dampak pajanan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik...

Download Dampak Pajanan Zat pada Proses Pewarnaan Pembuatan Batik ...jurnalrespirologi.org/wp-content/uploads/2015/02/JRI-2014-34-2-77... · pewarnaan dengan bahan celup atau zat warna dan

If you can't read please download the document

Upload: trinhtu

Post on 06-Feb-2018

218 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 2014 77

    Riana Sari: Dampak Pajanan Zat pada Proses Pewarnaan Pembuatan Batik terhadap Kelainan Klinis Pekerja Industri Batik

    Korespondensi: dr. Riana Sari, Sp.P Email: [email protected]; Hp: 081328999180

    Dampak Pajanan Zat pada Proses Pewarnaan Pembuatan Batik terhadap Kelainan Klinis Pekerja Industri Batik

    Riana Sari1, Suradi1, Faisal Yunus2

    1Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, RSUD Dr. Moewardi, Surakarta

    2Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSUP Persahabatan, Jakarta

    AbstrakLatar Belakang: Batik adalah kerajinan khas Indonesia, khususnya budaya Jawa yang memiliki nilai seni tinggi. Pajanan bahan maupun zat kimia pada saat proses pewarnaan batik dapat menyebabkan iritasi terhadap sistem pernapasan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai pengaruh pajanan bahan kimia saat proses pewarnaan batik terhadap kelainan klinis paru pekerja industri batik.Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan desain penelitian potong lintang. Jumlah sampel sebanyak 58 orang yang terbagi dalam 2 kelompok, masing-masing 29 orang pada kelompok terpajan dan 29 orang dalam kelompok tidak terpajan. Penilaian dilakukan terhadap gejala respirasi dan kelainan klinis paru.Hasil: Terdapat hubungan bermakna antara pajanan bahan kimia dengan kelainan klinis paru yang meliputi bronkitis kronik, PPOK, dan asma kerja (p=0,001). Pajanan bahan kimia meningkatkan risiko kelainan klinis paru (RP=12; CI 95% 1,667-86,392). Terdapat hubungan bermakna antara pajanan bahan kimia dengan gejala batuk kronik (p=0,000), berdahak kronik (p=0,000), mengi (p=0,005), dan sesak napas (p=0,001). Terdapat hubungan bermakna antara kelompok terpajan dan kelompok tidak terpajan terhadap kejadian asma kerja (p=0,002).Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara pajanan bahan kimia pada saat proses pewarnaan batik dengan kelainan klinis paru.(J Respir Indo. 2014; 34:77-86)Kata kunci: proses pewarnaan, batik, gejala respirasi, kelainan klinis paru.

    Impact of Chemical Agent Exposure During Batik Colouring Process to Lung Clinical Impairment of Batiks Industry Worker

    AbstractBackground: Batik is a craft which has a high art and culture value to Indonesian especially Javanese. Chemical agents exposure at the batik colouring process caused irritation to the respiratory system. This study aimed to learn the effects of chemical agents exposure at the colouring process of batiks making to the lung clinical impairment of the batiks industry worker.Methods: This study is an observational analytic study with cross sectional design. The total sample of the study are 58 people divided to 29 people of exposed group and 29 people of non exposed group. The effect of colouring process was by respiratory symptom, and lung clinical impairment.Results: There is a significant relation between chemical agents exposure to lung clinical impairment which include chronic bronchitis, COPD, and occupational asthma (p=0,001). Chemical agents exposure making has a significant risk which caused lung clinical impairment (RP=12; CI 95% 1,667-86,392). There is a very significant difference between chemical agents exposure with the respiratory symptom chronic cough (p=0,000), chronic phlegm (p=0,000), wheezing (p=0,005) and chest tightness (p=0,001). There is a significant difference between the exposed group with the non exposed group to an occupational asthma event (p=0,002).Conclusion: There is a very significant relation between chemical agents exposure at the colouring process of the batiks making with the lung clinical impairment. (J Respir Indo. 2014; 34:77-86)Key words: colouring process, batik, respiratory symptom, lung clinical impairment.

  • J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 201478

    Riana Sari: Dampak Pajanan Zat pada Proses Pewarnaan Pembuatan Batik terhadap Kelainan Klinis Pekerja Industri Batik

    PENDAHULUAN

    Penyakit paru kerja sering ditemukan di negara-negara industri. Pajanan kronik di tempat kerja berperan penting terhadap kejadian penyakit saluran napas kronik. Pajanan iritan respirabel di tempat kerja dapat menimbulkan keluhan batuk kronik produktif yang disebut juga bronkitis industrial.1

