documentdd
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
Pada awalnya, insiden dari keganasan kolon dan rektal tidak diperhitungkan sebelum
tahun 1900. Akan tetapi, sejak kemajuan ekonomik dan industri berkembang, angka kejadian
keganasan ini meningkat. Pada saat ini, kanker kolorektal merupakan penyebab ketiga
kematian dari pria dan wanita akibat kanker di Amerika Serikat
Insidens kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka
kematiannya. Pada tahun 2002 kanker kolorektal menduduki peringkat kedua pada kasus
kanker yang terdapat pada pria, sedangkan pada wanita kanker kolorektal menduduki
peringkat ketiga dari semua kasus kanker.Meskipun belum ada data yang pasti, tetapi dari
berbagai laporan di Indonesia terdapat kenaikan jumlah kasus, data dari Depkes didapati
angka 1,8 per 100.000 penduduk.
Pada kebanyakan kasus kanker, terdapat variasi geografik pada insiden yang
ditemukan, yang mencerminkan perbedaan sosial ekonomi dan kepadatan penduduk,
terutama antara negara maju dan berkembang. Demikian pula antara Negara Barat dan
Indonesia, terdapat perbedaan pada frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan. Di
Indonesia frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan sebanding antara pria dan wanita;
banyak terdapat pada seseorang yang berusia muda; dan sekitar 75% dari kanker ditemukan
pada kolon rektosigmoid, sedangkan di Negara Barat frekuensi kanker kolorektal yang
ditemukan pada pria lebih besar daripada wanita; banyak terdapat pada seseorang yang
berusia lanjut; dan dari kanker yang ditemukan hanya sekitar 50% yang berada pada kolon
rektosigmoid.
Letak kanker kolorektal paling sering terdapat pada kolon rektosigmoid.Keluhan
pasien karena kanker kolorektal tergantung pada besar dan lokasi dari tumor. Keluhan dari
lesi yang berada pada kolon kanan dapat berupa perasaan penuh di abdominal, symptomatic
anemia dan perdarahan, sedangkan keluhan yang berasal dari lesi pada kolon kiri dapat
berupa perubahan pada pola defekasi, perdarahan, konstipasi sampai obstruksi.
Jenis kanker yang paling sering ditemukan ialah adenokarsinoma yaitu sebanyak
98%, sedangkan lainnya yang lebih jarang ialah carcinoid (0,4%), limfoma (1,3%) dan
sarkoma (0,3%).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Kanker colorectal ditujukan pada tumor ganas yang berasal dari mukosa colon
atau rectum. Kebanyakan kanker colorectal berkembang dari polip, oleh karena itu
polypectomy colon mampu menurunkan kejadian kanker colorectal. Polip colon dan
kanker pada stadium dini terkadang tidak menunjukkan gejala. Secara histopatologis,
hampir semua kanker usus besar adalah adenokarsinoma (terdiri atas epitel kelenjar)
dan dapat mensekresi mukus yang jumlahnya berbeda-beda. Tumor dapat menyebar
melalui infiltrasi langsung ke struktur yang berdekatan, seperti ke dalam kandung
kemih, melalui pembuluh limfe ke kelenjar limfe pericolon dan mesocolon, dan
melalui aliran darah, biasanya ke hati karena colon mengalirkan darah ke sistem portal.
2.2 Anatomi Colon dan Rectum
Usus besar atau colon berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang
sekitar 1,5 m (5 kaki) yang terbentang dari caecum hingga canalis ani. Diameter usus
besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil, yaitu sekitar 6,5 cm (2,5 inci), tetapi
makin dekat anus diameternya semakin kecil.
Usus besar terdiri dari 6 bagian, yaitu caecum, colon ascenden, colon
transversum, colon descenden, colon sigmoid dan rectum (Lihat Gambar. 1). Berbeda
dengan mukosa usus halus, pada mukosa colon tidak dijumpai vili dan kelenjar
biasanya lurus-lurus dan teratur. Permukaan mukosa terdiri dari pelapis epitel tipe
absorptif diselang-seling dengan sel goblet. Pada lamina propria dan basis kripta secara
sporadik terdapat nodul jaringan limfoid.
2.2.1 Caecum
Merupakan kantong yang terletak di bawah muara ileum pada usus
besar. Panjang dan lebarnya kurang lebih 6 cm dan 7,5 cm. Caecum terletak
pada fossa iliaca kanan di atas setengah bagian lateralis ligamentum inguinale.
Biasanya caecum seluruhnya dibungkus oleh peritoneum sehingga dapat
bergerak bebas, tetapi tidak mempunyai mesenterium; terdapat perlekatan ke
fossa iliaca di sebelah medial dan lateral melalui lipatan peritoneum yaitu plica
caecalis, menghasilkan suatu kantong peritoneum kecil, recessus retrocaecalis.
3
2.2.2. Colon ascenden
Bagian ini memanjang dari caecum ke fossa iliaca kanan sampai ke
sebelah kanan abdomen. Panjangnya 13 cm, terletak di bawah abdomen
sebelah kanan, dan dibawah hati membelok ke kiri. Lengkungan ini disebut
fleksura hepatica (fleksura coli dextra) dan dilanjutkan dengan colon transversum.
2.2.3 Colon Transversum
Merupakan bagian usus besar yang paling besar dan paling dapat bergerak
bebas karena tergantung pada mesocolon, yang ikut membentuk omentum majus.
Panjangnya antara 45-50 cm, berjalan menyilang abdomen dari fleksura coli
dekstra sinistra yang letaknya lebih tinggi dan lebih ke lateralis. Letaknya tidak
tepat melintang (transversal) tetapi sedikit melengkung ke bawah sehingga terletak
di regio umbilicalis.
2.2.4 Colon descenden
Panjangnya lebih kurang 25 cm, terletak di bawah abdomen bagian kiri,
dari atas ke bawah, dari depan fleksura lienalis sampai di depan ileum kiri,
bersambung dengan sigmoid, dan dibelakang peritoneum.
2.2.5 Colon sigmoid
Disebut juga colon pelvinum. Panjangnya kurang lebih 40 cm dan
berbentuk lengkungan huruf S. Terbentang mulai dari apertura pelvis superior
(pelvic brim) sampai peralihan menjadi rectum di depan vertebra S-3. Tempat
peralihan ini ditandai dengan berakhirnya ketiga teniae coli, dan terletak + 15 cm
di atas anus. Colon sigmoideum tergantung oleh mesocolon sigmoideum pada
dinding belakang pelvis sehingga dapat sedikit bergerak bebas (mobile).
2.2.6 Rectum
Bagian ini merupakan lanjutan dari usus besar, yaitu colon sigmoid
dengan panjang sekitar 15 cm. Rectum memiliki tiga kurva lateral serta kurva
dorsoventral. Mukosa dubur lebih halus dibandingkan dengan usus
besar.Rectum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan inferior
kiri. 2/3 bagian distal rectum terletak di rongga pelvic dan terfiksir, sedangkan
1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua
bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflectum dimana bagian anterior lebih
4
panjang dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian
terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih
proksimal, dikelilingi oleh spinkter ani (eksternal dan internal ) serta otot-otot
yang mengatur pasase isi rectum kedunia luar. Spinkter ani eksterna terdiri dari
3 sling : atas, medial dan depan.
Vaskularisasi kolondipelihara oleh cabang-cabang arteri mesenterica superior
dan arteri mesenterica inferior, membentuk marginal arteri seperti periarcaden, yang
memberi cabang-cabang vasa recta pada dinding usus. Yang membentuk marginal
arteri adalah arteri ileocolica, arteri colica dextra, arteri colica media, arteri colica
sinistra dan arteri sigmoidae. Hanya arteri ciloca sinistra dan arteri sigmoideum yang
merupakan cabang dari arteri mesenterica inferior, sedangkan yang lain dari arteri
mesenterica superior. Pada umumnya pembuluh darah berjalan retroperitoneal kecuali
arteri colica media dan arteri sigmoidae yang terdapat didalam mesocolon transversum
dan mesosigmoid. Seringkali arteri colica dextra membentuk pangkal yang sama
dengan arteri colica media atau dengan arteri ileocolica. Pembuluh darah vena
mengikuti pembuluh darah arteri untuk menuju ke vena mesenterica superior dan arteri
mesenterica inferior yang bermuara ke dalam vena porta. Aliran limfe mengalir
menuju ke nn. ileocolica, nn. colica dextra, nn. colica media, nn. colica sinistra dan nn.
mesenterica inferior. Kemudian mengikuti pembuluh darah menuju truncus
intestinalis.
