modernitas dalam kehidupan hedonis remaja putriisip.usni.ac.id/jurnal/5. modernitas dalam kehidupan...

12
47 MODERNITAS DALAM KEHIDUPAN HEDONIS REMAJA PUTRI (Strukturasi Kelompok Sosialita Kalangan Mahasiswi Perguruan Tinggi di Jakarta) Oleh: 1). Risqi Inayah Dwijayanti, 2). Solten Rajagukguk, 3). Agus Budiana 1,2,3 Ilmu Komunikasi - Universitas Satya Negara Indonesia Email : [email protected],[email protected],[email protected] ABSTRAK Modernitas di kalangan masyarakat metropolitan tidak hanya meninggalkan kesan tradisional yang sudah lampau, namun perubahan perilaku, kepribadian serta perubahan gaya hidup dan cara hidup masyarakat pun juga mengalami perubahan yang cukup signifikan. Gaya hidup sederhana semakin tertinggalkan, di kalangan remaja yang masih duduk di bangku kuliah pun sudah mulai meniru gaya kelas atas dan berupaya untuk tampil dengan nilai lebih. Sehingga hal ini yang menjadi salah satu permasalahan dalam gaya remaja di dalam modernitas ini. Dalam penelitian menggunakan teori strukturasi sebagai teori utama. Berdasarkan hasil peneltiian menemukan bahwa remaja yang didukung dengan latar belakang ekonomi yang mapan, ada kecenderungan untuk berpenampilan lebih dengan barang-barang bermerk dan menanamkan sama rasa dan sama rata, serta membangun pola komunikasi sirkular sebagai komunikasi berkesinambungan timbal bali, selain itu iklim komunikas yang dibangun adalah bentuk komunikasi dengan gaya remaja kelas atas. Sehingga para sosialita ini banyak mengabaikan bentuk kesederhanaan dan mengedepankan gaya hidup mewahnya serta ingin dinilai lebih di mata orang lain. Terlihat bahwa bentuk dominasi yang utama adalah pada prinsip hetronomi sebagai faktor eksternal lah yang membentuk gaya hidup tinggi di kalangan remaja. Sementara legitimasi yang terlihat adalah adanya penggunaan atribut mahal yang melekat pada diri kelompok sosialita tersebut. Selain itu modernitas di kalangan remaja tidak mengutamakan teknologi, melainkan fashion style yang ingin dipamerkan pada orang lain. Kata Kunci : Hedonis,Modernitas,Remaja Wanita

Upload: tranduong

Post on 20-Jul-2019

279 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

47

MODERNITAS DALAM KEHIDUPAN HEDONIS

REMAJA PUTRI

(Strukturasi Kelompok Sosialita Kalangan Mahasiswi Perguruan Tinggi di Jakarta)

Oleh: 1). Risqi Inayah Dwijayanti, 2). Solten Rajagukguk, 3). Agus Budiana

1,2,3Ilmu Komunikasi - Universitas Satya Negara Indonesia Email : [email protected],[email protected],[email protected]

ABSTRAK

Modernitas di kalangan masyarakat metropolitan tidak hanya meninggalkan kesan tradisional

yang sudah lampau, namun perubahan perilaku, kepribadian serta perubahan gaya hidup dan

cara hidup masyarakat pun juga mengalami perubahan yang cukup signifikan. Gaya hidup

sederhana semakin tertinggalkan, di kalangan remaja yang masih duduk di bangku kuliah pun

sudah mulai meniru gaya kelas atas dan berupaya untuk tampil dengan nilai lebih. Sehingga hal

ini yang menjadi salah satu permasalahan dalam gaya remaja di dalam modernitas ini. Dalam

penelitian menggunakan teori strukturasi sebagai teori utama. Berdasarkan hasil peneltiian

menemukan bahwa remaja yang didukung dengan latar belakang ekonomi yang mapan, ada

kecenderungan untuk berpenampilan lebih dengan barang-barang bermerk dan menanamkan

sama rasa dan sama rata, serta membangun pola komunikasi sirkular sebagai komunikasi

berkesinambungan timbal bali, selain itu iklim komunikas yang dibangun adalah bentuk

komunikasi dengan gaya remaja kelas atas. Sehingga para sosialita ini banyak mengabaikan

bentuk kesederhanaan dan mengedepankan gaya hidup mewahnya serta ingin dinilai lebih di

mata orang lain. Terlihat bahwa bentuk dominasi yang utama adalah pada prinsip hetronomi

sebagai faktor eksternal lah yang membentuk gaya hidup tinggi di kalangan remaja. Sementara

legitimasi yang terlihat adalah adanya penggunaan atribut mahal yang melekat pada diri

kelompok sosialita tersebut. Selain itu modernitas di kalangan remaja tidak mengutamakan

teknologi, melainkan fashion style yang ingin dipamerkan pada orang lain.

Kata Kunci : Hedonis,Modernitas,Remaja Wanita

48

PENDAHULUAN

Pemujaan terhadap kehidupan modern

pada dewasa ini, dapat terlihat sebagai

luaran budaya konsumtif masyarakat yang

semakin mengedepankan kebutuha-

kebutuhan material untuk kebutuhan diri

yang dianggap sebagai keutamaan

disamping kebutuhan primer atau

sekundernya. Identitas diri, menurut para

pengusung pandangan-pandangan modern

di abad 21 saat ini, material berupa

finansial, benda-benda bernilai dan

pemujaan terhadap nama suatu benda

adalah suatu pandangan yang mempunyai

nilai lebih ketimbang melihat esensi nilai

kehidupan itu sendiri, keutamaan diri dan

juga tingkah laku, etika yang benar-benar

diabaikan, kemudian membesarkan nama

entitas sebagai bagian dari dunia kehidupan

yang tidak boleh terlewatkan.

