dermatitis kontak alergi
TRANSCRIPT
DERMATITIS KONTAK ALERGI (DKA)
I. DEFINISI
Dermatitis kontak alergi (DKA) adalah dermatitis yang terjadi akibat pajanan
ulang dengan bahan luar yang bersifat haptenik atau antigenik yang sama atau
mempunyai struktur kimia serupa pada kulit seseorang yang sebelumnya telah
tersensitasi.1
II. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, 90% klaim kesehatan akibat kelainan kulit pada
pekerjaan diakibatkan oleh dermatitis kontak. Konsultasi dengan dokter kulit
akibat dermatitis kontak adalah 4-7%. Di skandinavia yang telah lama memakai uji
tempel sebagai standar, terlihat insiden dermatitis kontak lebih tinggi dari pada di
Amerika. Bila dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderita
dermatitis kontak alergi lebih sedikit, karena hanya mengenai orang yang kulitnya
sangat peka (hipersensitif). Dermatitis kontak iritan timbul pada 80% dari seluruh
penderita dermatitis kontak sedangkan dermatitis kontak alergi kira-kira hanya 10-
20%. Sedangkan insiden dermatitis kontak alergi di perkirakan terjadi pada 0,21%
dari populasi penduduk. Secara umum usia tidak mempengaruhi timbulnya
sesitisasi namun dermatitis kontak alergi jarang dijuampai pada anak. Bila dilihat
dari jenis kelamin, prevalensi pada wanita adalah dua kali lipat dibanding pada
laki-laki. Selain itu, bangsa kaukasian lebih sering terkena dermatitis kontak alergi
dari pada ras bangsa lain.7
Di Indonesia laporan dari bagian penyakit kulit dan kelamin FK Unsrat
Manado dari tahun 1988-1991 menunjukkan insiden dermatitis kontak sebesar
4,45%. Di RSUD Dr. Abdul Aziz Singkawang Kalimantan Barat pada tahun 1991-
1992 dijumpai insiden dermatitis kontak sebanyak 17,76%. Sedangkan di RS Dr.
Pirngadi Medan insiden dermatitis kontak pada tahun 1992 sebanyak 37,54%
tahun 1993 sebanyak 34,74 dan tahun 1994 sebanyak 40,05%. Dari data
kunjungan pasien baru di RS Dr. Pirngadi Medan, selama tahun 2000 terdapat
3897 pasien baru di poliklinik alergi dengan 1193 pasien (30,61%) dengan
diagnosis dermatitis kontak. Dari bulan januari hingga juni 2001 terdapat 2122
pasien alergi dengan 645pasien (30,40%) menderita dermatitis kontak . Di RSUD
H. Adam Malik Medan, selama tahun 2000 terdapat 731 pasien baru dipoliklinik
alergi dimana 201 pasien (27,50%) menderita dermatitis kotak. Dari bulan januari
hingga juni 2001 terdapat 270 pasien dengan 64 pasien (23,70%) menderita
dermatitis kontak. Walaupun demikian, kasus dermatitis sebenarnya diperkirakan
10-50 kali lipat dari data statistik yang terlihat karena adanya kasus yang tidak
dilaporkan. Selain itu, perkiraan yang lebih besar tersebut juga diakibatkan oleh
semakin meningkatnya pekembangan industri.7
III. ETIOGI
Yang menyebabkan dermatitis kontak alergi adalah :
Bahan logam berat
Perhiasan, pakaian, jam tangan, gunting, peralatan masak
Semen, kulit
pewarna rambut, celana ketat, sepatu
Sarung tangan karet dan sepatu bot
Krim, salep, kosmetik
Nikel dan kobalt-kadang
Kromat
Paraphenylenediamine-digunakan dalam pewarna rambut
bahan kimia pengawet karet
Pengawet (parabenz, quarternium), balsam Peru, wewangian, lanolin, neomisin,
benzokain dalam obat salep.3
IV. PATOGENESIS
Karakteristik dermatitis alergi adalah:
1. Sebelumnya terpapar oleh alergen
2. 48-96 jam antara kontak dan perubahan pada kulit.
