filsafat sebagai diskursus: sebuah refleksi …

18
1 Universitas Indonesia FILSAFAT SEBAGAI DISKURSUS: SEBUAH REFLEKSI LACLAUIAN Dipa Ena dan Rocky Gerung Program Studi Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia Email: [email protected] Abstrak Skripsi ini mencoba menganalisa problem filsafat dimasa kontemporer sekarang ini dan mencoba menerapkan model diskursus Laclauian sebagai sebuah system persaingan Filsafat Pertama. KataKunci: Problem Filsafat, Laclau, Diskursus, FilsafatPertama. Philosophy as Discourse: A Laclauian Reflection Abstract This essay is trying to analyze the contemporary problem of philosophy and trying to apply Laclauian discourse to that problem as a competition system of First Philosophy. Key words: The Problem of Philosophy, Laclau, Discourse, First Philosophy. Pendahuluan Dalam periode kontemporer sekarang ini, filsafat mendapat kritik baik dari luar maupun dari dalam tubuh ilmu ini sendiri.Hal ini berujung pada sikap skeptis dari berbagai kalangan akadaemisi, bahkan banyak pemikir dalam maupun luar filsafat yang berpendapat filsafat telah mati. Bermula dari periode pencerahan, filsafat dinilai tidak lagi mampu menyediakan penyelidikan memadai atas realitas, terutama alam. Pandangan ini memotivasi revolusi saintifik sehingga ilmu-ilmu natural memisahkan diri dari filsafat. Dilanjutkan pada abad ke sembilan belas saat ilmu sosial, yang mengadopsi cara pikir dan metode sains, juga Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013

Upload: others

Post on 21-Oct-2021

28 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: FILSAFAT SEBAGAI DISKURSUS: SEBUAH REFLEKSI …

1    

Universitas  Indonesia  

FILSAFAT SEBAGAI DISKURSUS: SEBUAH REFLEKSI LACLAUIAN

Dipa Ena dan Rocky Gerung

Program Studi Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia,

Depok, 16424, Indonesia

Email: [email protected]

Abstrak

Skripsi ini mencoba menganalisa problem filsafat dimasa kontemporer sekarang ini dan mencoba menerapkan

model diskursus Laclauian sebagai sebuah system persaingan Filsafat Pertama.

KataKunci: Problem Filsafat, Laclau, Diskursus, FilsafatPertama.

Philosophy as Discourse: A Laclauian Reflection

Abstract

This essay is trying to analyze the contemporary problem of philosophy and trying to apply Laclauian discourse

to that problem as a competition system of First Philosophy.

Key words: The Problem of Philosophy, Laclau, Discourse, First Philosophy.

Pendahuluan

Dalam periode kontemporer sekarang ini, filsafat mendapat kritik baik dari luar maupun

dari dalam tubuh ilmu ini sendiri.Hal ini berujung pada sikap skeptis dari berbagai kalangan

akadaemisi, bahkan banyak pemikir dalam maupun luar filsafat yang berpendapat filsafat

telah mati.

Bermula dari periode pencerahan, filsafat dinilai tidak lagi mampu menyediakan

penyelidikan memadai atas realitas, terutama alam. Pandangan ini memotivasi revolusi

saintifik sehingga ilmu-ilmu natural memisahkan diri dari filsafat. Dilanjutkan pada abad ke

sembilan belas saat ilmu sosial, yang mengadopsi cara pikir dan metode sains, juga

Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013

Page 2: FILSAFAT SEBAGAI DISKURSUS: SEBUAH REFLEKSI …

2    

Universitas  Indonesia  

memisahkan diri. Saat itu filsafat mampu bertahan dengan memfokuskan diri pada

pemeriksaan dan klarifikasi asusmsi dasar ilmu-ilmu lain.

Namun memasuki periode kontemporer, terdapat suara-suara sumbang dari dalam tubuh

filsafat sendiri. Bermula dari kritik terhadap sifat totalistik metafisika dan sikap skeptis

terhadap asumsi dasar epistemologi. Kritik ini menjalar ke semua ranah filsafat lain.

Richard Rorty1, contohnya, berpendapat bahwa filsafat semakin tersingkir dari kehidupan

manusia. Filsafat, menurutnya didasari oleh kehausan terus-menerus akan kebenaran. Namun

pencarian ini, sejak Hume menyatakan bahwa kebenaran (universal) tidak akan bisa diketahui

oleh manusia yang didikte oleh pengalaman individu yang partikular, adalah hal yang

percuma.2

Contoh lain datang dari feminisme. Para pemikir feminis berpendapat bahwa filsafat yang

ada sekarang merupakan penulisan dari sudut pandang laki-laki. Disini penulisan alternatif

perempuan di berbagai bidang filsafat ditenggelamkan secara sengaja maupun tak sengaja.

Oleh karenanya filsafat sekarang ini memiliki karakter agresif laki-laki, dan haruslah ditulis

ulang.

Derrida3, telah lama mengatakan bahwa filsafat didominasi oleh ilusi kebenaran universal

atau narasi besar tentang kebenaran universal. Kebenaran universal tidak eksis. Realitas

dibentuk oleh jalinan teks kompleks yang membentuk kesadaran partikular setiap individu.4

                                                                                                                         1 Seorang filsuf amerika, profesor filsafat di Universitas Chicago, Universitas Virginia dan

Universitas Princeton. 2 Rorty, Richard. Philosophy and the Mirror of Nature. New Jersey: Princeton University

Press. 1980. Hal 48.

3 Jaques Derrida merupakan seorang filsuf Prancis yang hingga 2004 aktif mengajar di

berbagai universitas di Eropa dan Amerika. 4 Derrida, Jaques. Margins of Philosophy. Sussex: The Harvester Press. 1982.

Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013

Page 3: FILSAFAT SEBAGAI DISKURSUS: SEBUAH REFLEKSI …

3    

Universitas  Indonesia  

Contoh lain adalah filsafat analitik. Filsafat analitik datang dari keraguan bahwa semua

proposisi filsafat mengandung pengetahuan. Pengetahuan disini merupakan proposisi-

prooposisi yang didapat dari metode ketat berpikir logis dan jernih.

