modernitas dalam kehidupan hedonis remaja putriisip.usni.ac.id/jurnal/5. modernitas dalam kehidupan...
TRANSCRIPT
47
MODERNITAS DALAM KEHIDUPAN HEDONIS
REMAJA PUTRI
(Strukturasi Kelompok Sosialita Kalangan Mahasiswi Perguruan Tinggi di Jakarta)
Oleh: 1). Risqi Inayah Dwijayanti, 2). Solten Rajagukguk, 3). Agus Budiana
1,2,3Ilmu Komunikasi - Universitas Satya Negara Indonesia Email : [email protected],[email protected],[email protected]
ABSTRAK
Modernitas di kalangan masyarakat metropolitan tidak hanya meninggalkan kesan tradisional
yang sudah lampau, namun perubahan perilaku, kepribadian serta perubahan gaya hidup dan
cara hidup masyarakat pun juga mengalami perubahan yang cukup signifikan. Gaya hidup
sederhana semakin tertinggalkan, di kalangan remaja yang masih duduk di bangku kuliah pun
sudah mulai meniru gaya kelas atas dan berupaya untuk tampil dengan nilai lebih. Sehingga hal
ini yang menjadi salah satu permasalahan dalam gaya remaja di dalam modernitas ini. Dalam
penelitian menggunakan teori strukturasi sebagai teori utama. Berdasarkan hasil peneltiian
menemukan bahwa remaja yang didukung dengan latar belakang ekonomi yang mapan, ada
kecenderungan untuk berpenampilan lebih dengan barang-barang bermerk dan menanamkan
sama rasa dan sama rata, serta membangun pola komunikasi sirkular sebagai komunikasi
berkesinambungan timbal bali, selain itu iklim komunikas yang dibangun adalah bentuk
komunikasi dengan gaya remaja kelas atas. Sehingga para sosialita ini banyak mengabaikan
bentuk kesederhanaan dan mengedepankan gaya hidup mewahnya serta ingin dinilai lebih di
mata orang lain. Terlihat bahwa bentuk dominasi yang utama adalah pada prinsip hetronomi
sebagai faktor eksternal lah yang membentuk gaya hidup tinggi di kalangan remaja. Sementara
legitimasi yang terlihat adalah adanya penggunaan atribut mahal yang melekat pada diri
kelompok sosialita tersebut. Selain itu modernitas di kalangan remaja tidak mengutamakan
teknologi, melainkan fashion style yang ingin dipamerkan pada orang lain.
Kata Kunci : Hedonis,Modernitas,Remaja Wanita
48
PENDAHULUAN
Pemujaan terhadap kehidupan modern
pada dewasa ini, dapat terlihat sebagai
luaran budaya konsumtif masyarakat yang
semakin mengedepankan kebutuha-
kebutuhan material untuk kebutuhan diri
yang dianggap sebagai keutamaan
disamping kebutuhan primer atau
sekundernya. Identitas diri, menurut para
pengusung pandangan-pandangan modern
di abad 21 saat ini, material berupa
finansial, benda-benda bernilai dan
pemujaan terhadap nama suatu benda
adalah suatu pandangan yang mempunyai
nilai lebih ketimbang melihat esensi nilai
kehidupan itu sendiri, keutamaan diri dan
juga tingkah laku, etika yang benar-benar
diabaikan, kemudian membesarkan nama
entitas sebagai bagian dari dunia kehidupan
yang tidak boleh terlewatkan.
Meskipun individu sudah semakin
terpuruk dengan kehidupan gaya modern
ini, kebiasaan, tradisi dan pola kehidupan
pun juga mengalami permasalahan
perubahan budaya pada masyarakat dengan
mengacu pada kehidupan budaya modern
(modernitas) yang berujung pada
pemenuhan nilai-nilai diri dan mencari
nama baik yang berhak dijunjung tinggi
lebih dari nama orang lain. Hal ini yang
kemudian bisa dikatakan bahwa ada esensi
kebudayaan yang salah ditafsirkan atau
penanggapan terhadap budaya modern yag
salah yang berujung terhadap persolaan
krisis budaya pada masyarakat dewasa saat
ini.
Kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi, inovasi benda-benda material
dan fungsi kebendaan yang bervariasi serta
pemujaan terhadap nilai-nilai benda
tersebut dan ketergantungan terhadap
perangkat teknologi, hal ini yang kemudian
individu seperti terlihat meninggalkan
esensi diri, tidak berpijak pada hakikatnya
sebagai makhluk sosial yang bermartabat
dan beretika, serta meninggalkan identitas
diri yang keluar dari koridor budaya lokal
yang sudah dibangun bertahun-tahun.
Beberapa kasus yang sering terjadi di
dalam pemujaan benda-benda material dan
pemujaan nilai, tidak sedikit individu yang
lebih memilih untuk hidup dalam
lindungan benda-benda material dan
menjaga jarak dengan agama atau sistem
keyakinan transendentalnya. Keberpihakan
terhadap pekerjaan yang rasional mauun
irasional atau terhadap pemenuhan
kebutuhan material serta memilih untuk
menjadi pribadi yang konsumeris dan
mengutamakan kehidupan yang lebih
konsumtif tinggi atau berkebutuhan daya
beli yang tinggi.
