model oposisi partai politik di indonesia: studi...
TRANSCRIPT
MODEL OPOSISI PARTAI POLITIK DI INDONESIA:
Studi Respons Gerindra dan PKS terhadap Pemerintah
Joko Widodo-Jusuf Kalla pada Tahun 2014-2017
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Ade Prasetio
1112112000040
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
MODEL OPOSISI PARTAI POLITIK DI INDONESIA:
Studi Respons Gerindra dan PKS terhadap Pemerintah
Joko Widodo-Jusuf Kalla pada Tahun 2014-2017
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Ade Prasetio
1112112000040
Pembimbing
Dr. Chaider S. Bamualim, M.A
NIP: 196605241999031001
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
i
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
Model Oposisi Partai Politik di Indonesia:
Studi Respons Gerindra dan PKS terhadap Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf
Kalla pada Tahun 2014-2017
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 12 Desember 2017
Ade Prasetio
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Ade Prasetio
NIM : 1121112000040
Program Studi : Ilmu Politik
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
Model Oposisi Partai Politik di Indonesia: Studi Respons Gerindra dan PKS
terhadap Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla pada Tahun 2014-2017
Dan telah memenuhi persyaratan telah diujikan.
Jakarta, 12 Desember 2017
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi Pembimbing,
Dr. Iding Rasyidin, M.Si Dr. Chaider S. Bamualim, M.A
NIP. 197010132005011003 NIP. 196605241999031001
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
Model Oposisi Partai Politik di Indonesia: Studi Respons Gerindra dan PKS
terhadap Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla pada Tahun 2014-2017
Oleh
Ade Prasetio
1121112000040
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 04 Januari 2018
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial
(S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik.
Ketua, Sekretaris,
Dr. Iding Rasyidin, M.Si Suryani, M.Si
NIP. 197010132005011003 NIP. 197704242007102003
Penguji I, Penguji II,
Dr. A. Bakir Ihsan, M. Si Suryani, M.Si
NIP. 197204122003121002 NIP. 197704242007102003
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 04 Januari 2018.
Ketua Program Studi IlmuPolitik
FISIP UIN JAKARTA
Dr. Iding Rasyidin, M.Si
NIP. 197010132005011003
iv
Abstrak
Skripsi ini memusatkan analisis oposisi partai politik di Indonesia terhadap
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada tahun 2014-2017. Dalam sistem
presidensial multipartai seperti di Indonesia, partai cenderung untuk melakukan
koalisi. Hal ini memaksa sejumlah partai harus berunding dengan partai-partai
lainnya setiap menentukan arah pilihan politik. Walaupun oposisi tidak terdapatdi
dalam sebuah peraturan yang tertulis di Undang-undang pemilu, tetapi oposisi di
Indonesia ini sudah menjadi fakta politik pada kehidupan demokrasi. Sehingga
pertanyaan yang muncul dalam penelitian ini adalah bagaimana model oposisi
partai Gerindra dan PKS terhadap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada
tahun 2014-2017?
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui analisa serta
pemahaman yang mendalam. Selain itu teknik pengumpulan data dilakukan
dengan kajian kepustakaan (Library Research) dengan metode deskriptis-analitis,
wawancara (Field Research) dengan pihak-pihak yang terkait, dan melakukan
penelusuran dokumen-dokumen. Penelitian ini menggunakan pendekatan tipe
oposisi dan pola oposisi (Robert Dahl, 1998). Pembatasan periode masalah
tersebut didasarkan pada konsepsi respon Gerindra dan PKS dalam pembahasan
kebijakan pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Penelitian ini menemukan bahwa model oposisi partai politik yang terjadi
di Indonesia adalah model oposisi spesifik, yang tidak mengharuskan partai
oposisi melakukan perubahan pada tatanan sistem negara itu sendiri, tanpa
menolak rezim, para pemimpin, maupun kebijakan utama yang dikeluarkan
pemerintahan. Melainkan penolakan pada beberapa kebijakan saja. Artinya
oposisi diarahkan untuk mengoreksi kebijakan tertentu yang menjadi perhatian
publik. Dalam model ini dapat dicontohkan pada kasus RUU Pemilu dan Hak
Angket KPK.
Kata Kunci: Model Oposisi, Gerindra, PKS, Joko Widodo - Jusuf Kalla
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji serta syukur tiada henti-hentinya penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT, karena atas izin dan kuasanya penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Model Oposisi Partai Politik di Indonesia, Studi Respons
Gerindra dan PKS terhadap Pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla pada Tahun
2014-2017”. Meskipun dalam penulisannya masih jauh dari kata sempurna.
Selama proses penulisan hingga akhirnya terselesaikan skripsi ini, penulis
dipertemukan dengan orang-orang hebat yang berjasa besar selama penyusunan
skripsi ini. Oleh karena itu, atas segalanya penulis ucapkan terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Zulkifli, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Iding R Hasan, M.si selaku Ketua Prodi Ilmu Politik yang telah memberi
saran dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Suryani, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Politik yang telah
membantu dan melancarkan skripsi ini, serta memberikan motivasi penuh.
4. Dr. Chaider S. Bamualin, M.A Selaku dosen pembimbing yang telah banyak
memberikan arahan dan motivasi untuk penyelesaian skripsi ini. Terimakasih
atas doa, pengertian, waktu dan ilmunya dalam membimbing dan memotivasi
5. Dr. Bakir Ihsan, M.Si, selaku Dosen Pengajar Proposal Skripsi 2016 Prodi
Ilmu Politik, yang telah memberikan masukan dan ilmunya untuk skripsi ini.
6. Segenap Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, khususnya Prodi Ilmu
Politik yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan pembelajaran
berharganya.
7. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda alm. Suparman dan Ibunda Warsilah.
Keempat kakak penulis, Abdul Rohim, Nur Hasanah, Buchori, Ahmad
Sodikin. Juga kepada adik penulis, Muzzaky Kurniawan dan keponakan-
keponakan penulis Dimas Titan Nugroho, Diah Wulandari, Dea Ainur Putri,
Gibran. Mereka yang tiada henti mendoakan dan memberikan semangat
tenaga dan pikiran kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir skripsi
ini.
vi
8. Mardani Ali Sera anggota DPR Fraksi PKS, Fadli Zon Wakil Ketua DPR RI
Fraksi Gerindra, Dr. Lili Romli, Ferry J. Juliantoro anggota DPR RI Fraksi
Gerindra, Prof. Syamsudin Haris, Dr. Firman Noor, Dr. Djayadi Hanan,
Direktur Eksekutif SMRC, Pipin Sopian, Kepala Departemen Politik PKS,
yang telah meluangkan waktunya untuk menjadi narasumber skripsi ini.
9. Ratna Sarumpaet, yang menjadi teman diskusi yang menyenangkan, meskipun
Kak Ratna seniman dan budayawan tetapi pemahamann mengenai politik
nasional sangat membantu penulis sebagai pencerahan ide.
10. Kawan-kawan seperjuangan di Warung Semut Septian Permana, Agus Barjo,
Hafidz, Putra, Jamal, Gilang Prakoso, Ibnu Kamal Aldin, yang selalu
berdiskusi ketika terdapat kebuntuan pada penelitian.
11. Teman-teman ilmu politik angkatan 2012, Akbar Faqih MN, Renaldy Akbar,
Andre Albar Muharram, Ahmad Syahrul Fadhil, M. Naufal, Andra Remon,
Miftahussurur, Muhammad Fadly, Silmi Fatahila, Dwi Prayogo, Kholisi
Wasakhi, Syarah Annisa, Putri Nurafifah, Fajar Fachrian, Tadzkira, Denayu,
Putri Lala Tanjung, Rizki Ahmad, Abrar, Sambung dan Segenap keluarga
besar TROTOAR yang tidak bisa penulis sebutkan satu-satu yang selama ini
selalu menemani penulis selama di kampus.
12. Sahabat-sahabat PMII KOMFISIP, Imam Fitra Ramadhan, Muhammad
Faruqi, Sulton, Muhammad Rafsan Jani, Fikry Al Fajr, Ahmad Nurcholis,
Fikri Mahir Lubis, Muhammad Sutisna, Hendra, Aprilia Cena, Ronald Adam,
Kholid Syaifullah, Hakim, Khairy Fuadi, Ahmad Bun Yani, Cendy,
Faturahman, Akbar Azmi, Habibi Fahmy Amir, Ical Asnawi, Ical Marbun,
Kholid, Masayu, Sidki, Anisa Nurul Janah, Villarian, Andhika Yusmana,
Mamat, Reza, Cacing, Padlan, Cinko, Kikoy, Rikal, Randi Andita, Chusnul,
Dian, Veriska, Maco, Jaya, Adit Fitra, Ervin, Robit, Faruq, Ilham Gampang,
Bisri, Ican, Muchsin, Adnan, Edi, Firji, Sarah Syafitri, Putri Cahya Arimbi.
13. Sahabat Carman Ansori Latif, senior yang selalu rendah hati, mampu
memberikan semangat, ilmu dan pengalaman untuk adik-adiknya, pengaruh
nya sangat luar biasa untuk kader menjadi lebih baik dan mau belajar, serta
menjadi panutan penulis selama kuliah.
vii
14. Amalia Pahlawati, yang setia membantu, mendoakan dan yang terpenting
menjadi inspirasi, sehingga mendorong penulis untuk segera menyelesaikan
skripsi ini.
Demikianlah ucapan terimakasih, semoga segala bantuan dan
dukungannya mendapat balasan yang berlipat dari Allah SWT. Maka dengan ini
penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi. Semoga skripsi ini
dapat memberikan manfaat.
