filsafat sebagai diskursus: sebuah refleksi …
TRANSCRIPT
1
Universitas Indonesia
FILSAFAT SEBAGAI DISKURSUS: SEBUAH REFLEKSI LACLAUIAN
Dipa Ena dan Rocky Gerung
Program Studi Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia,
Depok, 16424, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Skripsi ini mencoba menganalisa problem filsafat dimasa kontemporer sekarang ini dan mencoba menerapkan
model diskursus Laclauian sebagai sebuah system persaingan Filsafat Pertama.
KataKunci: Problem Filsafat, Laclau, Diskursus, FilsafatPertama.
Philosophy as Discourse: A Laclauian Reflection
Abstract
This essay is trying to analyze the contemporary problem of philosophy and trying to apply Laclauian discourse
to that problem as a competition system of First Philosophy.
Key words: The Problem of Philosophy, Laclau, Discourse, First Philosophy.
Pendahuluan
Dalam periode kontemporer sekarang ini, filsafat mendapat kritik baik dari luar maupun
dari dalam tubuh ilmu ini sendiri.Hal ini berujung pada sikap skeptis dari berbagai kalangan
akadaemisi, bahkan banyak pemikir dalam maupun luar filsafat yang berpendapat filsafat
telah mati.
Bermula dari periode pencerahan, filsafat dinilai tidak lagi mampu menyediakan
penyelidikan memadai atas realitas, terutama alam. Pandangan ini memotivasi revolusi
saintifik sehingga ilmu-ilmu natural memisahkan diri dari filsafat. Dilanjutkan pada abad ke
sembilan belas saat ilmu sosial, yang mengadopsi cara pikir dan metode sains, juga
Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013
2
Universitas Indonesia
memisahkan diri. Saat itu filsafat mampu bertahan dengan memfokuskan diri pada
pemeriksaan dan klarifikasi asusmsi dasar ilmu-ilmu lain.
Namun memasuki periode kontemporer, terdapat suara-suara sumbang dari dalam tubuh
filsafat sendiri. Bermula dari kritik terhadap sifat totalistik metafisika dan sikap skeptis
terhadap asumsi dasar epistemologi. Kritik ini menjalar ke semua ranah filsafat lain.
Richard Rorty1, contohnya, berpendapat bahwa filsafat semakin tersingkir dari kehidupan
manusia. Filsafat, menurutnya didasari oleh kehausan terus-menerus akan kebenaran. Namun
pencarian ini, sejak Hume menyatakan bahwa kebenaran (universal) tidak akan bisa diketahui
oleh manusia yang didikte oleh pengalaman individu yang partikular, adalah hal yang
percuma.2
Contoh lain datang dari feminisme. Para pemikir feminis berpendapat bahwa filsafat yang
ada sekarang merupakan penulisan dari sudut pandang laki-laki. Disini penulisan alternatif
perempuan di berbagai bidang filsafat ditenggelamkan secara sengaja maupun tak sengaja.
Oleh karenanya filsafat sekarang ini memiliki karakter agresif laki-laki, dan haruslah ditulis
ulang.
Derrida3, telah lama mengatakan bahwa filsafat didominasi oleh ilusi kebenaran universal
atau narasi besar tentang kebenaran universal. Kebenaran universal tidak eksis. Realitas
dibentuk oleh jalinan teks kompleks yang membentuk kesadaran partikular setiap individu.4
1 Seorang filsuf amerika, profesor filsafat di Universitas Chicago, Universitas Virginia dan
Universitas Princeton. 2 Rorty, Richard. Philosophy and the Mirror of Nature. New Jersey: Princeton University
Press. 1980. Hal 48.
3 Jaques Derrida merupakan seorang filsuf Prancis yang hingga 2004 aktif mengajar di
berbagai universitas di Eropa dan Amerika. 4 Derrida, Jaques. Margins of Philosophy. Sussex: The Harvester Press. 1982.
Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013
3
Universitas Indonesia
Contoh lain adalah filsafat analitik. Filsafat analitik datang dari keraguan bahwa semua
proposisi filsafat mengandung pengetahuan. Pengetahuan disini merupakan proposisi-
prooposisi yang didapat dari metode ketat berpikir logis dan jernih.
Banyak subbidang filsafat melakukan perombakan besar-besaran terhadap asumsi dasar,
cakupan, dan subjek materinya. Perombakan sporadis ini menimbulkan tercerai-berainya
presuposisi, misi dan metode filsafat secara general. Muncul usaha-usaha baik dari aliran
maupun subbidang filsafat tadi untuk meredefinisi filsafat dan berbagai klaim terhadap
permasalahan filsafat pertama. Banyak diantaranya sangat tidak memadai.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode studi literatur dan analisa, tertuang pada bab dua, bab
tiga, dan bab empat. Studi literatur disini berarti mempelajari teori-teori berdasarkan pada
estimasi kasar terhadap keterhubungannya dengan kasus. Hasil pembacaan ini kemudian
berlanjut pada analisis. Analisis disini berarti bersikap selektif dengan merangkum dan
mempertimbangkan permasalahan untuk kemudian direduksi, direposisi dan dipaparkan
secara sistematis.
Skripsi ini ditulis menggunakan metode studi pustaka serta menggunakan metode Analisa
kritis. Studi Pustaka saya gunakan demi mendapatkan gagasan orisinal dari penulis-penulis
yang teorinya saya gunakan. Buku utama yang saya jadikan rujukan adalah Hegemony and
Socialist Strategy dari Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe. Selain buku tersebut saya juga
menggunakan beberapa buku penunjang. Setelah melakukan studi pustaka, barulah saya
melakukan analisa terhadap teori-teori yang ada dan memberikan kesimpulan terhadap apa
yang saya baca.
