dhedy dan budhi
DESCRIPTION
epidemiologi periodontalTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
Epidemiologi adalah suatu studi yang mempelajari tentang distribusi atau faktor-
faktor penentu/determinan yang berhubungan dengan kesehatan pada populasi tertentu.
Faktor-faktor penentu tersebut dipengaruhi oleh keadaan fisik, biologis, perilaku dan sosial
ekonomi pada suatu populasi. Dari suatu studi epidemiologi akan didapatkan suatu nilai
epidemiologik. Nilai epidemiologik ini dapat digunakan untuk membantu memutuskan
perawatan yang akan dilakukan untuk pasien. 1
Epidemiologi adalah ilmu tentang distribusi dan faktor-faktor yang mempengaruhi
kesehatan pada suatu negara atau kejadian pada populasi khusus, dan aplikasi dari ilmu ini
untuk mengatasi masalah kesehatan. Ilmu ini merupakan ilmu dasar dari ilmu kesehatan
masyarakat.2
Dengan adanya epidemiologi dapat menentukan tentang faktor resiko dari suatu
penyakit sehingga dapat pula ditentukan pencegahan penyakit secara dini. Sehingga
prognosis dari suatu penyakit dapat ditentukan.2
Studi epidemiologi meliputi faktor resiko, pencegahan awal suatu penyakit, intervensi
yang mungkin timbul pada proses terjadinya suatu penyakit. Sebagai contoh, faktor penentu
pada kesehatan masyarakat erat hubungannya dengan keadaan sosial ekonomi yang ada,
sedangkan faktor penentu klinis pada kesehatan jaringan periodontal pada seseorang erat
hubungannya dengan plak dan kalkulus. Studi epidemiologi ini mempunyai tiga tujuan, yaitu:
menentukan jumlah dan distribusi dari suatu penyakit dalam suatu populasi, menelusuri
penyebab dari suatu penyakit dan menerapkan hasil dari studi untuk usaha promosi dan
perbaikan kesehatan. Penerapan dari studi ini dapat digunakan untuk mengendalikan masalah
kesehatan yang ada dalam masyarakat
2
BAB II
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT PERIODONTAL
2.1 Definisi Epidemiologi
Jika ditinjau dari asal kata Epidemiologi secara umum berasal dari bahasa Yunai
yang terdiri dari 3 kata dasar yaitu EPI yang berarti PADA atau TENTANG, DEMOS yang
berati PENDUDUK dan kata terakhir adalalah LOGOS yang berarti ILMU
PENGETAHUAN. Jadi EPIDEMILOGI adalah ILMU YANG MEMPELAJARI
TENTANG PENDUDUK. Sedangkan dalam pengertian modern pada saat ini
EPIDEMIOLOGI adalah : “Ilmu yang mempelajari tentang Frekuensi dan Distribusi
(Penyebaran) serta Determinan masalah kesehatan pada sekelompok orang/masyarakat serta
Determinannya (Faktor – factor yang Mempengaruhinya). Suatu ilmu yang awalnya
mempelajari timbulnya, perjalanan, dan pencegahan pada penyakit infeksi menular.3
Pengertian Epidemiologi dapat ditinjau dari berbagai aspek sebagai berikut:
1. Aspek Akademik
Secara akademik, epidemiologi berarti Analisa data kesehatan, sosial-ekonomi, dan
trend yang terjadi untuk mengindentifikasi dan menginterpretasi perubahan-perubahan
kesehatan yang terjadi atau akan terjadi pada masyarakat umum atau kelompok penduduk
tertentu.
2. Aspek Klinik
Ditinjau dari aspek klinik, Epidemiologi berarti Suatu usaha untuk mendeteksi secara
dini perubahan insidensi atau prevalensi yang dilakukan melalui penemuan klinis atau
laboratorium pada awal timbulnya penyakit baru dan awal terjadinya epidemi.
3
3. Aspek praktis
Secara praktis epidemiologi berarti ilmu yang ditujukan pada upaya pencegahan
penyebaran penyakit yang menimpa individu, kelompok penduduk atau masyarakat umum.
4. Aspek Administrasi
Epidemiologi secara administratisi berarti suatu usaha mengetahui keadaan masyarakat
di suatu wilayah atau negara agar dapat memberikan pelayanan kesehatan yang efektif dan
fisien sesuai dengan kebutuhan masyarakat.3
Meskipun data dari epidemiologi suatu penyakit didapatkan dari populasi beberapa
orang, tetapi ilmu ini harus diketahui oleh para klinisi untuk menentukan rencana perawatan
dari pasien. Dimana diagnosis dari suatu penyakit dapat ditegakkan berdasarkan:
- Apakah penyakit tersebut merupakan kejadian yang sering terjadi?
- Apakah keadaan pasien memungkinkan untuk terkena penyakit ini?
- Dimana terdapat tanda atau gejala yang mengarah ke suatu penyakit?
Dengan adanya epidemiologi dapat menentukan tentang faktor resiko dari suatu
penyakit sehingga dapat pula ditentukan pencegahan penyakit secara dini. Sehingga
prognosis dari suatu penyakit dapat ditentukan.
Epidemiologi adalah disiplin ilmu yang menggunakan metode dari biostatik, sosial
dan tingkah laku masyarakat, imunologi, genetik, mikrobiologi, kedokteran gigi, dan
kedokteran umum.2
4
Sesuai dengan definisi, epidemiologi mempunyai tiga tujuan,2
1. Untuk menentukan jumlah dan distribusi dari suatu penyakit dalam suatu populasi.
2. Untuk menentukan penyebab penyakit.
3. Untuk mencegah lebih parah suatu penyakit.
Tujuan akhir dari epidemiologi adalah mempertahankan, melindungi dan
memperbaiki kesehatan.2
Terminologi Dasar yang Digunakan dalam Epidemiologi Penyakit Periodontal
Insidensi
Prevalensi
Epidemi
Endemi
Pandemik
Extent
Severity
Exposure
Risk factor
Risk indicator
Kecepatan terjadinya penyakit baru di dalam masyarakat dalam waktu
tertentu.
Persentasi orang yang terkena penyakit dalam suatu populasi dalam waktu
tertentu.
