diskursus pengurus fungsionaris partai...

93
i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: MUHAMMAD FAIZ PUTRA SYANEL NIM: 11140480000046 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1440 H / 2019 M

Upload: others

Post on 23-Feb-2020

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

i

DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM

KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH

(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

MUHAMMAD FAIZ PUTRA SYANEL

NIM: 11140480000046

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1440 H / 2019 M

Page 2: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN
Page 3: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN
Page 4: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN
Page 5: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

v

ABSTRAK

MUHAMMAD FAIZ PUTRA SYANEL, NIM 11140480000046,

DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM

KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILA DAERAH, Program Studi Ilmu

Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan

Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1441H/2019 M.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui hakikat konstitusional lahirnya Dewan

Perwakilan Daerah (DPD), dari kewenangan hingga sumber keanggotaannya.

Penelitian ini sekaligus menjadi kritik atas Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 30/PUU-XVI/2018, yang melakukan perluasan norma dalam

pertimbangannya, dengan membuat pengurus fungsionaris partai politik

termasuk dalam frasa “pekerjaan lain” pada pasal 182 Huruf I Undang-undang

Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, yang dianggap memiliki

potensi untuk terjadinya konflik kepentingan dengan tugas, wewenang dan hak

sebagai anggota DPD.

Jenis penelitian yang digunakan yaitu kualitatif, dengan pendekatan

penelitian normatif-doktriner, di mana terdapat unsur pendekatan perUndang-

undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach)

yang digunakan untuk mengetahui peran pengurus partai politik dalam

mengoptimalkan kewenangan konstitusional DPD.

Penelitian ini membuktikan sebaliknya. Terdapat keselarasan antara peran

DPD dan Partai Politik, membuat DPD semakin optimal dalam melaksanakan

kewenangannya. Sehingga dugaan terjadinya konflik kepentingan tidaklah

terbukti, dan seharusnya mahkamah tidaklah memutus demikian.

Kata Kunci: DPD, Partai Politik, Mahkamah Konstitusi.

Pembimbing Skripsi: Fathudin, S.H.I., S.H., M.A.Hum., M.H.

Daftar Pustaka: Tahun 1811 sampai tahun 2018

Page 6: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

vi

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.

Allhamdulilahirabbil’aalamin, peneliti menyampaikan segala puji dan syukur

kehadirat Allah SWT, yang senantiasa memberikan rahmat, taufiq, dan hidayahNya

kepada kita semua. Shalawat serta salam senantiasa kita curahkan kepada baginda

Nabi dan Rasul kita Muhammad SAW, kepada segenap keluarganya, sahabat serta

umatnya sepanjang zaman, yang Insya Allah kita ada di dalamnya.

Atas rahmat dan karunia Allah SWT, peneliti beryukur mampu menyelesaikan

penelitian skripsi ini dengan judul “DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS

PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

DAERAH”, sebagai salah satu persyaratan yang diwajibkan untuk memperoleh

gelar Sarjana Hukum (S.H) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Peneliti menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan,

dukungan, nasihat, dan motivasi yang peneliti dapatkan dari berbagai pihak di

sekitar peneliti. Oleh karenanya, peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H.,M.H. Ketua Program Studi Ilmu

Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekeretaris Prodi Studi Ilmu Hukum, Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Fathudin, S.H.I., SH., M.A.Hum., M.H. Fathudin, S.H.I., SH., M.A.Hum.,

M.H. Sebagai dosen pembimbing skripsi, yang rela mengorbankan ilmu dan

waktunya untuk berdiskusi guna membimbing kajian peneliti.

Page 7: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

vii

5. Keluarga tercinta, yaitu Syamsudin Landie (Ayahanda), Elya Rita Djardjis

(Ibunda) dan Keluarga Besar Marqum yang selalu memberikan kasih sayang

dan dukungannya kepada peneliti. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan

rahmat dan nikmat-Nya kepada Ayah, Bunda, danKeluarga Besar yang peneliti

cintai.

6. Nila Tari, sebagai pendamping perjuangan. Orang yang telah memberikan

banyak pelajaran dan pengalaman kepada peneliti, yang banyak berkorban

demi peneliti semasa perkualiahan. Dari segi materil maupun i-materil, Yang

Terkasih.

7. Ksatria Imam Nugraha, sebagai sahabat peneliti. Kawan berfikir dalam bangku

perkuliahan, serta sahabat yang selalu membantu peneliti dalam kesulitan

semasa perkuliahan. Banyak kebaikannya yang peneliti rasa tidak sanggup

untuk membalasnya.

8. Keluarga Besar Moot Court Community Fakultas Syariah dan Hukum.

Terutama kepada abangda Muhammad Raziv Barokah, Teguh Triesna Dewa,

Abdulatief Zainal, Muhamad Reza Baihaqi dan Kakak Hamalatul Qura’ani

selaku senior sekaligus mentor peneliti, yang setia membimbing peneliti dari 0

hingga saat ini. Kepada Muhamad Sidik, Nur Rahmi Febriani, Dalilah

Hazimah, Zul Amirul Haq, Muhamad Eddy Kurniawan, Martunis, Iqra

Fadhilah, Rizki Ramadhan, dan Dadi selaku kawan angkatan 2014 yang

berproses peneliti. Tanpa mereka semua, peneliti tidak yakin dapat menjadi

seperti saat ini.

9. Aditya Dwi Prayudi, Anwar Fauzi, Euis Nur Atikah, Syifa Maulidya, Yasmine

Assegaf, dan Adit Ahmad Muzaki selaku sahabat-sahabat peneliti, yang selalu

menemani peneliti saat naik maupun turun, yang selalu mengatakan apa adanya

untuk menasehati peneliti.

10. Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum, sebagai

rumah perhimpunan peneliti, tempat awal peneliti berjuang dalam organisasi

intra kampus.

Page 8: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

viii

11. Kawan-kawan Ilmu Hukum 2014, selaku teman seperjuangan peneliti dari awal

perkuliahan hingga selesai.

12. Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Syariah dan

Hukum Cab. Ciputat sebagai organisasi ekstra yang menjadi wadah awal

perjuangan peneliti pada masa perkuliahan, banyak pengalaman yang sangat

berharha peneliti peroleh dari organisasi ini.

13. Pihak Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan Pusat Perpustakaan

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

memberikan berbagai macam fasilitas kepada peneliti dalam rangka melakukan

studi kepustakaannya.

14. Semua pihak yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini,

yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu, semoga Allah SWT

memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka semua.

Demikianlah yang dapat peneliti sampaikan, semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi para pihak pembacanya, dan berkontribusi bagi kemajuan hukum

ketatanegaraan di Indonesia agar menuju ke arah yang lebih baik lagi.

Wassalamualaikum Wr.Wb

Jakarta, September 2019

Peneliti,

Muhammad Faiz Putra Syanel

Page 9: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................. iii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv

ABSTRAK .............................................................................................................. v

KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ixx

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 8

D. Metode Penelitian ............................................................................. 9

E. Pedoman Penulisan ......................................................................... 12

F. Sistematika Penelitian ..................................................................... 12

BAB II KUALIFIKASI LEMBAGA PERWAKILAN DALAM REZIM

INDIRECT DEMOCRACY .................................................................. 14

A. Kerangka Konseptual ..................................................................... 14

1. Diskursus ...................................................................................... 14

2. Pengurus Fungsionaris Partai Politik ....................................... 14

3. Dewan Perwakilan Daerah ......................................................... 15

4. Inkonsistensi ................................................................................ 16

5. Inkoherensi .................................................................................. 16

B. Kerangka Teoritik .......................................................................... 16

1. Teori Demokrasi Konstitusional ................................................ 16

2. Teori Representatif ..................................................................... 22

C. Review Kajian Terdahulu .............................................................. 23

BAB III DESAIN KONSTITUSIONAL DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA ................................................................... 26

A. Perdebatan Desain Parlemen Indonesia ....................................... 26

B. Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah ....................................... 31

Page 10: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

x

C. Dinamika Pengaturan Calon Anggota Dewan Perwakilan

Daerah .............................................................................................. 43

BAB IV INKOHERENSI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 30/PUU-XVI/2018 DENGAN SEMANGAT

KONSTITUSIONALITAS DEWAN PERWAKILAN DAERAH .. 48

A. Problematika Pengurus Fungsionaris Parpol Dalam

Keanggotaan DPD ........................................................................... 48

1. Frasa Pekerjaan Lain ................................................................. 48

2. Konflik Kepentingan ................................................................... 53

B. Dewan Perwakilan Daerah Dalam Iklim Constitutional

Democracy ........................................................................................ 60

1. Teritorial Representative .............................................................. 60

2. Independensi Dewan Perwakilan Daerah ................................. 68

BAB V PENUTUP ............................................................................................ 73

A. Kesimpulan ...................................................................................... 73

B. Rekomendasi ................................................................................... 74

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 75

Page 11: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pasca reformasi, Indonesia mewujudkan pergolakkan aspirasi rakyat yang

berujung pada pergeseran negara kekuasaan menuju negara hukum.

Pergolakkan tersebut menjadi salah satu landasan yang memicu perubahan

pada sendi fundamental Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, salah satunya adalah kedaulatan itu sendiri. Majelis

Permusyawaratan Rakyat sebagai rumah rakyat yang sebelumnya menjadi

lembaga pemegang kekuasaan tertinggi dan sebagai lembaga pelaksana

kedaulatan rakyat, berubah menjadi lembaga tinggi negara yang setara dengan

lembaga tinggi negara lainnya yang secara tegas mengembalikan kedaulatan

untuk dipegang oleh Rakyat serta dilaksanakan oleh lembaga – lembaga tinggi

negara lainnya dan dijalankan menurut Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Perubahan tersebut berimplikasi pula pada reformulasi struktur Majelis

Permusyawaratan Rakyat, sebelumnya MPR terdiri dari Dewan Perwakilan

Rakyat dan Utusan Golongan. Berbeda setelah perubahan, lahirnya lembaga

perwakilan daerah baru merubah struktur kelembagaan MPR, menjadi Dewan

Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Lahirnya Dewan

Perwakilan Daerah diiringi dengan legitimasi kontitusional yang tertuang pada

pasal 2 Ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan MPR terdiri dari anggota DPR

dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut

melalui Undang-Undang.1 Berbagai perubahan – perubahan lain pula terjadi

di berbagai lembaga konstitusionaldan tetapmenjadikan hukum sebagai dasar

pelaksanaan berbangsa dan bernegara.2 Karena hukum dibentuk memang

bertujuan demikian, yakni sebagai jaminan profesionalitas lembaga negara.

1 Kris Nugroho, “Problematika Dewan Perwakilan Daerah: Antara Fungsi Konstitusional dan

Realitas Politik”, Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Vol.20 /No.2,2007, h. 104.

2 Azhari, Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur‐Unsurnya,

(Jakarta: Ul‐Press, 1995), h. 12.

Page 12: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

2

Konsekuensi logis Indonesia sebagai negara hukum adalah terjaminnya

hak asasi manusia yang dalam hal ini masuknya hak–hak individu di dalam

konstitusi negara yaitu Undang– Undang Dasar Negara Republik Indonesia

1945 sebagai bentuk pengawalan serta penegasan negara dalam iklim yang

sehat di dalamproses kedaulatan rakyat itu sendiri.3 Jaminan hak asasi manusia

yang menjadi penunjang utama dari adanya negara hukum yang demokratis

untuk menjalankan kedaulatan rakyat adalah hak politik.

Hak politik Menurut Pasal 25 huruf a International Convention on Civil

and Political Right yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil

and Political Rights, dinyatakan bahwa setiap warga negara berhak ikut dalam

pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara langsung maupun melalui wakil

– wakil yang dipilih secara bebas, sehingga hak politik digunakan untuk

masyarakat agar dapat ikut andil dalam pemerintahan atau memberikan suara

dengan hak suara yang telah terjamin di dalam Undang– Undang Dasar Negara

Republik Indonesia 1945 yang setara dan berlakuberlaku secara nasional.

Iklim demokrasi di Indonesia dijalankan melalui Pemilihan Umum. Jika

kita mengacu pada pasal 1 Ayat (1) Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2017

Tentang Pemilihan Umum yang dimaksud dengan Pemilihan Umum adalah

Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan

rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan

Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung,

umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik

Indonesiaberdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

Keseluruhan hak tersebut tidak boleh dikesampingkan, karena proses

kedaulatan rakyat tidak boleh dilepaskan dari pemilihan umum yang menjadi

prinsip dasar Indonesia sebagai negara yang demokratis. Di mana masyarakat

3 Abdul Mukhtie Fadjar, Tipe Negara Hukum, (Malang: Banyumedia Intrans, 2004), h. 34.

Page 13: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

3

wajib berpartisipasi aktif untuk menggunakan haknya dalam konstestasi

politik, untuk dipilih maupun memilih.4 Pemilu sebagai implementasi dari

kedaulatan rakyat harus di iringi dengan regulasi, ditujukan untuk menjamin

keadilan dan proporsionalitas dalam pengimplementasiannya. Semakin

regulasi tersebut membuka ruang, memberikan seluruh penentuan dan pilihan

kepada masyarakatnya, semakin pula Indonesia mendekati hakikat dari

kedaulatan rakyat itu sendiri dan sebaliknya.5

Problematika baru muncul pasca keluarnya Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018. Pasalnya, mahkamah memperluas

penafsiran terhadap pihak yang memiliki pekerjaan lain untuk menjadi

anggota Dewan Perwakilan Daerah. Dalam pertimbangan mahkamah

mengganggap, pengurus fungsionaris partai politik akan menganggu

independensi dari Dewan Perwakilan Daerah dalam menjalankan tugas, fungsi

dan wewenangnya.

Perluasan penafsiran frasa “pekerjaan lain” pada pasal 182 huruf l Undang

– Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, yang salah satunya

menjadi pengurus fungsionaris partai politik. Dalam pertimbangannya,

mahkamah menilai eksistensi pengurus partai politik akan lebih

mementingkan kepentingan partai politik dari pada kepentingan daerah.

Namun kekeliruan terjadi, ketika mahkamah memutuskan penafsiran

demikian. Implikasinya, tidak diperbolehkannya pengurus fungsionaris partai

politik untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif dalam kamar Dewan

Perwakilan Daerah. Salah satu alasannya adalah untuk menjaga kemurnian

dari original intent lahirnya Dewan Perwakilan Daerah, yang ditujukan untuk

memperjuangkan kepentingan daerah itu sendiri dibidang legislasi.

Secara normatif pengaturan mengenai keanggotaan Dewan Perwakilan

Daerah di dalam pasal 22C Ayat (2) Undang-Undang Negara Republik

4 Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, (Jakarta: Liberty,

1993), h. 94.

5 Khairul Fahmi, “Prinsip Kedaulatan Rakyat Dalam Penentuan Sistem Pemilihan Umum

Anggota Legislatif”, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 3, Juni 2010, h. 121.

Page 14: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

4

Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa anggota Dewan Perwakilan Daerah

dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan

Perwakilan Daerah tidak lebih dari sepertiga jumlah Dewan Perwakila Rakyat.

Hal tersebut membuktikan bahwa jumlah keanggotaan Dewan Perwakilan

Daerah jauh lebih rendah dibandingkan Dewan Perwakilan Rakyat yang secara

mutatis mutandis Dewan Perwakilan Daerah akan cenderung tidak dapat

secara optimal untuk memutus atau memperjuangkan kebijakan dari pada

daerah itu sendiri di dalam kamar parlemen.

Kewenangan utama Dewan Perwakilan Daerah yakni legislasi yang

tertuang didalam pasal 22D menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Daerah

hanya berwenang untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada

Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah dapat ikut

membahas Rancangan Undang-Undang.6

Tidak seimbangnya kewenangan yang dimiliki atara Dewan Perwakilan

Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah dalammenghasilkan produk legislasi.

Pasalnya, kewenangan yang dimiliki oleh DPD tidak mampu untuk

mengeksekusi dari aspirasi yang diserapnya.Hal tersebutlahang membuat

Dewan Perwakilan Daerah hanya sebagai lembaga konsultatif dari Dewan

Perwakilan Rakyat itu sendiri.7

Dalam pertimbangan hukum, mahkamah menginginkan Dewan

Perwakilan Daerah dapat secara optimal memperjuangankan kepentingan

daerah, dengan lemahnya kewenangan Dewan Perwakilan Daerah tersebut

rekayasa konstitusional apapun yang dilakukan tanpa merubah kewenangan

Dewan Perwakilan Daerah di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia hanyalah akan sia-sia belaka.

Salah satu cara untuk menyeimbangkan kekurangan kewenangan ialah

dengan memperbolehkan pengurus fungsionaris partai politik sebagai power

6 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Depok: Rajawali Pres, 2013), h.

299.

7 Kris Nugroho, “Problematika Dewan Perwakilan Daerah: Antara Fungsi Konstitusional dan Realitas Politik”,… h. 103.

Page 15: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

5

keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah untuk memperjuangkan aspirasi

Daerah di atas lemahnya kewenangan yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan

Daerah itu sendiri. Dalam hal ini, dibantu melalui latarbelakang anggota

Dewan Perwakilan Daerah yang memiliki kesamaan dengan anggota Dewan

Perwakilan Rakyat.

Putusan mahkamah telah melakukan tebang pilih dan inkonsisten dalam

melakukan pertimbangan, dengan memperluas tafsir frasa pekerjaan lain

menjadi pengurus fungsionaris partai politik sebagai salah satu pekerjaan baru

yang tidak boleh mendaftarkan dirinya sebagai anggota Dewan Perwakilan

Daerah. Artinya mahkamah masih memperbolehkan anggota dari Partai

Politik untuk mencalonkan diri mereka, sehingga upaya pemurnian dari

anggota Dewan Perwakilan Daerah itu sendiri tidak akan terwujud dengan

baik.

Sejatinya kita seharusnya menyadari bahwa partai politik merupakan pilar

utama dari Demokrasi yang bertanggung jawab atas pendidikan politik dan

penyambung lidah aspirasi setiap warga negara dengan proses – proses

penyelenggaraan pemerintahan,8 sehingga Indonesia sebagai negara hukum

yang demokratis seharusnya memperkuat serta memurnikan kelembagaan dari

pada partai politik di Indonesia. Jangan sampai menimbulkan asumsi melalui

hukum bahwa partai politik ialah buruk yang justru akan membuat minimnya

partisipasi rakyat terhadap partai politik yang membawa kelembagaan dari

pada partai politik itu sendiri semakin menjauh dari bentuk ideal mereka

sebagai sebuah partai.9

Iklim yang buruk terjadi akibat ulah oknum dalam partai politik, sehingga

tidaklah etis bahkan logis ketika kita menggeneralisir seluruh partai politik itu

buruk. Sehingga pelarangan melalui putusan mahkamah yang diskriminatif

tersebut dengan tetap memperbolehkan anggota partai politik menjadi anggota

Dewan Perwakilan Daerah sama saja akan membawa kepentingan dari partai

8 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,… h. 414.

9 Sirajuddin, “Eksistensi Partai Politik Dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Di Indonesia”, Lex Administratum, Vol. IV/No. 1, h. 76.

Page 16: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

6

politik itu sendiri. Dengan demikian, mahkamah yang semula dengan niat

mulianya untuk memurnikan Dewan Perwakilan Daerah dengan melarang

pengurus fungsionaris partai politik merupakan sebuah penafsiran yang

inkonsisten dan penerapannya hanya akan semakin melemahkan Dewan

Perwakilan Daerah yang semakin jauh pula dengan dapat memperjuangkan

aspirasi dari kepentingan daerah itu sendiri.

Karena dengan tidak adanya pengurus fungsionaris partai politik didalam

kursi Dewan Perwakilan Daerah hanya akan semakin mempersulit proses

konsolidasi antar lembaga untuk memperjuangkan kepentingan daerah itu

sendiri di atas lemahnya kewenangan yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan

Daerah di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

Bentuk ideal dari pada partai politik ketika telah mengkiblatkan dengan

baik kepentingan partainya untuk kepentingan rakyat, sehingga optimisme

inilah yang harus di jaga dan tetap diperjuangkan dengan baik di dalam iklim

demokratisasi di Indonesia. Maka atas landasan tersebut peneliti tertarik

melakukan penelitian dengan judul “Diskursus Pengurus Fungsionaris Partai

Politik Dalam Keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah”.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latarbelakang masalah yang telah dijabarkan

sebelumnya, maka identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a. Mahkamah memunculkan norma baru dalam putusannya.

b. Original intent lahirnya DPD tidak mengharuskan DPD terbebas dari

partai politik.

c. Independensi Dewan Perwakilan Daerah tidak terganggu dengan

adanya pengurus partai politik di dalam keanggotaanya.

d. Pengurus fungsionaris partai politik dalam DPD tidak akan merubah

sifat perwakilan DPD menjadi perwakilan partai.

Page 17: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

7

e. Pengurus fungsionaris partai politik tidak masuk dalam kategori

pekerjaan lain yang dimaksud pada pasal 182 huruf I Undang –

Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.

f. Dalam pengambilan keputusan di DPD tidak tergantung dari

latarbelakang anggotanya.

2. Pembatasan Masalah

Agar permasalahan yang peneliti bahas dan kaji tidak melebar, maka

pembahasan dalam skripsi ini dibatasi pada Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 30/PUU/-XVI/2018, terkait pelarangan pengurus

fungsionaris partai politik untuk menjadi calon anggota DPD.

3. Perumusan Masalah

Masalah utama dalam penelitian ini adalah mengapa terdapat larangan

bagi pengurus fungsionaris partai politik untuk menjadi calon anggota

Dewan Perwakilan Daerah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

30/PUU-XVI/2018. Untuk mempertegas arah pembahasan dari masalah

utama yang telah diuraikan sebelumnya, maka peneliti membuat rincian

perumusan masalah dalam bentuk pertanyaan penelitian, yaitu:

a. Bagaimana pertimbangan hakim konstitusi terhadap keberadaan

pengurus fungsionaris partai politik dalam keanggotaan DPD?

b. Bagaimana potensi konflik kepentingan pengurus fungsionaris partai

politik dalam keanggotaan DPD?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan pertanyaan penelitian yang

telah dipaparkan dandiuraikan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai

oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui pertimbangan mahkamah konstitusi atas

keberadaan pengurus fungsionaris partai politik dalam keanggotaan

DPD.