Meskipun individu sudah semakin

terpuruk dengan kehidupan gaya modern

ini, kebiasaan, tradisi dan pola kehidupan

pun juga mengalami permasalahan

perubahan budaya pada masyarakat dengan

mengacu pada kehidupan budaya modern

(modernitas) yang berujung pada

pemenuhan nilai-nilai diri dan mencari

nama baik yang berhak dijunjung tinggi

lebih dari nama orang lain. Hal ini yang

kemudian bisa dikatakan bahwa ada esensi

kebudayaan yang salah ditafsirkan atau

penanggapan terhadap budaya modern yag

salah yang berujung terhadap persolaan

krisis budaya pada masyarakat dewasa saat

ini.

Kemajuan teknologi informasi dan

komunikasi, inovasi benda-benda material

dan fungsi kebendaan yang bervariasi serta

pemujaan terhadap nilai-nilai benda

tersebut dan ketergantungan terhadap

perangkat teknologi, hal ini yang kemudian

individu seperti terlihat meninggalkan

esensi diri, tidak berpijak pada hakikatnya

sebagai makhluk sosial yang bermartabat

dan beretika, serta meninggalkan identitas

diri yang keluar dari koridor budaya lokal

yang sudah dibangun bertahun-tahun.

Beberapa kasus yang sering terjadi di

dalam pemujaan benda-benda material dan

pemujaan nilai, tidak sedikit individu yang

lebih memilih untuk hidup dalam

lindungan benda-benda material dan

menjaga jarak dengan agama atau sistem

keyakinan transendentalnya. Keberpihakan

terhadap pekerjaan yang rasional mauun

irasional atau terhadap pemenuhan

kebutuhan material serta memilih untuk

menjadi pribadi yang konsumeris dan

mengutamakan kehidupan yang lebih

konsumtif tinggi atau berkebutuhan daya

beli yang tinggi.

Konsumsi adalah mata rantai terakhir

dalam rangkaia aktivitas ekonomi tempat

diubahnya modal, dalam bentuk uang,

menjadi komoditas-komoditas melalui

proses produksi material. Adalah

pertukaran dan konsumsi komoditas yang

memungkinkan terwujudnya keuntungan,

yang, ketika dikembalikan lagi dalam

bentuk uang, dapat diinvestasikan ulang

menjadi produksi lebih jauh dan dapat

mengawali perputaran modal sekali lagi.

(Lee, 2015: 3).

Pandangan tentang kebudayaan yang

dilihat dari basis produksi materi: melalui

produksi material, atau melalui produksi

sarana hidup mereka, manusia

mengembangkan ekspresi yang definitf

dari kehidupan mereka, bentuk kehidupan

yang definitif. Ini menjadikan kebudayaan

lebih dari sekadar gaung simbolis dari

aktivitas ekonomi, atau, berdasarkan

aktivitas itu, kebudayaan lebih dari sekedar

konsep sosial yang merepresentasikan

aktivitas-aktivitas sisa yang tersisa setelah

proses produksi materi terjadi. Dalam

skema ini, kebudayaan dilihat sebagai

49

ekspresi penuh makna dari kehidupan

manusia dan relasi sosial, serta sebagai

landasan riil bagi seluruh kehidupan

manusia serta bagi relasi sosial yang dapat

ditemukan pada produksi materi. Ini

menjadikan kebudayaan bukan sebagai

wilayah kontemplasi spiritual dan idealistis

yang terpisah, independen, atau otonom,

ataupun sebagai produk umum produksi

materi yang bersifat netral, melainkan

sebaga dimensi dimensi yang tak

terpisahkan dari aktivitas produksi itu

sendiri. Oleh karena itu, terbentuknya

kebudayaan manusia dan aktivitas budaya

secara langsung tergantung pada kondisi

material dan kondisi historis yang sehari-

hari dihadapan individu yang harus dijalani

oleh individu itu senditi untuk

memproduksi diri mereka.

Harta dan nilai terhadap diri seperti

menjadi sesuatu yang lebih bernilai

ketimbang membentuk kepribadian yang

lebih baik. Selain itu tidak berupaya untuk

menunjukkan diri sebagai pribadi yang

lebih sederhana dan menunjukkan diri yang

lebih tinggi. Sehingga banyak individu

yang memiliki kemampuan finansial yang

berlebih untuk mengejar stratifikasi sosial

yang lebih tinggi agar lebih dipandang

sebagai upaya untuk peningkatan nilai,

kemudian juga untuk memenuhi segala

bentuk hasrat kebutuhan badaniah dan

kepuasan diri.

Upaya mengejar stratifikasi sosial yang

tinggi, tentunya individu tidak hanya

mengejar nilai harta kekayaan dan nilai

terhadap diri untuk diperlihatkan kepada

dirinya sendiri, melainkan juga

membutuhkan adanya kelompok sosial

tertentu yang memiliki stratifikasi setara

atau status sosial setara di tingkat

menengah keatas atau bahkan kelompok

sosial atas. Hal ini terlihat seperti

keberadaan kelompok sosial atas dari para

kaum hawa yang berkumpul dengan

sesama kelompok sosial atau biasa disebut

dengan socialite atau Sosialitas dari

stratifikasi atas yang bertujuan untuk

menunjukkan nilai diri yang tinggi dan

ingin lebih dipandang dari yang lain dengan

didasarkan pada harta dan kedudukan

maupun dari sisi latar belakang keluarga

dari keluarga berkelas dan kaya raya

sehingga ada upaya untuk memperoleh

kepuasan terhadap diri sendiri meskipun

harus mempertaruhkan harta benda untuk

pengeluaran dalam jumlah yang besar agar

bisa memposisikan diri sebagai kelompok

sosial atas. Terkadang tujuan dari

kelompok sosial ini bersifat rancu dan tidak

memiliki tujuan yang jelas, kecuali ada

tujuan tetap yang non esensi di dalamnya

seperti “pamer kekayaan harta benda”

atau menonjolkan milik yang bernilai atas

atau berkelas (dalam artian kelas atas).

