dalam bimbingan aparat negara dan freeport: modernitas ......salah satu film anak di era 2000-an...

24
Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport: Modernitas dan nasoionalisme di Papua dalam Denias Senandung Di Atas Awan IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute 2017 1 Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport: Modernitas dan nasionalisme di Papua dalam Denias Senandung Di Atas Awan IKWAN SETIAWAN Peneliti Matatimoer Institute Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya UNEJ e-mail: [email protected] , [email protected] Pengantar Salah satu film anak di era 2000-an yang menyajikan „menu utama‟ berbasis oposisi biner “yang tradisional” dan “yang modern” dalam dunia anak adalah film Denias, Senandung Di Atas Awan (Jhon De Rantau, 2006, selanjutnya disingkat DSDAA). Perjuangan anak untuk mendapatkan pendidikan modern dihadapkan pada otoritas tradisional yang mengikat masyarakat Papua. Sebagai sebuah karya, DSDAA mendapatkan banyak pujian karena dianggap mampu menghadirkan perjuangan untuk memperoleh pendidikan, mengangkat kekayaan budaya, dan menampilkan eksotika alam Papua. 1 Namun, menurut saya, apa yang justru menarik untuk dilihat dari film ini adalah bagaimana sineas DSDAA memproduksi makna modernitas dan nasionalisme Indonesia dalam konstruksi yang „menyanjung‟ aparat negara dan sebuah institui modal internasional bernama Freeport. Konstruksi „menyanjung‟ tersebut merupakan usaha untuk menghadirkan rezim kebenaran yang melawan citra negatif aparat negara dan Freeport yang telah puluhan tahun menindas masyarakat dan mengeksploitasi bumi Papua. Tulisan ini akan menguraikan bagaimana konstruksi-konstruksi penandaan dalam DSDAA mampu secara apik menaturalisasi dan menormalisasi wacana dan pengetahuan ideologis tentang kebaikan aparat negara dan Freeport bagi usaha kemajuan anak-anak Papua. Dengan menggunakan kerangka teoretis semiotika mitos (Barthes) dan poskolonialisme, khususnya hibriditas (Bhabha, 1994), saya akan mengeksplorasi aspek-aspek naratif sebagai bentuk penandaan mitis yang mengusung wacana-wacana partikular terkait modernitas di tengah-tengah ketradisionalan yang tidak bisa dipisahkan dari kepentingan negara dan pemodal internasional. Dengan 1 Pujian tersebut, misalnya, banyak diungkapkan dalam resensi terhadap film ini. Lihat, Denias—Senandung di Atas Awan”, tersedia di: http://portal.sarapanpagi.org/entertainment/denias-senandung-di-atas-awan.html , diunduh 15 November 2011 dan “Denias, Senandung Diatas Awan, Ambisi Maju Bocah Papua”, tersedia di: http://www.kapanlagi.com/film/indonesia/denias-senandung-diatas-awan-ambisi-maju-bocah- papua.html , diunduh 21 November 2010.

Upload: others

Post on 15-Mar-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport: Modernitas ......Salah satu film anak di era 2000-an yang menyajikan „menu utama‟ berbasis oposisi biner “yang tradisional” dan

Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport:

Modernitas dan nasoionalisme di Papua

dalam Denias Senandung Di Atas Awan

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute 2017

1

Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport:

Modernitas dan nasionalisme di Papua

dalam Denias Senandung Di Atas Awan

IKWAN SETIAWAN

Peneliti Matatimoer Institute

Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya UNEJ

e-mail: [email protected], [email protected]

Pengantar

Salah satu film anak di era 2000-an yang menyajikan „menu utama‟ berbasis

oposisi biner “yang tradisional” dan “yang modern” dalam dunia anak adalah

film Denias, Senandung Di Atas Awan (Jhon De Rantau, 2006, selanjutnya

disingkat DSDAA). Perjuangan anak untuk mendapatkan pendidikan modern

dihadapkan pada otoritas tradisional yang mengikat masyarakat Papua.

Sebagai sebuah karya, DSDAA mendapatkan banyak pujian karena dianggap

mampu menghadirkan perjuangan untuk memperoleh pendidikan, mengangkat

kekayaan budaya, dan menampilkan eksotika alam Papua.1 Namun, menurut

saya, apa yang justru menarik untuk dilihat dari film ini adalah bagaimana

sineas DSDAA memproduksi makna modernitas dan nasionalisme Indonesia

dalam konstruksi yang „menyanjung‟ aparat negara dan sebuah institui modal

internasional bernama Freeport. Konstruksi „menyanjung‟ tersebut merupakan

usaha untuk menghadirkan rezim kebenaran yang melawan citra negatif

aparat negara dan Freeport yang telah puluhan tahun menindas masyarakat

dan mengeksploitasi bumi Papua.

Tulisan ini akan menguraikan bagaimana konstruksi-konstruksi

penandaan dalam DSDAA mampu secara apik menaturalisasi dan

menormalisasi wacana dan pengetahuan ideologis tentang kebaikan aparat

negara dan Freeport bagi usaha kemajuan anak-anak Papua. Dengan

menggunakan kerangka teoretis semiotika mitos (Barthes) dan poskolonialisme,

khususnya hibriditas (Bhabha, 1994), saya akan mengeksplorasi aspek-aspek

naratif sebagai bentuk penandaan mitis yang mengusung wacana-wacana

partikular terkait modernitas di tengah-tengah ketradisionalan yang tidak bisa

dipisahkan dari kepentingan negara dan pemodal internasional. Dengan

1 Pujian tersebut, misalnya, banyak diungkapkan dalam resensi terhadap film ini. Lihat,

“Denias—Senandung di Atas Awan”, tersedia di:

http://portal.sarapanpagi.org/entertainment/denias-senandung-di-atas-awan.html, diunduh 15

November 2011 dan “Denias, Senandung Diatas Awan, Ambisi Maju Bocah Papua”, tersedia di:

http://www.kapanlagi.com/film/indonesia/denias-senandung-diatas-awan-ambisi-maju-bocah-

papua.html, diunduh 21 November 2010.

Page 2: Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport: Modernitas ......Salah satu film anak di era 2000-an yang menyajikan „menu utama‟ berbasis oposisi biner “yang tradisional” dan

Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport:

Modernitas dan nasoionalisme di Papua

dalam Denias Senandung Di Atas Awan

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute 2017

2

kerangka demikian, saya juga akan memunculkan posisi ideologis dari sineas

DSDAA.

Budaya modern dan kehadiran aparatus negara

Bagi Denias dan kawan-kawannya dalam film Denias Senandung Di Atas

Awan (DSDAA) menjadi modern berarti memperoleh pedidikan sebagaimana

dirasakan oleh anak-anak di pulau lain, meskipun sangat sulit diwujudkan.

Maka, film ini menghadirkan beberapa subjek perantara yang mengantarkan

Denias ke dalam “pentingnya makna pendidikan”. Salah satu subjek perantara

tersebut adalah Pak Guru yang berasal dari Jawa (selanjutnya disingkat PGJ).

Sebagai aparatus negara yang ditugaskan mengajar di pedalaman Papua, PGJ

digambarkan penuh dedikasi, meskipun seringkali harus bersikap keras kepada

para murid.

Kehadiran PGJ merupakan contoh bagaimana semangat pengabdian

untuk me-modern-kan anak-anak pedalaman Papua harus tetap dijaga,

meskipun sehari-hari ia harus hidup dengan fasilitas terbatas. Salah satu

wujud dedikasi PGJ adalah nasehatnya kepada Denias tentang keutamaan

pendidikan. Nasehat itu ia sampaikan, misalnya, dalam sebuah percakapan

dengan Denias di depan pintu kamar tidurnya yang menyatu dengan sekolah,

setelah Denias berkelahi dengan Noel, anak Kepala Suku Besar (KSB). Ia

memuji Denias karena “cepat membaca dan pandai berhitung” serta

memprediksinya akan menjadi “ahli matematika”. Pujian itu merupakan

persuasi agar ia terus belajar.

Untuk meyakinkan Denias, PGJ bercerita dongeng Jack dan Kacang

Polong. Dengan mimik muka serius dan impresif, PGJ bercerita tentang

perjuangan Jack untuk bisa melihat dunia yang luas dengan menanam kacang

polong dan memanjatnya sampai di atas awan. PGJ meyakinkan Denias bahwa

semangat Jack ada dalam dirinya dengan menunjuk dadanya. Maka, Denias

harus menjadikan semangat perjuangan itu semangat hidupnya. Untuk

menekankan pentingnya subjek belajar untuk bisa merasakan dunia yang

begitu luas sebagai rezim kebenaran yang mempengaruhi Denias. Kemudian

PGJ memeluknya; bentuk empati aparatus negara dari Jawa yang dengan

penuh kasih sayang mau membimbing anak-anak Papua; sebuah pelukan

Indonesia untuk masyarakat Papua.

Dengan nasehat itu, PGJ merupakan subjek perantara yang cukup

signifikan kontribusinya dalam meyakinkan anak-anak pedalaman Papua

untuk terus menghidupkan semangat dan berjuang guna mendapatkan ilmu

modern. Kehadiran PGJ dan institusi sekolah dasar di pedalaman Papua

Page 3: Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport: Modernitas ......Salah satu film anak di era 2000-an yang menyajikan „menu utama‟ berbasis oposisi biner “yang tradisional” dan

Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport:

Modernitas dan nasoionalisme di Papua

dalam Denias Senandung Di Atas Awan

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute 2017

3

merupakan bentuk kehadiran rezim negara yang direpresentasikan membawa

modernitas di tengah-tengah ketradisionalan masyarakat. Orang-orang Jawa

bukan lagi direpresentasikan sebagai subjek superior yang menguasai dan

menindas, tetapi mendidik dan mengarahkan. Anak-anak pedalaman Papua

adalah tabula rasa yang perlu diisi dengan semangat dan impian menjadi

terdidik serta diarahkan untuk berjuang mewujudkan modernitas karena

dengan cara itulah mereka bisa menjadi generasi penerus yang pandai dan

bermartabat, sama seperti anak-anak Indonesia lainnya, meskipun

keterbatasan fasilitas tetap menjadi problematika. Dengan pendidikan yang

diajarkan PGJ, anak-anak Papua akan bisa “melihat dunia yang lebih luas”,

bukan sekedar dunia yang dipenuhi ketelanjangan, keterbelakangan, dan ritual

tradisional. Artinya, pada dasarnya, subjek Papua-lah yang membutuhkan

kehadiran subjek Jawa. Apa yang harus diingat adalah bahwa PGJ yang

membawa pendidikan modern adalah aparatus negara, sehingga ia sekaligus

meng-eks-nominasikan kehadiran negara dalam me-modern-kan masyarakat

Papua. Dengan kata lain, perjuangan menjadi modern bagi anak-anak Papua

melalui pendidikan merupakan proses “menjadi Indonesia”.