Konsumsi adalah mata rantai terakhir
dalam rangkaia aktivitas ekonomi tempat
diubahnya modal, dalam bentuk uang,
menjadi komoditas-komoditas melalui
proses produksi material. Adalah
pertukaran dan konsumsi komoditas yang
memungkinkan terwujudnya keuntungan,
yang, ketika dikembalikan lagi dalam
bentuk uang, dapat diinvestasikan ulang
menjadi produksi lebih jauh dan dapat
mengawali perputaran modal sekali lagi.
(Lee, 2015: 3).
Pandangan tentang kebudayaan yang
dilihat dari basis produksi materi: melalui
produksi material, atau melalui produksi
sarana hidup mereka, manusia
mengembangkan ekspresi yang definitf
dari kehidupan mereka, bentuk kehidupan
yang definitif. Ini menjadikan kebudayaan
lebih dari sekadar gaung simbolis dari
aktivitas ekonomi, atau, berdasarkan
aktivitas itu, kebudayaan lebih dari sekedar
konsep sosial yang merepresentasikan
aktivitas-aktivitas sisa yang tersisa setelah
proses produksi materi terjadi. Dalam
skema ini, kebudayaan dilihat sebagai
49
ekspresi penuh makna dari kehidupan
manusia dan relasi sosial, serta sebagai
landasan riil bagi seluruh kehidupan
manusia serta bagi relasi sosial yang dapat
ditemukan pada produksi materi. Ini
menjadikan kebudayaan bukan sebagai
wilayah kontemplasi spiritual dan idealistis
yang terpisah, independen, atau otonom,
ataupun sebagai produk umum produksi
materi yang bersifat netral, melainkan
sebaga dimensi dimensi yang tak
terpisahkan dari aktivitas produksi itu
sendiri. Oleh karena itu, terbentuknya
kebudayaan manusia dan aktivitas budaya
secara langsung tergantung pada kondisi
material dan kondisi historis yang sehari-
hari dihadapan individu yang harus dijalani
oleh individu itu senditi untuk
memproduksi diri mereka.
Harta dan nilai terhadap diri seperti
menjadi sesuatu yang lebih bernilai
ketimbang membentuk kepribadian yang
lebih baik. Selain itu tidak berupaya untuk
menunjukkan diri sebagai pribadi yang
lebih sederhana dan menunjukkan diri yang
lebih tinggi. Sehingga banyak individu
yang memiliki kemampuan finansial yang
berlebih untuk mengejar stratifikasi sosial
yang lebih tinggi agar lebih dipandang
sebagai upaya untuk peningkatan nilai,
kemudian juga untuk memenuhi segala
bentuk hasrat kebutuhan badaniah dan
kepuasan diri.
Upaya mengejar stratifikasi sosial yang
tinggi, tentunya individu tidak hanya
mengejar nilai harta kekayaan dan nilai
terhadap diri untuk diperlihatkan kepada
dirinya sendiri, melainkan juga
membutuhkan adanya kelompok sosial
tertentu yang memiliki stratifikasi setara
atau status sosial setara di tingkat
menengah keatas atau bahkan kelompok
sosial atas. Hal ini terlihat seperti
keberadaan kelompok sosial atas dari para
kaum hawa yang berkumpul dengan
sesama kelompok sosial atau biasa disebut
dengan socialite atau Sosialitas dari
stratifikasi atas yang bertujuan untuk
menunjukkan nilai diri yang tinggi dan
ingin lebih dipandang dari yang lain dengan
didasarkan pada harta dan kedudukan
maupun dari sisi latar belakang keluarga
dari keluarga berkelas dan kaya raya
sehingga ada upaya untuk memperoleh
kepuasan terhadap diri sendiri meskipun
harus mempertaruhkan harta benda untuk
pengeluaran dalam jumlah yang besar agar
bisa memposisikan diri sebagai kelompok
sosial atas. Terkadang tujuan dari
kelompok sosial ini bersifat rancu dan tidak
memiliki tujuan yang jelas, kecuali ada
tujuan tetap yang non esensi di dalamnya
seperti “pamer kekayaan harta benda”
atau menonjolkan milik yang bernilai atas
atau berkelas (dalam artian kelas atas).
Seperti halnya para kelompok sosialita
yang menunjukkan barang-barang material
baru yang bermerek kelas atas atau dikenal
dengan istilah “High Class branded”,
gengsi sebagai bentuk gagasan
materialisme yang dimana para kelompok
ini lebih suka dengan aktivitas
perkumpulan dengan interaksi berkelas
sosial atas.
Tak dipungkiri bahwa kelompok-
kelompok semacam ini atau para pemuja
eksistensi duniawi lebih menyukai dengan
hal-hal yang bersifat material yang
terkadang itu bukan dari hasil jerih payah
mereka sendiri atau berasal dari pihak
pemberi seperti kelompok sosialita yang
berasal dari kalangan dewasa di rate usia 30
tahun keatas seperti halnya istri pejabat
pemerintah, istri pengusaha, atau para
wanita simpanan laki-laki kaya yang
notabene memmanfaatkan kekayaan materi
dari laki-laki yang didampinginya baik
sebagai istri sah atau istri siri hingga istri
simpanan demi kesenangan duniawi dan
menyimpan gengsi atau ingin leih
dipandang bukan dari kalangan bawah
50
melainkan dipandang sebagai kelompok
bermartabat dan priyayi namun dengan
minim usaha atau tidak banyak bekerja dan
berusaha untuk mendapatkan harta
berlimpah, melainkan mengharapkan dari
pemberian pihak dibelakangnya yaitu para
lelaki yang didampinginya.