Seperti halnya para kelompok sosialita

yang menunjukkan barang-barang material

baru yang bermerek kelas atas atau dikenal

dengan istilah “High Class branded”,

gengsi sebagai bentuk gagasan

materialisme yang dimana para kelompok

ini lebih suka dengan aktivitas

perkumpulan dengan interaksi berkelas

sosial atas.

Tak dipungkiri bahwa kelompok-

kelompok semacam ini atau para pemuja

eksistensi duniawi lebih menyukai dengan

hal-hal yang bersifat material yang

terkadang itu bukan dari hasil jerih payah

mereka sendiri atau berasal dari pihak

pemberi seperti kelompok sosialita yang

berasal dari kalangan dewasa di rate usia 30

tahun keatas seperti halnya istri pejabat

pemerintah, istri pengusaha, atau para

wanita simpanan laki-laki kaya yang

notabene memmanfaatkan kekayaan materi

dari laki-laki yang didampinginya baik

sebagai istri sah atau istri siri hingga istri

simpanan demi kesenangan duniawi dan

menyimpan gengsi atau ingin leih

dipandang bukan dari kalangan bawah

50

melainkan dipandang sebagai kelompok

bermartabat dan priyayi namun dengan

minim usaha atau tidak banyak bekerja dan

berusaha untuk mendapatkan harta

berlimpah, melainkan mengharapkan dari

pemberian pihak dibelakangnya yaitu para

lelaki yang didampinginya.

Adapun para kelompok sosialita ini

bukan hanya terjadi di kalanan wanita

dewasa, namun sekarang juga marak para

kelompok sosialita yang kelompok dari

kalangan remaja wanita yang masih

menempuh pendidikan di jenjang

pendidikan tinggi. Seperti halnya

kelompok mahasiswi disuatu universitas

yang memang adalah kelompok mahasiswi

yang secara kelas sosialnya berada di

kalangan keluarga sosial menengah ketas,

kemudian kalangan mahasiswi yang sudah

bekerja dan berpendapatan kerja 5 juta ke

atas per bulan, namun adapula mahasiswi

yang tidak bekerja namun mengandalkan

pembelian barang-barang bermerek kelas

atas dan juga pemenuhan finansial yang

sepenuhnya berasal dari pemberian orang

tua.

Perkembangan modernitas pada remaja

wanita di abad 21 ini semakin

menunjukkan geliat konsumtif yang

semakin tinggi, ditambah dengan adanya

perangkat teknologi gadget, semakin

mendorong mahasiswi untuk selalu bisa

terkoneksi dengan orang lain dengan

mencari pertemanan yang sederajat dalam

satu kelas serta pernah kenal dekat atau

baru kenal dengan kelompok tersebut,

sehingga adanya upaya untuk menaikkan

derajat sosial agar kelihat berkelas

meskipun hanya memandang dari segi nilai

dan mengabaikan realitas kehidupan

dibelakangnya.

Nilai dalam produksi kultural sosialitia

tentu tidak terlepas dari peranan produsen

sebagai penunjang dan membentuk

branding produk untuk membuat orang lain

menjadi individu yang bernilai. Pendukung

produk budaya, dalam hal ini produsen dan

konsumennya, tidak mungkin terlepas dari

domain lainnya. Kecuali faktor-faktor

domain lain tersebut sepenuhnya

memberikan otonomi dan memang

menyediakan peluang produk yang berasal

dari domain seni atau sastra maka mereka

dapat murni dalam orientasi ekspresif.

Terkadang kelompok sosialita di

kalangan mahasiswi perguruan tinggi ini,

bukan hanya terjadi di kalangan kelompok

mahasiswi yang secara finansial mampu

atau dari keluarga berada. Adapula

kelompok mahasiswi yang memag berlatar

belakang keluarga kurang mampu, namun

di satu sisi lingkungan pertemanannya dari

kalangan atas, hingga memaksa nya secara

simbolis untuk mengikuti pola gaya hidup

mewah di kalangan teman-temannya agar

keberadaan dirinya bisa dianggap oleh

teman-temanya. Ketika terjebak dalam

struktur sosial atas di kalangan mahasiswi

baik itu dalam kelompok pertemanan atau

kelompok dalam kelas dominan, struktur

memiliki peranan yang cukup kuat untuk

mengikat individu lain gar bis amematuhi

pandangan struktur dan menciptakan pola

tindakan yang sama dengan individu dari

kalangan kelas atas. Tak jarang, cara-cara

yang dilakukan oleh kalangan mahasiswi

dari kalangan tidak mampu ini bisa

berpoteni menghalalkan segala cara untuk

bis amemenuhi segala bentuk kebutuhan

materialnya dan mengedepankan

pendapatan ekonominya untuk memenuhi

kebutuhan pelengkap dibandingkan

kebutuhan primernya. Selain itu beberapa

gejala social patology ini terjadi seperti

adanya mahasiswi yang berani untuk

menjajakan diri kepada pria hidung belang

yang secara materi memiliki modal

ekonomi uang berlebih atau mencari pria-

pria kaya yang bisa memberikan segala

bentuk kebutuhan mewahnya dan bis

51

amemberikan materi berupa uang atau

barang secara cuma-cuma yang memiliki

nilai kemewahan, sehingga dengan cara-

cara semacam ini, mahasiswi seperti

terlihat memiliki segalanya secara materi

meskipun harus membayarnya dengan cara

yang tidak setimpal atau tidak

mengimbangi nilainya. Di satu sisi, dirinya

kadang mengabaikan kondisi kehidupan

yang sebenarnya.

