pengembangan studi ekonomi makro financial deepening dan ... · membangun konektivitas produk antar...

43
5 LAPORAN AKHIR PENUNJANG PROSES PEMBELAJARAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA JUDUL PENELITIAN Pengembangan Studi Ekonomi Makro Financial Deepening dan Penelusuran Intermediasi Perbankan Dalam Rangka Memacu Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, 2000 - 2013 TIM PENELITI Dr. I Gede Sujana Budhiasa, SE, Msi NIDN : 0022115407 Dr. I.B. Purbadharmaja, SE, ME NIDN : 0018066801 JURUSAN STUDI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA 2014

Upload: others

Post on 21-Oct-2020

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 5

    LAPORAN AKHIR

    PENUNJANG PROSES PEMBELAJARAN

    FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

    UNIVERSITAS UDAYANA

    JUDUL PENELITIAN

    Pengembangan Studi Ekonomi Makro Financial

    Deepening dan Penelusuran Intermediasi Perbankan

    Dalam Rangka Memacu Pertumbuhan Ekonomi

    Indonesia, 2000 - 2013

    TIM PENELITI

    Dr. I Gede Sujana Budhiasa, SE, Msi

    NIDN : 0022115407

    Dr. I.B. Purbadharmaja, SE, ME

    NIDN : 0018066801

    JURUSAN STUDI PEMBANGUNAN

    FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

    UNIVERSITAS UDAYANA

    2014

  • 6

    HALAMAN PENGESAHAN

    PENELITIAN PENUNJANG PROSES PEMBELAJARAN

    Judul : Pengembangan Studi Ekonomi Makro Financial Deepening dan Penelusuran Intermediasi Perbankan Dalam Rangka Memacu

    Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, 2000 - 2013

    1. Nama Mata Kuliah : Ekonomi Makro Lanjutan 2. Ketua Peneliti :

    a. Nama : Dr. I Gede Sujana Budhiasa, SE, MSi b. NIDN : 1954 1122 198403 1 002 /0022115407 c. Pangkat/Gol. : IV/A d. Jab. Fungsional : Lektor Kepala e. Jurusan : Studi Pembangunan f. Alamat Rumah : Raya Sempidi Ilalang Blok C 2 Badung g. Telp Rumah/HP. : 081 55 8888 3 111 h. E-mail : [email protected]

    3. Jumlah Anggota Peneliti : 2 Orang 4. Lama Penelitian : 5 Bulam 5. Jumlah Biaya : Rp. 5.000.000,-

    Denpasar, 2 Juli 2014

    Ketua Jurusan Ketua Peneliti,

    Studi Pembangunan,

    Prof. Dr. Made Suyana Utama, SE, MS Dr. Gede Sudjana Budhiasa, SE, MSi

    NIP. 19540429 198303 1 002 NIP. 1954 1122 198403 1 002

    Mengetahui:

    Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis

    Universityas Udayana

    Prof. Dr. I Gst Bagus Wiksuana, MS

    NIP 19610827 196801 1

    mailto:[email protected]

  • 7

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Kebijakan moneter meskipun dilaksanakan secara terpusat melalui

    kewenangan otoritas moneter Bank Indonesia, tetapi dimasa depan dapat saja

    dipetakan kebijakan moneter yang ber-orientasi kepada kepentingan kawasan

    percepatan pembangunan ekonomi yang dikelompokkan berdasarkan koridor

    ekonomi dalam rangka melihat dinamika kebijakan moneter berdimensi regional.

    Fakta empiris menunjukkan adanya perbedaan kondisi latar belakang sumber daya

    alam dan sumber daya manusia yang menjadi tantangan tersendiri dalam

    membangun konektivitas produk antar pusat pertumbuhan ekonomi pada koridor

    Bali Nusra ( Sudjana Budhi dan Rahyuda, 2011), Sudjana Budhi (2012). Studi

    tentang kawasan koridor menjadi relatif penting, tidak saja dalam kerangka

    membangun konektivitas ekonomi antar pusat pertumbuhan ekonomi pada koridor

    ekonomi bersangkutan, tetapi juga melihat lebih jauh peranan intermediasi

    perbankan sebagai perpanjangan tangan otoritas moneter dalam upaya mencapai

    sasaran akhir efektivitas kebijakan moneter dalam rangka memacu pertumbuhan

    ekonomi pada wilayah koridor ekonomi bersangkutan.

    Keterbatasan data ekonomi moneter yang selama ini menjadi kendala bagi

    pengembangan pemodelan makro ekonomi regional sebagaimana juga tampak

    menjadi keterbatasan pada Kajian Ekonomi Regional (KER BI, 2012) Bank

    Indonesia yang dilakukan pada setiap kantor cabang Bank Indonesia di seluruh

    Indonesia adalah tidak tersedianya data tentang jumlah uang beredar (JUB) ditingkat

    propinsi, sehingga tidak memungkinkan dapat dilakukan penelusuran efektivitas

  • 8

    kebijakan moneter pada tingkat regional/propinsi melalui pendekatan variabel JUB.

    Dalam rangka pengembangan analisis tentang dampak kebijakan moneter dalam

    rangka memahami fungsi intermediasi perbankan secara nasional, maka tulisan ini

    melakukan penelusuran melalui financial deepening model, setidaknya akan dapat

    diketahui termasuk di dalamnya peranan intermediasi perbankan dalam memacu

    pertumbuhan ekonomi secara nasional untuk melihat dinamika kinerja perbankan

    Indonesia sebagai lembaga intermediasi di satu pihak melakukan mobilisasi dana

    masyarakat dalam bentuk tabungan dan simpanan berjangka, untuk kemudian

    menjadi tugas industri perbankan untuk menyalurkan kembali dana masyarakat

    tersebut untuk pembiayaan sektor riel. Studi yang terkait dengan pengembangan

    pemodelan financial deepening untuk kajian Indonesia dilakukan oleh Abdurohman

    (2003), menemukan bahwa libralisasi pasar keuangan berpengaruh nyata terhadap

    dinamika pergerakan investasi dan mobilisasi dana masyarakat.

    Agenor et al (2000) menyatakan kegagalan kebijakan moneter di negara

    berkembang disebabkan oleh credit crunch, yaitu keengganan pihak perbankan untuk

    menyalurkan pinjaman disebabkan oleh resiko kredit macet yang relatif tinggi,

    sehingga akan berdampak pada resiko usaha dan kinerja perolehan laba.

    Kompleksitas kebijakan moneter dalam konteks pengendalian pasar keuangan

    dinyatakan sebagai inside the black box yang perlu dikaji dengan lebih seksama

    seperti fenomena balance sheet channel dan Bank Lending Channel ( Bernanke dan

    Getler, 1995). Kajian Bank Indonesia (BI, 2008), melihat financial deepening dari

    dua aspek kepentingan. Pertama, financial deepening dalam rangka monetary

    stability. Kedua, financial deepening dapat ditinjau dari sisi pengaruhnya terhadap

    efektivitas kebijakan moneter. Bahwa rekomendasi Bernanke dan Getler (1995),

    serta kajian Bank Indonesia terhadap relevansi financial deepening, memberikan

  • 9

    indikasi penting tentang perlunya pengkajian secara cermat dan berkesinambungan

    dinamika financial deepening yang tampaknya relative berbeda berdasarkan potensi

    sumber daya alam, keberadaan mutu sumber daya manusia, serta kesiapan industri

    perbankan dalam memenuhi kinerja perbankan sebagaimana telah digariskan melalui

    strategi penataan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang mulai diperkenalkan

    Bank Indonesia sejak tahun 2004.

    1.2 Perumusan Pokok Masalah

    Rumusan pokok masalah yang diuraikan sejalan dengan latar belakang

    penelitian yang telah disampaikan di atas, yaitu sebagai berikut.

    a. Bagaimana pengaruh finansial credit, financial saving, dan inflasi terhadap

    pembentukan produk domestik bruto pada perekonomian Indonesia.

    b. Bagaimana pengaruh tidak langsung dari pertumbuhan Loan deposit ratio (LDR)

    dan non performing loans (NPL) terhadap pembentukan produk domestik bruto

    melalui variabel antara financial credit.

    c. Bagaimana pengaruh tidak langsung dari pertumbuhan income per capita

    terhadap pembentukan PDB melalui variabel antara financial saving.

    d. Bagaimana pengaruh pertumbuhan PDB terhadap pertumbuhan inflasi pada

    perekonomian Indonesia.

    1.3 Tujuan Penelitian

    Tujuan penelitian yang ingin dicapai pada penelitian pembelajaran ini antara lain,

    a. Untuk mengetahui pengaruh signifikansi secara langsung finansial credit,

    financial saving, dan inflasi terhadap pembentukan produk domestik bruto di

    pada perekonomian Indonesia.

