perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id studi …/studi... · perpustakaan.uns.ac.id...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
STUDI KOMPARASI HUKUM PENGATURAN
SISTEMPENANGGUHANPENAHANAN (BAIL)
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981
TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN
PHILIPPINE RULES OF CRIMINAL PROCEDURE RULES 110 TO 127
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh
Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta
Oleh:
MAYA HAPSARI DIAH KUSUMAWARDANI
NIM. E0008186
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRACT
MayaHapsariDiah Kusumawardani, 2012. COMPARATIVESTUDYSETTINGLAWARRESTBAILSYSTEMBYLAWNUMBER8OF1981ON THE LAWOFCRIMINALPROCEDURERULESOFTHEPHILIPPINECRIMINALPROCEDURERULES110TO127.Faculty of LawUNS.
This study aims to examine and find out the similarities, differences,advantages and disadvantages of setting surety (bail) by Act Number 8 of 1981 onCriminal Proceedings with the Philippine Rules of Criminal Procedure Rules 110 to127.
This research is a normative law is prescriptive, using a comparativeapproach. Types of legal materials used are the source of primary legal materials inthe form of the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945, Law Number 8of 1981 on Criminal Procedure Law, Government Regulation Number 27 of 1983 onthe Implementation of the Book of Law Criminal Procedure Code, as amended andsupplemented by Law Number 58 Year 2010 Amendments to Regulation Number 27Year 1983 on Implementation of the Book of the Law of Criminal Law, Rules ofCriminal Procedure Philippine Rules 110 to 127. Source of secondary legal materialsin the form of books, legal dictionaries, law journals, papers, articles, source ofinternet-related. Legal materials analysis technique is to use the method ofcomparison or comparison with grammatical interpretation.
Based on the research results can be concluded that equation suretyarrangement in Indonesia lies in the application of cash collateral and the collateralwhile the difference in the Philippines is a necessity and not filed in each of theinspection process in Indonesia, while not guaranteed, but the filing must be done inthe Warranty surety each process examination. Weakness surety arrangement inIndonesia is still a lot of provisions that have not been regulated in Law Number 8 of1981 on Criminal Proceedings of the proposed security guarantees, while thePhilippines is a must so that caused the emergence of discrimination. Excess inIndonesia lets the defendant did not file a guarantee, while the Philippines is moredecisive and detailed in a set of guarantees proposed in the application for suspensionof detention.
Keywords: Comparative Study,Bail, Guarantee
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRAK
Maya Hapsari Diah Kusumawardani., 2012. STUDI KOMPARASI HUKUMPENGATURAN SISTEM PENANGGUHAN PENAHANAN (BAIL)MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANGHUKUM ACARA PIDANA DENGAN PHILIPPINE RULES OF CRIMINALPROCEDURE RULES 110 TO 127. Fakultas Hukum UNS.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan mengetahui persamaan,perbedaan, kelebihan dan kekurangan pengaturan penangguhan penahanan (bail)menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana denganPhilippine Rules of Criminal Procedure Rules 110 to 127.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif,dengan menggunakan pendekatan perbandingan. Jenis bahan hukum yang digunakanadalah sumber bahan hukum primer berupa Undang-Undang Dasar RepublikIndonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum AcaraPidana, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KitabUndang-Undang Hukum Acara Pidana sebagaimana telah diubah dan ditambahdengan Undang-Undang Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas PeraturanPemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-UndangHukum Acara Pidana, Philippine Rules of Criminal Procedure Rules 110 to 127.Sumber bahan hukum sekunder berupa buku-buku, kamus hukum, jurnal hukum,makalah, artikel, sumber dari internet yang terkait. Teknik analisis bahan hukumadalah dengan menggunakan metode komparasi atau perbandingan denganinterpretasi gramatikal.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa persamaan pengaturanpenangguhan penahanan di Indonesia terletak pada diterapkannya jaminan uang danorang sedangkan perbedaannya jaminan di Filipina merupakan suatu keharusan dantidak diajukan di tiap proses pemeriksaan sedangkan di Indonesia jaminan bukankeharusan akan tetapi pengajuan jaminan penangguhan penahanan dilakukan di tiapproses pemeriksaan. Kelemahan pengaturan penangguhan penahanan di Indonesiaadalah masih banyak ketentuan yang belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 8Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengenai jaminan yang diajukansedangkan di Filipina jaminan merupakan keharusan sehingga menyebabkanmunculnya diskriminasi. Kelebihan di Indonesia memungkinkan terdakwa tidakmengajukan jaminan sedangkan Filipina lebih tegas dan rinci dalam mengaturmengenai jaminan yang diajukan dalam permohonan penangguhan penahanan.
Kata Kunci: Studi Komparasi, Penangguhan Penahanan, Jaminan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
Jalan itu selalu ada buat seseorang yang pantang menyerah, mau berusaha, dan selalu
bekerja keras.
(Penulis)
Biarkan keyakinan kamu, 5 centimeter menggantung mengambang di depan
keningmu, dan setelah itu yang kamu perlu hanya kaki yang berjalan lebih jauh dari
biasanya, tangan yang berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap
lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad
yang seribu kali lebih keras dari baja, hati yang akan bekerja lebih keras dari
biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa.
Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bisa memberikan manfaat bagi orang
lain.
(Donny Dhirgantoro)
Tinta bagi seorang pelajar lebih suci nilainya daripada darah seorang martir
(Muhammad SAW)
Sesungguhnya setiap manusia memang diberi kebebasan untuk memilih, memilih di
persimpangan-persimpangan kecil atau besar dalam sebuah “big master plan” yang
telah diberikan Tuhan kepada kita semenjak kita lahir
(Ian)
Sebagian besar hal penting di dunia diraih oleh orang-orang yang terus mencoba
ketika tampak tak ada harapan sama sekali.
(Dale Carnegie)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Karya kecil ini penulis persembahkan sebagai wujud syukur dan terima kasih kepada:
1. Allah SWT atas inspirasi terbesarnya serta segala bentuk nikmat dan kemudahan
yang selama ini dianugerahkan dalam kehidupanku;
2. Nabi besar Muhammad SAW atas teladan yang diberikan sebagai bekal
kehidupan;
3. Kedua Orang Tuaku Ir. Suprapto dan Ir. Ekaristi Christiani yang telah
memberikan kasih sayang yang tulus, doa yang tidak pernah berhenti serta
semangat dan nasihat dalam sepanjang kehidupanku hanya Allah yang dapat
membalasnya;
4. Nenekku tersayang dan satu-satunya Djufainah terima kasih atas doanya semoga
bisa membahagiakanmu ya mbah suatu hari nanti;
5. Kakakku Flora Felina Aditasari atas semangat, doa, nasihat dan tambahan uang
jajan yang diberikan tambahin lagi yaa dan jangan berhenti...hehehe;
6. Adikku Tegar Aji Prakosa atas semangat dan doanya, kita tetap saingan
menaklukkan gunung yaa;
7. Ria Triana Corry, Dyah Nur Ariyani, Niken Wresthi terima kasih sudah menjadi
teman-teman terbaik dalam kehidupan penulis selama ini semoga tetap terjaga;
8. Teman, Sahabat, dan Kakak dekat penulis terima kasih atas semua yang telah
diberikan dan sudah menjadi seseorang yang lengkap untuk penulis, tetap
berjalan bersama;
9. Keluarga Besar KSP “Principium” yang sudah menjadi keluarga kedua penulis di
kota ini;
10. Teman-teman selama menempuh pendidikan yang tidak bisa disebutkan satu
persatu matur suwun atas semua doa dan semangatnya;
11. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Segala Puji syukur kehadirat ALLAH SWT yang senantiasa melimpahkan
segala rahmat, karunia dan hidayah-Nya. Yang selalu memberikan jalan dan
kemudahan kepada penulis sehingga Penulisan Hukum (Skripsi) yang berjudul,
“STUDI KOMPARASI HUKUM PENGATURAN SISTEM PENANGGUHAN
PENAHANAN (BAIL) MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN
1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN PHILIPPINE RULES
OF CRIMINAL PROCEDURE RULES 110 TO 127” dapat terselesaikan tepat
waktu.
Banyak hambatan dan permasalahan yang dihadapi penulis dalam
menyelesaikan Penulisan Hukum ini. Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam
menyelesaikan Penulisan Hukum ini tidak bisa terlepas dari bantuan semua pihak
yang telah memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung, secara
materiil maupun non materiil. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih kepada:
Penulisan hukum ini disusun untuk memenuhi dan melengkapi syarat-syarat
untuk memperoleh derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam
menyelesaikan Penulisan Hukum ini tidak bisa terlepas dari bantuan semua pihak
yang telah memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung, secara
materiil maupun non materiil. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih kepada:
1. Allah SWT, atas segala rahmat, karunia dan hidayah-Nya;
2. Nabi Muhammad SAW, semoga penulis dapat istiqomah dijalannya;
3. Bapak Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., selaku Rektor Universitas Sebelas Maret
Surakarta beserta seluruh pembantu rektor;
4. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
5. Bapak Edy Herdyanto, S.H.,M.H., selaku ketua Bagian Hukum Acara Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Pembimbing Skripsi I yang
telah membantu penulis dalam memberikan arahan mengenai penulisan hukum
ini.
6. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H.,M.H., selaku Pembimbing II yang telah
memberikan segala ilmu dan dengan penuh kesabaran membimbing serta
memberikan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan Penulisan Hukum
(Skripsi) ini dengan baik.
7. Bapak Bambang Santoso, S.H.,M.Hum., selaku Ketua Laboratorium Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta;
8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta atas semua
ilmu pengetahuan yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat dijadikan
bekal dalam kehidupan penulis saat ini dan masa yang akan datang.
9. Seluruh Pimpinan dan Staff Administrasi Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta atas semua kemudahan, fasilitas serta kesempatan-kesempatan
yang telah diberikan;
10. Pengelola Penulisan Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta atas kemudahan yang diberikan;
11. Kedua orang tua Ir. Suprapto dan Ir. Ekaristi Christiani yang penuh kasih sayang
merawat dan membesarkan penulis, yang selalu memberikan dukungan moril dan
materiil serta tanpa henti selalu mendoakan penulis sehingga penulisan hukum
ini dapat terselesaikan;
12. Kakakku Flora Felina Aditasari dan adekku Tegar Aji Prakosa yang memberikan
semangat dan doa.
13. Teman penulis Dyah Nur Ariyani dan Ria Triana Corry Pardosi terima kasih
untuk empat tahunnya mulai dari susah, sakit, senang, berantem, bete, ketawa
akan jadi momen yang selalu dikenang dan dirindukan semoga tidak hanya
empat tahun tapi seterusnya;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
14. Teman seperjuangan Niken Wresthi Kinanti terima kasih atas semangat, doa, dan
kebersamaannya selama berseragam abu-abu sampai sekarang;
15. Pico, Cencen, Jojo terima kasih tetap setia menemani penulis saat susah dan
senang;
16. Teman-teman penulis Fauziah Wijayanti, Fransiska P, Dwi Murniningsih, Atika
Dyah, Alfitri, Ardani N, Yudhantara Gendut, Mahatma Kentunk, Ardianto,
Andre, Bambang Prayitno, Aryanto bebeb, Prasetyo Adut, Putut, Anugrah S,
Mifta dan masih banyak lagi dan tidak bisa disebut satu persatu terima kasih atas
semangat dan cerita indahnya.
17. Kakak-kakakku Mami Dian, Mas Tejo, Mas Gatot, Mas Yovi, Mbak Aya, Mas
Aji, Mbak Citra, Mbak Ariyani, Mbak Lilin, Mbak Bundo, Mas Dedi, Mas Sandi,
terima kasih atas doa, nasihat, semangat, dan jalan-jalannya;
18. Keluarga besar KSP “Principium” atas ilmu, kebersamaan, kekeluargaan,
loyalitas, komitmen, tanggung jawab yang selama ini diberikan dan diajarkan
kepada penulis,
19. Badan Eksekutif Mahasiswa FH UNS terima kasih atas keluarga dan kesempatan
belajar yang diberikan kepada penulis;
20. Tim Mootcourt Community FH UNS terima kasih atas keluarga dan kesempatan
belajar yang diberikan kepada penulis;
21. Anak-anak kos Stannum 2 Septi babang, mbak ratih, mbak ambar, sindri, mbak
sari terima kasih atas semangat dan bantuannya;
22. Teman-teman Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret angkatan 2008 terima
kasih atas dukungan dan kebersamaannya selama ini;
23. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu penulis Semoga Tuhan yang mencatat dan memberikan balasannya.
Penulis menyadari bahwa Penulisan Hukum ini sangat jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran bersifat membangun dalam penulisan hukum ini dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
kedepannya sangat diperlukan dari pembaca akan penulis terima dengan senang hati.
Akhir kata, semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Surakarta, 9 Juli 2012
Maya Hapsari Diah K.