Dalam konteks “menjadi modern menjadi Indonesia”, kehadiran Maleo

(bernama asli Serma Hartawan, anggota Korps Baret Merah yang ditugaskan di

desa Denias) dalam struktur dunia naratif DSDAA, menarik untuk dicermati.

Maleo tidak dihadirkan sebagai tentara yang represif. Maleo adalah sebuah

representasi “tentara berwajah manusiawi”: baik hati, perhatian kepada Denias

dan kawan-kawannya, serta mau menolong masyarakat yang tengah

menghadapi masalah. Sikap manusiawi itu ditunjukkan, misalnya, dalam

adegan ketika ia menolong Mama Denias yang tengah sakit dengan

memberinya obat. Dia juga suka membagi-bagikan permen kepada Denias dan

kawan-kawannya di sekolah. Kebaikan Maleo juga ditunjukkan dengan cara

terus memberikan nasehat kepada Denias untuk bersekolah, bukan berkelahi

dengan Noel. Penggambaran-penggambaran tersebut sekaligus merupakan

usaha dari sineas DSDAA untuk mengurangi persepsi negatif di masyarakat

Papua terhadap kehadiran militer; bahwa tentara dan operasi militer

merekalah yang menyebabkan terjadinya tragedi kemanusiaan di Papua,

utamanya yang melibatkan Kopassus. Artinya, penggambaran tersebut

menegosiasikan gagasan bahwa tentara yang bertugas di bumi Papua juga bisa

menjalankan misi-misi kemanusiaan yang amat berguna bagi masyarakat.

Selain semua kebaikan-kebaikan tersebut, Maleo—sebagai subjek

perantara yang lain—juga mengajarkan pengetahuan geografis tentang pulau-

pulau besar Indonesia kepada Denias. Dia menggunakan medium kertas-

Page 4: Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport: Modernitas ......Salah satu film anak di era 2000-an yang menyajikan „menu utama‟ berbasis oposisi biner “yang tradisional” dan

Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport:

Modernitas dan nasoionalisme di Papua

dalam Denias Senandung Di Atas Awan

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute 2017

4

kardus-bekas untuk membuat replika pulau-pulau besar tersebut, di mana

Papua menjadi salah satu bagiannya. Menjadikan anak Papua sadar akan

keindonesiaan tidak harus dengan tindakan represif. Kesadaran untuk

menjadi bagian integral Indonesia bisa dilakukan dengan cara

sederhana; membuat replika pulau berbahan kertas-kardus-bekas.

Dengan gaya layaknya seorang guru geografi, Maleo menjelaskan satu

per satu pulau-pulau besar yang ada di Indonesia, dari Sumatra,

Kalimantan, Jawa, Sulawesi, hingga Papua. sembari diiringi ilustrasi

musik lagu Dari Sabang Sampai Merauke—sebuah penegasan semangat

kesatuan dalam wadah NKRI. Setelah itu, Maleo menyusun pulau-pulau

itu satu per satu, mengacak, dan meminta Denias menyusun mereka

kembali sebagai satu kesatuan. Awalnya, Denias merasa kesulitan untuk

menyusun „pulau-pulau nusantara‟ tersebut sampai harus menggaruk-

garuk kepalanya. Namun, setelah mencoba dan berusaha lagi, akhirnya

ia bisa tersenyum dan berkata, “Indonesia” setelah berhasil „menyusun

nusantara‟ sebagai satu kesatuan integral—sebuah kesadaran wilayah

yang menasional dan melampaui batas geografis kesukuan.

“Wacana peta” (cartographic discourse) dalam film ini terhubung

dengan mekanisme menyerupai kolonialisme yang dijalankan aparat

militer Indonesia dalam membangun kesadaran nasionalisme di benak

rakyat Papua. Subjek ke-peta-an, menurut Huggan (2008: 23),

merupakan narasi yang secara produktif menyebar dan mengikat para

subjek dalam prinsip keutuhan geografis. Peta merupakan sebuah

proporsi terhadap jagat yang seolah-olah nyata yang darinya subjek akan

lebih mudah dikendalikan karena ia merasakan diri menjadi bagian

integral dari sebuah wilayah; sebuah fungsi kekuasaan. Menurut

Barrington (2006: 6-8), dalam konteks bangsa dan nasionalisme

kesadaran wilayah merupakan salah satu elemen penting yang mutlak

ada. Setiap subjek dalam bingkai bangsa harus diberi pengetahuan

kewilayahan karena dengan cara itulah ia akan merasa menjadi bagian

dari sebuah bangsa yang terdiri dari bermacam etnis dan suku yang

mendiami kesatuan wilayah yang lebih luas. Hal itulah yang

membedakan bangsa dengan suku yang lebih sempit cakupan

geografisnya.

Page 5: Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport: Modernitas ......Salah satu film anak di era 2000-an yang menyajikan „menu utama‟ berbasis oposisi biner “yang tradisional” dan

Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport:

Modernitas dan nasoionalisme di Papua

dalam Denias Senandung Di Atas Awan

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute 2017

5

Maka, “sesulit” apapun, proses “menjadi Indonesia” harus dijalani

dan dilakoni oleh anak-anak Papua agar mereka bisa menyatu dengan

keindonesiaan. Dan, Maleo, dengan penuh kesabaran mendampingi

proses tersebut. Meskipun para aktivis gerakan resistensi selalu

menggunakan keberbedaan geografis sebagai salah satu rasionalisasi

mereka, toh, realitas politik Papua adalah bagian sah dari NKRI. Apa

yang dibutuhkan adalah “sebuah senyuman kecil” dan keyakinan untuk

mengatakan “Indonesia”, seperti yang dilakukan Denias, karena tentara

Kopassus seperti Maleo tidak lagi menakutkan, meskipun dalam

kenyataannya masih banyak terjadi kekerasan yang melibatkan aparat

tentara. Memang setelah peristiwa pembunuhan tokoh Papua Theys Eulay

pada tahun 2001, berita tentang tindak kekerasan yang dilakukan Kopassus

jarang terdengar di media nasional. Meskipun demikian, hal itu bukan berarti

tindakan keji mereka terhadap warga Papua berhenti. Sebuah laporan dari

Human Right Watch berjudul “What Did I Do Wrong?”: Papuans in Merauke

Face Abuses by Indonesian Special Forces (2009) membeberkan enam kasus

kekejaman pasukan elit Angkatan Darat ini yang berlangsung dari tahun 2007-

2009 berupa penyiksaan secara sadis terhadap warga Merauke. Laporan ini

tentu berkebalikan dengan representasi filmis yang dihadirkan melalui sosok

Maleo. Hal itu semakin menegaskan bahwa DSDAA berusaha mengaburkan

realitas kekejaman Kopassus dengan makna-makna terkait kebaikan dan

kepedulian terhadap pendidikan anak-anak Papua. Sebagai subjek perantara dari aparat militer, kehadiran Maleo dan

tindakan-tindakan empati dan impresifnya merupakan idealisasi sekaligus

naturalisasi dari proses menjadi Indonesia yang berlangsung dalam kehidupan

anak-anak Papua melalui peran tentara berwajah manusiawi. Sebagai

idealisasi dan naturalisasi, penghadiran Maleo dalam film ini juga berusaha

menegosiasikan militerisme yang bisa menuntun dan mengarahkan anak-anak

Papua dalam bingkai Indonesia modern yang tetap mengedepankan integrasi

nasional—sebuah diktum militeristik yang dimobilisasi secara besar-besaran

pada masa Orde Baru. Mengapa harus anak-anak yang dijadikan subjek

diskursif dari wacana keindonesiaan? Mereka adalah representasi dari

kemurnian perjuangan nasionalisme Indonesia di Papua yang belum „terinfeksi‟

oleh kepentingan-kepentingan politik gerakan perlawanan. Dengan negosiasi

tersebut, anak-anak Papua diharapkan menjadi subjek yang terus meyakini

dan menyebarkan makna-makna keindonesiaan dalam kehidupan mereka, baik

di masa kini ataupun masa mendatang—sebuah mobilisasi untuk menyebarkan

Page 6: Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport: Modernitas ......Salah satu film anak di era 2000-an yang menyajikan „menu utama‟ berbasis oposisi biner “yang tradisional” dan

Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport:

Modernitas dan nasoionalisme di Papua

dalam Denias Senandung Di Atas Awan

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute 2017

6

dan memperkuat nasionalisme Indonesia. Dengan negosiasi “militerisme

manusiawi”, terjadi proses pengaburan terhadap semua kejahatan dan

kekerasan militer sebagai kemasalampauan yang tak perlu lagi diingat dan

dimobilisasi untuk memperkuat perlawanan, karena tentara seperti Maleo

adalah “sahabat” dan “guru” yang bisa memahami permasalahan anak-anak

dan masyarakat Papua, termasuk masalah berintegrasi ke dalam Indonesia

modern.

Sebagai subjek lokal-hibrid yang sudah mendapatkan ajaran tentang

pentingnya pendidikan dan keindonesiaan di tengah-tengah kehidupan

tradisional sukunya, Denias digambarkan sebagai pengemban misi menjadi

Indonesia yang harus disebarluaskan agar bisa menjadi kesadaran bagi

masyarakat. Seperti yang dilakukan Denias dengan menempel pulau-pulau

nusantara di dinding honainya sembari menyanyikan Indonesia Raya dan

menghormat, disaksikan Bapak dan anggota keluarga lainnya. Munculnyan

kesadaran nasionalisme Indonesia jelas digambarkan melalui adegan ini,

apalagi dengan ilustrasi lagu wajib tersebut. Bahwa Indonesia adalah sebuah

kesatuan yang harus terus dijaga dan dihidupkan dalam benak setiap warga

negara, termasuk masyarakat pedalaman Papua, bukannya dilawan. Hanya

dengan menjadi bagian Indonesia-lah, mereka akan menikmati kemajuan

pembangunan, termasuk lewat pendidikan. Dan, rupa-rupanya, sineas DSDAA

mengidealisasi itu sebagai kebenaran yang memang harus diterima, seperti

senyum Bapak dan kerabatnya yang senang melihat Denias bisa menyanyikan

Indonesia Raya sambil menghormat kepada gugusan pulau-kardus-bekas itu.