Adapun yang berani untuk membohongi

kedua orang tuanya dengan meminta

sejumlah uang untuk berbagai alasan yang

terkait kebutuhan pendidikan dan lain

sebagainya, dengan mengesampingkan

segala bentuk-bentuk nilai - nilai etis di

dalamya dan menyalahkan gunakan harta

yang diberikanoleh kedua orang tuanya.

Kelompok sosialita semacam ini seperti

terlihat memaksa, meskipun secara kasat

mata kadang tidak ada unsur memaksa

secara terlihat, namu secara simbolis ada

kecenderungan untuk menekan orang lain

agar bisa sepadan secara harta sama

dengannya. Oleh karena itu tak jarang

perilaku-perilaku negatif ini muncul karena

terstimulus oleh pesan-pesan simbolis antar

individu di dalam kelompok sosialita

remaja mahasiswi yang dengan

menunjukkan segala bentuk

kemewahannya dan terlihat tak

terkalahkan. Sehingga unsur gengsi yang

tinggi ini kemudian, membuat individu

anggota yang lain kemudian berkeinginan

untuk bisa mendapatkan barang-barang

bernilai sama atau apabila beruntung bisa

mendapatkan bernilai yang lebih tinggi dari

yang dimiliki temannya.

Kekuatan komunikasi ini bisa dikatakan

bisa mendorong individu untuk berbuat hal

yang bisa memaksanya untuk mendapatan

barang-barang mewah yang terkadang

hanya untuk diperlihatkan bukan untuk

suatu nilai investasi lebih yang positif,

sehingga upaya untuk menaikkan derajat

diri ini kemudian mahasiswi mudah untuk

keluar dari moral atau etika yang

semestinya, dan mengabaikan tujuan utama

sebagai mahasiswi yang terpelajar dan

rendah hati, namun memilih untuk keluar

dari zona moral yang semestinya dan

memilih untuk masuk ke dalam jurang

hedonisme yaitu memilih untuk berada di

dalam jurang pemisah antar kelas sosial.

Menurut Karl Marx, pelaku-pelaku utama

perubahan sosial bukanlah individu-

indivud tertentu, melainkan kelas-kelas

sosial. Dalam setiap masyarakat terdapat

kelas-kelas yang berkuasa dan kelas-kelas

yang dikuasai. Hal ini tentunya dipetakan

dalam kelas-kelas atas dan kelas-kelas

bawah. (Suseno, 2016: 118).

Fenomena semacam ini tentunya dinilai

sebagai salah satu fenomena yang cukup

menyedihkan yang dimana para pelajar

perguruan tinggi yang seharusnya fokus

dengan belajar dan menunt ilmu yang lebih,

namun bisa berubah hanya untuk menuntut

nilai kemewahan dan berbangga untuk

masuk dalam kehidupan hedonis yang

dianut oleh para pemuja harta bend dan

nilai seperti halnya yang dilakukan oleh

para kaum borjuis. Hal ini tentunya tidak

terlepas dari penggunaan komunikasi yang

terjadi di dalam interaksi antar personal di

dalamnya dan juga tekanan dominasi dan

legitimasi yang dialami oleh para

mahasiswi yang kurang mampu untuk

masuk ke dalam kehidupan hedonis, dan di

satu sisi mudah untuk terjerumus dalam

kemewahan yang sebenarnya menyakiti

dirinya sendiri.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan penjelasan yang telah

dituliskan sebelumnya, permaslahan yang

dapat dirumuskan adalah adanya

permasalahan kehidupan hedonisme yang

menyebabkan suatu ketimpangan sosial di

52

dalam kesenjangan stratifikasi sosial antar

mahasiswi yang ingin terlibat dan juga

timpangnya moral diri mahasiswi yang

harusnya menciptakan generasi terpelajar

namun terbelenggu dengan nilai dan gengsi

terhadap material. Selain itu adanya

penggunaan komunikasi yang terjadi di

lingkungan struktur sosial yang

mebghasilkan suatu tekanan dominasi dan

legitimasi antar agen dari kelompok

Sosialita mahasiswi perguruan tinggi. Oleh

karena itu berdasarkan rumusan masalah

ini, diajukan pertanyaan penelitian sebagai

berikut:

1. Mengapa kelompok sosialita mahasiswa

memilih untuk terlibat dalam suatu

kehidupan hedonisme?

2. Bentuk modernitas apa yang dianut oleh

para kaum sosialita mahasiswi

perguruan tinggi tersebut?

3. Bagaimana Dualitas Struktur yang

terjadi di dalam kelompok Sosialita

Mahasiswa Perguruan Tinggi di

Jakarta?

1. Perguruan Tinggi di Jakarta.

LANDASAN TEORITIS

Teori Strukturasi

Penstrukturan Adaptif (strukturasi)

dalam kelompok social dideskripsikan

sebagai “proses dimana sistem di produksi

and direproduksi melalui pemakaian

aturan dan sumber daya oleh anggota-

anggota” (Giddens, 2010: ). Penstrukturan

memungkinkan orang untuk memahami

pola- pola perilaku mereka —struktur dari

system social mereka. Penstrukturan

memberikan fondasi yang berguna untuk

mempelajari dampak yang dimiliki oleh

aturannya dan sumber daya terhadap

keputusan kelompok dan komunikasi

organisasi, selain itu penstrukturan juga

membantu menelaskan bagaimana aturan-

aturan ini diubah atau dikonfirmasi melalui

interaksi. Yang terakhir penstrukturan

bersifat komunikatif: “berbicaralah adalah

tindakan. Jika struktur benar-benar

diproduksi melalui interaksi, maka

komunikasi lebih dari sekadar pengantar

tindakan; komunikasi adalah tindakan”

(Giddens, 2010: 107).

