sejarah sastra ririt

72
Mas Marco Kartodikromo: Dengan Sastra, Ia Mengasah Pena Sumber : Tabloid Pembebasan Edisi IV/Tahun I Kontributor : Dewan Redaksi Tabloid Pembebasan, Januari 2004 Versi Online : Indomarxist.Net, 3 Februari 2004 Soepaja djalannja SAMA RATA, Jang berdjalan poen SAMA me RASA, Enak dan senang bersama-sama, Ja’toe: "Sama rasa, sama rata." (Sinar Djawa 10 April 1918) Awal abad 20 tahun, gerbang dibukanya abad pencerahan. Jaman pergerakan, ditandai dengan hadirnya koran, munculnya puluhan jurnalis muda. Muncul pula sebuah pola baru dalam gerakan, organisasi. Dunia penerbitan –yang rata-rata dimiliki oleh orang Tionghoa-- pun mencapai titik terang, ikut pula berperan mendorong proses kemajuan intelektual kaum bumi putra. Kaum jurnalis menjelma sekaligus sebagai aktivis-aktivis dan pimpinan pergerakan. Pada masanya, Marco dikenal sebagai salah seorang jurnalis tangguh. Ciri khas yang paling kentara ialah: ia selalu menulis apa yang dilihat dan dirasa secara lugas. Tanpa ditutupi-tutupi. Tidak juga serba dipoles-poles, hingga akhirnya melenyap esensinya. Doenia Bergerak adalah surat kabar yang dibesarkan dan membesarkannya. Marco menjadikannya sebagai alat untuk menyampaikan gagasan akan sebuah perjuangan yang modern, dengan motto: Brani karena benar takut karena salah”. Pentingnya menjaga pergerakan agar tidak melenceng dari cita-citanya, adalah salah satu sandaran dari medianya. Marco berani menentang penguasa kolonial dan orang-orang pergerakan yang dianggap berkolusi dengan rejim kolonial dengan mengkritisi kondisi sosial politik yang ada. Alhasil, tak kurang empat kali ia keluar masuk penjara.Semuanya lantaran tulisan-tulisanya yang memerahkan kuping penguasa kolonial

Upload: riritz-lophe-donnie-sibarani

Post on 03-Jul-2015

178 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: sejarah sastra ririt

Mas Marco Kartodikromo: Dengan Sastra, Ia Mengasah Pena

Sumber                      : Tabloid Pembebasan Edisi IV/Tahun I

Kontributor              : Dewan Redaksi Tabloid Pembebasan,  Januari 2004

Versi Online            : Indomarxist.Net,  3 Februari 2004

Soepaja djalannja SAMA RATA,

Jang berdjalan poen SAMA me RASA,

Enak dan senang bersama-sama,

Ja’toe: "Sama rasa, sama rata."

 

(Sinar Djawa 10 April 1918)

 

Awal abad 20 tahun, gerbang dibukanya abad pencerahan. Jaman pergerakan, ditandai dengan hadirnya koran, munculnya puluhan jurnalis muda. Muncul  pula sebuah pola baru dalam gerakan, organisasi. Dunia penerbitan –yang rata-rata dimiliki oleh orang Tionghoa-- pun mencapai titik terang, ikut pula berperan mendorong proses kemajuan intelektual kaum bumi putra. Kaum jurnalis menjelma sekaligus sebagai aktivis-aktivis dan pimpinan pergerakan.                Pada masanya, Marco dikenal sebagai salah seorang jurnalis tangguh. Ciri khas yang paling kentara ialah:  ia selalu  menulis apa yang dilihat dan dirasa secara lugas. Tanpa ditutupi-tutupi. Tidak juga serba dipoles-poles, hingga akhirnya melenyap esensinya. Doenia Bergerak adalah surat kabar yang dibesarkan dan membesarkannya. Marco menjadikannya sebagai alat untuk menyampaikan gagasan akan sebuah perjuangan yang modern, dengan motto: “Brani karena benar takut karena salah”. Pentingnya menjaga pergerakan agar tidak melenceng dari cita-citanya, adalah salah satu sandaran dari medianya. Marco berani menentang penguasa kolonial dan orang-orang pergerakan yang dianggap berkolusi dengan rejim kolonial dengan mengkritisi kondisi sosial politik yang ada. Alhasil, tak kurang empat kali ia keluar masuk penjara.Semuanya lantaran tulisan-tulisanya yang memerahkan kuping penguasa kolonial

Kali pertama ia dipenjara di Semarang, kemudian sempat diisolasi di Belanda, sempat pula dibuang ke Boven Digul. Bebas dari penjara ia bergabung dengan Semaun, dan menjadi komisaris Serikat Islam Semarang dan redaktur Sinar Hindia. Selain itu ia juga menyunting Sinar Hindia, Soero Satomo. Bintangnya mulai berpijar terang tatkala ia berada di SI. Semarang yang  menjadi pusat SI yang baru. Dalam kongres CSI ia terpilih menjadi komisaris CSI, khususnya menjadi kepala penerbitan.

Page 2: sejarah sastra ririt

Dikenal sebagai pribadi militan, Mas Marco Kartodikromo, lahir di Cepu, sekitar tahun 1890. Sebuah daerah tandus di Jawa Tengah, tepatnya di dekat pantai utara Pulau Jawa yang sarat bukit-bukit kapur dan dikelilingi hutan jati. Bumi gersang ini ternyata cukup menyimpan magma. Sebarisan nama yang mengharumkan dunia  pergerakan lahir di sini, Tirto Adhi Soeryo, pelopor pers nasional, juga Pramudya Ananta Toer. Dr. Tjipto Mangunkusumo pun pertama kali merintis sekolah khusus untuk bangsa pribumi, di daerah ini. Serta, dari sini pula tak bisa kita lupakan nama harum seorang perempuan pemberani, Kartini.   

Tak seperti kebanyakan tokoh yang dialiri darah priyayi, Marco sebuah perkecualian.Bapaknya hanya seorang priyayi rendahan, yang sehari-harinya juga mencari nafkah lewat bertani. Jika kaum pergerakan lain sempat menikmati pendidikan di sekolah-sekolah kelas satu, atau rata-rata menamatkan STOVIA, tokoh kita ini hanya sempat mengenyam sekolah bumi putra angka dua di Bojonegoro.

‘Kekalahan’ yang merupakan buah dari kelas sosialnya tersebut lah yang membuat Marco, seperti disebut Siraishi dalam Zaman Bergerak, “tergila-gila pada simbol–simbol modernitas dan tampil di depan umum dalam gaya Eropa seperti sinyo, sementara Cokro dan Soewardi lebih sering memakai  pakaian  Jawa“. Kekalahan, dan kekerasan hidup sebagai pribumi miskin ini pula yang justru mengasah kepekaan batin dan kepalanya.Jika kawan-kawannya mendapat pengetahuan dan kesadaran berdemokrasi dan buku-buku, Marko menjumputnya dari kehidupan sehari-hari. Ia jengah menyaksikan kemunduran bangsanya. Ia gusar dengan penghisapan yang saban hari melata di depan matanya. Itulah yang membedakan, dan membuatnya menonjol dibanding kawan-kawannya. Marco, bagian dari kaum muda yang diciptakan dalam sistem penghisapan kolonial, dan ia bersikeras mendobraknya. Baginya hierarki gelar, pangkat dan medali kehormatan, bukanlah lahir turun temurun, bukanlah hadir akibat aliran darah, melainkan diperoleh melalui sebuah kerja keras, dan keberanian bersikap tegas.

               

Menjadi Jurnalis, Menjadi Suluh Penerang

Pada awalnya, Marco bekerja sebagai juru tulis rendah di Dinas Kehutanan di tahun 1905. Tak lama, ia pindah ke Semarang dan tetap menjadi juru tulis di kantor pemerintah. Di sana ia punya kesempatan untuk belajar bahasa Belanda dari seorang Belanda yang menjadi guru privatnya.

Tahun 1911, terbuka satu babak baru dalam hidup Marco. Bahasa Belanda menghantarkannya pada cakrawala dunia yang serba baru;  pengetahuan yang serba baru. Tak cukup lagi sekedar menjadi seorang juru ketik, ia memilih meninggalkan Semarang dan berangkat ke Bandung. Ia sangat bercita-cita menjadi jurnalis terkemuka. Di Bandung ia bergabung dengan Medan Prijaji pimpinan Tirto Adhi Soeryo.Saat itu, memang Medan Prijaji tengah mencapai puncak kegemilangannya. Pada Tirto, Sang Pemula dalam segala makna itu lah, ia berguru. Tak hanya soal dunia tulis menulis, ia juga berguru soal kebajikan, dan –terutama—tentang organisasi modern.  

Medan Prijaji benar-benar mengasah talenta menulisnya. Oleh karenanya, bangkrutnya media pribumi dengan oplah terbesar tersebut, yang diikuti pula dengan dibuangnya Tirto ke Maluku, sempat membuat semangatnya runtuh. Terlebih, ketika akhirnya Sang Pemula wafat. Dalam korannya Marco melukiskan kehilangannya yang sangat dahsyat. Marco belum putus asa. Ia kembali ke Surakarta dan mengikuti jejak guru yang dikaguminya itu dengan menerbitkan suratkabar sendiri dalam bahasa Melayu. Nyaris semua yang diserapnya dari Tirto dipraktikkan di sini, termasuk, berorganisasi.

Page 3: sejarah sastra ririt

Pada usia 22, barulah benar-benar ia terjun ke dunia pergerakan. Ia sadar, hanya organisasi lah alat mencapai perubahan dan tatanan dunia baru. Sebuah pengetahuan dan kesadaran yang tidak terlambat untuk diraihnya. Surakarta, adalah tempatnya berkiprah dengan energi dan vitalitas sepenuh-penuhnya. Dalam rangka mencapai tujuan ini,  ia mendirikan Inlandshe Journalistenbond (IJB) di Surakarta pada pertengahan 1914 dengan Doenia Bergerak  sebagai surat kabarnya.

Kaum pergerakan menyambut dengan luapan gembira hadirnya terbitan ini. Berakhirlah masa kebekuan pers bumiputera akibat tekanan pemerintah kolonial. Dengan itu pula, Marco berani mendobrak tekanan pemerintah kolonial, tanpa sedikitpun gentar.

Tahun 1913, Serikat Islam (SI) mencapai puncak kejayaan.

Pada masa itu SI Surakarta adalah perkumpulan orang Jawa yang kuat pengaruhnya di bawah pimpinan pedagang batik dan aristokrat Kasunanan. Anggotanya mencapai puluhan ribu orang. Namun ketika jaman berganti, masa gemilang itu  pun berlalu. Ketika orang-orang sudah terbiasa dengan vergadering dan membaca surat kabar, eksistensi SI berkurang. Para priyayi beramai-ramai lari meninggalkan SI Surakarta di tengah keterpurukannya. Yang tersisa hanyalah para jurnalis yang kemudian beralih, memegang kendali menjadi pemimpin pergerakan. Dalam situasi tersebut, sosok seperti Marco yang berani, radikal, lugas menjadi sosok lebih didengarkan rakyat.

Doenia Bergerak menjadikan suara Marco makin keras dan lantang. Ia merasa perlu mengambil taktik demikian, sebab, ia bukanlah kalangan intelektual berdarah priyayi dan berpendidikan Belanda. Jika Tjokro hanya perlu membuka suara sedikit saja agar suaranya didengar oleh Belanda, maka Marco harus “berteriak” kencang-kencang agar suaranya lebih lantang dan didengar.

Paruh 1915, Doenia Bergerak memasuki masa gemilang.Pemerintah kolonial mulai represif, makin semena-mena terhadap kaum bumiputra, terlebih terhadap para kaum aktivisnya. Dalam surat kabarnya itulah, Marco lantang berseru-seru: “Kita semua adalah manusia”. Hasilnya bisa diduga, Marco diseret ke pengadilan. Jatuhlah vonis 7 bulan penjara. Mau apalagi, Marco tak pernah menyesalinya. Pengadilan adalah panggung politik bagi siapapun yang berkesedaran maju!

Di depan pengadilan pula, ia terus saja berseru-seru:

 “Saya berani bilang, selama kalian, rakyat Hindia, tidak punya keberanian, kalian akan terus diinjak-injak dan hanya menjadi seperempat manusia !!!”  

4 kali keluar masuk penjara, ia lewati dengan kepala tegak. Kesulitan demi kesulitan datang silih berganti. Selalu mampu ia taklukkan. Selalu mampu tergantikan oleh pengalaman dan pengetahuan baru.Ia menyebutnya sebagai batu ujian; sebagai sekolahan baru; sebagai tempat untuk melatih agar moral bertambah kukuh dan liat.Itu sebabnya Soewardi Soerjaningrat menyebutnya sebagai seorang satria sejati. Secara khusus dipahatnya kekaguman itu dalam sebuah tulisan di Sarotomo:

 

   “Memang membela bangsa itu tidak mudah dan tidak menyenangkan, namun ini kewajiban kita.Ingatkah, yang berbahagia bukanlah mereka yang menyandang gelar dan pangkat, bagi saya, kebahagiaan yang paling besar berada dalam pikiran saya. Saudara telah mengorbankan diri dan semua hukuman sesungguhnya merupakan sebuah bintang

Page 4: sejarah sastra ririt

kehirmatan bagi saudara dan itulah lambang kebahagiaan saudara. Sekarang, di mata saya pangkat saudara sangat tinggi, karena sudah jelas, kebahagiaan saudara terletak dalam upaya membela bangsa. Janganlah mengira bahwa tak ada orang lain yang akan meneruskan pekerjaan saudara. Puluhan orang nanti akan menggantikan saudara. Berani karena benar !(Akira Nagazumi, 1986)

 

Iklim politik di Hindia bergolak. Jauh melebihi dari yang pernah dibayangkan Marco. Perang Dunia I nyaris selesai. Revolusi Rusia meledak, tatanan dunia yang baru pun muncul. Sementara itu, kehidupan rakyat terus merosot; harga-harga meroket tinggi; upah terus digencet di bawah telapak kaki. Keresahan pun merunyak di mana-mana. Eropa meledak dengan Revolusi Rusia pada Maret 1917, diikuti dengan Revolusi Bolshevik.

Serikat-serikat buruh muncul bak jamur di musim hujan. Seperti terilhami oleh revolusi Bolshevik, pemogokan-pemogokan pabrik meledak hampir saban hari di pulau Jawa. Sebuah transformasi pergerakan tengah berlangsung, jika pada awalnya Serikat Islam ditandai dengan vergadering, kemudian beralih ke pemogokan. Perang Dunia I, menjadi batas waktu yang sangat penting bukan hanya bagi pergerakan tetapi bagi sejarah Hindia. Perang ini telah mempengaruhi posisi Hindia dengan negara induk. Cengkeraman terhadap negara jajahan tak lagi kencang. Radikalitas kaum buruh membuat pemerintah mengawasi perkembangan kelompok kiri ini.Pertemuan-pertemuan dilarang, organisasi-organisasi diinteli, pers dan penerbitan pun tak lepas dari teror dan sensor kolonial. Belasan orang di seret ke penjara dan dihukum mati di depan umum, sementara sekitar 13.000 orang dibuang ke Boven Digoel.

Regenerasi gerakan pun terjadilah. Semaun, seorang pemuda belia berumur 18 tahun, berasal dari kelas buruh, maju ke depan dan memimpin pemogokan di Jawa. Dia adalah aktivis ISDV dan kemudian menjadi pemimpin SI Semarang.

 

Ia juga seorang sastrawan

                Jamaknya aktivis pergerakan adalah berjiwa seni yang tinggi, nyaris tak ada yang menyangkal. Marx seorang sastrawan sejati, demikian juga Marco. Selain tulisan-tulisannya yang bergaris politik dan agitatif, ia sangat mencintai sastra. Ia senang menulis syair dan cerita roman. Bahkan bersama-sama dengan H. Mukhti dan Tirto Adhi Soeryo, Marco dianggap sebagai pelopor sastra modern Indonesia. Dari buah tangan merekalah disemai sastra modern di negeri kita.

Semua dan segala yang ditulisnya adalah potret dari seluruh realitas bangsanya. Hampir seperti Tirto yang meneguhkan dirinya sebagai wartawan-pengarang yang menjadikan tulisan sebagai senjata perang terhadap segala bentuk kesewenangan. Lewat tulisan serta sketsa-sketsa fiksinya ia mampu melukiskan dengan serba rinci tentang struktur sosial dan kebudayaan kolonial pada masa itu, seperti yang ditulisnya dalam Student Hidjo, buah karya terkenalnya yang membedah proses nasionalisme yang baru tumbuh di Hindia Belanda.

Syair-syairnya yang terkenal adalah Sama Rata Sama Rasa dan Badjak Laoet, keduanya menyuarakan kebenciannya pada kolonial, pada imperialis, yang ia gambarkan “menghisap mereka sampai pingsan”.