Menguatnya impian untuk berpendidikan dan menjadi Indonesia modern

dalam benak Denias memang sudah ditanamkan oleh Mama dan PGJ. Namun,

meninggalnya Mama dan kepulangan PGJ karena istrinya sakit, menghadirkan

subjek Maleo sebagai tokoh dominan dalam proyek tersebut. Bagi Denias

sendiri, kehadiran Maleo semakin penting setelah Mamanya meninggal akibat

kebakaran yang secara tidak langsung disebabkan keteledorannya menaruh

kaos seragam Persipura di atas perapian di dalam honai. Maleo-lah yang

berhasil menumbuhkan kembali keyakinan Denias untuk terus belajar dan

meyakinkannya bahwa ia tidak harus terus memendam perasaan bersalah. Ia

harus bangkit karena Mamanya sudah berpesan agar Denias terus bersekolah.

Sebagai ganti kaosnya yang terbakar, Maleo memberikan kaos berwarna coklat

dengan gambar logo Superman, tokoh superhero Amerika Serikat. Lebih dari

sekedar tentara Baret Merah, Maleo segera menjadi sosok guru bagi Denias dan

kawan-kawannya setelah kepulangan PGJ. Berbeda dengan Pak Guru yang

mengajarkan anak-anak membaca dan berhitung, Denias kembali mengajarkan

Page 7: Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport: Modernitas ......Salah satu film anak di era 2000-an yang menyajikan „menu utama‟ berbasis oposisi biner “yang tradisional” dan

Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport:

Modernitas dan nasoionalisme di Papua

dalam Denias Senandung Di Atas Awan

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute 2017

7

pengetahuan geografis tentang pulau-pulau besar di Indonesia, sama seperti

yang ia ajarkan kepada Denias. Sekali lagi, mobilisasi tentang keindonesiaan

menemukan bentuknya melalui praktik pendidikan.

Melalui praktik mengajar itu pula, Maleo mengetahui betapa anak-anak

didiknya sangat berhasrat untuk benar-benar “menjadi anak-anak Indonesia

modern” yang bersekolah dengan mengenakan “seragam SD”, putih-merah,

bukan lagi dengan kaos dan celana pendek ala kadarnya. Mengetahui hal itu,

Maleo berinisiatif meminta bantuan seragam—tidak jelas kepada siapa ia

meminta bantuan tersebut. Namun, dari proses kedatangan paket seragam SD

yang diangkut oleh helikopter militer, saya menginterpretasi Maleo meminta

bantuan tersebut kepada atasannya. Denias dan kawan-kawannya sangat

senang menyambut kedatangan seragam yang sudah lama mereka

impikan.

Antusiasme anak-anak tampak ketika mereka berebut seragam yang

dibagikan Maleo. Bahkan, Denias sangat terharu dan memeluk Maleo sebagai

ungkapan terima kasih. Karena terlalu bahagia dengan seragam baru tersebut,

Denias dan kawan-kawannya memilih untuk menginap di „rumah dinas‟ Maleo,

sebuah honai di pinggir desa. Beberapa dari mereka tidur di dalam rumah,

beberapa yang lain tidur di dekat dan di pangkuan Maleo. Sementara, kawan-

kawannya tidur, Denias memilih untuk menemani Maleo, sembari tersenyum

kecil. Ketika Denias sudah ngantuk dan tidur di ranjang, Maleo tetap memilih

berada di luar, menyulut rokok—menjaga anak-anak Indonesia dari pedalaman

Papua yang begitu bahagia dengan seragam baru dan berarti pula menjaga

nasionalisme yang dalam jiwa dan pikiran mereka. Penandaan adegan tersebut

Maleo menghadirkan sosok lain tentara Baret Merah yang dengan penuh kasih

sayang mampu mengayomi anak-anak pedalaman Papua yang baru saja

merasakan “integrasi kultural dan politik” dengan anak-anak Indonesia di

pulau-pulau lainnya—mengenakan seragam putih-merah.

Selain itu, untuk menegaskan empati Maleo terhadap pendidikan modern

bagi anak-anak Papua, DSDAA juga menghadirkan adegan ketika ia sangat

sedih dan terpukul ketika mengetahui honai tempat anak-anak belajar ambruk

karena gempa. Namun, kesedihan itu tidak harus berlarut-larut, karena anak-

anak membutuhkan bangunan honai baru sebagai ruang belajar, meskipun

KSB tidak memberikan izin. Maka, konsep yang dinegosiasikan adalah

kesetiaan tentara dalam mengawal pendidikan dan integrasi anak-anak Papua

ke dalam pelukan pertiwi. Tentara dengan semangat pengabdiannya mampu

mewujudkan impian anak-anak Papua untuk bisa berseragam dan untuk terus

menanamkan pentingnya menjadi modern melalui pendidikan dalam arahan

Page 8: Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport: Modernitas ......Salah satu film anak di era 2000-an yang menyajikan „menu utama‟ berbasis oposisi biner “yang tradisional” dan

Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport:

Modernitas dan nasoionalisme di Papua

dalam Denias Senandung Di Atas Awan

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute 2017

8

dan bimbingan rezim negara. Sekali lagi, representasi tersebut mendistorsi

realitas kekejaman dan kekerasan militer di Papua, sekaligus menanamkan

nasionalisme Indonesia sejak usia dini melalui mobilisasi simbol-simbol

identitas nasional, seperti peta Indonesia berbahan kertas-kardus-bekas, lagu

Indonesia Raya, dan seragam putih-merah.

Realitas bahwa KSB tidak mengizinkan pembangunan honai baru dan

cerita Maleo—yang sudah pindah tugas—tentang sebuah sekolah berfasilitas

lengkap di balik gunung, memperkuat keinginan Denias untuk meninggalkan

keluarganya. Apakah kehidupan tradisional harus terus dilakoni ketika

menghambat impian individual? Apakah budaya tradisional harus diyakini

ketika hanya menghadirkan ketakutan untuk maju? Dua pertanyaan tersebut

menjadi kunci berkembang-pesatnya rasionalitas dan sekulerisasi yang

melahirkan modernitas di Eropa. Dua pertanyaan itu pula yang kira-kira

dihadirkan sineas dalam benak Denias. Demi memperjuangkan impian yang

ditanamkan Mama, diyakinkan oleh Pak Guru, dan dipertegas oleh Maleo,

Denias memutuskan untuk meninggalkan keluarga dan masyarakatnya secara

diam-diam. Pada sebuah pagi ketika Bapak dan anggota keluarga lelaki lainnya

masih tidur, Denias dengan cekatan mengemasi barang-barang pribadinya,

termasuk peta kertas-kardus-bekas.

Melalui Denias, sineas film ini menghadirkan subjektivitas lokal yang

telah dan tengah menjadi subjektivitas hibrid ketika impian berpendidikan

diyakini sebagai kebenaran. Hibriditas pikiran yang berlangsung dalam benak

subjek pascakolonial, seperti Denias, memberikan peluang bagi munculnya

penguatan hasrat untuk memosisikan “yang lokal” di bagian „belakang‟

kehidupan mereka—sekedar sebagai Bapak dan anggota keluarga lainnya yang

digambarkan secara kabur. Kehidupan dan budaya lokal memang telah

menanamkan kepada anak-anak dan generasi muda nilai, aturan, dan ritual

yang terterima dalam sebuah sistem sosial, keluarga dan suku. Namun,

kehadiran modernitas yang lebih menjanjikan dengan mudah mengubah—

meskipun tidak sepenuhnya—cara berpikir dan bertindak seorang individu.

Budaya tradisional tidak harus menghentikan langkahnya. Artinya, sebagian

besar masyarakat lokal, seperti Denias, sudah menjadi subjek-subjek dalam

formasi “yang modern/yang barat” serta memosisikan “yang suku/tradisional”

sebagai subjek yang tetap ada, tetapi tidak harus dikejar sebagai impian karena

“yang modern”-lah yang pantas diperjuangkan dan diwujudkan melalui

komitmen individual.

Page 9: Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport: Modernitas ......Salah satu film anak di era 2000-an yang menyajikan „menu utama‟ berbasis oposisi biner “yang tradisional” dan

Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport:

Modernitas dan nasoionalisme di Papua

dalam Denias Senandung Di Atas Awan

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute 2017

9

Bersama Superman menaklukkan hambatan

Kebulatan tekad untuk mewujudkan impian memunculkan keberanian

luar biasa dalam diri Denias untuk memulai perjalanan yang cukup berat

untuk bisa sampai ke kota. Denias harus berjuang dengan segenap kekuatan

fisiknya untuk menaklukkan keliaran alam Papua. Keyakinannya untuk

mendapatkan pendidikan dasar yang lebih layak memunculkan energi dalam

dirinya untuk terus berlari melewati gunung dan lembah serta menyeberangi

sungai, mengalahkan segala batasannya sebagai seorang anak. Perjuangan

berat yang dilakoni Denias merupakan representasi dari perjuangan sebagian

besar anak-anak Indonesia di wilayah pedalaman yang sampai hari ini masih

sulit mendapatkan akses terhadap pendidikan modern. Sesulit apapun

rintangan yang mereka hadapi, impian menjadi modern melalui pendidikan

yang telah menjadi ideologi kolektif bangsa ini, menjadikan mereka harus terus

berjuang untuk mewujudkannya. Hibriditas dalam hal keyakinan ideologis

nyatanya cenderung memberikan porsi yang lebih besar bagi perjuangan untuk

menjadi modern dibandingkan kembali menjadi tradisional.

Menariknya, perjuangan berat yang dilakoni Denias untuk merasakan

modernitas di kota bukan semata-mata menjadi proyek individual, tetapi

beriringan dengan proyek menjadi Indonesia—sebuah kelanjutan dari “proyek

pertama” yang diarahkan oleh Maleo. Dalam sebuah adegan melintasi sungai,

tas Denias yang berisi bola, buku, pakaian, dan peta Indonesia jatuh dan

terbawa arus sungai. Dengan bersusah payah ia mengejarnya. Pakaian, buku,

bola, dan peta pun bisa diselamatkannya. Setelah menyelamatkan barang-

barangnya Denias melanjutkan kembali perjalanan. Sekali lagi, kegigihannya

berkorelasi dengan konsep ideologis tentang nasionalisme Indonesia yang harus

terus diperjuangkan oleh subjek-subjek Papua agar mereka bisa menjadi bagian

integral dari NKRI. Dengan memperjuangkan nasionalisme Indonesia seperti

yang diajarkan aparat militer itulah, Denias dan subjek-subjek Papua lainnya

akan memperoleh kemajuan hidup, seperti yang dirasakan masyarakat

Indonesia di pulau-pulau lain.