    Penelitian European Community Respiratory Health Survey (ECRHS) pada subjek yang diikuti selama sembilan tahun menyatakan terdapat hubungan antara kejadian bronkitis kronik dengan pajanan di tempat.2,3 Pada penelitian tersebut subjek yang terpajan timbul gejala berdahak kronik, batuk kronik, batuk kronik berdahak, dan hiperresponsif bronkus yang tidak spesifik.2 Penelitian oleh National Health and Nutrition Examination Survey yang ketiga (NHANES III) menyatakan timbulnya gejala rinitis, konjungtivitis, dan asma pada pekerja di Amerika Serikat. Penelitian Zuskin dkk.4 mendapatkan kejadian asma kerja 6% pada pekerja yang terpajan zat pewarna tekstil. Penelitian di Korea pada pekerja industri pewarnaan tekstil menyebutkan terdapat hubungan antara pajanan pewarna tekstil dengan mortalitas asma kerja. Angka mortalitas asma pada pekerja industri pewarnaan tekstil lebih tinggi dibandingkan industri yang lain.5

    Penelitian penyakit paru kerja di Indonesia masih jarang termasuk pada pekerja batik. Industri batik Indonesia terkenal di dunia terutama yang berada di Pulau Jawa. Solo atau Surakarta merupakan salah satu penghasil kerajinan batik tulis, bahkan menjadi salah satu sumber pemasukan daerah. Saat ini diperoleh 8 miliar per bulan dari 160 industri batik di Surakarta, 70% pada pasar domestik, dan 30% ekspor.6 Memperhatikan kondisi tersebut perlu dilakukan penelitian-penelitian tentang dampak pajanan zat pada proses pembuatan batik, khususnya saat proses pewarnaan. Proses pembuatan batik meliputi pelekatan lilin batik dengan suhu panas, tahap pewarnaan dengan bahan celup atau zat warna dan tahap terakhir adalah proses menghilangkan lilin.7-10

    Pada proses pewarnaan batik selain menggunakan zat pewarna juga dipakai zat-zat pembantu, yaitu

    soda kostik atau natrium hidroksida, soda abu, Turkey red oil (TRO), teepol, asam klorida, asam sulfat, dan tawas.8,10 Proses pewarnaan meliputi proses peracikan atau pencampuran zat warna dan proses pencelupan sampai didapatkan warna yang diinginkan.9,10 Pajanan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik menyebabkan iritasi saluran napas. Zat pewarna berperan sebagai hapten dapat menyebabkan cidera pada sel epitel alveolar dan pelepasan mediator inflamasi. Akibat pelepasan mediator inflamasi menyebabkan hiperresponsif saluran napas, obstruksi aliran udara, dan fibrosis epitel saluran napas. Perubahan struktur sistem pernapasan tersebut menimbulkan gangguan fungsi paru dan kelainan klinis.11 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak pajanan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik terhadap kelainan klinis dan fungsi paru pekerja industri batik. METODE

    Penelitian ini termasuk jenis penelitian analitik observasional dengan rancangan studi potong lintang di industri batik kampung batik Laweyan, Sondakan, Surakarta pada bulan Agustus sampai September 2008. Populasi terjangkau penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok. Subjek terpajan adalah subjek yang bekerja di bagian proses pewarnaan pembuatan batik yang bekerja mulai dari meracik warna sampai proses pencelupan warna. Subjek tidak terpajan adalah subjek yang tidak bekerja di bagian proses pewarnaan pembuatan batik, di luar area pembatikan.

    Berdasarkan perhitungan sampel diperoleh jumlah responden kelompok terpajan 29 orang dan kelompok tidak terpajan 29 orang sehingga total subjek penelitian 58 orang. Sampel diambil dengan teknik consecutive random sampling. Kriteria inklusi adalah laki-laki atau perempuan dengan usia 20-60 tahun, telah bekerja minimal 2 tahun di bidang pewarnaan industri batik bagi kelompok terpajan, minimal terpajan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik 2 kali/minggu, bersedia ikut dalam penelitian dengan persetujuan tertulis dan mampu melakukan uji fungsi paru. Kriteria eksklusi

  • J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 2014 79

    Riana Sari: Dampak Pajanan Zat pada Proses Pewarnaan Pembuatan Batik terhadap Kelainan Klinis Pekerja Industri Batik

    adalah pekerja dengan jenis pekerjaan atau riwayat pekerjaan yang dapat menimbulkan penyakit paru akibat pajanan bahan pembuatan batik. Pekerja tersebut adalah pekerja pabrik tekstil, pabrik cat, pabrik kimia, tukang las, tukang cat semprot, tukang kayu, pabrik semen, dan lainnya. Kriteria eksklusi lainnya adalah pekerja yang menderita penyakit lain, baik di dalam maupun di luar paru yang dapat mempengaruhi fungsi paru yang akan dinilai. Kriteria penyakit lain tersebut seperti tuberkulosis paru, tumor paru, penyakit jantung dan hipertensi, kelainan dinding toraks, dan mediastinum. Kriteria eksklusi berikutnya adalah pekerja yang sebelum bekerja telah menderita penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) dan sindrom obstruksi pascatuberkulosis (SOPT) serta menolak ikut penelitian atau tidak bersedia melanjutkan penelitian.

