tantangan modernitas terhadap sunnah sebagai sumber otoritas islam

24
Brought By: Mazizaacrizal a.k.a Dewa ng’Asmoro Mudhun Bumi Visit me at : www.mazizaacrizal.blogspot.com : www.facebook.com/mazizaacrizal E-mail : [email protected]

Upload: mazizaacrizal-nisaa

Post on 15-Jan-2015

3.770 views

Category:

Education


2 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Tantangan Modernitas Terhadap Sunnah Sebagai Sumber Otoritas Islam

Brought By: Mazizaacrizal

a.k.a

Dewa ng’Asmoro Mudhun Bumi

Visit me at : www.mazizaacrizal.blogspot.com

: www.facebook.com/mazizaacrizal

E-mail : [email protected]

Page 2: Tantangan Modernitas Terhadap Sunnah Sebagai Sumber Otoritas Islam

Tantangan Modernitas Terhadap Sunnah Sebagai Sumber Otoritas Islam

ABSTRAK

Dalam pandangan kaum muslim, Sunnah atau hadits merupakan sumber otoritatif Islam. Pandangan ini bukan tanpa pengecualian. Sejalan dengan perkembangan modernitas yang ditandai dengan perkembangan ilmu, muncul pertanyaan-pertanyaan yang mengusik sunnah sebagai sumber kedua Islam. Persoalan keaslian hadits, skriptualisme qur’ani, batas wahyu dan kewenangan Rasul merupakan pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul terkait dengan sunnah. Hal ini merupakan suatu keniscayaan karena kondisi hadits yang memang berbeda dengan al-Qur’an.

Kata Kunci: Hadits, kritik

A. Pendahuluan Dalam pandangan klasik, sunnah atau hadits memiliki peran penting sebagai

sumber otoritatif keagamaan Islam kedua setelah al Qur’an(Abdullah Saed.2006:33). Ia dipandang sebagai salah satu dari empat prinsip pokok yang tidak hanya merupakan prinsip-prinsip yurisprudensi Islam, tetapi juga merupakan prinsip-prinsip dari setiap pemikiran Islam.(Anas Mahyudin,1995:IX) Sunnah dipandang sebagai salah satu sumber syari’at Islam yang menduduki posisi sangat signifikan baik secara struktural dan fungsional, yang bersumber dari Nabi SAW dan merupakan wahyu ghayru munazzal, berisi perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, ketetapan-ketetapan, sifat-sifat serta perilaku kehidupan Nabi yang harus diikuti oleh setiap muslim dalam perilaku keagamaannya baik berkaitan dengan perintah maupun larangan.(Said Agil Munawar & Abdul Mustaqim,2001:3)

Sunnah berdiri sebagai penjelas maksud al Qur’an, penjamin makna al Qur’an, pelengkap perintah-perintah yang ada dalam al Qur’an, sehingga al Qur’an tidak bisa dipahami tanpa sunnah, Qur’an tidak bisa mandiri tanpa sunnah. Misalnya al Qur’an memberikan perintah-perintah umum, sunnah menjelaskan maksudnya secara spesifik. Sunnah juga memberikan informasi tambahan yang mutlak diperlukan dalam praktek peribadatan yang tidak ada dalam al Qur’an. Karena itu muncul anggapan bahwa kebutuhan al Qur’an terhadap sunnah lebih besar dari sunnah terhadap al Qur’an.(M.Syahrur,2004:186)

Dalam sejarah pemikiran Islam, posisi mapan sunnah tidak pernah terusik dan jarang mendapatkan kritikan, sehingga hubungan organis antara al Qur’an dan sunnah seperti yang digambarkan di atas masih terus terjalin. Namun pada abad ke 19 dan 20, tantangan dan kritikan mulai muncul, sunnah tidak lagi dipandang memiliki fungsi yang signifikan sebagai sumber yurisprudensi Islam.

Tantangan dan kritikan ini muncul sebagai dampak dari apa yang kemudian disebut dengan modernitas. Masa modern ditandai dengan kemajuan pesat di bidang

Page 3: Tantangan Modernitas Terhadap Sunnah Sebagai Sumber Otoritas Islam

sains dan tehnologi yang dipandang dapat merubah hal-hal fundamental dalam kehidupan manusia. Sejalan dengan itu, hal-hal yang semula dianggap mapan mulai digoyang dan dipertanyakan kembali.(M.Amin Abdullah dkk,2000:335)

Peradaban baru (modern) yang semula terjadi di kalangan masyarakat Barat meluas ke berbagai penjuru dunia, tak terkecuali dunia muslim. Akibatnya ajaran-ajaran Islam yang semula telah dianggap mapan dan telah berjalan berabad-abad, mulai digugat dan dipertanyakan kembali (M.Amin Abdullah dkk,2000:335). Satu hal yang kemudian banyak dipertanyakan adalah posisi sunnah sebagai sumber otoritatif keagamaan Islam

Tantangan yang harus dihadapi oleh sunnah pada periode modern ini di antaranya adalah munculnya pandangan bahwa seluruh hadits tidak dapat dipercaya, karena seringkali diselewengkan dan disalahgunakan. Selain itu muncul juga kritik tajam terhadap metode klasik kritisisme hadits yang dinilai tidak efektif dan memiliki cacat, kemudian mengikuti hadits merupakan penyebab kehancuran Islam, untuk itu Islam yang murni hanya dapat ditemukan dalam al-Qur’an.

Masalah-masalah lain yang mencuat berkaitan dengan penolakan terhadap posisi mapan sunnah adalah: mempertanyakan kembali hakikat wahyu, batas-batas wahyu, apakah sunnah masuk dalam kategori wahyu.?(Daniel W. Brown,2000:61) Meninjau kembali sifat dasar otoritas Rasulullah SAW dengan menggugat doktrin ishmah (kemaksuman Rasul) dan mencoba memanusiawikan Rasul (mendudukkan Rasul sebagai manusia biasa), yang tidak luput dari salah dan keliru. Selanjutnya kritik terhadap “keaslian hadits” dengan menekankan pada keterlambatan pencatatan hadits yang baru muncul pada abad ke 3 H,(Fazlurrahman,1997:51) dan proses periwayatan hadits yang cacat sebagai sumber penyimpangan. Bagaimana hadits bisa dipercaya jika tidak dicatat dalam tulisan di masa yang dekat dengan Rasulullah SAW.?

B. Definisi Sunnah dan HaditsSunnah bisa berarti perilaku (sirah), jalan (tharîqah), kebiasaan atau ketentuan.

Sunnah dalam pengertian ini bisa mencakup sunnah yang baik (sunnah hasanah) maupun sunnah yang buruk (sunnah qabihah) (Ibn Mandzur). Dalam al Qur’an ditemukan istilah sunnah al-awwalîn, yakni sunnah yang telah diturunkan Allah SWT kepada orang-orang terdahulu(Al-Anfal:38), sunnat Allah(al-Ahzab:38) sunan(Al-Imron:137)

Arti istilah-istilah tersebut di dalam al-Qur’an sama, yakni menunjukkan hukuman Allah SWT yang telah diturunkan kepada umat terdahulu. Adapun sunnah Allah dalam al-Ahzab (33) ayat 38 tidak menunjukkan arti “hukuman”, tetapi lebih merupakan ketentuan Allah SWT atau peraktek nabi-nabi yang telah mendapatkan ridha dari Allah SWT.

