistik untuk mewujudkan masyarakat yang adil, egaliter, dan manusiawi sebagaimana yang diidealkan Islam.

4. Seorang pemikir dan praktisi politik yang terlibat langsung dalam lembaga kenegaraan.

5. Penggagas dan pendiri partai politik.

PERBEDAAN PEMIKIRAN

M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID

Perbedaan tentang M. Natsir Gus Dur

cxlv

Page 145: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

1. Basis pendidikan

2. Dasar paradigma pemikiran

3. Sifat pemikiran

4. Tipologi aliran pemikiran

5. Pandangan terhadap sistem nilai Islam

6. Sikap terhadap sekularisasi

7. Negara demokrasi yang dicita-citakan

8. Tujuan membela demokrasi

9. Pluralisme yang diterima

10. Penerapan ideologi Pancasila

11. Partai yang diperjuangkan

12. Fungsi politik

Pendidikan modern

Al-qur’an dan Hadits.

Islam ideologis

Modernisme

Islam sebagai sumber hukum yang lengkap

Negatif (menolak dengan tegas)

Thestic Democracy (Demokrasi yang tidak meninggalkan nilai-nilai ketuhanan)

Untuk melindungi Syari’ah

Pluralisme eksklusif

Menolak

Partai Islam

Pesantren tradisional

Konsep Fiqih Transformatif

Islam kultural

Neo-modernisme

Islam hanya salah satu unsur dalam bangunan kebangsaan yang ada

Afirmatif

Negara demokrasi yang utuh dan tidak ada unsur fundamentalismenya

Untuk melindungi pluralitas

Pluralisme inklusif

Menerima secara terbuka

Partai sekular

Gerakan moral

cxlvi

Page 146: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

C. Implikasi.

Pemikiran-pemikiran M. Natsir dan Gus Dur yang berkaitan dengan

wacana relasi Islam dan negara di atas, sudah pasti semakin menambah

khazanah pemikiran politik Islam di negara kita. Dan tentunya, pemikiran-

pemikiran tersebut membawa implikasi besar terhadap kehidupan politik

masyarakat Indonesia, khususnya bagi generasi muslim selanjutnya.

Untuk lebih jelasnya, penyusun akan membagi implikasi pimikiran kedua

tokoh tersebut menjadi dua aspek, yaitu implikasi yang bersifat institusional

(Institusional Implication) dan implikasi personal (Personal Implication).

Pertama, implikasi institusional, aspek ini lebih mengarah pada pemikiran

suatu lembaga organisasi atau partai politik saja, baik itu partai yang mereka

pimpin sendiri atau bukan. Kedua, implikasi personal, yang berarti pemikiran

mereka tidak hanya berimplikasi pada sebuah partai saja, tetapi juga terhadap

praktik dan pemahaman masyarakat dalam bernegara. Khususnya bagi

generasi pemikir politik masa sekarang.

Peran politik Natsir mulai diperhitungkan oleh khalayak umum, sejak

keterlibatannya dalam pembentukan partai Islam yang pertama kali di

Indonesia, Masyumi, sebuah partai Islam yang berhasil mengantarkannya ke

kursi birokrasi negara. Sebenarnya, keaktifan Natsir di partai ini sudah jelas

menunjukkan bahwa manuver dan pemikirannya memang bersifat idealistik.

Kegigihannya dalam memperjuangkan Islam melalui dakwah politiknya,

banyak mengundang simpati para kalangan modernis Islam Indonesia.

cxlvii

Page 147: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Manuver dan pemikiran politiknya sampai saat ini masih tetap mendapat

tempat istimewa di kalangan generasi muslim modernis abad 20-an ini,

bahkan lebih dari itu, tampaknya generasi yang terinspirasi ini, tidak hanya

mengaguminya namun juga mengembangkan ide dan perjuangan politiknya

melalui gerakan dan partai Islam yang sama sekali baru.

Implikasi Pemikiran M. Natsir

Dari sisi institusional, ide-pemikiran M. Natsir ini sangat mempengaruhi

karakter partai dan organisasi muslim modernis Indonesia, di antaranya

Masyumi, Parmusi (Partai Muslim Indonesia), PBB dan DDII. Dalam

pandangan Natsir dakwah merupakan sarana yang cukup efektif dalam

memperjuangkan ajaran dan kepentingan politik umat Islam Indonesia,

bahkan ia menganjurkan umat Islam untuk menggunakan politik sebagai

media dakwah umat.

Pemikiran-pemikiran Natsir disambut baik oleh kalangan modernis

muslim Indonesia, sebab spirit pesan yang disampaikannya sama-sama

bertujuan mengembalikan kejayaan Islam, yakni dengan cara menerapkan

pembaharuan pemikiran-pemikiran Islam klasik dan kemudian dipadukan

dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern.

Pada zaman orde lama, pemikiran Natsir banyak mempengaruhi visi dan

strategi partai politik Masyumi yang dibubarkan Soekarno, selain disebabkan

keterlibatannya sebagai pendiri yang sekaligus pemimpin partai selama 5 kali

berturut-turut. Ia juga tertarik lantaran platform partai ini sangat cocok dengan

ide perjuangannya yang menurutnya sebagai representasi kelompok Islam.

cxlviii

Page 148: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Dan salah satu cita-cita partai yang sesuai dengan ide pemikirannya yaitu

mentransformasikan hukum Islam menjadi hukum nasional.

Sebagai tokoh politisi Islam modernis, ia mencoba memadukan ilmu

pengetahuan modern dengan ajaran-ajaran Islam yang kemudian

diaplikasikannya sesuai dengan keadaan masyarakat setempat. Keinginannya

untuk memasukkan nilai-nilai dasar Islam dalam institusi negara inilah yang

kemudian menggerakkannya untuk tetap konsisten mempertahankan dan

memperjuangkan misi partai Islam yang bercorak modern di atas

(Masyumi).332

Tampak jelas, bahwa cita-cita dan pemikiran Natsir mempunyai pengaruh

yang besar terhadap misi perjuangan partai Islam ini. Meskipun partai

Masyumi sebelumnya merupakan partai Islam yang terdiri dari berbagai aliran

Islam (fundamentalis, tradisionalis dan modernis), namun pada perkembangan

selanjutnya partai ini lebih didominasi oleh pemkiran-pemikiran kelompok

Islam modernis.

Selanjutnya pada masa orde baru, politik Islam masih saja menemui jalan

buntu. Selain dibatasi ruang geraknya, ia juga ditempatkan sebagai kelompok

yang berhaluan ekstrem kanan333 serta dinilai berpotensi melahirkan

kekacauan nasional karena berupaya mendirikan negara Islam di tengah

masyarakat yang plural, sehingga pada proses selanjutnya politik Islam

332 Untuk mengetahui visi dan misi partai Masyumi bisa dilihat dalam karyanya Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme.

333 Istilah ekstrem merupakan stigma politik yang dilontarkan negara terhadap kelompok tertentu, ektsrem kanan untuk partai Islam (Masyumi) dan ekstrem kiri untuk partai komunis (PKI).

cxlix

Page 149: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

seringkali menerima intimidasi, pengekangan dan pengkebirian hak politiknya

oleh negara.

Sikap negara yang memusuhi politik Islam ini, tampaknya membuat

mantan aktivis Masyumi harus memilih jalan lain, yakni dengan membentuk

sebuah partai politik yang sama sekali baru, tetapi idealisme dan semangat

Masyumi diharapkan tetap mengalir di dalamnya. Akhirnya dengan jalan

penuh liku negara mengizinkan pembentukan partai ini, asalkan pemimpin

dan penggiat partai Masyumi dicoret dari daftar kepemimpin, sehingga pada

tanggal 20 Februari 1968 lahir “Partai Muslimin Indonesia” (Parmusi) di

bawah pimpinan Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun, dua pegiat

terkemuka dari Muhammadiyah.334

Selain di Masyumi dan Parmusi, pemikiran M. Natsir juga masih banyak

mempengaruhi peta politik Islam saat ini, khususnya PBB (Partai Bulan

Bintang). Partai ini bukan hanya lahir karena dorongan eforia politik pasca

reformasi 1998, akan tetapi juga mempunyai perjalanan sejarah yang lebih

panjang, yakni dari masa politik orde lama, orde baru dan sampai sekarang

masa reformasi.

Sejatinya secara historis, embrio lahirnya partai ini telah dirintis oleh

tokoh-tokoh Islam terkenal, seperti Dr. H. M. Natsir, K.H. Masykur, K.H.

Rusli Abdul Wahid dan Prof. Dr. H.M. Rosjidi yang sebelumnya bergerak

dalam satu wadah yang dinamai dengan Forum Ukhuwah Islamiyyah (FUI).