  • 10

    b. Untuk mengetahui pengaruh signifikansi secara tidak langsung dari pertumbuhan

    Loan deposit ratio (LDR) dan non performing loans (NPL) terhadap

    pembentukan produk domestik bruto melalui variabel antara financial credit.

    c. Untuk mengetahui pengaruh signifikansi secara tidak langsung dari pertumbuhan

    income per capita terhadap pembentukan produk domestik bruto melalui variabel

    antara financial saving.

    d. Untuk mengetahui pengaruh signifikansi pertumbuhan PDB terhadap

    pertumbuhan inflasi pada perekonomian Indoinesia.

    1.4 Luaran

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan luaran (output) sebagai berikut.

    a. Sebagai bahan acuan dalam melengkapi bahan ajar mata kuliah Makro Ekonomi

    Lanjutan, dalam rangka memperkaya wawasan mahasiswa terhadap penyusunan

    pemodelan makro ekonomi yang difokuskan kepada kebijakan moneter dalam

    kaitannya dengan arah perkembangan ekonomi regional kawasan ekonomi

    Indonesia.

    b. Ikut serta memberi dukungan pada pengkaitan mata kuliah ekonomi makro dalam

    penyediaan kajian berkaitan dengan kebijakan moneter dan fungsi intermediasi

    perbankan di Indonesia.

  • 11

    BAB II

    STUDI PUSTAKA

    2.1 Desain Pemodelan Financial Deepening Regional Bali Nusra

    Intermediasi pasar keuangan sebagai media konektivitas antara uang dan

    barang adalah merupakan proses dari mekanisme transmisi monetary policy telah

    digagas pertama kalinya oleh Gurley dan Shaw (1960), yang menyatakan bahwa

    jumlah uang beredar akan menurun bersamaan dengan keberhasilan dalam

    pengembangan pasar keuangan. Dengan demikian, maka jumlah uang beredar

    bukanlah indikator yang secara otomatis akan memacu pertumbuhan ekonomi,

    melainkan adalah peran strategis dari financial capacity. Maka sesungguhnya

    terpacunya percepatan pertumbuhan sektor riel yang digerakkan oleh entrepreneurs

    karena profit motive, maka financial capacity adalah ruang bagi entrepreneurs untuk

    mendapatkan sumber pendanaan melalui banyak pilihan kemudahan baik melalui

    akses perbankan maupun melalui pasar modal.

    Pembahasan ekonomi makro modern dewasa ini tidaklah sekedar

    sebagaimana diteorikan melalui pendekatan konsep IS-LM sebagaimana diteorikan

    oleh JR Hick (1937), tetapi lebih penting dari sekedar pemahaman tentang product

    market dan money market, adalah upaya mendalami konsep dari Gurley dan Shaw

    tentang financial capacity, sehingga analisis model makro ekonomi menjadi penting

    mempertimbangkan dinamika perkembangan pasar keuangan alternative, selain

    fungsi mediasi perbankan. Teori yang sejalan dengan itu telah dikembangkan oleh

    Rudi Dornbusch bersama dengan Stanley Fischer (1990), keduanya dari MIT USA.

  • 12

    Gambar 1.1 : Asset Approach Macroeconomic Model

    Sumber : Dornbusch & Fischer (1990).

    Di negara berkembang, termasuk Indonesia, struktur pasar keuangan masih

    sebagian besar didominasi oleh peran intermediasi industri perbankan, terutama di

    berbagai daerah di luar Jakarta. DKI Jakarta sebagai pusat perdagangan saham,

    belum merambat secara merata ke pelbagai daerah, dimana seharusnya pengusaha di

    daerah dapat memanfaatkan sumber pembiayaan yang ditawarkan di luar industri

    perbankan.

    Permasalahan sumber daya, ukuran perusahaan serta akses informasi adalah

    kendala terbesar dewasa ini bagi sebagian besar entrepreneurs yang bermukim di

    daerah dalam rangka menggali sumber pembiayaan yang lebih menguntungkan

    dalam rangka pengembangan perusahaan. Hal Ini pula menjadi kendala yang harus

    diupayakan di masa depan oleh pemerintah bersama Bank Sentral untuk memperluas

    financial capacity di pelbagai daerah, sehingga kebijakan moneter yang dilaksanakan

    Bank Indonesia menjadi lebih mudah dalam mencapai sasaran akhirnya.

    Tulisan ini berusaha untuk mengembangkan sebuah pemodelan makro

    ekonomi moneter, sebagai rintisan untuk mencermati dinamika kebijakan moneter

    yang dilaksanakan secara sentral dari pusat otoritas kebijakan moneter Bank

    Indonesia di Jakarta, untuk kemudian dilakukan kajian konektivitas kebijakan

  • 13

    moneter tersebut terhadap perekonomian di daerah khususnya pada kawasan

    ekonomi koridor Bali Nusra yang telah menetapkan Bali sebagai pintu gerbang

    pariwisata internasional untuk diharapkan dapat mewujudkan perannya di masa

    depan dalam berkonektivitas dengan pertumbuhan sektor riel di Indonesia..

    2.2. Kebijakan Moneter di Indonesia

    Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, bahwa balance sheet channel

    (Bernanke dan Getler, 1995), berkaitan dengan posisi neraca perusahaan yang

    kondisi kepekaannya akan berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan lain

    dalam menghadapi dinamika kebijakan expensive monetary policy atau tightening

    monetary policy, yang bisa berubah dari waktu ke waktu karena pergeseran

    opportunity pada pelbagai sektor produksi dan investasi. Maka, terdapat ketidak

    pastian kemampuan pengguna DVB untuk mencapai sasaran pembentukan suku

    bunga.

    Fakta demikian dinyatakan sebagai the black box monetary policy, sehingga

    mendorong para perumus kebijakan moneter dewasa ini untuk melakukan terobosan

    dengan mengajak serta para entrepreneurs dan publik untuk berbagi informasi

    dengan pusat kekuasaan otoritas moneter melalui kerangka kebijakan inflation

    targeting framework (ITF) yang sudah dilaksanakan Bank Indonesia sejak tahun

    2005 berdasarkan Tylor Rule (Taylor, 2000). Svendsen (2002), Woodford (2001),

    Sudjana Budhi (2011).

    Bank Indonesia saat ini mempergunakan instrumen moneter suku bunga BI

    Rate, kurs tukar, dan giro wajib minimum (GWM). (Warjiyo dan Solihin, 2003).

    Berbeda dengan Negara penganut ITF lainnya yang mempergunakan suku bunga

    sebagai instrumen tunggal, maka di Indonesia diperlukan dukungan instrumen lain,

  • 14

    karena mengandalkan suku bunga BI rate sebagai instrument moneter bersifat

    tunggal tidak dapat mencapai sasaran akhir yang bersifat segera (Ascarya, 2000).

    Tulisan ini mengabaikan variabel nilai tukar dan GWM, tidak saja karena belum

    tersedianya data secara memadai, tetapi juga melalui penyederhanaan model

    diharapkan dapat lebih mudah dikendalikan kompleksitas data series yang

    melibatkan penggunaan alat analisis ekonometrik, sehingga pada model makro yang

    lebih sederhana menjadi lebih controllable dan manageable.

    Intermediasi industri perbankan dan konektivitasnya dengan sektor riel

    adalah tujuan akhir yang ingin dicapai paper ini, berdasarkan strategi pengembangan

    industri perbankan Indonesia yang telah ditetapkan Bank Indonesia sejak tahun 2004,

    adalah mencakup komponen perbankan nasional, perbankan regional dan BPR (lihat

    Gambar 1.2) yang dikenal dengan Arsitektur Perbankan Indonesia, dipolakan

    berdasarkan pedoman pilar-pilar pengembangan indusri perbankan (Lihat

    Gambar 1.3).

    Gambar 1.2

    Arsitektur Perbankan Indonesia (API)

  • 15

    Gambar 1.3 Pilar Industri Perbankan Indonesia

    The sixt pilar sebagaimana disajikan pada Gambar 1.3 adalah kewenangan

    Bank Indonesia yang saat ini telah sebagian besar beralih ke Otoritas Jasa Keuangan

    (OJK), sebagai kendali pengawasan, meskipun pada tahap akhir Bank Indonesia

    berperan dalam memberikan pertimbangan akhir terhadap sanksi atas pelanggaran

    kebijakan moneter yang telah digariskan Bank Indonesia terhadap perbankan di

    wilayah Indonesia.

    Bank Indonesia berupaya untuk membangun industri perbankan yag kuat,

    dengan harapan dapat menjadi lembaga mediasi yang kuat dalam rangka mobilisai

    dana masyarakat untuk diteruskan ke pembiayaan sektor riel. Dengan demikian,

    maka dalam konteks kebijakan ekonomi makro Bank Sentral (Bank Indonesia), maka

    industri perbankan yang sehat tentu akan mampu dijadikan partnership dalam rangka

    pelaksanaan kebijakan moneter Bank Indonesia untuk mendorong pertumbuhan

    ekonomi ekonomi di berbagai daerah di Indonesia.