Teori Diskursus Ernesto Laclau
Ernesto Laclau (lahir 6 Oktober 1935 di Buenos Aires) adalah seorang filsuf politik
asal Argentina yang sering digambarkan orang sebagai seorang post-marxis. Laclau berlajar
sejarah dan lulus dari Universidad Nacional de Buenos Aires pada tahun 1964. Setelah itu ia
meraih gelar PhD pada tahun 1977 di Universitas Essex.
Sejak 1986, Laclau memulai karirnya sebagai profesor bidang ideologi dan teori
politik di Universitas Essex, di mana ia juga mengepalai program pasca-sarjana yang
Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013
4
Universitas Indonesia
berfokus pada persoalan ideologi dan analisa diskursus. Di bawah kepemimpinannya,
program tersebut berhasil membuka jalan bagi sebuah riset baru mengenai filsafat politik
yang melandaskan teorinya pada post-strukturalisme (terutama pada pemikiran Lacan,
Derrida, Foucault, dan Barthes), untuk mengartikulasikan banyak persoalan kontemporer saat
itu (identitas kelas, hegemoni, dan diskursus). Program ini di kemudian hari dikenal sebagai
“The Essex school of discourse analysis”.5
Model politik fondasional secara inheren bersifat totalitarian. Mengapa? Karena
model-model seperti itu tidak mempertimbangkan ketergantungan simbolisasi makna pada
ruang dan waktu. Akibatnya, Ia hanya menguntungkan pihak pembuat model politik. Ia tidak
bisa menampung makna-makna lain atas identitas politik (ideologi). Hal ini menimbulkankan
keterluapan makna. Makna-makna marjinal , baik dengan paksa maupun dengan sendirinya,
akan tersingkir. Keterluapan makna inilah yang disebutnya sebagai excess of meaning.
Kekurangan cara pikir esensialis semacam ini ditunjukkan oleh Laclau dengan
mengkritik model politik Marxisme. Struktur kelas pada Marxisme didasari pada relasi
produksi, yang sebenarnya merupakan relasi ekonomis. Karena itu sebenarnya Marx
memasukkan unsur ekonomi sebagai landasan kehidupan politik. Ia mengadopsi ekonomi
sebagai ideologi politik. 6
Namun ideologi sendiri merupakan suatu hal yang kontingen, tak terprediksi dan tak
sepenuhnya dapat dimengerti. Mengapa? Karena makna merupakan hal yang tergantung pada
kesadaran individu, maka ia ambigu, mengalami interpretasi terus-menerus dan bisa berubah
oleh relasi sosial. Marxisme ortodoks tidak mampu menangkap kompleksitas kesadaran dan
hubungannya dengan ideologi. Makna pertentangan kelas mereduksi realitas menjadi
kepentingan kelas pekerja dalam tahap perkembangan ekonomi kapitalis. Implikasinya,
identitas politik bukan sesuatu yang telah diasumsikan ada sebelumnya dan hanya tinggal
ditemukan melainkan dibentuk dan disebarkan melauli diskursus hegemonis.7
5 Biografi Ernesto Laclau diambil dari wikipedia yang bersumber dari sebuah wawancara
Laclau oleh jurnal berbahasa spanyol berjudul Pagina/12. Las manos en la masa. Ernesto
Laclau contra Negri, Hardt y Zizek, Pagina/12. 2005. 6 Tormey, Simon dan Jules Townshend. Key Thinkers from Critical Theory to Post-Marxism.
London: Sage Publications. 2006. Hal 92. 7 Laclau, E. dan Chantal Mouffe. Hegemony and Socialist Strategy, Towards a Radical
Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013
5
Universitas Indonesia
Laclau memakai dekonstruksi Derridean untuk menjelaskan ketidakstabilan makna.
Makna, yang medasari semua relasi sosial, dibentuk oleh keputusan-keputusan (desicions).
Keputusan ini tidak dibentuk secara tepat, dimaksudkan dan algoritmis, melainkan terbentuk
secara arbitrer berdasarkan pilihan-pilihan kemungkinan yang cair, terus berubah dan tak-
terputuskan (undecidability). Ini mebuat keputusan, dan juga hasilnya yaitu relasi sosial,
menjadi tidak stabil.8
Maka, semua keputusanmerupakan hasil dari represi dan penyingkiran kemungkinan-
kemungkinan pilihan keputusan lain. Karena itu pula keputusan yang mendasari identitas
politik, yaitu ideologi, mengandung didalamnya makna-makna marjinal yang tersingkir dan
tidak diberi tempat. Hal ini yang disebut sebagai keterluapan makna.
Laclau memakai segitiga simbolik Lacanian dalam menjelaskan proses pembentukan
makna. Setiap Individu terus menerus mengidentifikasi diri untuk mecapai ‘kepenuhan’ yang
sebenarnya tidak mungkin dicapai. Pencarian akan ‘kepenuhan’ ini merupakan akibat dari
trauma atas pertemuan dengan ‘the real’ ketika individu tersebut berada pada tahap pra-
linguistik. Semenjak itu individu berusaha mengisi kekosongan dengan proses-proses yang
berada dalam ranah imajiner (yaitu identifikasi diri terus-menerus tadi). Hal ini juga terjadi
dalam identifikasi politik. Penanda tatanan sosio-politis selalu gagal dalam merepresentasikan
subjek secara menyeluruh. Subjek yang gagal terepresentasi ini akan selalu terepresi.9
Karena itu, politik terbelah antara identifikasi ideologi dan representasi simbolik dari
ideologi tersebut dalam politik formal.10 Untuk menamai kedua ranah politik ini, Laclau
meminjam istilah the political dan politics dalam karya Chantal Mouffe. The political
merupakan suatu ranah politik yang tercipta oleh antagonisme antara identifikasi ideologi dan
pertentangan kuasa dalam relasi sosial. antagonisme ini inheren di dalam relasi sosial.
