yuni pratiwi. sejarah dan sastra

21

Click here to load reader

Upload: ahmad-dhaifullah

Post on 14-Aug-2015

34 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

PENGEMBANGAN PERSPEKTIF DALAM PEMAKNAAN PERISTIWA DALAM TEKS SASTRA BERMUATAN NILAI SEJARAH

Oleh: Yuni PratiwiUniversitas Negeri Malang. Alamat Jln. Semarang 5 Malang 65145 Alamat rumah: Jln. Terusan Ambarawa 59, Malang 65145. Telepon 0341-570317 E-mail: [email protected]

Abstrak: Karya sastra merupakan sisi lain catatan perjalanan sejarah kehidupan manusia. Meskipun dalam karya sastra berlatar sejarah sulit dipisahkan antara fakta sejarah yang valid dengan imajinasi dan kreasi yang dipaparkan dengan bahasa metaforis, namun dalam karya sastra dapat ditelusuri spiritualitas yang berupa filsafat dan nilai moral kehidupan masyarakat pada suatu zaman. Sastrawan memanfaatkan latar sejarah sebatas sebagai panorama masa silam dengan tokoh-tokoh yang tengah menghadapi berbagai masalah. Jalan pikiran, sikap, pilihan, cita-cita, obsesi, semangat, pengorbanan dari para tokoh dalam karya sastra dapat menjadi sumber belajar untuk melakukan analisis kritis, memaknai masa silam dan memprediksi masa depan. Kata kunci: sastra, sejarah, pemaknaan peristiwa

Pendahuluan Dalam bentangan pasang surut sejarah kehidupan, manusia tidak dapat dipisahkan kehadirannya dengan karya sastra, baik dalam bentuk lisan atau tulis. Karya sastra merupakan karya kreatif yang merefleksikan kesadaran, penghayatan, dan pemaknaan sastrawan terhadap realitas zaman tertentu. Sastrawan kemungkinan hidup dalam dimensi waktu yang sama atau berbeda dengan zaman yang ditulisnya. Jika pengarang hidup dalam dimensi waktu yang sama, kemungkinan ia hadir sebagai pengamat atau pelaku dalam realitas tersebut. Jika pengarang hidup dalam kurun waktu yang berbeda, ia berusaha menyerap kembali spiritualitas zaman tersebut. Misalnya, semangat ketuhanan telah membakar kalbu seorang pangeran dari Jawa, Diponegoro, untuk melakukan perlawanan kepada kaum penjajah telah mengilhami Chairil Anwar penyair kelahiran Sumatra, pada tahun 1940-an untuk menuliskan puisi Diponegoro dan Taufiq Ismail pada tahun 1995 menulis Pangeran Diponegoro, Magelang 28 Maret, 1830. Demikian pula W.S. Rendra menulis puisi Gugur yang menggambarkan semangat perlawanan seorang pejuang yang telah berusia tua dalam peristiwa Palagan Ambarawa.1

Karya sastra mampu menembus batas-batas ruang, waktu, dan struktur sosial budaya berbagai kelompok masyarakat. Sastra terbukti memiliki kekuatan yang memberi pengaruh luas pada manusia karena dalam sastra terkandung interpretasi pengarang terhadap berbagai kehidupan yang mahaluas. Interpretasi pengarang berpijak pada ketulusan, kejujuran, dan kebenaran; yang maknanya seringkali menjadi samar-samar dalam realitas kehidupan, justru dipertahankan oleh penulis sastra. Sastra menjadi sebuah institusi yang masih memberi harapan bagi manusia untuk berbicara tentang realitas kehidupan yang hakiki. Realitas yang tidak berpijak pada gejala tampak, tetapi pada makna di balik gejala yang tampak. Proses interpretasi dan imajinasi terhadap dunia realitas membebaskan pengarang dari tekanan-tekanan emosi sehingga diperoleh penjernihan batin (katarsis). Pada sisi yang lain, hasil interpretasi dan imajinasi pengarang juga dapat dimanfaatkan pembaca untuk membebaskan diri dari tekanan emosi. Seorang pembaca juga akan mengalami perasaan lega ketika emosi mereka diberi fokus dan tekanan emosi tersebut lepas pada akhir pengalaman estetis mereka, sehingga mendapatkan ketenangan pikiran (Wellek dan Warren, 1990: 35). Ketika seorang pembaca melalui bahasa yang digunakan pengarang tengah berada dalam proses pemahaman dunia ciptaan (imajinasi, khayalan) dalam karya sastra, ia pun dengan senang hati akan terlibat dalam petualangan dan pengalaman imajinatif. Pembaca akan merasakan bahwa membaca karya sastra merupakan kegiatan yang menyenangkan dan tidak merugikan karena terus-menerus memperoleh tambahan kekayaan pengalaman batiniah , hidup tidak terasa membosankan, dan waktu terasa berlalu dengan lebih cepat dan menyenangkan. Karya sastra juga mengasah kepekaan manusia terhadap hidup dan memberikan kesempatan untuk memahami nilai-nilai kehidupan. Pengarang melibatkan pembaca untuk memahami masalah, sikap, dan pilihan nilai dalam memecahkan masalah. Hal semacam ini tidak ditemukan misalnya dalam permainan kartu, permainan video games, atau bermain ping-pong. Dalam membaca sastra pembaca bukan hanya memperoleh kesenangan tetapi juga pemahaman (not only enjoyment but understanding). Pada umumnya, sebuah karya yang dihasilkan berdasarkan realitas kehidupan dapat dapat dikategorikan sebagai karya sastra, jika pengarang telah mengolahnya dengan imajinasi dan kreativitas. Dengan demikian, sesuatu yang tersaji merupakan perpaduan antara dan kemungkinan kebenaran (truth) dan seni (art). Kebenaran yang bermatra ganda, yakni pertama, kebenaran tersebut dapat ditemukan dalam realitas kehidupan (literarary fact); kedua, kebenaran tersebut hanya dapat diterima secara logika tetapi hanya ditemukan dalam2