Persentasi orang yang terkena penyakit dalam suatu populasi dalam waktu
tertentu.
Suatu penyakit yang terus menerus terdapat di dalam suatu kawasan geografi
tertentu.
Suatu epidemik yang terjadi secara meluas dan meliputi beberapa negara
sekaligus di seluruh dunia.
Jumlah gigi yang diperiksa pada kondisi tertentu
Keparahan suatu kondisi
Faktor utama yang dapat menyebabkan penyakit atau mencegah penyakit.
Karakteristik yang berhubungan dengan penyakit
Faktor resiko yang dikaitkan dengan penyakit dengan menggunakan metode
studi cross-sectional.
5
Risk predictor
/marker
Odds ratio
Risk ratio
Faktor resiko yang dikaitkan dengan kemungkinan meningkatnya penyakit,
dimana tidak terpengaruh oleh hubungan sebab akibat.
Rasio yang menggambarkan kemungkinan suatu kejadian.
Kemungkinan resiko penyakit yang akan terjadi.
Tabel 1. Terminologi Dasar yang Digunakan dalam Epidemiologi Penyakit
Periodontal.2
2.2 Ukuran Penyakit Secara Epidemiologis
Secara epidemiologis, suatu penyakit diukur berdasarkan angka prevalensi dan
insidensi. Prevalesi merupakan ukuran dari jumlah penyakit yang ada dalam suatu populasi
sedangkan insidensi merupakan ukuran dari terjadinya penyakit baru.1
2.2.1 PREVALENSI
Prevalensi adalah proporsi/bagian dari sejumlah orang dalam suatu populasi yang
memiliki suatu penyakit pada suatu periode waktu tertentu. Prevalensi ini dihitung jumlah
penderita dalam suatu populasi dibagi dengan jumlah orang pada populasi tersebut. Hasil
yang didapat dari prevalensi ini dapat digunakan sebagai batas ukuran jumlah kebutuhan akan
tenaga medis pada pelayanan kesehatan masyarakat.1
𝑃𝑟𝑒𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛𝑠𝑖 =𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑛𝑦𝑎𝑘𝑖𝑡
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖
6
2.2.2 INSIDENSI
Insidensi adalah persentase rata-rata dari orang-orang tanpa penyakit yang terkena
penyakit selama waktu tertentu. Insidensi dapat dikatakan sebagai resiko atau kemungkinan
seorang terkena penyakit. Insidensi dihitung dari jumlah kasus penyakit terbaru dibagi
dengan jumlah orang pada suatu populasi yang beresiko terhadap penyakit tersebut.1
𝐼𝑛𝑠𝑖𝑑𝑒𝑛𝑠𝑖 =𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑎𝑠𝑢𝑠 𝑏𝑎𝑟𝑢
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑟𝑒𝑠𝑖𝑘𝑜
2.3 Desain Studi Epidemiologi
Untuk menyelidiki prevalensi dan insidensi suatu penyakit, faktor resiko yang
berhubungan dengan penyakit, efektivitas dan intervensi keberhasilan, peneliti melakukan
studi epidemiologi. Kebanyakan studi epidemiologi berupa observasi. Pada studi ini, peneliti
mengobservasi kejadian yang normal di dalam populasi. Metode studi observasi yang paling
umum dipergunakan adalah metode Cross-Sectional, Cohort, dan Case-Control. Sebagai
tambahan studi observasi, epidemiologist juga melakukan studi penelitian percobaan, seperti
dengan percobaan penggunaan obat-obatan dimana suatu kelompok subjek penelitian
diberikan obat dan kelompok lainnya hanya diberikan plasebo. Hasil percobaan ini berguna
untuk mempelajari pencegahan, perawatan dan obat-obatan.1,2
2.3.1. Metode Studi Cross-Sectional
Jenis studi ini berusaha mempelajari dinamika hubungan-hubungan atau korelasi
antara faktor-faktor resiko dengan dampak atau efeknya. Faktor resiko dan dampak atau
efeknya diobservasi pada saat yang sama, artinya setiap subjek penelitian diobservasi hanya
satu kali saja dan faktor resiko serta dampak diukur menurut keadaan atau status pada saat
observasi.1,2
7
Angka rasio prevalensi memberi gambaran tentang prevalensi suatu penyakit di dalam
populasi yang berkaitan dengan faktor resiko yang dipelajari atau yang timbul akibat faktor-
faktor resiko tertentu.1,2
2.3.2. Metode Studi Cohort
Metode studi Cohort atau lebih sering disebut studi prospektif adalah suatu
penelitian survei (non eksperimen) yang paling baik dalam mengkaji hubungan antara faktor
resiko dengan efek (penyakit). Faktor resiko yang akan dipelajari diidentifikasi dulu
kemudian diikuti ke depan secara prospektif timbulnya efek yaitu penyakit atau salah satu
indikator status kesehatan.1,2
Kesimpulan hasil penelitian diketahui dengan membandingkan subjek yang
mempunyai efek positif (sakit) antara kelompok subjek dengan faktor resiko positif dan
faktor resiko negatif (kelompok kontrol).1,2
2.3.3. Metode Studi Case-Control
Rancangan metode studi ini ada yang menyebutnya sebagai studi retrospektif,
meskipun istilah ini kurang tepat. Penelitian ini berusaha melihat ke belakang yaitu data
digali dari dampak (efeknya) atau akibat yang terjadi. Kemudian dari dampak tersebut
ditelusuri variabel-variabel penyebabnya atau variabel yang mempengaruhi.1,2
Penelitian epidemiologi Case kontrol ini hasil korelasinya lebih tajam dan
mendalam bila dibandingkan dengan metode studi Cross-Sectional, sebab menggunakan
subjek kontrol atau subjek dengan dampak positif dicarikan kontrolnya. Kemudian variabel
penyebab atau yang berpengaruh ditelusuri lebih dulu, baru kemudian faktor resiko atau
variabel yang berpengaruh diamati secara retrospektif.1,2
8
BENTUK STUDI KEUNTUNGAN KERUGIAN
Cross-sectional studies Pelaksanaan cepat, tidak
mahal
Hanya mengetahui prevalensi
penyakit. Tidak dapat
mengetahui tanda yang
mendahului terjadinya
penyakit
Cohort studies Lebih akurat karena
mengikuti perkembangan
subjek dari waktu ke waktu
Biayanya mahal karena
membutuhkan waktu yang
lama
Case-control studies Pelaksanaannya lebih cepat,
karena subjek tidak diikuti
dari waktu ke waktu
Prevalensi dan insidensi tidak
dapat dinilai karena subjek
yang dinilai berdasarkan
status penyakitnya. Tabel 2. Keuntungan dan Kerugian Metode Studi
9
BAB III
DIAGNOSIS
3.1 Normal VS Abnormal
Seorang epidemiologis yang mempelajari penyakit dalam suatu populasi atau seorang
klinisi yang merawat seorang individu, keduanya harus mampu menentukan dengan tepat
penyakit yang diderita seseorang. Pada studi epidemiologis kesalahan klasifikasi dari subjek
yang diamati akan menghasilkan estimasi yang rendah atau tinggi, sehingga dapat
menimbulkan kesimpulan yang salah tentang hubungan suatu penyakit dengan ciri-ciri dari
penyakit tersebut.