2.3 Fungsi Fisiologis
Usus besar atau colon mengabsorbsi 80% sampai 90% air dan elektrolit dari
kimus yang tersisa dan mengubah kimus dari cairan menjadi massa semi padat. Usus
besar hanya memproduksi mucus. Sekresinya tidak mengandung enzim atau hormon
pencernaan. Sejumlah bakteri dalam colon mampu mencerna sejumlah kecil selulosa
dan memproduksi sedikit kalori nutrien bagi tubuh dalam setiap hari. Bakteri juga
memproduksi vitamin K, riboflavin, dan tiamin, dan berbagai gas. Usus besar
mengekskresi zat sisa dalam bentuk feses.
Fungsi utama dari rectum dan canalis anal ialah untuk mengeluarkan massa
feses yang terbentuk dan melakukan hal tersebut dengan cara yang terkontrol. Fungsi
rectum berhubungan dengan defekasi sebagai hasil refleks. Apabila feses masuk ke
dalam rectum, terjadi peregangan rectum sehingga menimbulkan gelombang peristaltik
pada colon descendens dan colon sigmoid mendorong feses ke arah anus, sfingter ani
5
internus dihambat dan sfingter ani internus melemas sehingga terjadi defekasi. Feses
tidak keluar secara terus menerus dan sedikit demi sedikit dari anus berkat adanya
kontraksi tonik otot sfingter ani internus dan externus.
2.4. Epidemiologi
2.4.1. Distribusi dan Frekuensi
a. Orang
Sekitar 75% dari kanker colorectal terjadi pada orang yang tidak
memiliki faktor risiko tertentu. Sisanya sebesar 25% kasus terjadi pada
orang dengan faktor-faktor risiko yang umum, sejarah keluarga atau
pernah menderita kanker colorectal atau polip, terjadi sekitar 15-20%
dari semua kasus. Faktor-faktor risiko penting lainnya adalah
kecenderungan genetik tertentu, seperti Hereditary Nonpolyposis
Colorectal Cancer (HNPCC; 4-7% dari semua kasus) dan Familial
Adenomatosa Polyposis (FAP, 1%) serta Inflammatory Bowel Disease
(IBD; 1% dari semua kasus).
b. Tempat dan Waktu
Kanker colorectal merupakan salah satu penyakit yang mematikan.
Berdasarkan laporan World Cancer Report WHO, diperkirakan 944.717
kasus ditemukan di seluruh dunia pada tahun 2000. Insiden yang tinggi
pada kasus kanker colorectal ditemukan di Amerika Serikat, Kanada,
Jepang, negara bagian Eropa, New Zealand, Israel, dan Australia,
sedangkan insiden yang rendah itu ditemukan di Aljazair dan India.
Sebagian besar kanker colorectal terjadi di negara-negara industri.
Insiden kanker colorectal mulai mengalami kenaikan di beberapa negara
seperti di Jepang, Cina (Shanghai) dan di beberapa negara Eropa
Timur.8 Menurut American Cancer Society pada tahun 2008 di Amerika
Serikat diperkirakan sekitar 148.810 orang didiagnosis menderita kanker
colorectal dan 49.960 mengalami kematian dengan CFR 33,57%.
Eropa, sebagai salah satu negara maju memiliki angka kesakitan
kanker colorectal yang tinggi. Pada tahun 2004, terdapat 2.886.800 kasus
dan 1.711.000 kematian karena kanker dengan CFR 59,27%, kanker
colorectal menduduki peringkat kedua pada angka insiden dan
mortalitas.
6
Insidens kanker colorectal di Indonesia cukup tinggi, demikian
juga angka kematiannya. Pada tahun 2002 kanker colorectal menduduki
peringkat kedua pada kasus kanker yang terdapat pada pria, sedangkan
pada wanita kanker colorectal menduduki peringkat ketiga dari semua
kasus kanker. Pada kebanyakan kasus kanker, terdapat variasi geografik
pada insidens yang ditemukan, yang mencerminkan perbedaan sosial
ekonomi dan kepadatan penduduk, terutama antara negara maju dan
berkembang.
2.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian kanker
colorectal yaitu:
a. Umur
Kanker colorectal sering terjadi pada usia tua. Lebih dari 90%
penyakit ini menimpa penderita di atas usia 40 tahun, dengan insidensi
puncak pada usia 60-70 tahun (lansia). Kanker colorectal ditemukan di
bawah usia 40 tahun yaitu pada orang yang memiliki riwayat colitis
ulseratif atau polyposis familial.
b. Faktor Genetik
Meskipun sebagian besar kanker colorectal kemungkinan
disebabkan oleh faktor lingkungan, namun faktor genetik juga berperan
penting. Ada beberapa indikasi bahwa ada kecenderungan faktor
keluarga pada terjadinya kanker colorectal. Risiko terjadinya kanker
colorectal pada keluarga pasien kanker colorectal adalah sekitar 3 kali
dibandingkan pada populasi umum.
Banyak kelainan genetik yang dikaitkan dengan keganasan kanker
colorectal diantaranya sindrom poliposis. Namun demikian sindrom
poliposis hanya terhitung 1% dari semua kanker colorectal. Selain itu
terdapat Hereditary Non-Poliposis Colorectal Cancer (HNPCC) atau
Syndroma Lynch terhitung 2-3% dari kanker colorectal.
c. Faktor Lingkungan
Kanker colorectal timbul melalui interaksi yang kompleks antara
faktor genetik dan faktor lingkungan. Sejumlah bukti menunjukkan
bahwa lingkungan berperan penting pada kejadian kanker colorectal.
Risiko mendapat kanker colorectal meningkat pada masyarakat yang
7
bermigrasi dari wilayah dengan insiden kanker colorectal yang rendah ke
wilayah dengan risiko kanker colorectal yang tinggi. Hal ini menambah
bukti bahwa lingkungan sentrum perbedaan pola makanan berpengaruh
pada karsinogenesis.
d. Faktor Makanan
Makanan mempunyai peranan penting pada kejadian kanker
colorectal. Mengkonsumsi serat sebanyak 30 gr/hari terbukti dapat
menurunkan risiko timbulnya kanker colorectal sebesar 40%
dibandingkan orang yang hanya mengkonsumsi serat 12 gr/hari. Orang
yang banyak mengkonsumsi daging merah (misal daging sapi, kambing)
atau daging olahan lebih dari 160 gr/hari (2 porsi atau lebih) akan
mengalami peningkatan risiko kanker colorectal sebesar 35%
dibandingkan orang yang mengkonsumsi kurang dari 1 porsi per
minggu.
Menurut Daldiyono et al. (1990), dikatakan bahwa serat makanan
terutama yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin sebagian
besar tidak dapat dihancurkan oleh enzim-enzim dan bakteri di dalam
tractus digestivus. Serat makanan ini akan menyerap air di dalam colon,
sehingga volume feses menjadi lebih besar dan akan merangsang syaraf
pada rectum, sehingga menimbulkan keinginan untuk defekasi. Dengan
demikian tinja yang mengandung serat akan lebih mudah dieliminir atau
dengan kata lain transit time yaitu kurun waktu antara masuknya
makanan dan dikeluarkannya sebagai sisa makanan yang tidak
dibutuhkan tubuh menjadi lebih singkat. Waktu transit yang pendek,
menyebabkan kontak antara zat-zat iritatif dengan mukosa colorectal
menjadi singkat, sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit di colon
dan rectum. Di samping menyerap air, serat makanan juga menyerap
asam empedu sehingga hanya sedikit asam empedu yang dapat
merangsang mukosa colorectal, sehingga timbulnya karsinoma colorectal
dapat dicegah.
e. Polyposis Familial
Polyposis Familial diwariskan sebagai sifat dominan autosom.
Insiden pada populasi umum adalah satu per 10.000. Jumlah total polip
bervariasi 100-10.000 dalam setiap usus yang terserang. Bentuk polip ini
8
biasanya mirip dengan polip adenomatosun bertangkai atau berupa polip
sesil, akan tetapi multipel tersebar pada mukosa colon. Sebagian dari
poliposis ini asimtomatik dan sebagian disertai keluhan sakit di
abdomen, diare, sekresi lendir yang meningkat dan perdarahan kecil
yang mengganggu penderita. Polip cenderung muncul pada masa remaja
dan awal dewasa dan risiko karsinoma berkembang di pasien yang tidak
diobati adalah sekitar 90% pada usia 40 tahun.
f. Polip Adenoma
Polip Adenoma sering dijumpai pada usus besar. Insiden terbanyak
pada umur sesudah dekade ketiga, namun dapat juga dijumpai pada
semua umur dan laki-laki lebih banyak dibanding dengan perempuan.