karya fiksi (literary truth). Kebenaran yang terakhir ini merupakan buah imajinasi dan kreativitas pengarang. Dengan demikian, kebenaran sastra merupakan sebuah konsep yang harus dipahami secara hati-hati.

Relasi Sastra dengan Dunia Realitas Dalam karya sastra tidak dapat ditemukan data-data sejarah yang otentik. Kesulitan para arkeolog untuk memanfaat sastra sebagai dokumen sejarah yakni menelusuri fakta sejarah yang berbaur dalam imajinasi dan kreasi dalam paparan bahasa metaforik. Meskipun demikian, ada kekuatan sejarah yang mendasar dalam karya sastra, yakni spiritualitas. Spiritualitas tersebut berupa filsafat kehidupan yang mengakar pada kehidupan masyarakat yang dikisahkan dan paparan nilai moral kehidupan sosial-kemanusiaan yang amat kental. Dalam fiksi misalnya, kedua hal tersebut terefleksi pada pikiran dan sikap tokoh dalam pengembangan alur cerita. Fakta dalam teks sastra dengan fakta sejarah tidak selalu dapat bertemu pada proposisi yang sama, karena sastra mampu menembus batas-batas realitas melalui imajinasi yang mengembara tidak hanya pada alam realitas, tetapi dapat menembus lapisan kejiwaan yang sangat dalam, bahkan ke alam transendental; sedangkan sejarah menyajikan konstruksi yang bersifat tetap atau otentik. Seorang sastrawan mengambil peristiwa kecil dan memberikan makna, sedangkan sejarawan mengkaji peristiwa yang besar. Kehadiran karya sastra bermuatan nilai sejarah yakni melacak jejak kedasaran manusia dalam perkembangan peradaban pada suatu zaman dan memaknai bagian-bagian yang belum diekspos dalam wacana sejarah. Dalam teks sastra, penulis lazimnya menyajikan sejumlah panorama alam atau

bangunan sebagai setting peristiwa. Sastrawan kemungkinan memilih dan menampilkan versi setting yang berbeda meskipun merujuk pada satuan tempat, waktu, dan peristiwa yang sama. Hal tersebut dilakukan dengan alasan penulis menampilkan tokoh yang berbeda atau tokoh yang sama yang dikembangkan dengan perspektif filsafat atau nilai yang berbeda sehingga pesan yang ingin disampaikannya pun berbeda. Karya sastra membuka kesempatan bagi pembaca melintasi panorama perjalanan sejarah secara analitis-interpretatif dan kritis. Pengarang mengajak pembaca melakukan perenungan filosofis melalui peristiwa yang dialami para tokoh dan dialog yang yang dijalin dengan bahasa estetis sehingga menyentuh imajinasi dan emosi. Sastra menjadi pengisi sisisisi kebutuhan kerohanian manusia. Sastra merekam perkembangan peradaban manusia3

