di wutung, devisa mengalir deras d - ftp.unpad.ac.id filejadi di kecamatan muara tami. di dua...

1
RABU, 24 NOVEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA | 25 Nusantara ANTARA /ANANG BUDIONO ANTARA/ROSA PANGGABEAN MI/ EDWIN TIRANI ANTARA/JAFKHAIRI MI/ EDWIN TIRANI esia dan Papua Nugini, di Wutung, Muara Tami, Jayapura, Papua, beberapa waktu lalu. Bendera tersebut berukuran panjang 165 meter dan lebar 47 meter dibentangkan oleh warga bersama ugini melintas gerbang perbatasan san bebas berkunjung ke negara hkan kartu pas. BELAJAR MEMBACA: Anak-anak di perbatasan belajar membaca dipandu guru dari organisasi Persatuan Istri Tentara (Persit). Kelangkaan guru di wilayah perbatasan Papua diisi sejumlah relawan, di antaranya dari Persit di Papua, agar anak-anak tersebut tetap melek huruf latin. DOMBA BAKAR: Seorang warga Skow, Papua Nugini, membakar daging domba di pintu perbatasan Papua Nugini-Indonesia, pengujung Oktober. Daging domba domba tersebut dijual seharga Rp40 ribu atau setara dengan 13 Kina (mata uang Papua Nugini). Fasilitas Publik masih Langka Di Wutung, Devisa Mengalir Deras PERBEDAAN mencolok terjadi pada malam hari di wilayah perbatasan Republik Indonesia- Papua Nugini. Wilayah tetangga lebih benderang karena listrik mengalir, seakan tidak terbatas. Di wilayah Indonesia, te- patnya di Kampung Wutung, Kecamatan Skouw, Kabupa- ten Jayapura, lampu bersinar temaram. Tidak ada listrik PLN yang mengalir. Listrik dipasok dari genset, yang penggunaannya diirit. Ketiadaan listrik juga ter- jadi di Kecamatan Muara Tami. Di dua wilayah itu, jumlah genset juga bisa dihitung dengan jari sebelah tengah. Hanya kan- tor instansi yang memilikinya, termasuk pos penjagaan TNI di Kampung Wutung. Rumah penduduk gelap gulita. Bukan hanya listrik yang menjadi kebutuhan sangat me- wah di wilayah perbatasan. Seluruh fasilitas publik amat minim, kalau tidak bisa dikata- kan nihil. Misalnya, jalan darat, sekolah dasar, puskesmas, dan rumah sakit, pasar, juga tempat ibadah. Kebutuhan dasar bagi warga itu juga menjadi sesuatu yang langka. Karena itu, mantan Pangdam XVII/ Cenderawasih Mayor Jenderal TNI Hotma Marbun mengatakan kendala terbesar dalam menjalankan tugas di perbatasan ini adalah belum adanya infrastruktur jalan yang sempurna. Jarak antara satu pos dan pos yang lain sangat jauh. Kondisi itu ditambah medan yang sulit dipantau menjadi celah yang sering dimanfaatkan penduduk lokal untuk mela- kukan aksi penyelundupan melalui jalan-jalan tikus. Aksi itu terjadi baik dari wilayah Republik Indonesia ke Papua Nugini maupun sebaliknya. Memang ada sejumlah pos yang bisa dijangkau dengan sepeda motor. Namun, sebagian besar jalan tidak bisa dilalui ka- rena medan sangat berat dan terjal. “Sering kali para prajurit ha- rus berjalan kaki seharian un- tuk koordinasi antarpos,” ujar Hotma Marbun yang didamp- ingi mantan Kapendam XVII/ Cenderawasih Letnan Kolonel Susilo, beberapa waktu lalu. Danrem 172/Praja Wirayakti Kolonel Daniel Ambat menam- bahkan, dalam kondisi cuaca buruk, seperti hujan, perjalanan darat tidak bisa dilakukan. Satu- satunya mobilitas hanya bisa dilakukan lewat udara. Padahal, di sepanjang per- batasan itu ada 59 pos yang bertanggung jawab menjaga 24 patok tapal batas. Sisanya 28 patok tapal batas lagi menjadi tanggung jawab Papua Nugini. Pembukaan akses jalan diya- kini bisa merangsang pengem- bangan wilayah perbatasan. Karena jalan yang sama juga menjadi penghubung antarka- bupaten di perbatasan. Akses darat