E0008186
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................. iv
ABSTRAK ........................................................................................................... v
ABSTRACT ......................................................................................................... vi
HALAMAN MOTTO .......................................................................................... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................... vii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ix
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xvi
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. .................................................................................... L
atar Belakang ..................................................................... 1
B. .................................................................................... R
umusan Masalah ................................................................ 5
C. .................................................................................... T
ujuan Penelitian .................................................................. 5
D. .................................................................................... M
anfaat Penelitian ................................................................. 6
E. .................................................................................... M
etode Penelitian .................................................................. 7
F...................................................................................... S
istematika Penulisan Hukum ............................................. 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
A. .................................................................................... K
erangka Teori ..................................................................... 12
1................................................................................. T
injauan Umum Tentang Perbandingan Hukum ........... 12
2................................................................................. T
injauan Umum Tentang Penahanan ............................. 14
a. .......................................................................... P
engertian Penahanan .............................................. 14
b. .......................................................................... D
asar Penahanan ....................................................... 15
c. .......................................................................... T
ata Cara Penahanan ................................................ 16
d. .......................................................................... J
enis Tahanan .......................................................... 17
3................................................................................. T
injauan Umum Tentang Penangguhan Penahanan ....... 19
a. .......................................................................... P
enangguhan Penahanan di Indonesia ..................... 19
b. .......................................................................... P
enangguhan Penahanan di Filipina ........................ 20
B. .................................................................................... K
erangka Pemikiran ............................................................. 23
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. .................................................................................... A
nalisis Persamaan dan Perbedaan Penangguhan
Penahanan (Bail)dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 dengan Philippine Rules of Criminal Procedure
Rules 110 to 127 ................................................................ 25
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
1................................................................................. P
ersamaan Sistem Penangguhan Penahanan (bail) di
Indonesia dan Filipina .................................................. 65
2................................................................................. P
erbedaan Sistem Penangguhan Penahanan (bail) di
Indonesia dan Filipina .................................................. 66
B. .................................................................................... A
nalisis Kelebihan dan Kelemahan Penangguhan
Penahanan (Bail)dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 dengan Philippine Rules of Criminal Procedure
Rules 110 to 127 ................................................................. 67
1................................................................................. K
elebihan Pengaturan Penangguhan Penahanan
(Bail)dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 ... 67
2................................................................................. K
elemahan Pengaturan Penangguhan Penahanan
(Bail)dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 ... 68
3................................................................................. K
elebihan Pengaturan Penangguhan Penahanan (Bail)
dalam Philippine Rules of Criminal Procedure............ 71
4................................................................................. K
elemahan Pengaturan Penangguhan Penahanan (Bail)
dalam Philippine Rules of Criminal Procedure............ 73
BAB IV PENUTUP
A. .................................................................................... S
impulan .............................................................................. 74
B. .................................................................................... S
aran ..................................................................................... 76
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
DAFTAR PUSTAKA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skematik Kerangka Pemikiran ........................................................... 23
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.Perbandingan Perundang-Undangan Mengenai PenangguhanPenahanan (bail) di Indonesia dengan Filipina ............................... 25
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mencermati fenomena penangguhan penahanan (bail) yang beberapa waktu
belakangan ini mulai marak kembali di ranah publik dalam kasus Dhana Widyatmaka
mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang diduga
melakukan tindak pidana korupsi. Tersangka melalui penasihat hukumnya
mengajukan permohonan penangguhan penahanan yang disampaikan kepada
penyidik Kejaksaan Agung Republik Indonesia dengan alasan selama proses
penyidikan tersangka sangat kooperatif dan tersangka tidak mungkin melarikan diri
karena paspor milik tersangka sudah disita pihak imigrasi selain itu, tersangka juga
tidak mungkin menghilangkan barang bukti terkait dengan kasus yang menjeratnya
karena seluruh barang bukti telah disita oleh pihak kejaksaan (Indra Wijaya,
Pengacara Dhana Ajukan Penangguhan Penahanan.
http://www.tempo.co/read/news/2012/03/05/063388039/Pengacara-Dhana-Ajukan-
Penangguhan-Penahanan/> [2 April 2012 pukul 15.19]). Mengkaji dari kasus tersebut
ternyata tersangka memanfaatkan upaya penangguhan penahanan, hal ini karena
penahanan bukan merupakan upaya paksa yang mutlak.
Berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana setiap instansi penegak hukum diberi wewenang untuk melakukan
penahanan. Hal ini karena penahanan memiliki fungsi untuk memperoleh alat bukti
bahwa tersangka telah melakukan tindak pidana serta untuk mempermudah dan
dalam memperoleh keterangan yang valid. Menurut Rusli Muhammad, ada dua
alasan penahanan yaitu alasan objektif yang tercantum dalam Pasal 21 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu penahanan
hanya dapat dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut
dalam hal tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih dan
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335
ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a,
Pasal 453, Pasal 454, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, Pasal 25 dan 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap
ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor
471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-
Undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal
36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal
43, Pasal 47, dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika
(Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086
dan alasan subyektif adalah alasan yang muncul dari penilaian subjektif yang
menitikberatkan pada keadaan atau keperluan penahanan itu sendiri yang tercantum
dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana yaitu Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang
tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan
bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa
tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang
bukti dan/atau mengulangi tindak pidana (Rusli Muhammad, 2007:29). Namun, jika
alasan subjektif dan objektif penahanan tersebut tidak terpenuhi maka penangguhan
penahanan dapat diberikan kepada tersangka/terdakwa pelaku tindak pidana karena
penangguhan penahanan merupakan hak yang dapat diperoleh tersangaka/terdakwa
dalam proses hukum.
Hukum acara pidana merupakan hukum formil yang memuat aturan
pelaksanaan penegakan hukum pidana. Dalam pelaksanaan hukum acara pidana
penghargaan atas hak asasi manusia juga tidak dapat dikesampingkan. Dalam praktek
penegakan hukum pidana seringkali terjadi pelanggaran hak asasi manusia, sehingga
diperlukan pengaturan yang tegas guna melindungi hak individu dalam hal ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
tersangka/terdakwa namun tetap mengutamakan kepentingan masyarakat dan negara.
Hukum acara pidana telah menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa dalam
setiap tingkat pemeriksaan adalah sebagai subyek bukan sebagai obyek pemeriksaan
dan yang menjadi obyek pemeriksaan adalah kesalahan. Penempatan kedudukan
tersangka atau terdakwa sebagai subyek hukum tercermin dalam perlindungan hak
yang dimiliki tersangka atau terdakwa yang dalam hal ini hak asasi seorang tersangka
atau terdakwa harus dihormati dan dijunjung tinggi sesuai harkat dan martabatnya
sebagai seorang manusia (Handri Wirastuti Sawitri, 2011: 42).
Adanya jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam
peraturan hukum pidana mempunyai arti yang sangat penting karena sebagian besar
dari rangkaian proses acara pidana ini adalah menjurus kepada pembatasan-
pembatasan hak-hak asasi manusia seperti penangkapan, penahanan, penyitaan,
penggeledahan, dan penghukuman yang pada hakikatnya adalah pembatasan terhadap
hak-hak asasi manusia, akan tetapi bukan berarti hukum pidana itu dapat dicap
dengan begitu saja sebagai ketentuan hukum yang selalu membatasi hak asasi
manusia (Abdurrahman, 1983: 52). Wujud perlindungan dan jaminan atas hak
tersangka/terdakwa adalah dengan adanya penangguhan penahanan (bail).
Beberapa prinsip telah menjiwai konsep hak asasi manusia antara lain prinsip
kesetaraan, pelarangan diskriminasi, dan kewajiban positif yang dibebankan kepada
setiap negara digunakan untuk melindungi hak-hak tertentu (Rhona K.M. Smith,dkk,
2010: 39). Oleh karena itu, hak asasi manusia menjadi elemen independen yang
sifatnya pokok dan melekat yang harus dijamin dalam konsepsi negara hukum.
Negara hukum memiliki beberapa ciri, antara lain pengakuan dan perlindungan atas
hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum,
sosial, ekonomi dan kebudayaan, peradilan yang bebas dari pengaruh suatu
kekuasaan atau kekuasaan lain dan tidak memihak dan legalitas dalam arti hukum dan
segala bentuknya (Nico Ngani, I Nyoman Budi Jaya, Hasan Madani, 1984: 1).
Menurut Stahl, “rechstaat” mencakup 4 (empat) elemen penting yaitu: Perlindungan
hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, pemerintahan berdasarkan undang-undang,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
dan peradilan tata usaha negara. Dalam perkembangannya, International Commission
of Jurist, melalui konferensinya di Bangkok tahun 1965 memeperluas konsep Rule of
Law, dan menekankan yang dinamakan “The Dynamic Aspect of the Rule of Law in
the Modern Age”. Syarat-syarat dasarnya adalah: Perlindungan konstitusional, dalam
arti, bahwa konstitusi selain memberi jaminan hak-hak individu, juga harus
menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang
dijamin, badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak, pemilihan umum yang
bebas, kebebasan untuk menyatakan pendapat, kebebasan berserikat/berorganisasi
dan beroposisi, dan pendidikan kewarganegaraan (civic education) (M. Busyro
Muqoddas, 2010:3). Menelaah ciri-ciri negara hukum tersebut mengandung ketentuan
bahwa negara hukum menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia dan hal tersebut
harus diwujudkan dalam sistem hukum pidana di Indonesia karena Negara Indonesia
merupakan negara hukum (rechtstaat) seperti yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945.
Di saat bersamaan korelasi hukum di sebuah negara yang mengalami tarikan
globalisasi tentu membutuhkan pembanding ketika akan dikaji lebih lanjut mengenai
pelaksanaan penangguhan penahanan (bail) mengingat ada beberapa negara yang
tidak sepakat dengan adanya pelaksanaan penangguhan penahanan (bail). Sebagai
contoh perkembangan penangguhan penahanan (bail) di Negara Amerika mengalami
kemajuan yang sangat pesat walaupun kecaman pedas terus dilontarkan karena sistem
penangguhan penahanan dianggap membedakan si kaya dan si miskin yang dengan
sendirinya merusak citra equality before the law (Romli Atmasasmita, 2010:78).
Mengkaji pelaksanaan penangguhan penahanan (bail) lebih baik
menggunakan segi perbandingan hukum seiring dengan tarikan-tarikan hukum itu
dengan kepentingan global. Pada titik inilah produk hukum di Indonesia yaitu
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana perlu
dibandingkan dengan produk hukum di Filipina yaitu Philippine Rules of Criminal
Procedure Rules 110 to 127. Pemilihan Filipina sebagai negara pembanding dalam
pengkajian penangguhan penahanan ini didasarkan pada ketersediaan data, letak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
regional yang berdekatan, dan corak masyarakat yang relatif sama berkaitan dengan
rumpun melayu. Pada dasarnya meskipun Indonesia menerapakan sistem hukum
Eropa Kontinental sedangkan Filipina menerapkan sistem hukum Anglo Saxon hal ini
tidak menimbulkan masalah dalam segi perbandingan hukum.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik
untuk melakukan kajian terhadap pengaturan penangguhan penahanan (bail) di
Indonesia dan Filipina dalam bentuk penelitian hukum dengan judul : “STUDI
KOMPARASI HUKUM PENGATURAN SISTEM PENANGGUHAN
PENAHANAN (BAIL) MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN
1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN PHILIPPINE RULES
OF CRIMINAL PROCEDURE RULES 110 TO 127”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka dapat dirumuskan
permasalahan dalam penelitian ini meliputi :
1. Apakah persamaan dan perbedaan pengaturan hukum penangguhan penahanan
(bail) menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana dengan Philippine Rules of Criminal Procedure Rules 110 to 127?
2. Apakah kelebihan dan kelemahan pengaturan hukum penangguhan penahanan
(bail) menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana dengan Philippine Rules of Criminal Procedure Rules 110 to 127?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengkaji dan mengetahui persamaan serta perbedaan pengaturan
penangguhan penahanan (bail) menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan Philippine Rules of Criminal
Procedure Rules 110 to 127;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
b. Untuk mengkaji dan mengetahui kelebihan serta kelemahan pengaturan
hukum penangguhan penahanan (bail) menurut Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan Philippine Rules of
Criminal Procedure Rules 110 to 127.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperluas dan menambah wawasan penulis dalam bidang Hukum
Acara Pidana khususnya mengenai pengaturan hukum penangguhan
penahanan (bail) menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana dan menurut Philippine Rules of Criminal Procedure
Rules 110 to 127;
b. Untuk menambah pengetahuan penulis mengenai pelaksanaan sistem
penangguhan penahanan (bail) yang baik diterapkan di Indonesia melalui
sistem perbandingan dengan negara Filipina.
D. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat khususnya bagi ilmu
pengetahuan bidang penelitian yang dikaji. Adapun manfaat yang diharapkan dari
penelitian ini antara lain:
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan
hukum acara pidana pada khususnya;
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wacana dan konsep baru
serta dapat memperkaya referensi tentang pengkajian penangguhan penahanan
(bail) menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana dan menurut Philippine Rules of Criminal Procedure Rules 110 to
127;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai teaching materials dalam mata
kuliah hukum acara pidana terutama mengenai masalah hukum penangguhan
penahanan (bail).
2. Manfaat Praktis
a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran dan
membentuk pola hukum ilmiah, sekaligus guna mengetahui kemampuan
penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh;
b. Menjadi sarana guna menambah wawasan bagi pembaca mengenai
perbandingan hukum pengaturan hukum penangguhan penahanan (bail)
menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
dan menurut Philippine Rules of Criminal Procedure Rules 110 to 127;
c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai literatur dan bahan informasi bagi
semua pihak terutama mengenai pengaturan sistem penangguhan penahanan
(bail).
E. Metode Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum adalah suatu proses untuk
menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum
guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 35). Guna
mendukung pelaksanaan penelitian hukum maka perlu diterapkan metode penelitian
yang tepat untuk menganalisis isu hukum yang dihadapi tersebut. Metode penelitian
yang digunakan penulis dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut :
1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian hukum ini adalah
jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif atau doctrinal
research, bekerja untuk menemukan jawaban-jawaban yang benar dengan
pembuktian kebenaran yang dicari “di” atau “dari” perskripsi-perskripsi yang
ditulis di Kitab Undang-Undang atau Kitab Agama (tergantung keyakinan yang
dianutnya), berikut ajaran atau doktrin yang mendasarinya (Isharyanto, 2009: 1).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
2 Sifat Penelitian
Karakteristik dari ilmu hukum adalah bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai
ilmu yang bersifat perskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai
keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma
hukum. Sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar prosedur,
ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aktivitas hukum (Peter
Mahmud Marzuki, 2005: 22). Dalam penelitian ini juga bersifat preskriptif, yang
dimaksudkan untuk memberikan argumentasi atas penelitian yang dilakukan.
3 Pendekatan Penelitian
Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan perbandingan (comparative
approach). Pendekatan perbandingan dilakukan dengan mengadakan studi atau
penelitian perbandingan hukum. Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan
perbandingan ini dilakukan dengan membandingkan undang-undang suatu hukum
dengan undang-undang dari satu atau lebih hukum lain mengenai hal yang sama
(Peter Mahmud Marzuki, 2005: 95). Pendekatan ini berguna untuk memperoleh
kekurangan dan kelebihan serta mengetahui konsistensi penerapan undang-undang
terutama mengenai penerapan hukum penangguhan penahanan (bail) di antara
hukum Indonesia dengan Filipina.
4 Bahan Hukum
Guna memecahkan isu hukum yang diteliti diperlukan sumber penelitian.