melalui kemahiran pujangga

memahami realitas sejarah tidak sekadar pada materinya,

melainkan pada akar filsafat kehidupan masyarakat yang dikisahkannya. Sejarah diangkat sebagai latar cerita, situasi, panorama masa silam yang menggugah alam batin sehingga pembaca merasakan kesedihan, keharuan, kegembiraan, kebencian, ketakjuban, semangat patriotik, perasaan nasionalisme yang membara, dan juga kengerian luar biasa dalam memandang sisi-sisi tragis dalam sejarah kehidupan manusia. Sejarah memiliki relasi yang sangat erat dengan karya sastra. Perhatikan kutipan berikut.W.S. Rendra GUGUR Ia merangkak di atas bumi yang dicintainya Tiada kuasa lagi menegak Telah ia lepaskan dengan gemilang pelor terakhir dari bedilnya ke dada musuh yang merebut kotanya Ia merangkak di atas bumi yang dicintainya Ia sudah tua luka-luka di badannya Bagai harimau tua susah payah maut menjeratnya Matanya bagai saga menatap musuh pergi dari kotanya Sesudah pertempuran yang gemilang itu lima pemuda mengangkatnya di antaranya anaknya ia menolak dan tetap merangkak menuju kota kesayangannya Ia merangkak di atas bumi yang dicintainya Belum lagi selusin tindak mautpun menghadangnya Ketika anaknya memegang tangannya ia berkata: Yang berasal dari tanah kembali rebah pada tanah Tanah Ambarawa yang kucinta Kita bukanlah anak jadah kerna kita punya bumi kecintaan Bumi yang menyusui kita dengan mata airnya 4

Bumi kita adalah tempat pautan yang syah Bumi kita adalah kehormatan Bumi kita adalah jiwa dari jiwa ia adalah bumi nenek moyang ia adalah bumi waris yang sekarang ia adalah bumi waris yang akan datang Hari pun berangkat malam Bumi berpeluh dan terbakar Karena api menyala di kota Ambarawa Orang tua itu kembali berkata Lihatlah hari telah fajar! Wahai bumi yang indah Kita akan berpelukan buat selamanya Nanti sekali waktu seorang cucuku akan menancapkan bajak di bumi tempatku berkubur kemudian akan ditanamnya benih dan tumbuh dengan subur Maka ia pun akan berkata --Alangkah gemburnya tanah di sini Haripun lengkap malam Ketika ia menutup matanya

Dalam puisi tersebut, W.S. Rendra mengungkapkan semangat perjuangan dan keikhlasan seorang lelaki dalam kancah peperangan untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Kenyataan bahwa para pejuang memiliki semangat yang gigih dan sikap yang ikhlas tentunya tidak pernah bisa disangkal sepanjang sejarah. Namun demikian, narasi tentang bagaimana peristiwa-peristiwa peperangan tersebut dialami secara perseorangan dan bagaimana gejolak semangat kecintaan kepada tanah air, bangsa, dan masa depan negeri sang pejuang inilah yang dikembangkan melalui kreasi dan imajinasi penulis dengan belajar pada fakta-fakta yang secara umum dipelajari dalam sejarah. Hal yang sama juga dapat dibaca pada kutipan berikut.Tahun 1946 bagiku serba simpang siur dan aku sendiri sudah tidak tahu lagi harus terpikir apa.Patroli rutin semakin membosankan, karena terus terang saja, kami orang-orang tentara tidak paham soal diplomasi dan segala kemunafikan kaum diplomat, sehingga merasa dijadikan bulan-bulanan, Jendral Spoor jelas mengarah ke suatu penyerangan total. Kami tahu, tekun dia mempersiapkan operasi tidak kecilkecilan. Tetapi dari pihak lain van Mook sudah sama-sama minum teh dengan kuekue dengan si pengecut Soekarno. Ya, tentu saja orang-orang Inggris biang keladinya. Tentu saja, seperti yang kami dengar, Spoor dan Pingke dengan sendirinya naik pitam. Apalagi kami. Ini mau ke mana? Verbruggen semakin diam dan jenewernya semakin banyak yang habis. Dalam saat-saat kepalanya dibakar jenewer itu dan lidahnya semakin kendor, ia sering berbicara serba berbahaya. Apalagi sesudah datang berita koran tentang persetujuan pemerintah Belanda dengan kaum Republik mengenai pembelaian beras setengah juta ton oleh kaum Gandhi itu demi penanggulangan bahaya kelaparan di sana. 5

