dian pratiwi 2

Upload: alit-yudha

Post on 09-Jan-2016

32 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

citra digital, informatika

TRANSCRIPT

  • Bab II

    Landasan Teori

    Di dalam thesis penelitian ini, terdapat beberapa landasan teori yang

    digunakan sebagai penunjang. Teori tersebut diantaranya mengenai pengolahan

    citra, feature extraction, normalisasi data, penyakit osteoarthritis, dan jaringan

    syaraf tiruan backpropagation.

    II. 1 Pengolahan Citra (Image Processing)

    Pengolahan citra adalah suatu sistem dimana proses dilakukan dengan

    masukan berupa citra dan menghasilkan citra pula dengan kualitas yang lebih

    baik.

    Terminologi yang berkaitan dengan pengolahan citra adalah computer

    vision. Pada hakikatnya computer vision mencoba meniru cara kerja human vision

    (sistem visual manusia). Human vision sesungguhnya sangat kompleks, dimana

    manusia melihat objek dengan mata, lalu citra objek diteruskan ke otak untuk

    diinterpretasi sehingga manusia mengerti objek apa yang tampak dalam matanya.

    Computer vision merupakan proses otomatis yang mengintegrasikan sejumlah

    besar proses untuk persepsi visual, seperti akuisisi citra, pengolahan citra,

    klasifikasi, pengenalan (recognation), dan membuat keputusan.

    Sesuai dengan perkembangan computer vision itu sendiri, pengolahan citra

    mempunyai dua tujuan utama (Ahmad, 2005), yakni :

    1. Memperbaiki kualitas citra, dimana citra yang dihasilkan dapat menampilkan

    informasi secara jelas sehingga dapat diinterpretasikan oleh manusia.

  • 7

    2. Mengekstrasi informasi ciri yang menonjol pada suatu citra dimana hasilnya

    adalah informasi citra yang bisa didapat manusia secara numerik atau dengan

    kata lain komputer melakukan interpretasi terhadap informasi yang ada pada

    citra melalui nilai-nilai data yang dapat dibedakan secara jelas.

    Dalam perkembangan lebih lanjut dari ilmu komputasi yang menggunakan

    pengolahan citra, pengenalan terhadap suatu penyakitlah yang lebih banyak

    dimanfaatkan dan diaplikasikan. Hal ini dikarenakan pengenalan/pendeteksian

    suatu penyakit akan membantu pengobatan agar lebih cepat ditangani, sehingga

    menjauhkan kemungkinan terjadinya kesalahan diagnosa maupun analisis yang

    dilakukan secara manual oleh pihak medis.

    Citra itu sendiri pengertiannya merupakan sebuah representasi informasi

    dua dimensi yang diciptakan dengan melihat atau merasakan sebuah objek. Secara

    matematis, citra merupakan fungsi kontinyu dari intensitas cahaya pada bidang 2D

    (Purnomo & Puspitodjati, 2010).

    Citra yang dimaksud dalam penelitian ini adalah citra X-ray bergambar

    rangka tulang tangan yang setelah melalui proses scan akan berbentuk citra

    digital. Citra digital akan didefinisikan sebagai fungsi f(x,y) dimana x menyatakan

    nomor baris, y menyatakan nomor kolom, dan f menyatakan nilai warna pada

    citra. Fungsi tersebut dapat digambarkan pula dalam bentuk matriks dengan

    ukuran N baris x M kolom seperti di bawah ini

  • 8

    Dalam setiap citra digital, mengandung sejumlah elemen-elemen dasar

    berupa kecerahan (brightness), kontras (contrast), kontur (contour), warna

    (color), bentuk (shape), dan tekstur (texture). Citra digital inilah yang kemudian

    akan dipergunakan sebagai data masukan untuk mengukur tingkat keparahan

    penyakit osteoathritis dengan elemen dasar yang dipilih pada penelitian ini adalah

    dari tingkat intensitas warna dan tekstur .

    II.1.1 Konversi Warna RGB ke Greyscale

    Sistem pengolahan citra yang pertama akan dilakukan di dalam penelitian

    ini adalah mengkonversi warna citra true color (24 bit) pada X-ray menjadi

    greyscale (8 bit). Untuk mendapatkan nilai greyscale, setiap piksel pada citra yang

    terdiri atas nilai R (Red), G (Green), B (Blue) akan dirata-rata sehingga akan

    menghasilkan nilai keabuan berinterval 0 s/d 255. Hasil dari konversi warna dapat

    dilihat pada gambar di bawah ini :

    a b

    Gambar 1. (a) Citra X-ray 24 bit hasil Scan; (b) Citra X-ray 8 bit hasil

    konversi

    II.1.2 Thresholding

    Thresholding merupakan salah satu proses pengolahan citra yang

    digunakan untuk mengelompokkan piksel-piksel dalam batas intensitas tertentu.

    Selain itu, thresholding juga berfungsi untuk memisahkan bagian citra yang sesuai

  • 9

    dengan objek (foreground) dan latar belakangnya (background), serta mengubah

    citra menjadi citra biner (binerisasi) agar mempermudah proses selanjutnya

    (Ahmad, 2005).

    Di dalam penelitian ini, untuk menentukan nilai threshold diperlukan

    pembelajaran berupa pengetahuan sifat-sifat dari masing-masing citra yang akan

    diproses yaitu dengan melakukan try and error berulang hingga mendapatkan

    nilai threshold yang kurang lebih cocok untuk semua citra (Nugroho, 2005).

    a b

    Gambar 2. (a)Citra X-ray Greyscale; (b)Citra X-ray Greyscale setelah

    Thresholding

    Gambar di atas merupakan salah satu contoh dari hasil penggunaan

    thresholding (untuk gambar b) dengan threshold sebesar 80. Nilai threshold akan

    menentukan batasan dari nilai-nilai piksel mana yang akan dikategorikan sebagai

    background dan mana yang dikategorikan sebagai foreground. Piksel dengan nilai

    lebih kecil dari threshold yang diberikan akan diset menjadi nol, sedangkan piksel

    dengan nilai yang lebih besar sama dengan dari threshold akan bernilai tetap.

