dbd dan lingkungan

12
HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN DENGAN TINGKAT ENDEMISITAS DBD DI KOTA MAKASSAR THE RELATIONSHIP OF THE ENVIRONMENTAL FACTORS TO THE LEVEL OF DENGUE ENDEMICITY IN THE CITY OF MAKASSAR Suryadi Hs. Rahim 1 , Hasanuddin Ishak 2 , Isra Wahid 3 1 Dinas Kesehatan Kota Makassar 2 Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin 3 Bagian Entomologi Fakultas Kedokteran,Universitas Hasanuddin Alamat Korespondensi : Suryadi Hs. Rahim Dinas Kesehatan Kota Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan 11 Makassar HP. 081355770649 E-mail : [email protected]

Upload: rerenrahmawati

Post on 11-Nov-2015

10 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

DBD Dan Lingkungan.

TRANSCRIPT

  • HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN DENGAN TINGKAT ENDEMISITAS DBD DI KOTA MAKASSAR

    THE RELATIONSHIP OF THE ENVIRONMENTAL FACTORS TO THE

    LEVEL OF DENGUE ENDEMICITY IN THE CITY OF MAKASSAR

    Suryadi Hs. Rahim1, Hasanuddin Ishak2, Isra Wahid3

    1 Dinas Kesehatan Kota Makassar 2 Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin

    3 Bagian Entomologi Fakultas Kedokteran,Universitas Hasanuddin

    Alamat Korespondensi : Suryadi Hs. Rahim Dinas Kesehatan Kota Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan 11 Makassar HP. 081355770649 E-mail : [email protected]

  • Abstrak

    Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular di Indonesia yang dapat menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi serta endemis di beberapa daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor lingkungan dengan tingkat endemisitas DBD di Kota Makassar. Penelitian ini merupakan penelitian ekologi dengan menggunakan populasi berupa RW sebagai unit analisis. Penelitian berlangsung selama bulan Juni 2013 dengan mengambil responden sebanyak 180 orang pada 18 RW di 6 kelurahan berbeda di Kota Makassar. Data yang digunakan berupa data primer melalui wawancara dengan responden serta data sekunder berupa data kependudukan, luas wilayah, dan Pemantauan Jentik Berkala (PJB) dari kelurahan dan Puskesmas. Pengolahan data dilakukan dengan Program SPSS dengan uji Fisher exact test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara mobilitas penduduk (p = 1,000), kepadatan penduduk (p = 0,268), Container Index (p = 1,000), dan Pemantauan Jentik Berkala (p = 1,000) dengan tingkat endemisitas DBD di Kota Makassar. Ada hubungan antara House Index (p = 0,038) dengan tingkat endemisitas wilayah di Kota Makassar. Disimpulkan bahwa House Index adalah faktor lingkungan yang paling berpengaruh terhadap endemisitas DBD di Kota Makassar. Kata kunci : DBD, House Index, Container Index, PJB Abstract Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a disease that can be transmitted in Indonesian which makes social and economic impacts as well as endemic in some areas. This study aims to determine the relationship of environmental factors to the level of endemicity of dengue in the city of Makassar. This study is an ecologic study that using RW as the unit of analysis. The research took place during the month of June 2013 by taking respondents on 18 RW 180 people in 6 different villages in the city of Makassar. The data used in the form of primary data through interviews with respondents and secondary data of population, land area, and Flick Periodic Monitoring from villages and health centers. Data processing is done with SPSS test with the Fisher exact test. The results showed that there was no relationship between population mobility (p = 1.000), population density (p = 0.268), Container Index (p = 1.000), and Flick Periodic Monitoring (p = 1.000) with the level of endemicity of dengue in the city of Makassar. There is a relationship between the House Index (p = 0.038) with the level of endemicity area in Makassar. Concluded that the House Index is the most influential environmental factors on dengue endemicity in Makassar. Keywords : DHF, House Index, Container Index, Flick Periodic Monitoring