Page 18: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

8

b. Untuk mengetahui potensi konflik kepentinganatas keberadaan

pengurus fungsionaris partai politik di dalam keanggotaan Dewan

Perwakilan Daerah.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

1) Melatih kemampuan untuk melakukan penelitian secara ilmiah

dan menuliskan hasil-hasil penelitian tersebut kedalam bentuk

tulisan.

2) Menerapkan teori-teori yang diperoleh dari bangku perkuliahan

untuk di praktikan di lapangan.

3) Untuk memperoleh manfaat di bidang hukum pada umumnya

maupun bidang ketatanegaraan secara khususnya dengan

mempelajari literatur yang ada serta perkembangan hukum yang

timbul di dalam kehidupan masyarakat.

b. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah menggali lebih dalam

peraturan perUndang-Undangan yang ada, serta sebagai bahan

rujukan penelitian pada masa yang akan tiba terkait urgensi

keberadaan pengurus fungsionaris partai politik dalam keanggotaan

dewan perwakilan daerah. Tujuannya adalah untuk menambah

pengetahuan serta kepekaan atas situasi dan aktifitas dalam dunia

hukum, serta perkara baru yang terjadi di tengah masyarakat yang

terkait akan hal tersebut.

D. Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan sebuah kegiatan ilmiah, yang di dasarkan

pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk

mempelajari satu atau beberapa gejala hukum, dengan jalan menganalisanya.

Pentingnya melakukan penelitian terhadap fakta hukum, dengan metode untuk

memunculkan solusi atas permasalahan yang timbul dalam gejala hukum.10

10 Soerjono Soekato, Pengantar Peneltian Hukum, cet 3, (Jakarta: Universitas Indonesia Press,

1986), h. 43.

Page 19: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

9

Ada beberapa hal terkait metode yang digunakan dalam penulisan ini

antara lain :

1. Jenis Penelitian

Abdul Kadir Muhammad menyatakan, bahwa terdapat tiga jenis

penelitian hukum. Yaitu penelitian hukum normatif, penelitian hukum

normatif-empiris, dan penelitian hukum empiris. Menurutnya, perbedaan

pada fokus tiap metode pengkajian dapat kita tinjau berdasarkan pada

fokus pengkajiannya.11 Dalam kajian ini, peneliti menggunakan jenis

penelitian Normative Law Research atau penelitian hukum normatif.

Dalam pengkajiannya, peneliti menggunakan studi kasus

berupaproduk hukum normatif, yakniputusan peradilan. Sedangkan

pokok kajiannya, mengacu pada hukum positif. Sehingga penelitian ini

berfokus pada inventarisasi hukum positif, asas dan doktrin hukum,

penemuan hukum dalam perkara incraht, sistematika hukum,

singkronisasi hukum, perbandingan hukum serta sejarah hukum.12

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini

adalah pendekatan dengan jenis normatif-doktriner, pendekatan normatif-

doktriner mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam

peraturan perUndang-Undangan dan putusan-putusan pengadilan serta

norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat guna ditelaah lebih

lanjut.13

Untuk mendukung pengkajian melalui metode ini, perlu dibedah

melalui dua metode pendekatan. Yakni, Pendekatan PerUndang-

Undangan (statue approach) yakni pendekatan dengan menggunakan

legislasi dan regulasi, serta Pendekatan Konsep (conceptual approach)

11 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet.1, (Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti, 2004), h. 52.

12 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet.1,… h. 52.

13 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, cet.2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 105.

Page 20: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

10

yang merujuk pada doktrin-doktrin hukum yang ada.14 Obyek penelitian

ini dalam bentuk putusan peradilan, yakni Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 30/PUU/-XVI/2018.

3. Data dan Bahan Penelitian

Data penelitian dan bahan penelitian yang digunakan dalam penelitan

ini, dikelompokan menjadi 3 (tiga) jenis bahan hukum, diantaranya:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritatif, artinya hanya bersumber dari pemegang otoritas. Bahan-

bahan hukum primer terdiri atas perUndang-Undangan, catatan-

catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perUndang-Undangan

dan putusan-putusan hakim.15

Terdapat beberapa bahan hukum primer yang digunakan dalam

penelitian ini. Pertama adalah Undang Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua adalah Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 30/PUU/-XVI/2018. Ketiga adalah Naskah

Komprehensif Perubahan UUD 1945. Keempat adalah Undang –

Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Kelima adalah

Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2011 Perubahan atas Undang –

Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Keenam adalah

Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang perubahan Undang

– Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Ketujuh adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Kedelapan adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2

Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor

17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

14 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Ed.Revisi, (Jakarta: Kencana Prenadamedia,

2005), h. 178.

15 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Ed.Revisi,… h. 181.

Page 21: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

11

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah. Terakhir adalah Undang–undang Nomor

7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dapat juga disebut sebagai bahan hukum

yang berasal dari literasi. Bahan hukum sekunder yang digunakan

dalam penelitian ini terdiri dari buku-buku yang berkenaan dengan

Hukum Tata Negara, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Skripsi Hukum

Tata Negara, dan jurnal atau materi-materi hukum yang mendukung

tulisan ini.

c. Bahan non- Hukum

Merupakan bahan atau rujukan yang berupa petunjuk atau

penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder

seperti kamus hukum, ensklopedia, berita hukum, dan lain-lain.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan studi

kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dengan mencari referensi

untuk mendukung materi penelitian ini melalui berbagai literatur seperti

buku, bahan ajar perkuliahan, artikel, jurnal, skripsi, tesis, putusan hakim

dan Undang-Undang di berbagai perpustakaan umum serta universitas.

5. Teknik Pengelolaan dan Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif-kualitatif.

Analisis deskriptif-kualitatif. Data dikelola serta diklasifikasi terlebih

dahulu sesuai dengan kategori masing-masing. Data yang telah dipilih,

kemudian dihubungkan satu sama lain lalu ditafsirkan dalam usaha

mencari jawaban atas masalah penelitian.

Secara detail, tahapan yang dilakukan dalam melakukan analisis

adalah: Pertama, semua bahan hukum disusun secara sistematis, lalu

diklasifikasi menurut objek bahasanya. Kedua, dilakukanlah eksplikasi,

Page 22: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

12

yang diuraikan dan di jelaskan objek yang diteliti berdasarkan teori.

Ketiga, bahan yang dilakukan evaluasi, yakni dinilai dengan

menggunakan ukuran ketentuan hukum maupun teori hukum yang

berlaku.

E. Pedoman Penulisan

Pedoman penulisan yang digunakan oleh peneliti dalam menyusun skripsi

ini berpacu dengan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku “Pedoman

Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif HidAyatullah Jakarta Tahun 2017”.

F. Sistematika Penelitian

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri atas lima bab yang masing-

masing terdiri dari sub bab guna memperjelas cakupan permasalahan yang

menjadi objek penelitian. Urutan bab dijabarkan sebagai berikut:

BAB -I: Merupakan Pendahuluan, pada bab ini akan diuraikan

mengenai: Latar Belakang Masalah, Identifikasi, Pembatasan

dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,

Metode penelitian, Pedoman Penelitian dan Sistematika

Penulisan.

BAB -II: Merupakan kajian yang berisi kerangka konseptual dan

teoritik. Mengenai keselarasan antara pertimbangan dalam

Putusan Mahkamah Konstitusi dengan seluruh teori doktrin

yang terkait. Seperti teori demokrasi konstitusional dan teori

representatif.

BAB –III: Merupakan bab yang menguraikan mengenai perdebatan

bentuk parlemen Indonesia, desain konstitusional lahirnya

Dewan Perwakilan Daerah dan dinamika atas pengaturan

calon anggotanya.

BAB -IV: Merupakan bab yang berisikan analisis terhadap

pertimbangan hukum mahkamah serta pengkajian tentang

Page 23: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

13

hakikat DPD dan Partai Politik dalam konstruksi ketanegaraan

Indonesia.

BAB -V: Merupakan bab penutup. Bab ini merupakan bagian akhir dari

seluruh kegiatan penelitian, yang berisi kesimpulan dan

rekomendasi yang diperoleh berdasarkan paparan dari bab-

bab sebelumnya.

Page 24: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

14

BAB II

KUALIFIKASI LEMBAGA PERWAKILAN DALAM REZIM INDIRECT

DEMOCRACY

A. Kerangka Konseptual

1. Diskursus

Kata diskursus secara bahasa berarti rasionalitas, pertukaran ide atau

gagasan, penyampaian wacana pemikiran secara formal dan teratur.1 Kata

diskursus juga dikenal dalam dunia filsafat, konsep tersebut

dikembangkan oleh Michel Foucault. Definisi diskursus menurutnya

adalah sebuah sistem pemikiran serta gagasan, yang digunakan untuk

membangun budaya hingga peradaban. Diskursus berasal dari asumsi-

asumsi, kemudian diskursus menjadi ciri khas, baik dalam kelompok atau

organisasi kecil maupun dalam periode pembahasan tertentu dalam

sejarah.2 Berdasarkan definisi serta pendapat di atas, makna diskursus

yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perdebatan.

2. Pengurus Fungsionaris Partai Politik

Penggorganisasian Partai Politik, dijalankan oleh anggota dan

pengurus fungsionaris partai. Pengurus fungsionaris partai politik yang

peneliti maksud dalam penelitian ini adalah pengurus aktif (sedang

menjabat) dalam partai politik.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun

2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008

Tentang Partai Politik menyatakan bahwa partai politik adalah organisasi

yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara

Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita

untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota,

masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara.

1 KBBI Daring, “Diskursus”, www.kbbi.kemdikbud.go.id, diakses pada 17 Juli 2019.

2 Nicholas Abercrombie, Stephen Hill and Bryan S. Turner, The Penguin Dictionary of

Sociology, Cet.3, (London: Penguin Books, 1994), h. 119.

Page 25: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

15

Lahirnya partai politik sebagai organisasi yang diakui secara

konstitusional dan nasional juga memiliki tujuan dan fungsi utama, hal

tersebut diatur dalam pasal 10 hingga 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2008 tentang Partai Politik yang bertitik berat pada kepentingan umum

dan kepentingan nasional serta pendidikan politik kepada masyarakat

untuk meningkatkan partisipasi politik warga negaranya.

Keseluruhan dari hal tersebut tidak lain untuk meningkatkan iklim

demokratisasi di Indonesia, sehingga sangat wajar apabila partai politik

sebagai jembatan rakyat kepada pemerintahan masuk dalam setiap

lembaga pemerintah sebagai representasi dari berbagai ideologi

masyarakatnya. Sebagai konsekuensi sebagai negara demokrasi, yakni

kebebasan untuk berserikat dan berkumpul.

3. Dewan Perwakilan Daerah

Dewan Perwakilan Daerah atau yang dikenal dengan sebutan DPD

merupakan lembaga yang memperjuangkan aspirasi daerah di tingkat

pusat. Di dalam MPR, pasca amandemen ketiga, DPD membantu DPR

untuk meningkatkan kualitas pembentukan Undang-Undang.3

Secara keterwakilan, DPD berbeda dengan DPR. Keterwakilan DPR

ditujukan kepada kepentingan politik rakyat, sedangkan DPD menjadi

perwakilan dari seluruh daerah di Indonesia.4 Harapan tersebut agar

eksistensi DPD dalam tubuh MPR dapat saling melengkapi dan

menguatkan fungsi dan kewenangan DPR. Hadirnya DPD selain untuk

menyalurkan keanekaragaman aspirasi dari berbagai daerah, juga

diharapkan akan membantu serta mengoptimalkan keputusan politik

rakyat yang diputuskan oleh DPR.5

3 Denny Indrayana, "Indonesian Constitutional Reform 1999–2002: An Evaluation of

Constitution-Making in Transition", (PhD Thesis: Faculty of Law University of Melbourne, 2005),

h. 369.

4 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD

1945, Cet.1, (Yogyakarta: FH UII Press, 2004), h. 50.

5 Tim Penyusun, Panduan Masyarakatan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2007), h. 93.

Page 26: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

16

Senada demikian, Bagir Manan menegaskan gagasan dibalik

terbentuknya DPD. Yakni untuk mengubah sistem perwakilan menjadi

dua kamar (bicameralism) dan gagasan untuk mengikutsertakan daerah

dalam pengambilan keputusan di tingkat pusat.6 Namun, dalam segi

kewenangannya DPD terbilang sangat lemah, dibandingkan DPR.7

Perihal kewenangan legislasi DPD, hanya memiliki kewenangan

rekomendatif. Yakni, mengajukan rancangan Undang-Undang kepada

DPR.

4. Inkonsistensi

Secara bahasa, inkonsistensi berarti ketidakserasian atau

ketidaksesuaian.8 Definisi inkonsistensi yang dimaksud dalam penelitian

ini adalah tidak Konsisten.

5. Inkoherensi

Secara bahasa, inkoherensi berasal dari kata inkoheren. Yang berarti

tidak logis atau ketidaksesuaian.9 Dalam penelitian ini, yang dimaksud

dengan inkoherensi adalah pertimbangan logika yang kontradiktif.

B. Kerangka Teoritik

1. Teori Demokrasi Konstitusional

Keberhasilan dari people power atau aksi masa yang digalakkan pada

tahun 1998 melahirkan secercah harapan baru bagi seluruh rakyat

Indonesia dalam bernegara. Sebelumnya rezim diktator dengan

pemerintahan yang di jalankan menurut penguasanya menjadi mimpi

buruk dalam tidur malam seluruh masyarakat Indonesia, gerakkan

reformis kala itu berhasil mengakhiri masa kelam bernegara tersebut dan

6 Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR Dalam UUD 1945 Baru, Cet.3, (Yogyakarta: FH UII

Press, 2005), h. 9.

7 Hernandi Affandi, “Problematika Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Dalam

Hegemoni Dewan Perwakilan Rakyat”, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1-No.1, 2014, h.

136. 8 KBBI, “Inkonsistensi”, www.kbbi.web.id, diakses pada 23 Agustus 2019.

9 Merriam Webster, “incoherent”, www.merriam-webster.com, diakses pada 23 Agustus 2019.

Page 27: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

17

membebaskan rakyat dari rasa takut akan negaranya sendiri. Reformasi

adalah kata yang menggambarkan peristiwa tersebut.

Sehubung dengan momentum politik yang sangat mendukung, MPR

yang masih menjadi lembaga tertinggi melakukan amandemen konstitusi

sebanyak empat kali, di mana sebelumnya, konstitusi dianggap sebagai

kitab suci yang tidak dapat diamandemen. Salah satu upaya progresif dari

amandemen terebut adalah membuat seluruh lembaga negara setara, serta

memberikan kedaulatan rakyat sepenuhnya kepada rakyat yang dijalankan

menurut konstitusi.

Mencoloknya akan perubahan tersebut membawa sistem

pemerintahan Indonesia ke arah sistem demokrasi konstitusional atau

pelaksanaan kedaulatan rakyat secara langsung, namun tetap

berlandaskan oleh sebuah konstitusi. Sehingga saat ini tidak dapat adanya

tindakan pemerintah yang mampu sewenang-wenang atau melanggar hak

asasi warga negaranya.

Istilah demokrasi konstitusional lahir dari perkawinan antar dua

sistem bernegara, yakni Demokrasi (sistem negara berasaskan

kerakyatan) dengan Negara Hukum (negara yang bersandar pada

konstitusi). Di mana demokrasi Untuk pertama kalinya demokrasi berawal

dari kata “damos” atau “damokai” yang berasal dari masyarakat pada

zaman Mycenaean Period (c. 1500 – 1200 BCE) yang tertuang di dalam

“The Linear B Script”.

Praktik ini awalnya berpusat di Mycenae dan di sekitar permukiman

Peloponnese.10 Praktik demokrasi ini berkembang di wilayah timur yang

saat ini kita kenal sebagai negara Syiria, Irak dan Iran, praktik tersebut

berkembang hingga ke India dan di wilayah bagian barat praktik

demokrasi berkembang di wilayah Byblos dan Sidon, kemudian sampai

di Athena pada abad ke-5 SM.11

10 John Keane, The Life and Death of Democracy, (London-Sydney-Newyork-Toronto: Pocket

Books, 2010), h. xi.

11 John Keane, The Life and Death of Democracy,… h. xi.

Page 28: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

18

Meski praktik demokrasi telah ditemui pada “The Linear B. Script”,

kata demokrasi pada saat ini lebih sering diasosiasikan pada pemaknaaan

demokrasi yang berasal dari Yunani kuno terdiri dari kata “demos” yang

berarti rakyat dan “kratos” yang berarti pemerintahan, sehingga

melahirkan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang berasaskan

pada kerakyatan sebagai dasar acuannya.

Definisi tersebut secara kongkrit pertama kali diutarakan oleh Daniel

Webster pada tahun 1833 dengan pernyataan “a people’s government,

made for the people, made by the people, and answerable to the people,12

Definisi yang serupa juga diutarakan oleh Abraham Lincoln dalam pidato

19 November 1863 di Gettysburg, Pennsylvania dengan membentuk

redaksi yang lebih sederhana menjadi “government of the people, by the

people, forthe people”.13 Berangkat dari acuan tersebutlah perkembangan

demokrasi menjadi suatu hal yang popular dalam negara modern saat ini

karena dalam sistem pemerintahannya secara fiosofis rakyat menduduki

derajat tertinggi dalam suatu negara.

Dalam mengoptimalisasi penerapan dari sistem demokrasi, keadilan

serta moral publik perlu kiranya bagi negara untuk menyediakan beberapa

komoditas utama dalam penyelenggaraan demokrasi sebagai guarantee

mechanism. Yakni,14 adanya sistem pemilihan umum untuk menentukan

penyelenggara pemerintahan, yang harus dilakukan secara bebas dan adil.

Selanjutnya harus adanya partisipasi aktif dari masyarakat dalam

penyelenggaraan pemerintahan. Serta Negara wajib menjamin hak warga

negaranya, melalui supremasi hukum. Hal tersebut ditujukan untuk

mencapai kesetaraan bagi setiap individu rakyatnya.

Konsepsi demokrasi pada intinya berupaya secara optimal untuk

melindungi hak asasi masyarakatnya yang dilakukan melalui hukum,

12 Arend Lijphart, Pattern of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six

Countries, (New Haven & London: Yale University Press, 2012), h. 1.

13 Abraham Lincoln, The Gettysburg Address, (England: Penguin Books, 2009), h. 116.

14 Larry Diamond, In Search of Democracy, (London: Routledge, 2016), h. 3-4.

Page 29: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

19

karena penegakkan hukum dan hak asasi manusia akan menghasilkan

suatu kondisi pemerintahan yang optimal dengan tidak mendzalimi

rakyatnya.15

Jika bandingkan dengan negara hukum, jika ditinjau pada negara

europ continent biasa dikenal dengan istilah “recthstaat” atau apabila

dalam negara anglo saxon biasa di kenal sebagai “rule of law”.16 Ciri

utama dari negara hukum ialah dalam penyelenggaraan pemerintahan

dalam sebuah negara mengedepankan hukum sebagai ujung tombak dari

penyelenggaraan sebuah negara.17 Hal ini ditujukan untuk menghindari

kekuasaan pemerintahan yang terlalu dominan sehingga cenderung

disalahgunakan.

Gagasan negara hukum pada awalnya terbentuk sebagai jawaban atas

peristiwa Glorious Revolution pada tahun 1688 di Inggris yang ditujukan

untuk merespon sikap kerajaan yang di nilai terlalu absolut.18 Konsep

negara hukum ini sekaligus sebagai bentuk penolakan rakyat terhadap

konsep pemerintahan yang tirani atau selalu melakukan penindasan

terhadap rakyatnya, hal tersebut terjadi dikarenakan pemerintahan dalam

menjalankan kewenangannya tidak memiliki batas atas kekuasaaanya

Bermula dari pendapat yang dikemukakan oleh Immanuel Kant yang

mendefinisikan Negara Hukum adalah Negara Hukum Formal (Negara

berada dalam keadaan statis). Sedangkan pendapat lainnnya berasal dari

F.J. Stahl, seorang ahli hukum dari Eropa Kontinental yang memberikan

ciri-ciri Negara hukum (rechtstaat), yakni wajibnya terdapat pengakuan

15 Todd Landman, "Democracy and Human Rights: Concepts, Measures, and

Relationships", Politics and Governance, 6 (1): 2018, h. 48.

16 Philipus M.Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat- Sebuah Studi Tentang

Prinsipprinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum Dan

Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), h. 30.

17 Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung: Mandar Maju,

2013), h. 1.

18 Jimly Assihiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Sekretariat

Jendral dan Kepaniteraan MK RI, 2006), h. 87.

Page 30: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

20

terhadap hak asasi manusia, harus adanya pemisahan kekuasaan lembaga

Negara, pelaksanaan pemerintahan harus berlandaskan pada Undang-

Undang dan adanya peradilan administrasi.19

Konsepsi Negara Hukum yang dilkemukakan oleh F.J. Stahl

kemudian dikaji kembali oleh International Commision of Jurist pada

Konferensi yang diselenggarakan di Bangkok pada tahun 1965, sehingga

lahirlah beberapa kriteria baru. Yaitu, adanya perlindungan

konstitusional, dari hadirnya hak asasi di dalam konstitusi, hingga

prosedur untuk memperoleh perlindungan atas hak tersebut. Selanjutnya,

harus memiliki badan peradilan yang merdeka dan independen. Serta

dalam menentukan penyelenggara pemerintahan, diadakannya pemiliha

umum yang bebas. Dijaminnya hak untuk bebas menyatakan berpendapat

dan berserikat/berorganisasi dan menempati posisi atas serikat tersebut.

Serta setiap warga mendapat pendidikan kewarganegaraan.20

Perkawinan dari dua sistem besar tersebutlah yang kini membawa

Indonesia dalam era demokrasi konstitusional, di mana tidak adanya

pemimpin yang dapat secara tirani merampas hak rakyat serta tidak

adanya kebebasan yang diberikan kepada rakyat secara sebebas-

bebasnya.21 Karena sistem demokrasi kontitusional merupakan anti-tesa

dari absolutisme itu sendiri, hal tersebut dikarenakan karakteristik dari

sistem demokrasi konstitusional yang menutup celah demikian.22

Karakteristik dari demokrasi konstitusional terdiri dari beberapa

aspek.Pertama, Popular Sovereignty, yaitu hukum yang berpedoman pada

kedaulatan rakyat. Kedua, Majority Rule and Minority Right, yaitu

19 Fatkhurrohman, Dian Aminudin dan Sirajudin, Memahami Keberadaan Mahkamah

Konstitusi di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), h. 1.