Jakarta, 12 Desember 2017
Ade Prasetio
viii
Daftar Isi
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME……………………………………………….i
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI……………………………………………...ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI……………………………………………iii
Abstrak……………………………………………………………………………………iv
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….v
Daftar Isi………………………………………………………………………………...viii
Daftar Tabel……………………………………………………………………………....xi
Daftar Lampiran………………………………………………………………………….xii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................................. 1
B. Pertanyaan Penelitian .................................................................................... 12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................................... 13
D. Tinjauan Pustaka ........................................................................................... 14
E. Metode Penelitian .......................................................................................... 17
F. Sistematika Penulisan .................................................................................... 18
BAB II KERANGKA TEORETIS…………………………………………....................19
A. Tipe Oposisi .................................................................................................. 19
B. Pola Oposisi ................................................................................................... 23
1. Kepaduan atau Konsentrasi .................................................................... 23
2. Daya Saing ............................................................................................ 24
3. Lokasi ..................................................................................................... 26
4. Ciri Khas ................................................................................................ 27
5. Tujuan .................................................................................................... 28
6. Strategi ................................................................................................... 30
ix
BAB III SEJARAH OPOSISI DI INDONESIA DAN KONFIGURASI
TERBENTUKNYA PARTAI OPOSISI DALAM PEMERINTAHAN JOKO
WIDODO-JUSUF KALLA………………………............................................34
A. Sejarah Oposisi Partai Politik di Indonesia ................................................... 34
1. Era Orde Lama ....................................................................................... 34
2. Era Orde Baru ........................................................................................ 37
3. Era Reformasi ........................................................................................ 41
B. Konfigurasi Terbentuknya Partai Oposisi ..................................................... 47
C. Sejarah Partai Gerindra .................................................................................. 53
D. Sejarah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ....................................................... 56
BAB IV ANALISIS RESPONS PARTAI GERINDRA DAN PKS TERHADAP
KEBIJAKAN-KEBIJAKAN PEMERINTAHAN JOKO WIDODO-JUSUF
KALLA TAHUN 2014-2017…………………………………………………..60
A. Tipologi Oposisi ............................................................................................ 60
B. Respons Gerindra dan PKS dalam Perspektif Tipe Oposisi .......................... 63
1. Oposisi Integral ...................................................................................... 63
2. Oposisi Faksional ................................................................................... 64
3. Oposisi Fundamental .............................................................................. 66
4. Oposisi Spesifik ..................................................................................... 67
a. Respons Gerindra dan PKS Terhadap Hak Angket KPK dalam Tipe
Oposisi Spesifik ................................................................................ 67
b. Respons Gerindra dan PKS Terhadap RUU Pemilu dalam Tipe
Oposisi Spesifik ................................................................................ 72
c. Respons Gerindra dan PKS Terhadap RUU Tax Amnesty Tipe
Oposisi Spesifik ................................................................................ 77
C. Respons Gerindra dan PKS dalam Pendekatan Pola Oposisi ........................ 83
1. Kepaduan (Cohesion) atau Konsentrasi (concentration) Oposisi .......... 83
2. Daya Saing Oposisi ................................................................................ 85
x
3. Lokasi Oposisi ........................................................................................ 87
4. Ciri Khas Oposisi ................................................................................... 89
a. Indikator Oposisi PKS ....................................................................... 90
b. Indikator Oposisi Gerindra ................................................................ 93
5. Tujuan-Tujuan Oposisi........................................................................... 95
6. Strategi-Strategi Oposisi ........................................................................ 97
BAB V PENUTUP………………………………………………………………………99
A. Kesimpulan .................................................................................................... 99
B. Saran ............................................................................................................ 101
Daftar Pustaka…………………………………………………………………………..102
Lampiran
xi
Daftar Tabel
Tabel II.B.1 Oposisi di Negara-Negara dengan……………………………………..26
Tabel III.A.1 Perolehan Suara dan Kursi Delapan Besar Dalam Pemilihan Umum
1999.......................................................................................................42
Tabel III.A.2 Formasi Partai Politik Pada Koalisi Pemerintahan dan Oposisi Pasca
Orde Baru………………………………………………. …………….47
Tabel III.B.1 Perolehan Suara Partai Politik yang Memenuhi dan Tidak Memenuhi
Ambang Pada Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Tahun 2014...........................................................................................51
Tabel III.B.2 Gabungan Suara Partai Pendukung untuk Pemilihan Presiden tahun
2014………………………………………………………………….. 52
Tabel III.B.3 Perolehan Suara Pemilihan Umum Presiden 2014...............................53
Tabel IV.B.1 Lima Paket Isu Krusial dalam RUU Pemilu........................................73
Tabel IV.B.2 Dua Paket Pilihan Pada Pembahasan RUU
Pemilu……………..............................................................................74
Tabel IV.C.1 Presentase Perolehan Suara Partai Politik pada Tahun 2009 dan
2014…………………………………………………………………..87
xii
Daftar Lampiran
Lampiran 1 Wawancara dengan Mardani Ali Sera anggota DPR Fraksi PKS
Lampiran II Wawancara dengan Fadli Zon Wakil Keua DPR RI Fraksi Gerindra
Lampiran III Wawancara dengan Dr. Lili Romli, Pengamat Politik LIPI
Lampiran IV Wawancara dengan Ferry J. Juliantoro anggota DPR RI Fraksi Gerindra
Lampiran V Wawancara dengan Prof. Syamsudin Haris Pusat Penelitian Politik (LIPI)
Lampiran VI Wawancara dengan Dr. Firman Noor Peneliti Pusat Penelitian Politik
Lampiran VII Wawancara dengan Djayadi Hanan, Direktur Eksekutif SMRC
Lampiran VIII Wawancara dengan Pipin Sopian, Kepala Departemen Politik PKS
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setelah fusi partai politik pada masa Orde Baru (Orba), partai politik di
Indonesia kembali menjadi saluran aspirasi untuk rakyat pada era Reformasi.
Runtuhnya pemerintahan Soeharto mengubah tatanan politik di Indonesia,
termasuk sistem kepartaiannya. Jika pada masa Orba Indonesia dikuasai oleh
pemerintahan otoritarian yang didominasi partai tunggalnya,1 maka pada era
Reformasi demokrasi rakyatlah yang menentukan nasib secara langsung dalam
memilih pemimpinnya.
Sistem multipartai disebut-sebut mampu mencerminkan keanekaragaman
aspirasi politik daripada sistem dwi-partai, apalagi sistem partai tunggal.2 Tetapi
yang perlu digaris bawahi adalah setiap penguasa biasanya berbicara tentang
kepentingan rakyat, kepentingan bangsa dan negara sebagai suatu retorika dan
kampanye politik. Maka, rakyat sebaiknya waspada, bahwa kepentingan pertama
penguasa adalah mempertahankan, memperbesar dan memperkuat kekuasaan
yang sudah dimilikinya.3
Keputusan-keputusan yang dibuat oleh pemerintah dapat menolong
maupun menyulitkan rakyat, karena itu warga negara perlu memperhatikan dan
1 Muhamadam Labolo dan Teguh Ilham, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di
Indonesia: Teori, Konsep dan Isu Strategi (Jakarta: RajaGrafindo, 2015), h. 99 2 Miriam Budiardjo, Pengantar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 2008), h. 168.
3 Ignas Kleden , Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia (Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2001), h. 4
2
berkepentingan dengan keputusan-keputusan yang dibuat oleh pemerintahannya.
Tidak jarang dalam menyatakan atau mengartikulasikan kepentingnya, rakyat
sangat berharap pada saluran atau badan-badan politik negara,4 misalnya lembaga
legislatif, partai politik, LSM, Organisasi Politik dan badan-badan politik lainnya.
Untuk memahami dinamika politik seperti itu, partai bisa berjuang di dalam atau
di luar garis pemerintahan sebagai kelompok penekan dan kontrol kepada
penguasa agar tidak lalim dalam menjalankan amanah.
Selain kekuasaan yang berada di bawah kendali negara dalam sistem
demokrasi, terdapat kekuatan lain yang cenderung berbeda pada pandangan
pemerintahan yaitu kekuatan oposisi. Dalam kehidupan politik, kehadiran
kekuatan oposisi telah menjadi dinamika dan tatanan demokrasi yang sangat
penting. Hal ini terjadi di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Australia,
Inggris, bahkan Malaysia dan pada umumnya di negara-negara demokrasi.5
Biasanya hanya kelompok yang memiliki kesadaran politik dan motivasi yang
sangat besar saja yang siap dan mampu menerima resiko untuk bergerak di luar
arena6 (oposisi).
Oposisi juga berguna dalam menjaga persaingan yang sehat diantara para
elit politik untuk berkompetisi membangun negara. Pemerintahan yang berkuasa
akan terjaga dan tentu menyadari ada pihak lain yang mengontrol dan bisa saja
4 Mohctar Mas’oed dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, (Yogyakarta:
Gadjah Mada Uneversity Press), h. 65 5
“Oposisi Anak Sah Sistem Demokrasi,” artikel diakses pada 2 Juli 2017 dari
https://nasional.sindonews.com/read/887439/18/oposisi-anak-sah-sistem-demokrasi-
1406875364/13 6 Guillermo O’Donnell dan Philippe C. Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi (Jakarta:
Pustaka LP3ES, 1993),h. 78.
3
memberikan tawaran kebijakan yang lebih baik.7
Dengan begitu oposisi
berkenaan pada sekelompok orang yang berada di luar pemerintahan yang secara
legal memiliki hak untuk menyatakan kebebasan pendapat dan melakukan
kegiatan-kegiatan, guna memberikan kritik dan kontrol atas sikap, pandangan,
ataupun kebijakan pada pemerintahan berdasarkan kenyataan yang terjadi.
Artinya, menjadi oposisi tidak saja ingin berbeda dalam menempatkan dan
memandang pemerintah secara pesimistis, lemah dan gagal,8 melainkan suatu
kondisi normal dalam sistem demokrasi. Hanya saja format oposisi lazimnya
berbeda-beda pada setiap negara karena sangat bergantung pada sistem
pemerintahan dan sistem kepartaian yang berlaku di negara tersebut.
Oposisi kerap dikaitkan dengan sistem parlementer dan tidak biasa dalam
sistem presidensial. Hal ini dipertegas oleh kebanyakan elit politik yang
menganggap oposisi bukan budaya politik Indonesia. Tak heran jika oposisi di
Indonesia masih mencerminkan watak yang akomodatif dan pragmatis, sehingga
presiden selalu dapat melakukan kompromi dengan DPR.9
Menjadi partai oposisi dalam konteks aplikasi sistem politik atau
demokrasi di Indonesia memang tidak mudah, apalagi bila sering dikatakan bahwa
oposisi tidak punya sejarahnya dalam kamus politik Indonesia.10
Partai oposisi
7 Firman Noor, “Oposisi Dalam Kehidupan Demokrasi: Arti Penting Keberadaan Oposisi
Sebagai Bagian Penguatan Demokrasi di Indonesia,” Masyarakat Indonesia, Vol 42, no. 1, (Juni
2016): h. 5. 8 Damanhuri, “Konsep Partai Oposisi dalam Sistem Pemerintahan Studi Komparatif
Hukum Islam dan Hukum Positif,” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarifhidayatullah Jakarta, 2009), h. 12. 9 Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia (Bandung: Al-
Mizan, 2014), h. 217-218. 10
Siti Zuhroh, “Dilema Oposisi Politik Partai Gerindra” artikel diakses pada 2 Agustus
2016 dari http://www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/minangwan-Seminar-Membedah-Peran-
Fraksi-Gerindra-1457429725.pdf (makalah ini sudah pernah disampaikan oleh pengamat politik
4
adalah wujud modern dari ide demokrasi, dengan kata lain dalam suatu
masyarakat, oposisi adalah suatu kenyataan di dunia modern.
Pada prinsipnya, demokrasi yang sehat diperlukan adanya check and
balance. Jika suatu kelompok itu tidak diakui, yang terjadi adalah mekanisme
saling curiga dan melihat oposisi sebagai ancaman. Ketika hal itu dibenarkan,
akan terjadi pergolakan politik yang saling menjatuhkan, sehingga mengakibatkan
timbulnya nafsu beroposisi untuk semata-mata menjatuhkan pemerintah.11
Dalam konstitusi Indonesia memang tidak secara tegas diatur tentang
koalisi dan oposisi. Namun peran oposisi dapat dilakukan di DPR, sebagaimana
peran dan fungsi legislatif. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pasca Orde Baru
mengalami perubahan yang cukup signifikan. Amandemen UUD 1945
menghasilkan format baru DPR, dimana peranan dan kewenangan DPR dapat
langsung vis a vis dengan eksekutif. Dengan begitu akan memperkuat mekanisme
pengawasan dalam mengawasi jalannya pemerintahan.12
Pada masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, Gerindra dan PKS
menjadi partai yang sejauh ini cukup konsisten dalam mengkritisi dan mengontrol
jalannya pemerintahan, setelah diketahui sejumlah partai yang mulanya ikut
tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP), akhirnya mendukung pemerintah,
seperti PPP, PAN dan Golkar. PPP misalnya, partai berlambang Ka’bah ini
memilih bergabung dengan pemerintahan karena sudah tidak dianggap ada oleh
koalisi KMP. Pasalnya dalam pemilihan pimpinan DPR dan MPR, KMP tidak
Siti Zuhroh dalam acara seminar “Membedah Amal Bhakti Sewindu Partai Gerindra” di
Pustakaloka Nusantara IV DPR RI pada 15 Febuari 2016) 11
Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 7. 12
Lili Romli, “Format Baru Dewan Perwakilan Rakyat Pasca Amandemen UUD 1945,”
Politica, V, no. 3-2 (November 2012): h. 195.