Istilah “sunnah’ juga terdapat dalam beberapa teks hadits, yang mencakup sunnah yang baik (sunnah hasanah), maupun sunnah yang buruk (sunnah sayyi’ah). Misalnya, hadits riwayat Muslim yang menyatakan,

“Barangsiapa di dalam Islam memperkenalkan perilaku atau kebiasaan baik (sunnah hasanah), ia akan memperoleh pahala atas perilaku tersebut dan pahala orang-orang yang ikut melakukannya di kemudian hari. Sebaliknya, siapa yang memperkenalkan perilaku atau kebiasaan yang buruk (sunnah sayyi’ah), ia akan memperoleh dosa perilaku tersebut dan dosa orang-orang yang melakukannya di kemudian hari tanpa ada sesuatu yang mengurangi dosa mereka”.

Page 4: Tantangan Modernitas Terhadap Sunnah Sebagai Sumber Otoritas Islam

Masyarakat Arab pra Islam menggunakan kata “sunnah” untuk menyebut praktek kuno dan berlaku terus menerus dari masyarakat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Oleh karena itu konon suku-suku Arab pra Islam memiliki sunnah masing-masing yang dianggap sebagai dasar dari identitas dan kebanggaan mereka(M.Hasyim Kamali,1996:55)

Sedangkan hadis secara harfiah berarti baru, cerita, kisah, perkataan, atau peristiwa. Akan tetapi secara teknis, istilah ini mempunyai definisi yang baku. Menurut para ahli hadits, kata ini menunjuk pada segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad yang berupa ucapan, perbuatan, takrir (sesuatu yang dibiarkan, dipersilahkan dan disetujui secara diam-diam), sifat-sifat, dan perilaku yang terjadi sebelum ia menjadi Nabi atau sesudahnya(Ahmad al-Ustmani,1996:24-25). Sementara menurut para ahli ushul fiqh, hadits adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi berupa ucapan, perbuatan dan takrir yang dapat menjadi hukum syara’.

Istilah lain yang dianggap sinonim dan biasa dipakai adalah khabar, asar dan sunnah(Mahmud Thahhan:14-15). Dalam perkembangan, para ulama’ ahli hadits maupun ushul fiqh menganggap sunnah sinonim dengan hadits. Oleh karena itu semua buku yang mencantumkan kata “sunnah” dalam judulnya, maka dapat dipastikan selalu yang dimaksudkan hadits.

Sebagian ulama’ membedakan antara sunnah dan hadits. Sunnah merujuk pada praktek (‘amaliyyah) dan takrir Nabi(Mahmud Thahhan:14-15), sedangkan hadits hanya mencakup ucapan. Untuk itulah kemudian dikenal ada pembedaan istilah antara ahli hadits (imam fi al hadits), ahli sunnah (imam fi as-Sunnah), dan ahli keduanya (imam fihima ma’an).

Arkoun menyatakan bahwa tradisi profetik (sunnah) merupakan sabda-sabda Nabi dalam posisinya sebagai pembimbing masyarakat beriman pada saat itu dan bukan sebagai instrumen kehendak Ilahi. Ia menambahkan, tentu saja karena wahyu selalu membimbing Nabi, maka apa yang dikatakan membawa jaminan ontologis(Mohammed Arkoun,1996:74)

Syahrur, setelah menganalisa beberapa ayat al Qur’an kaitannya dengan sunnah, ia kemudian menawarkan pemahaman bahwa sunnah Nabi pada dasarnya adalah kehidupan Nabi sebagai Nabi dan sosok manusia yang hidup pada masa tertentu dalam suatu realitas kehidupan yang benar-benar beliau jalani. Terlepas bahwa beliau menerima wahyu yang dengannya Allah menjadikan beliau manusia mulia, kita perlu memahami sosok kemanusiaan beliau, bahwa Muhammad adalah sosok yang hidup pada abad ketujuh masehi di semenanjung Arab beserta segala kondisi geografis, sejarah kebudayaan, dan politik yang melingkupinya(M.Syahrur,2007:163).

Ia juga menambahkan bahwa hadits adalah interaksi Nabi dengan realitas tertentu dalam kondisi tertentu, kemudian beliau merespon kondisi tersebut dengan keterbatasan ruang dan waktu. Oleh karena itu, apa yang telah diperbuat oleh Nabi di semenanjung Arab pada abad ketujuh masehi merupakan model pertama berinteraksi dengan Islam pada penggal ruang dan waktu tertentu, bukan satu-satunya dan bukan yang terakhir. Jadi definisi terhadap sunnah atau hadits selama ini adalah keliru. Tidak benar bahwa sunnah adalah segala yang berasal dari Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, perintah, larangan dan ketetapan(M.Syahrur,2007:166-167).

Minhaji menyebutkan bahwa pengertian dasar dari sunnah adalah suatu yang telah diterima dan mentradisi di kalangan masyarakat. Dengan demikian, sunnah merupakan pandangan hidup dan sesuatu yang telah dan sedang diikuti oleh msyarakat tertentu. Karena pada dasarnya masyarakat selalu bergerak dari satu situasi ke situasi

Page 5: Tantangan Modernitas Terhadap Sunnah Sebagai Sumber Otoritas Islam

yang lain, maka wajar saja kalau umat Islam diharapkan selalu mengevaluasi sunnah dalam rangka menyusun suatu sunnah baru yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang mereka dihadapi. Di sinilah sebenarnya inti ajaran Islam, yakni mengikis habis dan/atau memodifikasi berbagai sunnah lama yang dipandang menghambat kemajuan masyarakat(Akh.Minhaji:338-339).

C. Evolusi Perkembangan Sunnah

1. Periode Informal (Sunnah dalam Gagasan Muslim Awal / Pra as-Syafi’i)Kata sunnah pada dasarnya sudah ada sebelum kemunculan Islam, dan terbukti

kebenarannya dalam sumber-sumber pra Islam. Sunnah menunjuk kapada suatu praktek yang ditentukan atau dilembagakan oleh orang tertentu. Sunnah dalam pengertian ini dimaknai sebagai “praktek yang telah diterima” jalan yang sering ditempuh ummat atau “praktek tradisional ummat”(Joseph Schact:2-3).

Islam, dalam catatan sejarah, membangun sunnahnya sendiri yang berbeda dengan sunnah sebelumnya. Sunnah ini berlandaskan pada wahyu Allah (al-Qur’an). Ini tidak berarti bahwa sunnah yang dibangun Islam terlepas sama sekali dengan sunnah yang ada sebelumnya. Karena itu, masih ada tradisi lama yang diadopsi ke dalam Islam, yang tentu saja tidak bertentangan dengan prinsip dasarnya(Akh Minhaji:337).

Fakta sejarah menyebutkan bahwa, khalifah Umar bin Khattab dilaporkan pernah mengirim surat kepada Gubernur Abu Musa al Asy’ari dan Mu’awiyah, yang isinya antara lain menganjurkan agar mereka memanfaatkan sunnah yang berlaku di kalangan masyarakat mereka (as-Sunnah al Muttaba’ah; the prevailing sunnah) sebagai salah satu sumber dalam mengahadapi berbagai persoalan hukum(Akh.Minhaji:338).