Adapun para kelompok sosialita ini
bukan hanya terjadi di kalanan wanita
dewasa, namun sekarang juga marak para
kelompok sosialita yang kelompok dari
kalangan remaja wanita yang masih
menempuh pendidikan di jenjang
pendidikan tinggi. Seperti halnya
kelompok mahasiswi disuatu universitas
yang memang adalah kelompok mahasiswi
yang secara kelas sosialnya berada di
kalangan keluarga sosial menengah ketas,
kemudian kalangan mahasiswi yang sudah
bekerja dan berpendapatan kerja 5 juta ke
atas per bulan, namun adapula mahasiswi
yang tidak bekerja namun mengandalkan
pembelian barang-barang bermerek kelas
atas dan juga pemenuhan finansial yang
sepenuhnya berasal dari pemberian orang
tua.
Perkembangan modernitas pada remaja
wanita di abad 21 ini semakin
menunjukkan geliat konsumtif yang
semakin tinggi, ditambah dengan adanya
perangkat teknologi gadget, semakin
mendorong mahasiswi untuk selalu bisa
terkoneksi dengan orang lain dengan
mencari pertemanan yang sederajat dalam
satu kelas serta pernah kenal dekat atau
baru kenal dengan kelompok tersebut,
sehingga adanya upaya untuk menaikkan
derajat sosial agar kelihat berkelas
meskipun hanya memandang dari segi nilai
dan mengabaikan realitas kehidupan
dibelakangnya.
Nilai dalam produksi kultural sosialitia
tentu tidak terlepas dari peranan produsen
sebagai penunjang dan membentuk
branding produk untuk membuat orang lain
menjadi individu yang bernilai. Pendukung
produk budaya, dalam hal ini produsen dan
konsumennya, tidak mungkin terlepas dari
domain lainnya. Kecuali faktor-faktor
domain lain tersebut sepenuhnya
memberikan otonomi dan memang
menyediakan peluang produk yang berasal
dari domain seni atau sastra maka mereka
dapat murni dalam orientasi ekspresif.
Terkadang kelompok sosialita di
kalangan mahasiswi perguruan tinggi ini,
bukan hanya terjadi di kalangan kelompok
mahasiswi yang secara finansial mampu
atau dari keluarga berada. Adapula
kelompok mahasiswi yang memag berlatar
belakang keluarga kurang mampu, namun
di satu sisi lingkungan pertemanannya dari
kalangan atas, hingga memaksa nya secara
simbolis untuk mengikuti pola gaya hidup
mewah di kalangan teman-temannya agar
keberadaan dirinya bisa dianggap oleh
teman-temanya. Ketika terjebak dalam
struktur sosial atas di kalangan mahasiswi
baik itu dalam kelompok pertemanan atau
kelompok dalam kelas dominan, struktur
memiliki peranan yang cukup kuat untuk
mengikat individu lain gar bis amematuhi
pandangan struktur dan menciptakan pola
tindakan yang sama dengan individu dari
kalangan kelas atas. Tak jarang, cara-cara
yang dilakukan oleh kalangan mahasiswi
dari kalangan tidak mampu ini bisa
berpoteni menghalalkan segala cara untuk
bis amemenuhi segala bentuk kebutuhan
materialnya dan mengedepankan
pendapatan ekonominya untuk memenuhi
kebutuhan pelengkap dibandingkan
kebutuhan primernya. Selain itu beberapa
gejala social patology ini terjadi seperti
adanya mahasiswi yang berani untuk
menjajakan diri kepada pria hidung belang
yang secara materi memiliki modal
ekonomi uang berlebih atau mencari pria-
pria kaya yang bisa memberikan segala
bentuk kebutuhan mewahnya dan bis
51
amemberikan materi berupa uang atau
barang secara cuma-cuma yang memiliki
nilai kemewahan, sehingga dengan cara-
cara semacam ini, mahasiswi seperti
terlihat memiliki segalanya secara materi
meskipun harus membayarnya dengan cara
yang tidak setimpal atau tidak
mengimbangi nilainya. Di satu sisi, dirinya
kadang mengabaikan kondisi kehidupan
yang sebenarnya.
Adapun yang berani untuk membohongi
kedua orang tuanya dengan meminta
sejumlah uang untuk berbagai alasan yang
terkait kebutuhan pendidikan dan lain
sebagainya, dengan mengesampingkan
segala bentuk-bentuk nilai - nilai etis di
dalamya dan menyalahkan gunakan harta
yang diberikanoleh kedua orang tuanya.
Kelompok sosialita semacam ini seperti
terlihat memaksa, meskipun secara kasat
mata kadang tidak ada unsur memaksa
secara terlihat, namu secara simbolis ada
kecenderungan untuk menekan orang lain
agar bisa sepadan secara harta sama
dengannya. Oleh karena itu tak jarang
perilaku-perilaku negatif ini muncul karena
terstimulus oleh pesan-pesan simbolis antar
individu di dalam kelompok sosialita
remaja mahasiswi yang dengan
menunjukkan segala bentuk
kemewahannya dan terlihat tak
terkalahkan. Sehingga unsur gengsi yang
tinggi ini kemudian, membuat individu
anggota yang lain kemudian berkeinginan
untuk bisa mendapatkan barang-barang
bernilai sama atau apabila beruntung bisa
mendapatkan bernilai yang lebih tinggi dari
yang dimiliki temannya.