5
sedikitpun memberikan ruang untuk kader PPP menempati posisi sebagai
pimpinan lembaga tinggi tersebut.13
Di sisi lain, keluarnya PAN dari koalisi KMP tentu menjadi pertanyaan
besar bagi publik, sebab PAN merupakan partai yang mengusung Hatta Rajasa
sebagai calon Presiden 2014 yang berpasangan dengan Prabowo. Tetapi Zulkifli
beralasan bahwa perpindahan dukungan PAN kepada pemerintah ini dikarenakan
sadar dengan situasi dan kondisi bangsa saat ini, di mana situasi ekonomi semakin
berat, sehingga pemerintah perlu diperkuat untuk memberikan sinyal kepada
pelaku usaha dan investor bahwa kita kompak, solid dan kuat.14
Sementara itu, pilihan Golkar bergabung bersama pemerintahan
disebabkan karena tidak ada sejarah politik Golkar menjadi partai di luar
pemerintahan. Dengan kata lain Golkar tidak siap menjadi partai oposisi.15
Selain
itu juga karena adanya konflik internal menjelang dan berlangsungnya
Musyawarah Nasional, yakni kubu Munas Bali Abu Rizal Bakrie dengan kubu
Agung Laksono yang ditetapkan sebagai Ketua Umum hasil Munas di Jakarta.16
13
“Ini Alasan PPP Melirik Koalisi Indonesia Hebat,”artikel diakses pada 24 Oktober 2017
dari http://www.suara.com/news/2014/10/11/184659/ini-alasan-ppp-melirik-koalisi-indonesia-
hebat 14
“Bantah Dapat Jabatan, Ini Alasan PAN Dukung Pemerintahan Jokowi,” artikel diakses
pada 24 Oktober 2017 dari http://www.suara.com/news/2015/09/02/171943/bantah-dapat-jabatan-
ini-alasan-pan-dukung-pemerintahan-jokowi 15
“Mengejutkan Ternyata Ini Alasan Golkar Tinggalkan KMP,” artikel diakses pada 24
Oktober 2017 dari http://pojoksatu.id/news/berita-nasional/2016/01/28/mengejutkan-ternyata-ini-
alasan-golkar-tinggalkan-kmp/ 16
Perselisihan kepengurusan di tubuh Golkar memuncak karena perbedaan pendapat
mengenai waktu pelaksanaan Musyawarah Nasional (Munas) IX Partai Golkar.Kubu yang
berseberangan dengan Aburizal Bakrie menuding penetapan waktu munas tak demokratis dan
merupakan skenario memenangkan calon tertentu secara aklamasi.Rapat pleno penentuan waktu
Munas IX yang digelar di Kantor DPP Partai Golkar pada 24-25 November 2014 diwarnai
kericuhan.Bahkan, pada 25 November 2014, kericuhan melebar, adu jotos terjadi, dan melibatkan
dua kelompok pemuda yang mengklaim sebagai organisasi sayap Partai Golkar. Golkar pun
terbelah setelah kubu Aburizal Bakrie menyelenggarakan Munas IX di Bali pada 30 November-4
Desember 2014 dan menetapkan Aburizal Bakrie sebagai ketua umum serta Idrus Marham sebagai
6
Bentuk kekecewaan tersebut menjadi pemicu keretakan hubungan internal
partai dan kondisi KMP itu sendiri, sehingga imbasnya membawa kehancuran
pada koalisi KMP. Praktis KMP hanya menyisakan dua partai, Gerindra dan PKS.
Secara matematis, kekuatan oposisi semakin lemah di legislatif. KMP itu sendiri
merupakan koalisi partai yang berada diluar pemerintahan yang mendeklarasikan
koalisinya sebagai kekuatan peyeimbang dalam pemerintahan yang diamanatkan
kepada Presiden Joko Widodo dan wakilnya Jusuf Kalla.17
Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman mengatakan
bahwa oposisi yang digalang Koalisi Merah Putih (KMP) tetap berjalan meski
Partai Golkar telah resmi menyatakan keluar dan bergabung dengan
pemerintahan. Menurut Sohibul Iman, oposisi yang dibangunnya merupakan
komitmen bersama para anggota oposisi meski saat ini hanya berisikan Gerindra
dan PKS.18
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyouno mengatakan bahwa
partainya siap menjadi satu-satunya partai di luar pemerintahan, jika partai yang
selama ini tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) memilih mendukung
sekretaris jenderal. Sementara, kubu Agung Laksono menggelar Munas IX pada 6-8 Desember
2014 di Jakarta dan menetapkan Agung Laksono sebagai ketua umum serta Zainuddin Amali
sebagai sekretaris jenderal.Selain itu, Muladi juga menyoroti sempitnya jarak antara waktu suksesi
kepemimpinan Golkar dengan suksesi kepemimpinan nasional dan kondisi yang membuat kader
Golkar tidak siap berada di luar pemerintahan. Lihat http://nasional.kontan.co.id/news/ini-
penyebab-konflik-di-internal-golkar 17
Gia Noor Syah Putra, “Sikap Politik Koalisi Merah Putih Terhadap Kebijakan Politik
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla,” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015) h. 1. 18
“Golkar Gabung ke Pemerintah,” artikel diakses pada 24 Oktober 2017 dari
http://nasional.kompas.com/read/2016/05/17/11214021/Golkar.Gabung.ke.Pemerintah.Presiden.P
KS.Yakin.KMP.Tetap.Efektif
7
pemerintah. Arief mengatakan jika partainya tidak mempersoalkan tindakan partai
lain yang lebih memilih mendukung dan bergabung dengan pemerintahan.19
Tidak terkecuali PKS, Musyawarah IV Majelis Syuro Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) menghasilkan beberapa rekomendasi yang salah satunya adalah
menegaskan sikap partai itu sebagai oposisi atau berada di luar pemerintahan.
PKS menyatakan tetap berada dalam Koalisi Merah Putih (KMP). Dikatakan
bahwa "PKS tetap konsisten berada di luar pemerintahan dan tetap berada di
Koalisi Merah Putih (KMP)." Pengakuan tersebut dijelaskan oleh Sekretaris
Jenderal PKS Mustafa Kamal.20
Adapun kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf
Kalla mendapat respon yang keras oleh Gerindra dan PKS, serta terdapat
perdebatan pro dan kontra ditengah masyarakat. Setidaknya ada dua kebijakan
pemerintah yang dianalisa, yaitu Tax Amnesty dan RUU Pemilu. Khusus untuk
Hak Angket KPK penulis juga memasukannya dalam studi ini, walaupun Hak
Angket KPK merupakan usulan DPR RI, dalam hal ini penulis ingin melihat
respon Gerindra dan PKS sebagai partai oposisi di dalam Parlemen.
Pertama, kebijakan pemerintah untuk menghapuskan pajak atau
pengampunan pajak, atau yang dikenal dengan Tax Amnesty. Dalam pidatonya
saat sosialisasi Amnesti Pajak, Presiden Jokowi menyatakan, jumlah kekayaan
WNI di luar negeri mencapai Rp 11.000 Triliun. Jumlah kekayaan WNI di luar
19
“Gerindra: Kami Siap Jadi Oposisi Tunggal!,” artikel diakses pada 9 April 2015 dari
http://nasional.kompas.com/read/2016/01/08/18192991/Gerindra.Kami.Siap.Jadi.Oposisi.Tunggal 20
“PKS Tegaskan Sikap Oposisi,” artikel diakses 14 Maret 2017 dari
http://www.republika.co.id/berita/koran/politik-koran/16/05/24/o7oh872-pks-tegaskan-sikap-
oposisi
8
negeri ternyata lebih dari belanja negera pada 2016 yang ditetapkan sekitar Rp
2.095,7 Triliun. Untuk merealisasikan proyek infrastruktur, Indonesia
membutuhkan dana sekitar Rp 4.800 Triliun hingga 2019.
Dengan jumlah tersebut, APBN belum bisa mencukupi. Untuk itu,
pemerintah merancang strategi melalui Undang-undang Tahun 2016 tentang
Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty. Program amnesti pajak ini terbuka untuk
orang pribadi atau badan yang telah terdaftar, terkeculi bagi wajib pajak yang
tengah menjalani proses penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan
oleh kejaksaan dalam proses peradilan atau menjalani hukuman pidana atas tindak
pidana perpajakan.21
Berbagai spekulasi terus mencuat untuk menebak bagaimana hasil akhir
yang diterima, yang saat ini Tax Amnesty sudah diterapkan.22
Hal ini tentu
berkaitan dengan persoalan ekonomi politik, yaitu sebagai suatu unsur atau
elemen yang menjadi alat dari ekonomi dan rasionalisasi kekuatan politik dalam
melaksanakan rencana-rencana aplikasi ekonomi untuk mencapai sasaran yang
dikehendaki.23
Presiden PKS Sohibul Iman mengatakan pihaknya sangat terganggu
dengan RUU Tax Amnesty, dan berupaya untuk menolaknya. Hal tersebut
dipertegas oleh Wakil Ketua Fraksi PKS Ecky Awal Mucharam mengatakan
21
“Implementasi “Tax Amnesty” untuk Pembangunan Nasional,” Kompas, 16 Agustus
2016, h. 10. 22
“Mengapa Harus Tax Amnesty?,” artikel ini diakses pada 21 Agustus 2016 dari
http://nasional.sindonews.com/read/1105641/18/mengapa-harus-tax-amnesty-1462184213/3 23
Yanuar Ikbar, Ekonomi Politik International – Konsep & Teori (Jilid 1) (Bandung:
Refika Aditama, 2006), h. 25
9
bahwa Fraksinya keberatan untuk menerima dan menyetujui RUU tersebut jika
masih ada pasal-pasal bermasalah tersebut.24
Selain itu, Heri Gunawan dari komisi XI DPR RI Fraksi Gerindra, dengan
melihat pertumbuhan ekonomi pada kwartal pertama 2016 hanya sebesar 4,29 %.
Artinya kinerja pemerintahan sangat mengkhawatirkan bagi perekonomian
negara. Capaian itu sangat jauh dari target yang ditetapkan pemerintah dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2014-2019 yang
menjajikan pertumbuhan ekonomi mampu mencapai 7% per tahun.25
Dengan
begitu Heri Gunawan mewakili partainya ikut mendukung Tax Amnesty untuk
diundang-undangkan, walaupun dengan beberapa catatan, yakni:
Meminta kepada pemerintah untuk bekerja keras sehingga program
Tax Amnesty yang diperkirakan oleh Pemerintah akan
menghasilkan tambahan penerimaan negara terbukti.