Page 5: sejarah sastra ririt

Lewat sastra ia mengasah pena, sebagaimana lewat sastra pula ia belajar tentang kesanggupan dan ketidaksanggupan manusia dalam berhadapan dengan sejarahnya, sejarah kolonialisme yang liat untuk diruntuhkan.

Marco juga sangat menyukai pewayangan. Salah satu tokoh idolanya adalah Bima, ksatria sejati, yang gagah berani membela kebenaran. Bahkan, Takashi menyebut bahwa kunci untuk memahami Marco adalah pergerakan dan pengorbanan. Setelah ia keluar masuk penjara tanpa sedikit jera dan menyesal. Semua itu adalah buah dari sikap satrianya, yang berani menyuarakan apa yang dirasa benar dan bertindak sesuai dengan kata-katanya. Marco mengatakan bahwa makna “hidup” hanya bisa dipahami jika orang mengorbankan dirinya bagi “kita”.Ia tampil sebagai “cermin” dan sebagai suatu pengorbanan bagi pergerakan rakyat.

Marco, anak muda ciptaan kolonial itu, tintanya tak pernah mengering. Karyanya, hidupnya, terus saja mengalir.

Tak ada data tentang bagaimana kehidupan pribadinya. Ia tak terlalu suka menulis biografi, atau menukilkan kisah hidupnya dalam cerita-cerita fiksinya.Namun,dari perjalanan hidupnya, dari  gaya ia menulis, agaknya faktor ‘kekalahan’ sebagai pribumi rendahan seperti disebut di atas, cukup berperan kuat, ia sangat dendam dengan kepriyayian. Ia dendam dengan feodalisme.

Tahun 1917, terbit syairnya yang berjudul Sama Rata Sama Rasa, yang menggambarkan tekat Marco untuk kembali ke dunia pergerakan, yang sempat lama di tinggalkannya. Pergerakan yang lahir dengan ekspansi Serikat Islam yang luar biasa, sekarang memasuki tahap baru. Masa kolonial telah berakhir dan berganti dengan masa munculnya kaum bumiputra. Setelah keluar dari penjara, Marco bergabung dengan SI Semarang dan duduk sebagai komisaris. Ia tak kembali ke Surakarta sampai akhir 1924. Di masa selanjutnya, pergerakan ternyata tumbuh kembali di Surakarta, kali ini bukan di bawah panji-panji SI tetapi di bawah Insulinde yang dipimpin oleh H Misbach dan Tjipto.

                 Pada masa awal pembentukan SI Surakarta, Marco memegang peranan yang cukup penting.Ia bukanlah orang Surakarta, namun di kota inilah ia memulai karier pergerakannya.Di kota inilah yang turut menyalakan obor penerang, yang semula dipegang oleh Tirto dan H. Misbach.

Pada tahun 1924, setelah H. Misbach, seorang orator dan organisator ulung, tokoh yang memproklamirkan Islam Komunis, dibuang ke Manokwari, Papua dan akhirnya meninggal setelah diterjang penyakit malaria, Marco lah yang memegang kendali organisasi. Dia memimpin SR dan PKI di Surakarta pada tahun 1925, sekaligus tanpa daya menjadi saksi atas kehancurannya. Runtuhnya organisasi PKI yang diawali dengan pemberontakan yang gagal  di tahun 1926.  

Gelombang radikalisme yang melanda rakyat-lah yang membuat pergerakan murni menjadi milik rakyat sekaligus menguji para pemimpinnya. Ketika  kekuatan kiri ditumpas habis-habisan pada tahun 1926, sebuah generasi baru intelektual yang kesadaran nasionalisnya sudah terbentuk mulai awal 20-an muncul dan menjadi kekuatan baru. Marco, satria sejati, yang tak pernah berlari ketika datang kesulitan -- ia selalu menyambutnya dengan kepala tegak-- adalah salah satu peletak dasarnya! (lhs) ****

Page 6: sejarah sastra ririt

II.2 Karya- karya Pujangga Baru

Puisi Pujangga Baru: Konsep Estetik, Orientasi dan Strukturnya Oleh: Rachmat Djoko Pradopo, Prof., Dr Artikel di Jurnal Humaniora Volume XIII, No. 1/2001

Puisi Pujangga Baru adalah awal puisi Indonesia modern. Untuk memahami puisi Indonesia modern sesudahnya dan puisi Indonesia secara keseluruhan, penelitian puisi Pujangga Baru penting dilakukan. Hal ini disebabkan karya sastra, termasuk puisi, tidak lahir dalam kekosongan budaya (Teeuw, 1980:11), termasuk karya sastra. Di samping itu, karya sastra itu merupakan response (jawaban) terhadap karya sastra sebelumnya (Riffaterre viaTeeuw,1983:65).

Karya sastra, termasuk puisi, dicipta sastrawan. Sastrawan sebagai anggota masyarakat tidak terlepas dari latar sosial–budaya dan kesejarahan masyarakatnya. Begitu juga, penyair Pujangga Baru tidak lepas dari latar sosial-budaya dan kesejarahan bangsa Indonesia. Puisi Pujangga Baru (1920-1942) itu lahir dan berkembang pada saat bangsa Indonesia menuntut kemerdekaan dari penjajahan Belanda. Oleh karena itu, perlu diteliti wujud perjuangannya, di samping wujud latar sosial-budayanya.

Untuk memahami puisi secara mendalam, juga puisi Pujangga Baru, perlu diteliti secara ilmiah keseluruhan puisi itu, baik secara struktur estetik maupun muatan yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi, sampai sekarang belum ada penelitian puisi Pujangga Baru yang tuntas, sistematik, dan mendalam. Sifatnya penelitian yang sudah ada itu impresionistik, yaitu penelaahan hanya mengenai pokok-pokoknya, tanpa analisis yang terperinci, serta diuraikan secara ringkas.

Puisi merupakan struktur yang kompleks. Oleh karena itu, dalam penelitian puisi Pujangga Baru digunakan teori dan metode struktural semiotik. Kesusastraan merupakan struktur ketandaan yang bermakna dan kompleks, antarunsurnya terjadi hubungan yang erat (koheren). Tiap unsur karya sastra mempunyai makna dalam hubungannya dengan unsur lain dalam struktur itu dan keseluruhannya (Hawkes, 1978: 17—18). Akan tetapi, strukturalisme murni yang hanya terbatas pada struktur dalam (inner structure) karya sastra itu mengasingkan relevansi kesejarahannya dan sosial budayanya (Teeuw, 1983: 61). Oleh karena itu, untuk dapat memahami puisi dengan baik serta untuk mendapatkan makna yang lebih penuh, dalam menganalisis sajak dipergunakan strukturalisme dinamik (Teeuw, 1983: 62), yaitu analisis struktural dalam kerangka semiotik. Karya sastra sebagai tanda terikat kepada konvensi masyarakatnya. Oleh karena itu, karya sastra

Page 7: sejarah sastra ririt

tidak terlepas dari jalinan sejarah dan latar sosial budaya masyarakat yang menghasilkannya, seperti telah terurai di atas.

Di samping itu, untuk memahami struktur puisi Pujangga Baru, perlu juga diketahui struktur puisi sebelumnya, yaitu puisi Melayu lama yang direspons oleh puisi Pujangga Baru.

Buku Sejarah Sastra Indonesia Modern Jilid 1 karya Bakri Siregar (1964) memperlihatkan bahwa subjektivitas penulis sejarah—termasuk sejarah sastra Indonesia—senantiasa tampak dalam buku yang dihasilkannya.

Bakri Siregar merupakan pimpinan pusat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang juga menjabat sebagai Ketua Akademi Sastra dan Bahasa “Multatuli” Jakarta dan Guru Besar Sastra Indonesia Modern di Universitas Peking. Pascaperistiwa G30S 1965, Bakri Siregar termasuk sastrawan Lekra yang ditahan tanpa diadili dan baru dibebaskan pada 1977.

Menyusul penahanannya adalah dilarangnya buku sejarah yang ditulisnya itu. Hingga kini, tidak akan ada buku Sejarah Sastra Indonesia Modern Jilid 2 dari sang penulis, karena Bakri Siregar telah meninggal pada 19 Juni 1994. Buku Sejarah Sastra Indonesia Modern Jilid 1 ini berisi masa awal sastra Indonesia, masa Balai Pustaka, hingga masa Pujangga Baru (1930-an).

Sebenarnya topik pembicaraan belum masuk periode 1960-an, namun dalam pengantarnya Bakri Siregar telah menyinggung konsep kesenian Lekra dan sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu). Mengenai cakupan khazanah sastra Indonesia, saya sangat sependapat dengan Bakri Siregar. Bahwa pengertian sastra Indonesia itu mencakup naskah-naskah Melayu di Indonesia hingga akhir abad ke-19.

Dalam bahasa A Teeuw, karya sastra semacam ini dinamakan “sastra di Indonesia”. Bakri Siregar juga memasukkan karya sastra yang berbahasa Melayu Tionghoa ke dalam khazanah sastra Indonesia. Hanya saja, saat ia menulis buku Sejarah Sastra Indonesia Modern Jilid 1, ia merasa kesulitan mendapatkan bahan-bahan itu.

Zuber Usman (dalam Siregar, 1964), mengatakan bahwa Abdullah bin Abdulkadir Munsji yang hidup di abad ke-19 merupakan penutup zaman lama dan Abdullah dapat diumpamakan sebagai cahaya fajar zaman baru yang mulai menyingsingkan sinarnya di ufuk zaman itu.

Tampaknya Bakri Siregar enggan memasukkan Abdullah sebagai tokoh awal sastra Indonesia modern karena setelah membaca memoarnya, Hikayat Abdullah, Bakri Siregar menilai sikap Abdullah yang dalam batas tertentu mempunyai segi positif dalam mengkritik kaum bangsawan Melayu dan praktik onar para raja, tapi di sisi lain Abdullah terlalu memuji dan kagum pada penjajah Inggris dengan menamakan mereka tokoh-tokoh kemanusiaan yang ikhlas dan bijaksana.

Sikap seperti itu, menurut Bakri Siregar, sebagai kompleks rasa rendah diri yang terlalu besar pada diri Abdullah dalam menghadapi orang kulit putih, hingga praktis merendahkan bangsanya dan bangsa-bangsa lain di Asia.

Page 8: sejarah sastra ririt

Menurut Bakri Siregar ada tiga sastrawan yang menjadi tokoh awal sastra Indonesia modern. Mereka adalah Mas Marco Kartodikromo, Semaun, dan Rustam Effendi. Karya-karya Mas Marco Kartodikromo, baik dalam bahasa Jawa maupun dalam bahasa Indonesia secara tegas pertama kali melemparkan kritik terhadap pemerintah jajahan serta kalangan feodal.

Dua karya Mas Marco yang menonjol adalah Student Hidjo (1919) dan Rasa Merdeka (1924). Karena isinya berupa kritik terhadap imperialisme Belanda dan antifeodalisme, karya-karya Mas Marco dilarang pemerintah kolonial Belanda. Sebagai sastrawan dan juga wartawan yang revolusioner, Mas Marco sering keluar masuk penjara, dan meninggal di tanah pembuangan Digul.

Semaun menghasilkan novel Hikayat Kadirun pada 1924. Dalam novel tersebut, Semaun membayangkan kehidupan dalam masyarakat masa depan yang lebih baik dari keadaannya saat itu. Masyarakat masa itu yang digambarkan adalah masyarakat yang berada dalam belenggu penjajahan. Dengan demikian, apa yang dianggap baik di hari depan oleh penulis, dianggap musuh oleh penjajah. Pada 1932, Semaun menyumbangkan artikel dalam Ensiklopedi Kesusastraan yang terbit di Moskow.

Semaun antara lain menulis, “Hikayat Kadirun didasarkan untuk melawan rezim penjajah Belanda. Roman ini disita dan setelah pemberontakan tahun 1926/1927 dipandang sebagai buah ciptaan kesusastraan di bawah tanah. Oplah sastra revolusioner sangat terbatas, tidak lebih dari 1.500-2.000 buah. Buku-buku itu dicetak di percetakan Partai Komunis dan serikat buruh.” (Siregar, 1964).

Rustam Effendi menulis lakon Bebasari pada 1926. Lakon ini berisi sindiran terhadap penjajah dan menggelorakan semangat pemuda dan rakyat. Simbol-simbol wayang digunakan Rustam Effendi untuk mengkritik penguasa. Rahwana, misalnya, melambangkan sifat bengis kaum penjajah. Sementara Bebasari melambangkan cita-cita kemerdekaan. Bebasari mengatakan di akhir lakon, “Asmara sayap usaha yang tinggi/ Asmara kepada bangsa sendiri.”

Ketiga tokoh awal mula sastra Indonesia versi Bakri Siregar itu mendapat kendala di zaman Belanda. Karya-karya ketiga sastrawan revolusioner itu dilarang oleh Belanda. Bahkan Kepala Balai Pustaka A Rinkes menyebut karya mereka sebagai bacaan liar.

Dalam buku Sejarah Sastra Indonesia Modern Jilid 1 itu, Bakri Siregar juga menjelaskan adanya beberapa pengaruh dari luar terhadap perkembangan sastra Indonesia modern. Pertama, pengaruh Hindu dan Islam, yang mempengaruhi awal-awal perkembangan sastra Indonesia. Dalam artikel “Dua Kiblat dalam Sastra Indonesia” (Sambodja, 2005).

Hal ini terlihat dari naskah-naskah berbahasa Melayu dan naskah-naskah berbahasa Jawa Kuno. Kedua, sikap revolusioner yang muncul dalam karya-karya sastra Indonesia awal itu merupakan pengaruh dari Uni Soviet dan Tiongkok; antara lain melalui karya Maxim Gorki, tokoh realisme sosialis, dan Lu Hsun, pelopor sastra Tiongkok modern.

Ketiga, pengaruh dari Barat, terutama Belanda, yakni komunitas De Tachtigers yang menginspirasi sastrawan-sastrawan Pujangga Baru. Sastrawan Eduard du Perron dan Hendrik

Page 9: sejarah sastra ririt

Marsman sangat mempengaruhi perkembangan kepenyairan Chairil Anwar. Multatuli alias Eduard Douwes Dekker (1860) yang menulis buku Max Havelaar juga mempengaruhi sastrawan revolusioner Indonesia. “Kalau bukuku diperhatikan dengan baik, dan disambut dengan baik, maka tiap sambutan baik akan menjadi kawanku menentang pemerintah,” tulis Multatuli.

Bagaimana dengan Manikebu? Bakri Siregar mengatakan, “Dalam meniadakan dan membendung semangat revolusi, mereka mengemukakan konsepsi humanisme universal, sejalan dengan usaha neokolonialisme dalam mempertahankan kepentingan di Indonesia, menganjurkan eksistensialisme (‘filsafat iseng’ dan ‘filsafat takut’), serta memupuk individualisme dan pesimisme, menjadikan sastrawan dan seniman kosmopolit dan antipatriotik, tanpa menyatukan diri dengan perjuangan bangsanya.” (Siregar, 1964: 13-14).

II.3  Angkatan Pujangga Baru

Angkatan Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan.

Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis menjadi bapak  sastra modern Indonesia.

Angkatan Pujangga Baru (1930-1942) dilatarbelakangi oleh kejadian bersejarah “Sumpah Pemuda” pada 28 Oktober 1928.

Ikrar Sumpah Pemuda 1928:

o Pertama Kami poetera dan poeteri indonesia, mengakoe bertoempah darah jang

satoe, tanah Indonesia.

o Kedoea Kami poetera dan poeteri indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe,

bangsa Indonesia.

o Ketiga Kami poetera dan poeteri indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean,

bahasa Indonesia.

Melihat latar belakang sejarah pada masa Angkatan Pujangga Baru, tampak Angkatan Pujangga Baru ingin menyampaikan semangat persatuan dan kesatuan Indonesia, dalam satu bahasa yaitu bahasa Indonesia.

Pada masa ini, terbit pula majalah Poedjangga Baroe yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan Armijn Pane.

Pada masa Angkatan Pujangga Baru, ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu:

Page 10: sejarah sastra ririt

o Kelompok “Seni untuk Seni”

o Kelompok “Seni untuk Pembangunan Masyarakat”

Ciri-ciri sastra pada masa Angkatan Pujangga Baru antara lain sbb:

o Sudah menggunakan bahasa Indonesia

o Menceritakan kehidupan masyarakat kota, persoalan intelektual, emansipasi

(struktur cerita/konflik sudah berkembang)

o Pengaruh barat mulai masuk dan berupaya melahirkan budaya nasional

o Menonjolkan nasionalisme, romantisme, individualisme, intelektualisme, dan

materialisme.