  • PENDAHULUAN

    Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular di Indonesia

    yang dapat menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Penyakit DBD sebagai salah satu

    penyakit di wilayah tropis dan subtropis telah tersebar di sebagian besar wilayah Indonesia,

    menyebabkan Kejadian Luar Biasa (KLB), serta endemis di beberapa daerah. Penyakit yang

    ditularkan melalui nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama ini dipengaruhi oleh berbagai

    faktor seperti lingkungan domestik maupun iklim, demografi, sosial ekonomi, dan perilaku

    (BPPN, 2006).

    Kasus DBD di Indonesia pada tahun 2011 sebanyak 65.432 kasus (Incidence

    Rate=27,56 per 100.000 penduduk) dengan 595 kematian (CFR=0,91). IR tertinggi ada di

    Propinsi Sulawesi Tengah, yakni sebesar 76,16 per 100.000 penduduk sedangkan CFR

    tertinggi ada di Propinsi Gorontalo yakni sebesar 8,70%. Kasus DBD di Propinsi Sulawesi

    Selatan pada tahun yang sama sebesar 1.520 kasus (IR=18,71) dengan 11 kematian

    (CFR=0,72%). Secara nasional, kasus DBD di Propinsi Sulawesi Selatan berada di bawah

    angka rata-rata nasional, namun tetap perlu mendapatkan perhatian karena DBD tetap

    endemis di beberapa kabupaten/kota (Kemenkes RI, 2012).

    Kota Makassar sebagai salah satu kota di Propinsi Sulawesi Selatan yang endemis

    DBD, cenderung mengalami penurunan kasus dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008, kasus

    DBD yang ditemukan sebanyak 262 kasus. Angka ini menjadi 255 pada tahun 2009 dan turun

    menjadi 182 kasus pada tahun 2010. Pada tahun 2011, angka ini mengalami penurunan yang

    sangat signifikan menjadi 85 kasus. Sedangkan pada tahun 2012 menjadi 84 kasus.

    Kecenderungan penurunan kasus DBD di Makassar perlu diteliti lebih lanjut faktor-faktor

    penyebabnya. Hal ini dapat dicapai dengan membandingkan daerah yang berbeda status

    endemisitas agar dapat memberikan arah penanganan semaksimal mungkin dan dapat menjadi

    contoh bagi daerah lain dalam menangani kasus DBD.

    Faktor lingkungan merupakan faktor utama yang menentukan dalam penularan DBD.

    Hasil penelitian yang dilakukan oleh Azizah dan dkk. (2010) serta Musyarifatun (2011)

    menyatakan bahwa mobilitas penduduk yang tinggi menjadi salah satu faktor yang berperan

    dalam status endemisitas suatu wilayah. Faktor kepadatan penduduk juga dinyatakan sebagai

    salah satu faktor yang berperan dalam endemisitas DBD. Hal ini sejalan dengan penelitian

    yang dilakukan oleh Setianingsih (2009), Rahayani (2010), dan Munsyir (2010). Faktor lain

    yang dianggap berperan dalam endemisitas DBD adalah lingkungan biologi berupa densitas

    larva Aedes aegypti. Penelitian Ishak dkk (2009) serta Sudibyo dkk (2012) menyatakan bahwa

  • densitas larva mempunyai hubungan yang signifikan dengan tingri rendahnya endemisitas

    DBD.

    Cara yang paling dianggap efektif dalam pemberantasan nyamuk DBD adalah dengan

    pemutusan rantai penularan nyamuk, yaitu mencegah telur nyamuk berkembang menjadi larva

    dan nyamuk dewasa. Langkah yang ditempuh adalah melalui Pemantauan Jentik Berkala

    (PJB) yang mencakup upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) berupa 3M Plus. Gerakan

    ini dipercaya menjadi cara yang ampuh dalam menekan kasus DBD. Namun, hal ini sangat

    membutuhkan kesadaran dan peran serta seluruh potensi masyarakat. Keberhasilan upaya

    Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) telah dibuktikan pada penelitian Fathi dkk (2005) dan

    Taviv dkk (2010). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor lingkungan

    dengan tingkat endemisitas DBD di Kota Makassar.