Polip adenomatosum lebih banyak pada colon sigmoid (60%), ukuran
bervariasi antara 1-3 cm, namun terbanyak berukuran 1 cm. Polip terdiri
dari 3 bagian yaitu puncak, badan dan tangkai. Polip dengan ukuran 1,2
cm atau lebih dapat dicurigai adanya adenokarsinoma. Semakin besar
diameter polip semakin besar kecurigaan keganasan. Perubahan dimulai
dibagian puncak polip, baik pada epitel pelapis mukosa maupun pada
epitel kelenjar, meluas ke bagian badan dan tangkai serta basis polip.
Risiko terjadinya kanker meningkat seiring dengan meningkatnya ukuran
dan jumlah polip.
g. Adenoma Vilosa
Adenoma vilosa jarang terjadi, berjumlah kurang dari 10%
adenoma colon. Terbanyak dijumpai di daerah rectosigmoid dan
biasanya berupa massa papiler, soliter, tidak bertangkai dan diameter
puncak tidak jauh berbeda dengan ukuran basis polip. Adenoma vilosa
mempunyai insiden kanker sebesar 30-70%. Adenoma dengan diameter
lebih dari 2 cm, risiko menjadi kanker adalah 45%. Semakin besar
diameter semakin tinggi pula insiden kanker.
h. Colitis Ulserosa
Perkiraan kejadian kumulatif dari kanker colorectal yang
berhubungan dengan colitis ulserosa adalah 2,5% pada 10 tahun, 7,6%
pada 30 tahun, dan 10,8% pada 50 tahun.Colitis ulserosa dimulai dengan
mikroabses pada kripta mukosa colon dan beberapa abses bersatu
membentuk ulkus. Pada stadium lanjut timbul pseudopolip yaitu
9
penonjolan mukosa colon yang ada diantara ulkus. Perjalanan penyakit
yang sudah lama, berulang-ulang, dan lesi luas disertai adanya
pseudopolip merupakan resiko tinggi terhadap karsinoma. Pada kasus
demikian harus dipertimbangkan tindakan kolektomi. Tujuannya adalah
mencegah terjadinya karsinoma (preventif) dan menghindari penyakit
yang sering berulang-ulang. Karsinoma yang timbul sebagai komplikasi
colitis ulserosa sifatnya lebih ganas, cepat tumbuh dan metastasis.
2.5. Patologi
Pada umumnya, dalam perjalanan penyakit, pertumbuhan adenokarsinoma usus
besar sebelah kanan dan kiri berbeda. Adenokarsinoma usus besar kanan (caecum,
colon ascenden, transversum sampai batas flexura lienalis), tumor cenderung tumbuh
eksofitik atau polipoid. Pada permulaan, massa tumor berbentuk sesil, sama seperti
tumor colon kiri. Akan tetapi kemudian tumbuh progresif, bentuk polipoid yang mudah
iritasi dengan simtom habit bowel: sakit di abdomen yang sifatnya lama. Keluhan
sakit, sering berkaitan dengan makanan/minuman atau gerakan peristaltik dan kadang-
kadang disertai diare ringan. Berat badan semakin menurun dan anemia karena adanya
perdarahan kecil tersembunyi. Konstipasi jarang terjadi, mungkin karena volum colon
kanan lebih besar. Suatu saat dapat dipalpasi massa tumor di rongga abdomen sebelah
kanan.
Karsinoma usus besar kiri (colon transversum batas flexura lienalis, colon
descenden, sigmoid dan rectum) tumbuh berbentuk cincin menimbulkan napkin-ring.
Pada permulaan, tumor tampak seperti massa berbentuk sesil, kemudian tumbuh
berbentuk plak melingkar yang menimbulkan obstipasi. Kemudian bagian
tengahmengalami ulserasi yang menimbulkan simtom diare, tinja campur lendir dan darah,
konstipasi dan tenesmus mirip dengan sindrom disentri.
10
2.6 Histologi
Pada penelitian mengenai gambaran histologi kanker kolorektal dari tahun
1998-2001 di Amerika Serikat yang melibatkan 522.630 kasus kanker kolorektal.
Didapatkan gambaran histopatologis dari kanker kolorektal sebesar 96% berupa
adenocarcinoma, 2% karsinoma lainnya (termasuk karsinoid tumor), 0,4% epidermoid
carcinoma, dan 0,08% berupa sarcoma. Proporsi dari epidermoid carcinoma, mucinous
carcinoma dan carcinoid tumor banyak diketemukan pada wanita. Secara keseluruhan,
didapatkan suatu pola hubungan antara tipe histopatologis, derajat differensiasi dan
stadium dari kanker kolorektal. Adenocarcinoma sering ditemukan dengan derajat
differensiasi sedang dan belum bermetastase pada saat terdiagnosa, signet ring cell
carcinoma banyak ditemukan dengan derajat differensiasi buruk dan telah bermetastase
jauh pada saat terdiagnosa, lain pula pada carcinoid tumor dan sarcoma yang sering
dengan derajat differensiasi buruk dan belum bermetastase pada saat terdiagnosa,
sedangkan small cell carcinoma tidak memiliki derajat differensiasi dan sering sudah
bermetastase jauh pada saat terdiagnosa.
Dari 201 kasus kanker kolorektal periode 1994-2003 di RS Kanker Dharmais
(RSKD) didapatkan bahwa tipe histopatologis yang paling sering dijumpai adalah
adenocarcinoma [diferensiasi baik 48 (23,88%), sedang 78 (38,80%), buruk 45
(22,39%)], dan yang jarang adalah musinosum 19 (9,45%) dan signet ring cell
carcinoma 11 (5,47%). Berbagai varian gambaran histopatologi kanker kolorektal
berdasarkan klasifikasi World Health Organization:
- Mucinous adenocarcinoma
- Signet ring cell adenocarcinoma
- Adenoskuamous carcinoma
11
- Squamous carcinoma
- Choriocarcionma
- Medullary carcinoma10
2.7 Manifestasi klinis
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sejalan dengan
suplai darah yang diterima. Arteri mesenterika superior memperdarahi belahan bagian
kanan (caecum, kolon ascendens dan duapertiga proksimal kolon transversum), dan
arteri mesenterika inferior yang memperdarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon
transversum, kolon descendens dan sigmoid, dan bagian proksimal rektum). Tanda dan
gejala dari kanker kolon sangat bervariasi dan tidak spesifik. Keluhan utama pasien
dengan kanker kolorektal berhubungan dengan besar dan lokasi dari tumor.
a. Kolon kanan memiliki kaliber yang besar, tipis dan dinding distensi serta isi fecal
ialah air. Karena fitur anatomisnya, karsinoma kolon kanan dapat tumbuh besar
sebelum terdiagnosa. Pasien sering mengeluh lemah karena anemia. Darah
makroskopis sering tidak tampak pada feses tetapi dapat mendeteksi tes darah
samar. Pasien dapat mengeluh ketidaknyamanan pada kuadran kanan perut setelah
makan dan sering salah diagnosa dengan penyakit gastrointestinal dan kandung
empedu. Jarang sekali terjadi obstruksi dan gangguan berkemih.
b. Kolon kiri memiliki lumen yang lebih kecil dari yang kanan dan konsistensi feses
ialah semisolid. Tumor dari kolon kiri dapat secara gradual mengoklusi lumen
yang menyebabkan gangguan pola defekasi yaitu konstipasi atau peningkatan
frekuensi BAB. Pendarahan dari anus sering namun jarang yang masif. Feses
dapat diliputi atau tercampur dengan darah merah atau hitam. Serta sering keluar
mukus bersamaan dengan gumpalan darah atau feses.
Pada kanker rektum, gejala utama yang terjadi ialah hematokezia. Perdarahan
seringkali terjadi persisten. Darah dapat tercampur dengan feses atau mukus. Pada
pasien dengan perdarahan rektal pada usia pertengahan atau tua, walaupun ada
hemoroid, kanker tetap harus dipikirkan.
Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau perforasi, sehingga jika
ditemukan pasien usia lanjut dengan gejala obstruksi, maka kemungkinan besar
penyebabnya adalah kanker. Obstruksi total muncul pada < 10% pasien dengan kanker
kolon, tetapi hal ini adalah sebuah keadaan darurat yang membutuhkan penegakan
diagnosis secara cepat dan penanganan bedah. Pasien dengan total obstruksi mungkin
mengeluh tidak bisa flatus atau buang air besar, kram perut dan perut yang menegang.