Democratic Politics. London: Verso. 1985. Hal 53. 8 Laclau, Ernesto. New Reflections on the Revolution of Our Time. London: Verso. 1990. Hal
60 dan 61. 9 Laclau, Ernesto. Minding the Gap. dalam Ernesto Laclau (ed.). The Making of Political
Identities. London: Verso. 1994. Hal 32. 10 Idem. Hal 36 dan 37.
Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013
6
Universitas Indonesia
Sedangkan apa yang dimaksud dengan politics adalah praktek diskursus dalam sebuah
institusi untuk mengatur kebersamaan berbagai kepentingan dalam sebuah masyarakat11
Masyarakat, oleh Laclau, diandaikan sebagai ‘the real’. Karena itu masyarakat adalah
suatu konsep yang tidak mungkin tercapai secara penuh. Masyarakat disini diperlakukan
sebagai ruang kosong dimana penanda-penandanya (ideologi) bersaing untuk mengisi dan
mencoba mencapai kepenuhan yang tak mungkin tadi.12
Definisi masyarakat adalah kemungkinan tercapainya semua makna sosial dalam
sebuah matriks yang bisa menjelaskan semua proses partikular didalamnya. Namun tentu saja
matriks seperti itu tidak mungkin ada. Karena itu Laclau merubah definisi masyarakat13
sebagai ketidakmungkinan tercapainya segala makna sosial sebagai kesatuan penuh. Definisi
baru ini memungkinkan terciptanya semua makna yang akan memunculkan ke permukaan
makna-makna marjinal yang biasanya direpresi. Namun disisi lain, definisi sosial semacam
ini juga mempuat ketercapaian makna apapun menjadi tidak mungin. 14
Penulis memakai teori diskursus Ernesto Laclau untuk menganalisis filsafat karena
melihat bahwa teori tersebut memiliki kesamaan pola dengan apa yang terjadi dengan filsafat
sekarang ini. Laclau dan penulis berbagi semangat dalam menjadikan ontologi menjadi
sebuah diskursus terbuka. Laclau telah menerapkannya kepada ontologi politik semantara
dalam skripsi ini penulis bermaksud untuk menerapkannya menjadi ontologi filsafat. Dalam
teori diskursus Laclau penulis melihat adanya potensi untuk, dalam term Laclauian ‘me-
reaktivasi’ filsafat sebagai sebuah ilmu yang hidup dan cair.
Filsafat sebagai Diskursus
Filsafat adalah aktivitas bertanya. Sejak awal filsafat muncul karena manusia
penasaran. Manusia bertanya-tanya tentang drinya dan lingkungannya. Ia bertanya tentang
11 Mouffe, Chantal. The Democratic Paradox. London: Verso. 2000. Hal 101. 12 Laclau, Ernesto. Emancipation(s). London: Verso. 1996. Hal 35. 13 Ia menyebutnya sebagai the social untuk membedakannya dari defini pertama akan
masyarakat, yang ia sebut sebagai society. 14 Laclau, Ernesto. Hegemony and the Future of Democracy: Ernesto Laclau’s Political
Philosophy. dalam Lynn Woshma dan Gary S. Olson (ed).
Race, Rhetoric, and the Postcolonial. Albania: SUNY Press. 1999. Hal 146.
Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013
7
Universitas Indonesia
alam, tentang manusia itu sendiri. Manusia bertanya tentang apa yang menjadikannya ada,
tentang alasan dan tujuan ia berada.
Setiap zaman memiliki fokus dan ketertarikan yang berbeda. Disini penulis akan
memberi tiga contoh dari tiga zaman yang berbeda. Yaitu yunani kuno, abad pertengahan,
dan abad modern. Contoh-contoh tersebut bukan berarti penulis beranggapan bahwa tidak ada
pemikiran peradaban lain yang eksis selain itu, bukan pula bahwa sejarah pemikiran hanya
terjadi pada peradaban tersebut, melainkan hanya permasalahan pembatasan semata.
Era yunani kuno filsafat mempertanyakan asal usul manusia dan alam semesta. Apa
asal-usul alam semesta? Mengapa alam semesta ada ketimbang tiada? Semenjak Thales di
Abad 6 Sebelum Masehi hingga era Socrates dua ratus tahun kemudian, persoalan semacam
inilah yang mendominasi perbincangan filsafat. Para pemikir tersebut berpendapat bahwa
jawabannya akan jelas jika melakukan pengamatan terhadap alam, maka Yunani kuno
memiliki kecenderungan berbicara tentang filsafat alam.
Karakteristik filsafat pada Abad Pertengahan adalah posisi epistemologis filsafat yang
diletakkan dibawah teologi. Saat itu manusia mempertanyakan tentang adanya suatu
penyebab yang agung dan tunggal atas eksistensi dirinya. Pada masa itu, semua upaya
penyelidikan filsafat diarahkan agar dapat menjadi sandaran atau fondasi bagi klaim-klaim
teologis (eksistensi Tuhan, problem pewahyuan, moralitas, dan sebagainya).
Filsafat kemudian mengkhususkan dirinya pada misi memberikan fondasi kepastian yang
kokoh bagi ilmu pengetahuan. Filsafat Barat khususnya mengalami sebuah peralihan lokus
pencarian kebenaran dari entitas eksternal (Tuhan) kepada subjek. Kebenaran yang hakiki
hanya dapat diperoleh melalui akal budi kita sendiri, bukan melalui sabda Tuhan atau
semacamnya. Gagasan semacam inilah yang kemudian menjadi karakteristik pemikiran
Eropa di jaman modern.
Walaupun setiap zaman memiliki fokus dan ketertarikan pada tema yang berbeda,
namun terdapat suatu benang merah, yaitu aktivitas bertanya. Filsafat terus menerus
mengajukan pertanyaan. Aktivitas bertanya merupakan sifat alamiah dari filsafat. sifat
alamiah ini mewujud di sepanjang sejarah dalam pergulatan antara pengetahuan (knowledge)
dan dogma.
Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013
8
Universitas Indonesia
Pembahasan mengenai pergulatan antara knowledge dan dogma merupakan analisis
penulis dengan karakteristik analisis Laclauian sebagai kerangka teori. Seperti juga Laclau 15
yang berpendapat bahwa unsur alamiah politik muncul pada antagonisme antara kawan dan
lawan, sifat alamiah filsafat, yaitu pertanyaan, muncul pada pertentangan antara knowledge
dan dogma.
“Knowledge” sendiri penulis artikan sebagai kualitas yang bercirikan: kritisisme,
selalu mempertanyakan pengetahuan yang mapan, dan tidak pernah memberikan jawaban
yang bersifat final. Sedangkan dengan “dogma” penulis mengartikan yang sebaliknya.
“Dogma” berarti pengetahuan yang telah dianggap sebagai kebenaran yang final dan
selesai.16
Pergulatan ini muncul contohnya pada sejarah pemikiran yunani kuno. Seperti yang
telah disebutkan diatas, filsafat yunani kuno memfokuskan diri pada penyelidikan atas alam.
Kecenderungan filsafat untuk menjadi sebuah upaya penyelidikan atas alam ini tentu saja
bukan tanpa alasan. Pada masa itu, segala jawaban atas pertanyaan-pertanyaan manusia
tentang alam semesta dijawab melalui mitos dan dongeng. Mitos-mitos ini, tentu saja, bersifat
mistik dan supra-natural, dan dipertahankan lewat jalur tradisi dan kebiasaan. Pemberontakan
beberapa orang atas pengetahuan yang didasarkan pada mitologisme ini memulai suatu tradisi
baru dalam ilmu pengetahuan manusia, yakni upaya pencarian kebenaran melalui hasil kerja
pikiran yang rasional dan observasi yang independen. Paradigma baru ini serta-merta
membabat habis segala karakteristik supra-natural yang terdapat di dalam mitos-mitos
tradisional.
15 Yang meminjam karya Chantal Moffe sebagai penjelasannya, yang juga Mouffe pinjam
dari karya Carl Schmitt. Mouffe, Chantal. The Democratic Paradox. London: Verso. Hal ? 16 Analisis serupa muncul pada analisis Bertrand Russel terhadap problem filsafat: “..for
philosophy is merely the attempt to answer such ultimate questions, not carelessly and
dogmatically, as we do in ordinary life and even in the sciences, but critically, after exploring
all that makes such questions puzzling, and after realizing all the vagueness and confusion
that underlie our ordinary ideas.” Russell, Bertrand. The Problem of Philosophy. USA:
Oxford University Press. 1997. Hal 2.
Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013
9
Universitas Indonesia
Pada filsafat abad pertengahan, para filosof meragukan apakah eksistensi manusia
benar-benar akan terjawab oleh penyelidikan atas alam. Mereka akhirnya beralih dengan
menyimpulkan bahwa pastilah ada penyebab tertinggi yang menjelaskan eksistensi manusia,
karena itu fokus filsafat beralih ke pembahasan tentang Tuhan.
Pada abad moodern, para pemikir mulai mempertanyakan otoritas tuhan terhadap
alam dan eksistensi manusia. Menyingkirkan otoritas Tuhan dalam proses pencarian
kebenaran membawa konsekuensi yang tidak mudah bagi filsafat. Filsafat kemudian
mengkhususkan dirinya pada misi memberikan fondasi kepastian yang kokoh bagi ilmu
pengetahuan. Era modern adalah sebuah periode di dalam sejarah Eropa Barat yang menyusul
pudarnya pengaruh kekuasaan gereja di Abad Pertengahan. Kata “modern” sendiri berarti
“baru” atau “ bersifat kekinian”. Hal ini merujuk pada paradigma baru yang dianut oleh
orang-orang Eropa pada masa itu, yakni orientasi pada masa kini dan perencanaan masa
depan. Paradigma semacam ini tidak terdapat pada era-era sebelumnya (terutama pada Abad
Pertengahan) yang, karena pengaruh keagamaan yang kuat, lebih berorientasi pada kejayaan
masa lalu dan keselamatan dunia setelah kematian (akhirat).
Terdapat kesamaan pada setiap periode. Filsafat terus-menerus mencoba
mempertanyakan dogma yang telah ada dan mengajukan problem baru. Problem baru
tersebut kemudian dipertanyakan kembali, dan seterusnya.
Namun setelah itu pencarian pengetahuan di abad modern mulai menspesialisasi diri.
Pengetahuan-pengetahuan tersebut memisahkan diri dari tubuh filsafat. mereka ingin
mengurusi dirinya sendiri, memberi pertanyaan pada dirinya sendiri, menemukan problemnya
sendiri dan melakukan penyelidikan dengan metodenya sendiri.
Semenjak masa modern, terjadi proses otonomisasi disiplin-disiplin ilmu
pengetahuan. Disiplin-disiplin ilmu yang tadinya merupakan cabang dari filsafat kini menjadi
otonom, sehingga filsafat kehilangan subject matter yang spesifik. Proses otonomisasi itu
terjadi disegala bidang.
Ilmu Natural (Natural Science) contohnya, pada abad pertengahan ilmu natural
merupakan bidang menyatu dengan agama (yang saat itu sama dengan filsafat). Ilmuwan-
ilmuwan pada saat itu adalah juga filsuf alam yang menganut filsafat alam Aristotelian.
Penyelidikan tentang alam dan rasio selalu dihubungkan dengan konsep ketuhanan.
Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013
10
Universitas Indonesia
Sejalan dengan bertambahnya inkonsistensi sains (yang masih dalam kuasa teologi)
dengan pengamatan empiris, maka lahirlah apa yang disebut sebagai revolusi saintifik. Para
pemikir revolusi saintifik bertujuan ingin memisahkan sains dari ilmu lainnya terutama
teologi, dan dengannya menjamin otonomi sains. Untuk tujuan ini maka landasan dan cara
kerja sains harus diperbarui. Mulailah dibentuk suatu metode baru untuk menjelaskan alam.