FUI didirikan pada tanggal 17 Agustus 1989, pendiriannya dilatarbelakangi

oleh keprihatinan para pemuka muslim tersebut, atas gencarnya gerakan

334 Bahtiar Efendy, Islam dan Negara (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 113-115.

cl

Page 150: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

tans}iriyyah (kristenisasi) dalam merongrong akidah umat Islam Indonesia

selama rezim Orde Baru berkuasa.335

Pada mulanya Partai Bulan Bintang akan diberi nama “Partai Politik Islam

Masyumi” oleh tim perumus partai ini. Namun keinginan itu diurungkan

karena beberapa alasan. Pertama, tokoh-tokoh Masyumi di masa lalu dikenal

integritas pribadinya yang tak tebantahkan, sehingga generasi baru yang akan

memimpin partai ini dikhawatirkan akan sangat berat menanggung beban

moral apabila tidak mampu menjaganya, dan akibatnya akan mencoreng nama

baik Masyumi. Kedua, selama ini penyebutan keluarga besar Bulan Bintang

pun identik dengan keluarga Masyumi.336

Dari uraian-uraian tersebut bisa dipahami, bahwa pemikiran M. Natsir

secara institusional mempunyai implikasi besar terhadap pembentukan partai-

partai Islam di atas, di antaranya Masyumi, Parmusi, dan PBB. Meskipun

masih banyak organisasi lain yang juga terpengaruh oleh pemikirannya,

seperti DDII, FUI, Persis dan lain sebagainya.

Di antara implikasi yang sangat menonjol dari partai-partai Islam itu

adalah semangat juangnya yang selalu menjadikan prinsip-prinsip Universal

Islam itu sebagai rujukan dalam memecahkan masalah-masalah masyarakat

dan negara seperti kemiskinan, ketimpangan sosial ekonomi, sistem

kenegaraan, dan simbiosisme antara agama dan negara dan seterusnya. Selain

itu labelisasi Islam sebagai asas partai ini tidak pernah mereka tinggalkan.

335 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik: Pasca-Soeharto, cet. ke-1 (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2003), hlm. 61

336 Ibid., hlm. 65. untuk lebih lengkapnya mengenai proses pembentukan PBB didasarkan pada buku Hasil Mukernas I Partai Bulan Bintang (Jakarta: DPP PBB, 1999)

cli

Page 151: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Sehingga tidak aneh kalau kelompok ini sangat kritis dan selektif terhadap

pemikiran Barat, sebagaimana yang ditunjukkan Natsir sebelumnya.

Sedangkan dari aspek personal, pemikiran Natsir ini juga cukup

berpengaruh pada generasi intelektual muslim Indonesia zaman sekarang. Ini

terlihat dalam pemikiran-pemikiran tokoh muslim modernis seperti Amien

Rais, Nurcholish Madjid, dan Yusril Ihza Mahendra. Meskipun tidak

sepenuhnya mereka sama dalam memahami relasi Islam dan negara, akan

tetapi ada masalah-masalah tertentu yang membuat mereka terkesan Natsiris

dalam mengkomunikasikan gagasan-gagasannya.

Sebagai tokoh pembaharu Muhammadiyah, Amien Rais sangat apresiatif

dengan pemikiran-pemikiran Natsir sepanjang sejarah perpolitikan bangsa ini,

baik itu yang berkaitan dengan masalah kenegaraan maupun keagamaan.

Apalagi mengingat figur tokoh Islam Indonesia yang sangat dikagumi Amien

ketika muda adalah M. Natsir, oleh sebab itu tidaklah berlebihan kalau Cak

Nur mengatakan : “Dia itu sangat Natsiris”.337 Ini terlihat dari sikap kritisnya

terhadap Barat dan kecintaannya terhadap umat Islam.

Lebih khusus, Amien cenderung anti terhadap Orientalisme dan

sekularisme. Dalam analisanya, umat Islam dunia sengaja dipisahkan dari

ajaran-ajarannya oleh hegemoni Barat, yakni dengan cara imprerialisme baru,

melakukan proses peng-alienasian masyarakat Islam dari agamanya dan

meracuninya dengan pemikiran-pemikaran Barat (Westoxication), yang

337 Dedy Djamaluddin Malik dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 112.

clii

Page 152: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

mengakibatkan umat Islam terjangkit penyakit Westomania, sejenis penyakit

jiwa yang menganggap Barat adalah segala-galanya.338

Selanjutnya, ia berpendapat bahwa antara agama dan negara adalah saling

bersatu yang berarti satu sama lainnya tak bisa dipisahkan, oleh sebab itu ia

dengan tegas menolak ide sekularisme, baik itu sekulerisme moderat ataupun

radikal. Dari uraian-uraian tersebut tampak jelas bahwa pengaruh Natsir

dalam pemikiran Amien sangatlah besar.339

Berbeda dengan Nurcholis Madjid, yang justu menggagas wacana

sekularisme di tahun 1980-an. Namun demikian, sewaktu muda Cak Nur juga

pernah menyandang gelar sebagai “Natsir Muda”. Hal ini disebabkan inovasi

pemikirannya yang dirasa sesuai oleh kaum Islam modernis yang lebih tua

saat itu,340 bahkan selama masih menjadi mahasiswa Cak Nur secara luas

dianggap sebagai generasi penerus spritual M. Natsir.341

Selain Amien Rais dan Nurcholis, Yusril Ihza Mahendara juga sangat

dikenal sebagai kader penerus gagasan-gagasan M. Natsir. Ini terlihat

bagaimana ia memperjuangkan aspirasi partai yang dipimpinnya, yakni PBB

(Partai Bulan Bintang) yang sampai saat ini masih eksis mempertahankan

Islam sebagai asas dasar partainya.

338 Amien Rais, “Beberapa Catatan Kecil tentang Pemerintahan Islam”, dalam Cakrawala Islam, hlm. 36

339 Ibid., hlm. 123. baca juga, Dedy Djamaluddin Malik dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 113.

340 Akan tetapi harapan kalangan Modernis untuk menjadikan Cak Nur sebagai generasi penerus M. Natsir kemudian pupus, karena pemikiran Cak Nur yang saat itu dianggap mereka kelewat liberal, sekuler dan bahaya (tidak berdasarkan informasi yang cukup). Secara pribadi M. Natsir merasa kecewa dan marah terhadap Cak Nur yang sudah dianggap sebagai anak asuhnya sendiri itu.

341 Greg Barton, Islam dan Modernitas, dalam tulisannya, Biografi Gus Dur, hlm. 137.

cliii

Page 153: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Implikasi Pemikiran Gus Dur

Secara institusional, pemikiran Abdurrahman Wahid cukup mewarnai

manuver politik NU. Meskipun secara lahiriyah NU merupakan organisasi

sosial akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa sense natural politiknya selalu

muncul di tengah-tengah kemelut politik bangsa ini. Hal ini bisa dilihat dari

sejarah perjuangannya, pada tahun 1978-an NU yang saat itu masih berafiliasi

dengan PPP, dituduh oleh rezim Orde Baru sebagai embrio gerakan anti

Pancasila.

Tuduhan itu diangkat dari tindakan protes dan walk out para tokoh NU

dari sidang MPR yang membahas tentang rancangan ketetapan P4. Menurut

Sidney Jones NU adalah Organisasi Sosial terbesar di negara ini yang masih

memiliki aspirasi-aspirasi politis. Dan pada tahun 1971 ia menolak untuk

mematuhi pedoman-pedoman Orde Baru tentang prilaku Politik, kemudian

pada tahun 1981 NU juga menolak mendukung Soeharto untuk menjabat

kembali atau memberinya gelar “Bapak Pembangunan”.342 Prilaku inilah yang

membuat NU menjadi sasaran tuduhan anti Pancasila oleh rezim Soeharto.

Lebih lanjut, ditegaskan dalam pidato presiden Soeharto pada Rapim

ABRI 1980 di Pekanbaru. Soeharto memperingatkan untuk tidak mencoba

mengubah Pancasila atau UUD 1945, ia mengingatkan “walk out” (walau

tidak menyebut NU) sebagaimana yang dilakukan ketika pembahasan masalah

P4 pada tahun 1978 adalah salah satu contoh gerakan anti-Pancasila yang

342 Douglas E. Ramage, Percaturan Politik, hlm. 56.

cliv

Page 154: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

harus diwaspadai.343 Ini menunjukkan kecemasan Soeharto terhadap gerakan

politik Islam.

Dalam perkembangan politik selanjutnya, NU yang saat itu sedang dipimpin Gus Dur semakin dinamis dan akomodatif dalam merespon kebijakan pemerintahan, ia menjadi aktor politik “nonpolitis” yang paling penting atau

yang biasa disebut dengan istilah NU kembali ke khittah 1926, dan tentu saja inisiatif ini dimaksudkan untuk menjaga independensi politik NU dari intervensi Soeharto.