Banyak subbidang filsafat melakukan perombakan besar-besaran terhadap asumsi dasar,

cakupan, dan subjek materinya. Perombakan sporadis ini menimbulkan tercerai-berainya

presuposisi, misi dan metode filsafat secara general. Muncul usaha-usaha baik dari aliran

maupun subbidang filsafat tadi untuk meredefinisi filsafat dan berbagai klaim terhadap

permasalahan filsafat pertama. Banyak diantaranya sangat tidak memadai.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode studi literatur dan analisa, tertuang pada bab dua, bab

tiga, dan bab empat. Studi literatur disini berarti mempelajari teori-teori berdasarkan pada

estimasi kasar terhadap keterhubungannya dengan kasus. Hasil pembacaan ini kemudian

berlanjut pada analisis. Analisis disini berarti bersikap selektif dengan merangkum dan

mempertimbangkan permasalahan untuk kemudian direduksi, direposisi dan dipaparkan

secara sistematis.

Skripsi ini ditulis menggunakan metode studi pustaka serta menggunakan metode Analisa

kritis. Studi Pustaka saya gunakan demi mendapatkan gagasan orisinal dari penulis-penulis

yang teorinya saya gunakan. Buku utama yang saya jadikan rujukan adalah Hegemony and

Socialist Strategy dari Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe. Selain buku tersebut saya juga

menggunakan beberapa buku penunjang. Setelah melakukan studi pustaka, barulah saya

melakukan analisa terhadap teori-teori yang ada dan memberikan kesimpulan terhadap apa

yang saya baca.

Teori Diskursus Ernesto Laclau

Ernesto Laclau (lahir 6 Oktober 1935 di Buenos Aires) adalah seorang filsuf politik

asal Argentina yang sering digambarkan orang sebagai seorang post-marxis. Laclau berlajar

sejarah dan lulus dari Universidad Nacional de Buenos Aires pada tahun 1964. Setelah itu ia

meraih gelar PhD pada tahun 1977 di Universitas Essex.

Sejak 1986, Laclau memulai karirnya sebagai profesor bidang ideologi dan teori

politik di Universitas Essex, di mana ia juga mengepalai program pasca-sarjana yang

Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013

Page 4: FILSAFAT SEBAGAI DISKURSUS: SEBUAH REFLEKSI …

4    

Universitas  Indonesia  

berfokus pada persoalan ideologi dan analisa diskursus. Di bawah kepemimpinannya,

program tersebut berhasil membuka jalan bagi sebuah riset baru mengenai filsafat politik

yang melandaskan teorinya pada post-strukturalisme (terutama pada pemikiran Lacan,

Derrida, Foucault, dan Barthes), untuk mengartikulasikan banyak persoalan kontemporer saat

itu (identitas kelas, hegemoni, dan diskursus). Program ini di kemudian hari dikenal sebagai

“The Essex school of discourse analysis”.5

Model politik fondasional secara inheren bersifat totalitarian. Mengapa? Karena

model-model seperti itu tidak mempertimbangkan ketergantungan simbolisasi makna pada

ruang dan waktu. Akibatnya, Ia hanya menguntungkan pihak pembuat model politik. Ia tidak

bisa menampung makna-makna lain atas identitas politik (ideologi). Hal ini menimbulkankan

keterluapan makna. Makna-makna marjinal , baik dengan paksa maupun dengan sendirinya,

akan tersingkir. Keterluapan makna inilah yang disebutnya sebagai excess of meaning.

Kekurangan cara pikir esensialis semacam ini ditunjukkan oleh Laclau dengan

mengkritik model politik Marxisme. Struktur kelas pada Marxisme didasari pada relasi

produksi, yang sebenarnya merupakan relasi ekonomis. Karena itu sebenarnya Marx

memasukkan unsur ekonomi sebagai landasan kehidupan politik. Ia mengadopsi ekonomi

sebagai ideologi politik. 6

Namun ideologi sendiri merupakan suatu hal yang kontingen, tak terprediksi dan tak

sepenuhnya dapat dimengerti. Mengapa? Karena makna merupakan hal yang tergantung pada

kesadaran individu, maka ia ambigu, mengalami interpretasi terus-menerus dan bisa berubah

oleh relasi sosial. Marxisme ortodoks tidak mampu menangkap kompleksitas kesadaran dan

hubungannya dengan ideologi. Makna pertentangan kelas mereduksi realitas menjadi

kepentingan kelas pekerja dalam tahap perkembangan ekonomi kapitalis. Implikasinya,

identitas politik bukan sesuatu yang telah diasumsikan ada sebelumnya dan hanya tinggal

ditemukan melainkan dibentuk dan disebarkan melauli diskursus hegemonis.7

                                                                                                                         5 Biografi Ernesto Laclau diambil dari wikipedia yang bersumber dari sebuah wawancara

Laclau oleh jurnal berbahasa spanyol berjudul Pagina/12. Las manos en la masa. Ernesto

Laclau contra Negri, Hardt y Zizek, Pagina/12. 2005. 6 Tormey, Simon dan Jules Townshend. Key Thinkers from Critical Theory to Post-Marxism.

London: Sage Publications. 2006. Hal 92. 7 Laclau, E. dan Chantal Mouffe. Hegemony and Socialist Strategy, Towards a Radical

Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013

Page 5: FILSAFAT SEBAGAI DISKURSUS: SEBUAH REFLEKSI …

5    

Universitas  Indonesia  

Laclau memakai dekonstruksi Derridean untuk menjelaskan ketidakstabilan makna.

Makna, yang medasari semua relasi sosial, dibentuk oleh keputusan-keputusan (desicions).

Keputusan ini tidak dibentuk secara tepat, dimaksudkan dan algoritmis, melainkan terbentuk

secara arbitrer berdasarkan pilihan-pilihan kemungkinan yang cair, terus berubah dan tak-

terputuskan (undecidability). Ini mebuat keputusan, dan juga hasilnya yaitu relasi sosial,

menjadi tidak stabil.8

Maka, semua keputusanmerupakan hasil dari represi dan penyingkiran kemungkinan-

kemungkinan pilihan keputusan lain. Karena itu pula keputusan yang mendasari identitas

politik, yaitu ideologi, mengandung didalamnya makna-makna marjinal yang tersingkir dan

tidak diberi tempat. Hal ini yang disebut sebagai keterluapan makna.