    II. 2 Ekstraksi Fitur (Feature Extraction)

    Ekstraksi fitur (feature extraction) atau juga dikenal dengan sebutan

    indexing, merupakan langkah awal dalam melakukan suatu klasifikasi dan

    interpretasi citra. Proses ini berkaitan dengan kuantisasi karakteristik citra ke

    dalam sekelompok nilai fitur yang sesuai. Dengan adanya ekstraksi fitur,

  • 10

    informasi penting yang berada dalam citra tersebut dapat diambil dan disimpan ke

    dalam vektor fitur (feature vector).

    Fitur-fitur yang dapat diekstrak pada citra dapat berdasarkan elemen

    warna, bentuk, tekstur, kecerahan, kontur, dan kontras dengan menggunakan

    teknik ekstraksi fitur tertentu. Pemilihan teknik ekstraksi fitur akan mempengaruhi

    bentuk nilai serta jumlah fitur yang didapat, sehingga diperlukan analisis

    sebelumnya terhadap jenis data yang akan diekstrak serta elemen dasar apa yang

    memang tepat untuk digunakan sebagai vektor fitur. Vektor fitur inilah yang

    kemudian dapat juga disebut dengan descriptor atau index (Lu, 1963). Dan di

    dalam penelitian ini, fitur yang diekstrak adalah berdasarkan intensitas warna dan

    tekstur yang terkandung di dalam citra X-ray.

    II.2.1 Ekstraksi Fitur Berdasarkan Intensitas Warna

    Informasi warna sangat diperlukan sebagai pendeskripsi sebuah objek

    dalam proses analisis suatu citra. Proses ekstraksi objek dalam suatu citra dapat

    disederhanakan dengan mengambil intensitas warnanya.

    Intensitas atau kecerahan warna pada citra didapat dari hasil

    penyederhanaan ketiga komponen nilai warna RGB (24 bit) menjadi satu buah

    komponen intensitas (8 bit). Warna yang didapat merupakan tingkat kecerahan

    atau nilai keabuan yang umumnya berada diantara level 0-255. Semakin tinggi

    levelnya, semakin cerah citra tersebut. Begitu pula sebaliknya. Semakin rendah

    levelnya, semakin gelap citra tersebut. Intensitas atau kecerahan warna dari suatu

    citra bisa dilihat melalui sebuah histogram.

  • 11

    II.2.1.1 Histogram Citra

    Histogram citra merupakan grafik yang dapat digunakan untuk mengetahui

    sebaran tingkat keabuan suatu citra (Purnomo & Muntasa, 2010). Histogram

    dihitung dengan rumus berikut :

    Dimana :

    ni = jumlah piksel yang memiliki nilai keabuan i (i = 0 .....L-1)

    L = maksimal interval warna

    n = total piksel dalam citra

    hi = probabilitas dari nilai keabuan i

    Gambar 3. Histogram dengan tingkat keabuan 0 255

    Gambar di atas merupakan bentuk dari histogram citra yang memiliki

    tingkat keabuan (greylevel) sebanyak 256 warna.

    Pada penelitian ini, tingkat keabuan yang digunakan kemudian akan

    dikelompokkan lagi menjadi skala tertentu melalui proses kuantisasi.

  • 12

    II.2.1.2 Kuantisasi Citra

    Kuantisasi citra merupakan bagian dari proses digitasi citra analog, yaitu

    sebuah teknik pengelompokkan nilai tingkat keabuan citra kontinu ke dalam

    beberapa level. Kuantisasi juga merupakan sebuah proses membagi skala keabuan

    [0, L] menjadi G buah level yang dinyatakan dengan suatu harga bilangan bulat

    (integer) :

    G = 2m

    Dimana :

    G = derajat keabuan

    m = bilangan bulat positif atau jumlah bit

    Kuantisasi akan menentukan resolusi kecemerlangan dari suatu citra. Jika

    skala yang digunakan terlalu kecil, resolusi citra akan semakin kecil dan hal

    tersebut bisa menyebabkan citra terlihat buram, patah-patah atau tidak jelas.

    Dalam resolusi kecemerlangan, kuantisasi dibagi menjadi tiga jenis :

    a. Kuantisasi Uniform

    Kuantisasi ini mempunyai interval pengelompokkan tingkat keabuan yang

    sama (misalnya, intensitas 1 s/d 10 diberi nilai 1, intensitas 11 s/d 20

    diberi nilai 2, dan seterusnya).

    b. Kuantisasi Non-uniform

    Kuantisasi yang lebih halus diperlukan terutama pada bagian citra yang

    menggambarkan detail atau tekstur atau batas suatu daerah objek, dan

    kuantisasi yang lebih kasar diberlakukan pada daerah yang sama pada

    bagian objek

  • 13

    c. Kuantisasi Tapered

    Bila ada daerah tingkat keabuan yang sering muncul sebaiknya

    dikuantisasi secara lebih halus dan di luar batas daerah tersebut dapat

    dikuantisasi secara lebih kasar.