Dalam saat-saat seperti itu ia selalu menuding-nuding aku, mengulang-ulang lagi lagu lamanya,Kan sudah saya bilang. Mengapa Syahrir itu dulu tidak kau tembak, hah? Menembak Soekarno susah, karena menunjukkan reaksi hebat dari kaum ekstrimis. Tetapi sebenarnya menembak Syahrir sebetulnya gampang. Orang Republik pun sebetulnya kan senang kalau Syahrir pergi. Dan aku-aku lagi yang dipersalahkan. Dan setiap kali ia mengucapkan kata Syahrir, selalu saja tidak bisa lain, aku melihat lagi sang sekretaris muda sederhana, Larasati. Lalu seluruh jerohanku muak karena sampai sekarang belum lagi jelas, di mana Papiku ada, masihkan ia hidup ataukah sudah hilang. Dan Mami? .... Di kantin aku mendengar para perwira Inggris dan Belanda sedang hangat ramai membicarakan datangya peristiwa yang akan menjadi hiburan di tengah rutin kelabu sehari-hari. Edan, sungguh edan! Yang menyebut diri Komandan Angkatan Udara Republik Indonesia sinting itu akan datang, ya dengan pesawat terbang, dan jam sekian dan sekian akan mendarat di Kemayoran. Ini keterlaluan. Perwira Belanda sungguh kecut, tetapi perwira-perwira Inggris melohatnya Cuma dagelan saja, welcome untuk mereka. Dan betul, kira-kira pada jam yang sudah ditentukan, bahkan agak terlalu pagi, kami lihat dari arah timur tiga bintik kecil. Sorang pilot Inggris berteriak, Zero! Uah, perang dunia kedua meletus lagi. .... Hey Heyhoo! Hello Direk, sekarang tidak Cuma ada Flying Dutcman, tetapi juga Flying Merdekamen! yang bernama Dirk hanya suram diam. .... (Y,B.Mangunwijaya, Burung-Burung Manyar, hal. 79-81)

Dalam kutipan di atas dikisahkan peristiwa yang dialami tokoh Setatewa (Teto), pemuda yang beribu perempuan Belanda dan berayah Indonesia dan ia sangat mencintai negeri kelahirannya. Teto memutuskan bergabung menjadi pasukan tentara NICA dengan maksud untuk membalas dendam kepada tentara Jepang yang telah melakukan tindakan keji terhadap sang ibu dan hilangnya sang ayah. Gejolak pikiran dan perasaan para tentara di tengah perubahan peta politik yang berlangsung secara cepat inilah yang direkam dan diungkap secara mendalam oleh penulis. Hal ini berbeda dengan metode penelitian sejarah yang harus dilakukan seorang sejarawan yang harus dilakukan secara prosedural. Sejarawan melaporkan pelaku, peristiwa, ruang, dan waktu secara kronologis dan disertai bukti-bukti yang valid dan argumentasi yang logis. Sejarawan melakukan rekonstrukti sejarah secara orisinal dengan data-data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini berbeda dengan sastrawan yang memanfaatkan sejarah sebagai bahan baku penulisan tanpa harus melakukan pembuktian atau mempertanggungjawabkan kebenarannya. Masalah yang kemudian muncul yakni bagaimana mengukur kadar kesejarahan dalam karya sastra. Kadar kesejarahan dalam karya sastra dapat ditelusuri dalam wujud filsafat dan nilai kehidupan yang mengakar atau patriotisme, berbasis pada kehidupan batin, moralitas, heroisme, pengorbanan, keteguhan dalam perjalanan sejarah panjang kehidupan

kebangsaan. Bahkan dengan pendekatan poskolonialiseme, dapat dilihat potret buram anakanak bangsa yang gelisah menentukan jati diri pada masa penjajahan dan sesudah merdeka6

pun kesulitan menepis mental pribumi yang seringkali menjadi rendah diri dan lebih memuja orang asing. Kemampuan sastrawan ini dapat memberikan sumbangan bagi sejarawan untuk memaparkan sejarah yang sejati perjalanan kehidupan manusia dan untuk mengukir sejarah peradaban kemanusiaan bergelimang kemuliaan. Pemaknaan Fenomena Sejarah dalam dalam Perspektif Karya Sastra Sastrawan memiliki kesempatan yang sangat leluasa ketika menyampaikan pemahaman, pemaknaan, refleksi, dan evaluasi terhadap peristiwa sejarah. Lebih dari itu, sastrawan berkesempatan pula memanfaatkan fakta sejarah untuk menyampaikan analisis kritis dan menyampaikan alternatif baru. Sastrawan dapat pula memanfaatkan peristiwa sejarah untuk menunjukkan latar depan dan prediksinya. Hal tersebut dilakukan bertolak dari pemaknaan peristiwa sejarah yang dilakukan secara subjektif. Sastawan tidak perlu mempertanggungjawabkan secara metodologis sebab tugasnya adalah membangun struktur wacana sastra yang koheren. Stuktur wacana yang koheren dibangun dengan berlandaskan pada unsur yang fiksional dan imajinatif. Perhatikan karya puisi yang ditulis oleh Taufiq Ismail berikut.Sebuah Jaket Berlumur Darah Sebuah jaket berlumur darah Kami semua telah menatapmu Telah pergi duka yang agung Dalam kepedihan bertahun-tahun Sebuah sungai membatasi kita Di bawah terik matahari Jakarta Antara kebebasan dan penindasan Berlapis senjata dan sangkur baja Akan mundurkah kita sekarang Seraya mengucapkan Selamat tinggal perjuangan Berikara setia kepada tirani Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan? Spanduk kumal itu, ya spanduk itu Kami semua telah menatapmu Dan di atas bangunan-bangunan Menunduk bendera setengah tiang Pesan itu telah sampai kemana-mana Melalui kendaraan yang melintas Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa Prosesi jenazah ke pemakaman Mereka berkata Semuanya berkata 7