yang baik, ti- dak hanya mendukung tugas keamanan, tapi juga mengem- bangkan ekonomi warga per- batasan. “Daerah yang berkembang ekonominya, ditambah keaman- an yang terjamin bagi warga, kecil kemungkinan menga- lami gejolak. Warga juga tidak akan terpengaruh dengan ide- ide yang bertentangan dengan nasionalisme,” ujar Hotma. (Win/N-3) D ENYUT ekonomi ala warga desa terjadi di Pasar Tradisional Wu- tung. Di pasar yang berada di perbatasan Indonesia-Papua Nugini itu, pedagang dan pembeli sibuk bertransaksi sepanjang hari, seperti di ba- nyak daerah lain di Tanah Air. “Berapa harga lampu energi yang 8 watt itu?” tanya se- orang pembeli. “Delapan kina,” jawab Lina, 30, penjual alat-alat elektronik di Pasar Wutung. Kina adalah mata uang Papua Nugini. Satu kina berkisar Rp3.200. Jadi dalam rupiah, harga lampu pijar itu Rp25.600, tidak berbeda jauh dengan harga di toko elek- tronik di Jakarta. Pasar tradisional itu berada di wilayah Indonesia, sekitar 500 meter dari perbatasan Papua Nugini. Hal itu yang membuat orang-orang dari di Provinsi Vanimo, Papua Nugini, memasuki wilayah Indonesia untuk berbelanja. Pasar tradisional Wutung ini dibuka setiap Selasa, Kamis, dan Sabtu mulai pagi hari hingga 16.00 WIT. Se- bagian besar konsumennya berasal dari Papua Nugini. “Mereka tidak hanya berbelanja untuk kepentingan sendiri, tapi juga untuk dijual lagi di Pasar Vanimo. Jadi, Pasar Wutung ini semacam grosir juga,” ujar Komandan Bataliyon Infanteri 713 Letnan Kolonel Jhonny Djamaris yang bertugas di wilayah perbatasan. Omzet di pasar ini berkisar Rp1 miliar per hari. Sebagian besar mata uang yang beredar adalah kina. Pasar Wutung memiliki sekitar 160 kios. Penyewanya kebanyakan adalah warga dari luar Papua. Mereka menyewa satu kios dengan harga sekitar Rp1 juta per tahun kepada pemilik tanah adat bernama Stenin- less. Pria itu adalah andoaatau kepala suku, dan sudah menjadi warga negara Papua Nugini. Pasar tradisional ini akan dipindahkan ke pasar yang lebih layak dengan bangunan permanen. Sekarang kios di Wutung terbuat dari papan. Bangunan baru dibangun satu lantai dan dinamai Mar- keting Point Skouw. Posisinya berada di seberang jalan pasar lama. Saat ini, sebagian toko sudah beroperasi melayani pembeli, baik dari Papua Nugini maupun warga sekitar Wutung. Semula Pasar Wutung dibu- ka setiap hari. Namun, geliat di pasar ini membuat pasar di Vanimo sepi. Dampaknya, valas di negeri yang mem- peroleh kemerdekaan dari Australia itu ikut terguncang. Pemerintah Papua Nugini pun membuat kesepakatan dengan pemerintah RI. Usul untuk membuka pasar hanya tiga hari dalam sepekan dise- pakati. “Belanja di sini lebih murah. Saya bisa menjual lagi ke Pasar Vanimo sekitar tiga kali lipat,” kata Freddy, 35, warga Papua Nugini. Ia mencontohkan, harga satu batang sabun mandi di Wutung Rp3.500, tapi di Valimo 2 kina atau Rp6.400. Di Wutung, warga Papua Nugini membeli barang elek- tronik, alat-alat dapur serta berbagai jenis bahan kebu- tuhan pokok. Kegiatan pasar di perbatasan ini mendapat perlakuan khusus pemerintah kedua negara. Pemandangan yang jauh berbeda dengan daerah yang berbatasan dengan Malaysia dan Filipina. Di perbatasan, produk kedua negara men- dominasi pasar. Warga Indo- nesia pun lebih banyak yang berbelanja dengan cara me- nyeberang ke negara tetangga. Jika di perbatasan lain devisa banyak dilepas, di Wutung uang asing mengalir masuk. (Edwin Tirani/N-3) Pembukaan akses jalan diyakini bisa merangsang pengembangan wilayah perbatasan.”