Salah satu karya sastra terkenal dari Angkatan Pujangga Baru adalah Layar Terkembang karangan Sutan Takdir Alisjahbana.

Layar Terkembang merupakan kisah roman antara 3 muda-mudi; Yusuf, Maria, dan Tuti.

o Yusuf adalah seseorang mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang menghargai

wanita.

o Maria adalah seorang mahasiswi periang, senang akan pakaian bagus, dan

memandang kehidupan dengan penuh kebahagian.

o Tuti adalah guru dan juga seorang gadis pemikir yang berbicara seperlunya saja,

aktif dalam perkumpulan dan memperjuangkan kemajuan wanita.

Dalam kisah Layar Terkembang, Sutan Takdir Alisjahbana ingin menyampaikan beberapa hal yaitu:

o Perempuan harus memiliki pengetahuan yang luas sehingga dapat memberikan

pengaruh yang sangat besar didalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan demikian perempuan dapat lebih dihargai kedudukannya di masyarakat.

Page 11: sejarah sastra ririt

o Masalah yang datang harus dihadapi bukan dihindarkan dengan mencari pelarian.

Seperti perkawinan yang digunakan untuk pelarian mencari perlindungan, belas kasihan dan pelarian dari rasa kesepian atau demi status budaya sosial.

Selain Layar Terkembang, Sutan Takdir Alisjahbana juga membuat sebuah puisi yang berjudul “Menuju ke Laut”.

Puisi “Menuju ke Laut” karya Sutan Takdir Alisjahbana ini menggunakan laut untuk mengungkapkan h ubungan antara manusia, alam, dan Tuhan.

Ada pula seorang sastrawan Pujangga Baru lainnya, Sanusi Pane yang menggunakan laut sebagai sarana untuk mengungkapkan hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan.

Karya Sanusi Pane ini tertuang dalam bentuk puisi yang berjudul “ Dalam Gelombang”.

Ditinjau dari segi struktural, ada persamaan struktur antara puisi Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane yaitu pengulangan bait pertama pada bait terakhir.

Sementara itu, ditinjau dari segi isi, tampak ada perbedaan penggambaran laut dalam puisi Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane.

Jika Sutan Takdir Alisjahbana menggambarkan laut sebagai sebuah medan perjuangan, Sanusi Pane menggambarkan laut sebagai suatu tempat yang penuh ketenangan.

·  Contoh Puisi Angkatan Pujangga Baru

Kami telah meninggalkan engkau,

Tasik yang tenang tiada beriak,

diteduhi gunung yang rimbun,

dari angin dan topan.

Sebab sekali kami terbangun,

dari mimpi yang nikmat.

Ombak riak berkejar-kejaran

di gelanggang biru di tepi langit.

Pasir rata berulang di kecup,

tebing curam ditentang diserang,

Page 12: sejarah sastra ririt

dalam bergurau bersama angin,

dalam berlomba bersama mega.

… Aku bernyanyi dengan suara Seperti bisikan angin di daun Suaraku hilang dalam udara Dalam laut yang beralun-alun Alun membawa bidukku perlahan Dalam kesunyian malam waktu Tidak berpawang tidak berkawan Entah kemana aku tak tahu Menuju ke Laut Oleh Sutan Takdir Alisjahbana Dibawa Gelombang . Oleh Sanusi Pane

Amir Hamzah diberi gelar sebagai “Raja Penyair” karena mampu menjembatani tradisi puisi Melayu yang ketat dengan bahasa Indonesia yang sedang berkembang. Dengan susah payah dan tak selalu berhasil, dia cukup berhasil menarik keluar puisi Melayu dari puri-puri Istana Melayu menuju ruang baru yang lebih terbuka yaitu bahasa Indonesia, yang menjadi alasdasar dari Indonesia yang sedang dibayangkan bersama.

Selain Sutan Takdir Alisjahbana, ada pula tokoh lain yang terkenal dari Angkatan Pujangga Baru sebagai “Raja Penyair” yaitu Tengku Amir Hamzah .

·  Sastrawan dan Hasil Karya

Sastrawan pada Angkatan Pujangga Baru beserta hasil karyanya antara lain sbb:

o Sultan Takdir Alisjahbana

o

Contoh: Di Kakimu, Bertemu

o Sutomo Djauhar Arifin

o

Contoh: Andang Teruna (fragmen)

o Rustam Effendi

o

Contoh: Bunda dan Anak, Lagu Waktu Kecil

Page 13: sejarah sastra ririt

o Asmoro Hadi

o

Contoh: Rindu, Hidup Baru

o Hamidah

o

Contoh: Berpisah, Kehilangan Mestika (fragmen)

·  Sastrawan dan Hasil Karya

o Amir Hamzah

o

Contoh: Sunyi, Dalam Matamu

o Hasjmy

o

Contoh: Ladang Petani, Sawah

o Lalanang

o

Contoh: Bunga Jelita

o O.R. Mandank

o

Contoh: Bagaimana Sebab Aku Terdiam

o Mozasa

Page 14: sejarah sastra ririt

o

Contoh: Amanat, Kupu-kupu

sejarah pujanga baru Diposkan oleh DUNIA AKU.blogspot.com

BAB IPENDAHULUANI.1 Latar Belakang Masalahpada mulanya, punjangga baru adalah nama majalah sastra dan kebudayaan yang terbit antara tahu 1933 adanya pelarangan oleh perintah jepang setelah tentara jepang berkuasa di Indonesia.Adapun pengasuhnya atara lain Sultan Takdir Alisjahbana, Armein Pane, Amir Hamzah Dan Sanusi Pane. Jadi pujangga baru bukanlah suatu konsepsi ataupun aliran. Namun demikian, orang-orang atau para pengarang yang asil karyanya pernah dimuat dalam majalah itu, di nilai memiliki bobot dan cita-cita kesenian yang baru dan mengarah ke depan.Barang kali, hanya untuk memudahkan ingatan adanya angkatan baru itulah maka di pakai istilah angkatan pujangga baru, yang tak lain adalah orang-orang yang tulis-tulisanya pernah di muat di dalam masalah tersebut. Adapun majalah itu, diterbitkan oleh pustaka rakyat, uatu badan yang memang mempunyai perhtian terhadap masalah-masalah kesenian. Tetapi seperti telah disinggung di atas, pada jaman pendudukan jepang majalah pujangga baru ini dilarang pemerintah jepang dengan alasan karena kebarat-barat.Namun setela Indonesia merdeka, majalah ini di terbitkan lagi ( hidup 1948-1953), dengan pemimpin redaksi Sultan Takdir Aliscahbana dan beberapa tokoh-tokoh angkatan 45 seperti Asrul, Rivai Apin Dan S. Rukiah. Mengingat masa hidup pujangga baru (1) itu antara tahun 1933 sampai dengan zaman jepang, maka diperkirakan para pnyumbang karangan itu paling tahun 1915-an dan sebelumnya.Dengan demikian, boleh dikatakan generasi pujangga baru adalah generasi lama. Sedangkan angkatan 45 yang kemudian menyusulnya, merupakan angkatan baru yang jauh lebih bebas dcalam mengekspresikan gagasan-gagasan dan kata hatinya.I.2 Rumusan Masalah1.2.1 bagaimana sejarah Pujangga baru?1.2.2 Apa pengertian tentang Pujangga baru?1.2.3 Siapa saja tokoh Pujangga Baru?I.3 TujuanTujuan yang ingin di capai dalam makalah ini di antaranya yaitu :1. Untuk mengetahui tentang sejarah dari Pujangga Baru.2. Untuk memahami tentang Pujangga Baru.3. Untuk mengetahui contoh-contoh karya Pujangga Baru.4. Untuk mengetahui tokoh-tokoh siapa saja yang termasuk angkatan Pujangga Baru.BAB IIPEMBAHASAANII.1 Sejarah singkat tentang Pujangga Baru

Page 15: sejarah sastra ririt

Pada mulanya, Pujangga baru adalah nama majalah sastra dan kebudayaan yang terbit antara tahun 1933 sampai dengan adanya pelarangan oleh pemerintah Jepang setelah tentara Jepang berkuasa di Indonesia.Adapun pengasuhnya antara lain Sultan Takdir Alisjahbana, Armein Pane , Amir Hamzah dan Sanusi Pane. Jadi Pujangga Baru bukanlah suatu konsepsi ataupun aliran. Namun demikian, orang-orang atau para pengarang yang hasil karyanya pernah dimuat dalam majalah itu, dinilai memiliki bobot dan cita-cita kesenian yang baru dan mengarah kedepan.Barangkali, hanya untuk memudahkan ingatan adanya angkatan baru itulah maka dipakai istilah Angkatan Pujangga Baru, yang tak lain adalah orang-orang yang tulisan-tulisannya pernah dimuat didalam majalah tersebut. Adapun majalah itu, diterbitkan oleh Pustaka Rakyat, Suatu badan yang memang mempunyai perhatian terhadap masalah-masalah kesenian. Tetapi seperti telah disinggung diatas, pada zaman pendudukan Jepang majalah Pujangga Baru ini dilarang oleh pemerintah Jepang dengan alasan karena kebarat-baratan.Namun setelah Indonesia merdeka, majalah ini diterbitkan lagi (hidup 1948 s/d 1953), dengan pemimpin Redaksi Sutan Takdir Alisjahbana dan beberapa tokohtokoh angkatan 45 seperti Asrul Sani, Rivai Apin dan S. Rukiah.Mengingat masa hidup Pujangga Baru ( I ) itu antara tahun 1933 sampai dengan zaman Jepang , maka diperkirakan para penyumbang karangan itu paling tidak kelahiran tahun 1915-an dan sebelumnya. Dengan demikian, boleh dikatan generasi Pujangga Baru adalah generasi lama. Sedangkan angkatan 45 yang kemudian menyusulnya, merupakan angkatan bar yang jauh lebih bebas dalam mengekspresikan gagasan-gagasan dan kata hatinya.Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis.Pada masa itu, terbit pula majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 – 1942), dipelopori olehSutan Takdir Alisyahbana dkk. Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu :1. Kelompok “Seni untuk Seni” yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah2. Kelompok “Seni untuk Pembangunan Masyarakat” yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis menjadi “bapak” sastra modern Indonesia. Pada masa itu, terbit pula majalah “Poedjangga Baroe” yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 – 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana dkk. Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu 1. Kelompok “Seni untuk Seni” yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah dan; 2. Kelompok “Seni untuk Pembangunan Masyarakat” yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.Karyasastera• Layar Terkembang oleh Sutan Takdir Alisjahbana • Tebaran Mega • Belenggu oleh Armijn

Page 16: sejarah sastra ririt

Pane • Jiwa Berjiwa • Gamelan Jiwa • Jinak-jinak Merpati • Kisah Antara Manusia • Nyanyian Sunyi oleh Tengku Amir Hamzah • Buah Rindu • Pancaran Cinta oleh Sanusi Pane • Puspa Mega • Madah Kelana • Sandhyakala ning Majapahit • Kertajaya • Tanah Air oleh Muhammad Yamin • Indonesia Tumpah Darahku • Ken Angrok dan Ken Dedes • Kalau Dewi Tara Telah Berkata • Percikan Permenungan oleh Rustam Effendi • Bebasari • Kalau Tak Untung oleh Sariamin • Pengaruh Keadaan • Rindu Dendam oleh J.E.Tatengkeng.II.2 Karya- karya Pujangga BaruPuisi Pujangga Baru: Konsep Estetik, Orientasi dan Strukturnya Oleh:Rachmat Djoko Pradopo, Prof., Dr Artikel di Jurnal Humaniora Volume XIII, No. 1/2001Puisi Pujangga Baru adalah awal puisi Indonesia modern. Untuk memahami puisi Indonesia modern sesudahnya dan puisi Indonesia secara keseluruhan, penelitian puisi Pujangga Baru penting dilakukan. Hal ini disebabkan karya sastra, termasuk puisi, tidak lahir dalam kekosongan budaya (Teeuw, 1980:11), termasuk karya sastra. Di samping itu, karya sastra itu merupakan response (jawaban) terhadap karya sastra sebelumnya (Riffaterre viaTeeuw,1983:65).Karya sastra, termasuk puisi, dicipta sastrawan. Sastrawan sebagai anggota masyarakat tidak terlepas dari latar sosial–budaya dan kesejarahan masyarakatnya. Begitu juga, penyair Pujangga Baru tidak lepas dari latar sosial-budaya dan kesejarahan bangsa Indonesia. Puisi Pujangga Baru (1920-1942) itu lahir dan berkembang pada saat bangsa Indonesia menuntut kemerdekaan dari penjajahan Belanda. Oleh karena itu, perlu diteliti wujud perjuangannya, di samping wujud latar sosial-budayanya.Untuk memahami puisi secara mendalam, juga puisi Pujangga Baru, perlu diteliti secara ilmiah keseluruhan puisi itu, baik secara struktur estetik maupun muatan yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi, sampai sekarang belum ada penelitian puisi Pujangga Baru yang tuntas, sistematik, dan mendalam. Sifatnya penelitian yang sudah ada itu impresionistik, yaitu penelaahan hanya mengenai pokok-pokoknya, tanpa analisis yang terperinci, serta diuraikan secara ringkas.Puisi merupakan struktur yang kompleks. Oleh karena itu, dalam penelitian puisi Pujangga Baru digunakan teori dan metode struktural semiotik. Kesusastraan merupakan struktur ketandaan yang bermakna dan kompleks, antarunsurnya terjadi hubungan yang erat (koheren). Tiap unsur karya sastra mempunyai makna dalam hubungannya dengan unsur lain dalam struktur itu dan keseluruhannya (Hawkes, 1978: 17—18). Akan tetapi, strukturalisme murni yang hanya terbatas pada struktur dalam (inner structure) karya sastra itu mengasingkan relevansi kesejarahannya dan sosial budayanya (Teeuw, 1983: 61). Oleh karena itu, untuk dapat memahami puisi dengan baik serta untuk mendapatkan makna yang lebih penuh, dalam menganalisis sajak dipergunakan strukturalisme dinamik (Teeuw, 1983: 62), yaitu analisis struktural dalam kerangka semiotik. Karya sastra sebagai tanda terikat kepada konvensi masyarakatnya. Oleh karena itu, karya sastra tidak terlepas dari jalinan sejarah dan latar sosial budaya masyarakat yang menghasilkannya, seperti telah terurai di atas.Di samping itu, untuk memahami struktur puisi Pujangga Baru, perlu juga diketahui struktur puisi sebelumnya, yaitu puisi Melayu lama yang direspons oleh puisi Pujangga Baru.Buku Sejarah Sastra Indonesia Modern Jilid 1 karya Bakri Siregar (1964) memperlihatkan bahwa subjektivitas penulis sejarah—termasuk sejarah sastra Indonesia—senantiasa tampak dalam buku yang dihasilkannya.Bakri Siregar merupakan pimpinan pusat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang juga menjabat sebagai Ketua Akademi Sastra dan Bahasa “Multatuli” Jakarta dan Guru Besar Sastra Indonesia Modern

Page 17: sejarah sastra ririt

di Universitas Peking. Pascaperistiwa G30S 1965, Bakri Siregar termasuk sastrawan Lekra yang ditahan tanpa diadili dan baru dibebaskan pada 1977.Menyusul penahanannya adalah dilarangnya buku sejarah yang ditulisnya itu. Hingga kini, tidak akan ada buku Sejarah Sastra Indonesia Modern Jilid 2 dari sang penulis, karena Bakri Siregar telah meninggal pada 19 Juni 1994. Buku Sejarah Sastra Indonesia Modern Jilid 1 ini berisi masa awal sastra Indonesia, masa Balai Pustaka, hingga masa Pujangga Baru (1930-an).Sebenarnya topik pembicaraan belum masuk periode 1960-an, namun dalam pengantarnya Bakri Siregar telah menyinggung konsep kesenian Lekra dan sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu). Mengenai cakupan khazanah sastra Indonesia, saya sangat sependapat dengan Bakri Siregar. Bahwa pengertian sastra Indonesia itu mencakup naskah-naskah Melayu di Indonesia hingga akhir abad ke-19.Dalam bahasa A Teeuw, karya sastra semacam ini dinamakan “sastra di Indonesia”. Bakri Siregar juga memasukkan karya sastra yang berbahasa Melayu Tionghoa ke dalam khazanah sastra Indonesia. Hanya saja, saat ia menulis buku Sejarah Sastra Indonesia Modern Jilid 1, ia merasa kesulitan mendapatkan bahan-bahan itu.Zuber Usman (dalam Siregar, 1964), mengatakan bahwa Abdullah bin Abdulkadir Munsji yang hidup di abad ke-19 merupakan penutup zaman lama dan Abdullah dapat diumpamakan sebagai cahaya fajar zaman baru yang mulai menyingsingkan sinarnya di ufuk zaman itu.Tampaknya Bakri Siregar enggan memasukkan Abdullah sebagai tokoh awal sastra Indonesia modern karena setelah membaca memoarnya, Hikayat Abdullah, Bakri Siregar menilai sikap Abdullah yang dalam batas tertentu mempunyai segi positif dalam mengkritik kaum bangsawan Melayu dan praktik onar para raja, tapi di sisi lain Abdullah terlalu memuji dan kagum pada penjajah Inggris dengan menamakan mereka tokoh-tokoh kemanusiaan yang ikhlas dan bijaksana.Sikap seperti itu, menurut Bakri Siregar, sebagai kompleks rasa rendah diri yang terlalu besar pada diri Abdullah dalam menghadapi orang kulit putih, hingga praktis merendahkan bangsanya dan bangsa-bangsa lain di Asia.Menurut Bakri Siregar ada tiga sastrawan yang menjadi tokoh awal sastra Indonesia modern. Mereka adalah Mas Marco Kartodikromo, Semaun, dan Rustam Effendi. Karya-karya Mas Marco Kartodikromo, baik dalam bahasa Jawa maupun dalam bahasa Indonesia secara tegas pertama kali melemparkan kritik terhadap pemerintah jajahan serta kalangan feodal.Dua karya Mas Marco yang menonjol adalah Student Hidjo (1919) dan Rasa Merdeka (1924). Karena isinya berupa kritik terhadap imperialisme Belanda dan antifeodalisme, karya-karya Mas Marco dilarang pemerintah kolonial Belanda. Sebagai sastrawan dan juga wartawan yang revolusioner, Mas Marco sering keluar masuk penjara, dan meninggal di tanah pembuangan Digul.Semaun menghasilkan novel Hikayat Kadirun pada 1924. Dalam novel tersebut, Semaun membayangkan kehidupan dalam masyarakat masa depan yang lebih baik dari keadaannya saat itu. Masyarakat masa itu yang digambarkan adalah masyarakat yang berada dalam belenggu penjajahan. Dengan demikian, apa yang dianggap baik di hari depan oleh penulis, dianggap musuh oleh penjajah. Pada 1932, Semaun menyumbangkan artikel dalam Ensiklopedi Kesusastraan yang terbit di Moskow.Semaun antara lain menulis, “Hikayat Kadirun didasarkan untuk melawan rezim penjajah Belanda. Roman ini disita dan setelah pemberontakan tahun 1926/1927 dipandang sebagai buah ciptaan kesusastraan di bawah tanah. Oplah sastra revolusioner sangat terbatas, tidak lebih dari 1.500-2.000 buah. Buku-buku itu dicetak di percetakan Partai Komunis dan serikat buruh.” (Siregar, 1964).

Page 18: sejarah sastra ririt

Rustam Effendi menulis lakon Bebasari pada 1926. Lakon ini berisi sindiran terhadap penjajah dan menggelorakan semangat pemuda dan rakyat. Simbol-simbol wayang digunakan Rustam Effendi untuk mengkritik penguasa. Rahwana, misalnya, melambangkan sifat bengis kaum penjajah. Sementara Bebasari melambangkan cita-cita kemerdekaan. Bebasari mengatakan di akhir lakon, “Asmara sayap usaha yang tinggi/ Asmara kepada bangsa sendiri.”Ketiga tokoh awal mula sastra Indonesia versi Bakri Siregar itu mendapat kendala di zaman Belanda. Karya-karya ketiga sastrawan revolusioner itu dilarang oleh Belanda. Bahkan Kepala Balai Pustaka A Rinkes menyebut karya mereka sebagai bacaan liar.Dalam buku Sejarah Sastra Indonesia Modern Jilid 1 itu, Bakri Siregar juga menjelaskan adanya beberapa pengaruh dari luar terhadap perkembangan sastra Indonesia modern. Pertama, pengaruh Hindu dan Islam, yang mempengaruhi awal-awal perkembangan sastra Indonesia. Dalam artikel “Dua Kiblat dalam Sastra Indonesia” (Sambodja, 2005).Hal ini terlihat dari naskah-naskah berbahasa Melayu dan naskah-naskah berbahasa Jawa Kuno. Kedua, sikap revolusioner yang muncul dalam karya-karya sastra Indonesia awal itu merupakan pengaruh dari Uni Soviet dan Tiongkok; antara lain melalui karya Maxim Gorki, tokoh realisme sosialis, dan Lu Hsun, pelopor sastra Tiongkok modern.Ketiga, pengaruh dari Barat, terutama Belanda, yakni komunitas De Tachtigers yang menginspirasi sastrawan-sastrawan Pujangga Baru. Sastrawan Eduard du Perron dan Hendrik Marsman sangat mempengaruhi perkembangan kepenyairan Chairil Anwar. Multatuli alias Eduard Douwes Dekker (1860) yang menulis buku Max Havelaar juga mempengaruhi sastrawan revolusioner Indonesia. “Kalau bukuku diperhatikan dengan baik, dan disambut dengan baik, maka tiap sambutan baik akan menjadi kawanku menentang pemerintah,” tulis Multatuli.Bagaimana dengan Manikebu? Bakri Siregar mengatakan, “Dalam meniadakan dan membendung semangat revolusi, mereka mengemukakan konsepsi humanisme universal, sejalan dengan usaha neokolonialisme dalam mempertahankan kepentingan di Indonesia, menganjurkan eksistensialisme (‘filsafat iseng’ dan ‘filsafat takut’), serta memupuk individualisme dan pesimisme, menjadikan sastrawan dan seniman kosmopolit dan antipatriotik, tanpa menyatukan diri dengan perjuangan bangsanya.” (Siregar, 1964: 13-14).II.3 Angkatan Pujangga Baru• Angkatan Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan.• Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis menjadi bapak sastra modern Indonesia.• Angkatan Pujangga Baru (1930-1942) dilatarbelakangi oleh kejadian bersejarah “Sumpah Pemuda” pada 28 Oktober 1928.• Ikrar Sumpah Pemuda 1928:• o Pertama Kami poetera dan poeteri indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.• o Kedoea Kami poetera dan poeteri indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.

Page 19: sejarah sastra ririt

• o Ketiga Kami poetera dan poeteri indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.• Melihat latar belakang sejarah pada masa Angkatan Pujangga Baru, tampak Angkatan Pujangga Baru ingin menyampaikan semangat persatuan dan kesatuan Indonesia, dalam satu bahasa yaitu bahasa Indonesia.• Pada masa ini, terbit pula majalah Poedjangga Baroe yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan Armijn Pane.• Pada masa Angkatan Pujangga Baru, ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu:• o Kelompok “Seni untuk Seni”• o Kelompok “Seni untuk Pembangunan Masyarakat”• Ciri-ciri sastra pada masa Angkatan Pujangga Baru antara lain sbb:• o Sudah menggunakan bahasa Indonesia• o Menceritakan kehidupan masyarakat kota, persoalan intelektual, emansipasi (struktur cerita/konflik sudah berkembang)• o Pengaruh barat mulai masuk dan berupaya melahirkan budaya nasional• o Menonjolkan nasionalisme, romantisme, individualisme, intelektualisme, dan materialisme.• Salah satu karya sastra terkenal dari Angkatan Pujangga Baru adalah Layar Terkembang karangan Sutan Takdir Alisjahbana.• Layar Terkembang merupakan kisah roman antara 3 muda-mudi; Yusuf, Maria, dan Tuti.• o Yusuf adalah seseorang mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang menghargai wanita.• o Maria adalah seorang mahasiswi periang, senang akan pakaian bagus, dan memandang kehidupan dengan penuh kebahagian.• o Tuti adalah guru dan juga seorang gadis pemikir yang berbicara seperlunya saja, aktif dalam perkumpulan dan memperjuangkan kemajuan wanita.• Dalam kisah Layar Terkembang, Sutan Takdir Alisjahbana ingin menyampaikan beberapa hal yaitu:• o Perempuan harus memiliki pengetahuan yang luas sehingga dapat memberikan pengaruh yang sangat besar didalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan demikian perempuan dapat lebih dihargai kedudukannya di masyarakat.• o Masalah yang datang harus dihadapi bukan dihindarkan dengan mencari pelarian. Seperti perkawinan yang digunakan untuk pelarian mencari perlindungan, belas kasihan dan pelarian dari rasa kesepian atau demi status budaya sosial.

Page 20: sejarah sastra ririt

• Selain Layar Terkembang, Sutan Takdir Alisjahbana juga membuat sebuah puisi yang berjudul “Menuju ke Laut”.• Puisi “Menuju ke Laut” karya Sutan Takdir Alisjahbana ini menggunakan laut untuk mengungkapkan h ubungan antara manusia, alam, dan Tuhan.• Ada pula seorang sastrawan Pujangga Baru lainnya, Sanusi Pane yang menggunakan laut sebagai sarana untuk mengungkapkan hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan.• Karya Sanusi Pane ini tertuang dalam bentuk puisi yang berjudul “ Dalam Gelombang”.• Ditinjau dari segi struktural, ada persamaan struktur antara puisi Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane yaitu pengulangan bait pertama pada bait terakhir.• Sementara itu, ditinjau dari segi isi, tampak ada perbedaan penggambaran laut dalam puisi Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane.• Jika Sutan Takdir Alisjahbana menggambarkan laut sebagai sebuah medan perjuangan, Sanusi Pane menggambarkan laut sebagai suatu tempat yang penuh ketenangan.• Contoh Puisi Angkatan Pujangga Baru• Kami telah meninggalkan engkau,• Tasik yang tenang tiada beriak,• diteduhi gunung yang rimbun,• dari angin dan topan.• Sebab sekali kami terbangun,• dari mimpi yang nikmat.• Ombak riak berkejar-kejaran• di gelanggang biru di tepi langit.• Pasir rata berulang di kecup,• tebing curam ditentang diserang,• dalam bergurau bersama angin,• dalam berlomba bersama mega.• …… Aku bernyanyi dengan suara Seperti bisikan angin di daun Suaraku hilang dalam udara Dalam laut yang beralun-alun Alun membawa bidukku perlahan Dalam kesunyian malam waktu Tidak berpawang tidak berkawan Entah kemana aku tak tahu Menuju ke Laut Oleh Sutan Takdir Alisjahbana Dibawa Gelombang .Oleh Sanusi Pane• Amir Hamzah diberi gelar sebagai “Raja Penyair” karena mampu menjembatani tradisi puisi Melayu yang ketat dengan bahasa Indonesia yang sedang berkembang. Dengan susah payah dan tak selalu berhasil, dia cukup berhasil menarik keluar puisi Melayu dari puri-puri Istana Melayu menuju ruang baru yang lebih terbuka yaitu bahasa Indonesia, yang menjadi alasdasar dari Indonesia yang sedang dibayangkan bersama.Selain Sutan Takdir Alisjahbana, ada pula tokoh lain yang terkenal dari Angkatan Pujangga Baru sebagai “Raja Penyair” yaitu Tengku Amir Hamzah .• Sastrawan dan Hasil Karya• Sastrawan pada Angkatan Pujangga Baru beserta hasil karyanya antara lain sbb:• o Sultan Takdir Alisjahbana

Page 21: sejarah sastra ririt

• o Contoh: Di Kakimu, Bertemu• o Sutomo Djauhar Arifin• o Contoh: Andang Teruna (fragmen)• o Rustam Effendi• o Contoh: Bunda dan Anak, Lagu Waktu Kecil• o Asmoro Hadi• o Contoh: Rindu, Hidup Baru• o Hamidah• o Contoh: Berpisah, Kehilangan Mestika (fragmen)• Sastrawan dan Hasil Karya• o Amir Hamzah• o Contoh: Sunyi, Dalam Matamu• o Hasjmy• o Contoh: Ladang Petani, Sawah• o Lalanang• o Contoh: Bunga Jelita• o O.R. Mandank•

Page 22: sejarah sastra ririt

o Contoh: Bagaimana Sebab Aku Terdiam• o Mozasa• o Contoh: Amanat, Kupu-kupuBAB IIIPENUTUPIII.1 KesimpulanPunjangga Baru merupakan nama majalah sastra dan kebudayaan yang terbit antara tahu 1933 adanya pelarangan oleh perintah jepang setelah tentara jepang berkuasa di Indonesia.Adapun pengasuhnya atara lain Sultan Takdir Alisjahbana, Armein Pane, Amir Hamzah Dan Sanusi Pane. Jadi pujangga baru bukanlah suatu konsepsi ataupun aliran. Namun demikian, orang-orang atau para pengarang yang asil karyanya pernah dimuat dalam majalah itu, di nilai memiliki bobot dan cita-cita kesenian yang baru dan mengarah ke depan. Angkatan Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan.III.2 SaranDiharapkan paper ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya para calon guru atau calon pendidik agar menjadi pendidik yang professional. Dan sebagai Mahasiswa jurusan bahasa indonsia, kita juga perlu memahami tengtan puisi, yaitu Pujangga Baru maupun tentang angkatan sastra yang lainya. Karena kita sebagai calon guru bahasa Indonsia akan mengajarkan anak didik tentang sastra dan pelajaran Bahasa Indonesia yang lainya.DAFTAR PUSTAKA- Internet, www. Google. Com. Pujangga Baru SastraDAFTAR ISIKata Pengantar………………………………………………………………… iDaftar Isi ………………………………………………………………… iiBAB I PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang…………………………………………… 11.2 Rumusan Masalah………………………………………… 11.3 Tujuan……………………………………………………. 2BAB II PEMBAHASAN2.1 Sejarah singkat tentang Pujangga Baru…………………… 32.2 Karya-karya Pujangga Baru………………………………. 52.3 Angkatan Pujangga baru……………………………..…… 9BAB III PENUTUP3.1 Kesimpulan………………………………………………. 153.2 Saran…………………………………………………….. 15

0 komentar di 03:09 Link ke posting ini

Page 23: sejarah sastra ririt

Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke Google Buzz

Reaksi:

bujangga baru Diposkan oleh DUNIA AKU.blogspot.com

BAB IPENDAHULUAN

Seperti halnya Balai Pustaka, Pujangga Baru pun merupakan sebuah momentum penting dalam perjalanan sejarah sastra Indonesia. Kata itu dapat diartikan sebagai majalah yang aslinya tertulis Poedjangga Baroe, dan dapat juga diartikan gerakan kebudayaan Pujangga Baru tahun 1930-an yang tidak terpisahkan dari tokoh-tokoh pemuda terpelajar Muhammad Yamin, Rustam Efendi, S. Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, Sanusi Pane, J.E. Tatengkeng, dan Amir Hamzah. Majalah Pujangga Baru terbit pertama kali pada Meitujuan 1933 dengan tujuan menumbuhkan kesustraan baru yang sesuai dengan semangat zamannya dan mempersatukan para sastrawan dalam satu wadah karena sebelumnya boleh dikatakan cerai berai dengan menulis di berbagai majalah.

Sebenarnya usaha menerbitkan suatu majalah kesustraan sudah muncul pada tahun 1921, 1925, 1929, tetapi selalu gagal. Baru pada tahun 1933 atas usaha S. Takdir Alisyabana, Amir Hamzah, dan Armijn Pane dapat diterbitkan majalah bernama Pujangga Baru. Tujuannya tampak pada keterangan resmi yang berbunyi, “majalah kesustraan dan bahasa serta kebudayaan umum” kemudian berubah menjadi “pembawa semangat baru dalam kesustraan, seni, kebudayaan dan soal masyarakat umum”, dan berganti lagi menjadi “pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia”(Rosidi, 1969: 35).

Menurut Mantik (2004: 4) subjudul “Majalah Kesustraan dan Bahasa serta Kebudayaan Umum” berlangsung tahun 1933-1934, kemudian berubah menjadi “Majalah Bulanan Kesustraan dan Bahasa serta Seni dan Kebudayaan” tahun 1934-1935, dan pada tahun 1935-1936 menjadi “Pembawa Semangat Baru dalam Kesustraan, Seni, Kebudayaan, dan Soal Masyarakat Umum”. Pada penerbitan selanjutnya subjudulnya adalah “Majalah Bulanan Pembimbing Semangat Baru yang Dinamis untuk Membentuk Kebudayaan Persatuan Indonesia”. Dengan demikian, tujuan yang semula terbatas kesustraan dan bahasa meluas ke masalah-masalah kebudayaan umum sejalan dengan makin maraknya kesadaran nasional untuk membangun kebudayaan Indonesia baru. Hal itu dapat dipahami karena pada 28 Oktober 1928 telah tercetus Sumpah Pemuda yang merupakan momentum penting dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Tentu saja pada waktu itu belum terdengar atau tertulis kata-kata Indonesia Raya, apalagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, semangat mereka masih terbatas pada harapan membangun masyarakat yang makin sadar pada nasionalisme.

Majalah Pujangga Baru mendapat sambutan hangat dari sejumlah terpelajar, seperti: Adinegoro, Ali Hasjmy, Amir Sjarifuddin, Aoh K. Hadimadja, H.B. Jassin, I Gusti Nyoman Panji Tisna, J.E. Tatengkeng,

Page 24: sejarah sastra ririt

Karim Halim, L.K. Bohang, Muhammad Dimjati, Poerbatjaraka, Selasih, Sumanang, Sutan Sjahrir, dan W.J.S. Poerwadarminta. Namun, di sisi lain, majalah itu tidak ditanggapi oleh kaum bangsawan Melayu, dan bahkan dikritik keras oleh para guru yang setia kepada pemerintahan kolonial Belanda. Kata mereka, majalah tersebut merusak bahasa Melayu karena memasukkan bahasa daerah dan bahasa asing.

Majalah itu bertahan terbit hingga tahun 1942, kemudian dilarang oleh pengusaha militer Jepang karena dianggap kebarat-baratan dan progresif. Akan tetapi, setelah Indonesia merdeka dapat diterbitkan lagi pada tahun 1949-1953 di bawah kendali A. Takdir Alisjahbana dengan dukungan tenaga-tenaga baru, seperti Achdiat K. Mihardja S. Hartowardojo, dan Rivai Apin. Tentu saja semangatnya sudah berbeda dengan semangat tahun 1930-an karena kondisi sosial politik pun sudah berubah.

Majalah Pujangga Baru mendapat sambutan hangat dari sejumlah terpelajar, seperti: Adinegoro, Ali Hasjmy, Amir Sjarifuddin, Aoh K. Hadimadja, H.B. Jassin, I Gusti Nyoman Panji Tisna, J.E. Tatengkeng, Karim Halim, L.K. Bohang, Muhammad Dimjati, Poerbatjaraka, Selasih, Sumanang, Sutan Sjahrir, dan W.J.S. Poerwadarminta. Namun, di sisi lain, majalah itu tidak ditanggapi oleh kaum bangsawan Melayu, dan bahkan dikritik keras oleh para guru yang setia kepada pemerintahan kolonial Belanda. Kata mereka, majalah tersebut merusak bahasa Melayu karena memasukkan bahasa daerah dan bahasa asing.

Majalah itu bertahan terbit hingga tahun 1942, kemudian dilarang oleh pengusaha militer Jepang karena dianggap kebarat-baratan dan progresif. Akan tetapi, setelah Indonesia merdeka dapat diterbitkan lagi pada tahun 1949-1953 di bawah kendali A. Takdir Alisjahbana dengan dukungan tenaga-tenaga baru, seperti Achdiat K. Mihardja S. Hartowardojo, dan Rivai Apin. Tentu saja semangatnya sudah berbeda dengan semangat tahun 1930-an karena kondisi sosial politik pun sudah berubah.

Menurut Mantik (2004: 4) subjudul “Majalah Kesustraan dan Bahasa serta Kebudayaan Umum” berlangsung tahun 1933-1934, kemudian berubah menjadi “Majalah Bulanan Kesustraan dan Bahasa serta Seni dan Kebudayaan” tahun 1934-1935, dan pada tahun 1935-1936 menjadi “Pembawa Semangat Baru dalam Kesustraan, Seni, Kebudayaan, dan Soal Masyarakat Umum”. Pada penerbitan selanjutnya subjudulnya adalah “Majalah Bulanan Pembimbing Semangat Baru yang Dinamis untuk Membentuk Kebudayaan Persatuan Indonesia”.

Dengan demikian, tujuan yang semula terbatas kesustraan dan bahasa meluas ke masalah-masalah kebudayaan umum sejalan dengan makin maraknya kesadaran nasional untuk membangun kebudayaan Indonesia baru. Hal itu dapat dipahami karena pada 28 Oktober 1928 telah tercetus Sumpah Pemuda yang merupakan momentum penting dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Tentu saja pada waktu itu belum terdengar atau tertulis kata-kata Indonesia Raya, apalagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, semangat mereka masih terbatas pada harapan membangun masyarakat yang makin sadar pada nasionalisme.

Page 25: sejarah sastra ririt

Sementara itu, Poerbatjaraka berpendapat bahwa sumbangan kesejarahan itu sudah ada dan tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian tentang jalannya sejarah sehingga orang bisa menengok ke belakang sebagai landasan mengatur hari-hari yang akan datang.

Menurut Mantik (2004: 4) subjudul “Majalah Kesustraan dan Bahasa serta Kebudayaan Umum” berlangsung tahun 1933-1934, kemudian berubah menjadi “Majalah Bulanan Kesustraan dan Bahasa serta Seni dan Kebudayaan” tahun 1934-1935, dan pada tahun 1935-1936 menjadi “Pembawa Semangat Baru dalam Kesustraan, Seni, Kebudayaan, dan Soal Masyarakat Umum”. Pada penerbitan selanjutnya subjudulnya adalah “Majalah Bulanan Pembimbing Semangat Baru yang Dinamis untuk Membentuk Kebudayaan Persatuan Indonesia”. Dengan demikian, tujuan yang semula terbatas kesustraan dan bahasa meluas ke masalah-masalah kebudayaan umum sejalan dengan makin maraknya kesadaran nasional untuk membangun kebudayaan Indonesia baru. Hal itu dapat dipahami karena pada 28 Oktober 1928 telah tercetus Sumpah Pemuda yang merupakan momentum penting dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Tentu saja pada waktu itu belum terdengar atau tertulis kata-kata Indonesia Raya, apalagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, semangat mereka masih terbatas pada harapan membangun masyarakat yang makin sadar pada nasionalisme.Sementara itu, Poerbatjaraka berpendapat bahwa sumbangan kesejarahan itu sudah ada dan tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian tentang jalannya sejarah sehingga orang bisa menengok ke belakang sebagai landasan mengatur hari-hari yang akan datang.

BAB IIPEMBAHASAN

Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis menjadi "bapak" sastra modern Indonesia.Angkatan Balai Pustaka Karya sastra di Indonesia sejak tahun 1920 - 1950, yang dipelopori oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan

Page 26: sejarah sastra ririt

syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini.Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak dan bahasa Madura.Pengarang dan karya sastra Angkatan Balai Pustaka1. Merari Siregar - Azab dan Sengsara: kisah kehidoepan seorang gadis (1921)- Binasa kerna gadis Priangan! (1931)- Tjinta dan Hawa Nafsu2. Marah Roesli - Siti Nurbaya- La Hami- Anak dan Kemenakan3. Nur Sutan Iskandar - Apa Dayaku Karena Aku Seorang Perempuan- Hulubalang Raja (1961)- Karena Mentua (1978)-Katak Hendak Menjadi Lembu (1935)4. Abdul Muis - Pertemuan Djodoh (1964)-Salah Asuhan- Surapati (1950)5. Tulis Sutan Sati - Sengsara Membawa Nikmat (1928)- Tak Disangka- Tak Membalas Guna- Memutuskan Pertalian (1978)6. Aman Datuk Madjoindo -Menebus Dosa (1964)- Si Tjebol Rindoekan Boelan (1934)- Sampaikan Salamku Kepadanya7. Suman Hs. - Kasih Ta’ Terlarai (1961)- Mentjari Pentjuri Anak Perawan (1957)- Pertjobaan Setia (1940)8. Adinegoro - Darah Muda- Asmara Jaya9. Sutan Takdir Alisjahbana - Tak Putus Dirundung Malang- Dian jang Tak Kundjung Padam (1948)

Page 27: sejarah sastra ririt

- Anak Perawan Di Sarang Penjamun (1963)10. Hamka - Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938)- Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1957)- Tuan Direktur (1950)- Didalam Lembah Kehidoepan (1940)11. Anak Agung Pandji Tisna - Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1975)- Sukreni Gadis Bali (1965)- I Swasta Setahun di Bedahulu (1966)12. Said Daeng Muntu - Pembalasan- Karena Kerendahan Boedi (1941)13. Marius Ramis Dayoh -Pahlawan Minahasa (1957)-Putra Budiman: Tjeritera Minahasa (1951)

Pada masa itu, terbit pula majalah "Poedjangga Baroe" yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 - 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana dkk. Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu 1. Kelompok "Seni untuk Seni" yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah dan; 2. Kelompok "Seni untuk Pembangunan Masyarakat" yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.Penulis dan karya sastra Pujangga Baru1. Sutan Takdir Alisjahbana a. Layar Terkembang (1948) b. Tebaran Mega (1963) 2. Armijn Pane a. Belenggu (1954) b. Jiwa Berjiwa c. Gamelan Djiwa - kumpulan sajak (1960) d. Djinak-djinak Merpati - sandiwara (1950) e. Kisah Antara Manusia - kumpulan cerpen (1953) 3. Tengku Amir Hamzaha. Nyanyi Sunyi (1954) b. Buah Rindu (1950) c. Setanggi Timur (1939) 4. Sanusi Pane a. Pancaran Cinta (1926) b. Puspa Mega (1971) c. Madah Kelana (1931/1978) d. Sandhyakala ning Majapahit (1971)

Page 28: sejarah sastra ririt

e. Kertadjaja (1971) 5. Muhammad Yamin a. Indonesia, Toempah Darahkoe! (1928) b. Kalau Dewi Tara Sudah Berkatac. Ken Arok dan Ken Dedes (1951) d. Tanah Air

6. Roestam Effendia. Bebasari: toneel dalam 3 pertundjukan (1953) b. Pertjikan Permenungan (1953) 7. Selasiha. Kalau Ta' Oentoeng (1933) b. Pengaruh Keadaan (1957) 8. J.E.Tatengkenga. Rindoe Dendam (1934)

Sumbangan Pujangga Baru terhadap perkembangan pemikiran kebudayaan Indonesia pantas dihargai tinggi karena memberikan kesempatan para sastrawan dan budayawan untuk menyalurkan pendapat-pendapatnya sehingga berkembang polemik yang semarak sebagaimana tampak pada buku Polemik Kebudayaan susunan Achdiat K. Mihardja (1977). Tokoh-tokoh yang terlibat dalam polemik itu antara lain S. Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, R.M. Ng. Poerbatjaraka, Dr. Sutomo, Adinegoro, Dr. M. Amir, dan Ki Hadjar Dewantara. Identitas mereka itu dapat dibaca pada bagian akhir Polemik Kebudayaan, sedangkan kelengkapannya dapat dirunut pada berbagai sumber lain.1. Adinegoro (lahir di Tawali, Sumatera Barat, 14 Agustus 1904, meninggal di Jakarta, 8 Januari 1967) keluaran sekolah jurnalistik di Jerman, pernah menjadi Pemimpin Redaksi Harian Pewarta Deli.2. Ki Hajar Dewantara (lahir tahun 1889) berpendidikan STOVIA dan mendapat Akte LO di Den Haag. Pernah duduk sebagai pucuk pimpinan Indische Partij, pernah diasingkan ke Belanda tahun 1913,3. M. Amir adalah tamatan STOVIA tahun 1924 dan tahun 1928 meraih gelar doctor obat-obatan di Eropa,4. Poerbatjaraka (lahir tahun 1884) tahun 1926 mendapat gelar Doktor Ilmu Bahasa dan Filsafat di Universitas Leiden Belanda.5. Sanusi Pane (lahir tahun 1905) berpendidikan MULO dan sekolah guru Gunung Sari di Jakarta.6. S. Takdir Alisjahbana (lahir di Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908, meninggal di Jakarta 17 Juli 1994) adalah lulusan Sekolah Tinggi Kehakiman Jakarta tahun 1941 dan dikenal luas sebagai pengarang, budayawan, dan pendidik.7. Dr. Sutomo ikut mendirikan perkumpulan Boedi Oetama tahun 1908.

Dengan pandangan yang segar mereka tampil sebagai pemikir-pemikir kebudayaan Indonesia baru,

Page 29: sejarah sastra ririt

termasuk kesustraan, sehingga membedakan posisinya dengan para tokoh yang telah lebih dahulu menerbitkan karyanya di Balai Pustaka. Oleh karena itu, wajar apabila kemudian mereka disebut Angkatan Pujangga Baru sebab mereka memiliki kesamaan visi atau pandangan tentang kesustraan yang menawarkan nilai-nilai baru dengan gaya bahasa yang memperlihatkan potensi perseorangan.

Tokoh-tokoh Angkatan Pujangga Baru adalah S. Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Armin Pane, Sanusi Pane, Muhammad Yamin, Rustam Efendi, J.E. Tatengkeng, Asmara Hadi, dan lain-lain.1. Amir Hamzah (1911-1946) berpendidikan HIS, MULO Medan, AMS-A Solo, dan sempat masuk Sekolah Hakim Tinggi di Jakarta. Dia dikenal sebagai penyair religius dengan kumpulan sajak Nyanyi Sunyi (1937) dan Buah Rindu (1941). Telaah H.B. Jassin tentang kepenyairannya telah menghasilkan Amir Hamzah Raja Penyair Pujangga Baru (1963).2. Armijn Pane (1908-1970) berpendidikan HIS, ELS, STOVIA Jakarta (1923). NIAS Surabaya (1927) dan AMS-A Solo (1931). Pernah menjadi wartawan di Surabaya. Dia terkenal dengan roman Belenggu (1940), karyanya yang lain : kumpulan cerpen Kisah antara Manusia (1953), sandiwara Jinak-Jinak Merpati (1954), dan sajak-sajak Jiwa Berjiwa (1939).3. Asmara Hadi (1914-1976) Berpendidikan MULA Taman Siswa Bandung. Dia terkenal dengan sajak-sajak perjuangan yang penuh keyakinan. Kepenyairannya telah dibahas J.U. Nasution dalam Asmara Hadi Penyair Api Nasionalisme (1965).4. J.E. Tatengkeng (1970-1968) berpendidikan HIS Manganir, Christelijk Middakweekschool Bandung, dan Christelijk HKS Solo. Dia dikenal dengan kumpulan sajaknya Rindu Dendam (1934).5. Muhammad Yamin (1903-1962) berpendidikan HIS (1918), Sekolah Pertanian Bogor (1923), AMS Yogyakarta (19672), dan Sekolah Hakim Tinggi (1932). Dia dikenal sebagai perintis puisi Indonesia dengan sajaknya “Tanah Air” (1922), kumpulan sajak Indonesia Tumpah Darahku (1928), drama Ken Arok dan Ken Dedes (1930), dan sejumlah buku sejarah, politik, dan undang-undang.6. Rusatm Efendi (1903-1979) berpendidikan HIS dan HKS Bandung (1924). Rustam Efendi menghasilkan kumpulan sajak Percikan Permenungan (1925) dan drama bersajak Bebasari (1926).7. Sanusi Pane (1905-1968) adalah abang Armijn Pane, berpendidikan HIS, ELS, Kweekschool Jakarta (1925). Karyanya yang terkenal prosa liris Pancaran Cinta (1941), kumpulan sajak Puspa Mega (1927), kumpulan sajak Madah Kelana (1931), drama Kertajaya (1932), drama Sandyakala Ning Majapahit (1933), dan drama Manusia Baru (1940).8. S. Takdir Alisjahbana (1908-1994) adalah sosok pribadi terpelajar yang tinggi semangat intelektualnya sejak masih pelajar HIS di Bengkulu, kemudian HKS di Bandung (1928). Menhasilkan roman Layar Terkembang (1963).

Dari catatan kecil itu saja jelaslah bahwa mereka adalah kaum terpelajar yang sadar terhadap masalah kehidupan bangsa, kemudian mampu menjabarkan pemikiran yang bersungguh-sungguh melalui artikel-artikel yang matang, bahkan dapat mengembangkan polemic yang kontruktif. Sekarang pun sulit dijelaskan pendapat siapakah yang paling benar atau terhebat karena yang dicari bukanlah pendapat-pendapat pribadi, melainkan sumbangan pikiran mereka terhadap pembangunan konsep kebudayaan Indonesia, termasuk kesusastraan.

Menurut Takdir Alisjahbana, istilah Indonesia telah dipergunakan secara luas dengan pengertian yang

Page 30: sejarah sastra ririt

kabur sehingga tidak secara tegas menunjukkan pada semangat keindonesian yang baru sebagai awal pembangunan kebudayaan Indonesia raya. Keindonesiaan baru itu tumbuh setelah bangsa atau masyarakat nusantara bertemu dengan kebudayaan barat yang ditandai dengan kesadaran kaum intelektual untuk membangun suatu kehidupan baru yang semangatnya berbeda dengan masa lampau sebelum abad ke-19 yangdisebutnya sebagai pra-indonesi, bahkan disebut sebagai zaman jahiliah keindonesiaan yang hanya mengenal sejarah Oost Indische Compagnie, sejarah mataram, sejarah aceh, sejarah banjarmasin, dan lain-lain. Takdir alisjahbana menegaskan bahwa pandu-pandu kebudayaan Indonesia harus bebas dari zaman pra-Indonesia agar tidak menimbulkan perselisihan tentang landasannya, apakah Melayu, Jawa, dan sebagainya. Semangat keindonesiaan yang baru itu seharusnya berkiblat ke Barat dengan menyerap semangat atau jiwa intelektualnya sehingga wajahnya berbeda dengan masyarakat kebudayaan pra-Indonesia.

Pendapat yang teoritis dan idealis itu dikritik oleh Sanusi Pane yang berpendapat bahwa keindonesia itu sebenarnya sudah ada sejak sekian abad yang silam dalam adapt dan seni. Yang belum terbentuk adalah natie atau bangsa Indonesia, tetapi perasaan kebangsaan itu sebenarnya sudah ada walaupun belum terwujud. Sanusi Pane berpendapat bahwa kebudayaan Barat yang mengutamakan intelektualitas untuk kehidupan jasmani tidak dengan sendirinya istimewa karena terbentuk oleh tantangan alam yang keras sehingga orang harus berpikir dan bekerja keras juga. Sementara itu, kebudayaan Timur pun memiliki keunggulan, yaitu mengutamakan kehidupan rohani karena urusan jasmani sudah dimanjakan oleh alam yang serba berlimpah. Tawaran Sanusi Pane adalah mempertemukan semangat intelektual Barat dengan semangat kerohanian Timur seperti mempertemukan Faust dengan Arjuna.

Pendapat tersebut di mata Takdir Alisjahbana masih kabur dalam soal istilah Indonesia karena Sanusi Pane dianggap mencapuradukkan arti Indonesia yang diapakai ahli ilmu bangsa-bangsa (etnologi) dengan konsep yang dipakai kaum politik di awal kebangkitan nasional. Takdir menegaskan bahwa di zaman Majapahit, Diponegoro, Teuku Umar, belum ada keindonesiaan yang disadari oleh masyarakat.

Pada masa itu, terbit pula majalah "Poedjangga Baroe" yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 - 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana dkk. Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu 1. Kelompok "Seni untuk Seni" yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah dan; 2. Kelompok "Seni untuk Pembangunan Masyarakat" yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.

Penulis dan karya sastra Pujangga Baru

Page 31: sejarah sastra ririt

9. Sutan Takdir Alisjahbana a. Layar Terkembang (1948) b. Tebaran Mega (1963) 10. Armijn Pane a. Belenggu (1954) b. Jiwa Berjiwa c. Gamelan Djiwa - kumpulan sajak (1960) d. Djinak-djinak Merpati - sandiwara (1950) e. Kisah Antara Manusia - kumpulan cerpen (1953) 11. Tengku Amir Hamzaha. Nyanyi Sunyi (1954) b. Buah Rindu (1950) c. Setanggi Timur (1939) 12. Sanusi Pane a. Pancaran Cinta (1926) b. Puspa Mega (1971) c. Madah Kelana (1931/1978) d. Sandhyakala ning Majapahit (1971) e. Kertadjaja (1971) 13. Muhammad Yamin a. Indonesia, Toempah Darahkoe! (1928) b. Kalau Dewi Tara Sudah Berkatac. Ken Arok dan Ken Dedes (1951) d. Tanah Air

14. Roestam Effendia. Bebasari: toneel dalam 3 pertundjukan (1953) b. Pertjikan Permenungan (1953) 15. Selasiha. Kalau Ta' Oentoeng (1933) b. Pengaruh Keadaan (1957) 16. J.E.Tatengkenga. Rindoe Dendam (1934)

Dengan pandangan yang segar mereka tampil sebagai pemikir-pemikir kebudayaan Indonesia baru, termasuk kesustraan, sehingga membedakan posisinya dengan para tokoh yang telah lebih dahulu menerbitkan karyanya di Balai Pustaka. Oleh karena itu, wajar apabila kemudian mereka disebut Angkatan Pujangga Baru sebab mereka memiliki kesamaan visi atau pandangan tentang kesustraan yang menawarkan nilai-nilai baru dengan gaya bahasa yang memperlihatkan potensi perseorangan.Tokoh-tokoh Angkatan Pujangga Baru adalah S. Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Armin Pane, Sanusi Pane, Muhammad Yamin, Rustam Efendi, J.E. Tatengkeng, Asmara Hadi, dan lain-lain.

Page 32: sejarah sastra ririt

9. Amir Hamzah (1911-1946) berpendidikan HIS, MULO Medan, AMS-A Solo, dan sempat masuk Sekolah Hakim Tinggi di Jakarta. Dia dikenal sebagai penyair religius dengan kumpulan sajak Nyanyi Sunyi (1937) dan Buah Rindu (1941). Telaah H.B. Jassin tentang kepenyairannya telah menghasilkan Amir Hamzah Raja Penyair Pujangga Baru (1963).10. Armijn Pane (1908-1970) berpendidikan HIS, ELS, STOVIA Jakarta (1923). NIAS Surabaya (1927) dan AMS-A Solo (1931). Pernah menjadi wartawan di Surabaya. Dia terkenal dengan roman Belenggu (1940), karyanya yang lain : kumpulan cerpen Kisah antara Manusia (1953), sandiwara Jinak-Jinak Merpati (1954), dan sajak-sajak Jiwa Berjiwa (1939).11. Asmara Hadi (1914-1976) Berpendidikan MULA Taman Siswa Bandung. Dia terkenal dengan sajak-sajak perjuangan yang penuh keyakinan. Kepenyairannya telah dibahas J.U. Nasution dalam Asmara Hadi Penyair Api Nasionalisme (1965).12. J.E. Tatengkeng (1970-1968) berpendidikan HIS Manganir, Christelijk Middakweekschool Bandung, dan Christelijk HKS Solo. Dia dikenal dengan kumpulan sajaknya Rindu Dendam (1934).13. Muhammad Yamin (1903-1962) berpendidikan HIS (1918), Sekolah Pertanian Bogor (1923), AMS Yogyakarta (19672), dan Sekolah Hakim Tinggi (1932). Dia dikenal sebagai perintis puisi Indonesia dengan sajaknya “Tanah Air” (1922), kumpulan sajak Indonesia Tumpah Darahku (1928), drama Ken Arok dan Ken Dedes (1930), dan sejumlah buku sejarah, politik, dan undang-undang.14. Rusatm Efendi (1903-1979) berpendidikan HIS dan HKS Bandung (1924). Rustam Efendi menghasilkan kumpulan sajak Percikan Permenungan (1925) dan drama bersajak Bebasari (1926).15. Sanusi Pane (1905-1968) adalah abang Armijn Pane, berpendidikan HIS, ELS, Kweekschool Jakarta (1925). Karyanya yang terkenal prosa liris Pancaran Cinta (1941), kumpulan sajak Puspa Mega (1927), kumpulan sajak Madah Kelana (1931), drama Kertajaya (1932), drama Sandyakala Ning Majapahit (1933), dan drama Manusia Baru (1940).16. S. Takdir Alisjahbana (1908-1994) adalah sosok pribadi terpelajar yang tinggi semangat intelektualnya sejak masih pelajar HIS di Bengkulu, kemudian HKS di Bandung (1928). Menhasilkan roman Layar Terkembang (1963).

BAB IIIPENUTUP

A. KesimpulanPujangga Baru tahun 1930-an tidak terpisahkan dari tokoh-tokoh pemuda terpelajar Muhammad Yamin, Rustam Efendi, S. Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, Sanusi Pane, J.E. Tatengkeng, dan Amir Hamzah.Majalah Pujangga Baru mendapat sambutan hangat dari sejumlah terpelajar, seperti: Adinegoro, Ali Hasjmy, Amir Sjarifuddin, Aoh K. Hadimadja, H.B. Jassin, I Gusti Nyoman Panji Tisna, J.E. Tatengkeng, Karim Halim, L.K. Bohang, Muhammad Dimjati, Poerbatjaraka, Selasih, Sumanang, Sutan Sjahrir, dan W.J.S. Poerwadarminta. Namun, di sisi lain, majalah itu tidak ditanggapi oleh kaum bangsawan Melayu, dan bahkan dikritik keras oleh para guru yang setia kepada pemerintahan kolonial Belanda. Kata mereka, majalah tersebut merusak bahasa Melayu karena memasukkan bahasa daerah dan bahasa asing.

Daftar Rujukan

Page 33: sejarah sastra ririt

Yudiono K.S. 2007. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo

Dari http://www.google.co.idDari http://www.wekipedia.comDari http://www.geocities.com/daudp65/

0 komentar di 02:55 Link ke posting ini

Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke Google Buzz

PERKEMBANGAN BERBAGAI BENTUK SASTRA INDONESIA

A. Mendeskripsikan Ragam Karya Sastra Indonesia , dan Memaparkan Pengarang Penting pada Setiap Periode (Puisi, Prosa, Drama)

Ragam karya sastra Indonesia menurut bentuknya terdiri atas puisi, prosa, prosa liris, dan drama. Masing-masing ragam karya sastra Indonesia dari setiap periode itu mengalami perkembangan sehingga menimbulkan ciri khas.

Beberapa orang penelaah sastra Indonesia telah mencoba membuat babakan waktu (periodisasi sastra) sejarah sastra Indonesia. Salah satunya adalah H.B. Jassin. Periodisasi sastra yang dikemukakan H.B.Jassin adalah Sastra Melayu dan Sastra Indonesia Modern.

1. P E R I O D E S A S T R A M E L A Y U

a. P R O S A D A N P U I S I

Sastra Melayu muncul sejak bahasa Melayu itu sendiri muncul pertama kali. Bahasa Melayu berasal dari daerah Riau dan Malaka, berkembang dan menyebar ke seluruh pelosok nusantara dibawa oleh pedagang. Pada ragam karya sastra puisi, Sastra Melayu yang pertama berbentuk mantera, pantun, syair. Kemudian, bermunculan pantun kilat (karmina), seloka, talibun, dan gurindam. Sedangkan pada ragam karya sastra prosa, Sastra Melayu yang pertama berbentuk cerita-cerita pelipur lara, dan dongeng-dongeng. Dongeng meliputi legenda, sage, fabel, parabel, mite, dan cerita jenaka atau orang-orang malang/pandir.Bahkan, ragam karya sastra melayu ada yang berbentuk hikayat, tambo, cerita berbingkai, dan wiracarita (cerita panji). Pada cerita dongeng sering isinya mengenai cerita kerajaan (istanasentris) dan fantastis. Kadang-kadang cerita tersebut di luar jangkuan akal manusia (pralogis).

Sebelum masyarakat Melayu mengenal tulisan, karya-karya sastra tersebut disampaikan secara lisan kurang lebih tahun 1500. Penyebarannya hanya dari mulut ke mulut dan bersifat statis. Namun, setelah masyarakat Melayu mengenal tulisan, karya-karya tersebut mulai dituliskan oleh para ahli sastra masa itu tanpa menyebut pengarangnya dan tanggal penulisannya (anonim).

Page 34: sejarah sastra ririt

Sastra Melayu sangat dipengaruhi oleh sastra Islam sehingga banyak terdapat kata-kata yang sukar karena jarang didengar. Alat penyampainya adalah bahasa Arab-Melayu dengan huruf Arab gundul sehingga sering menimbulkan bahasa yang klise. Di sisi lain, karya-karya sastra yang dihasilkan selalu berisikan hal-hal yang bersifat moral, pendidikan, nasihat, adat-istiadat, dan ajaran-ajaran agama. Cara penulisannya pun terkungkung kuat oleh aturan-aturan klasik, terutama puisi. Aturan-aturan itu meliputi masalah irama, ritme, persajakan atau rima yang teratur.

Perhatikan contoh kutipan cerita karya sastra Melayu di bawah ini:

(1). Tatkala pada zaman Raja Iskandar Zulkarnain, anak Raja Darab, Rum bangsanya, Makaduniah nama negerinya. Berjalan hendak melihat matahari terbit, maka baginda sampai pada sarhad negeri Hindi. Maka ada seorang raja terlalu amat besar kerajaannya. Setengah negeri Hindi dalam tangannya, Raja Kidi Hindi namanya.

Kutipan cerita tersebut merupakan ragam karya sastra Melayu bidang prosa, khususnya bentuk hikayat.

(2). Sungguh elok asam belimbing

Tumbuh dekat limau lungga

Sungguh elok berbibir sumbing

Walaupun marah tertawa juga

Pohon padi daunnya tipis

Pohon nangka berbiji lonjong

Kalau Budi suka menangis

Kalau tertawa giginya ompong

Kutipan di atas termasuk salah satu contoh ragam karya sastra Melayu bidang puisi, khususnya bentuk pantun anak-anak jenaka.

b. D R A M A

Drama di tanah air sudah hidup sejah zaman Melayu. Bahasa yang digunakan masyarakat Melayu pada waktu itu adalah bahasa Melayu Pasar (bahasa Melayu Rendah). Rombongan drama yang terkenal pada masa ini adalah Komedie Stamboel. Komedie Stamboel ini didirikan oleh August Mahieu, Yap Goan Tay, dan Cassim. Kemudian, Komedie ini pecah menjadi Komedie Opera Stamboel, Opera Permata Stamboel, Wilhelmina, Sianr Bintang Hindia.

Page 35: sejarah sastra ririt

Naskah drama yang pertama kali ditulis berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno. Lakon drama ini ditulis oleh F. Wiggers tahun 1901.

2. P E R I O D E S A S T R A I N D O N E S I A M O D E R N

Sastra Indonesia modern adalah sastra yang berkembang setelah pertemuan dengan kebudayaan Eropa dan mendapat pengaruh darinya.

Sastra Indonesia Modern terbagi atas:

a. A N G K A T A N 20 ( B A L A I P U S T A K A )

Angkatan 20 disebut juga angkatan Balai Pustaka. Balai Pustaka merupakan nama badan yang didirikan oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1908. Badan tersebut sebagai penjelmaan dari Commissie voor De Volkslectuur atau Komisi Bacaan Rakyat.Commissie voor De Volkslectuur dibentuk pada tanggal 14 April 1903. Komisi ini bertugas menyediakan bahan-bahan bacaan bagi rakyat Indonesia pada saat itu.

Untuk memperoleh bacaan rakyat, komisi menempuh beberapa cara, yaitu:

(1). Mengumpulkan dan membukukan cerita-cerita rakyat atau dongeng-dongeng yang tersebar di kalangan rakyat. Naskah ini diterbitkan sesudah diubah atau disempurnakan.

(2). Menterjemahkan atau menyadur hasil sastra Eropa.

(3). Menerima karangan pengarang-pengarang muda yang isinya sesuai dengan keadaan hidup sekitarnya.

Naskah-naskah tersebut menggunakan bahasa Melayu dan bahasa-bahasa daerah lainnya, serta berupa bacaan anak-anak, bacaan orang dewasa sebagai penghibur dan penambah pengetahuan. Pada tahun 1917 Komisi Bacaan Rakyat barubah namanya menjadi Balai Pustaka.

Balai Pustaka menyelenggarakan penerbitan buku-buku dan mengadakan taman-taman perpustakaan, dan menerbitkan majalah.. Penerbitan majalah dilakukan satu atau dua minggu sekali. Adapun majalah-majalah yang diterbitkan yaitu:

(1). Sari Pustaka (dalam Bahasa Melayu, 1919)

(2). Panji Pustaka (dalam Bahasa Melayu, 1923)

(3). Kejawen (dalam Bahasa Jawa)

(4). Parahiangan (dalam Bahasa Sunda)

Ketiga majalah yang terakhir itu terbit sampai pemerintah Hindia Belanda runtuh.

Page 36: sejarah sastra ririt

Lahirnya Balai Pustaka sangat menguntungkan kehidupan dan perkembangan sastra di tanah air baik bidang prosa, puisi, dan drama. Peristiwa- peristiwa sosial, kehidupan adat-istiadat, kehidupan agama, ataupun peristiwa kehidupan masyarakat lainnya banyak yang direkam dalam buku-buku sastra yang terbit pada masa itu.

Lahirnya angkatan 20 (Balai Pustaka) mempengaruhi beberapa ragam karya sastra, diantaranya:

(1). P R O S A

(a). R O M A N

Pada ragam karya sastra prosa timbul genre baru ialah roman, yang sebelumnya belum pernah ada. Buku roman pertama Indonesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka berjudul Azab dan Sengsara karya Merari Siregar pada tahun 1920. Roman Azab dan Sengsara ini oleh para ahli dianggap sebagai roman pertama lahirnya sastra Indonesia. Isi roman Azab dan Sengsara sudah tidak lagi menceritakan hal-hal yang fantastis dan istanasentris, melainkan lukisan tentang hal-hal yang benar terjadi dalam masyarakat yang dimintakan perhatian kepada golongan orang tua tentang akibat kawin paksa dan masalah adat.

Adapun isi ringkasan roman Azab dan Sengsara sebagai berikut:

Cinta yang tak sampai antara kedua anak muda (Aminuddin dan Mariamin), karena rintangan orang tua. Mereka saling mencintai sejak di bangku sekolah, tetapi akhirnya masing-masing harus kawin dengan orang yang bukan pilihannya sendiri. Pihak pemuda (Aminuddin) terpaksa menerima gadis pilihan orang tuanya, yang akibatnya tak ada kebahagian dalam hidupnya. Pihak gadis (Mariamin) terpaksa kawin dengan orang yang tak dicintai, yang berakhir dengan penceraian dan Mariamin mati muda karena merana.

Genre roman mencapai puncak yang sesungguhnya ketika diterbitkan buku Siti Nurbaya karya Marah Rusli pada tahun 1922. Pengarang tidak hanya mempersoalkan masalah yang nyata saja, tapi mengemukakan manusia-manusia yang hidup. Pada roman Siti Nurbaya tidak hanya melukiskan percintaan saja, juga mempersoalkan poligami, membangga-banggakan kebangsawanan, adat yang sudah tidak sesuai dengan zamannya, persamaan hak antara wanita dan pria dalam menentukan jodohnya, anggapan bahwa asal ada uang segala maksud tentu tercapai. Persoalan-persoalan itulah yang ada di masyarakat.

Sesudah itu, tambah membanjirlah buku-buku atau berpuluh-puluh pengarang yang pada umumnya menghasilkan roman yang temanya mengarah- arah Siti Nurbaya. Golongan sastrawan itulah yang dikenal sebagai Generasi Balai Pustaka atau Angkatan 20.

Genre prosa hasil Angkatan 20 ini mula-mula sebagian besar berupa roman. Kemudian, muncul pula cerpen dan drama.

(b). C E R P E N

Page 37: sejarah sastra ririt

Sebagian besar cerpen Angkatan 20 muncul sesudah tahun 1930, ketika motif kawin paksa dan masalah adat sudah tidak demikan hangat lagi, serta dalam pertentangan antara golongan tua dan golongan muda praktis golongan muda menang.

Bahan cerita diambil dari kehidupan sehari-hari secara ringan karena bacaan hiburan. Cerita-cerita pendek itu mencerminkan kehidupan masyarakat dengan suka dukanya yang bersifat humor dan sering berupa kritik.

Kebanyakan dari cerita-cerita pendek itu mula-mula dimuat dalam majalah seperti Panji Pustaka dan Pedoman Masyarakat, kemudian banyak yang dikumpulkan menjadi kitab. Misalnya:

(1).Teman Duduk karya Muhammad kasim

(2).Kawan bergelut karya Suman H.S.

(3).Di Dalam Lembah Kehidupan karya Hamka

(4).Taman Penghibur Hati karya Saadah Aim

Dengan demikian, ciri-ciri angkatan 20 pada ragam karya sastra prosa:

(1). Menggambarkan pertentangan paham antara kaum muda dan kaum tua.

(2). Menggambarkan persoalan adat dan kawin paksa termasuk permaduan.

(3). Adanya kebangsaan yang belum maju masih bersifat kedaerahan.

(4). Banyak menggunakan bahasa percakapan dan mengakibatkan bahasa tidak terpelihara kebakuannya.

(5). Adanya analisis jiwa.

(6). Adanya kontra pertentangan antara kebangsawanan pikiran dengan kebangsawanan daerah.

(7). Kontra antarpandangan hidup baru dengan kebangsawanan daerah.

(8). Cerita bermain pada zamannya.

(9). Pada umumnya, roman angkatan 20 mengambil bahan cerita dari Minangkabau, sebab pengarang banyak berasal dari daerah sana.

(10). Kalimat-kalimatnya panjang-panjang dan masih banyak menggunakan perbandingan-perbandingan, pepatah, dan ungkapan-ungkapan klise.

Page 38: sejarah sastra ririt

(11). Corak lukisannya adalah romantis sentimentil. Angkatan 20 melukiskan segala sesuatu yang diperjungkan secara berlebih-lebihan.

(2). D R A M A

Pada masa angkatan 20 mulai terdapat drama, seperti:

Bebasari karya Rustam Efendi. Bebasari merupakan drama bersajak yang diterbitkan pada tahun 1920. Di samping itu, Bebasari merupakan drama satire tentang tidak enaknya dijajah Belanda.

Pembalasannya karya Saadah Alim merupakan drama pembelaan terhadap adat dan reaksi terhadap sikap kebarat-baratan.

Gadis Modern karya Adlim Afandi merupakan drama koreksi terhadap ekses- ekses pendidikan modern dan reaksi terhadap sikap kebarat-baratan, tetapi penulis tetap membela kawin atas dasar cinta.

Ken arok dan Ken Dedes karya Moh. Yamin merupakan drama saduran dari Pararaton.

Menantikan Surat dari Raja karya Moh. Yamin merupakan drama saduran dari karangan Rabindranath Tagore.

Kalau Dewi Tara Sudah Berkata karya Moh. Yamin.

(3). P U I S I

Sebagian besar angkatan 20 menyukai bentuk puisi lama (syair dan pantun), tetapi golongan muda sudah tidak menyukai lagi. Golongan muda lebih menginginkan puisi yang merupakan pancaran jiwanya sehingga mereka mulai menyindirkan nyanyian sukma dan jeritan jiwa melalui majalah Timbul, majalah PBI, majalah Jong Soematra.

Perintis puisi baru pada masa angkatan 20 adalah Mr. Moh. Yamin. Beliau dipandang sebagai penyair Indonesia baru yang pertama karena ia mengadakan pembaharuan puisi Indonesia. Pembaharuannya dapat dilihat dalam kumpulan puisinya Tanah Air pada tahun 1922.

Perhatikan kutipan puisi di bawah ini:

Di atas batasan Bukit Barisan,

Memandang beta ke bawah memandang,

Tampaklah hutan rimba dan ngarai,

Lagi pula sawah, telaga nan permai,

Page 39: sejarah sastra ririt

Serta gerangan lihatlah pula,

Langit yang hijau bertukar warna,

Oleh pucuk daun kelapa.

Dibandingkan dengan puisi lama, puisi tersebut sudah merupakan revolusi:

(1). Dari segi isi, puisi itu merupakan ucapan perasaan pribadi seorang manusia.

(2). Dari segi bentuk, jumlah barisnya sudah tidak empat, seperti syair dan pantun, dan persajakkannya (rima) tidak sama.

Pengarang berikutnya pada masa angkatan 20 di bidang puisi adalah Rustam Effendi.Rustam Effendi dipandang sebagai tokoh peralihan.Rustam Effendi bersama Mr. Muh. Yamin mengenalkan puisi baru, yang disebut soneta sehingga beliau dianggap sebagai pembawa soneta di Indonesia. Kumpulan sajak yang ditulis oleh Rustam Effendi pada tahun 1924 adalah Percikan Permenungan.

Perhatikan contoh kutipan sajaknya:

BUKAN BETA BIJAK BERPERI

Bukan beta bijak berperi,

pandai menggubah madahan syair,

Buka beta budak Negeri,

musti menurut undangan mair,

Sarat-saraf saya mungkiri,

Untai rangkaian seloka lama,

beta buang beta singkiri,

Sebab laguku menurut sukma.

Perubahan yang dibawa oleh Rustam Effendi melalui Percikan Permenungan (Bukan Beta Bijak Berperi) yaitu:

(1). Dilihat bentuknya seperti pantun, tetapi dilihat hubungan barisnya berupa syair. Ia meniadakan tradisi sampiran dalam pantun sehingga sajak itu disebut pantun modern.

Page 40: sejarah sastra ririt

(2). Lebih banyak menggunakan sajak aliterasi, asonansi, dan sajak dalam sehingga beliau dipandang sebagai pelopor penggunaan sajak asonansi dan aliterasi.

Penyair berikutnya adalah Sanusi Pane. Beliau menciptakan 3 buah kumpulan sajak, yaitu:

(1). Pancaran Cinta (seberkas prosa lirik, 1926)

(2). Puspa Mega (1927)

(3). Madah Kelana (1931)

Sajak yang pertama kali dibuat adalah Tanah Airku (1921), dimuat dalam majalah sekolah Yong Sumatra.

Dengan demikian, ciri-ciri puisi pada periode angkatan 20, yaitu:

(1). Masih banyak berbentuk syair dan pantun.

(2). Puisi bersifat dikdaktis.

b. A N G K A T A N 33 ( P U J A N G G A B A R U )

Nama angkatan Pujangga Baru diambil dari sebuah nama majalah sastra yang terbit tahun 1933. Majalah itu bernama Pujangga Baroe. Majalah Pujangga Baru dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, Sanusi Pane, dan Armijn Pane. Keempat tokoh tersebutlah sebagai pelopor Pujangga Baru.

Angkatan Pujangga Baru disebut Angkatan Tiga Puluh. Angkatan ini berlangsung mulai 1933 – 1942 (Masa penjajahan Jepang). Karya-karya sastra yang lahir dalam angkatan ini mulai memancarkan jiwa yang dinamis, individualistis, dan tidak terikat dengan tradisi, serta seni harus berorientasi pada kepentingan masyarakat. Di samping itu, kebudayaan yang dianut masyarakat adalah kebudayaan dinamis. Kebudayaan tersebut merupakan gabungan antara kebudayaan barat dan kebudayaan timur sehingga sifat kebudayaan Indonesia menjadi universal.

Genre prosa Angkatan 33 (Pujangga Baru) berupa:

(a). R O M A N

Roman pada angkatan 33 ini banyak menggunakan bahasa individual, pengarang membiarkan pembaca mengambil simpulan sendiri, pelaku-pelaku hidup/ bergerak, pembaca seolah-olah diseret ke dalam suasana pikiran pelaku- pelakunya, mengutamakan jalan pikiran dan kehidupan pelaku-pelakunya. Dengan kata lain, hampir semua buku roman angkatan ini mengutamakan psikologi.

Page 41: sejarah sastra ririt

Isi roman angkatan ini tentang segala persoalan yang menjadi cita-cita sesuai dengan semangat kebangunan bangsa Indonesia pada waktu itu, seperti politik, ekonomi, sosial, filsafat, agama, kebudayaan.Di sisi lain, corak lukisannya bersifat romantis idealistis.

Contoh roman pada angkatan ini, yaitu Belenggu karya Armyn Pane (1940) dan Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana. Di samping itu, ada karya roman lainnya, diantaranya Hulubalang Raja (Nur Sutan Iskandar, 1934), Katak Hendak Menjadi Lembu (Nur Sutan Iskandar, 1935), Kehilangan Mestika (Hamidah, 1935), Ni Rawit (I Gusti Nyoman, 1935), Sukreni Gadis Bali (Panji Tisna, 1935), Di Bawah Lindungan Kabah (Hamka, 1936), I Swasta Setahun di Bendahulu (I Gusti Nyoman dan Panji Tisna, 1938), Andang Teruna (Soetomo Djauhar Arifin, 1941), Pahlawan Minahasa (M.R.Dajoh, 1941).

(b). N O V E L / C E R P E N

Kalangan Pujangga Baru (angkatan 33) tidak banyak menghasilkan novel/cerpen.

Beberapa pengarang tersebut, antara lain:

(1). Armyn Pane dengan cerpennya Barang Tiada Berharga dan Lupa.

Cerpen itu dikumpulkan dalam kumpulan cerpennya yang berjudul Kisah Antara Manusia (1953).

(2). Sutan Takdir Alisyahbana dengan cerpennya Panji Pustaka.

(c). E S S A Y DAN K R I T I K

Sesuai dengan persatuan dan timbulnya kesadaran nasional, maka essay pada masa angkatan ini mengupas soal bahasa, kesusastraan, kebudayaan, pengaruh barat, soal-soal masyarakat umumnya.Semua itu menuju keindonesiaan. Essayist yang paling produktif di kalangan Pujangga Baru adalah STA.Selain itu, pengarang essay lainnya adalah Sanusi Pane dengan essai Persatuan Indonesia, Armyn Pane dengan essai Mengapa Pengarang Modern Suka Mematikan, Sutan Syahrir dengan essai Kesusasteraan dengan Rakyat, Dr. M. Amir dengan essai Sampai di Mana Kemajuan Kita.

(d). D R A M A

Angkatan 33 menghasilkan drama berdasarkan kejadian yang menunjukkan kebesaran dalam sejarah Indonesia. Hal ini merupakan perwujudan tentang anjuran mempelajari sejarah kebudayaan dan bahasa sendiri untuk menanam rasa kebangsaan. Drama angkatan 33 ini mengandung semangat romantik dan idealisme, lari dari realita kehidupan masa penjjahan tapi bercita-cita hendak melahirkan yang baru.

Contoh:

Sandhyakala ning Majapahit karya Sanusi Pane (1933)

Page 42: sejarah sastra ririt

Ken Arok dan Ken Dedes karya Moh. Yamin (1934)

Nyai Lenggang Kencana karya Arymne Pane (1936)

Lukisan Masa karya Arymne Pane (1937)

Manusia Baru karya Sanusi Pane (1940)

Airlangga karya Moh. Yamin (1943)

(e). P U I S I

Isi puisi angkatan 33 ini lebih memancarkan peranan kebangsaan, cinta kepada tanah air, antikolonialis, dan kesadaran nasional. Akan tetapi, bagaimanapun usahanya untuk bebas, ternyata dalam puisi angkatan ini masih terikat jumlah baris tiap bait dan nama puisinya berdasarkan jumlah baris tiap baitnya, seperti distichon (2 seuntai), terzina (3 seuntai), kwatryn (4 seuntai), quint (5 seuntai), sektet (6 seuntai), septima (7 seuntai), oktav (8 seuntai). Bahkan, ada juga yang gemar dalam bentuk soneta. Hal tersebut tampak dalam kumpulan sanjak:

Puspa Mega karya Sanusi Pane

Madah Kelana karya Sanusi Pane

Tebaran Mega karya STA

Buah Rindu karya Amir Hamzah

Nyanyi Sunyi karya Amir Hamzah

Percikan Pemenungan karya Rustam effendi

Rindu Dendam karya J.E. Tatengkeng

Tokoh yang terkenal sebagai raja penyair Pujangga Baru dan Penyair Islam adalah Amir Hamzah. Kumpulan sanjaknya adalah Buah Rindu, Nyanyi Sunyi, dan Setanggi Timur.

Dengan demikian, ciri-ciri angkatan 33 ini yaitu:

(1). Tema utama adalah persatuan.

(2). Beraliran Romantis Idialis.

(3). Dipengaruhi angkatan 80 dari negeri Bewlanda.

(4). Genre sastra yang paling banya adalah roman, novel, esai, dan sebagainya.

Page 43: sejarah sastra ririt

(5). Karya sastra yang paling menonjol adalah Layar Terkembang.

(6). Bentuk puisi dan prosa lebih terikat oleh kaidah-kaidah.

(7). Isi bercorak idealisme

(8). Mementingkan penggunaan bahasa yang indah-indah.

(3). A N G K A T A N 4 5

Angkatan 45 disebut juga sebagai Angkatan Chairil Anwar atau angkatan kemerdekaan. Pelopor Angkatan 45 pada bidang puisi adalah Chairil Anwar, sedangkan pelopor Angkatan 45 pada bidang prosa adalah Idrus. Karya Idus yang terkenal adalah Corat-Coret di Bawah Tanah

Karya-karya yang lahir pada masa angkatan 45 ini sangat berbeda dari karya sastra masa sebelumnya. Ciri khas angkatan 45 ini yaitu bebas, individualistis, universalistik, realistik, futuristik.

Karya sastra pada masa angkatan 45 ini adalah Deru Campur Debu (kumpulan puisi, 1949), Kerikil Tajam dan Yang Terempas dan Yang Luput (kumpulan puisi, 1949), Tiga Menguak Takdir (kumpulan puisi, 1950). Ketiga karya tersebut diciptakan oleh Chairil Anwar. Di samping itu, karya sastra angkatan 45 lain adalah Surat Kertas hijau (kumpulan puisi) karya Sitor Sitomorang, Bunga Rumah Makan (drama) karya Utuy Tatang Sontani, Sedih dan Gembira (drama) karya Usmar Ismail, Surat Singkat Tentang Essai (buku kumpulan Essai) karya Asrul Sani, Kesusasteraan Indonesia Modern Dalam Kritik dan Essai (Kupasan kritik dan essai tentang sastra Indonesia) karya H.B.Jassin, Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma (kumpulan cerpen) karya Idrus, Atheis (roman) karya Achdiat Karta Miharja, Chairil anwar

pelopor Angkatan 45 (essai) karya H.B.Jassin, dan sebagainya.

(4). A N G K A T A N 66

Nama angkatan 66 dikemukakan oleh H.B.Jassin. Angkatan 66 muncul di tengah-tengah keadaan politik bangsa Indonesia yang sedang kacau. Kekacauan politik itu terjadi karena adanya teror PKI. Akibat kekacauan politik itu, membuat keadaan bangsa Indonesia kacau dalam bidang kesenian dan kesusatraan. Akibatnya kelompok lekra di bawah PKI bersaing dengan kelompok Manikebu yang memegang sendi-sendi kesenian, kedamaian, dan pembangunan bangsa dan Pancasila.

Ciri-ciri Angkatan 66, yaitu tema protes sosial dan politik, bercorak realisme, mementingkan isi, dan memperhatikan nilai estetis. Karya sastra yang paling dominan pada angkatan 66 ini adalah puisi yang berbau protes.

Page 44: sejarah sastra ririt

Beberapa karya sastra pada masa angkatan 66 antara lain Tirani (kumpulan puisi) karya Taufik Ismail, Pahlawan Tak dikenal (kumpulan puisi) karya Toto sudarto Bachtiar, Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan puisi) karya W.S. Rendra, Malam Jahanam (drama) karya Motinggo Busye, Kapai-Kapai (drama) karya Arifin C.Noer, Perjalanan Penganten (kisah) karya Ajip Rosidi, Seks sastra kita (Essai) karya Hartoyo Andang Jaya, Pagar Kawat berduri (roman) karya Toha Mohtar, Pelabuhan Hati (roman) karya Titis Basino, Pulang (novel) karya Toha Mochtar, Robohnya Surau Kami (Cerpen) karya A.A. Navis, Merahnya Merah, Koong, Ziarah (novel) karya Iwan simatupang, Burung-Burung Manyar (novel) karya Y.B. Mangunwijaya, Harimau-Hariamau (novel ) karya Mochtar lubis, Hati Yang Damai, Dua Dunia, Pada Sebuah Kapal, La Barka, Namaku Hiroko (novel) karya N.H. Dini.

Mari Berlatih Mandiri 1

1. Apa yang Anda ketahui tentang periodisasi sastra!

2. Ceritakan dengan singkat tentang periodisasi sastra menurut H.B. Yassin:

a. Sastra Melayu

b. Sastra Indonesia Modern

(1). Angkatan 20

(2). Angkatan 33

(3). Angkatan 45

(4). Angkatan 66

3. Apakah perbedaan periodisasi sastra sangat mempengaruhi ciri struktur dan ciri konteks kemasyarakatan dan kebudayaan pada ragam karya sastra prosa, puisi, dan drama! Jelaskan!

4. Siapakah pelopor angkatan 20, angkatan 33, angkatan 45, dan angkatan 66

a. puisi

b. prosa

c. drama

5.Jelaskan ciri struktur dan ciri konteks kemasyarakatan dan kebudayaan pada periode sastra melayu, angkatan 20, angkatan 33, dan angkatan 45, serta angkatan 66 dengan mengisi borang sebagai berikut!

No.

Sastra Melayu

Angkatan 20 Angkatan 33 Angkatan 45 Angkatan 66

Page 45: sejarah sastra ririt

1. Tema Istasentris

Tema adat istiadat dan kawin paksa

Tema Kebangsaan

Tema Kemerdekaan

Tema protes sosial dan

politik

2.

3.

4.

5.

6.

7.

B. Mengelompokkan Ragam Karya Sastra Indonesia (Puisi, Prosa, Drama) Berdasarkan Periodisasi Sastra.

Tentunya selama ini kita tidak asing lagi menonton atau mendengar dongeng atau cerita. Dongeng atau cerita selalu berkembang dari masa ke masa. Di samping itu, dongeng atau cerita merupakan salah satu ragam karya sastra. Namun, ada beberapa dongeng atau cerita dari dulu sampai sekarang tidak berubah tentang alur ceritanya sehingga dongeng atau cerita tersebut menjadi bagian dari sejarah. Karena banyaknya dongeng atau cerita yang ada di nusantara ini dan merupakan bagian dari ragam karya sastra, beberapa para ahli sastra mengelompokkannya berdasarkan periodisasi sastra. Mengelompokkan ragam karya sastra Indonesia berarti menggolongkan jenis karya sastra puisi, prosa, drama berdasarkan karakteristik masing-masing pada setiap kurun waktu tertentu.

Mari Berlatih Mandiri 2

Kelompokkanlah ragam karya sastra (puisi dan prosa) pada periode sastra melayu dengan mengisi borang berikut!

1. Puisi Lama

Page 46: sejarah sastra ririt

No. Jenis Puisi lama

Ciri-ciri Contoh

1. Syair Wahai muda kenali dirimu

Ialah perahu tamsil tubuhmu

Tiadalah berapa lama hidupmu

Ke akhirat juga ialah dirimu

2.

3.

4.

5.

6.7.

2. Prosa lama

No.

Jenis Prosa Lama Contoh

1. Dongeng

a. legenda

b. mite

c. sage

d. fabel

e. parabel

a. Cerita Terjadinya Tangkuban Perahu

b. …………………………………………………..

c. …………………………………………………..

d. …………………………………………………..

e. ………………………………………………….

Page 47: sejarah sastra ririt

No.

Jenis Prosa Lama Contoh

2. ……………………………

Hikayat Si Miskin, Hikayat Hang Tuah,

Hikayat Hang Jebat. 3. …………………………

…………………………………………………………

………………………………………………………

4. ……………………………

………………………………………………………

………………………………………………………

5. ……………………………

………………………………………………………

………………………………………………………

Mari Berlatih Kelompok 1

1. Bentuklah kelompok yang beranggotakan 2 orang.

2. Kunjungilah perpustakaan untuk mencari materi tentang ragam karya sastra (prosa, puisi, drama) berdasarkan periode sastra Indonesia modern.

3. Kelompokkanlah karya-karya sastra yang telah Anda temukan itu berdasarkan angkatan.

4. Tulislah hasil temuan Anda berdasarkan format di bawah ini!

No.

Ragam

Karya

Sastra

Angkatan 20

(BP)

Angkatan 33

(PB)

Angkatan 45 Angkatan 66

Karya

Pengarang/Penyair

Karya

Pengarang/

Penyair

Karya

Pengarang/Penyair

Karya

Pengarang/Penyair

Tahun Tahun Tahun Tahun

Page 48: sejarah sastra ririt

1. Roman

2. Kumpulan Cerpen

3. Drama

4. Puisi

5. Setelah Anda tulis hasilnya, bandingkanlah hasil kelompok Anda dengan kelompok yang lainnya.

6. Tulislah beberapa ragam karya sastra yang kelompok Anda belum menemukan, tetapi kelompok lain telah menemukannya. Lakukanlah secara bergiliran untuk melengkapinya.

7. Bahaslah bersama guru Anda.

B. Menjelaskan Perkembangan Ragam Karya Sastra (Puisi, Prosa, Drama) yang Dominan Dipengaruhi oleh Aliran Kesusastraan Dalam Periode Tertentu.

Ragam karya sastra Indonesia baik prosa, puisi, maupun drama mengalami perkembangan cukup pesat. Mulai dari sastra Indonesia lama sampai ke sastra Indonesia modern.Para pengarangnya pun makin lama makin bertambah banyak. Semakin banyaknya karya dan pengarang yang bermunculan, semakin pula isi karya tersebut memiliki corak jiwa hasil seni tersendiri, terutama periode Sastra Indonesia Modern. Karya-karya pada periode Sastra Indonesia Modern ini banyak yang mendapatkan pengaruh kebudayaan Eropa.Corak jiwa hasil seni inilah yang dituangkan dalam bentuk aliran.

Ada beberapa aliran dalam sastra yang dominan mempengaruhi ragam karya Sastra di Indonesia, diantaranya:

Page 49: sejarah sastra ririt

1. Aliran Realisme yaitu aliran yang selalu berusaha melukiskan keadaan atau peristiwa sesuai dengan kenyataan dan selalu mengungkapkan hal-hal yang baik atau tidak membuat orang tersinggung. Karya sastra angkatan 45 baik puisi maupun prosa banyak dipengaruhi oleh aliran realisme.

Contoh:

PENERIMAAN

Chairil Anwar

Kalau kau mau kuterima kau kembali

Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi

Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan Tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kau kembali

Untukku sendiri lagi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi

2. Aliran Naturalisme yaitu suatu aliran yang melukiskan sesuatu apa adanya tetapi selalu memandang kepada hal-hal yang bersifat buruk atau mesum baik memilih bahan dari masyarakat yang bobrok/mesum maupun baha s/cara melukiskan kasar, tanpa melihat kesusilaan.

Contoh: Surabaya (novel) oleh Idrus

Belenggu (roman) oleh Armyn Pane

Pada Sebuah Kapal karya NH. Dini

3. Aliran Neo-naturalisme yaitu aliran yang tidak hanya menceritakan sesuatu yang buruk saja, tetapi yang baik pun tidak dilupakan sehingga masih terdapat di dalamnya perasaan perikemanusiaan.

Contoh: Raumanen karya Marianne Katopo

Katak Hendak Jadi Lembu karya Nur Sutan Iskandar

Page 50: sejarah sastra ririt

Keluarga Permana karya Ramadhan KH

Atheis karya Ahcdiat K. Miharja

4. Aliran Ekspresionisme yaitu aliran yang selalu menekankan pada segenap perasaan atau jiwa sepenuhnya (adanya aku atau subyek). Kalimat yang digunakan tidak panjang-panjang tetapi kalimat pendek berisi dan seringkali menggunakan kalimat yang hanya terjadi dari satu patah kata saja.

Contoh: puisi-puisi Subagio Sastrowardoyo, Toto Sudarto Bachtiar, Sutarji Colzum Bahri, beberapa karya Chairil Anwar.

DOA

Kepada pemeluk teguh

Tuhanku

Dalam termangu

Aku masih menyebut nama-Mu

Biar susah sungguh

mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci

tinggal kerlip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

Aku hilang bentuk

remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku

di pintuMu aku mengetuk

aku tidak bisa berpaling

Page 51: sejarah sastra ririt

(Chairil anwar)

5. Aliran Impresionisme yaitu suatu aliran yang melukiskan sesuatu berdasarkan kesan-kesan sepintas saja dari peristiwa atau kejadian yang dilihat/ditemui pengarang dalam kehidupan nyata.Pengarang hanya mengambil bagian yang penting-penting saja.

Contoh:

NGARAI SIANOK

Berat himpitan gunung Singgalang

Atas dataran di bawahnya

Hingga rengkah tak alang-alang

Ngarai lebar dengan dalangnya

Bumi runtuh-runtuh juga

Seperti peradaban yang lepas

Debunya hirap dalam angkasa

Derumnya lenyap di sawah luas

Dua penduduk di dalam ngarai

Mencangkul di ladang satu-satu

Menyabit di sawah bersorak-sorak

Ramai kerja sejak dahulu

Bumi runtuh-runtuh jua

Mereka hidup bergiat terus

Seperti Si Anok dengan rumahnya

Diam-diam mengalir terus

(Rifai Ali)

6. Aliran Determinisme yaitu suatu aliran yang melukiskan peristiwa dari sudut paksaan nasib (sudut jeleknya) dan nasib itu sendiri ditentukan oleh keadaan masyarakat sekitar, kemiskinan,

Page 52: sejarah sastra ririt

penyakit, darah keturunan, dalam hubungan sebab akibat. Contoh: puisi dan prosa angkatan 66, Belenggu karya Armyn Pane, Neraka Dunia karya Nur Sutan Iskandar.

7. Aliran Surealisme yaitu suatu aliran yang melukiskan sesuatu secara berlebihan yang terkadang sulit diikuti dan dipahami oleh pembaca.

Contoh: Bip-Bop (drama) karya W.S.Rendra, Lebih Hitam dari Hitam (cerpen) karya Iwan Simatupang, Pot (puisi) karya Sutarji Colzum Bahri, Berhala (novel) karya Toto Sudarto Bachtiar.

POT

pot apa pot itu kaukah pot aku

pot pot pot

yang jawab pot pot pot pot kaukah pot itu

yang jawab pot pot pot pot kaukah pot aku

pot pot pot

potapa potiku pot kaukah potaku ?

POT

8. Aliran Romatisme yaitu suatu aliran yang selalu melukiskan sesuatunya secara sentimentil dan penuh perasaan.

Contoh: Di Bawah Lindungan Kabah (roman) karya HAMKA, Dian Yang Tak Kunjung Padam (Roman) karya Sutan Takdir Alisyahbana, Layar terkembang (roman) karya Sutan Takdir Alisyahbana, Ziarah (novel) karya Iwan Simatupang.

9. Aliran Idealisme yaitu suatu aliran yang melukiskan hal-hal utuh tentang gagasan, cita-cita atau pendiriannya.

Contoh:

AKU

Kalau sampai waktuku

Ku mau tak seorang kan merayu

Tidak juga kau

Page 53: sejarah sastra ririt

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

(Chairil Anwar)

10. Aliran Simbolisme yaitu suatu aliran yang selalu menggunakan simbol-simbol atau isyarat-isyarat guna menutup kebenaran atau maksud yang sesungguhnya.

Contoh: Tinjaulah Dunia Sana karya Nursyamsu, Radio Masyarakat (cerpen) karya Rosihan Anwar, dan sebagainya.

11. Aliran Psikologisme yaitu suatu aliran yang selalu menekankan pada aspek-aspek kejiwaan.

Contoh: Atheis (roman) karya Achdiat K. Miharja, Burunng-burung Manyar (roman) karya YB. Mangunwijaya, Merahnya Merah (novel) karya Iwan Simatupang, Telegram karya Putu Wijaya.

12.Aliran Didaktisme yaitu suatu aliran yang selalu menekankan pada aspek-aspek pendidikannya.

Contoh:

Salah asuhan (roman) karya Abdoel Muis, Karena Kerendahan Budi (novel) karya HSD Muntu, Syair Perahu (syair) karya Hamzah Fansuri.

Mari Berlatih Mandiri 3

1. Apakah dalam satu karya sastra bisa terdapat lebih dari satu aliran sastra. Jelaskan!

Page 54: sejarah sastra ririt

2. Apakah ada aliran sastra yag paling dominan mempengaruhi angkatan 20 (BP), angkatan 33 (PB), angkatan 45, dan angkatan 66. Jelaskan jika ada aliran sastra yang paling dominan dan sebutkan aliran sastra tersebut pada setiap angkatan!

3. Mengapa setiap pengarang atau penyair memiliki aliran sastra!

4. Perhatikan contoh kutipan puisi di bawah ini!

a. …………….

Politisi dan pegawai negeri

Adalah caluk yang rapih

Kongres-kongres dan konperensi

Tak pernah berjalan tanpa kalian

Kalian tak pernah bilang “tidak”

Lantaran kelaparan yang menakutkan

Kemiskinan yang mengekang

Dan telah lama sia-sia cari kerja

Ijasah sekolah tanpa guna

Para kepala jawatan

Akan membuka kesempatan

Kalau kau membuka paha

Sedang di luar pemerintahan

Perusahan-perusahan macet

Lapangan kerja tak ada………

(Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta,W.S.Rendra)

a.Apa aliran sastra yang terdapat pada penggalan puisi di atas!

b.Apa makna dari puisi tersebut!

Page 55: sejarah sastra ririt

c. Apa yang Anda ketahui tentang W.S. Rendra!

Mari Berlatih Kelompok 2

1. Bentuklah kelompok yang beranggotakan 6 orang.

2. Masing-masing anggota kelompok mencari contoh-contoh puisi untuk setiap aliran sastra tersebut!

3. Klipinglah contoh-contoh puisi dengan mengelompokkannya berdasarkan aliran sastra. Setiap satu aliran sastra minimal satu buah puisi.

4. Secara bergantian setiap kelompoknya, presentasikanlah salah satu aliran sastra beserta contoh puisinya pada forum kelas.

5. Kelompok lain memberikan tanggapan.

C. Menyimpulkan Hasil Pembahasan Tentang Perkembangan Sastra Indonesia

Menyimpulakan berarti menetapkan pendapat berdasarkan apa-apa yang telah diuraikan sebelumnya tentang perkembangan ragam karya sastra pada periode sastra melayu dan sastra modern Indonesia (angkatan 20, angkatan 33, angkatan 45, dan angkatan 66).

Kegiatan Kelompok 3

1. Tetaplah bersama kelompok Anda yang beranggotakan 4 orang.

2. Buatlah simpulan hasil pembahasan perkembangan Sastra Indonesia yang meliputi perbedaan yang paling mendasar dari sastra melayu dan sastra Indonesia Modern, persamaan dari karya-karya yang dihasilkannya, serta pembaharuan (konvensi) yang ada pada setiap angkatan 20, angkatan 33, angkatan 45, dan angkatan 66!

3. Secara bergiliran mempresentasikan hasil diskusi Anda.

4. Berilah tanggapan pada kelompok yang tampil!