Dalam teori strukturasi adaptif, terdapat

elemen-elemen dasar yang berperan dalam

proses penstrukturan yang saling terkait

dalam suatu sistem yang ada. Elemen-

elemen dalam penstrukturan adaptif (West

dan Turner, 2009:302 - 307), meliputi :

1. Agensi dan Refleksivitas Segala kegiatan manusia merupakan

sumber yang menciptakan serta

menciptakan kembali lingkungan sosial di

tempat kita berada. Oleh karena itu dalam

hal ini agensi dipahami sebagai perilaku

atau kegiatan tertentu yang dilakukan

manusia dan yang diarahkan oleh aturan

dan konteks di mana interaksi tersebut

terjadi. Dalam keberadaanya di suatu

perusahaan setiap individu melakukan

berbagai aktivitas serta mengalami

peristiwa yang secara tidak langsung dapat

berdampak pada keputusan yang akan

mereka ambil. Sehingga melalui hal

tersebut membuat individu mampu melihat

hal yang akan terjadi ke depan dalam

perusahaannya. Hal inilah yang merujuk

pada refleksivitas, dimana rekflesivitas

merupakan kemampuan individu untuk

memonitor tindakan-tindakan dan perilaku

mereka.

2. Dualitas Struktur

Elemen ini menjelaskan mengenai aturan

dan sumber daya yang digunakan oleh

suatu perusahaan yang menuntun individu

dalam perusahaan dalam menentukan

keputusan mengenai perilaku dan tindakan

mereka. Dalam hal ini perlu dipahami

53

perbedaan antara aturan dan sumber daya.

Aturan merujuk pada rutinitas umum yang

diikuti perusahaan atau kelompok dalam

mencapai tujuannya atau dapat juga

dikatakan mengatur hasil akhir. Sementara

sumber daya lebih merujuk kepada atribut

atau barang material yang dapat digunakan

untuk menjalankan kekuasaan dalam suatu

perusahaan. Sehingga dalam elemen ini

juga dapat dipahami bahwa orang yang

memproduksi aturan merupakan orang

yang memiliki sumber daya. Terdapat dua

tipe sumber daya yang dapat digunakan

oleh organisasi yaitu:

a. Sumber daya Alokatif Sumber daya ini

merujuk pada bantuan material yang

digunakan untuk membantu kelompok-

kelompok untuk mencapai tujuannya.

Secara sederhana dalam sumber daya ini

anggota atau individu dalam organisasi

berupaya untuk mencari bantuan material

berupa dana.

b. Sumber daya Otoritas Berbeda dengan

sumber daya alokatif, pada sumber daya ini

lebih merujuk kepada bantuan

interpersonal yang digunakan untuk

membantu kelompok dalam mencapai

tujuannya. Sehingga dapat dikatakan

bahwa dalam sumber daya ini, komunikasi

interpersonal yang dilakukan untuk

berinteraksi mampu mempengaruhi orang

lain lain untuk terlibat dalam proses

aktivitas. John French dan Bertrand Raven

(1959), dalam buku “Pengantar Teori

Komunikasi, Analisis dan Aplikasi” (West

dan Turner, 2009:304)

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini adalah metode

penelitian kualitatif dengan jenis penelitian

deskriptif. Sedangkan pendekatan yang

digunakan adalah dengan menggunakan

pendekatan studi kasus. Metode studi kasus

mengambil kasus tertentu yang bersifat

unik dan tidak biasa.

Teknik pengumpulan data yang

dilakukan adalah dengan melakukan

Observasi Non Partisipan dan teknik

wawancara yang dilakukan adalah dengan

wawancara mendalam dengan para anggota

sosialita mahasiswi di Jakarta yang akan

dibagi ke dalam 3 Universitas di Jakarta

terutama di wilayah Selatan dan Timur.

Pada Teknik analisis data yang

dilakukan adalah dengan Double

Heremeneutics atau biasa disebut dengan

Penafsiran Ganda (Timbal balik). Teknik

ini merupakan salah satu teknik analisis

data yang digagas oleh Anthony Giddens

dalam mengungkap tentang trajektori

kehidupan kehidupan sebagai jalan tengah

dalam analisa Subjektivis dan Objektivis.

Analisis yang dilaukan yaitu dengan

Analisis Dualitas Struktur yang mencakup

Signifikansi, Legitimasi, dan Dominasi.

PEMBAHASAN

Gaya hidup mahasiswa saat ini adalah

gaya hidup kelas menengah ke atas dengan

gaya hidup yang serba modern. Percakapan

mahasiswa lebih ke masalah fashion, serta

bermacam hedonisme dan Fenomena

sosialita dikalangan mahasiswa di Jakata.

Gaya hidup hedonis sangat menarik bagi

mahasiswa terutama dengan akses

teknologi yang semakin dimudahkan

seperti halnya e commerce. Dalam gaya

hidup hedonis akan berdampak dengan

adanya kecenderungan untuk lebih

memilih hidup enak, mewah, dan serba

kecukupan tanpa harus bekerja keras, akan

tetapi bagi yang tidak mampu dan ingin

cepat seperti itu, pasti jalan pintaslah yang

akan ditempuh. Jika perilaku hedonisme

dibiarkan saja, ini akan menjadi racun bagi

dunia pendidikan, terutama pendidikan

tinggi. Oleh karena itu orang tua memiliki

peran dalam pengawasan untuk mendidik

anaknya. Serta perlu kesadaran dalam diri

mahasiswa itu sendiri.