    Definisi operasional untuk sesak napas/ rasa berat di dada (chest tightness) adalah kesulitan untuk bernapas, rasa tertekan di dada yang terjadi selama bekerja atau saat tidak bekerja dan tidak bertambah berat dalam 12 bulan terakhir.12,13 Wheezing adalah suara dengan nada tinggi yang timbul saat subjek bernapas karena penyempitan atau penekanan bronkus. Terdapat suara wheezing pada dada kapanpun dalam 12 bulan terakhir.13 Batuk kronik adalah batuk yang menetap minimal 3 bulan dalam setahun. Berdahak kronik adalah berdahak yang menetap minimal 3 bulan dalam setahun. 12,13

    Definisi operasional kelainan klinis paru yang meliputi asma kerja, bronkitis kronik, dan PPOK. Kriteria diagnosis asma kerja adalah dengan atau tanpa satu dari keluhan respiratori berupa batuk, berdahak, sesak napas atau wheezing (mengi). Hasil spirometri VEP1/ KVP dapat normal atau

  • J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 201480

    Riana Sari: Dampak Pajanan Zat pada Proses Pewarnaan Pembuatan Batik terhadap Kelainan Klinis Pekerja Industri Batik

    Tabel 1. Karakteristik subjek menurut tingkat pendidikan, IMT, penggunaan APD dan status merokok.

    Karakteristik RespondenTerpajan Tidak TerpajanN % N %

    Tingkat pendidikan Tidak sekolah 2 6,9 0 0 SD atau sederajat 8 27,6 2 6,9 SMP atau sederajat 10 34,5 6 20,7 SMA atau sederajat 8 27,6 17 58,6 Perguruan tinggi 1 3,4 4 13,8Indeks massa tubuh (IMT) Berat badan kurang 6 20,7 1 3,4 Normal 17 58,6 11 37,9 Risiko obesitas 5 17,2 7 24,1 Obesitas I 1 3,4 10 34,5 Obesitas II 0 0 0 0Kebiasaan mengunakan APD Buruk 13 44,8 29 100 Sedang 9 31,0 0 0 Baik 7 24,1 0 0Status merokok responden Bukan perokok 26 89,7 27 93,1 Perokok ringan 0 0 1 3,4 Perokok sedang 3 10,3 1 3,4 Perokok berat 0 0 0 0

    Rerata pengukuran IMT pada kelompok terpajan adalah 20,56 2,23 kg/m2 (normal). Rerata pengukuran IMT pada kelompok tidak terpajan adalah 24,13 3,67 kg/m2 (obesitas). Status merokok responden pada kelompok terpajan adalah bukan perokok 89,7% dan perokok sedang 10,3%. Status merokok responden pada kelompok tidak terpajan adalah bukan perokok 93,1%, perokok ringan 3,4%, dan perokok sedang 3,4%.

    Prevalensi kelainan paru terhadap area kerja

    Prevalensi keluhan respiratorius

    Pada penelitian ini hasil rerata pemeriksaan fungsi paru dengan spirometri pada kelompok terpajan lebih rendah dibandingkan kelompok tidak terpajan, dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil VEP1 pada kelompok terpajan adalah 3026,55 551,35 sedangkan pada kelompok tidak terpajan adalah 3385,86 640,63. Terdapat perbedaan bermakna antara kelompok terpajan dengan kelompok tidak terpajan terhadap penurunan VEP1 (p=0,03). Hasil KVP dan rasio VEP1/ KVP pada kelompok terpajan lebih rendah dibandingkan kelompok tidak terpajan, tetapi tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok terpajan dibandingkan kelompok tidak terpajan (p>0,05).

    Prevalensi pekerja pada kelompok terpajan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik yang mengalami keluhan respiratorius batuk kronik 44,8%, berdahak kronik 44,8%, sesak napas 34,5%, dan wheezing atau mengi 24,1%. Prevalensi pekerja yang mengalami keluhan respiratorius pada kelompok tidak terpajan meliputi batuk kronik 3,4%, berdahak kronik 3,4% sedangkan keluhan wheezing/ mengi dan sesak napas tidak ditemukan pada kelompok tidak terpajan. Terdapat perbedaan bermakna antara kelompok terpajan dibandingkan kelompok tidak terpajan dalam menimbulkan keluhan respiratorius batuk kronik (p=0,000), berdahak kronik (p=0,000), sesak napas (p=0,001), dan wheezing (p=0,005). Pajanan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik mempunyai risiko 13 kali lebih besar untuk menimbulkan keluhan batuk kronik dan berdahak kronik, dapat dilihat pada Tabel 2.

    Tabel 2. Keluhan respiratorius pada kelompok terpajan dan kelompok tidak terpajan.