20 Fatkhurrohman, Dian Aminudin dan Sirajudin, Memahami Keberadaan Mahkamah

Konstitusi di Indonesia,… h. 1.

21 Charles N. Quigley, “Constitutional Democracy”, www.civiced.org, diakses pada 22 Juni

2019.

22 Charles N. Quigley, “Constitutional Democracy”,…

Page 31: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

21

membuat kebijakan berdasarkan pada aspirasi mayoritas, namun tetap

memperhatikan hak individu bagi semua pihak. Ketiga, Limited

Governmentatau pemerintahan terbatas. Pemerintahan yang tunduk pada

konstitusi, baik yang tertulis maupun tidak. Keempat, Institutional and

Procedural Limitation on Powers atau adanya badan pengawas untuk

setiap lembaga negara serta limitasi kewenangan bagi institusi negara.23

Limitasi kewenangan institusi negara dilakukan dengan beberapa

cara. Pertama, Seperated and Share Power atau penyebaran kekuasan

kepada beberapa cabang pemerintahan. Seperti, lembaga eksekutif,

legislatif dan yudikatif. Kedua, Chekcs and Balances, yaitu kedudukan

yang seimbang bagi tiap lembaga negara, serta harus dilengkapi

kewenangan untuk mengawasi lembaga lain. Seperti, kewenangan

judicial review yang dilekatkan pada lembaga peradilan. Ketiga, Due

Process of Law atau perlindungan dan penegakkan hukum yang adil, serta

hak untuk hidup, merdeka dan memiliki harta benda terproteksi oleh

hukum. Keempat, Leadership Succession Through Elections, yakni

pejabat pemerintah yang dipilih melalui pemilihan umum secara periodik,

dan masa transisi pemerintahan berlangsung secara damai.24

Konsepsi demokrasi konstitusional, dinilai sebagai puncak

keseimbangan dari berbagai gagasan demokrasi dewasa ini. Jimly

Asshiddiqie berpendapat, bahwa demokrasi konstitusional merupakan

keutuhan dari gagasan, prinsip, nilai, serta perilaku yang berdasarkan

konstitusi.25 Suatu entitas pemerintahan yang demokratis, dengan

kekuasaan pemerintahan yang terbatas dan tidak berhak untuk mendzalimi

rakyatnya.26

23 Charles N. Quigley, “Constitutional Democracy”,…

24 Charles N. Quigley, “Constitutional Democracy”,…

25 Jimly Assihiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Konstitusi

Press, 2005), h. 243.

26 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. 4, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008),

h. 23.

Page 32: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

22

2. Teori Representatif

Partisipasi rakyat yang menjadi ikon paling mencolok dalam negara

demokrasi, telah mengalami beberapa perkembangan. Saat ini rakyat

sudah tidak mungkin lagi untuk seluruhnya berkumpul pada suatu waktu

dan tempat untuk menentukan piliha mereka, hal tersebut merupakan

demokrasi tradisional yang hanya mungkin terjadi pada negara yang

memiliki jumlah rakyat dan wilayah yang tidak besar.27

Dalam demokrasi modern, kita mengenal istilah demokrasi

perwakilan yakni kedaulatan tertinggi tetap diberikan kepada rakyat,

namun dillaksanakan melalui wakil mereka yang dipilih secara langsung

oleh rakyat dalam pemilihan umum.28 Sistem demokrasi perwakilan

dinilai dapat menjadi sistem yang berlaku pada kurun waktu yang lama.29

Implementasi dari demokrasi perwakilan,tentu memiliki perubahan

serta perkembangan pada praktiknya. Terutama, pada klasifikasi sikap

wakil rakyat terhadap konstituennya. Menurut Gilbert Abcarian, terdapat

empat klasifikasi relasi antara wakil rakyat dan konstituennya.30 Pertama,

relasi dengan bentuk trustee, atau sikap wakil rakyat yang diaggap telah

dipercaya oleh rakyat, sehingga bebas memproduksi kebijakan tanpa

konsultasi pada konstituennya terlebih dahulu.31

Kedua, relasi dengan bentuk delegate. Dalam melaksanakan

tugasnnya, wakil rakyat seperti menjadi rakyat dalam pemerintahan.

Dalam arti lain, wakil rakyat selalu melakukan sesuatu yang dimandatkan

konstituen kepadanya. Ketiga, relasi dengan bentuk politico. Relasi ini

27 Mac Iver, The Modern State, First Edition, (London: Oxford University Press, 1955), h. 313.

28 Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: Rineka CIpta,

2001), h. 240.

29 Destutt de Tracy, A Commentary and Review of Montesque’s Spirit of Law, (Philadelpia:

William Duane, 1811), h. 19, dikutip dalam Adriene Koch, The Philosophy of Thomas Jefferson,

(Chicago, 1964), h. 152-153.

30 Abu Dauh Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta: PT.Bumi Aksara, 2008), h. 143.

31 Abu Dauh Busroh, Ilmu Negara,… h. 143.

Page 33: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

23

merupakan gabungan dari dua tipe sebelumnya, terkadang wakil rakyat

bertindak sebagai delegate, terkadang sebagai trustee.Keempat, relasi

dalam bentuk partisan. Wakil rakyat sebagai loyalis partai, ia cenderung

mendengarkan arahan partai pengusungnya, daripada konstituennnya.32

Pandangan lainjuga diutarakan oleh Googerwerf, menurutnya

terdapat lima jenis relasi antara wakil rakyat dan konstituen yang

diwakilinya.33 Pertama, relasi dengan jenis delegate. Saat menjabat, wakil

rakyat bertindak berdasarkan arahan pemodal atau pengusaha. Kedua,

relasi dengan jenis trustee. Wakil rakyat telah mendapat persetujuan

penuh dari konstituen, untuk bertindak berdasarkan pertimbangannya

sendiri.34

Ketiga, relasi dengan jenis politicas. Relasi jenis ini merupakan

campuran dari delegate dan trustee. Keempat, relasi dengan jenis

Kesatuan. Angota lembaga perwakilan dianggap sebagai perwakilan dari

seluruh rakyat. Kelima, relasi dengan jenis Diversifikasi. Wakil rakyat

dipandang sebagai wakil dari territorial, golongan atau kelompok sosial

tertentu.35

C. Tinjauan Kajian Terdahulu

Dalam penelitian skripsi ini peneliti merujuk kepada berbagai penelitian

lainnya, yang terdiri dari buku maupun jurnal terdahulu. Penelitian ini juga

memiliki kesamaan konteks pembahasan dengan penelitian lain, namun

perbedaan yang mendasar berada pada permasalahan penelitian, perbedaan

permasalahan tersebut dapat berarti perbedaan sudut pandang hingga

kesimpulan.

32 Abu Dauh Busroh, Ilmu Negara,… h. 143.

33 Bintan R Saragih dan Moh. Kusnadi, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cetakan Keempat, (Jakarta:

Gaya Media Pratama, 2000), h. 189.

34 Bintan R Saragih dan Moh. Kusnadi, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cetakan Keempat,… h.

189.

35 Bintan R Saragih dan Moh. Kusnadi, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cetakan Keempat,… h.

189.

Page 34: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

24

Buku, Janedjri M. Gaffar, Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem

Ketatanegaraan Republik Indonesia, Sekretariat Jenderal MPR RI dan UNDP,

2003.36 Buku ini membahas terkait fungsi dan keanggotaan secara

konstitusional dan secara peraturan perUndang-Undangan secara garis besar,

yang menjadi perbedaan buku ini dengan penelitian yang peneliti lakukan

adalah pembahasan yang spesifik terkait problematika keberadaan pengurus

fungsionaris partai politik di dalam keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat

pasca terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU/-XVI/2018

yang melarang secara tegas untuk pengurus fungsionaris partai politik dalam

keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah.

Jurnal, Kris Nugroho, Problematika Dewan Perwakilan Daerah: Antara

Fungsi Konstitusional dan Realitas Politik, Jurnal Masyarakat,

Kebudayaandan Politik/Vol.20 /No.2, 2007.37 Kajian tersebut membahas

kesenjangan antara praktik dari fungsi Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan

peraturan perUndang-Undangan akibat dari keanggotaannya yang masih

berasal dari partai politik. Perbedaan yang substansial dalam penelitian ini

dengan kajian yang peneliti lakukan, ialah pembahasan yang spesifik terkait

promblematika keberadaan pengurus fungsionaris partai politik di dalam

keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat pasca terbitnya Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 30/PUU/-XVI/2018 yang melarang secara tegas untuk

pengurus fungsionaris partai politik dalam keanggotaan Dewan Perwakilan

Daerah.

Skripsi, Grimaldi Anugrah Putranto, Problematika Pengaturan

Keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah Dari Kader dan Pengurus Partai

Politik, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2018.38

36 Janedjri M. Gaffar, Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik

Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI dan UNDP, 2003), h. v.

37 Kris Nugroho, “Problematika Dewan Perwakilan Daerah: Antara Fungsi Konstitusional dan

Realitas Politik”, Jurnal Masyarakat, Kebudayaandan Politik/Vol.20 /No.2, 2007, h. 103.

38 Grimaldi Anugrah Putranto, “Problematika Pengaturan Keanggotaan Dewan Perwakilan

Daerah Dari Kader dan Pengurus Partai Politik”, (Yogyakarta: Skripsi-S1 Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia, 2018), h. v.

Page 35: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

25

Penelitian ini menganalisis keberadaan pengurus dan anggota partai politik di

dalam keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah. Dampaknya kepada buruknya

kinerja Dewan Perwakilan Rakyat itu sendiri, penelitian ini dibuat sebelum

adanya putusan Mahkamah Konstitusia quo, yang menjadi objek penelitian

ini. Perbedaan dengan penelitian ini adalah kajian yang peliti lakukan adalah

membahas tentang permasalahan keberadaan pengurus fungsionaris partai

politik dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU/-XVI/2018 yang

melarang pengurus fungsionaris partai politik dalam keanggotaan DPD.

Page 36: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

26

BAB III

DESAIN KONSTITUSIONAL DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA

A. Perdebatan Desain Parlemen Indonesia

Perkembangan zaman menuju modern democracy, membawa kita pada

perkembangan sistem pemerintahan pula, salah satunya perkembangan pada

lembaga parlemen. Secara bahasa, parlemen berasal dari berbagai bahasa.

“Parler”, merupakan pengistilahan parlemen dalam bahasa Perancis.

Sedangkan dalam bahasa latin, parlemen biasa dikenal dengan istilah

“parliamentum”. Keseluruhan istilah tersebut tetap mengacu pada makna yang

sama untuk penyebutan istilah parlemen, yakni suatu lembaga untuk

bermuaranya seluruh aspirasi rakyat yang disampaikan melalui para wakilnya.1

Dalam perkembangannya, bentuk parlemen mengalami beberapa bentuk

perubahan. Terdapat negara yang menggunakan sistem parlemen satu kamar

(unicameral), serta dua kamar (bicameral) atau lebih.2 Pengaturan mengenai

bentuk parlemen yang dianur sebuah negara, tecermin dari pengaturan dalam

konstitusi negaranya.3

Dalam penentuan bentuk parlemen, tidak semata-mata bergantung pada

bentuk negara terkait.4 Dalam implementasinya, penentuan bentuk parlemen

dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diantaranya, faktor politik, sosial, ekonomi,

budaya dan faktor lainnya. 5

1 Muchammad Ali Syafa'at, Parlemen Bikameral, Studi Perbandingan di Amerika Serikat,

Perancis, Belanda, Inggris, Austria, dan Indonesia, Cetakan Pertama, (Malang: Universitas

Brawijaya Press, 2010), h. 24.

2 Widayati, “Sistem Parlemen Berdasarkan Konstitusi Indonesia”, MMH, Jilid 4 No.4,

Oktober 2015, h. 416.

3 Laode Ida, Menegaskan Posisi Dewan Perwakilan Daerah, dalam Gagasan Amandemen

UUD 1945 Suatu Rekomendasi, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI, 2008), h. 260.

4 Widayati, “Sistem Parlemen Berdasarkan Konstitusi Indonesia”,… h. 416.

5 Dahlan Thaib, “Menuju Parlemen Bikameral (Studi Konstitusional Perubahan Ketiga UUD

1945)”, Pidato Pengukuhan dalam Jabatan Guru Besar Madya dalam Hukum Tata Negara

Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, tanggal 4 Mei 2002, h. 20.

Page 37: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

27

Bentuk parlemen unicameral atau parlemen satu kamar, biasanya dianut

oleh negara yang memiliki masyarakat yang tidak banyak serta cenderung

homogen.6 Kelebihan sistem parlemen ini adalah singkatnya waktu

memproduksi regulasi (sedikit perbedaan pendapat), memiliki tanggungjawab

yang lebih besar, anggota yang terpilih tidaklah banyak serta hemat biaya bagi

penyelenggaraan pemilihannya.7

Berbeda dengan bentuk parlemen bicameral, sistem ini memiki bentuk

perwakilan dua kamar. Dengan kamar tinggi dan rendah, perbedaan tersebut

mengacu pada fungsi perwakilannya. Pada umumnya kamar tinggi mewakili

representasi fungsional, sedangka kamar rendah mewakili kepentingan rakyat.8

Gagasan parlemen dua kamar, dinilai menjadi anti-tesa terhadap parlemen satu

kamar. Pasalnya, keabsolutan pada sistem satu kamar dinilai membuka ruang

akan penyalah gunaan kewenangan dan mudah terpengaruh oleh kondisi geo-

politik pada masa pemerintahannya.9

Terdapat tiga tuntutan negara menggunakan sistem parlemen

ini.10Pertama, gagalnya partai politik untuk mengartikulasikan kepentingan

rakyat. Kedua, lembaga perwakilan perlu mencerminkan perwakilan rakyat,

wilayah serta wakil politik. Ketiga, luasnya negara serta heterogennya rakyat

membutuhkan wakil yang merepresentasika mereka.

Lebih dari itu, spesifikasi dari tuntutan tersebut bermuara pada dua hal.

Yakni, tuntutan pada variasi keterwakilan yang tidak hanya didomoniasi oleh

partai politik dan tuntuntan adanya redundancy, atau pembahasan kebijakan

publik secara berlapis, ditujukan untuk terciptanya check and balances dalam

lembaga parlemen, upaya tersebut diharapkan untuk mengobjektifikasi produk

6 Widayati, “Sistem Parlemen Berdasarkan Konstitusi Indonesia”,… h. 417.

7 Widayati, “Sistem Parlemen Berdasarkan Konstitusi Indonesia”,… h. 417.

8 Widayati, “Sistem Parlemen Berdasarkan Konstitusi Indonesia”,… h. 417.

9 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet.9, (Jakarta: Gramedia, 1985), h. 180.

10 Djatmiko Anom Husodo, Dewan Perwakilan Daerah Dan Masa Depan Bikameralisme

Indonesia, Dalam Gagasan Amandemen UUD 1945 Suatu Rekomendasi, (Jakarta: Komisi Hukum

Nasional RI, 2008), h. 250.

Page 38: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

28

kebijakan agar tidak cacat formil atau terproduksinya regulasi yang tidak

mencerminkan aspirasi rakyat.11 12

Dalam konteks ke Indonesiaan, Indonesia telah mengalami pencarian

panjang terhadap bentuk ideal parlemennya. Pada awal kemerdekaan,

Indonesia memiliki bentuk parlemen unicameral. Menurut Jimly Asshiddiqie,

cerminan tersebut muncul dari proses kedaulatan rakyat yang sepenuhnya

dilaksanakan menurut MPR, dan MPR menjadi lembaga tertinggi kala itu.13

Perubahan bentuk negara terjadi pada tahun 1949-1950, di mana Indonesia

berubah menjai Republik Indonesia Serikat (RIS). Berubahnya bentuk negara

berbanding lurus dengan berubahnnya bentuk konstitusi. Dalam Konstitusi

RIS, terjadi pula perubahan bentuk perlemennya. Dalam Pasal 1 Ayat (2)

Konstitusi RIS menyatakan:

“Kekuasaan kedaulatan Republik Indonesia Serikat dilakukan oleh pemerintah

bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat.”

Dari bunyi Pasal tersebut, kita dapat melihat perubahan pada parlemen

Indonesia menjadi bicameral.Sebelumnya, bentuk kekuasaan tertingi dipegang

oleh MPR. Sebagai rumah rakyat, lembaga yang dianggap sebagai jelmaan dari

seluruh rakyat. Pasca perubahan , terdapatnya kamar DPR dan Senat yang

berdaulat untuk menjalankan roda pemerintahan.14

Perubahan kembali terjadi pada tahun 1950-1959, berlakunya UUDS 1950

merubah seluruh bentuk negara sebelumnya. Kembalinya Indonesia menjadi

negara kesatuan, juga merubah bentuk dari parlemen Indonesia kala itu.

Parlemen satu kamar adalah pilihannya (unicameral). Namun tidak

11 Djatmiko Anom Husodo, Dewan Perwakilan Daerah Dan Masa Depan Bikameralisme

Indonesia, Dalam gagasan Amandemen UUD 1945 Suatu Rekomendasi,… h. 252.

12 Dahlan Thaib, “Menuju Parlemen Bikameral (Studi Konstitusional Perubahan Ketiga UUD

1945)”,… h. 9.

13 Jimly Asshiddiqqie, Menuju Parlemen Dua Kamar, dalam Muchammad Ali Syafa'at,

Parlemen Bikameral, Studi Perbandingan di Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Inggris, Austria,

dan Indonesia,… h. 88 dalam Widayati, “Sistem Parlemen Berdasarkan Konstitusi Indonesia”,…

h. 420.

14 Widayati, “Sistem Parlemen Berdasarkan Konstitusi Indonesia”,… h. 421.

Page 39: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

29

dilaksanakan oleh MPR, melainkan oleh DPR, hal tersebut berdasar pada Pasal

44 UUDS 1950.15

Jelang 9 tahun keberlangsungan UUDS 1950, konstitusi Indonesia kembali

mengalami perubahan. Terbitnya Dekrit Presiden 1959, mengembalikan

eksistensi dari UUD 1945. Kebijakan tersebut disusul dengan terbitnya

Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959, penetapan tersebut menetapkan

sistem perwakilan menjadi sistem MPR. Menurut Eddy Purnama, keadaan

demikian tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk parlemen bicameral

maupun unicameral. Karena, MPR dan DPR memiliki kedudukan yang

hierarkis dan kewenangan yang terpisah.16

Keberlakuan sistem tersebut berakhir pada tahun 2004, dimana telah

disahkannya UUD NRI 1945 hasil amandemen sebanyak empat kali. Dalam

perubahannya, kembali menjadikan parlemen menjadi objek amandemen.

Dengan menjadikan seluruh lembaga negara setara, serta munculnya lembaga

perwakilan baru yakni DPD, memunculkan perbedaan pendapat dikalangan

para ahli. Dikarenakan lembaga perwakilan saat ini menjadi tiga kamar, yakni

MPR, DPR dan DPD yang masing-masing memiliki kewenangan dan anggota

yang berbeda pula.

Sistem parlemen bicameral menurut Ni’matul Huda, menekankan pada

lembaga yang menjadi unsur parlemen, bukan anggota. Dalam konteks

keindonesiaan, yakni berdirinya lembaga DPR dan DPD. Sama seperti

Congress Amerika serikat, yang terdiri dari Senate dan House of

Representative. Berbeda halnya apabila keanggotaanlah yang menjadi unsur

kelembagaan, maka MPR dapat menjadi subjek tersendiri (berdiri setara

dengan DPR dan DPD) dalam parlemen Indonesia.17

15 Widayati, “Sistem Parlemen Berdasarkan Konstitusi Indonesia”,… h. 421.

16 Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat, Analisis Terhadap Sistem Pemerintahan

Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-Negara Lain, (Bandung: Nusamedia, 2007, h. 195

dalam Widayati, “Sistem Parlemen Berdasarkan Konstitusi Indonesia”,… h. 422.

17 Ni’matul Huda, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, (Yogyakarta: UII

Press, 2007), h. 99.

Page 40: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

30

Menyoal pada sudut padang yang berbeda, Bagir Manan menyoroti sistem

parlemen Indonesia dari sisi kewenangannya. Perbedaan kewenangan yang

sangat signifikan antar masing-masing lembaga, membawa argumentasi Bagir

Manan pada parlemen tiga kamar. Yakni, MPR, DPR dan DPD. Dalam arti

lain, pasca amandemen konstitusi, Indonesia menghadirkan sistem parlemen

tiga kamar atau tricameral.18

Perspektif yang hampir serupa juga diutarakan oleh Jimly Asshiddiqie,

menurutnya Indonesia menganut sistem tricameral. Ia menambahkan, sistem

parlemen tricameral tidak pernah dianut oleh negara manapun, kecuali di

Indonesia. Argumentasi tersebut dilandasi pada terdapatnya tiga kamar

perwakilan yang memiliki functie yang berbeda satu dengan yang lainnya.

Bahkan menurutnya, keberadaan MPR sebagai auxiliary organ atau forum

tersendiri diluar fungsi DPR dan DPD untuk mengambil keputusan.19

Widayati menyatakan perbedaan pendapat yang mendasar pula,

menurutnya parlemen Indonesia tidak mencerminkan bicameral dalam MPR,

apalagi tricameral. Pasalnya, setelah Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan

Perwakilan Rakyat menyatu menjadi anggota Majelis Permusyawaratan

Rakyat, identitas merekamenjadi MPR. Tidak adanya dikotomi kelembagaan

lagi yang muncul dalam MPR, semuanya telah melebur menjadi satu, yakni

MPR.20

Pandangan peneliti, dalam kontruksi parlemen yang seperti ini, kita tidak

dapat mengkultuskan satu bentuk penilaian terhadap sistem lembaga

perwakilan yang dianut oleh Indonesia. Melainkan, keseluruhan bentuk

parlemen tersebut dapat terjadi di Indonesia, namun dalam waktu dan keadaan

yang berbeda. Seperti unicameral, Indonesia menganut unicameralism ketika

DPR dan DPD sedang melebur dalam MPR. Sedangkan bicameralism, dapat

18 Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR dalam Undang Undang Dasar 1945 Baru, (Yogyakarta:

FH UII Press, 2003), h. 55.