Gerindra meminta agar RUU Tax Amnesty jika disahkan menjadi
UU merupakan yang terakhir bagi bangsa Indonesia, sehingga
dikemudian hari tidak akan ada lagi program Tax Amnesty.26
Kedua, kebijakan mengenai Rancangan Undang-Undang Pemilu atau
RUU Pemilu. Kebijakan ini merupakan isu yang cukup menarik perhatian publik
24
“Mayoritas Fraksi di DPR Menerima, PKS Tak Rubah Sikap Tolak Tax Amnesty,”
artikel ini diakses pada 15 Maret 2017 dari http://publik-news.com/mayoritas-fraksi-di-dpr-
menerima-pks-tak-rubah-sikap-tolak-tax-amnesty/
25Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2-15-2019. 2014. 26
“Setuju Pengesahan, Gerindra Tetap Menganggap Undang-undang Tax Amnesty Akan
Jadi Masalah,” artikel diakses pada 21 Agustus 2016 dari
http://sinarkeadilan.com/2016/06/28/setujui-pengesahan-gerindra-tetap-mengganggap-undang-
undang-tax-amnesty-jadi-masalah/
10
pada tahun 2017, sebab RUU Pemilu menyangkut hajat hidup warga negara. Hal
ini dibuktikan dengan banyaknya waktu pembahasan yang memakan banyak
waktu karena jadwal yang seringkali mundur, sehingga menyebabkan rapat tidak
mengalami perkembangan. Berikut lima isu krusial dalam RUU Pemilu, yaitu:
Sistem pemilu anggota DPR dan DPRD
Jumlah kursi anggota DPR
Metode konversi suara ke kursi
Ambang batas parlemen
Ambang batas pencalonan Presiden
Di antara kelima isu krusial tersebut, terdapat satu isu yang menjadi
hambatan besar bagi jalannya rapat di Parlemen, yaitu pembahasan ambang batas
pencalonan presiden. Pemerintah bersikeras tidak mau mengubah ambang batas,
yakni 20 persen kursi atau 25 persen suara sah nasional. Sehingga kebuntuan yang
terjadi selama rapat dilakukan melalui lobi-lobi politik oleh seluruh partai.27
Sementara partai oposisi, Gerindra dan PKS, justru mendapatkan
dukungan oleh koalisi partai pemerintahan, semisal PPP, PAN, PKB, dan Hanura
yang menginginkan besaran presidential threshold diturukan kisaran angka 10-15
persen. Muhammad Qodari, Direktur Eksekutif Indo Barometer, menganggap
27
”Pembahasan RUU Pemilu Berujung Deadlock,” artikel diakses pada 3 Juli 2017 dari
http://nasional.kompas.com/read/2017/03/30/09054211/pembahasan.5.isu.krusial.di.ruu.yang.beruj
ung.deadlock.?page=all
11
dinamika ini adalah kewajaran. Baginya, besaran PT sangat mempengaruhi
konstelasi politik dalam pemilu yang akan datang.28
Ketiga, kebijakan mengenai hak angket terhadap KPK. Walaupun ini
bukan kebijakan pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, tetapi perdebatan
mengenai hak angket anggota dewan terkait angket KPK sampai saat ini masih
saja menuai kontroversi. Pasalnya Hak Angket oleh sebagian masyarakat tidak
dianggap penting. Justru terkesan politisdan dianggap dapat melemahkan lembaga
anti korupsi tersebut. Pembentukan pansus hak angket KPK dinilai mengancam
independensi institusi KPK.29
Sekalipun Hak Angket merupakan hak Dewan
Perwakilan Rakyat untuk mengadakan penyelidikan sebagaimana tertulis di dalam
undang-undang.30
Menyikapi hal tersebut, partai Gerindra menyatakan dengan tegas menolak
usulan terkait Hak Angket untuk KPK. Wakil Ketua Dewan Pembina Partai
Gerindra, Hashim Djojohadikusumo, mengatakan bahwa instruksi ini sesuai
arahan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto.31
Senada dengan Gerindra, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Jazuli
Juwaini, mempunyai pandangan yang sama. Baginya, pengajuan Hak Angket
28
“RUU Pemilu Tersandera Presidential Treshold,” artikel diakses pada 3 Juli 2017 dari
http://nasional.kompas.com/read/2017/06/20/12261531/ruu.pemilu.tersandera.presidential.threshol
d.
29“Pansus Angket Dinilai Kental Nuansa Pelemahan KPK,” artikel diakses pada 31
Oktober 2017 dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170910210650-12-240792/pansus-
angket-dinilai-kental-dengan-nuansa-pelemahan-kpk/ 30
“Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 6 Tahun 1954 Tentang Penetapan Hak
Angket Dewan Perwakilan Rakyat,” kitab Undang-Undang ini diakses pada 3 Juli 2017 dari
ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/In/1954/uu6-1954.pdf 31
“Gerindra Tolak Hak Angket KPK,” artikel diakses pada 3 Juli 2017 dari
m.kontan.co.id/news/gerindra-tolak-hak-angket-kpk
12
akan mengganggu dan menghambat kinerja KPK dalam penanganan kasus
korupsi. Dengan begitu, Jazuli menyatakan bahwa Fraksi PKS memututuskan
menolak dan tidak ikut menandatangani hak angket, karena dapat mengganggu
KPK dalam meneggakan hukum.32
Dengan demikian, sebagaimana fungsi partai politik, partai oposisi juga
berfungsi untuk mengkritik pemerintah dan mengontrolnya secara konstruktif.
Tanpa oposisi, pemerintah akan cenderung puas dan kesulitan mencari alternatif.33
Pembahasan mengenai oposisi di Indonesia masih cukup minim, maka
berdasarkan uraian diatas penulis melakukan penelitian mengenai: “MODEL
OPOSISI PARTAI POLITIK DI INDONESIA: Respons Gerindra dan PKS
terhadap Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada Tahun 2014-2017”
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pernyataan dan pembatasan masalah yang telah diuraikan di
atas, berikut adalah pertanyaan penelitian, yaitu:
“Bagaimana model oposisi partai Gerindra dan PKS terhadap
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada tahun 2014-2017?”
32
“PKS dan Gerindra Tolak Hak Angket Terhadap KPK,” artikel diakses pada 3 Juli
2017 dari https://nasional.tempo.co/read/news/2017/04/28/078870355/pks-dan-gerindra-tolak-hak-
angket-terhadap-kpk
33 Ridho, Imawan Hanafi, ”Koalisi Parpol Oposisi” Kompas, 11 Februari 2016, h. 7.
13
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menambah dan memperkaya studi oposisi di
Indonesia, khususnya partai Gerindra dan PKS. Namun secara khusus penelitian
ini memiliki beberapa tujaun diantaranya;
Mendeskripsikan dan menganalisis model oposisi partai politik di
Indonesia, sebagaimana yang sudah dijelaskan di dalam pernyataan
penelitian.
Menjelaskan dan menganalisis respons Gerindra dan PKS sebagai
partai oposisi terhadap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla
dalam pembahasan RUU Pemilu dan Hak Angket KPK dan RUU
Tax Amnesty.
Selain itu, dalam setiap penelitian terdapat manfaat yang utama seperti
manfaat teoretis dan manfaat praktis. Tak terkecuali dalam penelitian ini, yaitu:
Manfaat teoretis. Dalam penelitian ini, penulis berusaha menguji
sejauh mana potensi oposisi terjadi pada partai Gerindra dalam
merespon kebijakan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Sehingga penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya perdebatan
tersebut dalam kasus politik di Indoensia. Selain itu studi tentang
oposisi banyak merujuk pada fenomena politik Islam, sehingga
penelitian ini sangat bermanfaat untuk mengisi kekosongan studi
tentang model oposisi parati politik di Indonesia.
14
Manfaat Praktis. Dengan penelitian ini penulis berharap, penelitian
ini bisa menjadi rujukan bagi siapapun yang tertarik dengan studi
terkait partai politik pada umumnya dan studi tentang oposisi pada
khususnya.
D. Tinjauan Pustaka
Secara teoretis, kajian mengenai model oposisi partai politik dalam
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla belum pernah dilakukan. Adapun karya
ilmiah, buku, dan laporan hasil penelitian mengenai oposisi kebanyakan penelitian
terkait oposisi Islam. Namun penelitian tentang model oposisi, terlebih secara
khusus tentang model oposisi partai politik dan respons partai Gerindra dan PKS
terhadap pembahasan Revisi Undang-undang Pemilu, Hak Angket KPK dan
Undang-undang Tax Amnesty tahun 2016 dalam pemerintahan Joko Widodo-
Jusuf Kalla, belum dilakukan. Namun ada beberapa karya tulis ilmiah yang
sengaja penulis jadikan rujukan, agar tidak terjadi kekeliruan dalam penelitian.
Sirojuddin, mahasiswa Fakultas Ushuludin dan Filsafat Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Dalam skripsinya dengan judul “Faktor
Penyebab PDI-P Mengambil Posisi Oposisi Terhadap Pemerintahan SBY-JK”,
membahas tentang PDI-P partai pengusung Megawati yang mencalonkan diri
sebagai presiden dan kalah dalam pemilihan umum presiden. Kekalahan tersebut
menjadikan PDI-P mengambil sikap sebagai partai oposisi. Hal tersebut
dipertegas ketika PDI-P mengadakan kongres ke II di Bali tepatnya 28-31 Maret
2005. Sirojuddin, menjelaskan bahwa oposisi yang dilakukan oleh PDI P terhadap
Presiden SBY karena masalah individu sang tokoh politik. Sementara penulis,
15
menjelaskan model oposisi partai Gerindra dan PKS terhadap Joko Widodo-Jusuf
Kalla terhadap kebijakan-kebijakannya.
Gia Noor Syah Putra, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2015. Ia menulis tentang oposisi
terhadap pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan judul “Sikap Politik
Koalisi Merah Putih Terhadap Kebijakan Politik Pemerintahan Joko Widodo-
Jusuf Kalla”. Dalam skripsi ini dijelaskan bagaimana Koalisi Merah Putih (KMP)
dalam menyikapi kebijakan-kebijakan politik pemerintah Joko Widodo-Jusuf
Kalla sebagai suatu sikap politik koalisi oposisi. Adapun sikap politik KMP dapat
terbagi menjadi dua, yaitu menolak dan mendukung kebijakan pemerintah. KMP
menolak kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi, penundaan pelantikan
Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri, Perpres Nomer 39 Tahun 2015, dan
pencabutan subsidi bahan bakar minyak yang dianggap tidak berpihak kepada
rakyat dan jauh dari nilai-nilai keadilan. Sementara itu, dukungan KMP terhadap
pemerintah adalah mengenai eksekusi terpidana mati narkoba. Berbeda dari Gia,
penulis akan menganalisis kebijakan Tax Amnesty, Hak Angket KPK dan RUU
Pemilu. Sehingga sudah bukan lagi membahas KMP melainkan, oposisi partai
Gerindra dan PKS.
Firman Noor, pengamat politik sekaligus peneliti LIPI pada tahun 2014,
menulis “Oposisi Dalam Kehidupan Demokrasi: Arti Penting Keberadaan
Oposisi Sebagai Bagian Penguatan Demokrasi di Indonesia”. Dalam Jurnal yang
ditulisnya ini, Firman Noor tidak secara dalam membahas mengenai peran partai
politik sebagai oposisi, tetapi menjelaskan oposisi itu sendiri sebagai bagian
16
dalam kehidupan proses demokrasi, artinya oposisi pada suatu pemerintahan
dianggap penting sebagai kontrol yang efektik. Baginya, dalam realita politik
pengakuan dan pelaksanaan demokrasi di suatu negara tidak akan banyak berarti
jika pemerintah yang ada berjalan tanpa pengimbang.34
Suryani, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Pasca
Sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia 2005. Ia menulis “Oposisi di
Indonesia: Studi Tentang Partai Rakyat Demokratik Pada Masa Orde Baru
(1996-1998)”. Dalam tesis ini Suryani menjelaskan fenomena Partai Rakyat
Demokratik pada masa Orde Baru yaitu antara tahun 1996-1998. Penelitian
tersebut menganalisis faktor-faktor yang memberikan stimulus dan kekuatan bagi
gerakan oposisi yang dilakukan oleh PRD.
