4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

36
Diskursus Hubungan Sastra dan Sejarah Wildan Insan Fauzi, M.Pd Pertemuan empat

Upload: wildan-insan-fauzi

Post on 03-Jul-2015

3.589 views

Category:

Education


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Diskursus Hubungan Sastra dan Sejarah

Wildan Insan Fauzi, M.PdPertemuan empat

Page 2: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Sejarah sebagai Ilmu Ismaun (2002: 13) menguraikan tiga komponen pengertian atau

konsep tentang sejarah, yaitu: sejarah sebagai peristiwa, sejarah sebagai kisah, dan sejarah sebagai seni.

Sejarah sebagai peristiwa ialah kejadian, kenyataan, aktualitas, sejarah in concreto yang sebenarnya telah terjadi atau berlangsung pada waktu yang lampau (sejarah serba objek). RE GESTAE

Sejarah sebagai kisah adalah cerita berupa narasi yang disusun dari memori, kesan, atau tafsiran manusia terhadap kejadian atau peristiwa yang terjadi atau berlangsung pada waktu yang lampau (sejarah serba subjek). HISTORIA RERUM GESTARUM

Page 3: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Sejarah sebagai Ilmu Sejarah sebagai ilmu atau susunan

pengetahuan tentang peristiwa dan ceritera yang terjadi dalam masyarakat manusia pada masa lampau yang disusun secara sistematis dan metodologis berdasarkan asas-asas, prosedur, dan metode serta teknik ilmiah yang diakui oleh para pakar sejarah.

Page 4: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Sejarah sebagai Ilmu Metodologi penelitian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan Bury (Teggart, 1960: 56) secara tegas menyatakan “History is

science; no less, and no more”. Carr (1982: 30). yang menyatakan, bahwa “history is a

continous process of interaction between the historian and his facts, and unending dialogue between the present and the past”

Colingwood (1973: 9) yang menegaskan bahwa: “Every historian would agree, I think that history is a kind of research or inquiry”.

menurut Carr (Dalam Sjamsuddin, 2007: 23), sejrawan memperoleh fakta-fakta sejarah (historical fact) dari dokumenh, inskripsi, dan dari ilmu-ilmu Bantu sejarah lainnya seperti arkeologi, sepgarfi, numismatic, dan kronologi.

Page 5: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Pengaruh Positivisme dalam Sejarah Menurut Kuntowijoyo (2000), setidaknya ada tiga pengandaian

dalam ilmu-ilmu sosial positivis. Pertama, prosedur-prosedur metodologis dari ilmu-ilmu alam

dapat langsung diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial. Kedua, hasil-hasil penelitian dapat dirumuskan dalam bentuk

hukum-hukum seperti dalam ilmu-ilmu alam. Ketiga, ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat teknis, yaitu

menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni, netral dan bebas nilai.

Dalam pengaruh filsafat positivisme abad 19, sejarah objektif dapat direkonstruksi melalui pengamatan empiris, pengukuran, dan deskripsi.

Page 6: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Pengaruh Positivisme dalam Sejarah Pengaruh kuat  aliran postivis ini merasuk pada

pikiran Hempel. Ia dalam teorinya yang dikenal dengan covering law

model (CLM), mengklaim, bahwa dalam mengeksplanasi suatu peristiwa berarti menunjukan suatu pernyataan yang dapat dideduksikan dari

(1) pernyataan-pernyataan tertentu tentang kondisi yang mendahuluinya atau yang terjadi secara bersamaan, dan

(2) hukum-hukum atau teori-teori universal tertentu dapat diuji secara emperik.  

Page 7: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Pengaruh Positivisme dalam Sejarah Salah satu tokoh pencentus aliran modern

dalam sejarah adalah Leopold von Ranke. Ranke (1795-1886) menulis A Critique of Modern Historical Writers.

Ranke dianggap sebagai penumbuh historiografi modern yang menganjurkan sejarawan menulis apa yang sebenarnya terjadi atau wie es eigentlich gewesen ist (Supardan, 2008), yang dikenal dengan sejarah kritis.