Laclau memakai segitiga simbolik Lacanian dalam menjelaskan proses pembentukan

makna. Setiap Individu terus menerus mengidentifikasi diri untuk mecapai ‘kepenuhan’ yang

sebenarnya tidak mungkin dicapai. Pencarian akan ‘kepenuhan’ ini merupakan akibat dari

trauma atas pertemuan dengan ‘the real’ ketika individu tersebut berada pada tahap pra-

linguistik. Semenjak itu individu berusaha mengisi kekosongan dengan proses-proses yang

berada dalam ranah imajiner (yaitu identifikasi diri terus-menerus tadi). Hal ini juga terjadi

dalam identifikasi politik. Penanda tatanan sosio-politis selalu gagal dalam merepresentasikan

subjek secara menyeluruh. Subjek yang gagal terepresentasi ini akan selalu terepresi.9

Karena itu, politik terbelah antara identifikasi ideologi dan representasi simbolik dari

ideologi tersebut dalam politik formal.10 Untuk menamai kedua ranah politik ini, Laclau

meminjam istilah the political dan politics dalam karya Chantal Mouffe. The political

merupakan suatu ranah politik yang tercipta oleh antagonisme antara identifikasi ideologi dan

pertentangan kuasa dalam relasi sosial. antagonisme ini inheren di dalam relasi sosial.

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                         Democratic Politics. London: Verso. 1985. Hal 53. 8 Laclau, Ernesto. New Reflections on the Revolution of Our Time. London: Verso. 1990. Hal

60 dan 61. 9 Laclau, Ernesto. Minding the Gap. dalam Ernesto Laclau (ed.). The Making of Political

Identities. London: Verso. 1994. Hal 32. 10 Idem. Hal 36 dan 37.

Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013

Page 6: FILSAFAT SEBAGAI DISKURSUS: SEBUAH REFLEKSI …

6    

Universitas  Indonesia  

Sedangkan apa yang dimaksud dengan politics adalah praktek diskursus dalam sebuah

institusi untuk mengatur kebersamaan berbagai kepentingan dalam sebuah masyarakat11

Masyarakat, oleh Laclau, diandaikan sebagai ‘the real’. Karena itu masyarakat adalah

suatu konsep yang tidak mungkin tercapai secara penuh. Masyarakat disini diperlakukan

sebagai ruang kosong dimana penanda-penandanya (ideologi) bersaing untuk mengisi dan

mencoba mencapai kepenuhan yang tak mungkin tadi.12

Definisi masyarakat adalah kemungkinan tercapainya semua makna sosial dalam

sebuah matriks yang bisa menjelaskan semua proses partikular didalamnya. Namun tentu saja

matriks seperti itu tidak mungkin ada. Karena itu Laclau merubah definisi masyarakat13

sebagai ketidakmungkinan tercapainya segala makna sosial sebagai kesatuan penuh. Definisi

baru ini memungkinkan terciptanya semua makna yang akan memunculkan ke permukaan

makna-makna marjinal yang biasanya direpresi. Namun disisi lain, definisi sosial semacam

ini juga mempuat ketercapaian makna apapun menjadi tidak mungin. 14

Penulis memakai teori diskursus Ernesto Laclau untuk menganalisis filsafat karena

melihat bahwa teori tersebut memiliki kesamaan pola dengan apa yang terjadi dengan filsafat

sekarang ini. Laclau dan penulis berbagi semangat dalam menjadikan ontologi menjadi

sebuah diskursus terbuka. Laclau telah menerapkannya kepada ontologi politik semantara

dalam skripsi ini penulis bermaksud untuk menerapkannya menjadi ontologi filsafat. Dalam

teori diskursus Laclau penulis melihat adanya potensi untuk, dalam term Laclauian ‘me-

reaktivasi’ filsafat sebagai sebuah ilmu yang hidup dan cair.

Filsafat sebagai Diskursus

Filsafat adalah aktivitas bertanya. Sejak awal filsafat muncul karena manusia

penasaran. Manusia bertanya-tanya tentang drinya dan lingkungannya. Ia bertanya tentang

                                                                                                                         11 Mouffe, Chantal. The Democratic Paradox. London: Verso. 2000. Hal 101. 12 Laclau, Ernesto. Emancipation(s). London: Verso. 1996. Hal 35. 13 Ia menyebutnya sebagai the social untuk membedakannya dari defini pertama akan

masyarakat, yang ia sebut sebagai society. 14 Laclau, Ernesto. Hegemony and the Future of Democracy: Ernesto Laclau’s Political

Philosophy. dalam Lynn Woshma dan Gary S. Olson (ed).

Race, Rhetoric, and the Postcolonial. Albania: SUNY Press. 1999. Hal 146.

Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013

Page 7: FILSAFAT SEBAGAI DISKURSUS: SEBUAH REFLEKSI …

7    

Universitas  Indonesia  

alam, tentang manusia itu sendiri. Manusia bertanya tentang apa yang menjadikannya ada,

tentang alasan dan tujuan ia berada.

Setiap zaman memiliki fokus dan ketertarikan yang berbeda. Disini penulis akan

memberi tiga contoh dari tiga zaman yang berbeda. Yaitu yunani kuno, abad pertengahan,

dan abad modern. Contoh-contoh tersebut bukan berarti penulis beranggapan bahwa tidak ada

pemikiran peradaban lain yang eksis selain itu, bukan pula bahwa sejarah pemikiran hanya

terjadi pada peradaban tersebut, melainkan hanya permasalahan pembatasan semata.

Era yunani kuno filsafat mempertanyakan asal usul manusia dan alam semesta. Apa

asal-usul alam semesta? Mengapa alam semesta ada ketimbang tiada? Semenjak Thales di

Abad 6 Sebelum Masehi hingga era Socrates dua ratus tahun kemudian, persoalan semacam

inilah yang mendominasi perbincangan filsafat. Para pemikir tersebut berpendapat bahwa

jawabannya akan jelas jika melakukan pengamatan terhadap alam, maka Yunani kuno

memiliki kecenderungan berbicara tentang filsafat alam.

Karakteristik filsafat pada Abad Pertengahan adalah posisi epistemologis filsafat yang

diletakkan dibawah teologi. Saat itu manusia mempertanyakan tentang adanya suatu

penyebab yang agung dan tunggal atas eksistensi dirinya. Pada masa itu, semua upaya

penyelidikan filsafat diarahkan agar dapat menjadi sandaran atau fondasi bagi klaim-klaim

teologis (eksistensi Tuhan, problem pewahyuan, moralitas, dan sebagainya).