LANJUTKAN PERJUANGAN 1966

Puisi tersebut ditulis berdasarkan sejarah politik pemerintahan Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno. Gugurnya tokoh mahasiswa Universitas Indonesia, Arief Rachman Hakim, yang tertembak pada peristiwa demonstrasi mahasiswa pada tahun 1966 membawa kesedihan yang sangat mendalam. Hal lain yang dipahami penyair yakni kesedihan yang mendalam justru menggelorakan semangat dan pesan perjuangan ke seluruh penjuru negeri. Bandingkan pula dengan puisi yang ditulis dengan konteks sejarah politik yang hampir sama berikut ini. 12 Mei, 1998Mengenang Elang Mulya, Hery Hertanto, Hendrawan Lesmana dan Hafidhin Royan Empat syuhada berangkat pada suatu malam, gerimis air mata tertahan di hari keesokan, telinga kami lengkapkan ke tanah kuburan dan simaklah itu sedu sedan Mereka anak muda pengembara tiada sendiri, mengukir reformasi Karena jemu deformasi, dengarkan saban hari langkah sahabat Sahabatmu menderu-deru. Kartu mahasiswa telah disimpan dan tas kuliah turun dari bahu Mestinya kalian jadi insinyur dan ekonom abad dua puluh satu, Tapi malaikat telah mencatat indeks prestasi kalian tertinggi di Trisakti bahkan di seluruh negeri, karena kalian berani Mengukir alfabet pertama dari gelombang ini dengan Darah arteri sendiri, Merah putih yang setengah tiang ini, merunduk di bawah garang Matahari, tak mampu mengibarkan diri karena angin lama Bersembunyi, Tapi peluru logam telah kami patahkan dan doa bersama, dan Kalian pahlawan bersih dari dendam, karena jalan masih Jauh dan kita perlukan peta dari Tuhan 1998

Selain mencatat sejarah politik pada kedua puisi tersebut, seiring terjadinya krisis ekonomi global yang juga melanda ekonomi Indonesia, sastrawan juga mencatat sejarah perkembangan ekonomi Indonesia pada tahun 1998. Perhatikan puisi berikut.

Taufiq Ismail 8

BAYI LAHIR BULAN MEI 1998 Dengarkan itu ada bayi mengea di rumah tetangga Suaranya keras, menangis berhiba-hiba Begitu lahir ditating tangan bidannya Belum kering darah dan air ketubannya Langsung dia memikul hutang di bahunya Rupiah sepuluh juta Kalau dia jadi petani di desa Dia akan mensubsidi harga beras orang kota Kalau dia jadi orang kota Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya Kalau dia bayar pajak Pajak itu mungkin jadi peluru runcing Ke pangkal aortanya dibidikkan mendesing Cobalah nasihati bayi ini dengan penataran juga Mulutmu belum selesai bicara Kau pasti dikencinginya 1998

Berdasarkan karya-karya tersebut diketahui bahwa berbagai fenomena sejarah kehidupan dicacat dalam karya sastra dengan berbagai perspektif. Imajinasi dan kreativitas pengarang dikembangkan berdasarkan dunia realitas yang ada di hadapannya. Imajinasi sebatas sebagai kemasan sedangkan esensinya tetap untuk mengangkat harkat dan martabat manusia, bahkan pada saat-saat manusia berada pada situasi kejiwaan yang sangat tragis dan kritis seperti pada puisi berikut.Sapardi Djoko Damono DOA SEORANG SERDADU SEBELUM PERANGTuhanku Wajahmu membayang di kota terbakar Dan firman-Mu terguris di atas ribuan Kuburan yang dangkal Anak menangis kehilangan bapa Tanah sepi kehilangan lelakinya Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini Tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia Apabila malam turun nanti Serpurnalah sudah warna dosa Dan mesiu kembali lagi bicara Waktu itu, Tuhanku, Perkenankan aku membunuh Perkenankan aku menusukkan sangkurku 9