    II.2.2 Ekstraksi Fitur Berdasarkan Tekstur

    Tekstur merupakan karakteristik intrinsik dari suatu citra yang terkait

    dengan tingkat kekasaran (roughness), granularitas (granulation), dan keteraturan

    (regularity) susunan struktural piksel. Tekstur dicirikan sebagai distribusi spasial

    dari derajat keabuan di dalam sekumpulan piksel-piksel yang bertetangga.

    Analisis tekstur penting dan berguna dalam bidang computer vision. Dari elemen

    tekstur, sebuah citra akan dapat dimanfaatkan dalam proses segmentasi,

    klasifikasi, maupun interpretasi citra.

    Ekstraksi fitur citra berdasarkan tekstur pada orde pertama dapat

    menggunakan metode statistik, yaitu dengan melihat statistik distribusi derajat

    keabuan pada histogram citra tersebut (Wong & Zrimec, 2006). Dari nilai-nilai

    pada histogram yang dihasilkan, dapat dihitung parameter ciri atau fitur antara

    lain :

    a. Variance (2)

    Menunjukkan variasi elemen pada histogram dari suatu citra

    Dimana :

    = nilai rata-rata piksel yang ada di dalam suatu citra

    fn = nilai intensitas keabuan

  • 14

    p(fn) = nilai histogramnya (probabilitas kemunculan intensitas pada

    citra)

    b. Skewness (3)

    Menunjukkan tingkat kecondongan relatif kurva histogram dari suatu citra

    c. Entropy (H)

    Menunjukkan ukuran ketidakteraturan bentuk dari suatu citra

    d. Relative Smoothness (R) (Singh & Mazumdar, 2010)

    Menunjukkan tingkat kehalusan relatif dari bentuk suatu citra

    Fitur-fitur ini diterapkan pada penelitian Wong & Zrimec sebagai

    karakteristik dari sebuah kista (honeycombing cycts) dalam CT. Scan paru-paru,

    dan menghasilkan persentase klasifikasi yang baik yaitu antara 83,3% - 8,7%. Dan

    fitur-fitur ini lah yang kemudian peneliti coba terapkan pula dalam mengambil

    karakteristik dari penyakit osteoarthritis pada data Manus X-ray.

    II. 3 Normalisasi Data

    Normalisasi data merupakan sebuah metode untuk mengelompokkan range

    atau interval dari nilai-nilai yang berbeda ke dalam skala yang sama yang lebih

    kecil. Normalisasi penting digunakan untuk memberikan bobot yang sama

    terhadap nilai-nilai fitur yang berbeda dari hasil ekstraksi.

  • 15

    Normalisasi pada vektor fitur dapat dilakukan dengan berbagai cara, dan

    pada penelitian ini normalisasi yang dipergunakan adalah dengan metode Min-

    Max Normalization [10] :

    Dimana :

    D = data hasil normalisasi

    D = nilai sebelum normalisasi

    U = nilai batas atas (upper bound)

    L = nilai batas atas (lower bound)

    Penggunaan rumus di atas akan menghasilkan data akan dikelompokkan

    ke dalam interval [0.1, 0.9]. Hal ini disesuaikan dengan penggunaan fungsi

    aktivasi sigmoid biner pada proses jaringan syaraf tiruan di dalam penelitian ini

    yang memiliki interval [0, 1]. Namun, jika fungsi aktivasi yang digunakan adalah

    fungsi sigmoid bipolar, maka data perlu dinormalisasikan ke interval [-1, 1] atau

    interval lain yang mendekati terlebih dulu.

    II. 4 Osteoarthritis

    Osteoarthritis (OA) atau dikenal sebagai pengapuran adalah suatu

    penyakit tulang yang menggambarkan kerusakan pada tulang rawan sendi.

    Dikarenakan proses kerusakan terjadi pada rawan sendi, maka kelainan dan nyeri

    yang dijumpai umumnya tejadi pada sendi-sendi tulang rawan atau kartilago

    (Jauwerissa, 2009).

  • 16

    II.4.1 Faktor dan Gejala Osteoarthritis

    Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penyakit osteoathritis

    diantaranya usia yang sudah diatas 45 tahun, berat badan yang berlebihan,

    sehingga mengakibatkan tekanan pada sendi-sendi, Adanya cedera atau trauma

    otot, aktifitas yang memerlukan pergerakan terus menerus, adanya penyakit

    lainnya seperti Rheumatoid Athritis (RA), akromegali, gout, dan lain-lain

    Osteoarthritis umumnya bermula dari kelainan sel-sel yang membentuk

    komponen tulang rawan seperti kolagen dan proteoglikan. Akibat dari kelainan

    tersebut, tulang rawan akhirnya menipis dan membentuk retakan-retakan pada

    permukaan sendi. Rongga kecil akan terbentuk di dalam sumsum dari tulang di

    bawah tulang rawan tersebut. Keadaan itu akan membuat tubuh berusaha

    memperbaiki kerusakannya dengan membentuk tulang baru dan mengakibatkan

    timbulnya benjolan pada pinggiran sendi (osteophyte).

    Gejala yang ditimbulkan juga secara bertahap, diawali dengan rasa nyeri

    dan kekakuan pada sendi. Sendi-sendi jari tangan, pangkal ibu jari, leher,

    punggung bawah, jari kaki, panggul dan lutut adalah bagian yang paling sering

    terkena osteoarthritis.

    II.4.2 Diagnosa X-ray Osteoarthritis

    Dalam mendiagnosa osteoathritis, pakar rheumatologi umumnya dapat

    melakukan tiga serangkaian pemeriksaan, yaitu analisis terhadap gejala yang

    ditimbulkan, pemeriksaan fisik sendi, dan pemeriksaan tambahan seperti rontgen

    tulang (sinar X-ray), MRI (Magnetic Resonance Imaging), dan arthrocentesis.