Pemikiran liberal Gus Dur sangat berpengaruh dalam menentukan kebijakan Ormas Islam ini, meskipun ada juga beberapa pemimpin NU terkemuka yang tidak sepakat dengan pemikirannya, di antaranya para Kyai dan tokoh senior NU, termasuk pamannya, Yusuf Hasyim, yang seringkali menentang inisiatif dan pernyataan-pernyataannya. Untuk itu, implikasi pemikiran Gus Dur terhadap NU ini tampaknya harus

dilihat dari aspek nasionalisme dan Islam .NU menurut Gus Dur, mempunyai akar fondasi nasionalis yang kuat sebagaimana yang telah dikatakan bapaknya (Wahid Hasyim) bahwa ia bersedia mendukung suatu negara nasionalis non-Islami. Selain itu, Gus Dur juga sering menekankan aspek-aspek nasionalis NU. Misalnya, dalam sebuah pidato penting kepada anggota-anggota NU pada tahun 1992, ia mengingatkan bahwa penerimaan NU kepada Pancasila bisa diterima karena beberapa

alasan.Dia menjelaskan bahwa pada tahun 1945 Soekarno meminta nasihat para

pemimpin NU, termasuk bapaknya untuk membantu Soekarno merumuskan

lima asas Pancasila. Lebih dari itu, Gus Dur menyatakan bahwa sebenarnya

tidak ada kontradiksi antara Islam dan nasionalisme, karena Islam tetap bisa

343 Ibid., hlm. 58.

clv

Page 155: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

berkembang dalam suatu negara nasionalisme yang tidak didasarkan pada

Islam resmi.344

Akibat dari pemikirannya yang bisa dikatakan nasionalis-Islam, Akhirnya

pada tahun 1983 Nahdlatul Ulama menjadi Ormas Islam besar pertama yang

menerima Pancasila dalam Anggaran Dasarnya, yang kemudian dipertegas

kembali pada Muktamar ke 27-1984 di Situbondo Jawa-Timur bahwa

Indonesia adalah negara yang didasarkan Pancasila, dan UUD 1945 adalah

merupakan “Bentuk Final dari Negara” yang akan memerintah kepulauan

Indonesia. Dan yang perlu diingat bahwa Pernyataan tersebut ditegaskan di

tengah-tengah iklim politis yang saat itu benar-benar dalam keadaan memanas

antara Islam dan negara, yakni pasca peristiwa Tanjungpriok dan

pengeboman di Jakarta.345

Sebenarnya yang mengeluarkan inisiatif kompromi Pancasila di atas adalah Kyai Ahmad Shidiq346 (almh) dan Gus Dur sendiri dalam membentuk dwitunggal yang bertangung jawab bagi transformasi dan revitalisasi NU sebagai basis kekuatan Islam yang pluralis dan neomodernis. Sebelumnya Ahmad Shidiq pernah menjelaskan bahwa NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal karena merupakan hasil filsafat

manusia, sementara Islam merupakan wahyu Tuhan.

344 Ibid., hlm. 94-95.

345 Ibid., hlm. 97.

346 Kyai Ahmad Shidiq adalah sosok Kyai kharismatik yang sangat dihormati di kalangan NU, sikap dan manuver politiknya membuat NU yang sebelumnya sering dicurigai menjadi lebih bisa diterima oleh negara.

clvi

Page 156: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Selain berimplikasi di NU, pemikiran Gus Dur juga banyak

mempengaruhi visi dan misi PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang ia

pelopori sendiri. Maka tidaklah mustahil kalau PKB selama ini tetap

menempatkannya sebagai Dewan Pertimbangan Penting di partai ini. PKB

dipelopori oleh K.H. Ilyas Ruchiyat, K.H. Munasir Ali, K.H. Mustofa Bisri,

K.H. Muchit Muzadi, dan K.H. Abdurrahman Wahid.347

Melihat komposisi dari para pelopor di atas, sangatlah absurd kalau PKB

tidak terkait sama sekali dari kepentingan NU, sebab sebagian besar yang

membidani pembentukan partai ini adalah dari kalangan Kyai NU, ditambah

lagi Gus Dur yang saat itu sebagai Ketua Umum PB NU, meskipun masih

juga terdapat pro-kontra dalam pembentukannya. Pembentukan PKB

merupakan upaya jalan tengah warga NU untuk berjuang di garis struktural

politik, dengan seraya melakukan gerakan kultural melalui NU yang tetap

dipertahankan sebagai organisasi sosial keagamaan (Jam‘iyah Diniyyah)

seiring dengan perubahan yang terjadi di pentas nasional.

Kekonsistenan pemikiran para tokoh NU, termasuk Gus Dur, masih tetap

bertahan dalam memberlakukan Pancasila sebagai asas tunggal di era

reformasi ini, meskipun saat itu rezim Orde Baru telah jatuh dan eforia politik

Islam sedang mendapatkan kebebasannya. Di lain kesempatan, Gus Dur yang

saat itu didampingi oleh Matori Abdul Djalil pernah menyatakan, bahwa PKB

bukanlah partai Islam dan merupakan partai yang menginginkan negara

sekuler.348

347 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik, hlm. 113.348 Bahrul Ulum, dkk., Bodohnya NU Apa NU Dibodohi, hlm. 136.

clvii

Page 157: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Dari sini bisa dilihat seberapa jauh implikasi pemikiran Gus Dur terhadap

strategi perjuangan partai ini. Sebagaimana uraian di atas bahwa implikasi

pemikiran Gus Dur ini tidak lepas dari aspek nasionalisme dan Islam, yang

keduanya itu tampak dalam AD/ART PKB yang menjadikan Pancasila

sebagai asas partai.349 Mengenai dipilihnya nasionalisme dan demokrasi yang

dijadikan landasan dasar PKB daripada dasar agama, Gus Dur mengatakan

bahwa PKB mengutamakan kepentingan nasional.350

PKB senantiasa mengutamakan substansi Hukum Islam melalui Hukum

Nasional dan bukan mengutamakan simbol-simbol formal keagamaan, karena

Republik Indonesia adalah sebuah negara dengan kepentingan-kepentingan

nasional dan bukan sebuah negara agama.351 Sedangkan dari sisi Islamnya,

bagi Gus Dur bukan berarti karena PKB tidak mengusung simbol-simbol

Islam kemudian dikatakan partai yang tidak Islami.

Dalam kaitan ini Gus Dur mengatakan:

“Tidak penting bagi PKB berasaskan Islam. Yang penting PKB adalah Partai Islam. Banyak partai yang berasaskan Islam, tapi mereka main tipu, main curang dan tidak berakhlak Islami. Islam hanya dijadikan mereknya saja. Jadi, parpol berasaskan Islam tidak bisa dibuat jaminan. Dan PKB tidak mementingkan mereknya, tapi isinya.352

“Akhlak dari Tauhid PKB adalah Islam. Daripada parpol yang berasas Islam tapi tidak Islami, maka lebih baik seperti PKB, asas bukan Islam, tetapi kelakuan dan tauhidnya orang Islam.353

Penegasan bahwa PKB merupakan Partai Islam dengan corak keislaman

yang substantif dapat ditemukan pula dalam Prinsip Perjuangan Partai yang 349 Lihat, Anggaran Dasar PKB BAB III pasal 3

350 Bahrul Ulum, dkk., Bodohnya NU Apa NU Dibodohi, hlm. 140.

351 Abdurrahma Wahid, PKB, “Syariah dan Negara Sekuler”, dalam tulisannya, Mengurai Agama dan Negara, hlm. 352-353.

352 Republika, 27 Mei 1999. baca juga, Zainal Abidin Amir, Peta Politik Islam, hlm. 114.353 Jawa Pos, 29 Mei 1999.

clviii

Page 158: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

menyatakan: “pengabdian kepada Allah S.W.T., menjunjung tinggi

kebenaran, menegakkan keadilan, menjaga persatuan, menumbuhkan

persaudaraan dan kebersamaan sesuai dengan nilai-nilai Islam Ahl as-

Sunnah wa al-Jama‘ah”.354 Walaupun kekentalan PKB dengan aspek

Islam sedemikan rupa, akan tetapi dalam kenyataannya tetap tidak membuat

partai ini tergoda untuk menegaskan dirinya sebagai partai Islam.