    BAHAN DAN METODE

    Lokasi dan Desain Penelitian

    Penelitian akan dilakukan di Kota Makassar yang memiliki RW dengan 3 endemisitas

    yang berbeda. Jenis penelitian adalah penelitian ekologi untuk menggambarkan penyakit

    dalam kaitannya dengan beberapa faktor, dengan mengukur karakteristik dari keseluruhan

    populasi.

    Populasi dan Sampel

    Populasi pada penelitian ini adalah semua RW yang ada di 6 kelurahan pada wilayah

    kota Makassar yang memiliki 3 tingkatan endemisitas yang berbeda. Sampel penelitian

    diambil secara simple random sampling dimana tiap tingkatan endemisitas (endemis,

    sporadis, dan potensial) diwakili oleh masing-masing satu RW. Tiap RW, dipilih masing-

    masing 1 RT sebagai perwakilan dan melakukan wawancara pada masing-masing 10

    responden/RT. Jumlah sampel adalah 18 RW pada 6 kelurahan yang diwakili oleh 180

    responden.

    Pengumpulan Data

    Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara menggunakan kuesioner penelitian

    serta dari hasil observasi dan pengukuran yang dilakukan langsung di lapangan. Data

    sekunder diperoleh dari hasil pencatatan dan pelaporan Puskesmas, Dinas Kesehatan Kota

    Makassar, dan BPS Kota Makassar serta dari hasil kajian pustaka baik berupa artikel, jurnal,

    dan buku-buku.

  • Analisis Data

    Data yang terkumpul dianalisis statistik dengan menggunakan Program SPSS versi 21

    dan disajikan dalam bentuk tabel disertai dengan narasi sebagai penjelasan. Uji statistik yang

    dipergunakan adalah Uji Chi Square.

    HASIL PENELITIAN

    Karakteristik Responden

    Tabel 1 memperlihatkan karakteristik responden penelitian. Sebagian besar responden

    berada pada kelompok umur 40 56 tahun dan 18 39 tahun. Sedangkan responden dengan

    kelompok umur 1 4 tahun maupun 13 17 tahun tidak ditemukan. Tabel juga

    memperlihatkan bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki dimana terdapat

    118 responden laki-laki dan hanya 62 responden perempuan. Sebagian besar responden tidak

    memiliki riwayat terkena DBD dalam 3 tahun terakhir. terdapat 70 responden yang memiliki

    riwayat menderita DBD dan 110 responden yang tidak menderita pernah menderita DBD.

    Sebanyak 54,3% responden yang pernah menderita DBD berada pada wilayah endemis

    sedangkan di daerah sporadis hanya sebesar 40,0% dan pada wilayah potensial hanya 5,7%.

    Tabel 1 juga memperlihatkan bahwa sebagian besar responden memiliki pekerjaan sebagai

    wiraswastawan. Profesi selanjutnya adalah pegawai swasta dan PNS. Sedangkan responden

    yang berstatus pelajar, mahasiswa, dan pekerjaan lainnya (sopir) merupakan profesi yang

    paling sedikit ditemukan pada responden.

    Hubungan Antara Mobilitas Penduduk dengan Tingkat Endemisitas DBD

    Data yang disajikan pada tabel 2 menunjukkan bahwa mobilitas penduduk pada

    wilayah endemis sebesar 50,0 % rendah dan 31,3% dengan mobilitas tinggi. Hasil uji statistik

    dengan Fisher exact test memberikan nilai p = 1,000 (> 0,05) sehingga hipotesis penelitian

    ditolak. Hal ini berarti bahwa tidak ada hubungan antara mobilitas penduduk dengan tingkat

    endemisitas Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Makassar.