12
Jika obstruksi tersebut tidak mendapat terapi maka akan terjadi iskemia dan nekrosis
kolon, lebih jauh lagi nekrosis akan menyebabkan peritonitis dan sepsis. Perforasi juga
dapat terjadi pada tumor primer, dan hal ini dapat disalah artikan sebagai akut
divertikulosis. Perforasi juga bisa terjadi pada vesika urinaria atau vagina dan dapat
menunjukkan tanda tanda pneumaturia dan fecaluria. Metastasis ke hepar dapat
menyebabkan pruritus dan jaundice, dan yang sangat disayangkan hal ini biasanya
merupakan gejala pertama kali yang muncul dari kanker kolon.
Gambar Distribusi kanker kolorektal menurut lokasi sebanyak 73% dapat dideteksi
dengan pemeriksaan rektosigmoidoskopi (data unit endoskopi, Divisi Departemen
Ilmu penyakit Dalam FKUI/RSCM,Jakarta 2005)
Gejala-gejala yang timbul pada karsinoma kolorektal
a. Kolon kanan :
- Kelemahan yang tidak dapat dijelaskan / anemia
- Tes darah samar pada feses
- Gejala dispepsia
- Ketidaknyamanan abdomen kanan persisten
- Teraba massa abdominal
b. Kolon kiri :
- Gangguan pola buang air besar
- Darah makro pada feses
- Gejala obstruksi
c. Rektum :
- Pendarahan per rektal
13
- Gangguan pola buang air
- Adanya sensasi tidak lampias
- Teraba tumor intrarectal
KOLON KANAN KOLON KIRI REKTUM
ASPEK KLINIS Kolitis Obstruksi Proktitis
NYERI Karena penyusupan Obstruksi Obstruksi
DEFEKASI Diare/diare berkala Konstipasi progresif Tenesmi terus menerus
OBSTRUKSI Jarang Hampir selalu Hampir selalu
DARAH PADA
FESES
Samar Samar/makroskopik Makroskopik
FESES Normal/diare berkala Normal Perubahan bentuk
DISPEPSIA Sering Jarang Jarang
ANEMIA Hampir selalu Lambat Lambat
MEMBURUKNYA
KEADAAN UMUM
Hampir selalu Lambat Lambat
Tabel gambaran klinis karsinoma kolorektal
Staging tumor menurut TNM
Prognosis dari pasien dari pasien kanker kolorektal berhubungan dengan
dalamnya penetrasi tumor ke dinding kolon, keterlibatan kelenjar getah bening
regional atau metastasis jauh. Semua variabel ini digabung sehingga dapat ditentukan
sistem staging yang awalnya diperhatikan oleh Dukes.
Dan diaplikasi dalam metode klasifikasi TNM dalam hal ini, T menunjukkan
kedalaman penetrasi tumor, N menandakan keterlibatan kelenjar getah bening dan M
ada tidaknya metastase jauh.
Lesi superfisial yang tidak mencapai lapisan muskularis atau kelenjar getah
bening (KGB) dianggap sebagai stadium A (T1N0M0). Bila tumor yang masuk lebih
dalam namun tidak menyebar ke KGB dikelompokkan sebagai stadium B1 (T2N0M0).
Bila tumor terbatas sampai lapisan muskularis disebut stadium B2 (T3N0M0). Bila
tumor menginfiltrasi serosa dan KGB disebut stadium C (TXN1M0),bila terdapatstatus
anak sebar di hati, paru, atau tulang mempertegas stadium D (TXNXM1). Bila status
metastasis belum dapat dipastikan maka sulit menentukan stadium. Oleh karena itu,
pemeriksaan mikroskopik terhadap spesimen bedah sangat penting dalam menentukan
stadium. Umumnya rekurensi kanker kolorektal terjadi dalam 4 tahun setelah
14
pembedahan sehingga harapan hidup rata-rata 5 tahun dapat menjadi indikator
kesembuhan. Indikator buruknya prognosis prognosis kanker kolorektal setelah
menjalani operasi.
Kanker kolorektal umumnya menyebar ke kelenjar getah bening regional atau
ke hati melalui sirkulasi vena portal. Hati merupakan organ yang paling sering
mendapat anak sebar kelenjar getah bening. Sepertiga kasus kanker kolorektal yang
rekuren disertai metastase ke hati dan duapertiga pasien kanker kolorektal ditemukan
metastase ke hati pada waktu meninggal. Kanker kolorektal jarang bermetastasis ke
paru. KGB superklavikula tulang atau otak tanpa ditemukan anak sebar di hati
terlebih dahulu. Pengecualian terjadi bilamana tumor dapat terletak di distal rektum,
sel tumor dapat menyebar melalui pleksusvena paravertebra kemudian dapat
mencapai paru atau KGB superklavikula tanpa melalui sistem vena porta. Rata-rata
harapan hidup setelah ditemukan metastase berkisar 6 – 9 bulan (hepatomegali dan
gangguan pada hati) atau 20-30 bulan (nodul kecil di hati yang ditandai oleh
peningkatan CEA dan gambaran CT-scan).
T – Tumor primer
Tx: Tumor primer tidak dapat dinilai
T0: Tidak ada tumor primer
Tis: Karsinoma insitu, invasi lamina propia atau intraepitelial
T1: Invasi tumor di lapisan sub-mukosa
T2: Invasi tumor di lapisan otot propria
T3: Invasi tumor melewati otot propria ke subserosa atau masuk ke
perikolik yang tidak dilapisi peritoneum atau perirektal
T4: Invasi tumor terhadap organ/struktur sekitarnya dan/atau
peritoneum viseral.
15
Gambar 2.9 Gambaran kedalaman tumor
N – Kelenjar limfe regional
Nx: Kelenjar limfe regional tidak dapat dinilai
N0: Tidak didapatkan kelenjar limfe regional
N1: Metastase di 1 – 3 kelenjar limfe perikolik atau perirektal
N2: Metastase di 4 atau lebih kelenjar limfe perikolik atau perirektal
N3: Metastase pada kelenjar limfe sesuai nama pembuluh darah dan
atau pada kelenjar apikal (bila diberi tanda oleh ahli bedah).
M – Metastase jauh
Mx: Metastase jauh tidak dapat dinilai
M0: Tidak ada metastase jauh
M1: Terdapat metastase jauh6
Stadium Deskripsi
histopatologis
Bertahan 5
tahun (%) Dukes TNM Derajat
A T1N0M0 I Kanker terbatas
padamukosa/submukosa
>90
B1 T2N0M0 I Kanker mencapai
muskularis
85
B1 T3N0M0 II Kanker cenderung
masuk atau melewati
lapisan serosa
70-80
C TxN1M0 III Metastasis 35-65
D TxNxM1 IV 5
Tabel stadium dan Prognosis Kanker Kolorektal
16
2.8 Pemeriksaan
Pemeriksaan penyaring pada kanker kolorektal (CRC):
Resiko Prosedur Onset Frekuensi
Resiko rendah
- Asimptomatik
- Tidak ada kerabat
tingkat 1 yang kena
Tes darah samar
(TSD), fleksibel
sigmoidoskopi (FS)
Kolonoskopi, barium
enema dan
proctosigmoidoscopy
50
50
TDS tiap tahun
FS tiap 5 tahun
Tiap 5-10 tahun
Resiko menengah
- CRC pada kerabat
tingkat 1,usia < 55th
atau > 2 keluarga
tingkat pertama
terkena
- CRC pada keluarga
tingkat pertama,
usia > 55 th
- Riwayat polip
kolorektal besar >
1cm atau multipel
- Riwayat CRC
setelah reseksi
Kolonoskopi
Kolonoskopi
Kolonoskopi
Kolonoskopi
40 atau 10 tahun
sebelum kasus CRC
termuda
50 atau 10 tahun
sebelum kasus CRC
termuda
1 tahun setelah
polipektomi
1 tahun setelah reseksi
Setiap 5 tahun
Setiap 5 – 10 tahun
Jika rekuren, tiap
tahun. Jika tidak, tiap 5
tahun
Jika normal 3 th, bila
tetap normal tiap 5
tahun. Jika abnormal,
tiap 5 tahun
Resiko tinggi
- FAP
- HNPCC
- IBD
FS, pemeriksaan
genetik
Kolonoskopi,
pemeriksaan genetik
Kolonoskopi
12-14 tahun ( pubertas)
21-40 tahun
40 tahun
8-15 tahun
Tiap 2 tahun
Tiap 2 tahun
Tiap tahun
Tiap 2 tahun
Tabel screening pada tiap resiko
17
a. Tes darah samar
Pada suatu studi kontrol pada universitas di Minnesota, didapatkan
kesimpulan bahwa tes darah samar sebagai tes penyaring dapat
mengurangi mortalitas CRC sebanyak 33% dan metastasis sebanyak 50%.
Tetapi tes darah samar tidak selalu sensitif dan terlewat sampai 50% kasus.