Penyelidikan sains berubah dari perenungan tentang kebesaran tuhan mejadi pengamatan
empiris dan eksperimen, keduanya dilandaskan pada perhitungan matematis.
Para pemikir filsafat mulai mepertanyakan problem apakah yang tersisa bagi filsafat.
Filsafat juga mulai berpikir tentang jawaban, tentang kajian pengetahuan apa yang harus
menjadi fokus filsafat. Mereka mulai mencari fokus baru sebagai subject matter spesifik
filsafat. Muncullah kesibukan untuk mengklaim fokus kajian filsafat.
Richard Rorty17 dan John Searle18 contohnya, menyatakan bahwa fokus kajian filsafat
adalah problem kesadaran (mind and body). Pada Rorty fokus filsafat adalah kesadaran dan
hubungannya dengan bahasa, karena realistas menurutnya adalah pembentukan ide dalam
kesadaran oleh bahasa. Sementara Searle berpendapat bahwa jaman epistemologi telah
berakhir, karenanya filsafat hanya bisa diselamatkan jika kesadaran dipandang sebagai
realitas sosial. Contoh lainnya adalah Oliver Marchart, dalam Post-foundational Political
Thought, menyatakan politikal (ontologi politik atau filsafat politik) sebagai prima
philosophia atau fokus utama filsafat.19 Usaha lainnya untuk menyelamatkan filsafat adalah
mengklaim kembali pengetahuan sebagai ranah filsafat.
Semua kesibukan saling mengklaim fokus utama filsafat dan merebut kembali ilmu
pengetahuan mengakibatkan filsafat berubah menjadi sebuah ruang prosedural perebutan
kuasa. Filsafat terbelah antara identifikasi makna ‘filsafat’ sebagai suatu ‘kepenuhan’ dan
17 Rorty, Richard. Philosophy and the Mirror of Nature. New Jersey: Princeton University
Press. 1980. Hal 4 dan 5. 18 Searle, John. R. Philosophy in New Century, Selected Essays. Cambridge: Cambridge
University Press. 2008. Hal 4. 19 Marchart, Oliver. Post-Foundational Political Thought: Political Difference in Nancy,
Lefort, Badiou and Laclau. Edinburg: Edinburg University Press. 2007. Hal 162.
Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013
11
Universitas Indonesia
representasi identitas filsafat dalam persaingan filsafat pertama, menjadi The Philosophical
dan philosophy.20
The philosophical ditandai dengan kategori knowledge dan dogma. Dua hal inilah
yang membedakan dan mendefinisikan nature disiplin ilmu filsafat dari disiplin ilmu yang
lainnya. Filsafat hanya menjadi filosofis ketika ia semakin mendekati kualitas yang
disyaratkan oleh ‘knowledge’, sebagaimana ia akan berhenti menjadi filosofis ketika semakin
mendekati karakteristik ‘dogma’.
Sedangkan philosophy, yakni dimensi ontis dari filsafat, adalah filsafat dalam
pengertian yang paling spesifik. Inilah definisi filsafat yang ditentukan oleh para pelaku
kegiatan filsafat itu sendiri. The philosophy tidak menunjukkan pengertian filsafat yang
paling mendasar, tetapi hanya merujuk pada konsep filsafat yang secara institusional diterima
oleh orang-orang kebanyakan. Contoh: filsafat sebagai ilmu tentang kebenaran yang hakiki,
atau filsafat sebagai ilmu yang mempelajari tentang ‘Ada’.
Setelah membagi filsafat ke dalam dua dimensi ontologis dan ontis, lalu kemudian
menentukan kualitas apa yang membuat filsafat memiliki dimensi ontologis yang
independen, maka sekarang kita bisa menerapkan logika berpikir double gesture
fiksasi/defiksasi (sebagaimana yang diterapkan Laclau dalam teori sosial) kepada disiplin
ilmu filsafat. Hal ini penulis lakukan agar disiplin ilmu filsafat sebagai diskursus dapat tetap
menjadi ruang diskursus yang terbuka, selalu berada di dalam perdebatan, tetapi sekaligus
membuka diri untuk terus berkembang dan adaptif terhadap perubahan-perubahan baru.
Sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya, Laclau berpendapat bahwa founding
totality atau totalitas struktur masyarakat yang bersifat teleologis sebagaimana digambarkan
oleh para marxis klasik adalah suatu hal yang tidak mungkin. Bagi Laclau, setiap struktur
masyarakat selalu mengalami keterbatasan, dan setiap upaya strukturasi selalu menghasilkan
residu makna (excess of meaning) yang tidak bisa sepenuhnya dikuasai. Keterbatasan struktur
ini Laclau sebut sebagai infinitude of the social. Ketegangan antara dua konsep founding
totality dan infinitude of the social inilah yang kemudian menjadikan setiap struktur
masyarakat sebagai ruang diskursus yang terbuka.
20 Istilah ini penulis buat sebagaimana keterbelahan politik menjadi politics dan the political.
Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013
12
Universitas Indonesia
Pada filsafat, kita dapat menemukan ketegangan tersebut pada upaya para akademisi
filsafat untuk merumuskan konsep filsafat yang utuh dan memiliki subject matter yang stabil
dan pada fakta bahwa secara praktis kita tidak mungkin lagi merumuskan sebuah sistem
filsafat yang dapat diklaim sebagai filsafat pertama.
Keterbelahan filsafat membuat filsafat harus diperlakukan seperti ‘masyarakat’ dalam
defini Laclauian. Filsafat harus didefinisikan sebagai ketidakmungkinan tercapainya segala
makna ‘filsafat’ sebagai kesatuan penuh. Hal ini dilakukan justru supaya makna-makna
marjinal atas filsafat bisa naik ke permukaan dan ikut bersaing dalam ruang kosong kegiatan
filsafat.