Diagnosis dapat ditentukan setelah mendapatkan informasi dari berbagai sumber,
seperti: anamnesis pasien, pemeriksaan klinis, pemeriksaan radiografi dan hasil dari
pemeriksaan laboratorium. Dari hasil pemeriksaan di atas dapat ditentukan keadaan yang
normal atau abnormal, atau dengan kata lain sehat atau sakit.1,2
3.2 Prinsip Dari Diagnostic Testing
Diagnostic testing digunakan untuk membantu menetapkan diagnosa yang benar.
Dalam kedokteran gigi, diagnostic testing didapat dari pemeriksaan klinis dan radiografi,
seperti: bleeding on probing, kedalaman poket, hilangnya perlekatan dengan jaringan, dan
kehilangan tulang. Penentuan diagnosis, didasarkan dari tes diagnostic yang meliputi:
pemeriksaan klinis, pemeriksaan radiografis, tes mikrobiologis, tes imunologis, tes biokimia.2
10
Adapun tujuan dari diagnostic testing adalah menentukan rencana perawatan untuk
pasien baru, menentukan recall visit, memonitor hasil perawatan, menentukan pemberian
antibiotik yang tepat dan screening pasien sebelum perawatan exstensive restorative atau
terapi implan.1,2
3.3 Sensitvity Dan Specificity
Tes diagnostik yang dilakukan, memberikan hasil ‘positive’ dan ‘negative’. True
positive merupakan tes diagnostik suatu penyakit/kondisi yang hasilnya benar. False positive
merupakan hasil tes diagnostik yang hasilnya salah. Bila hasil tes negative, hasilnya benar
disebut true negative. Tetapi bila hasil tesnya negative, hasilnya salah disebut false negative.
Sensitivity dari suatu tes merupakan proporsi subjek dengan penyakit yang testnya
positif. Sedangkan specificity dari suatu test merupakan proporsi subjek tanpa penyakit yang
hasil tesnya negatif. Perbandingan dari hasil tes diagnostik pada status kesehatan yang benar,
dapat dilihat pada table berikut :]1,2
True disease status
Test Result Disease No Disease
Positive A (true positive) B(false positive)
Negative C (false ngative) D(true negative)
Sensitivity A÷(A+C)
Specificity D÷(B+D)
Positive predictive value A÷(A+B)
Negative predictive value D÷(C+D)
Table 3. Comparison of diagnostic the result with true disease status
11
3.4 Predictive Value
Predictive value merupakan kemungkinan hasil dari suatu tes diagnostik. Positive
predictive value adalah kemungkinan hasil tes positif pada seseorang, sehingga orang tersebut
dapat didiagnosa sakit. Negative predictive value adalah kemungkinan hasil tes negatif pada
seseorang, sehingga orang tersebut didiagnosa tidak sakit.1
12
BAB IV
RISK VS PROGNOSIS
4.1 Risk, Risk Factor And Risk Assessment
Resiko adalah kemungkinan seseorang akan mendapatkan suatu penyakit pada waktu
tertentu. Faktor resiko merupakan karakteristik dari individu yang menempatkan seseorang
terhadap peningkatan resiko terkenanya suatu penyakit. Terbuka terhadap faktor resiko ada
sebelum terjadi suatu penyakit, bisa pada waktu tertentu, secara episodik atau berkelanjutan.
Risk assessment merupakan proses dalam memprediksi kemungkinan seseorang
terkena penyakit. Risk assessment digunakan untuk membantu dalam proses menegakkan
diagnosa suatu penyakit dan mencegah suatu penyakit dengan mengidentifikasikan faktor
resiko.1,2
4.2 Prognosis, Prognosis Factors And Prognosis Assessment
Prognosis adalah perkiraan jalannya atau hasil akhir suatu penyakit. Hasil akhir
penyakit dapat berupa kematian, kemampuan bertahan hidup, dan pengaruhnya terhadap
kualitas hidup (seperti kecacatan dan rasa sakit). Sebagai contoh, hasil akhir dari penyakit
periodontal dapat berupa kehilangan gigi, rekurensi penyakit dan hilangnya fungsi.
Prognosis factors merupakan ciri atau faktor yang diprediksi menjadi hasil akhir suatu
penyakit. Prognosis assessment adalah faktor yang menggunakan faktor prognosis untuk
memprediksi perjalanan penyakit.1,2
13
BAB V
GINGIVAL DISEASE
Variasi prevalensi pada gingivitis antara penduduk diberbagai belahan dunia dapat
mencerminkan adanya faktor-faktor lingkungan seperti nutrisi dan kebiasaan kebersihan
mulut serta faktor genetik. Karena variasi faktor tersebut cukup besar, sehingga sulit untuk
menentukan dengan pasti seberapa jauh peranan dari faktor tersebut. Selain itu, sering kali
digunakan kriteria diagnostik yang berbeda-beda.