Selain persoalan peta kardus, kaos dengan gambar logo Superman

merupakan penandaan mitis lain yang menghadirkan kekayaan makna

poskolonialitas dalam film ini. Denias mendapatkan hadiah kaos dari Maleo

dengan gambar huruf S, Superman, superhero khayali Amerika Serikat. Ada

sebuah oposisi biner antara “yang lokal” dan “yang global”, kaos Persipura dan

kaos Superman. Kaos Persipura bukan sekedar seragam (jersey) sebuah klub

kebanggaan masyarakat Papua. Di dalamnya melekat kekuatan ideologis yang

mengikat mereka dalam kebanggaan sebagai masyarakat suku yang bisa

Page 10: Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport: Modernitas ......Salah satu film anak di era 2000-an yang menyajikan „menu utama‟ berbasis oposisi biner “yang tradisional” dan

Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport:

Modernitas dan nasoionalisme di Papua

dalam Denias Senandung Di Atas Awan

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute 2017

10

berprestasi dalam ranah sepak bola—sebuah olah raga paling populer di

Indonesia dan di muka bumi ini. Namun, kehadiran kaos Persipura yang

dikenakan Denias, bukanlah rajutan tangan-tangan tekun para perempuan

Papua, tetapi produksi perusahaan garmen modern. Sementara, manajemen

klub sepak bola seperti Persipura merupakan bentuk modernitas dalam ranah

olah raga. Dengan demikian, tampak “pemaknaan apropriatif” dari subjek

Papua terhadap unsur-unsur modernitas yang bisa memperkuat perasaan

komunal-kolektif sebagai masyarakat suku yang mengalami penindasan oleh

rezim negara dan pemodal tambang internasional.

Meskipun demikian, kebanggan lokal yang dibangun dengan semangat

modern tersebut dalam sudut pandang sineas film ini, bukanlah sesuatu yang

ideal dalam konteks kekinian karena masih menjebak masyarakat dalam

perspektif etnosentrisme yang memosisikan kehadiran orang-orang luar sebagai

sebuah ancaman. Maka, tidak mengherankan kalau dalam film ini diceritakan

kaos Persipura yang digantungkan di atas api di dekat tempat tidur Mama

menjadi penyebab kebakaran hebat yang membunuhnya. Dengan penandaan

tersebut, kehadiran dan mobilisasi metafor lokal, meskipun sudah dibingkai

dalam cita-rasa modern, ditampilkan tetap bisa menjadi kekuatan destruktif

yang membahayakan kehidupan masyarakat itu sendiri ketika mereka tidak

dengan cermat dan hati-hati menempatkannya dalam latar kehidupan yang

tengah berubah dalam „bimbingan‟ rezim negara dan pemodal. Ketika “yang

lokal-hibrid” diposisikan demikian, maka kehadiran metafor global, seperti kaos

Superman, yang bisa memberikan kenyamanan dalam memperjuangkan

aspirasi individual menjadi peristiwa yang tak terelakkan. Dan, yang

memberikannya adalah Maleo, seorang tentara Kopassus, yang sejak Orde Baru

menjadi kawan dan pelindung Freeport Indonesia.

Dengan mengenakan kaos Superman, Denias berjuang menuju kota,

melintasi padang rumput, lembah, gunung, pegunungan, hutan, dan sungai.

Perjuangannya bukan lagi ditemani kaos Persipura yang selama ini ia kenakan

di desa. Dengan kata lain, untuk “sebuah perjalanan panjang antar-

peradaban”—suku-tradisional menuju kota-modern, kebanggaan kolektif yang

dibangun melalui identitas lokal, tetaplah tidak cukup. Kehadiran kaos

Superman memberikan dan memobilisasi makna yang tidak lagi sekedar

sebagai bentuk perjuangan. Denias, dengan ekspresi lelah tetap saja melintasi

pegunungan dan selanjutnya bernyanyi untuk terus membesarkan

semangatnya. Dengan tubuh tegap yang menampakkan lebih jelas kaos

Superman-nya dengan latar padang luas dan gunung, ia terus bernyanyi.

Perubahan dari adegan transisional—tubuh Denias diselimuti awan—menuju

Page 11: Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport: Modernitas ......Salah satu film anak di era 2000-an yang menyajikan „menu utama‟ berbasis oposisi biner “yang tradisional” dan

Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport:

Modernitas dan nasoionalisme di Papua

dalam Denias Senandung Di Atas Awan

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute 2017

11

Puncak Jayawijaya yang penuh salju dan awan merupakan nasehat “gunung

takut sama anak pintar” sekaligus menunjukkan semangat dan kekuatan

dalam diri Denias—ditemani kaos Superman—yang bisa menaklukkan segala

rintangan alam untuk menaklukkan dunia yang mahaluas. Bahkan, sungai

yang penuh bebatuan tidak menyurutkan langkahnya untuk terus bergerak dan

berlari menuju kota.

Penghadiran kaos Superman merupakan bentuk kehadiran ke-Amerika

Serikat-an, pada khususnya, dan ke-global-an, pada umumnya, yang mampu

melindungi dan mengawal perjuangan seorang anak Papua untuk mewujudkan

cita-cita kemajuan melalui pendidikan di kota. Maka, ke-Amerika Serikat-an

tidak lagi harus dipahami sebagai makna ideologis yang menakutkan dan

menjajah, seperti kehadiran Freeprot di tanah Papua, tetapi sebagai subjek

yang menebar kebaikan, kemanusiaan, dan keperkasaan yang mampu

mendorong terwujudnya kemajuan hidup bagi masyarakat lokal. Dengan

penandaan tersebut, realitas imperialisme Amerika Serikat yang

mengendalikan negara Indonesia di masa Orde Baru dan berlanjut hingga masa

Reformasi melalui program-program investasi, pinjaman, maupun hibah,

dinegosiasikan sebagai kekuatan yang bisa memberikan keuntungan.

Penderitaan rakyat Papua dengan hilangnya gunung-gunung suci yang menjadi

sumber kehidupan tidak perlu lagi dipersoalkan karena kehadiran Freeport,

misalnya, telah menggantikannya dengan janji kemakmuran berlimpah.

Jalan panjang menuju naungan Freeport

Sesampai di kota, ternyata Denias harus menghadapi beberapa

permasalahn pelik. Permasalahan pelik pertama adalah sulitnya anak dari

keluarga miskin bersekolah di sebuah sekolah dasar berfasilitas modern. Dari

teman yang dijumpainya di Kota Kuala Kencana, Enos, ia tahu bahwa tidak

setiap anak bisa bersekolah di SD tersebut. Menurut Enos ketika mereka

berada di bawah jembatan, dulu anak-anak dari keluarga miskin boleh sekolah,

tetapi sekarang tidak boleh lagi. Karena rasa penasaran dan semangatnya

untuk bisa bersekolah, Denias pergi dan memasuki sekolah yang bernama SD

YPJ Yayasan Pendidikan Jayawijaya Kuala Kencana (selanjutnya disingkat

SD YPJ).2 Sesampai di SD YPJ, Denias begitu kagum melihat bangunan megah

2 Saya mengetahui informasi nama SD ini dari seragam olah raga dan seragam putih-merah dari

Angel, salah satu murid perempuan yang menjadi teman Denias. Saya melacak di Google tentang

SD tersebut. Ternyata, SD YPJ Kuala Kencana merupakan salah satu dari dua sekolah dasar dan

menengah pertama yang bernaung di bawah PT. Freeport Indonesia. Sekolah lainnya adalah YPJ

Tembagapura. Ari Sihasale, produser film ini dan Janias, yang menginspirasi lahirnya film ini,

adalah alumni dari YPJ Tembagapura. Sebagai tambahan, sebagian besar lokasi syuting film ini

berada di wilayah kerja PT. Freeport Indonesia. Lihat, “Denias Senandung Di Atas Awan”,

Page 12: Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport: Modernitas ......Salah satu film anak di era 2000-an yang menyajikan „menu utama‟ berbasis oposisi biner “yang tradisional” dan

Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport:

Modernitas dan nasoionalisme di Papua

dalam Denias Senandung Di Atas Awan

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute 2017

12

sekolah tersebut. Dia menjadi kecewa ketika seorang guru olah raga lelaki yang

sedang bermain bola mengatakan bahwa dia tidak bisa menolongnya untuk

masuk di SD YPJ. Dari Enos pula ia mendapat penjelasan bahwa dirinya dan

Denias tidak bisa masuk ke SD tersebut karena mereka berdua bukan anak

kepala suku; sebuah bentuk pe-liyan-an terhadap warga kelas-bawah yang

berlangsung di masyarakat Papua.

Karena Denias tetap bersikeras untuk bisa bersekolah di SD YPJ, guru

olah raga menyarankannya untuk menemui seorang ibu guru bernama

Gembala. Ketika pada suatu pagi ia dan Enos menemuinya di sekolah, lagi-

lagi, Denias harus menghadapi kenyataan yang menyakitkan. Bu Gembala

yang bernama asli Sam Kaibur tidak bisa memberikan kepastian apakah

Denias bisa diterima atau tidak, karena dia bukan anak kepala suku dan tidak

memiliki buku raport. Bekal peta Indonesia berbahan kertas-kardus-bekas,

ternyata belum cukup untuk menjadikannya bisa bersekolah, meskipun Bu

Gembala terenyuh ketika melihat peta tersebut. Pada sebuah malam, Denias

kembali berkeluh-kesah sembari menyarankan Enos untuk mengambil buku

raportnya di desa, karena ada kemungkinan temannya itu bisa diterima di SD

YPJ. Maka, bagi Denias dan sebagian besar anak-anak Papua maupun anak-

anak Indonesia dari pulau lain yang miskin, menjadi bagian integral Indonesia

dan menjaga „nasionalisme kesatuan pulau-pulau‟ tidak bisa serta-merta

menjamin pendidikan dan kebahagiaan mereka.