Kekuatan komunikasi ini bisa dikatakan
bisa mendorong individu untuk berbuat hal
yang bisa memaksanya untuk mendapatan
barang-barang mewah yang terkadang
hanya untuk diperlihatkan bukan untuk
suatu nilai investasi lebih yang positif,
sehingga upaya untuk menaikkan derajat
diri ini kemudian mahasiswi mudah untuk
keluar dari moral atau etika yang
semestinya, dan mengabaikan tujuan utama
sebagai mahasiswi yang terpelajar dan
rendah hati, namun memilih untuk keluar
dari zona moral yang semestinya dan
memilih untuk masuk ke dalam jurang
hedonisme yaitu memilih untuk berada di
dalam jurang pemisah antar kelas sosial.
Menurut Karl Marx, pelaku-pelaku utama
perubahan sosial bukanlah individu-
indivud tertentu, melainkan kelas-kelas
sosial. Dalam setiap masyarakat terdapat
kelas-kelas yang berkuasa dan kelas-kelas
yang dikuasai. Hal ini tentunya dipetakan
dalam kelas-kelas atas dan kelas-kelas
bawah. (Suseno, 2016: 118).
Fenomena semacam ini tentunya dinilai
sebagai salah satu fenomena yang cukup
menyedihkan yang dimana para pelajar
perguruan tinggi yang seharusnya fokus
dengan belajar dan menunt ilmu yang lebih,
namun bisa berubah hanya untuk menuntut
nilai kemewahan dan berbangga untuk
masuk dalam kehidupan hedonis yang
dianut oleh para pemuja harta bend dan
nilai seperti halnya yang dilakukan oleh
para kaum borjuis. Hal ini tentunya tidak
terlepas dari penggunaan komunikasi yang
terjadi di dalam interaksi antar personal di
dalamnya dan juga tekanan dominasi dan
legitimasi yang dialami oleh para
mahasiswi yang kurang mampu untuk
masuk ke dalam kehidupan hedonis, dan di
satu sisi mudah untuk terjerumus dalam
kemewahan yang sebenarnya menyakiti
dirinya sendiri.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan penjelasan yang telah
dituliskan sebelumnya, permaslahan yang
dapat dirumuskan adalah adanya
permasalahan kehidupan hedonisme yang
menyebabkan suatu ketimpangan sosial di
52
dalam kesenjangan stratifikasi sosial antar
mahasiswi yang ingin terlibat dan juga
timpangnya moral diri mahasiswi yang
harusnya menciptakan generasi terpelajar
namun terbelenggu dengan nilai dan gengsi
terhadap material. Selain itu adanya
penggunaan komunikasi yang terjadi di
lingkungan struktur sosial yang
mebghasilkan suatu tekanan dominasi dan
legitimasi antar agen dari kelompok
Sosialita mahasiswi perguruan tinggi. Oleh
karena itu berdasarkan rumusan masalah
ini, diajukan pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
1. Mengapa kelompok sosialita mahasiswa
memilih untuk terlibat dalam suatu
kehidupan hedonisme?
2. Bentuk modernitas apa yang dianut oleh
para kaum sosialita mahasiswi
perguruan tinggi tersebut?
3. Bagaimana Dualitas Struktur yang
terjadi di dalam kelompok Sosialita
Mahasiswa Perguruan Tinggi di
Jakarta?
1. Perguruan Tinggi di Jakarta.
LANDASAN TEORITIS
Teori Strukturasi
Penstrukturan Adaptif (strukturasi)
dalam kelompok social dideskripsikan
sebagai “proses dimana sistem di produksi
and direproduksi melalui pemakaian
aturan dan sumber daya oleh anggota-
anggota” (Giddens, 2010: ). Penstrukturan
memungkinkan orang untuk memahami
pola- pola perilaku mereka —struktur dari
system social mereka. Penstrukturan
memberikan fondasi yang berguna untuk
mempelajari dampak yang dimiliki oleh
aturannya dan sumber daya terhadap
keputusan kelompok dan komunikasi
organisasi, selain itu penstrukturan juga
membantu menelaskan bagaimana aturan-
aturan ini diubah atau dikonfirmasi melalui
interaksi. Yang terakhir penstrukturan
bersifat komunikatif: “berbicaralah adalah
tindakan. Jika struktur benar-benar
diproduksi melalui interaksi, maka
komunikasi lebih dari sekadar pengantar
tindakan; komunikasi adalah tindakan”
(Giddens, 2010: 107).
Dalam teori strukturasi adaptif, terdapat
elemen-elemen dasar yang berperan dalam
proses penstrukturan yang saling terkait
dalam suatu sistem yang ada. Elemen-
elemen dalam penstrukturan adaptif (West
dan Turner, 2009:302 - 307), meliputi :
1. Agensi dan Refleksivitas Segala kegiatan manusia merupakan
sumber yang menciptakan serta
menciptakan kembali lingkungan sosial di
tempat kita berada. Oleh karena itu dalam
hal ini agensi dipahami sebagai perilaku
atau kegiatan tertentu yang dilakukan
manusia dan yang diarahkan oleh aturan
dan konteks di mana interaksi tersebut
terjadi. Dalam keberadaanya di suatu
perusahaan setiap individu melakukan
berbagai aktivitas serta mengalami
peristiwa yang secara tidak langsung dapat
berdampak pada keputusan yang akan
mereka ambil. Sehingga melalui hal
tersebut membuat individu mampu melihat
hal yang akan terjadi ke depan dalam
perusahaannya. Hal inilah yang merujuk
pada refleksivitas, dimana rekflesivitas
merupakan kemampuan individu untuk
memonitor tindakan-tindakan dan perilaku
mereka.