    Area kerja Batuk kronik Berdahak kronik Wheezing/ Mengi Sesak napas(+) (-) (+) (-) (+) (-) (+) (-)

    Terpajan 13 (44,8%) 16 (55,2%) 13 (44,8%) 16 (55,2%) 7 (24,1%) 22 (75,9%)

    10 (34,5%)

    19 (65,5%)

    Tidak terpajan 1 (3,4%) 28 (96,6%) 1 (3,4%) 28 (96,6%) 0 (0%) 29 (100%) 0 (0%) 29 (100%)Nilai p (uji kai kuadrat)

    p = 0,000 p = 0,000 p = 0,005 p = 0,001

    Rasio prevalensi (RP)

    RP = 13CI 95% 1,817-93,009

    RP = 13 CI 95% 1,817-93,009

    tak terhingga tak terhingga

  • J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 2014 81

    Riana Sari: Dampak Pajanan Zat pada Proses Pewarnaan Pembuatan Batik terhadap Kelainan Klinis Pekerja Industri Batik

    Prevalensi kelainan klinis paru

    Pada penelitian ini prevalensi asma kerja kelompok terpajan adalah 8 orang (27,6%) sedangkan pada kelompok tidak terpajan tidak ada. Terdapat perbedaan bermakna antara kelompok terpajan dibandingkan kelompok tidak terpajan (p=0,002) terhadap timbulnya asma kerja, dapat dilihat pada Tabel 3. Penelitian ini memperoleh hasil 8 orang pada kelompok terpajan terdiagnosis sebagai asma kerja, 1 dari 8 orang tersebut mempunyai riwayat atopi sedangkan yang lain tidak. Satu orang dengan riwayat atopi tersebut diduga mengalami perburukan akibat pajanan di tempat kerja.

    Prevalensi bronkitis kronik pada kelompok terpajan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik adalah 10,3% sedangkan pada kelompok tidak terpajan sebesar 3,4%. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok terpajan dibandingkan kelompok tidak terpajan terhadap timbulnya bronkitis kronik (p=0,306), dapat dilihat pada Tabel 3. Prevalensi PPOK pada kelompok terpajan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik adalah 3,4% sedangkan kelompok tidak terpajan tidak ada

    yang mengalami PPOK. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok terpajan dibandingkan kelompok tidak terpajan terhadap timbulnya PPOK (p=0,50), dapat dilihat pada Tabel 3.

    Risiko timbulnya kelainan klinis dan fungsi paru menurut area kerja

    Hasil analisis data pada penelitian ini menun-jukkan bahwa pajanan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik mempunyai risiko bermakna menyebabkan kelainan klinis paru 12 kali lebih besar pada kelompok terpajan dibandingkan kelompok tidak terpajan (RP=12; CI 95% 1,667-86,392). Terdapat hubungan bermakna antara pajanan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik terhadap risiko kelainan klinis paru (p=0,001). Kekuatan hubungan pajanan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik terhadap kelainan klinis paru sangat kuat (OR >10). Kelainan klinis yang terjadi pada penelitian ini adalah asma kerja, bronkitis kronik, dan PPOK. Di antara ketiga kelainan klinis tersebut, asma merupakan kelainan klinis yang paling banyak. Terdapat perbedaan bermakna (p=0,002) kejadian asma pada kelompok terpajan dibandingkan kelompok tidak terpajan, dapat dilihat pada Tabel 4.

    Tabel 3. Kelainan klinis paru pada kelompok terpajan dan kelompok tidak terpajan.

    Area kerja Asma kerja Bronkitis kronik PPOK(+) (-) (+) (-) (+) (-)

    Terpajan 8 (27,6%) 21 (72,4%) 3 (10,3%) 26 (89,7%) 1 (3,4%) 28 (96,6%)

    Tidak terpajan 0 (0%) 29 (100%) 1 (3,4%) 28 (96,6%) 0 (0%) 29 (100%)

    Nilai p (uji kai kuadrat)

    p = 0,002 p = 0,30 P = 0,50

    Rasio prevalensi (RP) RP = tak terhingga RP = 3CI 95% 0,331-27,180

    RP = tak terhingga

    Tabel 4. Pajanan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik terhadap kelainan klinis paru.

    Area Pekerjaan Kelainan klinis paru Total(+) (-)

    Terpajan 12 (41,4%) 17 (58,6%) 29 (100%)

    Tidak terpajan 1 (3,4%) 28 (96,6%) 29 (100%)

    Total 13 (22,4%) 45 (77,6%) 58 (100%)

    RP = 12 (CI 95% 1,667-86,392)Uji Kai kuadrat / X2 = 11,997; p = 0,001

  • J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 201482

    Riana Sari: Dampak Pajanan Zat pada Proses Pewarnaan Pembuatan Batik terhadap Kelainan Klinis Pekerja Industri Batik

    Tabel 5. Pajanan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik terhadap kelainan fungsi paru.