Spesifitas pemeriksaan ini rendah, 90% pasien dengan tes ini positif tidak
memiliki CRC. Tes ini baru signifikan bila dilakukan kolonoskopi setelahh
tes darah samar positif. Jadi, tes darah samar dilakukan dan
direkomendasikan bagi pasien asimptomatik.
b. Rigid Proctoscopy
Proctoscopy digunakan untuk mengevaluasi kanal anal, rektum dan
kolon sigmoid. Proctoscope pendek, lurus, rigid, dengan pipa metal dan
biasanya terdapat cahaya diatasnya. Panjangnya sekitar 15cm. Proctoscope
dilubrikasi dan dimasukan ke dalam rektum, kemudian obturator
disingkirkan dan terlihat bagian interior dari rektum. Prosedur ini biasa
digunakan untuk menginspeksi hemoroid atau polip rektum.
Studi kasus kontrol memperlihatkan adanya penurunan resiko
kematian pada kanker rektal dengan skrining melalui rigid proctoskopi
walaupun resiko kematian kanker kolon tidak dipengaruhi. Akan tetapi,
dikarenakan adanya limitasi jangkauan,maka proctoskopi ini hanya sedikit
dicantumkan dalam program skrining modern ini.
Gambar Proctoscopy
18
c. Flexible Sigmoidoscopy
Skrining dengan fleksibel sigmoidoskopi setiap 5 tahun
menyebabkan penurunan mortalitas CRC dan mengidentifikasi individu
resiko tinggi dengan adenoma. Pada pasien dengan polip, kanker atau
lainnya pada fleksibek sigmoidoskopi maka memerlukan kolonoskopi.
d. Colonoscopy
Kolonoskopi sekarang ini merupakan metode yang akurat dan
paling baik digunakan dalam pemeriksaan usus besar. Prosedur ini sangat
sensitif dalam mendeteksi polip kecil sekalipun dan dapat dilakukan
biopsi, polipektomi, mengontrol pendarahan dan dilatasi striktur. Akan
tetapi, pemeriksaan ini memerlukan persiapan usus dan menyebabkan
ketidaknyamanan karena memerlukan sedasi. Kolonoskopi dilakukan
dengan bantuan endoskopi. Komplikasi utama setelah kolonoskopi ialah
perforasi dan pendarahan, namun sangat kecil.
Gambar kolonoskopi dan sigmoidoskopi
e. Barium enema kontras
Kontras barium enema juga sensitif dalam mendeteksi polip > 1cm
yaitu sekitar 90%. Akan tetapi, tidak ada studi yang membuktikan
efikasinya dalam skrining populasi besar. Akurasi paling tinggi pada kolon
proksimal, akan tetapi dapat juga digunakan pada kolon sigmoid bila ada
divertikulosis signifikan. Untuk alasan ini, maka barium enema
19
dikombinasikan dengan fleksibel sigmoidoskopi sebagai skrining.
Kerugian pada metode ini ialah memerlukan persiapan pada usus.
Kolonoskopi juga dilakukan bila ditemukan lesi.
f. CT Colonografi
Kemajuan teknologi sekarang ini menghasilkan sesuatu yang tidak
invasif tetapi akurasi tinggi. CT colonografi mengggunakan teknologi CT
helik dan rekonstruksi 3 dimensi untuk menggabarkan kolon intraluminal.
Pasien membutuhkan persiapan usus. Kolon diisi dengan udara lalu
dilakukan CT. Kolonoskopi tetap dibutuhkan bila terdetteksi lesi.
CT Colonography (CTC) yang juga populer dengan istilah “Virtual
Colonography” merupakan pengembangan dari teknologi multipel helical
(multi- slice) CT Scan yang dapat menghasilkan gambaran interior kolon
dalam dua atau tiga dimensi. CTC memiliki radiasi exposure yang rendah
dan tidak invasif, tapi tidak bisa melakukan biopsi dan polipektomi.
Persiapan pemeriksaan CTC hampir sama dengan kolonoskopi yaitu
membersihkan usus besar dengan bahan laksan, ditambah memasukkan
udara kedalam kolon melalui kateter rektal. Pemeriksaan dilakukan pada
posisi supinasi dan pronasi serta tidak membutuhkan sedasi. Penelitian
meta- analisis mengatakan bahwa CTC memiliki sensitifitas dan
spesifisitas yang tinggi untuk mendeteksi polip ukuran > 10mm, yaitu 88%
dan 95%. Penelitian lainnya CTC dengan 4-detector-row scanners
menghasilkan sensitifitas 82%-100% dan spesifisitas 90%-98% untuk
mendeteksi polip ukuran > 10mm. CTC juga memiliki resiko terjadinya
perforasi dan dilaporkan hanya 1/22.000 pemeriksaan.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik penting dalam menentukan penyakit lokal,
mengidentifikasi emtastase dan mendeteksi sistem organ lain yang turut
berperan dalam pengobatan. Area supraclavicula harus dipalpasi untuk
memeriksa adanya kelenjar yang mengalami metastase. Pemeriksaan abdomen
dimulai dari inspeksi yaitu melihat adanya bekas operasi, penonjolan massa,
kontur usus yang mungkin dapat terlihat ( darm kontur, darm steifung).
Palpasi dilakukan untuk meraba adanya massa, pembesaran hepar, asites atau
20
nyeri tekan pada abdomen. Bila teraba massa disebutkan lokasi, diameter,
mobilitas atau melekat pada jaringan, konsistensi, batas jelas atau tidak.
Perkusi normal pada abdomen ialah timpani. Bila terdapat masssa maka
perubahan suara menjadi redup. Pada auskultasi didengarkan bising usus.
Pada kanker rektal distal, dapat dirasakan massa yang rata, keras, oval
atau melingkar dengan depresi pada sentral. Bila meluas, harus ditentukan
ukuran dan derajat perlekatan jaringan. Pada pemeriksaan RT, maka dapat
didapatkan darah pada sarung tangan.
Pemeriksaan penunjang
Keberadaan kanker kolorektal dapat dikenali dari beberapa tanda
seperti: anemia mikrositik, hematoskezia, nyeri perut, berat badan turun atau
perubahan defekasi. Oleh sebab itu perlu segera dilakukan pemeriksaan
endoskopi atau radiologi. Temuan darah samar di feses memperkuat dugaan
neoplasia namun bila tidak dapat menyingkirkan lesi neoplasma.
a. Laboratorium
Umumnya pemeriksaan laboratorium pada pasien adenoma kolon
memberikan hasil normal. Pemeriksaan yang dapat dilakukan ialah
urinalisis, hitung leukosit dan hemoglobin. Pemeriksaan lain yang dapat
diperiksa sesuai dengan indikasinya ialah protein serum, kalsium,
bilirubin, alkali fosfatase dan kreatinin. Pendarahan intermitten dan polip
besar dapat dideteksi melalui darah sama feses atau defesiensi Fe.
Petanda tumor yang paling banyak digunakan untuk keganasan
kolorektal Carcinoembryonic antigen (CEA) yaitu sebuah glikoprotein
yang ditemukan pada sel membran banyak jaringan tubuh termasuk CRC.
Beberapa antigen masuk ke dalam sirkulasi dan dideteksi dengan
radioimunnoassay serum. CEA dapat terdeteksi di berbagai cairan tubuh,
urin dan feses. Peningkatan serum CEA tidak spesifik berhubungan
dengan kanker kolorektal. Kadar CEA tinggi pada 70% pasien dengan
kanker usus besar. CEA tidak dapat digunakan sebagai prosedur screening
tetapi akurat sebagai diagnosis CEA residif.
21
b. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan enema barium kontras ganda hanya mampu
mendeteksi 50% polip kolon dengan spesifitas 85%. Terdapat gambaran
pasase kontras, jenis bagian rektosigmoid sering sulit untuk divisualisasi
meskipun bila dibaca oleh ahli radiologi senior. Oleh karena itu,
pemeriksaan rektosigmoidoskopi masih diperlukan.
Bilamana ada lesi yang mencurigakan, pemeriksaan kolonoskopi
diperlukan untuk biopsi. Pemeriksaan lumen barium teknik kontras ganda
merupakan alternatif lain untuk kolonoskopi namun pemeriksaan ini sering
tidak bisa mendeteksi lesi berukuran kecil. Enema barium cukup efektif
untuk memeriksa bagian kolon di balik striktur yang tak terjangkau dengan
pemeriksaan kolonoskopi.Persiapan dan pemeriksaan barium enema
Persiapan:
Penderita diberi makan bubur kecap 1 hari sebelumnya
10 -12 jam sebelum pemeriksaan penderita diberi Laxans
Segera setelah akan diperiksa diberi Laxans
Kontras yang dipakai yaitu Barium sulfat.