Pemikiran-pemikiran Gus Dur tampaknya banyak mewarnai perjuangan

PKB, di mana sebuah partai yang nota bene berbasiskan muslim santri

pedesaan ternyata mampu membuat mereka (konstituennya) menerima

pendekatan partai yang bersifat nasionalis atau Islam-kultural dibanding

Islam-formal. Pemakaian Pancasila sebagai asas partai dilandasi oleh cara

pandang tokoh PKB dalam melihat Islam, mereka meyakini bahwa Islam

tidak perlu dilembagakan secara formal, tetapi yang penting adalah nilai

ajaran Islam harus tercermin dalam kehidupan sehari-hari.355

Selain dari aspek institusional di atas, pemikiran Gus Dur juga mempunyai implikasi yang bersifat personal terhadap tokoh-tokoh politik dan pemikir Indonesia, Alwi Shibab merupakan salah satu politisi sekaligus akademisi yang sedikit banyak mempunyai persamaan visi dan misi dengan Gus Dur dalam memandang “relasi agama dan negara”, sebagaimana yang sering dikatakan Gus Dur mengenai demokrasi, Alwi juga menandaskan agama idealnya dapat

354 Anggaran Dasar PKB BAB III pasal 4.

355 Zainal Abidin Amir, Peta Politik Islam, hlm. 114.

clix

Page 159: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

mendorong proses demokratisasi bukan malah menjadi alat legitimasi politik.356

Dan istimewanya lagi ia dinilai mampu menerjemahkan pola pemikiran Gus Dur, sehingga banyak kalangan yang menganggap kedua tokoh ini merupakan duet yang ideal.357 Di samping itu, ia juga dikenal sebagai politisi yang mengedepankan etika dan moralitas. Mengenai visi dan misinya dalam PKB, ia menyatakan bahwa partai ini merupakan partai terbuka dan inklusif yang bercita-cita mewujudkan masyarakat bermoral, bukan membentuk sebuah

negara yang berdasarkan Syari‘at Isla>m.358

Menurutnya, apabila Masyarakat telah menerapkan moralitas tentunya akan membentuk negara yang bermoral pula. Bukan bentuk, sistem atau asas yang diutamakannya, tetapi yang terpenting adalah usaha untuk menanamkan substansi dan essensi Islam dalam menciptakan masyarakat yang beradab.359 Lebih lanjut, Alwi mengatakan bahwa agama dan demokrasi juga sangat berkaitan, karena nilai-nilai substansi tersebut telah mendukung proses demokrasi, di antaranya yaitu keadilan, pemerataan, dan persamaan. Sekali lagi, ia menegaskan bahwa tujuan Islam adalah menciptakan masyarakat yang bermoral bukan menciptakan negara agama karena hanya akan memecah belah keutuhan

356 Alwi Shihab, Mengemban Tuntutan Jaman, cet ke-1 (Yogyakarta: Wahyu Pustaka, 2000), hlm. 60.

357 Kompas Harian Amanat Rakyat, PKB Rekrut Nur Mahmudi juga Tokoh-tokoh Muhammadiyah, Selasa, 4 Februari 1999.

358

? Alwi Shihab, Mengemban Tuntutan, hlm. 60.359

? Ibid.

clx

Page 160: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

bangsa saja, maka ide semacam itu harus ditinggalkan.360

Saat ini Alwi Shihab menjabat sebagai Ketua Umum PKB, kehadirannya dalam dunia politik patut diperhitungkan oleh kawan dan lawan politiknya. Di samping itu, sebelum mejabat Ketua Umum PKB Alwi juga sempat menjadi Menteri Luar Negeri Indonesia di era kepresidenan Gus Dur. Persamaan visi dan misi membuatnya dekat dengan Gus Dur, bahkan karena kedekatannya ia diangap sebagai loyalis Gus Dur. Maka tak heran kalau dia kelihatan cukup fasih dalam membahasakan kebijakan Gus Dur seperti hubungan dagang dengan Israil. Namun demikian bukan berarti pembelaannya ini hanya disebabkan kedekatannya dengan Gus Dur semata, tetapi karena secara argumentatif memang ada nilai-

nilai positif baginya.361

Sebenarnya Karier politik Alwi lebih dilatarbelakangi dari jalur akademisi daripada organisasi, sebab sebelum terjun di dunia politik praktis, Alwi adalah seorang pengajar Islamic Studies di Harvard Divity School dan di Auburn Theological Seminary of New York. Namun demikian, sikap dan pemikiran politisnya yang elegan tersebut membuatnya bisa diterima oleh kalangan organisatoris tokoh NU dan PKB dan terpilih sebagai Ketua Umum

PKB.

360 Ibid., hlm. 62

361 http://www.tokohindonesia.com, Dr. Alwi Shihab Kandidat Wakil Presiden 2004, 11 Desember 2003.

clxi

Page 161: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Mengenai eksistensi agama di Indonesia, penulis buku inclusive Islam (1997) ini, tidak jauh berbeda dengan pemikiran Gus Dur. Baginya Islam adalah agama rah}matan li al-‘alami>n, jadi tidak perlu menggunakan kekerasan dalam mendakwahkan ajaran, seperti yang dilakukan kalangan Islam Radikal. Dalam acara silaturrahmi warga NU dan PKB di Jember, Alwi Shihab meminta pada seluruh umat Islam Ahl as-Sunnah wa al-Jama‘ah untuk berhati-hati terhadap berkembangnya Islam radikal, menyusul banyaknya pengeboman yang dilakukan Islam radikal itu. Dan katanya, kita adalah satu-satunya partai yang memiliki otoritas keagamaan yang dapat menkounter

radikalisme ini.362

Untuk itu, ia juga sepakat kalau Syari‘at Isla>m tidak perlu diundang-undangkan di negara ini, karena hanya akan memicu disintegrasi bangsa yang plural ini. Selain itu, meskipun Islamlah yang mayoritas di negara ini, namun dalam kenyataannya tidak semua orang Islam Indonesia mengerti dan menjalankan ‘Aqidah dan Syari‘ah-nya. Lalu apakah harus dipaksa? Padahal Islam dalam mensyiarkan Syari‘ah-nya itu selalu bertahap dan disesuaikan

dengan kemampuan manusia itu sendiri.363 Selain Alwi Shihab, banyak generasi muda NU yang saat ini masih terus mencoba mengembangkan pemikiran-pemikiran Gus Dur, baik dalam memahami agama maupun negara (politik). Salah satunya adalah Ulil Abshar Abdalllah, ia dikenal sebagai intelektual

362 Ibid.

363 Ibid.

clxii

Page 162: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

muda yang sangat kontroversial di kalangan NU, meskipun ia tidak akrab dengan dunia politik praktis tetapi kekritisannya mengenai intervensi negara terhadap agama menyegarkan kembali pemahaman wacana Islam di negara kita yang cenderung membeku

baginya.Saat ini Ulil menjabat sebagai Direktur JIL (Jaringan Islam Liberal) di Jakarta, sebelumnya ia aktif di LAKPESDAM NU. Pemikirannya sempat mengundang reaksi keras para tokoh Islam Indonesia yang tergabung dalam FUI, yang sampai mengeluarkan fatwa hukuman mati untuknya. Sebenarnya ada beberapa pokok pikiran Ulil yang secara essensial sama dengan pemikiran Gus Dur, seperti Pribumisasi Islam, Islam kontekstual, dan

Islam Universal .Beberapa pemahaman yang menurut Ulil perlu disegarkan kembali, di

antaranya yaitu:364 Pertama, penafsiran Islam yang non literal, substansial dan

sesuai dengan peradaban manusia yang selalu berubah. Kedua, pemisahan

unsur-unsur budaya lokal dan nilai fundamental dalam ajaran Islam, artinya

kita harus membedakan mana ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh

kultur Arab dan yang bukan. Misalnya, masalah jilbab, potong tangan, rajam,

jenggot, Jubbah dan ekspresi budaya arab lainnya. Bagi Ulil budaya semacam

itu tidak wajib diikuti, karena itu hanyalah ekspresi lokal partikular Islam

Arab saja, justru yang wajib diikuti adalah nilai universal yang melandasi

praktik-praktik itu.

364 Ulil Abshar Abdalla, dkk., Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, dalam tulisannya, Islam Liberal dan Fundamental: Sebuah Pertarungan Wacana, cet. ke-2 (Yogyakarta: eLSAQ, 2003), hlm. 2.

clxiii

Page 163: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Ketiga, perlu adanya pemisahan yang jelas antara kekuasaan politik dan

agama. Bagi Ulil agama adalah urusan pribadi, sedangkan pengaturan

kehidupan publik adalah sepenuhnya hasil konsesi masyarakat melalui

prosedur demokrasi. Meskipun demikian nilai-nilai universal agama365 tetap

diharapkan partisipasinya dalam membentuk nilai-nilai publik.

Dalam wawancara yang dilakukan majalah Gatra, mengenai tuntutan

pemberlakuan syariat Islam oleh negara. Ulil mengatakan bahwa Islam

sebagai agama adalah masalah privat.366 Oleh sebab itu menurutnya, Islam

tidak perlu memformalkan Syari‘at Isla>m karena hanya akan melibatkan

peran negara (publik) secara penuh terhadap kehidupan beragama kita

(privat), dan kemungkinan yang lebih parah lagi adalah terjadinya

penyempitan pemahaman dan penyeragaman umat Islam dalam beragama,

padahal perbedaan itu sendiri adalah sunnatullah.

Selanjutnya ia mengkritik secara tegas terhadap cara pandang yang

menyebutkan Islam adalah agama dan negara, baginya agama haruslah

dipisahkan dari peran negara sebagaimana yang ia uraikan di atas, agar

kesucian agama tetap terjaga.367 Hal ini sesuai dengan apa yang Gus Dur cita-

citakan selama ini bahwa umat Islam tidak harus menjadikan Islam sebagai

merk atau label belaka, akan tetapi lebih ditekankan pada nilai-nilai

365 Yang dimaksud nilai-nilai universal agama adalah prinsip-prinsip umum universal yang dalam tradisi pengkajian hukum Islam klasik disebut Maqa>s}id al-Syari’ah atau tujuan umum syari’at Islam. Di antaranya yaitu perlindungan atas kebebasan beragama, akal, kepemilikan, keluarga/keturunan, kehormatan dan lain sebagainya.