Malam dan wajahku Adalah satu warna Dosa dan nafasku Adalah satu udara Tak ada lagi pilihan Kecuali menyadari Biarpun bersama penyesalan Apa yang bisa diucapkan Oleh bibirku yang terjajah? Sementara kulihat kedua tangan-Mu yang capai Mendekap bumi yang mengkhianati-Mu Tuhanku Erat-erat kugenggam senapanku Perkenankan aku membunuh Perkenankan aku menusukkan sangkurku

Pada puisi tersebut, penyair memasuki dunia spiritualitas seorang serdadu di tengah kancah peperangan. Pergolakan batin yang amat dahsyat digambarkan ketika seorang serdadu dihadapkan pada pilihan untuk mengusir musuh (penjajah) dengan cara membunuhnya dan perasaan getir ketika ia harus membunuh sesamanya. Penelusuran ke alam kejiwaan inilah yang dilakukan penyair dan tidak dapat dimasukkan sebagai data yang valid dalam kajian sejarah. Namun demikian, hal perlu mendapat perhatian, seorang sastrawan tidak bermaksud mengelabui pembaca, melainkan semata-mata menyampaikan esensi makna dari peristiwa sejarah yang menjadi perhatiannya. Karya sastra dapat menjadi kritik historis dan menjadi bahan renungan untuk merancang peradaban kehidupan masa depan dengan belajar sejarah. Pemaknaan Kritis terhadap Peristiwa dalam Sastra Karya sastra dengan muatan falsafah dan nilai kehidupan yang indah dapat diibaratkan sebagai guru yang ramah. Di Amerika Serikat, karya sastra mendapat tempat baru sebagai guru moral pada semua jenjang pendidikan (Lickona, 1991: 174). Di Sekolah Menengah Atas dan perguruan tinggi novel tertentu digunakan untuk membiasakan peserta didik sensitif dan peduli terhadap persoalan-persoalan etika. Dengan menggunakan karya sastra, guru dapat mengajak peserta didik untuk berpikir kritis ( critical thinking) dan berpenalaran moral (moral reasoning). Di antara kegiatan pembelajaran yang dilakukan di kelas, guru melibatkan peseta didik dalam mendiskusikan persoalan etika atau masalah kehidupan yang diajukan oleh pengarang di dalam novel, melakukan aktivitas kelas yang berhubungan dengan nilai moral yang sedang dibahas di kelas, dan memberikan tugas kepada

10

orang tua dan peserta didik untuk membahas pertanyaan atau masalah yang berhubungan dengan etika. Karya sastra yang ditulis berdasarkan peristiwa sejarah dapat digunakan sebagai salah satu sumber belajar nilai moral untuk mengembangkan peradaban bangsa. Dari kisah-kisah yang tragis maupun komis, masyarakat merenungkan akar falsafah kehidupan masyarakat yang amat dalam. Proses perenungan tersebut membawa pembaca pada penemuan pola-pola watak, tingkah laku, dan sikap manusia. Bahkan lebih dari itu, pola watak, tingkah laku, dan sikap tokoh dilihat berbagai dasar pemilihan alternatif nilai dan menjelma menjadi mitos yang dibangun dalam kehidupan yang nyata. Upaya ini didorong suatu pemahaman bahwa melalui karya sastra yang ditulis berdasarkan peristiwa sejarah, pembaca belajar untuk memahami dan merenungkan manusia dengan segenap pola watak, masalah, pilihan nilai, sikap, dan perilakunya. Pemahaman yang mendalam melalui proses apresiasi yang berwujud aktivitas membaca; dialog dengan nara sumber dan guru; upaya merumuskan dan menguji hipotesis; serta upaya merumuskan simpulan atas nilai moral yang mereka pelajari dapat meningkatkan kepekaan mereka tentang masalah lahir-batin manusia. Kepekaan ini membuat mereka berpikir lebih arif dalam menyikapi realitas kehidupan mereka sebagai pribadi, anggota keluarga, dan anggota masyarakat. Interkasi pembaca dengan teks sastra membuka kesempatan untuk memeperoleh pengalaman sastra yang bersifat batiniah (the heart of the literary experience) dan memetik butir-butir nilai kearifan hidup untuk pengenalan fitrah kemanusiaan dalam skala horizontal dan vertikal. Kegigihan dalam mempertahankan prinsip perjuangan pada kutipan berikut menunjukkan konflik batin yang dahsyat yang dialami seorang tentara Republik di tengah pergolakan perang, sperti pada kutipan berikut.