Perbedaan ini mungkin disebabkan karena perbedaan pada kebiasaan kebersihan
mulut yang mencerminkan tingkatan pendidikan dan ekonomi. Individu dengan tingkatan
ekonomi dan pendidikan yang cukup tinggi biasanya mempunyai kebersihan mulut yang
lebih baik dan penyakit yang periodontal yang lebih sedikit, dibandingkan dengan individu
dengan ekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah.5
5.1 Indeks Kebersihan Mulut
Indeks status kebersihan mulut yang paling sering digunakan adalah indeks
kebersihan mulut (Greene dan Vermillion,1960) dan indeks plak (Silness dan Loe, 1964). Ada
beberapa Indek yang digunakan untuk mengukur nilai kebersihan mulut seperti :
5.1.1 Simplified-Oral Hygiene Index (OHI-S)
OHI-S dikembangkan pada tahun 1964 oleh John C.Greene dan Jack R.Vermillon.
Indeks ini merupakan gabungan dari Indek kalkulus (CI-S) dan Indek Oral Debris (DI-S).
Gigi yang diperiksa dalam metode ini hanya 6 yaitu : 16,11,26,31,36,46 dengan permukaan
14
Gigi Permukaan
16 Buccal
11 Labial
26 Buccal
36 Lingual
31 Labial
46 Lingual
Kriteria Skor DI-S :
0 = Tidak ada debris
1 = debris menutupi < 1/3 gigi
2 = debris menutupi > 1/3, < 2/3gigi
3 = debris menutupi > 2/3 gigi
Kriteria Skor CI-S :
0 = Tidak ada Kalkulus
1 = Supragingival kalkulus menutupi < 1/3 gigi
2 = Supragingiva kalkulus > 1/3, < 2/3gigi atau terdapat flek subgingiva
3 = supragingiva kalkulus menutupi > 2/3 gigi atau ada subgingiva sekeliling gigi
Perhitungan Indeks OHI-S
15
Nilai DI-S = Nilai CI-S = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑠𝑒𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑔𝑖𝑔𝑖
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑢𝑘𝑎𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎
Nilai OHI-S = DI-S + CI-S
Derajat kebersihan mulut
Baik/Good = 0,0 – 1,2
Sedang/Fair = 1,3 – 3,0
Buruk/Poor = 3,1- 6,0
5.1.2 Indeks Plak Loe & Silness
Plaque Index terbilang unik karena mengabaikan batas koronal plak pada permukaan
gigi dan menilai hanya ketebalan plak pada daerah gingiva sekitar gigi. Ini dikembangkan
sebagai komponen dengan Gingival Index. Memeriksa permukaan distal – fasial, fasial,
mesial-fasial, dan lingual. Kaca mulut, dental eksplorer, dan syringe digunakan untuk menilai
plak dalam indeks ini.5 Skor Plaque Indeks suatu daerah didapatkan dengan menjumlahkan 4
skor plak tiap gigi. Bila jumlah skor plak indeks tiap gigi dibagi 4, maka didapatkan skor PI
untuk satu gigi. Skor Plaque Indeks tiap individu didapatkan dengan menambahkan skor PI
tiap gigi dan dibagi jumlah gigi diperiksa.
Kriteria Skor Loe & Silness Indek Plak :
0 = Tidak ada plak
1 = Ada lapisan tipis plak pada gingiva margin, hanya diketahui dengan scrap
probing
2 = Lapisan sedang dari plak sepanjang margin gingiva, daerah interdental, dan
dapat dilihat dengan mata telanjang.
3 = Plak tebal yang menutupi gingival margin, daerah interdental tertutup oleh plak.
16
Indeks plak : 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑝𝑙𝑎𝑘
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑢𝑘𝑎𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎
5.1.3 Plaque Control Record/ Plaque Index Simplified (PI-S) (O’leary dkk)
Ini merupakan indek yang tepat untuk mengetahui supragingival plak pada empat
permukaan gigi (mesial,distal,bukal,lingual/palatal). Dengan skor yang diberikan (+) terdapat
plak, (-) tidak terdapat. Indeks ini dilakukan dengan menggunakan disclosing solution untuk
melihat deposit plak. Ini merupakan pemeriksaan yang simple dimana hasil penilaiannya
berupa presentase.
17
5.1.4 Patient Higiene Performance Index (PHP)
Indeks untuk menilai tingkat kebersihan mulut ini diperkenalkan oleh A G
Podshadley and J V Haley pada tahun 1968. Indek ini merupakan indek sederhana yang
menilai berdasarkan 6 indek gigi dimana indek tersebut pertama kali dikembangkan untuk
menilai kemampuan individu yang dipergunakan sebagai alat edukasi dan motivasi terhadap
pasien.4
Indeks 6 gigi dan permukaan yang akan diperiksa
Gigi Permukaan
16 Buccal
11 Labial
26 Buccal
36 Lingual
31 Labial
46 Lingual
Sebelum dilakukan skoring aplikasikan disclosing agent pada mulut pasien selama
30 detik kemudian diinstruksikan meludah tanpa berkumur. Pemeriksaan dilakukan dengan
kaca mulut, setiap permukaan gigi dievaluasi dengan cara dibagi membujur ke mesial ,
median dan 1/3 distal, 1/3 median kemudian dibagi secara horizontal ke gingiva, median dan
occlusal atau 1/3 insisal.
18
gigi dibagi menjadi 5 subdivisi
Patient Hygiene Performan index tooth
Masing masing dari lima subdivisi ini dapat dijelaskan dengan pembagian jumlah
skor dari stain debris sebagai berikut :
0 = Tidak ada debris (dipertanyakan)
1 = Terdapat debris
PHP = Total skor debris
jumlah gigi yang diperiksa
Rating score PHP
0 (tidak ada debris) = Excellent
0,1 - 1,7 = Good
1,8 – 3,4 = Fair
3,5 -5,0 = Poor
5.1.5 Calculus Surface Index
Calculus Surface Index (CSI) diperkenalkan oleh J Ennever, CP Sturzenberger dan
AW Radike pada tahun 1961. Empat gigi mandibula diperiksa untuk melihat ada atau
tidaknya kalkulus dengan pemeriksaan visual dan taktil dan Calculus Surface Index telah
terbukti pada pemeriksaan calculus intra oral dalam waktu yang relatif singkt. Indek ini
digunakan untuk menentukan apakah perawatan yang akan dilakukan dapat mengurangi
atau mencegah supragingiva dan subginggiva calculus.4
19
Kriteria Skor dari Calculus Surface Index
0 = indikasi Tanpa calculus
2 = Indikasi terdapat calculus
Gingivitis merupakan inflamasi dari gusi tanpa melibatkan Junctional Epithelium.