Hal ini membuktikan bahwa Sunnah pada masa awal Islam tidak diidentikkan dengan presiden (Nabi Muhammad). Sunnah dan hadits secara konseptual tetap independen (berdiri sendiri). Kedua konsep ini tidak sepenuhnya bersatu, Sehingga gagasan mengenai sunnah berkembang dalam konteks perubahan sosial dan politik.

Hal tersebut juga menegaskan bahwa sunnah selalu bersifat dinamis seiring dengan akselerasi perkembangan zaman, karena masyarakat selalu mengalami dinamika dari satu situasi ke situasi lain. Sehingga seharusnya ummat Islam menyusun suatu sunnah baru sesuai dengan situasi dan kondisi mereka, yang pada akhirnya Islam salih likulli zamân wa makân dapat terealisasi dengan baik.

Ada beberapa hal penting yang patut untuk diungkap, kaitannya dengan gagasan muslim awal mengenai sunnah. Pertama, orang-orang muslim awal tidak menempatkan sunnah Nabi Muhammad lebih tinggi daripada sunnah-sunnah orang terkemukan lainnya, terutama para khalifah pertama beserta sahabat-sahabatnya. Kedua, pada tahap awal ini, orang-orang muslim tidak selalu mengidentifikasi sunnah dengan riwayat khusus mengenai Nabi (riwayat hadits), seperti yang terjadi di kemudian hari. Akirnya, orang-orang muslim awal tidak membuat perbedaan yang kaku antara berbagai sumber kewenangan keagamaan.

Periode informal ini juga ditandai dengan hubungan dinamis, kreatif, fleksibel, progresif antara sunnah, ijma’ dan ijtihâd. Tidak ada perbedaan yang kaku (ketat) antara ketiga entitas tersebut. Hubungan organis yang terjalin antara ketiganya berjalan dinamis.

Hal di atas diperkuat dengan penjelasan Rahman, ia menyatakan bahwa kandungan aktual sunnah dari generasi-generasi muslim di masa lampau secara garis besarnya adalah produk ijtihâd, ijtihad ini melalui interaksi pendapat secara terus

Page 6: Tantangan Modernitas Terhadap Sunnah Sebagai Sumber Otoritas Islam

menerus, akhirnya dapat diterima oleh semua ummat atau disetujui ummat secara konsensus (ijma’). Itulah sebabnya mengapa istilah “sunnah” dengan pengertian sebagai praktek yang disepakati secara bersama, yaitu praktek aktual, oleh Malik digunakan sebagai ekuivalen dari istilah al Amr al Mujtama’ ‘alaihi atau dari istilah ijma’(Fazlurrahman:25).

2. Periode Semi Formal (Konsepsi Klasik tentang Sunnah Masa al-Syafi’i)Dalam teori klasik mengenai sunnah, istilah sunnah menunjuk kepada contoh

autoritatif yang diberikan oleh Nabi Muhammad Saw, dan dicatat dalam tradisi (hadits, akhbar) mengenai perkataannya, tindakannya, persetujuannya atas perkataan atau perbuatan orang lain (taqrir) serta karakteristik sifat keperibadiannya. Selain itu, sunnah juga identik dengan riwayat-riwayat hadits yang bisa dilacak mata rantainya hingga Nabi, dan status sunnah adalah sama dengan al-Qur’an yakni wahyu. Jadi keduanya baik Qur’an maupun sunnah merupakan dua sumber otoritatif yang harus diikuti(Imam Syafi'I,1996:54,127).

Bangunan teori klasik mengenai sunnah diletakkan oleh muhammad ibn Idris as- Syafi’i (w. 204 H). Tanpaknya as-Syafi’i sendirilah yang terutama bertanggungjawab atas pengintegrasian atau identifikasi sunnah dengan presiden spesifik yang digariskan Nabi Muhammad Saw(Joseph Scacht:2), yaitu dengan tradisi otentik yang berasal dari Rasulullah sendiri(N.J.Coulson,1987:64-65). Satu-satunya sunnah yang sejati adalah sunnah Nabi SAW., dan sunnah ini secara eksklusif di identikkan dengan hadits-hadits autentik Rasulullah. Yang banyak menentang pandangan Syafi’i pada saat itu adalah para pengikut “mazhab” fiqh regional awal – di Hijaz, Irak, dan Suriah yang berpegang pada definisi kurang ketat mengenai sunnah. Mereka memasukkan dalam definisi mengenai sunnah, tidak hanya sunnah Nabi, melainkan juga sunnah para sahabat, para khalifah, dan praktek yang telah diterima secara umum dari para ahli hukum di kalangan mazhab tersebut(Daniel W. Brown:19-20).

Paling tidak ada dua pendekatan tentang sunnah di kalangan orang-orang yang hidup sezaman dengan as-Syafi’i: pertama, adalah pendekatan mazhab-mazhab fiqh awal dengan “tradisi hidup” yang mereka miliki; kedua, adalah pendekatan para ahli teologi spekulatif, ahl al Kalam, yang sama sekali menolak menggunakan hadits dan bersandar hanya pada al-Qur’an. Sedang as-Syafi’i sendiri mencoba menciptakan sistem yurisprudensi yang terpusat pada pendekatan koheren terhadap sumber-sumber hukum Islam dengan menyatakan bahwa hadis sahih merupakan satu-satunya sumber sunnah yang sah(Daniel W. Brown:19-20).

Dengan mengatasnamakan perlunya unifikasi (keseragaman) pandangan tentang kewenangan Nabi Muhammad, maka Syafi’i membuat identifikasi eksklusif sunnah dengan preseden spesifik yang digariskan Nabi. Sejauh ini Syafi’i berhasil memperjuangkan identifikasi sunnah dengan hadits Nabi. Di samping itu ia juga berhasil menciptakan suatu mekanisme yang menjamin kestabilan struktur sosio religius kaum muslim abad pertengahan, tetapi dalam jangka panjang akan menghilangkan kreatifitas dan originilitas mereka(Fazlurrahman:32-33).

Pada periode semi formal ini, hubungan antara sunnah, ijtihâd dan ijma’ mulai tidak dinamis lagi. Terjadi pemisahan dan pengkotakan antara ketiga entitas tersebut. Hubungan yang terjadi mulai infleksibel seiring dengan ketegangan yang terjadi di antara kalangan ummat Islam yang merasa memiliki otoritas masing-masing.

3. Periode Formal (Konsepsi Sunah Pasca Syafi’i)

Page 7: Tantangan Modernitas Terhadap Sunnah Sebagai Sumber Otoritas Islam

Setelah abad ketiga Hijriyah, kita hampir tidak menjumpai ucapan yang bertentangan dengan ajaran utama doktrin klasik mengenai sunnah, hingga perdebatan mengenai sunnah mulai muncul kembali pada abad ke19. kita tidak lagi menemukan pencampuradukan antara sunnah Rasulullah dengan sunnah-sunnah lainnya, di samping itu, keandalan hadits tidak lagi dipertanyakan.

Pada masa ini sunnah mulai menjadi kaku, karena sunnah yang diterima hanya sunnah Nabi, sedang tradisi yang berasal dari sumber selain Nabi tidak memiliki bobot jika diukur dari preseden Nabi. berbeda dengan sunnah yang ditemukan pada gagasan muslim awal yang dapat dikatakan sangat dinamis.