Segala cerita tentang kemajuan yang dibawa rezim negara pascakolonial

dengan proyek-proyek pembangunannya adalah keindahan khayali di dunia

antah-berantah yang sangat susah untuk mereka rasakan. Sampai-sampai,

Enos harus mencuri roti dari seorang ibu yang habis berbelanja di sebuah mini

market. Sampai-sampai, Denias harus menyebut gambar sapi perah di papan

reklame dengan sebutan “anjing besar” dan Enos menyangkalnya dengan

menyebutnya “babi”. Perkataan Denias yang mengatakan gambar sapi tersebut

sebagai “anjing besar” dan sangkalan Enos yang menyebutnya sebagai “babi”

merupakan dua makna yang dianggit sineas berdasarkan empiri lokal mereka

berdua. Mereka selama ini tidak pernah mengenal sapi, jenis hewan ternak

yang tidak lazim dalam kehidupan suku-suku pedalaman Papua. Cara mereka

menyebut sapi perah sebagai anjing besar dan babi menandakan bahwa ada

“jarak kultural-akademis” yang begitu jauh antara anak-anak Papua dan anak-

anak di pulau lain. Adegan tersebut—meskipun bersifat jenaka—juga

menunjukkan “kegagapan” anak-anak dan masyarakat Papua ketika harus

tersedia di: http://id.wikipedia.org/wiki/Denias,_Senandung_di_Atas_Awan, diunduh 13 Januari

2012.

Page 13: Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport: Modernitas ......Salah satu film anak di era 2000-an yang menyajikan „menu utama‟ berbasis oposisi biner “yang tradisional” dan

Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport:

Modernitas dan nasoionalisme di Papua

dalam Denias Senandung Di Atas Awan

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute 2017

13

menanggapi kehadiran metafor modern dalam bentuk yang paling sederhana—

gambar sapi perah—dengan pengetahuan lokal mereka.

Semua representasi tersebut, menurut saya, juga menjadi kritik terhadap

persoalan Indonesia pascakolonial; dari awal kemerdekaan hingga saat ini.

Program pembangunan, nyatanya, belum mampu menyentuh sebagian besar

anak-anak miskin yang masih bergelut dengan permasalahan dasar, dari

masalah pangan hingga pendidikan. Namun, sineas DSDAA, tidak

memaksudkan kritik tersebut sebagai penolakan subjek anak-anak Papua

terhadap NKRI. Denias tidak membuang atau membakar peta kardus, tetapi

menjadikannya selimut di tengah dinginnya malam. Paling tidak, peta tersebut

masih memberinya “rasa nyaman” untuk menjaga harapan, meskipun ia sendiri

belum tahu apakah esok harapan itu masih ada. Segala permasalahan yang

dialami anak-anak Papua memang menghadirkan ketidakpuasan, namun itu

semua tidak harus menjadikan mereka melawan keutuhan NKRI sebagai

entitas negara—seperti yang dilakukan, misalnya, oleh gerakan OPM.

Keesokan harinya, ia datang ke rumah Bu Gembala dengan berpura-pura

mencari Enos. Dengan begitu sabar dan penuh kasih sayang Bu Gembala

mempersilahkannya masuk. Apa yang ditunjukkan Bu Gembala merupakan

bentuk ajaran Kristiani yang menekankan kasih sayang dan pencerahan

kepada subjek-subjek yang perlu dicerahkan, sepertihalnya yang ditunjukkan

oleh para anggota Misionaris maupun Zending yang masuk ke wilayah

pedalaman di zaman kolonial untuk “meng-agama-kan” masyarakat yang

dianggap belum beragama. Namun, dalam sosok Bu Gembala, titik-tekannya

adalah pada misi pendidikan. Untuk menguji kemampuan akademiknya, ia

menyuruh Denias menulis. Denias menulis tentang impiannya untuk

berpendidikan, seperti yang pernah disarankan oleh Mama, Pak Guru, dan

Maleo sewaktu masih di desa. Bu Gembala begitu kagum membaca tulisan itu.

Lalu, ia memintanya mandi. Di kamar mandi inilah, sekali lagi, terjadi adegan

lucu yang menampilkan kembali makna ke-primitif-an Denias yang harus

memasuki norma modern dalam hal kebersihan. Oleh Bu Gembala, Denias

disuruh untuk menggosok gigi.

Yang menarik adalah perbedaan posisi visual antara Bu Gembala dan

Denias. Sebagai subjek modern, ia mengamati tingkah Denias di depan cermin

kamar mandi yang hanya memegang sikat gigi dan bingung untuk

menggunakannya. Dengan berkacak-pinggang dan bersandar di pintu,

meskipun tidak bermaksud memarahi, ia meminta Denias untuk memasukkan

sikat dan menggosok giginya. Ketika Denias mulai memasukkan sikat gigi, ia

dengan serius mengamatinya. Dia tertawa kecil ketika melihat Denias

Page 14: Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport: Modernitas ......Salah satu film anak di era 2000-an yang menyajikan „menu utama‟ berbasis oposisi biner “yang tradisional” dan

Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport:

Modernitas dan nasoionalisme di Papua

dalam Denias Senandung Di Atas Awan

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute 2017

14

mengunyah pasta gigi, seperti mengunyah permen. Sebelum meninggalkan

Denias sendirian, Bu Gembala, sekali lagi, memberitahu Denias untuk

menyikat giginya. Denias berusaha menyikat gigi, meskipun akhirnya ia tetap

mengunyahnya sampai tertelan.

Dalam penandaan tersebut, Bu Gembala diposisikan sebagai otoritas yang

berhak mengarahkan Denias ke dalam tradisi hidup sehat dengan menggosok

gigi. Sebagai subjek yang terlebih dahulu mengenal tradisi sikat gigi, dia

mengamati dengan teliti apa-apa yang dilakukan Denias sebagai liyan yang

perlu di-disiplin-kan ke dalam praktik hidup sehat. Tertawanya Bu Gembala

karena melihat tingkah lucu Denias, menghadirkan repetisi cara berpikir

subjek-subjek Indonesia modern dalam memandang kebiasaan warga suku

pedalaman sebagai keanehan dan kejenakaan yang harus ditertawakan terlebih

dahulu sebelum akhirnya didisiplinkan. Sementara, bagi Denias, sebagai subjek

yang dipandang dan diarahkan, adegan tersebut menandakan masuknya ia ke

dalam budaya modern di mana kebersihan badan dan gigi menjadi salah satu

penandanya. Di sinilah kembali muncul stereotipisasi ke-primitif-an yang

dipertentangkan secara biner dengan ke-modern-an. Sepintar apapun Denias

dalam hal pendidikan, dia masih belum bisa keluar sepenuhnya dari ke-

primitif-annya dan juga belum bisa sepenuhnya memasuki modernitas karena

masih bermasalah dengan aspek kebersihan hidup. Oleh karena itu, Denias dan

banyak anak-anak Papua lainnya, masih perlu diajari dan dibimbing agar bisa

menjalani kebiasaan hidup di ruang modern.

Maka, penghadiran Bu Gembala dalam adegan ini—dengan arahan-

arahannya kepada Denias untuk membersihkan badan dan menggosok gigi—

adalah rezim kebenaran dari pengetahuan modern yang me-liyan-kan subjek

masyarakat pedalaman dan tradisi hidup mereka yang dianggap tidak sehat.

Bagi, Denias sendiri, selain sebagai upaya agar bisa diterima di sekolah,

kemauannya untuk mandi dan menggosok gigi seperti yang disarankan Bu

Gembala merupakan—meminjam terma Foucauldian—sebuah “fase

transformatif tubuh”, di mana ia berusaha menyesuaikan ke-tubuh-annya

dengan tradisi modern dalam hal kebersihan dan kesehatan agar bisa

memasuki pola hidup modern. Hibriditas dalam orientasi pikiran yang selama

ini lebih menguatkan impian menjadi modern melalui pendidikan semakin

dilengkapi dengan praktik modern dalam hal kebersihan dan kesehatan tubuh.

Setelah melihat hal-hal positif yang diperlihatkan Denias, dari

kemampuan menulis dan membaca serta kemauannya untuk membersihkan

tubuh, dalam beberapa kali rapat Bu Gembala berusaha meyakinkan pengurus

dewan guru dan pengurus yayasan agar mau menerima Denias sebagai murid

Page 15: Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport: Modernitas ......Salah satu film anak di era 2000-an yang menyajikan „menu utama‟ berbasis oposisi biner “yang tradisional” dan

Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport:

Modernitas dan nasoionalisme di Papua

dalam Denias Senandung Di Atas Awan

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute 2017

15

di SD YPJ. Dalam sebuah percakapan muncul pertentangan antara dua faksi.

Faksi pertama menentang diterimanya Denias di SD YPJ. Faksi ini diwakili

oleh Bu Guru asli Papua (selanjutnya disingkat BGP) yang beralasan “khawatir

terhadap peraturan adat” dan Kepala Sekolah (selanjutnya disingkat KS) yang

memosisikan Denias “hanyalah gelandangan yang tidak sengaja ditemukan”.

Sementara, faksi kedua diwakili oleh Bu Gembala yang bersikeras agar Denias

bisa diterima di SD YPJ. Penghadirkan subjek BGP dengan wacana

kekhawatiraanya terhadap peraturan adat menunjukkan bahwa dalam

kemodernan pola pikir yang berkembang dalam subjek-subjek lokal-hibrid

masih saja mengendap pola pikir tradisional yang bisa menghalangi

perkembangan modernitas lebih lanjut dalam masyarakat. Sekilas tampak

bahwa otoritas tradisional masih cukup efektif untuk membendung meluasnya

pengaruh modern di wilayah lokal dengan adanya kesempatan bersekolah bagi

semua anak-anak, tanpa memandang status sosial dan ekonomi mereka.

Namun, apa yang menarik dicermati dari perdebatan di atas adalah posisi

ambivalen dalam menanggapi permasalahan Denias. Bagaimanapun juga

dewan guru dan KS adalah aparatus pendidikan yang secara institusional

berada dalam naungan PT. Freeport Indonesia—sebuah bentuk filantropisme

korporasi yang diwujudkan melalui program “tanggung jawab sosial

perusahaan”. Untuk mendukung aktivitas pertambangannya, PT. Freeport

pada masa Orde Baru dan berlanjut hingga saat ini, tidak hanya mengandalkan

dukungan rezim negara, utamannya aparat keamanan, tetapi juga „mengambil

hati‟ para ketua suku di Papua dengan memberikan fasilitas keuangan maupun

fasilitas pelayanan umum seperti pendidikan dan kesehatan.3 SD YPJ adalah

salah satu fasilitas yang diberikan oleh perusahaan ini. Dengan pendekatan

filantropis kepada para pemuka adat itulah, perusahaan ini bisa mendapatkan

jaminan untuk melakukan eksplorasi tembaga dan emas. Namun demikian,

keberadaan SD tersebut, sesuai dengan peraturan adat, hanya menerima anak-

anak pemuka adat atau anak-anak dari suku setempat, bukan anak-anak dari

3 Pendekatan filantropis yang dilakukan PT. Freeport dilakukan dengan memberikan dana

tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) kepada Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme

dan Kamoro (LPMAK). Lembaga ini merupakan kumpulan tokoh Papua, pemimpin adat

Amungme dan Kamoro, wakil pemerintah lokal, dan perwakilan Freeport. LPMAK bergerak

dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi. Dalam bidang pendidikan,

Freeport memberikan fasilitas beasiswa, pembangunan sekolah, maupun pendirian asrama bagi

anak-anak Papua. Sementara, dalam bidang pendidikan mereka mendirikan rumah sakit serta

melakukan program penanggulangan HIV/AIDS serta peningkatan kesehatan ibu dan anak.