366 Majalah GATRA, Tafsir Agama Pemicu Fatwa, no. 05, 16 Desember 2002. Baca juga Ulil Abshar Abdalla, dkk., Ibid., 206.

367 Majalah TEMPO, Fatwa Itu Lemah Tapi Menghawatirkan, no. 42, 22 Desember 2002.

clxiv

Page 164: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

substansinya karena kita hidup di negara yang sangat plural agama dan

budayanya, dan tentunya sangat berbeda dengan tradisi Arab di sana.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan.

Dari uraian di atas, bisa dipahami bahwa secara historis kondisi sosial

politiknya M. Natsir dan Gus Dur memang berbeda, Akan tetapi secara

ideologis perjuangan dan cita-cita politik mereka masih terus mewarnai

clxv

Page 165: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

panggung politik Indonesia hingga saat ini. Hal ini bisa dilihat dari implikasi

pemikiran dan cita-cita mereka terhadap pemikiran politik Islam yang sedang

berkembang kini. Dan untuk lebih jelasnya, penyusun simpulkan sebagai

berikut:

1. Mengenai relasi Islam dan negara, meskipun secara teoritis

keduanya sepakat bahwa Islam tidak mempunyai sistem kenegaraan yang

baku, akan tetapi secara praksis aksi politik mereka berbeda. Menurut M.

Natsir, Islam dan negara adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan

(integratif), ia beranggapan bahwa urusan kenegaraan pada dasarnya

merupakan bagian integral Islam yang di dalamnya mengandung ideologi

atau falsafah hidup. Sementara menurut Gus Dur, antara agama dan negara

harus dipisahkan secara jelas fungsi wewenangnya (sekular), supaya tidak

terjadi pendistorsian. Dan seharusnya Islam hanya dijadikan sebagai etika

sosial saja dalam kehidupan bernegara, bukan sebagai landasan ideologi.

2. Secara normatif paradigma M. Natsir mengenai relasi Islam dan

negara di atas didasarkan pada salah satu ayat al-Qur’an yang berbunyi:

ون ليعبـد إال اإلنس و الجن ماخلقـت )٥٦ الذاريات( : وSedangkan paradigma Gus Dur didasarkan pada salah satu kaidah Usul

Fiqih yang berbunyi:

بالمصلحـ منوط الرعـية على اإلمام ةتصرفSelain dari aspek normatif tersebut, aspek sosio-historis juga sangat

mempengaruhi cita-cita politik mereka baik dari setting sosial maupun

aktivitas organisasinya. M. Natsir dibesarkan di lingkungan Islam

clxvi

Page 166: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

modernis, yang sudah banyak melakukan pembaharuan dan pemurnian

ajaran Islam. Sedangkan Gus Dur tumbuh besar di lingkungan Islam

tradisionalis, yang memegang teguh doktrin Islam klasik dengan

mengkontekskan pada tradisi atau budaya setempat.

3. Corak pemikiran politik M. Natsir dikategorikan sebagai kelompok

idealis dalam wacana politik Islam. Dan sebagai konsekuensinya,

pemikiran semacam ini banyak berimplikasi pada tokoh Islam modernis,

yang mereformasi doktrin-doktrin lama dengan tetap berlandaskan al-

Qur’an, akan tetapi tetap menolak keras paham sekular.

Sedangkan pemikiran politik Gus Dur dikategorikan sebagai kelompok

realis, yang cenderung moderat dalam merespon realitas sosial. Meskipun

berlatar belakang tradisionalis, akan tetapi pemikirannya cukup mewarnai

di kalangan Islam neo-modernis, sebuah kelompok yang afirmatif dalam

merespon sekulerisme, dan secara tegas menolak formalisasi agama.

B. Saran-saran.

Relasi Islam dan negara selalu mengalami ketegangan, dalam kehidupan

politik Indonesia, apalagi menjelang Pemilu baik di era orde lama ataupun

orde baru. Akan tetapi ketegangan itu telah mengalami metamorfosis di era

reformasi ini, karena aspirasi politik Islam sudah tidak dipasung lagi dalam

berpolitik praktis seperti mendirikan partai Islam.

clxvii

Page 167: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Selanjutnya, skripsi ini hanyalah salah satu cara bagaimana menyikapi

relasi Islam dan negara di Indonesia. Dan lebih menitik beratkan pada

perbedaan cita-cita ideologi negara yang kemudian penyusun hadapkan pada

dua tokoh, M. Natsir dan Gus Dur. Untuk itu masih banyak aspek lain yang

bisa diteliti oleh penyusun selanjutnya mengingat baru sebagian masalah

yang saat ini penyusun kaji dari pemikiran kedua tokoh tersebut. Di

antaranya mengenai demokrasi, sistem tata negara Islam, eksistensi partai

Islam di Indonesia dan pandangan mereka terhadap pemberlakuan Syari‘at

Isla>m.

Dan tentunya, berkaitan dengan skripsi ini penyusun mengharapkan

saran dan kritik para pembaca guna memperbaiki kesalahan atau kekurangan

yang ada. Selain itu penyusun sendiri sadar bahwa karya ini merupakan

buah pertama dari proses panjang pendewasaan intelektual penyusun,

sehingga masih sangat dimungkinkan jauh dari kesempurnaan.

BIBLIOGRAFI

I. Kelompok Al-Qur’an/Tafsir

Departemen Agama RI (pengawas), Al-Qur,an dan Terjemahnya, Madinah: tp, 26 Rajab 1415 H

II. Kelompok Fiqih/Usul Fiqih

clxviii

Page 168: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Madinah Dan Masa Kini, Jakarta, Bulan Bintang, 1992.

Dkk, Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.

Haikal, Muhammad Husein, al-Hukumat al-Islamiyyat, Mesir, Dar al-Ma'arif, 1983.

Khallaf, Abdul Wahab, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kairo, Dar al-Qolam, 1977.

---------------------------, Al-Siyasat as-Syari'at, AL-Qahirat: Dār al-Anshār, 1977.

Pulungan, J. Suyuthi, Fiqih Siyasah: ajaran, sejarah dan pemikiran, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997.

Sirry, A Mun’im, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, Surabaya, Risalah Gusti, 1996.

III. Kelo

mpok Buku Lain

Abdillah, Masykuri, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual

Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999.

Abdurrahman, Moslem, Islam Transformatif, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995.

Anggaran Dasar PKB.

Ahmad, Abd. Al-'Athi Muhammad, al-Fikr al-Siyasi Li al-Imam Muhammad Abduh, Mesir, al-Maiat al-Mishriyyat al-'Ammat li al-Kitab, 1978.

Ali, A. Mukti, Metode Memahami Agama Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1991.

Ali, Fachry & Bahtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Di Indonesia Masa Orde Baru, Bandung, Mizan, 1995.

----------------------------------------, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung, Mizan, 1990.

clxix

Page 169: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Amal, Taufiq Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung, Mizan 1989.

Amir, Zainal Abidin, Peta Islam Politik: Pasca-Soeharto, Jakarta, Pustaka LP3ES, 2003.

An-Nabhani, Taqiyuddin, Sistem Pemerintahan dan Realitas Doktrin, Sejarah dan Doktrin, Sejarah Empirik, Bangil, al-Izzah, 1996.

Anshari, Endang Saefuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekuler, tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1949-1959, Bandung, Pustaka Salman, 1981.

Azhar, Muhammad, Filsafat Politik Perbandingan Antara Islam dan Barat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997.

Azra, Azyumardi, dan Saiful Umam (ed), Tokoh dan Pimpinan Agama: Biografi Sosial Intelektual, Jakarta, Badan Litbang DEPAG RI dan PPM, 1998.

,---------------------Jaringan Ulama Timur Tengah Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung, Mizan, 1994.

---------------------, Pergolakan Politik Islam di Indonesia dari Fundamentalisme, Modernisme dan Post Modernisme, Jakarta, Paramadina, 1999.

Bakker, Anton & Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1999.

Barton, Greg, Biografi Gus Dur, The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta, LKiS, 2003.

----------------, Gagasan Islam Liberal Di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, alih bahasa Nanang Tahqiq, Jakarta, Paramadina, 1999, cet. 1.

Barton, Greg, dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan Nahdlatul Ulama Negara, Yogyakarta, LKiS, 1997.

Boland, B.J., The Struggle of Islam in Modern Indonesia, Hgue, Martinus Nijhoff, 1971 dan 1982.

Dkk, Andrrée Fillard, Gus Dur NU dan Masyarakat Sipil, Yogyakarta, LKiS, 1994.

clxx

Page 170: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Dkk, Anwar Haryono, Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001.