Tidak seperti masyarakat sebelumnya, masyarakat Islam sejak abad ketiga atau abad keempat cenderung menempatkan hasil karya leluhur mereka, serta segala yang telah mentradisi di kalangan masyarakat muslim, sebagai suatu kebenaran mutlak yang tak perlu diganggu gugat. Mereka tidak berani melihat secara kritis berbagai warisan yang ada, dan sebagai akibatnya, mereka mencoba menyusun sunnah mereka sendiri sesuai dengan tuntutan hidup mereka(Akh.Minhaji:338).

Pada periode formal ini, sunnah berubah baju menjadi hadits dalam bentuk formal terlepas sama sekali dengan ijtihâd dan ijma’. Peran ijtihad dan ijma’ mulai diminamilisir, sehingga sunnah menjadi baku, kaku, statis. Terlebih setelah adanya kodifikasi (pembukuan) hadits secara formal.

D. Tantangan Modernitas Terhadap Sunnah

1. Kritik atas Keaslian HadisPara ahli hadits mengakui bahwa penulisan hadits Nabi secara resmi dan utuh

dilakukan jauh setelah nabi wafat(Badri Khaeruman,2004:28). Mereka juga mengakui bahwa pemalsuan hadits terjadi dalam sekala besar sebelum adanya gerakan pembukuan hadits(A.Qodri Azizy,2002:226). Yang lebih parah lagi pemalsuan disinyalir sudah terjadi pada masa Nabi, pandangan ini muncul karena hadits Nabi yang menegaskan bahwa “barang siapa yang berbohong terhadap saya dengan sengaja, maka akan ditempatkan di neraka”(Ahmad Amin,1975:220). Bercampurnya hadits asli dan palsu kemudian mendorong ulama untuk meneliti kebenaran hadits berdasarkan ilmu kritik hadits (naqd al-hadits) sehingga ilmu hadits (‘ilm al-hadits) berkembang secara perlahan sebagai respon terhadap masalah ini(Daniel W. Brown:122). System formal kritik hadits menjadi perlu ketika integritas hadits terancam karena perpecahan teologis dan politik(M.Syahrur:190), dengan meluasnya pemalsuan hadits dan dengan wafatnya autoritas yang dapat membuktikan secara personal kebenaran kata dan tindakan Nabi, yaitu generasi sahabat. Respon kaum muslim terhadap krisis ini pertama adalah mengumpulkan dan menulis hadits secara sistematis, dan kedua, memformalkan penggunaan isnad sebagai sarana pendokumentasikan hadits(Mohamed Arkoun:75).

Ada anggapan bahwa sebagian hadits hampir pasti ditulis pada tahap awal(Nabia Abbot,1983:289-298), tetapi secara tidak formal dan tidak sistematis. Kompilasi tertulis awal disebut dengan shuhuf, sedikit lebih sistematis dari transkripsi acak dan koleksi personal. Pengumpulan hadits secara sistematik pertama kali dilakukan oleh khalifah Umar ibn Abd al Aziz dan az-Zuhri. Salah satu shahifah yang muncul pada abad pertama dan awal abad kedua adalah, shalifah Hammam bin Munabbih (w. 110/719)( M. Abdur Rauf,1983:271-288). Semua koleksi ini tidak ada yang dapat bertahan.

Kumpulan hadits sistematis awal adalah muwatta’ karya Malik ibn Anas (w. 179 H). muwatta’ dan kumpulan-kumpulan sejenis dijuluki dengan musannaf karena

Page 8: Tantangan Modernitas Terhadap Sunnah Sebagai Sumber Otoritas Islam

mengklasifikasikan hadits berdasarkan subjeknya, mencerminkan upaya terorganisir untuk mengumpulkan hadits. Meskipun demikian, Malik tidak menggunakan standar formal kritisisme dalam menyeleksi hadits. Selain Malik, ada juga mushannaf lain yang muncul pada abad ke 2/8 yakni, mushannaf Ibn Jurayj (w. 150/767), Ma’ma bin Rasyid (w. 152/770) ( M. Abdur Rauf,1983:271-188).

Begitu Ulama’ seperti Malik menyusun kumpulan hadits tertulis yang lebih canggih, kalangan ahli hadits mulai mengembangkan metode kritis untuk mendokumentasikan dan mengkritik keaslian hadits dengan merujuk pada isnad hadits - hadits tersebut. Perkiraan kapan mulai digunakannya isnad secara formal masih menjadi perdebatan (M.M. Azami,1968:212-247). Menguatnya kedudukan isnad sebagai alat ukur keaslian hadits, mungkin terjadi sekitar masa as-Syafi’i. Tentu isnad sudah dipakai pada masa sebelumnya, namun as-Syafi’I mengatakan bahwa hadits hanya dapat dianggap autentik apabila memiliki isnad yang tidak terputus sampai kepada Nabi sendiri. Tahap berikutnya dalam perkembangan literatur hadits, penyusunan koleksi musnad selama abad ketiga hijriah mencerminkan penekanan pada isnad yang lengkap. Musnad yang bisa ditemukan sampai sekarang, musnad Ahmad ibn Hambal (w. 241/855) (M. Abdur Rauf,1983:271-188). Koleksi ini hanya melengkapi hadits dengan dengan isnad sampai kepada Nabi. Koleksi-koleksi ini tidak secara jelas membedakan rantai periwayatan yang kuat dan yang lemah.

Musnad kemudian diikuti oleh koleksi shahih besar, yang menandai tahap akhir dari perkembangan ilmu hadits. Penyusun koleksi shahih memaparkan aturan formal menilai keautentikan hadits atas dasar isnadnya. Metode penelitian mereka didasarkan pada beberapa asumsi. Pertama, penyimpangan atau cacat hadits dapat langsung dikaitkan dengan kelemahan karakter periwayatnya. Kedua, periwayat cacat seperti itu dapat diidentifikasi. Ketiga, mereka sangat meyakini bahwa keandalan esensial isnad sebagai catatan tentang sejarah penyampaian aktual hadits. Isnad menjadi satu-satunya jembatan antara yang kita miliki saat ini dengan yang ada pada masa lalu.( Ibn Shalah.1972:10) lihat juga(al-Ghazali.1998:25)

Salah satu tantangan modernitas yang sering dilontarkan untuk meragukan bahkan menolak keberadaan hadits Nabi SAW. adalah persoalan metode klasik kritisisme hadits yakni sistem isnad. Teori sistem isnad seringkali dituduh sebagai bikinan para ulama’ hadits dan tidak pernah ada pada zaman Nabi SAW atau bahkan sahabat. Dengan kata lain, sistem isnad pada dasarnya bersifat a-historis.( G.H.A. Juynboll.1965:1) Selain itu keraguan akan kemampuan metode klasik kritisisme hadits muncul karena banyak ditemukan hadits-hadits yang absurd, tidak dapat dibenarkan secara teologis, atau tak layak secara moral dalam koleksi shahih, shahih Bukhari maupun Muslim.( Daniel W. Brown :123)

Mahmud Abu Rayyah menyatakan bahwa beberapa hadits yang kemudian disusun menjadi enam kitab hadits dan himpunan-himpunan lain yang dimuliakan, tidak menyampaikan kata-kata dan perbuatan Nabi, namun merupakan suatu rekayasa yang dilakukan oleh orang-orang sezaman dengan Nabi dan generasi-generasi sesudahnya untuk menciptakan hadits.( G.H.A. Juynboll:41)

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, kalau Bukhari dan Muslim yang selama ini dianggap sebagai pengumpul hadits yang paling teliti, tidak dapat mengenali pemalsuan hadis, maka pasti ada sesuatu yang salah atau keliru dengan pendekatan yang mereka gunakan. Yang menjadi masalah bukan kesungguhan ulama besar hadis, melainkan efektifitas metode yang digunakan. Sebesar apapun dedikasi para muhaddisûn, masa hidup mereka terlalu jauh dari masa hidup Nabi, dan pemalsuan telah

Page 9: Tantangan Modernitas Terhadap Sunnah Sebagai Sumber Otoritas Islam

merajalela (hadits asli dan palsu bercampur baur) sehingga keaslian hadits sangat sulit didapat, kritikus terbaik pun kesulitan mengenali hadits asli.