    Area pekerjaan Kelainan fungsi paru Total(+) (-)

    Terpajan 4 (13,8%) 25 (86,2%) 29 (100%)

    Tidak terpajan 2 (6,9%) 27 (93,1%) 29 (100%)

    Total 6 (10.3%) 52 (89.7%) 58 (100%)

    RP = 2 (CI 95% 0.397-10.081)

    Uji Fisher p = 0.33

    Pajanan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik diduga merupakan faktor risiko penyebab kelainan fungsi paru, kelompok terpajan mempunyai risiko 2 kali lebih besar dibandingkan kelompok tidak terpajan (OR=2; CI 95% % 0,397-10,081) dan secara statistik tidak bermakna (p=0,335). Kekuatan hubungan antara pajanan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik terhadap kelainan fungsi paru adalah sedang (OR 1,5-3), dapat dilihat pada Tabel 5.

    PEMBAHASAN

    Penelitian ini memilih responden dengan usia minimal 20 tahun dan maksimal 60 tahun didasarkan pada fungsi paru fisiologis. Pertumbuhan dan perkembangan sistem respiratorius secara lengkap terjadi pada umur 18-20 tahun. Fungsi paru mencapai derajat maksimal pada umur 20-25 tahun atau sampai pada 3 dekade pertama, kemudian secara fisiologis menurun sesuai dengan peningkatan umur.16

    Sebagian besar responden pada kelompok terpajan berpendidikan rendah sehingga kepedulian terhadap kesehatan kurang, tercermin pada kebiasaan penggunaan APD. Pendidikan merupakan faktor yang tidak langsung berpengaruh pada pengetahuan dan kepedulian terhadap kesehatan. Responden pada kelompok terpajan, 44,8% mempunyai kebiasaan buruk dalam penggunaan APD, 31% mempunyai kebiasaan sedang dalam penggunaan APD, hanya 24,1% responden pada kelompok terpajan yang mempunyai kebiasaan

    baik dalam penggunaan APD. Penelitian Ismiati17

    menyatakan risiko terjadi gangguan fungsi paru (obstruksi) 16 kali lebih besar pada tenaga kerja yang tidak menggunakan APD.17 Alat pelindung napas mempengaruhi komposisi udara inspirasi sehingga menurunkan pajanan zat-zat berbahaya. Penelitian tentang penggunaan alat pelindung napas menyatakan penggunaan alat pelindung napas mengurangi insiden penyakit imunologi respiratorius pada pekerja yang baru terpajan. Penelitian tersebut juga menyebutkan individu yang memakai alat pelindung napas yang menutup muka total (full face respirator) tidak ada yang mengalami asma kerja meskipun tingkat pajanan tinggi.18

    Penelitian ini menunjukkan median lama kerja pada kelompok terpajan adalah 8 tahun, dengan lama kerja minimal 2 tahun dan maksimal 45 tahun. Median lama kerja pada kelompok tidak terpajan adalah 8 tahun dengan lama kerja minimal 2 tahun dan maksimal 25 tahun. Penelitian pada penata rambut yang terpajan cat, bleach dan persulfat didapatkan hasil periode laten timbulnya keluhan respiratorius adalah 50,8 bulan.19

    Status gizi dinilai berdasarkan pengukuran IMT. Rerata pengukuran IMT pada kelompok terpajan adalah 20,56 2,23 kg/m2 (normal). Rerata pengukuran IMT pada kelompok tidak terpajan adalah 24,133,67 kg/m2 (obesitas). Status merokok responden pada kelompok terpajan adalah bukan perokok 89,7% dan perokok sedang 10,3%. Status merokok responden pada kelompok tidak terpajan adalah bukan perokok 93,1%, perokok ringan 3,4%, dan perokok sedang 3,4%. Prevalensi merokok bervariasi di tempat kerja, prevalensi terbesar yaitu pada pekerja laki-laki pada industri konstruksi dan pekerja pertambangan.20

    Pada penelitian ini hasil rerata pemeriksaan fungsi paru dengan spirometri pada kelompok terpajan lebih rendah dibandingkan kelompok tidak terpajan, dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil VEP1 pada kelompok terpajan adalah 3026,55 551,35 sedangkan pada kelompok tidak terpajan adalah 3385,86 640,63. Terdapat perbedaan bermakna antara kelompok terpajan dengan kelompok tidak

  • J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 2014 83

    Riana Sari: Dampak Pajanan Zat pada Proses Pewarnaan Pembuatan Batik terhadap Kelainan Klinis Pekerja Industri Batik

    terpajan terhadap penurunan VEP1 (p=0,03). Hasil KVP dan rasio VEP1/ KVP pada kelompok terpajan lebih rendah dibandingkan kelompok tidak terpajan, tetapi tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok terpajan dibandingkan kelompok tidak terpajan (p>0,05). Penelitian Stater dkk.21, pada penata rambut yang terpajan oleh bahan kimia antara lain zat pewarna, bleach, hairspray, persulfat didapatkan hasil fungsi paru secara signifikan lebih rendah dibandingkan kontrol. Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) lebih rendah bermakna pada penata rambut dibandingkan pekerja administratif (rerata=3540, p0,05).21 Pada penelitian pekerja yang terpajan serat wol memperoleh hasil terdapat perbedaan bermakna penurunan rasio VEP1/ KVP antara kelompok terpajan dengan kelompok tidak terpajan (p