Penelitian yang terkait lainnya, adalah Djayadi Hanan dalam disertasi
doktoralnya di Departemen Ilmu Politik di The Ohio State University (OSU) yang
berjudul “Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia”. Studi tersebut
menelaah fenomena relasi eksekutif-legislatif dalam sebuah sistem presidensial
multipartai. Hanan menjelaskan soal presidensial dan koalisi serta oposisi. Dalam
buku tersebut Hanan menjelaskan bahwa keberadaan oposisi dalam sistem
presidensial ini sebagai sebuah keniscayaan karena sistem partai yang
terfragmentasi dan desakan akan hubungan yang lebih seimbang antara lembaga
eksekutif dan legislatif.35
34
Firman Noor, “Oposisi Dalam Kehidupan Demokrasi: Arti Penting Keberadaan Oposisi
Sebagai Bagian Penguatan Demokrasi di Indonesia,” Masyarakat Indonesia, Vol 42, no. 1, (Juni
2016): h. 1. 35
Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia, h. 217.
17
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam menyusun penelitian ini adalah
kajian kepustakaan (Library Research) dengan metode deskriptis-analitis, yaitu
dengan mengumpulkan informasi melalui studi kepustakaan, dokumen terkait,
artikel atau majalah dan menverifikasi data-data yang sesuai dengan skripsi ini.
Selain itu penulis juga melakukan wawancara (Field Research) dengan pihak-
pihak yang terkait dengan pembahasan ini.
Data-data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini bersifat primer
dan bersifat sekunder. Data primer meliputi sumber-sumber yang digunakan
sebagai rujukan utama dalam penelitian yang langsung berhubungan dengan objek
penelitian yaitu melalui wawancara dengan praktisi partai baik dari Gerindra
ataupun PKS, wawancara dengan sejumlah pengamat politik, diskusi dengan
tokoh politik yang terkait dengan penelitian, baik di internal partai Gerindra dan
PKS atau di luar partai tersebut, media massa seperti Kompas, Rakyat Merdeka
Online, memoir politik dan internet (website resmi partai Gerindra dan PKS).
Sedangkan data sekunder berupa bahan bacaan dan karya penelitian seperti
buku, jurnal, laporan penelitian, majalah, koran, media elektronik, dan lain
sebagainya. Sementara untuk pedoman penulisan skripsi, mengacu pada pedoman
penulisan proposal, yaitu Buku Panduan Penyusunan Proposal & Penulisan
Skripsi yang diterbitkan oleh FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
18
F. Sistematika Penulisan
Untuk dapat memberikan gambaran yang menyeluruh dan memudahkan
untuk menelaah skripsi ini, maka penulis membagi skrips ini kedalam beberapa
bab berikut ini:
Bab I Pendahuluan: Terdiri dari pernyataan masalah, pertanyaan
penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode
penelitian, sistematika penelitian, dan daftar pustaka.
Bab II Teori Oposisi: Menjelaskan kerangka teoritis, tipe oposisi,
pola oposisi
Bab III Konfigurasi Terbentuknya Partai Oposisi Dalam
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla: Menjelaskan tentang
sejarah oposisi di Indonesia mulai dari Orde lama, Orde baru,
Reformasi dan sekarang, menjelaskan pembentukan partai
Gerindra dan PKS, peran Gerindra maupun PKS dalam pemilu
2009 dan 2014, dan konfigurasi pencalonan Prabowo sebagai
presiden pada pemilihan umum presiden 2014.
Bab IV Analisis Masalah Penelitian: Pada bagian ini lebih
mengekplorasi dan menganalisa respons Gerindra dan PKS
terhadap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla 2014-2017, selain
itu juga membahas mengenai model oposisi partai politik di
Indonesia.
Bab V Penutup: Kesimpulan dan saran
19
BAB II
KERANGKA TEORI
Oposisi tidak hanya untuk satu sistem pemerintahan saja, melainkan juga
oposisi dapat berperan di dalam sistem pemerintahan parlementer dan sistem
pemerintahan presidensial. Karenanya dalam bab ini penulis akan menjelaskan
hal-hal yang berhubungan dengan oposisi, sebagaimana teori model-model
oposisi, sehingga memudahkan penulis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
penelitian dalam studi ini.
Istilah oposisi telah menjadi bagian dalam wacana politik di Indonesia
sejak dimulainya era presidensialisme multipartai. Tetapi istilah ini tampaknya
dipahami secara beragam. Sebagian pengamat politik sering menghubungkan
oposisi dengan sistem parlementer sehingga menganggapnya asing bagi sistem
presidensial. Adapun secara teori sistem presidensial tidak mengenal oposisi,
tetapi apabila semua berada di dalam pemerintahan, bagaimana bisa berharap ada
check and balance antara pemerintah dan legislatif.36
A. Tipe Oposisi
Pada prosesnya, oposisi dalam kekuatan yang besar seperti partai politik di
dalam sebuah negara tentu memiliki ciri khas. Ciri khas berfungsi untuk
menampilkan identitas partai sebagai representatif pilihan rakyat, terutama untuk
negara yang menganut sistem multi partai. Dalam sistem kepartaian, partai oposisi
36
Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia, h. 217-221.
20
diakui secara eksistensinya dalam dunia politik. Salah satu rumus dasar sistem
politik demokrasi adalah adanya kekuatan oposisi yang berfungsi melakukan
kritik, kontrol, koreksi dan sekaligus sebagai kekuatan penyeimbang bagi
pemerintah yang sedang berkuasa.
Kekosongan kekuatan oposisi dipercaya sebagai salah satu jalan bagi
munculnya pemerintahan otoritarian, yakni pemerintahan yang bekerja atas
kemauannya sendiri, tanpa bisa dikoreksi, meskipun keliru. Artinya, sistem politik
demokrasi yang mengecualikan oposisi justru akan menjadi ancaman bagi
demokrasi itu sendiri.37
Keberadaan partai-partai yang menamakan diri sebagai
oposisi adalah titik harapan baru untuk masa depan demokrasi dan sistem
pembuatan kebijakan di Indonesia.
Walaupun secara internal partai-partai tersebut masih memiliki beberapa
persoalan yang berhubungan dengan posisi mereka dalam oposisi dan koalisi,
tetapi paling tidak hal tersebut sangat positif sebagai pendidikan politik bagi
masyarakat secara umum dan bagi para praktisi politik secara lebih khusus.38
Jadi
bila ditinjau peranan check and balance-nya, oposisi bukanlah sesuatu yang
mengkhawatirkan, oposisi justru dapat berperan untuk menjaga kelanggengan
penyelenggaraan demokrasi. Oposisi kerap diartikan sebagai kekuatan yang
37
“Membangun Oposisi Demokratik,” diakses pada 9 0ktober 2017 dari
http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=7052&coid=3&caid=22&gid=3
38Haniah Hanafi dan Suryani, Politik Indonesia (Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2011), h. 170-175.
21
menentang setiap kebijakan, padahal mampu berfungsi untuk mengontrol
kebijakan yang dianggap keliru.39
Jika partai Gerindra dan PKS merupakan pihak atau partai oposisi
terhadap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, maka pertanyaan selanjutnya
adalah tipe atau model oposisi apakah yang mereka adopsi? Beberapa ahli telah
melakukan studi mengenai tipe atau model oposisi. Menurut Skilling Gordon, ada
perbedaan yang penting antara rezim komunis dengan rezim demokratis.
Perbedaan itu adalah bahwa di negara dengan rezim komunis tidak dimungkinkan
kehadiran oposisi yang terlembaga yang dijamin oleh kebiasaan politiknya.40
Terhitung mulai masa pemerintahan Soekarno sampai pemerintahan
Jokowi, terdapat beberapa tipe oposisi yang dimaksud oleh Skilling dalam Lenny
Puspadewi, yaitu;
1. Oposisi Integral: dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
integral adalah sesuatu hal mengenai keseluruhannya, artinya
meliputi seluruh bagian yang perlu untuk menjadikan lengkap atau
utuh.41
Dengan demikian oposisi integral adalah oposisi yang
ditujukan kepada sistem (semisal, anti komunis atau khilafah) atau
negara secara keseluruhan.
39
Zaenuddin, HM, Prospek Gerakan Oposisi; Dalam Era Pemerintahan Gus Dur-
Megawati, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 2. 40
Lenny Puspadewi, “Oposisi di Indonesia: Studi Kasus Gerakan Mahasiswa 1998 di
Jakarta,” h. 18. 41
“Arti Kata “Integral” Menurut KBBI,” diakses pada 2 November 2017
darihttp://kbbi.co.id/arti-kata/integral
22
2. Oposisi Faksional: oposisi yang ditujukan kepada para pemimpin
secara individu bukan rezim atau sistem secara keseluruhan yang
sedang berkuasa.42
Faksional berasal dari kata faksi, yaitu
kelompok di dalam suatu partai politik, yang anggotanya para
politisi yang mencoba menonjolkan diri dengan cara-cara
oportunistis atau dengan cara mendorong perpecahan di dalam
partai politiknya, bahkan di dalam negara secara keseluruhan.43
3. Oposisi Fundamental: oposisi atau kritikan kepada seluruh
rangkaian kebijakan kunci dari rezim yang berkuasa, tetapi tidak
menolak sistem itu sendiri.44
Kebijakan utama dari rezim Joko
Widodo-Jusuf Kalla adalah Nawacita. Implementasi kebijakan
tersebut tertuang dalam sembilan point yang menjadi prioritas
Presiden dalam menjalankan masa jabatannya.45
4. Oposisi Spesifik: oposisi yang ditujukan kepada kebijakan-
kebijakan tertentu (yang merupakan bagian dari kebijakan umum)
tanpa menolak sistem negara, rezim, para pemimpin, maupun
kebijakan umum (besar) yang dikeluarkan pemerintahan.46
42
Lenny Puspadewi, “ Oposisi di Indonesia: Studi Kasus Gerakan Mahasiswa 1998 di
Jakarta,” h. 19. 43
“Arti Kata “Faksi” Menurut KBBI,” diakses pada 2 November 2017 dari
https://kbbi.web.id/faksi 44
Lenny Puspadewi, “ Oposisi di Indonesia: Studi Kasus Gerakan Mahasiswa 1998 di
Jakarta,” h. 19. 45
“Nawacita 9 Program Prioritas,” diakses pada 2 November 2017 dari
http://www.urbanindonesia.com/2014/09/nawa-cita-9-program-prioritas.html 46
Lenny Puspadewi, “ Oposisi di Indonesia: Studi Kasus Gerakan Mahasiswa 1998 di
Jakarta,” h. 19.
23
Dilihat dari fakta politik yang ada, partai Gerindra dan PKS dapat dikelompokkan
ke dalam kategori tipe Oposisi Spesifik, yakni dengan indikasi ketika Gerindra
dan PKS menolak hingga walkout pada pembahasan RUU Pemilu dan Hak
Angket KPK. Baik Gerindra dan PKS tidak mengadopsi model oposisi yang
dijelaskan oleh Skilling, selain oposisi spesifik, yakni pada kebijakan RUU
Pemilu dan Hak Angket KPK.
B. Pola Oposisi
Seperti diungkapkan oleh Robert Dahl, oposisi memiliki pola yang bisa
dijadikan panduan dalam menggerakan kekuatannya, untuk mencari suatu cara
yang berguna untuk mengklasifikasikan berbagai pola oposisi, sekiranya tertuang
dalam enam hal:
1. Kepaduan (cohesion) atau konsentrasi (concentracion)
2. Daya Saing Oposisi
3. Lokasi Oposisi
4. Ciri Khas Oposisi
5. Tujuan-Tujuan Oposisi
6. Strategi-Strategi Oposisi47
1. Kepaduan atau Konsentrasi
Sering dijumpai dibeberapa negara demokratis, bahwa orang yang secara
aktif beroposisi pernah terkonsentrasi dalam satu wadah yaitu organisasi atau
47
Robert A. Dahl, Berbagai Pola Oposisi, dalam buku Partisipasi dan Partai Politik,
Miriam Budiardjo (penyunting), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), h. 122.