Kegagalan lain muhaddisûn dengan metode klasik kritisisme, meskipun apa yang telah mereka lakukan cukup mengagumkan, namun sebagian besar mereka mengabaikan sarana-sarana yang memungkinkan untuk menyelamatkan hadits autentik karena terlalu terpaku pada kritik sanad, mereka mengabaikan kritik terhadap isi hadits (matn).

Pada dasarnya tugas muhaddisûn ada dua: pertama, kritik isnad, yakni menguji apakah periwayat hadits dapat dipercaya dan meniliti ketersambungan sanad. Kedua, kritik atas isi hadits (matn). Karena kesulitan tugas pertama, maka mereka melupakan dan tidak pernah sampai pada tugas kedua.

Kegagalan ini telah disinyalir oleh Sayyid Ahmad khan (1817-1898) dari Subbenua India, kemudian Rasyid Ridha serta Muhammad Taufik Shidqi dari Mesir, mereka menyebutkan bahwa muhaddisûn hanya peduli pada kesinambungan periwayatan dan karakter periwayat sehingga mereka sama sekali mengabaikan meteri pokok hadis dan gagal melihat bukti internal atau histories.( Daniel W. Brown:126)

Kritik lain yang dilontarkan oleh kritikus modern adalah bahwa asumsi dibelakang ‘ilm a- rijâl secara esensial cacat. Argument ini didasarkan pada beberapa hal: pertama, cukup sulit menilai karakter orang yang masih hidup, apalagi orang yang sudah lama meninggal, hal ini diperparah dengan informasi yang sedikit, banyak riwayat yang saling bertentangan. Di samping itu kejujuran dan ketidakjujuran adalah kuwalitas internal yang tidak dapat diketahui dengan pasti oleh pengamat. Akibatnya, ‘ilm ar- rijâl hanyalah sebuah pendekatan, dan siapapun tidak bisa sepenuhnya yakin bahwa penilaian seseorang tentang periwayat adalah benar.

Lagipula, apa yang membuat keterangan sejarah tentang periwayat dapat dipercaya? Apakah pihak yang mencatat informasi tentang periwayat bekerja secara akurat, atau apakah informasi itu direkayasa? Tantangan paling serius terhadap sistem klasik kritik hadits, barangkali adalah pernyataan bahwa isnad direkayasa dalam skala yang sama besar dengan isi hadis. Bagaimana kita menilai keandalan hadis atas dasar rantai periwayatan kalau rekayasa terhadap isnad juga marak terjadi.( G.H.A. Juynboll.2007:112)

Semua pandangan tersebut di atas memang banyak ditolak oleh pemikir muslim, salah satunya adalah M.M Azami, menurutnya sebelum Islam datang sebenarnya sudah ada suatu metode yang mirip dengan pemakaian sanad dalam menyusun buku. Hal ini antara lain dapat ditemukan dalam kitab Yahudi Mihna. Selain itu, system isnad juga telah biasa dipakai dalam penilaian syair-syair jahiliyah. Dengan kata lain, sistem isnad telah digunakan dalam sejumlah literature di masa pra Islam.( M.M Azami.1992:61) Namun demikian urgensi metode sanad ini baru tampak dalam riwayat hadits saja.(M.M Azami.1994:530) lihat juga (Ali Mustafa Yaqub.1992:26-28) Hal ini dapat dimengerti, karena sistem isnad dipandang satu-satunya cara yang efektif untuk mendeteksi apakah hadits itu benar-benar berasal dari Nabi atau tidak. Bahkan metode ini tidak dapat digantikan oleh metode apapun, termasuk metode yang dimiliki oleh sarjana Barat Modern.( M.M. Azami.1968:247) Hal senada juga diungkapkan oleh Siba’I, ia menyatakan bahwa kritik hadits memang tidak dimulai pada abad ke 3, tetapi sudah diperaktekkan secara terus menerus sejak zaman sahabat.(Mustafa Siba’i.1978:90) Sehingga jarak yang diklaim oleh kritikus hadits modern ada di antara zaman Nabi dan masa kemunculan kritik hadits yang serius, sesungguhnya tidak ada.

Para pembela hadits juga menanggapi argument bahwa muhaddisûn hidup pada masa yang terlalu jauh dari masa hidup Nabi. Bagaimana kita bisa menilai muhaddisûn

Page 10: Tantangan Modernitas Terhadap Sunnah Sebagai Sumber Otoritas Islam

apabila kita sendiri hidup pada masa yang lebih jauh dari masa Nabi, dibandingkan muhaddisûn. Ahli-ahli hadits awal lebih banyak tahu daripada kita, karena hidup mereka lebih dekat dengan masa hidup Nabi. Untuk itu mereka jauh lebih memenuhi persyaratan untuk menilai periwayat karena mereka telah mengetahui sumber yang sudah sejak lama hilang.

Kritik tentang problem autentisitas hadits tidak hanya muncul di kalangan Ummat Islam, namun juga muncul dari kalangan kaum orientalis. Beberapa nama yang dapat disebut di antaranya; Gustav Weil (1848), Aloys Sprenger (1861), Ignaz Goldziher (1850-1921), dan Joseph Schacht (1902-1969).( Noel J. Couson.1983:317-321)( Charles J. Admas.1976:66-68)(Akh. Minhaji.2001:68-74)

J. Schacht menyebutkan bahwa isnad, yakni rangkaian para periwayat hadits yang menjadi sandaran keshahihan sebuah matn hadits, memiliki kecenderungan untuk berkembang ke belakang.( J. Schacht:163-165) Menurutnya isnad berawal dari bentuk sederhana, lalu diperbaiki sedemikian rupa dengan cara mengkaitkan doktirn-doktrin aliran fiqh klasik kepada tokoh yang lebih awal, seperti sahabat dan akhirnya kepada Nabi. Karena isnad merupakan rekayasa sebagai hasil dari pertentangan ahli fiqh klasik dan ahli hadits, maka tak satupun dari hadits Nabi yang berkaitan dengan hukum dapat dinilai hadits shahih.( J. Schacht.1964:34)