  • J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 201484

    Riana Sari: Dampak Pajanan Zat pada Proses Pewarnaan Pembuatan Batik terhadap Kelainan Klinis Pekerja Industri Batik

    pada kelompok terpajan didapatkan 8 subjek dengan diagnosis kecurigaan asma kerja berdasarkan hasil variabilitas diurnal APE serial adalah 15%. Hanya 1 orang subjek yang diduga kuat asma kerja karena hasil spirometri adalah obstruksi dengan reversibilitas 12% dan 200 ml serta hasil variabilitas diurnal APE serial adalah 20%. Hasil variabilitas diurnal diperoleh dari APE pagi hari dan APE malam hari disebabkan karena perubahan sirkadian kadar katekolamin dan cyclic adenosine monophosphate pada plasma mencapai titik terendah pada pagi atau dini hari sehingga APE dicapai maksimal pada sore hari dan minimal pada pagi hari.23 Penelitian ini memperoleh hasil 8 orang pada kelompok terpajan terdiagnosis sebagai asma kerja, 1 orang dari 8 orang tersebut mempunyai riwayat atopi sedangkan yang lain tidak. Satu orang dengan riwayat atopi tersebut diduga mengalami perburukan akibat pajanan di tempat kerja. Penelitian Wihastuti24 pada pekerja pabrik semen memperoleh data prevalensi asma kerja sebesar 4,3%.24 Perbedaan prevalensi asma kerja tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan jenis pajanan, lama pajanan, dan kadar pajanan.

    Penyebab asma kerja dibedakan menjadi agen dengan berat molekul kecil dan agen dengan berat molekul besar. Agen dengan berat molekul kecil adalah bermacam-macam bahan organik dan anorganik. Agen dengan berat molekul kecil sebagian menyebabkan patogenesis asma kerja yang tergantung IgE, sebagian lagi menyebabkan patogenesis asma kerja yang tidak tergantung IgE.25,26

    Pajanan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik antara lain cat reaktif. Cat reaktif merupakan agen dengan berat molekul kecil yang dapat memicu timbulnya asma kerja yang tergantung oleh IgE. Agen dengan berat molekul kecil merupakan antigen inkomplet (hapten) yang harus berikatan dulu dengan makromolekul/protein karier untuk menimbulkan respons imun.26 Ikatan antara hapten dengan protein akan dipresentasikan oleh APC (yaitu makrofag, sel dendrit dan sel B) ke sel T melalui MHC. Sel T (Th2/ CD4) menerima sinyal antigen melalui MHC klas II sedangkan sel T sitotoksik/ supresor (Th1/

    CD8) menerima sinyal antigen melalui MHC klas I. Sel T selanjutnya akan teraktivasi dan mensekresi limfokin yang akan menarik, mengaktivasi dan merangsang pertumbuhan dan diferensiasi leukosit lain. Sitokin yang dihasilkan oleh sel T selanjutnya bersama sel inflamasi lain berinteraksi menyebabkan proses inflamasi yang kompleks, degranulasi eosinofil yang merusak epitel saluran napas, dan menyebabkan hiperresponsif saluran napas. Pada asma kerja yang tergantung IgE, agen di tempat kerja menimbulkan respons imun melalui mekanisme yang diperantarai MHC klas II dan sel T yang teraktivasi adalah sel T (Th2/ CD4) yang selanjutnya juga terjadi aktivasi sel B untuk mensintesis IgE.27 Pada penelitian ini pajanan cat reaktif pada proses pewarnaan pembuatan batik diduga kuat sebagai penyebab terjadinya asma kerja.

    Banyak bahan yang berasal dari tempat kerja menyebabkan bronkitis kronik atau bronkitis industrial. Iritasi kronik pajanan zat di tempat kerja menyebabkan proses inflamasi yang merangsang mekanisme neurogenik, menyebabkan saraf sensorik jalan napas melepaskan takikinin, yaitu substansi P, neurokinin A, dan neurokinin B yang memperberat sekresi mukus. Pada bronkitis kronik juga terjadi perubahan struktur yaitu hiperplasi kelenjar mukus, peningkatan jumlah sel goblet pada permukaan epitelium. Saluran napas besar pada bronkitis kronik mengalami penurunan serous acini kelenjar submukosa yang menyebabkan penurunan pertahanan saluran napas selain penurunan jumlah dan panjang silia, metaplasi skuamosa dan abnormalitas mukosilier.