Filsafat kemudian mengkhususkan dirinya pada misi memberikan fondasi kepastian yang

kokoh bagi ilmu pengetahuan. Filsafat Barat khususnya mengalami sebuah peralihan lokus

pencarian kebenaran dari entitas eksternal (Tuhan) kepada subjek. Kebenaran yang hakiki

hanya dapat diperoleh melalui akal budi kita sendiri, bukan melalui sabda Tuhan atau

semacamnya. Gagasan semacam inilah yang kemudian menjadi karakteristik pemikiran

Eropa di jaman modern.

Walaupun setiap zaman memiliki fokus dan ketertarikan pada tema yang berbeda,

namun terdapat suatu benang merah, yaitu aktivitas bertanya. Filsafat terus menerus

mengajukan pertanyaan. Aktivitas bertanya merupakan sifat alamiah dari filsafat. sifat

alamiah ini mewujud di sepanjang sejarah dalam pergulatan antara pengetahuan (knowledge)

dan dogma.

Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013

Page 8: FILSAFAT SEBAGAI DISKURSUS: SEBUAH REFLEKSI …

8    

Universitas  Indonesia  

Pembahasan mengenai pergulatan antara knowledge dan dogma merupakan analisis

penulis dengan karakteristik analisis Laclauian sebagai kerangka teori. Seperti juga Laclau 15

yang berpendapat bahwa unsur alamiah politik muncul pada antagonisme antara kawan dan

lawan, sifat alamiah filsafat, yaitu pertanyaan, muncul pada pertentangan antara knowledge

dan dogma.

“Knowledge” sendiri penulis artikan sebagai kualitas yang bercirikan: kritisisme,

selalu mempertanyakan pengetahuan yang mapan, dan tidak pernah memberikan jawaban

yang bersifat final. Sedangkan dengan “dogma” penulis mengartikan yang sebaliknya.

“Dogma” berarti pengetahuan yang telah dianggap sebagai kebenaran yang final dan

selesai.16

Pergulatan ini muncul contohnya pada sejarah pemikiran yunani kuno. Seperti yang

telah disebutkan diatas, filsafat yunani kuno memfokuskan diri pada penyelidikan atas alam.

Kecenderungan filsafat untuk menjadi sebuah upaya penyelidikan atas alam ini tentu saja

bukan tanpa alasan. Pada masa itu, segala jawaban atas pertanyaan-pertanyaan manusia

tentang alam semesta dijawab melalui mitos dan dongeng. Mitos-mitos ini, tentu saja, bersifat

mistik dan supra-natural, dan dipertahankan lewat jalur tradisi dan kebiasaan. Pemberontakan

beberapa orang atas pengetahuan yang didasarkan pada mitologisme ini memulai suatu tradisi

baru dalam ilmu pengetahuan manusia, yakni upaya pencarian kebenaran melalui hasil kerja

pikiran yang rasional dan observasi yang independen. Paradigma baru ini serta-merta

membabat habis segala karakteristik supra-natural yang terdapat di dalam mitos-mitos

tradisional.

                                                                                                                         15 Yang meminjam karya Chantal Moffe sebagai penjelasannya, yang juga Mouffe pinjam

dari karya Carl Schmitt. Mouffe, Chantal. The Democratic Paradox. London: Verso. Hal ? 16 Analisis serupa muncul pada analisis Bertrand Russel terhadap problem filsafat: “..for

philosophy is merely the attempt to answer such ultimate questions, not carelessly and

dogmatically, as we do in ordinary life and even in the sciences, but critically, after exploring

all that makes such questions puzzling, and after realizing all the vagueness and confusion

that underlie our ordinary ideas.” Russell, Bertrand. The Problem of Philosophy. USA:

Oxford University Press. 1997. Hal 2.

Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013

Page 9: FILSAFAT SEBAGAI DISKURSUS: SEBUAH REFLEKSI …

9    

Universitas  Indonesia  

Pada filsafat abad pertengahan, para filosof meragukan apakah eksistensi manusia

benar-benar akan terjawab oleh penyelidikan atas alam. Mereka akhirnya beralih dengan

menyimpulkan bahwa pastilah ada penyebab tertinggi yang menjelaskan eksistensi manusia,

karena itu fokus filsafat beralih ke pembahasan tentang Tuhan.

Pada abad moodern, para pemikir mulai mempertanyakan otoritas tuhan terhadap

alam dan eksistensi manusia. Menyingkirkan otoritas Tuhan dalam proses pencarian

kebenaran membawa konsekuensi yang tidak mudah bagi filsafat. Filsafat kemudian

mengkhususkan dirinya pada misi memberikan fondasi kepastian yang kokoh bagi ilmu

pengetahuan. Era modern adalah sebuah periode di dalam sejarah Eropa Barat yang menyusul

pudarnya pengaruh kekuasaan gereja di Abad Pertengahan. Kata “modern” sendiri berarti

“baru” atau “ bersifat kekinian”. Hal ini merujuk pada paradigma baru yang dianut oleh

orang-orang Eropa pada masa itu, yakni orientasi pada masa kini dan perencanaan masa

depan. Paradigma semacam ini tidak terdapat pada era-era sebelumnya (terutama pada Abad

Pertengahan) yang, karena pengaruh keagamaan yang kuat, lebih berorientasi pada kejayaan

masa lalu dan keselamatan dunia setelah kematian (akhirat).

Terdapat kesamaan pada setiap periode. Filsafat terus-menerus mencoba

mempertanyakan dogma yang telah ada dan mengajukan problem baru. Problem baru

tersebut kemudian dipertanyakan kembali, dan seterusnya.

Namun setelah itu pencarian pengetahuan di abad modern mulai menspesialisasi diri.

Pengetahuan-pengetahuan tersebut memisahkan diri dari tubuh filsafat. mereka ingin

mengurusi dirinya sendiri, memberi pertanyaan pada dirinya sendiri, menemukan problemnya

sendiri dan melakukan penyelidikan dengan metodenya sendiri.

Semenjak masa modern, terjadi proses otonomisasi disiplin-disiplin ilmu

pengetahuan. Disiplin-disiplin ilmu yang tadinya merupakan cabang dari filsafat kini menjadi

otonom, sehingga filsafat kehilangan subject matter yang spesifik. Proses otonomisasi itu

terjadi disegala bidang.