Sumber penelitian dalam penelitian hukum hanya dibedakan menjadi dua yaitu
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Adapun bahan hukum primer
dan sekunder dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya memiliki otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-
undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-
undangan dan putusan-putusan hakim (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 141).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan bahan hukum primer berupa:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945;
2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana;
3) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagaimana telah diubah dan
ditambah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
4) Philippine Rules of Criminal Procedure Rules 110 to 127.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini yaitu buku-
buku teks, kamus hukum, jurnal-jurnal hukum serta komentar atas putusan
pengadilan yang berkaitan dengan hukum yang dibahas.
5 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan penulis dalam penelitian
hukum ini yaitu menggunakan teknik studi kepustakaan atau studi dokumen. Studi
kepustakaan atau studi dokumen merupakan suatu bentuk pengumpulan bahan
hukum melalui membaca, mengkaji, dan mempelajari literatur atau buku-buku
hasil penelitian terdahulu, dan membaca dokumen yang berhubungan dengan
permasalahan yang dibahas. Berdasarkan bahan tersebut kemudian dirumuskan
dan dianalisis dan selanjutnya digunakan sebagai dasar menjawab permasalahan
hukum yang dihadapi.
6 Teknik Analisis Bahan Hukum
Bahan-bahan hukum yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis
menggunakan metode komparasi atau perbandingan dengan interpretasi
gramatikal. Dalam hal ini analisis yang dilakukan dengan mengklasifikasikan
pasal-pasal dari Undang-Undang dan hasilnya akan disajikan secara deskriptif
yaitu dengan jalan menuturkan dan menggambarkan berdasarkan pendekatan
penelitian guna mendapatkan jawaban atas rumusan masalah yang telah
ditentukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang sistematika
penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum maka
penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan
hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab yang tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang
dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian
ini. Sistematika keseluruhan penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis mengemukakan latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaaat penelitian, metode
penelitian, dan sistematika penulisan hukum
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini penulis menguraikan landasan teori atau memberikan
penjelasan secara teori yang bersumber dari bahan hukum yang
penulis gunakan terutama yang berkaitan dengan permasalahan
hukum yang dihadapi. Tinjauan pustaka dalam penelitian hukum ini
meliputi : tinjauan tentang perbandingan hukum, tinjauan umum
tentang penahanan, tinjauan umum tentang penangguhan penahanan
(bail).
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini berisi tentang hasil penelitian dan pembahasan guna
menjawab pertanyaan mengenai persamaan dan perbedaan
pengaturan hukum penangguhan penahanan (bail) menurut Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan
Philippine Rules of Criminal Procedure Rules 110 to 127 dan
kelebihan serta kelemahan pengaturan hukum penangguhan
penahanan (bail) menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
tentang Hukum Acara Pidana dengan Philippine Rules of Criminal
Procedure Rules 110 to 127.
BAB IV : PENUTUP
Pada bab ini berisi mengenai kesimpulan yang didapat dari hasil
penelitian dan pembahasan serta saran-saran yang dapat penulis
kemukakan terkait dengan permasalahan hukum yang dihadapi.
DAFTAR PUSTAKA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum tentang Perbandingan Hukum
Terdapat berbagai istilah asing mengenai perbandingan hukum, yakni
antara lain: Comparative Law, Foreign Law (bahasa Inggris); Droit Compare
(istilah Perancis); Rechtsvergelijking (bahasa Belanda) dan Vergleichende
Rechlehre (bahasa Jerman). Di dalam Black’s Law Dictionary dijelaskan:
Comparative Jurisprudence is the study of principles of legal science by the
comparison of various system of law. Suatu studi menegnai prinsip-prinsip ilmu
hukum dengan melakukan perbandingan berbagai macam sistem hukum (Barda
Nawawi Arief, 2002 : 3)
Apabila diamati istilah asingnya, comparative law, maka dapat diartikan
bahwa titik berat adalah kepada perbandingannya atau comparative memberikan
sifat kepada hukum (yang dibandingkan). Istilah perbandingan hukum, dengan
demikian menitikberatkan kepada sisi perbandingannya, bukan kepada sisi
hukumnya. Inti sedalamnya dari pengertian istilah perbandingan hukum adalah
membandingkan sistem-sistem hukumnya (Romli Atmasasmita, 2000: 7).
Beberapa definisi mengenai perbandingan hukum yang dikemukakan oleh
beberapa pakar sebagaimana dikutip oleh Romli Atmasasmita adalah sebagai
berikut:
a. Rudolf B. Schlesinger, Winterton, dan Gutteridge
Perbandingan hukum menurut Rudolf B. Schlesinger yang dikutip oleh
Romli Atmasasmita merupakan metoda penyelidikan dengan tujuan untuk
memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu.
Perbandingan hukum adalah bukanlah perangkat peraturan dan asas-asas
hukum dan bukan suatu cabang hukum, melainkan merupakan teknik untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
menghadapi unsur hukum asing dari suatu masalah hukum (Romli
Atmasasmita, 2000 : 7).
Menurut Winterton yang dikutip dalam buku Romli Atmasasmita,
perbandingan hukum adalah suatu metode yaitu perbandingan sistem hukum
dan perbandingan tersebut menghasilkan data sistem hukum yang
dihbandingkan (Romli Atmasasmita, 2000 : 7).
Perbandingan hukum menurut Gutteridge yang dikutip dalam buku
Romli Atmasasmita adalah suatu metoda perbandingan yang dapat digunakan
dalam semua cabang hukum. Ia membedakan antara comparative law dengan
foreign law (hukum asing), pengertian istilah yang pertama untuk
membandingkan dua sistem hukum atau lebih, sedangkan pengertian istilah
hukum yang kedua, adalah mempelajari hukum yang lain (Romli
Atmasasmita, 2000 : 7).
b. Lemaire, Hessel Yutema, dan Orucu
Perbandingan hukum menurut Lemaire yang dikutip oleh Romli
Atmasasmita adalah sebagai cabang ilmu pengetahuan (yang juga
mempergunakan metoda perbandingan) mempunyai lingkup (isi dari) kaidah-
kaidah hukum, persamaan dan perbedaannya, sebab-sebabnya dan dasar-dasar
kemasyarakatannya (Romli Atmasasmita, 2000:9).
Menurut Hessel Yutema yang dikutip dalam buku Romli Atmasasmita,
perbandingan hukum adalah law is simply another name for legal science, or
like other branches of science it has a universal humanistic outlook; it
contemplates hat while the technique nay vary, the problems of justice are
basically the same in time and space throughout the world. (Perbandingan
hukum hanya satu nama lain untuk ilmu hukum dan merupakan bagian yang
menyatu dari suatu ilmu sosial, atau seperti cabang ilmu lainnya.
Perbandingan hukum memiliki wawasan yang universal, sekalipun caranya
berlainan, masalah keadilan pada dasarnya baik menurut wktu dan tempat di
selruh dunia) (Romli Atmasasmita, 2000:9).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Perbandingan hukum menurut Orucu yang dikutip oleh Romli
Atmasasmita adalah comparative law is legal discipline aiming at
ascertaining similarities and differences and finding out relationship between
various legal systems, their assence and style, looking at comparable legal
institutions and concepts and typing to determine solutions to certain
problems in these systems with a definite goal in mind, such as law reform,
unificationetc. (Perbandingan hukum merupakan suatu disiplin ilmu hukum
yang bertujuan menemukan persamaan dan perbedaan serta menemukan
hubungan-hubungan yang erat antara berbagai sistem-sistem hukum, melihat
perbandingan lembaga-lembaga hukum, konsep-konsep serta mencoba
menentukan suatu penyelesaian atas masalah-masalah tertentu dalam sistem-
sistem hukum yang dimaksud dengan tujuan seperti pembaharuan hukum,
unifikasi hukum dll) (Romli Atmasasmita, 2000:9).
Mencermati definisi-definisi perbandingan hukum diatas dan menurut
analisis dari penulis bahwa terdapat dua kelompok dari definisi tersebut, yaitu
kelompok pertama yang menyatakan bahwa perbandingan hukum merupakan
suatu metoda, sementara kelompok yang kedua menyatakan bahwa
perbandingan hukum merupakan cabang dari ilmu hukum. Kedua kelompok
definisi tersebut dikemukakan sesuai dengan masanya sehingga dapat diakui
kebenarannnya. Namun demikian definisi dari kelompok yang pertama yang
akan penulis gunakan dalam penulisan hukum ini sebagai alat untuk
mengetahui persamaan dan perbedaaan dua sistem hukum.
2. Tinjauan Umum tentang Penahanan
a. Pengertian Penahanan
Menceramati pengertian penahanan berdasarkan ketentuan Pasal 1
angka 21 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana adalah “penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh
penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Penahanan juga
memiliki maksud yaitu kewenangan yang diberikan kepada penyidik untuk
melakukan pembatasan hak-hak seseorang. “Pembatasan hak tersebut antara
lain, pembatasan untuk bergerak dengan leluasa, pembatasan untuk tidak bisa
bebas tinggal di tempat yang diinginkan, dan pembatasan untuk tidak
bepergian” (Hartono, 2010: 173). Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 21
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
penahanan dapat dilakukan terhadap seseorang yang harus terlebih dahulu
berstatus hukum sebagai tersangka atau terdakwa atau seseorang yang diduga
keras sebagai pelaku tindak pidana. Penahanan dilakukan terhadap tersangka
atau terdakwa agar tidak mengganggu proses penyidikan, penuntutan, maupun
pemeriksaan hukum pengadilan sebab dikhawatirkan tersangka atau terdakwa
akan melarikan diri, merusak atu menghilangkan barang bukti maupun
mengulangi tindak pidananya.
b. Dasar Penahanan
Dasar penahanan secara yuridis tercakup dalam Pasal 21 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang
menetapkan :
Penahanan tersebut hanya dapat dilakukan terhadap tersangka atauterdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupunpemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:1) Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau
lebih;2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3),
Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat(1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-Undang HukumPidana, Pasal 25 dan 26 Rechtenordonnantie (pelanggaranterhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah denganStaatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4Undang-Undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-Undang Nomor8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8),Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 36 ayat (7),Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 48 Undang-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (LembaranNegara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran NegaraNomor 3086.
Penahanan juga harus memenuhi syarat undang-undang yang
ditentukan dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana bahwa Perintah penahanan atau penahanan
lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga
keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal
adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau
terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti
dan/atau mengulangi tindak pidana.
c. Tata Cara Penahanan
Ketentuan mengenai tata cara penahanan tersangka/terdakwa diatur
dalam Pasal 21 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana. Dalam ketentuan Pasal 21 ayat (2) tersebut menyatakan
bahwa:
penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik ataupenuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikansurat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkanidentitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahananserta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan ataudidakwakan serta tempat ia ditahan.
Selain memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim
terdapat ketentuan lain yang tercantum dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu “Tembusan
surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya”.
Mencermati ketentuan tersebut maka keluarga wajib menerima tembusan surat
penahanan supaya keluarga mendapatkan kepastian atas penahanan tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
d. Jenis Tahanan
Klasifikasi jenis tahanan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Jenis
penhanan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana dapat berupa :
1) Penahanan Rumah Tahanan Negara (Rutan)
Penahanan tersangka atau terdakwa yang masih dilakukan proses
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan pengadilan yang dilakukan di
rumah tahanan negara (Rutan). Berdasarkan Pasal 19 PP No. 27/1983 jo.
Pasal 1 Peraturan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.06 Tahun 1983
dijelaskan mengenai siapa yang diperbolehkan ditempatkan dalam rumah
tahanan negara (Rutan) yaitu:
a) Di dalam Rutan ditempatkan tahanan yang masih dalam prosespenyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di Pengadilan Negeri,Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung, dan
b) Semua tahanan berada ditempatkan dalam Rutan tanpa kecuali,tetapi tempat tahanan dipisahkan berdasarkan:(1) Jenis kelamin,(2) Umur, dan(3) Tingkat pemeriksaan
2) Penahanan Rumah
Penahanan dilakukan di rumah “tempat tinggal” atau “rumah
kediaman” tersangka atau terdakwa. Selama tersangka/terdakwa berada
dalam tahanan rumah, dia harus “diawasi”. Jadi terhadap
tersangka/terdakwa yang sedang menjalani penahanan rumah berada
dalam “pengawasan” pejabat yang melakukan tindakan penahanan rumah
(M. Yahya Harahap, 2009: 181).
3) Penahanan Kota
Dalam Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa penahanan kota
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
dilaksanakan di kota tempat tinggal atau kediaman tersangka atau
terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor pada
waktu yang ditentukan. Berdasarkan bunyi pasal tersebut maka
penahanan kota berbeda dengan penahanan rumah yang harus diawasi.
Tersangka/terdakwa yang menjalani tahanan kota hanya diberikan
kewajiban untuk melapor pada waktu tertentu yang telah ditentukan.
4) Batas Waktu Penahanan
Setiap instansi penegak hukum diberi wewenang untuk melakukan
penahanan terhadap tersangka/terdakwa dan lamanaya waktu penahanan
yang dilkukan telah diatur oleh undang-undang. Berdasarkan Pasal 24
ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana waktu penahanan yang diberikan kepada penyidik selama 20 (dua
puluh) hari. Namun apabila kepentingan pemeriksaan penyidikan belum
selesai dapat diperpanjang penuntut umum selama 40 (empat puluh) hari
sesuai dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana.
Penuntut umum juga memiliki wewenang untuk melakukan
penahanan selama 20 (dua puluh) hari sesuai Pasal 25 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Berdasarkan
Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana apabila diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan yang
belum selesai ketua pengadilan negeri dapat melakukan perpanjangan
selama 30 (tiga puluh) hari.
Hakim pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan hakim
mahkamah agung memiliki kewenangan melakukan penahanan selama 30
(tiga puluh) hari sesuai Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28
ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana. Namun jangka waktu tersebut dapat diperpanjang oleh ketua
pengadilan yang bersangkutan selama 60 (enam puluh) hari.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
3. Tinjauan Umum Tentang Penangguhan Penahanan (bail) di Indonesia dan
Filipina
a. Penangguhan Penahanan (bail) di Indonesia
Membahas mengenai penangguhan penahanan (bail) tidak mungkin
terleas dari unsur jaminan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana mengatur mengenai penangguhan penahanan (bail)
dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa atas permintaan tersangka atau
terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim dapat mengadakan
penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang,
beradasarkan syarat yang ditentukan. Sedangkan menurut M. Yahya Harahap,
penangguhan penahanan (bail) adalah penangguhan tahanan tersangka atau
terdakwa dari penahanan, mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari
penahanan sebelum batas waktu penahanannya berakhir (M. Yahya Harahap,
2009: 213).