  • 16

    2.3 Konektivitas Ekonomi Regional Melalui Intermediasi Perbankan

    Kajian tentang intermediasi perbankan diperoleh dari Suseno dan Abdullah,

    (2003), serta pendekatan konsep intermediasi perbankan dengan mengembangkan

    pemodelan financial deepening (Aryanti, 2000), Abdurohman (2003), Eichergreen

    (2004), serta Sahoo (2013). Melalui pemetaan financial credit (FC= Credit/PDB),

    Financial Saving (FS= Saving/PDB), serta suku bunga BI rate, akan dipetakan

    sebagai kerangka model yang secara rinci disajikan pada Gambar 1.4.

    Pemodelan yang akan dituju sebagai sasaran akhir, adalah untuk

    mendapatkan gambaran tentang keberhasilan intermediasi perbankan dalam

    melaksanakan fungsi perbankan, dalam rangka menjembatani kepentingan

    masyarakat penabung dan masyarakat pengusaha dan lainnya yang memerlukan

    kebutuhan permodalan. Gambar 1.4 menyajikan analisis keseimbangan mekanisme

    pasar dari terbentuknya suku bunga pasar dimana ro menunjukkan harga atas suku

    bunga deposito dan r1 menunjukkan harga suku bunga kredit, maka gaya tarik

    mekanisme pasar akan membentuk intermediasi di titik tengah menuju r* atau r**,

    hal mana seharusnya akan terjadi pergeseran ke titik A atau titik B berdasarkan arah

    persaingan pasar.

    Berdasarkan teori klasik modern, efisiensi akan terjadi apabila mekanisme

    pasar dibiarkan bekerja tanpa campur tangan pemerintah atau Bank Sentral. Hanya

    persaingan yang dapat menciptakan efisiensi. Pada kebijakan moneter berbasis suku

    bunga BI rate saat ini, BI rate masih ditetapkan berdasarkan target kuantum tertentu

    untuk mengatur besaran BI rate tertentu (Ascarya, 2000). Penetapan BI rate

    diperlukan sebagai strategi kebijakan moneter untuk mencapai sasaran akhir

    stabilitas perekonomian nasional, sebagaimana menjadi tugas pokok Bank Indonesia.

  • 17

    Sepanjang Bank Indonesia belum mengupayakan semakin berfungsinya pasar

    skunder dari BI rate dalam membentuk tingkat keseimbangan suku bunga perbankan

    BI rate tersebut, maka pasar keuangan Indonesia masih tetap lemah dan belum

    berkembang untuk menjadi pasar uang yang lebih modern, tidak ketergantungan

    dengan peranan pasar primer melalui pola lelang yang sekarang ini sedang berjalan.

    Gambar 1.4 : Proses Intermediasi Perbankan

    Berdasarkan mekanisme penetapan BI rate tersebut, keberhasilan monetary

    policy dalam mencapai tujuan akhirnya dapat ditentukan secara lebih pasti untuk

    menjamin efektivitas suku bunga sebagai instrumen pengendali target inflasi yang

    diinginkan.

    Meskipun target makro ekonomi Bank Sentral telah mencapai sasaran yang

    diinginkan, tentu akan ditanggapi dengan respon yang berbeda di pelbagai daerah,

    karena perbedaan kondisi sumber daya alam, sumber daya manusia, serta pada

    akhirnya kualitas layanan industri perbankan regional dan BPR sebagai perpanjangan

    tangan otoritas moneter di daerah. Bahwa untuk melihat dampak kebijakan moneter

    terhadap perekonomian di daerah, maka dibangun pemodelan financial deepening

    sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1.5.

  • 18

    Sasaran akhir yang ingin dicapai dari pemodelan Gambar 1.5 adalah

    berkaitan dengan pertanyaan apakah dinamika pasar keuangan (financial deepening )

    serta instrumen kebijakan moneter BI rate memiliki konektivitas kuat dalam memacu

    pertumbuhan ekonomi di daerah khususnya pada koridor Bali Nusra serta bersamaan

    dengan itu dapat ditingkatkan partisipasi masyarakat pada aktivitas produktif dengan

    dukungan industri perbankan yang semakin efisien.

  • 19

    BAB III

    KERANGKA PIKIR PENELITIAN

    3.1 Kerangka Pikir Penelitiam

    Perubahan kewenangan kelembagaan yang sangat fundamental telah

    dilaksanakan sejak tahun 1999 dengan perubahan kewenangan Bank Indonesia

    untuk berdiri sendiri dan tidak lagi dibawah kekuasaan pemerintah. Dengan

    demikian, berdasarkam UU Nomor 17 uhun 1999, maka Bank Indonesia

    mengemban tugas pokok melaksanakan dan memelihara stabilitas nilai rupiah.

    Dengan tugas tersebut, maka Bank Indonesia sejak tahun 2005 telah menetapkan

    kebijakan inflation targeting framework (ITF) yang mempergunakan instrumen

    suku bunga BI rate sebagai instrumen kebijakan untuk mengendalikan besaran

    inflasi. Pertama, bahwa kebijakan moneter di Indonesia dilakukan melalui

    otoritas moneter Bank Indonesia secara terpusat berlaku di seluruh Indonesia.

    Kedua, bahwa kebijakan moneter yang dilaksanakan Bank Indonesia

    didukung oleh keberadaan industri perbankan nasional, regional dan lokal

    setingkat BPR serta lembaga keuangan mikro lainnya. Dalam rangka

    mendapatkan gambaran prihal efektivitas kebijakan moneter bagi kinerja

    pertumbuhan ekonomi, kajian ini memberikan focus kepada dinamika sektor

    financial khususnya pada mobilisasi dana tabungan masyarakat yang dikelola

    perbankan, serta pada saat bersamaan juga dapat disalurkan sebagai pinjaman

    atau bantuan permodalan kepada masyarakat umum maupun pengusaha.

    Pendekatan yang dapat dilakukan dalam rangka melakukan pemetaan

    pengaruh kebijakan moneter terhadap kinerja industri perbankan nasional

    dilakukan dengan menganalisis prilaku financial credit (Kredit/M2), financial

  • 20

    saving (tabungan/M2), serta perilaku inflasi dimana diprediksi dipengaruhi oleh

    dinamika sektor riel dan dinamika sektor moneter.

    Berdasarkan kajian Romer (2000), Michael (2009) dan Sutikno (2007),

    Deasy Ariyanti (2008), Sato (2001), Hussain (2009), maka dapat disusun

    kerangka pikir penelitian tentang kinerja kebijakan moneter terhadap pembentuan

    ekonomi regional Bali sebagaimana disajikan pada Gambar 2.3. Pembentukan

    PDB dinyatakan sebagai produk domestic regional bruto Propinsi Bali yang

    dipengaruhi pergerakannya oleh arah perubahan suku bunga riel (suku bunga-

    inflasi), financial saving (FS) yang merupakan ratio dari Tabungan/PDB, serta

    financial credit (FC) yang merupakan ratio dari total kredit/PDB.

    Pada sisi lain, penelitian juga merespon perilaku suku bunga SBI terhadap

    frinancial saving (FS) dan financial_credit (FC). sehingga dimungkinkan dapat

    diperoleh gambaran lebih nyata peranan dari instrument moneter suku bunga

    SBI terhadap pembentukan PDB Propinsi Bali melalui jalur transmisi financial

    saving dan financial credit. Dengan demikian, diharapkan dapat dikembangkan

    model simulasi suku bunga SBI untuk diletakan pengaruhnya terhadap kondisi

    financial saving dan financial credit, untuk kemudian diharapkan dapat ditelusuri

    dampak akhir dari perubahan financial saving dan financial credit terhadap

    pembentukan produk secara nasional.

    3.2 Konsep Operasonal Makro Ekonomi Financial Deepening

    Model persamaan makro ekonomi disusun atas tiga tingkatan

    persamaan struktural, yaitu persamaan PDB/M2 sebagai fungsi dari FC dan FS.

    Persamaan (2) adalah menurunkan fungsi FC pada persamaan (1) untuk

  • 21

    diturunkan menjadi reduce-form yaitu persamaan yang berstatus mengkoreksi

    keseimbangan model pada persamaan (1), jika terjadi dinamika pada persamaan

    (2). Sedangkan persamaan (3) adalah dampak yang mungkin akan terjadi yaitu

    perubahan atas pertumbuhan inflasi sebagai akibat dari dinamika sektor

    intermediasi perbankan yang direpresentasikan pada persamaan (1), sehingga

    dampak dari laju pertumbuhan inflasi akan ditentukan sebagian oleh pergerakan

    sektor riel pada persamaan (1), sebagai akibat dari dinamika sektor perbankan

    pada persamaan (2).

    Gambaran dari dinamika makro ekonomi sebagaimana disampaikan

    diatas, dirumuskan dalam sebuah model berskala kecil sebagaimana disajikan

    pada Gambar 3.1.

    Gambar 3.1 Konektivitas Kebijakan Moneter Bank Indonesia Intermediasi Perbankan Nasional

    Melalui Pendekatan Financial Deepening

    FC/M2

    PDB/M2

    (SBI-INFL)/

    M2FS/M2

    LDR/M2 NPL/M2 CINC/M2

    INFL/M2

    Sumber : Model Moneter dikonstruksi dari berbagai referens.