Page 8: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Sejarah sebagai Humaniora Keunikan manusia dan alam (menyadari

unsur individualitas dan pentingnya dia dalam kehidupan)

Pencarian manusia akan nilai-nilai Kesadaran sebagai masyaralat dalam sebuah

sistem Mengisi kebutuhan tradisional dan

mengingatkan kepada siswa bahwa dalam zaman mesinpun kita tetap MANUSIA

kreatifitas

Page 9: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Historia magistra Vitae Mengajarkan kemajuan unat manusia Semangat luhur dari jejak-jejak luhur

mas lalu Jalinan dan hubungan antara bangsa Ide-ide besar yang memancarkan

kemanusian Gudang pengalaman Identitas sosial

Page 10: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Sejarah sebagai Humaniora Retorika mendekatkan Sejarah dengan

sastra Sejarawan menggunakan imajinasi

bukan fantasi dalam merekonstruksi masa lalu

Page 11: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Sejarah dan Postmodern Hayden White dan Munslow (Sjamsuddin,

2007) sejarah adalah sebuah narasi yang dikuasai oleh

konvensi-konvensi estetika sastra daripada ke bidang pengetahuan

menyangkal bahwa suatu makna "lebih baik" atau ’"lebih benar" daripada makna lain.

Naratif-naratif sejarah adalah fiksi-fiksi verbal yang isinya diciptakan atau diimajinasikan sebanyak ditemukan sehingga dekat sastra ketimbang sains.

Konteks adalah keseluruhan, totalitas, atau latar belakang, atau masa lalu itu sendiri.

Konteks berfungsi membuat masa lalu masuk akal, berari, signifikan, dan berarti.

Page 12: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Sejarah dan Postmodern Sejarawan kesulitan menemukan konteks guna

mendapatkan fakta2 sejarah yang signifikan dan bermakna dan konteks tidak pernah secara pasti ditemukan

Konteks dikonstruksi untuk mengkontekstualkan fakta-fakta pada akhirnya harus diimajinasikan dan diciptakan

Semua interpretasi dari masa lalu benar-benar diciptakan (konteks) sebanyak yang ditemukan (fakta0

Karena ada unsur imajinasi dalam sejarah, maka tidak ada sejarah yang secra harfiah faktual (seluruhnya ditemukan) atau benar.

Karena tidak bisa menghindari kiasan, Kisah sejarah merupakan metafora dan metahistory, puisi sejarah

Page 13: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Hayden White Menurut White (Shuterland: 2008, 48) mengatakan bahwa

sejarah adalah sebuah narasi yang dikuasai oleh konvensi-konvensi estetika dan lebih dekat kepada sastra daripada ke ilmu pegetahuan.

White (Sjamsuddin, 2007), menjelaskan bahwa sejarah disebut metahistory karena sejarah tidak bisa menolak masuknya kiasan-kiasan dalam penulisan sejarah.

metahistory adalah karya-karya sejarah yang tujuannya bukan untuk membuat informasi baru tentang suatu objek tertentu tetapi menimbang informasi yang ada, mendiskusikan interpretasi-interpretasi yang sudah ada, dan kemungkinan mengomentari asumsi-asumsi yang telah membuat mungkin interpretasi-interpretasi itu.

Page 14: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Hayden White Oleh karena adanya kiasan-kiasan yang

merupakan unsur dari puisi maka sejarah juga disebut puisi sejarah.

Puisi sejarah menurut Carrad (Sjamsudiin, 2007: 347) adalah kajian tentang aturan-aturan, kode, prosedur yang beroperasi disarangkaian teks tertentu.

White menolak gagasan bahwa sejarawan atau wartawan dapat menulis tentang masa lalu atau masa kini seperti itu benar-benar terjadi.

Page 15: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Linguistic turn Linguistic turn menyatakan bahwa bahasa dalam

bentuk budaya dan intelektual merupakan media pertukaran bagi hubungan antar kekuatan dan konstitutor terakhir dari kebenaran dalam penulisan dan pemahaman masa lalu (Purwanto, 2006: 3).