Berdasarkan pengertian dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tersebut maka diperoleh penegasan
pula bahwa penangguhan penahanan (bail) berbeda dengan pembebasan dari
tahanan. Hal yang membedakan yaitu jika pembebasan dari tahanan adalah
membebaskan tersangka/terdakwa dari tahanan tanpa syarat sedangkan
penangguhan penahanan (bail) memberikan syarat terhadap
tersangka/terdakwa yang ditangguhkan penahanannya.
Penegasan dan rincian syarat yang harus ditetapkan dalam pemberian
penangguhan penahanan (bail) dijelaskan dalam penjelasan Pasal 31 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Dari penjelasan
Pasal 31 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
diperoleh penegasan syarat yang dapat ditetapkan bagi instansi yang menahan
yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
1) Wajib lapor;
2) Tidak keluar rumah, atau
3) Tidak keluar kota.
b. Penangguhan Penahanan (bail) di Filipina
Peraturan perundang-undangan di Indonesia dengan di Filipina
konsepnya sangat berbeda jauh. Di Indonesia peraturan perundang-undangan
hanya dibuat oleh eksekutif dan legislatif. Di Filipina tidak hanya kedua
lembaga itu, tetapi juga lembaga-lembaga lainnya. “Philippine documents
collected and reviewed include legal and policy documents issued by the
executive, legislative and judicial branches of government and selected
guidelines issued by private educational and religious institutions” (Rowena
D. Cordera, 2006: 1). Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, maka
artinya adalah Peraturan perundang-undangan di Filipina merupakan aturan
hukum dan kebijakan yang dibuat oleh eksekutif, legislatif dan yudikatif dan
pedomannya berdasarkan oleh lembaga pendidikan dan lembaga keagamaan.
Sehingga peraturan perundag-undangan di Filipina memperhatikan berbagai
aspek, begitu juga apabila dikaitkan dengan pengaturan tentang penangguhan
penahanannya.
Pengaturan penangguhan penahanan (bail) di Indonesia diatur dalam
KUHAP sedangkan pengaturan penangguhan penahanan (bail) di Filipina
diatur dalam Philippine Rules of Criminal Procedure Rules 110 to 127.
Berbeda dengan Indonesia, Filipina lebih tegas dan efektif dalam mengatur
mengenai penangguhan penahanan (bail) yang diajukan oleh tersangka
maupun terdakwa di negaranya. Dalam Philippine Rules of Criminal
Procedure Rule 114 Section 1 “Bail is the security given for the release of a
erson in custody of the law, furnished by him or a bondsman, to guarantee his
appearance before any court as required under the conditions here in after
secifified. Bail may be given in the form of corporate surety, property bond,
cash deposit, or recognizance” (penangguhan penahahan adalah jaminan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
keamanan yang diberikan untuk membebaskan orang dalam tahanan, yang
dibayarkan oleh orang yang ditahan tersebut atau penjaminnya, untuk
menjamin kehadirannya di pengadilan sesuai persyaratan yang diatur
selanjutnya. Penangguhan penahanan dapat diberikan dalam bentuk jaminan
perusahaan, properti obligasi, setoran tunai, atau pengakuan). Selanjutnya
mengenai pedoman jumlah uang jaminan yang akan diajukan dalam
penangguhan penahanan (bail) diatur dalam Pasal 114 ayat (9) yaitu:
“the judge who issued the warrant or granted the application shall fix areasonable amount of bail considering primarily, but not limited to thefollowing factors: financial liability of the accused to give bail, natureand circumstance of the offense, penalty for the offense charged,character and reputation of the accused, age and health of the accused,weight of the evidance against the accused, probability of the accusedappearing at the trial, forfeiture of other bail. Excessive bail shall not berequired.”
(hakim yang mengeluarkan surat perintah atau diberikan surat jaminan akan
menetapkan jumlah jaminan yang wajar, tetapi bukannya tidak terbatas tetap
memperhatikan faktor-faktor berikut: kemampuan finansial terdakwa untuk
memberikan jaminan, sifat dan keadaan pelanggaran, denda pelanggaran,
watak dan reputasi terdakwa, umur dan kesehatan terdakwa, berat bukti
terhadap terdakwa, kemungkinan terdakwa hadir di pengadilan, kehilangan
hak jaminan lainnya, fakta bahwa terdakwa buron saat ditangkap dan
menunggu hasil kasus lain di mana terdakwa juga merupakan tahanan dengan
jaminan. Jaminan yang berlebihan tidak diperlukan). Menurut Morales JR,
“The Revised Rules of Court define the concept of bail as The security
required and given for the release of a person who is in the custody of the law
that he will appear before any court in which his appearance may be required
as stipulated in the bail bond or recognizance” (Morales JR, 1986: 88).
Apabila diterjemahkan dalam bahasa indonesia, maka dapat diartikan bahwa,
“Aturan hukum (di Filipina) mendefinisikan konsep jaminan sebagai suatu
jaminan keamanan yang diperlukan dan diberikan untuk membebaskan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
seseorang yang berada dalam tahanan di mana orang tersebut dikarenakan
jaminan yang diberikannya akan hadir dalam pengadilan dan kehadirannya
merupakan suatu kewajiban sebagaimana yang diatur dalam perjanjian
jaminan atau pengakuan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Penegakan hak asasimanusia dalam lingkup
hukum acara pidana
PenangguhanPenahanan
Ketentuan PenangguhanPenahanan (bail) Indonesia
diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum AcaraPidana
Ketentuan PenangguhanPenahanan (bail) Filipinadiatur dalam Philippine
Rules of CriminalProcedure Rules 110 to
127
Persamaan
Perbedaan
Kelebihan
Kekurangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Keterangan:
Penegakan dan perlindungan hak asasi manusia saat ini sedang mendapat
sorotan yang sangat tajam dari berbagai kalangan. Demikian pula dalam pelaksanaan
perlindungan hak asasi manusia dalam lingkup hukum acara pidana yang diwujudkan
melalui pemberian penangguhan penahanan (bail) kepada tersangka atau terdakwa.
Dalam penulisan hukum ini, penulis mencoba mengkaji lebih dalam mengenai
pengaturan penangguhan penahanan (bail) yang ada di Indonesia yang seluruhnya
diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
kemudian penulis mengkomparasikan dengan pengaturan penangguhan penahanan
(bail) di negara Filipina yang semuanya tertuang dalam Philippine Rules of Criminal
Procedure Rules 110 to 127. Selanjutnya penulis mencoba mencari dan
mendeskripsikan persamaan dan perbedaan pengaturan penangguhan penahanan
(bail) di kedua negara tersebut. Setelah mengetahui persamaan dan perbedaannya
kemudian penulis mengkaji lagi kelebihan dan kekurangan pengaturan penangguhan
penahanan (bail) antara kedua negara tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Persamaan dan Perbedaan Penangguhan Penahanan (Bail) dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 dengan Philippine Rules of Criminal
Procedure Rules 110 to 127
Mencermati penangguhan penahanan (bail) di Indonesia maupun Filipina
tentunya harus didahului dengan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan
(produk hukum) yang melandasinya. Di Indonesia tentunya produk hukum yang
dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana khususnya pada Pasal 31, serta peraturan pelaksanaan lainnya yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana sebagaiman telah diubah dan ditambah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, adapun di Filipina penangguhan penahanan (bail) diatur dalam Philipphine
Rules of Criminal Procedure Rule 114.
Guna mempermudah pengkajian terhadap perbandingan kedua produk hukum
tersebut, berikut penulis sajikan beberapa Pasal yang dimaksud:
Tabel 1. Perbandingan Perundang-Undangan Mengenai Penangguhan Penahanan
(bail) di Indonesia dengan Filipina
Indonesia Filipina
Pasal 31 ayat (1) UndangUndang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana:
Atas permintaan tersangka atau
terdakwa, penyidik atau penuntut umum
Philippine Rules of Criminal
Procedure Rule 114 section 1:
Bail is the security given for the
release of a erson in custody of the
law, furnished by him or a
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
atau hakim, sesuai dengan kewenangan
masing-masing, dapat mengadakan
penangguhan penahanan dengan atau
tanpa jaminan uang atau jaminan orang,
berdasarkan syarat yang ditentukan.
bondsman, to guarantee his
appearance before any court as
required under the conditions here in
after secifified. Bail may be given in
the form of corporate surety,
property bond, cash deposit, or
recognizance (1a).
(Penangguhan penahahan adalah
jaminan keamanan yang diberikan
untuk membebaskan orang dalam
tahanan, yang dibayarkan oleh orang
yang ditahan tersebut atau
penjaminnya, untuk menjamin
kehadirannya di pengadilan sesuai
persyaratan yang diatur selanjutnya.
Penangguhan penahanan dapat
diberikan dalam bentuk jaminan
perusahaan, properti obligasi, setoran
tunai, atau pengakuan (1a)).
Pasal 31 ayat (2) UndangUndang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana:
Karena jabatannya penyidik atau
penuntut umum atau hakim sewaktu-
waktu dapat mencabut penangguhan
penahanan dalam hal tersangka atau
terdakwa melanggar syarat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Philippine Rules of Criminal
Procedure Rule 114 section 2:
Conditions of the bail;
requirements.—All kinds of bail are
subject to the following conditions:
(a) The undertaking shall be
effective upon approval, and
unless cancelled, shall remain in
force at all stages of the case
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
until promulgation of the
judgment of the Regional Trial
Court, irrespective of whether the
case was originally filed in or
appealed to it;
(b) The accused shall appear before
the proper court whenever
required by the court or these
Rules;
(c)The failure of the accused to
appear at the trial without
justification and despite due
notice shall be deemed a waiver
of his right to be present thereat.
In such case, the trial may
proceed in absentia; and
(d)The bondsman shall surrender the
accused to the court for execution
of the final judgment.
The original papers shall state
the full name and address of the
accused, the amount of the
undertaking and the conditions
required by this section.
Photographs (passport size) taken
within the last six (6) months
showing the face, left and right
profiles of the accused must be
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
attached to the bail. (2a)
(Kondisi jaminan; Persyaratan.
Semua jenis jaminan harus sesuai
dengan kondisi berikut:
(a) usaha akan berlaku setelah
disetujui, kecuali dibatalkan,
akan tetap berlaku pada semua
tahap kasus sampai
dikeluarkannya putusan
Mahkamah Pengadilan Daerah,
terlepas dari apakah kasus
tersebut merupakan pengajuan
awal atau pengajuan banding;
(b) Terdakwa harus hadir di
pengadilan bila diperlukan oleh
pengadilan dari;
(c) Ketidakhadiran terdakwa di
pengadilan tanpa alasan akan
diabaikan haknya menghadiri
pengadilan tersebut. Dalam hal
demikian, persidangan dapat
dilanjutkan tanpa kehadirannya,
dan
(d) Penjamin harus menyerahkan
terdakwa ke pengadilan untuk
pengambilan putusan terakhir.
Dokumen asli harus mencantumkan
nama lengkap dan alamat terdakwa,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
jumlah usaha dan kondisi lain yang
diperlukan. Foto (ukuran paspor)
yang diambil dalam enam (6) bulan
terakhir menampilkan wajah, tampak
kiri dan kanan terdakwa harus
dilampirkan di jaminan. (2a)
Pasal 35 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 1983 Tentang
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana sebagaimana telah
diubah dan ditambah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010
Tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983
Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana :
Uang jaminan penangguhan penahanan
yang ditetapkan oleh pejabat yang
berwenang sesuai denagn tingkat
pemeriksaan, disimpan di kepaniteraan
pengadilan negeri.
Philippine Rules of Criminal
Procedure Rule 114 section 3:
No release or transfer except on
court order or bail.—No person
under detention by legal process
shall be released or transferred
except upon order of the court or
when he is admitted to bail. (3a)
(Tidak ada pembebasan atau
pemindahan kecuali pada perintah
pengadilan atau jaminan. —Tidak
ada tahanan yang dibebaskan atau
dipindahkan kecuali atas perintah
pengadilan atau ketika ia mempunyai
jaminan. (3a)
Pasal 35 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 1983 Tentang
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana sebagaimana telah
diubah dan ditambah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010
Tentang Perubahan Atas Peraturan
Philippine Rules of Criminal
Procedure Rule 114 section 4:
Bail, a matter of right; exception.—
All persons in custody shall be
admitted to bail as a matter of right,
with sufficient sureties, or released
on recognizance as prescribed by
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983
Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana:
Apabila tersangka atau terdakwa
melarikan diri dan setelah lewat waktu 3
(tiga) bulan tidak diketemukan, uang
jaminan tersebut menjadi milik negara
da disetor ke Kas Negara.
law or this Rule:
(a) before or after conviction by the
Metropolitan Trial Court,
Municipal Trial Court,
Municipal Trial Court in Cities,
or Municipal Circuit Trial
Court, and
(b) before conviction by the
Regional Trial Court of an
offense not punishable by death,
reclusion perpetua, or life
imprisonment. (4a)
(Jaminan; Hak dan Pengecualian
Semua tahanan berhak mengeluarkan
jaminan, dengan penjamin yang
cukup, atau yang diperbolehkan oleh
hukum atau peraturan ini:
(a) Sebelum atau setelah
dijatuhkannya hukuman oleh
Mahkamah Pengadilan Pusat,
Pengadilan Pngajuan Perkara,
Pengadilan Pengajuan Perkara
Daerah, atau Pengadilan
Pemeriksaan Sirkuit, dan
(b) Sebelum dijatuhkannya
huk`uman oleh Pengadilan
Pengadilan Daerah yang berupa
hukuman mati, reclusion
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
perpetua, atau penjara seumur
hidup. (4a)
Pasal 36 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 1983 Tentang
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana sebagaiman telah
diubah dan ditambah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010
Tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983
Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana:
Dalam hal jaminan itu adalah orang,
dan tersangka atau terdakwa melarikan
diri maka setelah lewat waktu 3 (tiga)
bulan tidak diketemukan, penjamin
diwajibkan membayar uang yang
jumlahnya telah ditetapkan oleh pejabat
yang berwenang sesuai dengan tingkat
pemeriksaan.