Dkk, Hasyim Wahid, Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangkitan Indonesia, Yogyakarta, LKiS, 1999.

Dkk, Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1992.

Dkk, Ulil Abshar Abdalla, Islam Liberal dan Fundamental: sebuah

Pertarungan Wacana, Yogyakarta, eLSAQ, 2003.

Effendy, Bahtiar, dan Fachry Ali, Merambah Jalan Baru Islam, Bandung, Mizan, 1986.

Effendy, Bahtiar, (RE) Politisasi Islam, Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, Bandung, Mizan, 2000.

--------------------, Islam dan Negara, Jakarta, Paramadina, 1999.

--------------------, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta, Paramadina, 1998.

Effendy, Djohan, The Contribution of The Islamic Parties to The Decline of Democracy in the 1950, makalah Confrense on Indonesia Democrasy, Monash University, 18 Desember 1992.

Enayat, Hamid, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad ke 20, Bandung, Pustaka, 1998.

Feillard, Andrée, NU vis-a-vis NEGARA: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, Yogyakarta, LkiS, 1999.

Gatra, No. 15, 16 Desesmber, 2002.

Hadi, Sutrisno, Metodologi Reseach, Yogyakarta, Andi Offset, 1989,

Hakim, Abd al-Hamid, as-Sulam, Jakarta, Sa’adiyah Putra, tt.

Hakim, M. Arief, Membangun Budaya Kerakyatan: Kepemimpinan Gus Dur dan Gerakan Sosial NU, Yogyakarta, Titian Ilahi Press.

Hamzah, K.H. Imron, dan Choirul Anam, Sebuah Dialog Mencari Kejelasan, Gus Dur diadili Kiai-kiai, Surabaya, Jawa Pos, 1989.

Hasil Mukernas I Partai Bulan Bintang, Jakarta, DPP PBB, 1999.

clxxi

Page 171: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Hatta, Memoir, Jakarta, Tintamas, 1978.

http://www.tokohindonesia.com, Dr. Alwi Shihab Kandidat Wakil Presiden 2004, 11 Desember 2003.

Hoesen, K.H. Ibrahim, Fiqih Siyasi Dalam Tradisi Pemikiran Islamik Klasik, Ulumul Qur'an, No.2 Vol.IV/1993.

Ida, Laode dan & Thantowi Jauhari, Gus Dur di antara Keberhasilan dan Kenestapaan, Jakarta, Rajawali Press, 1999.

Ismail, Faisal, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya,

1999.

Jawa Pos, Surabaya, 29 Mei 1999.Jaiz, Hartono Ahmad, Gus Dur Menjual Bapaknya, Bantahan Pengantar

Buku: Aku Bangga Jadi Anak PKI, Jakarta, Darul Falah, 2003.

Kreatif Islam dan Pancasila , Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999.

Kamaruzzaman, Relasi Islam Dan Negara: Perspektif Modernis Dan Fundamentalis, Magelang, IndonesiaTera, 2001.

Karim, A. Gaffar, Metamorfosis NU dan Politisasi Islam Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1995.

Karim, Muhammad Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999.

Kompas Harian Amanat Rakyat, PKB Rekrut Nur Mahmudi juga Tokoh-tokoh Muhammadiyah, Selasa, 4 Februari 1999.

Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung, Mizan, 1999.

Lewis, Bernard, Bahasa Politik Islam, Jakarta, Gramedia, 994.

Liddle, William, Media Dakwah Scripturalism: One Form of Islamic Political Thougt and Action in New Order Indonesia, kertas kerja tidak diterbitkan.

clxxii

Page 172: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Luth, Thoir, M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, Jakarta, Gema Insani Press, 1999.

Ma'arif, Ahmad Syafi'i, Islam dan Masalah kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta, LP3ES, 1996.

---------------------------, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi terpimpin 1959-1965, Jakarta, Gema Insani Press, 1996.

---------------------------, Peta Bumi Intelektualisme Islam Indonesia, Bandung, Mizan, 1995.

Mahendra, Yusril Ihza, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at I-Islami (Pakistan), Jakarta, Paramadina, 1999.

Mahendra, Yusril Ihza, Modernisme Islam dan Demokrasi: Pandangan Politik Natsir, Jurnal ISLAMIKA, No 13, 1994.

Malik, Dedy Djamaluddin & Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholis Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat, Bandung, Zaman Wacana Mulia, 1998.

Mangkusasmito, Prawoto, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan

Sebuah Refleksi, Jakarta, Hudaya, 1970.

Masdar, Umaruddin, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.

Maududi, Islamic Law and Constitution, Lahore, Islamic Publication, 1990.

MD, Moh. Mahfud, Konfigurasi Politik dan Hukum pada Era Orde Lama dan Orde Baru, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.

Mehden, Fred Den, Religion and Modernization in South East Asia Syracuse, Syracuse University Press, 1986.

Minhaji, Ahmad, Ahmad Hassan and Islamic Legal Reform in Indonesia (1887-1958), Yogyakarta, Kurnia Kalam Semesta, 2001.

Mitchel, Richard P., The Society of Muslim Brother, Oxford, Oxford Universuty Press, 1969.

Mochtar, Kustiniyati (peny), Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI, Jakarta, Gramedia, 1989.

clxxiii

Page 173: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Mudzhar, M. Atho', Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta, Titian Ilahi Press, 1998.

Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta, 1985.

Nasution, S, Sejarah Pendidikan Indonesia, Jakarta, Bumi Aksara, 1995.

Natsir, M, Capita Selecta, Jakarta, Bulan Bintang, 1973.

-----------, Agama Dan Negara Dalam Perspektif Islam, Jakarta, Media Dakwah, 2001, cet 1.

Noer, Deliar, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942, Singapura, Oxford University Press, 1973.

----------------, Gerakan Modern, Islam Di Indonesia 1900-1942, Jakarta, LP3ES, 1966.

----------------, Gerakan Modern, Islam Di Indonesia 1900-1942, Jakarta, LP3ES, 1982.

----------------, Islam, Pancasila dan Asas tunggal, Jakarta, Yayasan Perkhidmatan, 1983.

----------------, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965, Bandung, Mizan, 2000.

----------------, Partai-Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1987.

Poesponegoro, Marwati Djoenod, dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta, Departemen P&K, 1984.

Qutb, Sayyid, Khas}ais} al-Tasawwur al-Isla>mi wa Muqawwamatuhu, Kairo: Issa al-Babi al-Halabi wa Shuraka’uhu, 1962

Rahardjo, M. Dawam, Intelektual Intelegensia dan Prilaku Politik Bangsa: Risalah Cendikiawan Muslim, Bandung, Mizan, 1993.

Rahman, Budhy Munawar, Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta, Paramadina, 1995.

Ramage, Douglas Edward, Percaturan Politik Di Indonesia: Demokrasi, Islam, dan Ideologi Toleransi, Jogjakarta, Mata Bangsa, 2002, cet. I.

clxxiv

Page 174: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Republika, 27 Mei 1999, hlm. 3.

Rosidi, Ajib, M. Natsir, Sebuah Biografi, Jakarta, Girimurti Pustaka, 1990.

Schuman, Olaf, “Dilema Islam Kontemporer antara Masyarakat Modern dan Negara Islam”, Jurnal Paramadina, No. 2, Vol I, Jakarta, Paramadina, 1999

Shihab, Alwi, Mengemban Tuntutan Jaman, Yogyakarta, Wahyu Pustaka, 2000.

Sitompul, Einar M., NU dan Pancasila, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1989.

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta, UI Press, 1993, edisi V.

Soekarno, Memudahkan Pengertian Islam, di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta, Panitia di Bawah bendera Revolusi, 1994.

Soenjoto, Peneliti dan peteliti, Yogyakarta, Ranggon Studi, 1983.

Suhelmi, Ahmad, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir, Bandung, Teraju, 2002.

Syamsuddin, M. Din, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta, Logos, 2000.

Tempo, No. 42, 22 Desember 2002.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1994.

Uhlin, Anders, Oposisi berserak, Arus Deras Demokratisasi Glombong Ketiga di Indonesia, Bandung, Mizan, 1998.

Ulum, Bahrul, Bodohnya NU apa NU Dibodohi?, Jejak Langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah Meneropong Paradigma Politik, Yogyakarta, 2002.

Wahid, Abdurrahman, Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta, P3M, 1989.

---------------------------, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Jakarta, Grasindo, 1999.

---------------------------, Prisma Pemikiran Gus Dur, yogyakarta, LkiS, 1999.

clxxv

Page 175: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

---------------------------, Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia, Prisma, No. 4, April 1984.

Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta, Yayasan Prapanca, 1959.

Yogya Post, 12 April 1991, hlm. 2.

Lampiran I.

TERJEMAHAN

Hlm F.N. Terjemahan

18

18

34

38

38

75

Bab I

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”. Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.

clxxvi

Page 176: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

52

69

113

125

125

125

130

185

312

329

329

329

Bab II

Hai orang-orang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan, sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.