  • 22

    BAB IV

    METODOLOGI PENELITIAN

    4.1 Lokasi Penelitian

    Penelitian ini melakukan kajian tentang peranan kebijakan moneter untuk

    memahami peran intermediasi perbankan di Indonesia, untuk mendapatkan gambaran

    tentang efektivitas kebijakan moneter Bank Indonesia terhadap kinerja ekonomi

    Indonesia dan koridor ekonomi Indonesia Bali Nusra. Lokasi penelitian adalah

    untuk kinerja industri perbankan di seluruh Indonesia.

    4.2 Objek Penelitian

    Dalam penelitian ini, objek yang diteliti adalah komponen makro ekonomi

    financial deepening yang berkembang berdasarkan dinamika ekonomi pada ketiga

    kawasan regional Bali Nusra. Sejumlah variabel ekonomi makro yang menjadi focus

    pengamatan pada penelitian financial deepening adalah kinerja PDRB, financial

    saving, financial credit serta perilaku inflasi berkaitan dengan dinamika

    pertumbuhan PDRB masing-masing region.

    4.3 Identifikasi Variabel

    Dalam penelitian ini variable dikelompokkan menjadi dua variable yaitu

    variable endogen (terikat) dan variable eksogen (bebas).

    Tabel 4.1

    Deskripsi Variabel Endogen dan Eksogen

    No Nama Variabel Deskripsi Katagori

    1 PDB Produk Domestik regional Endogen

    2 Financial Saving Ratio deposito dan PDB Endogen

    3 Financial Credit Ratio kredit dan PDB Endogen

    4 SBI-Infl Rasio Suku bunga dan Inflasi Eksogen

    5 Inflasi Inflasi Regional Eksogen

  • 23

    4.4 Definisi Operasional Variabel

    1. Financial saving (FS)

    Merupakan rasio dari pertumbuhan transaksi mobilisasi dana pihak ketiga

    termasuk tabungan dan deposito yang dapat dikumpulkna perbankan dibandingkan

    dengan produk domestic bruto pada jangka waktu dari tahun 2000 sampai dengan

    tahun 2013.

    2. Financial Credit (FC)

    Merupakan rasio dari pertumbuhan transaksi kredit yang dapat direalisasikan

    industri perbankan dibandingkan dengan produk domestic bruto pada jangka waktu

    dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2013.

    3. Suku Bunga Riel (SBI-INFL)

    Merupakan rasio dari kebijakan suku bunga BI rate terhadap pertumbuhan

    inflasi ditingkat regional dibandingkan dengan produk domestic bruto pada jangka

    waktu dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2013.

    4. PDRB

    Merupakan jumlah produksi yang dapat dihasilkan oleh propinsi di seluruh

    Indonesia untuk kemudian dijumlahkan menjadi data global PDB Indonesia pada

    jangka waktu dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2013, dihitung berdasarkan harga

    konstan.

    4.5 Metode Pengumpulan Data

    Dalam penelitian ini digunakan dua metode pengumpulan data, yaitu:

    1. Studi Pustaka

    Peneliti mengumpulkan data dan teori yang relevan terhadap permasalahan

    yang akan diteliti dengan melakukan studi pustaka terhadap literatur dan

  • 24

    bahan pustaka lainnya seperti artikel, media cetak, buku dan penelitian

    terdahulu.

    2. Dokumentasi

    Pengumpulan data sekunder yang berupa laporan keuangan diperoleh

    langsung dari publikasi SEKI Bank Indonesia Jakarta dan sumber lain dari

    BPS Jakarta.

    4.6 Pemodelan Financial Deepening Koridor Bali Nusra

    Konektivitas kebijakan moneter dengan perekonomian sektor riel di pelbagai

    daerah akan sangat ditentukan oleh kondisi struktur pasar keuangan pada daerah

    bersangkutan. Sebagaimana dinyatakan oleh Gurley dan Shaw (1960) tentang

    financial capacity, serta dinamika dari balance sheet channel (Bernanke dan Getler,

    1995), menjadikan monetary policy stance perlu memperhatikan dinamika

    perekonomian nasional ekonomi Indonesia.

    Pemodelan memerlukan jastifikasi melalui tahapan uji simultaneous equation

    model (SEM) dengan terlebih dahulu melakukan pemeriksaan apakah data time-

    series layak dipergunakan, dengan melakukan pengujian berdasarkan prosedur

    Granger (Johnston dan Dinardo, 2004), (Gujarati, 2005), serta penyelesaian uji

    pemodelan dengan mempergunakan metode regressi dua tahap, Pindyck &

    Rubinfeld (1997), Thomas RL (1997), Enders (2004), serta Maddala (2001).

    Model persamaan Makro Ekonomi Regional Berbasis Moneter yang disusun

    sejalan dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai, adalah upaya untuk menguji

    konektivitas mediasi industri perbankan dengan sektor riel perekonomian Indonesia.

    Pendekatan konektivitas makro ekonomi sektor riel dengan kebijakan moneter Bank

    Indonesia dilakukan melalui proksi pendekatan financial deepening (Gurley dan

  • 25

    Shaw, 1960). Kajian tentang intermediasi perbankan diperoleh dari Suseno dan

    Abdullah, (2003), serta pendekatan konsep intermediasi perbankan dengan fokus

    pada pengembanga pemodelan financial deepening (Aryanti, 2000), Abdurohman

    (2003), Eichergreen (2004), serta Sahoo (2013). Melalui pemetaan financial credit

    (FC= Credit/PDB), Financial Saving (FS= Saving/PDB), serta suku bunga BI rate,

    dapat dijabarkan model persamaan makro ekonomi Indonesia sebagai berikut.

    (1) PDB/M2 = α1 + β1FC/M2 + β2(SBI-INFL)/M2 + β3FS + e1 (1.1)

    (2) FC/M2 = α2 + β4 (LDR/M2) + β5 (NPL/M2) + e2 (1.2)

    (3) FS/M2 = α3 + β6 (PerCapita Income/M2) + e3 (1.3)

    (4) INFLASI REGIONAL/M2 = α4 + β7 (PDB/M2) (1.4)

    Berdasarkan persamaan (1.1) sampai dengan persamaan (1.4) dapat diterjemahkan

    menjadi framework pemodelan dengan alur sebagaimana disajikan pada Gambar 1.5.

    4.7 Matode Analisis

    Penelitian ini mempergunakan pendekatan metode ekonometrik untuk

    memprediksi besaran ekonomi makro yang mencakup tiga wilayah koridor ekonomi

    sesuai dengan pemodelan yang dibangun seperti tersaji pada Gambar 1.5. Data

    series yag dikumpulkan terlebih dahulu akan diuji kelayakan stasionaritas

    berdasarkan uji Granger ECM dan Kointegrasi untuk dilanjuutkan dengan

    penggunaan metode econometric termasuk penggunaan FIRML, Regression weight

    dan TSLS (Gujarati, 2004) Pyndick Rubin (1994), Thomas LR (1997) serta Walter

    Enders (2004).

  • 26

    BAB V

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    5.1 Pertumbuhan Ekonomi Makro Indonesia

    Sejak tahun 2002 sampai tahun 2012 akhir, perekonomian Indonesia telah

    berkembang tumbuh rata-rata mencapai 5% per tahun, di tengah krisis ekonomi

    global. Meskipun demikian, tantangan perubahan harga minyak dunia dan fluktuasi

    nilai tukar merupakan tantangan tersendiri yang membuat sejumlah target

    penerimaan negara tidak dapat dicapai. Dalam rangka pencapaian pertumbuhan

    ekonmomi sebesar 56% tersebut, Bank Indonesia telah menerapkan kebijakan

    moneter kontraktif, terbukti melalui pertumbuhan produksi nasional (PDB) yang

    relatif pesat pada kurun waktu 2002 sampai dengan tahun 2012, jumlah uang beredar

    (JUB) berkembang lebih lamban dibandingkan dengan laju pertumbuhan PDB (lihat

    Gambar 4.1).

    Gambar 5.1

    Pertumbuan PDB Indonesia dan perubahan jumlah Uang Beredar (JUB).

    0

    50

    00

    00

    10

    00

    00

    015

    00

    00

    020

    00

    00

    025

    00

    00

    0

    2002 2004 2006 2008 2010 2012thn

    JUB PDB

  • 27

    Sejumlah kontraksi moneter tidak saja senantiasa disebabkan oleh sentuhan

    kebijakan Bank Indonesia dalam mengatur jumlah uang beredar di dalam negeri,

    tetapi juga dapat disebabkan oleh pembatasan pembiayaan sektor riel oleh industri

    perbankan yang disebabkan oleh resiko perbankan dalam upaya memperluas kredit

    yang lebih ekspansif. Gambar 4.2 menyajikan arah pergerakan variabel non

    performing loan (kredit macet/total kredit), yang sangat nyata merupakan resiko

    perbankan atas kemungkinan kredit macet tak tertagih.