    Hubungan Antara Kepadatan Penduduk dengan Tingkat Endemisitas DBD

    Tabel 3 memperlihatkan bahwa dari 18 wilayah, 13 di antaranya berstatus padat

    penduduk (> 4000 jiwa/km2) dan 5 dengan status tidak padat. Persentase kepadatan penduduk

    pada wilayah endemis yang tidak padat sebesar 60,0% sedangkan yang padat (23,1%). Hasil

    uji statistik Fisher exact test memberikan nilai p = 0,268 (> 0,05) sehingga hipotesis

    penelitian ditolak. Hal ini berarti bahwa tidak ada hubungan antara kepadatan penduduk

    dengan tingkat endemisitas Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Makassar.

  • Hubungan Antara Densitas Larva dengan Tingkat Endemisitas DBD

    Hasil penelitian pada tabel 4 memperlihatkan bahwa tidak ada wilayah endemis yang

    memiliki House Index rendah sedangkan HI tinggi sebesar 54,5%. Hasil uji statistik

    menunjukkan nilai p = 0,038 (< 0,05) sehingga hipotesis penelitian diterima atau ada

    hubungan antara HI dengan tingkat endemisitas DBD di Kota Makassar. Tabel juga

    memperlihatkan bahwa tidak ada wilayah dengan status endemis tinggi yang memiliki

    Container Index (CI) rendah dan 6 wilayah (35,3%) dengan CI tinggi. Hasil uji statistik

    memberikan nilai p = 1,000 (> 0,05) sehingga hipotesis penelitian ditolak atau tidak ada

    hubungan antara Container Index (CI) dengan tingkat endemisitas DBD di Kota Makassar.

    Hubungan Antara Pemantauan Jentik Berkala (PJB) dengan Tingkat Endemisitas DBD

    Data pada tabel 5 menunjukkan bahwa persentase wilayah yang melakukan PJB pada

    daerah endemis sama dengan persentase wilayah yg tidak melakukan PJB (33,3%). Hasil uji

    statistik menunjukkan nilai p = 1,000 (p > 0,05) sehingga hipotesis penelitian ditolak atau

    tidak ada hubungan antara PJB dengan tingkat endemisitas DBD di Kota Makassar.

    PEMBAHASAN

    Penelitian ini memperlihatkan bahwa House Index (HI) merupakan faktor yang

    berhubungan dengan endemisitas DBD di Kota Makassar. Sedangkan faktor mobilitas

    penduduk, kepadatan penduduk, Container Index (CI), dan Pemantauan Jentik Berkala (PJB)

    tidak berhubungan dengan endemisitas DBD di Kota Makassar.

    Mobilitas penduduk yang tinggi umumnya terjadi di daerah perkotaan yang dilengkapi

    dengan sarana transportasi dan informasi yang maju. Hal ini terjadi karena dipengaruhi oleh

    profesi dan aktifitas penduduk yang menuntut terjadinya mobilitas baik dalam wilayah tempat

    tinggal maupun ke luar wilayah tempat tinggal. Mobilitas yang tinggi selain berdampak

    positif, juga memberikan dampak negatif dengan terjadinya penyebaran penyakit dari satu

    wilayah ke wilayah lain akibat perpindahan penduduk.