Menurut Wael B. Hallaq, ada tiga jenis kelompok pemikir pengkaji hadits yang dapat diidentifikasi terutama setelah munculnya karya Joseph Schacht tahun 1950, yakni; 1) kelompok yang berusaha mempertegas dan memperkuat kembali kesimpulan sebelumnya bahwa hadits adalah a-histois, hanya rekayasa generasi belakangan. Yang masuk dalam kelompok ini: Jhon Wansbrough, Michael Cook. 2) kelompok yang menganggap behwa yang dilontarkan oleh kelompok pertama adalah keliru. Yang masuk dalam kelompok ini: Nabia Abbot, F. Sezgin, M.M. Azami, Gregor Schoeler, Johann Fủck. 3) kelompok yang terakhir ini mengambil posisi tengah-tengah antara kelompok pertama dan kedua. Yang masuk kelompok ini: Harald Motzki, D. Santillana, G.H.A. Juynboll, Fazlur rahman, dan James Robson.( Wael B. Hallaq.1999.89:76)

2. Skripturalisme Qur’aniSpektrum pendekatan modern terhadap kewenangan Rasulullah pada dasarnya

juga dipengaruhi oleh kemunculan “skripturalisme Qur’ani”( adalah gerakan yang berpandangan bahwa hanya Qur’an yang dapat dijadikan sebagai satu-satunya sumber otoritas keagamaan Islam, dan menafikan sumber yang lain termasuk sunnah atau hadis)

Kecendrungan ini terlihat di Punjab pada awal abad kedua puluh dengan kemunculan Ahli Qur’an.( Daniel W. Brown:56-57) Kelompok ini pada awalnya adalah kalangan yang tidak sepakat dengan ahli hadits. Kalau ahli hadits menyatakan bahwa taklid merupakan sumber perpecahan umat Islam, maka ahli Qur’an menyatakan bahwa sumber perpecahan umat Islam sebenarnya adalah hadits. Kalangan ahli hadits mengklaim bahwa warisan autentik Rasul dapat diraih kembali hanya dengan kembali pada hadits, ahli Qur’an menyatakan bahwa Islam yang murni hanya dapat ditemukan pada al Qur’an.

Salah satu perhatian intlektual mereka yang dominan adalah upaya membuktikan bahwa keseluruhan pokok Islam dapat diturunkan dari al-Qur’an saja. Mereka juga memandang bahwa al-Qur’an sama sekali tidak membutuhkan apapun dari luar untuk memahaminya, termasuk dalam hal ini sunnah. Yang dibutuhkan oleh al-Qur’an untuk memahaminya adalah akal yang tercerahkan.

Page 11: Tantangan Modernitas Terhadap Sunnah Sebagai Sumber Otoritas Islam

Kalangan ini juga menegaskan bahwa Memahami al-Qur’an dengan bersandar pada sunnah akan berimplikasi pada pembatasan makna al-Qur’an pada situasi sejarah tertentu sehingga mengaburkan keuniversalannya, padahal pengetahuan manusia selalu berubah dari masa ke masa. Menyandarkan diri pada hadits akan mengaburkan pleksibelitas yang melekat dalam Islam dan membuat umat Islam sulit untuk beradaptasi dengan keadaan yang selalu berubah. Menurut mereka, Allah tidak pernah bermaksud mengatur setiap detail kehidupan melalui wahyu.( Daniel W. Brown:71)

Pandangan ini sedikit tidak meruntuhkan pandangan tradisional tentang fungsi sunnah. Selama ini sunnah dipandang memiliki fungsi yang signifikan untuk menjelaskan al-Qur’an.( Muhammad ‘Ajjaj al Khatib:23-24) Sunnah mutlak diperlukan untuk menjamin makna al-Qur’an dan menjamin penafsiran yang benar, untuk memperlihatkan aplikasi praktis dari perintah-perintah yang masih umum, terutama dalam hal peribadatan.( Muhammad Quraisy Syihab.1996:55)

Gagasan yang sama yakni tentang serbacukupnya al Qur’an muncul secara mengejutkan di Mesir. Pada tahun 1906, Muhammad Taufik Shidqi,(Juynboll:23) rekan Rasyid Ridha, penulis tetap al Manar menerbitkan sebuah artikel di Al Manar, ia menyatakan bahwa detail-detail prilaku Nabi tidak pernah dimaksudkan untuk ditiru dalam setiap perinciannya. Oleh karena itu, setiap muslim harus hanya bersandar pada al-Qur’an.

Rasyid Ridha sendiri mengambil jalan kompromi dalam melihat persoalan tersebut. Pada satu sisi ia tidak akan menyetujui penolakan besar-besaran terhadap kewenangan Nabi. Di sisi lain ia merasa berhak meninjau dan menilai kembali sumber sunnah (hadits) berdasarkan ijtihadnya. Satu-satunya sunnah yang tidak diperselisihkan oleh Ridha adalah sunnah amaliyah yang diperaktekkan oleh setiap generasi muslim dalam cara mutawatir. Hal ini termasuk, misalnya, ibadah shalat dan detai cara peribadahan penting lainnya.( Daniel W. Brown:61)

Syahrur menawarkan pemahaman inovatif berkaitan dengan sunnah. Ia menyatakan bahwa hadits adalah interaksi Nabi dengan realitas tertentu dalam kondisi tertentu, kemudian beliau merespon kondisi tersebut dengan keterbatasan ruang dan waktu. Oleh karena itu, apa yang telah diperbuat oleh Nabi di semenanjung Arab pada abad ketujuh masehi merupakan model pertama berinteraksi dengan Islam pada penggal ruang dan waktu tertentu, bukan satu-satunya dan bukan yang terakhir. Dengan demikian, Rasul memberikan teladan kepada manusia untuk juga melakukan ijtihad bagi diri mereka sendiri, karena Islam adalah syari’at untuk seluruh manusia yang berada dalam lingkup batas-batasan Allah.( Muhammad Syahrur:163-168)

3. Kritik atas Batas WahyuPandangan klasik menegaskan bahwa salah satu pilar fundamental teori sunnah

adalah argumen bahwa Nabi tidak hanya menerima wahyu Qur’an, tetapi juga wahyu yang terpisah dari Qur’an. Sehingga muncul pandangan tentang dualitas wahyu, yakni al-Qur’an dan sunnah sama-sama merupakan wahyu. Yang membedakan keduanya hanya pada bentuk, namun secara substansial (isi) pada dasarnya sama.

Pandangan bahwa sunnah adalah wahyu muncul dari pemahaman atas surat an- Najm (53) ayat 3 dan 4, yang menegaskan bahwa Rasulullah tidak pernah berkata selain apa yang diwahyukan Allah kepadanya.( Al Qur’an dan Terjemahnya.1985:871)

Imam al Gazali menyebutkan bahwa sebagian wahyu itu ada yang dibacakan langsung kepada Nabi (yutla) yang kemudian disebut dengan al-Kitab, dan ada yang

Page 12: Tantangan Modernitas Terhadap Sunnah Sebagai Sumber Otoritas Islam

tidak dibacakan secara langsung kepada Nabi (la yutla) yang kemudian disebut dengan as Sunnah.( Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al Gazali:129)

Pandangan klasik tentang pandangan bahwa sunnah adalah wahyu mulai mendapat kritikan dan mulai dipertanyakan kembali kebenarannya. Muncullah sederet pertanyaan, diantaranya: apa yang membedakan suara Tuhan dengan suara manusia yang menyampaikan atau yang menafsirkannya? Pada bagian mana sifat manusiawi utusan Allah berperan dalam proses wahyu?