2. Dualitas Struktur
Elemen ini menjelaskan mengenai aturan
dan sumber daya yang digunakan oleh
suatu perusahaan yang menuntun individu
dalam perusahaan dalam menentukan
keputusan mengenai perilaku dan tindakan
mereka. Dalam hal ini perlu dipahami
53
perbedaan antara aturan dan sumber daya.
Aturan merujuk pada rutinitas umum yang
diikuti perusahaan atau kelompok dalam
mencapai tujuannya atau dapat juga
dikatakan mengatur hasil akhir. Sementara
sumber daya lebih merujuk kepada atribut
atau barang material yang dapat digunakan
untuk menjalankan kekuasaan dalam suatu
perusahaan. Sehingga dalam elemen ini
juga dapat dipahami bahwa orang yang
memproduksi aturan merupakan orang
yang memiliki sumber daya. Terdapat dua
tipe sumber daya yang dapat digunakan
oleh organisasi yaitu:
a. Sumber daya Alokatif Sumber daya ini
merujuk pada bantuan material yang
digunakan untuk membantu kelompok-
kelompok untuk mencapai tujuannya.
Secara sederhana dalam sumber daya ini
anggota atau individu dalam organisasi
berupaya untuk mencari bantuan material
berupa dana.
b. Sumber daya Otoritas Berbeda dengan
sumber daya alokatif, pada sumber daya ini
lebih merujuk kepada bantuan
interpersonal yang digunakan untuk
membantu kelompok dalam mencapai
tujuannya. Sehingga dapat dikatakan
bahwa dalam sumber daya ini, komunikasi
interpersonal yang dilakukan untuk
berinteraksi mampu mempengaruhi orang
lain lain untuk terlibat dalam proses
aktivitas. John French dan Bertrand Raven
(1959), dalam buku “Pengantar Teori
Komunikasi, Analisis dan Aplikasi” (West
dan Turner, 2009:304)
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif dengan jenis penelitian
deskriptif. Sedangkan pendekatan yang
digunakan adalah dengan menggunakan
pendekatan studi kasus. Metode studi kasus
mengambil kasus tertentu yang bersifat
unik dan tidak biasa.
Teknik pengumpulan data yang
dilakukan adalah dengan melakukan
Observasi Non Partisipan dan teknik
wawancara yang dilakukan adalah dengan
wawancara mendalam dengan para anggota
sosialita mahasiswi di Jakarta yang akan
dibagi ke dalam 3 Universitas di Jakarta
terutama di wilayah Selatan dan Timur.
Pada Teknik analisis data yang
dilakukan adalah dengan Double
Heremeneutics atau biasa disebut dengan
Penafsiran Ganda (Timbal balik). Teknik
ini merupakan salah satu teknik analisis
data yang digagas oleh Anthony Giddens
dalam mengungkap tentang trajektori
kehidupan kehidupan sebagai jalan tengah
dalam analisa Subjektivis dan Objektivis.
Analisis yang dilaukan yaitu dengan
Analisis Dualitas Struktur yang mencakup
Signifikansi, Legitimasi, dan Dominasi.
PEMBAHASAN
Gaya hidup mahasiswa saat ini adalah
gaya hidup kelas menengah ke atas dengan
gaya hidup yang serba modern. Percakapan
mahasiswa lebih ke masalah fashion, serta
bermacam hedonisme dan Fenomena
sosialita dikalangan mahasiswa di Jakata.
Gaya hidup hedonis sangat menarik bagi
mahasiswa terutama dengan akses
teknologi yang semakin dimudahkan
seperti halnya e commerce. Dalam gaya
hidup hedonis akan berdampak dengan
adanya kecenderungan untuk lebih
memilih hidup enak, mewah, dan serba
kecukupan tanpa harus bekerja keras, akan
tetapi bagi yang tidak mampu dan ingin
cepat seperti itu, pasti jalan pintaslah yang
akan ditempuh. Jika perilaku hedonisme
dibiarkan saja, ini akan menjadi racun bagi
dunia pendidikan, terutama pendidikan
tinggi. Oleh karena itu orang tua memiliki
peran dalam pengawasan untuk mendidik
anaknya. Serta perlu kesadaran dalam diri
mahasiswa itu sendiri.
54
Pada Signifikasi merupakan aspek meso
atau penjembatan (Bridge) di dalam relasi
sosial yang terjadi pada kelompok sosialita
bahwa komunikasi menjadi tolok ukur
utama keaktifan individu di dalam
kelompok. Dengan komunikasi menjadi
salah satu pengikat erat dalam penguatan
hubungan antar individu yang tergabung
dalam kelompok sosialita. Sehingga
terlihat dengan jelas bahwa komunikasi
bukan hanya sebagai alat dalam bahasa,
melainkan juga menjadi instrumen yang
digunakan individu di dalam anggota
komunitas masyarakat. Sehingga
komunikasi haruslah berjalan atas dasar
kepentingan.