3. Sebelumnya tubuh telah terkontak dengan alergen yang sama di bagian
tubuh yang lainnya.
4. Menetapnya alergen dalam tubuh selama bertahun-tahun.3
Ada dua proses utama yang terlibat dalam dermatitis kontak alergi
yaitu sensitisasi (induksi, atau ekstremitas aferen, sensitivitas) dan elisitasi
(atau ekstremitas eferen) dermatitis kontak. Empat jenis reaksi
hipersensitivitas tipe lambat untuk eksogen bahan kimia, di antaranya
dermatitis kontak alergi adalah bentuk, telah diusulkan :
Th1-dimediasi-dengan melepaskan IFN-γ dan TNF-α, dan aktivasi
monosit dan makrofag pada dermatitis kontak alergi, eksantema bulosa
dan tes kulit tuberkulin
Th2-dimediasi-dengan pelepasan IL-5, IL-4, IL-13 dan eotaxin, sehingga
eosinophilic infl ammation terlihat di makulopapular dan eksantema
bulosa
Dimediasi oleh CD4 + sitotoksik dan sel T CD8 +, dengan pelepasan
perforin, granzim dan Fas-ligan, sehingga kontak alergi dermatitis,
makulopapular, pustular dan bulosa eksantema
Pelepasan CXCL-8 dan GM-CSF oleh sel T, sehingga rekrutmen
neutrofil di eksantema pustular.4
Fase Sensitisasi
Bahan kimia yang dapat bersifat sebagai alergen biasanya berat
molekulnya kecil (berat molekul <500 Da), larut dalam lemak dan ini disebut
sebagai hapten. Hapten yang masuk ke dalam epidermis melewati stratum
korneum akan difagosit oleh sel langerhans, dan diproses secara kimiawi oleh
enzim lisosom atau sitosol dan kemudian berikatan dengan HLA-DR
membentuk antigen lengkap. Pada awalnya sel langerhans dalam keadaan
istirahat, dan hanya berfungsi sebagai makrofag dengan sedikit kemampuan
menstimulasi sel T. Tetapi setelah keratinosit terpajan oleh hapten yang juga
mempunyai sifat iritan, akan melepaskan sitokin (IL-1) yang akan
mengaktifkan sel langerhans sehingga mampu menstimulasi sel T. 5
Sensitisasi hanya bisa terjadi jika hubungan dengan limpha nodus baik. Sel
langerhans yang membawa alergen melalui limphatik afferent menuju
parakortikal pada daerah limpha nodus, dimana akan berhubungan dengan
limfosit T.5
Sensitisasi adalah mungkin jika sambungan ke regio nodus limfa utuh.
Selanjutnya sel Langerhans dirangsang untuk mengeluarkan IL-1
(interleukin-1) yang akan merangsang sel T untuk mengeluarkan IL-2.
Kemudian IL-2 akan mengakibatkan proliferasi sel T sehingga terbentuk
memory T cells, yang akan bersirkulasi ke seluruh tubuh meninggalkan
limfonodi dan akan memasuki fase elisitasi bila kontak berikut dengan
alergen yang sama. Proses ini pada manusia berlangsung selama 14-21 hari,
dan belum terdapat ruam pada kulit. Pada saat ini individu tersebut telah
tersensitasi.5
Fase Elisitasi
Fase elisitasi terjadi jika terdapat pajanan ulang dari antigen yang sama
dengan kosentrasi yang sama. Terjadi ± 24-48 jam, dimana terjadi proses yang
cepat. Antigen yan telah dikenal itu akan langsung mempengaruhi sel limfosit
T yang telah tersensitisasi yang kemudian akan dilepaskan sebagai mediator
yang akan menarik sel-sel radang. Hal inilah yang selanjutnya menimbulkan
gejala klinis dermatitis. Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan
merangsang sel T untuk mensekresi IL-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang
IFN (interferon) gamma. IL-1 dan IFN gamma akan merangsang keratinosit
memproduksi ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang langsung
beraksi dengan limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid
akan mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk melepaskan histamin
sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang meningkat. Akibatnya
timbul berbagai macam kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikel yang
akan tampak sebagai dermatitis.5
V. GEJALA KLINIK
Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada
keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut dimulai dengan bercak
eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel
atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi
(basah). Dermatitis kontak alergi akut ditempat tertentu, misalnya kelopak mata,
penis, skrotum, eritema dan edema. Pada yang kronis terlihat kulit kering
berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisura, batasnya tidak jelas.
Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis, mungkin
penyebabnya juga campuran.6
Dermatitis kontak alergi dapat meluas ke tempat lain, misalnya dengan cara
autosensitisasi. Kulit kepala, telapak tangan dan kaki relatif resisten terhadap
dermatitis kontak alergi.6
Gambar 1 kulit tampak kemerahan dan bula. Dikutip dari kepustakaan 7
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis gejala yang dialami dan
kemungkinan alergen penyebab, pemeriksaan fisik untuk melihat gejala alergi
yang tampak, dan apabila masih terdapat keraguan harus dilakukan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan penunjang tersebut dapat dilakukan secara in vivo
ataupun in vitro.8
1. Pemeriksaan In Vitro
a. Hitung eosinofil total
Pemeriksaan hitung eosinofil total perlu dilakukan untuk
menunjang diagnosis dan mengevaluasi pengobatan penyakit alergi.
Eosinofilia apabila dijumpai jumlah eosinofil darah lebih dari 450
eosinofil/µL.1 Hitung eosinofil total dengan kamar hitung lebih
akurat dibandingkan persentase hitung jenis eosinofil sediaan apus
darah tepi dikalikan hitung leukosit total. Eosinofilia sedang (15%-
40%) didapatkan pada penyakit alergi, infeksi parasit, pajanan obat,
keganasan, dan defisiensi imun, sedangkan eosinofilia yang
berlebihan (50%-90%) ditemukan pada migrasi larva Dibandingkan
IgE, eosinofilia menunjukkan korelasi yang lebih kuat dengan
sinusitis berat maupun sinusitis kronis. Jumlah eosinofil darah dapat
berkurang akibat infeksi dan pemberian kortikosteroid secara
sistemik.8
b. Hitung eosinofil dalam secret
Peningkatan jumlah eosinofil dalam apusan sekret hidung
merupakan indikator yang lebih sensitif dibandingkan eosinofilia
darah tepi, dan dapat membedakan rinitis alergi dari rinitis akibat
penyebab lain. Meskipun demikian tidak dapat menentukan alergen
penyebab yang spesifik. Esinofilia nasal pada anak apabila ditemukan
eosinofil lebih dari 4% dalam apusan sekret hidung, sedangkan pada
remaja dan dewasa bila lebih dari 10%. Eosinofilia sekret hidung juga
dapat memperkirakan respons terapi dengan kortikosteroid hidung
topikal. Hitung eosinofil juga dapat dilakukan pada sekret bronkus
dan konjungtiva.8
c. Kadar serum IgE total
Peningkatan kadar IgE serum sering didapatkan pada penyakit
alergi sehingga seringkali dilakukan untuk menunjang diagnosis
penyakit alergi. Pasien dengan dermatitis atopi memiliki kadar IgE
tertinggi dan pasien asma memiliki kadar IgE yang lebih tinggi
dibandingkan rinitis alergi.1 Meskipun rerata kadar IgE total pasien
alergi di populasi lebih tinggi dibandingkan pasien non-alergi, namun
adanya tumpang tindih kadar IgE pada populasi alergi dan non-alergi
menyebabkan nilai diagnostik IgE total rendah.Kadar IgE total
didapatkan normal pada 50% pasien alergi, dan sebaliknya meningkat
pada penyakit non-alergi (infeksi virus/jamur, imunodefisiensi,
keganasan).8
d. Kadar IgE spesifik
Pemeriksaan kadar IgE spesifik untuk suatu alergen tertentu
dapat dilakukan secara in vivo dengan uji kulit atau secara in vitro
dengan metode RAST (Radio Allergosorbent Test), ELISA (Enzyme-