Bubur barium 1:4, 1:5, 1:6.
Gambaran normal:
Pasase lancar (gambaran haustre)
Refluks kontras ke dalam ileum
Post evakuasi: feather like appereance
Gambar barium enema normal
22
Gambaran radiologis karsinoma kolon:
Gangguan pasase kontras
Jenis ekstraluminar: pendorongan lumen
Jenis intraluminar: mukosa kasar + filling defect
Karsinoma kolon kiri : filling defek, biasanya 2-6 cm dengan konfigurasi apple
core. Karsinoma kolon kanan : konstriksi atau massa intrluminal5
Gambar karsinoma anular kolon sigmoid
Gambaran radiologis polip:
Khas pada post evakuasi terdapat gambaran radiolusen yang
berbentuk multipel
Gambar gambaran polip pada barium enema Gambar peduncaled polyp
Gambaran radiologis karsinoma rektum:
Gambaran pasase kontras
Tergantung jenisnya:
23
- Pendorongan : kelainan bentuk dan anatomis
- Filling defect : mukosa tidak rata
2.9 Diagnosis
Diagnosis karsinoma kolorektal ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, colok dubur dan rektosigmoidoskopi atau foto kolon dengan
kontras ganda. Pemeriksaan ini sebaiknya di lakukan setiap 3 tahun untuk usia
diatas 45 tahun. Kepastian diagnosis ditentukan berdasarkan pemeriksaan patologi
anatomi.
Pemeriksaan tambahan ditujukan pada jalan kemih untuk kemungkinan
tekanan ureter kiri atau infiltrasi ke kandung kemih, serta hati dan paru untuk
metastasis.
2.10. Tata laksana
2.10.1. Kanker kolon
Tata laksana yang dapat diberikan ialah reseksi operasi luas dari lesi dan
drainase regional limfatik. Reseksi dari tumor primer tetap diindikasikan
walaupun telah terjadi metastase. Abdomen dibuka dan dieksplorasi adakah
metastase. Tujuan terapi karsinoma kolon ialah mengeluarkan tumor dan suplai
limfovaskular. Reseksi dari usus tergantung dari pembuluh darah yang
mengaliri bagian kanker tersebut. Organ atau jaringan penyokong seperti
omentum nyga harus direseksi en blok dengan tumor. Bila seluruh tumor tidak
dapat diangkat, maka dibutuhkan terapi paliatif. Anastomosis dilakukan
diawali dengan irigasi usus dengan normal solusio saline atau povidon idodin
yang diharapkan sel tumor dalam lumen dapat tercuci atau dihancurkan.
Adanya kanker synchronous atau adenoma atau riwayat keluarga yang
kuat terhadap CRC mengindikasikan seluruh kolon beresiko terhadap
karsinoma ( field defect) dan harus dilkukan subtotal atau total kolektomi.
Kanker synchronous ialah adanya lebih dari 2 kanker secara bersamaan.
Metachronous tumor ( reseksi baru pada pasien yang telah direseksi
sebelumnya) juga diterapi serupa.
Apabila terdapat metastase tidak terprediksi sebelumnya saat dilakukan
laparotomi, maka tumor primer harus direseksi bila dapat dilakukan dan aman.
Selanjutkan dilakukan anaastomosis. Pada tumor yang tidak dapat direseksi,
24
maka dilakukan prosedur paliatif dan membutuhkan proksimal stoma atau
bypass.
a. Stage 0 ( Tis, N0,M0)
Polip yang mengandung carcinoma in situ/ high grade
dysplasia tidak memiliki resiko metastasis nodus limfatikus. Akan
tetapi, high grade dysplasia meningkatkan resiko karsinoma
invasif. Karena alasan ini, maka polip dieksisi lengkap dan
batasnya harus bebas dari displasia.polip bertangkai harus
dilepaskan secara komplit secara endoskopi. Pada pasien iini,
diikuti dengan kolonoskopi teratur yang memastikan bahwa polip
tidak rekuren dan tidak terbentuk karsinoma invasif. Apabila polip
tidak dapat diangkat se`luruhnya, maka dilakukan reseksi
segmental.
d. Stage I: Malignant Polyp (T1, N0, M0)
Pengelolaan polip malignant didasarkan atas resiko rekurensi dan
metastasis ke kelenjar getah bening. Metastase ke kelenjar getah bening
berdasarkan kedalaman invasi polip. Pada invasi limfovaskular,
histologi diferensiasi buruk dapat dilkakukan segmental kolektomi.
e. Stages I and II: Localized Colon Carcinoma (T1-3, N0, M0)
Mayoritas pasien dengan stadium 1 dan 2 dapat disembuhkan
dengan operasi reseksi. Beberapa pasien dengan reseksi komplit stadium
1 dapat berkembang rekurensi lokal atau jauh dan kemoterapi tidak
meningkatkan survival pasien ini. Sebanyak 46% pasien dengan reseksi
komplit stadium 2 dapat beresiko kematian. Untuk alasan ini,
kemoterapi ajuvan disarankan untuk beberapa pasien ( pasien muda dan
resiko tinggi).
f. Stage III: Lymph Node Metastasis (Tany, N1, M0)
Pasien dengan keterlibatan kelenjar getah bening merupakan resiko
yang tinggi terhadap rekurensi. Oleh karena itu, direkomendasikan
ajuvan kemoterapi rutin pada pasien ini. Regimen yang digunakan ialah
5- Flourouracil dengan levamisole atau leukovorin emngurangi
rekurensi dan meningkatkan angka ketahanan hidup. Agen kemoterapi
25
yang baru ialah as capecitabine, irinotecan, oxaliplatin, angiogenesis
inhibitors, dan immunotherapy.
g. Stage IV: Distant Metastasis (Tany, Nany, M1)
Angka survival sangat terbatas pada stadium ini. Pasien dengan
penyakit sistemik, sebanyak 15% akan bermetastase ke hati. Pada
stadium ini, sebanyak 20% potensial reseksi untuk sembuh. Angka
survival pada pasien reseksi ini menignkat bila dibandingkan dengan
pasien yang tidak direseksi. Semua pasien membutuhkan kemoterapi
ajuvan. Pasien yang tidakdioperasi difokuskan untuk paliatif terapi.
Terapi paliatif yang digunakan ialah stenting untuk lesi obstruksi kolon
kiri.
Reseksi kolorektal
Reseksi kolorektal dilakukan pada kondisi bervariasi termasuk
neoplasma ( jinak dan ganas), inflamatori bowel disease dan kasus lain.
Reseksi
Secara umum, ligasi proksimal mesenterik akan mengelimnasi
aliran darah pada bagian kolon lebih besar dan membutuhkan kolektomi.
Reseksi kurativ dari CRC dicapai dengan ligasi PD mesenterika proksimal
dan pembersihan kelenjar getah bening mesenterika secara radikal. Pada
reseksi proses benign, tidak diperlukan reseksi mesenterika dan omentum
dapat tetap dipertahankan.
Emergensi reseksi
Reseksi jenis ini digunakan dalam kasus obstruksi, perforasi dan
hemoragi. Pada keadaan ini, usus tidak ada persiapan dan kondisi pasien
tidak stabil. Pada reseksi kolon kanan atau proksimal tranversal, anastomsosi
oleocolonic dapat dilakukan.
Reseksi laparoskopik
Keuntungan dari laparoskopik ialah baik secara kosmetik, mengurangi
nyeri post operasi dan pemulihan usus yang lebih cepat. Reseksi usus besar
secara laparoskopik membutuhkan waktu yang lebih lama dibanding operasi
secara terbuka.
26
Gambar reseksi kolon berdasarkan tumor primer
Anastomosis
Anastomosis dapat dibentuk melalui 2 segemen usus. Teknik yang
digunakan dapat berupa handsewn atau stapled.
Jenis anastomosis :
1. End to end
Dilakukan ketika 2 segmen usus dengan kaliber yang sama.
Teknik ini terutama dilakukan pada reseksi rektum, tetapi dapat
digunakan dalam kolostomi atau anastomosis usus kecil.
2. End to side
Digunakan bila salah satu bagian usus lebih besar dari lainnya.
Teknik ini dilakukan pada obstruksi kronik.
3. Side to end
Dilakukan ketika usus proksimal lebih kecil daripada bagian
distalnya.
27
4. Side to ide
Dilakukan bila menyambung kontinuitas diantara 2 pembuluh
darah atau segmens usus dimana tempat terakhirnya telah ditutup.
Gambar 2. 17 Anastomosis
Colostomy
Bentuk kolostomi yang sering digunakan ialah end kolostomi
dibanding dengan loop kolostomi. Kolostomi dibuat pada sisi kiri kolon.