Gingivitis dapat diukur melalui Gingival Index Gingiva indeks pada ilmu epidemiologi
membandingkan prevalensi terjadinya gingivitis pada suatu populasi. Sedangkan gingiva
indeks pada klinik digunakan untuk menguji ketepatan atau kemanjuran terapi yang diberikan
atau alat yang digunakan untuk merawat. Indek yang ideal simple, cepat digunakan serta
dapat diproduksi dan quantitatif. Semua Gingival Index mengukur hal – hal seperti : warna
gingiva, kontur gingiva, perdarahan gingiva, luasnya gingiva terlibat, cairan sulkus gingiva.
Hampir seluruh indeks menetapkan nomor dengan skala berurutan (0, 1, 2, 3, dan seterusnya)
untuk menggambarkan keterlibatan dan berat kondisi gingiva. Banyak Gingival Index yang
diperkenalkan , tidak ada satu indeks yang penerapannya diterima secara universal.1
Beberapa indek yang digunakan seperti indeks gingiva(GI), Modified Gingiva Index(MGI)
dan Gingival Bleeding Indices.1
5.2 Gingival Index
Gingival Index diperkenalkan pada 1963 (Loe dan Silnes, 1963). sebagai metode
untuk menilai tingkat keparahan dan besar inflamasi gingiva pada pasien individu atau antara
subjek dalam kelompok populasi besar. Hanya jaringan gingiva dinilai dengan indeks ini.
Menurut metode ini, setiap empat area gingiva dari gigi (fasial, mesial, distal, dan lingual)
dinilai untuk peradangannya dan diberi nilai dari 0 sampai 3. Perdarahan dinilai dengan
menjalankan probe periodontal sepanjang dinding jaringan lunak dari sulkus gingiva.1,2
20
Nilai dan Kriteria Gingival Index
0 = Gingiva Normal
1 = Peradangan ringan : warna gusi sedikit perubahan warna dan sedikit oedem
tidak ada perdarahan saat probing
2 = Peradangan sedang : warna gusi kemerahan, terdapat oedem dan mengkilat,
perdarahan saat probing
3 = Peradangan berat : warna gusi merah tua disertai oedem, terdapat ulserasi,
cenderung terjadi perdarahan spontan
Nilai dan Kriteria Gingival Index (Loe dan Silness, 1963). 1,2
Skor untuk setiap gigi diperoleh dengan menjumlahkan skor dari keempat area gigi
yang diperiksa lalu dibagi dengan empat (jumlah area yang diperiksa pergigi). Skor Indeks
Gingiva untuk individu diperoleh dengan membagi jumlah skor dari semua gigi yang
diperiksa dengan jumlah gigi yang diperiksa.1 Keparahan inflamasi gingiva secara klinis
dapat ditentukan dari skor Gingival Index dengan kriteria sebagai berikut:1
GI =Jumlah ke 4 area gigi/4
Jumlah gigi yang diperiksa
Kriteria Keparahan Inflamasi Gingiva secara Klinis
Skor Gingival Index Kondisi Gingiva
0.1 - 1.0
1.1 - 2.0
2.1 - 3.0
Gingivitis ringan
Gingivitis sedang
Gingivitis parah
Kriteria Keparahan Gingival Index secara Klinis (Loe dan Silness, 1963). 1
21
5.3 Modified Gingival Index
Modified Gingival Index memperkenalkan dua perubahan dari Gingival Index:
pertama menghilangkan probing gingiva untuk menilai ada atau tidaknya perdarahan.
Redefinisi system penilaian untuk peradangan ringan dan sedang. Pengembang MIG
memutuskan untuk menghilangkan probe, dimana bisa menghilangkan plak dan mengiritasi
gingiva. Indeks yang tidak invasif memungkinkan dilakukan evaluasi ulang, dan
memungkinkan dilakukan intrakalibrasi dan interkalibrasi. Juga, pengembang menginginkan
indeks yang lebih sensitif dari sebelumnya. Untuk mendapatkan ini, mereka menetapkan skor
1 untuk peradangan ringan hanya melibatkan sebagian marginal atau papilla gingiva dan skor
2 untuk peradangan ringan melibatkan seluruh marginal atau papilla gingiva. Skor 3 dan 4
sama seperti IG skor 2 dan 3. Seperti Gingival Index empat bagian gingiva tiap gigi (fasial,
mesial, distal, dan lingual) yang dinilai. Penilaian mulut penuh atau sebagian dapat dilakukan.
Nilai rata-rata untuk individu dapat dihitung dengan menjumlahkan skor satuan gingiva dan
dibagi jumlah gingiva diperiksa.1
MIG mungkin indeks paling banyak digunakan dalam pengujian klinis. Seperti
pendahulunya, MIG tidak bisa menilai adanya poket periodontal atau kehilangan perlekatan.
Indeks ini tidak dapat mengidentifikasi gingivitis bila tidak ada periodontitis.1
22
Nilai dan Kriteria Modified Gingival Index
0 = Gusi Normal
1 = Peradangan ringan : warna gusi sedikit perubahan warna, sedikit perubahan
tekstur pada margin gingiva atau interdental papil tetapi tidak melibatkan
semuanya
2 = Peradangan ringan : warna gusi sedikit perubahan warna, sedikit perubahan
tekstur, namun meliputi keseluruhan margin gingiva atau interdental papil
3 = Peradangan sedang : gusi mengkilat dan licin, kemerahan, terdapat oedem,
dan hipertropi pada margin gingiva atau interdental papil
4 = Peradangan berat : tanda kemerahan, terdapat oedem, hipertropi pada margin
gingiva atau interdental papil, perdarahan spontan, terdapat ulser
Nilai dan Kriteria Modified Gingival Index (modifikasi dari Lobene RR, Weatherford T,
Ross NM, et al: Clin Prev Dent 8:3, 1986).1
MGI =Jumlah ke 4 area gigi/4
Jumlah gigi yang diperiksa
Kriteria Keparahan Inflamasi Gingiva secara Klinis
Skor Modified Gingival Index Kondisi Gingiva
0.1 - 1.0
1.1 - 2.0
2.1 - 3.0
Gingivitis ringan
Gingivitis sedang
Gingivitis parah
Kriteria Keparahan Modified Gingival Index secara Klinis
23
5.4 Gingival Bleeding Index / Papilla Bleeding Index
Bila penilaian klinis dari warna gingiva, bentuk, dan tekstur dilakukan secara
subjektif, maka perdarahan gingiva merupakan tanda diagnostik yang objektif dari inflamasi.