KS. dra

KAPTEN MURTOMOKarya Emil Sanossa

VAN DIJK MONDAR-MANDIR PADA SEBUAH RUANG. KAPTEN MURTOMO BERDIRI DI DI DEPAN SALAH SATU SISI DINDING. TANGAN DAN KAKINYA TERBORGOL. RAUT WAJAH DAN SOROT MATANYA MENUNJUKKAN KETABAHAN DAN KETEGARAN. TERDENGAR SUAR RIBUT, KEMUDIAN SEORANG SERDADU MEMBAWA TAWANAN DARI PENDUDUK SIPIL.

....VAN DIJK : (PADA MOERTOMO) Tuan dengar itu Moertomo? Tuanlah yang harus menjawab pertanyaannya ! Tuan tak mau berkata apa-apa? (PADA PARA TAWANAN) 11

Dengarlah baik-baik: Lelaki yang kalian lihat ini adalah seorang pemberontak. Dialah yang selalu mengacau kalian dengan teror dan perampokan-perampokan itu! Dia tahu benar di mana Jendral Sudirman sembunyi. Pemimpin pemberontak itu hari ini juga harus ditangkap! Laki-laki ini tahu benar di mana ia sembunyi, tapi dia tak mau khianat pada pemimpinnya. Nah, kalian harus berusaha agar ia mau mengatakan dengan terus terang di mana persembunyian Sudirman. Jelas? IBU PEGAWAI PEDAGANG VAN DIJK PEDAGANG VAN DIJK : Kalau dia tak mau mengatakan? : Kalau dia tidak bersedia mengatakannya kepada Tuan, bagaimana kami bisa memperoleh pengakuannya? Dan mengapa kami harus menghiraukan dia? : Ya, ini bukan urusan kami! : Di situ letak kesalahan kalian! Nasib kalian bergantung dari pengakuan yang diberikannya! : Ini tidak masuk akal, Tuan. Mengapa kami harus ikut campur tangan? : Sudah, jangan banyak rewel. Sekarang dengarkan: Sekarang kira-kira pukul setengah delapan lebih. Kalian akan kukurung di sini bersama laki-laki itu selama satu jam. : Satu jam?! : Kalau dalam waktu satu jam dia belum juga buka rahasia : Bagaimana? : Kalian semua akan ditembak! Keempat-empat kalian! : Tapi, Tuan. Anak-anakku bagaimana? Irwan sedang sakit! : Nyawa anakmu tergantung dari mulut orang itu! : Van Dijk!

IBU VAN DIJK PEGAWAI VAN DIJK IBU VAN DIJK MOERTOMO .... PEDAGANG Moertomo PEGAWAI

: Kau katakan: Ya atau tidak! : Coba maklumi saja. : Apa yang mesti dimaklumi? Maklum apa yang dikatakan opsir itu? Atau Sudirman Kau serahkan atau kami semua mereka tembak. Begitu? Aku punya anak lima orang. Yang sulung belum lagi sebelas tahun umurnya. Kau tak peduli karena bukan Kau yang memberi makan. Bagaimana? : Itu benar. Semua itu benar. Masing-masing kalian mempunyai kebenaran dan kehidupan yang mesti kalian bela. Tapi Panglima Besar adalah harapan kita semua. Kita telah mempertaruhkan kepercayaan kita kepadanya, bahwa ia akan meneruskan perjuangan ini, ia akan memimpin pasukan gerilya, walaupun Bung Karno dan Bung Hatta sudah ditawan. Jendral yang budiman itu adalah harapan kalian, harapanku, dan harapan berjuta-juta rakyat. Ia sudah merupakan lambang, lambang dari perjuangan kita semua. Lambang dari tekat kemerdekaan kita. Pada dirinya musuh melihat tekat rakyat ini. Tekat rakyat yang tak terpatahkan betapapun juga parah dan sengsaranya. Ialah yang mampu mempersatukan kekuatan-kekuatan bersenjata yang tersebar dan yang merupakan modal kita buat memenangkan revolusi ini.

MOERTOMO

.