24
partai politik. Sebab, partai politik adalah manifestasi yang paling nyata dan
bentuk oposisi yang paling efektif dalam sebuah negara demokratis. Bentuk
khusus inilah yang kemudian menjadi perhatian utama dalam penelitian ini. Tetapi
sampai ke mana oposisi ini terkonsentrasi tergantung kepada sistem partai yang
terdapat disuatu negara.di beberapa negara-negara demokrasi, sebagian oposisi
berbentuk kelompok dalam partai. Tetapi konsentrasi paling tinggi kadarnya
terdapat pada sistem dwipartai, di mana partai yang tidak berkuasa secara nyata
memonopoli kalangan oposisi.
Dalam sistem oposisi seperti di Indonesia, oposisi tersebar di antara
beberapa partai politik. Dengan demikian, sistem multipartai sebagai cara yang
wajar bagi pemerintah dan oposisi untuk mengatur konflik yang terjadi. Sejauh
suatu oposisi memperhitungkan sistem partai dalam memilih strategi, sistem
partai yang berbeda-beda haruslah dihubungkan dengan strategi yang berbeda-
beda pula.48
2. Daya Saing Oposisi
Sifat bersaing yang dimaksud bukanlah orientasi psikologis para pelaku
politik, melainkan caranya keuntungan dan kerugian para lawan politik dalam
pemilihan umum dan perolehan kursi di Parlemen yang saling dihubungkan satu
sama lain.49
Secara emperis harus dipahami, bahwa kekuasaan eksekutif itu
cenderung berpotensi menjadi birokratis, dan tanpa pengawalan sebuah kekuatan
48
Robert A. Dahl, Berbagai Pola Oposisi, dalam buku Partisipasi dan Partai Politik,
Miriam Budiardjo (penyunting), h. 122-127. 49
Dua partai yang dimaksud oleh Robert Dahl merupakan antara partai penguasa atau
pemerintahan dengan partai oposisi. Analogi ini yang yang kemudian ia gambarkan dalam sebuah
konsep permainan.
25
oposisi akancenderung menjadi stagnan.50
Tetapi keberadaan partai politik yang
menjadi bagian koalisi di dalam pemerintahan tentuakan memudahkan partai
tersebut memperoleh akses sumber daya politik dan ekonomi sebagai sumber
pembiayaan partai. Sumber daya di sini salah satunya bisa dimaknai berupa akses
terhadap sumber daya politik maupun finansial yang bisa diperoleh dengan
memiliki pengaruh dan peranan dikekuasaan.
Dalam badan legislatif, misalnya pemberian suara mengenai kebijakan
penting biasanya akan bersifat bersaing, antara partai oposisi dengan partai
pemerintahan. Contohnya, rencana undang-undang mengenai masalah pokok,
anggaran belanja, dan sebagainya. Dalam sistem multipartai persaingan ketat,
kecil kemungkinan akan terjadi, pada hakikatnya kecuali dalam keadaan di mana
satu partai sanggup membentuk mayoritas secara sendirian, sesungguhnya tidak
mungkin terjadi persaingan ketat.
Dengan demikian daya saing oposisi dalam pengertian yang dipergunakan
di sini untuk sebagian besarnya, walaupun bukan untuk seluruhnya tergantung
kepada jumlah dan sifat dasar partai yaitu seberapa jauh oposisi itu terkonsentrasi.
Melalui bermacam-macam sistem di mana strategi oposisi bersifat kerja sama dan
bersifat persaingan, sampai kepada sistem di mana partai minoritas yang biasanya
merupakan oposisi bergabung dengan partai mayoritas, baik dalam wilayah
eksekutif maupun legislatif.
50
“Peran Oposisi Dalam Demokrasi ,” artikel diakses pada 3 September 2017 dari
http://www.kabarhukum.com/2016/01/27/peran-oposisi-dalam-demokrasi/
26
Tabel II.B.1
Oposisi di Negara-Negara dengan
Sistem Dwi Partai dan Multipartai
Sistem Partai Eksekutif Legislatif Contoh
Dwi Partai Selalu bersifat
bersaing
Kerja sama dan bersifat
bersaing
Amerika
Serikat
Multipartai Kerja sama dan
bersifat bersaing
Kerja sama dan bersifat
bersaing
Italia,
Indonesia,
Perancis
Sumber: Diolah dari Robert Dahl, Berbagai Pola Oposisi dalam “Partisipasi dan
Partai Politik”
3. Lokasi
Karena oposisi mencoba mengadakan perubahan dalam tingkah laku
pemerintah, maka ia akan mempergunakan beberapa sumber daya politiknya
untuk mengajak, mendorong, atau memaksa pemerintah untuk mengubah
tindakannya. Situasi atau keadaan di mana oposisi mempergunakan sumber
dayanya untuk mengadakan suatu perubahan dapat dinamakan lokasi pertarungan
antara oposisi dan pemerintah.
Pentingnya masing-masing lokasi pertarungan ini berbeda dari satu sistem
ke sistem yang lain. Pada beberapa sistem, satu lokasi secara relatif dapat
dikatakan amat menentukan. Kemenangan dalam pertarungan di situ cukup
memperbesar kemungkinan mencapai kemenangan di lokasi lainnya. Kalangan
oposisi mungkin memenangkan pertarungan pada suatu lokasi, tetapi kalah dalam
27
pertarungan di lokasi yang lain.51
Dalam konteks ini misalnya Pilkada DKI
Jakarta yang dimenangkan oleh partai Gerindra dan PKS sebagai pengusung
calon.
4. Ciri Khas
Ciri khas dari suatu oposisi dalam sistem politik pada umumnya adalah
akibat dari tiga faktor sebelumnya, yaitu kepaduan, daya saing, dan pentingnya
lokasi yang berbeda-beda. Lokasi pertarungan yang penting antara oposisi dan
pemerintah adalah parlemen nasional, pemilihan umum untuk parlemen dan
media massa. Karena itu Parlemen sebetulnya mempunyai kedudukan
memonopoli pertarungan-pertarungan resmi dari hari ke hari. Sebagai akibat
semua dari kondisi ini, maka oposisi demikian tajamnya dibedakan sehingga
tanpa ragu-ragu dapat dilihat partai mana yang menjadi oposisi.
Dalam sistem kepartaian suatu negara, merupakan faktor penting yang
menentukan adalahapa yang dikerjakan oleh pemerintahannya terhadap rakyatnya.
Faktor-faktor yang paling menarik bagi kita tentang pemerintahan dan politik
yaitu stabilitas, revolusi, kebebasan, persamaan, keadilan sangat dipengaruhi oleh
partai politik dan sistem yang diterapkan.52
Sistem presidensial mengarahkan
negara untuk menempatkan Presiden sebagai pusat kekuasaan eksekutif sekaligus
pusat kekuasaan negara. Artinya, Presiden adalah kepala pemerintahan dan juga
kepala negara. Selain itu, sistem presidensial dicirikan oleh pemilihan kepala
51
Robert A. Dahl, Berbagai Pola Oposisi, dalam buku Partisipasi dan Partai Politik,
Miriam Budiardjo (penyunting), h. 130-132. 52
Mohctar Mas’oed dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, h. 92
28
eksekutif secara langsung oleh rakyat, bukan dipilih oleh parlemen seperti dalam
sistem parlementer.53
Dalam sistem presidensial, oposisi merupakan wujud modern dari ide
demokrasi. Jika kelompok itu tidak diakui, yang terjadi adalah mekanisme saling
curiga dan melihat oposisi sebagai ancaman. Jadi yang dimaksud di sini adalah
oposisi loyal. Dengan kata lain beroposisi kepada pemerintah tapi loyal kepada
negara, loyal kepada cita-cita bersama.54
5. Tujuan
Meskipun jelas bahwa oposisi itu amat berbeda-beda dalam hal tujuannya,
akan tetapi terlampau sulit untuk menempatkan perbedaan-perbedaan itu di dalam
suatu skema analitis yang dapat ditangani. Pelaku-pelaku politik, diketahui
mempunyai tujuan-tujuan baik tujuan jangka panjang maupun jangka pendek.
Tujuan jangka pendek itu tidak selalu disimpulkan dari tujuan-tujuan jangka
panjang. Tujuan jangka pendek mungkin mempengaruhi pilihan strategi sehingga
tujuan jangka panjang mereka secara realistis dapat dikatakan tak lain hanya
merupakan akibat tujuan jangka pendek.
Oposisi tidak saja bertugas memperingatkan pemerintah terhadap
kemungkinan salah kebijakaan atau salah tindakan, melainkan juga menunjukan
apa yang harus dilakukannya. Kewajiban oposisi adalah melakukan kualifikasi
apakah sesuatu itu harus dilakukan, tidak harus dilakukan, atau malah tidak
53
Syamsudin Haris, Praktik Parlementer Demokrasi Presidensial Indonesia, (Yogyakarta:
Andi Offset, 2014), h. 28. 54
Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 7.
29
dilakukan sama sekali. Perlu atau tidaknya oposisi sangat bergantung pada
pandangan dan persepsi tentang kekuasaan. Sudah jelas bahwa adannya partai
oposisi merupakan sebuah jalan formal untuk menjalankan peran tersebut, yang
perlu ditekankan adalah bahwa oposisi dibutuhkan sebagai kritik kepada
kekuasaan dan pengawasan terhadap kekuasaan agar tidak semena-mena.55
Pragmatisme menjadi salah satu penjelasan utama dibalik perilaku elit
politik. Kecenderungan partai politik untuk tidak ideologis membuat elit politik
bisa bermanuver ke segala arah. Arah manuver itu berhubungan dengan hasrat
untuk menjadi bagian dari eksekutif.56
Sejauh ini hanya Gerindra dan PKS saja
secara terbuka menyatakan diri sebagai partai oposisi setelah sejumlah partai
dalam gabungan Koalisi Merah Putih (KMP) merapat ke pemerintah atau Koalisi
Indonesia Hebat (KIH).
Dalam hal oposisi, maka tujuan-tujuan yang menguasai adalah tujuan-
tujuan yang ingin dicapai oleh oposisi dengan jalan mengubah tindakan
pemerintah. Mengenai tujuan, oposisi menetang suatu perubahan yang mungkin
terjadi dalam; (1) personalia pemerintahan; (2) kebijakan-kebijakan tertentu dari
pemerintah; (3) struktur sistem politik; (4) struktur sosial ekonomi. Meskipun
kategori ini sama sekali bukan merupakan hal yang dapat dibedakan dengan jelas,
tetapi untuk kepentingan penyederhanaan ini lebih jelas dapat dibedakan daripada
keadaan yang sesungguhnya.
55
Robert A. Dahl, Berbagai Pola Oposisi, dalam buku Partisipasi dan Partai Politik,
Miriam Budiardjo (penyunting), h. 6-8 56
Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia, h. 200.