    Gambar 5.2

    Kinerja Industri Perbankan Dan Resiko NPL.

    .02

    .04

    .06

    .08

    NP

    L

    2002 2004 2006 2008 2010 2012thn

    Credit risk pada industri perbankan menyebabkan tidak seluruh sumber dana

    yang dihimpun perbankan dari dana pihak ketiga tersalurkan sesuai dengan

    permintaan pinjaman dari masyarakat pengguna, sehingga pada akhirnya memberi

    dampak pada kinerja sektor riel. Gambaran atas kinerja pelayanan kredit perbankan

    dapat dilihat dari loan to deposit ratio (LDR) sebagaimana digambarkan pada

    Gambar 5.3.

  • 28

    Gambar 5.3

    Kinerja Industri Perbankan Dan LDR.

    .4.5

    .6.7

    LD

    R

    2002 2004 2006 2008 2010 2012thn

    Berdasarkan Gambar 5.3 tersajikan arah pertumbuhan LDR perbankan yang

    tampak menjadi stagnan pada periode tahun 2006 sampai dengan memasuki tahun

    2012, tapi relatif berfluktuasi pada periode triwulanan pada tahun bersangkutan.

    Dinamika perubahan LDR akan menjadi salah satu barometer peran industri

    perbankan sebagai lembaga mediasi keuangan dalam mendorong pertumbuhan sektor

    riel.

    Meskipun perubahan komposisi LPD sebagian akan sangat tergantung kepada

    kinerja sektor riel dalam melaksanakan kewajiban kemitraan usahanya dengan

    perbankan, pada saat bersamaan, maka kebijakan suku bunga SBI Bank Indonesia,

    serta arah perubahan inflasi juga menjadi parameter yang menggambarkan kinerja

    makro ekonomi Indonesia dalam menghasilkan keseimbangan menuju pertumbuhan

    ekonomi tanpa terbebani dengan gangguan stabilitas inflasi yang mengancam

    penurunan lapangan kerja dan investasi. Kebijakan moneter Bank Indonesia sejak

  • 29

    tahun 2005 telah menetapkan penggunaan BI rate sebagai instrumen kebijakan

    moneter untuk mengendalikan pertumbuhan inflasi agar tetap berada pada kisaran

    target yang telah ditetapan pada awal tahun anggaran.

    Gambar 5.4

    Perkembangan Inflasi dan Penetapan BI Rate

    05

    10

    15

    20

    2002 2004 2006 2008 2010 2012thn

    infl sbi

    +

    Sejak telah ditetapkannya BI rate sebagai acuan kebijakan moneter untuk

    mengendalikan inflasi pada tahun 2005, maka tampak bahwa suku bunga BI rate

    telah disesuaikan dengan arah pertumbuhan inflasi. Pedoman kebijakan moneter

    berbasis kepada instrumen BI rate adalah bahwa apabila terjadi pergerakan kenaikan

    inflasi, maka BI rate akan dinaikkan mengikuti besaran inflasi tersebut.

    Berdasarkan Gambar 5.4, tampak bahwa BI rate berfungsi cukup efektif

    dalam upaya mengendalikan inflasi, meskipun pada besaran inflasi yang menurun

    akan mempersulit penggunaan suku bunga BI rate untuk diturunkan, karena pada

    posisi penurunan suku bunga BI rate melewati batas yang lebih rendah dari suku

  • 30

    bunga di pasar uang internasional, dapat mengancam terjadinya capital flight,

    disebabkan oleh suku bunga domestic lebih rendah dari suku bunga internasional.

    Studi penelitian ini memberikan focus studi yang terbatas pada potensi

    industri perbankan, intermediasi industri perbankan serta kajian kedalaman pasar

    keuangan financial deepening, yang akan menentukan efektivitas kebijakan suku

    bunga BI rate dalam mencapai sasaran jangka pendek yang bersifat lebih segera. Hal

    demikian hanya akan terjadi, apabila peran industri perbankan dapat menjalankan

    fungsi intermediasinya secara efektif dalam menggali sumber dana pihak ketiga

    disatu fihak, serta menggulirkannya kembali ke pihak pengguna yaitu sektor riel.

    Gamba 5 5.5 menyajikn arah perkembangan sumber dana pihak ketiga berupa

    tabungan dan deposito yang dapat dihimpun perbankan nasional, dengan realisasi

    penyaluran kredit kepada masyarakat umum dan pengusaha di dalam negeri.

    Gambar 5.5

    Perkembangan Inflasi dan Penetapan BI Rate

    50

    00

    10

    00

    015

    00

    020

    00

    025

    00

    0

    2002 2004 2006 2008 2010 2012thn

    kredit dpk

  • 31

    Ternyata sejak awal tahun 2008, pergerakan kenaikan permintaan jasa

    perkreditan bergerak lebih kuat dibandingkan dengan kemampuan perbankan dalam

    menggali sumber dana dari masyarakat. Maka pengembangan pemodelan makro

    ekonomi berskala kecil, yang terfokus kepada studi financial deepening perlu

    disusun untuk menjawab sekaligus menetapkan prediksi atas besaran variabel makro

    ekonomi yang membentuk kekuatan kedua variabel sumber dana pihak ketiga dan

    pelayanan perkreditan sebagai fungsi utama industri perbankan dalam melaksanakan

    pelayanan intermediasinya dan sekaligus mengawal stabilitas perekonomian

    Idonesia.

    5.2 Penetapan Uji Stasioner Model Makro Ekonomi

    Studi penelitian ini mempergunakan sumber data time-series sebagai acuan

    dalam melakukan investigasi dan kemudian memverifikasi atas perilaku antar

    variabel makro ekonomi yang diamati. Agar data time-series menjadi bermanfaat dan

    tidak menghasilkan prediksi yang bias, maka sangat perlu dilakukan sejumlah

    tahapan pengujian model makro untuk menetapkan apakah data time-series memiliki

    kondisi stationer atau sebaliknya.

    Langkah pertama, adalah pengujian kelayakan data stasioner jangka pendek

    yang dikenal sebagai uji residual error correction model (ECM), yang menetapkan

    apakah stabilitas data series memiliki konsistensi sebaran varian statistik atau tidak.

    Jika sebaran nilai t Thau negative lebih kecil dibandingkan dengan t Thau, maka data

    dinyatakan stasioner jangka pendek. Sebaliknya, apabila nilai t Thau tidak lebih

    besar negative dinbandingkan dengan nilai t Thau, maka data series tidak memiliki

    stabilitas stasioner dalam jangka pendek (Gujarati, 2004), Thomas (1997), Pindyck &

    Rubin, 1998.

  • 32

    Penyusunan model makro mencakup tiga persamaan, yaitu persamaan

    financial deepening (persamaan 1), persamaan fungsi kredit (persamaan 2) serta

    persamaan inflasi (persamaan 3), dapat dilihat pada hasil analisis pada Lampiran 1

    sampai dengan Lampiran 2, pada Gambar 1.1 sampai dengan Gambar 1.3. Hasil

    analisis Gambar 1.1 sampai dengan Gambar 1.3 pada Lampiran 1.1 dan Lampiran

    1.2 diperlukan untuk mendapatkan residual pada masing-masing fungsi (resid 01,

    resid 02 dan resid 03), sebagai basis untuk mendapatkan prediksi uji ECM untuk

    ketiga model persamaan makro tersebut di atas.

    Analisis uji ECM mempergunakan dukungan software Eviews 6, hasil

    analisis disajikan pada Lampiran 3, yang dikutip kembali sebagaimana disajikan

    pada Tabel 4.1.

    Gambar 5.6

    Hasil Analisis Uji ECM Persamaan (1)

    Dependent Variable: D(PDB/JUB)

    Method: Least Squares

    Date: 12/09/14 Time: 00:43

    Sample (adjusted): 2008Q2 2012Q4

    Included observations: 19 after adjustments

    Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

    C 0.114697 0.033725 3.400916 0.0043

    D(KREDIT/JUB) 23.86647 31.51691 0.757259 0.4615

    D(DPK/JUB) 9.790931 25.60953 0.382316 0.7080

    D(INFL) 0.039310 0.022723 1.729920 0.1056

    RESID01(-1) -0.233035 0.127614 -1.826090 0.0892

    R-squared 0.350690 Mean dependent var 0.128710

    Adjusted R-squared 0.165173 S.D. dependent var 0.130272

    S.E. of regression 0.119028 Akaike info criterion -1.197977

    Sum squared resid 0.198348 Schwarz criterion -0.949440

    Log likelihood 16.38078 Hannan-Quinn criter. -1.155914

    F-statistic 1.890340 Durbin-Watson stat 1.903813

    Prob(F-statistic) 0.168109

  • 33

    Hasil uji ECM persamaan (1) yang tersajikan pada Gambar 5.6 menunjukkan

    nilai t-statistic sebesar -1.82 dengan p value sebesar 0.08 ternyata menunjukkan

    kondisi data series tidak sepenuhnya stationer pada tingkat kepercayaan 5%. Dengan

    kata lain, data series dinyatakan memiliki kondisi stationer pada tingkat kepercayaan

    8%.