Penelitiaan menunjukkan bahwa dapat terjadi perdarahan pada probing lembut dalam sulkus
gingiva dapat terjadi sebelum perubahan warna, bentuk, atau tekstur yang jelas.1
GBI dikembangkan oleh Saxer dan Muhlemann pada tahun 1975 sebagai modifikasi
dari Sulcus Bleeding Indek, untuk digunakan pada klinik pribadi dan tidak digunakan pada
studi epidemiologi. Indeks ini sebagai indikator keparahan inflamasi gingiva pada pasien
berdasarkan kecenderungan perdarahan pada interdental papil.5 Probe dimasukkan dengan
tekanan ringan ke dasar sulkus gingiva pada mesial papil lalu digerakkan ke arah mahkota
gigi sampai puncak papil, lalu diulang pada distal papil digerakkan ke arah mahkota gigi
sampai puncak papil. Setelah 20-30 detik, intensitas perdarahan dinilai.5
Gingival Bleeding Index (Saxer dan Muhlemann, 1975).5
24
Gingival Bleeding Index
0 = Tidak ada perdarahan
1 = Perdarahan berupa titik kecil
2 = Perdarahan berupa garis atau beberapa titik perdarahan terlihat pada margin
gingiva.
3 = Perdarahan sedikit atau banyak pada segitiga interdental.
4 = Perdarahan spontan setelah probing, darah mengalir ke interdental dan
menutupi gigi atau gingiva.
Gingival Bleeding Index (Saxer dan Muhlemann, 1975).5
Metode Pengukuran Gingival Bleeding Index
25
Perhitungan nilai GBI :
GBI =Jumlah skor perdarahan
Jumlah sisi yang diperiksa
Pada pemeriksaan GBI probing dilakukan pada semua kuadran, untuk mempermudah
melakukan pengambilan data, kuadran 1 dilakukan hanya bagian dalam, sedangkan kuadran 2
pada bagian labial. Untuk kuadran 3 pada bagian dalam selanjutnya kuadran 4 bagian labial.
Pemeriksaan perdarahan pada gingiva (gingival bleeding) akan menujukkan hasil
diagnosis yang objective pada tanda-tanda dari inflamasi gingiva. Sedangkan pada
pemeriksaan klinik seperti warna,bentuk dan tekstur dari gingiva akan menunjukkan hasil
diagnosis yang subjektive. Karena dari hasil penelitian, perdarahan pada gingiva pada saat
probing dapat timbul sebelum terjadinya perubahan warna, bentuk dan tekstur dari gingiva.
5.5 Bleeding On Probe
Pemeriksan Bleeding On Probe ini dikembangkan oleh Ainamo & Bay pada tahun
1975 sebagai variasi pemeriksaan perdarahan pada gingiva. Pada pemeriksaan ini tingkat
keparahan dari gingivitis di tampilkan dalam bentuk persentase. Sama seperti pemeriksaan
GBI, Probe dimasukkan dengan tekanan ringan ke dasar sulkus gingival dan dilakukan
pemeriksaan terhadap empat area gingival yaitu mesial, distal, bukal, palatal/lingual. Untuk
daerah yang terjadi perdarahan saat dilakukan probe diberi skor (+) sedangkan yang tidak
terjadi (-).
26
27
BAB VI
PERIODONTITIS KRONIS
Periodontitis adalah peradangan pada jaringan periodonsium yang meliputi gingiva
dan melibatkan kerusakan pada perlekatan antara jaringan dan gigi. Terdapat tiga bentuk
primer dari periodontitis, yaitu: kronis, aggressive dan manifestasi dari penyakit sistemik.
Periodontitis kronis merupakan bentuk yang paling umum ditemui pada masyarakat.
Periodontitis diukur berdasarkan indeks yang telah diujikan seperti periodontal indeks
periodontal disease indeks (PDI) dan indeks lainnya. Periodontal indeks yang dipakai
menurut Russel pada tahun 1956 dan PDI yang dipakai menurut Ramfjod, 1957. Berikut
indek yang digunakan untuk mengukur penyakit periodontal.1
6.1 Periodontal Index (Russell)
Pada awal tahun 1950, gingivitis indeks mulai meningkat popularitasnya. Namun,
tidak ada indeks yang tersedia untuk mengukur tahap lanjut penyakit periodontal.
Termotivasi oleh kurangnya indeks yang valid untuk mengukur prevalensi penyakit
periodontal pada kelompok populasi, Russel mengembangkan Periodontal Index.
Penggunaan Periodontal Index membutuhkan perlengkapan minimal : sumber cahaya, kaca
mulut, dan sonde eksplorer. Skor individu adalah jumlah nilai gigi dibagi jumlah gigi
diperiksa. Skor populasi adalah jumlah nilai individu dibagi jumlah individu diperiksa.
Periodontal probing tidak dianjurkan karena menurut Russel tidak terlalu bermanfaat dan
mengganggu fokus pemeriksa. Periodontal Indeks cepat dan mudah digunakan. Pemeriksaan
ini melibatkan pemeriksaan seluruh gigi.
28
Nilai dan Kriteria Periodontal Index
0 = Negatif: tidak ada inflamasi pada jaringan pendukung maupun
gangguan fungsi karena kerusakan jaringan pendukung.