Memelihara nilai-nilai lama yang baik dan mengembangkan nilai-nilai baru yang lebih baik.

Bab III

Tidaklah aku jadikan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.

Bab IV

Kebijakan penguasa yang diberlakukan untuk warga negara harus didasarkan pada pertimbangan kesejahteraan.

Menutup kemungkinan bahaya harus didahulukan sebelum melakukan kemaslahatan.

Kebutuhan setara dengan keadaan darurat.

Keadaan darurat kemungkinan dihalalkannya yang dilarang.

clxxvii

Page 177: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Lampiran II.

BIOGRAFI TOKOH-ULAMA

1. Abu al-A’la al-Maududi.Lahir pada 25 September 1903 M (3 Rajab 1321 H) di Aurangabad India Selatan, dan berasal dari keluarga syarif (keluarga tokoh muslim India Utara) dari Delhi yang bermukim di Deskan. Ia sempat berkiprah di Dar al-Islam, sebuah proyek pendidikan di Punjab yang semula diprakarsai oleh M. Iqbal, namun ketertarikannya pada politik memalingkannya dari Dar al-Islam. Momentum dari aksi politik Maududi adalah berdirinya Jema’at Islam pada 1941. Ketika India pecah, Maududi bersama 385 anggota Jema’at Islam memilih Pakistan dan mendirikan markas di Lahore. Melalui Jema’at Islam Maududi banyak berkiprah dalam perpolitikan Pakistan, sejak pemerintahan Ayub Khan sampai Ziaul Haq. Maududi meninggal di Bufallo, New York, pada 22 September 1979 dan dimakamkan di Lahore.

2. Ahmad Syafi’i Ma’arif.Lahir pada tanggal 31 Mei 1935 di Sumpurkudus Sumatera Barat. Ia pernah belajar di Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah Lintau (1953) dan Yogyakarta (1956), FKIP Universitas Cokroaminoto Surakarta sampai sarjana Muda (1941), dan tamat FKIS IKIP

clxxviii

Page 178: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Yogyakarta (1968), belajar sejarah pada Nothern Illionis University (1973) dan memperoleh gelar MA dalam ilmu sejarah pada OHIO University, Athens Amerika Serikat (1980) dan meraih gelar ph.D dalam bidang pemikiran Islam diperoleh dari the University of Chichago, Amerika Serikat (1982). Kemudian menjadi dosen FKIS IKIP Yogyakarta, IAIN Sunan Kalijaga dan UII Yogyakarta, dan pada tahun 1999 ia menjabat sebagai Ketua Umum P.P Muhammadiyah sampai sekarang.

3. Alwi Shihab.Lahir pada 19 Agustus 1946 di Rappang Sulawesi Selatan, sebelum terjun di politik ia dikenal sebagai seorang akademisi dan pengusaha. Alwi mendapat gelar sarjana di bidang Akidah Filsafat di IAIN Alaudin Ujung Pandang pada 1986, ketika itu ia sudah meraih gelar Master dari Universitas al-Azhar, Mesir, dalam bidang yang sama. Pada tahun 1980 ia meraih gelar Doktornya yang pertama dari Universitas ‘Ain Syam, Mesir dalam bidang Filasafat, karena belum merasa cukup, kemudian ia hijrah ke Universitas Temple, Amerika, untuk meneruskan studinya di bidang Agama. Sembari meluangkan waktu untuk mengajar studi agama Islam di almamaternya tersebut. Antara 1995-1996, Alwi mengikuti Program Pasca Doktoralnya di Pusat Studi Agama-Agama Dunia (The Centre for Studi of World Relegion), di Universitas Harvard. Dan sejak 1996 ia tercatat sebagai pengajar agama Islam di Hartford Seminary. Kemudian pada tahun 1999-2000 ia menjabat sebagai Menteri Luar Negeri RI, dan saat ini ia memegang jabatan penting di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai Ketua Umum, selain itu ia masih tercatat sebagai anggota International Connection Commite, American Academy of Relegion, Atlanta, Georgia. Karya-karyanya yang telah diterbitkan yaitu : Inclusive Islam (1997), Muhammadiyah Movement and Controversy With Christian Mission (1998), Sufistic Islam (2001) dan Teaching Islam in the West (segera).

4. Amien Rais.Lahir pada 26 April 1944 di Solo, ayah dan ibunya adalah aktivis Muhammadiyah, sebuah organisasi sosial keagamaan kalangan modernis Islam yang bergerak di bidang dakwah dan pendidikan. Sejak jenjang TK hingga SMA seluruh pendidikannya dihabiskan di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Setamat dari SMA Muhammadiyah Solo, pada 1962, Amien melanjutkan kuliah di Fisipol UGM, ia juga tercatat sebagai mahasiswa Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Lalu pada tahun 1972 Amien melanjutkan pendidikannya di Universitas Notre Dame, Indiana, AS. Pada tahun 1974 ia berhasil meraih gelar Master of Art (MA), kemudian pada tahun 1975 ia berangkat ke Universitas Chichago, AS, untuk melanjutkan studi Doktornya di Ilmu Politik, akhirnya

clxxix

Page 179: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

pada tahun 1981 ia berhasil meraih gelar ph.D. selanjutnya ia juga sempat tercatat sebagai mahasiswa luar biasa di Universitas al-Azhar, Kairo (1978-1979). Selain menjadi Dosen di UGM, pada 1995 Amien juga sempat menjabat sebagai ketua umum P.P Muhammadiyah. Selain itu. Ia juga dikenal sebagai seorang politisi, tepat pasca Reformasi 1998 ia mempelopori berdirinya Partai Amanat Nasional (PAN) dan diketuainya. sehingga pada tahun 1999-sekarang ia menjabat di birokrasi pemerintahan sebagai Ketua Umum MPR RI.

5. Azyumardi Azra.Lahir pada Maret 1955 di Lubuk Aling, Sumatera Barat. Pada tahun 1982 ia menyelesaikan sarjana strata 1 di Fakultas Tarbiyyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan pada tahun 1986 ia memperoleh beasiswa Fullbright untuk melanjutkan studi di Columbia University, saat ini ia menjabat sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, karya tulisnya antara lain: Islam dan Masalah-masalah Kemasyarakatan, Perkembangan Modern dalam Islam, Perspektif Islam di Asia Tenggara dan Jaringan Ulama Timur Tengah Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII.

6. Fazlur Rahman.Lahir pada tahun 1919 M di Barat Laut Pakistan, ia termasuk salah satu pemikir pembaharuan Islam yang liberal dan radikal. Rahman dibesarkan di keluarga yang memiliki tradisi Madzhab Hanafi yang dikenal lebih rasionalis dibanding dengan madzhab lainnya. Pada tahun 1942 ia berhasil meraih gelar MA dalam bidang Sastra Arab dari Universitas Punjab. Sebelumnya ia pernah diajak bergabung oleh Maududi dalam Jama'at al-Islami, seraya berkata "semakin engkau (Rahman) banyak belajar maka semakin beku kemampuan praktismu" akan tetapi Rahman lebih memilih meneruskan studinya, bahkan menjadi seorang kritikus yang tangguh terhadap pemikiran keagamaan Maududi. Pada tahun 1950 ia berhasil meraih gelar Doktor dari Universitas Oxford Inggris dengan desertasi tentang Ibnu Sina, setelah menyelesaikan studinya Rahman lebih memilih untuk tetap tinggal di Inggris sambil mengajar di berbagai perguruan tinggi seperti Durham University, Inggris. Dan Institute of Islamic Studies, McGill Kanada. Pada tahun 1962 Rahman kembali ke Pakistan dan mendapat banyak jabatan di negerinya, akan tetapi ia merasa lingkungannya tidak mendukung pengembangan intelektualnya, akhirnya ia pindah ke Chichago, Amerika Serikat Departement of Near Eastern Languages and Civilization. Rahman sudah banyak menghasilkan karya ilmiah, di antaranya adalah Islam and Modernity: Transformation of Intellectual Tradition, Islamic Methodology in History, Major Themes of The Qur’an dll.

7. Kuntowijoyo.Seorang dosen Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Lahir di Yogyakarta pada 18 September 1938. Ia memperoleh gelar MA dari Universitas Connecticat,

clxxx

Page 180: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Amerika Serikat dan ph.D pada 1980 dari Colombia University, selain menerbitkan banyak karya tulis yang terhimpun dalam beberapa buku, Kunto juga dikenal sebagai budayawan yang banyak menghasilkan karangan-karangan fiksi, di antara tulisan-tulisannya yang sudah diterbitkan yaitu: Paradigma Islam, Interprestasi untuk Aksi (1991), Identitas Politik Umat Islam (1997) dan Muslim tanpa Masjid, Esai-esai Agama Budaya dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Trasendental (2001).