30
6. Strategi
Oposisi dibutuhkan bukan hanya untuk mengawasi kekuasaan. Oposisi
juga diperlukan karena yang baik dan benar dalam politik haruslah diperjuangkan
melalui kontes politik serta diuji dalam wacana politik yang terbuka dan di
hadapan publik. Dari sinilah oposisi dibutuhkan, sebagai semacam advocates
diabolic atau devil’s advocate yang memainkan peran sebagai setan yang
menyelamatkan negara demi kebaikan bersama. Dalam peran ini, oposisi
berkewajiban mengemukakan titik-titik kelemahan dari suatu kebijaksanaan.57
Strategi-strategi tertentu yang dipakai kalangan oposisi untuk mengubah
tindakan pemerintah menujukan banyak sekali ragamnya. Karena strategi-strategi
tersebut merupakan hasil dari kemampuan manusia yang luar biasa untuk
mempergunakan daya akalnya, termasuk kelihaian dari orang-orang nya. Berikut
merupakan macam-macam strategi yang dijalankan oleh oposisi:
Strategi I: Oposisi akan memusatkan perhatiannya kepada
persaingan ketat dengan jalan berusaha untuk memperoleh jumlah
suara dalam pemilihan umum, setidaknya untuk memenangkan
kursi di parlemen. Prinsip ini lebih ampuh ketika menerapkan
sistem dwipartai.58
Adapun dari tujuan strategi ini adalah untuk
menjadi kekuatan penyeimbang terhadap kekuatan eksekutif atau
paling tidak menjadi modal politik tersendiri.
57
Ignas Kleden , Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia, h. 5. 58
Robert A. Dahl, Berbagai Pola Oposisi, dalam buku Partisipasi dan Partai Politik,
Miriam Budiardjo (penyunting), h. 141.
31
Strategi II: Hampir sama dengan strategi pertama, dalam strategi
kedua ini oposisi berusaha untuk mendapatkan tambahan pemilih
dan memperoleh tambahan kursi dalam pemilihan umum untuk
parlemen, tetapi oposisi ini menganggap bahwa tidak akan dapat
memenangkan mayoritas dalam parlemen, karena itu ia amat
memusatkan perhatiannya pada bagaimana caranya untuk masuk
dalam suatu koalisi yang memerintah dan memperoleh untung
sebanyak mungkin dari tawar menawar dalam koalisi itu. Strategi
ini tumbuh subur dalam sistem yang mempunyai lebih dari dua
partai besar yang masing-masing mempunyai kadar persatuan
partai yang kuat.
Strategi III: Oposisi mempergunakan keseluruhan strategi II,
bahwa banyak keputusan yang penting dibuat dalam tawar-
menawar diantara partai-partai. Kalaupun gagal untuk masuk
dalam kabinet (koalisi) hal itu tidak berarti ia terhalang untuk
mencapai beberapa dari tujuannya melalui tawar-menawar
tersebut. Strategi ini biasa terlihat dalam sistem multipartai, dimana
strategi II sesuai untuk diterapkan, sebab terdapat suatu struktur
korporatisme demokratis yang amat berkembang.
Strategi IV: Setiap lokasi dapat saja bersifat menentukan dalam
suatu kasus tertentu, dan tidak ada satupun yang pada umumnya
bersifat menentukan. Karena itu, oposisi akan menyesuaikan
taktik-taktik tertentu dengan sumber dayanya dan dengan satu atau
32
berbagai lokasi yang paling mudah diserang. Ia mungkin
memusatkan perhatiannya kepada aktivitas-aktivitas kelompok
penekan, tawar-menawar dalam partai, siasat dalam badan
legislative, keputusan-keputusan hukum yang menguntungkan,
memenangkan pemilihan umum, atau gabungan hal-hal tertentu.
Strategi V: Sesungguhnya seperangkat strategi dipergunakan oleh
oposisi yang mempunyai komitmen menjaga keberlangsungan
masyarakat. Baik kalangan oposisi maupun pemerintahan
berkeyakinan ketika kelangsungan hidup masyarakat terancam oleh
kemelut isu nasional yang hebat, subversi, perang, dan lainnya.
Ancaman politik seperti itu, cenderung mendorong pemerintah
untuk mengajukan tawaran kepada oposisi untuk masuk dalam
kabinetnya. Karena itu, lazimnya semua oposisi yang non
revolusional, terlibat untuk ikut bergabung. Pada umumnya,
oposisi berusaha untuk masuk ke dalam suatu pemerintahan koalisi
atas dasar persayaratan-persyaratan yang paling menguntungkan.
Strategi VI: Strategi ini mempunyai komitemen untuk
menghancurkan masyarakat politik, terutama pada sistem yang
berlaku. Strategi ini mempergunakan sumber daya apa pun juga
yang dimiliki oleh oposisi yang menginginkan revolusioner, tujuan
tentu mengganggu jalannya proses politik, mendiskreditkan sistem,
melemahkan keabsahannya, dan pada umumnya meningkatkan
33
kelemahan bagi suatu perebutan kekuasaan oleh kalangan oposisi
yang revolusioner.59
Sementara lain, bagian kesimpulan pada tulisan “Political Oppositions In
Western Democracies” dalam Juwono Sudarsono, Dahl mengajukan beberapa
prasyarat berfungsinya suatu sistem pemerintahan yang mencerminkan oposisi
loyal yang sehat dan mantap. Diantaranya, yang paling penting ialah; pers yang
bebas, kebebasan ilmiah yang terjamin, hak golongan minoritas mempertahankan
kelangsungan hidup dan subkulturnya, tegaknya prinsip dan praktek hukum. Dahl
juga mengemukakan, bahwa tiada satupun pemerintahan di dunia ini yang tidak
mengenal oposisi, jika oposisi diartikan sebagai tindakan, sikap dan pendapat
yang berlawanan dengan pemerintah.60
59
Robert A. Dahl, Berbagai Pola Oposisi, dalam buku Partisipasi dan Partai Politik,
Miriam Budiardjo (penyunting), h. 141-144. 60
Dalam Juwono Sudarsono pada “Masalah Pemerintahan, Partisipasi Pembangunan dan
Oposisi”, tulisan tersebut merupakan timbangan buku atas Robert Dahl dalam “Regimes and
Oppositions. New Haven: Yale University Press, 1973. Pernah dimuat dalam kompas, 16 Oktober
1974.Penulis mengakses melalui arsip dokumen di Perpustakaan Nasional pada 16 April 2017.
34
BAB III
SEJARAH OPOSISI DI INDONESIA DAN KONFIGURASI
TERBENTUKNYA PARTAI OPOSISI DALAM PEMERINTAHAN JOKO
WIDODO-JUSUF KALLA
Dalam bab III ini, penulis menjelaskan sejarah kemunculan oposisi mulai
dari awal-awal kemerdekaan sampai pada saat ini. Di samping itu, penulis juga
memberikan penjelasan pada kemunculan oposisi di pemerintahan Joko Widodo-
Jusuf Kalla, yang mana konfigurasinya dimulai pada saat pemilihan Presiden.
A. Sejarah Oposisi Partai Politik di Indonesia
1. Era Orde Lama
Sejarah Indonesia sebagai negara berdaulat pada awalnya telah berjalan
dijalur yang tepat menuju pembentukan oposisi secara benar.61
Sehubungan
dengan kedaulatan rakyat tersebut, oposisi menemukan tempatnya. Bahwa tidak
jarang pemerintahan yang berdalih atas kedaulatan rakyat pada kenyataannya
justru menjauhi hakikat kedaulatan rakyat itu sendiri. Oleh sebabnya, perlu
kekuatan yang berada di luar garis pemerintahan yang dapat menjaga bahwa
negara berdaulat itu tetap ada dan berfungsi.62
Pada dasarnya oposisi merupakan
kekuatan penggerak perubahan sejarah. Sejak awal, Indonesia mengenal oposisi,
61
Eep Saefulloh Fatah, Membangun Oposisi; Agenda-Agenda Perubahan Politik Masa
Depan, h. xiv 62
Firman Noor, “Oposisi Dalam Kehidupan Demokrasi: Arti Penting Keberadaan Oposisi
Sebagai Bagian Penguatan Demokrasi di Indonesia,” Masyarakat Indonesia, Vol 42, no. 1, (Juni
2016): h. 4.
35
baik di lingkungan politik, birokrasi, dan masyarakat.63
Di masa awal
kemerdekaan misalnya, setelah Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan
maklumat No. X pada tanggal 3 November 1945 dan merupakan usulan dari
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di mana menjadi tonggak sejarah
mengenai mulai berkembangnya partai politik di Indonesia64
.
Pada saat yang hampir bersamaan dimulai pula eksperimen demokrasi
liberal. Sekalipun dalam suasana revolusi kemerdekaan 1945-1949, sistem
multipartai dan percobaan demokrasi liberal yang berjalan dari awal kemerdekaan
hingga pemilu pertama di Indonesia pada September 1955, telah menghasilkan
perangkat sistemik dan kultural yang penting. Pemilu 1955 pun ditandai oleh
kesiapan sistemik yang relatif baik, hal tersebut menjadikan sebuah pemilihan
umum yang elegan.
Disamping itu, tradisi oposisi berkembang secara sehat. Studi-studi
tentang masa itu, selalu menggambarkan betapa suasana kehidupan politik
ditandai oleh pertentangan-pertentangan tajam antar kelompok, antar ideologi,
antar kepentingan, namun dalam suasana saling toleransi tentunya.65
Fakta itulah yang menjadi kekhawatiran dan ketakutan pemerintahan
Soekarno, di mana perkembangan politik begitu sangat luar biasa. Maka tidak
menutup kemungkinan serangan politik yang ditujukan kepada Soekarno menjadi
63
“Oposisi Perspektif Kybernologi: Kybernologi Politik,” artikel diakses pada 2 Juli 2017
darihttp://www.kybernologi.org/Pemikiran_/Oposisi_Dalam_Perspektif_Kybernologi.pdf 64
Sri Lestari Wahyuningroem, dkk., “Laporan Akhir: Tinjauan Peran Partai Politik
Dalam Demokrasi di Indonesia,” (Jakarta: Kementerian PPN/BAPPENAS, 2016), h. 12. 65
Eep Saefulloh Fatah, Membangun Oposisi; Agenda-Agenda Perubahan Politik Masa
Depan, h. xiv-xv.
36
hambatan progesifitas pemerintahan, yang kontra revolusioner. Masa antara 1957-
1959 kemudian ditandai dengan dihilangkannya sistem demokrasi parlementer,
sekaligus membuka pintu bagi terbangunnya sistem yang lebih sentralistik dan
meminggirkan peran partai politik. Salah satu yang kemudian terbawa bersamaan
dengan itu, adalah berjalannya proses penghancuran perangkat bagi oposisi
politik. Otoriarian perlahan mulai dibangun, atas nama “revolusi yang belum
selesai.”66
Dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950 diberlakukannya sistem
parlementer di mana badan eksekutif yang terdiri atas presiden sebagai kepala
negara konstitusional dan menteri-menterinya mempunyai tanggungjawab politik.
Karena fragmentasi partai-partai politik, setiap kabinet berdasarkan koalisi
berkisar pada satu atau dua partai besar dengan beberapa partai kecil. Di lain
pihak, partai-partai dalam barisan oposisi tidak mampu berperan sebagai oposisi
yang konstruktif yang mempunyai program-program alternatif, tetapi hanya
menonjolkan segi-segi negatif dari tugas oposisi67
Kekhawatiran Soekarno semakin menjadi, terlihat dengan ditetapkannya
Presiden seumur hidup melalui TAP MPR No III/1963 dan pengurangan peranan
partai, lain hal PKI yang justru mendapat kesempatan untuk berkembang. Dalam
rangka menguatkan badan eksekutif dimulailah ikhtiar untuk menyederhanakan
sistem partai dengan mengurangi jumlah partai melalui Penpres No. 7/1959.