    Hasil uji ECM untuk persamaan (2) bahkan lebih jauh dari kondisi yang

    diharapkan, yaitu model persaaan (2) tidak stasioner pada uji jangka pendek dengan

    mempergunakan porosedur uji ECM. (Lihat Gambar 4.7).

    Gambar 5.7

    Hasil Analisis Uji ECM Persamaan (2)

    Dependent Variable: D(KREDIT/JUB)

    Method: Least Squares

    Date: 12/09/14 Time: 00:46

    Sample (adjusted): 2008Q2 2012Q4

    Included observations: 19 after adjustments

    Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

    C 0.000657 0.000320 2.054745 0.0578

    D(LDR) 0.003907 0.005391 0.724713 0.4798

    D(NPL) 0.016210 0.027030 0.599703 0.5577

    RESID02(-1) -0.089224 0.113413 -0.786718 0.4437

    R-squared 0.103575 Mean dependent var 0.000691

    Adjusted R-squared -0.075710 S.D. dependent var 0.001335

    S.E. of regression 0.001384 Akaike info criterion -10.14250

    Sum squared resid 2.87E-05 Schwarz criterion -9.943672

    Log likelihood 100.3538 Hannan-Quinn criter. -10.10885

    F-statistic 0.577712 Durbin-Watson stat 1.749071

    Prob(F-statistic) 0.638532

    Model persamaan (3) yang disajikan pada Gambar 4.8 adalah memenuhi

    syarat stasioner jangka pendek pada tingkat kepercayaan 5%, dimana nilai t Thau

    table negative lebih kecil dibandingkan dengan nilai t Thau sebesar -2.142 atau

    dengan p value sebesar 0.05.

  • 34

    Berdasarkan tahapan uji ECM untuk ketiga persamaan yang telah diuji

    tersebut, ternyata hanya model persamaan (3) yang memenuhi syarat stasioner jangka

    pndek, selebihnya persamaan (1) dan persamaan (2) tiodak memenuhi syarat

    stasioner pada tingkat kepercayaan 5%. Meskipun demikian, model persamaan (1)

    dan (2) masih tetap dapat dilanjutkan, sepanjang stabilitas stasioner jangka panjang

    yang dilakukan dengan uji kointegrasi menunjukkan syarat kecukupan berdasarkan

    criteria uji 5%.

    Uji kointegrasi berdasarkan pendekatan Granger Representation model

    sebagaimana disarankan Gujarati (2004), dilakukan untuk mendapatkan kondisi

    jangka panjang data time-series, apakah memenuhi syarat stasioner atau sebaliknya.

    Gambar 5.8

    Hasil Analisis Uji ECM Persamaan (3)

    Dependent Variable: D(INFL)

    Method: Least Squares

    Date: 12/09/14 Time: 00:49

    Sample (adjusted): 2008Q2 2012Q4

    Included observations: 19 after adjustments

    Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

    C -0.344805 0.508549 -0.678017 0.5088

    D(PDB) 4.89E-06 5.25E-06 0.930730 0.3678

    D(JUB) -3.20E-05 2.02E-05 -1.587390 0.1347

    D(INFL(-1)) 0.294797 0.321611 0.916625 0.3749

    RESID03(-1) -0.890840 0.415744 -2.142763 0.0502

    R-squared 0.450708 Mean dependent var -0.222105

    Adjusted R-squared 0.293768 S.D. dependent var 1.456387

    S.E. of regression 1.223913 Akaike info criterion 3.462917

    Sum squared resid 20.97147 Schwarz criterion 3.711453

    Log likelihood -27.89771 Hannan-Quinn criter. 3.504979

    F-statistic 2.871843 Durbin-Watson stat 2.072824

    Prob(F-statistic) 0.062688

    Berdasarkan hasil uji kointegrasi untuk ketiga persamaan, ternyata didapatkan

    bahwa data times-series terkointegrasi dalam jangka panjang. Hasil analisis uji

  • 35

    kointegrasi yang dikutip kembali dari Lampiran 3, disajikan kembali pada Gambar

    5.9.

    Gambar 5.9 Hasil Analisis Uji Kointegrasi Persamaan (1)

    Dependent Variable: D(RESID01)

    Method: Least Squares

    Date: 12/09/14 Time: 00:52

    Sample (adjusted): 2008Q2 2012Q4

    Included observations: 19 after adjustments

    Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

    RESID01(-1) -0.941708 0.242495 -3.883412 0.0011

    R-squared 0.455519 Mean dependent var 0.009804

    Adjusted R-squared 0.455519 S.D. dependent var 0.391543

    S.E. of regression 0.288915 Akaike info criterion 0.405830

    Sum squared resid 1.502498 Schwarz criterion 0.455538

    Log likelihood -2.855387 Hannan-Quinn criter. 0.414243

    Durbin-Watson stat 1.842266

    Hasil analisis uji kointegrasi untuk persamaan (1) menunjukkan p value

    sebesar 0.001 yang lebih kecil dari 5%, sehingga dapat dinyatakan bahwa model

    persamaan (1) adalah data series stationer yang terkointegrasi dalam jangka panjang.

    Gambar 5.10 Hasil Analisis Uji Kointegrasi Persamaan (2)

    Dependent Variable: D(RESID02)

    Method: Least Squares

    Date: 12/09/14 Time: 00:53

    Sample (adjusted): 2008Q2 2012Q4

    Included observations: 19 after adjustments

    Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

    RESID02(-1) -0.384111 0.170892 -2.247680 0.0374 R-squared 0.158434 Mean dependent var 0.000698

    Adjusted R-squared 0.158434 S.D. dependent var 0.002571

    S.E. of regression 0.002359 Akaike info criterion -9.210300

    Sum squared resid 0.000100 Schwarz criterion -9.160593

    Log likelihood 88.49785 Hannan-Quinn criter. -9.201888

    Durbin-Watson stat 2.429850

  • 36

    Gambar 5.10 Hasil Analisis Uji Kointegrasi Persamaan (3)

    Dependent Variable: D(RESID03)

    Method: Least Squares

    Date: 12/09/14 Time: 00:53

    Sample (adjusted): 2008Q2 2012Q4

    Included observations: 19 after adjustments

    Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

    RESID03(-1) -1.211752 0.229549 -5.278846 0.0001 R-squared 0.607417 Mean dependent var -0.032715

    Adjusted R-squared 0.607417 S.D. dependent var 1.800253

    S.E. of regression 1.127974 Akaike info criterion 3.129919

    Sum squared resid 22.90186 Schwarz criterion 3.179627

    Log likelihood -28.73423 Hannan-Quinn criter. 3.138332

    Durbin-Watson stat 2.014106

    Meskipun dalam uji jangka pendek tidak terbukti data series adalah stasioner

    untuk model (1) dan model (2), namun uji stasioner jangka panjang menunjukkan

    data series adalah stabil, sehingga data times-series dapat dimanfaatkan untuk

    dijadikan sumber data pada penggunaan metode regresi two stages least square

    (TSLS) sebagai inti model pengujian model makro ekonomi penelitian ini.

    Dukungan yang lain ditunjukkan pada uji normalitas data Jaque Berra

    normality test yang disajikan pada Lampiran 4, yang menujukkan bahwa data series

    memiliki sebaran normal, terbukti dengan dukungan p value lebih besar dari 5%,

    kecuali pada persamaan (3) dimana p value lebih kecil dari 5%. Catatan atas uji

    normalitas tersebut, bahwa normalitas tidak tercapai pada uji 5% untuk model

    persamaan (3), tetapi justru syarat stasioner jangka pendek terpenuhi. Dengan

    demikian, model persamaan (3) masih relatif layak untuk dipercaya dan dapat

    dilanjutkan ke tingkat penyelesaian model fungsi dengan metode ekonometrik TSLS.

    Dukungan uji LM test autocorrelation menunjukkan kondisi yang memberikan

    dukungan bahwa ketiga model persamaan makro ekonomi yang dirumukan dari sejak

  • 37

    awal memenuhi syarat dan terbebas dari deteksi auto-correlation (lihat Gambar 1.13

    dan Gambar 1.14 pada Lampiran 1.6 serta Gambar 1.15 pada Lampiran 1.7) tentang

    uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test).

    5.3 EstimasiModel Makro Financial Deepening

    Prediksi model makro ekonomi dilakukan melalui metode ekonometrik

    simultan, dimana satu sama lainnya dari persamaan (1), persamaan (2) dan

    persamaan (3) digabungkan dalam sebuah proses ekonometrik melalui bantuan

    software Eviews, dengan menempatkan katagori persamaan endogen dan eksogen

    (instrument) maka didapatkan hasil analisis simultan berdasarkan metode TSLS

    (Pindyck & Rubin, 1978), Maddala (2002). Hasil analisis yang telah disajikan pada

    Lampiran 8 dan dikutip kembali disajikan pada Gambar 4.10 ternyata hanya

    financial credit (Kredit/JUB) yang memiliki signifikansi dengan tingkat kepercayaan

    5%.