Pada dasarnya tidak hanya Islam yang mengalami dilemma dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, namun semua tradisi keagamaan Nabi juga merasakan hal yang sama, karena akibat paradoks fundamental kenabian; dalam risalah Nabi yang transenden menjadi imanen, yang universal menjadi particular, kesempurnaan disampaikan melalui saluran yang tidak sempurna. Sehingga perdebatan mengenai wahyu ini terfokus secara tajam dalam pertanyaan mengenai bagaimana ilham Rasulullah dan hubungan perkataan dan tindakan Nabi – kemanusiaannya – dengan misi ketuhanannya sebagai Nabi.

Mengenai persoalan tersebut, Kalangan yang skeptis menyatakan bahwa, perkataan dan perbuatan Nabi di luar al-Qur’an bukan wahyu. Itu tidak lebih dari produk upaya manusia, maka secara meyakinkan dapat dikatakan bahwa preseden semacam itu dapat direvisi dan tidak pernah dimaksudkan untuk mengikat seluruh Muslim sepanjang waktu.( Daniel W. Brown :73)

Syahrur menyebutkan bahwa pandangan yang menyebutkan bahwa sunnah adalah wahyu, patut untuk dipertanyakan. Ia menganalisa (wa mâ yantiqu an al-hawa In huwa illa wahyu yuhay),(Q.S.53:3-4) yang dijadikan sebagai dasar pijakan oleh kalangan tradisional untuk menyimpulkan bahwa sunnah adalah wahyu. Menurut pembacaanya, mendasarkan pendapat mereka dengan ayat ini sama sekali tidak tepat.( Muhammad Syahrur:162) Karena kata ganti huwa dalam ayat tersebut tidak merujuk kepada Nabi, namun secara jelas merujuk kepada kitab yang diturunkan kepada Nabi. Kata ganti huwa tidak terkait dengan kata ganti dalam kata kerja yantiqu. Jadi meski peran kenabian yang diembannya mengantarkan beliau pada derajat yang tinggi, namun bagaimanapun kita tidak dapat menyatakan bahwa seluruh perkataan dan perbuatan beliau termasuk bagian dari wahyu.( Muhammad Syahrur :162)

Kalau dilihat dari latar belakang historis, ayat tersebut diturunkan di Makkah dalam situasi ketika orang-orang Arab meragukan kebenaran wahyu. Yang menjadi pusat permasalahan bagi mayoritas orang Arab saat itu bukanlah perkataan dan perbuatan Nabi, melainkan al-Qur’an.

Penolakan terhadap pandangan sunnah secagai wahyu juga disebabkan oleh karena jika sunnah dibandingkan dengan al-Qur’an dengan menggunakan ukuran standar wahyu, maka sunnah tidak memenuhi kualifikasi sebagai wahyu. Wahyu yang dimaksudkan oleh Allah adalah bersifat universal dan abadi dan memiliki tiga cirri khas: pertama, wahyu disampaikan kata demi kata, setiap kata pasti berasal dari Allah. Kedua, proses turunnya wahyu pastilah eksternal, yang sepenuhnya terlepas dari pengaruh rasul. Ketiga, wahyu harus dicatat dan dipelihara dalam bentuk tulisan dan disampaikan secara benar tanpa kemungkinan menyimpang dan kliru. Sunnah tidak memenuhi kualifikasi ini, sehingga sulit untuk menyatakan bahwa sunnah juga wahyu. Kegagalan memelihara sunnah dalam bentuk tulisan menyebabkan sunnah tidak boleh dianggap sebagai bagian esensial agama.

Mengenai kriteria ketiga, dalam sejarah kita dapat menemukan bahwa Nabi tidak pernah menyuruh para sahabat untuk menghimpun perkataan beliau, khulafa rasyidin

Page 13: Tantangan Modernitas Terhadap Sunnah Sebagai Sumber Otoritas Islam

juga begitu, tidak pernah memerintahkan pembukuan hadits karena mereka memahami bahwa hadits adalah hasil interaksi Nabi dengan realitas tertentu dalam kondisi tertentu pada masa Nabi hidup, kemudian beliau merespon kondisi tersebut dengan keterbatasan ruang dan waktu.

Ada dua dimensi dalam Islam yakni absolute dan relative. Absolute itu adalah Allah, Allah kemudian mengungkapkan dimensi absolute itu ke dalam Kitab (Qur’an). Sedangkan dimensi relative dalam Islam berwujud pada sosok Nabi melalui sunnahnya sebagai sebuah upaya mengaplikasikan al-Qur’an dalam realitas kongkrit saat itu.( Muhammad Syahrur :165) Hal ini yang kemudian menyebabkan islam selalu relevan dengan segala ruang dan waktu (shalih li kulli zaman wa makan), karena memiliki keterkaitan yang erat antara dimensi mutlak (absolute) dengan dimensi relative dalam bentuk interaksi dengan penggal sejarah tertentu sehingga masing-masing zaman melahirkan produk masyarakat dan peradaban tertentu yang berbeda satu sama lain.

4. Kritik atas Kewenangan RasulKritik lain yang dilontarkan tentang sunnah adalah kritik atas kewenangan Rasul

yakni yang berkaitan dengan doktrin ishmah. Doktrin ishmah (kemaksuman) Rasul bagi ahli teologi sunni sangat dibutuhkan, karena doktrin ishmah merupakan jaminan penting integrasi al-Qur’an itu sendiri, jika para Rasul berbuat salah atau dosa, mana mungkin kita mengetahui pasti bahwa mereka menyampaikan wahyu yang mereka terima dari Allah dengan benar. Para rasul harus dianggap maksum dalam masalah yang berkaitan dengan risalah Allah. Yang lebih penting lagi, kemaksuman rasul memberikan pondasi esensial bagi kewenangan sunnah rasul.

Pertanyaan mendasar kaitannya dengan doktrin ishmah adalah di manakah sisi kemanusiaan dari seorang rasul? Apakah rasul sama sekali tidak pernah berbuat salah dan keliru dalam sejarah perjalanan hidupnya atau selama masa kenabian? Kalau memang rasul memiliki dua sisi sekaligus, yakni sisi maksum dan manusiawi, maka bagaimana membedakan mana yang maksum dan mana yang tidak.?

Persoalan kemaksuman ini memunculkan ketidak pleksibelan tertentu dalam gagasan ini. Ini adalah masalah yang akut pada abad ke 19 dan 20, ketika para teolog bukan Cuma muslim, tetapi juga Kristen protestan dan Katolik berusaha mencari jalan mengadaptasi situasi doktrin-doktrin dalam menghadapi situasi yang tengah berubah. Bagi Muslim pertanyaannya adalah apakah mungkin mempertanyakan kemaksuman Rasul tanpa merongrong kewenangan sunnah? Apa jadinya Islam tanpa sunnah.?

Mengenai hal ini kaum modernis kemudian membagi sunnah menjadi empat kategori: 1)yang berkaitan dengan agama (din), 2) yang merupakan produk situasi khusus Nabi dan adat istiadat di zamannya, 3) pilihan dan kebiasaan pribadi, 4) preseden yang berkaitan dengan urusan politik dan dan sipil. Hanya sunnah autentik kategori pertama yang berhubungan dengan agama yang dapat dipegang.( Daniel W. Brown :88)

Tantangan modern terhadap kemaksuman rasul adalah mencoba memanusiakan Nabi Muhammad SAW. Membawa Nabi ke bumi, menjadikan beliau sebagai manusia biasa yang juga melakukan kesalahan, memberikan kepada penafsir modern pleksibelitas mengenai warisan beliau.