    Keterbatasan aliran udara yang timbul biasanya didahului batuk yang tidak efektif karena gangguan pembersihan mukosiliar yang menyebabkan retensi sputum.28

    Prevalensi bronkitis kronik pada kelompok terpajan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik adalah 10,3% sedangkan pada kelompok tidak terpajan sebesar 3,4%. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok terpajan dibandingkan kelompok tidak terpajan terhadap timbulnya bronkitis kronik (p=0,306). Diagnosis bronkitis kronik pada penelitian ini didapatkan pada 3 orang kelompok

  • J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 2014 85

    Riana Sari: Dampak Pajanan Zat pada Proses Pewarnaan Pembuatan Batik terhadap Kelainan Klinis Pekerja Industri Batik

    terpajan dan 1 orang pada kelompok tidak terpajan. Pada 4 orang subjek tersebut mempunyai keluhan batuk dengan dahak hampir setiap hari selama 3 bulan dalam satu tahun setidaknya selama 2 tahun dan hasil pemeriksaan spirometri VEP1/ KVP 70% dengan variabilitas diurnal APE serial < 15% atau VEP1/ KVP < 75% dan 70%, tetapi reversibilitas < 12% dan 200 ml. Penelitian Wihastuti24 pada pekerja pabrik semen memperoleh hasil prevalensi bronkitis kronik sebesar 6,4% pada pekerja yang terpajan.24 Perbedaan hasil prevalensi bronkitis kronik kemungkinan disebabkan perbedaan jenis pajanan.

    Faktor risiko PPOK yaitu pajanan partikel misalnya asap rokok, debu organik dan anorganik di tempat kerja, polusi udara dalam ruangan dari pembakaran dan pemasakan dengan biomassa dengan ventilasi yang buruk, polusi udara dari luar ruangan, stres oksidatif, infeksi saluran napas, status sosial ekonomi, jenis kelamin, umur, nutrisi dan faktor komorbid, misalnya asma.15 Prevalensi PPOK pada kelompok terpajan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik adalah 3,4% sedangkan kelompok tidak terpajan tidak ada yang mengalami PPOK. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok terpajan dibandingkan kelompok tidak terpajan terhadap timbulnya PPOK (p=0,50). Diagnosis PPOK pada penelitian ini didapatkan 1 subjek dengan hasil spirometri VEP1/ KVP < 70% dengan reversibilitas < 12% dan 200 ml.

    Risiko timbulnya kelainan klinis dan fungsi paru menurut area kerja

    Terdapat variasi risiko asma kerja terhadap pajanan di tempat kerja. Penelitian Toren dkk.29 memperoleh hasil risiko asma kerja terbesar pada pekerja yang terpajan debu biji-bijian (OR 4,2, CI 95% 1,6-10,7) dan pekerja yang terpajan debu tepung (OR 2,8, CI 95% 1,1-7,2) sedangkan risiko asma kerja terkecil pada pekerja yang terpajan debu mineral (OR 1,1, CI 95% 0,5-2,4), debu kayu (OR 1,1, CI 95% 0,5-2,4), pekerja pembersih (OR 1,1, CI 95%

    0,6-1,9). Perbedaan hasil penelitian kemungkinan

    disebabkan perbedaan jenis bahan pajanan.

    KESIMPULAN

    Terdapat perbedaan yang sangat bermakna

    antara kelompok terpajan zat pada proses pewar-naan pembuatan batik dibandingkan kelompok tidak terpajan terhadap kelainan klinis paru berupa keluhan respiratorius batuk kronik, berdahak kronik, wheezing/ mengi, dan sesak napas. Terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok yang terpajan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik dibandingkan kelompok tidak terpajan terhadap kejadian asma kerja.

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Hendrick DJ. Occupation and chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Thorax. 1996; 51:947-55.

    2. Zock JP, Sunyer J, Kogevinas M, Kromhout H, Burney P, Anto JM, et al. Occupation, Chronic Bronchitis, and lung function in young adults. Am J Respir Crit care Med. 2001; 163:1572-7.

    3. Sunyer J, Zock JP, Kromhout H, Esteban RG, Radon K, Jarvis D, et al. Lung function decline, chronic bronchitis, and occupational exposures in young adults. Am J Respir Crit Care Med. 2005; 172:1139-45.

    4. Arif AA, Whitehead LW, Delclos GL, Tortolero SR, Lee ES. Prevalence and risk factors of work related asthma by industry among United States workers: data from the third national health and nutrition examination survey (1988-94). Occup Environ Med. 2002; 505-11.

    5. Koh DH, Won J, Ahn YS, Kim HR, Koh SB. Asthma mortality in male workers of the dye industry in Korea. J Occup Health. 2008; 50:130-5.

    6. Batik tulis Solo Terancam punah. [online]. 2007 [Cited 2007 March 8]. Available at http://www.Liputan6.com.Surakarta.

    7. Katalog batik Indonesia. Dalam: Riyanto, Pamung-kas AW, Jafar MA, editors. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik. Yogyakarta; 1997.p.1-79.