Purwanto (2006:3-4) menjelaskan bahwa sejarah sebagai sebuah pengetahuan sangat tergantung pada wacana dan bentuk representasi antar teks pada konteks sosial dan institusional yang lebih luas di dalam atau melalui bahasa, karena realitas objek masa lalu telah berjarak dengan sejarah sebagai ilmu.

Page 16: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Linguistic turn Rekonstruksi sejarah adalah produk subjektif dari

sebuah proses pemahaman intelektual yang dilambangkan dalam simbol-simbol kebahasaan atau naratif dan dapat berubah dari waktu-ke waktu, dari satu tempat ketempat lain, atau dari satu orang ke orang lain.

Sementara itu pada waktu yang sama, sastra berhasil menampilkan citra dirinya sejajar dengan sejarah karena mampu menghadirkan situasi faktual dari masa lalu sebagai sebuah naratif melalui imajinatif kebahasaan (Purwanto, 2006:3-4).

Page 17: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Sastra dalam Sejarah, scientific? Sastra telah membuktikan dirinya sebagai

ilmu yang bukan hanya bicara persoalan kreativitas dan rentetan imajinasi, tetapi dapat pula berfungsi sebagai dokumen sejarah (Surur, 2008).

Zainuddin Fananie berpendapat, dengan keluarnya sastra dari kreativitas imajiner ke wilayah sejarah, maka sastra secara tidak langsung bisa diletakkan sebagai dokumen sejarah atau dokumen sosial yang kaya dengan visi dan tata nilai suatu masyarakat.

Page 18: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Pendapat Bambang Purwanto Purwanto mengungkapkan bahwa secara

umum sastra selalu dikaitkan dengan fiksi yang imaginatif,

sedangkan sejarah tidak dapat dipisahkan dari fakta untuk menemukan kebenaran masa lalu

sebagai sebuah realitas yang dibayangkan, sejarah dan sastra sering dianggap berada dalam tataran yang sama (Purwanto, 2006:2).

Page 19: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Kuntowijoyo (1995), sejarah itu berbeda dengan sastra dalam hal:

cara kerja, kebenaran, hasil keseluruhan, dan kesimpulan.

Sastra adalah pekerjaan imajinasi, kebenaran di tangan pengarang, dengan perkataan lain bersifat subjektif.

Sastra bisa berakhir dengan pertanyaan, sedang sejarah harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya.

Page 20: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Kuntowijoyo (1995), bahasa sejarah adalah bahasa yang sederhana dan

langsung, persis seperti dalam bahasa sastra modern.

Tidak ada bahasa yang berbunga-bunga. Tidak ada "rambutnya bak mayang mengurai", juga tidak "hutan itu selebat jenggot orang Arab" dan seterusnya.

Dalam sastra, teks dan maknanya menjadi otoritas pengarang sepenuhnya.

Berbeda dengan sejarah, data-data yang ditampilkan tidak dalam wilayah otoritas pengarang. Data-data sejarah bermula dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sejarawan.

Page 21: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Hobsbawm terdapat perbedaan mendasar antara fakta dan fiksi

serta antara pernyataan sejarah yang didasarkan bukti dan pernyataan literer yang tidak didasarkan pada bukti.

Untuk menjembatani persoalan fakta dan fiksi dalam merekonstruksi masa lalu, Hobsbawn merasa perlu untuk membedakan apa yang ada dengan apa yang tidak ada untuk menentukan ada tidaknya sejarah.

Representasi kenyataan masa lalu tidak hanya ditentukan oleh bahasa karena naratif yang merupakan produk dari bahasa hanya akan ada jika terdapat realitas dimasa lalu.

Page 22: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Iggers pendekatan linguistik pada pemahaman post-struktural lebih

cocok pada bagi kritik sastra daripada penulisan sejarah meskipun faktor kultural tetap penting digunakan dalam merekonstruksi masa lalu.

para sejarawan akan lebih setuju terhadap pendapat yang menyatakan bahwa linguistik membedakan struktur masyarakat dan perbedaan sosial menstrukturkan bahasa sebagai salah satu fakta dalam sejarah umat manusia daripada pendapat yang menyatakan bahwa realitas sejarah tidak pernah ada, dan yang ada hanya bahasa yang berbentuk naratif sebagai representasi masa lalu.