linked Immunosorbent Assay), atau RAST enzim. Kelebihan metode
RAST dibanding uji kulit adalah keamanan dan hasilnya tidak
dipengaruhi oleh obat maupun kelainan kulit. Hasil RAST berkorelasi
cukup baik dengan uji kulit dan uji provokasi, namun sensitivitas
RAST lebih rendah.8
2. Pemeriksaan In Vivo
a. Uji kulit
Sel mast dengan IgE spesifik untuk alergen tertentu berlekatan
dengan reseptor yang berafinitas tinggi pada kulit pasien dengan
alergi. Kontak sejumlah kecil alergen pada kulit pasien yang alergi
dengan alergen akan menimbulkan hubungan silang antara alergen
dengan sel mast permukaan kulit, yang akhirnya mencetuskan aktivasi
sel mast dan melepaskan berbagai preformed dan newly generated
mediator. Histamin merupakan mediator utama dalam timbulnya
reaksi wheal, gatal, dan kemerahan pada kulit (hasil uji kulit positif).
Reaksi kemerahan kulit ini terjadi segera, mencapai puncak dalam
waktu 20 menit dan mereda setelah 20-30 menit. Beberapa pasien
menunjukkan edema yang lebih lugas dengan batas yang tidak terlalu
jelas dan dasar kemerahan selama 6-12 jam dan berakhir setelah 24
jam (fase lambat).8
Terdapat 3 cara untuk melakukan uji kulit, yaitu cara
intradermal, uji tusuk (skin prick test/SPT), dan uji gores (scratch
test).8
Uji kulit intradermal: 0,01-0,02 ml ekstrak alergen disuntikkan
ke dalam lapisan dermis sehingga timbul gelembung berdiameter 3
mm. Dimulai dengan konsentrasi terendah yang menimbulkan reaksi,
lalu ditingkatkan berangsur dengan konsentrasi 10 kali lipat hingga
berindurasi 5-15 mm. Teknik uji kulit intradermal lebih sensitif
dibanding skin prick test (SPT), namun tidak direkomendasikan untuk
alergen makanan karena dapat mencetuskan reaksi anafilaksis.8
Uji gores (scratch test): sudah banyak ditinggalkan karena
kurang akurat. Uji tusuk (skin prick test/SPT): Uji tusuk dapat
dilakukan pada alergen hirup, alergen di tempat kerja, dan alergen
makanan. Lokasi terbaik adalah daerah volar lengan bawah dengan
jarak minimal 2 cm dari lipat siku dan pergelangan tangan. Setetes
ekstrak alergen dalam gliserin diletakkan pada permukaan kulit.
Lapisan superfisial kulit ditusuk dan dicungkit ke atas dengan jarum
khusus untuk uji tusuk. Hasil positif bila wheal yang terbentuk >2
mm. Preparat antihistamin, efedrin/epinefrin, kortikosteroid dan β-
agonis dapat mengurangi reaktivitas kulit, sehingga harus dihentikan
sebelum uji kulit. Uji kulit paling baik dilakukan setelah pasien
berusia tiga tahun. Sensitivitas SPT terhadap alergen makanan.8
lebih rendah dibanding alergen hirup. Dibanding uji
intradermal, SPT memiliki sensitivitas yang lebih rendah namun
spesifisitasnya lebih tinggi dan memiliki korelasi yang lebih baik
dengan gejala yang timbul.8
b. Uji Provokasi
Uji provokasi dilakukan untuk melihat hubungan antara
paparan alergen dengan gejala pada berbagai organ (kulit,
konjungtiva, saluran cerna, paru), maka dapat dilakukan uji
provokasi.8
Uji provokasi bronkial, ekstrak alergen dengan
konsentrasi yang makin tinggi dihirup melalui
nebulizer untuk melihat obstruksi jalan napas.