19 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,

(Jakarta: Sekretarian Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 45-46.

20 Widayati, “Sistem Parlemen Berdasarkan Konstitusi Indonesia”,… h. 422-423.

Page 41: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

31

terjadi ketika DPR dan DPD sedang mewakilkan rakyat serta membahas

produk Undang-Undang. Dan tricameralisme, secara konstitusional Indonesia

menganut sistem tiga kamar, karena memiliki kewenangan, kedudukan

lembaga serta anggota yang berbeda satu dengan yang lain.

B. Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah

Dalam sidang kedua BPUPKI, Muhammad Yamin mengutarakan bahwa

dalam UUD yang akan kita susun nanti, harus terdapat Majelis

Permusyawaratan untuk seluruh rakyat yang berdiri diatas Kepala Negara dan

Wakil Kepala Negara, yang menjadi pemegang kekuasaan tertinggi dalam

Republik Indonesia merdeka. Komposisi anggota yang akan mengisi Majelis

Permusyawaratan harus mencerminkan perwakilan dari seluruh rakyat, yang

terdiri dari wakil-wakil daerah, wakil golongan, dan anggota Dewan

Perwakilan Rakyat. Sebagai jelmaan dari seluruh rakyat, maka Presiden

sekalipun harus bertanggung jawab kepada Majelis ini.21

Pada tanggal 13 Juli 1945, gagasan demikian cukup mendapat perhatian.

Pasalnya, pemerintahan berdasarkan rakyat sedang menjadi bentuk ideologi

yang dianggap solutif kala itu. Rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar

menghasilkan sebuah Rancangan Undang-Undang Dasar yang mengakomodir

bentuk MPR gagasan Muh.Yamin.22

Pasca kemerdekaan Indonesia, UUD Tahun 1945 berlaku secara nasional.

Namun MPR belum terbentuk secara langsung, berdasarkan Maklumat Wakil

Presiden Nomor X (eks) tanggal 16 Oktober 1945, yang menyatakan bahwa:

“Bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat, sebelum terbentuknya Majelis

Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan

legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, serta pekerjaan

Komite Nasional Indonesia Pusat sehari-hari berhubung dengan gentingnya

keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih di antara mereka

dan yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat”.

21 Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei 1945-22 Agustus

1945,(Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998), h. 201-202.

22 Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI),… h. 249-252.

Page 42: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

32

Setelah berlakunya UUD Tahun 1945, hadirnya KNIP merupakan zigot dari

eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Perjalanan sejarah Indonesia membawa kita pada transisi konstitusi dari

UUD Tahun 1945 menuju Konstitusi RIS 1949, sampai saat itu MPR belum

juga terbentuk. Dalam konstitusi RIS, MPR tidak terkonfigurasi di dalamnya,

tetapi Konstituante (Sidang Pembuat Konstitusi) menggantikanya.

Konstituante bertugas untuk bersama dengan pemerintah untuk segera

memprduksi konstitusi untuk menggantikan konstitusi sementara ini

(Konstitusi RIS).

Belum efektif pelaksanaan dari Konstitusi RIS, pada tahun 1950 lahirlah

UUDS 1950 sebagai penggantinya. Di dalamnya kembali tidak mengenal

keberadaan dari MPR, namun di dalamnya yang dimaksud sebagai alat

kelengkapan negara, tertuang dalam Pasal 44 Undang Undang Dasar

Sementara 1950 adalah: Presiden dan Wakil Presiden, Menteri-menteri, Dewan

Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, dan Dewan Pengawas Keuangan.

Sebagai pengganti MPR, Konstituante tetap eksis pada UUDS 1950.

Namun secara konstitusional, fungsi dari Konstituante terpisah dari fungsi

legislatif fungsi legislatif biasanya berfungsi untuk membentuk Undang-

Undang yang biasa.23 Karenanya, Konstituante kala itu hanya dilekatkan

kewenangan untuk memproduksi Undang Undang Dasar sebagai dasar Negara

Indonesia.

Keberlakuan UUDS 1950 tak semanis harapan para pembentuknya,

ditambah Konstituante yang telah gagal untuk membentuk UUD baru. Pada

tahun 1959 Konstituante di bubarkan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang

berbunyi:

“menetapkan pembubaran Konstituante, menetapkan UndangUndang Dasar

1945 berlaku lagi, pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara

yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan

utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan

23 Jimly Asshiddiqie, “Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Serpihan Pemikiran

Hukum”, Media dan HAM, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia, 2006), h. 19.

Page 43: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

33

Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu

yang sesingkatsingkatnya.“

Bentuk tindak lanjut atas terbitnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, terbitnya

Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 sebagai dasar hukum bagi

terbentuknya MPRS, yang anggotanya berasal dari anggota DPR Gotong

Royong ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah (Daerah Swatantra

Tingkat I) dan golongan-golongan (Golongan Karya). Untuk pengangkatan

anggota MPRS yang berasal dari Utusan Derah, DPRD mengajukan calon-

calon kepada Presiden dalam jumlah sebanyak-banyaknya dua kali jatah yang

ditentukan untuk daerah itu. Bila belum ada DPRD, maka Kepala Daerah

Tingkat I mengajukan calon-calon itu dengan memperhatikan pertimbangan

instansinstansi sipil dan militer, organisasi-organisasi rakyat dan tokoh-tokoh

di daerahnya.24

MPRS dengan fungsi dan kedudukan yang demikian tidak bertahan lama.

Lahirnya Supersemar 1966 sebagai tanda berakhirnya rezim orde lama. Salah

satu dampaknya adalah perubahan terhadap MPRS itu sendiri, marwah MPRS

dikembalikan kepada Konstitusi, sebagai pelaksana penuh atas kedaulatan

rakyat.25 Keanggotaan MPR pada masa itu dapat berasal melalui tiga metode

pengisian, yakni melalui Pemilihan Umum, Pemilihan Bertingkat dan melalui

Pengangkatan/Penunjukan.26 Untuk metode pengisian anggota MPR melalui

pemilu dilakukan untuk mengisi sebagian kursi di DPR, namun hanya untuk

keanggotaan yang berasal dari organisasi peserta pemilu, karena ada sebagian

anggota DPR yang pengisiannya dengan cara pengangkatan.

Pada metode pengisian melalui pemilihan bertingkat dilakukan untuk

mengisi sebagian anggota MPR yang berasal dari Utusan Daerah. Anggota

MPR yang berasal dari Utusan Daerah dipilih oleh DPRD Tingkat I, sedangkan

24 Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, (Jakarta: Aksara Baru, 1977), h. 228.

25 Widayati, “Rekonstruksi Kelembagaan MPR”, Pengembangan Epistimologi Ilmu Hukum,

(Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta), h. 202.

26 Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat: Analisis Terhadap Sistem Pemerintahan

Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-Negara lain, (Bandung: Nusamedia, 2007), h.

186.

Page 44: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

34

untuk pemilihan anggota DPRD dilakukan dengan cara pemilu. Metode ketiga

yakni untuk pengisian anggota MPR melalui pengangkatan atau penunjukan,

baik untuk mengisi sebagian kursi di DPR yang anggotanya berasal dari Golkar

ABRI maupun untuk mengisi sebagian kursi di MPR dari Golkar ABRI.

Pengangkatan atau penunjukan dengan cara yang sama juga dilakukan untuk

pengisian anggota MPR yang berasal dari Utusan Daerah serta seluruh Utusan

Golongan.

MPR sebagai perwakilan dari rakyat memiliki tugas dan wewenanganya

masing-masing. Pada masa pemerintahan Orde Baru, pengertian golongan

diperluas dengan maksud untuk memperbesar dukungan politik kepada

penguasa. Cara pengisian utusan golongan yang secara sepihak dititahkan

kepada presiden mudah menimbulkan kolusi politik antara golongan yang

diangkat.27

Memberi wewenang kepada Presiden mengangkat utusan golongan,

membuka peluang penyalahgunaan wewenang. Presiden akan mengangkat

golongan hanya untuk menyokong Presiden atau politik Presiden. Rezim orde

baru telah mencapai puncaknya, pemberontakan oleh seluruh elemen

masyarakat yang dilakukan secara sporadis dan berapi-api mendesak presiden

Soeharto sebagai presiden kalaitu mengundurkan diri pada tahun 1998,

Reformasi adalah selogan yang berkumandang kala itu.

Kedudukan tertinggi saat itu tetap berada pada MPR. Setelah pemilu 1999,

MPR tetap berasal dari DPR ditambah Utusan Golongan dan Daerah. Pada

kondisi tersebut, MPR melaksanakan fungsi fundamental lembaga tersebut

dengan melakukan Amandemen Konstitusi sebanyak empat kali selama 4

tahun berturut-turut. Di mana sebelumnya, kewenangan fundamental tersebut

tidak pernah dilakukan oleh MPR yang lalu.28

Rekonstruksi konstitusional besar-besaran terjadi pasca amandemen, salah

satunya dalam konstruksi MPR. Sebelumnya MPR merupakan lembaga

27 Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR dalam Undang-Undang Dasar 1945 Baru,… h. 72.

28 Widayati, “Rekonstruksi Kelembagaan MPR”, Pengembangan Epistimologi Ilmu

Hukum,… h. 204.

Page 45: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

35

tertinggi pelaksana kedaulatan rakyat yang terdiri dari DPR ditambah Utusan

Golongan dan Daerah, menjadi setara dengan lembaga negara lainnya, dan

keanggotaan MPR berasal dari anggota DPR dan DPD (pengganti Utusan

Golongan dan Daerah) yang dipilih secara langsung melalui pemilu.

Geistlichen hintergrund amandemen konstitusi, membawa kita pada salah

satu unsur perubahan yang menarik pada lembaga perwakilan daerah.

Sebelumnya, kepentingan daerah diwakili oleh Utusan Daerah, lembaga yang

dibentuk agar mampu mengartikulasikan kepentingan daerah ke tingkat pusat.

Di mana, anggota utusan daerah dipilih oleh DPRD daerah terkait terlebih

dahulu.Setelah terpilih, barulah dapat menjadi utusan daerah di tingkat pusat.

Permasalahan yang sangat mendasar muncul, terdapat pihak yang

menyatakan bahwa dengan pemilihan utusan daerah yang seperti itu tidak akan

memunculkan wakil yang mengedepankan kepentingan daerah, melainkan

kepentingan partai politik. Karena anggota DPRD berasal dan diusukan dari

partai politik, maka wakil yang dipilih oleh DPRD secara tidak langsung akan

menjadi perwakilan partai politik pada utusan daerah di tingkat pusat. Maka

wajar saja, jika mayoritas partai di DPR dan pemerintahan (berlatarbelakang

partai) kala itu akan senantiasa mendapatkan dukungan suara juga oleh Utusan

Daerah.29

Urgensi akan hadirnya DPD juga termaktub pada pertimbangan

mahkamah konstitusi dalam Putusan Nomor 30/PUU-XVI/2018, yang

menyatakan:

“Pentingnya mendengar aspirasi daerah dan melibatkannya dalam pengambilan

keputusan politik untuk hal-hal tertentu juga dimaksudkan sebagai bagian dari

constitutional engineering untuk mengatasi dan mencegah timbulnya

ketidakpuasan daerah yang disebabkan oleh pengambilan keputusan politik yang

bersifat sentralistik yang diberlakukan berdasarkan sistem ketatanegaraan yang

lama (sebelum dilakukan perubahan UUD 1945). Karena itulah, ketika dilakukan

penambahan satu Ayat dalam Pasal 33 UUD 1945 dimasukkan frasa “serta

dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”,

sebagaimana terbaca saat ini dalam rumusan Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945.

Dengan demikian, kehadiran DPD adalah bagian tak terpisahkan dari desain

konstitusional untuk memperkuat keberadaan Negara Kesatuan Republik

29 P J Suwarno, “Utusan Daerah Dalam Undang-Undang Dasar 1945”,

perpustakaan.bappenas.go.id, diakses pada 24 juni 2019.

Page 46: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

36

Indonesia. Itulah sebab ditolaknya gagasan membentuk sistem perwakilan

berkamar dua (bikameral) yang sempat muncul pada saat berlangsungnya proses

perubahan UUD 1945 di Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR yang

menghendaki adanya kedudukan sejajar dan kewenangan yang setara antara DPR

dan DPD karena dianggap tidak sesuai dengan keberadaan Indonesia sebagai

negara kesatuan, terlepas dari soal benar atau tidaknya anggapan demikian jika

ditinjau secara akademik.”

Keseluruhan dari permasalahan yang timbul tersebut, akibat kontstruksi

lembaga perwakilan yang kurang sempurna. Akibatnya, menjadikan proses

penyaluran aspirasi daerah ke tingkat pusat menjadi tidak efektif,30 tanpa

adanya kewenangan untuk mengeksekusi aspirasi menjadi legislasi tersebut.

Hal tersebut yang melatarbelakangi para the second founding fathers bangsa

untuk membentukrumusan baru, yang ditujukan untuk menyempurnakan

sistem ketatanegaraan Indonesia. Lahirnya Dewan Perwakilan Daerah sebagai

pengganti Utusan Daerah dan penghapusan Utusan Golongan.Harapan besar

atas lahirnya DPDagar mampu memperjuangkan kepentingan daerah pada

tingkat pusat.

Dalam perumusannnya, terdapat perdebatan akademis yang menjadi latar

belakang terbentuknya DPD. Dinamika dalam perdebatan tersebut tercatat jelas

dalam sejarah. Diawali dari pendapat mengenai kedudukan, hingga pendapat

mengenai kedudukan Dewan Perwakilan Daerah. Untuk mencerminkan

seluruh perdebatan demikian, peneliti hanya mengutip beberapa perdebatan.

Ditujukan untuk sekedar menggambarkan suasanan kebatinan yang terjadi kala

itu. Salah satunya adalah pendapat yang dikeluarkan oleh juru bicara F-PG,

yaitu Theo L. Sambuaga, yang menyampaikan pendapat mengenai DPR dan

DPD, yakni:31

“...Dewan Perwakilan Daerah dalam rangka struktur MPR yang terdiri dari

Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah ini adalah berangkat

30 Putra Dekantara, “Optimalisasi Fungsi Legislasi DPD Dalam Sistem Lembaga Perwakilan

di Indonesia”, (Tesis S-2 Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2018), h. 3.

31 Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945 (1999-2002), Tahun Sidang 2001, Buku Empat, (Jakarta: Sekertariat

Jenderal MPR RI, 2000), h. 223 dalam Tim Penyusun Revisi Naskah Komprehensif Proses dan

Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002,

(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, 2010), h. 1453.

Page 47: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

37

daripada upaya kita untuk menyeimbangkan keterwakilan. Keterwakilan,

representativeness terutama dari daerah, yang pada waktu-waktu yang lalu

sedikit banyak menimbulkan rasa ketidakadilan di daerah, menimbulkan rasa

kekecewaan. Sehingga ada yang kebablasan untuk membangkitkan upaya-upaya

untuk memisahkan diri dari NKRI, umpamanya ada upaya-upaya seperti itu”

Aspirasi akankesatuan, menjadi salah satu alasan kunci pembentukan

DPD.Selain itu, Theo L Sambuaga juga menyampaikan pendapat lain, yaitu

Tentang sistem keterwakilan dan efek negatif dari DPD, yakni:32

“… Mengenai Pasal 22D, sekali lagi ditegaskan bahwa untuk Ayat (2), alternatif

kita adalah alternatif dua, koreksi yang tadi. Jadi Saudara-saudara sekalian, kalau

dikatakan bahwa DPD dikhawatirkan itu sejajar dengan prinsip federalisme, itu

sama sekali tidak benar.

Banyak negara di dunia termasuk negara yang paling demokratis seperti

Inggris, negara kesatuan yang mengaplikasikan prinsip dua kamar seperti ini.

Jangan jauh-jauh dari kita Thailand, Philipina, Jepang, itu semua adalah negara-

negara kesatuan yang menerapkan dengan baik sistem dua kamar seperti ini.

Jadi di sini jelas sama sekali tidak berkata bahwa Dewan Perwakilan Daerah

ini sejajar dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Karena fungsi legislasinya maupun

fungsi pengawasannya sangat terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan

daerah. Demikian juga Saudara-Saudara sekalian, kalau dilihat dari segi

kehadiran Dewan Perwakilan Daerah, ini melengkapi disamping segi

keterwakilan, segi demokratisasi, segi demokrasi, juga aspek checks and

balances. Jadi kehadiran di sini bukan sekedar untuk menghadirkan badan baru,

tetapi secara sadar mengupayakan satu sistem keterwakilan kita yang lebih

menjamin demokrasi, keterwakilan, dan checks andbalances. Dan dengan

demikian itu berarti justru memperkuat posisi kita dalam bentuk Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Justru dengan demikian mengakomodir dan menyalurkan pemikiran-

pemikiran, suara-suara yang ingin memperjuangkan aspirasi daerah dalam suatu

mekanisme yang terlembaga. Bukan mekanisme seperti yang kita ada sekarang

ini, hanya sekedar Utusan Daerah atau menjadi Fraksi Utusan Daerah.”

Menanggapi hal yang demikian, Sutjipto sebagai juru bicara F-UG,

menyampaikan aspirasi fraksinya mengenai permasalahan kewenangan DPD,

perihal kewenangan legislasi, yakni:33

32 Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945 (1999-2002), Tahun Sidang 2001, Buku Empat,… h. 223-224 dalam Tim

Penyusun Revisi Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah

Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar

Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002,… h. 1454.

33 Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945 (1999-2002), Tahun Sidang 2001, Buku Empat,… h. 224-225 dalam Tim

Penyusun Revisi Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah

Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar

Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002,… h. 1454-1455.

Page 48: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

38

“… Pasal 22D, jadi Ayat (1) memang DPD dapat mengajukan kepada DPR

rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan

pusat dan daerah, dan lain-lain.

Lalu kalau nanti ini DPD berhak mengajukan, kalau DPR juga berhak

mengajukan, nanti yang akan dibahas yang mana? Punya DPD atau punya yang

diajukan DPR atau diajukan oleh Pemerintah. Ini kan sudah suatu implikasi yang

juga kita mesti pikirkan juga nanti dalam undangundang. Karena kalau yang

mengajukan DPD tentunya heavy nya kepentingan daerah. Kalau hasil pusat nanti

mungkin saja bahwa itu juga heavy-nya juga ke pusat. Oleh karena itu hal-hal

yang demikian.

Padahal, sebenarnya anggota DPR juga meskipun dia mewakili partai,

political representation, tetapi mereka juga dari daerah-daerah. Jadi saya kira

memang sangat naif kalau anggota daerah, anggota DPR-DPR daerah tidak mau

memperjuangkan kepentingan daerah.”

Berbagai argumentasi terlontarkan, dinamika utama dalam perdebatan

tersebut tetap menginginkan adanya konstruksi lembaga perwakilan daerah

yang optimal, dari segi perwakilan hingga legislasi.Andi Najmi Fuadi selaku

juru bicara F-KB, menangapi adanya pernyataan demikian, dengan

menyatakan:34

“… Namun demikian, agar tidak terjadi over lapping antara DPR dan DPD maka

serta merta gagasan ini harus diatur sedemikian rupa, sehingga ketika keinginan

untuk memperkuat posisi DPD ini juga tidak menjadi over lapping dengan DPR,

itu bukan berarti bahwa fungsi-fungsi DPD sebagai sandingan dari DPR yang

dipilih secara langsung itu juga menjadi tidak ada. Artinya apa, bahwa DPD pun

tetap harus memiliki fungsi legislasi meskipun itu sangat terbatas, sebagaimana

diatur dalam Konsep Pasal 22D Ayat (2) alternatif 1, bahwa DPD memiliki fungsi

legislasi yang terbatas. Kemudian pada Ayat (3) ini juga mengatur Tentang fungsi

DPD, dalam hal pengawasan yang juga sangat terbatas dalam alternatif 1 nya.”

Pernyataan demikian selaras dengan pandangan Patrialis Akbar, yang

menyatakan bahwa:35

“…Oleh karena itu kami setuju, Tentang masalah fungsi dan tugas ini memang

harus betul-betul kita kembali bicarakan. Tapi paling tidak pada posisi-posisi

DPD di dalam ikut serta membahas rancangan Undang-Undang dan ikut serta

34 Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945 (1999-2002), Tahun Sidang 2001, Buku Empat,… h. 227 dalam Tim

Penyusun Revisi Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah

Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar

Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002,… h. 1456.

35 Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945 (1999-2002), Tahun Sidang 2001, Buku Empat,… h. 228 dalam Tim

Penyusun Revisi Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah

Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar

Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002,… h.1458.

Page 49: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

39

sekaligus melakukan pengawasan, itu memang seharusnya dilibatkan. Akan

tetapi bahanbahan pengawasan itu tetap diberikan kepada Dewan Perwakilan

Rakyat sebagai bahan pertimbangan lebih lanjut untuk ditindaklanjuti oleh

Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, itu terbatas juga posisinya…”

Majemuknya pendapat yang terlontarkan, sudah pasti menuai persamaan

hingga perbedaan pendapat. Hal tersebut ditujukan untuk menyentuh bentuk

ideal dari lembaga perwakilan daerah yang akan setujui untuk dibuat. Aspirasi

lain muncul dari Tjeje Hidayat Padmadinata, sebagai juru bicara F-KKI. Beliau

menegaskan bahwa:36

“…Bagi kami, keberadaan DPD ini teramat mahal. Sudah banyak makan korban

nyawa dan lain sebagai, selama kurang lebih 45 tahun. Jadi sekali lagi mengapa

kami tidak berani melewati 22C? Jadi harga dari suara pemilihnya itu kalau Di

Jawa Barat anggota DPR 82 orang nanti hanya 5 jadi jumlah suara kurang lebih

17 kali 400.000, oh mahal itu. Saya belum bisa membayangkan, walaupun tadi

bukan partai lain sebagainya, persisnya bagaimana ini nantinya. Saya tidak bisa

membayangkan anggota DPD dipilih sama sekali lepas dari mekanisme bahkan

mesin partai. Belum bisa membayangkan! Bagaimana ini? Tanpa keterlibatan

mesin atau mekanisme partai.