Filsafat juga harus diperlakukan sebagai sebuah diskursus. Tentu saja definisi
diskursus disini merupakan defini diskursus laclauian, yaitu sebuah ruang kosong dimana
segala pemaknaan filsafat dapat mengklaim dirinya dan membuktikan diri sebagai filsafat
pertama.
Filsafat diperlakukan sebagai diskursus agar proses fiksasi dan defiksasi makna
filsafat bisa terjadi. Juga agar momen reaktifasi makna filsafat bisa tercapai dan filsafat bisa
mendefinisikan dirinya dalam suatu titik partikular. Sesuai dengan momen politikal Laclau,
momen kembalinya universal dalam titik partikular dalam filsafat penulis sebut sebagai
momen the philosophical.
Kesimpulan
Filsafat merupakan pertanyaan. Pertanyaan yang mewujud dengan pergulatan antara
dogma dan knowledge. Dogma disini diartikan sebagai pengetahuan yang telah dianggap
sebgai kebenaran final dan selesai. Sedangkan knowledge penulis artikan sebagai kualitas
yang mempertanyakan pengetahuan yang mapan tersebut. Sejarah filsafat dipenuhi
pergulatan dogma dan knowledge.
Sejak awal filsafat muncul karena manusia bertanya. Manusia bertanya tentang apa
yang membuat dirinya dan lingkungannya ada. Manusia penasaran apakah cerita tentang asal
mula keberadaan dirinya merupakan sebuah kebenaran. Kemudian ia bertanya tentang
kebenaran, lalu tentang Tuhan. Filsafat selalu mempertanyakan pengatahuan yang telah ada,
pengetahuan yang telah dianggap sebagi kebenaran.
Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013
13
Universitas Indonesia
Namun filsafat seperti kehilangan arah saat pengetahuan-pengetahuan tersebut ingin
mengurusi dirinya sendiri. Mereka ingin memisahkan diri dari filsafat, memberi pertanyaan
pada dirinya sendiri dan dan menemukan jawabannya sendiri dengan caranya sendiri.
Banyak filosof mulai mepertanyakan problem apakah yang tersisa bagi filsafat.
Filsafat juga mulai berpikir tentang jawaban, tentang kajian pengetahuan apa yang harus
menjadi fokus filsafat. Muncullah kesibukan untuk mengklaim fokus kajian filsafat. Richard
Rorty contohnya, dalam Philosophy and The Mirror of Nature, menyatakan bahwa fokus
kajian filsafat adalah problem kesadaran dan hubungannya dengan bahasa.21 Contoh lainnya
adalah Oliver Marchart, dalam Post-foundational Political Thought, menyatakan politikal
(ontologi politik atau filsafat politik) sebagai prima philosophia atau fokus utama filsafat.22
Penulis memakai analisis Laclauian untuk melihat apa yang terjadi pada filsafat dan
bagaimana menyingkapi keadaan filsafat sekarang ini.
Ernesto Laclau (dan Chantal Mouffe dalam proposi terbatas karena ikut menyumbang
tulisan pada sebagian karya Laclau) bertujuan untuk membalik urutan prioritas antara the
social dan the political dalam society.23 The political terus menerus digusur oleh the social.
Namun karena the political merupakan sifat alami dari masyarakat (society), ia tidak bisa
hilang sepenuhnya, ia bisa diaktifkan kembali. Hasilnya, the political menjadi suprastruktur
yang bekerja dari luar memasukkan dan mengeluarkan landasan bagi society. Tapi Landasan
tersebut (dalam bentuk nilai dan ideologi) tidak bisa sepenuhnya dicapai dalam masyarakat.
Society, dalam arti sebuah masyarakan yang utuh menganut suatu ideologi, sebuah
masyarakat homogen, tidak akan pernah ada. Inilah yang Laclau sebut sebagai
ketidakmungkinan akan sebuah masyarakat (the impossibility of society).24
Apa yang dimaksud Laclau dengan the political? Ia memulainya dengan menyatakan
bahwa politik terbelah menjadi dua. Di satu sisi politik menjadi suatu dimensi yang tadinya
21 Rorty, Richard. Philosophy and the Mirror of Nature. New Jersey: Princeton University
Press. 1980. Hal 4 dan 5. 22 Marchart, Oliver. Post-Foundational Political Thought: Political Difference in Nancy,
Lefort, Badiou and Laclau. Edinburg: Edinburg University Press. 2007. Hal 162. 23 Laclau, Ernesto. New Reflections on the Revolution of Our Time.
London: Verso. 1990. Hal 160. 24 idem. Hal 92.
Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013
14
Universitas Indonesia
terdapat dalam the social (politics), di sisi lain ia berubah lebih radikal (the political). Namun
Laclau sendiri tidak menjelaskan lebih lanjut perbedaan antara politik dan politikal. Ia hanya
secara implisit mengatakan bahwa perbedaan yang ia maksud merujuk pada perbedaan politik
dari Chantal Mouffe.25 Mouffe mendefinisikan politikal sebagai dimensi yang pasti ada
dalam semua relasi manusia, yaitu antagonisme. Antagonisme disini tentu saja meminjam
konsep pertentangan kawan-lawan (friend/enemy) dari Carl Schmitt yang merupakan sifat
dasar dari semua hubungan politik.26 Sedangkan politik adalah praktek-praktek dalam sebuah
institusi untuk menata dan mengorganisir kebersamaan manusia.27
Sedangkan untuk mendefinisikan the social, Laclau membandingkannya dengan
konsep society srukturalisme. Dalam strukturalisme masyarakat (society) didefinisikan
sebagai segala posibilitas penyelesaian semua makna sosial yang bisa dengan tuntas
menjelaskan semua proses pasial di dalamnya. Berbeda dengan definisi tadi, Laclau
mengambil posisi post-strukturalis, mendefinisikan masyarakat sebagai ketidakmungkinan
penyelesaian apapun (dalam konteks ini, termasuk penyelesaian sosial) sebagai kesatuan
yang penuh dan menyeluruh. Mengapa? Menurutnya, proses pemaknaa marginal dalam
konteks apapun (termasuk dalam masyarakat) meruntuhkan makna yang (terus menerus)
dibangun dan berujung pada ketakmungkinan penyelesaian dasar sosial dalam matriks
singular. Hal ini membuat penyelesaian itu sendiri sebagai kata dan keadaan yang tidak
mungkin. Karena itu pula, Laclau memilih kata the social daripada society untuk merujuk
pada kata ‘masyarakat’.28
Laclau berpendapat bahwa politik telah diambil alih oleh praktek-praktek sosial,
antagonisme antara kawan-lawan telah berubah menjadi manajemen kepentingan. Proses
pengambil-alihan ini ia sebut sebagai sedimentasi sosial. Perubahan ini mengakibatkan
masyarakat (society) berdiri diatas landasan yang tidak stabil, karena itu sifat dasar politik
25 Marchart, Oliver. Post-Foundational Political Thought: Political Difference in Nancy,
Lefort, Badiou and Laclau. Edinburg: Edinburg University Press. 2007. Hal 135 dan 142. 26 Mouffe, Chantal. The Democratic Paradox. London:
Verso. 2000. Hal 33. 27Idem. Hal 101. 28 Laclau, Ernesto. Hegemony and the Future of Democracy: Ernesto
Laclau’s Political Philosophy. dalam Lynn Woshma and Gary S. Olson (ed),
Race, Rhetoric, and the Postcolonial, Albany: SUNY Press. 1999. Hal 129 dan 164.
Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013
15
Universitas Indonesia
(yaitu antagonisme) bisa diaktifkan kembali. Istilah sedimentasi dan reaktifasi ia ambil dari
Edumund Husserl. Namun tidak seperti Husserl yang mendefinisikan reaktivasi sebagai
mengembalikan landasan awal masyarakat, Laclau melihat reaktifasi sebagai mengambil
keputusan kontingen yang membentuk masyarakat pada titik tertentu, dalam ruang dan waktu
yang partikular. Proses reaktivasi ini ia sebut sebagai momen politikal.29
Laclau menunjukkan (dengan membahas landasan super-struktur masyarakat yang
ditawarkan Karl Marx, yaitu mengadopsi prinsip ekonomi sebagai ideologi politik) bahwa
politik pada era fondasional didasarkan pada sesuatu yang berada di luar politik. Ini
mengakibatkan masyarakat menjadi bersifat totalistik. model seperti ini menurutnya sangat
mudah (dan semakin) mengalami krisis. Mengapa? Karena model semacam ini menghasilkan
excess of meaning. Meaning disini merujuk pada makna yang dimengerti oleh masing-masing
individu atas society. Makna ini sangat beragam pada setiap individu dan model landasan
super-struktur diatas tidak akan bisa menampung semua makna tersebut. Hasilnya banyak
individu (dengan maknanya sendiri akan society) akan tercecer, dan tak ada yang bisa
dilakukan untuk memasukkannya pada landasan masyarakat yang bersifat totalistik.30
Karena itu Laclau (dan Mouffe) berusaha meredefinsi society sebagai proses terbuka
dan parsial untuk memutuskan sebuah landasan masyarakat. Keterbukaan disini merupakan
suatu hal yang konstitutif bagi proses tersebut. Keterbukaan harus dipandang sebagai negasi
dari landasan itu sendiri. Keterbukaan mencegah society bersifat totalistik. Keterbukaan
menjadikan suatu landasan dalam masyarakat menjadi mungkin tercapai (dalam momen
politikal yang partikular) sekaligus tidak mungkin tercapai (dalam momen totalistik). Hal ini
yang disebut sebagai impossibility of society.31
Jika Laclau berpendapat bahwa politik terpecah menjadi dua, yaitu sifat alami politik
(the political) dan unsur yang sebebenarnya dimiliki ranah sosial (politics). Filsafat, ditengah
usahanya mengklaim kembali pengetahuan dari sains dan kesibukannya menemukan fokus
utamanya kembali, juga terbelah. Antara antagonisme knowledge/dogma yang merupakan
29 Idem. Hal 146. 30 Laclau, Ernesto. New Reflections on the Revolution of Our Time.
London: Verso. 1990. Hal 90. 31 Laclau, Ernesto dan Chantal Mouffe. Hegemony and Socialist Strategy.
Towards a Radical Democratic Politics. London: Verso. 1985. Hal 95 dan 96.
Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013
16
Universitas Indonesia
sifat alamiah filsafat dengan hal-hal prosedural klaim-klaim filsafat pertama. Filsafat terbagi,
disini penulis menyarankan istilah baru sesuai dengan analisis Laclauian, antara the
philosophical dan philosophy.
Antagonisme antara knowledge dan dogma mengandung didalamnya unsur terpenting
bagi filsafat yaitu aktivitas bertanya. Ia bergulat sepanjang sejarah terus-menerus
mempertanyakan apa yang telah dianggap kebenaran final.
Usaha filsafat mengklaim kembali ilmu pengetahuan, misalnya secara kultural, etika,
maupun menganalisis problem pengetahuan dan mengklaim problem tersebut sebagai ranah
filsafat, tidak pernah berhasil. Mengapa? Karena sains dan filsafat mempunyai tujuan yang
berbeda dan dari awal tidak bisa disamakan. Tujuan sains adalah penakhlukan (dengan
berusaha memahami, eksperimen dan merekayasa) dunia dan isinya (termasuk realitas).
Sedangkan unsur dasar filsafat adalah pertanyaan.