    Gambar 5.11

    Hasil Analisis Simultan TSLS Persamaan (1)

    Dependent Variable: PDB/JUB

    Method: Two-Stage Least Squares

    Date: 12/09/14 Time: 01:15

    Sample (adjusted): 2002Q2 2012Q4

    Included observations: 43 after adjustments

    Instrument list: LDR NPL INFL INFL(-1)

    Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

    C -1.245955 1.935372 -0.643781 0.5235

    KREDIT/JUB 131.1014 24.66463 5.315359 0.0000

    DPK/JUB -12.37097 27.88933 -0.443574 0.6598

    INFL 0.031035 0.059326 0.523136 0.6038

    R-squared 0.820920 Mean dependent var 3.037289

    Adjusted R-squared 0.807144 S.D. dependent var 0.760719

    S.E. of regression 0.334073 Sum squared resid 4.352578

    F-statistic 30.22649 Durbin-Watson stat 0.250941

    Prob(F-statistic) 0.000000 Second-Stage SSR 14.18491

  • 38

    Meskipun demikian, apabila model makro diprediksi secara serentak, maka

    statistic F menunjukkan signifikan pada level 5%. Nilai R2 menunjukkan R

    2 = 0.82,

    menunjukkan bahwa sebesar 0.18 atau 18% dari variasi nilai PDB/JUB dijelaskan

    oleh faktor lain di luar model. Model dinyatakan adalah fits dan memadai untuk

    menjadi prediksi bagi perilaku output yang dijelaskan oleh fenomena intermediasi

    perbankan.

    Estimasi peranan kredit perbankan bertanda positif, hal mana sejalan dengan

    teori yang tersedia, sehingga dapat dinyatakan bahwa peningkatan satuan rupiah

    sebesar satu satuan dalam pemberian pinjaman kepada masyarakat dan pengusaha,

    akan mengakibatkan peningkatan output sebesar 131 satuan. Dengan demikian,

    bahwa pernyataan dimana peningkatan realisasi kredit perbankan dalam

    menggerakkan roda perekonomian domestic mendapat dukungan penelitian ini.

    Estimasi tentang dinamika pelayanan kredit perbankan pada saat bersamaan

    dipicu oleh dinamika pergerakan loan deposit ratio (LDR) dan resiko kredit macet

    non performing loan (NPL), sehingga secara simultan dapat ditelusuri bahwa peran

    kebijakan perkreditan didorong oleh dinamika variabel makro LDR dan NPL.

    Gambar 5.12 menyajikan estimasi model makro persamaan (2), ternyata

    model secara bersama bahwa kredit ditentukan oleh NPL dan LDR adalah signifikan

    berdasarkan nilai F sebesar 9.65 dengan p value lebih kecil dari 5%. Nilai R2 masih

    relatif kecil yaitu R2 = 0.35 yang mensyaratkan masih perlunya ditingkatkan

    sejumlah tambahan variabel independen baru selain LDR dan NPL, sehingga nilai

    R2 dapat ditingkatkan, dan model regressi semakin memenuhi syarat fits.

  • 39

    Gambar 5.12 Hasil Analisis Simultan TSLS Persamaan (2)

    Dependent Variable: KREDIT/JUB

    Method: Two-Stage Least Squares

    Date: 12/09/14 Time: 00:54

    Sample (adjusted): 2002Q2 2012Q4

    Included observations: 43 after adjustments

    Instrument list: LDR NPL INFL INFL(-1)

    Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

    C 0.001086 0.008461 0.128335 0.8985

    LDR 0.062067 0.014567 4.260658 0.0001

    NPL -0.012342 0.041460 -0.297682 0.7675

    R-squared 0.325579 Mean dependent var 0.034557

    Adjusted R-squared 0.291858 S.D. dependent var 0.004971

    S.E. of regression 0.004183 Sum squared resid 0.000700

    F-statistic 9.655078 Durbin-Watson stat 0.540533

    Prob(F-statistic) 0.000379 Second-Stage SSR 0.000700

    Penelusuran terhadap prosedur pengujian secara parsial, ternyata hanya

    variabel LDR yang memenuhi syarat signifikansi, yaitu dengan p value lebih kecil

    dari tingkat kepercayaan 5%. Dengan demikian, bahwa pernyataan variabel makro

    ekonomi LDR berpengaruh positif dan signifikan terhadap dinamika kebijakan

    perkreditan perbankan nasional dapat didukung dalam penelitian ini.

    Bahwa peningkatan variabel LDR sebesar ratio prosentase tertentu, akan

    meningkatkan per satuan prosen dari satuan rupiah sebesar 0.062. Kontribusi yang

    positif dari variabel LDR menujukkan bahwa dinamika intermediasi industri

    perbankan di Indonesia telah berjalan dengan baik, sehingga memberikan dorongan

    fungsi perbankan sebagai media dalam memicu roda perekonomian nasional melalui

    kinerja sektor riel.

  • 40

    Hasil analisis untuk dinamika inflasi yang disusun sebagai persamaan (3)

    menunjukkan model inflasi memenuhi syarat kelayakan model dengan uji statistic F

    sebesar F = 7.33 dengan p value lebih kecil dari 5%. Kondisi nilai R2 yang negative

    masih menyisakan kendala secara ekonometrik bahwa informasi variasi penentu

    tingkat inflasi dapat diprediksi dengan baik, selain upaya untuk meningkatkan

    variabel independen dalam rangka mendorong penyesuaian nilai R2 menjadi positif

    dan mendekati nilai R2 yang lebih masuk akal.

    Gambar 5.13

    Hasil Analisis Simultan TSLS Persamaan (2)

    Dependent Variable: INFL

    Method: Two-Stage Least Squares

    Date: 12/09/14 Time: 00:58

    Sample (adjusted): 2002Q2 2012Q4

    Included observations: 43 after adjustments

    Instrument list: LDR NPL INFL INFL(-1)

    Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

    C 2.922362 2.505081 1.166574 0.2503

    PDB -1.11E-05 3.10E-06 -3.561656 0.0010

    JUB 4.41E-05 1.52E-05 2.902740 0.0060

    R-squared -0.922921 Mean dependent var 6.121628

    Adjusted R-squared -1.019067 S.D. dependent var 2.087614

    S.E. of regression 2.966372 Sum squared resid 351.9745

    F-statistic 7.338711 Durbin-Watson stat 0.347803

    Prob(F-statistic) 0.001928 Second-Stage SSR 53.88962

    Berdasarkan Tabel 4.13 didapatkan kedua variabel independen yaitu PDB

    dan JUB adalah signifikan berdasarkan uji parsial statistic t, dengan tingkat

    keyakinan sebesar 5%. Inflasi yang dipengaruhi oleh dinamika perubahan PDB

    adalah bentuk dari Philips curve, sehingga dapat dinyatakan bahwa Philips curve

    masih relevan di Indonesia. Parameter prediksi bertanda negatif menunjukkan

    bahwa inflasi memiliki hubungan yang berlawanan dengan dinamika PDB adalah

  • 41

    sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa peningkatan pengangguran atau

    penurunan PDB akan berpengaruh secara berlawanan dengan prilaku inflasi.

    Dengan hasil analisis tersebut di atas, dimana parameter PDB sebesar -0.0001

    menunjukkan bahwa peningkatan PDB (penurunan pengangguran) sebesar satu

    satuan rupiah tertentu akan menurunkan pertumbuhan infkasi sebesar -0.0001.

    Apabila PDB dianggap seteris paribus, maka pembentukan pertumbuhan inflasi

    ditentukan oleh fenomena moneter yang ternyata signifikan pada level kepercayaan

    lebih kecil dari 5%. Hal ini menujukkan bahwa fenomena sektor riel produksi dan

    fenomena moneter, keduanya memberikan kontribusi signifikan bagi stabilitas inflasi

    di Indonesia.

    Prediksi tentang dinamika sektor riel yang dipicu oleh financial credit sektor

    perbankan nasional disajikan pada Gambar 5.14.

    Gambar 5.14

    Hasil Prediksi Pertumbuhan Sektor Riel Melalui

    Dukungan Intermediasi Perbankan

    Berdasarkan Ganbar 5.14 tampak bahwa output memiliki dinamika yang

    relatif berfluktuatif setelah melewati tahun 2004, ketika terdapat arah perubaan

    kebijakan moneter dari basis money aggregates ke basis suku bunga BI rate.

  • 42

    Meskipun tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa pergerakan output yang fluktuatif

    tersebut disebabkan oleh perubahan arah kebijakan moneter, namun tantangan

    kondisi pasar global yang semakin berat ditandai dengan krisis ekonomi Eropa, serta

    pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat di negara China dan India dengan komoditi

    ekspor yang semakin murah, telah mempersulit Indonesia mendapatkan pangsa pasar

    yang lebih luas bagi komoditi ekspor Indonesia, sehingga menjadikan gerakan output

    menjadi melambat.