54

Pada Signifikasi merupakan aspek meso

atau penjembatan (Bridge) di dalam relasi

sosial yang terjadi pada kelompok sosialita

bahwa komunikasi menjadi tolok ukur

utama keaktifan individu di dalam

kelompok. Dengan komunikasi menjadi

salah satu pengikat erat dalam penguatan

hubungan antar individu yang tergabung

dalam kelompok sosialita. Sehingga

terlihat dengan jelas bahwa komunikasi

bukan hanya sebagai alat dalam bahasa,

melainkan juga menjadi instrumen yang

digunakan individu di dalam anggota

komunitas masyarakat. Sehingga

komunikasi haruslah berjalan atas dasar

kepentingan.

Kontak dan komunikasi adalah cara

utama yang dilakukan para kelompok

sosilita untuk bisa saling berhubungan satu

dengan yang lainnya. Adapun para

kelompok sosialita dari ketiga kampus ini

juga memanfaatkan media sosial seperti

Whatsapp dan Line untuk bisa

berkomunikasi dan tidak dengan kontak

yang terputus. Sehingga hal ini yang

kemudian mempertahankan kelanggengan

kelompok sosialita ini bertahan.

Pola komunikasi yang digunakan dalam

kelompok sosialita para mahasiswi ini

adalah dengan pola sirkular atau pola

komunikasi yang terbentuk secara simultan

ada suatu feed back antar pembicar, namun

dalam sirkular ini tidak mengotoritaskan

salah satu orang untuk mewakili semua

atau mendominasi keseluruhan secara

tunggal. Pola ini digunakan untuk

membentuk suatu solidaritas sama rasa dan

sama rata. Namun pada dasarnya atribut-

atribut yang dimanfaatkan oleh para

kelompok sosialita ini adalah kebebasan

dari masing-masing dalam hal selera

busana, perhiasan atau aksesoris yang

dikenakan. Namun kebebasan ini tidak

semata-mata menjadi kebebasan hak yang

otonomi pada individu karena untuk

membangun suatu kompetensi hedonis

haruslah rata-rata berada pada kalangan

ekonomi menengah keatas serta tidak

menghendaki anggota bergaya sederhana

biasa karena akan mencoreng kelompok

komunitas yang sudah membangun

kelasnya sejak awal dan atas kesepakatan

bersama. Selain itu juga ada kesepakatan

yang tanpa disadar bahwa para kelompok

anggota baru ini didominasi tanpa sadar

oleh para kelompok sosialita yang lebih

dulu bediri.

Gaya komunikasi yang digunakan oleh

individu-individu yang ada di dalam

kelompok sosialita ini lebih menggunakan

gaya komunikasi yang santai, namun ada

juga yang antentif. Pada gaya komunikasi

yang santai ini, para kelompok sosialita

menggunakan gaya komunikasi yang non

formal dan tidka terbelunggu oleh aturan-

aturan baku dalam pertemanan atau suatu

hubungan khusus. Namun pemberlakuan

gaya komunikasi yang diterapkan

menggunakan atentif, yaitu adanya

individu yang ingin selalu didengar atau

berupaya mendominasi dalam berbicara.

Sehingga individdu ini ada kecenderungan

untuk menciptakan komunikasi satu arah

dan ada bentuk egosentrisme yang dialami

oleh anggota kelompok, terutama individu

yang terlihat lebih kaya dan atribut yang

dikenakan lebih mahal.

Secara tak langsung peranan individu

ini bisa menjadi opinion leader dari

kelompok tersebut atau sebagai pihak yang

paling didengar, meskipun di satu sisi tidak

menciptakan komunikasi satu arah seperti

halny majikan dan budak yang

mendominan sebagai otoritas memerintah

dalam pola komunikasi dari atas ke bawah.

Pada kelompok sosialita lebih

mengedepankan penonjolan masing-

masing nilai material individunya.

55

Sementara iklim komunikasi yang

diciptakan oleh para sosialita mahasiswi di

tiga kampus di Jakarta ini berupaya

menciptakan iklim komunikasi yang

tertutup dan tidak banyak diketahui oleh

banyak orang. Bahkan tidak sedikit dari

mereka yang cenderung untuk saling

menutupi keberadaannya diluar dari kedua

orang tuanya. Sehingga orang tuanya ketika

memberikan uang bekal atau kebutuhannya

selalu dianggapnya sebagai alasan untuk

kebutuhan kuliah atau untuk kebutuhan -

kebutuhan normatif.

Berbeda halnya bagi individu pengikut

kelompok sosialita yang memperoleh uang

dari para pria yang mengencaninya dan

menjadi wanita simpanan, meskipun tidak

sampai dinikahi dan hanya sebatas tinggal

bersama tanpa status pernikahan, biasanya

mereka hanya mendpatkan uang sebagai

imbalan dari pemuasan nafsu laki-laki yang

mengencaninya dengan alasan untuk

pemenuhan kebtuuhan hidup seperti

makan, bayar kuliah atau kebutuhan kuliah

dan lain sebagainya. Seperti halnya Lia dan

Via yang sama - sama tidak mengakui

bahwa mereka terlibat dengan kelompok

sosialita tanpa sepengetahuan

pasangannya. Sehingga kucuran dana

untuk kebutuhan gaya hidup antar individu

ini menjadi lancar. Di satu sisi dana

kucuran itu yang seharusnya untuk

memenuhi kebutuhan kuliah mereka,

dimanfaatkan untuk memenuhi gaya

hidupnya.