    Data hasil penelitian menunjukkan bahwa mobilitas penduduk hampir sama wilayah

    baik wilayah endemis, sporadis, maupun potensial. Terdapat 16 wilayah dengan mobilitas

    penduduk yang tinggi dan hanya 2 wilayah yang masih tergolong dalam kategori mobilitas

    kurang. Tidak adanya perbedaan signifikan antara wilayah dengan tingkat endemisitas

    berbeda menyebabkan analisis statistik yang dihasilkan juga memberikan hasil yang tidak

    bermakna atau tidak ada hubungan antara mobilitas penduduk dengan tingkat endemisitas

    DBD di Kota Makassar. Sebagian besar masyarakat di kota Makassar baik pada wilayah

    endemis, sporadis, maupun potensial memiliki mobilitas tinggi ke luar wilayah yang

  • didukung oleh sarana transportasi yang lancar. Hal ini menyebabkan penyebaran penyakit

    seperti DBD dapat terjadi di semua wilayah Kota Makassar karena semakin meningkatnya

    mobilitas penduduk.

    Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Ishak dkk (2009) serta Gama dkk (2010)

    yang menyatakan bahwa mobilitas penduduk merupakan variabel yang mempunyai hubungan

    paling signifikan terhadap endemisitas penyakit DBD. Namun, hasil yang sama dengan

    penelitian ini adalah penelitian Fathi dkk (2005) yang menyatakan bahwa mobilitas penduduk

    tidak ikut berperan dalam kejadian DBD.

    Kepadatan penduduk merupakan jumlah penduduk yang menetap di suatu wilayah per

    satuan luas wilayah (km2). Semakin padat suatu wilayah, maka potensi penularan penyakit

    semakin besar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 13 wilayah dengan tingkat

    kepadatan penduduk tinggi dan 5 wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk kurang padat

    (< 4.000 jiwa/km2). Namun secara statistik tidak ada perbedaan yang signifikan antara

    wilayah endemis maupun non endemis. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p = 0,268 yang

    menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kepadatan penduduk dengan tingkat

    endemisitas wilayah di Kota Makassar.

    Kepadatan penduduk Kota Makassar yang semakin tinggi sejalan dengan tingginya

    arus perpindahan penduduk baik untuk menuntut ilmu maupun karena tuntutan ekonomi. Kota

    Makassar sebagai salah satu pusat pendidikan dan perekonomian di Indonesia Timur memiliki

    potensi yang menarik bagi banyak orang. Kepadatan penduduk tidak hanya terjadi pada

    daerah pusat kota tetapi sampai ke wilayah luar Kota Makassar karena semakin lancarnya

    sarana transportasi yang memudahkan mobilitas penduduk dari atau ke pusat kota. Kepadatan

    penduduk yang tidak berbeda baik pada wilayah endemis, sporadis, maupun potensial

    menyebabkan risiko penularan penyakit seperti DBD menjadi sama pada tiap wilayah. Peran

    kepadatan penduduk menjadi tidak berarti karena wilayah yang hampir sama tingkat

    kepadatannya. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Setianingsih (2009) dan

    Rahayani (2010) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara

    kepadatan penduduk dan kepadatan rumah dengan kejadian penyakit DBD.

    Densitas atau kepadatan larva Aedes spp pada suatu wilayah dapat menjadi ancaman

    bagi kesehatan masyarakat jika terjadi kontak dengan manusia. Kontak nyamuk Aedes spp

    dengan penderita DBD akan menyebabkan nyamuk terinfeksi dan jika menggigit manusia

    sehat akan dapat menyebabkan terjadinya penularan DBD. Densitas larva yang diukur pada

    penelitian ini berupa angka rumah atau House Index (HI) dan angka wadah atau Container

    Index (CI). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 11 wilayah memiliki HI tinggi (> 37) dan 7

  • wilayah dengan HI rendah (< 37). Namun terdapat perbedaan signifikan antara wilayah

    endemis dan non endemis. HI rendah hanya ditemukan pada wilayah non endemis dan tidak

    ditemukan pada wilayah endemis. Hasil uji statistik memberikan nilai p = 0,038 yang

    menunjukkan bahwa ada hubungan antara HI dengan tingkat endemisitas DBD wilayah di

    Kota Makassar.