Ilmu Natural (Natural Science) contohnya, pada abad pertengahan ilmu natural

merupakan bidang menyatu dengan agama (yang saat itu sama dengan filsafat). Ilmuwan-

ilmuwan pada saat itu adalah juga filsuf alam yang menganut filsafat alam Aristotelian.

Penyelidikan tentang alam dan rasio selalu dihubungkan dengan konsep ketuhanan.

Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013

Page 10: FILSAFAT SEBAGAI DISKURSUS: SEBUAH REFLEKSI …

10    

Universitas  Indonesia  

Sejalan dengan bertambahnya inkonsistensi sains (yang masih dalam kuasa teologi)

dengan pengamatan empiris, maka lahirlah apa yang disebut sebagai revolusi saintifik. Para

pemikir revolusi saintifik bertujuan ingin memisahkan sains dari ilmu lainnya terutama

teologi, dan dengannya menjamin otonomi sains. Untuk tujuan ini maka landasan dan cara

kerja sains harus diperbarui. Mulailah dibentuk suatu metode baru untuk menjelaskan alam.

Penyelidikan sains berubah dari perenungan tentang kebesaran tuhan mejadi pengamatan

empiris dan eksperimen, keduanya dilandaskan pada perhitungan matematis.

Para pemikir filsafat mulai mepertanyakan problem apakah yang tersisa bagi filsafat.

Filsafat juga mulai berpikir tentang jawaban, tentang kajian pengetahuan apa yang harus

menjadi fokus filsafat. Mereka mulai mencari fokus baru sebagai subject matter spesifik

filsafat. Muncullah kesibukan untuk mengklaim fokus kajian filsafat.

Richard Rorty17 dan John Searle18 contohnya, menyatakan bahwa fokus kajian filsafat

adalah problem kesadaran (mind and body). Pada Rorty fokus filsafat adalah kesadaran dan

hubungannya dengan bahasa, karena realistas menurutnya adalah pembentukan ide dalam

kesadaran oleh bahasa. Sementara Searle berpendapat bahwa jaman epistemologi telah

berakhir, karenanya filsafat hanya bisa diselamatkan jika kesadaran dipandang sebagai

realitas sosial. Contoh lainnya adalah Oliver Marchart, dalam Post-foundational Political

Thought, menyatakan politikal (ontologi politik atau filsafat politik) sebagai prima

philosophia atau fokus utama filsafat.19 Usaha lainnya untuk menyelamatkan filsafat adalah

mengklaim kembali pengetahuan sebagai ranah filsafat.

Semua kesibukan saling mengklaim fokus utama filsafat dan merebut kembali ilmu

pengetahuan mengakibatkan filsafat berubah menjadi sebuah ruang prosedural perebutan

kuasa. Filsafat terbelah antara identifikasi makna ‘filsafat’ sebagai suatu ‘kepenuhan’ dan

                                                                                                                         17 Rorty, Richard. Philosophy and the Mirror of Nature. New Jersey: Princeton University

Press. 1980. Hal 4 dan 5. 18 Searle, John. R. Philosophy in New Century, Selected Essays. Cambridge: Cambridge

University Press. 2008. Hal 4. 19 Marchart, Oliver. Post-Foundational Political Thought: Political Difference in Nancy,

Lefort, Badiou and Laclau. Edinburg: Edinburg University Press. 2007. Hal 162.

Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013

Page 11: FILSAFAT SEBAGAI DISKURSUS: SEBUAH REFLEKSI …

11    

Universitas  Indonesia  

representasi identitas filsafat dalam persaingan filsafat pertama, menjadi The Philosophical

dan philosophy.20

The philosophical ditandai dengan kategori knowledge dan dogma. Dua hal inilah

yang membedakan dan mendefinisikan nature disiplin ilmu filsafat dari disiplin ilmu yang

lainnya. Filsafat hanya menjadi filosofis ketika ia semakin mendekati kualitas yang

disyaratkan oleh ‘knowledge’, sebagaimana ia akan berhenti menjadi filosofis ketika semakin

mendekati karakteristik ‘dogma’.

Sedangkan philosophy, yakni dimensi ontis dari filsafat, adalah filsafat dalam

pengertian yang paling spesifik. Inilah definisi filsafat yang ditentukan oleh para pelaku

kegiatan filsafat itu sendiri. The philosophy tidak menunjukkan pengertian filsafat yang

paling mendasar, tetapi hanya merujuk pada konsep filsafat yang secara institusional diterima

oleh orang-orang kebanyakan. Contoh: filsafat sebagai ilmu tentang kebenaran yang hakiki,

atau filsafat sebagai ilmu yang mempelajari tentang ‘Ada’.

Setelah membagi filsafat ke dalam dua dimensi ontologis dan ontis, lalu kemudian

menentukan kualitas apa yang membuat filsafat memiliki dimensi ontologis yang

independen, maka sekarang kita bisa menerapkan logika berpikir double gesture

fiksasi/defiksasi (sebagaimana yang diterapkan Laclau dalam teori sosial) kepada disiplin

ilmu filsafat. Hal ini penulis lakukan agar disiplin ilmu filsafat sebagai diskursus dapat tetap

menjadi ruang diskursus yang terbuka, selalu berada di dalam perdebatan, tetapi sekaligus

membuka diri untuk terus berkembang dan adaptif terhadap perubahan-perubahan baru.

Sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya, Laclau berpendapat bahwa founding

totality atau totalitas struktur masyarakat yang bersifat teleologis sebagaimana digambarkan

oleh para marxis klasik adalah suatu hal yang tidak mungkin. Bagi Laclau, setiap struktur

masyarakat selalu mengalami keterbatasan, dan setiap upaya strukturasi selalu menghasilkan

residu makna (excess of meaning) yang tidak bisa sepenuhnya dikuasai. Keterbatasan struktur

ini Laclau sebut sebagai infinitude of the social. Ketegangan antara dua konsep founding

totality dan infinitude of the social inilah yang kemudian menjadikan setiap struktur

masyarakat sebagai ruang diskursus yang terbuka.