    Hasil prediksi persamaan (2) berbeda dengan pola dinamika sektor riel,

    dimana prilaku kredit sektor perbankan relatif ditentukan oleh kemampuan

    perbankan dalam menggali sumber dana masyarakat baik dalam bentuk tabungan

    maupun dalam bentuk deposito. Peranan sumber dana pihak ketiga dan

    penyalurannya ke masyarakat melalui pinjaman dapat dipetakan dengan loan deposit

    ratio (LDR), sehingga hubungan fungsi yang telah disusun menjadi persamaan (2)

    menghasilkan prediksi sebagaimana disajikan pada Gambar 5.14.

    Gambar 5.15

    Hasil Prediksi Pertumbuhan Sektor KreditMelalui

    Kondisi loan to deposit ratio (LDR)

    Fluktuasi yang lebih tajam terjadi pada pergerakan realisasi jumlah

    pinjaman yang disalurkan kepada masyarakat umum dan pengusaha meng-

  • 43

    indikasikan kondisi sektor riel yang tidak sepenuhnya menjadi tempat investasi yang

    aman bagi industri perbankan dalam melaksanakan kewajiban pendampingan kepada

    masyarakat yang memerlukan bantuan permodalan. Dengan demikian, prediksi atas

    pergerakan kredit belum mencapai tingkat optimal industri perbankan nasional dalam

    melaksanakan fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan.

    Pada saat yang bersamaan, perekonomian Indonesia ternyata lebih

    menunjukkan stabilitas yang relatif mantap, berdasarkan kinerja sektor riel dan arah

    kebijakan moneter yang konservatif. Jumlah pembatasan jumlah uang beredar

    melalui tightening monetary policy relative mampu mewujudkan arah pertumbuhan

    inflasi yang cenderung menurun, dibandingkan dengan situasi perekonomian

    Indonesia periode 1997 sampai dengan tahun 2004.

    Gambar 5.16

    Hasil Prediksi Pertumbuhan Inflasi Melalui

    Pergerakan output dan Jumlah Uang Beredar

    Gambar 5.16 menunjukkan bahwa kebijalan pengelolaan fiscal APBN dan upaya

    kuat Bank Indonesia untuk melakukan control atas jumlah uang beredar,

  • 44

    pengendalian inflasi melalui instrumen suku bunga BI rate memberikan kawalan

    nyata bahwa kombinasi antara politik anggaran APBN yang ditentukan oleh

    kebijakan pemerintah, dengan independensi Bank Indonesia dalam menanggapi arah

    pergerakan inflasi, adalah model kebijakan moneter yang cukup efektif dalam

    memelihara stabilitas perekonomian Indonesia sebagaimana ditetapkan sebagai tugas

    pokok Bank Indonesia untuk selalu menjaga stalilitas nilai rupiah dengan inflasi yang

    terkendali stabil sesuai dengan target inflasi tahun berjalan sebagaimana selalu

    diumumkan Bank Indonesia pada setiap awal than anggaran.

    **********************

  • 45

    DAFTAR PUSTAKA

    Atkinson (1994), Elemenary Numerical Analysis second edition. John Willey &

    Son, Singapore.

    Bank Indonesia, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia. (2012), Berbagai edisi

    penerbitan dan website : www.bi.go.id. Jakarta : Bank Indonesia

    Bank Indonesia, (2012) Statistik Ekonomi dan Keuangan Daerah, Berbagai edisi

    penerbitan Surabaya : Bank Indonesia

    Bradley, S.P. & D. B. Crane. (1973), Management of Commercial Bank Government

    Security Portfolio: An Optimization Approach under Uncertainty. Journal of

    Bank Research. Spring pp. 18-30.

    Echols, M. E. & J. W. Elliot, (1976), A Quantitative Yield curve Model for

    Estimating the Term Structure of Interest Rate. Journal of Financial and

    Quantitative Analysis. pp. 87-114

    Fabozzi, F. J. & T.D. Fabozzi. (1989), Bond Markets, Analysis and Strategies.

    Prentice Hall, Englewood Cliff, New Jersey.

    Fabozzi, F. J. & T.D. Fabozzi. (1989), The Handbook of Fixed Income Securities

    Fourth edition. Burr Ridge, New York.

    Goeltom, Miranda.S., dan Doddy Zulverdi, (2003), Manajemen Nilai tukar di

    Indonesia dan Permasalahannya,∆ Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan,

    Jakarta

    Gujarati, Damodar R. 2006, Dasar-dasar Ekonometrika, Jilid 1, Alih Bahasa Julius

    Mulyadi, Jakarta: Erlangga.

    Hendry, David F, (1997), Dynamic Econometrics Advance Texts in Econometric

    Modelling Using PcGive Volume l, Tumberlake Consultants Ltd, UK.

    Insukindro. 2003, Analisis Dampak Kebijakan Moneter terhadap Variabel

    Makroekonomi di Indonesia Tahun 1983.1 - 2003.2. Tesis, FE-UGM,

    Yogyakarta.

    Kurniati, Yati dan A.V. Hardiyanto, (1999), Perubahan Sistim Nilai Tukar, Buletin

    Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol.2, Bank Indonesia, Jakarta,September

    1999.

    Mankiw, N. Gregory. 2000. Teori Makro Ekonomi. Edisi Keempat. Terjemahan.

    Jakarta : Penerbit Erlangga

    McCulloch, J. H. (1971), Measuring Term Structure Interest Rate. Journal of

    Business, 44:19-31

    http://www.bi.go.id/

  • 46

    McNelis, Paul D.,” Inflation Targeting In Emerging Market Economies: A General

    Equilibrium Model For Bank Indonesia “, Department of Economics,

    Georgetown University, Wasington

    Mendoza, Enrique G (1995), The Terms of Trade, the Real Exchange Rate, and

    Economic Fluctuation”, International Economic Review 36: 101-137. DC,

    August 2000.

    Mishkin, Frederic S. (2004). The Economy of Money, Banking & Financial Market.

    Seventh Edition. New York : Columbia University Press

    Nelson, C. R. & A.F. Siegal. 1987. Parsimonious Modeling of yield curve. Journal of

    Business. pp. 473-489

    Pohan, Aulia. 2008,Potret Kebijakan Moneter Indonesia, Cetakan Pertama,

    Jakarta:PT. Raja Grafindo.

    Peraturan Bank Indonesia No. 6/15/PBI/2004 tgl 1 Juli 2004 tentang Giro Wajib

    Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing

    Peraturan Bank Indonesia No. 12/19/PBI/2010 tgl 4 Oktober 2010 tentang Giro

    Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta

    Asing

    Peraturan Bank Indonesia No.13/10/PBI/2011 tgl 9 Februari 2011 tentang

    Perubahan atas PeraturanBank Indonesia No. 12/19/PBI/2010 Tentang Giro

    Wajib Minimum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah dan Valuta Asing.

    Ryan, Ronald J. (ed), 1997. Yield Curve Dynamics. Fitzroy Dearbon Publisher,

    Chicago and London.Bartolomeo, Giovanni Di and Debora Di Gioacchino.

    Fiscal-Monetary Policy Coordination and Debt Management: A Two Stage

    Dynamic Analysis. Working Paper No. 74, Universita Degli Studi di Roma La

    SapienzaΔ Dipartiento di Economia Pubblica, 2004.

    ,1999. Undang Undang Republik Indonesia No. 23 tentang Bank Indonesia

    ,2004. Undang Undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 2004 tentang

    Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1999

    Tentang Bank Indonesia

    ,1992. Undang Undang Republik Indonesia No. 7 tentang Perbankan

    .1998. Undang Undang Republik Indonesia No. 10 tentang Perubahan atas

    UU RI No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

    , 2010, Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana No. 244/H14/HK/2007.

    Tentang Buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Tesis dan

    Disertasi.pada Program Pascasarjana. Denpasar : Fakultas Ekonomi

    Universitas Udayana.

    Samuelson, Paul and William Nordhaus. 2004, Macroeconomi, Twelves Edition,

    New York: McGraw-Hill, Book Company Inc.

  • 47

    Simorangkir, Iskandar. (2005) Koordinasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal

    di Indonesia: Suatu Pendekatan dengan Game Theory. PPSK Bank

    Indonesia Working Paper,

    Stein, J.L. et al (1997), Fundamental Determinants of Exchange Rates, Clarendon

    Press, Oxford, UK.

    Surat Edaran Bank Indonesia No. 13/24/DPNP tgl 25 Oktober 2011, Perihal

    Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.

    Throop, A.W. (1994), International Financial Market Integration and Linkages of

    National Interest Rates, Federal Reserve bank of San Francisco Economic

    Review, No.3 .

    Tucker, Alan J, et al. (1991), International Financial Market, West Publishing Co.

    St. Paul .

    Warjiyo, Perry dan Doddy Zulverdi. 1998. "Penggunaan Suku Bunga Sebagai

    Sasaran Operasional Kebijakan Moneter di Indonesia" Buletin Ekonomi

    Moneter dan Perbankan, Vol. 1, Nomor 1, Jakarta: Bank Indonesia

    *****************