    Hasil yang ada menunjukkan bahwa jumlah rumah yang positif larva Aedes spp lebih

    banyak ditemukan pada wilayah endemis. Kondisi ini erat kaitannya dengan kurangnya

    tindakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) pada daerah endemis yang menyebabkan

    tingginya kasus DBD. Hasil penelitian terhadap tingkat CI menunjukkan hasil yang berbeda

    dengan hasil HI. CI yang tinggi (> 3) ditemukan di 17 wilayah yang diteliti sedangkan CI

    rendah hanya ditemukan pada 1 wilayah. Tidak adanya perbedaan yang cukup signifikan

    antara daerah endemis dan non endemis menyebabkan hasil uji statistik memberikan nilai

    yang tidak bermakna sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara CI

    dengan tingkat endemisitas DBD di Kota Makassar.

    Hasil yang berbeda pada HI dan CI menunjukkan bahwa rumah pada daerah non

    endemis yang positif larva Aedes spp memiliki jumlah kontainer positif larva yang cukup

    banyak sehingga berpengaruh pada tingginya angka CI. Penelitian ini sejalan dengan

    penelitian Ishak dkk (2009) yang menyatakan bahwa densitas larva sebesar HI (House Index)

    : 47% dan CI (Container Index) 31,1% mempunyai hubungan yang signifikan dengan tinggi

    rendahnya endemisitas. Namun penelitian Fathi dkk (2005) menyatakan bahwa tidak nampak

    peran kepadatan larva yang diukur dengan ABJ terhadap terjadinya KLB penyakit DBD.

    Pemantauan Jentik Berkala (PJB) merupakan salah satu langkah pencegahan

    penyebaran DBD yang dianggap cukup bermakna. Pemantauan jentik baik yang dilakukan

    oleh tenaga kesehatan maupun kader jumantik atau masyarakat dapat mengurangi jumlah

    larva nyamuk Aedes spp sehingga akan berdampak pada penurunan kasus DBD. Hasil

    penelitian menunjukkan bahwa persentase wilayah yang melakukan PJB pada daerah endemis

    sama dengan persentase wilayah yg tidak melakukan PJB (33,3%). Hasil uji statistik

    menunjukkan nilai p = 1,000 (p > 0,05) sehingga hipotesis penelitian ditolak atau tidak ada

    hubungan antara PJB dengan tingkat endemisitas DBD di Kota Makassar. Kondisi ini erat

    kaitannya dengan masih banyaknya wilayah baik daerah endemis, sporadis, maupun potensial

    yang tidak melakukan PJB secara rutin (3 bulan sekali).

    Pemantauan jentik yang tidak terkoordinir atau rutin dilakukan dapat menyebabkan

    peningkatan kepadatan nyamuk sehingga berdampak pada peningkatan kasus DBD. Kondisi

    ini dapat menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat karena langkah pencegahan berupa

  • PJB termasuk PSN tidak dilakukan sehingga dapat menyebabkan kasus DBD yang terus

    meningkat.

    Hasil penelitian yang berbeda dengan penelitian ini didapatkan pada penelitian Alidan

    (2012) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara PJB dengan

    perilaku PSN DBD (p-value < 0,05) dimana PJB adalah variabel yang paling besar memberi

    pengaruh terhadap perilaku PSN DBD. Penelitian Wongso dkk (2008) memberikan hasil yang

    sama dengan penelitian ini yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan jumlah penderita

    DBD sebelum dan sesudah adanya kader jumantik.

    KESIMPULAN DAN SARAN

    Kesimpulan pada penelitian ini adalah House Index (HI) merupakan satu-satunya

    faktor yang berhubungan dengan endemisitas DBD di Kota Makassar. Mobilitas penduduk,

    kepadatan penduduk, Container Index (CI), dan Pemantauan Jentik Berkala (PJB) tidak

    berhubungan dengan tingkat endemisitas DBD di Kota Makassar. Disarankan agar

    pemasyarakatan kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) secara mandiri perlu

    dilakukan secara terus menerus untuk mencegah perkembangbiakan nyamuk Aedes.