Dan juga mengapa, sekali lagi kami belum berani loncat dari 22C itu. Wakil

daerah ini strong semacam senator di Amerika atau soft sekedar penghubung

daerah dengan pusat saja. Daripada berontak, lebih baik ada lima orang di sini,

itu misalnya. Jadi pada prinsipnya setuju…”

Keseluruhan pandangan lainnya menjadi latar belakang lahirnya DPD

pada amandemen ketiga UUD NRI 1945. Setelah pengesahan, bentuk

konstruksi DPD menjadi:37

Pasal 22C

(1) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui

pemilihan umum.

(2) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan

seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga

jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.

(4) Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan Undang-

Undang.

36 Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945 (1999-2002), Tahun Sidang 2001, Buku Empat,… h. 232 dalam Tim

Penyusun Revisi Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah

Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar

Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002,… h. 1460.

37 Tim Penyusun Revisi Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945,

Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002,…h. 1467-1468.

Page 50: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

40

Pasal 22D

(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan

Rakyat rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,

hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta

penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya

ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat

dan daerah.

(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan Undang-Undang yang

berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,

pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber

daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan

pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada Dewan

Perwakilan Rakyat atas rancangan Undang-Undang anggaran pendapatan

dan belanja negara dan rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan

pajak, pendidikan, dan agama.

Berdasarkan perdebatan tersebut, upaya penyempurnaan Dewan

Perwakilan Daerah sebagai lembaga perwakilan daerah sangat terlihat. Hemat

kata, untuk mengakhiri perdebatan yang telah disajikan sebelumnya, Peneliti

mengutip pendapat akhir dari juru bicara F-PDIP, yakni I Dewa Gede Palguna.

Mewakili fraksinya, beliau menegaskan:38

“Di samping keberadaan DPR dengan fungsi legislasi, fungsi pengawasan dan

fungsi anggaran yang mewakili rakyat, keberadaan dan keterlibatan DPD itu pasti

akan lebih meningkatkan kualitas proses dan keputusan politik nasional,

khususnya mengenai pengembangan otonomi, hubungan keuangan pusat dan

daerah, penyusunan APBN, dan sebagainya.”

Implikasi dari hadirnya DPD, terdapat perubahan pada realitas sistem

parlemen di Indonesia.Perubahan tersebut mengarah padabicameral system

atau sistem parlemen dua kamar, karena membuka ruang baru pada koridor

perwakilan di Indonesia. Pasalnya, DPR tidak lagi menjadi lembaga tunggal

atas perwakilan rakyat, karena terdapat Dewan Perwakilan Daerah (DPD),

sebagai lembaga baru yang merepresentasikan kepentingan daerah untuk

diperjuangkan pada tingkat pusat.39

38 Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945 (1999-2002), Tahun Sidang 2001, Buku Empat,… h. 661 dalam Tim

Penyusun Revisi Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah

Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar

Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002,… h. 1464.

39 Firman Manan, “Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Dalam Sistem

Pemerintahan Republik Indonesia”, Cosmogov, Vol.1 No.1, 2015, h. 49.

Page 51: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

41

Dewan Perwakilan Daerah sebagai badan representasi baru, diharapkan

mampu untuk membentuk mengupayakan aspirasi daerah ke dalam Undang-

Undang yang berkaitan dengan kedaerahan. Agar kehadirannya berfungsi

secara optimal untuk memperjuangkan kepentingan daerah, karena DPD telah

menjadi badan representatif sebagai perwakilan rakyat dalam kursi

pemerintahan sekaligus dalam bidang legislatif.40

Desain konstitusional DPD juga ditegaskann oleh Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia, melalui Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008, menyatakan:

“Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa desain konstitusional DPD sebagai

organ konstitusi adalah:

1) DPD merupakan representasi daerah (territorial representative) yang

membawa dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam

kerangka kepentinga nasional, sebagai imbangan atas dasar prinsip “check

and balances” terhadap DPR yang merupakan representasi politik (political

representative) dari aspirasi kepentingan politik partai-partai politik dalam

kerangka kepentingan nasional;

2) Keberadaan DPR dan DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang

seluruh anggotanya menjadi anggota MPR bukanlah berarti bahwa sistem

perwakilan Indonesia menganut sistem perwakilan bicameral, melainkan

sebagai gambaran Tentang sistem perwakilan yang khas Indonesia;

3) Meskipun kewenangan konstitusional DPD terbatas, namun dari seluruh

kewenangannya di bidang legislasi, anggaran, pengawasan, dan

pertimbangan sebagaimana diatur dalam Pasal 22D UUD 1945, kesemuanya

terkait dan berorientasi kepada kepentingan daerah yang harus

diperjuangkan secara nasional berdasarkan postulat keseimbangan antara

kepentingan nasional dan kepentingan daerah;

4) Bahwa sebagai representasi daerah dari setiap provinsi, anggota DPD dipilih

melalui pemilu dari setiap provinsi dengan jumlah yang sama, berdasarkan

pencalonan secara perseorangan, bukan melalui Partai, sebagai peserta

pemilu;”

Optimalisasi kewenangan dari DPD sangatlah diharapkan, karena saat ini

DPD sebagai lembaga perwakilan daerah memiliki kedudukan yang setara

dengan DPR, MPR atau lembaga konstitusional negara lainnnya. Serta fungsi

DPD untuk mampu menjadi jembatan artikulasi atas kepentingan lokal

kedaerahan dalam krangka kepentingan nasional, tidak menjadi hal yang

semantik belaka.41

40 Katt Hall, Legislation, (Chatswood: Butterworths, 2002), h. 6-9.

41 Dewan Perwakilan Daerah RI, Untuk Apa DPD RI, (Jakarta: Kelompok DPD di MPR RI,

2006), h. 18.

Page 52: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

42

Dalam praktiknya, harapan tersebut tidak mudah untuk terpenuhi. Dengan

konstruksi yang demikian, permusyawaratan dalam MPR akan didominasi oleh

DPR, dari segi kewenangan hingga keanggotaan. Jika dibandingkan dalam segi

keanggotaan, jumlah anggota DPD tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota

DPR. Perihal legislasi, kewenangan DPD sangat limitatif. Hanya mampu

mengajukan RUU dan ikut membahas Undang-Undang terkait kedaerahan,

namun keputusannya tetap berada pada DPR dan Presiden. Dalam praktiknya

DPR tetap memiliki power yang mendominasi dalam kamar parlemen.42

Sejalan demikian, Andi Salman Maggalatung menyatakan, bahwa

eksistensi DPD memang kuat secara prosedural konstitusional, namun lemah

secara subtantif kelembagaan.43 Cacat Demokratis merupakan istilah yang

mampu menggambarkan DPD dan kewenangannya. Bagaimana tidak, lembaga

yang seluruh anggotanya dipilih langsung oleh rakyat, namun tidak mampu

mengeksekusi secara lugas aspirasi tersebut.44 Membuat dilema baru dalam

hegemoni ketatanegaraan Indonesia, haruskan kita memperkuat DPD secara

subtantif, agar dapat hingga mengeksekusi aspirasi distrik yang diwakilinya,

atau menghapusnya, karena dianggap eksistensinya hanya sekedar formalitas

reformasi belaka.

Dari seluruh argumentasi historis di atas, peneliti berpendapat bahwa

terdapat beberapa alasan ataslimitatifnya kewenangan DPD dibandingkan

DPR. Pertama, kekahawatiran akan overlapping-nya kewenangan DPR dan

DPD dalam hal legislasi.45 Kedua, DPD hanya sebagai perwakilan kepentingan

daerah di tingkat pusat. Agar dalam membentuk kebijakan, juga menyertakan

42 Dewan Perwakilan Daerah RI, Untuk Apa DPD RI,… h. 21-25.

43 Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945,

(Bekasi: Gramata Publishing, 2016), h. 76.

44 Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945,… h.

76.

45 Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945 (1999-2002), Tahun Sidang 2001, Buku Empat,… h. 224-225. dalam Tim

Penyusun Revisi Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah

Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar

Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002,… h. 1454-1455.

Page 53: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

43

aspirasi kedaerahan dan meningkatkan kualitas kebijakan politik nasional.46

Ketiga, penghormatan terhadap hasil amandemen pertama, mengenai

kewenangan DPR pada Pasal 20 Ayat (1). Yang menyatakan bahwa, DPR

memegang kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang. Atas dasar tersebut,

seluruh kebijakan pembentukan Undang-Undang dalam parlemen, harus

bermuara pada persetujuan DPR. Menilai, perumusan DPD baru lahir pada

amandemen ketiga. Dan yang terakhir, karena Indonesia merupakan Negara

kesatuan, bukan federal.

C. Dinamika Pengaturan Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah

Hegemoni dalam kelembagaan negara, bukan hanya terdapat pada

permusan kewenangan lembaganya saja. Melainkan, untuk menyempurnakan

niat pembentukan lembaga DPD, berbagai perdebatan juga terjadi untuk

menentukan anggota yang akan mengisi kursi DPD, dari latarbelakang anggota

hingga model pemilihan yang akan dipilih untuk memilih anggotanya.

Dalam perumusannya, muncul gagasan untuk mempertegas bagaimana

dan dari mana sumber keanggotaan dari DPD. Pada Rapat PAH I BP MPR Ke-

30 pada tanggal 6 Juni 2019 mengenai pembahasan untuk rumusan pemilihan

anggota yang tertuang dalam Ayat (1) yang dipimpin oleh Ali Masykur Musa

dari F-KB. Berbagai rumusan kalimat berdatangan hingga berujung pada

usulan kalimat yang di utarakan oleh Yusuf Muhammad dari F-KB yang

menegaskan sebagai berikut:47

“Anggota Dewan Perwakilan Daerah merupakan wakil individu yang dipilih dari

setiap provinsi melalui pemilihan umum.”

Karena tidak adanya tanggapan lagi dari seluruh peserta sidang lainnya

atas usulan kalimat tersebut, Ali Masykur Musa sebagai pimpinan sidang kala

46 Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945 (1999-2002), Tahun Sidang 2001, Buku Empat,… h. 661 dalam Tim

Penyusun Revisi Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah

Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar

Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002,… h. 1464.

47 Risalah Rapat Tim Perumus PAH I BP MPR, 6 Mei 2000, h. 6, dalam Tim Penyusun Revisi

Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah Komprehensif Perubahan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan

Hasil Pembahasan 1999-2002,… h. 78.

Page 54: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

44

itu menganggap semuanya setuju dengan rumusan tersebut, beliau

menegaskan:48

“Maka, pertanyaannya, rumusan Ayat (1) itu sudah bisa ada peluang baik partai

maupun individu, atau ada kesimpulan, salah satunya syarat-syarat menjadi

calon, di Ayat (1) catatannya di bawahnya, calon anggota DPD pada prinsipnya

mewakili perorangan, pengertiannya nanti di keanggotaan.”

Prinsip utama yang lahir dari perdebatan tersebut ialah anggota DPD dapat

bersumber dari manapun, baik perorangan maupun partai politik. Intinya,

dipilih secara langsung oleh rakyat pada daerah terkait dan wajib bagi

pemilihannya bersifat individu atau perorangan (boleh berasal dari manapun,

asal tidak diusung dari kelompok atau partai yang menjadi latarbelakang

individunya). Hasil dari rumusan yang di sahkan mengenai sumber

keanggotaan, tertuang dalam Pasal 22C (1) UUD NRI 1945 dan rumusannya

menjadi:

Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan

umum.***)

Syarat peserta calon anggota DPD dipertegas dalam Pasal 22 E Ayat (4), yaitu:

Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah

adalah perseorangan.*** )

Implementasi konstitusional atas lahirnya DPD sebagai upaya

pendemokratisasi rakyat, bukanlah omongkosong belaka. Diawali dari

Lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah, adalah salah satu pembuktiannya. Sebagai

implementasi demokratis, bahwa lembaga perwakilan daerah akan benar-benar

dipilih secara langsung dan berasal dari rakyat.

Dalam Undang-Undang a quo, terdapatsyarat tambahan bagi calon

anggota DPD. Yakni, untuk menjadi anggota DPD, pengurus partai wajib

mengundurkan diri terlebih dahulu dari jabatannnya. Pasal 63 huruf b,

menyatakan:

“Tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun yang

dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon.”

48 Risalah Rapat Tim Perumus PAH I BP MPR, 6 Mei 2000,…

Page 55: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

45

Artinya, calon perorangan apabila ingin menjadi calon anggota DPD, tidak

boleh menjabat sebagai pengurus partai, minimal 4 tahun sebelum ia

mendaftarkan dirinya menjadi anggota DPD.

Dalam perkembangan politik hukum pemilu di Indonesia, syarat tersebut

dihilangkan. Tepatnya pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menjadi dasar hukum

baru bagi penyelenggaran pemilu berikutnya. Perubahan regulasi pemilu juga

berdampak pada berubahnya syarat anggota DPD, di mana sebelumnya

terdapat larangan bagi pengurus partai politik namun dalam Undang-Undang a

quo syarat tersebut telah dihapuskan.

Syarat baru muncul bagi calon anggota DPD yang tertuang pada pasal 12

huruf K, L, dan M yang menyatakan:

k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional

Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada

badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain

yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan

surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali;

l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara,

notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan

penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta

pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas,

wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perUndang-

Undangan;

m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabatnegara lainnya,

pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah, serta

badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;

Serta terdapat penjelasan peraturan pada huruf k Undang-Undang a quo yang

menyatakan:

“Surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali dibuktikan dengan surat

keterangan telah diterima dan diteruskan oleh instansi terkait. Yang dimaksud

dengan “keuangan negara” termasuk APBN/APBD.”

Hasil dari perubahan tersebut, menghilangkan larangan menjadi pengurus

fungsionaris partai politik apabila ingin mencalonkan diri sebagai anggota

DPD. Konsekuensi dari hal tersebut adalah pada pemilu selanjutnya, pengurus

partai politik diperkenankan untuk menjadi calon anggota DPD.

Page 56: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

46

Pada tahun 2012, konstruksi politik hukum pemilu kembali mengalami

perubahan. Berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2012 Tentang

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara tidak langsung

mendeterminnasi kekuatan hukum Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008

Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai dasar

hukum pemilu legislatif khususnya untuk DPD. Perubahan tersebut berimbas

pada berubahnya syarat bagi calon anggota DPD yang berada pada pasal 12

huruf k, l, dan m Undang-Undang a quo. Namun, tetap tidak ada larangan bagi

pengurus partai untuk menjadi anggota DPD.

Perubahan regulasi pemilu terus terjadi, hal tersebut berbanding lurus

dengan kedinamisan politik hukum pemilu di Indonesia. Pada tahun 2017,

regulasi pemilu kembali melahirkan perubahan. Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum menjadi dasar hukum pemilu baru,

yang mendeterminasikan regulasi pemilu sebelumnya.

Dalam Undang-Undang ini, tetap tidak adanya laragan bagi pengurus

fungsionaris partai politik untuk menjadi calon anggota DPD. Artinya,

pengurus fungisonaris partai tetap boleh mencalonkan diri menjadi anggota

DPD. Di mana pada awalnya, terdapat larangan bagi pengurus partai untuk

menjadi anggota DPD akibat transisi regulasi atau bentuk Undang-Undang

yang belum optimal. Dengan syarat yang tidak sepenuhnya dapat menjamin

objektifitas, wajar saja jika terdapat larangan bagi pengurus partai. Namun

seiring perkembangannya, bermunculan banyak syarat baru sebagai garansi

akan objektifitas DPD, sehingga menurut hemat penulis wajar saja jika

larangan bagi pengurus partai tersebut dihilangkan.

Dinamika hukum pemilu kembali memberikan perhatian. Pasalnya, pada

tahun 2018 mahkamah konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 30/PUU-XVI/2018 melakukan perluasan penafsiran pada hukum

pemilu. Yakni pada pasal 182 huruf l UU pemilu a quo, mahkamah

memperluas frasa “pekerjaan lain” pada regulasi tersebut, serta menjadikan

Page 57: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

47

pengurus fungsionaris partai politik termasuk di dalamnya. Artinya, setelah

putusann mahkamah konstitusi tersebut, pengurus fungsionaris partai politik

pada pemilu mendatang (pemilu tahun 2024 dan seterusnya) tidak boleh

mencalonkan diri sebagai anggota DPD.

Page 58: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

48

BAB IV

INKOHERENSI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR

30/PUU-XVI/2018 DENGAN SEMANGAT KONSTITUSIONALITAS

DEWAN PERWAKILAN DAERAH

A. Problematika Pengurus Fungsionaris Parpol Dalam Keanggotaan DPD

1. Frasa Pekerjaan Lain

Agar tidak tersesat pada saat membaca dan memahami konstitusi,

upaya mendasar untuk memahaminya adalah melalui metode tafsir

konstitusi (constitutional interpretation),1 yang berbeda dengan penafsiran

peraturan perundang-undangan biasa (interpretation of statutes). Menurut

Albert H. Y. Chen, penafsiran konstitusi merupakan upaya pemahaman

dalam bentuk tafsir dan menjadikan konstitusi sebagai objek tafsirnya, dan

penafsiran ini sudah menjadi kesatuan dengan aktifitas judicial review.2

Implementasi penafsiran konstitusi dalam peradilan di Indonesia

diterapkan secara bebas, hakim dibebaskan untuk menentukan metode tafsir

apa saja yang digunakan, hal tersebut ditujukan untuk menjamin

independensi hakim. Pada kebiasaanya, dalam setiap interpretasi regulasi

minimal terdapat penafsiran gramatikal, sistematis, teleologis dan historis.3

Berbagai klasifikasi penafsiran yang dapat secara bebas digunakan oleh

hakim untuk memutus perkara di dalam persidangan, seluruh metode

penafsiran konstitusi juga tidak memiliki strata kedudukan yang lebih tinggi

atau rendah antara satu dan lainnya, melainkan keberlakuannya memiliki

kedudukan yang setara. Menurut J.A. Potier, hal tersebut dilakukan sebagai

1 Craig R. Ducat, Constitutional Interperation, (California: Wordsworth Classic, 2004),

Charles Sampford (Ed.), Interpreting Constitutions Theories, Principles and Institutions, (Sydney:

The Ferderation Press, 1996), Jeffrey Goldsworthy (Ed.), Interpreting Constitutions, A

Comparative Study, (New York: Oxford University Press, 2006), Keith E. Whittington,

Constitutional Interpretation, Textual Meaning, Original, and Judicial Review, (Kansas: University

Press of Kansas, 1999) dalam Ali Syafa’at, “Penafsiran Konstitusi”, http://safaat.lecture.ub.ac.id, h.

66. diakses pada 24 Juli 2019.

2 Albert H Y Chen, The Interpretation of the Basic Law-Common Law and Mainland Chinese

Perspectives, (Hong Kong: Hong Kong Journal Ltd., 2000), h. 1-2.

3 Ali Syafa’at, “Penafsiran Konstitusi”,… h. 78-79.

Page 59: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

49

penjaminan akan kebebasan seorang hakim.4 Dalam realitas konsep hukum,

kebebasan hakim dalam memutus perkaranya, termasuk sebagai

Freirechtsbewegung atau gerakan hukum bebas. Tindakan tersebut justru

menuai banyak kritik, yang paling mendasar adalah perihat legitimasi atas

pijakan mana yang akan dipilih ketika berhadapan dengan suatu

permasalahan.5 Tanpa ada legitimasi atas kriteria yang spesifik, tindakan

penafsiran dapat terjelma menjadi kesewenangan hakim.6

Pada bagian ini, peneliti akan mencoba untuk mengkritisi pertimbangan

hakim konstitusi melalui interpretasi gramatikal. Interpretasi ini

menekankan pada kedudukan bahasa dalam pemaknaanya terhadap suatu

target atau objek dalam suatu kalimat peraturan.7 Metode interpretasi ini

merupakan penafsiran yang paling sederhana, karena kita menafsirkan

berdasarkan uraian bahasa, susunan kata dan bunyinya, namun harus tetap

ditafsirkan dengan logis.8

Pada metode penafsiran ini, dapat menggunakan tiga kontekstualisasi

pendekatan. Salah satunya adalah pendekatan dengan jenis expressum facit

cassare tacitum, atau penegasan kata yang secara tegas dicantumkan untuk

mengakhiri pendeskripsian beberapa objek yang dicantumkan dalam

Undang-Undang. Seperti, ‘pedagang, tenaga terampil, pekerja atau orang

lain apapun’.9 Maka kata ‘orang lain apapun’ dalam kalimat tersebut harus

diartikan sama atau sesuai dengan konteks dan jenis klasifikasi

pekerjaanyang terdapat dibelakangnya.10 Hal yang senada juga di utarakan

4 J.A. Pontier, Penemuan Hukum, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, (Bandung: Jendela

Mas Pustaka, 2008), h. 94.

5 Ali Syafa’at, “Penafsiran Konstitusi”,… h. 80.

6 J.A. Pontier, Penemuan Hukum,… h. 74-73.

7 Ali Syafa’at, “Penafsiran Konstitusi”,… h. 72.

8 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti,

1993), h.14-15.

9 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), h. 97-98.

10 Satjipto Rahardjo,… h. 97-98.

Page 60: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

50

oleh Philipus M. Hadjon, saat mengeluarkan pendapat ahli dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005/PUU-IV/2006.11

Kaitannya dengan penelitian ini, pada pertimbangan hukum mahkamah

dalam Putusan Mahkamah Konstusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 (putusan

yang menjadi objek kajian peneliti), mahkamah melakukan interpretasi

gramatikalterhadap frasa “pekerjaan lain” yang menjadi pengurus partai

politk termasuk di dalamnya. Mahkamah berpendapat bahwa:

“… Terhadap persoalan tersebut Mahkamah berpendapat tidak terdapat

alasan kuat dan mendasar bagi Mahkamah untuk mengubah pendiriannya.

Sebaliknya, justru terdapat kebutuhan bagi Mahkamah untuk menegaskan

kembali pendiriannya yang berkait dengan keanggotaan DPD tersebut.

Sebab, Pasal 182 UU Pemilu yang mengatur persyaratan perseorangan untuk

menjadi calon anggota DPD tidak secara tegas menyebutkan adanya larangan

bagi pengurus partai politik untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD.

Sebagai lembaga yang didirikan dengan fungsi mengawal Konstitusi dalam

sistem ketatanegaraan yang menganut prinsip supremasi konstitusi,

Mahkamah berkewajiban untuk menjamin terealisasinya semangat yang

terkandung dalam Pasal 22D UUD 1945, sehingga gagasan bahwa DPD

merupakan representasi daerah benar-benar terealisasi dan tidak terdistorsi

dalam praktik kehidupan bernegara yang disebabkan tidak adanya

pembatasan berkenaan dengan persyaratan pencalonan terutama yang terkait

dengan pengurus partai politik.