Adapun dalam bidang ekonomi titik tekannya pada program pengembangan ekonomi pesisir,

pemberian fasilitas kredit lunak, pengembangan ekonomi masyarakat pegunungan, dan

ketahanan pangan-gizi. Semua pendanaan program-program tersebut berasal dari dana CSR

Freeport. Informasi ini bisa diakses dari situs resmi LPMAK: http://www.lpmak.org/

Page 16: Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport: Modernitas ......Salah satu film anak di era 2000-an yang menyajikan „menu utama‟ berbasis oposisi biner “yang tradisional” dan

Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport:

Modernitas dan nasoionalisme di Papua

dalam Denias Senandung Di Atas Awan

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute 2017

16

luar suku seperti Denias dan Enos; proses pe-liyan-an terhadap subjek lokal-

hibrid yang berasal dari kelas-bawah dan secara geografis berada jauh di

wilayah pedalaman.

Ketika SD YPJ menerima Denias sebagai murid, itu berarti institusi

tersebut sudah melanggar peraturan adat yang telah disepakati. Pelanggaran

itulah yang dikhawatirkan BGP akan membuat para pemuka adat marah dan

bisa mengganggu hubungan baik antara perusahaan dengan para pemuka adat

serta akan berimbas pada gangguan terhadap aktivitas pertambangan.

Sementara, bagi BGP sendiri, gangguan terhadap perusahaan akan berdampak

pada kemapanan ekonomi yang selama ini ia nikmati sebagai pengajar yang

digaji oleh perusahaan. Dengan demikian, mobilisasi makna-makna

tradisionalisme dalam konteks masyarakat hibrid bisa saja dimanfaatkan

untuk memasukkan kepentingan individu atau institusi modal. Lebih jauh lagi,

pihak pemodal tidak perlu hadir untuk menjaga kepentingan mereka secara

langsung, tetapi cukup melalui subjek-subjek lokal-hibrid yang berada dalam

naungan mereka.

Kehadiran Denias sebagai subjek yang ingin berpendidikan ternyata tidak

hanya memunculkan perdebatan seputar peraturan adat di kalangan para

pendidik, tetapi juga wacana idealisme pendidik yang dimunculkan melalui

subjek Bu Gembala. Wacana itu muncul ketika ia meng-counter pendapat KS

terkait persoalan Denias sebagai gelandangan dan sekaligus bersebrangan

dengan pendapat BGP. Sebagai subjek perantara yang mengetahui sejarah

perjuangan Denias agar bisa sampai ke Kuala Kencana dan berharap bisa

diterima sebagai murid di SD YPJ, ia sedikit marah dengan pernyataan KS.

Semangat sebagai pendidik modern ia tunjukkan dengan mengatakan bahwa

kaum gelandangan tidak akan pernah ada ketika ada individu-individu yang

berempati—membantu, memberi, dan mengajar—kepada mereka. Dalam

idealisasinya, sekolah dan para pendidik mestinya mau dan mampu

menampung dan membimbing anak-anak berpotensi namun terbatas secara

ekonomi seperti Denias, bukannya melabeli mereka dengan istilah gelandangan

yang sekaligus me-liyan-kan mereka dalam formasi pendidikan modern.

Bahkan, untuk mempertahankan pendapatnya, Bu Gembala berani

melampaui batas-batas normatifnya sebagai seorang guru yang harus

menghormati KS dan rekan sejawatnya dengan mengatakan bahwa di institusi

itu tidak ada invididu yang mau berempati terhadap keinginan berpendidikan

seorang anak. Artinya, para guru telah mengalami disorientasi ideologi

pengabdian untuk mendidik dengan tidak mau memberikan perlakuan sama

kepada Denias yang benar-benar ingin sekolah hanya karena ia dianggap

Page 17: Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport: Modernitas ......Salah satu film anak di era 2000-an yang menyajikan „menu utama‟ berbasis oposisi biner “yang tradisional” dan

Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport:

Modernitas dan nasoionalisme di Papua

dalam Denias Senandung Di Atas Awan

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute 2017

17

gelandangan. Perkataan tersebut sekaligus merupakan “pernyataan politis”

terkait keburukan sikap dan perilaku tenaga pendidik yang semestinya, dalam

kondisi apapun, mau membuka tangan untuk menerima calon murid yang

dengan sungguh-sungguh dan penuh perjuangan ingin bersekolah, bukannya

takut terhadap peraturan adat atau melabeli mereka sebagai liyan.

Posisi melawan rezim kebenaran yang telah disepakati oleh pihak sekolah

dan Yayasan juga ia tunjukkan secara terbuka ketika menghadiri rapat dengan

pihak Yayasan. Dalam rapat itu hadir pula Ketua Adat dan pengurus Yayasan

lainnya. Sementara, Ketua Adat mengatakan bahwa SD YPJ diperuntukkan

hanya untuk anak-anak dari suku-suku di sekitar sekolah itu, Bu Gembala

mengharapkan peraturan adat lebih lentur agar bisa bermanfaat bagi banyak

orang. Sebagai penandaan mitis, pendapat keras Ketua Adat menunjukkan

“eksklusivitas suku-suku di Papua” yang sampai saat ini masih berlangsung.

Masing-masing suku di Papua memiliki partikularitas, baik dalam hal budaya

maupun kekuasaan politik otonom yang tidak bisa diganggu oleh suku-suku

lain. Partikularitas itulah yang memunculkan hak istimewa berdasarkan

wilayah geografis kesukuan sehingga ancaman sekecil apapun dari salah satu

suku kepada suku lain bisa memunculkan perang antarsuku.4 Kehadiran

Denias yang berasal dari suku di pedalaman yang sangat jauh bagi Ketua Adat

dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap konsensus yang telah

disepakati para pemuka suku dengan Freeport. Ekslusivitas ini, di satu sisi,

bisa menghambat usaha-usaha untuk memajukan masyarakat Papua. Namun,

di sisi lain, eksklusivitas tersebut bisa menguntungkan institusi pemodal

internasional, seperti PT. Freeport, karena suku-suku tidak bisa bersatu untuk

meningkatkan daya-tawar dan perlawanan mereka terhadap perusahaan

tersebut.5

Menurut cara pandang pendidik modern dari luar Papua, seperti Bu

Gembala, eksklusivitas tersebut tidak bisa memajukan kehidupan anak-anak

4 Menurut Hendrajit, perang antar-suku memang sudah berlangsung secara turun-temurun

dalam kehidupan masyarapat Papua dan Papua. Masing-masing suku dikenal sangat kuat dalam

mempertahankan identitas kolektif kesukuan mereka, baik dalam konteks batas wilayah maupun

urusan-urusan internal suku. Oleh sebab itu, sedikit saja gangguan dari pihak suku lain, bisa

memantik terjadinya perang antarsuku. Sebagai contoh, di daerah Kwaki Lima, Timika, yang

dekat dengan lokasi PT. Freeport Indonesia, terdapat tujuh suku yang masing-masing dikenal

cukup keras dan sulit berkompromi. Dalam berbagai kesempatan mereka perang antar suku,

padahal pemicunya selalu masalah-masalah kecil dan sepele, misalnya ketika ada salah satu

pemuda dari salah satu suku menantang berkelahi pemuda lain yang berasal dari suku berbeda.

Sehingga ketika hal itu terjadi, kemudian diartikan sebagai tantangan untuk salah satu suku

untuk mengobarkan perang antar. Lihat, Hendrajit, “Perang Antar-Suku, Skenario Asing

Lemahkan Akar Rumput Papua”, tersedia di http://www.theglobal-

review.com/content_detail.php?lang=id&id=1707&type=99, diunduh 14 Januari 2011.

5 Ibid.

Page 18: Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport: Modernitas ......Salah satu film anak di era 2000-an yang menyajikan „menu utama‟ berbasis oposisi biner “yang tradisional” dan

Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport:

Modernitas dan nasoionalisme di Papua

dalam Denias Senandung Di Atas Awan

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute 2017

18

dan masyarakat Papua serta memunculkan ketidakadilan yang disebabkan oleh

subjek lokal itu sendiri. Dalam pandangan awalnya, ketika ia baru saja

menginjakkan kaki di bumi Papua, ketidakadilan yang dialami oleh

masyarakat lebih disebabkan oleh perilaku orang-orang dari luar pulau itu.

Namun, setelah mendengar kengototan Ketua Adat, ia mulai menilai

ketidakadilan tersebut juga disebabkan oleh warga pribumi sendiri. Meskipun

berharap penilaiannya salah, Bu Gembala merupakan representasi subjek

pascakolonial non-Papua yang memandang negatif otoritas kesukuan.

Sebagai subjek perantara yang ingin melihat anak-anak bisa mengenyam

pendidikan modern, Bu Gembala berani beradu argumen dengan—bahkan

mencemooh—para pemuka adat yang ia anggap telah berbuat tidak adil.

Dengan penandaan yang memosisikan Ketua Adat sebagai penghalang

kemajuan anak-anak Papua dan Bu Gembala sebagai pejuang yang mendobrak

aturan adat, film ini berusaha mengalihkan asumsi umum terkait rezim negara

maupun pemodal tambang internasional yang menyebabkan penderitaan hidup

dan ketertinggalan masyarakat Papua. Nyatanya, masyarakat Papua sendiri

bisa berbuat tidak adil terhadap sesamanya. Lebih dari itu, penandaan tersebut

juga merepresentasikan ketidakmampuan subjek-subjek lokal-hibrid Papua di

wilayah perkotaan untuk menyelesaikan permasalahan dan mengelola

kekuatan yang mereka miliki, sehingga tetap membutuhkan subjek-subjek dari

luar yang lebih berpikiran maju.