                                                                                                                         20 Istilah ini penulis buat sebagaimana keterbelahan politik menjadi politics dan the political.

Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013

Page 12: FILSAFAT SEBAGAI DISKURSUS: SEBUAH REFLEKSI …

12    

Universitas  Indonesia  

Pada filsafat, kita dapat menemukan ketegangan tersebut pada upaya para akademisi

filsafat untuk merumuskan konsep filsafat yang utuh dan memiliki subject matter yang stabil

dan pada fakta bahwa secara praktis kita tidak mungkin lagi merumuskan sebuah sistem

filsafat yang dapat diklaim sebagai filsafat pertama.

Keterbelahan filsafat membuat filsafat harus diperlakukan seperti ‘masyarakat’ dalam

defini Laclauian. Filsafat harus didefinisikan sebagai ketidakmungkinan tercapainya segala

makna ‘filsafat’ sebagai kesatuan penuh. Hal ini dilakukan justru supaya makna-makna

marjinal atas filsafat bisa naik ke permukaan dan ikut bersaing dalam ruang kosong kegiatan

filsafat.

Filsafat juga harus diperlakukan sebagai sebuah diskursus. Tentu saja definisi

diskursus disini merupakan defini diskursus laclauian, yaitu sebuah ruang kosong dimana

segala pemaknaan filsafat dapat mengklaim dirinya dan membuktikan diri sebagai filsafat

pertama.

Filsafat diperlakukan sebagai diskursus agar proses fiksasi dan defiksasi makna

filsafat bisa terjadi. Juga agar momen reaktifasi makna filsafat bisa tercapai dan filsafat bisa

mendefinisikan dirinya dalam suatu titik partikular. Sesuai dengan momen politikal Laclau,

momen kembalinya universal dalam titik partikular dalam filsafat penulis sebut sebagai

momen the philosophical.

Kesimpulan

Filsafat merupakan pertanyaan. Pertanyaan yang mewujud dengan pergulatan antara

dogma dan knowledge. Dogma disini diartikan sebagai pengetahuan yang telah dianggap

sebgai kebenaran final dan selesai. Sedangkan knowledge penulis artikan sebagai kualitas

yang mempertanyakan pengetahuan yang mapan tersebut. Sejarah filsafat dipenuhi

pergulatan dogma dan knowledge.

Sejak awal filsafat muncul karena manusia bertanya. Manusia bertanya tentang apa

yang membuat dirinya dan lingkungannya ada. Manusia penasaran apakah cerita tentang asal

mula keberadaan dirinya merupakan sebuah kebenaran. Kemudian ia bertanya tentang

kebenaran, lalu tentang Tuhan. Filsafat selalu mempertanyakan pengatahuan yang telah ada,

pengetahuan yang telah dianggap sebagi kebenaran.

Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013

Page 13: FILSAFAT SEBAGAI DISKURSUS: SEBUAH REFLEKSI …

13    

Universitas  Indonesia  

Namun filsafat seperti kehilangan arah saat pengetahuan-pengetahuan tersebut ingin

mengurusi dirinya sendiri. Mereka ingin memisahkan diri dari filsafat, memberi pertanyaan

pada dirinya sendiri dan dan menemukan jawabannya sendiri dengan caranya sendiri.

Banyak filosof mulai mepertanyakan problem apakah yang tersisa bagi filsafat.

Filsafat juga mulai berpikir tentang jawaban, tentang kajian pengetahuan apa yang harus

menjadi fokus filsafat. Muncullah kesibukan untuk mengklaim fokus kajian filsafat. Richard

Rorty contohnya, dalam Philosophy and The Mirror of Nature, menyatakan bahwa fokus

kajian filsafat adalah problem kesadaran dan hubungannya dengan bahasa.21 Contoh lainnya

adalah Oliver Marchart, dalam Post-foundational Political Thought, menyatakan politikal

(ontologi politik atau filsafat politik) sebagai prima philosophia atau fokus utama filsafat.22

Penulis memakai analisis Laclauian untuk melihat apa yang terjadi pada filsafat dan

bagaimana menyingkapi keadaan filsafat sekarang ini.

Ernesto Laclau (dan Chantal Mouffe dalam proposi terbatas karena ikut menyumbang

tulisan pada sebagian karya Laclau) bertujuan untuk membalik urutan prioritas antara the

social dan the political dalam society.23 The political terus menerus digusur oleh the social.

Namun karena the political merupakan sifat alami dari masyarakat (society), ia tidak bisa

hilang sepenuhnya, ia bisa diaktifkan kembali. Hasilnya, the political menjadi suprastruktur

yang bekerja dari luar memasukkan dan mengeluarkan landasan bagi society. Tapi Landasan

tersebut (dalam bentuk nilai dan ideologi) tidak bisa sepenuhnya dicapai dalam masyarakat.

Society, dalam arti sebuah masyarakan yang utuh menganut suatu ideologi, sebuah

masyarakat homogen, tidak akan pernah ada. Inilah yang Laclau sebut sebagai

ketidakmungkinan akan sebuah masyarakat (the impossibility of society).24

Apa yang dimaksud Laclau dengan the political? Ia memulainya dengan menyatakan

bahwa politik terbelah menjadi dua. Di satu sisi politik menjadi suatu dimensi yang tadinya

                                                                                                                         21 Rorty, Richard. Philosophy and the Mirror of Nature. New Jersey: Princeton University

Press. 1980. Hal 4 dan 5. 22 Marchart, Oliver. Post-Foundational Political Thought: Political Difference in Nancy,

Lefort, Badiou and Laclau. Edinburg: Edinburg University Press. 2007. Hal 162. 23 Laclau, Ernesto. New Reflections on the Revolution of Our Time.

London: Verso. 1990. Hal 160. 24 idem. Hal 92.

Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013

Page 14: FILSAFAT SEBAGAI DISKURSUS: SEBUAH REFLEKSI …

14    

Universitas  Indonesia  

terdapat dalam the social (politics), di sisi lain ia berubah lebih radikal (the political). Namun

Laclau sendiri tidak menjelaskan lebih lanjut perbedaan antara politik dan politikal. Ia hanya

secara implisit mengatakan bahwa perbedaan yang ia maksud merujuk pada perbedaan politik

dari Chantal Mouffe.25 Mouffe mendefinisikan politikal sebagai dimensi yang pasti ada

dalam semua relasi manusia, yaitu antagonisme. Antagonisme disini tentu saja meminjam

konsep pertentangan kawan-lawan (friend/enemy) dari Carl Schmitt yang merupakan sifat

dasar dari semua hubungan politik.26 Sedangkan politik adalah praktek-praktek dalam sebuah

institusi untuk menata dan mengorganisir kebersamaan manusia.27

Sedangkan untuk mendefinisikan the social, Laclau membandingkannya dengan

konsep society srukturalisme. Dalam strukturalisme masyarakat (society) didefinisikan

sebagai segala posibilitas penyelesaian semua makna sosial yang bisa dengan tuntas

menjelaskan semua proses pasial di dalamnya. Berbeda dengan definisi tadi, Laclau

mengambil posisi post-strukturalis, mendefinisikan masyarakat sebagai ketidakmungkinan

penyelesaian apapun (dalam konteks ini, termasuk penyelesaian sosial) sebagai kesatuan

yang penuh dan menyeluruh. Mengapa? Menurutnya, proses pemaknaa marginal dalam

konteks apapun (termasuk dalam masyarakat) meruntuhkan makna yang (terus menerus)

dibangun dan berujung pada ketakmungkinan penyelesaian dasar sosial dalam matriks

singular. Hal ini membuat penyelesaian itu sendiri sebagai kata dan keadaan yang tidak

mungkin. Karena itu pula, Laclau memilih kata the social daripada society untuk merujuk

pada kata ‘masyarakat’.28

Laclau berpendapat bahwa politik telah diambil alih oleh praktek-praktek sosial,

antagonisme antara kawan-lawan telah berubah menjadi manajemen kepentingan. Proses

pengambil-alihan ini ia sebut sebagai sedimentasi sosial. Perubahan ini mengakibatkan

masyarakat (society) berdiri diatas landasan yang tidak stabil, karena itu sifat dasar politik

                                                                                                                         25 Marchart, Oliver. Post-Foundational Political Thought: Political Difference in Nancy,

Lefort, Badiou and Laclau. Edinburg: Edinburg University Press. 2007. Hal 135 dan 142. 26 Mouffe, Chantal. The Democratic Paradox. London:

Verso. 2000. Hal 33. 27Idem. Hal 101. 28 Laclau, Ernesto. Hegemony and the Future of Democracy: Ernesto

Laclau’s Political Philosophy. dalam Lynn Woshma and Gary S. Olson (ed),

Race, Rhetoric, and the Postcolonial, Albany: SUNY Press. 1999. Hal 129 dan 164.

Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013

Page 15: FILSAFAT SEBAGAI DISKURSUS: SEBUAH REFLEKSI …

15    

Universitas  Indonesia  

(yaitu antagonisme) bisa diaktifkan kembali. Istilah sedimentasi dan reaktifasi ia ambil dari

Edumund Husserl. Namun tidak seperti Husserl yang mendefinisikan reaktivasi sebagai

mengembalikan landasan awal masyarakat, Laclau melihat reaktifasi sebagai mengambil

keputusan kontingen yang membentuk masyarakat pada titik tertentu, dalam ruang dan waktu

yang partikular. Proses reaktivasi ini ia sebut sebagai momen politikal.29

Laclau menunjukkan (dengan membahas landasan super-struktur masyarakat yang

ditawarkan Karl Marx, yaitu mengadopsi prinsip ekonomi sebagai ideologi politik) bahwa

politik pada era fondasional didasarkan pada sesuatu yang berada di luar politik. Ini

mengakibatkan masyarakat menjadi bersifat totalistik. model seperti ini menurutnya sangat

mudah (dan semakin) mengalami krisis. Mengapa? Karena model semacam ini menghasilkan

excess of meaning. Meaning disini merujuk pada makna yang dimengerti oleh masing-masing

individu atas society. Makna ini sangat beragam pada setiap individu dan model landasan

super-struktur diatas tidak akan bisa menampung semua makna tersebut. Hasilnya banyak

individu (dengan maknanya sendiri akan society) akan tercecer, dan tak ada yang bisa

dilakukan untuk memasukkannya pada landasan masyarakat yang bersifat totalistik.30

Karena itu Laclau (dan Mouffe) berusaha meredefinsi society sebagai proses terbuka

dan parsial untuk memutuskan sebuah landasan masyarakat. Keterbukaan disini merupakan

suatu hal yang konstitutif bagi proses tersebut. Keterbukaan harus dipandang sebagai negasi

dari landasan itu sendiri. Keterbukaan mencegah society bersifat totalistik. Keterbukaan

menjadikan suatu landasan dalam masyarakat menjadi mungkin tercapai (dalam momen

politikal yang partikular) sekaligus tidak mungkin tercapai (dalam momen totalistik). Hal ini

yang disebut sebagai impossibility of society.31

Jika Laclau berpendapat bahwa politik terpecah menjadi dua, yaitu sifat alami politik

(the political) dan unsur yang sebebenarnya dimiliki ranah sosial (politics). Filsafat, ditengah

usahanya mengklaim kembali pengetahuan dari sains dan kesibukannya menemukan fokus

utamanya kembali, juga terbelah. Antara antagonisme knowledge/dogma yang merupakan

                                                                                                                         29 Idem. Hal 146. 30 Laclau, Ernesto. New Reflections on the Revolution of Our Time.

London: Verso. 1990. Hal 90. 31 Laclau, Ernesto dan Chantal Mouffe. Hegemony and Socialist Strategy.

Towards a Radical Democratic Politics. London: Verso. 1985. Hal 95 dan 96.

Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013

Page 16: FILSAFAT SEBAGAI DISKURSUS: SEBUAH REFLEKSI …

16    

Universitas  Indonesia  

sifat alamiah filsafat dengan hal-hal prosedural klaim-klaim filsafat pertama. Filsafat terbagi,

disini penulis menyarankan istilah baru sesuai dengan analisis Laclauian, antara the

philosophical dan philosophy.

Antagonisme antara knowledge dan dogma mengandung didalamnya unsur terpenting

bagi filsafat yaitu aktivitas bertanya. Ia bergulat sepanjang sejarah terus-menerus

mempertanyakan apa yang telah dianggap kebenaran final.

Usaha filsafat mengklaim kembali ilmu pengetahuan, misalnya secara kultural, etika,

maupun menganalisis problem pengetahuan dan mengklaim problem tersebut sebagai ranah

filsafat, tidak pernah berhasil. Mengapa? Karena sains dan filsafat mempunyai tujuan yang

berbeda dan dari awal tidak bisa disamakan. Tujuan sains adalah penakhlukan (dengan

berusaha memahami, eksperimen dan merekayasa) dunia dan isinya (termasuk realitas).