Kontak dan komunikasi adalah cara
utama yang dilakukan para kelompok
sosilita untuk bisa saling berhubungan satu
dengan yang lainnya. Adapun para
kelompok sosialita dari ketiga kampus ini
juga memanfaatkan media sosial seperti
Whatsapp dan Line untuk bisa
berkomunikasi dan tidak dengan kontak
yang terputus. Sehingga hal ini yang
kemudian mempertahankan kelanggengan
kelompok sosialita ini bertahan.
Pola komunikasi yang digunakan dalam
kelompok sosialita para mahasiswi ini
adalah dengan pola sirkular atau pola
komunikasi yang terbentuk secara simultan
ada suatu feed back antar pembicar, namun
dalam sirkular ini tidak mengotoritaskan
salah satu orang untuk mewakili semua
atau mendominasi keseluruhan secara
tunggal. Pola ini digunakan untuk
membentuk suatu solidaritas sama rasa dan
sama rata. Namun pada dasarnya atribut-
atribut yang dimanfaatkan oleh para
kelompok sosialita ini adalah kebebasan
dari masing-masing dalam hal selera
busana, perhiasan atau aksesoris yang
dikenakan. Namun kebebasan ini tidak
semata-mata menjadi kebebasan hak yang
otonomi pada individu karena untuk
membangun suatu kompetensi hedonis
haruslah rata-rata berada pada kalangan
ekonomi menengah keatas serta tidak
menghendaki anggota bergaya sederhana
biasa karena akan mencoreng kelompok
komunitas yang sudah membangun
kelasnya sejak awal dan atas kesepakatan
bersama. Selain itu juga ada kesepakatan
yang tanpa disadar bahwa para kelompok
anggota baru ini didominasi tanpa sadar
oleh para kelompok sosialita yang lebih
dulu bediri.
Gaya komunikasi yang digunakan oleh
individu-individu yang ada di dalam
kelompok sosialita ini lebih menggunakan
gaya komunikasi yang santai, namun ada
juga yang antentif. Pada gaya komunikasi
yang santai ini, para kelompok sosialita
menggunakan gaya komunikasi yang non
formal dan tidka terbelunggu oleh aturan-
aturan baku dalam pertemanan atau suatu
hubungan khusus. Namun pemberlakuan
gaya komunikasi yang diterapkan
menggunakan atentif, yaitu adanya
individu yang ingin selalu didengar atau
berupaya mendominasi dalam berbicara.
Sehingga individdu ini ada kecenderungan
untuk menciptakan komunikasi satu arah
dan ada bentuk egosentrisme yang dialami
oleh anggota kelompok, terutama individu
yang terlihat lebih kaya dan atribut yang
dikenakan lebih mahal.
Secara tak langsung peranan individu
ini bisa menjadi opinion leader dari
kelompok tersebut atau sebagai pihak yang
paling didengar, meskipun di satu sisi tidak
menciptakan komunikasi satu arah seperti
halny majikan dan budak yang
mendominan sebagai otoritas memerintah
dalam pola komunikasi dari atas ke bawah.
Pada kelompok sosialita lebih
mengedepankan penonjolan masing-
masing nilai material individunya.
55
Sementara iklim komunikasi yang
diciptakan oleh para sosialita mahasiswi di
tiga kampus di Jakarta ini berupaya
menciptakan iklim komunikasi yang
tertutup dan tidak banyak diketahui oleh
banyak orang. Bahkan tidak sedikit dari
mereka yang cenderung untuk saling
menutupi keberadaannya diluar dari kedua
orang tuanya. Sehingga orang tuanya ketika
memberikan uang bekal atau kebutuhannya
selalu dianggapnya sebagai alasan untuk
kebutuhan kuliah atau untuk kebutuhan -
kebutuhan normatif.
Berbeda halnya bagi individu pengikut
kelompok sosialita yang memperoleh uang
dari para pria yang mengencaninya dan
menjadi wanita simpanan, meskipun tidak
sampai dinikahi dan hanya sebatas tinggal
bersama tanpa status pernikahan, biasanya
mereka hanya mendpatkan uang sebagai
imbalan dari pemuasan nafsu laki-laki yang
mengencaninya dengan alasan untuk
pemenuhan kebtuuhan hidup seperti
makan, bayar kuliah atau kebutuhan kuliah
dan lain sebagainya. Seperti halnya Lia dan
Via yang sama - sama tidak mengakui
bahwa mereka terlibat dengan kelompok
sosialita tanpa sepengetahuan
pasangannya. Sehingga kucuran dana
untuk kebutuhan gaya hidup antar individu
ini menjadi lancar. Di satu sisi dana
kucuran itu yang seharusnya untuk
memenuhi kebutuhan kuliah mereka,
dimanfaatkan untuk memenuhi gaya
hidupnya.
Pada legitimasi yaitu tekanan-tekanan
yang diharuskan oleh masing-masing
anggota dalam mengenakan atribut bernilai
tinggi. Hal tersebut sudah menjadi norma
yang berlaku di dalam kelompok sosialita
tersebut. Norma yang dibangun oleh adalah
menghilangkan segala sesuatu yang terlalu
bernilai kesederhanaan atau terlalu
mengedepankan hal-hal yang tidak bernilai
tinggi dan mengabaikan segala bentuk
kesederhaaan. Dalam hal ini haruslah
terdapat unsur ada apanya bukan apa
adanya. Dalm hal ini pergaulan dapat
dibangun bila ada kekayaan yang melekat
dalam diri anggota kelompok atau
kelompok individu itu sendiri. Sementara
itu aturan-aturan yang berlaku adalah
membentuk komunikasi yang sejalan atau
liner dan mengabaikan adanya suatu bentuk
dominasi khusus seperti halnya tidak ada
struktur organisasi atau komunitas yang
ketat.