8. M. Din Syamsuddin.Seorang guru besar pemikiran politik Islam IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, lahir di Sumbawa Besar, 31 Agustus 1958. Ia pernah nyantri di Gontor sampai tahun 1975, lalu melanjutkan di IAIN Jakarta sampai tahun 1982. Dan meraih gelar Master (1988) dan Doktor (1991) dari University of Califonia Los Angeles (UCLA). Selain seorang akademisi, ia juga aktif di banyak organisasi seperti Muhammadiyah, ICMI, MUI, bahkan sempat menjadi aktivis Golkar, dan saat ini menjabat sebagai Sekretaris Umum MUI Pusat dan menjadi Pengurus Pusat Muhammadiyah.

9. Munawir Sjadzali.Lahir di Klaten 7 November 1925, ia seorang intelektual, pernah belajar di University of Exeter, Inggris (1953-1954) dan memperoleh gelar MA dari Georgetown University, Washington DC, Amerika Serikat. Setelah menyelesaikan tesisnya yang berjudul Indonesian’s Muslim Parties and Their Political Concept (1959). Selain seorang intelektual ia juga dikenal sebagai seorang diplomat dan pernah menjabat berbagai posisi penting di Pemerintahan, antara lain: Dubes untuk beberapa negara Timur Tengah seperti Kuwait, Bahrain, Qatar, dan Perserikatan Keamiran Arab (1976-19800), menjadi Menteri Agama selama dua periode yaitu Kabinet Pembangunan IV (1983-1988) dan Kabinet Pembangunan V (1988-1993).

10. Nurcholish Madjid.Lahir 17 Maret 1939 di Mojoanyar, Jombang Jawa Timur, Ia dikenal sebagai tokoh pembaharu pemikiran Islam di Indonesia. Cak Nur menyelesaikan pendidikannya dengan meraih gelar ph.D dari University of Chichago dengan desertasi yang berjudul Pimikiran Filsafat dan Kalam Ibnu Taimiyyah. Semasa mahasiswa Cak Nur aktif di organisasi, HMI dan IFSO (International Islamic Federation of Students Organizations). Saat ini, ia menjabat sebagai rektor Universitas Paramadina Mulya Jakarta. Selain itu menjelang pemilu 2004 ini, Cak Nur juga sedang sibuk dicalonkan menjadi calon Presiden RI ke-6. Karya-karyanya banyak yang telah diterbitkan. Di antaranya Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (1988), Islam, Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Terhadap Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (1992).

clxxxi

Page 181: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Lampiran III.

DAFTAR ISTILAH

Ahl al-H{all wa al-Aqdi: Kelompok sahabat-sahabat utama Nabi Muhammad yang senantiasa diajak bermusyawarah dalam mengambil keputusan yang behubungan dengan kepentingan umum, semacam parlemen di dalam konsepsi fiqih abad pertengahan.

Ahl as-Sunnah wa al-Jama>‘ ah: Madzhab yang mengikuti tradisi Nabi Muhammad dan merupakan menempati posisi mayoritas secara nominal.

‘Ash}abiyah: Sentimen etnik, chauvinism

clxxxii

Page 182: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Asas Tunggal: Prinsip yang terdapat dalam ideologi nasional, Pancasila, yang diberlakukan sebagai asas tunggal bagi semua partai politik dan organisasi pada masa tahun 1985.

Bay‘ah: Sumpah setia kepada seorang khalifah atau pemimpin

BPUPKI: Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

DDII: Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia, badan dakwah kaum modernis radikal. Dipimpin oleh M. Natsir hingga wafatnya tahun 1993.

Darul Islam: Nama yang diberikan untuk negara Islam yang diproklamasikan oleh Kartosoewiryo di Jawa Barat tangal 7 Agustus 1949. Sebagai perluasan makna digunakan juga untuk menyebut pemberontakan.

DI-TII: Singkatan dari Darul Islam-Tentara Islam Indonesia, untuk menyebut pemberontakan Kartosoewiryo dan tentaranya yang memberontak.

Doktrin: Ajaran agama, teks-teks keagamaan.

Fodem: Forum Demokrasi, kelompok pro-demokrasi yang diketuai oleh Abdurrahman Wahid, dibentuk pada tahun 1991.

Ijtiha>d: Dalam hukum Islam adalah upaya untuk menetapkan hukum melalui penalaran bebas berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an. Dalam arti yang lebih sempit adalah upaya untuk menggunakan metode pemikiran melalui analogi.

Mu‘ammalah: Amalan-amalan yang bersifat kemasyarakatan dan keduniaan.

Masyumi: Singkatan dari Majelis syura Muslimin Indonesia, didirikan pada tahun 1943. ia menjadi partai politik muslim modernis yang kemudian dilarang oleh Soekarno tahun 1960.

Muhammadiyah: Gerakan reformis dan modernis yang didirikan pada tahun 1912 di Yogyakarta, Muhammadiyah merupakan gerakan reformis yang lebih luwes dibanding Persis dan al-Irsyad. Secara politis ia menyalurkan aspirasi politiknya melalui Masyumi, kemudian melalui Parmusi, lalu ke PPP di bawah Orde Baru, namun juga dapat ditemukan di Golkar. Nahdlatul Ulama (NU): Kebangkitan kembali para ulama, perkumpulan alim ulama yang didirikan pada tahun 1936, menjadi partai politik pada tahun 1952 kemudian kembali menjadi organisasi sosial pada tahun 1984.

Nasakom: Singkatan yang menunjukkan persekutuan antara nasionalisme, agama dan komunisme, konsep yang diajukan oleh Soekarno.

clxxxiii

Page 183: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

PKI: Partai Komunis Indonesia

PRRI: Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, pemerintahan ini dibentuk untuk menentang Soekarno dan partai komunis yang sedang menanjak, didirikan pada tahun 1958 di Sumatera Barat dan dihancurkan dalam beberapa bulan saja.

Pesantren: Sekolah agama yang didirikan oleh para kyai, murid dari sekolahan ini biasa disebut santri.

Pribumisasi: Kata baru yang dibentuk dari “pribumi”, penekanan identitas muslim khas Indonesia, Islam tanpa arabisasi, juga berarti dominasi penduduk asli di bidang ekonomi Indonesia.

Sekularisme: Paham yang memisahkan urusan keagamaan dengan urusan keduniaan; Nasionalis sekular: golongan yang menganut paham kebangsaan yang menghendaki agama dipisahkan dari kehidupan negara.

Syari‘ah: Peraturan-peraturan hukum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.

Tradisionalisme: Paham yang mempertahankan pandangan-pandangan keagamaan yang diwariskan oleh tradisi Islam zaman abad pertengahan.

Tanfidziah: Badan eksekutif NU.

Wahhabi>: Paham pembaharuan keagamaan Islam yang dibawa oleh Muhammad bin Abdul Wahab di tanah Hijaz.

Lampiran IV.

CURRICULUM VITAE

Nama : Ahmad Anfasul Marom.

Tempat/Tgl Lahir : Bojonegoro, 7 November 1981.

Alamat Asal : Jl. Kanor 504 RT 16 RW 9 Pasinan-Baureno,

kabupaten Bojonegoro Jawa-Timur 62192.

Alamat di Yogyakarta : Komplek IAIN “Griya Natural” CT XI 45i

Sapen Yogyakarta 55281.

Nama Ayah : H. Ahwan Affandi.

Nama Ibu : Hj. Siti Azah (Almarhumah).

clxxxiv

Page 184: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

Pendidikan Formal:

1. MI Darul Ulum Baureno - Bojonegoro (1987 - 1993).

2. MTs Islamiyyah at-Tanwir Sumberjo - Bojonegoro (1993 - 1996).

3. MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan) Tebuireng - Jombang,

(1996-1999).

4. Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, (1999 -

Sekarang).

5. English Extension Sanata Dharma Yogyakarta, Masuk 2001 -

Sekarang.

Pendidikan Informal:

1. Pondok Pesantren “at-Tanwir” Sumberjo Bojonegoro Jawa-Timur.

2. Pondok Pesantren “Tebuireng” Jombang Jawa-Timur.

3. Kursus Bahasa Inggris di “Wisma Bahasa” Yogyakarta.

4. Kursus Komputer di Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas

Negeri Yogyakarta.

Pengalaman Organisasi :

1. Sekretaris Organisasi Daerah CSPB (Collega Siswa Pesantren

Bojonegoro) 1997-1998 di Pesantren Tebuireng Jombang.

2. Anggota Divisi Lembaga Kajian eLSIP (Lingkar Studi Islam

Pembebasan) 2000-2001 Kordiska IAIN Sunan Kalijaga.

3. Sekjend PMII Rayon Faklutas Syari’ah 2000-2001 IAIN

Sunankalijaga Yogyakarta.

4. Ketua Ospek 2001 Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga-Yogyakarta.

5. Departemen Kajian dan Intelektual BEMJ PMH 2000-2002, IAIN

Sunan kaliga Yogyakarta.

6. Sekjend Senat Mahasiswa Institut (SMI) 2003-2004 IAIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta.

clxxxv

Page 185: diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

clxxxvi