Sedangkan unsur dasar filsafat adalah pertanyaan.

Sedangkan usaha banyak filosof untuk menentukan fokus utama filsafat dengan klaim

filsafat pertama, masih simpang siur. Semua klaim tadi bebas menentukkan maknanya sendiri

atas filsafat dan belum ada standar yang jelas untuk persaingan tersebut. Disini penulis

memiliki ide untuk menjadikan filsafat sebagai diskursus, yang pada dasarnya menerapkan

teori diskursus atau hegemoni laclauian sebagai syarat persaingan di dalam filsafat, untuk

mengklaim apa itu filsafat.

Ada tiga hal penting yang menjadi kata kunci dalam diskursus Laclauian, yaitu

impossibility of society, fiksasi/defiksasi atau sedimentasi/reaktifasi, dan momen politikal.

Untuk mendefinisikan apa itu filsafat, bagaimana cara kerjanya dan apa objek

kajiannya inti dari filsafat itu itu sendiri harus dikosongkan. Harus disadari bahwa pendasaran

apapun dalam filsafat secara penuh dan final tidaklah mungkin. Mengapa? Karena

pendasaran apapun untuk mengidentifikasi satu makna filsafat akan mengakibatkan apa yang

disebut Laclau sebagai excess of meaning), keterceceran makna-yang lain atas filsafat.

pendasaran filsafat harus dilakukan dengan menyadari bahwa ‘dasar’ yang bersifat itu sendiri

merupakan hal yang tidak mungkin. Ia dikosongkan agar nanti bisa diisi kembali oleh suatu

landasan sementara hanya agar filsafat bisa memenuhi sifat alamiahnya, yaitu melakukan

aktivitas bertanya.

Proses memasukkan dan mengeluarkan landasan, yang dijelaskan sebagai sedimentasi

dan reaktifasi atau fiksasi dan defiksasi sosial, juga diberlakukan pada filsafat. Pada filsafat

Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013

Page 17: FILSAFAT SEBAGAI DISKURSUS: SEBUAH REFLEKSI …

17    

Universitas  Indonesia  

fiksasi landasan terjadi saat seorang filosof menentukkan fokus utama bagi filsafat.

sedangkan defiksasi terjadi saat landasan tersebut dipertanyakan kembali, diuji dan

dibuktikan salah. Fiksasi kembali terjadi saat filosof lain mencoba menentukkan landasan

baru bagi filsafat.

Seperti juga moment of the political dari Laclau, yaitu dimana suatu landasan politik

mencapai fiksasinya, momen tercapainya suatu landasan partikular yang bersifat sementara

disebut sebagai momen the philosophical. The Philosophical merupakan ruang dimana suatu

landasan atas kegiatan filsafat tercapai. Landasan tersebut akan mendasari segala kegiatan

berfilsafat, menentukan objek kajiannya, menentukkan metode dan hasil dari kegiatan

filsafat. Sedangkan philosophy merupakan ruang persaingan antara banyak klaim filsafat

pertama.

Dengan dikosongkannya landasan filsafat (membuat pendasaran filsafat yang final

menjadi tidak mungkin) dan kegiatan fikssi dan defiksasi filsafat menjadikan filsafat menjadi

sebuah ranah diskusus terbuka. Mekanisme diskursus terbuka atas filsafat ini akan

menampung makna-makna marjinal yang selama ini tercecer. Mereka berhak mengklaim

pemaknaannya sendiri atas filsafat dengan mengklaim landasan filsafat.

Daftar Acuan

Buku:

Benardete, Seth (terj). (1984). The Being of The Beautiful: Plato’s Theaetetus, Sophis and

Statemans. London: The University of Chicago Press.

Laclau, Ernesto. (1977). Politics and Ideology in Marxist Theory. London: Verso.

Laclau, E. dan Chantal Mouffe. (1985). Hegemony and Socialist Strategy, Towards a Radical

Democratic Politics. London: Verso.

Laclau, Ernesto. (1990). New Reflections on the Revolution of Our Time. London: Verso.

Laclau, Ernesto. (1996). Emancipation(s). London: Verso.

Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013

Page 18: FILSAFAT SEBAGAI DISKURSUS: SEBUAH REFLEKSI …

18    

Universitas  Indonesia  

Laclau, Ernesto. (2005). On Populist Reason. London: Verso.

Marchart, Oliver. (2007). Post-Foundational Political Thought: Political Difference in

Nancy, Lefort, Badiou and Laclau. Edinburg: Edinburg University Press.

Mouffe, Chantal. (2000). The Democratic Paradox. London: Verso.

Panizza, Francisco. (2005). Populism and the Mirror of Democracy. London: Verso.

Rorty, Richard. (1980). Philosophy and the Mirror of Nature. New Jersey: Princeton

University Press.

Russell, Bertrand. (1997). The Problem of Philosophy. USA: Oxford University Press.

Searle, John. R. (2008). Philosophy in New Century, Selected Essays. Cambridge: Cambridge

University Press.

Tormey, Simon dan Jules Townshend. (2006). Key Thinkers from Critical Theory to Post-

Marxism. London: Sage Publications.

Jurnal:

Laclau, Ernesto. (1994). Minding the Gap. dalam Ernesto Laclau (ed.). The Making of

Political Identities. London: Verso.

Laclau, Ernesto. (1996). Deconstruction, Pragmatism, Hegemony dalam Chantal Mouffe

(ed.). Deconstruction and Pragmatism. London: Routledge.

Laclau, Ernesto. (1999). Hegemony and the Future of Democracy: Ernesto Laclau’s Political

Philosophy. dalam Lynn Woshma dan Gary S. Olson (ed).

Race, Rhetoric, and the Postcolonial. Albania: SUNY Press.

Laclau, Ernesto. (2000). Identity and Hegemony: The Role of Universality in the

Constitution of Political Logics. dalam Judith Butler, Ernesto Laclau dan Slavoj Zizek.

Contingency, Hegemony, Universality. London: Verso.

Dokumen Elektronik:

Laclau, Ernesto. (2008). Philosophical Roots of Discourse Theory.

http://www.essex.ac.uk/centres/theostud/onlinepaper.asp.

Filsafat sebagai..., Dipa Ena, FIB UI, 2013