Sementara bagi Stone (Purwanto, 2006: 7), historisme baru merupakan ancaman bagi tradisi pengkajian sejarah yang konvensional karena mengesampingkan actual historical past dalam penulisan sejarah.

Page 23: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Sastra dalam positivisme Ilmu sejarah menurut historical establishment

saat ini adalah penulisan tentang masa lalu yang objektif, bersih dari kepentingan politik dan ditulis dengan kaidah ilmiah

berbeda dengan sastra yang menulis sejarah dengan penuh gairah dan emosi, sangat subjektif, bermuatan politik dan tidak terlalu peduli pada kaidah ilmiah (Farid, 2008: 81).

Page 24: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Imajinasi dalam Sejarah sejarah juga memerlukan imajinasi. Sejarawan yang meneliti

sejarah harus dapat membayangkan apa sebenarnya, apa yang sedang terjadi, dan apa yang terjadi setelah itu

Ketika sejarawan ingin mempelajari sebuah perlawanan gerilya di hutan, misalnya, ia harus mampu mengimajinasikan tentang hutan, sungai, malam hari, dan seterusnya.

Dalam sejarah, tugas utama sejarawan bukanlah menghafal fakta-fakta di luar kepala saja, akan tetapi yang lebih utama adalah merekonstruksi fakta-fakta sejarah.

Untuk itulah akurasi (ketepatan) dan objektivitas adalah dua hal yang harus dipenuhi dalam penulisan sejarah.

Page 25: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Pendapat Kompromi Cara pengungkapan sejarah yang terbilang apresiatif melalui

data-data empiris dan tulisan (narasi) tidak berbeda jauh dari pengungkapan karya sastra. Cuma yang dikhawatirkan jika sejarah terlalu dekat dengan seni maka sejarah akan kehilangan keakuratan dan keobjektivitasannya (Surur, 2008).

novel dijadikan sebagai sumber sejarah dalam sebuah karya historiografi, data yang digunakan pun biasanya tidak menyangkut soal detail mengenai keterangan tempat, waktu, atau kronologi peristiwa (5W+1H) melainkan digunakan untuk mendapatkan gambaran mengenai kesadaran zaman atau semangat zaman yang sedang tumbuh pada masa itu.

Page 26: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Pendapat Kompromi Sugito (2008) penting, bukan untuk

meneguhkan supremasi ilmu sejarah sebagai sumber paling otoritatif mengenai masa silam, tetapi justru untuk

(1) tidak sembrono memukul rata semua novel sejarah bisa dijadikan sebagai sumber sejarah atau dokumen sejarah;

(2) menempatkan novel sejarah pada proporsinya; dan(3) tidak memberi beban yang tidak semestinya pada novel sejarah.

Page 27: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Pendapat Kompromi Persinggungan antara sastra dan sejarah

memang tidak bisa dielak, karena memiliki medan yang sama,

Dalam kenyataannya sejarawan dan novelis berbeda dalam hal cara pandang tentang novel sejarah dan tujuannya, akan tetapi keduanya setuju bahwa dalam menulis novel sejarah tidak boleh mengaburkan dan memanipulasi fakta sejarah untuk membuat novelnya lebih menyenangkan dan laku terjual.

Page 28: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Pendapat Kompromi Menurut Kantor (dalam Hertz: 2008: 2),

novel sejarah itu dirasa sangat penting karena kesadaran tentang masa lalu dapat membantu pembaca umum untuk

1. menghadapi kebingungan dan ketakutan akan masa sekarang dan masa yang akan datang serta

2. pembaca akan mendapatkan pelajaran dari masa lalu mengenai rasa sedih, sakit, kekecewaan, kemenangan, dan mimpi.

Page 29: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Konsep Carr tentang Sastra dalam Sejarah fiction dan falsehood knowledge dan imagination Carr (1996: 75) mengungkapkan bahwa

menyamakan konsep fiction dan falsehood adalah keliru.