Fakta-fakta yang ada di dalam al-Qur’an juga menunjukkan bahwa dalam beberapa kesempatan Allah menegur Nabinya yang mulia karena melakukan hal yang keliru. Misalnya, ketika Rasulullah berpaling dari Ibn Maktum yang buta karena sedang menghadapi para pembesar Quraisy. Allah berfirman: “Dia (Muhammad) bermuka

Page 14: Tantangan Modernitas Terhadap Sunnah Sebagai Sumber Otoritas Islam

masam dan berpaling karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa).”(Q.S.80:1-3)

Dalam kesempatan lain Allah berfirman: “Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q.S.66:1)

Pada kesempatan lain Allah berfirman: “tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu mengendaki harta benda duniawiyah sedang Allah menghendaki (pahala) akhirat untukmu. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana.”(Q.S.8:67)

Berdasarkan perspektif ini, kita bisa memahami bahwa istilah sunnah Nabi pada dasarnya adalah kehidupan Nabi SAW sebagai Nabi dan sosok manusia yang hidup pada masa tertentu. Terlepas dari beliau menerima wahyu yang dengannya Allah menjadikannya mulia, namun kita perlu memahami sosok kemanusiaan beliau, bahwa Muhammad adalah sosok yang hidup pada abad ke 7 masehi di semenanjung Arab beserta segala kondisi geografis, sejarah, kebudayaan, politik yang melingkupinya.( Muhammad Syahrur:163)

Seiring dengan meningkatnya kritik atas doktrin ishmah, kritikus hadits modern cenderung membatasi penerapan ishmah hanya pada penyampaian al-Qur’an saja. Muhammad Abduh menyebutkan bahwa Nabi meskipun memiliki posisi yang unik, “sepenuhnya adalah manusia dan memiliki pengalaman seperti yang dialami manusia pada umumnya. Dan mungkin saja mereka alpa dalam hal-hal yang tidak berkenaan dengan misi mereka. Dia jelas meragukan doktrin ishmah karena tidak mungkin ditahkik.( Daniel W. Brown:90)

E. PenutupPerdebatan modern mengenai kewenangan keagamaan termasuk dalam hal ini

mengenai sunnah terbentuk ketika orang-orang muslim menoleh ke belakang kepada sejarah awal Islam. Akibatnya, perdebatan modern ini tidak boleh didekati dalam kekosongan sejarah (vacum history), seolah-olah perdebatan tersebut menggambarkan tantangan baru dan tidak terduga terhadap gagasan tradisional mengenai kewenangan keagamaan.

Kontroversi seputar sunnah baik yang kuno maupun modern, harus dipandang sebagai akibat wajar yang esensial dari upaya orang Muslim untuk menyesuaikan doktrin terhadap perubahan keadaan. Karena sunnah merupakan sumber kewenangan Nabi, dan merupakan sumber kesinambungan dengan masa lalu, tidak ada perselisihan ajaran, tidak ada kontroversi hukum, tidak ada pembahasan tafsir, yang dapat dilakukan tanpa merujuk kepada sunnah.

Pada zaman ketidak pastian dan penuh perubahan, wajar kalau kaum muslim mencari pedoman menuju era kepastian dan stabilitas, yaitu era Nabi. Peristiwa utama dalam Islam adalah turunnya wahyu; petunjuk dari Tuhan pada periode tertentu dalam sejarah manusia, selama rentang waktu tertentu. Tak terelakkan lagi kaum muslim akan tertarik pada periode sejarah tersebut untuk mencari pedoman tentang bagaimana mangatur urusan mereka dan bagaiman memahami wahyu Tuhan. Akibatnya sunnah mendapat penilain tinggi sebagai sumber otoritas religius dan sebagai sumber untuk mencapai kesinambungan dengan masa lalu, dengan seluruh sejarah Islam, terutama dengan masa hidup Nabi.

Cara ummat Islam memperlakukan sunnah, apakah dengan menggunakannya secara selektif, menolaknya atau menafsirkannya kembali (reinterpretasi), esensial bagi

Page 15: Tantangan Modernitas Terhadap Sunnah Sebagai Sumber Otoritas Islam

kaum Muslim untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang berubah. Dan ini semua pada dasarnya dalam kerangka mewujudkan Islam universal yang rahmatan lil ‘âlamîn dan shalih likulli zamân wa makan, (selalu sesuai dengan segala kondisi waktu dan tempat). Wa Allah a’lam bi al-shawab.

Daftar Pustaka

Abdullah, M. Amin dkk. (ed), ”Antologi Studi Islam: Teori & Metodologi” (yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000).

Abdullah, Taufik (ed), ”Ensiklopedi Tematis Dunia Islam” (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002)

Ahmad, Amin, ”Fajr al Islam”, cet. Ke 11 (Kairo: Maktabah an Nahdah al Misriyyah, 975).

Al Ghazali, Muhammad, ”Studi Kritik atas Hadis Nabi Antara Tekstual dan Kontekstual”, terj. M. al Bagir, cet. Ke 6 (Bandung: Mizan, 1998).

Azami, M.M, ”Metodologi Kritik Hadis”, terj. A. Yamin (Bandung: Pustaka Hidayah, 1992).

_________ ”On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence” (Oxford: Oxford Centre for Islamic Studies, 1996).

Brown, Daniel W. ”Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern”, terj. Jaziar Radianti & Entin Sariani Muslim (Bandung: MIZAN, 2000).

Coulson, Noel J. “Hukum Islam dalam Perdpektif Sejarah”, terj. Hamid Ahmad (Jakarta: P3M, 1987).

Gibb, H.A.R. “Modern Trend in Islam”, edisi ke 3 (Ney York: Octagon Books, 1978).Hallaq, Wael B. A, “History of Islamic Legal theories: an introduction to sunni usul al

fiqh” (Cambridge: Cambridge University Press, 1997). Husin Munawar, Said Agil & Abdul Mustaqim, ”Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan

Sosio – Historis – Kontekstual” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001).Ilyas, Yunahar & M. Mas’ud (ed), ”Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis”

(Yogyakarta: LPPI UMY, 1996). Imam Syafi’I, ar-Risalah, terj. Ahmadie Thoha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996).Joseph Schacht, “The Origind of Muhammadan Jurisprudence” (Oxford: Clarendon

Press, 1950, cetak ulang 1953, 1959).Kamali, M. Hasyim, ”Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam (Ushul al Fiqh)”, terj.

Noorhaidi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).Khaeruman, Badri. ”Otentisitas hadits; Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer”

(Bandung: PT remaja Rosda Karya, 2004). Rahman, Fazlur, “Membuka Pintu Ijtihad”, terj. Anas Mahyudin, cet ke 3 (Bandung:

Pustaka, 1995), Saed, Abdullah, “Islamic Thought An Introduction” (New York: Routledge, 2006).Syahrur, Muhamad, ”Metodologi Fiqih Islam Kontemporer”, terj. Sahiron Samsudin

(Yogyakarta: el SAQ Press, 2004), hal. 186. Tahanawi, Ahmad al Usmani ”Qawaid fi Ulum al Hadis”, cet ke 6 (Bairut: Maktab al

Matbu’at al Ikmiyyah, 1996).

Page 16: Tantangan Modernitas Terhadap Sunnah Sebagai Sumber Otoritas Islam