Apa yang menarik dari perdebatan di atas adalah bahwa dalam hibriditas

masyarakat lokal sendiri dengan latar kepentingan individual dan korporasi

berlangsung ambivalensi berlapis. Ambivalensi kultural yang oleh Bhabha

dikonseptualisasikan bisa menghadirkan subjektivitas hibrid yang bersiasat,

ternyata di tangan sineas film ini dimaknai sebagai awal munculnya

ambivalensi berlapis yang bertujuan me-liyan-kan sesama subjek lokal dari

kelas bawah demi kepentingan elit-elit lokal-hibrid—dewan adat, BGP, dan

KS—dan kekuatan modal yang menaungi mereka. Di satu sisi, mereka sangat

menyadari pentingnya proses menjadi modern yang sesuai dengan cita-cita

NKRI, pada umumnya, dan janji pendidik, pada khususnya. Namun, ketika

kepentingan untuk mendidik dan me-modern-kan anak-anak tanpa

memandang posisi sosial mereka dianggap bisa mengganggu kepentingan

individual mereka dan juga elit-elit feodal, memobilisasi-kembali isu-isu

kultural yang mengimplikasikan perbedaan kelas dalam struktur sosial

masyarakat—sebuah pola pikir tradisional—merupakan pilihan ideologis. Dan,

di balik pilihan itu adalah usaha untuk mengamankan kepentingan yang lebih

luas dari para pemodal. Dengan kata lain, ketika subjektivitas lokal-hibrid

Page 19: Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport: Modernitas ......Salah satu film anak di era 2000-an yang menyajikan „menu utama‟ berbasis oposisi biner “yang tradisional” dan

Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport:

Modernitas dan nasoionalisme di Papua

dalam Denias Senandung Di Atas Awan

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute 2017

19

berorientasi modern dalam hal pendidikan dan kemajuan hidup, tetapi

berperilaku tradisional dalam memandang sesama, saat itulah kehadiran

subjek non-Papua seperti Bu Gembala dibutuhkan dalam narasi. Dalam

pemaknaan demikian, kehadiran subjek Bu Gembala yang membela Denias

menunjukkan bahwa untuk memperjuangkan nasib subjek-subjek yang di-

liyan-kan oleh elit-elit lokal-hibrid, masyarakat pedalaman masih

membutuhkan perjuangan subjek-subjek modern dari luar yang berpandangan

lebih demokratis dan manusiawi.

Ketika pihak Yayasan belum membuat keputusan soal nasibnya, Denias

harus menghadapi masalah pelik lainnya, yakni kehadiran Noel yang sudah

terlebih dahulu di terima di SD YPJ, karena dia anak KSB. Sama seperti di

desa, Noel selalu mengganggu Denias dengan tingkah nakalnya. Kenakalan

Noel dipicu oleh kedekatan Denias dengan Angel, salah satu murid perempuan

di SD YPJ. Pertama-tama, Noel dibantu teman-temannya memukul Denias dan

mengurungnya di dalam gudang barang sekolah. Selanjutnya, Noel

menendangkan bola ke arah Denias dan membuatnya pingsan. Sebenarnya

Denias tidak ikut bermain bola. Ia hanya berdiri di pinggir gawang sembari

menyemangati Noel agar bisa memasukkan bola. Karena ketidaksukaannya,

Noel menendang bola itu ke arah kepala Denias. Dengan penggambaran itu,

kuasa tradisional—yang direpresentasikan melalui Noel—kembali hadir

menghalangi niatan Denias untuk bersekolah, ketika ia tengah berjuang

melalui bantuan Bu Gembala untuk bisa diterima di SD YPJ.

Sementara, Angel, seorang anak perempuan dari luar Papua, bagi Denias,

adalah seorang bidadari yang sekaligus menjadi subjek perantara karena ia

selalu menyemangatinya untuk tetap berusaha menjadi murid di SD YPJ. Ia

juga yang memberikan pertolongan ketika Denias dikurung di gudang oleh Noel

dan kawan-kawannya. Bahkan, ketika Denias diuji oleh seorang guru sebagai

salah satu prasyarat untuk bisa diterima di SD YPJ, dari luar ruang Angel

menyemangatinya dengan tersenyum. Perlakuan Angel merupakan bentuk

empati subjek murid dari luar Papua—sama seperti PGJ, Maleo, dan Bu

Gembala—yang terus menghidupkan semangat dan impian Denias. Sekali lagi,

kehadiran Angel, merupakan repetisi dari mobilisasi makna ideologis tentang

uluran tangan dan perjuangan orang-orang dari luar Papua yang bisa

membantu anak-anak suku pedalaman untuk mewujudkan impian mereka.

Di tengah-tengah kehadiran Bu Gembala yang selalu

memperjuangkannya dan Angel yang selalu menyemangatinya, Denias harus

menghadapi permasalahan yang lebih rumit. Ketika hendak makan di kantin

asrama sekolah, Noel menjegal kaki Denias hingga jatuh, sampai makanannya

Page 20: Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport: Modernitas ......Salah satu film anak di era 2000-an yang menyajikan „menu utama‟ berbasis oposisi biner “yang tradisional” dan

Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport:

Modernitas dan nasoionalisme di Papua

dalam Denias Senandung Di Atas Awan

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute 2017

20

tumpah. Noel kembali menantangnya berkelahi. Denias berusaha untuk tidak

menggubrisnya, apalagi ia baru saja diperingatkan oleh Ibu Kepala Asrama

untuk tidak berbuat macam-macam karena belum tentu diterima di asrama dan

di sekolah. Namun, Noel tetap berusaha memukulnya. Untuk mempertahankan

diri, Denias menangkis pukulan itu dengan piring. Akhirnya, beberapa jari Noel

patah. Denias ketakutan, ketika Bu Gembala memanggilnya. Ia menduga ia

akan mendapat peringatan keras. Padahal, sebenarnya, Bu Gembala akan

menyampaikan surat dari pihak Yayasan perihal diterimanya ia di SD YPJ.

Dalam keputusasaannya, di tengah hujan, Denias berdiri di lapangan sekolah

sembari menghadap tiang bendera. Ia merasa semua harapannya untuk

bersekolah sudah pupus.

Denias memandang bendera merah putih sembari bersedih di tengah

mendung dan hujan dengan kamera bergerak memutarinya merupakan

penandaan mitis yang menggambarkan suasana batinnya sekaligus sebuah

bentuk gugatan terhadap keindonesiaan. Segala impiannya untuk

berpendidikan modern yang ia yakini—sampai-sampai harus meninggalkan

keluarga dan masyarakat sukunya—seakan sudah pupus, seiring dengan

“Merah Putih yang tidak berkibar karena terkena hujan”. Mendung dan hujan

adalah penggambaran batinnya yang dirundung kesedihan, karena janji-janji

pendidikan yang dikampanyekan aparatus rezim, seperti PGJ, Maleo, maupun

Bu Gembala, nyatanya tidak berpihak kepada kemiskinan dan

ketidakberdayaannya. Merah Putih yang semestinya bisa mengangkat dan

mengibarkan semangat hidupnya dalam suasana modern, ternyata tak berdaya

dan harus kalah oleh kenakalan Noel dan ketatnya peraturan adat. Ia

meninggalkan lapangan sekolah dan Merah Putih, karena ia merasa sudah tak

perlu lagi berharap. Di pinggir kota, ia memandang matahari senja berwarna

jingga. Sepertinya, ia harus memasuki fase kelabu dan mulai mengubur segala

impiannya seperti senja yang sebentar lagi berganti malam.

Sementara Denias mulai mengubur impiannya, Bu Gembala berjuang

keras mencarinya ke rumah kakaknya di Banti. Di sana ia tidak

menemukannya. Ia menangis di perjalanan. Sekali lagi, repetisi perjuangan

subjek dari luar Papua kembali dihadirkan melalui sosok Bu Gembala yang tak

kenal lelah, meskipun ia harus menyetir sendiri mobil jeepnya melewati jalan

tanah. Sebenarnya, Denias sudah mau memutuskan untuk kembali ke desanya,

tetapi di perjalanan ia melihat mobil jeep Bu Gembala. Menjelang malam, ia

menemui Bu Gembala yang baru saja datang dari mencari Denias. Denias

meminta maaf kepada Bu Gembala karena telah berkelahi dengan Noel. Ia juga

mengutarakan keputusannya untuk kembali ke desa. Mungkin itulah takdir

Page 21: Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport: Modernitas ......Salah satu film anak di era 2000-an yang menyajikan „menu utama‟ berbasis oposisi biner “yang tradisional” dan

Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport:

Modernitas dan nasoionalisme di Papua

dalam Denias Senandung Di Atas Awan

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute 2017

21

yang harus ia hadapi sebagai subjek lokal-hibrid yang secara ekonomi dan

kultural tidak berdaya, bahkan keindonesiaan yang ia pelihara dalam batinnya

tidak bisa membantunya. Tidak lupa ia meminta maaf kepada, “Mama di surga,

Pak Guru, dan Maleo”, karena tidak bisa melanjutkan sekolah. Namun, ketika

Denias hendak melangkahkan kaki, Bu Gembala memberitahu kalau ia

diterima di SD YPJ. Ia segera berlari dan memeluk Bu Gembala.

Diterimanya Denias sebagai murid menunjukkan adanya perubahan

paradigma berpikir pihak Yayasan terkait peraturan adat. Artinya, mereka

mau mengubah kekakuan peraturan adat yang selama ini membatasi keinginan

bersekolah Denias dan anak-anak dari suku lain, seperti Enos. Dengan

perubahan itu, para pengurus Yayasan, utamanya pemuka adat, berarti ikut

mendukung cita-cita pendidikan anak-anak suku pedalaman Papua dan tidak

mau dituduh sebagai pihak yang menghalangi impian kemajuan yang

semestinya bisa dirasakan oleh semua rakyat. Namun, apa yang harus diingat

adalah bahwa perubahan paradigma itu terjadi setelah Bu Gembala menuduh

para pemuka adat ikut memberikan andil dalam menciptakan ketidakadilan.

Bu Gembala, sesuai dengan namanya, merupakan representasi dari perjuangan

untuk memberikan cinta-kasih dan pencerahan kepada semua manusia, tanpa

memandang ras maupun status kelas. Sesuai dengan konsep Kristiani,

Gembala adalah subjek otoritas agama yang mengasuh, mengarahkan, dan

menunjukkan jalan terang bagi „para domba‟, seperti Denias. Moralitas

Kristiani, dengan demikian, hadir melalui sosok Bu Gembala yang sangat

menyayangi dan memperjuangkan nasib Denias untuk mengenyam pendidikan

modern yang layak. Namun, sekali lagi, Bu Gembala adalah salah satu

aparatus pendidik yang berada dalam naungan institusi modal internasional.