Philippine Rules of Criminal
Procedure Rule 114 section 5:
Bail, when discretionary.—Upon
conviction by the Regional Trial
Court of an offense not punishable
by death, reclusion perpetua, or life
imprisonment, admission to bail is
discretionary. The application for
bail may be filed and acted upon by
the trial court despite the filing of a
notice of appeal, provided it has not
transmitted the original record to the
appellate court. However, if the
decision of the trial court convicting
the accused changed the nature of
the offense from non-bailable to
bailable, the application for bail can
only be filed with and resolved by the
appellate court.
Should the court grant the
application, the accused may be
allowed to continue on provisional
liberty during the pendency of the
appeal under the same bail subject to
the consent of the bondsman.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
If the penalty imposed by the trial
court is imprisonment exceeding six
(6) years, the accused shall be
denied bail, or his bail shall be
cancelled upon a showing by the
prosecution, with notice to the
accused, of the following or other
similar circumstances:
(a) That he is a recidivist, quasi-
recidivist, or habitual delinquent,
or has committed the crime
aggravated by the circumstance
of reiteration;
(b) That he has previously escaped
from legal confinement, evaded
sentence, or violated the
conditions of his bail without
valid justification;
(c) That he committed the offense
while under probation, parole, or
conditional pardon;
(d) That the circumstances of his
case indicate the probability of
flight if released on bail; or
(e) That there is undue risk that he
may commit another crime during
the pendency of the appeal.
The appellate court may, motu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
proprio or on motion of any
party, review the resolution of the
Regional Trial Court after notice
to the adverse party in either
case. (5a)
Jaminan; ketika berupa pilihan. —
Apabila keputusan hukuman oleh
Pengadilan Pengadilan Daerah bukan
berupa hukuman mati, reclusion
perpetua, atau penjara seumur hidup,
hak mengajukan jaminan merupakan
pilihan. Permohonan jaminan dapat
diajukan dan ditindaklanjuti oleh
sidang pengadilan meskipun berupa
pengajuan permohonan banding,
asalkan tidak melanjutkan catatan
asli ke pengadilan banding. Namun,
jika keputusan sidang pengadilan
tentang hukuman terdakwa
mengubah pelanggaran tanpa
jaminan menjadi pelanggaran dengan
jaminan, permohonan jaminan hanya
dapat diajukan dan diselesaikan oleh
pengadilan banding.
Jika pengadilan mengabulkan
pengajuan itu, terdakwa
diperbolehkan bebas untuk
sementara selama menunggu hasil
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
banding dengan jaminan yang sama
atas ijin penjamin.
Jika hukuman yang dijatuhkan oleh
sidang pengadilan adalah hukuman
penjara melebihi enam (6) tahun,
jaminan terdakwa harus ditolak, atau
jaminannya akan dibatalkan dengan
menunjukkan penuntutan, dengan
pemberitahuan kepada terdakwa,
tentang kondisi sebagai berikut:
(a) Bahwa ia adalah tunggakan
residivis, kuasi-residivis, atau
kebiasaan, atau telah melakukan
kejahatan berulang-ulang;
(b) Bahwa ia sebelumnya telah
lolos dari kurungan hukum,
menghindari hukuman, atau
melanggar ketentuan jaminan
tanpa justifikasi yang valid;
(c) Bahwa ia melakukan
pelanggaran tersebut sementara
di bawah masa percobaan,
pembebasan bersyarat, atau
pengampunan bersyarat;
(d) Bahwa keadaan kasus itu
menunjukkan kemungkinan
melarikan diri jika dibebaskan
dengan jaminan, atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
(e) Bahwa ada risiko yang
berbahaya bahwa ia mungkin
melakukan kejahatan lain
selama menunggu hasil banding.
Pengadilan Tinggi dapat,
berdasarkan motu proprio atau pada
mosi salah satu pihak, meninjau
putusan Pengadilan Pengadilan
Daerah setelah pemberitahuan
kepada pihak yang merugikan dalam
kedua kasus. (5a)
Philippine Rules of Criminal
Procedure Rule 114 section 6:
Capital offense, defined.—A capital
offense is an offense which, under the
law existing at the time of its
commission and of the application
for admission to bail, may be
punished with death. (6a)
Pelanggaran Berat. —Sebuah
pelanggaran berat adalah
pelanggaran yang, berdasarkan
hukum yang ada pada saat kejahatan
itu dilakukan dan berdasarkan
pernyataan dalam jaminan, dapat
dihukum dengan kematian. (6a)
Pasal 36 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 1983 Tentang
Philippine Rules of Criminal
Procedure Rule 114 section 7:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana sebagaimana telah
diubah dan ditambah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010
Tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983
Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana:
Uang yang dimaksud dalam ayat (1)
harus disetor ke Kas Negara melalui
panitera pengadilan negeri.
Capital offense or an offense
punishable by reclusion perpetua or
life imprisonment, not bailable. —
No person charged with a capital
offense, or an offense punishable by
reclusion perpetua or life
imprisonment, shall be admitted to
bail when evidence of guilt is strong,
regardless of the stage of the
criminal prosecution. (7a)
Pelanggaran berat terhadap tindak
pidana yang diancam dengan
reclusion Perpetua atau penjara
seumur hidup, tidak dapat diberi
jaminan. -Terdakwa yang melakukan
tindak modal, atau kejahatan yang
diancam dengan reclusion perpetua
atau penjara seumur hidup, tidak
akan diterima jaminannya ketika
bukti kejahatannya kuat, terlepas dari
tahap penuntutan pidana. (7a)
Pasal 36 ayat (3) Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 1983 Tentang
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana sebagaiman telah
diubah dan ditambah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010
Tentang Perubahan Atas Peraturan
Philippine Rules of Criminal
Procedure Rule 114 section 8:
Burden of proof in bail application.
At the hearing of an application for
bail filed by a person who is in
custody for the commission of an
offense punishable by death,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983
Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana:
Apabila penjamin tidak dapat
membayar sejumlah uang yang
dimaksud ayat (1) juru sita menyita
barang miliknya untuk dijual lelang dan
hasilnya disetor ke kas negara melalui
panitera pengadilan negeri.
reclusion perpetua, or life
imprisonment, the prosecution has
the burden of showing that evidence
of guilt is strong. The evidence
presented during the bail hearing
shall be considered automatically
reproduced at the trial but, upon
motion of either party, the court may
recall any witness for additional
examination unless the latter is dead,
outside the Philippines, or otherwise
unable to testify. (8a)
(Beban pembuktian dalam surat
jaminan. Pada sidang permohonan
jaminan yang diajukan oleh tahanan
untuk tindak pidana yang diancam
dengan kematian, reclusion
perpetua, atau penjara seumur hidup,
jaksa memiliki kewajiban untuk
menunjukkan bahwa bukti kuat
tentang kesalahannya. Bukti yang
ditunjukkan dalam sidang jaminan
secara otomatis direproduksi di
pengadilan, tetapi setelah ada mosi
dari salah satu pihak, pengadilan
dapat memangil saksi untuk
pemeriksaan tambahan saksi telah
mati, berada di luar Filipina, atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
tidak mampu untuk bersaksi. (8a))
Philippine Rules of Criminal
Procedure Rule 114 section 9:
The judge who issued the warrant or
granted the application shall fix a
reasonable amount of bail
considering primarily, but not
limited to the following factors:
financial liability of the accused to
give bail, nature and circumstance of
the offense, penalty for the offense
charged, character and reputation of
the accused, age and health of the
accused, weight of the evidance
against the accused, probability of
the accused appearing at the trial,
forfeiture of other bail. Excessive
bail shall not be required.” (hakim
yang mengeluarkan surat perintah
atau diberikan surat jaminan akan
menetapkan jumlah jaminan yang
wajar, tetapi bukannya tidak terbatas
tetap memperhatikan faktor-faktor
berikut: kemampuan finansial
terdakwa untuk memberikan
jaminan, sifat dan keadaan
pelanggaran, denda pelanggaran,
watak dan reputasi terdakwa, umur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
dan kesehatan terdakwa, berat bukti
terhadap terdakwa, kemungkinan
terdakwa hadir di pengadilan,
kehilangan hak jaminan lainnya,
fakta bahwa terdakwa buron saat
ditangkap dan menunggu hasil kasus
lain di mana terdakwa juga
merupakan tahanan dengan jaminan.
Jaminan yang berlebihan tidak
diperlukan)
Dalam Philippine Rules of Criminal
Procedure Rule 114 section 10:
Corporate surety.—Any domestic or
foreign corporation, licensed as a
surety in accordance with law and
currently authorized to act as such,
may provide bail by a bond
subscribed jointly by the accused and
an officer of the corporation duly
authorized by its board of directors.
(10a)
(Perusahaan penjamin. Setiap
perusahaan domestik maupun asing,
izin sebagai jaminan sesuai dengan
hukum yang berlaku, dapat
memberikan jaminan obligasi oleh
terdakwa dan seorang petugas dari
perusahaan tersebut yang diberi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
kewenangan oleh dewan direksi.
(10a))
Dalam Philippine Rules of Criminal
Procedure Rule 114 section 11:
Property bond, how posted. A
property bond is an undertaking
constituted as lien on the real
property given as security for the
amount of the bail. Within ten (10)
days after the approval of the bond,
the accused shall cause the
annotation of the lien on the
certificate of title on file with the
Registry of Deeds if the land is
registered, or if unregistered, in the
Registration Book on the space
provided therefor, in the Registry of
Deeds for the province or city where
the land lies, and on the
corresponding tax declaration in the
office of the provincial, city and
municipal assessor concerned.
Within the same period, the accused
shall submit to the court his
compliance and his failure to do so
shall be sufficient cause for the
cancellation of the property bond
and his re-arrest and detention.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
(11a)
(Obligasi properti, cara pemasangan.
Obligasi properti adalah pekerjaan
yang merupakan hak gadai pada
properti nyata yang diberikan
sebagai jaminan untuk jumlah
jaminan tersebut. Dalam waktu
sepuluh (10) hari sejak tanggal
persetujuan obligasi, terdakwa harus
menyatakan keterangan tentang hak
gadai pada surat resmi dengan Daftar
Akta jika lahan tersebut terdaftar,
atau jika tidak terdaftar, dalam Buku
Pendaftaran pada ruang yang
disediakan untuk itu, dalam Daftar
Akta di provinsi atau kota tempat
lahan tersebut terletak, dan pada
deklarasi pajak terkait dalam kantor
provinsi, kota dan kantor penilai.
Dalam periode yang sama, terdakwa
harus mengajukan ke pengadilan
tentang pemenuhan permohonannya
dan bila ia gagal melakukannya
maka obligasi propertinya akan
dibatalkan dan ia kembali ditangkap
dan ditahan. (11a))
Dalam Philippine Rules of Criminal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Procedure Rule 114 section 12:
Qualifications of sureties in property
bond.—The qualifications of sureties
in a property bond shall be as
follows:
(a) Each must be a resident owner of
real estate within the Philippines
(b) Where there is only one surety,
his real estate must be worth at
least the amount of undertaking;
(c) If there are two or more sureties,
each may justify in an amount
less than that expressed in the
undertaking but the aggregate of
the justified sums must be
equivalent to the whole amount of
the bail demanded.
In all cases, every surety must be
worth the amount specified in his
own undertaking over and above
all just debts, obligations and
properties exempt from
execution.(12a)
(Syarat penjamin pada obligasi
properti. Penjamin dalam obligasi
properti adalah sebagai berikut:
(a) Setiap penjamin harus menjadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
pemilik real estate dalam Filipina;
(b) Bila hanya ada satu jaminan, real
estate-nya harus bernilai paling
tidak dari jumlah jaminan
tersebut;
(c) Jika ada dua atau lebih penjamin,
masing-masing boleh bernilai
yang kurang dari yang dinyatakan
dalam jaminan tetapi apabila
digabungkan jumlah tersebut
harus setara dengan jumlah
seluruh jaminan yang diminta.
Setiap jaminan harus sebanding
dengan jumlah usahanya di atas
semua kewajiban utangnya, tidak
termasuk obligasi dan properti.(12a))
Dalam Philippine Rules of Criminal
Procedure Rule 114 section 13:
Justification of sureties.—Every
surety shall justify by affidavit taken
before the judge that he possesses
the qualifications prescribed in the
preceding section. He shall describe
the property given as security,
stating the nature of his title, its
encumbrances, the number and
amount of other bails entered into by
him and still undischarged, and his
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
other liabilities. The court may
examine the sureties upon oath
concerning their sufficiency in such
manners it may deem proper. No bail
shall be approved unless the surety is
qualified. (13a)
(Pengesahan jaminan. Setiap
jaminan akan disahkan dengan
pernyataan tertulis di hadapan hakim
bahwa dia telah melengkapi syarat
yang ditetapkan dalam ayat
sebelumnya. Dia harus menjelaskan
properti yang diberikan sebagai
jaminan, yang menyatakan sifatnya,
sitaan, jumlah jaminan lainnya yang
dia buat, dan kewajiban lain.
Pengadilan dapat memeriksa
penjamin melalui sumpah tentang
kecukupan mereka dengan cara yang
dianggap tepat. yang disetujui adalah
jaminan yang memenuhi syarat.
(13a))
Dalam Philippine Rules of Criminal
Procedure Rule 114 section 14
dinyatakan:
Deposit of cash as bail. The accused
or any person acting in his behalf
may deposit in cash with the nearest
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
collector of internal revenue or
provincial, city, or municipal
treasurer the amount of bail fixed by
the court, or recommended by the
prosecutor who investigated or filed
the case. Upon submission of a
proper certificate of deposit and a
written undertaking showing
compliance with the requirements of
section 2 of this Rule, the accused
shall be discharged from custody.