    8. Susanto S. Teknik membuat batik. Dalam: Susanto S, editor. Seni Kerajinan Batik Indonesia. Jakarta:

  • J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 201486

    Riana Sari: Dampak Pajanan Zat pada Proses Pewarnaan Pembuatan Batik terhadap Kelainan Klinis Pekerja Industri Batik

    Balai Penelitian Batik dan Kerajinan, Lembaga Penelitian dan Pendidikan Industri, Departemen Perindustrian; 1980.p.5-95.

    9. Yayasan Harapan Kita. Dalam: Anas B, Hasanudin, Panggabean R, Sunarya Y, editors. Batik. Jakarta: Perum Percetakan Negara Republik Indonesia; 1997.p.1-90.

    10. Proses pembuatan batik. [online]. 2007. [Cited 2007 June 19]. Available from http:// www..M:\Batik%20Alhadi.mht.

    11. Santoso. Gangguan faal paru pada pekerja batik tradisional di Kotamadya Surakarta dan Pekalongan. [online]. 2008. [Cited 2008 January 6]. Available from http://www.digilib.ui.edu.

    12. Ghasemkhani M, Kumashiro M, Rezai M, Anvari AR, Mazloumi A, Sadeghipour HR. Prevalence of respiratory symptoms among workers in industries of south Tehran, Iran. Industrial Health. 2006; 44:218-24.

    13. Minov J, Bislimovska JK, Kuc SR, Stoleski S. Chronic respiratory symptoms and ventilatory function in workers exposed to tea dust: effect of duration of exposure and smoking. Medicine and Biology. 2005; 12(1):37-43.

    14. Chan-Yeung M. American College of Chest Physi cians. Assesment of asthma in the work place: ACCP consensus statement. Chest. 1995; 108:1084-117.

    15. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung disease (GOLD). Global strategy for the diagnosis, management and prevention of chronic obstructive pulmonary disease. NHLBI. 2006.

    16. Sprung J, Gajij O, Warner DO. Review article: age related alterations in respiratory function-anesthetic considerations. Can J Anesth. 2006; 53(12):1244-57.

    17. Ismiati M. Gambaran fungsi paru serta upaya peningkatan penggunaan alat pelindung diri saluran napas pada tenaga kerja bagian boiler pabrik sepatu olah raga di Serang. [online]. 2008. [Cited 2008 October 20]. Available from http://www.digilib.ui.edu/opac/themes/libri@/detail.jsp?id=76864&lokasi+lokal.

    18. Grammer LC, Harris KE, Yarnold PR. Effect of respiratory protective devices on development of antibody and occupational asthma to an acid anhydride. Occupational and environmental lung disease. Chest. 2002; 121:1317-22.

    19. Baser S, Fisekci FE, Ozkurt S. Prevalence of occupational asthma and early bronchial airflow impairment among hairdressers in Denizli. Archives of lung. 2007; 8:14-8.

    20. Mc Curdy SA, Sunyer J, Zock JP, Anto JM, Kogevinas M. Smoking anf occupation from European community respiratory health survey. Occup Environ Med. 2003; 60:643-8.

    21. Slater T, Bradshaw L, Fishwick D, Cheng S, Dunn MK, Pekkanen RE et al. Occupational respiratory symptom in New Zealand hairdressers. Occup Med. 2000; 50:586-90.

    22. Hansen EF, Rasmussen FV, Hardt F, Kamstrup O. Lung function and respiratory health of long term fiber exposed stonewool factory workers. Am J Respir Crit Care Med. 1999; 160:466-72.

    23. Jatin P, Kavuru MS, Emerman CL, Ahmad M. Utility of peak expiratory flow monitoring. Chest. 1998; 114:861-76.

    24. Wihastuti R. Prevalensi bronkitis kronik dan asma kerja serta faktor-faktor yang mempengaruhi pada pekerja pabrik semen. Tesis Bagian Pulmonologi FKUI. Jakarta; 2001.

    25. Brown KK. Chronic cough due to non bronchiectatic suppurative airway disease (bronchiolitis) ACCP evidence based clinical practice guidelines. Chest. 2006; 129:132-7.

    26. Sastre J, Vandenplas O, Park HS. Pathogenesis of occupational asthma. Eur Respir J. 2003; 22:364-73.

    27. Rahmawati I, Yunus F, Wiyono WH. Patogenesis dan patofisiologi asma. Cermin Dunia Kedokteran. 2003; 141:5-11.

    28. Braman SS. Chronic cough due to chronic bronchitis, ACCP evidence based clinical practice guidelines. Chest. 2006; 129:1045-115s.

    29. Toren K, Horte L-G, Jarvholm B. Occupation and smoking adjusted mortality due to asthma among Swedish men. Br J Ind Med. 1991;48:3236.