    Pemeriksaan tambahan tersebut dilakukan hanya jika ingin diketahui seberapa

  • 17

    besar tingkat osteoarthritis yang telah diderita serta untuk mempertegas kondisi

    pasien.

    Dengan foto rontgen, seorang rheumatologi dapat mengetahui adanya

    osteoarthritis beserta derajatnya. Hal ini akan memberikan pengobatan yang tepat

    bagi penderita osteoarthritis sehingga tidak overtreatment ataupun

    undertreatment.

    s

    Gambar 4. Struktur Rangka Tangan Manusia (Computer Vision, 2005)

    Berdasarkan analisa foto rontgen, penyakit osteoarthritis dapat dibagi

    menjadi empat tingkat (grade) keparahan yaitu (Brandt, Doherty & Lohmander,

    2003) :

    a. Grade 1 (Doubtful) :

    Distal Interphalangeal joints : Sendi normal, dan osteofit (osteophyte) di satu titik

    Proximal Interphalangeal joints : Osteofit di satu titik dan dimungkinkan adanya kista (cyst)

  • 18

    First Carpometacarpal joint : Osteofit kecil dan dimungkinkan terbentuknya kista (cyst)

    b. Grade 2 (Minimal) :

    Distal Interphalangeal joints : Osteofit di dua titik dengan sedikit subchondral sclerosis dan kadang subchondral cysts, tapi tidak ada

    penyempitan ruang sendi dan kelainan

    Proximal Interphalangeal joints : Osteofit di dua titik dan dimungkinkan ada penyempitan ruang sendi di satu titik

    First Carpometacarpal joint : Adanya osteofit dan dimungkinkan adanya kista (cyst)

    c. Grade 3 (Moderate) :

    Distal Interphalangeal joints : Osteofit di beberapa titik, adanya kelainan bentuk tulang, dan penyempitan ruang sendi

    Proximal Interphalangeal joints : Osteofit di banyak titik, adanya kelainan bentuk tulang

    First Carpometacarpal joint : Osteofit di beberapa titik, penyempitan ruang sendi, subchondral sclerosis, dan kelainan

    bentuk tulang

    d. Grade 4 (Severe) :

    Distal Interphalangeal joints : Banyak osteofit, kelainan bentuk tulang dengan kerusakan ruang sendi, sclerosis dan kista (cysts)

    Proximal Interphalangeal joints : Banyak osteofit, penyempitan ruang sendi, subchondral sclerosis, dan sedikit kelainan

  • 19

    First Carpometacarpal joint : Banyak osteofit, sclerosis parah, dan penyempitan ruang sendi.

    a b

    Gambar 5. (a) Citra X-ray normal atau non-osteoathritis; (b) Citra X-ray osteoarthritis (Szendroi, 2008)

    a b c d

    Gambar 6. Citra X-ray osteoarthritis dalam berbagai derajat pada Distal Interphalangeal joints: (a) grade 1 ; (b) grade 2 ; (c) grade 3 ; (d) grade 4

    (Brandt, Doherty & Lohmander, 2003)

    a b c d

    Gambar 7. Citra X-ray osteoarthritis dalam berbagai derajat pada Proximal Interphalangeal joints : (a) grade 1 ; (b) grade 2 ; (c) grade 3 ; (d) grade 4

    (Brandt, Doherty & Lohmander, 2003)

  • 20

    a b c d

    Gambar 8. Citra X-ray osteoarthritis dalam berbagai derajat pada First Carpometacarpal joint : (a) grade 1 ; (b) grade 2 ; (c) grade 3 ; (d) grade 4

    (Brandt, Doherty & Lohmander, 2003)

    II.5 Jaringan Syaraf Tiruan

    Jaringan Saraf Tiruan (JST) didefinisikan sebagai suatu sistem pemrosesan

    informasi yang mempunyai karakteristik menyerupai jaringan saraf manusia.

    Jaringan saraf tercipta sebagai suatu generalisasi model matematis dari

    pemahaman manusia (Siang, 2005).

    Ada beberapa tipe jaringan syaraf, namun demikian, hampir semuanya

    memiliki komponen-komponen yang sama. Seperti halnya otak manusia, jaringan

    syaraf tiruan juga terdiri dari beberapa neuron, dan ada hubungan antara neuron-

    neuron tersebut. Neuron-neuron tersebut akan mentransformasikan informasi yang

    diterima melalui sambungan keluarnya menuju ke neuron-neuron yang lain. Pada

    jaringan syaraf tiruan, hubungan ini dikenal dengan nama bobot. Informasi

    tersebut disimpan pada suatu nilai tertentu pada bobot tersebut.

    Gambar 9 . Struktur Neuron Jaringan Syaraf Tiruan

  • 21

    Gambar diatas menunjukkan bahwa neuron buatan sebenarnya dibangun

    mirip dengan sel neuron biologis. Neuron-neuron buatan bekerja dengan cara

    yang sama pula dengan sel neuron biologis. Informasi (disebut dengan input) akan

    dikirim ke neuron dengan bobot kedatangan tertentu. Input ini akan diproses oleh

    suatu fungsi perambatan yang akan menjumlahkan nilai-nilai semua bobot yang

    datang. Hasil penjumlahan ini kemudian akan dibandingkan dengan suatu nilai

    ambang (threshold) tertentu melalui fungsi aktivasi setiap neuron. Apabila input

    tersebut melewati semua nilai ambang tertentu, maka neuron tersebut diaktifkan,

    tapi kalau tidak, maka neuron tersebut tidak akan diaktifkan. Apabila neuron

    tersebut akan diaktifkan, maka neuron tersebut akan mengirimkan output melalui

    bobot-bobot outputnya ke seluruh neuron yang berhubungan dengannya.

    Demikian seterusnya.

    Jaringan syaraf tiruan yang telah dan sedang dikembangkan merupakan

    pemodelan matematika dari jaringan syaraf biologis, berdasarkan asumsi :

    - Pemrosesan info terjadi pada banyak elemen pemroses sederhana yang

    disebut neuron.

    - Sinyal dilewatkan antar neuron yang membentuk jaringan neuron.

    - Setiap elemen pada jaringan neuron memiliki 1 (satu) pembobot. Sinyal

    yang dikirimkan ke lapisan neuron berikutnya adalah info dikalikan

    dengan pembobot yang bersesuaian.

    - Tiap-tiap neuron mengerjakan fungsi aktivasi untuk mendapatkan nilai

    output masing-masing.

    Jaringan syaraf tiruan di dalam penggunaannya dapat terbagi menjadi

    bermacam arsitektur, dimulai dari jaringan syaraf yang paling sederhana yaitu

  • 22

    single-layer yang hanya terdiri atas layer input dan sebuah unit output dan

    jaringan syaraf multi-layer dengan adanya hidden layer diantara layer input dan

    output.

    Untuk beberapa kasus, jaringan syaraf multi-layer memang cenderung

    lebih menguntungkan, tetapi pada umumnya dengan satu layer saja sudah

    memadai untuk menyelesaikan berbagai masalah.

    Beberapa model jaringan, seperti backpropagation, menerapkan sebuah

    unit bias sebagai bagian tiap lapisan. Unit ini mempunyai nilai pengaktifan

    konstan berharga 1, atau bernilai random dengan faktor skala tertentu yang

    didapat dari metode Nguyen Widrow, dimana tiap unit bias dihubungkan ke semua

    unit pada lapisan selanjutnya yang lebih tinggi dan pembobotan padanya diatur

    selama back-error propagation. Unit bias memberikan masa konstan dalam

    jumlah pembobotan dari unit-unit di lapisan selanjutnya. Hasilnya kadang kala

    merupakan properti konvergensi (menuju target) dari jaringan.

    Pada JST, belajar adalah proses pembentukan konfigurasi nilai-nilai bobot

    dari jaringan. Proses ini bertujuan agar input-input yang diberikan padanya akan

    direspon melalui bobot-bobot tersebut sehingga menghasilkan output yang sesuai

    atau mendekati dengan target.

    Secara umum, proses pembelajaran JST dapat dikategorikan dalam dua

    jenis proses (Purnomo & Kurniawan, 2006) :

    Supervised training (Pelatihan terbimbing) Pada tipe pembelajaran ini, tiap pola input memiliki pola target, sehingga

    masing-masing input memiliki pasangan output yang bersesuaian. Dalam

    hal ini, dapat diterapkan toleransi kesalahan output respon terhadap target

  • 23

    yang seharusnya. Error digunakan untuk mengubah bobot sambungan

    sehingga kesalahan akan semakin kecil dalam siklus pelatihan berikutnya.

    Unsupervised training (Pelatihan tidak terbimbing) Pada pelatihan ini, vektor target tidak dibutuhkan untuk keluarannya

    sehingga tidak ada perbandingan untuk menentukan respon yang ideal.

    Proses ini hanya terdiri dari vektor-vektor masukan, dan berfungsi sebagai

    pengubah pembobot jaringan untuk menghasilkan pola vektor, sehingga

    penerapan dua vektor pelatihan suatu vektor lain yang cukup sejenis

    menghasilkan pola keluaran yang sama.

    2.5.1 Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation

    Ada berbagai algoritma diterapkan di dalam jaringan syaraf tiruan, salah

    satunya adalah algoritma pelatihan Backpropagasi (Backpropagation). Metode

    Backpropagasi atau disebut juga propagasi balik pertama kali dirumuskan oleh

    Werbos dan dipopulerkan oleh Rumelhart bersama McClelland untuk dipakai

    pada jaringan syaraf tiruan (Hermawan, 2006). Algoritma ini termasuk metode

    pelatihan terbimbing (supervised), yaitu metode pelatihan yang memasukkan

    target keluaran dalam data untuk proses pelatihannya, dan didesain untuk operasi

    pada jaringan syaraf tiruan feed forward multi-layer (lapis banyak)

    Algoritma ini juga banyak dipakai pada aplikasi pengendalian karena

    proses pelatihannya didasarkan pada interkoneksi yang sederhana, yaitu : Jika

    keluaran memberikan hasil yang salah, maka bobot dikoreksi supaya galatnya

    dapat diperkecil dan tanggapan JST selanjutnya diharapkan akan lebih mendekati

    nilai yang benar. backpropagation juga berkemampuan untuk memperbaiki bobot

    pada lapis tersembunyi (hidden layer).

  • 24

    Secara garis besar, ketika JST backpropagation diberikan pola masukan

    sebagai pola pelatihan maka pola tersebut menuju ke unit-unit pada lapis

    tersembunyi untuk diteruskan ke unit-unit lapis keluaran. Kemudian unit-unit

    lapis keluaran memberikan tanggapan yang disebut sebagai keluaran JST. Saat

    keluaran JST tidak sama dengan keluaran yang diharapkan maka keluaran akan

    disebarkan mundur (backward) pada lapis tersembunyi diteruskan ke unit pada

    lapis masukan. Oleh karenanya maka mekanisme pelatihan tersebut dinamakan

    backpropagation/propagasi balik. Tahap ini termasuk dalam tahap pelatihan, dan

    apabila proses pelatihan tersebut selesai, fase ini disebut juga sebagai fase

    mapping atau proses pengujian / testing.

    Kemampuan dalam mengurangi galat yang terjadi antara target dengan

    output pada tahap propagasi balik merupakan kelebihan yang dimiliki pada

    arsitektur JST backpropagation, sehingga banyak dimanfaatkan di beberapa

    penelitian terutama di bidang medis. Seperti di dalam penelitian Savio et al (2006)

    yang mempergunakan backpropagation untuk mengklasifikasikan penyakit

    Alzheimer dari 98 data MRI otak manusia (49 normal dan 49 mild AD), telah

    berhasil memberikan diagnosa kelas dengan keakuratan mencapai 78%. Penelitian

    lainnya juga diterapkan oleh Al-Shayea & Bahia (2010) untuk mendiagnosis

    penyakit kandung kemih (urinary bladder) dengan menggunakan arsitektur feed-

    forward backpropagation, yang telah berhasil mengklasifikasikan antara kelas

    terinfeksi dan kelas non-terinfeksi dengan ketepatan hingga mencapai 99%.

    Seperti halnya dengan kedua penelitian tersebut, penelitian ini juga akan

    diterapkan dengan mengaplikasikan arsitektur backpropagation dan diharapkan

  • 25

    akan memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi pula dalam mendiagnosis

    kelas/derajat penyakit osteoarthritis.

    2.5.2 Arsitektur Backpropagation

    Backpropagation merupakan salah satu dari metode jaringan syaraf tiruan

    yang memiliki arsitektur yang lebih kompleks. Umumnya arsitektur dari JST

    backpropagation terdiri dari tiga bagian yang meliputi bagian masukan (input

    layer), lapis tersembunyi (hidden layer) dan keluaran (output layer). Disamping

    itu juga terdapat parameter-parameter yang lainnya.

    Gambar 10. Arsitektur Jaringan Syaraf Tiruan Multilayer (Lin, Chu, Lee & Huang, 2008)

    Gambar diatas merupakan arsitektur dari JST multilayer dengan metode

    backpropagation. Wxh merupakan bobot garis dari unit masukan Xi ke unit layer

    tersembunyi Hj. Why merupakan bobot dari unit layer tersembunyi Hj ke unit

    keluaran Yt.

    2.5.3 Pemilihan Bobot dan Bias Awal

    Dalam jaringan syaraf tiruan, bobot awal akan mempengaruhi apakah

    jaringan mencapai titik minimum lokal atau global, dan seberapa cepat

    konvergensinya.

  • 26

    Bobot yang menghasilkan nilai turunan aktivasi yang kecil sedapat

    mungkin dihindari karena akan menyebabkan perubahan bobotnya menjadi sangat

    kecil. Demikian pula nilai bobot awal tidak boleh terlalu besar karena nilai

    turunan fungsi aktivasinya menjadi sangat kecil juga. Oleh karena itu dalam

    standar backpropagation, bobot dan bias diisi dengan bilangan acak kecil.

    Pada tahun 1990, Nguyen dan Widrow mengusulkan cara membuat

    inisialisasi bobot dan bias ke unit tersembunyi sehingga menghasilkan iterasi lebih

    cepat (Siang, 2005).

    Algoritma inisialisasi Nguyen Widrow adalah sebagai berikut :

    a. Inisialisasi semua bobot (vji( lama )) dengan bilangan acak dalam interval

    [-0.5, 0.5].

    b. Hitung ||vj|| = vj12 + vj22 + ... + vjn2 c. Bobot yang dipakai sebagai inisialisasi = vji = [.vji (lama)] / ||vj|| d. Bias yang dipakai sebagai inisialisasi = vj0 = bilangan acak antara - dan

    . Dimana ;

    n : jumlah unit masukan

    p : jumlah unit tersembunyi

    : faktor skala = 0.7 n p 2.5.4 Fungsi Aktivasi

    Dalam backpropagation, fungsi aktivasi yang dipakai harus memenuhi

    beberapa syarat yaitu : kontinu, terdeferensial dengan mudah dan merupakan

    fungsi yang tidak turun. Beberapa fungsi yang memenuhi ketiga syarat tersebut

  • 27

    sehingga sering dipakai adalah fungsi sigmoid biner yang memiliki range [0,1]

    dan fungsi sigmoid bipolar dengan range [-1, 1].

    a) Fungsi sigmoid biner

    Dengan turunan :

    Fungsi diatas dapat digambarkan :

    Gambar 11. Fungsi Sigmoid Biner, Range [0,1] (Siang, 2005)

    b) Fungsi sigmoid bipolar

    Dengan turunan :

    Ilustrasi fungsi diatas dapat digambarkan :

  • 28

    Gambar 12. Fungsi Sigmoid Bipolar, Range [-1,1] (Siang, 2005)

    Fungsi sigmoid memiliki nilai maksimum = 1. Maka untuk pola yang

    targetnya > 1, pola masukan dan keluaran harus terlebih dahulu ditransformasi

    sehingga semua polanya memiliki range yang sama seperti fungsi sigmoid yang

    dipakai. Alternatif lain adalah menggunakan fungsi aktivasi sigmoid hanya pada

    lapis yang bukan lapis keluaran. Pada lapis keluaran, fungsi aktivasi yang dipakai

    adalah fungsi identitas : f(x) = x.

    2.5.5 Pelatihan Standar Backpropagation

    Pelatihan backpropagation meliputi 3 fase, yaitu (Hermawan, 2006):

    I. Fase I : Propagasi maju

    Selama propagasi maju, sinyal masukan (= xi) dipropagasikan ke layer

    tersembunyi menggunakan fungsi aktivasi yang ditentukan. Keluaran dari

    setiap unit layer tersembunyi (= zj) tersebut selanjutnya dipropagasikan

    maju lagi ke layer tersembunyi di atasnya menggunakan fungsi aktivasi

    yang ditentukan. Demikian seterusnya hingga menghasilkan keluaran

    jaringan (= yk).

    Berikutnya, keluaran jaringan (= yk) dibandingkan dengan target yang

    harus dicapai (= tk). Selisih hk-yk adalah kesalahan atau galat yang terjadi.

    Jika galat ini lebih kecil dari batas toleransi yang ditentukan, maka iterasi

  • 29

    dihentikan. Akan tetapi apabila galat masih lebih besar dari batas toleransi,

    maka bobot setiap garis dalam jaringan akan dimodifikasi untuk

    mengurangi galat yang terjadi.

    II. Fase II : Propagasi mundur

    Berdasarkan galat tk-yk, dihitung faktor k (k = 1, 2, ...., m) yang dipakai

    untuk mendistribusikan galat di unit yk ke semua unit tersembunyi yang

    terhubung langsung dengan yk. k juga dipakai untuk mengubah bobot

    garis yang berhubungan langsung dengan unit keluaran.

    Dengan cara yang sama, dihitung faktor , di setiap unit di layer

    tersembunyi sebagai dasar perubahan bobot semua garis yang berasal dari

    unit tersembunyi di layer di bawahnya. Demikian seterusnya hingga semua

    faktor di unit tersembunyi yang berhubungan langsung dengan unit

    masukan dihitung.

    III. Fase III : Perubahan bobot

    Setelah semua faktor dihitung, bobot semua garis dimodifikasi

    bersamaan. Perubahan bobot suatu garis didasarkan atas faktor neuron di

    layer atasnya. Sebagai contoh, perubahan bobot garis yang menuju ke

    layer keluaran di dasarkan atas k yang ada di unit keluaran.

    Ketiga fase tersebut diulang-ulang terus hingga kondisi penghentian

    dipenuhi. Umumnya kondisi penghentian yang sering dipakai adalah

    jumlah iterasi atau galat. Iterasi akan dihentikan jika jumlah iterasi yang

    dilakukan sudah melebihi jumlah maksimum iterasi yang ditetapkan, atau

  • 30

    jika kesalahan yang terjadi sudah lebih kecil dari batas toleransi yang

    diizinkan.

    1. Algoritma pelatihan backpropagation terdiri dari dua tahapan, feed

    forward dan backpropagation dari galatnya :

    a) Langkah 0 :

    Pemberian inisialisasi penimbang(diberi nilai kecil secara acak)

    b) Langkah 1 :

    Ulangi langkah 2 hingga 9 sampai kondisi akhir iterasi dipenuhi

    c) Langkah 2 :

    Untuk masing-masing pasangan data pelatihan lakukan langkah 3

    hingga 8.

    2. Umpan maju (Feed Forward)

    d) Langkah 3 :

    Masing-masing unit masukan (Xi, i = 1, .n) menerimasinyal

    masukan Xi dan sinyal tersebut disebarkan ke unit-unit bagian

    berikutnya (unit-unit lapis tersembunyi).

    e) Langkah 4 :

    Masing-masing unit di lapis tersembunyi dikalikan dengan

    penimbang dan dijumlahkan serta ditambah dengan biasnya

    Z_inj = Vj0 + XiVji

    Kemudian dihitung sesuai dengan fungsi pengaktif yang

    digunakan :

    Zj = f(Z_inj)

  • 31

    Bila yang digunakan adalah fungsi sigmoid maka bentuk fungsi

    tersebut adalah :

    Sinyal keluaran dari fungsi pengaktif tersebut dikirim ke semua

    unit di lapis keluaran.

    f) Langkah 5 :

    Masing-masing unit keluaran (Yk, k = 1,2,3m) dikalikan

    dengan penimbang dan dijumlahkan serta ditambah dengan

    biasnya :

    Y_ink = Wk0 + Zj.Wkj

    Kemudian dihitung kembali sesuai dengan fungsi pengaktif

    yk = f(y_ink)

    3. Backpropagasi (Backpropagation) dan Galatnya

    g) Langkah 6 :

    Masing-masing unit keluaran (Yk, k = 1, .,m) menerima pola

    target sesuai dengan pola masukan saat pelatihan/training dan

    dihitung galatnya :

    k = ( tk yk) f,(y_ink)

    karena f,(y_ink) = yk menggunakan fungsi sigmoid, maka :

    f,(y_ink) = f(y_ink)(1 - f(y_ink))

    = yk(1 yk)

    Menghitung perbaikan penimbang (kemudian untuk

    memperbaiki Wkj).

  • 32

    Wk j =.k.Zj

    Menghitung perbaikan korelasi :

    Wk0 = .k

    Dan menggunakan nilai delta (k) pada semua unit lapis

    sebelumnya.

    h) Langkah 7 :

    Masing-masing penimbang yang menghubungkan unit-unit lapis

    keluaran dengan unit-unit pada lapis tersembunyi (Zj, j = 1,p)

    dikalikan dengan delta (k) dan dijumlahkan sebagai masukan ke

    unit-unit lapis berikutnya.

    _inj = k Wk j

    Selanjutnya dikalikan dengan turunan dari fungsi pengaktifnya

    untuk menghitung galat.

    j = _inj f,(y_inj)

    Langkah selanjutnya menghitung perbaikan penimbang

    (digunakan untuk memperbaiki Vji).

    Vji = .J Xi

    Kemudian menghitung perbaikan bias (untuk memperbaiki Vj0)

    Vj0 = .J

    4. Memperbaiki penimbang dan bias

    i) Langkah 8 :

    Masing-masing keluaran unit (Yk, k = 1, ,m) diperbaiki bias

    dan penimbangnya (j = 0,..,p),

  • 33

    Wkj(baru) = Wkj(lama) + .k.Zj

    atau apabila parameter momentum () digunakan menjadi :

    Wkj(baru) = Wkj(lama) + .k.Zj + ( (Wkj(lama) - Wkj(lama -1)))

    Masing-masing unit tersembunyi (Zj, j = 1, .,p) diperbaiki bias

    dan penimbangnya (j = 1, n)

    Vji(baru) = Vji(lama) + .J Xi atau apabila parameter

    momentum digunakan menjadi :

    Vji(baru) = Vji(lama) + .J Xi + ( (Vji(lama) - Vji(lama -1))) j) Langkah 9 :

    Uji kondisi pemberhentian (akhir iterasi).

    2.5.6 Parameter Pelatihan

    Parameter parameter yang turut menentukan keberhasilan proses

    pelatihan pada algoritma backpropagation :

    a. Inisialisasi bobot

    Bobot sebagai interkoneksi JST yang akan dilatih biasanya diinisialisasi

    dengan nilai real kecil secara random, namun banyak penelitian yang

    menunjukkan bahwa konvergensi tidak akan dicapai apabila penimbang

    atau bobot kurang bervarisasi dan bernilai terlalu kecil (Purnomo &

    Kurniawan, 2006). Dengan demikian, penentuan nilai inisialisasi bobot

    sebaiknya dipilih pada interval -0.5 sampai 0.5, atau -1 sampai 1, atau

    dengan cara menggunakan algoritma Nguyen Widrow agar tercapai

    konvergensi.

  • 34

    b. Jenis adaptasi penimbang

    Ada dua jenis adaptasi penimbang pada pelatihan jaringan syaraf tiruan,

    yaitu (Purnomo & Kurniawan, 2006) :

    Adaptasi kumulatif (commulative weight adjustment)

    Yaitu bobot baru diadaptasi setelah semua bobot yang masuk

    dilatih.

    Adaptasi biasa (incremental updating)

    Yaitu bobot diadaptasi pada setiap pola yang masuk.

    c. Learning rate (laju pelatihan)

    Nilai parameter learning rate atau laju pelatihan sangat mempengaruhi

    proses training. Laju pelatihan mempengaruhi seberapa banyak bobot

    dalam setiap neuron berubah dalam setiap epoch. Jika nilai laju pelatihan

    terlalu besar menyebabkan perubahan bobot jaringan terlalu tinggi

    hingga jaringan menjadi tidak stabil. Dan apabila nilainya terlalu kecil,

    jaringan akan lama untuk mencapai konvergen (Navaroli, Turner,

    Conception & Lynch, 2008).

    d. Momentum

    Koofisien ini diberikan pada komputasi JST agar dapat mempercepat

    konvergensi, dimana nilai konstanta momentum dapat berupa bilangan

    positif antara 0.1 sampai dengan 0.9.

    Penggunaan momentum akan mengijinkan jaringan tidak

    memperhitungkan kesalahan-kesalahan kecil pada perubahan error yang

    terjadi antara setiap epoch. Semakin kecil nilai momentum, membuat

    jaringan akan berputar disekitar minimum error lokal. Semakin besar

  • 35

    nilainya, membuat jaringan akan mengabaikan error sama sekali

    sehingga memberikan hasil yang tidak valid (Navaroli, Turner,

    Conception & Lynch, 2008).

    e. Penentuan jumlah lapis tersembunyi

    Beberapa hasil teoritis yang telah didapat menunjukkan bahwa jaringan

    dengan sebuah lapis tersembunyi sudah cukup bagi metode

    backpropagation untuk mengenali pola, namun penambahan jumlah

    lapis tersembunyi terkadang juga dapat membuat pelatihan menjadi lebih

    baik. Hal ini terbukti pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh

    Niu & Ye (2009).

    2.5.7 Proses Pelatihan JST (Training)

    Setelah ditentukan semua data masukan dari citra dan data target

    keluaran, maka dapat dilakukan proses learning/pelatihan.

    Untuk menentukan jumlah pelatihan, digunakan dua macam stopping

    kriteria yaitu :

    Berdasarkan jumlah pelatihan yang dilakukan (epochs), misalnya pelatihan akan dihentikan setelah dilakukan sejumlah pelatihan.

    Berdasarkan Galat Mean Square Error (MSE), maka proses pelatihan akan terus dilakukan sampai error-nya menjadi lebih kecil dari batas

    toleransi. Perhitungan MSE yakni :

    2.5.8 Proses Pengujian JST (Testing atau Mapping)

    Setelah dilakukan pelatihan terhadap metode JST tersebut, maka

    didapatkan weight (bobot/penimbang) hasil pelatihan yang sesuai untuk

  • 36

    berbagai macam permasalahan. Proses mapping dilakukan dengan menjalankan

    prosedur feed forward dengan bobot-bobot yang telah disimpan sebelumnya

    (dilakukan load data penimbang dari file). Hasil keluaran dari JST merupakan

    hasil dari proses mapping. Sehingga dengan proses mapping ini, dapat

    dilakukan proses identifikasi sekaligus didapatkan diagnosa berupa prediksi dari

    x-ray.

    2.5.9 Evaluasi

    Prediksi yang telah didapat dari masing-masing citra x-ray pada proses

    pengujian (testing), kemudian akan dievaluasi tingkat keberhasilannya melalui

    pencocokan hasil identifikasi atau prediksi derajat penyakit dengan diagnosa yang

    berasal dari ahli rheumatologi.