1 = Gingivitis ringan: terlihat daerah inflamasi ringan pada tepi bebas
gingiva tetapi daerah ini tidak sampai mengelilingi gigi.
2 = Gingivitis: inflamasi mengelilingi gigi, tetapi tidak terlihat adanya
kerusakan daerah perlekatan gingiva.
6 = Gingivitis dengan pembentukan poket: perlekatan epitelial rusak dan
terlihat adanya poket (tidak hanya merupakan pendalaman sulkus
gingiva karena pembengkakan di daerah gingiva bebas). Tidak ada
gangguan pada fungsi mastikasi normal; gigi melekat kuat di dalam
soketnya dan tidak bergeser.
8 = Kerusakan tahap lanjut disertai hilangnya fungsi mastikasi: gigi goyang,
kadang-kadang bergeser, nyeri pada perkusi dengan alat logam, dan
dapat terdepresi ke dalam soketnya.
Skor PI index per individu = jumlah skor individu
jumlah gigi yang diperiksa
Kondisi Klinis Skor Grup PI Tingkat Penyakit
Normal
Gingivitis ringan
Kerusakan periodontal tahap
awal
Sudah ada kerusakan penyakit
periodontal
Penyakit periodontal terminal
0-0.2
0.3-0.9
1.0-1.9
2.0-4.9
5.0-8.0
Reversibel
Irreversibel
Periodontal Index (Russell).1
6.2 Periodontal Disease Index
Mengambil fitur paling berharga dari indeks yang ada dan menambahkan fitur baru
untuk mengkompensasi kekurangan indeks sebelumnya, Ramfjord mengembangkan
sistemnya sendiri untuk mengukur penyakit periodontal. Sistem ini dikenal sebagai
Periodontal Disease Index. Salah satu aspek unik dari indeks ini adalah pemeriksaan enam
gigi yang ditentukan dalam mulut atau dikenal dengan Ramfjord teeth.1
29
Gigi yang diperiksa 6 1 4
4 1 6
Aspek unik lainnya dari indeks penyakit periodontal adalah menggunakan Cemento
Enamel Junction (CEJ) sebagai penunjuk tetap untuk mengukur kehilangan perlekatan
periodontal.1
Untuk memulai penilaian menggunakan indeks ini, Pemeriksa mengeringkan daerah 6
gigi Ramfjord teeth. Lalu, pemeriksa menilai keparahan inflamasi gingiva 6 gigi Ramfjord
teeth. Skor gingiva untuk gigi bernilai dari G0 “inflamasi tidak ada” sampai G3 “gingivitis
berat”. Pada bagian mesial, fasial, distal, dan lingual masing – masing sisi dari 6 gigi, jarak
dari tepi bebas gusi ke CEJ dan jarak dari tepi bebas gusi ke dasar sulkus gingiva diukur
dalam milimeter dengan probe periodontal. Bila tepi bebas gusi terletak pada sementum,
Jarak tersebut dari CEJ dihitung sebagai angka negatif. Jarak CEJ ke dasar sulkus gingiva
adalah perbedaan dua pengukuran ini. Metode Ramfjord untuk mengukur jarak ini sering
disebut indirect method for measuring periodontal attachment loss. Skor Periodontal Disease
Index untuk tiap gigi didasarkan dari penilaian inflamasi gingiva dan kedalaman sulkus
gingiva pada hubungannya dengan CEJ. Bila sulkus gingiva tidak melebihi apikal bagian
Cemento Enamel Junction, skor Periodontal Disease Index untuk gigi adalah skor gingiva.
Bila sulkus gingiva berada di bawah Cemento Enamel Junction pada bagian manapun yang
diukur dengan 3 mm atau kurang, skor indeks adalah 4. Gigi dengan pengukuran sulkus 3
sampai 6 mm atau lebih maka diberikan nilai 5 atau 6. Nilai Periodontal Disease Index untuk
individu adalah jumlah skor gigi dibagi jumlah gigi diperiksa. Bila ada dari 6 gigi Ramfjord
teeth diperiksa hilang, tidak bisa digantikan gigi lain. Sebagai tambahan skor Periodontal
Disease Index untuk penyakit periodontal, indeks ini menyediakan metode menghitung skor
gigi untuk kalkulus, atrisi oklusal, mobilitas, dan kontak proksimal.1
30
Walaupun indeks ini jarang digunakan sekarang, dua aspek dari indeks ini sering
digunakan Pemilihan dari 6 gigi Ramfjord teeth dan metode pengukuran kedalaman poket
atau kehilangan perlekatan periodontal.1
Skor PDI = Jumlah skor gigi dari individu
Jumlah gigi yang diperiksa
Skor PDI grup = Jumlah skor PDI individu
Jumlah orang yang diperiksa
Nilai dan Kriteria Periodontal Disease Index
Penilaian Gingiva
G0 = Bebas dari peradangan
G1 = Peradangan gingiva ringan sampai sedang tanpa mengelilingi gigi
G2 = Peradangan gingiva ringan sampai berat dengan mengelilingi gigi
G3 = Gingivitis berat dengan adanya tanda kemerahan,cenderung terjadi
pendarahan, terdapat ulser
4 = Terdapat 2 sisi sulkus gingivanya sudah berada 3 mm tidak lebih dari
batas apikal CEJ
5 = Terdapat 2 sisi sulkus gingiva berada 3-6 apikal dari batas CEJ
6 = Pada satu sisi sulkus gingiva telah berada lebih dari 6 mm apikal dari
batas CEJ
Pengukuran Poket
Jarak dari free gingival margin sampai cemento enamel junction (CEJ) dan
jarak dari free gingival margin sampai dasar sulkus gingiva atau poket
diukur dari mesial, fasial, distal dan lingual pada setiap gigi yang diperiksa.
Pengukuran interproksimal lebih baik dilakukan pada daerah bukal dengan
menggunakan probe sejajar pada sumbu gigi.