Dengan tidak adanya penjelasan terhadap frasa “pekerjaan lain yang

dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak

sebagai anggota DPD sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan” dalam

Pasal 182 huruf l UU Pemilu, timbul ketidakpastian hukum apakah

perseorangan warga negara Indonesia yang sekaligus pengurus partai politik

dapat atau boleh menjadi calon anggota DPD, sehingga bertentangan dengan

Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Jika ditafsirkan dapat atau boleh maka hal itu

akan berTentangan dengan hakikat DPD sebagai wujud representasi daerah

dan sekaligus berpotensi lahirnya perwakilan ganda (double representation)

sebab, jika calon anggota DPD yang berasal dari pengurus partai politik

tersebut terpilih, maka partai politik dari mana anggota DPD itu berasal secara

faktual akan memiliki wakil baik di DPR maupun di DPD sekalipun yang

bersangkutan menyatakan sebagai perseorangan tatkala mendaftarkan diri

sebagai calon anggota DPD. Hal ini berarti berTentangan dengan semangat

Pasal 22D UUD 1945. Sebaliknya, jika ditafsirkan tidak dapat atau tidak

boleh, larangan demikian tidak secara ekplisit disebutkan dalam UU Pemilu,

khususnya Pasal 182 huruf l. Oleh karena itu Mahkamah penting menegaskan

bahwa perseorangan warga negara Indonesia yang mencalonkan diri sebagai

anggota DPD tidak boleh merangkap sebagai pengurus partai politik sehingga

Pasal 182 huruf l UU Pemilu harus dimaknai sebagaimana tertuang dalam

amar Putusan ini.

11 Ali Syafa’at, “Penafsiran Konstitusi”,… h. 73.

Page 61: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

51

Argumentasi tersebut dipertegas oleh mahkamah, dalam amar

putusannya yang mengadili sepenuhnya permohonan pemohon, serta

melakukan pelebaran penafsiran pada Pasal 182 Huruf l. Yang menyatakan

bahwa:

“Frasa ‘pekerjaan lain’ dalam Pasal 182 huruf l Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 6109) berTentangan dengan UUD 1945 dan tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak

dimaknai mencakup pula pengurus (fungsionaris) partaipolitik”

Secara tidak langsung, mahkamah berpendapat bahwa pengurus

fungsionaris partai politik merupakan bagian dari pekerjaan yang dilarang

dalam Pasal 182 huruf l Undang-Undang a quo, karena dinilai akan

menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang dan hak

anggota DPD. Pasca putusan ini, pengurus fungsionaris partai tidak dapat

mencalonkan diri mereka menjadi anggota DPD.

Peneliti berpendapat, Indonesia menganut sistem negara yang

berbasiskan pada hukum, maka tentu perlunya kita sebagai masyarakat ikut

serta untuk menelisik setiap keputusan hukum yang dibuat oleh

pemerintahannya, sebagai bentuk partisipasi korektif terhadap pemerintah.

Terlebih dahulu, kita harus memeriksa definisi dari pekerjaan serta hal yang

terkait dengannya menurut hukum. Peneliti berlandaskan pada Pasal 1 Ayat

(1) hingga Ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa:

“… Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja

pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.

Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna

menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri

maupun untuk masyarakat.

Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah

atau imbalan dalam bentuk lain.

Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau

badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar

upah atau imbalan dalam bentuk lain.”

Berdasarkan hal tersebut, kita dapat menyimpulkan menurut konteks

hukum, sebuah kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai pekerjaan apabila

Page 62: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

52

memenuhi unsur yang terdiri dari pekerja, pemberi kerja dan upah atas

bayaran dari pekerjaan mereka.

Daftar pekerjaan yang tercantum dalam Pasal 182 huruf l

mencerminkan itu semua, yang terdiri dari akuntan publik, advokat, notaris,

pejabat pembuat akta tanah, dan/atau tidak melakukan pekerjaan penyedia

barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara. Keseluruhan

dari pekerjaan tersebut secara hukum sah dikatakan sebagai sebuah

pekerjaan karena memenuhi unsur yang telah dijabarkan sebelumnya.

Kekeliruan terjadi ketika mahkamah melakukan pelebaran tafsir

terhadap pengurus fungsionaris partai politik sebagai pekerjaan lain.

Pasalnya partai politik merupakan organisasi independen, bahkan dalam

partai politik sekalipun tidak ada yang disebut sebagai pekerja, pemberi

kerja serta pembayaran upah terhadap pengurus partai politik seperti yang

digambarkan oleh mahkamah sebagai pekerjaan.

Jika kita melakukan pendekatan secara perundang-undangan, peneliti

menyimpulkan perluasan tafsir yang dilakukan oleh mahkamah keluar dari

konteks pekerjaan yang dimaksud dalam Pasal 182 huruf l UU Pemilu.

Keberadaan pengurus partai politik pada hakekatnya bukanlah untuk

mencari keuntungan pribadi atau sebagai pekerjaan yang memiliki upah.

Melainkan jabatan apresiasi terhadap implementasi kedaulatan rakyat yang

dijamin dalam konstitusi perihal kebebasan berserikat dan menduduki posisi

atas serikat tersebut.

Hal yang senada juga di utarakan dengan konsepsi negara hukum yang

dilakukan oleh International Comission of Jurist atas kajian terhadap

konsepsi negara hukum F.J. Stahl yang melahirkan kriteria baru dalam

negara hukum, hasilnya menandakan bahwa negara hukum selain memiiiki

jaminan hukum, juga harus menjamin hak politik rakyat, sebagai akomodasi

negara yang demokratis, salah satunya adalah hak untuk berkebebasan

berserikat/berorganisasi dan berposisi.12

12 Fatkhurrohman, Dian Aminudin dan Sirajudin, “Memahami Keberadaan Mahkamah

Konstitusi di Indonesia”,… h. 1.

Page 63: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

53

2. Konflik Kepentingan

Frasa pekerjaan lain yang ditafsirkan oleh mahkamah dalam

pertimbangannya menunjukkan bahwa pengurus fungsionaris partai politik

menjadi salah satu jabatan yang dilarang di dalamnya. Pasalnya, jabatan

tersebut dianggap berpotensi memiliki konflik kepentingan dengan fungsi,

kewenangan dan hak sebagai anggota DPD.

Terdapat berbagai pendefinisian terhadap konflik kepentingan, salah

satunya di utarakan oleh Organisation for Economic Co-operation and

Development (OECD), yakni:13

“A conflict of interest involves a conflict between the public duty and the

private interest of a public official, in which the official’s private-capacity

interest could improperly influence the performance of their official duties and

responsibilities.”

Definisi yang hampir serupa juga diutarakan oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI). Yakni sebuah

kondisi yang tidak transparan dan akuntabel. Memiliki banyak kelemahan,

dari segi pengawasan hingga hukum. Kekosongan tersebut memicu oknum

untuk bertindak tidak transparan. Sehingga membuka peluang bagi pejabat

negara untuk mengeluarkan kebijakan yang jauh dari kepentingan rakyat.14

Dalam konfigurasi hukum Indonesia, istilah konflik kepentingan

termaktub dalam Pasal 1 Ayat (14) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

Tentang Administrasi Pemerintahan., yang menyatakan bahwa Konflik

Kepentingan adalah kondisi Pejabat Pemerintahan yang memiliki

kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain

dalam penggunaan wewenang sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan

kualitas Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya.

Menurut peneliti, konflik kepentingan merupakan suatu tindakan yang

tidak professional. Dimana individu tidak mampu berlaku adil dan

13 OECD (Economic Co-operation and Development), Managing Conflict of Interest in the

Public Sector: A Toolkit, (Paris: OECD Publishing, 2005), h. 13.

14 Komisi Pemberantasan Korupsi, “Panduan Penanganan Konflik Kepentingan Bagi

Penyelenggara Negara”, (Jakarta: KPK, 2009), h. 2.

Page 64: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

54

konsekuen terhadap apa yang mereka sepakati atau setujui. Syarat yang

spesifik telah dijelaskan dalam Pasal 182 huruf l Undang-Undang Pemilu,

seluruhnya dapat dikatakan sebuah pekerjaan yang menimbulkan konflik

kepentingan dengan fungsi, kewenangan dan hak sebagai anggota DPD.

Kedudukan individu sebagai Akuntan publik, advokat, notaris, dan

pejabat pembuat akta tanah merupakan pekerjaan yang membutuhkan

objektifitas murni serta berlandaskan pada peraturan perUndang-Undangan

dan kebutuhan personal dari masing-masing klien. Ditambah pekerjaan

tersebut membutuhkan jam kerja penuh waktu dari masing-masing individu

sebagai pekerja, sehingga dengan menjadi anggota DPD sudah pasti akan

mengganggu atau membuat akuntan publik, advokat, notaris, dan pejabat

pembuat akta tanah tidak optimal dalam bekerja.

Untuk pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan

keuangan negara juga memiliki perhatian tersendiri, larangan ditujukan

pada pekerjaan ini karena bersinggungan dengan keuangan negara.

Penyedia barang atau jasa merupakan individu yang bekerja untuk

melakukan pengadaan barang atau jasa, pengaturan mengenai hal tersebut

tercantum pada Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018

Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dalam peraturannya

dinyatakan bahwa:

“Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut Pengadaan

Barang/Jasa adalah kegiatan Pengadaan Barang/Jasa oleh

Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah yang dibiayai oleh APBN/APBD

yang prosesnya sejak identifikasi kebutuhan, sampai dengan serah terima hasil

pekerjaan.”

Proses pengadaan barang/jasa dapat melalui beberapa cara yang

tercantum dalam Pasal 1 Ayat (23), Ayat (26) hingga Ayat (28) Perpres a

quo, yang memperbolehkan pemerintah melakukan pengadaan barang

secara swaloka atau bekerjasama dengan pelaku usaha yang disahkan oleh

kontrak atau perjanjian.

Konflik kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa yang berkaitan

dengan keungan negara sudah tepat untuk tidak diperbolehkan, hal tersebut

Page 65: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

55

ditujukan agar proses tender dapat dilaksanakan secara objektif , tanpa ada

pihak yang memiliki di pemerintahan. Konflik kepentingan yang senada

juga diutarakan oleh Ombudsman Victoria, kepentingan bisnis pribadi dan

pekerjaan pada sektor publik rentan akan terjadinya konflik kepentingan.15

Berbeda halnya dengan pengurus fungsionaris partai politik, yang

menjadi pengurus inti dari partai politik. Keberadaan partai politik dinilai

mampu untuk menyalurkan aspirasi masyarakat sekaligus dapat dijadikan

kendaraan untuk memperjuangkan kepentingan nasional melalui idealisme

tiap individu masyarakat di kursi pemerintahan, yakni melalui DPD.

Edmund Burke memaparkan, bahwa esensi dari partai politik adalah

sebuah organ yang mewadahi kesamaa aspirasi yang berasal dari sebuah

kelompok. Dengan perjuangan atas dasar kesamaan rasa untuk kemajuan

kepentingan nasional.16 Konsekuensi logis hidup bermasyarakat, sejalan

dengan kehidupan berorganisasi. Yakni, sepenuh hati untuk melakukan

perjuangan. Bertujuan untuk memenuhi kebutuan pribadi hingga kelompok.

Dari kepentingan yang seragam maupun yang beragam. Untuk mencapai

target yang tetap berlandaskan pada nurani kolektif.17

Dewasa ini tingginya partisipasi rakyat merupakan implikasi

pergeseran demokrasi kearah yang lebih modern, yakni praktik indirect

democracy atau demokrasi perwakilan. Konsekuensi dari hal tersebut,

banyaknya masyarakat yang merasa perluu untuk bergabung ke dalam partai

politik. Karena dinilai bahwa partai politik mampu untuk mengorganisir

serta memperluas partisipasi tersebut.18

15 Ombudsman Victoria, Conflict of Interest In The Public Sector, (Victoria: Victorian

Government Publishing, 2008), h. 20.

16 Jesse Norman, ConHome op-ed: the USA, “Radical Conservatism and Edmund Burke”,

https://www.jessenorman.com/2013/09/conhome-op-ed-the-usa-radical-conservatism-and-

edmund-burke.html, diakses pada 15 februari 2019, pukul 21:30.

17 Ali Safa’at Muchamad, Pembubaran Partai Politik: Pengaturan dan praktik Pembubaran

Partai Politik dalam pergulatan Republik. (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 4-5.

18 Samuel Huntington P, Tertib Politik di Tengah Pergeseran Kepentingan Massa, (Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 2003), h. 472.

Page 66: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

56

Alasan lain atas berbondong-bondongnya masyarkat bergabung dengan

partai politik adalah untuk merebut kursi pemerintahan agar mereka mampu

merumuskan kebijakan nasional juga mengakomodasi pandangan yang

bersumber dari ideologi partai mereka.19 Sehingga dapat peneliti simpulkan

bahwa partai politik merupakan salah satu fondasi dari demokrasi serta

merupakan hak rakyat untuk memiliki keyakinan politik dalam bentuk

apapun, selama sesuai dengan konteks kepancasilaan sebagai ideologi

negara.

Apabila terdapat larangan bagi pengurus fungsionaris partai politik

menduduki kursi DPD, sama saja dengan melarang pengurus fungsionaris

organisasi advokat (Ex: Peradi) untuk bekerja selain pada persidangan,

melarang pengurus fungsionaris organisasi ke profesian lainnnya (IAPI,

INI, dan IPPAT) untuk melakukan pekerjaannya di lapangan (di luar

kebutuhan keorganisasian dan pekerjaanya), karena pengurus partai politik

merupakan politisi. Sudah seharusnya mengimplementasikan hasil

pendidikan politik yang telah ia peroleh di partainya kedalam jabatan publik.

Konflik kepentingan oleh pengurus fungsionaris partai politik hanya

akan terjadi apabila terdapat ketidaksinambungan tujuan partai politk dan

DPD. Namun hal tersebut tidak akan terjadi, menurut Pasal 10 hingga 11

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Partai Politik menyatakan:

Pasal 10

(1) Tujuan umum Partai Politik adalah:

a. Mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana

dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

b. Menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia;

c. Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila

dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan

Republik Indonesia; dan

d. Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

(2) Tujuan khusus Partai Politik adalah:

a. Meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam

rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan;

19 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,… h. 160-161.

Page 67: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

57

b. Memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan

c. Membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (3) Tujuan Partai Politik

sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) diwujudkan secara

konstitusional.

Pasal 11

(1) Partai Politik berfungsi sebagai sarana:

a. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi

warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

b. Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa

Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat

c. Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat

dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;

d. Partisipasi politik warga negara Indonesia; dan e. rekrutmen politik

dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi

dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.

(2) Fungsi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diwujudkan

secara konstitusional.

Kepentingan dari partai politik menurut Undang-Undang partai politik

mengisaratkan kepada seluruh kepentingan rakyat dan kepentingan

nasional. Untuk hidup dan dapat menggerakkan roda organisasi dalam partai

politik, Pasal 14 Undang-Undang a quo menyatakan bahwa siapa saja dapat

menjadi bagian dari partai politik tanpa terkecuali, serta dalam Pasal 15

Ayat (1) Undang-Undang a quo yang menjelaskan bahwa kedaulatan partai

berada pada tangan anggota yang dilaksanakan menurut AD dan ART

masing-masing partai.

Indikasi demikian dapat kita artikan bahwa di dalam pengelolaan

sebuah partai politik, anggotalah yang memiliki kedudukan vital dan

berdaulat di dalam sebuah partai. Ditambah dengan adanya fungsi partai

untuk melakukan atau sebagai pendidikan politik bagi anggota partai dan

masyarakat dapat dijadikan garansi atas kemahiran anggota serta

pengurusnya dalam berorganisasi.

Eksistensi dari individu pengurus fungsionaris partai politik dapat

secara tidak langsung menjadi injeksi konstitusional DPD dalam

menjalankan perannya. Menurut Pasal 19 Undang-Undang Partai Politik

kedudukan dari kepengurusan partai politik berada pada tiap tingkatan

Page 68: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

58

pemerintahan, kepengurusan tingkat pusat berada pada ibu kota negara,

kepengurusan tingkat provinsi berada pada ibu kota provinsi, serta

kepengurusan tingkat kab/kota berada pada ibu kota kab/kota.

Pemilihan pengurus partai pada tiap tingkatan menurut Pasal 22

Undang-Undang a quo dilakukan secara demokratis, yakni melalui

musyawarah yang sesusai dengan AD/ART. Dalam pengambilan keputusan

partai politik di tiap tingkatan tersebut dilakukan juga secara demokratis

yang sesuai dengan AD/ART masing-masing partai, hal tersebut yang

tertuang dalam Pasal 27 hingga Pasal 28 Undang-Undang a quo. Tidak

adanya kemungkinan pengurus fungsionaris partai mendahulukan

kepentingan subjektif atas tugas diemban sebagai pengurus partai dalam

jabatannya, hal tersebut menandakan bahwa secara legal formil tidak adanya

konflik kepentingan yang secara nyata dalam antar peraturan DPD dan

Partai Politik, justru saling menguatkan.

Keuntungan dari letak kepengurusan partai politik yang tersebar di

berbagai tingkat pemerintahan tak lain untuk mempermudah mobilisasi

serta komunikasi anggota DPD kepada konstituennya. Pasalnya, anggota

DPD hanya terdiri dari empat orang per provinsi. Sehingga dalam

menjalankan tugasnya DPD dapat optimal dan meminimalisir waktu serta

tenaga anggota DPD tersebut, apabila dapat dibantu oleh mesin partai untuk

menjalankan perannya.

Keuntungan lain juga hadir dalam kewenangan DPD dapat mengajukan

rancangan Undang-Undang yang menyangkut kepentingan daerah kepada

DPR. Minimnya anggota DPD yang jumlahnya tidak boleh lebih dari

sepertiga anggota DPR sudah pasti tidak akan optimal untuk

memperjuangkan kepentingan daerah dalam hal legislasi dengan aroma

kedaerahan.

Namun dengan adanya individu DPD yang berasal dari pengurus

fungsionaris partai politik akan mempermudah jalur konsolidasi atas

kepentingan daerah yang nantinya akan disetujui oleh DPR bersama

presiden. Alur rekayasa konstitusional seperti ini merupakan salah satu jalan

Page 69: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

59

keluar atas minimnya kewenangan DPD dalam UUD NRI 1945, tidak

adanya peran DPD hingga tahap pengesahan mengharuskan pembentuk

Undang-Undang melakukan manuver hukum untuk memperkuat DPD dari

segi keanggotaan namun tetap sesuai dengan UUD.

Perbedaan dari output yang dihadirkan oleh tiap partai politik tidak

dapat disebut sebagai sebuah konflik kepentingan atau lebih mementingan

kepentingan partai dari pada rakyat. Namun, hal tersebut timbul akibat

bermacam ideologi dari berbagai partai politik yang berlomba-lomba untuk

mengartikulasikan kepentingan rakyat dalam pemerintahan melalui cara

mereka masing-masing.

Menjadi diperjuangkan

Sama Dengan ke dalam

Secara filosofis, partai politik menurut Russel J Dalton dan Martin P

Wattenberg yang memiliki tiga fungsi penting dalam organisasi dan

pemerintahan.20 Salah satunya adalah parties in the organization atau partai

sebagai organisasi. Dalam fungsi ini partai dibebankan tanggungjawab

untuk melakuken rekruitmen atau kaderisasi kepimimpinan politik bagi

negara dengan melakukan pelatihan elite politik yang mampu untuk

mengartikulasikan kepentingan politik tiap partainnya serta mengagregasi

atau melakukan filter terhadap berbagai kepentingan yang ada dalam partai

tersebut untuk diperjuangkan di tingkat nasional. Sehingga peneliti

simpulkan dengan adanya pengurus fungsionaris partai politik dalam

keanggotaan DPD tidak akan menimbulkan konflik kepentingan dengan

fungsi, kewenandan dan hak sebagai anggota DPD.

20 Sigit Pamungkas, Partai Politik: Teori dan Praktik di Indonesia, (Yogyakarta: Institute for

Democracy and Welfarism, 2011), h. 15-20.

Kebijakan

Publik

Artikulasi

Parpol

Kepentingan

Rakyat

Page 70: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

60

B. Dewan Perwakilan Daerah Dalam Iklim Constitutional Democracy

1. Teritorial Representative

Pada pertimbangan mahkamah yang lainnya, mahkamah juga

menggunakan interpretasi gramatikal, historis, komparatif dan struktural.

Interpretasi historis merupakan penafsiran yang menggunakan pendekaatan

original intent sebuah konstitusi, penafsiran ini digunakan untuk

menjelaskan struktur, konteks dan tujuan dari hukum tersebut.21 Sedangkan

interpretasi komparatif merupakan tindakan penafsiran melalui

perbandingan yang dilakukan antara beberapa hukum, guna mencari

kesesuaian atau pertentangan.22 Ditujukan untuk mencari kejelasan makna

yang terkandung dalam suatu peraturan.

Interpretasi struktural merupakan jenis penafsiran dengan metode

mensistematiskan peraturan yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi.

Dalam hal ini, antara Undang-Undang dan konstitusi. Menurut Bobbit,

penafsiran ini berkaitan salah satunya dengan pemisahan kekuasaan serta

permasalahan lain yang terkait dengannya.23 Menurut peneliti, ketiga

interpretasi tersebut digunakan dalam pertimbangan mahkamah untuk

menekankan pada akan terjadinya double representative atau perwakilan

partai secara ganda, antara DPR dan DPD apabila diperbolehkannya

pengurus partai politik berada dalam keanggotaan DPD. Lebih lengkapnya,

dalam pertimbangannya mahkamah menyatakan:

“Menimbang bahwa sejak putusan pertamanya yang berkait dengan

keanggotaaan DPD, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-

VI/2008, Mahkamah secara konsisten menunjukkan pendiriannya dalam

menjaga hakikat keberadaan DPD sesuai dengan desain UUD 1945. Hal itu

tertuang dalam pertimbangan hukum putusan-putusan Mahkamah

selanjutnya, yaitu di antaranya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

92/PUU-X/2012 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-

XII/2014 yang keduanya berkait dengan kewenangan DPD. Dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012, sebelum sampai pada

21 Anthony Mason, The Interpretation of a Constitution in a Modern Liberal Democracy,

dalam Charles Sampford (Ed.), Interpreting Constitutions Theories, Principles and Institutions,...

h. 14.

22 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Penemuan Hukum,… h. 19.

23 Ali Syafa’at, “Penafsiran Konstitusi”,… h. 77.

Page 71: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

61

pendapatnya mengenai kewenangan legislasi DPD, Mahkamah dalam

pertimbangan hukumnya menekankan keanggotaan DPD sebagai

representasi teritorial yang pengisian jabatannya bukan berasal dari partai

politik serta perbedaannya dengan anggota DPR yang berasal dari partai

politik. Mahkamah antara lainmenyatakan:

4. DPD adalah sebuah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan perubahan

UDD 1945. Pembentukan DPD merupakan upaya konstitusional yang

dimaksudkan untuk lebih mengakomodasi suara daerah dengan memberi

saluran, sekaligus peran kepada daerah- daerah. Saluran dan peran tersebut

dilakukan dengan memberikan tempat bagi daerah-daerah untuk

menempatkan wakilnya dalam badan perwakilan tingkat nasional untuk

memperjuangkan dan menyuarakan kepentingan-kepentingan daerahnya

sehingga akan memperkuat kesatuan Negara Republik Indonesia.

Perwakilan daerah dalam DPD mencerminkan prinsip representasi

teritorial atau regional (regional representation) dari daerah, dalam hal ini

provinsi. Dengan demikian, keberadaan DPD tidak dapat dipisahkan dari

adanya Utusan Daerah sebagai salah satu unsur MPR. Dengan

ditetapkannya bahwa seluruh anggota MPR harus dipilih dalam Pemilihan

Umum [vide Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945], maka Utusan Daerah pun harus

dipilih dalam Pemilihan Umum.

5. … Keterwakilan anggota DPR dan anggota DPD yang sama-sama

mewakili daerah di badan perwakilan tingkat nasional mengandung

perbedaan, antara lain, anggota DPR dipilih berdasarkan daerah- daerah

pemilihan dari seluruh Indonesia. Adapun anggota DPR dicalonkan dan

berasal dari partai politik peserta pemilihan umum, yang dalam posisinya

sebagai anggota DPR mewakili dua kepentingan sekaligus, yaitu

kepentingan partai politik dan kepentingan rakyat daerah yang

diwakilinya. Pada sisi lain, anggota DPD berasal dari perseorangan yang

dipilih secara langsung oleh rakyat di daerah tersebut, sehingga anggota

DPD hanya akan secara murni menyuarakan kepentingan-kepentingan

daerahnya, yaitu seluruh aspek yang terkait dengan daerah yang

diwakilinya. Berbeda dengan anggota DPR, yang oleh karena mewakili

partai politik tertentu sering dibebani oleh misi partai politik yang

bersangkutan. Selain itu, wakil rakyat yang duduk di DPR yang berasal

dari partai politik dan terpilih dari suatu daerah pemilihan dapat saja

berdomisili atau berasal dari daerah lain yang bisa saja tidak begitu

mengenal daerah yang diwakilinya. Hal semacam itu sangat kecil

kemungkinan terjadi bagi anggota DPD, karena mereka dipilih secara

perseorangan dalam pemilihan umum secara langsung oleh rakyat di

daerah yang bersangkutan;

Dengan pertimbangan yang menekankan pada hakikat keberadaan DPD

serta perbedaan antara anggota DPD dan anggota DPR demikian tampak jelas

bahwa Mahkamah tidak mengubah pendiriannya sebagaimana ditegaskan

dalam putusan sebelumnya, in casu Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor

10/PUU- VI/2008, bahwa anggota DPD bukan berasal dari partai politik.

Pendirian Mahkamah tersebut koheren dengan pendirian Mahkamah

berkenaan dengan kewenangan legislasi yang dimiliki oleh DPD

sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-

XII/2014 yang pada intinya menegaskan bahwa DPD harus secara maksimal

Page 72: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

62

dilibatkan dalam proses pembentukan Undang-Undang yang berkaitan

dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan

pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya ekonomi

lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah (vide lebih jauh

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU- XII/2014).

Dikatakan koheren sebab jika DPD tidak dilibatkan secara maksimal

dalam proses penyusunan Undang-Undang yang berkait dengan soal-soal

tersebut maka hakikat representasi daerah yang melekat dalam eksistensi

DPD (yang anggota-anggotanya bukan berasal dari partai politik) akan

terdegradasi karena keputusan politik yang diambil dalam soal-soal yang

langsung berkait dengan kepentingan daerah tersebut akan lebih banyak

ditentukan oleh lembaga yang merupakan representasi politik, yakni DPR

(yang anggotanya berasal dari partai politik). Apalagi, Anggota DPR yang

berasal dari daerah provinsi tidaklah selalu sepenuhnya dapat dikatakan

mewakili provinsi yang bersangkutan sebagaimana halnya anggota DPD

karena basis pencalonan Anggota DPR adalah berdasarkan daerah pemilihan

(Dapil) di suatu provinsi meskipun untuk provinsi tertentu, provinsi sekaligus

menjadi Dapil karena jumlah Dapil-nya berjumlah tidak lebih dari satu.

Dengan demikian, dalam analisis selanjutnya, apabila keanggotaan DPD juga

dimungkinkan berasal dari partai politik, in casu pengurus partai politik,

maka keadaan demikian akan makin meneguhkan fenomena di mana

keputusan politik yang berkait langsung dengan kepentingan daerah,

khususnya dalam kebijakan legislasi, secara faktual menjadi berada di tangan

pihak yang semata-mata merupakan representasi politik. Hal ini jelas tidak

bersesuaian dengan semangat yang terkandung dalam Pasal 22D UUD1945.

Menurut hemat peneliti, terdapat kekeliruan mahkamah dalam

melakukan perbandingan menggunakan kata “berasal” yang dihadapkan

secara setara kepada DPR dan DPD. Secara bahasa, kata berasal berarti

bersumber.24 Dalam pertimbangannya, mahkamah menegaskan bahwa

anggota DPR merupakan representasi politik karena anggotanya berasal dari

partai politik. Menurut peneliti, asumsi demikian muncul akibat dari bunyi

Pasal 19 Ayat (1) dan 22E Ayat (3) UUD NRI 1945. Yang menyatakan

bahwa, anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum dan peserta pemilihan

umum DPR adalah partai politik. Atas dasar tersebut, dalam

pertimbangannya dikatakan bahwa anggota DPR berasal dari partai politik.

Jika kita bandingkan dengan pernyataan mahkamah yang menyatakan:

“… Dengan demikian, dalam analisis selanjutnya, apabila keanggotaan DPD

juga dimungkinkan berasal dari partai politik, in casu pengurus partai

politik…”

24 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa,

2008), h. 95.

Page 73: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

63

Dari kalimat tersebut, peneliti berpandangan bahwa mahkamah

berpendapat, jika diperbolehkanya pengurus partai politik untuk ikut serta

dalam kontestasi pemilihan anggota DPD, maka terbuka peluang untuk

anggota DPD berasal dari partai. Hal tersebut merupakan perbandingan

yang tidak seimbang, karena pengurus partai politik dalam pencalonan DPD

tidaklah menjadi sumber anggota DPD, melainkan hanya menjadi latar

belakang calon anggota DPD. Karena sumber anggota DPD menurut Pasal

22C Ayat (1) UUD dan 22E Ayat (4) UUD NRI 1945 adalah anggota yang

terpilih melalui pemilihan umum dan pesertanya adalah perorangan.

Sehingga frasa ‘berasal’ tidak dapat digunakan secara setara antara DPR dan

DPD.

Pada hakikatnya, iklim demokrasi konstitusional telah mendewasakan

hak masyarakat untuk menyuarakan ide serta gagasan mereka ke dalam

kursi pemerintahan, sebagian masyarakat saat ini juga berfikir untuk

menjadi bagian dari pemerintah namun melalui jalur yang tidak dibatasi

oleh suatu golongan atau yang biasa kita kenal sebagai jalur perorangan.

Konsep tersebut dinilai sebagai proses purifying ideafrom representative

body yang diajukan secara langsung tanpa filter ideology dari sebuah

organisasi atau sebuah kelompok.

Konsepsi demikian terakomodir dengan terbentuknya Dewan

Perwakilan Daerah dengan anggota yang berasal dari perorangan. Hadirnya

DPD dinilai sebagai pertemuan dari dua kutub gagasan untuk

mendemokratisasi rakyat Indonesia dan mengakomodir kepentingan daerah

yang ditujukan untuk menjaga integrasi nasional.25

Sejalan demikian, Sri Sumantri Martosoewignjo dan Mochamad

Isnaeni Ramdhan menyatakan, hadirnya DPD dinilai untuk mengakomodir

tuntutan demokratisasi dalam pengisian anggotanya, sebagai lembaga yang

diharapkan mampu untuk menggantikan Utusan Golongan dan Daerah

dalam Komposisi MPR. Karenanya, DPD sangat diharapkan mampu untuk

25 Muchamad Ali Safa’at, “DPD Sebagai Lembaga Perwakilan Daerah dan Proses Penyerapan

Aspirasi”, www.safaat.lecture.ub.ac.id, h. 1. diakses pada 7 Juli 2019.

Page 74: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

64

meredam aspirasi hingga tuntutan beberapa daerah untuk memisahkan diri

melalui gerakan separatisme yang dikabulkan melalui otonomi daerah.

Berdasarkan hal tersebut, lahirnya DPD diciptakan sebagai territorial

representative.26

Alasan demikian dapat kita lihat dari rapat PAH I BP MPR saat

perumusan DPD. Salah satu anggotanya, I Dewa Gede Palguna, menyatakan

bahwa:27

“Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah dengan sejumlah wewenang yang

diberikan kepadanya, yang nanti akan dijelaskan pada uraian berikutnya

adalah sebagai upaya konstitusional untuk memberi saluran sekaligus peran

kepada daerah-daerah untuk turut serta dalam pengambilan keputusan politik

terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan daerah. Asumsinya adalah,

jika daerah-daerah telah merasa diperhatikan dan diperankan dalam

pengambilan keputusan-keputusan politik penting yang menyangkut

kepentingannya maka alasan untuk memisahkan diri itu akan kehilangan

argumentasi rasionalnya.”

Eksistensi DPD sebagai perwakilan kepentingan daerah di tingkat pusat

dalam era demokrasi kontitusional, tercermin dengan sangat jelas pada

proses pemilihannya. Sebelumnya, perwakilan daerah tidak dipilih langsung

oleh rakyat. Namun pasca era ini, seluruh perwakilan kepentingan daerah

ini dipilih secara langsung melalui pemilihan umum. Jenis pemilihan umum

yang dilaksanakan untuk pemilihan anggota DPD berbeda dengan DPR,

paslnya DPD menggunakan sistem distrik, sedangkan DPR menggunakan

konsep daerah pemilihan. Konsekuensi tersebut sejalan dengan karakteristik

dari demokrasi konstitusional, yakni adanya prosedur wakil rakyat yang

dipilih secara periodik melalui pemilu.28

26 Sri Soemantri Martosoewignjo dan Mochamad Isnaeni Ramdhan, Perihal Dewan

Perwakilan Daerah Dalam Perspektif Ketatanegaraan, dalam Janedjri M. Gaffar et al. (ed.), Dewan

Perwakilan Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Sekretariat

Jenderal MPR RI dan UNDP, 2003), h. 32.

27 I Dewa gede Palguna, Susunan Dan Kedudukan Dewan Pewakilan Daerah, dalam Janedjri

M. Gaffar et al. (ed.), Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik

Indonesia,… h. 62.

28 Charles N. Quigley, “Constitutional Democracy”, www.civiced.org, diakses pada 22 Juni

2019.

Page 75: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

65

Proses pemenuhan asas demokrasitisasi untuk pemilihan umum

anggota DPD sebelum mengalami perdebatan panjang untuk syarat calon

anggotanya, kongklusi dari perdebatan tersebut memperbolehkan anggota

DPD berasal dari partai maupun individu, karena pemilihan yang dilakukan

dalam proses pemungutan suara ialah memilih orang bukan memilih

gambar.29

Realisasi konstitusional akan eksistensi perdebatan tersebut termaktub

dalam Pasal 22E Ayat (4) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa peserta

pemilu DPD adalah perorangan. Hal yang senada ditegaskan dalam Pasal 1

Ayat (27) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu yang juga

menyatakan bahwa peserta pemilu DPD adalah perorangan. Dan penjelasan

Tentang perorangan termaktub dalam Pasal 1 Ayat (31) UU a quo yakni

perorangan yang telah memenuhi persyaratan sebagai peserta pemilu

anggota DPD.

Persyaratan sebagai peserta pemilu DPD diatur dalam Pasal 182 UU a

quo, namun hal yang sebaliknya muncul saat lahirnya Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang memperluas salah satu syarat

anggota DPD, yakni pada Pasal 182 huruf I UU Pemilu dalam frasa

“pekerjaan lain” yang di dalamnya harus memuat pengurus fungsionaris

partai politik.Dalam pertimbangan hukum putusan a quo, mahakamah

menilai akan terjadi konflik kepentingan dalam menjalankan tugas DPD.

Problematika tesebut bermuara pada kekhawatiran akan bergesernya

sifat perwakilan dari DPD, semula dari perwakilan daerah di tingkat pusat

menjadi perwakilan partai politik. Artikulasi mahkamah dalam

pertimbangannya yang menyatakan bahwa akan terjadinya double

representative atau perwakilan ganda pada tubuh MPR, yakni perwakilan

politik yang dapat menduduki kursi DPR hingga DPD. Karena dengan

diperbolehkannya pengurus partai politik dalam kursi DPD dikhawatirkan

29 Tim Penyusun Revisi Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945,

Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan

Kepaniteraan, 2010), h. 78.

Page 76: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

66

akan lebih mementingkan kepentingan partai politik dari pada kepentingan

rakyat daerah.

Peneliti berpandangan sebaliknya, pengurus fungsionaris partai politik

yang duduk di kursi DPD tidak akan menjadi perwakilan partai. Terdapat

perbedaan yang sangat mendasar antara keduanya, dari sumber peserta

pemilu, model dan larangan kampanye, cakupan pengambilan suara hingga

model kertas suara yang dibagikan untuk dipilh oleh rakyat.

Pasal 1 Ayat (27) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang

Pemilihan Umum menjelaskan perbedaan yang mendasar untuk calon

peserta pemilu DPR dan DPD. Peserta pemilu untuk DPR adalah partai

politik, sedangkan peserta pemilu untuk anggota DPD ialah perorangan.

Artinya anggota DPD melakuan perwakilan secara langsung antar Individu

kepada rakyat provinsinya langsung tanpa di usung oleh partai politik.

Dalam rangka untuk memperkenalkan calon wakil rakyat kepada

rakyatnya, KPU selaku pelaksana pemilu memberika rentang waktu untuk

melakukan proses pengenalan calon atau proses kampanye yang

dilaksanakan oleh pelaksana kampanye masing-masing. Pelaksana

kampanye untuk DPD diatur dalam Pasal 271 UU a quo yang menyatakan

bahwa Pelaksana Kampanye Pemilu anggota DPD terdiri atas calon anggota

DPD, orang seorang, dan organisasi yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu

anggota DPD. Proses kampanye untuk memperkenalkan calon juga

membutuhkan dana kampanye untuk melaksanakannya, regulasi sumber

dana kampanye juga akan menentukan asas keterwakilan serta independensi

dari tiap peserta pemilu.

Untuk DPD, sumber dana kampanye termaktub dalam Pasal 332 Ayat

(1) dan (2) UU a quo yang menyatakan bahwa kegiatan serta dana

kampanye DPD menjadi tanggungjawab calon anggota DPD masing-

masing, serta bersumber dari calon anggota DPD yang bersangkutan dan

sumbangan yang sah menurut hukum. Berbeda halnya denga partai politik,

Pasal 329 Ayat (1) dan (2) UU a quo menyatakan bahwa dana yang

dikeluarkan untuk proses kampanye calon menjadi tanggungjawab partai

Page 77: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

67

politik masing-masing peserta pemilu, serta dana kampanye juga berasal

salah satunya dari partai politik.

Perbedaan mendasar tercermin pada materi kampanye, Pasal 274 Ayat

(1) huruf b & c yang menegaskan bahwa materi kampanye untuk anggota

DPR adalah visi, misi dan program partai politik. Sedangkan materi

kampanye bagi anggota DPD adalah visi, misi dan program yang

bersangkutan untuk kampanye perorangan anggota DPD. Penegasan atas

keseluruhan mekanisme tersebut termaktub dalam Pasal 280 Ayat (1) huruf

I UU a quo melarang membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau

atribut selain dari tanda gambar dan/atau atribut peserta pemilu yang

bersangkutan. Konsekuensi dari hal tersebut adalah anggota DPD dilarang

mengkampanyekan selain dari dirinya sendiri.

Dari proses pengenalan tersebut dapat kita simpulkan bahwa anggota

DPD akan menjadi perwakilan individu untuk daerah serta membuat

pemilih mengenali mereka sebagai calon independen anggota DPD secara

perorangan, bukan diperkenalkan latarbelakang dari calon perorangan

anggota DPD tersebut.

Proses pelaksanaan pemilu anggota DPD juga memiliki perbedaan yang

menjadikan ciri khas dari DPD sebagai territorial representative, Pasal 168

Ayat (3) UU a quo menjelaskan bahwa pemilu DPD akan dilaksanakan

dengan sistem distrik berwakil banyak. Sistem distrik atau yang biasa

dikenal sebagai single non-transferable vote system memiliki kelebihan

yakni membuat wakil rakyat dekat dengan konstituennya, Pasalnya lingkup

distrik yang tidak begitu besar (provinsi) membuat para wakil bisa terfokus

pada distrik sebagai tanggungjawab mereka masing-masing.30

Interkoneksi dari anggota DPD sebagai territorial representative

dengan demikian tidak akan terdegradasi dengan kepentingan partai politik,

apabila terdapat pengurus partai di dalam anggotanya. Karena relasi yang

dibangun oleh anggota DPD ialah relasi perorangan dengan distrik masing-

30 Husni Kamil Malik, “Sistem Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014”,

www.fhuiguide.files.wordpress.com, diakses pada 8 Juli 2019.

Page 78: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

68

masing. Relasi demikian menurut Googerwerf disebut sebagai relasi

diversifikasi, yakni wakil rakyat dilihat sebagai perwakilan individu yang

mencerminkan teritorial, golongan, atau kelompok sosial tertentu yang

menjadi tempat perwakilannya.31

Namun relasi dengan anggota yang akan selalu tunduk kepada partai

juga dapat muncul dalam lembaga perwakilan. Hal tersebut disampaikan

oleh Gilbert Abcarian, yang menyatakan bahwa relasi tersebut adalah

bentuk relasi partisan, dimana loyalis partai akan mendengarkan seluruh

arahan partai serta melupakan aspirasi konstituennya, namun tindakan

tersebut hanya akan terjadi apabila calon diusung oleh partai.32 Dalam

konteks ke Indonesiaan, bentuk relasi yang demikian kemungkinan besar

terjadi dalam lembaga DPR, bukan DPD.

Pada akhirya peneliti berpandangan sebaliknya. Bahwa mahkamah

seharusnya tidak melakukan penafsiran yang keluar dari konteks konstitusi

atau the underlying idea behind the text of constitution,sebagai hukum

tertinggi atau grundnorm,33 karena dalam perdebatan yang terjadi dalam

Rapat Tim Perumus PAH I BP MPR menyatakan bahwa anggota DPD dapat

bersumber dari independen atau partai selama dipilih dan mewakili individu

bukan kelompok atau partai.34

2. Independensi Dewan Perwakilan Daerah

Perkara Independensi atau output kebijakan yang akan dikeluarkan oleh

DPD akan terganggu, apabila pengurus partai terdapat di dalamnya. Karena

hadirnya DPD harus menjadi penyeimbang kekuatan politik DPR dan

31 Bintan R Saragih dan Moh. Kusnadi, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cetakan Keempat, (Jakarta:

Gaya Media Pratama, 2000), h. 189.

32 Abu Dauh Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008) h. 143.

33 Raymond Wacks, Understanding Jurisprudence: An Introduction to Legal Theory, (Oxford:

Oxford University Press, 2005), h. 90. dalam Atip Latipulhayat, “Khazanah: Hans Kelsen”,

Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 -1 No.1 – Tahun 2014, h. 202.

34 Risalah Rapat Tim Perumus PAH I BP MPR, 6 Mei 2000,… h. 78.

Page 79: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

69

Presiden. Lebih lengkapdalam pertimbangan hukumnya, mahkamah

menyatakan:

“Menimbang bahwa gagasan untuk lebih meningkatkan akomodasi terhadap

aspirasi daerah yang diejawantahkan dengan pembentukan DPD tersebut

akan terwujud apabila aspirasi daerah itu tercermin dalam keputusan politik

yang diambil di tingkat nasional, khususnya dalam kebijakan legislasi, in casu

pembentukan Undang-Undang sebagai penjabaran lebih jauh dari gagasan

yang tertuang dalam UUD 1945 yang berkait langsung dengan kepentingan

daerah. Dalam konteks demikian DPD didesain sebagai kekuatan

pengimbang terhadap DPR sebagai lembaga negara yang oleh UUD 1945

diberi kekuasaan membentuk Undang-Undang bersama Presiden [vide Pasal

20 juncto Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945]. Artinya, kebijakan legislasi dalam

wujud pembentukan undang- undang yang berkait langsung dengan

kepentingan daerah tidak boleh semata- mata lahir sebagai produk akomodasi

dan kompromi politik kekuatan-kekuatan yang merupakan perwujudan

representasi politik, yaitu DPR dan Presiden yang meskipun sama-sama

dipilih oleh rakyat namun pengusulan dalam pengisian jabatannya dilakukan

melalui sarana partai politik. Oleh karena itu, untuk dapat menjadi kekuatan

pengimbang dimaksud maka pengisian jabatan anggota DPD haruslah berasal

dari luar partai politik. Anggota DPD didesain berasal dari tokoh- tokoh

daerah yang sungguh-sungguh memahami kebutuhan daerahnya dan

memiliki kemampuan untuk (bersama-sama dengan tokoh-tokoh dari daerah

lain) menyuarakan dan memperjuangkan kebutuhan itu dalam pengambilan

keputusan politik nasional yang berkait langsung dengan kepentingan daerah,

khususnya dalam proses pembentukan Undang-Undang. Gambaran itulah

yang dapat disarikan dari proses pembahasan yang terjadi di Panitia Ad Hoc

I Badan Pekerja MPR ketika merumuskan pelembagaan DPD (vide lebih jauh

Risalah rapat-rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, khususnya

pembahasan pada Perubahan Kedua dan Ketiga UUD1945).

Menurut peneliti, kekhawatiran mahkamah menurut pertimbangannya

di atas tidak mudah terjadi. Pasca terpilihnya seorang calon anggota sebagai

anggota DPD, merekalangsung terikat dengan regulasi mengenai kode etik

serta peraturan mengenai DPD. Urgensi tersebut ditujukan untuk menjaga

serta melindungi anggota DPD dari tindakan yang dianggap akan

mencoreng marwah dari DPD atau membuat DPD keluar dari peran

utamanya, yakni sebagai perwakilan daerah di tingkat pusat.

Penjagaan independensi dari DPD juga diperkuat dalam Undang-

Undang maupun regulasi lainnya, seperti sebelum memangku jabatannya

DPD wajib bersumpah seperti yang terdapat dalam Pasal 254 Undang

Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

Page 80: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

70

Rakyat Daerah (UU MD3) yang menegaskan sumpah bagi seluruh anggota

DPD untuk menjalankan kewajibannya sebagai anggota maupun pimpinan

DPD dengan adil serta wajib pula untuk mengutamakan kepentingan

bangsa, negara dan daerah daripada kepentingan pribadi, seseorang dan

golongan.

Sumpah anggota DPD termanifestasi dalam kewajiban DPD yang

tercantum dalam Pasal 258 huruf d UU MD3 yang mewajibkan bagi seluruh

anggota DPD untuk mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan

pribadi, kelompok, golongan dan daerah. Setelah mengucapkan sumpah dan

serta menaati kewajiban DPD, anggota DPD juga harus menandatangani

Pakta Integritas yang tertuang dalam Pasal 10 Ayat (1) Peraturan Dewan

Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata

Tertib yang ditujukan untuk mencerminkan penyelenggaraan yang baik dan

tidak koruptif serta bersedia diberhentikan oleh Badang Kehormatan DPD

apabila dikemudia hari ditemukan terjadinya pelanggaran sumpah atau kode

etik DPD.

Alasan pemberhetian anggota DPD atau yang biasa dikenal dengan

istilah penggantian antarwaktu menurut Pasal 307 Ayat (1) UU MD3 terjadi

karena tiga hal, yang salah satunya adalah diberhentikan. Alasan

pemberhentian termaktub dalam Ayat (2), salah satu alasannya adalah

apabila melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPD. Sehingga

peneliti menyimpulkan bahwa individual guarantee of legislator

Independence untuk bersifat netral dan tidak memiliki konflik kepentingan

dengan latarbelakang anggota mereka sebagai anggota DPD sudah sangat

terang menurut hukum. Apabila terjadinya pelanggaran atau konflik

kepentinganpun, Undang-Undang terkait telah mengatur mekanisme

penyelesaian permasalahan tersebut yang berujung pada pergantian

antarwaktu anggota DPD terkait.

Untuk menjaga independensi dari kelembagaan DPD, dalam kinerja

lembaganya DPD dilengkapi dengan alat kelengkapan DPD yang diatur

dalam Pasal 259 Ayat (1) UU MD3 yang salah satunya adalah Pimpinan

Page 81: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

71

DPD. Menurut Pasal 50 Ayat (1) Peraturan DPD a quo menggariskan bahwa

seluruh anggota DPD berhak mendaftarkan diri sebagai bakal calon

pimpinan DPD.

Salah satu tugas Pimpinan DPD menurut Pasal 261 Ayat (1) UU MD3

adalah mempimpin sidang DPD serta menyimpulkan hasil sidang untuk

diambil keputusan. Sedangkan proses pengambilan keputusan DPD

termaktub dalam Pasal 296 Ayat (1) dan (2) UU MD3 menyatakan bahwa

proses pengambilan keputusan dilakukan dengan cara musyawarah untuk

mufakat, apabila musyawarah untuk mufakat tidak terpenuhi, maka

keputusan akan diambil melalui suara terbanyak.

Penjelasan mengenai cara pengambilan suara terbanyak dijelaskan

dalam Pasal 297 Ayat (1) & (2) UU MD3 yang menyatakan bahwa

keputusan hanya akan diambil ketika telah mencapai kuorum serta kuorum

dinyatakan terpenuhi apabila rapat dihadiri oleh ½ jumlah anggota

rapat/sidang. Dengan demikian, apabila pemohon dalam permohonannya

menyatakann bahwa terdapat 78 dari 132 berasal dari anggota hingga

pengurus partai politik akan menganggu independensi DPD, hal tersebut

hanyalah asumsi belaka.

Jika kita melakukan perhitungan dengan data yang disertakan

pemohon, jumlah anggota DPD yang berasal dari partai politik yang secara

sah menjadi koalisi pemerintahan pada pemilu 2014 yakni hanya sejumlah

56 anggota (Hanura 28 Anggota, Golkar 14 Anggota, PPP 8 Anggota, PKB

3 Anggota, PDI-P 2 Anggota dan Nasdem 1 Anggota). Bahkan jumlah

koalisi mayoritas partai kolisi pemerintahanpun tidak mencapai angka

kuorum dari 132 anggota DPD, yakni 66 orang. Konsekuensi logis dari hal

tersebut adalah keputusan tidak dapat ditentukan oleh deminasi mereka saja.

Sehingga peneliti berpendapat bahwa sudah bukan seharusnya kita

mempermasalahkan latarbelakang dari anggota DPD, melainkan dalam

negara hukum kita membuat regulasi yang mempersempit pejabat untuk

melakukan konflik kepentingan dalam melaksanakan jabatannya.

Page 82: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

72

Peneliti berpendapat bahwa dengan seluruh pembuktian serta analisis

melalui metode pendekatan normatif-konseptual yang peneliti lakukan,

seharusnya mahkamah tidak mengabulkan permohonan yang diajukan oleh

pemohon. Kejanggalan yang mendasar ialah tidak adanya bukti kongkret

atas konfik kepentingan yang terjadi apbila pengurus parpol dapat

bergabung dalam DPD yang menjadi dasar permohonan pemohon, hal

tersebut tidak memenuhi asas hukum acara yang berbunyi actori incumbit

probation atau siapa yang mendalilkan, ialah yang harus membuktikan.

Penelitian ini bukan bermaksud untuk tidak mengakui Putusan

Mahkamah Konstitusi a quo. Peneliti hanya mencoba untuk memberikan

sumbangsih sudut pandang yang berbeda, demi kemajuan semesta

ketatanegaraan Indonoesia. Peneliti tetap mengakui putusan a quo memiliki

kekuatan hukum tetap, dan wibawanya sebagai putusan dari lembaga akhir

sengketa pemulihan atas terlanggarnya hak konstitusi rakyat, yakni

Mahkamah Konstitusi, sebagai Guardian of Constitution and The Protector

of Human Rights.

Page 83: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

73

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari seluruh rangkaian penelitian serta pengkajian yang

telah dilakukan, maka peneliti menarik kesimpulan dari permasalahan yang

telah dikemukakan dalam skripsi ini, yaitu:

1. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi untuk melarang pengurus

fungsionaris partai politik menjadi calon anggota DPD didasarkan pada

dua alasan. Pertama, akan bergesernya perwakilan DPD, dari perwakilan

daerah menjadi perwakilan partai. Karena perwakilan bagi partai politik

telah tersedia, yakni di DPR. Kedua, eksistensi dari pengurus fungsionaris

partai politik sangat berpotensi untuk terjadinya konflik kepentingan

dengan tugas, fungsi dan hak sebagai anggota DPD. Pengurus fungsionaris

partai politik, disinyalir akan lebih mementingkan kepentingan partai

politik dibandingkan dengan kepentingan daerah.

2. Majemuknya latar belakang anggota DPD tidak akan menganggu

independensi dari anggota serta kewenangan DPD. Koridor regulasi DPD

telah mempersempit ruang untuk anggota DPD melakukan tindakan yang

keluar dari kepentingan DPD serta nasional dan kedaerahan. Apabila

dikemudian hari terbukti terjadinya penyimpangan, maka regulasipun

telah memberikan solusinya untuk dapat hingga diberhentikan menjadi

anggota DPD. Jaminan independensi lain muncul dari proses pengambilan

keputusan di DPD, kehadiran pengurus fungsionaris partai politik dalam

DPD tidak akan dapat menggeser kepentingan DPD menjadi kepentingan

partai politik. Pasalnya seluruh proses pengambilan keputusan di DPD

dilakukan secara demokratis, dari proses musyawarah hingga pengambilan

suara yang perlu mencapai kuorum dari peserta sidang untuk mencapai

kata sepakat.

Page 84: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

74

B. Rekomendasi

Untuk menyumbang sedikit pengetahuan peneliti mengenai sistem

ketatanegaraan Indonesia, agar dalam hegemoninya tetap menjunjung nilai-

nilai proporsionalitas, peneliti hendak mengajukan rekomendasi sebagai

secercah kontribusi peneliti atas kemajuan konstruksi politik ketatanegaraan

Indonesia. Peneliti berpendapat, seharusnya bukanlah dengan menambahkan

syarat bagi anggota DPD, melainkan syarat bagi pimpinan DPD.

1. Peneliti merekomedasikan penambahan syarat dalam Undang-undang

MD3 maupun Tatib DPD, dengan bentuk kalimat “Pimpinan DPD harus

berhenti menjadi pengurus maupun anggota partai politik saat terpilih dan

dilantik menjadi pimpinan DPD yang dibuktikan dengan surat

pengunduran diri dari partai politik terkait”.

Dengan pimpinan DPD yang tidak berasal dari anggota maupun pengurus

fungsionaris partai politik, justru lebih memberikan jaminan serta tidak

melanggar aspek demokrasi konstitusional di Indonesia. Karena pengurus

maupun anggota partai politik tetap boleh menjadi anggota DPD, namun tidak

boleh menjadi Pimpinan DPD. Dari konstruksi yang demikianlah partai politik

hanya sebagai injeksi implementasi konstitusional DPD, dan semakin

memperkecil kemungkinan DPD keluar dari jalur perwakilannya.

Page 85: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

75

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Abercrombie, Nicholas dkk, The Penguin Dictionary of Sociology, Cet.3,

London: Penguin Books, 1994.

Ali Syafa’at, Muchammad, Pembubaran Partai Politik: Pengaturan dan

praktik Pembubaran Partai Politik dalam pergulatan Republik.

Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

____________, Parlemen Bikameral, Studi Perbandingan di Amerika

Serikat, Perancis, Belanda, Inggris, Austria, dan Indonesia, Cetakan

Pertama, Malang: Universitas Brawijaya Press, 2010.

Ali, Zainudin, Metode Penelitian Hukum, Cet.2, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Anom Husodo, Djatmiko, Dewan Perwakilan Daerah Dan Masa Depan

Bikameralisme Indonesia, Dalam gagasan Amandemen UUD 1945

Suatu Rekomendasi, Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI, 2008.

Asshiddiqie, Jimly, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran

Kekuasaan Dalam UUD 1945, Cet.1, Yogyakarta: FH UII Press,

2004.

_________, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Depok: Rajawali Press,

2013.

_________, Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca

Reformasi, Jakarta: Sekretarian Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah

Konstitusi RI, 2006.

_________, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta:

Konstitusi Press, 2005.

Page 86: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

76

_________, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Sekretariat

Jendral dan Kepaniteraan MK RI, 2006.

Azhari, Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif Tentang

Unsur‐ Unsurnya, Jakarta: Ul‐ Press, 1995.

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet.4 ,Jakarta: Gramedia

Pustaka, 2008.

Busroh, Abu Daud, Ilmu Negara, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008.

Chen, Albert H Y, The Interpretation of the Basic Law--Common Law and

Mainland Chinese Perspectives, Hong Kong: Hong Kong Journal Ltd,

2000.

Co-operation, Economic and Development, Managing Conflict of Interest in

the Public Sector: A Toolkit, Paris: OECD Publishing, 2005.

Diamond, Larry, In Search of Democracy, London: Routledge, 2016.

Ducat, Craig R, Constitutional Interperation, California: Wordsworth

Classic, 2004.

Fadjar, Abdul Mukhtie, Tipe Negara Hukum, Malang: Banyumedia Intrans,

2004.

________, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Jakarta: Sekretariat

Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2005.

Gaffar, Janedjri M, (ed), Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem

Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jenderal

MPR RI dan UNDP, 2003.

Goldsworthy, Jeffrey (Ed.), Interpreting Constitutions, A Comparative Study,

New York: Oxford University Press, 2006.

Page 87: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

77

Hadjon, Philipus M, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat- Sebuah Studi

Tentang Prinsipprinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam

Lingkungan Peradilan Umum Dan Pembentukan Peradilan

Administrasi Negara, Surabaya: Bina Ilmu, 1987.

Hall, Katt, Legislation, Chatswood: Butterworths, 2002.

Huda, Ni’matul, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi,

Yogyakarta: UII Press, 2007.

Ida, Laode, Menegaskan Posisi Dewan Perwakilan Daerah, dalam Gagasan

Amandemen UUD 1945 Suatu Rekomendasi, Jakarta: Komisi Hukum

Nasional RI, 2008.

Iver, Mac, The Modern State, First Edition, London: Oxford University Press,

1955.

Keane, John, The Life and Death of Democracy, London-Sydney-Newyork-

Toronto: Pocket Books, 2010.

Koch, Adriene, The Philosophy of Thomas Jefferson, Chicago, 1964.

Lijphart, Arend, Pattern of Democracy: Government Forms and Performance

in Thirty-Six Countries, New Haven & London: Yale University

Press, 2012.

Lincoln, Abraham, The Gettysburg Address, England: Penguin Books, 2009.

Maggalatung, Salman, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen

UUD 1945, Bekasi: Gramata Publishing, 2016.

Mahfud MD, Moh, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta:

Rineka Cipta, 2001.

Manan, Bagir DPR, DPD dan MPR dalam Undang-undang Dasar 1945

Baru, Yogyakarta: FH UII Press, 2003.

Page 88: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

78

________, DPR, DPD dan MPR Dalam UUD 1945 Baru, Cet.3, Yogyakarta:

FH UII Press, 2005.

Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana, 2008.

Mertokusumo, Sudikno dan Pitlo, A, Penemuan Hukum, Bandung: Citra

Aditya Bakti, 1993.

Muhammad, Abdulkadir, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet.2, Bandung:

PT. Citra Aditya Bakti, 2004.

Nasution, Bahder Johan, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung:

Mandar Maju, 2013.

Pamungkas, Sigit, Partai Politik: Teori dan Praktik di Indonesia,

Yogyakarta: Institute for Democracy and Welfarism, 2011.

Pemberantasan Korupsi, Komisi, Panduan Penanganan Konflik Kepentingan

Bagi Penyelenggara Negara, Jakarta: KPK, 2009.

Penyusun, Tim, Panduan Masyarakatan Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR

RI, 2007.

Phillips, Samuel Huntington, Tertib Politik di Tengah Pergeseran

Kepentingan Massa, Jakarta: Raja Grafindo persada, 2003.

Pontier, J.A, Penemuan Hukum, diterjemahkan oleh Arief Sidharta, Bernard

Bandung: Jendela Mas Pustaka, 2008.

Purnama, Eddy, Negara Kedaulatan Rakyat: Analisis Terhadap Sistem

Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-

Negara lain, Bandung: Nusamedia, 2007.

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006.

Page 89: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

79

Rakove, Jack N. (Ed.), Interpreting Constitution: The Debate Over Original

Intent, Michigan: Northeastern University Press, 1990.

Republik Indonesia, Mahkamah Konstitusi, Cetak Biru Membangun

Mahkamah Konstitusi Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang

Modern dan Terpercaya, Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah

Konstitusi RI, 2004.

Republik Indonesia, Mahkamah Konstitusi, Laporan Tahunan Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal

Mahkamah Konstitusi RI, 2006

RI, Dewan Perwakilan Daerah, Untuk Apa DPD RI, Jakarta: Kelompok DPD

di MPR RI, 2006.

Sampford, Charles (Ed.), Interpreting Constitutions Theories, Principles and

Institutions, Sydney: The Ferderation Press, 1996.

Saragih, Bintan R dan Kusnadi, Moh, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cetakan

Keempat, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000.

Sirajudin, dkk, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia,

Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004.

Soekato, Soerjono, Pengantar Peneltian Hukum, cet 3, Jakarta: Universitas

Indonesia Press, 1986.

Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif,dan R&D, (Bandung:

Alfabeta, 2005.

Suny, Ismail, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta: Aksara Baru, 1977.

Thaib, Dahlan, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945,

Jakarta: Liberty, 1993.

Page 90: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

80

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat

Bahasa, 2008.

Tim Penyusun Revisi Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan

UUD 1945, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan

Hasil Pembahasan 1999-2002, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan

Kepaniteraan, 2010.

Tracy, Destutt De, A Commentary and Review of Montesque’s Spirit of Law,

Philadelpia: William Duane, 1811.

Victoria, Ombudsman, Conflict of Interest In The Public Sector, Victoria:

Victorian Government Publishing, 2008.

Wacks, Raymond, Understanding Jurisprudence: An Introduction to Legal

Theory, Oxford: Oxford University Press, 2005.

Whittington, Keith E, Constitutional Interpretation, Textual Meaning,

Original, and Judicial Review, Kansas: University Press of Kansas,

1999.

Jurnal

Fahmi, Khairul, “Prinsip Kedaulatan Rakyat Dalam Penentuan Sistem

Pemilihan UmumAnggota Legislatif”, Jurnal Konstitusi, Volume 7,

Nomor 3, (2010): h. 121.

Firman Manan, “Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Dalam

Sistem Pemerintahan Republik Indonesia”, Cosmogov, Vol.1 No.1,

2015, h. 49

Hernandi Affandi, “Problematika Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan

Daerah Dalam Hegemoni Dewan Perwakilan Rakyat”, Padjadjaran

Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1-No.1, 2014, h. 136

Page 91: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

81

Jimly Asshiddiqie, “Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Serpihan

Pemikiran Hukum”, Media dan HAM, (Jakarta: Sekretariat Jenderal

dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006),

h. 19.

Kris Nugroho, “Problematika Dewan Perwakilan Daerah: Antara Fungsi

Konstitusional dan Realitas Politik”, Jurnal Masyarakat, Kebudayaan

dan Politik, Vol.20 /No.2, (2007): h. 104

LatipulhAyat, Atip, “Khazanah: Hans Kelsen”, Padjadjaran Jurnal Ilmu

Hukum, Volume 1 -1 No.1, (2014): h. 202.

Rahman, Faiz dan Wicaksono, Dian Agung, “Eksistensi dan Karakteristik

Putusan Bersyarat Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Volume

13, Nomor 2, Juni, (2016): h. 357.

Sirajuddin, “Eksistensi Partai Politik Dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan

Di Indonesia”, Lex Administratum, Vol. IV/No. 1, h. 76.

Soeroso, Fajar Laksono, “Aspek Keadilan Dalam Sifat Final Putusan

Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 1,

Maret, (2014): h. 65.

Todd Landman, "Democracy and Human Rights: Concepts, Measures, and

Relationships", Politics and Governance, 6 (1), (2018): h. 48.

WidAyati, “Rekonstruksi Kelembagaan MPR”, Pengembangan Epistimologi

Ilmu Hukum, (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta), h.

202.

_______, “Sistem Parlemen Berdasarkan Konstitusi Indonesia”, MMH, Jilid

4 No.4, Oktober 2015, h. 416.

Page 92: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

82

Karya Ilmiah

Dekantara, Putra, “Optimalisasi Fungsi Legislasi DPD Dalam Sistem

Lembaga Perwakilan di Indonesia”, Tesis S-2 Fakultas Hukum:

Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2018.

Indrayana, Denny, "Indonesian Constitutional Reform 1999–2002: An

Evaluation of Constitution-Making in Transition", PhD Thesis:

Faculty of Law University of Melbourne, 2005.

Makalah

Dahlan Thaib, “Menuju Parlemen Bikameral (Studi Konstitusional

Perubahan Ketiga UUD 1945)”, Pidato Pengukuhan dalam Jabatan

Guru Besar Madya dalam Hukum Tata Negara Universitas Islam

Indonesia (UII) Yogyakarta, tanggal 4 Mei 2002, h. 20.

Palguna, I Dewa Gede, Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah.

Makalah pada Focus Group Discussion “Kedudukan dan Peranan

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam Sistem Ketatanegaraan

Republik Indonesia” di Semarang, 25 Maret 2003 dan di Malang, 26

Maret 2003.

Zoelva, Hamdan, “Mekanisme Checks and Balances Antar Lembaga Negara

(Pengalaman dan Praktik di Indonesia)”, Simposium Internasional

“Negara Demokrasi Konstitusional”, Hotel Shangri-La, Jakarta, 12

Juli 2011, h. 5.

Risalah Sidang

Risalah Rapat Tim Perumus PAH I BP MPR, 6 Mei 2000

Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(PPKI), 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, (Jakarta: Sekretariat Negara

Republik Indonesia, 1998

Page 93: DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47547...i DISKURSUS PENGURUS FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK DALAM KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN

83

Media Internet

Ali Syafa’at, “Penafsiran Konstitusi”, <http://safaat.lecture.ub.ac.id>.

Malik, Husni Kamil, “Sistem Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun

2014”, <www.fhuiguide.files.wordpress.com>.

Norman, Jesse, ConHome op-ed: the USA, “Radical Conservatism and

Edmund Burke”, <www.jessenorman.com>.

Quigley, Charles N, “Constitutional Democracy”, <www.civiced.org>.

Safa’at, Muchamad Ali, “DPD Sebagai Lembaga Perwakilan Daerah dan

Proses Penyerapan Aspirasi”, <www.safaat.lecture.ub.ac.id>.

Suwarno, PJ, “Utusan Daerah Dalam Undang-undang Dasar 1945”,

<perpustakaan.bappenas.go.id>.