Hari pertama ia akan masuk sekolah, di kamar asrama, Denias

mengenakan seragam putih-merah dan topi. Setelah selesai mengenakan

seragam, ia bersikap hormat sembari menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Adegan berlanjut ketika ia dan kawan-kawannya mengikuti upacara bendera,

menghormat Merah Putih dan menyanyikan Indonesia Raya. Dengan

mengenakan seragam putih-merah dan menyanyikan lagu Indonesia Raya

sambil memberi hormat, segala keraguan Denias untuk menjadi Indonesia

hilang. Ia memang sempat mengenakan seragam putih-merah ketika Maleo

memberikannya. Namun, ia tidak sempat menjadi Indonesia modern

sepenuhnya karena ia dan kawan-kawan di desanya tidak bisa „merasakan

sekolah‟ secara layak. Ketika ia sudah diterima menjadi murid di SD YPJ, maka

menjadi Indonesia tidak perlu lagi dipertanyakan dan diganggu-gugat. Ekspresi

kegembiraannya ketika mengenakan seragam dan menyanyikan Indonesia

Page 22: Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport: Modernitas ......Salah satu film anak di era 2000-an yang menyajikan „menu utama‟ berbasis oposisi biner “yang tradisional” dan

Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport:

Modernitas dan nasoionalisme di Papua

dalam Denias Senandung Di Atas Awan

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute 2017

22

Raya memperkuat konsep tersebut. Penegasan tentang nasionalisme Indonesia

itu diperkuat lagi dengan ikutnya Denias dalam upacara bendera yang

merupakan warisan militerisme untuk memperkuat kesadaran berbangsa dan

bernegara dalam naungan NKRI. Maka, adegan-adegan tersebut merupakan

proses penguatan-kembali nasionalisme Indonesia dalam pikiran dan batinnya

sebagai warga negara yang sudah mendapatkan kesempatan untuk merasakan

kemajuan melalui pendidikan; Denias menjadi subjek sepenuhnya dari formasi

keindonesiaan modern.

Melalui penandaan di atas, tercapainya impian Denias untuk mengenyam

pendidikan memang tidak bisa dilepaskan dari proyek menjadi Indonesia.

Proyek-proyek individual yang melekat pada diri Denias bisa terwadahi bukan

oleh budaya atau otoritas kesukuan. Sebaliknya, kekuatan suku lebih banyak

menjadi penghalang dari impian untuk menjadi modern dari seorang individu.

Meskipun tidak bisa melawan kuasa suku, bukan berarti Denias menyerah.

Nasehat Mama, PGJ, dan Maleo tentang pentingnya pendidikan menjadi rezim

kebenaran yang menggerakkan Denias keluar dari kesukuannya dan berjuang

ke kota. NKRI-lah yang memberikan kesempatan untuk mewujudkan impian

individualnya—meskipun sebelumnya ia sempat menggugat kebenarannya—

dengan diterima sebagai murid di SD YPJ. Sudah sewajarnya kalau kemudian

Denias, Enos, dan anak-anak Papua lainnya menghormat kepada bendera

Merah Putih sembari menyanyikan Indonesia Raya. Dengan demikian,

nasionalisme Indonesia muncul sebagai sebuah kemutlakan yang tidak perlu

dipertanyakan lagi apalagi dilawan karena dengan menjadi dan mencintai

NKRI itulah anak-anak dan masyarakat Papua bisa mewujudkan impian-

impian individual dalam alam modern yang memajukan dan mensejahterakan.

Modernitas dan nasionalisme Indonesia di Papua: Kontribusi Freeport

Apa yang perlu dicatat adalah bahwa terwujudnya impian individual

Denias untuk menjadi modern dalam semangat keindonesiaan tidak terlepas

dari peran Bu Gembala, KS, Dewan Guru, dan pihak Yayasan yang telah

memperjuangkan dan memberikan izin kepadanya untuk bersekolah di SD

YPJ. Artinya, semua perjuangan individual untuk berpendidikan modern dan

penanaman nilai-nilai keindonesiaan secara ajeg masih membutuhkan bantuan

institusi modal internasional. Makna penting institusi tersebut memang tidak

dihadirkan dalam unit-unit naratif yang secara verbal menampilkan pihak

pemodal, tetapi cukup melalui kehadiran subjek-subjek yang mendapatkan

donasi finansial untuk menjalankan proyek-proyek kemanusiaan, modernitas,

dan kebangsaan bernama pendidikan bagai anak-anak Papua, seperti Denias

Page 23: Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport: Modernitas ......Salah satu film anak di era 2000-an yang menyajikan „menu utama‟ berbasis oposisi biner “yang tradisional” dan

Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport:

Modernitas dan nasoionalisme di Papua

dalam Denias Senandung Di Atas Awan

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute 2017

23

dan Enos. Dengan demikian, sineas DSDAA menggambarkan tercapaianya cita-

cita menjadi modern subjek anak pedalaman Papua memang tidak bisa

dilepaskan dari perjuangan individual untuk melampaui hambatan tradisi dan

alam serta dorongan rezim negara, tetapi semua itu tidak akan terwujud ketika

institusi modal internasional tidak mengulurkan tangannya. Nasionalisme

Indonesia yang dilekatkan ke dalam impian menjadi modern dalam film ini,

dengan demikian, bersifat lentur karena institusi modal internasional juga

berkontribusi untuk memperkuatnya, sekaligus untuk mengamankan dan

memapankan kepentingan-kepentingan strategisnya di wilayah pedalaman

Indonesia.

Dari pembahasan di atas, saya melihat ada beberapa cara pandang dalam

memosisikan makna-makna modernitas dalam dunia naratif film yang

menceritakan subjek pedalaman. Pertama, menjadi modern bagi subjek

pedalaman merupakan proses yang membutuhkan “perjalanan panjang” yang di

dalamnya berlangsung perjuangan-perjuangan individual. Kedua, ketika

makna modernitas menjadi orientasi ideal bagi seorang subjek lokal-hibrid,

keberanian dan perjuangan individual akan menjadikannya keluar dari dan

melawan otoritas tradisional yang membelenggu kebebasan. Ketiga, makna

menjadi modern bagi subjek pedalaman merupakan proses untuk masuk ke

dalam makna “menjadi Indonesia” di mana mereka dengan bantuan aparatus

rezim negara akan mengalami pencerahan sekaligus keluar dari belenggu

otoritas tradisional. Namun, proses menjadi Indonesia bukanlah proses yang

mudah karena masih kuatnya otoritas tradisional, terbatasnya fasilitas, dan

kuatnya resistensi terhadap proyek-proyek modernitas rezim negara. Keempat,

hibriditas kultural di wilayah pedalaman cenderung memberikan keuntungan

kepada elit-elit lokal-feudal dan elit-elit terdidik karena mereka bisa

melakukan negosiasi dengan kekuatan-kekuatan dominan, sehingga

dibutuhkan “pertolongan dan perjuangan” subjek perantara dari luar

pedalaman yang bisa mewujudkan kesamarataan kesempatan untuk menjadi

modern. Kelima, budaya modern dan makna-makna kebangsaan bisa terwujud

ketika institusi modal memberikan kontribusi filantropisnya bagi proses

tersebut sehingga masing-masing individu bisa merealisasikan impian modern

mereka, asalkan mereka memiliki tekad, kemampuan, dan komitmen individual

untuk memperjuangkannya.

Maka, film yang banyak diapresiasi karena menceritakan perjuangan

anak-anak Papua untuk berpendidikan modern dan menyebarluaskan gagasan

kebangsaan ini secara diskursif telah menghadirkan kontribusi Freeport

sebagai institusi modal internasional yang merusak lingkungan ke dalam posisi

Page 24: Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport: Modernitas ......Salah satu film anak di era 2000-an yang menyajikan „menu utama‟ berbasis oposisi biner “yang tradisional” dan

Dalam bimbingan aparat negara dan Freeport:

Modernitas dan nasoionalisme di Papua

dalam Denias Senandung Di Atas Awan

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute 2017

24

strategis. Meskipun guru dari Jawa dan tentara pada awalnya ikut

berkontribusi, tetapi pada akhirnya kerelaan sekolah yang didanai Freeport

untuk menerima Denias adalah bukti diskursif betapa „mulia‟ institusi AS ini

bagi proyek modernitas dan kebangsaan Indonesia. Secara ideologis, sineas—

dan juga pemodal—DSDAA jelas lebih memilih menarasikan kebaikan dan

kemuliaan hati arapat negara dan Freeport, ketimbang harus mengekspos

persoalan penindasan, pelanggaran HAM, marjinalisasi hak adat, dan

perusakan lingkungan Papua secara sistematis dan terstruktur. Lebih dari itu,

membincang nasionalisme Indonesia di Papua, sineas film ini dengan gamblang

memang menjelaskan kontribusi aparat negara, tetapi semua kebanggaan akan

bangsa itu tidak akan ada artinya ketika anak-anak bisa sekolah secara layak.

Maka, sekolah yang didirikan dan didanai Freeport adalah institusi yang

sejatinya ikut menyemaikan dan menumbuhkan nasionalisme Indonesia bagi

anak-anak Papua. Inilah normalisasi ideologi yang membawa kepentingan

Freeport sekaligus menyembunyikan semua keburukan mereka di tengah-

tengah neo-kolonialisme Papua. Di sinilah kita bisa melihat ke mana

sebenarnya sineas—dan pemodal—film ini berpihak.

Daftar bacaan

Barrington, Lowell W. 2006. “Nationalism & Independence”. Dalam Lowell W.

Barrington. After Independence: Making and Protecting the Nation in

Postcolonial and Postcommunist States. Michigan: The University of

Michigan Press.

Barthes, Roland. 1983. Mythologies. New York: Hill and Wang.

Bhabha, Hommi K. 1994. The Location of Culture. London: Routledge.

Huggan, Graham. 2008. Interdisciplinary Measures: Literature and the Future of

Postcolonial Studies. Liverpool: Liverpool University Press.

Human Rights Watch. 2009. “What Did I Do Wrong?”: Papuans in Merauke Face

Abuses by Indonesian Special Forces. New York: Human Rights Watch.

Film

De Rantau, John. 2006. Denias, Senandung Di Atas Awan. Jakarta: Alenia

Pictures.