Falsehood berarti tidak benar, bohong atau secara secerhana berarti salah.

Page 30: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Konsep Carr tentang Sastra dalam Sejarah Sementara fiksi menurut Carr “can be more

or less true-to-life, life-like or plausible” yang berarti jika fiksi ini benar, hal tersebut berarti fiksi mampu melukiskan realitas yang “mungkin saja terjadi”, walaupun kita berpikir dan tahu bahwa mereka tidak demikian juga.

Fiksi bisa memberikan kebenaran dan secara tidak langsung menyampaikan kondisi manusia secara general dan melukiskan realitas manusia dan peristiwa (Carr, 1996: 75).

Page 31: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Konsep Carr tentang Sastra dalam Sejarah kriteria yang membedakan antara fiksi

dengan bukan fiksi bukan karena yang fiksi berisi sebagian besar pernyataan yang tidak benar.

Pernyataan yang dikemukakan pengarang fiksi bukan dimaksudkan untuk menjadi kebenaran, dan bukan untuk untuk diambil sebagai kebenaran, dan kenyataannya para pembaca tidak mengganggapnya juga sebagai sebuah kebenaran.

Page 32: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Konsep Carr tentang Sastra dalam Sejarah Jika karakter di dalam suatu roman menyerupai tokoh yang

nyata, dan bahkan dilukiskan orang tersebut melakukan berbagai hal seperti tokoh nyata lakukan, kita mungkin hanya mengatakan bahwa roman itu “berdasarkan pada kisah nyata” atau bahkan sesuatu cerita yang mengagumkan jika muncul banyak kemiripan dan persamaan waktu.

Mengenai hubungan sejarah dengan fiksi sejarah, Carr (1976:77) mengungkapkan bahwa disadari ataupun tidak disadari, sejarawan melakukan hal yang sama dengan novelis yaitu “imagining things as they might have been” dan berharap mampu merepresentasikan seperti sebenarnya keadaan dahulu.

Page 33: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Membedakan antara imajinasi dan pengetahuan? Carr (1976:77) menjelaskan bahwa kapasitas

imajinasi itu tergantung pada pengetahuan melalui hubungan yang otomatis. Menurutnya, pengetahuan adalah “representasi” dari pikiran yang merupakan refleksi yang pasif terhadap kenyataan yang secara sederhana registering and reporting what is there.

imajinasi diuraikan sebagai kapasitas untuk memimpikan atau mengkhayalkan melalui pikiran sehat, sesuatu yang tidak langsung hadir yang dengannya kita bisa membayangkan sesuatu dimana, mau jadi apa, atau hadir di suatu tempat sebagaimana sesuatu itu benar-benar nyata (Carr, 1976: 77).

Page 34: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Imajinasi dan Sejarah Fiksi adalah produk dari imajinasi dan

sejarahpun adalah produk dari imajinasi pula (Carr, 1976: 77).

Sejarawan menggunakan imajinasinya tentu saja dengan penilaian dan alasan bukan untuk menghasilkan fiksi tetapi mencoba menjelaskan realitas dan menghasilkan narasi tentang sesuatu yang benar-benar terjadi.

Page 35: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Imajinasi dan Sejarah imajinasi.digunakan juga dalam cerita

tentang karakter, peristiwa, aksi dan bahkan untuk melukiskan dunia yang tidak pernah ada sekalipun (Carr, 1976: 77).

Dengan demikian, baik itu pengetahuan maupun fiksi sama-sama memerlukan imajinasi.

Page 36: 4. diskursus hubungan sastra dan sejarah

Imajinasi dan Sejarah Nugiyantoro (Kalsum, 2000) mengungkapkan bahwa

fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan, dengan sesama, dengan dirinya sendiri, serta dengan Tuhan.

Fiksi merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Dengan demikian, walau berupa khayalan, tidak benar jika fiksi dianggap sebagai hasil kerja lamunan belaka.

Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa untuk “menyajikan kehidupan” yang sebagian besar merupakan kenyataan sosial.