Atkins dalam penelitian menunjukkan bahwa uji
provokasi bronkial berkorelasi baik dengan uji kulit
maupun uji alergi in vitro.8
Uji provokasi makanan, dilakukan berdasarkan riwayat
makanan yang dicurigai serta hasil uji kulit ataupun RAST
terhadap makanan tersebut. Pelaksanaannya dapat
dilakukan secara terbuka, single-blind, double-blind, atau
double-blind placebo-controlled. Jika uji kulit negatif dan
riwayat reaksi terhadap makanan meragukan maka uji
provokasi makanan terbuka dapat dilakukan setelah
melakukan diet eliminasi selama tiga minggu. Pada uji
provokasi susu sapi dilakukan dengan memberikan susu
sapi mulai dari 1 tetes/15 menit hingga 30 ml/15 menit, dan
bila telah mencapai 200 ml tidak terjadi reaksi alergi, maka
pasien dapat mengkonsumsi susu sapi.8
Uji provokasi sekum (colonoscopic allergen
provocationlCOLAP), dilakukan melalui kolonoskopi
dengan menyuntikkan ekstrak alergen ke dalam mukosa
sekum. Hasil positif berupa pembentukan wheal dan
kemerahan pada mukosa. Derajat alergi ditentukan secara
semikuantitatif, yaitu 0=tidak ada reaksi, 1=meragukan,
2=reaksi sedang (diameter <1 cm), 3=reaksi berat (1-2 cm),
dan 4=reaksi maksimal (>2 cm).10 Hasil COLAP sesuai
dengan riwayat alergi, namun tidak sesuai dengan hasil
SPT dan RAST. Kejadian kemungkinan karena IgE
spesifik mukosa usus tidak beredar secara sistemik, atau
reaksi hipersensitivitas pada usus bukan (bukan hanya)
merupakan mekanisme yang IgE-tergantung.8
Uji tempel (patch test), pada umumnya digunakan pada
kasus dermatitis kontak. Alergen yang dicurigai diletakkan
pada kulit dan hasil positif berupa reaksi eksatema dalam
48-72 jam. Selain pada dermatitis kontak, uji tempel juga
dilakukan untuk mendiagnosis alergi makanan pada anak
dengan dermatitis atopi dan esofagitis eosinofilik.
Dijumpai 67% anak dengan uji provokasi susu sapi yang
positif menunjukkan hasil SPT (reaksi alergi tipe cepat)
yang positif, sedangkan uji tempel menunjukkan hasil yang
negatif. Sebaliknya, uji tempel positif pada 89% anak
dengan reaksi alergi tipe lambat (25-44 jam). Dikatakan
bahwa kombinasi uji tusuk dan uji tempel memiliki nilai
prediksi positif tertinggi dan dapat menggantikan uji
provokasi makanan.8
Immuno CAP Phadiatop Infant (PI), berguna untuk
mendeteksi IgE pada bayi hingga usia 2 tahun. Apabila
dibandingkan dengan skin prick test (SPT) dan RAST pada
bayi dengan hasil SPT dan RAST seluruhnya positif atau
negatif, maka PI memiliki sensitivitas 96%, spesifisitas
98%, nilai prediktif positif 89%, dan nilai prediktif negatif
99% namun pada bayi dengan hasil SPT atau RAST positif,
PI menunjukkan sensitivitas 82%, spesifisitas 98%, nilai
prediktif positif 94%, dan nilai prediktif negatif 95%.