    Masyarakat dan lintas sektor terkait perlu bekerja sama dalam menciptakan lingkungan sehat

    serta bebas dari penularan DBD, dan tidak hanya pada upaya kuratif. Diharapkan Dinas

    Kesehatan setempat khususnya Puskesmas agar lebih mengefektifkan penggunaan media

    dalam rangka penggalangan kegiatan pemberantasan sarang nyamuk secara terpadu serta

    memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya kegiatan pemberantasan

    sarang nyamuk tersebut. Kegiatan Pemantauan Jentik Berkala perlu diaktifkan pada setiap

    wilayah untuk dapat mendeteksi adanya vektor penular DBD serta mencegah terjadinya

    penularan DBD.

    UCAPAN TERIMA KASIH

    Ucapan terimakasih dan penghargaan kepada Tim Pembimbing Penelitian, Fakultas

    Kesehatan Masyarakat Program Pasca Sarjana UNHAS, Pemerintah Kota Makassar,

    Pemerintah dan masyarakat pada lokasi penelitian (Kelurahan Sudiang, Sudiang Raya,

    Tamalanrea, Tamalanrea Indah, Tamalanrea Jaya, dan Panaikang), serta rekan-rekan

    mahasiswa Program Magister Konsentrasi Kesehatan Lingkungan.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Alidan. (2011). Hubungan Pengetahuan, Sikap, dan Penyuluhan Kesehatan dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD) di Kelurahan Simpang III Sipin Kecamatan Kota Baru Kota Jambi. Thesis tidak diterbitkan. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta

    Azizah dan Betty. (2010). Analisis Faktor Risiko Kejadian Demam Berdarah Dengue di Desa Mojosongo Kabupaten Boyolali. Eksplanasi Volume 5 Nomor 2 Edisi Oktober 2010

    BPPN. (2006). Kajian Kebijakan Penanggulangan (Wabah) Penyakit Menular (Studi Kasus DBD). Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

    Gama, Azizah dan Betty. (2010). Analisis Faktor Risiko Kejadian Demam Berdarah Dengue di Desa Mojosongo Kabupaten Boyolali. Eksplanasi, Volume 5 Nomor 2 Edisi Oktober 2010

    Ishak, Hasanuddin dkk. (2009). Analisis Faktor Faktor Densitas Larva Aedes aegypti dan Endemisitas Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Disajikan pada Seminar Nasional Hari Nyamuk 2009 Tanggal 10 Agustus 2009

    Kemenkes RI. (2012). Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia : Jakarta

    Munsyir, Mujida Abdul. (2010). Pemetaan dan Analisis Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Bantaeng Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009. Thesis tidak diterbitkan. Universitas Hasanuddin : Makassar

    Rahayani, Berta Ratri. (2010). Analisis Spasial Faktor Kepadatan Penduduk, Angka Bebas Jentik, dan Cakupan Penanggulangan Fokus dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kot Surabaya Tahun 2006 2009. Skripsi tidak diterbitkan. Fakultas Kesehatan Masyarakat

    Setianingsih, Rien. (2009). Hubungan Kepadatan Penduduk, Kepadatan Rumah, Kepadatan Jentik, dan Ketinggian Tempat dengan Kejadian Penyakit DBD di Kota Semarang Tahun 2007 dengan Pendekatan Spasial I. Skripsi tidak diterbitkan. Universitas Diponegoro : Semarang

    Sudibyo, dkk. (2012). Kepadatan Larva Aedes aegypti pada Musim Hujan di Kelurahan Petemon, Surabaya. Skripsi tidak diterbitkan. Universitas Airlangga : Surabaya

    Taviv, dkk. (2010). Pengendalian DBD melalui Pemanfaatan Pemantau Jentik dan Ikan Cupang di Kota Palembang. Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 38 No. 4, 2010 : 215-224

    Wongso, Andry dkk. (2008). Perbedaan Jumlah Penderita DBD Sebelum dan Sesudah Adanya Kader Jumantik di Kecamatan Krian. Laporan Hasil Penelitian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.

  • Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Endemisitas DBD di Kota Makassar Tahun 2013

    Variabel

    Endemisitas Jumlah

    Endemis Sporadis Potensial

    n % n % n % n %

    Kelompok Umur

    1 4 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0

    5 12 1 100,0 0 0,0 0 0,0 1 100,0

    13 17 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0

    18 39 24 33,3 25 34,7 23 31,9 72 100,0

    40 56 29 35,4 27 32,9 26 31,7 82 100,0

    > 56 6 24,0 8 32,0 11 44,0 25 100,0

    Jenis Kelamin

    Laki-laki 44 37,3 34 28,8 40 33,9 118 100,0

    Perempuan 16 25,8 26 41,9 20 32,3 62 100,0

    Riwayat Menderita DBD

    Ya 38 54,3 28 40,0 4 5,7 70 100,0

    Tidak 22 20,0 32 29,1 56 50,9 110 100,0

    Pekerjaan

    PNS 15 34,9 12 27,9 16 37,2 43 100,0

    P. swasta 17 34,7 17 34,7 15 30,6 49 100,0

    Wiraswasta 26 31,3 30 36,1 27 32,5 83 100,0

    Pelajar 1 100,0 0 0,0 0 0,0 1 100,0

    Mahasiswa 1 50,0 0 0,0 1 50,0 2 100,0

    Lainnya 0 0,0 1 50,0 1 50,0 2 100,0

    Jumlah 60 33,3 60 33,3 60 33,3 180 100,0 Sumber : Data primer

    Tabel 2. Hubungan Antara Mobilitas Penduduk dengan Tingkat Endemisitas Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Makassar Tahun 2013

    Mobilitas Penduduk

    Endemisitas Jumlah

    Endemis Non Endemis

    n % n % n %

    Tinggi 5 31,3 11 68,8 16 100,0

    Rendah 1 50,0 1 50,0 2 100,0

    Jumlah 6 33,3 12 66,7 18 100,0 Sumber : Data primer p = 1,000

  • Tabel 3. Hubungan Antara Kepadatan Penduduk dengan Tingkat Endemisitas Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Makassar Tahun 2013

    Kepadatan Penduduk

    Endemisitas Jumlah

    Endemis Non Endemis

    n % n % n %

    Padat 3 23,1 10 76,9 13 100,0

    Tidak padat 3 60,0 2 40,0 5 100,0

    Jumlah 6 33,3 12 66,7 18 100,0 Sumber : Data primer p = 0,268

    Tabel 4. Hubungan Antara Densitas Larva (House Index dan Container Index)

    dengan Tingkat Endemisitas Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Makassar Tahun 2013

    Densitas Larva

    Endemisitas Jumlah

    Endemis Non Endemis

    n % n % n %

    House Index (HI)

    Rendah 0 0,0 7 100,0 7 100,0

    Tinggi 6 54,5 5 45,5 11 100,0

    p = 0,038

    Container Index (CI)

    Rendah 0 0,0 1 100,0 1 100,0

    Tinggi 6 35,3 11 64,7 17 100,0

    p = 1,000 Sumber : Data primer

    Tabel 5. Hubungan Antara Pemantauan Jentik Berkala (PJB) dengan Tingkat Endemisitas Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Makassar Tahun 2013

    Pemantauan Jentik Berkala (PJB)

    Endemisitas Jumlah

    Endemis Non Endemis

    n % n % n %

    Ya 4 33,3 8 66,7 12 100,0

    Tidak 2 33,3 4 66,7 6 100,0

    Jumlah 6 33,3 12 66,7 18 100,0 Sumber : Data primer p = 1,000