Sedangkan usaha banyak filosof untuk menentukan fokus utama filsafat dengan klaim
filsafat pertama, masih simpang siur. Semua klaim tadi bebas menentukkan maknanya sendiri
atas filsafat dan belum ada standar yang jelas untuk persaingan tersebut. Disini penulis
memiliki ide untuk menjadikan filsafat sebagai diskursus, yang pada dasarnya menerapkan
teori diskursus atau hegemoni laclauian sebagai syarat persaingan di dalam filsafat, untuk
mengklaim apa itu filsafat.
Ada tiga hal penting yang menjadi kata kunci dalam diskursus Laclauian, yaitu
impossibility of society, fiksasi/defiksasi atau sedimentasi/reaktifasi, dan momen politikal.
Untuk mendefinisikan apa itu filsafat, bagaimana cara kerjanya dan apa objek
kajiannya inti dari filsafat itu itu sendiri harus dikosongkan. Harus disadari bahwa pendasaran
apapun dalam filsafat secara penuh dan final tidaklah mungkin. Mengapa? Karena
pendasaran apapun untuk mengidentifikasi satu makna filsafat akan mengakibatkan apa yang
disebut Laclau sebagai excess of meaning), keterceceran makna-yang lain atas filsafat.
pendasaran filsafat harus dilakukan dengan menyadari bahwa ‘dasar’ yang bersifat itu sendiri
merupakan hal yang tidak mungkin. Ia dikosongkan agar nanti bisa diisi kembali oleh suatu
landasan sementara hanya agar filsafat bisa memenuhi sifat alamiahnya, yaitu melakukan
aktivitas bertanya.
Proses memasukkan dan mengeluarkan landasan, yang dijelaskan sebagai sedimentasi
dan reaktifasi atau fiksasi dan defiksasi sosial, juga diberlakukan pada filsafat. Pada filsafat
Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013
17
Universitas Indonesia
fiksasi landasan terjadi saat seorang filosof menentukkan fokus utama bagi filsafat.
sedangkan defiksasi terjadi saat landasan tersebut dipertanyakan kembali, diuji dan
dibuktikan salah. Fiksasi kembali terjadi saat filosof lain mencoba menentukkan landasan
baru bagi filsafat.
Seperti juga moment of the political dari Laclau, yaitu dimana suatu landasan politik
mencapai fiksasinya, momen tercapainya suatu landasan partikular yang bersifat sementara
disebut sebagai momen the philosophical. The Philosophical merupakan ruang dimana suatu
landasan atas kegiatan filsafat tercapai. Landasan tersebut akan mendasari segala kegiatan
berfilsafat, menentukan objek kajiannya, menentukkan metode dan hasil dari kegiatan
filsafat. Sedangkan philosophy merupakan ruang persaingan antara banyak klaim filsafat
pertama.
Dengan dikosongkannya landasan filsafat (membuat pendasaran filsafat yang final
menjadi tidak mungkin) dan kegiatan fikssi dan defiksasi filsafat menjadikan filsafat menjadi
sebuah ranah diskusus terbuka. Mekanisme diskursus terbuka atas filsafat ini akan
menampung makna-makna marjinal yang selama ini tercecer. Mereka berhak mengklaim
pemaknaannya sendiri atas filsafat dengan mengklaim landasan filsafat.
Daftar Acuan
Buku:
Benardete, Seth (terj). (1984). The Being of The Beautiful: Plato’s Theaetetus, Sophis and
Statemans. London: The University of Chicago Press.
Laclau, Ernesto. (1977). Politics and Ideology in Marxist Theory. London: Verso.
Laclau, E. dan Chantal Mouffe. (1985). Hegemony and Socialist Strategy, Towards a Radical
Democratic Politics. London: Verso.
Laclau, Ernesto. (1990). New Reflections on the Revolution of Our Time. London: Verso.
Laclau, Ernesto. (1996). Emancipation(s). London: Verso.
Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013
18
Universitas Indonesia
Laclau, Ernesto. (2005). On Populist Reason. London: Verso.
Marchart, Oliver. (2007). Post-Foundational Political Thought: Political Difference in
Nancy, Lefort, Badiou and Laclau. Edinburg: Edinburg University Press.
Mouffe, Chantal. (2000). The Democratic Paradox. London: Verso.
Panizza, Francisco. (2005). Populism and the Mirror of Democracy. London: Verso.
Rorty, Richard. (1980). Philosophy and the Mirror of Nature. New Jersey: Princeton
University Press.
Russell, Bertrand. (1997). The Problem of Philosophy. USA: Oxford University Press.
Searle, John. R. (2008). Philosophy in New Century, Selected Essays. Cambridge: Cambridge
University Press.
Tormey, Simon dan Jules Townshend. (2006). Key Thinkers from Critical Theory to Post-
Marxism. London: Sage Publications.
Jurnal:
Laclau, Ernesto. (1994). Minding the Gap. dalam Ernesto Laclau (ed.). The Making of
Political Identities. London: Verso.
Laclau, Ernesto. (1996). Deconstruction, Pragmatism, Hegemony dalam Chantal Mouffe
(ed.). Deconstruction and Pragmatism. London: Routledge.
Laclau, Ernesto. (1999). Hegemony and the Future of Democracy: Ernesto Laclau’s Political
Philosophy. dalam Lynn Woshma dan Gary S. Olson (ed).
Race, Rhetoric, and the Postcolonial. Albania: SUNY Press.
Laclau, Ernesto. (2000). Identity and Hegemony: The Role of Universality in the
Constitution of Political Logics. dalam Judith Butler, Ernesto Laclau dan Slavoj Zizek.
Contingency, Hegemony, Universality. London: Verso.
Dokumen Elektronik:
Laclau, Ernesto. (2008). Philosophical Roots of Discourse Theory.
http://www.essex.ac.uk/centres/theostud/onlinepaper.asp.
Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013