Naskah yang ditulis oleh seorang anggota pasukan TRIP dapat dipelajari bahwa ketika seorang tentara berada di kancah peperangan ia tidak hanya berhadapan dengan penjajah sebagai musuh utamanya, tetapi juga berhadapan dengan kepentingan sesaat bangsa sendiri bahkan dengan diri sendiri. Meskipun berada pada tekanan jiwa yang amat berat, seorang12

tentara harus tetap tegar dan tabah menjunjung prinsip dan nilai perjuangan kemerdekaan bangsa, hormat kepada komandan, dan bertanggung jawab menjaga Jenderal Sudirman yang telah menjadi simbol kekuatan perlawanan di tengah berbagai konflik politik dan senjata saat itu. Hal senada juga tampak pada kutipan puisi yang ditulis Chairil Anwar berikut.Chairil AnwarLAGU DARI PADA PASUKAN TERAKHIR Pada tapal terakhir sampai ke Jogja bimbang telah datang pada nyala langit tergantung suram kata-kata berantakan pada arti sendiri Bimbang telah datang pada nyala dan cinta tanah air akan berupa peluru dalam darah serta nilai yang bertebaran sepanjang masa bertanya akan kesudahan ujian mati atau tiada mati-matinya O, Jendral, Bapa, Bapa tiadakah engkau hendak berkata untuk kesekian kali ataukah suatu kehilangan keyakinan hanya akan tetap tinggal pada tidak sempurna dan nanti tulisan yang telah dibuat sementara akan hilang ditiup angin, karena ia berdiam di pasir kering O, Jendral, kami yang kini akan mati tiada lagi dapat melihat kelabu laut renangan Indonesia O, Jendral, kami yang kini akan jadi tanah, pasir, batu dan air kami cinta pada bumi ini Ah mengapa pada hari sekarang, matahari sangsi akan rupanya, dan tiada pasti pada cahaya yang akan dikirim ke bumi Jendral, mari Jendral mari jalan di muka mari kita hilangkan sengketa ucapan dan dendam kehendak pada cacat keyakinan engkau bersama kami engkau bersama kami Mari kita tinggalkan ibu kita mari kita biarkan isteri dan kekasih mendoa mari Jendral, mari sekali ini derajat orang pencari bahaya mari, jendralmari jendral mari, mari .

Kedua karya tersebut dapat dianalisis dengan pendekatan intertekstualitas sehingga mengarah pada simpulan muatan nilai yang sama karena ditulis dengan latar sejarah yang sama. Dalam kutipan tersebut tergambar rasa kejenuhan, keprihatinan yang menjurus pada13

frustasi dirasakan para tentara Republik menyaksikan pertikaian politik kaum nasionalis di meja-meja perundingan. Temuan-temuan ini dapat disumbangkan untuk melengkapi sisi spiritualitas kajian sejarah. Temuan dari kajian sastra yang mengandung nilai bersifat komplementer untuk disumbangkan pada upaya pembangunan peradaban yang berlandaskan pada filsafat kemanusiaan yang mendasar guna membangun kehidupan kebangsaan yang mulia, cerdas, dan sejahtera. eduap Simpulan Karya sastra yang bermuatan nilai sejarah mencatat sejarah peradaban manusia yang digali dari akar filsafat kehidupan yang secara sadar dipedomani dalam kehidupan. Sastrawan merekam dan memaknai peristiwa dan sisi-sisi kejiwaan secara mendalam dengan berbagai perspektif kehidupan dan mengemasnya dengan kreativitas dan imajinasi. Sastrawan tidak perlu melakukan pertanggungjawaban empiris dengan data material yang otentik atu valid, sebab sejarah sebatas sebagai latar kehidupan dengan tokoh, suasana, dan panorama alam yang menggambarkan situasi zaman yang ditulisnya. Muatan filsafat dan nilai sejarah dalam karya sastra dapat disumbangkan pembangunan peradaban menuju kehidupan yang mulia, cerdas, dan sejahtera.

14

DAFTAR PUSTKA

Barthes, Roland. 2009. Mitologi. Alihbahasa Nurhadi dan A. Sahibul Millah. Bantul: Kreasi Wacana. Eagleton, Terry, 2010. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif. Alihbahasa Harfiyah Widiawati. Yogyakarta: Jalasutra Faruk. 1995. Perlawanan Tak Kunjung Usai. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Faruk. 2007. Belenggu Pasca-Kolonial: Hegomoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ghazali, Abdus Syukur (Ed.). 2009. Ilmu Penegtahuan Sosial, Seni Budaya, dan Pengajarannya. Malang: UM Press. Idrus, Muhammad. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif. Jakarta: Penerbit Erlangga. Kadarisman, A. Effendi.2009. Mengurai Bahasa Menyibak Budaya. Malang: UM Press. Kuntawijayo. 2006. Maklumat Sastra Profetik. Yogyakarta: Grafindo Litera Media. Kuntawijayo. 2006. Islam sebagai Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana. Lickona, T. 1991, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books Perrine, L. 1983. Story and Structure. San Diego: Harcourt Brace Javanovich, Publishers. Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Wellek, Rene & Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Alihbahasa Melani Budianta. Jakarta: Gramedia. Karya

15