Pada legitimasi yaitu tekanan-tekanan

yang diharuskan oleh masing-masing

anggota dalam mengenakan atribut bernilai

tinggi. Hal tersebut sudah menjadi norma

yang berlaku di dalam kelompok sosialita

tersebut. Norma yang dibangun oleh adalah

menghilangkan segala sesuatu yang terlalu

bernilai kesederhanaan atau terlalu

mengedepankan hal-hal yang tidak bernilai

tinggi dan mengabaikan segala bentuk

kesederhaaan. Dalam hal ini haruslah

terdapat unsur ada apanya bukan apa

adanya. Dalm hal ini pergaulan dapat

dibangun bila ada kekayaan yang melekat

dalam diri anggota kelompok atau

kelompok individu itu sendiri. Sementara

itu aturan-aturan yang berlaku adalah

membentuk komunikasi yang sejalan atau

liner dan mengabaikan adanya suatu bentuk

dominasi khusus seperti halnya tidak ada

struktur organisasi atau komunitas yang

ketat.

Norma yang berlaku lain adalah tidak

menyinggung persoalan akademis, ataupun

religi (tentang keagamaan). Hal ini murni

diberlakukan untuk kepentingan duniawi

yang mengedepankan kesenangan dan

kesesuaian antar individu untuk

memperoleh kedudukan yang sama dalam

derajat kekayaan. Sehingga menerapkan

norma-norma yang berlaku dalam individu

adalah terbentuknya suatu pandangan-

pandangan yang terikat dalam aturan

materialisme yang sebenarnya aturan

tersebut tidak pernah terbesit atau dalam

benak para individu sosialita mahasiswi

perguruan tinggi ini bahwa mereka akan

terikat dan terkekang dengan aturan

tersebut. Di satu sisi, aturan-aturan berlaku

di dalam gaya hidup yang dilakukan oleh

apra kaum sosialita ini tidak tertulis

maupun tidak tersampaikan secara lisan.

Kesepatakan hanya ada dari omongan

mulut-mulut bukan sebagai suau nilai

ketetapan, melainkan sebagai prioritas

yang diharapkan dari terbentuknya

kelompok tersebut.

Bila tidak mengikuti aturan-aturan yang

tersampaikan secara simbolis (tidak

disadari oleh anggota komunitas) itu, maka

individu yang tergabung dalam kelompok

tersebut akan tersingkir dengan sendirinya

seperti tidak lagi diperhatikan atau bahkan

akan jarang diajak berbicara. Selain itu juga

kerap tidak dihubungi oleh teman-

56

temannya stau kelompok. Perlakuan ini

sebagai bentuk kekerasan simbolis yang

dilakukan oleh para anggota kelompok

tersebut, dan juga sebagai sanksi yang

diberikan kepada anggota kelompok yang

tidak mengenakan atribut-atribut mahal

atau beremerk serta tidak menunjukkan

gaya hidup hedon ketika berada di

lingkungan pertemanannya tersebut. Maka

yang ada hanyalah sanksi moral yang

diberikan dari anggota kelompoknya,

meskipun di satu sisi individu masih

dianggap oleh orang-orang yang berada

diluar kelompoknya. Sehingga hal tersebut

tidak terlalu menyakitkan bagi individu

tersebut. Para anggota kelompok sosialia

juga kerap mendapatkan sanksi moral dari

para rekan-rekannya diluar komunitas

tersebut. Terutama yang dialami oleh Lia

dan Via. Keberadaan keduanya rupana

sering mendapat stigma negatif dari teman-

temannya bahkan orang terdekatnya

sendiri.

Lingkungan pertemanannya, Lia dan

Via sudah tidak asing ditelinga teman-

teman kampusnya sebagai perempuan yang

bergaya hidup mewah dan suka cari-cari

perhatian di mata laki-laki. Hal tersebut ada

kecenderungan dari Lia terutama yang suka

pamer kekayaan di laman media sosialnya

seperti lewat Facebook atau instagram.

Bahkan Lia yang juga pengguna Line aktif

sering menampilkkan pawakan cantiknya

yang berhiaskan perhiasan di lengan,

kalung emas, dan anting-anting berlian di

telinganya. Meskipun perhiasan-perhiasan

tersebut tidak pernah dikenakannya di

kampus, namun hanya melalui postingan di

media sosial saja sudah mengundang

stigma negatif dari teman-teman

kampusnya karena Lia dan Via sendiri

tidak bisa mengontrol keinginannya untuk

memposting hal-hal yang bersifat hedonsis.

Aspek dominasi pun juga dialami oleh

para kelompok sosialita ini. Seperti halnya

keberadaan produk-produk baru dan

branding produk yang bernilai tinggi

mendorong hasrat para kaum sosialita

tersebut ingin memilikinya dan berupaya

cepat untuk membeli. Hal ini terlihat bahwa

adanya suatu kapitalisme gaya baru yang

ada pada suatu produk-produk kenamaan

untuk mendorong keinginan konsumen

untuk membelinya.

Dominasi yang dilakukan oleh para

brand-brand produk tinggi memberikan

penekanan dan kesadaran kepada para

konsumen untuk meningkatkan nilai hidup

mereka dengan menggunakan produk-

produk baru dengan branding tinggi yang

mempunyai nilai citra dan reputasi yang

tinggi. Hal ini yang kemudian terlintas

dalam pikiran para sosialita untuk mengejar

barang-berang bernilai sebagai bentuk

upaya meningkatkan rasa percaya diri

mereka. Para sosialita sneidir sebagai

konsumen pun sekedar melihat dari sisi

value nya. Sehingga disini para kaum

sosialita lebih terkena pada aspek

Heteronomi, yaitu adanya faktor eksternal

seperti keberadaan branding produk atau

maraknya suatu branded product yang

membuat para sosialita ini kemudian

membentuk suatu kelompok pemuja

barang branded tersebut dan ingin terlihat

mewah di mata orang lain.