Terdapat korelasi yang bermakna secara statistik antara
eksim dan hasil PI yang positif, namun korelasi dengan
gejala asma dan rinokonjungtivitis tidak meyakinkan
karena di atas usia dua tahun telah terdapat peran infeksi
virus. Dengan demikian PI dapat digunakan sebagai
pemeriksaan alergi pada bayi karena dapat menggantikan
SPT dan tidak memerlukan seleksi antigen spesifik baik
pada SPT maupun RAST.8
Microarrayed Allergen Molecules, dapat diketahui molekul
alergen penyebab sehingga dapat memberi informasi
tentang profit reaktivitas alergi dan dapat mengidentifikasi
dengan tepat molekul yang digunakan dalam imunoterapi.
Beberapa dekade yang lampau terdapat berbagai metode
pemeriksaan alergi yang saat ini telah ditinggalkan karena
tidak sesuai dengan patofisiologi penyakit alergi, antara
lain uji alergi sitotoksik (cytotoxic allergy testing), uji
provokasi, dan netralisasi (provocative and neutralization
testing) secara subkutan ataupun sublingual, imunoterapi
dengan titrasi kulit (skin titration method of
inzinunotlwrapy), urine autoinjection (autogenous urine
immunization), dan pemeriksaan kadar IgG serum terhadap
makanan tertentu.8
VII. PENTALAKSANAAN
1. Terapi Non Farmakologi
a. Membersihkan dengan cara mengompres kulit yang teriritasi dengan
air hangat.
b. Memberikan edukasi mengenai kegiatan yang beresiko untuk terkena
dermatitis kontak alergi
c. Menghindari substansi alergen
d. Mengganti semua pakaian yang terkean alergen
e. Mencuci bagian yang yang terapapar secepat mungkin dengan sabun,
jika tidak ada sabun bilas dengan air.
f. Menghindari air bekas cucian / bilasan kulit yang terpapar alergen
g. Bersihkan pakaian yang terkena alergen secara terpisah dengan
pakaian lain
h. Bersihkan hewan peliharaan yang diketahui terpapar alergen
i. Gunakan perlengkapan / pakaian pelindung saat melakukan aktivitas
yang beresiko terhadap paparan alergen.7
2. Terapi Farmakologi
Umum : Hindari faktor penyebab
Khusus :
a) Sistemik :
Antihistamin
Kortikosteroid : metilprednison, metilprednisolon, atau
triamsinolon.
b) Topikal
Jika lesi basah diberi kompres KMnO4 1/5000. Jika sudah
mengering diberi kortikosteroid topikal seperti hidrokortison 1-
2%, triamsinolon 0,1%, fluosinolon 0,025%, desoksimetason 2-
2,5 dan betametason-dipropionat 0,05%.9
VIII. DIAGNOSIS BANDING
Perbandingan Dermatitis Kontak Iritan dan Dermatitis Kontak Alergi.5
Gambaran klinis Dermatitis kontak iritan Dermatitis kontak alergi
Patogenesis Efek sitotoksik langsungReaksi T cell–mediated immune
Setiap orang Golongan minoritas
Onset
Onset sedang (chemical burns)12–48 jam sebelum tersensitisasi.Setelah terpapar bahan iritan lemah yang berulang
12-48 jam sebelum tersensitisasi
Tanda
Ekzema subakut atau kronik dengan deskuamasi dan fisura.
Ekzema akut sampai subakut dengan vesikel
Gejala Nyeri dan sensasi terbakar PruritusKonsentrasi kontaktan Tinggi RendahPemeriksaan Tidak ada Patch or prick tests
IX. PROGNOSISPrognosis pada dermatitis kontak alegi tergantung dari penyebab dan cara menghindari paparan alergi penyebabnya.4
Gambar 2. Dermatitis kontak iritan pada tangan karena terkena bahan dindustri.
Dikutip dari kepustakaan 2
Gambar 3. Dermatitis kontak alergi pada tangan karena terkena bahan industri.
Dikutip dari kepustakaan 2