Defek pada dinding abdomen dibuat dan akhir dari kolon dimobilisasi
melalui lubang itu. Usus bagian distal yang dikeluarkan melalui dinding
abdomen sebagai mucus fistula atau di dalam abdomen sebagai hartmann’s
pouch. Penutupan kolostomi membutuhkan laparotomi. Stoma didiseksi
dari dinding abdomen dan odentifikasi usus distal, kemudian dilakukan
anastomosis end to end.
Komplikasi dari nekrosis dapat terjadi pada masa awal post operasi
dikarenakan terganggunya suplai darah. Retraksi juga dapat terjadi, tapi
kolostomi lebih sedikit beresiko.
End to end End to side
Side to side
28
Gambar kolostomi
2.10.2.Kanker rektum
Biologis dari adenokarsinoma rekal sama dengan adenokarsinoma kolon
dan prinsip operasi ialah reseksi komplit dari tumor primer, kelenjar getah
bening dan organ apapun yang terkena. Akan tetapi diakrenakan struktur dari
pelvis maka reseksi lebih sulit dan membutuhkan pendekatan lain. Rekurensi
lebih tinggi dibanding dengan kanker kolon dengan stadium yang sama. Akan
tetapi, tumor rektum lebih sensitif dengan radiasi.
a. Terapi lokal
Sepanjang 10 cm distal dari rektum dapat dijangkau melalui anus.
Karena itulah, beberapa terapi dilakukan secara lokal. Untuk jenis yang
benign, noncircumferential dan adenoma villous dilakukan dengan baik
dengan eksisi transanal. Akan tetapi rekurensi tinggi walau dengan terapi
kemoradiasi. Transanal endoscopic microsurgery (TEM) dioperasikan
dengan menggunakan proctoscope dan alat-alat serupa dengan laparoskopi
yang membuat eksisi lokal dapat dilakukan pada tempat yang lebih tinggi
yaitu sekitar 15 cm. Lokal eksisi harus diikuti dengan eksisional biopsi.
Teknik ablasi seperti elektrokauter atau radiasi endocavitary juga
dapat digunakan. Kerugian dari teknik ini ialah tidak dapat diambilnya
spesimen patologis untuk diketahui stadiumnya. Teknik ini digunakan pada
29
individu dengan resiko tinggi yang tidak dapat mentoleransi terapi radikal
lainnya.
b. Reseksi radikal
Reseksi radikal lebih dipilih dibanding terapi lokal untuk banyak
kasus karsinoma rektal. Reseksi radikal mengangkat segmen yang terkena
bersama dengan limfovaskularnya.
Total mesorektal excision (TME) adalah teknik yang menggunakan
diseksi tajam untuk menghasilkan reseksi total dari mesenterium rektal.
Untuk tumor rektosigmoid, eksisi partial mesorektal paling tidak sepanyak
cm distal dari tumor. TME menurunkan rekurensi dan meningkatakan
survival. Teknik ini hanya sedikit dari yang hilang dibanding dengan
operasi tajam.
c. Terapi spesifik stadium
Sebelum dilakukan terapi dilakukan ultrasound endorektal untuk
mengetahui T dan N dari kanker rektum. USG ini baik untuk mengetahui
kedalaman tumor namun kurang akurat dalam diagnosis keterlibatan nodus
limfatikus.
Stage 0 (Tis, N0,M0)
Karsinoma in situ ( displasia tingkat tinggi) secara ideal diterapi dengan
eksisi lokal.
Stage I: Localized Rectal Carcinoma (T1-2, N0, M0)
Karsinoma invasif yang berasal dari polip pedunkulated hanya memiliki
< 1% resiko metastasis. Terapi yang dapat dilakukan ialah polipektomi.
Terapi lokal dapat dilakukan namun angka rekurensi tinggi. Untuk
alasan ini, maka dilakukan reseksi radikal.
Stage II: Localized Rectal Carcinoma (T3-4, N0, M0)
Tumor rektum yang besar sering terjadi lagi. Ada 2 pendapat untuk
mencegah rekurensi yaitu tidak diperlukannya kemoradiasi ajuvan
setelah dilakukan TME untuk stadium 1,2 dan 3. Pendapat lainnya ialah
diperlukannya kemoradiasi. Keuntungan kemoradiasi preoperasi ialah
pengecilan ukuran tumor, mereseksi menjadi lebih mudah. Kerugiannya
30
ialah overtreatment dari tumor masa awal, penundaan penyembuhan
uka dan fibrosis pelvis.
Stage III: Lymph Node Metastasis (Tany, N1, M0)
Banyak pendapat yang menyarankan kemoterapi dan radiasi pre
atau post operasi untuk kanker rektal dengan keterlibatan kelenjar getah
bening. Keuntungan dan kerugian sama seperti yang diungkapkan di
atas. Untuk alasan ini, pasien diterapi dengan neoajuvan terapi diikuti
dengan reseksi radikal.
Stage IV: Distant Metastasis (Tany, Nany, M1)
Sama seperti stadium 4 karsinoma kolon, angka harapan hidup
terbatas dengan pasien metastasis. Metastasis ke hepar jarang namun
bila ada reseksi dapat menyembuhkan untuk beberapa pasien.
Kebanyakan pasien memerlukan terapi paliatif. Reseksi radikal dapat
digunakan untuk mengontrol nyeri, perdarahan atau tenesmus. Terapi
lokal dengan kauter atau laser digunakan untuk mengontrol perdarahan
atau mencegah obstruksi. Intraluminal stent berguna untuk mencegah
obstruksi namun sering menyebabkan nyeri dan tenesmus.
2.10.3. Sistemik kemoterapi
Tulang punggung regimen kemoterapi untuk kanker kolon ialah 5-
Flourouracil sebagai terapi ajuvan maupun metastase. Dahulu, dinyatakan
pendapat bahwa regimen kombonasi menyediakan peningkatan efikasi dan
angka harapan hidup pasien. Selain 5-Florourasil, terdapat capecitabine dan
tegafur yang digunakan sebagai monoterapi atau kombonasi dengan oxalipatin
dan irinotecan.
Regimen untuk ajuvan kemoterapi :
5-Fluorouracil + leucovorin
o 5-Fluorouracil: 500 mg/m2 IV seminggu sekali untuk 6 minggu
o Leucovorin: 20 mg/m2 IV seminggu sekali untuk 6 minggu, diberikan
sebelum 5-FU
o Siklus diulang setiap 8 minggu untuk total 24 minggu
31
LV5FU2 (de Gramont regimen)
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus, diikuti 600 mg/m2 IV continuous
infusion untuk 22 jam hari 1 dan 2
o Leucovorin: 200 mg/m2 IV pada hari 1 dan 2 sebagai 2 jam infusion
sebelum 5-fluorouracil
o Siklus diulang setiap 2 minggu untuk total 12 minggu
Oxaliplatin + 5-fluorouracil + leucovorin (FOLFOX4)
o Oxaliplatin: 85 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus, diikuti 600 mg/m2 IV continuous
infusion untuk 22 jam hari 1 dan 2
o Leucovorin: 200 mg/m2 IV pada hari 1 dan 2 sebagai 2 jam infusion
sebelum 5-fluorouracil
o Siklus diulang setiap 2 minggu untuk total 12 minggu
Regimen untuk metastasis :
Irinotecan + 5-fluorouracil + leucovorin (FOLFIRI regimen)
o Irinotecan: 180 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus pada hari 1, diikuti dengan 2400
mg/m2 IV continuous infusion untuk 46 jam
o Leucovorin: 400 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum 5-
fluorouracil
o Mengulang siklus setiap 2minggu
Oxaliplatin + 5-fluorouracil + leucovorin (FOLFOX6)
o Oxaliplatin: 100 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus on day 1, diikuti dengan 2400
mg/m2 IV continuous infusion untuk 46 jam
o Leucovorin: 400 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum 5-
fluorouracil
o Mengulang siklus setiap 2minggu
Oxaliplatin + 5-fluorouracil + leucovorin (mFOLFOX7)
o Oxaliplatin: 100 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 3000 mg/m2 IV continuous infusion pada hari 1 untuk
46 jam
32
o Leucovorin: 400 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum 5-
fluorouracil
o Mengulang siklus setiap 2minggu
Capecitabine + oxaliplatin (XELOX)
o Capecitabine: 850-1000 mg/m2 PO terbagi 2 dosis pada hari 1-14
o Oxaliplatin: 100-130 mg/m2 IV pada hari 1
o Mengulang siklus setiap 21 hari
FOLFOX4 + bevacizumab
o Oxaliplatin: 85 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus, diikuti dengan 600 mg/m2 IV
continuous infusion pada hari 1 dan 2
o Leucovorin: 200 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum 5-
fluorouracil
o Bevacizumab: 10 mg/kg IV setiap 2 minggu
o Mengulang siklus setiap 2 minggu
2.10.4. Agen biologis
Bevacizumab ( Avastin) merupakan obat antiangiogenesis pertama
yang diindikasikan untuk kanker kolorektal metastasis. Ini meripakan antibodi
monoklonal untuk vascular endothelial growth factor (VEGF) dan
meningkatkan survival bila ditambahkan pada kemoterapi. Agen biologis lain
yang telah direkomendasikan ialah epidermal growth factor receptor ( EGFR).