The money deposited shall be
considered as bail and applied to the
payment of fine and costs while the
excess, if any, shall be returned to
the accused or to whoever made the
deposit. (14a)
(Terdakwa atau orang yang bertindak
atas namanya dapat menyimpan
dalam bentuk tunai dengan kolektor
terdekat atau pendapatan internal
atau bendahara provinsi, atau kota,
jumlah jaminan yang ditetapkan oleh
pengadilan atau yang
direkomendasikan oleh jaksa yang
menyelidiki atau mengajukan kasus
ini. Setelah penyerahan sertifikat
yang tepat dari deposito dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
perjanjian tertulis yang menunjukkan
telah memenuhi persyaratan ayat 2
Peraturan ini, terdakwa dibebaskan
dari tahanan. Uang yang disimpan
merupakan jaminan dan untuk
pembayaran denda dan biaya
sementara kelebihannya, jika ada,
akan dikembalikan kepada terdakwa
atau siapa pun yang membuat
deposit.(14a))
Dalam Philippine Rules of Criminal
Procedure Rule 114 section 15:
Justification of sureties. Every surety
shall justify by affidavit taken before
the judge that he possesses the
qualifications prescribed in the
preceding section. He shall describe
the property given as security,
stating the nature of his title, its
encumbrances, the number and
amount of other bails entered into by
him and still undischarged, and his
other liabilities. The court may
examine the sureties upon oath
concerning their sufficiency in such
manners it may deem proper. No bail
shall be approved unless the surety is
qualified. (13a)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
(Pengesahan jaminan. Setiap jaminan
akan disahkan dengan pernyataan
tertulis di hadapan hakim bahwa dia
telah melengkapi syarat yang
ditetapkan dalam ayat sebelumnya.
Dia harus menjelaskan properti yang
diberikan sebagai jaminan, yang
menyatakan sifatnya, sitaan, jumlah
jaminan lainnya yang dia buat, dan
kewajiban lain. Pengadilan dapat
memeriksa penjamin melalui sumpah
tentang kecukupan mereka dengan
cara yang dianggap tepat. yang
disetujui adalah jaminan yang
memenuhi syarat. (13a))
Dalam Philippine Rules of Criminal
Procedure Rule 114 section 16:
Bail, when not required; reduced
bail or recognizance. No bail shall
be required when the law or these
Rules so provide.
When a person has been in custody
for a period equal to or more than
the possible maximum imprisonment
prescribed for the offense charged,
he shall be released immediately,
without prejudice to the continuation
of the trial or the proceedings on
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
appeal. If the maximum penalty to
which the accused may be sentenced
is destierro, he shall be released
after thirty (30) days of preventive
imprisonment.
A person in custody for a period
equal to or more than the minimum
of the principal penalty prescribed
for the offense charged, without
application of the Indeterminate
Sentence Law or any modifying
circumstance, shall be released on a
reduced bail or on his own
recognizance, at the discretion of the
court. (16a)
(Jaminan, yang tidak diperlukan,.
dikurangi atau tidak diakui.No bail
shall be required when the law or
these Rules so provide. - Jaminan
tidak diakui jika hukum atau Aturan
ini menetapkan sebagai berikut.
Ketika seseorang telah berada dalam
tahanan untuk jangka waktu sama
atau lebih dari jangka waktu
hukuman penjara yang mungkin
dijatuh kan atas pelanggarannya, ia
akan segera dibebaskan, tanpa
mempengaruhi kelanjutan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
persidangan atau proses banding.
Jika hukuman maksimum terdakwa
adalah destierro, ia akan dibebaskan
setelah tiga puluh (30) hari dari
penjara.
Seseorang yang berada dalam
tahanan untuk jangka waktu sama
dengan atau lebih dari jangka waktu
minimum, tanpa pernyataan UU tak
tentu, akan dibebaskan berdasarkan
jaminan atau pengakuan sendiri, atas
kebijakan pengadilan. (16a))
Dalam Philippine Rules of Criminal
Procedure Rule 114 section 17:
Bail, where filed
(a) Bail in the amount fixed may be
filed with the court where the
case is pending, or in the absence
or unavailability of the judge
thereof, with any regional trial
judge, metropolitan trial judge,
municipal trial judge, or
municipal circuit trial judge in
the province, city, or
municipality. If the accused is
arrested in a province, city, or
municipality other than where the
case is pending, bail may also be
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
filed with any regional trial court
of said place, or if no judge
thereof is available, with any
metropolitan trial judge,
municipal trial judge, or
municipal circuit trial judge
therein.
(b) Where the grant of bail is a
matter of discretion, or the
accused seeks to be released on
recognizance, the application
may only be filed in the court
where the case is pending,
whether on preliminary
investigation, trial, or appeal.
(c) Any person in custody who is not
yet charged in court may apply
for bail with any court in the
province, city, or municipality
where he is held. (17a)
(a) Jaminan dalam jumlah yang
telah ditetapkan dapat diajukan
ke pengadilan di mana kasus ini
tertunda, atau karena tidak
adanya atau tidak tersedianya
hakim, dengan hakim daerah,
hakim pengadilan pusat, hakim
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
pengadilan kota, atau hakim
pengadilan di provinsi atau kota.
Jika terdakwa ditangkap di
sebuah provinsi, atau kota lain
selain di mana kasus ini
tertunda, jaminan juga dapat
diajukan ke pengadilan tingkat
regional, atau jika hakim tidak
tersedia, dengan hakim
pengadilan pusat, hakim
pengadilan kota, atau hakim
pengadilan di kota trersebut.
(b) Pemberian jaminan merupakan
pilihan, atau tertuduh akan
dibebaskan berdasar pengakuan,
aplikasi hanya dapat diajukan di
pengadilan di mana kasus ini
tertunda, baik pada penyelidikan
awal, percobaan, atau naik
banding.
(c) Tahanan yang belum dijatuhi
hukuman di pengadilan dapat
meminta jaminan di pengadilan
di provinsi, atau kota di mana
kasusnya diselenggarakan.(17a)
Dalam Philippine Rules of Criminal
Procedure Rule 114 section 18:
Notice of application to prosecutor.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
In the application for bail under
section 8 of this Rule, the court must
give reasonable notice of the hearing
to the prosecutor or require him to
submit his recommendation. (18a)
(Pemberitahuan aplikasi untuk jaksa.
Pada aplikasi untuk jaminan
berdasarkan ayat 8 peraturan ini,
pengadilan harus memberikan
pemberitahuan tentang persidangan
untuk jaksa atau memeritahkannya
untuk menyerahkan rekomendasinya.
(18a))
Dalam Philippine Rules of Criminal
Procedure Rule 114 section 19:
Release on bail. The accused must be
discharged upon approval of the bail
by the judge with whom it was filed
in accordance with section 17 of this
Rule.
When bail is filed with a court other
than where the case is pending, the
judge who accepted the bail shall
forward it, together with the order of
release and other supporting papers,
to the court where the case is
pending, which may, for good
reason, require a different one to be
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
filed. (19a)
(Pembebasan dengan jaminan.
Terdakwa harus dibebaskan sesuai
persetujuan jaminan oleh hakim yang
menerima pengajuan jaminan sesuai
dengan pasal 17 peraturan ini.
Apabila jaminan diajukan ke
pengadilan lain di tempat selain
kasus ini tertunda, hakim yang
menerima surat pengajuan jaminan
harus meneruskannya, bersama
dengan surat-surat pendukung
lainnya, ke pengadilan di mana kasus
ini tertunda, yang mungkin
memerlukan berkas lain untuk
diajukan. (19a))
Dalam Philippine Rules of Criminal
Procedure Rule 114 section 20:
Increase or reduction of bail. After
the accused is admitted to bail, the
court may, upon good cause, either
increase or reduce its amount. When
increased, the accused may be
committed to custody if he does not
give bail in the increased amount
within a reasonable period. An
accused held to answer a criminal
charge, who is released without bail
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
upon filing of the complaint or
information, may, at any subsequent
stage of the proceedings and
whenever a strong showing of guilt
appears to the court, be required to
give bail in the amount fixed, or in
lieu thereof, committed to custody.
(20a)
(Penambahan atau pengurangan
jaminan. Setelah pengajuan jaminan
terdakwa disetujui, pengadilan bisa
menambah atau mengurangi
jumlahnya. Bila terdapat
penambahan, terdakwa mungkin
akan masuk tahanan lagi jika ia tidak
membayarkan jaminan dalam jumlah
yang meningkat itu dalam jangka
waktu yang ditentukan. Tertuduh
yang dituntut pertanggungjawabanya
atas pelanggaran yang dilakukannya,
yang dibebaskan tanpa jaminan atas
pengajuan gugatan atau informasi,
setiap saat apabila bukti yang kuat
akan kesalahannya muncul di
pengadilan, maka ia akan diminta
untuk memberikan jaminan dalam
jumlah tertentu, atau sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
penggantinya, kembali ke dalam
tahanan. (20a))
Dalam Philippine Rules of Criminal
Procedure Rule 114 section 21:
Forfeiture of bail. When the presence
of the accused is required by the
court or these Rules, his bondsmen
shall be notified to produce him
before the court on a given date and
time. If the accused fails to appear in
person as required, his bail shall be
declared forfeited and the bondsmen
given thirty (30) days within which to
produce their principal and to show
cause why no judgment should be
rendered against them for the
amount of their bail. Within the said
period, the bondsmen must:
(a) produce the body of their
principal or give the reason for
his non-production; and
(b) explain why the accused did not
appear before the court when
first required to do so.
Failing in these two requisites, a
judgment shall be rendered
against the bondsmen, jointly
and severally, for the amount of
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
the bail. The court shall not
reduce or otherwise mitigate the
liability of the bondsmen, unless
the accused has been
surrendered or is acquitted.
(21a)
(Hangusnya obligasi. Ketika
kehadiran terdakwa diperlukan oleh
pengadilan atau Aturan ini,
penjaminnya akan diberitahu untuk
menghadirkan dirinya ke pengadilan
pada tanggal dan waktu tertentu. Jika
terdakwa tidak hadir, jaminannya
akan dinyatakan hangus dan
penjaminnya diberi tiga puluh (30)
hari untuk mengeluarkan uang pokok
mereka dan untuk menunjukkan
penyebab mengapa keputusan tidak
harus diberikan terhadap mereka
untuk jumlah jaminan mereka .
Dalam periode tersebut, para
penjamin harus:
(a) membayar uang pokok atau
memberikan alasan bila tidak bisa
melakukan pembayaran, dan
(b) menjelaskan mengapa terdakwa
tidak muncul di pengadilan ketika
pertama kali ia diminta hadir.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
Apabila kedua syarat itu tidak
terlaksana, maka keputusan harus
diberikan terhadap penjamin itu
untuk jumlah uang jaminan.
Pengadilan tidak mengurangi atau
mengurangi kewajiban penjamin,
kecuali terdakwa telah menyerah
atau dibebaskan. (21a))
Dalam Philippine Rules of Criminal
Procedure Rule 114 section 22:
Cancellation of bail. Upon
application of the bondsmen, with
due notice to the prosecutor, the bail
may be cancelled upon surrender of
the accused or proof of his death.
The bail shall be deemed
automatically cancelled upon
acquittal of the accused, dismissal of
the case, or execution of the
judgment of conviction. In all
instances, the cancellation shall be
without prejudice to any liability on
the bail.(22a)
(Pembatalan jaminan. Atas
permohonan dari penjamin, dengan
sepengetahuan jaksa, jaminan
tersebut dapat dibatalkan atas
penyerahan terdakwa atau bukti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
kematiannya.
Jaminan tersebut otomatis dibatalkan
atas pembebasan terdakwa,
penolakan kasus, atau pelaksanaan
hukuman.
Pembatalan tersebut tidak akan
mengurangi kewajiban obligasi.
(22a)
Dalam Philippine Rules of Criminal
Procedure Rule 114 section 23:
Arrest of accused out on bail. For
the purpose of surrendering the
accused, the bondsmen may arrest
him or, upon written authority
endorsed on a certified copy of the
undertaking, cause him to be
arrested by a police officer or any
other person of suitable age and
discretion.
An accused released on bail may be
re-arrested without the necessity of a
warrant if he attempts to depart from
the Philippines without permission of
the court where the case is pending.
(23a)
(Penangkapan terdakwa yang keluar
dengan jaminan. Untuk tujuan
penyerahan terdakwa, para penjamin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
dapat menangkapnya atau, dengan
kekuasaan tertulis yang disahkan
pada salinan resmi, menyebabkan ia
ditangkap oleh polisi atau orang lain
sesuai usia.
Seorang terdakwa yang dibebaskan
dengan jaminan dapat kembali
ditangkap tanpa perlu surat perintah
jika ia mencoba untuk keluar dari
Filipina tanpa izin dari pengadilan di
mana kasus ini tertunda. (23a))
Dalam Philippine Rules of Criminal
Procedure Rule 114 section 24:
No bail after final judgment;
exception. No bail shall be allowed
after a judgment of conviction has
become final. If before such finality,
the accused applies for probation, he
may be allowed temporary liberty
under his bail. When no bail was
filed or the accused is incapable of
filing one, the court may allow his
release on recognizance to the
custody of a responsible member of
the community. In no case shall bail
be allowed after the accused has
commenced to serve sentence. (24a)
(Tidak ada jaminan setelah keputusan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
terakhir, pengecualian. Tidak ada
jaminan yang diizinkan setelah ada
keputusan terakhir. Jika sebelum
keputusn akhir tersebut, terdakwa
yang berada pada masa percobaan,
diperbolehkan bebas dengan jaminan.
. Ketika jaminan tidak diajukan atau
terdakwa tidak mampu mengajukan,
pengadilan dapat mengizinkan
pembebasannya dengan pengakuan
dari anggota yang bertanggung jawab.
Jaminan tidak diperbolehkan setelah
terdakwa mulai untuk menjalani
hukumannya. (24a))
Dalam Philippine Rules of Criminal
Procedure Rule 114 section 25:
Court supervision of detainees. The
court shall exercise supervision over
all persons in custody for the
purpose of eliminating unnecessary
detention. The executive judges of
the Regional Trial Courts shall
conduct monthly personal
inspections of provincial, city, and
municipal jails and the prisoners
within their respective jurisdictions.
They shall ascertain the number of
detainees, inquire on their proper
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
accommodation and health and
examine the condition of the jail
facilities. They shall order the
segregation of sexes and of minors
from adults, ensure the observance
of the right of detainees to confer
privately with counsel, and strive to
eliminate conditions inimical to the
detainees.
In cities and municipalities to be
specified by the Supreme Court, the
municipal trial judges or municipal
circuit trial judges shall conduct
monthly personal inspections of the
municipal jails in their respective
municipalities and submit a report to
the executive judge of the Regional
Trial Court having jurisdiction
therein.
A monthly report of such visitation
shall be submitted by the executive
judges to the Court Administrator
which shall state the total number of
detainees, the names of those held
for more than thirty (30) days, the
duration of detention, the crime
charged, the status of the case, the
cause for detention, and other
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
pertinent information.(25a)
(Pengadilan pengawasan tahanan.
Pengadilan harus melakukan
pengawasan atas semua orang dalam
tahanan untuk tujuan menghilangkan
penahanan yang tidak perlu. Hakim
eksekutif Pengadilan Pengajuan
Perkara Daerah harus melakukan
inspeksi bulanan pribadi ke penjara
provinsi dan kota dan tahanan
mereka dalam yurisdiksi masing-
masing. Mereka harus memastikan
jumlah tahanan, menanyakan tentang
akomodasi yang tepat dan kesehatan
mereka dan memeriksa kondisi
fasilitas penjara. Mereka harus
memeritahkan pemisahan jenis
kelamin dan anak di bawah umur
dari orang dewasa, memastikan
ketaatan terhadap hak tahanan untuk
berunding secara pribadi dengan
penasihat, dan berusaha untuk
menghilangkan kondisi yang
bertentangan dengan tahanan.
Di kota atau daerah yang akan
ditentukan oleh Mahkamah Agung,
hakim pengadilan kota atau hakim
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
pengadilan pemeriksaan sirkuit harus
melakukan inspeksi bulanan pribadi
ke penjara kota di kota masing-
masing dan menyampaikan laporan
kepada hakim eksekutif Mahkamah
Pengadilan Daerah yang memiliki
yurisdiksi di dalamnya .
Laporan bulanan dari kunjungan
tersebut akan disampaikan oleh
hakim eksekutif kepada
Administrator Pengadilan yang harus
menyatakan jumlah tahanan, nama-
nama mereka yang ditahan lebih dari
tiga puluh (30) hari, lamanya
penahanan, kejahatan yang
dilakukan, status kasus, penyebab
penahanan, dan informasi terkait
lainnya. (25a)
Dalam Philippine Rules of Criminal
Procedure Rule 114 section 26:
Bail not a bar to objections on illegal
arrest, lack of or irregular
preliminary investigation. An
application for or admission to bail
shall not bar the accused from
challenging the validity of his arrest
or the legality of the warrant issued
therefor, or from assailing the
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
regularity or questioning the absence
of a preliminary investigation of the
charge against him, provided that he
raises them before entering his plea.
The court shall resolve the matter as
early as practicable but not later
than the start of the trial of the
case(N).
(Bail tidak menghalangi pengajuan
keberatan atas penangkapan ilegal,
atau terhadap penyelidikan awal
yang tidak teratur. Permohonan
jaminan tidak akan menghalangi
terdakwa untuk mempertanyakan
keabsahan perintah penangkapannya,
atau membantah peraturan atau
mempertanyakan tidak adanya
penyelidikan awal, asalkan dia
mengangkat mereka sebelum
memasuki pembelaannya.
Pengadilan harus menyelesaikan
masalah ini sesegera mungkin, paling
lambat sebelum pengadilan dimulai.
(N))
Mencermati tabel di atas, maka dapat dilihat persamaan dan perbedaan antara
sistem penangguhan penahanan (bail) di Indonesia dan di Filipina, yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
1. Persamaan Sistem Penangguhan Penahanan (bail) di Indonesia dan di Filipina
Persamaan sistem penangguhan penahanan dari kedua negara yaitu mengakui
dan menerapkan jaminan uang dan orang. Hal ini disebutkan dalam Pasal 31 ayat
(1) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan
Philippine Rules of Criminal Procedure Rule 114 section 1. Akan tetapi, masing-
masing negara memiliki cara yang berbeda dalam pelaksanaan jaminan uang dan
jaminan orang. Di Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana tidak menegaskan lebih rinci mengenai berapa besarnya
jumlah jaminan uang yang dapat diserahkan sebagai jaminan. Berdasarkan Pasal
36 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagaimana telah diubah dan ditambah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa uang jaminan penangguhan
penahanan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai denagn tingkat
pemeriksaan, disimpan di kepaniteraan pengadilan negeri. Berdasarkan bunyi
pasal tersebut dapat dilihat bahwa ketentuan besarnya jaminan uang ditetapkan
oleh pejabat yang berwenang dalam tiap tingkatan pemeriksaan. Berbeda dengan
Filipina penentuan besarnya jumlah jaminan uang dilakukan melalui proses
hearing dimana dalam proses tersebut hakim pemimpin proses hearing dapat
menentukan besarnya jumlah jaminan yang diserahkan oleh terdakwa dengan
berpedoman pada Philippine Rules of Criminal Procedure Rule 114 section 9 pada
proses tersebut juga dihadiri terdakwa dan kuasa hukumnya serta jaksa karena
proses permohonan penangguhan penahanan tidak dilakukan di tiap tingkat
pemeriksaan. Demikian halnya dalam pengaturan jaminan orang, di Indonesia
tidak terdapat ketentuan khusus seseorang dapat menjadi penjamin sedangkan di
Filipina ketentuan seseorang yang dapat menjadi penjamin diatur dalam Philippine
Rules of Criminal Procedure Rule 114 section 12.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
2. Perbedaan Sistem Penangguhan Penahanan (bail) di Indonesia dan di Filipina
Perbedaan antara sistem penangguhan penahanan antara kedua negara sendiri,
dapat dilihat dari tabel di atas, yaitu sebagai berikut:
a. Sistem Penangguhan Penahanan (bail) di Indonesia tidak harus menggunakan
jaminan, sedangkan di Filipina harus menggunakan jaminan
Sistem penangguhan penahanan (bail) di Indonesia tidak harus
menggunakan uang, hal ini dapat dilihat dari kalimat “…dengan atau tanpa
jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan…”
yang ada dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana. Menurut M. Yahya Harahap, penetapan
jaminan dalam penangguhan penahanan bersifat “fakultatif” (M. Yahya
Harahap, 2009: 217). Sedangkan, dalam Philippine Rules of Criminal
Procedure Rule 114 section 1 dinyatakan bahwa jaminan berupa jaminan
perusahaan, properti obligasi, setoran tunai, atau pengakuan meupakan suatu
keharusan. Di Filipina jaminan menjadi suatu keharusan karena jaminan
bertujuan untuk menghadirkan terdakwa dalam tiap proses pemeriksaan
perkara hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Philippine Rules of Criminal
Procedure Rule 114 section 1. Dengan hadirnya terdakwa maka akan
membantu tiap proses pemeriksaan sehingga suatu perkara dapat segera
diputus dan tidak memakan waktu yang lama. Selain itu dengan adanya
jaminan memperkecil kemungkinan bagi terdakwa untuk melarikan diri.
b. Prosedur pengajuan permohonan penangguhan penahanan di Indonesia
dilakukan di tiap tingkatan pemeriksaan sedangkan di Filipina pengajuan
permohonan penangguhan penahanan cukup dilakukan satu kali.
Pasal 31 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana menyebutkan bahwa atas permintaan tersangka atau terdakwa,
penyidik atau penuntut umum atau hakim dapat mengadakan penangguhan
penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, beradasarkan
syarat yang ditentukan. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut dapat diketahui
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
bahwa permohonan pengajuan penahanan di Indonesia dilakukan di tiap
tahapan yaitu saat proses penyidikan, penuntutan sampai proses persidangan
sedangkan di Filipina berdasarkan Philippine Rules of Criminal Procedure
Rule 114 section 17 and 18 menjelaskan bahwa permohonan pengajuan
penahanan cukup dilakukan satu kali sehingga jika tahapan pemeriksaan
berlanjut cukup menyerahkan rekomendasi dari hakim yang memutuskan
persetujuan penangguhan penahanan.
B. Analisis Kelebihan dan Kelemahan Penangguhan Penahanan (Bail) dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 dengan Philippine Rules of Criminal
Procedure Rules 110 to 127
Mencermati persamaan dan perbedaan pengaturan penangguhan penahanan
pada pembahasan sebelumnya dapat dilihat bahwa terdapat pengaturan dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 dengan Philippine Rules of Criminal
Procedure Rules 110 to 127 yang memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing
dan selanjutnya penulis uraikan sebagai berikut:
1. Kelebihan Penagaturan Penangguhan Penahanan dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981.
Mencermati bunyi Pasal 31 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yaitu atas
permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim,
sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan
penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau orang, berdasarkan syarat yang
ditentukan. Berdasarkan klausula Pasal 31 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tersebut dapat dilihat bahwa pengaturan penangguhan penahanan di Indonesia
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 memberikan kemungkinan bagi
tersangka atau terdakwa yang akan mengajukan permohonan penangguhan
penahanan untuk tidak menyerahkan jaminan baik berupa uang atau orang. Hal ini
merupakan satu nilai lebih dalam pengaturan penangguhan penahanan di negara
kita karena pada hakikatnya penangguhan penahanan tersebut merupakan hak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
dasar yang dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang sudah seharusnya diberikan
dan pemberian penangguhan penahanan kepada tersangka atau terdakwa
merupakan salah satu wujud penghormatan terhadap hak asasi manusia yang
dalam hukum pidana di Indonesia juga diakui keberadaannya.
2. Kelemahan Pengaturan Penangguhan Penahanan dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
a. Syarat penangguhan penahanan dalam penjelasan Pasal 31 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan
ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana
Menurut Yahya Harahap, syarat yang disebut dalam penjelasan Pasal 31
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana diuji
dengan jenis penahanan yang diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terdapat keadaan yang
kurang sinkron sebab ketentuan yang telah dilembagakan Pasal 22 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai
jenis penahanan telah dijadikan sebagai syarat penangguhan penahanan dalam
penjelasan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (M. Yahya Harahap, 2009:216).
Jika dalam penjelasan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana tetap membagi syarat penangguhan penahanan
menjadi tiga yaitu wajib lapor, tidak keluar rumah, dan tidak keluar kota maka
bukan penangguhan penahanan yang terjadi akan tetapi pengalihan penahanan
sebagaimana yang ditentukan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana.
b. Tidak terdapat ketentuan mengenai jumlah jaminan dalam pengajuan jaminan
uang.
Menurut Hari Sasangka, salah satu kelemahan dalam Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terutama mengenai pengaturan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
penahanan yaitu hingga saat ini belum ada ketentuan mengenai uang jaminan
yang harus dititipkan ke Kepaniteraan Pengadilan Negeri (Hari Sasangka,
2003:61). Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana tidak menyebutkan ketantuan tersebut dengan jelas dan
menyerahkan seluruh kewenangan kepada aparat penegak hukum sesuai
tingkatannya untuk menentukan jumlah uang jaminanyang diberikan.
Ketiadaan petunjuk yang jelas mengenai pengaturan penangguhan penahanan
terkait mengenai besarnya uang jaminan yang diperbolehkan, prosedur
penempatan dan pengembalian uang jaminan dan siapa saja yang boleh
menjadi penjamin serta akibat hukum yang timbul baik bagi tersangka atau
terdakwa maupun penjamin apabila terjadi pelanggaran atas syarat
penangguhan penahanan maka persaingan tidak sehat dimaksud akan semakin
marak di mana ekses penyalahgunaan kekuasaan di kalangan petugas penegak
hukum tidak dapat dihindarkan lagi.
c. Tidak terdapat ketentuan mengenai seseorang yang dapat menjadi penjamin
Kelemahan lain dalam pengaturan penangguhan penahanan di Indonesia
adalah tidak ada ketentuan mengenai seseorang yang dapat menjadi penjamin
tersangka atau terdakwa yang mengajukan penangguhan penahanan. Hampir
sama dengan point sebelumnya dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana selain jaminan uang yang belum
jelas pengaturannya jaminan orang pun juga beleum ada ketentuan yang
mengatur dengan jelas. Syarat apa saja yang harus dipenuhi jika menjadi
penjamin serta hal apa yang dilakukan penjamin jika terjadi pelanggran atas
syarat penangguhan penahanan juga belum diatur dengan jelas.
d. Diterapkannya sistem penangguhan penahanan menggunakan jaminan
menyebabkan adanya diskriminasi.
Konteks pembentukan sistem hukum acara pidana pada dasarnya masih
menjunjung tinggi nilai keadilan di atas landasan setiap orang diperlakukan
sama di muka hukum (equality before the law). Namun, hal ini justru
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
berbanding terbalik dengan ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana karena bunyi dalam pasal tersebut
justru menganut asas diskriminasi perlakuan terhadap tersangka atau
terdakwa. Diskriminasi tersebut tidak hanya menyangkut status sosial
ekonomi tersangka atau terdakwa melainkan juga diskriminasi yang
menyangkut harkat dan martabat tersangka atau terdakwa karena hak yang
seharusnya dapat diperoleh oleh masing-masing tersangka atau terdakwa tidak
berlaku lagi karena penangguhan penahanan hanya dapat diperoleh bagi
tersangka atau terdakwa yang dapat memberikan jaminan. Dipertahankannya
ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana tanpa pengaturan lebih lanjut dan tegas dalam peraturan
pemerintah yang melengkapinya secara memadai hanya akan menimbulkan
erosi terhadap proses persamaan di muka hukum. Tersangka atau terdakwa
yang memiliki jaminan uang atau orang atau memiliki kemampuan
sebagaimana yang dikehendaki dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tersebut akan berlaku istilah
freedom for sale sedangkan istilah freedom for the rich atau hukum hanya
untuk yang kaya berlaku bagi tersangka atau terdakwa yang tidak memiliki
kemampuan untuk memberikan jaminan. Di lain pihak Ketentuan Pasal 31
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
mengandung kelemahan yang mendasar dalam konteks kesadaran hukum
karena kata atas permintaan dalam pasal tersebut menghendaki agar
penangguhan penahanan tersebut benar-benar merupakan hak tersangka atatu
terdakwa dan inisiatif tersebut harus berasal darinya. Tersedianya aturan
penangguhan penahanan ini setiap tersangka atau terdakwa (terlepas dari
kemampuannya menyediakan jaminan uang atau orang) akan berusaha dan
berlomba-lomba memperoleh penangguhan penahanan dan ini jelas akan
menimbulkan persaingan yang tidak sehat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
3. Kelebihan Pengaturan Penangguhan Penahanan dalam Philipphine Rules of
Criminal Procedure.
a. Filipina tidak hanya mengenal jaminan uang dan orang tetapi juga jaminan
properti, obligasi dan pengakuan.
Pasal 114 ayat (1) Philipphine Rules of Criminal Procedure
menyebutkan bahwa di negara Filipina tidak hanya mengenal jaminan uang
dan jaminan orang akan tetapi juga sudah menggunakan jaminan properti dan
obligasi. Hal ini merupakan salah satu kelebihan yang dimiliki oleh Filipina
karena dengan menerapkan jaminan properti dan obligasi maka akan
mengurangi resiko tidak adanya pengembalian jaminan yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum sehingga praktek korupsi dapat dikurangi dengan
menerapkan jaminan tersebut. Selain itu, juga memberikan peluang kepada
tersangka atau terdakwa yang tidak memiliki penjamin orang ataupun uang
tunai mempunyai peluang lain untuk mendapatkan hak penangguhan
penahanannya.
b. Filipina menerapkan sistem hearing untuk menetapkan jumlah jaminan yang
akan diserahkan guna jaminan penangguhan penahanan.
Hearing merupakan suatu pengadilan kecil dimana terdapat hakim,
jaksa serta pihak tersangka atau terdakwa yang mengajukan penangguhan
penahanan yang diselenggarakan untuk menetapkan jumlah jaminan yang
harus diserahkan tersangka atau terdakwa. dalam menetapkan jumlah jaminan
tersebut hakim harus berpedoman pada Pasal 114 ayat (9) Philipphine Rules
of Criminal Procedure. Penerapan sistem ini layak diadopsi oleh negara kita
dalam penentuan jumlah jaminan yang akan diserahkan oleh tersangka atau
terdakwa karena dengan diselenggarakannya sistem peradilan kecil tersebut
aparat penegak hukum tidak semena-mena dalam menentukan jumlah jaminan
serta nantinya juga terdapat saling kontrol sehingga uang yang dijadikan
jaminan nantinya dapat dikembalikan kepada tersangka atau terdakwa atau
jika terjadi pelanggaran uang tersebut dapat masuk ke kas negara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
c. Philipphine Rules of Criminal Procedure sudah menentukan pedoman untuk
menetukan jumlah jaminan.
Berbeda dengan Indonesia, Filipina dalam Pasal 114 ayat (9)
Philipphine Rules of Criminal Procedure sudah memberikan pedoman kepada
hakim yang memimpin proses hearing untuk menetapkan jumlah jaminan
yang harus diserahkan tersangka atau terdakwa. Ketentuan tersebut
merupakan salah satu kelebihan sehingga dalam menentukan jaminan aparat
penegak hukum memiliki pedoman yang sama. Selain itu dengan adanya
ketentuan tersebut aparat yang menentukan jumlah jaminan tidak dapat
meminta jaminan secara semena-mena tanpa memperhatikan kemampuan
finansial dari terdakwa. Adanya ketentuan tersebut juga dapat memperkecil
praktek korupsi dikalangan aparat penegak hukum di Indonesia.
d. Philipphine Rules of Criminal Procedure menetapkan tersangka/terdakwa
yang berhak memperoleh penangguhan penahanan
Filipina sudah menetapkan tersangka/terdakwa yang berhak
memperoleh penangguhan penahanan. Dalam Pasal 114 ayat (5) dinyatakan
bahwa Jika hukuman yang dijatuhkan oleh sidang pengadilan adalah hukuman
penjara melebihi enam (6) tahun, jaminan terdakwa harus ditolak, atau
jaminannya akan dibatalkan dengan menunjukkan penuntutan, dengan
pemberitahuan kepada terdakwa, tentang kondisi sebagai berikut:
1) Bahwa ia adalah tunggakan residivis, kuasi-residivis, atau kebiasaan, atau
telah melakukan kejahatan berulang-ulang;
2) Bahwa ia sebelumnya telah lolos dari kurungan hukum, menghindari
hukuman, atau melanggar ketentuan jaminan tanpa justifikasi yang valid;
3) Bahwa ia melakukan pelanggaran tersebut sementara di bawah masa
percobaan, pembebasan bersyarat, atau pengampunan bersyarat;
4) Bahwa keadaan kasus itu menunjukkan kemungkinan melarikan diri jika
dibebaskan dengan jaminan, atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
5) Bahwa ada risiko yang berbahaya bahwa ia mungkin melakukan
kejahatan lain selama menunggu hasil banding.
Adanya aturan yang tegas semacam ini akan mempermudah aparat
penegak hukum dalam mengabulkan permohonan penangguhan penahanan
yang diajukan oleh tersangka atau terdakwa sehingga pengabulan permohonan
penahanan tidak semata-mata melihat dari besarnya jaminan yang diberikan
oleh tersangka atau terdakwa.
4. Kelemahan Pengaturan Penangguhan Penahanan dalam Philipphine Rules of
Criminal Procedure.
Pasal 114 ayat (1) Philipphine Rules of Criminal Procedure menerangkan
bahwa “Bail is the security given for the release of a erson in custody of the law,
furnished by him or a bondsman, to guarantee his appearance before any court as
required under the conditions here in after secifified. Bail may be given in the
form of corporate surety, property bond, cash deposit, or recognizance”
(penangguhan penahahan adalah jaminan keamanan yang diberikan untuk
membebaskan orang dalam tahanan, yang dibayarkan oleh orang yang ditahan
tersebut atau penjaminnya, untuk menjamin kehadirannya di pengadilan sesuai
persyaratan yang diatur selanjutnya. Penangguhan penahanan dapat diberikan
dalam bentuk jaminan perusahaan, properti obligasi, setoran tunai, atau
pengakuan). Mencermati bunyi pasal tersebut terdapat satu kelemahan dalam
pengaturan penangguhan penahanan di Filipina yaitu bahwa tersangka/terdakwa
yang mengajukan penangguhan penahanan diharuskan memberikan jaminan.
Dalam klausula pasal tersebut tidak dimungkinkan untuk tersangka atau terdakwa
tidak memberikan jaminan. Hal ini tentu saja menciptakan diskriminasi bagi
tersangka atau terdakwa dan menyimpang dari asas setiap orang diperlakukan
sama di muka hukum (equality before the law).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan bahan hukum yang diperoleh dari hasil penelitian dan
pembahasan yang telah dilakukan, selanjutnya Penulis mengambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Terdapat persamaan pengaturan penangguhan penahanan antara Indonesia dan
Filipina yaitu jaminan yang digunakan untuk menjamin tersangka atau terdakwa
menggunakan jaminan uang dan orang. Di Indonesia jaminan uang tersebut diatur
dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana sedangkan di Filipina jaminan uang tersebut diatur dalam Philippine
Rules of Criminal Procedure Rule 114 section 1. Meskipun jaminan uang bukan
merupakan yang utama karena masing-masing negara juga masih menerapkan
jaminan lain tetapi sebagian besar negara di dunia tetap menerapkan jaminan uang
dan orang ini karena pelaksanaannya dianggap paling mudah. Selain itu, juga
terdapat perbedaan pengaturan penangguhan penahanan antara Indonesia dan
Filipina yaitu di Indonesia memungkinkan tersangka atau terdakwa tidak
mengajukan jaminan dalam permohonan penangguhan penahanan sedangkan di
Filipina tersangka atau terdakwa yang mengajukan permohonan penangguhan
penahanan diharuskan menggunakan jaminan. Perbedaan selanjutnya yaitu
jaminan yang digunakan di Indonesia selain menggunakan jaminan uang juga
menggunakan jaminan orang sedangkan di Filipina selain jaminan uang dan orang
menggunakan jaminan perusahaan, properti, obligasi, dan pengakuan. Selain itu,
Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana menetapkan prosedur pengajuan permohonan penangguhan penahanan
(bail) di Indonesia dilakukan pada tiap tahapan proses pemeriksaan perkara
sedangkan di Filipina pengajuan permohonan penangguhan penahanan (bail)
cukup dilakukan satu kali dan untuk tingkatan pemeriksaan selanjutnya cukup
menyerahkan surat rekomendasi dari hakim yang menyetujui permohonan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
penangguhan penahanan ketentuan tersebut diatur dalam Philippine Rules of
Criminal Procedure Rule 114 section 17 and 18.
2. Pengaturan penangguhan penahanan (bail) di Indonesia berdasarkan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 memiliki kelebihan yaitu masih terdapat
kesempatan bagi tersangka atau terdakwa yang mengajukan permohonan
penangguhan penahanan (bail) tidak menyerahkan jaminan uang maupun orang.
Akan tetapi, pengaturan penangguhan penahanan di Indonesia juga memiliki
beberapa kelemahan yaitu: a) syarat penangguhan penahanan dalam penjelasan
Pasal 31 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
bertentangan dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana; b) tidak terdapat ketentuan mengenai jumlah
jaminan dalam pengajuan jaminan uang; c) tidak terdapat ketentuan mengenai
seseorang yang dapat menjadi penjamin; d) diterapkannya sistem penangguhan
penahanan menggunakan jaminan menyebabkan adanya diskriminasi. Sedangkan
pengaturan penangguhan penahanan di Filipina memilki beberapa kelebihan yaitu:
a) Filipina tidak hanya mengenal jaminan uang dan orang tetapi juga properti dan
obligasi; b) Filipina menerapkan sistem hearing untuk menetapkan jumlah
jaminan yang akan diserahkan guna jaminan penangguhan penahanan; c)
Philipphine Rules of Criminal Procedure sudah menentukan pedoman untuk
menetukan jumlah jaminan; d) Philipphine Rules of Criminal Procedure
menetapkan tersangka/terdakwa yang berhak memperoleh penangguhan
penahanan. Philipphine Rules of Criminal Procedure juga memiliki kelemahan
dalam pengaturan penangguhan penahanan yaitu mewajibkan tersangka atau
terdakwa yang mengajukan permohonan penangguhan penahanan menyerahkan
jaminan. Hal ini menimbulkan diskriminasi bagi tersangka atau terdakwa yang
ingin memperoleh haknya selain itu penerapan keteapan ini bertentangan dengan
asas persamaan di muka hukum (equality before the law).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
B. Saran
1. Pengaturan penangguhan penahanan Indonesia saat ini yang masih berpedoman
pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 hendaknya harus diperbaharui
mengingat pengaturan tersebut sudah tidak relevan dengan praktik di lapangan dan
masih banyak celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh aparat penegak hukum
yang tidak bertanggung jawab sehingga pelaksanaan penangguhan penahanan
hanya menitik beratkan besarnya jaminan yang akan diserahkan oleh tersangka
atau terdakwa tanpa melihat kondisi finansial tersangka atau terdakwa serta tidak
mempertimbangkan aspek sosiologis, psikologis, edukatif dan ketertiban umum.
2. Aparat penegak hukum yang diberi wewenang oleh undang-undang memberikan
persetujuan mengenai penangguhan penahanan hendaknya juga
mempertimbangkan dari sudut kepentingan dan ketertiban umum dengan
menggunakan pendekatan sosiologis, psikologis, preventif, korektif dan edukatif
sehingga kebebasan dan kewenangan menangguhkan penahanan tidak semata-
mata bertitik tolak dari jaminan yang ditetapkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user i
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdurrahman. 1983. Pembaharuan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara PidanaBaru di Indonesia. Bandung : Alumni.
Barda Nawawi Arief. 2002. Perbandingan Hukum Pidana. Bandung : Mandar Maju.
Hari Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Komentar Kitab Undang-Undang HukumAcara Pidana. Bandung : Mandar Maju.
Hartono. 2010. Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana. Jakarta : Sinar Grafika.M. Yahya Harahap. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.
Jakarta : Sinar Grafika
Nico Ngani, I Nyoman Budi Jaya, Hasan Madani.1984. Mengenal Hukum AcaraPidana . Yogyakarta : Liberty.
Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana Prenada MediaGroup
Rhona K.M. Smith, dkk. 2010. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta : Pusat StudiHak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia.
Romli Atmasasmita. 2000. Perbandingan Hukum Pidana. Bandung : Mandar Maju.
Romli Atmasasmita. 2010. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta : KencanaPrenada Media Group.
Rusli Muhammad. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Bandung : PT. CitraAditya Bakti.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas PeraturanPemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-UndangHukum Acara Pidana
Philippine Rules of Criminal Procedure Rules 110 to 127
Makalah
M. Busyro Muqoddas. 2010. “Negara Hukum, HAM, dan Peran Masyarakat Sipil”.Makalah. Disampaikan pada Pelatihan Hak Asasi Manusia Untuk JejaringKomisi Yudisial RI, Bandung, pada tanggal 30 Juni-3Juli 2010.
Isharyanto. 2009. “Metode Penelitian Hukum”. Makalah. Disampaikan pada DiklatKSP “Principium”, Tawangmangu, pada tanggal 13-15 November 2009.
Majalah atau Jurnal
Handri Wirastuti Sawitri. 2011. “Pembantaran Penahanan Terhadap Tersangka dalamPerspektif Hak Asasi Manusia”. Jurnal Dinamika Hukum. Vol. 11, No.1.Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman.
Manuel R. Del Rosario. 1986. “Morales JR. v. Enrile and The Constitutional Right toBail”. Philippine Law Journal. Vol. 59, No.5.
Rowena D. Cordera. 2006. “Philippine Laws Related To The Discipline AndPunishment Of Children”. UK: Save The Children Journal.
Internet
Indra Wijaya. Pengacara Dhana Ajukan Penangguhan Penahanan.http://www.tempo.co/read/news/2012/03/05/063388039/Pengacara-Dhana-Ajukan-Penangguhan-Penahanan/> [2 April 2012 pukul 15.19].
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
STUDI KOMPARASI HUKUM PENGATURAN
SISTEM PENANGGUHAN PENAHANAN (BAIL)
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981
TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN
PHILIPPINE RULES OF CRIMINAL PROCEDURE RULES 110 TO 127
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh
Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta
Oleh:
MAYA HAPSARI DIAH KUSUMAWARDANI
NIM. E0008186
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
SURAKARTA
2012