Upload: truongquynh

Post on 30-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

RABU, 24 NOVEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA | 25Nusantara

ANTARA /ANANG BUDIONO

ANTARA/ROSA PANGGABEAN

MI/ EDWIN TIRANI

ANTARA/JAFKHAIRI

MI/ EDWIN TIRANI

esia dan Papua Nugini, di Wutung, Muara Tami, Jayapura, Papua, beberapa waktu lalu. Bendera tersebut berukuran panjang 165 meter dan lebar 47 meter dibentangkan oleh warga bersama

ugini melintas gerbang perbatasan san bebas berkunjung ke negara hkan kartu pas.

BELAJAR MEMBACA: Anak-anak di perbatasan belajar membaca dipandu guru dari organisasi Persatuan Istri Tentara (Persit).Kelangkaan guru di wilayah perbatasan Papua diisi sejumlah relawan, di antaranya dari Persit di Papua, agar anak-anak tersebut tetap melek huruf latin.

DOMBA BAKAR: Seorang warga Skow, Papua Nugini, membakar daging domba di pintu perbatasan Papua Nugini-Indonesia, pengujung Oktober. Daging domba domba tersebut dijual seharga Rp40 ribu atau setara dengan 13 Kina (mata uang Papua Nugini).

Fasilitas Publikmasih Langka

Di Wutung, Devisa Mengalir Deras

PERBEDAAN mencolok terjadi pada malam hari di wilayah perbatasan Republik Indonesia-Papua Nugini. Wilayah tetangga lebih benderang karena listrik mengalir, seakan tidak terbatas.

Di wilayah Indonesia, te-patnya di Kampung Wutung, Kecamatan Skouw, Kabupa-ten Jayapura, lampu bersinar temaram.

Tidak ada listrik PLN yang mengalir. Listrik dipasok dari genset, yang penggunaannya diirit. Ketiadaan listrik juga ter-jadi di Kecamatan Muara Tami.

Di dua wilayah itu, jumlah genset juga bisa dihitung dengan jari sebelah tengah. Hanya kan-tor instansi yang memilikinya, termasuk pos penjagaan TNI di Kampung Wutung. Rumah penduduk gelap gulita.

Bukan hanya listrik yang menjadi kebutuhan sangat me-wah di wilayah perbatasan. Seluruh fasilitas publik amat minim, kalau tidak bisa dikata-kan nihil. Misalnya, jalan darat, sekolah dasar, puskesmas, dan rumah sakit, pasar, juga tempat ibadah. Kebutuhan dasar bagi warga itu juga menjadi sesuatu yang langka.

Karena itu, mantan Pangdam XVII/ Cenderawasih Mayor Jenderal TNI Hotma Marbun mengatakan kendala terbesar dalam menjalankan tugas di perbatasan ini adalah belum adanya infrastruktur jalan yang sempurna. Jarak antara satu pos dan pos yang lain sangat jauh.

Kondisi itu ditambah medan yang sulit dipantau menjadi celah yang sering dimanfaatkan penduduk lokal untuk mela-kukan aksi penyelundupan melalui jalan-jalan tikus. Aksi itu terjadi baik dari wilayah Republik Indonesia ke Papua Nugini maupun sebaliknya.

Memang ada sejumlah pos yang bisa dijangkau dengan sepeda motor. Namun, sebagian besar jalan tidak bisa dilalui ka-

rena medan sangat berat dan terjal.

“Sering kali para prajurit ha-rus berjalan kaki seharian un-tuk koordinasi antarpos,” ujar Hotma Marbun yang didamp-ingi mantan Kapendam XVII/ Cenderawasih Letnan Kolonel Susilo, beberapa waktu lalu.

Danrem 172/Praja Wirayakti Kolonel Daniel Ambat menam-bahkan, dalam kondisi cuaca buruk, seperti hujan, perjalanan darat tidak bisa dilakukan. Satu-satunya mobilitas hanya bisa dilakukan lewat udara.

Padahal, di sepanjang per-batasan itu ada 59 pos yang bertanggung jawab menjaga

24 patok tapal batas. Sisanya 28 patok tapal batas lagi menjadi tanggung jawab Papua Nugini.

Pembukaan akses jalan diya-kini bisa merangsang pengem-bangan wilayah perbatasan. Karena jalan yang sama juga menjadi penghubung antarka-bupaten di perbatasan.