Maklumat Pemerintah 3 November 1945 yang menganjurkan pembentukan partai-
66
Eep Saefulloh Fatah, Membangun Oposisi; Agenda-Agenda Perubahan Politik Masa
Depan, h. xv-xvi. 67
Miriam Budiardjo, Pengantar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 2008), h. 128.
37
partai dicabut dan ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh partai untuk
diakui oleh pemerintah dan mewadahinya dengan konsep Nasakom di tahun 1960
dan disebut Front Nasional.68
Karakter model kekuasaan Orde Lama era Bung Karno itulah yang
kemudian dicatat sebagai periode politik yang ditandai oleh musim kering
kehidupan oposisi. Karakter Demokrasi Terpimpin yang sentralistik, ekskulusif,
dan anti publik telah menyebabkan potensi-potensi oposisi mengalami proses
pembinasaan sistematis. Meminjam istilah Mochtar Loebis dalam Eep Saefullah
Fatah, mengatakan “musim semi kebebasan yang sangat pendek”.69
2. Era Orde Baru
Sejak periode demokrasi terpimpin di bawah kekuasaan Presiden
Soekarno, partai politik mulai diintegrasikan. Soeharto melanjutkan dengan
memfusikan partai-partai politik pada tahun 1973 ke dalam tiga: Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi dari partai-partai Islam, Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan fusi dari partai nasionalis dan
beraliran Kristen, dan Golongan Karya (Golkar) sebagai partai pemerintah
sekaligus kendaraan politik bagi Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya
selama 32 tahun.70
68
Miriam Budiardjo, Pengantar Ilmu Politik, h. 440-441. 69
Eep Saefulloh Fatah, Membangun Oposisi; Agenda-Agenda Perubahan Politik Masa
Depan, h. xv-xvi. 70
Sri Lestari Wahyuningroem, dkk., “Laporan Akhir: Tinjauan Peran Partai Politik
Dalam Demokrasi di Indonesia,” (Kementerian PPN/BAPPENAS, 2016), h. 16.
38
Sejarah mencatat bahawa oposisi di masa Orde Baru adalah sejarah yang
kelam. Adapun upaya-upaya untuk membangun oposisi seperti di awal Orde Baru,
di seputar Malari 1974, dalam tahun 1978, dan yang cukup fenomenal adalah
terbentuknya Petisi 50 pada tahun 1980, namun itu semua tidak pernah
diakomodasi secara sistemik. Pasang naik perkembangan oposisi pernah berjalan
dalam akhir tahun 1980-an hingga kejatuhan Soeharto.71
Percobaan pembangunan
kekuatan oposisi selama Orde Baru pada dasarnya tidak pernah surut, namun
selalu menghadapi represi negara yang sangat efektif.
Hal tersebut dapat dilihat dalam buku otobiografinya yang berjudul
“Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, ketika menanggapi kritik dari
petisi 50, yaitu:
Sesungguhnya saya gembira jika ada oposisi terhadap saya, dengan syarat
ia adalah oposisi yang loyal. Tetapi apa yang dilakukan oleh mereka yang
menamakan dirinya “Petisi 50″ itu, tidak saya sukai. Cara-caranya tidak
saya sukai. Lebih-lebih kalau melihat bahwa mereka adalah juga yang
menyebut dirinya pejuang-pejuang.72
Selama lebih dari 30-an tahun bangsa kita mengalami keadaan yang
seperti itu, terutama dampak dari kekuasaan Orde Baru di bawah kepemimpinan
Soeharto. Rezim Orde Baru telah memelintir dan melakukan penyimpangan
penafsiran terhadap konstitusi demi melanggengkan kekuasaannya. Penafsiran
pemerintah lalu meletakkan oposisi dengan citra negatif, yakni pembuat
kekacauan. Secara apriori keberadaan oposisi ditolak dengan keras, sehingga
71
Eep Saefulloh Fatah, Membangun Oposisi; Agenda-Agenda Perubahan Politik Masa
Depan, h. xx. 72
G Dwipayana dan Ramadhan KH, Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya
(Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1989), h. 346.
39
dampak dari keadaan seperti itu, siapapun yang berbeda pendapat akan
disingkirkan, dikucilkan, dan paling tragis adalah dipenjara.73
Begitupun kalangan kelompok Islam yang berbeda pendapat dengan
rezim, tidak jarang kelompok Islam juga melakukan perlawan terhadap rezim
Soeharto dengan kekerasan. Bagi pemerintah, kekerasan ini semakin menguatkan
persepsi bahwa Islam adalah kerawanan yang harus diwaspadai, diawasi,
dikendalikan, ditekan, dan dikerdilkan. Bagi kalangan Islam ideologis, hal ini
tentu saja menguatkan anggapan bahwa pemerintah yang ada adalah pemerintahan
yang tidak Islami dan memusuhi Islam.74
Studi Anders Uhlin dalam “Oposisi Berserak” menggambarkan betapa
oposisi sebetulnya telah coba dibangun oleh berbagai kekuatan sosial dari
beragam wacana, namun mengalami keterbatasan efektivitas karena sebab internal
dan eksternal. Secara internal, oposisi dari beragam wacana itu mengalami
perpecahan yang cukup serius, sementara secara eksternal, perkembangan oposisi
terbentur oleh ketat dan kakunya rezimentasi yang dilakukan oleh negara di era
Orde Baru.75
Sehingga apa yang dituliskan oleh Anders Uhlin mengenai oposisi
beserak, ialah gambaran ruang–ruang oposisi yang ada pada masa Orde Baru.
Beberapa kelompok gerakan rakyat, pemuda dan LSM yang pro demokrasi selalu
73
Zaenuddin HM, Prospek Gerakan Oposisi Dalam Era Pemerintahan Gus Dur-
Megawati (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), h. 4-5. 74
M. Imadudin Rahmat, Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen
(Yogyakarta: LKiS, 2008), h. 5-6. 75
Anders Uhlin, Oposisi Berserak: Arus Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia
(Mizan, Bandung, 1998), h. 45.
40
berteriak untuk menentang pemerintahan Soeharto, di masa Orde Baru, oposisi
juga tidak saja tersebar pada ruang partai, melainkan oposan-oposan seperti
mahasiswa, media, buruh dan lainnya. Adapun elemen dan kekuatan rakyat yang
pada saat itu bertugas sebagai oposisi, salah satunya adalah Solidaritas Indonesia
untuk Amin Rais dan Megawati Soekarnoputri (SIAGA), kelompok ini diketuai
oleh aktivis perempuan Ratna Sarumpaet.76
Pada tingkat massa, ledakan partisipasi politik terjadi dalam bentuk
gerakan massa dan amuk. Dalam konteks ini, tahun1998 dan 1999 pun harus
dicatat sebagai tahun gerakan dan amuk massa. Berbagai kota dilanda oleh
peningkatan intensitas dan frekuensi gerakan massa. Disatu sisi, ledakan
partisipasi politik pada hakikatnya merupakan sebuah konsekuensi sangat logis
dari kekeliruan politik Orde Baru. Kekangan politik yang amat ketat
menyebabkan besarnya kerinduan pada partisipasi politik.
Ledakan partisipasi yang tidak tertahankan ini ditandai oleh terjadinya
politisasi, aliansi-realiansi, oposisi, protes, partai tumbuh bak jamur di musim
hujan, pers mengalami politisasi sekaligus liberalisasi,77
tidak ketinggalan aksi
parlemen jalanan yang dilakukan Mahasiswa. Ledekan partisipasi ini sekaligus
mencatatkan sejarah lengsernya rezim Soeharto dari tampuk kekuasaan selama 32
tahun.
76
Informasi ini diperoleh melalui pengakuan Ratna Sarumpaet ketika sedang berdiskusi
bersama penulis dikediamannya, Kampung Melayu Kecil, Tebet pada 16 April 2017. 77
Eep Saefulloh Fatah, Membangun Oposisi; Agenda-Agenda Perubahan Politik Masa
Depan, h. xxi-xxii.
41
3. Era Reformasi
Di awal-awal era Reformasi peran politik aliran atau ideologi politik sulit
untuk dikatakan telah lenyap. Beberapa kasus menunjukkan bahwa ideologi
politik memainkan peran yang signifikan dalam menuntun perilaku politik, baik
dalam tingkat internal partai atau dalam hubungannya dengan konstituen.78
Hal ini
terlihat tuntuan untuk mendirikan partai politik pasca kejatuhan Soeharto semakin
banyak.
Atas dasar itu pemerintah yang dikepalai oleh B.J. Habibie dan Parlemen
mengeluarkan UU No. 2/1999 tentang partai politik. Perubahan yang didambakan
paling sederhana adalah mendirikan sebuah sistem partai politik namun juga tidak
mendominasi kehidupan politik secara berlebihan. Hasil pemilihan umum 1999
menujukan bahwa dari 48 partai politik yang mengikuti proses pemilihan umum,
tidak ada partai yang secara tunggal mendominasi pemerintahan dan tidak ada
partai yang memegang posisi mayoritas mutlak.
PDIP misalnya, yang jelas-jelas memperoleh suara dan kursi paling
banyak ternyata tidak mampu menjadikan Megawati Presiden RI yang ke-4.79
Justru Gus Dur lah yang keluar sebagai Presiden setalah B.J. Habibie, sebab Ia
didukung oleh beberapa gabungan partai baru dan poros tengah dengan berisikan
partai Islam sebagai basis kekuatan di DPR, padahal Gus Dur yang berasal dari
PKB hanya berada di posisi keempat setelah Golkar dan PPP.
78
Firman Noor, Perilaku Politik Pragmatis Dalam Kehidupan Politik Kontemporer: Kajian
Atas Menyurutnya Peran Ideologi Politik di Era Reformasi,” Masyarakat Indonesia, Vol 40, no. 1,
(Juni 2014): h. 63. 79
Miriam Budiardjo, Pengantar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 2008), h. 449-450.
42
Tabel III. A.1
Perolehan Suara dan Kursi Delapan Besar
Dalam Pemilihan Umum 1999
No Nama Partai Perolehan Suara Perolehan Kursi
1. PDIP 35.689.073 153
2. Golkar 23.741.749 120
3. PPP 11.329.905 58
4. PKB 13.336.982 51
5. PAN 7.528.956 34
6. PBB 2.049.708 13
7. Partai Keadilan 1.436.565 7
8. PKP 1.065.686 4
Sumber: Diolah dari kpu.go.id
Secara psikologis, terpilihnya Gus Dur-Megawati sebagai duet yang
melegakan dan memuaskan hati rakyat. Di sisi lain, banyak kalangan khawatir
bahwa naiknya Gus Dur dan Megawati sebagai Presiden dan Wakil Presiden,
justru melemahkan dan mematikan oposisi. Bukan karena dilarang atau disumbat
ruang geraknya, melainkan karena kalangan oposisi merasa enggan dan sungkan
beroposisi terhadapnya, sosok Gus Dur yang dianggap sebagai pemersatu bangsa.
Bagaimana tidak, komposisi kabinetnya banyak mengakomodir berbagai kalangan
partai politik, militer, sipil dan professional.80
Disatu sisi ini struktur yang ideal
dan sangat akomodatif, namun di sisi lainnya justru menimbulkan pelemahan atau
bahkan menyebabkan jalannya demokrasi menjadi tertinggal.
80
Zaenuddin HM, Prospek Gerakan Oposisi Dalam Era Pemerintahan Gus Dur-
Megawati, h. 7-9
43
Kabinet seperti itu justru tidak menguntungkan demokrasi, pasalnya
menutup peluang oposisi sehingga demokrasi terkesan lamban. