kajian filosofis atas teori diskursus jÜrgen habermas

94
i KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS JÜRGEN HABERMAS DAVID JONES SIMANUNGKALIT 1323009004 FAKULTAS FILSAFAT UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA 2014

Upload: david-jones

Post on 22-Jul-2015

555 views

Category:

Law


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

i

KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS

JÜRGEN HABERMAS

DAVID JONES SIMANUNGKALIT

1323009004

FAKULTAS FILSAFAT

UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA

2014

Page 2: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

ii

LEMBAR PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH

Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya

ilmiah saya, dengan judul: Kajian Filosofis Atas Teori Diskursus Jürgen

Habermas untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu

Digital Library Perpustakaan Unika Widya Mandala Surabaya untuk kepentingan

akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.

Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat

dengan sebenarnya.

Surabaya, 13 Juli 2014

MATERAI 6000

David Jones Simanungkalit

1323009004

Page 3: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

iii

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa

hasil tugas akhir ini adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri.

Apabila di kemudian hari diketahui bahwa skripsi ini

merupakan hasil plagiarisme, maka saya bersedia

menerima sangsi berupa pembatalan kelulusan

dan atau pencabutan gelar yang saya peroleh.

Surabaya, 13 Juli 2014

David Jones Simanungkalit

1323009004

Page 4: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

iv

Page 5: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

v

KATA PENGANTAR

Karya tulis ini merupakan buah dari proses pembelajaran filsafat yang

digeluti oleh penulis selama menempuh pendidikan jenjang strata satu (S1) di

Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Pemilihan tema

yang diangkat dalam karya tulis ini merupakan usaha penulis guna mendalami

pemikiran Jürgen Habermas yang berkaitan dengan teori diskursus. Penulis

berharap agar nantinya dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi agen

perubahan dalam masyarakat sesuai cita-cita yang dimiliki oleh Mazhab

Frankfurt.

Pada kesempatan ini, penulis hendak berterima kasih kepada:

1. Allah sumber segala pengetahuan dan kebijaksanaan.

2. Keluarga yang selalu memberikan dukungan moral dan material.

3. Agustinus Pratisto Trinarso Lic. Phil yang telah membimbing penulis

dalam proses penyelesaian karya tulis ini.

4. Dr. Agustinus Ryadi dan Aloysius Widyawan Lic. Phil yang telah

memberi masukan kritis demi perbaikan karya tulis ini.

5. Rekan-rekan filosofan di Unika Widya Mandala, secara khusus

Antonino Indrajaya sang petualang alam liar, yang telah membantu

penulis dalam diskusi dan proses penyelesaian karya tulis ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam karya tulis ini,

maka penulis membuka diri bagi kritik dan saran yang membangun demi

perbaikan karya tulis ini ke depan. Akhir kata, semoga karya tulis ini dapat

menjadi sumbangan bagi setiap pihak yang ingin mendalami pemikiran Jürgen

Habermas yang berkaitan dengan tema komunikasi.

Surabaya, 13 Juli 2014

Penulis

Page 6: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

vi

DAFTAR ISI

Salinan Halaman Sampul………………………………………………………... i

Lembar Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah…………………………………….. ii

Lembar Pernyataan Karya Ilmiah Non Plagiat……………….………………….. iii

Lembar Persetujuan Pembimbing…………………...…………………………… iv

Kata Pengantar………………...…………………………………………………. v

Daftar Isi…………………………………………………………………………. vi.

Abstraksi Skripsi…………………………………………………………………. viii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang…………………………………………………………… 1

1.2. Rumusan Masalah……………….……………………………………….. 3

1.3. Tujuan………….………………………………………………………… 3

1.4. Metode Penelitian……….……………………………………………….. 3

1.5. Sistematika Penulisan…………...……………………………………..… 4

BAB II JÜRGEN HABERMAS & MAZHAB FRANKFURT

2.1. Biografi Jürgen Habermas….…………………………….……………… 6

2.2. Mazhab Frankfurt…………………..……………………………………..10

2.3. Pemikiran Filosofis Jürgen Habermas……...………….……………….... 21

2.3.1. Rasio Komunikatif……………………………………………………... 21

2.3.2. Theory of Communicative Action…………………………………….. 26

BAB III TEORI DISKURSUS

3.1. Teori Diskursus…………..…………………………….………………… 33

3.2. Prosedur Diskursus…………….…..…………………………………...... 40

3.3. Prinsip Etika Diskursus………………….…………………………………....... 45

3.4. Tinjauan Kritis Terhadap Pemikiran Habermas…………………………. 49

3.4.1. Kritik atas Pemikiran Habermas oleh Michel Foucault…............. 50

Page 7: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

vii

3.4.2. Defending Habermas oleh Michael Pusey………………………….. 55

BAB IV RELEVANSI TEORI DISKURSUS

4.1. Diskursus dan Ruang Publik …..…………………………...…………… 60

4.2. Relevansi Teori Diskursus di Indonesia..................................................... 62

4.3. Penerapan Diskursus Dalam Demokrasi di Indonesia…………………… 68

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan……………………...……………………….…….……….... 71

5.2. Saran………………….…………………………………….………….… 74

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………. 75

Page 8: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

viii

ABSTRAKSI

KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS JÜRGEN HABERMAS

David Jones Simanungkalit

1323009004

Masyarakat modern memiliki kompleksitas nilai dan kepentingan.

Benturan nilai dan kepentingan merupakan sebuah hal yang tidak dapat dielakkan

lagi. Dalam situasi semacam itu, kita dihadapkan pada dua buah jalan pilihan.

Pertama, membangun sebuah tatanan masyarakat rasional yang dilandasi oleh

nilai-nilai etika dan moral. Kedua, menggunakan cara-cara irasional, seperti

kekerasan, uang, dan kekuasaan, yang cenderung mengarah pada kehancuran.

Kompeleksitas nilai dan kepentingan harus diatur sedemikian rupa guna

mencegah terjadinya konflik yang mengarah pada disintegrasi masyarakat. Pada

titik ini, keberadaan hukum menjadi hal yang sangat fundamental untuk mengatur

kompleksitas nilai dan kepentingan yang ada dalam masyarakat. Keberadaan

hukum dapat menjamin kehidupan bersama dalam masyarakat berjalan dengan

tertib.

Kendati demikian, tak jarang kita menjumpai berbagai problematika yang

muncul terkait dengan hukum. Problematika yang dimaksud adalah keberadaan

hukum yang kontroversial yang tidak mencerminkan nilai keadilan bagi

masyarakat. Contoh konkret dari keberadaan hukum yang controversial adalah

sistem hukum yang diterapkan oleh pemerintah kolonial terhadap daerah

jajahannya, seperti hukum tanam paksa yang pernah ada di Indonesia. Lalu

adanya politik Apartheid di Afrika Selatan yang memisahkan antara masyarakat

kulit hitam dan kulit putih dalam suatu sistem hukum politik negara. Keberadaan

hukum yang demikian tidak mencerminkan hakekat hukum yang seharusnya

memberikan nilai keadilan bagi masyarakat. Keberadaan hukum yang

kontroversial justru tidak menjamin terciptanya kehidupan masyarakat yang tertib

dan adil melainkan malah dapat memicu terjadinya disintegrasi masyarakat.

Keberadaan hukum yang kontroversial tersebut menjadi bukti bahwa

keberadaan hukum juga bukan tanpa masalah. Akar permasalahannya terletak

pada prosedur legitimasi pembentukan hukumnya. Keberadaan hukum yang

kontroversial tersebut ditetapkan secara sepihak oleh penguasa atau pihak

mayoritas yang bertujuan untuk melayani kepentingan pihak-pihak tertentu dan

melanggengkan status quo. Penekanan pada dimensi “subjektivitas” dari penguasa

dan pihak-pihak tertentu tanpa disertai adanya kontrol dan keterlibatan aktif dari

masyarakat merupakan sebuah problem yang menandakan adanya kecacatan

dalam prosedur dalam pembentukan hukum.

Page 9: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

ix

Penulisan karya tulis ini bertujuan untuk memperkenalkan gagasan-

gagasan filosofis Jürgen Habermas yang berkaitan dengan proses penetapan

hukum atau norma melalui sebuah prosedur pengujian intersubjektif. Prosedur

pengujian secara intersubjektif merupakan esensi dari teori diskursus. Teori

diskursus, sebagai sumbangan pemikiran Habermas terhadap masyarakat modern,

pada dasarnya tidak menawarkan suatu ide substantif apapun, melainkan hanya

meradikalkan prosedur (cara) yang didasarkan pada hakekat rasio itu sendiri, yaitu

rasio komunikatif dan rasio prosedural.

Metode yang digunakan dalam karya tulis ini adalah metode kepustakaan

dengan pengunaan berbagai sumber pustaka yang terkait dengan tema dan dapat

dipertanggungjawabkan aspek keilmiahannya.

Teori diskursus kiranya sangat cocok sebagai salah satu solusi alternatif

terkait permasalahan mengenai proses penetapan hukum (norma). Menurut

pandangan Habermas, produk-produk legal formal yang menyangkut kehidupan

publik harus melewati sebuah proses pengujian diskursif yang menekankan

prinsip intersubjektivitas. Produk-produk legal formal yang dicapai melalui

prosedur pengujian diskursif akan menghasilkan sebuah konsensus yang memiliki

dasar legitimasi yang kuat. Kekuatan dasar legitimasinya terletak pada konsensus

yang dicapai secara intersubjektif. Pelaksanaan hasil konsensus yang dicapai

melalui mekanisme semacam itu bersifat mengikat terhadap seluruh partisipan

diskursus, karena mereka terlibat aktif di dalam prosesnya.Produk-produk legal

formal yang dihasilkan secara sepihak tanpa melibatkan partisipasi aktif

masyarakat tidak memiliki dasar legitimasi yang kuat karena adanya defisit dalam

proses legitimasinya.

Kata kunci: rasio prosedural, tindakan komunikatif, teori diskursus,

etika diskursus, intersubjektivitas.

Page 10: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

x

ABSTRACT

Philosophical Study On Jürgen Habermas’ Discourse Theory

David Jones Simanungkalit

1323009004

Modern society has the complexity of values and interests. Conflict of

interests and values is a thing that cannot be avoided. In such a situation, we are

faced with two ways of choice. First, building a rational society which is based on

ethical values and moral. Second, using irrational ways, such as money violence

and power which tends to lead to destruction. Complexity of values and interests

must be arranged in such a way to prevent conflicts that lead to the disintegration

of society. At this point, the existence of law becomes a very fundamental thing

to set the values and interests of the complexities which exist in society. The

existences of law can ensure mutual aid in society walk orderly.

Nevertheless, we often encounter with various problems which arise

related to the law. The problem is the existence of controversial law which does

not reflect on the value of justice for society. Concrete example of the existence of

the controversial law is the legal system applied by the colonial government to its

colonies, such as legal cultivation that existed in Indonesia. Furthermore, the

existence of Apartheid politic in South Africa which separated black community

and white community in a legal system of political country. The existence of

such a law does not reflect the essence of the law which is supposed to provide

justice for the people. The existence of a controversial law precisely does not

ensure to have an order and fair community life, but instead it may lead to the

disintegration of society.

This existence of a controversial law was a proof that the existence of the

law is free from problems. The root of the problem lies on the legitimacy

procedure of law. The existence of the controversial law was determined only by

the ruler or the majority party that aims to serve the interests of certain parties and

perpetuate the status quo. Emphasis on the dimension of "subjectivity" from the

authorities and certain parties without being controlled and the active involvement

of the community is a problem which suggests a defect in the formation of legal

procedures.

This paper aims to introduce the philosophical ideas of Jürgen Habermas

related to legal or norm-setting process through an intersubjective testing

procedure. Intersubjective testing procedure is the essence of discourse theory.

Theory of discourse, as Habermas conceptual contribution to modern society,

basically it does not offer a substantive idea whatsoever, but only radicalized

Page 11: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

xi

procedure (method) which based on the nature of the ratio itself, ie the ratio of

communicative and procedural ratio.

The method used in this paper is a literature method by conducting

various sources of literature which related to the theme and can be accounted for

scholarship aspect.

Discourse theory would very suitable as one alternative solution of the

problems related to the determination of the legal process (the norm). Habermas’

point of view, formal legal products related to public life must pass through a

testing process that emphasizes discursive intersubjectivity principle. Formal legal

products are achieved through the testing procedure will result in a discursive

consensus that has strong legitimacy base. Basic strength lies on its legitimacy

achieved intersubjective consensus. Implementation of the results of the

consensus reached through such a mechanism shall be binding on all the discourse

participants, because they are actively involved in the process. Formal legal

products were achieved unilaterally without involving the active participation of

the community, it does not have a strong legitimacy base because of the deficit in

the process of it’s legitimacy.

Keywords: ratio procedural, communicative action, discourse theory,

discourse ethics, intersubjectivity.

Page 12: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

BAB I

Page 13: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Jürgen Habermas dalam bukunya Faktizitat und Geltung mengungkapkan

bahwa masyarakat modern merupakan masyarakat yang memiliki kompleksitas

nilai dan kepentingan.1 Adanya kompleksitas nilai dan kepentingan mengharuskan

kehidupan masyarakat diatur sedemikian rupa untuk menghindari terjadinya

konflik yang mengarah pada disintegrasi masyarakat. Keberadaan hukum menjadi

sangat penting untuk mengatur adanya kompleksitas nilai dan kepentingan dalam

masyarakat. Keberadaan hukum dapat menjamin kehidupan bersama dalam

masyarakat berjalan dengan tertib.

Kendati demikian, tak jarang kita menjumpai berbagai problematika yang

muncul terkait dengan hukum. Problematika yang dimaksud adalah keberadaan

hukum yang kontroversial yang tidak mencerminkan nilai keadilan bagi

masyarakat. Contoh konkrit dari keberadaan hukum yang kontroversial adalah

sistem hukum yang diterapkan oleh pemerintah kolonial terhadap daerah

jajahannya. Lalu adanya politik Apartheid di Afrika Selatan yang memisahkan

masyarakat kulit hitam dan kulit putih dalam suatu sistem hukum politik negara

yang dijalankan dengan baik. Keberadaan hukum yang demikian tidak

mencerminkan hakekat hukum yang seharusnya memberi nilai keadilan bagi

1 JÜRGEN HABERMAS, Between fact and norm, (judul asli: Faktizitat und Geltung), diterjemahkan

oleh William Rehg, The MIT press, New Baskerville 19962, 1.

Page 14: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

2

masyarakat. Keberadaan hukum yang kontroversial justru tidak menjamin

terciptanya kehidupan masyarakat yang tertib dan adil melainkan malah dapat

memicu terjadinya disintegrasi masyarakat.

Keberadaan hukum yang kontroversial tersebut menjadi bukti bahwa

keberadaan hukum juga bukan tanpa masalah. Menurut hemat penulis

permasalahannya terletak pada prosedur legitimasi pembentukan hukumnya.

Keberadaan hukum yang kontroversial tersebut hanyalah bentukan secara sepihak

oleh penguasa atau pihak mayoritas yang bertujuan untuk melayani kepentingan

pihak-pihak tertentu dan melanggengkan status quo. Penekanan pada dimensi

“subjektivitas” dari penguasa dan pihak-pihak tertentu tanpa disertai adanya

kontrol dan keterlibatan aktif dari masyarakat merupakan sebuah problem yang

menandakan adanya kecacatan dalam prosedur dalam pembentukan hukum.

Karya tulis ini merupakan usaha penulis guna mendalami pemikiran

Jürgen Habermas terkait bagaimana menghasilkan produk hukum yang memiliki

dimensi kesahihan dan legalitas melalui diskursus. Teori diskursus merupakan

sebuah teori yang dilandasi oleh paradigma komunikatif. Ukuran kesahihan dan

legalitas dalam hukum yang hendak disasar oleh teori diskursus terletak pada

prosedur komunikasi politis yang memungkinkan tercapainya konsensus bersama

oleh setiap anggota masyarakat. Jika mengacu pada teori diskursus, aspek

legalitas dalam hukum tidak terletak semata-mata pada otoritas yang berwenang

melainkan juga terletak pada keterlibatan aktif dan persetujuan dari masyarakat.

Dengan demikian, hukum dapat memiliki sifat mengikat dan legal karena

Page 15: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

3

dihasilkan dari sebuah proses dimana masyarakat turut berpartisipasi aktif dalam

proses pembentukannya.

1.2. PERMASALAHAN

Rumusan permasalahan karya tulis ini adalah:

1. Apa itu teori diskursus dalam perspektif Jürgen Habermas?

2. Bagaimanakah prosedur diskursus dalam perspektif Jürgen Habermas?

1.3. TUJUAN PENULISAN

Tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah:

1. Untuk memperkenalkan gagasan-gagasan filosofis Jürgen Habermas

yang berkaitan dengan proses penetapan norma-norma melalui sebuah

prosedur pengujian intersubjektif.

2. Untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan program strata satu di

Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.

1.4. MANFAAT PENULISAN

Manfaat dari penulisan karya tulis ini adalah:

1 Manfaat teoritis: Sebagai sumbangan bagi dunia ilmu pengetahuan

terkait kajian kritis mengenai teori diskursus Jürgen Habermas .

2 Manfaat praktis: Sebagai sumbangan terkait bagaimana menghasilkan

produk-produk hukum yang sahih melalui mekanisme diskursus.

Page 16: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

4

1.5. METODE PENULISAN

Metode penulisan yang digunakan dalam karya tulis ini adalah metode

kepustakaan. Metode kepustakaan adalah pengunaan berbagai sumber pustaka

yang terkait dengan tema yang diangkat dalam karya tulis ini. Berbagai sumber

kepustakaan tersebut diolah oleh penulis menjadi sebuah karya tulis yang koheren

dan sistematis yang dapat dipertanggungjawabkan aspek keilmiahannya.

1.6. SISTEMATIKA PENULISAN

Skema penulisan karya tulis ini akan dibagi menjadi lima bab. Bab satu

merupakan pendahuluan yang berisi: latar belakang penulis memilih tema, tujuan

penulisan, pokok permasalahan yang diangkat, metode penulisan skripsi, dan

sistematika penulisan. Pada bagian ini penulis akan memaparkan permasalahan

terkait dengan prosedur penetapan norma-norma yang akan dibahas dalam

pemikiran Jurgen Habemas.

Pada bab dua, penulis akan memapaparkan biografi Jürgen Habermas .

Setelah itu, penulis akan memaparkan pemikiran para tokoh Mazhab Frankfurt

dimana Habermas tergabung di dalamnya. Pemaparan pemikiran tokoh Mazhab

Frankfurt bertujuan untuk mempertahankan kontinuitas dialektika filsafat

pemikiran Habermas yang berakar dari para tokoh pendahulunya dalam Mazhab

Frankfurt. Selanjutnya, penulis akan memaparkan gagasan-gagasan Habermas

sebagai pembaharu pemikiran dari para pendahulunya dalam Mazhab Frankfurt.

Bab tiga merupakan pemaparan secara khusus mengenai teori diskursus

yang menjadi rumusan permasalahan dalam karya tulis ini. Pemaparan mengenai

Page 17: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

5

teori diskursus meliputi: apa itu teori diskursus?, bagaimanakah prosedur dalam

melakukan diskursus?, prinsip etika macam apakah yang ada dalam diskursus?.

Setelah itu, penulis akan menyajikan sebuah tinjauan kritis terhadap teori

diskursus guna mendapatkan sebuah objektivitas pemikiran terhadap teori

diskursus.

Pada bab empat, penulis akan merelevansikan teori diskursus dalam

dinamika demokrasi di Indonesia. Pemaparan pada bab ini akan dibagi menjadi

tiga bagian. Pertama, penulis akan memaparkan konsep ruang publik sebagai

aplikasi teori diskursus dalam ranah kehidupan politik praksis. Kedua, penulis

akan merelevansikan teori diskursus dalam dinamika demokrasi di Indonesia.

Ketiga, penulis akan memaparkan prasyarat-prasyarat yang harus dipenuhi dalam

melakukan diskursus dalam dinamika demokrasi di Indonesia.

Pada bab lima, penulis akan menyimpulkan seluruh pemaparan karya tulis

ini. Bab ini akan dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama merupakan

kesimpulan atas gagasan-gagasan pokok yang menjadi pemikiran Habermas yang

telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya. Bagian kedua berisi saran-saran yang

diajukan oleh penulis setelah mempelajari pemikiran Habermas.

Page 18: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

BAB II

Page 19: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

6

BAB II

JÜRGEN HABERMAS & MAZHAB FRANKFURT

2.1. BIOGRAFI JÜRGEN HABERMAS

Jürgen Habermas adalah salah seorang filsuf terkemuka abad ini. Gagasan-

gagasannya banyak dijadikan acuan oleh banyak orang yang terjun dalam arus

pemikiran filsafat. Sebagaimana diungkapkan oleh F. Magnis Suseno “Habermas

mengesan karena luasnya perhatian serta orisinalitas posisi-posisinya.”2 Keluasan

perhatian Habermas tampak dari pemikiran-pemikirannya yang mencakup banyak

bidang kajian, diantaranya filsafat, sosiologi, politik, hukum, dan budaya.

Karakter umum teorinya adalah interdisipliner. Sampai saat ini, pemikiran

teoretisnya berpengaruh dalam berbagai bidang humaniora dan ilmu sosial.

Habermas lahir pada tahun 1929 di Gummersbach, kota kecil dekat

Düsseldorf, Jerman. Franz Magnis Suseno, sebagaimana ditulis oleh Santosa

Irfaan dalam jurnalnya, mengungkapkan bahwa Habermas adalah anak Ketua

Kamar Dagang di suatu propinsi Jerman.3 Kakeknya adalah seorang pendeta.

Dengan demikian, Habermas dibesarkan dalam keluarga kelas menengah yang

berlatar belakang protestan.

Perkenalannya dengan dunia politik dimulai pada tahun 1945, ketika ia

masih berusia 16 tahun. Sebagai remaja pada saat itu, ia harus mengikuti gerakan

2 F. MAGNIS SUSENO, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, Kanisius, Yogyakarta 2000, 215.

3 SANTOSA IRFAAN, “Jürgen Habermas : Problem Dialektika Ilmu Sosial”, Jurnal Dakwah dan

Komunikasi, STAIN Purwokerto, Vol 3, No. 1, Januari-Juni 2009, 1.

Page 20: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

7

Pemuda Hitler (Hitler Youth). Hitler Youth merupakan sebuah wajib militer yang

harus dijalani oleh para pemuda di German pada rezim Hitler. Setelah perang usai,

Habermas melihat film dokumenter tentang Holocaust. Saat itulah Habermas

menyadari bahwa periode Nazi telah menghasilkan kengerian Auschwitz dan

bencana moral kolektif.4

Setelah menyelesaikan sekolah menengahnya, Habermas mulai

mempelajari kesusastraan, sejarah, dan filsafat di sebuah universitas yang terletak

kota Göttingen. Setelah itu, ia melanjutkan studi filsafatnya di Universitas Bonn

dan memperoleh gelar doktor pada tahun1954 melalui disertasinya tentang filsuf

Idealis Jerman, Friedrich Schelling. Selama masa studinya, ia juga mendalami

pemikiran Martin Heidegger5. Namun kekecewaannya pada Heidegger muncul

sejak ia mengetahui keberpihakan Heidegger pada Nazi. Kekecewaannya semakin

meningkat ketika ia juga mengetahui keberpihakan Heidegger pada Konrad

Adenauer. Adenauer adalah pemimpin pertama Republik Federal Jerman yang

berdiri pada tahun 1949, dan berkarakter konservatif.

Pada tahun 1956, Habermas berkenalan dengan sebuah Institut Penelitian

Sosial di Frankfurt dan menjadi asisten Theodor W. Adorno6. Dalam institut

4 JAMES GORDON FINLAYSON, Habermas:A Very Short Introduction, Oxford University press, New

York 2005, bagian Preface: Who is Jürgen Habermas ? (no page). 5 Martin Heidegger (1889-1976) adalah seorang filsuf berkebangsaan Jerman dan pengarang

buku Time and Being (1927). Karya-karya Martin Heidegger sangat mempengaruhi pemikiran

Habermas muda dan menjadi sebuah target besar kritisismenya. ANDREW EDGAR, Habermas:

The Key Concepts, Routledge, New York 2006, xi. 6 Theodor W. Adorno (1903-1969) adalah seorang filsuf, sosiolog, dan musikolog. Ia dikenal

sebagai salah seorang tokoh yang berpengaruh di Frankfurt School. Habermas menjadi asisten

Adorno pada tahun 1956. Ibid., x.

Page 21: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

8

tersebut, Habermas juga berkenalan dengan Max Horkheimer7 yang menjabat

sebagai direktur di Institut tersebut sejak 1930. Keduanya menjadi guru sekaligus

pembimbing Habermas. Dari keduanya, Habermas belajar bagaimana

menganalisis masyarakat secara kritis dan berkenalan dengan lebih mendalam

dengan pemikiran Marxisme. Dalam periode ini pemikirannya menjadi semakin

radikal.

Pada tahun 1961-1964, Habermas meninggalkan Universitas Frankfurt dan

menjadi dosen filsafat di Universitas Heidelberg. Selama periode itu, ia menyusun

sebuah karangan yang berjudul Strukturwandel der Oeffentlichkeit (Transformasi

struktural dari lingkup umum), sebuah studi yang mempelajari sejauh mana

demokrasi dapat diterapkan dalam industri modern. Pada tahun 1964, ia kembali

ke Universitas Frankfurt karena diangkat menjadi Profesor Filsafat dan Sosiologi

menggantikan Horkheimer. Selama mengajar di Universitas Frankfurt, Habermas

menjadi seorang tokoh yang sangat populer di kalangan mahasiswa dan dianggap

sebagai ideolog mereka.

Pada tahun 1971-1981, Habermas kembali meninggalkan Universitas

Frankfurt untuk menjadi direktur di Institut Max Planck yang terletak di

Starnberg. Alasan perpindahannya adalah ia tidak lagi betah mengajar di

Universitas Frankfurt.8 Di Institut Max Planck, Habermas banyak meneliti kondisi

7 Max Horkheimer (1895-1973) adalah seorang filsuf yang beraliran Neo-Marxist. Ia merupakan

direktur awal institut penelitian yang menjadi basis institusional bagi berdirinya Frankfurt

School. Ibid., xi. 8 K. BERTENS, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

20024, 238.

Page 22: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

9

kehidupan dalam dunia ilmiah-teknis bersama seorang rekannya yang bernama

C.F. Weizsacker.

Pada tahun 1983, Habermas kembali mengajar filsafat di Universitas

Frankfurt. Pada periode inilah Habermas mulai dikenal sebagai teoretikus sosial

dan pendukung demokratis kiri di Jerman Barat. Habermas menjadi saksi mata

saat Jerman bersatu yang ditandai dengan peristiwa jatuhnya Tembok Berlin. Ia

bahkan menjadi salah seorang aktor di balik peristiwa tersebut dengan

menyuarakan ide mengenai unifikasi antara Jerman Barat dan Jerman Timur.9

Pada periode selanjutnya, Habermas banyak mempelajari pemikiran John Rawls10

tentang liberalisme dan demokrasi konstitusional.

Sejak pensiun dari jabatannya di Frankfurt pada tahun 1994, Habermas

menghabiskan waktu dengan menulis di Starnberg dan menjadi pengajar paruh

waktu di Amerika Serikat. Beberapa kali tulisannya dimuat di media cetak sebagai

seorang komentator politik dan budaya. Tema yang diangkat diantaranya bioetika,

teknologi gen, terorisme, kosmopolitanisme, dan kebijakan luar negeri Amerika

Serikat setelah tragedi 9/11. Sampai saat ini, belum ada yang dapat merumuskan

teori sosial dan politik yang dapat menangkap kompleksitas dan ketegangan yang

terjadi, serta mengarahkannya pada ranah positif sebaik Habermas.

Selama hidupnya, Habermas telah menghasilkan banyak karya tulis. Ia

juga dikenal sebagai salah satu tokoh inspiratif di Jerman yang memiliki

9 JAMES GORDON FINLAYSON, Op.Cit., bagian Preface: Who is Jürgen Habermas ? (no page).

10 John Rawls (1921-2002) adalah seorang filsuf politik berkebangsaan Amerika dan pendukung

utama liberalisme. Ia mengarang sebuah buku yang berjudul A Theory of Justice (1972). Pada

tahun 1990’an, Habermas berdialog dengan Rawls mengenai hakikat dari masyarakat liberal.

ANDREW EDGAR, Op.Cit., xii.

Page 23: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

10

pemikiran kritis terkait ruang publik. Filsafatnya dapat dikatakan sebagai sebuah

manifestasi seluruh tradisi filsafat Jerman di mana pemikiran-pemikirannya

merupakan sebuah refleksi kritis atas pemikiran filsuf-filsuf besar Jerman yang

menjadi pendahulunya. Pada bagian selanjutnya akan dipaparkan mengenai

Mazhab Frankfurt di mana pemikiran-pemikiran Habermas merupakan sebuah

refleksi kritis atas pemikiran para tokoh pendahulunya dalam mazhab tersebut.

2.2. MAZHAB FRANKFURT

Pada bagian ini, penulis hendak menyajikan sebuah arus deras pemikiran

yang menjadi dasar di mana Habermas kemudian merumuskan teorinya. Dengan

kata lain, penulis hendak menyajikan duduk perkara awal yang menjadi titik tolak

bagi Habermas dalam mengembangkan gagasan-gagasannya. Hal ini dirasa

penting oleh penulis guna menjaga kesinambungan dan kontinuitas arus deras

pemikiran falsafati yang melatarbelakangi proyek pemikiran Habermas.

Sebagaimana telah disinggung di atas, pada tahun 1956, Habermas

berkenalan dengan sebuah Institut Penelitian Sosial di Frankfurt dan menjadi

salah seorang anggotanya. Para tokoh yang tergabung dalam Institut Penelitian

Sosial tersebut dikenal dengan sebutan Mazhab Frankfurt. Pemikiran-pemikiran

kritis Mazhab Frankfurt disebut juga dengan nama ‘Teori Kritis’ (‘Kritische

Theorie’). Pemikiran-pemikiran Mazhab Frankfurt banyak diarahkan untuk

menganalisis secara kritis persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat.

Dalam membangun gagasan-gagasannya, mereka menggunakan landasan

pemikiran dari beberapa tokoh besar dalam dunia filsafat, diantaranya adalah

Page 24: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

11

Friedrich Hegel11

, Karl Marx12

, dan Sigmund Freud13

sebagai dasar paradigma

analisis kritis terhadap masyarakat.14

Jika kita ingin mendalami pemikiran Habermas dengan baik, maka harus

mengenal gagasan-gagasan para tokoh pendahulunya dalam Mazhab Frankfurt.

Pemikiran-pemikiran filosofis Habermas merupakan sebuah pengembangan atas

pemikiran-pemikiran para tokoh Mazhab Frankfurt yang menjadi pendahulunya.

Beberapa tokoh terkemuka yang sering disebut sebagai generasi pendahulu

(generasi pertama) Mazhab Frankfurt adalah Max Horkheimer, Theodor

Wiesendrund Adorno, dan Herbert Marcuse15

. Habermas kemudian disebut

sebagai generasi pembaharu (generasi kedua) Teori Kritis karena mampu

memberikan solusi atas kebuntuan pemikiran yang dialami oleh para pemikir

Teori Kritis generasi pertama.

Pemikiran-pemikiran Mazhab Frankfurt merupakan pembahasan kembali

ideologi dari Karl Marx. Bagi Mazhab Frankfurt, Marx telah mengubah skematika

dialektika pemikiran Hegel yang terlampau abstrak menjadi skema dialektika

11

G. W. F. Hegel (1770-1831) adalah seorang filsuf dan tokoh kunci dalam pengembangan

idealisme Jerman. Pemikirannya sangat berpengaruh terhadap pemikiran Karl Marx, Frankfurt

school, dan Habermas muda. Ibid., xi. 12

Karl Marx (1818-1883) adalah seorang filsuf berkebangsaan Jerman dan pencetus teori sosial,

di mana pemikiran-pemikirannya menjadi basis dari berbagai sekolah beraliran Marxisme dan

sosiologi. Ibid. 13

Sigmund Freud (1856-1939) adalah seorang ahli neuropatologi dan psikoanalisa. Ia

memelopori disiplin medis baru dan merumuskan prosedur dasar terapi yang kini digunakan

secara luas sebagai metode penyembuhan penderita neurosis dan psikosis. READY SUSANTO, 100

Tokoh Abad ke-20 Paling Berpengaruh, Penerbit Nuansa, Bandung 2004, 114. 14

K. BERTENS, Op.Cit., 196. 15

Herbert Marcuse (1898-1979) adalah seorang filsuf keturunan Yahudi. Pemikirannya banyak

dipengaruhi oleh pemikiran Edmund Husserl dan Martin Heidegger. Marcuse menulis sebuah

karya yang berjudul one-dimensional man yang sangat cocok untuk melukiskan situasi orang

modern, yaitu manusia berdimensi satu. Ibid., 215 & 228.

Page 25: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

12

yang lebih berciri materialistik.16

Dialektika material ala Marx merupakan sejarah

pertentangan kelas di mana kaum proletar berusaha membebaskan diri dari

penindasan kaum borjuis. Pemikiran Karl Marx tersebut menginspirasi Mazhab

Frankfurt untuk menyusun sebuah teori yang bertujuan praksis emansipatoris.17

Pemikiran-pemikiran kritis Mazhab Frankfurt memang banyak diarahkan

untuk mengeritik positivisme.18

Kritik tersebut mengerucut pada penerapan cara

berpikir positivistis yang dipergunakan untuk menganalisis fenomena-fenomena

sosial.19

Mazhab Frankfurt menilai hal tersebut sebagai ideologi. Penerapan cara

berpikir positivistis untuk menganalisis fenomena-fenomena sosial dianggap

sebagai ideologi karena para penganutnya mengambil begitu saja metode ilmu

alam tanpa mempertanyakan terlebih dahulu: Apakah sistem tersebut cocok untuk

diterapkan ke dalam ilmu-ilmu sosial? Dengan kata lain, Mazhab Frankfurt

menilai bahwa pengintegrasian metode ilmu alam pada ilmu-ilmu sosial telah

menghilangkan dimensi kritis rasio dan menjadikan rasio hanya sebagai alat

belaka untuk memahami realitas. Kritik Mazhab Frankfurt tersebut akan

dijelaskan lebih lanjut melalui argumentasi-argumentasi yang diajukan para tokoh

generasi pertama Mazhab Frankfurt berikut ini.

16

F. BUDI HARDIMAN, Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche, PT Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta 20072, 235.

17 Teori Kritis memiliki tujuan emansipatoris di mana mereka berusaha membuka kesadaran

masyarakat akan penindasan yang membelenggunya. Penindasan tersebut termanifestasi dalam

bentuk ideologi yang dinilai telah melanggengkan status quo dan meninabobokan masyarakat.

Dengan munculnya kesadaran atas penindasan tersebut diharapkan terwujud adanya praksis

revolusioner. K. BERTENS, Op.Cit., 202-203. 18

Positivisme adalah sebuah paham yang menghendaki adanya rumusan atas aturan-aturan

korespondensi. Positivisme mengedepankan adanya verifikasi langsung (empiris) untuk

menentukan dimensi kesahihan sebuah pernyataan. REZA A. A. WATTIMENA, Filsafat dan Sains:

Sebuah Pengantar, PT Grasindo, Jakarta 2008, 180. 19

Cara berpikir positivistis yang dimaksud berkaitan dengan paradigma positivisme yang

menekankan bahwa semua pernyataan di dalam ilmu pengetahuan haruslah didukung dengan

data-data yang didapat dari pengamatan dan eksperimen. Ibid., 156.

Page 26: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

13

Horkheimer memberi nama pengintegrasian metode ilmu alam guna

memahami fenomena sosial sebagai ‘Teori Tradisional’.20

Cita-cita Teori

Tradisional, sebagaimana diungkapkan oleh Kees Bertens, adalah menciptakan

suatu sistem ilmiah menyeluruh yang meliputi semua bidang keahlian.21

Dengan

kata lain, Teori Tradisional hendak memaksakan klaim “kebenaran” ilmiahnya

dalam semua bidang kehidupan manusia. Teori Tradisional mengklaim dirinya

sebagai teori yang bebas nilai, mandiri, mencukupi dirinya dan terlepas dari

konteks kegiatan masyarakat sehari-hari. Klaim tersebut mengarah pada

argumentasi bahwa Teori Tradisional merupakan sebuah bentuk pengetahuan

yang bebas kepentingan. Maka dari itu, masyarakat yang ingin diterangkan dalam

teori harus dipandang sebagai fakta yang netral yang dapat dipelajari secara

obyektif.

Menanggapi klaim Teori Tradisional di atas, Mazhab Frankfurt

sebagaimana diungkapkan oleh K. Bertens, mengungkapkan bahwa sia-sialah

Teori Tradisional mengklaim dirinya dapat terlepas dari nilai.22

Penjelasan terkait

dengan nilai yang menggambarkan paradigma Mazhab Frankfurt diungkapkan

oleh Kees Bertens dalam bukunya Filsafat Barat Kontemporer sebagai berikut:

“ ”Nilai” tidak dapat dipandang sebagai suatu wilayah yang

terletak di luar ilmu pengetahuan, sebagaimana telah diusahakan

oleh sosiolog Jerman, Max Weber. Sadar atau tidak, ilmu

pengetahuan mengundang nilai-nilai. Suatu ilmu pengetahuan

sosial yang bersikap sama sekali netral merupakan ilusi belaka. Si

ilmuwan sendiri selalu termasuk obyek sosial yang dipelajarinya.

20

F. BUDI HARDIMAN, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, Kanisius,

Yogyakarta 1990, 54. 21

K. BERTENS, Op.Cit., 201. 22

Ibid., 203.

Page 27: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

14

Tidak pernah ia berdiri otonom di hadapan obyek studinya. Karena

masyarakat yang diselidikinya tidak (atau belum) merupakan

perwujudan suatu pilihan bebas dan rasional oleh manusia, si

ilmuwan pun tidak dapat melepaskan diri dari ketidakbebasan itu.

Persepsinya sendiri diresapkan oleh tata susunan masyarakat

konkret dan janganlah ia mengira ia sanggup melepaskan diri

daripadanya begitu saja. Maka dari itu menekankan terpisahnya

facts and values pada kenyataannya berarti memihak pada status

quo.”23

Dari kutipan di atas tampak bahwa klaim Teori Tradisional yang

menyatakan dirinya bebas nilai tidak dapat dipertahankan karena nilai merupakan

sebuah hal yang berkaitan erat dengan dimensi hakiki kehidupan manusia.24

Ketiadaan penilaian dari subjek terhadap objek, sama dengan sikap acuh tak acuh

terhadap objek/fenomena. Dengan kata lain, jika tidak ada penilaian dari subjek

maka objek hanya menjadi sebuah kejadian yang tak bermakna. Hal itu tidak bisa

terjadi dalam realitas kehidupan manusia, sebab manusia adalah makhluk yang

selalu terhubung pemaknaannya dengan objek. Usaha untuk memisahkan antara

fakta dan nilai hanya akan melanggengkan status quo yang tidak mendorong

munculnya perubahan sosial.

Horkheimer dan Adorno membuat sebuah kesimpulan bahwa munculnya

positivisme yang menjadi biang keladi Teori Tradisional berakar pada

‘pencerahan budi’ (Aufklarung) yang menjadi cita-cita pencerahan itu sendiri.

Pencerahan yang terjadi pada abad ke-18 menandai suatu perubahan radikal

23

Ibid. 24

“Nilai berkaitan erat dengan subjek. Kalau tidak ada subjek yang menilai, maka tidak ada nilai

juga. Entah manusia hadir atau tidak, gunung tetap meletus. Tapi untuk dapat dinilai sebagai

“indah” atau “merugikan”, letusan gunung itu memerlukan kehadiran subjek yang menilai.”

K. BERTENS, Etika, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 201111

, 151.

Page 28: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

15

terhadap pola pikir manusia di mana sebelumnya rasio masih terkungkung dalam

mitos dan tradisi-tradisi, kini dalam pencerahan rasio mulai menjadi otonom. Pada

era pencerahan inilah mulai terjadi demitologisasi, di mana cara berpikir mitis,

mulai digantikan dengan cara berpikir positivistis.

Horkheimer dan Adorno, sebagaimana diungkapkan F. Budi Hardiman

dalam bukunya Kritik Ideologi, mengungkapkan bahwa antara cara berpikir mitis

dan cara berpikir positivistis hanya berbeda di dalam cara memahami kenyataan,

bukan berbeda secara hakikatnya.25

Manusia yang berpikir mistis berusaha

memahami realitas dengan cara mimesis (meniru) tokoh-tokoh yang dimunculkan

dalam ritus-ritus keramat. Dalam melakukan mimesis, manusia mitis

membekukan gambaran dunianya sehingga mereka terkungkung di dalamnya.

Dengan jalan itulah manusia mitis mampu memahami kenyataan dan

kedudukannya di dalam semesta. Sedangkan dalam pencerahan, manusia berusaha

memahami realitas dengan mengambil jarak antara rasio dengan obyek yang ingin

dikendalikan. Pengendalian rasio atas objek kajiannya berjalan dengan prosedur

matematis yang bekerja secara tepat dan otomatis di bawah aturan-aturan yang

pasti dan niscaya. Rasionalitas pencerahan dinilai sebagai ideologi karena

cenderung mempertahankan status quo cara berpikirnya yang hanya menekankan

pendekatan positivistis sebagai tolok ukur utama dalam memahami realitas.

Adorno dan Horkheimer yang kritis melihat hal ini menyatakan bahwa

cara berpikir mitis dan cara berpikir positivistis memiliki sifat ideologis. Mitos

disebut sebagai ideologi karena manusia mitis membekukan gambaran dunianya

25

F. BUDI HARDIMAN, Kritik Ideologi: Pertautan…, Op.Cit., 63.

Page 29: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

16

sehingga mereka terkungkung di dalamnya. Sedangkan rasionalitas pencerahan

dinilai sebagai ideologi karena metode positivistis yang digunakan telah

dibekukan menjadi satu-satunya tolok ukur utama manusia modern dalam

memahami realitas. Pendekatan positivistis tersebut telah menghilangkan

kemampuan khas rasio yang dapat kritis terhadap dirinya sendiri dan sekaligus

hanya menjadikan rasio sebagai alat (rasio instrumental) belaka dalam memahami

realitas. Pada akhirnya, Adorno dan Horkheimer berkesimpulan bahwa cara

berpikir positivistis yang lahir dalam masa pencerahan dinilai hanya melahirkan

sebuah mitos baru yang malah membawa banyak masalah sosial.

Herbert Marcuse, Sebagaimana Horkheimer dan Adorno, juga berpendapat

bahwa cara berpikir positivistis telah menjadi ideologi atau mitos dalam

masyarakat modern. Namun kritik yang diajukan oleh Marcuse lebih diarahkan

pada teknologi yang menjadi hasil dari cara berpikir positivistis masyarakat

modern. Marcuse, sebagaimana diungkapkan oleh F. Budi Hardiman,

mengungkapkan bahwa sains dan teknologi modern memang dapat membebaskan

manusia dari tuntutan untuk bekerja keras, namun di sisi lain sains dan teknologi

sekaligus menjadi sistem penguasaan yang total dalam masyarakat.26

Manusia

modern harus mengadaptasikan seluruh dirinya ke dalam sistem tersebut karena

seluruh bidang kehidupan telah diteknologikan menjadi suatu sistem birokrasi

total yang menuntut sistematisasi segalanya.

Lebih lanjut, Marcuse, sebagaimana diungkapkan F. Budi Hardiman,

mengungkapkan bahwa “Menolak menyesuaikan diri dengan sistem teknologis itu

26

Ibid., 66.

Page 30: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

17

akan menyebabkan neurosis bahkan tidak mungkin sama sekali”.27

Dengan kata

lain, teknologi telah mendominasi seluruh aspek kehidupan manusia modern.

Dominasi teknologi tidak hanya berada dalam tataran praksis-fisik melainkan juga

menyerang hingga dimensi batin manusia. Serangan teknologi yang menyerang

hingga dimensi batin manusia tampil dengan adanya kebutuhan-kebutuhan palsu

yang termanifestasi dengan iklan-iklan.28

Keberadaan iklan-iklan tersebut telah

mendorong gaya hidup konsumtif, sebagai contoh: adanya iklan telepon genggam

(handphone) yang selalu berubah model dalam hitungan tahun atau bahkan bulan

menjadi lebih canggih. Keberadaan iklan tersebut memunculkan sebuah gaya

hidup baru yang lebih menekankan prestise namun malah cenderung

mengesampingkan fungsi utamanya. Dari sini tampak bahwa, sistem dan

teknologi telah mendominasi total segala aspek kehidupan manusia. Dominasi

total teknologi telah menjadikan manusia bukan lagi sebagai tuan atas teknologi,

melainkan sebaliknya, manusia justru menjadi hamba dari teknologi.

Seiring berjalannya waktu, oleh karena sifat kritis yang diusungnya secara

terus-menerus termasuk kritis pada dirinya sendiri, para pemikir Mazhab

Frankfurt pada akhirnya terjebak pada sebuah kontradiksi internal cara

berpikirnya sendiri. Sebagaimana telah dijabarkan di atas bahwa Mazhab

Frankfurt mengeritik Teori Tradisional sebagai ideologi karena paradigma

positivistis yang diterapkan ke ilmu-ilmu sosial dimutlakkan sebagai prinsip

utama untuk memperoleh pengetahuan yang diklaim bebas nilai dan kepentingan.

27

Ibid., 69. 28

Kebutuhan palsu merupakan kebutuhan yang ditanamkan dari luar diri manusia dan cenderung

dibuat-buat. Dengan demikian, kebutuhan palsu bukanlah kebutuhan alamiah yang berasal dari

dalam diri manusia.

Page 31: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

18

Kritisisme yang diajukan oleh Mazhab Frankfurt terhadap Teori Tradisional dapat

dikategorikan sebagai ideologi. Sebagaimana makna ideologi adalah sebuah

perspektif berpikir yang coba diterapkan untuk menguasai keseluruhan bidang

kehidupan, kritisisme yang diusung Mazhab Frankfurt pun merupakan sebuah

perspektif berpikir yang bertujuan untuk menguasai objek kritiknya. Kritik

ideologi yang selama ini menjadi senjata andalannya sendiri pada akhirnya justru

menjadi bumerang bagi mereka sendiri.

F. Budi Hardiman dalam jurnalnya, Diskursus: Jurnal Filsafat dan

Teologi, mengungkapkan perihal kebuntuan berpikir yang dialami Mazhab

Frankfurt sebagai berikut:

“Sementara Adorno dan Horkheimer mengeritik ciri-ciri

rasional instrumental di dalam ilmu-ilmu sosial kemanusiaan

dewasa ini dengan cara menyingkapkan hubungan timbal balik

antara mitos dan pencerahan, ideologi dan kritik, mereka tetap

terperangkap di dalam asumsi-asumsi filsafat kesadaran. Sama

seperti seorang ideolog, seorang kritikus masyarakat ingin

menguasai objek yang dikritiknya secara monologis untuk

memaksakan visi-visi dan keyakinan-keyakinannya kepada orang-

orang lain. Dengan cara ini kritik merupakan manisfestasi lain dari

ideologi. Para pendahulu Habermas tidak dapat menemukan jalan

keluar dari dilema macam ini karena tolok ukur kritik mereka sama

dengan tolok ukur objek yang dikritiknya, yaitu ideologi. Dengan

kata lain, kritik hanya dapat diungkapkan dalam bahasa

kekuasaan.”29

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, Mazhab Frankfurt mengeritik secara

habis-habisan Teori Tradisional karena dianggap telah membekukan cara berpikir

positivistis sebagai satu-satunya ukuran “kebenaran” dalam memahami fenomena

29

F. BUDI HARDIMAN, et.al., “Teori Diskursus dan Demokrasi: Peralihan Habermas ke dalam

Filsafat Politik”, Diskursus: Jurnal Filsafat dan Teologi, Vol 7, No. 1, April 2008, 5.

Page 32: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

19

sosial tanpa disertai sikap kritis terhadap cara berpikirnya sendiri. Namun pada

akhirnya, para tokoh Mazhab Frankfurt juga menyadari bahwa kritik yang

dilontarkan oleh mereka ternyata dapat membeku menjadi ideologi. Sebagaimana

diungkapkan oleh F. Budi Hardiman dalam kutipan di atas, Mazhab Frankfurt

terjebak dalam asumsi filsafat kesadaran di mana kritik ternyata merupakan

manifestasi dari klaim kebenaran subjektif yang dipaksakan pada objek kritiknya.

Problematika kebuntuan berpikir Mazhab Frankfurt disebabkan tidak

adanya ukuran pendasaran normatif yang jelas: Apakah yang membuat klaim

kebenaran Mazhab Frankfurt lebih baik/unggul dibandingkan dengan klaim

kebenaran positivistis? Bukankah kritik yang diusung oleh Mazhab Frankfurt

merupakan sebuah klaim monologis, yang diibaratkan oleh F. Budi Hardiman

dalam kutipan di atas seperti seorang ideolog yang memaksakan visi dan

kebenaran subjektifnya kepada pihak lain. Padahal, baik Mazhab Frankfurt

maupun pencetus Teori Tradisional sama-sama memiliki klaim kebenaran

tersendiri atas kesahihan metode yang digunakannya. Dalam pengertian inilah

kritik yang diajukan oleh Mazhab Frankfurt dapat dikategorikan sebagai ideologi

karena tolok ukur kritik yang digunakan sama dengan tolok ukur objek kritiknya.

Dengan demikian, kritik merupakan sebuah bentuk penguasaan, penindasan, dan

dominasi baru karena subjek yang mengeritik selalu ingin menguasai dan

mendominasi objek kritiknya secara monologis.

Di sisi lain, dalam pergerakan politik praktisnya, para tokoh Mazhab

Frankfurt selalu menolak ajakan para golongan muda yakni mahasiswa untuk

Page 33: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

20

menjadi gerakan praksis yang revolusioner.30

Gerakan praksis revolusioner

tersebut merupakan manifestasi konkrit cita-cita Marxisme yang berusaha

mewujudkan keadilan sosial dalam bentuk masyarakat tanpa kelas. Alasan

penolakan untuk menjadi praksis revolusioner dilandasi adanya kesadaran dari

para tokoh Mazhab Frankfurt bahwa setiap gerakan praksis emansipatoris akan

jatuh pada sebuah bentuk perbudakan yang baru, karena setiap gerakan praksis

emansipatoris juga selalu menghasilkan suatu bentuk penguasaan yang baru

pula.31

Dititik inilah generasi pertama Mazhab Frankfurt mengalami jalan buntu.

Mereka menghadapi sebuah dilema antara menjadi ideologi di satu sisi dan

menjadi praksis emansipatoris yang selalu berarti menjadi dominasi baru di sisi

lain. Pada titik kebuntuan ini, Habermas muncul sebagai generasi pembaharu

Teori Kritis yang berhasil memecah kebuntuan berpikir tersebut dengan teori

paradigma komunikasinya. Proyek filosofis Habermas tidak melepaskan

hubungan antara teori dan praksis, melainkan lebih meradikalkan hubungan yang

terdapat di dalamnya melalui paradigma baru, yaitu paradigma rasio komunikatif.

Proyek filosofis Jürgen Habermas merupakan sebuah usaha solutif guna

mengatasi problematika yang dihadapi oleh para pendahulunya dalam Mazhab

Frankfurt. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan bagaimana Habermas

memecah kebuntuan berpikir yang dihadapi oleh para pendahulunya dalam

Mazhab Frankfurt.

30

Gerakan praksis revolusioner yang dimaksud adalah sebuah gerakan massa yang bertujuan

untuk menjatuhkan sistem pemerintahan yang dianggap tidak memberikan unsur keadilan bagi

masyarakat. 31

F. BUDI HARDIMAN, Kritik Ideologi: Pertautan..., Op.Cit., 73.

Page 34: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

21

2.3. PEMIKIRAN FILOSOFIS JÜRGEN HABERMAS

2.3.1. Rasio Komunikatif

Sebagaimana telah disinggung di atas, Mazhab Frankfurt telah terjebak

dalam kontradiksi internal cara berpikirnya sendiri. Meminjam ungkapan seorang

filsuf yang bernama Friedrich Nietzsche32

, kontradiksi internal yang dimaksud

adalah kehendak untuk berkuasa yang menjadi kedok di balik rasionalitas

pencerahan. Secara lebih lugas, F. Budi Hardiman menyatakan bahwa kritik yang

menjadi kemampuan rasio (faculty of ratio) hanya dapat diungkapkan dalam

bahasa kekuasaan. Term kritik yang diusung oleh Mazbah Frankfurt, kendati

bertujuan (emansipatoris) untuk membuka kesadaran masyarakat akan penindasan

yang membelenggunya, ternyata dapat jatuh sebagai ideologi. Hal tersebut

disebabkan kritik yang diajukan Mazhab Frankfurt juga bertujuan untuk

menguasai objek kritiknya secara total. Kritik (in se) merupakan manifestasi

klaim kebenaran monologis yang cenderung dipaksakan kepada objek kritiknya.

Dengan demikian, kebuntuan yang dialami oleh Mazhab Frankfurt disebabkan

mereka tidak dapat melepaskan diri dari lingkaran kebuntuan tersebut.

32

Friedrich Nietzsche (1844-1900) adalah seorang filsuf berkebangsaan Jerman. Ia juga dikenal

sebagai seorang ahli ilmu filologi yang meneliti teks-teks kuno. Ia banyak mengeritik

kebudayaan Barat pada zamannya yang sebagian besar dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan

tradisi kekristenan. Hampir seluruh karyanya merupakan kritik atas teisme. Ungkapannya yang

terkenal adalah Tuhan telah mati dan kita telah membunuhnya. Keadaan manusia tanpa Allah

adalah kemerdekaan mutlak, namun sekaligus membuat manusia kehilangan arah, sendirian,

dan kesepian. Keadaan manusia tanpa Allah disebut nihilisme. Sekilas tampak bahwa

Nietzsche adalah seorang filsuf yang ateis, namun jika memahami filsafat Nietzsche dengan

baik, filsafatnya justru merupakan sebuah ajakan untuk mencintai kehidupan dengan utuh

(Lebensbejahung), dan memosisikan manusia sebagai manusia purna Ubermensch dengan

kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht). HENDI SUHENDI, Kapita Selekta Filsafat, CV

Pustaka Setia, Bandung 2010, 188-189.

Page 35: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

22

Habermas, sebagaimana diungkapkan F. Budi Hardiman, menyebutkan

bahwa paradigma lama di mana subjek ingin menguasai objek kritiknya secara

monologis sebagai filsafat kesadaran atau filsafat subjek.33

Paradigma yang

digunakan dalam filsafat subjek berasal dari semangat pencerahan di mana subjek

adalah pusat realitas. Semangat pencerahan tersebut melahirkan cara berpikir

positivistis di mana subjek menjadi entitas yang lebih superior dari objek.

Keadaan superioritas tersebut berefek pada dominasi dan penguasaan secara

monologis oleh subjek terhadap objek. Dengan demikian, baik Mazhab Frankfurt

maupun Teori Tradisional telah terjebak dalam lingkaran setan filsafat kesadaran

karena keduanya sama-sama memposisikan diri sebagai subjek superior atas objek

kritik/kajiannya.

Teori Tradisional dapat dikategorikan dalam paradigma filsafat subjek

dalam kaitannya dengan metode positivisme yang diterapkan ke dalam ilmu-ilmu

kemanusiaan. Teori Tradisional, yang ingin merumuskan hukum yang melandasi

perilaku manusia, berusaha mengobjektifikasi manusia, mengambil sikap netral

terhadap objek riset, dan jika perlu memanipulasi objek riset tersebut secara

eksperimental. Dalam Teori Tradisional, manusia diobjektifikasi sedemikian rupa

oleh peneliti untuk menghasilkan tujuan-tujuan yang diharapkan oleh peneliti.

Manusia tidak dipandang sebagai teman yang sederajat, melainkan tidak lebih

hanya sekedar objek riset. Dari sini tampak jelas bahwa subjek lebih superior

daripada objek, di mana subjek berusaha mengontrol dan menguasai objek secara

monologis.

33

F. BUDI HARDIMAN, Diskursus: Jurnal Filsafat…, Op.Cit., 4.

Page 36: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

23

Mazhab Frankfurt pada akhirnya menginsyafi bahwa paradigma yang

digunakan oleh mereka untuk mengeritik Positivisme dan Teori Tradisional dapat

membeku menjadi ideologi. Mazhab Frankfurt cenderung memaksakan visi,

keyakinan, dan kebenaran monologisnya terhadap objek kritiknya. Dengan kata

lain, Mazhab Frankfurt memposisikan dirinya sebagai subjek yang lebih superior

daripada objek kritiknya. Maka dari itu, Mazhab Frankfurt juga memposisikan

dirinya sebagai subjek yang ingin mengontrol dan menguasai objek kritiknya

secara monologis.

Guna memecah kebuntuan berpikir yang dialami oleh para pendahulunya,

Habermas menyarankan sebuah perubahan paradigma terhadap epistemologi

subjektivitas. Subjektivitas tidak lagi dimaknai dalam paradigma subjek yang

terisolasi pada dirinya sendiri, yang ditandai dengan klaim monologis,

melainkan subjektivitas lebih dipahami dalam kerangka komunikasi

intersubjektif.34

Dalam paradigma komunikasi, relasi antara subjek dan objek

tidak lagi berpola vertikal/atas-bawah di mana subjek cenderung lebih superior

daripada objek kritiknya, melainkan lebih berpola horizontal/egaliter di mana

subjektivitas lebih dipahami sebagai proses intersubjektif yang berpola sederajat

(subjek-subjek).

34

Dalam bukunya Between Facts and Norms, Habermas mengkategorikan konsep subjek yang

terisolasi dalam dirinya sendiri ke dalam filsafat Immanuel Kant, khususnya dalam konsep akal

budi praktis (practical reason). Bagi Habermas, pendasaran universalitas moral yang diberikan

oleh Immanuel Kant dalam Kritik atas Rasio Praktis (Critique of Practical Reason) memiliki

defisit dalam proses legitimasinya. Defisit yang dimaksud oleh Habermas adalah dasar

legitimasi moral yang diberikan oleh Immanuel Kant merupakan sebuah klaim monologis yang

dibuat oleh subjek yang menimbang-nimbang sendiri apa yang seharusnya dia lakukan. Bagi

Habermas, kompleksitas yang ada dalam masyarakat modern telah membawa krisis pada cara

legitimasi tradisional untuk diterapkan tak tanpa masalah (unproblematically) terhadap

dinamika masyarakat modern. JÜRGEN HABERMAS, Between Fact and Norm, (judul asli:

Faktizitat und Geltung), diterjemahkan oleh William Rehg, The MIT press, New Baskerville

19962, 1-2.

Page 37: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

24

Dalam bukunya Faktizitat und Geltung,35

Habermas menjelaskan

perbedaan paradigma antara konsep rasio praktis (practical reason) ala Immanuel

Kant36

dengan konsep rasio komunikatif yang dicetuskannya sebagai berikut:

“Communicative reason differs from practical reason first

and foremost in that it is no longer ascribed to the individual actor

or a macrosubject at the level of the state or the whole of society.

[…..] Communicative rationality is ex-pressed in a decentered

complex of pervasive, transcendentally enabling structural

conditions, but it is not a subjective capacity that would tell actors

what they ought to do.”37

Dari kutipan tersebut tampak bahwa defisit yang ada dalam konsep rasio

praktis (practical reason), di mana kebenaran pengetahuan diperoleh dari klaim

monologis tanpa disertai adanya dialog intersubjektif, berusaha diperbaharui oleh

Habermas dengan paradigma yang baru, yaitu: konsep rasio komunikatif.

35

Faktizitat und Geltung (Between fact and norm ) merupakan buku karangan Jürgen Habermas .

Buku tersebut menekankan peran diskursus publik dalam hukum dan demokrasi. Buku tersebut

merupakan kontribusi Habermas, sebagai seorang pemikir sosial, terhadap trend intelektual

masyarakat dewasa ini. Ibid., ix. 36

Immanuel Kant (1724-1804) adalah seorang filsuf berkebangsaan Jerman. Ia dikenal sebagai

salah satu filsuf besar dalam filsafat modern. Proyek filosofisnya merupakan sebuah usaha

untuk mendamaikan pertentangan dua kubu pemikiran antara rasionalisme dan empirisme.

Rasionalisme adalah sebuah paham yang cenderung menekankan kemampuan rasionalitas

(faculty of ratio) -prinsip koherensi, sistematisasi, dan kausalitas- sebagai dasar kesahihan

pengetahuan manusia. Empirisme adalah sebuah paham yang cenderung menekankan peran

pancaindra sebagai dasar bagi pengetahuan manusia. Beberapa karyanya yang terkenal

diantaranya adalah Kritik der reinen Vernunft (Kritik atas rasio murni) dan Kritik der

praktischen Vernunft (Kritik atas rasio praktis). Dalam dua karya besarnya tersebut, Immanuel

Kant berusaha mencari sebuah prasyarat yang memungkinkan sebagai dasar bagi kesahihan

pengetahuan manusia. Dalam filsafat Immanuel Kant, peran akal budi menjadi lebih otonom

sebagai pendasaran bagi pengetahuan manusia. Immanuel Kant juga dikenal sebagai seorang

filsuf yang merefleksikan hakikat moral secara tajam dan mendalam. Pendapatnya tentang

hukum (juga moral) terdapat dalam karyanya Metaphysik der Sitten (1797). HYRONIMUS RHITI,

Filsafat Hukum: dari klasik sampai postmodernisme, Penerbit Universitas Atma Jaya,

Yogyakarta 2011, 121-123. 37

JÜRGEN HABERMAS, Op.Cit., 3-4.

Page 38: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

25

Konsep rasio komunikatif, sebagaimana dimaksudkan oleh Habermas,

memiliki dua spektrum arti, yaitu: konstitutif dan regulatif.38

Fungsi rasio secara

konstitutif mengacu pada hakikat rasio yang memiliki sifat komunikatif yang

inhern di dalam rasio itu sendiri. Dengan kata lain, konsep rasio komunikatif

merupakan ide (pengandaian) dasar yang digunakan sebagai prasyarat agar

proses-proses komunikatif dapat terlaksana. Sedangkan fungsi rasio secara

regulatif mengacu pada mekanisme yang mengatur bagaimana proses komunikasi

intersubjektif dapat terlaksana dengan baik. Mekanisme yang berjalan secara

intersubjektif merupakan konsep rasio prosedural. Rasio prosedural dapat

dikatakan sebagai sebuah mekanisme di mana rasio memeriksa kesahihan

produknya sendiri melalui proses intersubjektif. Dalam konsep rasio prosedural,

klaim-klaim kesahihan tidak lagi dicapai melalui pola legitimasi yang bersifat

monologis, melainkan diperoleh melalui persetujuan intersubjektif.

Jika ingin memahami lebih jelas mengenai konsep rasio komunikatif,

maka kita harus menghubungkannya dengan konsep dasar lainnya yang

digunakan oleh Habermas, yaitu: konsep tindakan sosial. Dalam konsep tindakan

sosial, konsep rasio komunikatif akan dilihat dalam perspektif yang lebih praksis.

Habermas menghubungkan konsep rasio komunikatifnya dengan konsep tindakan

sosial yang dicirikan dengan pengunaan bahasa sebagai medium komunikasi.

Habermas menamai tindakan sosial yang dicirikan dengan pengunaan bahasa

sebagai medium komunikasi sebagai tindakan komunikatif (communicative

action). Tindakan komunikatif selalu bertujuan untuk mencapai kesepahaman dan

38

F. BUDI HARDIMAN, Diskursus: Jurnal Filsafat…, Op.Cit., 8-9.

Page 39: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

26

kesepakatan secara intersubjektif, bukan untuk pembenaran diri sendiri yang

bersifat monologis. Bagi Habermas, bahasa itu sendiri (in se) telah memiliki sifat

komunikatif yang inhern di dalamnya. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan

lebih lanjut mengenai konsep tindakan komunikatif.

2.3.2. Theory of Communicative Action

Habermas meyakini bahwa jaringan interaksi sosial yang terjadi di

masyarakat (dari masa ke masa) tidak terjadi secara semena-mena, melainkan

pada dasarnya bersifat rasional.39

Sifat rasional yang dimaksudkan oleh Habermas

mengacu pada tindakan komunikatif yang berorientasi pada tercapainya saling

kesepahaman secara intersubjektif. Tindakan komunikatif terkait erat dengan

penggunaan bahasa sebagai instrumen guna tercapainya saling kesepahaman

antara satu sama lain.40

Bagi Habermas, penggunaan bahasa sebagai instrumen

bagi tindakan komunikatif memainkan peranan yang sangat vital, khususnya

dalam pola relasi yang kompleks sebagaimana terjadi pada masyarakat modern

dewasa ini.

Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa tindakan komunikatif

merupakan tindakan yang diorientasikan untuk mencapai saling kesepahaman

antara satu sama lain. Kata pemahaman (Verstandigung), Bagi Habermas,

memiliki dua spektrum arti, yaitu: mengerti (Verstehen) dan setuju

39

Hal tersebut diungkapkan oleh Habermas dalam bukunya Between Facts and Norms, sebagai

berikut: “[…] via communicative action, have a hand in constituting the social reality of

networks of interactions spreading out radially through space and time.” JÜRGEN HABERMAS,

Op.Cit., 19. 40

Hal tersebut diungkapkan oleh Habermas dalam bukunya Between Facts and Norms, sebagai

berikut: “With the concept of communicative action, the important function of social

integration devolves on the illocutionary binding energies of a use of language oriented to

reaching understanding.” Ibid., 8.

Page 40: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

27

(Einverstandnis) atau konsensus (Konsens).41

Hal tersebut diungkapkan oleh

Habermas sebagai berikut:

“Communicative action, then, depends on the use of

language oriented to mutual understanding. This use of language

functions in such a way that the participants either agree on the

validity claimed for their speech acts or identify points of

disagreement, which they conjointly take into consideration in the

course of further interaction.”42

Pemahaman yang berarti mengerti mengacu pada tercapainya kondisi

saling kesepahaman/pengertian antara subjek-subjek yang komunikatif. Hal

tersebut tercermin dalam proses komunikasi manusia sehari-hari, di mana

seseorang berusaha menyampaikan gagasannya sedemikian agar lawan bicaranya

dapat mengerti maksudnya. Sedangkan term pemahaman yang berarti

setuju/konsensus berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk mengambil

posisi ya atau tidak terhadap argumentasi yang diajukan oleh lawan bicaranya.43

Tindakan komunikatif sebagaimana dimaksudkan oleh Habermas lebih mengarah

pada term pemahaman yang berarti setuju/konsensus.

Habermas menginsyafi bahwa tindakan sosial tidak selalu berwujud

tindakan komunikatif, melainkan juga ditandai dengan adanya paksaan dan

kekerasan. Dengan kata lain, bahasa, sebagai instrumen tindakan sosial, juga

dapat digunakan sebagai medium kekuasaan. Habermas, dalam bukunya Moral

Consciousness and Communicative Action, membedakan dua macam mekanisme

41

F. BUDI HARDIMAN, Diskursus: Jurnal Filsafat…, Op.Cit., 10. 42

JÜRGEN HABERMAS, Op.Cit., 18. 43

Hal ini terkait dengan konsep klaim validitas yang mengacu pada struktur normatif

argumentasi. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut pada paragraf-paragraf selanjutnya.

Page 41: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

28

tindakan, yaitu: tindakan yang mengarah pada konsensus dan tindakan strategis.44

Tindakan yang mengarah pada konsensus adalah tindakan yang diorientasikan

untuk mencapai kesepakatan intersubjektif. Sedangkan tindakan strategis adalah

tindakan yang bersumber dari klaim kebenaran monologis yang sifatnya subjektif,

tanpa pengakuan orang lain, dan cenderung ditujukan demi tercapainya

kepentingan subjektif semata. Bagi Habermas, tindakan komunikatif adalah

tindakan yang mengarah pada konsensus. Tindakan yang mengarah pada

konsensus lebih fundamental daripada tindakan strategis, karena tindakan

komunikatif melibatkan proses koordinatif yang bersifat intersubjektif yang

bertujuan menghasilkan mekanisme koordinasi sosial.45

Dalam tindakan komunikatif, antar subjek yang berkomunikasi

menggunakan bahasa dalam bentuk proposisi-proposisi (kalimat-kalimat) sebagai

medium demi tercapainya saling kesepahaman antara satu sama lain. Habermas

memberikan semacam kerangka acuan normatif bagi mekanisme tindakan

komunikatif. Inilah yang disebut dengan klaim validitas atau klaim kesahihan.

Klaim validitas dapat dipahami sebagai sebuah prasyarat ideal, yang diandaikan

namun sekaligus bersifat empiris, untuk menentukan dimensi kesahihan dari

mekanisme tindakan komunikatif. Konsep klaim validitas diambil alih dari filsafat

44

JÜRGEN HABERMAS, Moral Consciousness and Communicative Action, (judul asli:

Moralbewuβtsein und kommunikatives Handeln), diterjemahkan oleh Christian Lenhardt and

Shierry Weber Nicholsen, Polity press, Cambridge 20074, 58.

45 F. BUDI HARDIMAN, Diskursus: Jurnal Filsafat…, Op.Cit., 12.

Page 42: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

29

bahasa Anglosakson, yang kemudian dikembangkan oleh Habermas, sebagai

pendasaran teoritisnya dalam membangun teori komunikasi.46

Klaim validitas berisi tentang tiga tatanan konsep dunia (dunia objektif,

dunia sosial, dan dunia subjektif) yang digunakan sebagai kerangka acuan untuk

menentukan dimensi kesahihan dari argumentasi seseorang. Ketiga tatanan

konsep dunia tersebut diungkapkan oleh Habermas dalam bukunya Theorie des

Kornmunihativen Handelns, Band 1 sebagai berikut:

“In communicative action we today proceed from those

formal presup-positions of intersubjectivity that are necessary

if we are to be able to refer to something in the one objective

world, identical for all observers, or to something in our

intersubjectively shared social world. […..] But an analogous

mixing of domains of reality can be shown as well for the

relationship of culture and internal nature or the subjective

world.”47

Tiga konsep dunia sebagaimana dimaksudkan oleh Habermas digunakan

untuk menganalisis acuan pernyataan yang diungkapkan oleh seseorang. Sebagai

contoh: Pernyataan “di luar sedang hujan”. Pernyataan tersebut mengacu pada

tatanan dunia objektif di mana keadaan cuaca di luar memang hujan. Berbeda

dengan pernyataan “saya sedang sedih”. Pernyataan tersebut mengacu pada

tatanan dunia subjektif di mana si penutur memang mengalami kesedihan di

dalam dirinya. Lain lagi dengan pernyataan “jangan berteriak-teriak di ruang

46

“Habermas menganalisis sifat khusus dari praksis komunikatif dengan memanfaatkan teori

perbuatan-tutur (speech acts) dari John Austin dan John Searle. Inti pemikiran mereka adalah

bahwa berbahasa atau berbicara harus dimengerti sebagai melakukan perbuatan-perbuatan yang

tertentu, yaitu “perbuatan-tutur”. K. BERTENS, Filsafat Barat Kontemporer…, Op.Cit., 245. 47

JÜRGEN HABERMAS, The Theory of Communicative Action Vol. 1 Reason and The

Rationalization of Society, (judul asli: Theorie des Kornmunihativen Handelns, Band 1:

Handlungsrationalitat und gesellschaftliche), diterjemahkan oleh Thomas McCarthy, Beacon

press, Massachusetts 1984, 50-51.

Page 43: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

30

perpustakaan ini”. Pernyataan tersebut mengacu pada tatanan dunia sosial yang

berhubungan dengan dimensi sosial-normatif.

Ketiga konsep dunia tersebut digunakan oleh Habermas sebagai

pendasaran normatif bagi klaim kebenaran (truth), ketepatan (normative

rightness), dan kejujuran (truthfulness) dari pernyataan seseorang. Hal tersebut

tampak jelas dalam ungkapan Habermas sebagai berikut:

“In cases where agreement is reached through explicit

linguistic processes, the actors make three different claims to

validity in their speech acts as they come to an agreement with one

another about something. Those claims are claims to truth, claims

to rightness, and claims to truthfulness, according to whether the

speaker refers to something in the objective world (as the totality

of existing states of affairs), to something in the shared social

world (as the totality of the legitimately regulated interpersonal

relationships of a social group), or to something in his own

subjective world (as the totality of experiences to which one has

privileged access).”48

Klaim akan kebenaran mengacu pada tatanan dunia objektif di mana

pernyataan seseorang harus memiliki kesesuaian dengan kenyataan faktual-

empiris. Klaim akan ketepatan mengacu pada tatanan dunia sosial di mana

pernyataan seseorang harus terkait dengan ketepatan dimensi sosial-normatif.

Sedangkan klaim akan kejujuran mengacu pada tatanan dunia subjektif di mana

pernyataan seseorang harus sungguh-sungguh menyatakan apa yang dialaminya

(si penutur tidak berbohong). Ketiadaan salah satu aspek saja dalam klaim

kesahihan mengakibatkan tidak sahihnya sebuah pernyataan. Maka dari itu, dalam

48

JÜRGEN HABERMAS, Moral Consciousness and Communicative Action…, Op.Cit., 58.

Page 44: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

31

menyampaikan klaim-klaim kesahihannya, seorang penutur harus serentak benar,

tepat, dan jujur dalam menyampaikan segala pernyataannya.

Klaim kesahihan yang dinyatakan oleh seseorang pada dasarnya dapat

dikritik oleh si pendengarnya. Si pendengar juga dapat mengajukan sebuah klaim

kesahihannya sendiri. Hal tersebut diungkapkan oleh Habermas sebagai berikut:

“Validity claims are in principle are open to criticism

because they are based on formal world-concepts. They

presuppose a world that is identical for all possible observers, or a

world intersubjectively shared by members, and they do so in an

abstract form freed of all specific content. Such claims call for the

rational response of a partner in communication.”49

Klaim kesahihan terbuka akan kritik karena didasarkan pada konsep-

konsep dunia formal (formal world-concepts). Konsep dunia formal merupakan

realitas yang dialami secara intersubjektif sehingga setiap orang dapat mengkritisi

sebuah pernyataan melalui acuan-acuan yang digunakannya. Tahap ini

membutuhkan sebuah kemampuan untuk menerima atau menolak klaim kesahihan

yang diajukan oleh seseorang. Keberhasilan tindakan komunikasi sangat

bergantung pada kemampuan seseorang untuk menerima atau menolak klaim

kesahihan yang diajukan oleh lawan bicaranya.

Pada akhirnya, tindakan komunikatif selalu bertujuan untuk mencapai

konsensus. Dengan kata lain, tindakan komunikatif bukanlah tindakan yang

mengarah pada pembenaran klaim subjektif-monologis semata, melainkan selalu

melibatkan adanya persetujuan pihak lain (konsensus). Hal tersebut diungkapkan

oleh Habermas sebagai berikut:

49

JÜRGEN HABERMAS, The Theory of Communicative Action…, Op.Cit., 50.

Page 45: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

32

“Finally, the concept of communicative action refer to

inter-action of at least two subjects capable of speech and action

who establish interpersonal relations (whether by verbal or by

extra-verbal means). The actors seek to reach an understanding

about the action situation and their plan of action in order to

coordinate their actions by way of agreement. The central concept

of interpretation refers in the first instance to negotiating

definitions of situations which admit to consensus. As we shall see,

language is given a prominent place in this model.”50

Pada bab selanjutnya akan dijelaskan secara khusus mengenai Teori

diskursus. Teori diskurus merupakan sebuah teori argumentasi yang dielaborasi

lebih lanjut dari teori tindakan-komunikatif. Dalam teori diskursus, klaim-klaim

kesahihan yang terbuka akan kritik akan direfleksikan secara lebih mendalam

dengan menganalisis struktur argumentasi.

50

Ibid., 86.

Page 46: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

BAB III

Page 47: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

33

BAB III

TEORI DISKURSUS

Pada bagian ini akan dibahas rumusan masalah utama karya tulis ini, yaitu:

Apa itu teori diskursus? Pembahasan mengenai teori diskursus pada bab ini akan

dibagi menjadi empat bagian. Pertama, penulis akan memaparkan apa itu teori

diskursus? (3.1). Kedua, penulis akan menjelaskan mengenai prosedur diskursus

(3.2). Ketiga, penulis akan memaparkan prinsip etika diskursus (3.3). Keempat,

penulis akan memaparkan tinjauan kritis terhadap teori diskursus (3.4).

3.1. TEORI DISKURSUS

Teori Diskursus (discourse theory) merupakan sebuah teori yang

dikembangkan lebih lanjut dari teori tindakan komunikatif (Theory of

Communicative Action). Pada prinsipnya, teori diskursus merupakan bentuk-

reflektif (reflex-ionform) dari teori tindakan komunikatif.51

Dengan kata lain,

diskursus adalah kelanjutan dari tindakan komunikatif dengan memakai sarana

lain, yaitu sarana argumentatif. Guna melihat secara lebih cermat bahwa teori

diskursus adalah bentuk-reflektif dari teori tindakan komunikatif, penulis akan

memaparkan terlebih dahulu perbedaan mendasar antara teori tindakan

komunikatif dengan teori diskursus.

51

JÜRGEN HABERMAS, Between fact and norm, (judul asli: Faktizitat und Geltung), diterjemahkan

oleh William Rehg, The MIT press, New Baskerville 19962, 223.

Page 48: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

34

Teori tindakan komunikatif sebagaimana dimaksudkan oleh Habermas

bertitik pangkal pada proses komunikasi yang berada pada level praksis hidup

sehari-hari. Dalam pola komunikasi semacam ini, tiap-tiap subjek yang

berkomunikasi tidak terlalu mempermasalahkan secara khusus alasan-alasan yang

mendasari pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh lawan bicaranya. Dengan

kata lain, klaim-klaim kesahihan yang ada dalam proses komunikasi semacam ini

tidak terlalu dipermasalahkan dan kebenarannya diandaikan begitu saja.

Komunikasi pada level ini tak lain merupakan sebuah bentuk komunikasi

sehari-hari dimana setiap orang saling berbicara, saling menukar informasi, dan

membentuk hubungan sosial antara satu sama lain. Andrew Edgar52

, dalam

bukunya Habermas: The Key Concepts, mengungkapkan hal tersebut sebagai

berikut: “Communication is the everyday activity through which people speak to

each other, share information, and set up and sustain social relationships.”53

Lebih lanjut, Habermas dalam bukunya Between Facts and Norms

mengungkapkan bahwa: “With the concept of communicative action, the

important function of social integration devolves on the illocutionary binding

energies of a use of language oriented to reaching understanding.”54

Dengan kata

lain, berbagai hal yang kebenarannya diandaikan begitu saja dalam tindakan

komunikatif (communicative action) menjadi sebuah hal yang sangat penting dan

52

Andrew Edgar adalah seorang pengajar filsafat senior di Universitas Cardiff. Dia adalah

seorang pengarang buku yang memperkenalkan gagasan-gagasan filosofis Habermas. Beberapa

buku karangannya adalah Acumen, 2005 dan Cultural Theory: The Key Concepts (with Peter

Sedgwick. Routledge, 1999). ANDREW EDGAR, Habermas: The Key Concepts, Routledge, New

York 2006. 53

Ibid, 42. 54

JÜRGEN HABERMAS, Op.Cit., 8.

Page 49: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

35

dibutuhkan dalam menunjang integrasi sosial guna tercapainya sebuah tujuan

komunikasi, yaitu kesepahaman antara satu sama lain. Berbagai hal yang

diandaikan tersebut menjadi semacam pengetahuan-latarbelakang dan bersifat

pra-reflektif yang mendasari seluruh proses komunikasi verbal. Habermas,

sebagaimana dijelaskan oleh Andrew Edgar dalam bukunya Habermas: The Key

Concepts, menyebut Pengetahuan-latarbelakang tersebut sebagai dunia-kehidupan

(Lebenswelt).55

Namun berbagai hal yang kebenarannya diandaikan begitu saja dapat

menjadi problematis. Dalam dialog sehari-hari, tak jarang lawan bicara kita

mempertanyakan secara lebih eksplisit alasan-alasan yang mendasari pernyataan

kita, misalnya dengan melontarkan pertanyaan: Apakah yang kamu maksudkan?

Apakah ukuran yang kamu gunakan dalam menilai bahwa si A lebih pandai

daripada si B? Atau bahkan lawan bicara kita dapat menolak sama sekali

pernyataan-pernyataan kita. Dalam situasi semacam itu, berbagai hal yang

sebelumnya telah diandaikan begitu saja mulai terganggu. Kita perlu menafsirkan

kembali klaim-klaim kesahihan yang dalam tindakan komunikatif diandaikan

begitu saja. Di titik ini, pola komunikasi mengalami sebuah pergeseran dari

sekedar bertukar informasi diganti dengan pemberian alasan-alasan yang bersifat

rasional.

Dalam tindakan komunikatif (communicative action), pencapaian

konsensusnya cenderung telah diterima secara spontan dan tanpa pikir panjang

55

“Lifeworld: the stock of skills, competences and knowledge that ordinary members of society

use, in order to negotiate their way through everyday life, to interact with other people, and

ultimately to create and maintain social relationship. ANDREW EDGAR, Op.Cit., 89.

Page 50: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

36

lagi, sedangkan dalam diskursus konsensusnya dicapai dalam taraf yang lebih

reflektif.56

Bentuk komunikasi dimana klaim-klaim kesahihan dipersoalkan

kembali adalah diskursus. Fungsi diskursus, sebagaimana diungkapkan Habermas

dalam bukunya Moral Conciousness and Communicative Action, adalah

membenahi klaim validitas yang kontroversial dan membuat klaim validitas baru

sebagai pengganti yang lama secara intersubjektif.57

Sebagaimana telah disinggung di atas, diskursus merupakan sebuah

bentuk-reflektif dari tindakan komunikatif. Sebagai bentuk-reflektif dari tindakan

komunikatif, diskursus memakai instrumen lain yaitu argumentasi. Habermas,

sebagaimana diungkapkan oleh J. Donald Moon dalam buku The Cambridge

Companion to Habermas, mengungkapkan hal tersebut sebagai berikut:

“When the validity of a norm is challenged, the

coordination sought through communicative action is disturbed

and so the parties must enter (“into a process of moral

argumentation”) through which they (“continue their

communicative action in a reflexive attitude with the aim of

restoring a consensus that has been disrupted.”) When they are

successful in reaching a consensus on the validity of the norms

governing their interaction, their agreement (“expresses a

common will,”) an agreement that is reflexive in the sense that the

56

Tindakan komunikatif hanya mempermasalahkan klaim validitas seseorang. Dengan kata lain,

tindakan komunikatif hanya mempermasalahkan kesesuaian proposisi yang dikatakan

seseorang dengan acuan konsep tiga dunia formal (subjective, objective, and social worlds).

JÜRGEN HABERMAS, The Theory of Communicative Action Vol. 1 Reason and The

Rationalization of Society, (judul asli: Theorie des Kornmunihativen Handelns, Band 1:

Handlungsrationalitat und gesellschaftliche), diterjemahkan oleh Thomas McCarthy, Beacon

press, Massachusetts 1984, 72. 57

JÜRGEN HABERMAS, Moral Conciousness and Communicative Action, (judul asli:

Moralbewuβtsein und kommunikatives Handeln), diterjemahkan oleh Christian Lenhardt and

Shierry Weber Nicholsen, Polity Press, Massachusetts 20073, 67.

Page 51: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

37

parties know “that they have collectively become convinced of

something.”58

Di dalam proses diskursus, setiap peserta dapat mengemukakan semua

argumentasi yang relevan dan bahkan pengandaian-pengandaian yang ada di balik

sebuah pernyataan dapat dikritik, kalau perlu diubah, jika para peserta

menghendakinya. Apabila hal tersebut dipenuhi, maka tercapailah tujuan

diskursus itu sendiri yaitu sebuah konsensus yang rasional, karena bertumpu pada

argumentasi-argumentasi yang terbaik.59

Guna lebih memahami bagaimana bentuk konkret diskursus sebagaimana

dimaksudkan oleh Habermas, berikut ini penulis akan memberikan sebuah contoh

diskursus praktis60

yang dikemukakan oleh Logi Gunnarsson61

dalam bukunya

Making Moral Sense: Beyond Habermas and Gauthier:

“Two persons lie in beds in a hospital. One of them is just

waking up and notices the other one with surprise.

Patient: What are you doing here? You are my doctor!

Doctor: Yes, I know. But yesterday, as we were operating on you,

we noticed that you had two healthy kidneys. Since I needed a

kidney, another doctor took over the operation, and I now have

your kidney. I hope you don't mind.

58

J. DONALD MOON, et.al., “Practical Discourse and Communicative Ethics”, dalam Stephen K.

White (ed.), The Cambridge Companion to Habermas, Cambridge University Press, New York

1995, 148. 59

JÜRGEN HABERMAS, The Theory of Communicative Action Vol. 1…, Op.Cit., 72. 60

Jürgen Habermas membedakan antara diskursus teoritis dan diskursus praktis. Diskursus

teoritis mempersoalkan klaim kebenaran pernyataan-pernyataan teoritis-empiris, sedangkan

diskursus praktis mempersoalkan klaim ketepatan pernyataan-pernyataan normatif. Proyek

etika diskursus Habermas lebih memusatkan diri pada tipe diskursus praktis. JÜRGEN HABERMAS,

Between fact and norm…, Op.Cit., 230. 61

Logi Gunnarsson adalah seorang pengajar, pakar, dan peneliti filsafat di Universitas Humboldt,

Berlin. Karyanya antara lain Wittgensteins Leiter: Betrachtungen zum Tractatus, dan jurnal

penelitian filsafat yang berjudul ‘Deutsche Zeitschrift fur Philosophie and Dialektik’. LOGI

GUNNARSSON, Making Moral Sense: Beyond Habermas and Gauthier, Cambridge University

Press, New York 2000.

Page 52: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

38

After initial reactions of disbelief and after having had the news

confirmed by others, the patient continues the conversation. The

interchange now turns into a discourse about the rightness of a

norm.

Patient: You had no right to do that. Nobody has the right to

remove another person's bodily organs without that person's

permission.

Doctor: I disagree. Earlier you had two healthy kidneys and I had

none. Now each of us has one. A person only needs one functioning

kidney. Now we can both lead a normal life. I know that you are

too egoistic ever to accept having a kidney removed, but you must

agree that the situation is now fairer than before.

Patient: You have to see the matter also from my point of view, the

point of view of the victim. By doing this without my permission

you have interfered with my right to have a final say over what is

done to my body.

So far the discourse can be classified as an SD-discourse. The

doctor and the patient are directly discussing the issue of whether

one has the right to transplant someone's kidney without her

permission. With the doctor's next contribution, the conversation

takes a new turn. She makes a suggestion which – if it were

accepted – would amount to a rejection of SD. The conversation

moves up a level: it turns into a discussion of whether SD or some

other principle of justification is the appropriate way of justifying

norms.

Doctor: I see the matter from both points of view. I am just trying

to be impartial. And I have reached the conclusion that the only

way to be impartial is to let the decision rest on what produces

more happiness, not on what we would agree to in discourse. If the

rightness of a norm is to be decided in a discourse among those

affected by the norm, there is no way the agreement is going to be

impartial. We have to agree in advance (in discourse) that the

rightness of a norm depends on its effect on happiness and not on

the issue whether it would be agreed to in discourse.

Patient: I disagree. You are confusing impartiality with

impersonality. The rightness of a norm rests on direct agreement

on the norm. This does not mean that in reaching agreement on the

norm the participants do not consider how the norm affects the

happiness of people. However, how happiness is to count in the

decision-making has to be decided by the participants themselves.

With her last answer the patient has, in effect, let herself in on the

changed terms of the discussion. She defends SD in a discussion

Page 53: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

39

which is no longer directly about the norm itself, but about how to

decide on the rightness of norms.”62

Sebagaimana telah dikemukakan pada contoh di atas, yang menjadi objek

diskursus adalah klaim-klaim kesahihan yang dipermasalahkan kembali oleh

partisipan diskursus. Dalam contoh di atas, yang menjadi objek permasalahan

adalah klaim kesahihan dari sebuah norma: Apakah seseorang memiliki hak untuk

mentransplantasikan ginjal seseorang tanpa ijin? Dalam dialog di atas tampak

bahwa para partisipan diskursus berusaha menentukan dimensi ketepatan (dunia

sosial-normatif) sebuah norma melalui argumentasi-argumentasi terbaiknya. Jika

terjadi kesepakatan diantara para partisipan diskursus terhadap norma-norma yang

problematis, maka terbentuklah sebuah konsensus yang legitim.

Melalui contoh di atas tampak bahwa diskursus juga menandai sebuah

bentuk komunikasi modern dimana orang tidak menerima begitu saja segala

sesuatu yang telah ada secara turun-temurun melalui tradisi, melainkan

mengujinya dengan pertimbangan-pertimbangan yang lebih bersifat rasional.63

Pada bagian selanjutnya, penulis akan memaparkan mengenai prosedur diskursus

sebagai prasyarat yang memungkinkan tercapainya sebuah konsensus yang

legitim.

62

Ibid., 112-113. 63

Dalam bukunya Between fact and norm, Habermas mengungkapkan bahwa hal ini merupakan

permasalahan mendasar yang dihadapi oleh masyarakat modern dewasa ini, yaitu adanya krisis

terhadap cara-cara legitimasi politis tradisional. Kehidupan masyarakat dewasa ini ditandai

oleh adanya kemajemukan orientasi nilai dan kepentingan sehingga cara-cara legitimasi

tradisional, yang lebih cenderung bersifat monologis dan kebal terhadap kritik, tidak relevan

lagi untuk dipertahankan. JÜRGEN HABERMAS, Between fact and norm, Op.Cit., 227.

Page 54: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

40

3.2. PROSEDUR DISKURSUS

Diskursus merupakan sebuah bentuk komunikasi dimana para partisipan

berusaha memecahkan norma-norma yang problematis melalui sebuah

mekanisme pengujian diskursif. Konsensus yang dicapai secara intersubjektif

melalui mekanisme semacam itu akan memiliki dasar legitimasi yang kuat. Bagi

Habermas, sebuah konsensus dapat dikatakan rasional jika konsensus tersebut

dapat diterima secara intersubjektif dan tanpa paksaan oleh semua peserta

diskursus.

Berangkat dari pernyataan di atas tampak bahwa Habermas memasukkan

unsur intersubjektivitas dalam teori diskursusnya. Intersubjektivitas digunakan

oleh Habermas sebagai unsur penting dalam diskursus guna menghindari klaim

monologis (pemahaman subjektif) yang bersifat sepihak.64

Dengan kata lain,

betapapun masuk akalnya pernyataan seseorang belum memiliki validitas sebelum

mendapatkan persetujuan intersubjektif dari setiap partisipan dalam diskursus.

Lebih lanjut Habermas, dalam bukunya Between Fact and Norm, mengungkapkan

bahwa sebuah konsensus rasional tidak hanya bergantung dari kemasukakalan

sebuah pernyataan seseorang tetapi juga bergantung dari struktur proses

argumentasinya.

“A discourse theory of law, which ties the rational

acceptability of judicial decisions not only to the quality of

arguments but also to the structure of the argumentative process, 64

Dengan memasukkan unsur intersubjektifitas dalam teorinya tampak bahwa Habermas

berusaha membenahi kesalahan yang dibuat oleh para pendahulunya dalam Mazhab Frankfurt.

Setiap klaim yang bersifat monologis tidak akan pernah menghasilkan sebuah konsensus

karena adanya defisit dalam proses legitimasinya. Teori diskursus menyertakan adanya dimensi

sosial normatif yang diwujudkan dalam konsep rasio komunikatif dimana perspektif partisipan

dielaborasi sedemikian rupa hingga mencapai sebuah persetujuan intersubjektif. Ibid., 228.

Page 55: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

41

might not solve this problem, but it at least takes it seriously. Such

a theory relies on a strong concept of procedural rationality that

locates the properties constitutive of a decision's validity not only

in the logicosemantic dimension of constructing arguments and

connecting statements but also in the pragmatic dimension of the

justification process itself.”65

Struktur proses argumentasi, sebagaimana dimaksudkan oleh Habermas,

merupakan sebuah proses justifikasi yang berada pada dimensi pragmatis. Hal

tersebut mengacu pada bentuk ideal dari proses komunikasi yang memungkinkan

semua peserta menganggap sah konsensus yang dihasilkan oleh setiap partisipan

diskursus. Dengan kata lain, prosedur diskursus merupakan sebuah pengandaian

pragmatis bahwa pembicaraan antar peserta dalam ruang diskursus telah diatur

dengan kondisi tertentu.66

Kondisi ideal tersebut dimunculkan oleh Habermas guna mengantisipasi

adanya segala tindakan strategis yang tidak mengarah pada konsensus. Sebab tak

jarang kesepakatan-kesepakatan bersama yang menyangkut kehidupan publik

dihasilkan melalui politik uang (money politic), kekuasaan (dominance), dan

hanya sekedar memenuhi tuntutan-tuntutan dari pihak tertentu yang berkuasa.

Kesepakatan-kesepakatan semacam itu tidak dapat dinilai legitim (sah), karena

sebuah konsensus yang legitim membutuhkan persetujuan secara intersubjektif.

Maka dari itu, Habermas merumuskan prasyarat-prasyarat (aturan-aturan)

komunikasi guna menghasilkan sebuah konsensus yang dapat diterima secara

intersubjektif.

65

Ibid., 226. 66

LOGI GUNNARSSON, Op.Cit., 86.

Page 56: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

42

Habermas, sebagaimana diungkapkan oleh F. Budi Hardiman67

dalam

jurnalnya, Diskursus: Jurnal Filsafat dan Teologi, menjelaskan prasyarat-

prasyarat komunikasi tersebut melalui konsep “idealisasi”.68

Apakah prasyarat-

prasyarat yang harus dipenuhi guna memperoleh sebuah konsensus rasional yang

dapat diterima oleh umum? Di dalam bukunya Moral Conciousness and

Communicative Action, Habermas merumuskan prosedur diskursus sebagai

berikut:

“(3.1) Every subject with the competence to speak and act is

allowed to take part in a discourse.

(3.2) a. Everyone is allowed to question any assertion whatever.

b. Everyone is allowed to introduce any assertion whatever

into the discourse.

c. Everyone is allowed to express his attitudes, desires, and

needs.

(3.3) No speaker may be prevented, by internal or external coer-

cion, from exercising his rights as laid down in (3.1) and

(3.2).”69

F. Budi Hardiman menterjemahkannya sebagai berikut:

1. “Semua subjek yang mampu berbicara dan bertindak boleh ikut

serta dalam diskursus.

2. a. Setiap peserta boleh mempermasalahkan setiap pendapat.

67

F. Budi Hardiman adalah seorang pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat Driyarkara dan

Universitas Pelita Harapan. Ia adalah seorang penulis buku dan aktif menulis untuk berbagai

media cetak. Beberapa karyanya antara lain: Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai

Nietzsche, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, Demokrasi Deliberatjf:

Menimbang Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik‘ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas. F.

BUDI HARDIMAN, Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche, PT Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta 20072.

68 “Idealisasi di sini berarti menurut Habermas (‘memikirkan proses-proses komunikasi

sedemikian rupa seolah-olah proses tersebut berlangsung di dalam kondisi-kondisi ideal’).”

F. BUDI HARDIMAN, et.al., “Teori Diskursus dan Demokrasi: Peralihan Habermas ke dalam

Filsafat Politik”, Diskursus: Jurnal Filsafat dan Teologi, Vol 7, No. 1, April 2008, 20. 69

JÜRGEN HABERMAS, Moral Conciousness and Communicative Action…, Op.Cit., 89.

Page 57: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

43

b. Setiap peserta boleh mengajukan pendapat apapun di dalam

diskursus.

c. Setiap peserta boleh mengungkapkan sikap-sikap,

keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhannya.

3. Tidak seorang pembicarapun boleh dihalangi untuk

melaksanakan hak-haknya yang tercantum dalam (1) dan

(2).”70

Prosedur diskursus di atas merupakan prasyarat-prasyarat yang harus

dipenuhi agar proses diskursus dapat berjalan dengan egaliter, inklusif, dan bebas

dominasi. Lebih lanjut Habermas, sebagaimana diungkapkan oleh K. Bertens71

dalam bukunya Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman, mengungkapkan

bahwa jika sesuai dengan syarat-syarat ini terbentuk konsensus tentang kesahihan

pernyataan-pernyataan beserta pengandaian-pengandaian yang terkandung di

dalamnya, maka konsensus seperti itu memiliki pendasaran rasional.72

Dengan

demikian, pernyataan-pernyataan yang dapat dianggap valid merupakan

pernyataan-pernyataan yang dihasilkan melalui konsensus di bawah “situasi

percakapan yang ideal” dan bertumpu pada kekuatan argumentasi-argumentasi

terbaik serta tidak terdistorsi oleh hubungan-hubungan kekuasaan.

Subjektivitas, dalam pemikiran Habermas, tidak lagi dimaknai dalam

paradigma subjek yang terisolasi pada dirinya sendiri melainkan lebih dipahami

dalam kerangka komunikasi intersubjektif. Melalui prosedur diskursus, konsep

70

F. BUDI HARDIMAN, Diskursus: Jurnal Filsafat…, Op.Cit., 21. 71

Prof. Dr. K. Bertens adalah seorang pengajar filsafat di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.

Spesifikasi keilmuan yang menjadi minatnya adalah etika terapan, khususnya etika bisnis dan

etika biomedis. Ia mempelopori pendirian “Himpunan Dosen Etika Seluruh Indonesia”

(HIDESI) dan menjadi ketuanya yang pertama (1990-1997). Beberapa karyanya antara lain:

Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta, Kanisius 1975), Ringkasan Sejarah Filsafat

(Yogyakarta, Kanisius 1976), Filsafat Barat Abad XX, Jilid I (Jakarta, Gramedia 1987), Etika

(Jakarta, Gramedia Pustaka Utama 1994). K. BERTENS, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-

Jerman, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 20024.

72 Ibid., 248.

Page 58: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

44

rasio praktis dari Immanuel Kant dielaborasi kembali oleh Habermas ke dalam

prinsip pengujian secara intersubjektif.73

Dengan kata lain, konsep rasio praktis

dielaborasi menjadi konsep rasio prosedural.

Di sisi lain, Habermas mengungkapkan bahwa rasio prosedural tidak

ditujukan untuk memberikan suatu ide substantif apapun melainkan hanya

menuntut prosedur yang diterima secara intersubjektif.74

Hal ini dimaksudkan

oleh Habermas bahwa rasio prosedural bukanlah sebuah prosedur untuk

menghasilkan norma-norma yang legitim melainkan pertama-tama sebuah

prosedur untuk menguji validitas norma-norma. Hal tersebut diungkapkan oleh

Habermas dalam bukunya Moral Conciousness and Communicative Action

sebagai berikut:

“Practical discourse is not a procedure for generating

justified norms but a procedure for testing the validity of norms

that are being proposed and hypothetically considered for

adoption. That means that practical discourse […..] to reach a

73 Pada dasarnya, teori diskursus merupakan sebuah bentuk sublimasi dari kritik G.W.F. Hegel

terhadap Immanuel Kant dimana Habermas menyertakan adanya dimensi sosial yang

diwujudkan dalam konsep rasio komunikatif. Hal tersebut diungkapkan oleh Habermas dalam

bukunya Between Fact and Norm sebagai berikut: “As the reflexive form of communicative

action, argumentation distinguishes itself socio-ontologically, one might say, by a complete

reversibility of participant perspectives that unleashes the higher-level intersubjectivity of the

deliberating collectivity. In this way, Hegel's concrete universal is sublimated into a

communicative structure purified of all substantive elements.” JÜRGEN HABERMAS, Between

Fact and Norm, Op.Cit., 228. 74

“Teori diskursus –seperti dijelaskan oleh Habermas sendiri- bukanlah sebuah usaha baru untuk

menilai masyarakat modern. Teori ini juga bukanlah sebuah teori sosial yang menyeluruh

seperti teori-teori sosial politis dari Aristoteles, Hegel, atau Marx. Teori-teori klasik ini ingin

mengarahkan sejarah umat manusia sebagai keseluruhan untuk mencapai tujuan tertentu. Teori

diskursus sebaliknya sama sekali tidak menawarkan tujuan apapun yang harus dicapai oleh

masyarakat modern. Segala bentuk teleologi yang mewarnai metafisika dan teori-teori politik

klasik telah ditinggalkan. Yang ingin ditunjukkan oleh teori diskursus bukanlah tujuan

masyarakat, melainkan hanya cara atau prosedur untuk mencapai tujuan itu.” F. BUDI

HARDIMAN, Diskursus: Jurnal Filsafat…, Op.Cit., 2.

Page 59: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

45

consensual means of regulating some controversial social

matter.”75

Pada bagian selanjutnya, penulis akan memapaparkan mengenai prinsip

etika diskursus. Pembahasan pada bagian tersebut pada dasarnya merupakan

sebuah pengujian diskursif proses penetapan norma-norma. Prinsip etika

diskursus dapat diandaikan sebagai sebuah pisau untuk menguji norma-norma

yang dapat diuniversalkan dan yang tetap bersifat partikular. Prinsip etika

diskursus sendiri merupakan sebuah prinsip etika yang berada pada ranah moral.

Dalam penjelasan mengenai prinsip etika diskursus akan tampak bahwa

Habermas berusaha mempertahankan universalisme Kantian, namun sekaligus

menolak pengandaian-pengandaian filsafat subjek di dalamnya.

3.3. PRINSIP ETIKA DISKURSUS

Pada bagian ini penulis akan berfokus pada teori moral diskursus dan pada

gagasan moral diskursus. Sebagaimana telah disinggung di atas, prinsip etika

diskursus merupakan sebuah kritik terhadap konsep imperatif kategoris dari

Immanuel Kant. Teori moral Immanuel Kant bertolak dari subjek yang

mempertimbangkan tindakan moralnya secara mandiri sedangkan teori moral

Habermas menyertakan unsur intersubjektivitas sebagai pendasaran legitimasinya.

Teori moral Habermas, sebagaimana diungkapkan oleh James Gordon

Finlayson76

, dapat dimengerti sebagai sebuah penjelasan eksplisit mengenai

75

JÜRGEN HABERMAS, Moral Conciousness and Communicative Action…, Op.Cit., 103. 76

James Gordon Finlayson adalah seorang dosen filsafat di Universitas New York. Secara

khusus, ia mengajarkan tentang teori diskursus Jürgen Habermas . Salah satu karyanya adalah

Page 60: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

46

dimensi ketepatan dari klaim validitas.77

Problem dalam tindakan komunikasi

(communicative action) timbul ketika dimensi ketepatan sebuah norma dari klaim

validitas ditolak. Norma-norma yang sebelumnya diandaikan saja kebenarannya

menjadi problematis ketika lawan bicara kita meminta penjelasan lebih jauh

mengenai argumentasi kita. Dalam kondisi semacam ini, kita diminta untuk

mengeksplisitkan klaim-klaim kesahihan yang dalam tindakan komunikatif hal itu

diandaikan begitu saja.

Argumentasi-argumentasi yang dikemukakan dalam diskursus tentu

beraneka ragam. Argumentasi-argumentasi tersebut juga tentu tidak lepas dari

sebuah konteks atau perspektif berpikir tertentu. Terlebih lagi dalam mengikuti

sebuah diskursus, setiap partisipan tentu membawa kepentingan-kepentingan

pribadi. Permasalahannya sekarang adalah bagaimana menentukan sebuah

kepentingan atau norma, yaitu terkait: Kepentingan-kepentingan atau norma-

norma manakah yang dapat diuniversalkan atau tetap terikat pada konteks tertentu

(partikular)?

Guna menghindari adanya relativitas argumentasi dalam diskursus, maka

diperlukan adanya suatu pendasaran normatif yang jelas dalam proses diskursus.

Prinsip etika diskursus berfungsi sebagai “pisau bedah” terhadap norma-norma

atau kepentingan-kepentingan yang dapat universalkan atau tetap partikular.

Terkait dengan prinsip etika diskursusnya, Habermas mengungkapkan bahwa

segala argumentasi yang berkaitan dengan moral harus mengacu pada sebuah

Habermas: A Very Short Introduction (Oxford University Press, New York 2005). JAMES

GORDON FINLAYSON, Habermas: A Very Short Introduction, Oxford University Press, New York

2005. 77

Ibid, 77.

Page 61: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

47

prinsip moral yang menjadi aturan argumentasi. Hal tersebut diungkapkan oleh

Habermas dalam bukunya Moral Conciuosness and Communicative Action

sebagai berikut: “[…] all studies of the logic of moral argumentation end up

having to introduce a moral principle as a rule of argumentation….”.78

Di dalam prinsip etika diskursusnya, Habermas sebagaimana diungkapkan

F. Budi Hardiman, menawarkan sebuah prinsip dasar untuk menguji apakah

norma-norma atau kepentingan-kepentingan dapat diuniversalkan atau tetap

partikular. Prinsip etika diskursus tersebut disusun dalam struktur gramatikal

irreal yang dalam bahasa Indonesia dijelaskan dengan kata “kiranya” dan

“seandainya”.79

Dengan kata lain, prinsip ini merupakan sebuah kondisi

pengandaian. Kondisi pengandaian yang dimaksud adalah walaupun secara

faktual tidak semua orang yang bersangkutan dengan norma tersebut dapat hadir

dalam diskursus, namun para peserta diskursus yang hadir harus berusaha agar

konsensus yang dicapai dalam diskursus tersebut dapat diterima oleh mereka yang

tidak hadir di dalam diskursus tersebut.

Prinsip etika diskursus (“D”) diungkapkan oleh Habermas dalam bukunya

Moral Conciousness and Communicative Action sebagai berikut: “Only those

norms can claim to be valid that meet (or could meet) with the approval of all

affected in their capacity as participants in a practical discourse.”80

“(Bahwa

setiap norma yang sahih kiranya akan mendapat persetujuan semua orang yang

78

JÜRGEN HABERMAS, Moral Conciousness and Communicative Action…, Op.Cit., 63. 79

F. BUDI HARDIMAN, Diskursus: Jurnal Filsafat…, Op.Cit., 24. 80

JÜRGEN HABERMAS, Moral Conciousness and Communicative Action…, Op.Cit., 66.

Page 62: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

48

bersangkutan dengannya, seandainya orang-orang ini dapat ikut serta di dalam

sebuah diskursus praktis).”81

Menurut asas pengujian diskursif tersebut, norma-norma yang sahih harus

sesuai dengan kepentingan-kepentingan yang dapat diuniversalkan. Walaupun

secara factual (aspek de facto) tidak semua orang yang berkaitan dengan norma

tersebut dapat hadir dalam diskursus praktis, para partisipan diskursus yang hadir

harus menemukan konsensus yang dapat diterima oleh mereka yang tidak hadir

dalam diskursus tersebut (aspek de jure).

Prinsip etika diskursus itu merupakan turunan dari prinsip lain yang lebih

mendasar dari prinsip etika diskursus. Prinsip tersebut telah inhern di dalam

prinsip etika diskursus. Prinsip tersebut merupakan aturan argumentasi moral

yang menjadi prinsip dasar moral dari etika diskursus. Habermas menyebut

prinsip tersebut sebagai prinsip universalisasi (“U”) yang berbunyi:

“All affected can accept the consequences and the side

effects its general observance can be anticipated to have for the

satisfaction of everyones interests (and these consequences are

preferred to those of known alternative possibilities for

regulation).”82

Di dalam bahasa Indonesia berbunyi:

“Setiap norma yang sahih harus memenuhi prasyarat

bahwa efek-efek dan efek-efek samping yang barangkali terjadi

karena kepatuhan umum untuk pemenuhan kepentingan setiap

81

F. BUDI HARDIMAN, Diskursus: Jurnal Filsafat…, Op.Cit., 24. 82

JÜRGEN HABERMAS, Moral Conciousness and Communicative Action…, Op.Cit., 65.

Page 63: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

49

individu dapat diterima tanpa paksaan oleh semua orang

yang bersangkutan dengan norma itu.”83

Prinsip “U“ digunakan dalam diskursus-diskursus guna mencari sebuah

pendasaran moral. Sebagaimana telah disinggung dalam paragraf di atas, prinsip

“U” menjadi semacam pisau bedah yang digunakan untuk menguji: Apakah

sebuah norma dapat diuniversalkan atau partikular? Prinsip “U” tidak lain

merupakan prinsip universalisme yang menjadi semangat pencerahan.84

Lebih

lanjut, prinsip “U” merupakan sebuah prinsip yang dielaborasi oleh Habermas

dari konsep imperatif kategoris Immanuel kant menjadi konsep rasio prosedural,

namun dengan menyertakan dimensi sosial (intersubjektivitas). Pada bagian

selanjutnya, penulis akan memaparkan tinjauan kritis terhadap teori diskursus.

3.4. TINJAUAN KRITIS TERHADAP TEORI DISKURSUS

Pada bagian ini, penulis akan menyajikan sebuah telaah kritis atas

pemikiran Habermas. Telaah kritis yang dimaksud adalah penyajian komentar-

komentar dari para pemikir lain yang pro maupun kontra terhadap pemikiran

Habermas. Pemaparan pada bagian ini bertujuan untuk memperoleh “objektivitas”

sebuah pemikiran, dimana sebuah pemikiran tentu memiliki sebuah kekuatan dan

kelemahan. Bagian ini akan dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah

kritik atas pemikiran Habermas oleh Michel Foucault (3.4.1.). Bagian kedua

83

F. BUDI HARDIMAN, Diskursus: Jurnal Filsafat…, Op.Cit., 24. 84

Tokoh-tokoh postmodernisme, (seperti George Bataille, Michel Foucault, dan Jacques

Derrida), menuduh Habermas masih menganut kepercayaan naïf akan kemampuan rasio dan

masih menjalankan suatu proyek anakronistik dengan berusaha menciptakan teori yang

ditandai kesatuan komprehensif. K. BERTENS, Op.Cit., 253.

Page 64: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

50

adalah pemikiran seorang pakar dan peneliti sosiologi yang berusaha

mempertahankan pemikiran Habermas, yaitu Michael Pusey (3.4.2.).

3.4.1. Kritik atas Pemikiran Habermas oleh Michel Foucault85

Sebagaimana telah disinggung pada bagian sebelumnya, Habermas

merupakan seorang filsuf yang mempertahankan universalisme Kantian. Dengan

kata lain, Habermas merupakan seorang filsuf yang berusaha untuk

mempertahankan semangat modernisme yang optimis terhadap adanya integrasi

atau kesatuan dalam masyarakat.86

Secara umum, posisi dan pemikiran Habermas

tersebut mendapat banyak kritik dari para pemikir postmodernisme.87

Tokoh-

tokoh postmodernisme menuduh Habermas masih menganut kepercayaan naïf

akan kemampuan rasio dan masih menjalankan suatu proyek anakronistik dengan

berusaha menciptakan teori yang ditandai kesatuan komprehensif.88

Para pemikir post modern merupakan orang-orang yang pesimis terhadap

rasionalitas modern. Para pemikir post modern, yang diawali oleh Nietzsche, telah

membongkar selubung tersembunyi yang ada dibalik rasionalitas, yaitu kehendak

85

Michel Foucalut (1926-1984): French historian and philosopher, closely associated with post-

structuralism. ANDREW EDGAR, Op.Cit., X. 86

'Modernity' typically refers to the period of European and American history that began with

the end of the Renaissance (and thus around the beginning of the seventeenth century), and

therefore 'modernism' is the culture that is characteristic of this period. A modernist culture

can be broadly characteristic in terms of its commitment to values that were fully articulated in

the European Enlightenment (of the seventeenth and aighteenth centuries). Reason and

scientific inquiry are to be used to bring about technological and political progress. Ibid., 96. 87

'Post-modernism is a culture that comes ater 'modernism' (althought the actual dating od this

cultural period is a matter of some dispute), and more profoundly to a culture that challenges

the most fundamental presuppositions od modernism, not least in terms of the assumed

perfectibility of humanity, and thus of the idea of political progress, and the assumption of the

universal validity and applicability of reason and science. The terms are important for

Habermas in that he presents himself as defending the 'unfinished project' of modernity in the

face of its post-modernist opponents. Ibid. 88

K. BERTENS, Op.Cit., 253.

Page 65: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

51

berkuasa. Nietzsche, sebagaimana dikutip oleh Budi Hardiman dalam bukunya

Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, mengungkapkan bahwa:

“Dunia ini adalah Kehendak-untuk-Berkuasa- dan tak lebih

dari itu! Dan anda sendiri pun adalah Kehendak-untuk-Berkuasa

ini- dan tak lebih dari itu!” […..] Baginya, Kehendak-untuk-

Berkuasa itu tampil dengan seluruh keberadaannya di mana saja di

dunia sini.”89

Kritik Nietzsche terhadap rasionalitas modern tersebut pada akhirnya

berdampak pada tidak diterimanya lagi pemikiran-pemikiran yang berusaha

membuat sintesis-komprehensif terhadap realitas-realitas sosial kemasyarakatan.

Maka tak heran jika Habermas, yang cenderung mempertahankan kembali proyek

filsafat modern, mendapatkan hujan kritik dari para pemikir postmodernisme yang

telah pesimis terhadap proyek filsafat modern. Pada paragraf selanjutnya, penulis

akan masuk pada argumentasi-argumentasi kritik yang lebih spesifik dari seorang

tokoh postmodernisme (Michel Foucault) terhadap pemikiran-pemikiran

Habermas.

Habermas dan Foucault merupakan dua tokoh filsafat yang memiliki dua

titik pijak yang berbeda dalam berfilsafat. Habermas, sebagaimana tersirat dalam

pemikiran-pemikirannya, merupakan filsuf yang cenderung mempertahankan

semangat progresivitas dan komprehensif dari filsafat modern. Sebaliknya,

Foucault dapat dikategorikan sebagai filsuf postmoderisme yang cenderung

pesimistis terhadap semangat modernitas.

Jika kita mencermati pemikiran Habermas dengan lebih seksama, kita

akan sampai pada sebuah pengandaian keadaan asali (kodrat) manusia yang

89

F. BUDI HARDIMAN, Filsafat Modern: Dari…, Op.Cit., 272.

Page 66: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

52

dimiliki Habermas, yaitu Homo Democraticus.90

Pemikiran-pemikiran Habermas,

seperti: rasio komunikatif, tindakan komunikatif, dan diskursus merupakan

konsep-konsep aplikatif dari pengandaian kodrat manusia sebagai Homo

Democraticus. Selain itu, Habermas juga dapat dikategorikan sebagai seorang

filsuf moral. Hal tersebut sangat tampak dalam prinisip universalitas etika

diskursus yang sangat menekankan prinsip moral di dalamnya. Bertolak belakang

dengan Habermas, Foucault merupakan seorang filsuf real-history. Foucault,

mengikuti Nietzche, merupakan filsuf yang pendekatan pemikiran-pemikirannya

cenderung menggunakan perspektif konflik dan kekuasaan dalam memahami

realitas sosial.

Kritik Foucault atas pemikiran Habermas bertitik tolak dari hubungan

antara rasionalitas dan kekuasaan (rationality and power) yang ada dalam

pemikiran Habermas. Dalam pemikiran Habermas, hubungan antara rasionalitas

dan kekuasaan dituangkan dalam dua mekanisme jenis tindakan sebagaimana

telah dijelaskan pada bab dua, yaitu: tindakan komunikatif dan tindakan strategis.

Tindakan komunikatif merupakan representasi dari rasionalitas sebagaimana

dimaksudkan oleh Habermas, yaitu rasio komunikatif.91

Sebaliknya, tindakan

strategis merupakan representasi tindakan yang didasari oleh motif pemaksaan

kehendak dan kekuasaan. Dalam tindakan strategis orang menggunakan bahasa

90

BENT FLYVBJERG, Paper for the Political Studies Association’s 50 th Annual Conference, The

Challenges for Democracy in the 21 st Century, London School of Economics and Political

Science, 10-13 April 2000. 91

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab dua, Habermas merumuskan konsep rasionalitas ke

dalam konsep rasio komunikatif. Penjelasan mengenai hal ini lihat kembali pada bab dua

mengenai konsep rasio komunikatif.

Page 67: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

53

bukan sebagai medium pemahaman, melainkan sebagai alat pemaksaan kehendak

dan bahkan kekerasan dapat dipakai untuk menghasilkan konsensus.

Habermas memberikan sebuah prinsip legitimasi untuk membedakan

kedua jenis tindakan tersebut. Prinsip legitimasi yang dimaksud adalah konsensus

intersubjektif yang berusaha dicapai oleh setiap partisipan melalui tindakan

komunikatif. Tindakan komunikatif sangat menekankan prinsip intersubjektivitas

dalam proses legitimasinya guna menghindari tindakan-tindakan strategis yang

merupakan representasi dari kekuasaan dan kekerasan dalam pencapaian sebuah

konsensus.

Dalam bukunya Between Facts and Norms, sebagai usaha Habermas untuk

merealisasikan teori diskursusnya dalam ranah politik praksis, Habermas

mengaplikasikan teori diskursusnya ke dalam sebuah prosedur mekanis

pencapaian konsensus produk-produk hukum dalam negara demokrasi modern.

Dari sini mulai tampak jelas bahwa Habermas berusaha menyublimasikan konsep

kekuasaan (power) yang abstrak ke dalam sebuah bentuk konkrit, yaitu hukum.

Habermas, sebagaimana dikutip oleh Bent Flyvbjerg dalam essay-nya,

mengungkapkan hubungan antara hukum dan kekuasaan yang dimaksudkannya

sebagai berikut:

“On the relationship between law and power in this

process, Habermas states that (‘authorization of power by law and

the sanctioning of law by power must both occur uno acto’)

(emphasis in original).”92

Dari kutipan di atas tampak jelas bahwa Habermas memaknai kekuasaan

dalam perspektif hukum. Dengan kata lain, kekuasaan disublimasikan secara

92

BENT FLYVBJERG, Op.Cit., 4.

Page 68: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

54

konkret dalam bentuk hukum positif. Pada titik inilah Foucault mulai mengkritisi

pengandaian dasar pemikiran Habermas. Foucault, pertama-tama mengemukakan

analisisnya bahwa kekuasaan sama sekali tidak bisa diidentikkan dengan hukum.

Foucault, sebagaimana dikutip oleh Bent Flyvbjerg dalam essay-nya,

mengungkapkan bahwa:

“it [means power] (‘can be constituted only if it frees itself

completely from [this] representation of power that I would term

… ‘juridico-discursive’ … a certain image of power-law, of power-

sovereignty.’)”93

Pernyataan Foucault di atas hendak menegaskan bahwa kekuasaan (in se)

tidak dapat direpresentasikan ke dalam bentuk apapun. Pernyataan Foucault di

atas dimaksudkan untuk mengkritisi pengandaian dasar yang digunakan oleh

Habermas terkait hubungan antara rasionalitas dan kekuasaan. Dengan

mengidentikkan atau menyublimasikan kekuasaan ke dalam hukum, pengandaian

dasar pemikiran Habermas telah memasuki sebuah blunder. Secara lebih lugas,

Habermas telah mengidentikkan dua konsep yang selalu dipertentangkan oleh

para tokoh postmodernisme, yaitu kekuasaan dan rasionalitas.

Hukum merupakan sebuah produk dari rasio. Hukum, sebagaimana

dimaksudkan Habermas, dihasilkan melalui sebuah proses diskursus yang

mengedepankan rasionalitas. Dalam diskursus, klaim-klaim validitas dipersoalkan

kembali guna mencapai sebuah konsensus yang legitim. Produk-produk hukum

yang dihasilkan melalui diskursus merupakan sebuah indikator konkret bahwa

hukum adalah produk dari rasio. Dari sini tampak jelas bahwa pengandaian dasar

yang digunakan oleh Habermas, dengan mengidentikkan antara rasionalitas dan

93

Ibid.

Page 69: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

55

kekuasaan, telah memasuki sebuah blunder. Kritik Foucault terhadap pengandaian

dasar Habermas tersebut dapat dikatakan sebagai cut off the head of the king.

Lebih lanjut Foucault, sebagaimana dikutip oleh Bent Flyvbjerg dalam

essay-nya, mengungkapkan bahwa dalam proses komunikasi tidak dapat

menafikan adanya kekuasaan yang pasti berperan di dalamnya (‘power is always

present’).94

Kritik Foucault tersebut didasarkan pada pengalaman empiris bahwa

pengaruh kekuasaan akan selalu muncul dalam kehidupan real politis.

Foucault juga mengkritisi pemikiran Habermas tentang konsep situasi

percakapan ideal (the ideal speech situation). Bagi Foucault, the ideal speech

situation dalam sebuah diskursus tampak terlalu naif dan idealistik ketika

Habermas berusaha mengidealkan sebuah situasi komunikasi namun

mengesampingkan adanya distorsi-distorsi real yang pasti ada di dalamnya. Bagi

Foucault, keberhasilan sebuah retorika justru terletak pada pengasosiasian secara

tepat distorsi-distorsi. Dengan demikian, Foucault menilai bahwa pemikiran-

pemikiran Habermas masih sangat problematik, dan tergolong sebagai ilmu sosial

yang spekulatif (utopis).

3.4.2. Defending Habermas oleh Michael Pusey95

Sebagaimana telah disinggung di atas, pemikiran Habermas banyak

mendapatkan kritik dari para tokoh postmoderisme. Pada bagian ini penulis akan

memaparkan argumentasi-argumentasi dari seorang pakar dan peneliti sosiologi,

yang bernama Michael Pusey, yang cenderung mempertahankan pemikiran-

pemikiran Habermas.

94

Ibid. 95

Michel Pusey adalah seorang pakar dan peneliti sosiologi dari Department of Sociology

University of New South Wales, Australia.

Page 70: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

56

Sebagaimana telah disinggung di atas, kritik terhadap pemikiran Habermas

berasal dari para tokoh postmodernisme. Menurut para tokoh psotmodernisme,

Habermas masih menganut kepercayaan naïf akan kemampuan rasio dan masih

menjalankan proyek filsafat modern dengan berusaha menciptakan teori yang

ditandai kesatuan komprehensif. Terkait dengan kritik tersebut, Michael Pusey

memberikan tanggapannya sebagai berikut:

“As we have seen, Habermas has gone to a great deal of

effort to ground his view of modernity in a world-historical

process of rationalization. The purpose was always to persuade us

to re-assess our modern situation as a one-sided development and

to help us recognize in its ‘jagged profile’ the traces of the other

stunted lines of development that have been repressed. In a world-

historical process of rationalization we have been brought to a

situation in which we experience and then gradually discern the

fundamental contradictions that are at work between, on the one

hand, a truly positive (emancipatory) rationalization of ideas and

ethics that points, in one direction, towards society, and, on the

other hand, an increasing penetration of money and power that

points instead to the ‘Iron Cage’ of a totally administered socity.

This world-historical process of rationalization has, as Habermas

puts it, ‘released a potential for Reason’ that could be taken up

and used, in a critically reflective attitude, to build a more rational

society. Or, alternatively, we could continue in the present course

and destroy ourselves in any number of ways.”96

Pernyataan dari Michael Pusey di atas hendak menegaskan bahwa situasi

dunia dewasa ini, yang didominasi oleh sistem yang berjalan dengan mekanisme

uang dan kekuasaan, telah membawa kita pada dua jalan pilihan. Pertama, melalui

sebuah proses rasionalisasi yang sungguh positif yang berakar pada nilai-nilai

96

MICHAEL PUSEY, “Jürgen Habermas ”, dalam Peter Hamilton (ed.), Key Sociologists, Routledge,

New York 20032, 116.

Page 71: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

57

etika dan moral (tindakan komunikatif). Kedua, melalui penetrasi uang dan

kekuasaan yang cenderung mengarah pada kehancuran (tindakan strategis).

Dalam pilihan situasi tersebut, Habermas menawarkan sebuah metode (diskursus)

guna membangun sebuah masyarakat yang memiliki pijakan rasionalitas.

Kritik lain yang ditujukan pada pemikiran Habermas adalah diskursus

hanya dapat diikuti oleh kaum intelektual. Dengan kata lain, orang biasa (ordinary

people) yang cenderung kurang memiliki tingkat kesadaran kritis akan kesulitan

untuk berpartisipasi aktif di dalamnya. Dalam menjawab pertanyaan ini, Michel

Pusey mengutip pernyataan Habermas sebagai berikut:

“It is not a matter of choice. The circumstances of life in

the modernity of late capitalism—of life amidst desiccated

cultures, traditions and normative structures and an unrelenting

pluralization and relativization of value orientations—force

individuals to rely increasingly on their own ‘communicative

accomplishments’. As the security of relatively unproblematic

agreement against an established background consensus recedes

are ‘ordinary people’, Habermas insists, pressed further into an

open-ended and critically reflective form of communicative

interaction. A world-historical process of rationalization has,

according to the theory, also released a potential for reason that

could be actualized in new social structures mediated through

communicative ethics. This possibility leads to other criticisms of

the political sociology.”97

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa situasi dunia dewasa ini, yang

ditandai dengan pluralitas dan relativitas orientasi nilai-nilai, menuntut kita untuk

memiliki sebuah kecakapan (accomplishments) komunikasi. Mengikuti pemikiran

97

Ibid.

Page 72: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

58

Habermas, Michael Pusey mengungkapkan bahwa peran orang biasa (ordinary

people) justru dibutuhkan dalam proses diskursus. Guna mengatasi relativitas dan

retorika dalam argumentasi, peran orang biasa (ordinary people) dapat muncul

sebagai alternatif akhir yang terbuka (open-ended) dan merepresentasikan bentuk

reflektif kritis dari interaksi komunikatif (critically reflective form of

communicative interaction).

Kritik lain yang ditujukan pada pemikiran Habermas terkait dengan

pendasaran dan motif yang ada dibalik teorinya. Kritik tersebut berbunyi: In what

kind of prospect is it (Habermas’s theory) grounded? (Dalam kemungkinan

apakah teori Habermas didasarkan?). Tanggapan Habermas terhadap pertanyaan

tersebut dikemukakannya secara personal. Habermas, sebagaimana diungkapkan

oleh Michael Pusey, mengungkapkan motif konseptual dan intuisi fundamental

yang menjadi dasar dalam perumusan teorinya. Motif konseptual yang dimaksud

adalah sebuah rekonsiliasi kembali atas defisit yang ada pada filsafat modern.

Michael Pusey menambahkan bahwa tujuan proyek filosofis Habermas memang

ditujukan untuk meyakinkan kita guna mengakses kembali proyek filsafat modern

yang belum tuntas. Sedangkan intuisi fundamental yang dimaksud oleh Habermas

adalah konsep intersubjektivitas yang digunakannya sebagai dasar legitimasi

dalam teorinya. Berikut ini adalah kutipan tanggapan Habermas terkait

pertanyaan: In what kind of prospect is it (Habermas’s theory) grounded?

sebagaimana dikemukakan oleh Michael Pusey dalam bukunya Key Sociologists:

Jürgen Habermas .

Page 73: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

59

“I have a conceptual motive and a fundamental intuition….

The motive-forming thought is the reconciliation of the decayed

parts of modernity, the idea that without surrendering the

differentiation that modernity has made possible in the social and

economic spheres, one can find forms for living together in which

real autonomy and dependency can appear in a satisfactory

relation, that one can move erect in a collectivity that does not

have the dubious quality of backward-oriented forms of

community…. The intuition springs from…experiences of

undisturbed intersubjectivity. These are more fragile than anything

that the history of communication structures has until now set into

motion—a web of intersubjective relations that nevertheless make

possible a relation between freedom and dependency that one can

always only imagine with interactive models…. These…ideas are

always of successful interaction, of reciprocity and distance, of

separation and manageable yet not failed nearness, of

vulnerability and complementary caution.”98

Pertanyaan kritis lain yang kiranya dapat ditujukan terhadap pemikiran

Habermas adalah Apakah manfaat yang ditawarkan oleh teori-teori Habermas?

Habermas, sebagaimana diungkapkan oleh Michael Pusey, mengungkapkan

bahwa realitas sosial dewasa ini diwarnai oleh berbagai kemajemukan (pluralitas)

orientasi nilai-nilai. Maka, diskursus rasional dapat muncul sebagai medium

dalam mewujudkan masyarakat yang berciri kolektif dan tidak bias dalam

berbagai bentuk relativitas.

98

Ibid.

Page 74: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

BAB IV

Page 75: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

60

BAB IV

RELEVANSI TEORI DISKURSUS

Pada bagian ini penulis akan merelevansikan teori diskursus ke dalam

dinamika kehidupan demokrasi di Indonesia. Pemaparan pada bab ini akan dibagi

menjadi tiga bagian. Pertama, penulis akan memaparkan konsep ruang publik

sebagai aplikasi teori diskursus dalam ranah kehidupan politik praksis (4.1.).

Kedua, penulis akan merelevansikan teori diskursus dalam dinamika demokrasi di

Indonesia (4.2.). Ketiga, penulis akan memaparkan prasyarat-prasyarat yang harus

dipenuhi dalam melakukan diskursus dalam dinamika demokrasi di Indonesia

(4.3.).

4.1. DISKURSUS DAN RUANG PUBLIK

Dalam proyek filsafatnya, Habermas berusaha mengaplikasikan teori-

teorinya ke dalam praktek politik praksis.99

Dalam usahanya mengaplikasikan

teori diskursus ke dalam politik praktis, Habermas memperkenalkan sebuah

konsep baru yang bernama ruang publik (public sphere). Habermas, dalam

karyanya The Structural Transformation of The Public Sphere, mengungkapkan

definisi ruang publik sebagai berikut: “The public sphere as a functional

element in the political realm was given the normative status of an organ for

the self-articulation of civil society with a state authority corresponding to its

99

Sebagaimana telah disinggung pada bab dua, pemikiran-pemikiran Mazhab Frankfurt berusaha

mengaitkan antara teori dan praksis. Mereka memperoleh inspirasi ini dari Karl Marx yang

berusaha mengelaborasi pemikiran Hegel yang terlampau abstrak menjadi sebuah teori yang

memiliki dimensi praksis emansipatoris. K. BERTENS, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-

Jerman, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 20024, 202-203.

Page 76: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

61

needs.”100

Mengacu pada definisi ruang publik di atas, ruang publik merupakan

wadah sosialitas yang bersifat informal yang terletak diantara masyarakat sipil dan

negara atau pemerintah. Dengan kata lain, ruang publik dapat diartikan sebagai

ruang bertemunya antara masyarakat dengan pemerintah terkait dengan hal-hal

yang menyangkut kehidupan publik. Ruang publik merupakan sebuah ruang yang

memiliki dimensi transendental sekaligus praksis. Ruang publik merupakan

tempat berlangsungnya sebuah diskursus yang rasional. Dalam ruang publik,

setiap orang dapat menyampaikan argumentasi-argumentasinya yang relevan pada

saat itu dan terlebih lagi segala klaim kesahihan dapat dipersoalkan kembali oleh

seluruh partisian diskursus guna mencapai unsur validitas sebuah norma.

Bentuk komunikasi semacam ini, dengan terus-menerus mempersoalkan

klaim kesahihan norma-norma yang kontroversial, akan membawa kita pada

sebuah bentuk komunikasi yang lebih cerdas. Prinsip ini jika berjalan dengan

baik, maka tentunya akan menjadi sebuah modal yang sangat berharga dalam

sebuah praktek demokrasi. Sebab dalam demokrasi yang sehat, setiap

pengambilan kebijakan yang terkait dengan kehidupan publik harus benar-benar

dapat merepresentasikan kehendak rakyat.101

Dengan demikian, semangat dan

atmosfer demokrasi dapat senantiasa terjaga dengan baik.

100

JÜRGEN HABERMAS, The Structural Transformation of The Public Sphere, (judul asli:

Strukturwandel der Offentlicheit), diterjemahkan oleh Thomas Burger, The MIT press,

Massachusett 1991, 74. 101

Habermas, sebagaimana diungkapkan oleh James Gordon Finlayson, mengungkapkan bahwa

sebuah negara demokrasi yang sehat akan cenderung menghasilkan hukum dan kebijakan-

kebijakan publik secara diskursif dengan mempertimbangkan opini publik. Jika hal-hal tersebut

dipenuhi, maka dapat dikatakan bahwa produk hukum dan kebijakan-kebijakan politis yang

diambil telah memenuhi aspek rasional dan legitim dalam prosesnya. JAMES GORDON FINLAYSON,

Habermas: A Very Short Introduction, Oxford University Press, New York 2005, 108-109.

Page 77: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

62

Ruang publik berfungsi untuk memeriksa legitimasi kekuasaan pemerintah

yang tidak representatif dan tertutup. Jalan yang ditempuh adalah dengan

memeriksa apakah hukum beserta kebijakannya memihak kepentingan umum

secara efektif atau tidak. Ruang publik merupakan wadah sosialitas informal yang

terletak di antara masyarakat sipil dan negara atau pemerintah. Dalam kaitannya

dengan teori diskursus, ruang publik adalah ruang di mana subyek berpartisipasi

secara setara dalam diskusi rasional untuk mengejar kebenaran dan kebaikan

bersama.102

4.2. RELEVANSI TEORI DISKURSUS DALAM DINAMIKA DEMOKRASI INDONESIA

Pada bagian ini penulis akan merelevansikan teori diskursus ke dalam

praktek demokrasi di Indonesia. Menurut hemat penulis, praktek diskursus

sebenarnya telah melekat dalam falsafah kehidupan bangsa Indonesia. Diskursus

tak lain merupakan sebuah bentuk musyawarah atau dialog yang ditujukan untuk

mencapai sebuah kesepakatan bersama. Dalam bahasa Habermas tujuan diskursus

adalah mencapai sebuah konsensus berdasarkan argumentasi terbaik. Dalam

perspektif bangsa Indonesia, diskursus merupakan sebuah bentuk musyawarah

yang ditujukan untuk mencapai sebuah permufakatan bersama. Keduanya, antara

diskursus dan musyawarah mufakat, merupakan dua buah konsep yang identik

antara satu sama lain.

Jika melihat realita kehidupan bangsa Indonesia saat ini, penulis melihat

adanya ketidaksesuaian antara praktek nyata kehidupan politis dengan prinsip

102

ANDREW EDGAR, Habermas: The Key Concepts, Routledge, New York 2006, 124.

Page 78: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

63

musyawarah mufakat yang dimiliki. Dalam era reformasi sekarang ini, dimana

pintu kebebasan bersuara bagi rakyat telah terbuka, masih sangat tampak bahwa

penerapan prinsip musyarwarah mufakat masih problematis dan bahkan

cenderung terabaikan. Hal tersebut dapat kita cermati dari sejumlah kebijakan

yang dibuat, baik oleh lembaga eksekutif maupun legislatif, tidak didasarkan pada

konsensus rasional yang melibatkan partisipasi aktif publik di dalamnya. Sebagai

dampaknya, kita dapat mencermati adanya kebijakan-kebijakan maupun norma-

norma yang sangat tidak berpihak pada kepentingan publik.

Dalam sebuah negara demokrasi, setiap pengambilan kebijakan yang

terkait dengan publik haruslah senantiasa memperhatikan segala aspirasi, opini,

dan kehendak publik itu sendiri.103

Dengan kata lain, kepentingan publik harus

menjadi pertimbangan utama dalam setiap pengambilan kebijakan politik.104

Dalam sebuah negara demokrasi, jika pengambilan kebijakan politiknya tidak

mempertimbangkan kepentingan publik, maka hal tersebut mengindikasikan

adanya suatu penyimpangan dari prinsip demokrasi itu sendiri. Penyimpangan

tersebut biasanya akan diwarnai dengan terjadinya praktek-praktek korupsi,

kolusi, dan nepotisme (KKN) di setiap elemen-elemennya.

103

Kebijakan publik adalah keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang bersifat

strategis atau garis besar yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian

sumber daya publik (alam, finansial dan manusia) demi kepentingan rakyat banyak,

penduduk masyarakat atau warga negara. HABIBULLAH, S.Sos, M.Kesos, dalam telaah atas

bedah buku Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia Menggagas Model

Perlindungan Sosial Universal Bidang Kesehatan Karya Edi Suharto, Penerbit Alfabeta 2009

di Puslitbang Kesos pada tanggal 1 November 2011. 104

“Arti mendasar dari istilah ‘politik’ adalah (‘pengaturan hubungan antara pemerintah dan

warganya demi tercapainya kesejahteraan masyarakat’)….” FRANZ DAHLER dan EKA BUDIANTA,

Pijar Peradaban Manusia, Kanisius, Yogyakarta 20045, 182.

Page 79: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

64

Sebagaimana telah kita ketahui bersama, Indonesia merupakan negara

dengan tingkat KKN yang cukup tinggi. Cukup banyak pejabat yang tertangkap

basah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena telah ketahuan

menggelapkan uang negara untuk kepentingan pribadi semata. Hal tersebut tentu

mengindikasikan bahwa para pejabat tersebut tidak memperhatikan kepentingan

rakyat dalam pengambilan kebijakan-kebijakan politisnya. Jika para wakil rakyat

tidak lagi memperhatikan kepentingan rakyat, maka justru peran publik sangat

dibutuhkan sebagai alat kontrol sosial. Plato105

, sebagaimana dikutip oleh Franz

Dahler106

, mengungkapkan bahwa (‘politik adalah keterlibatan untuk kepentingan

umum’).107

Keterlibatan atau partisipasi aktif publik dalam negara demokrasi

modern merupakan sebuah hal yang sangat penting. Habermas, dalam bukunya

The Structural Transformation of The Public Sphere, mengungkapkan perihal

tersebut sebagai berikut:

In the political struggle against a strong royal

government, the participation of representatives of the people as

the essential characteristic of the law had to be increasingly

emphasized and ultimately had to become decisive. If the

participation of the people's representatives is politically a

preeminent feature of the law, this explains . . . the obverse:

whatever comes about with the participation of the people's

105

Plato (427/428-347) adalah seorang filsuf Yunani. Ia adalah murid Sokrates yang terpenting. Ia

menulis banyak karya, di antaranya yang berkaitan dengan hukum adalah pandangannya

tentang Negara, “kritias” (Negara yang ideal), ada dialog tentang “republik, “kriton”

(kewajiban penduduk), dan juga tentang Undang-Undang. Ajaran-ajarannya dapat dilihat

dalam bidang dialektika, fisika, dan etika. HYRONIMUS RHITI, Filsafat Hukum: dari klasik

sampai postmodernisme, Penerbit Universitas Atma Jaya, Yogyakarta 2011, 105. 106

Franz Dahler, asal Appensell, Swiss, pernah menjadi seorang dosen filsafat di Magelang,

Semarang, Jakarta (antara lain di Universitas Indonesia) sejak 1961 hingga 1979. Kemudian

menjadi redaktur majalah Wendekreis dan ketua organisasi intercultural Interteam di Swiss,

dan masih terus berkomunikasi dengan Indonesia dan dunia Islam. FRANZ DAHLER dan EKA

BUDIANTA, Op.Cit. 107

Ibid., 182.

Page 80: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

65

representatives, is law. The rule of the law then means

participation or ultimately rule of the people's representative.108

Ketika kita melihat realita sosial dan politik Indonesia saat ini, wajar jika

kita menilai bahwa negara ini belum dapat menjalankan sistem demokrasi yang

sehat.109

Terkait dengan penetapan kebijakan publik, para pejabat yang duduk di

kursi pemerintahan “menutup telinganya rapat-rapat” terhadap segala kehendak

atau aspirasi rakyatnya. Terlebih lagi, hanya suara-suara dari pemilik modal yang

kiranya menjadi pertimbangan utama. Hal itu disebabkan para pemilik modal

memiliki kekuasaan (power) dalam bentuk uang yang dapat digunakan untuk

mengintervensi setiap kebijakan publik yang akan diambil oleh pemerintah.110

Jika kebijakan atau norma yang menyangkut kehidupan publik tidak didasarkan

pada kepentingan publik, melainkan hanya ditujukan untuk kepentingan pihak-

pihak tertentu, maka konsensus yang dihasikannya bukanlah sebuah konsensus

108

JÜRGEN HABERMAS, Op.Cit., 81. 109

Sebuah sistem demokrasi dikatakan sehat jika memenuhi kriteria-kriteria demokrasi sebagai

berikut:

1. Pemerintah dan/atau dewan perwakilan rakyat dipilih secara bebas oleh rakyat.

2. Tidak ada intimidasi oleh pihak penguasa atau golongan terkuat.

3. Ada pemisahan antara kekuasaan legislatif (parlemen), eksekutif (pemerintah), dan

yudikatif (pengadilan). Pengadilan dan parlemen berdaulat terhadap pemerintah.

4. Kemajemukan masyarakat diakui; mayoritas tidak boleh menekan, menindas minoritas

golongan, suku, agama. Itu lebih terjamin oleh struktur negara yang memberikan

kedaulatan kepada daerah-provinsi tertentu.

5. Kebebasan mendirikan serikat-serikat yang bersifat keagamaan, sosial-budaya, perkerjaan,

dan lain-lain.

6. Kebebasan media massa penting untuk kontrol sosial terhadap penyalahgunaan kekuasaan.

7. Ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dan golongan di satu pihak, dan

kepentingan umum di lain pihak. FRANZ DAHLER dan EKA BUDIANTA, Op.Cit., 238. 110

Hal ini erat kaitannya dengan apa yang dimaksud oleh Habermas sebagai ruang publik

borjuis. Dalam karyanya yang berjudul The Structural Transformation of The Public Sphere,

Habermas menunjukkan adanya penurunan secara bertahap dan adanya fenomena disintegrasi

dalam masyarakat sejak abad ke-18. Habermas mengungkapkan bahwa pada masa itu ruang

publik dikuasai oleh kekuatan-kekuatan feodal seperti kaum gereja, kerajaan, dan golongan

bangsawan. Kehendak publik tidak direpresentasikan karena kaum-kaum tersebut cenderung

mengutamakan kepentingan pribadi dan golongannya masing-masing. PAULINE JOHNSON,

Habermas: Rescuing The Pbulic Sphere, Routledge, New York 2006, 21.

Page 81: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

66

yang rasional dan legitim. Dalam perspektif pemikiran Habermas, tindakan

semacam itu bukanlah sebuah tindakan komunikatif melainkan justru mengarah

pada tindakan strategis.111

Dari pemaparan diatas tampak jelas bahwa ketika produk hukum hanya

dihasilkan melalui keputusan sepihak tanpa melibatkan masyarakat, hal ini pada

akhirnya akan membawa demokrasi ke titik nadirnya. Terlebih lagi, musyawarah

sebagai salah satu identitas kearifan lokal masyarakat Indonesia telah

dikesampingkan dan seolah-olah tidak berarti lagi. Bagaimanakah solusi yang

ditawarkan oleh Habermas atas permasalahan tersebut? Menurut Habermas,

produk-produk legal formal yang menyangkut kehidupan publik harus melewati

sebuah proses pengujian diskursif. Produk-produk legal formal yang dihasilkan

secara sepihak tanpa melibatkan masyarakat tidak memiliki dasar legitimasi yang

kuat karena dalam prosesnya mengabaikan prinsip-prinsip pengujian diskursif.

Pada praktiknya, produk-produk hukum semacam itu biasanya tidak berpihak

pada kepentingan publik.

Secara lebih konkrit, proses pengujian diskursif dapat diaplikasikan ke

dalam sebuah bentuk mekanisme uji publik terhadap kebijakan atau norma yang

ditetapkan, baik oleh lembaga eksekutif maupun legislatif. Sebagai contoh,

penetapan peraturan tentang out sourcing dalam bidang ketenagakerjaan. Menurut

hemat penulis, penetapan peraturan tentang out sourcing cenderung merugikan

pekerja. Penerapan peraturan tersebut berdampak pada hilangnya hak-hak yang

seharusnya didapatkan oleh pekerja di tempat kerjanya. Hak-hak pekerja, yang

111

Penjelasan mengenai tindakan komunikatif dan tindakan strategis dapat dilihat pada bab 2.

Page 82: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

67

seharusnya diberikan oleh pihak tempat kerjanya, dilimpahkan kepada pihak

pengelola out sourcing yang pada praktiknya juga cenderung tidak memenuhi

standar-standar ketenagakerjaan. Menurut hemat penulis, permasalahan ini belum

mendapatkan perhatian (monitoring) yang serius dari pemerintah.

Sumbangan diskursus Jürgen Habermas kiranya dapat menjadi sebuah

jalan keluar yang efektif terkait permasalahan di atas. Sejalan dengan prinsip

diskursus, segala kebijakan atau peraturan yang menyangkut kehidupan publik

harus diambil melalui sebuah proses pengujian diskursif yang melibatkan pihak-

pihak yang terkait dengan kebijakan atau norma yang akan ditetapkan. Hal ini

bertujuan agar konsensus yang dicapai memiliki dasar legitimasi yang kuat. Selain

itu, guna menghindari pengambilan keputusan yang tendensius (cenderung

menguntungkan pihak tertentu).

Dalam proses penerapannya, pihak birokrasi harus mau duduk bersama

dengan masyarakat (dalam hal ini pekerja) untuk berkomunikasi dalam

perumusan kebijakan tersebut. Jika semua pihak duduk bersama dan

menghasilkan konsensus secara bersama, maka pelaksanaan keputusannyapun

akan mengikat seluruh peserta diskursus tersebut. Konsensus yang tercapai dalam

situasi semacam itu memiliki dasar legitimasi yang kuat. Hal tersebut sejalan

dengan prinsip universalitas (U) etika diskurus:

“Setiap norma yang sahih harus memenuhi prasyarat

bahwa efek-efek dan efek-efek samping yang barangkali terjadi

karena kepatuhan umum untuk pemenuhan kepentingan setiap

individu dapat diterima tanpa paksaan oleh semua orang

yang bersangkutan dengan norma itu.”112

112

F. BUDI HARDIMAN, Op.Cit., 24.

Page 83: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

68

Kearifan lokal bermusyawarah yang melekat dalam kultur Indonesia

sebenarnya merupakan modal yang sangat berharga dalam menjalankan tipe

diskursus semacam ini. Konsep musyawarah untuk mencapai mufakat sangat

identik dengan konsep diskursus yang bertujuan untuk mencapai konsensus

(persetujuan) secara bersama-sama. Melalui musyawarah mufakat, setiap

kebijakan dan norma yang menyangkut kehidupan publik dihasilkan melalui

sebuah proses yang valid sehingga konsensus yang dihasilkan juga memiliki dasar

legitimasi yang kuat. Mekanisme tersebut juga dapat menghindari terciptanya

peluang-peluang yang mengarah pada tindakan strategis.

4.3. PENERAPAN DISKURSUS DALAM DEMOKRASI DI INDONESIA

Menurut hemat penulis, pelaksanaan diskursus tidak dapat terlaksana

dengan baik jika tidak didukung dengan adanya infrastruktur-infrastruktur yang

memadai. Dengan kata lain, proses pelaksanaan diskursus membutuhkan

prasyarat-prasyarat penunjang agar diskursus dapat berjalan dengan baik. Salah

satu faktor penunjang yang dimaksud oleh penulis adalah pembaharuan

kelembagaan, baik secara normatif maupun empiris, untuk menjamin praktek

komunikasi bisa berjalan dengan efektif. Sebab jika melihat praktek-praktek yang

dilakukan oleh lembaga-lembaga yang ada di Indonesia sekarang, penulis melihat

adanya tendensi yang bermotif tindakan strategis yang mewarnai seluruh aspek

dinamikanya.

Page 84: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

69

Selain itu, prinsip musyawarah mufakat harus diwujudkan ke dalam

sebuah rumusan konkret yang memiliki kekuatan hukum positif.113

Keterlibatan

aktif publik harus dijamin dan diaplikasikan secara konkrit sehingga pengambilan

kebijakan publik dapat dikontrol langsung oleh masyarakat. Dengan kata lain,

perlu adanya sebuah undang-undang yang berisi tentang konsensus publik.

Keberadaan undang-undang tersebut akan menjamin bahwa setiap pengambilan

kebijakan apapun yang terkait kehidupan publik harus senantiasa

mengikutsertakan setiap pihak-pihak yang terkait dengannya. Melalui mekanisme

semacam itu, terciptalah sebuah ruang publik yang dapat menjadi media kontrol

sosial yang konkrit dari masyarakat terhadap pemerintah. Dengan demikian,

atmosfer demokrasi yang sehat dapat tercipta melalui sebuah tatanan demokrasi

yang baik.

Prasyarat mendasar lain yang sangat penting dalam menciptakan sebuah

atmosfer demokrasi yang sehat adalah peningkatan aspek pendidikan warga

masyarakat. Tujuan diskursus adalah pencapaian sebuah konsensus yang

didasarkan pada kekuatan argumentasi terbaik. Pribadi yang mampu

berargumentasi dengan baik adalah pribadi yang memiliki perspektif yang luas.

Praktik diskursus sendiri mengandaikan sebuah kondisi masyarakat yang

mengedepankan budaya komunikatif daripada budaya kekerasan. Dengan

demikian, tindakan komunikatif menjadi prinsip dasar dalam setiap pemecahan

masalah (problem solving).

113

Hukum positif (ius contitutum) adalah keseluruhan peraturan perundang-undangan yang secara

resmi dibuat oleh badan atau lembaga yang berwenang untuk itu dan peraturan perundang-

undangan itu saat ini masih sedang berlaku. HYRONIMUS RHITI, Op.Cit., 365.

Page 85: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

70

Demikianlah usaha penulis dalam memperkenalkan gagasan-gagasan

Habermas dan Mazhab Frankfurt. Pada bagian selanjutnya, yaitu bagian terakhir

karya tulis ini, penulis akan menyimpulkan seluruh proses pemaparan mengenai

pemikiran-pemikiran Habermas yang telah disusun dari bab awal hingga bab ini.

Page 86: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

BAB V

Page 87: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

71

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Pemikiran-pemikiran Habermas merupakan sebuah ide pembaharuan atas

kebuntuan berpikir yang dialami oleh para pendahulunya dalam Mazhab

Frankfurt. Para tokoh Mazhab Frankfurt generasi pertama terjebak dalam

perangkap filsafat kesadaran yang ditandai dengan klaim monologis terhadap

objek kritiknya. Dalam upaya mencari sebuah solusi yang dihadapi oleh para

pendahulunya, Habermas menawarkan sebuah paradigma baru dalam memandang

epistemologi subjektivitas, yaitu paradigma teori komunikasi. Dalam paradigma

teori komunikatif, subjektivitas tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang terisolasi

dalam dirinya sendiri melainkan subjektivitas lebih dipahami sebagai hasil dari

proses komunikasi intersubjektif.

Teori tindakan komunikatif merupakan sebuah teori yang menjadi

landasan bagi teori diskursus. Jika dalam tindakan komunikatif para peserta

diskursus tidak mempermasalahkan klaim-klaim validitas yang berasal dari dunia-

kehidupan, dalam diskursus klaim-klaim kesahihan dipersoalkan kembali. Teori

diskursus merupakan sebuah teori yang dikembangkan dari teori tindakan

komunikatif namun dengan menggunakan sarana lain yaitu argumentasi. Menurut

Habermas, teori diskursus tidak menawarkan suatu ide substantif apapun namun

hanya menekankan sebuah prosedur untuk mencapai kesahihan sebuah norma. Ide

Page 88: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

72

dasar dari teori diskursus mengacu pada proses legitimasi penetapan norma-norma

melalui sebuah mekanisme/prosedur pengujian secara diskursif yang menekankan

prinsip intersubjektivitas.

Terdapat tiga unsur penting dalam teori diskursus. Ketiga hal tersebut

harus dipenuhi untuk mencapai validitas norma-norma moral. Ketiga unsur

tersebut, yaitu:

1) Norma harus disepakati dalam diskursus publik.

2) Diskursus memenuhi syarat-syarat kondisi ideal.

3) Kesepakatan didukung oleh argumentasi rasional yang

mengekspresikan kepentingan universal. (Prinsip etika diskursus [“D”]

dan prinsip universalisme [“U”]).

Konsep ruang publik merupakan sebuah konsep yang dikembangkan oleh

Habermas guna mengaplikasikan teori diskursus ke dalam politik praksis. Ruang

publik merupakan wadah sosialitas informal yang terletak di antara masyarakat

sipil dan negara atau pemerintah. Dalam kaitannya dengan teori diskursus, ruang

publik adalah ruang di mana subyek berpartisipasi secara setara dalam diskusi

rasional untuk mengejar kebenaran dan kebaikan bersama

Permasalahan dalam negara demokrasi modern yang dicermati oleh

Habermas adalah penetapan norma-norma yang bernada kontroversial dan

kebijakan-kebijakan yang hanya ditujukan untuk kepentingan pihak tertentu.

Terlebih lagi dalam penetapan norma dan kebijakan tersebut, pihak-pihak yang

terkait tidak diikutsertakan dalam diskursus. Bagi Habermas, norma-norma dan

Page 89: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

73

kebijakan-kebijakan yang dihasilkan melalui proses semacam itu tidak dapat

dinilai legitim karena terdapat defisit dalam proses legitimasinya.

Hal yang ingin ditawarkan Habermas melalui teori diskursus adalah

pencapaian sebuah konsensus rasional tentang produk-produk legal formal

melalui sebuah proses pengujian intersubjektif. Konsensus yang dihasilkan secara

bersama-sama dalam diskursus rasional akan mengikat seluruh peserta.

Konsensus tersebut juga memiliki legitimasi yang kuat karena prosesnya

melibatkan banyak pihak, didasarkan pada kekuatan argumentasi terbaik, dan

dihasilkan melalui proses pengujian diskursif.

Dalam konteks demokrasi di Indonesia, diskursus identik dengan kearifan

lokal yang telah dimiliki bangsa Indonesia, yaitu musyawarah mufakat. Namun

praktek musyawarah mufakat sendiri belum diterapkan dengan baik dalam

dinamika kehidupan real politik di Indonesia. Hal itu disebabkan pengambilan

kebijakan-kebijakan terkait kehidupan publik tidak dilalui dalam sebuah proses

diskursus yang melibatkan pihak-pihak terkait. Terlebih lagi, “dinding-dinding

parlemen” sengaja dibuat kedap suara terhadap kepentingan rakyat. Malah tak

jarang, norma-norma dan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan cenderung

tendensius bagi golongan-golongan tertentu, terutama golongan pemilik modal.

Dalam situasi demokrasi semacam ini, teori diskursus dapat memberikan sebuah

solusi melalui mekanisme atau prosedur penetapan norma secara intersubjektif.

Dengan demikian, teori diskursus juga dapat digunakan sebagai media kontrol

sosial masyarakat terhadap pemerintah.

Page 90: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

74

5.2 SARAN

Setelah mempelajari pemikiran-pemikiran Habermas secara seksama,

penulis hendak mengajukan beberapa hal yang menjadi saran, yaitu:

1. Penetapan produk-produk legal formal dalam negara demokrasi

hendaknya dicapai melalui sebuah mekanisme pengujian diskursif

yang melibatkan pihak-pihak terkait. Dengan demikian, konsensus

yang dihasilkan memiliki unsur legitimasi yang kuat karena konsensus

yang dihasilkan bertumpu pada kekuatan argumentasi terbaik dan

dilakukan secara intersubjektif.

2. Pendidikan politik bagi warga negara harus lebih ditingkatkan. Secara

khusus makna politik harus “dijernihkan” dari stigma-stigma negatif,

contohnya bahwa politik itu kotor, kejam, dll. Hal ini dimaksudkan

agar setiap orang lebih menyadari bahwa arti politik yang sebenarnya

merupakan keterlibatan aktif warga masyarakat dalam usaha

membangun kesejahteraan bersama. Terlebih lagi, diskursus

sebagaimana dimaksudkan Habermas, bertumpu pada kekuatan

argumentasi terbaik. Hal itu akan sulit tercapai jika mayoritas

masyarakat masih sulit merasakan akses pendidikan.

3. Karya tulis ini dapat dilanjutkan oleh pembaca dengan tema dan cara

pandang yang baru, khususnya terkait tema penjajahan sistem atas

dunia kehidupan. Tema tersebut sangat cocok untuk menganalisis

demokrasi yang terjadi di Indonesia dimana sistem birokrasi dikuasai

Page 91: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

75

oleh hubungan-hubungan kapitalistis yang tidak lagi memberi ruang

bagi praksis-praksis komunikatif dunia-kehidupan.

4. Karya tulis ini dapat digunakan oleh para akademisi dan ilmuwan

sebagai salah satu referensi yang berkaitan dengan tema-tema

komunikasi dan untuk mengenal serta mendalami pemikiran-pemikiran

Jürgen Habermas.

Page 92: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

DAFTAR PUSTAKA

Page 93: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

76

DAFTAR PUSTAKA

SUMBER PRIMER:

HABERMAS, JÜRGEN, Between fact and norm, diterjemahkan oleh William Rehg,

The MIT press, New Baskerville 19962.

HABERMAS, JÜRGEN, Moral Consciousness and Communicative Action,

diterjemahkan oleh Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen,

Polity press, Cambridge 20074.

HABERMAS, JÜRGEN, The Structural Transformation of The Public Sphere,

diterjemahkan oleh Thomas Burger, The MIT press, Massachusett 1991.

HABERMAS, JÜRGEN, The Theory of Communicative Action Vol. 1 Reason and

The Rationalization of Society, diterjemahkan oleh Thomas McCarthy,

Beacon press, Massachusetts 1984.

SUMBER SEKUNDER:

BERTENS, K., Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman, PT Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta 20024.

EDGAR, ANDREW, Habermas: The Key Concepts, Routledge, New York 2006.

FINLAYSON, JAMES GORDON, Habermas: A Very Short Introduction, Oxford

University press, New York 2005.

GUNNARSSON, LOGI, Making Moral Sense: Beyond Habermas and Gauthier,

Cambridge University Press, New York 2000.

HARDIMAN, F. BUDI, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan,

Kanisius, Yogyakarta 1990.

HARDIMAN, F. BUDI, Teori Diskursus dan Demokrasi: Peralihan Habermas ke

dalam Filsafat Politik, dalam: Diskursus: Jurnal Filsafat dan Teologi,

Vol 7, No. 1, April 2008.

IRFAAN, SANTOSA, Jürgen Habermas: Problem Dialektika Ilmu Sosial, dalam:

Jurnal Dakwah dan Komunikasi, STAIN Purwokerto, Vol 3, No. 1,

Januari-Juni 2009.

Page 94: KAJIAN FILOSOFIS ATAS TEORI DISKURSUS  JÜRGEN HABERMAS

77

JOHNSON, PAULINE, Habermas: Rescuing The Pbulic Sphere, Routledge, New

York 2006.

MOON, J. DONALD, Practical Discourse and Communicative Ethics, in: The

Cambridge Companion to Habermas, Stephen K. White (ed.), Cambridge

University Press, New York 1995.

PUSEY, MICHAEL, Jürgen Habermas, in: Key Sociologists, Peter Hamilton (ed.),

Routledge, New York 20032.

SUMBER PENUNJANG LAINNYA:

BERTENS, K., Etika, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 201111

.

DAHLER, FRANZ dan EKA BUDIANTA, Pijar Peradaban Manusia, Kanisius,

Yogyakarta 20045.

FLYVBJERG, BENT, Paper for the Political Studies Association’s 50 th Annual

Conference, The Challenges for Democracy in the 21 st Century, London

School of Economics and Political Science, 10-13 April 2000.

HABIBULLAH, dalam telaah atas bedah buku Kemiskinan dan Perlindungan Sosial

di Indonesia Menggagas Model Perlindungan Sosial Universal Bidang

Kesehatan Karya Edi Suharto, Penerbit Alfabeta 2009, di Puslitbang

Kesos pada tanggal 1 November 2011.

HARDIMAN, F. BUDI, Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche, PT

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 20072.

RHITI, HYRONIMUS, Filsafat Hukum: dari klasik sampai postmodernisme,

Penerbit Universitas Atma Jaya, Yogyakarta 2011.

SUHENDI, HENDI, Kapita Selekta Filsafat, CV Pustaka Setia, Bandung 2010.

SUSENO, F. MAGNIS, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, Kanisius, Yogyakarta 2000.

SUSANTO, READY, 100 Tokoh Abad ke-20 Paling Berpengaruh, Penerbit Nuansa,

Bandung 2004.

WATTIMENA, REZA A. A., Filsafat dan Sains: Sebuah Pengantar, PT Grasindo,

Jakarta 2008.