Akses darat yang baik, ti-dak hanya mendukung tugas keamanan, tapi juga mengem-bangkan ekonomi warga per-batasan.

“Daerah yang berkembang ekonominya, ditambah keaman-an yang terjamin bagi warga, kecil kemungkinan menga-lami gejolak. Warga juga tidak akan terpengaruh dengan ide-ide yang bertentangan dengan nasionalisme,” ujar Hotma. (Win/N-3)

DENYUT ekonomi ala warga desa terjadi di Pasar Tradisional Wu-

tung. Di pasar yang berada di perbatasan Indonesia-Papua Nugini itu, pedagang dan pembeli sibuk bertransaksi sepanjang hari, seperti di ba-nyak daerah lain di Tanah Air.

“Berapa harga lampu energi yang 8 watt itu?” tanya se-orang pembeli.

“Delapan kina,” jawab Lina, 30, penjual alat-alat elektronik di Pasar Wutung.

Kina adalah mata uang Papua Nugini. Satu kina berkisar Rp3.200. Jadi dalam rupiah, harga lampu pijar itu Rp25.600, tidak berbeda jauh dengan harga di toko elek-tronik di Jakarta.

Pasar tradisional itu berada di wilayah Indonesia, sekitar 500 meter dari perbatasan Papua Nugini. Hal itu yang membuat orang-orang dari di Provinsi Vanimo, Papua Nugini, memasuki wilayah Indonesia untuk berbelanja.

Pasar tradisional Wutung ini dibuka setiap Selasa, Kamis, dan Sabtu mulai pagi hari hingga 16.00 WIT. Se-bagian besar konsumennya berasal dari Papua Nugini.

“Mereka tidak hanya berbelanja untuk kepentingan sendiri, tapi juga untuk dijual lagi di Pasar Vanimo. Jadi, Pasar Wutung ini semacam grosir juga,” ujar Komandan Bataliyon Infanteri 713 Letnan Kolonel Jhonny Djamaris yang bertugas di wilayah perbatasan.

Omzet di pasar ini berkisar Rp1 miliar per hari. Sebagian besar mata uang yang beredar adalah kina. Pasar Wutung memiliki sekitar 160 kios. Penyewanya kebanyakan adalah warga dari luar Papua. Mereka menyewa satu kios dengan harga sekitar Rp1 juta per tahun kepada pemilik tanah adat bernama Stenin-less. Pria itu adalah andoafi atau kepala suku, dan sudah

menjadi warga negara Papua Nugini.

Pasar tradisional ini akan dipindahkan ke pasar yang lebih layak dengan bangunan permanen. Sekarang kios di Wutung terbuat dari papan.

Bangunan baru dibangun satu lantai dan dinamai Mar-keting Point Skouw. Posisinya berada di seberang jalan pasar lama. Saat ini, sebagian toko sudah beroperasi melayani pembeli, baik dari Papua Nugini maupun warga sekitar Wutung.

Semula Pasar Wutung dibu-ka setiap hari. Namun, geliat di pasar ini membuat pasar di Vanimo sepi. Dampaknya, valas di negeri yang mem-peroleh kemerdekaan dari Australia itu ikut terguncang.

Pemerintah Papua Nugini pun membuat kesepakatan dengan pemerintah RI. Usul untuk membuka pasar hanya tiga hari dalam sepekan dise-pakati.

“Belanja di sini lebih murah. Saya bisa menjual lagi ke Pasar Vanimo sekitar tiga kali lipat,” kata Freddy, 35, warga Papua Nugini.

Ia mencontohkan, harga satu batang sabun mandi di Wutung Rp3.500, tapi di Valimo 2 kina atau Rp6.400.

Di Wutung, warga Papua Nugini membeli barang elek-tronik, alat-alat dapur serta berbagai jenis bahan kebu-tuhan pokok. Kegiatan pasar di perbatasan ini mendapat perlakuan khusus pemerintah kedua negara.

Pemandangan yang jauh berbeda dengan daerah yang berbatasan dengan Malaysia dan Filipina. Di perbatasan, produk kedua negara men-dominasi pasar. Warga Indo-nesia pun lebih banyak yang berbelanja dengan cara me-nyeberang ke negara tetangga.

Jika di perbatasan lain devisa banyak dilepas, di Wutung uang asing mengalir masuk. (Edwin Tirani/N-3)

Pembukaan akses jalan diyakini bisa merangsang pengembangan wilayah perbatasan.”