PENUTUP

Berdasarkan analisa penelitian dan juga

pembahasan yang telah dibahas

sebelumnya, maka dalam penelitian dapat

ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Keterlibatan para kelompok sosialita di

dalam komunitas hedonis ini terjun ke

dalam kelompok sosialita dikarenakan

adanyaa suatu keinginan untuk

memperoleh pengakuan lebih dan nilai

lebih sebagai mahasiswi yang dianggap

melalui peningkatan penggunaan barang-

barang bernilai. Selain itu adanya

57

lingkungan pertemanan yang mendukung

para mahasiswi ini untuk terjun kedalam

kelompok sosialita, sehingga

pembentukan gaya hidup serta bagaimana

cara hidup para individu di dalam

kelompok sosialita dengan tidka ingin

terlihat dari kalangan menengah

kebawah, melainkan berupaya untuk

terlihat seperti sekelompok individu dari

kalangan menengah atas. Sehingga dari

sini para kelompok sosialita lebih

mengutamakan gaya hidup berlebih

ketimbang harus hidup berkecukupan

atau sederhana. Selain itu ingin adanya

suatu pengakuan di mata orang lain

lantaran lingkungan kampus yang lebih

mendukung untuk pergaulan tingkat

menengah keatas sehingga tidak ingin

dianggap lebih rendah.

2. Pandangan modernitas yang dibangun

oleh para kelompok sosialita ini lebih

mengutamakan dari segi penampilan atau

fashionnya. Agen menempatkan diri

sebagai figur yang tidak ingi terlihat

sederhana, yang dimana, menruutnya

suatu dunia sosial melihat

penampilannya. Sosialita tidak terlalu

suka menampilkan esensi penggunaan

teknologi sebagai gaya hidup prioritasnya

di depan. Menurutnya, fashion lebih

menunjukkan reputasi seorang kelas

menengah keatas. Hal ini terlihat bhawa

modernitas dalam kapasitas kapitalisme

produk yang mempau membentuk

kesadaran palsu bagi para sosialita.

Sehingga modernitas yang terbentuk

adalah pembentukan budaya konsumen

dikalangan remaja yang konsumtif

terhadap barang-barang bermerk tinggi.

3. Dualitas struktur yang terjadi pada diri

agen (Kelompok sosialita dan individu di

dalamnya) terlihat suatu pertentangan

kelompok ini di dalam struktur

masyarakat. Pertentangan di dalam

struktur dunia sosia terlihat bahwa

kelompok sosialita ini pada dasarnya

kurang begitu diterima oleh lingkungan

sosial yang masih menghendaki

keberadaan kelompok sosial yang

sederhana dan menganut norma-norma

timur yang mengedepankan nilai sopan

santun, dan kehidupan yang beretika dan

bermartabat. Selain itu bagaimana aturan-

aturan dan norma kesederhanaan yang

tidak begitu dikehendaki oleh para

sosialita karena menginginkan adanya

suatu nilai lebih yang cenderung

dipaksakan demi mendapatkan anggapan

lebih di mata orang lain, selain itu

memaksakan individu lain hidup dalam

struktur gaya hidup yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Adlin, Alfathri (ED), 2006, Menggeledah

Hasrat, Sebuah Pendekatan

Multiperspektif. Jalasutra.Jogyakarta

Chaney, David, 2003. Life Style : Sebuah

Pengantar komprehensif. Jalasutra.

Yogjakarta.

Cresswell, John W., 2017. Research

Design: Pendekatan Metode

Kualitatif, Kuantitatif, dan

Campuran, Edisi 4. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Effendy, Uchjana Onong. 2005. Dinamika

Komunikasi. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

George Herbert Mead. 1934/1962, Mind,

Self an Society: From The Stand

Point of Social Behaviorist, Chicago,

University of Chicago Press.

Giddens, Anthony. 2010. Teori Strukturasi.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Giddens, Anthony. 2017. Modernitas

(Konsekuensi - Konsekuensi

Modernitas). Yogyakarta: Kreasi

Wacana.

Kriesteva, Nur Sayyid Santoso, 2015,

Kapitalisme, Negara dan

Masyarakat, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta.

Lee, Martin J., 2015. Kebudayaan

Konsumsi & Komoditas (Sebuah

58

Kajian Politik Budaya Konsumen).

Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Littlejohn, Stephen W., & Karen Foss.

Teori Komunikasi (Theories Of

Human Communication). Jakarta:

Penerbit Salemba Humanika.

Mulyana, Dedy, dan Solatun. 2007. Metode

Penelitian Komunikasi. Bandung:

PT. Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Dedy. 2013. Metodologi

Penelitian Kualitatif: Paradigma

Baru Ilmu Kmunikasi dan Ilmu

Sosial Lainnya. Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya.

Prawironegoro darsono, 2012, Karl Marx

Ekonomi Politik dan Aksi Revolusi.

NC. Jakarta

Poespowardojo, Soejanto, 2016. Diskursus

Teori Teori Kritis.Kompas. Jakarta.

Ritzer, George. 2014. Teori Sosilogi

Modern. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group.

Salim, Agus. 2009. Teori & Paradigma

Penelitian Sosial, Edisi Kedua.

Yogyakarta: Tiara Wacana.

Santoso.Listiyono. Epistemologi Kiri.

2015. Ar-Ruzz Media.

Yogyakarta.

Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian

Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Suyanto, Bagong. 2017. Sosiologi Ekonomi

(Kapitalisme dan Konsumsi di Era

Masyarakat Post-Modernisme).

Jakarta: Kencana Prenada Media

Group.

West, Shane & Lynn H.Turner. 2008.

Pengantar Teori Komunikasi, Edisi

6. Buku 1 & 2. Jakarta: Penerbit

Salemba Humanika.

Yin, Robert K., 2004. Studi Kasus: Desain

& Metode. Jakarta: Rajawali

Press.