Nama obat untuk golongan ini ialah Cetuximab yang digunakan sebagai
monoterapi atau kombinasi dengan irinotecan pada pasien kanker kolorektal
yang refrakter dengan 5-FU dan oxalipatin. Panitumumab adalah antibodi
monoklonal human dan diindikasikan untuk monoterapi bila kombinasi gagal.
Lini pertama untuk kanker metastasis ialah bevacizumab dan kemoterapi (
oxiliplatin dan irinotecan).
2.10.5. Terapi radiasi
Radioterapi merupakan modalitas standar bagi pasien dengan kanker
rektum, tetapi terbatas bagi kanker kolon. Terapi ini tidak mempunyai efek
ajuvan maupun metastatik, hanya sebagai terapi paliatif untuk metastasis tulang
atau otak.
33
2.11. Penyebaran Tumor
Penyebaran tumor dapat terjadi melalui:
a. Penyebaran langsung
Karsinoma tumbuh secara melingkari usus sebelum terdiagnosa,
khususnya bagi kolon kiri yang memiliki kaliber lebih kecil dibanding dengan
kanan. Membutuhkan waktu 1 tahun bagi tumor untuk melingkari ¾ bagian
usus. Lesi menyebar secara radial dan berpenetrasi ke lapisan luar dinding usus
dan dapat mengenai struktur di dekatnya seperti hati, kurvatura mayor lambung,
duodenum, usus halis, pankreas, limpa, kandung kemih, vagina, ginjal, ureter
dan dinding abdomen. Kanker rektum dapat menginvasi dinding vagina,
kandung kemih, prostat atau sakrum.
b. Metastasis hematogen
Invasi melalui pembuluh darah dapat menyebabkan tumor terbawa
melalui sistem vena porta yang menyebabkan metastasi ke hepar. Embolisasi
dapat terjadi melalui vena lumbal atau vertebral ke paru. Kanker rektum
menyebar melalui vena hipogastrik. Penyebaran ke ovarium terutama melalui
hematogen yaitu terlihat pada 10.3% pasien wanita dengankanker kolorektal.
Untuk mencegah metastase melalui hematogen sewaktu operasi dilakukan
manipulasi minimal dengan ligasi pembuluh darah.
c. Metastasis kelenjar getah bening regional
Ini merupakan tipe penyebaran yang paling umum. Kanker rektum
bermetastase proksimal melalui kelenjar getah bening mesorectalm iliac dan
mesenterika inferior. Serta bermetastase secara radial sepanjang dinding pelvis.
Kelenjar getah bening harus diangkat sewaktu operasi.
d. Metastasis transperitoneal
Terjadi sewaktu tumor berektensi melalui lapisan serosa dan memasuki
kavitas peritoenal, memproduksi lokal implant carcinomatosis.
e. Metastasis intraluminal
Sel ganas dari lapisan tumor dapat tersapu sepanjang usus melalui isi
feses.
34
2.12. Prognosis
Prognosis tergantung dari ada tidaknya metastase jauh, yaitu klasifikasi
penyebaran tumor dan tingkat keganasan sel tumor.
Untuk tumor yang terbatas pada dinding usus tanpa penyebaran, angka
kelangsungan hidup lima tahun adalah 80%, yang menembus dinding tanpa
penyebaran 75%, dengan penyebaran kelenjar 32% dan dengan metastasis jauh satu
persen. Bila disertai differensiasi sel tumor buruk, prognosisnya sangat buruk.
Follow up
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan setiap 3-6 bulan pada 3 tahun
pertama dan setiap 6 bulan pada tahun keempat dan kelima. Akan tetapi
hal ini tidak mutlak dan berdasarkan kondisi individu dan faktor resiko
yang dimiliki oleh pasien.
2. Pemeriksaan carcinoembryonic antigen (CEA)
Pemeriksaan ini masih menjadi kontroversial tetapi berguna
walaupun ada kekurangannya. Kadar CEA serum diperiksa setiap 3 bulan
pada pasien selama 3 tahun dan setiap 6 bulan pada tahun keempat dan
kelima. Pemeriksaan ini berguna untuk menilai kekambuhan pada pasien.
3. CT scan
CT scan dada dan abdomen dilakukan setiap tahun untuk minimal
3 tahun pertama setelah reseksi tumor primer.
4. Kolonoskopi
Kolonoskopi wajib dilakukan pada semua pasien untuk
mendokumentasi tidak adanya tumor tambahan atau polip. Kolonoskopi
dilakukan setelah operasi / 3-6 bulan kemudian dan kemudian tiap tahun
sampai 3 tahun kemudian. Bila normal, diulang setiap 5 tahun. Bila tidak
tersedia sarana kolonoskopi, maka dapat dilakukan barium enema dan
sigmoidoskopi.
5. Colok dubur/ proctoskopi/ sigmoidoskopi
Diperuntukkan pasien yang mengalami kanker rektal.
Pemeriksaan dilakukan pada bulan ketiga, keenam, setahun dan tahun
kedua.
35
BAB III
KESIMPULAN
Karsinoma kolorektal merupakan penyebab kematian kedua setelah keganasan di
paru-paru di USA. diperkirakan pada tahun 2008 ditemukan 150.000 kasus baru dan 60.000
diantaranya meninggal karena karsinoma kolorektal. Tingginya angka kematian tersebut
menyebabkan berbagai upaya untuk menguranginya, salah satunya dengan kebijakan deteksi
dini atau skrining terhadap kelompok berisiko yang asimptomatis. Sebagian besar dari
modalitas skrining yang dimaksud adalah radiologic imaging: Flexible Sigmoidoscopy (FS),
Colonoscopy, Double Contrast Barium Enema dan CT Colonography(CTC). Pemilihan
modalitas skrining tersebut tergantung pada kondisi pasien, teknologi yang dimiliki, resiko
dan keuntungan modalitas terhadap pasien, serta kemampuan operator. Penanganan
karsinoma kolorektal membutuhkan kecermatan pemeriksaan preoperatif untuk dapat
memutuskan modalitas terapi baik pembedahan, kemoterapi maupun radioterapi. Penanganan
postoperatif dan follow-up sangat tergantung pada pemeriksaan dan penanganan yang dapat
dilakukan sebelumnya. Hal ini sangat ditentukan oleh staging karsinoma, yang salah satunya
dapat ditentukan oleh imaging seperti ultrasonografi, CT Scan, maupun MRI. Pada
prinsipnya, semakin dini diagnosis karsinoma kolorektal, semakin baik prognosisnya karena
penanganannya dapat dengan pembedahan kuratif.
36
DAFTAR PUSTAKA
Cirincione, Elizabeth 2005, Rectal Cancer,www.emedicine.com (22 September 2011)
De Jong Wim, Samsuhidajat R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Ed. 11. Jakarta
Penerbit Buku Kedokteran EGC. p: 848.
Grace, Pierce A., Borley, Neil R., 2006. At a Glance Ilmu Bedah, Ed. 3. Jakarta:
Penerbit Erlangga. p: 113.
Hassan , Isaac 2006, Rectal carcinoma, www.emedicine.com
Mansjoer Arif et all, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Penerbit Buku Media
Aesculapius. Jakarta.
Kurniawan, Lilik. 2009. Karsinoma Rektum. Fakultas Kedokteran Universitas
Riau.http://www.Files-of-DrsMed.tk (22 September 2011).
Kumar, Vinay., Cotran, Ramzi S., Robbins, Stanley L., 2007. Buku Ajar Patologi, Ed.
7, Vol. 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 655-656.
Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. 2006. Patofisiologi konsep klinis proses – proses
penyakit. Jakarta : EGC
Pierce A, Grace & Neil R Borley. 2007. At a Glance : Ilmu Bedah Ed.3.Jakarta : EMS
Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati,
Siti. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Winawer, SJ., Zauber, AG., Gerdes H., et.al., 1996. Risk of Colorectal Cancer in the
Families of Patient With Adenomatous polyps. National Polyp Study Workgroup. N
Engl J Med 1996:334;81-7.