Norma yang berlaku lain adalah tidak
menyinggung persoalan akademis, ataupun
religi (tentang keagamaan). Hal ini murni
diberlakukan untuk kepentingan duniawi
yang mengedepankan kesenangan dan
kesesuaian antar individu untuk
memperoleh kedudukan yang sama dalam
derajat kekayaan. Sehingga menerapkan
norma-norma yang berlaku dalam individu
adalah terbentuknya suatu pandangan-
pandangan yang terikat dalam aturan
materialisme yang sebenarnya aturan
tersebut tidak pernah terbesit atau dalam
benak para individu sosialita mahasiswi
perguruan tinggi ini bahwa mereka akan
terikat dan terkekang dengan aturan
tersebut. Di satu sisi, aturan-aturan berlaku
di dalam gaya hidup yang dilakukan oleh
apra kaum sosialita ini tidak tertulis
maupun tidak tersampaikan secara lisan.
Kesepatakan hanya ada dari omongan
mulut-mulut bukan sebagai suau nilai
ketetapan, melainkan sebagai prioritas
yang diharapkan dari terbentuknya
kelompok tersebut.
Bila tidak mengikuti aturan-aturan yang
tersampaikan secara simbolis (tidak
disadari oleh anggota komunitas) itu, maka
individu yang tergabung dalam kelompok
tersebut akan tersingkir dengan sendirinya
seperti tidak lagi diperhatikan atau bahkan
akan jarang diajak berbicara. Selain itu juga
kerap tidak dihubungi oleh teman-
56
temannya stau kelompok. Perlakuan ini
sebagai bentuk kekerasan simbolis yang
dilakukan oleh para anggota kelompok
tersebut, dan juga sebagai sanksi yang
diberikan kepada anggota kelompok yang
tidak mengenakan atribut-atribut mahal
atau beremerk serta tidak menunjukkan
gaya hidup hedon ketika berada di
lingkungan pertemanannya tersebut. Maka
yang ada hanyalah sanksi moral yang
diberikan dari anggota kelompoknya,
meskipun di satu sisi individu masih
dianggap oleh orang-orang yang berada
diluar kelompoknya. Sehingga hal tersebut
tidak terlalu menyakitkan bagi individu
tersebut. Para anggota kelompok sosialia
juga kerap mendapatkan sanksi moral dari
para rekan-rekannya diluar komunitas
tersebut. Terutama yang dialami oleh Lia
dan Via. Keberadaan keduanya rupana
sering mendapat stigma negatif dari teman-
temannya bahkan orang terdekatnya
sendiri.
Lingkungan pertemanannya, Lia dan
Via sudah tidak asing ditelinga teman-
teman kampusnya sebagai perempuan yang
bergaya hidup mewah dan suka cari-cari
perhatian di mata laki-laki. Hal tersebut ada
kecenderungan dari Lia terutama yang suka
pamer kekayaan di laman media sosialnya
seperti lewat Facebook atau instagram.
Bahkan Lia yang juga pengguna Line aktif
sering menampilkkan pawakan cantiknya
yang berhiaskan perhiasan di lengan,
kalung emas, dan anting-anting berlian di
telinganya. Meskipun perhiasan-perhiasan
tersebut tidak pernah dikenakannya di
kampus, namun hanya melalui postingan di
media sosial saja sudah mengundang
stigma negatif dari teman-teman
kampusnya karena Lia dan Via sendiri
tidak bisa mengontrol keinginannya untuk
memposting hal-hal yang bersifat hedonsis.
Aspek dominasi pun juga dialami oleh
para kelompok sosialita ini. Seperti halnya
keberadaan produk-produk baru dan
branding produk yang bernilai tinggi
mendorong hasrat para kaum sosialita
tersebut ingin memilikinya dan berupaya
cepat untuk membeli. Hal ini terlihat bahwa
adanya suatu kapitalisme gaya baru yang
ada pada suatu produk-produk kenamaan
untuk mendorong keinginan konsumen
untuk membelinya.
Dominasi yang dilakukan oleh para
brand-brand produk tinggi memberikan
penekanan dan kesadaran kepada para
konsumen untuk meningkatkan nilai hidup
mereka dengan menggunakan produk-
produk baru dengan branding tinggi yang
mempunyai nilai citra dan reputasi yang
tinggi. Hal ini yang kemudian terlintas
dalam pikiran para sosialita untuk mengejar
barang-berang bernilai sebagai bentuk
upaya meningkatkan rasa percaya diri
mereka. Para sosialita sneidir sebagai
konsumen pun sekedar melihat dari sisi
value nya. Sehingga disini para kaum
sosialita lebih terkena pada aspek
Heteronomi, yaitu adanya faktor eksternal
seperti keberadaan branding produk atau
maraknya suatu branded product yang
membuat para sosialita ini kemudian
membentuk suatu kelompok pemuja
barang branded tersebut dan ingin terlihat
mewah di mata orang lain.
PENUTUP
Berdasarkan analisa penelitian dan juga
pembahasan yang telah dibahas
sebelumnya, maka dalam penelitian dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Keterlibatan para kelompok sosialita di
dalam komunitas hedonis ini terjun ke
dalam kelompok sosialita dikarenakan
adanyaa suatu keinginan untuk
memperoleh pengakuan lebih dan nilai
lebih sebagai mahasiswi yang dianggap
melalui peningkatan penggunaan barang-
barang bernilai. Selain itu adanya
57
lingkungan pertemanan yang mendukung
para mahasiswi ini untuk terjun kedalam
kelompok sosialita, sehingga
pembentukan gaya hidup serta bagaimana
cara hidup para individu di dalam
kelompok sosialita dengan tidka ingin
terlihat dari kalangan menengah
kebawah, melainkan berupaya untuk
terlihat seperti sekelompok individu dari
kalangan menengah atas. Sehingga dari
sini para kelompok sosialita lebih
mengutamakan gaya hidup berlebih
ketimbang harus hidup berkecukupan
atau sederhana. Selain itu ingin adanya
suatu pengakuan di mata orang lain
lantaran lingkungan kampus yang lebih
mendukung untuk pergaulan tingkat
menengah keatas sehingga tidak ingin
dianggap lebih rendah.
2. Pandangan modernitas yang dibangun
oleh para kelompok sosialita ini lebih
mengutamakan dari segi penampilan atau
fashionnya. Agen menempatkan diri
sebagai figur yang tidak ingi terlihat
sederhana, yang dimana, menruutnya
suatu dunia sosial melihat
penampilannya. Sosialita tidak terlalu
suka menampilkan esensi penggunaan
teknologi sebagai gaya hidup prioritasnya
di depan. Menurutnya, fashion lebih
menunjukkan reputasi seorang kelas
menengah keatas. Hal ini terlihat bhawa
modernitas dalam kapasitas kapitalisme
produk yang mempau membentuk
kesadaran palsu bagi para sosialita.
Sehingga modernitas yang terbentuk
adalah pembentukan budaya konsumen
dikalangan remaja yang konsumtif
terhadap barang-barang bermerk tinggi.
3. Dualitas struktur yang terjadi pada diri
agen (Kelompok sosialita dan individu di
dalamnya) terlihat suatu pertentangan
kelompok ini di dalam struktur
masyarakat. Pertentangan di dalam
struktur dunia sosia terlihat bahwa
kelompok sosialita ini pada dasarnya
kurang begitu diterima oleh lingkungan
sosial yang masih menghendaki
keberadaan kelompok sosial yang
sederhana dan menganut norma-norma
timur yang mengedepankan nilai sopan
santun, dan kehidupan yang beretika dan
bermartabat. Selain itu bagaimana aturan-
aturan dan norma kesederhanaan yang
tidak begitu dikehendaki oleh para
sosialita karena menginginkan adanya
suatu nilai lebih yang cenderung
dipaksakan demi mendapatkan anggapan
lebih di mata orang lain, selain itu
memaksakan individu lain hidup dalam
struktur gaya hidup yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Adlin, Alfathri (ED), 2006, Menggeledah
Hasrat, Sebuah Pendekatan
Multiperspektif. Jalasutra.Jogyakarta
Chaney, David, 2003. Life Style : Sebuah
Pengantar komprehensif. Jalasutra.
Yogjakarta.
Cresswell, John W., 2017. Research
Design: Pendekatan Metode
Kualitatif, Kuantitatif, dan
Campuran, Edisi 4. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Effendy, Uchjana Onong. 2005. Dinamika
Komunikasi. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
George Herbert Mead. 1934/1962, Mind,
Self an Society: From The Stand
Point of Social Behaviorist, Chicago,
University of Chicago Press.
Giddens, Anthony. 2010. Teori Strukturasi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Giddens, Anthony. 2017. Modernitas
(Konsekuensi - Konsekuensi
Modernitas). Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
Kriesteva, Nur Sayyid Santoso, 2015,
Kapitalisme, Negara dan
Masyarakat, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Lee, Martin J., 2015. Kebudayaan
Konsumsi & Komoditas (Sebuah
58
Kajian Politik Budaya Konsumen).
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Littlejohn, Stephen W., & Karen Foss.
Teori Komunikasi (Theories Of
Human Communication). Jakarta:
Penerbit Salemba Humanika.
Mulyana, Dedy, dan Solatun. 2007. Metode
Penelitian Komunikasi. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Dedy. 2013. Metodologi
Penelitian Kualitatif: Paradigma
Baru Ilmu Kmunikasi dan Ilmu
Sosial Lainnya. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Prawironegoro darsono, 2012, Karl Marx
Ekonomi Politik dan Aksi Revolusi.
NC. Jakarta
Poespowardojo, Soejanto, 2016. Diskursus
Teori Teori Kritis.Kompas. Jakarta.
Ritzer, George. 2014. Teori Sosilogi
Modern. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Salim, Agus. 2009. Teori & Paradigma
Penelitian Sosial, Edisi Kedua.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Santoso.Listiyono. Epistemologi Kiri.
2015. Ar-Ruzz Media.
Yogyakarta.
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian
Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Suyanto, Bagong. 2017. Sosiologi Ekonomi
(Kapitalisme dan Konsumsi di Era
Masyarakat Post-Modernisme).
Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
West, Shane & Lynn H.Turner. 2008.
Pengantar Teori Komunikasi, Edisi
6. Buku 1 & 2. Jakarta: Penerbit
Salemba Humanika.
Yin, Robert K., 2004. Studi Kasus: Desain
& Metode. Jakarta: Rajawali
Press.