Nilai dan Kriteria Periodontal Disease Index (Ramfjord, 1959).4
31
6.3 Community Index of Periodontal Treatment Needs (CPITN)
Pada tahun 1978 Who mengembangkan Community Periodontal Index of Treatment
Needs (CPITN) untuk survei epidemiologi. Kemudian tahun 1982 disempurnakan oleh
Ainamo, dkk. Perbedaan besar antara CPITN dan indeks lain adalah indeks ini tidak hanya
menentukan derajat keparahan gingivitis dan periodontitis, Juga menyediakan informasi
mengenai jenis proses penyakit dan terapi yang diperlukan. CPITN tidak hanya memberikan
kesimpulan tentang insidensi gingivitis dan periodontitis dalam populasi, namun juga beban
yang diperlukan, untuk uang dan waktu, yang berguna dalam perawatan populasi. CPITN
tidak mempertimbangkan kehilangan perlekatan pada gigi.5
Pemeriksaan dengan menggunakan indek ini harus menggunakan probe khusus yaitu
probe CPITN, yang mana probe ini dibuat untuk mengetahui kedalaman poket dan
keberadaan kalkulus subgingival. Kedalaman poket diukur melalui tanda batas hitam pada
probe dimulai dari 3,5 mm sampai 5,5 mm. Pada ujung probe terdapat tip berbentuk bola
dengan diameter 0,5 untuk mendeteksi kalkulus subgingival.
Gambar Probe CPITN
Prosedur pemeriksaannya pada pasien berumur 20 th atau lebih yang diperiksa 10 gigi
indeks ( 17,16,11,26,27,31,36,37,46,47) yang diambil gigi terparah setiap sektan. Pada pasien
berumur kurang dari 20 th yang diperiksa 6 gigi indeks (16,11,26,31,36,46).4
32
Kode CPITN Kebutuhan dirawat CPITN
0 = Sehat
1 = Bleeding on probing
2 = Kalkulus Subgingival terasa saat
probing, seluruh area hitam
probe masih terlihat
3 = Poket 4 sampai dengan 5 mm
(gingival margin berada pada area
hitam probe)
4 = Poket dalam ≥ 6 mm (area hitam
probe tidak terlihat)
0 = Perawatan di rumah
1 = OHI ( Oral Hygiene Instruction)
2 = 1 + skeling
3 = 1+2+ terapi kompleks
CPITN Index.5
Kebersihan mulut yang buruk adalah faktor terpenting yang mempengaruhi prevalensi
dan keparahan kerusakan periodontal. Faktor-faktor lain yang sudah pernah dibicarakan
dalam hubungannya dengan gingivitis, juga mempunyai peranan yang sama dengan
periodontitis kronis. Disini ada sedikit perbedaan jenis kelamin, keparahan kerusakan pada
semua kelompok usia kelihatannya lebih kecil pada wanita daripada pria, mungkin karena
kebersihan mulut yang lebih baik pada wanita.
Faktor sosial ekonomi, terutama tingkat pendidikan dan pendapatan, juga mempunyai
hubungan yang erat terhadap prevalensi dan keparahan. Individu dengan tingkat pendidikan
dan pendapatan yang tinggi umumnya mempunyai kebersihan mulut yang lebih baik dan
prevalensi penyakit periodontal yang lebih rendah dibandingkan dengan individu dengan
pendidikan dan pendapatan yang lebih rendah.
33
BAB VII
AGGRESSIVE PERIODONTITIS
Aggressive periodontitis dahulu dikenal dengan nama early-onset periodontitis.
Aggressive periodontitis merupakan kerusakan periodontal secara klinis yang terjadi saat
masa pubertas atau dewasa muda. Ada dua tipe dari aggressive periodontitis yaitu lokal dan
generalisata. Pada tipe lokal, dari gambaran radiografinya terlihat adanya kehilangan tulang
disekitar gigi Molar 1 dan gigi Insisivus. Sedangkan pada tipe generalisata terlihat kerusakan
jaringan periodontal yang lebih luas.1
Terdapat tiga kasus yang dapat didefinisikan sebagai aggressive periodontitis, yaitu:
Localized aggressive periodontitis : paling tidak satu gigi M1 dan satu gigi Insisivus
atau M2 dan dua gigi kaninus atau premolar yang hilang perlekatan jaringan
periodontalnya sebesar 3mm.
Generalized aggressive periodontitis : terdapat 4 gigi atau lebih yang kehilangan
perlekatan jaringannya lebih dari 3mm. Dan paling tidak melibatkan 2 gigi M2,
kaninus dan premolars.
Incidental loss of periodontal attachment : tidak diketemukan tanda-tanda yang
terdapat pada localized atau generalized. Satu atau lebih banyak gigi mengalami
hilangnya perlekatan lebih dari 3mm.
Berapa banyak kasus aggressive periodontitis terjadi? Beberapa penelitian dari
Amerika Serikat dan negara-negara lainnya menyebutkan bahwa prevalensi aggressive
periodontitis diperkirakan dibawah 1%. Dimana localized aggressive periodontitis 0,53%,
generalized aggressive periodontitis 0,13%.
34
A.Actinomycetemcomitans adalah bakteri yang banyak ditemukan dalam localized
aggressive periodontitis dan merupakan bakteri pathogen utama yang menyebabkan penyakit
ini. Dengan menghilangkan bakteri dari kasus ini ternyata didapatkan pemulihan secara
klinis. Bakteri ini menghasilkan leukotoksin yang kuat yang membunuh netrofil, yang
berperan penting dalam pertahanan terhadap infeksi periodontal.
Faktor yang lainnya yang berhubungan dengan pathogenesis aggressive periodontitis
adanya cacat dalam fungsi netrofil. Kemotaksis netrofil yang berkurang ditemukan pada
kasus localized aggressive periodontitis. Hal ini ditunjukkan bahwa 70% sampai 75% kasus
localized aggressive periodontitis ditemukan adanya kemotaksis netrofil yang berkurang.
Localized aggressive periodontitis dapat merupakan penyakit yang menurun.Tetapi tidak
semua kasus localized aggressive periodontitis terdapat kemotaksis netrofil yang berkurang
dan tidak semua kemotaksis netrofil yang berkurang merupakan kasus localized periodontitis.
Di sisi lain, terdapat faktor-faktor lain yang belum diketahui yang dapat berperan terhadap
pathogenesis aggressive periodontitis.1
35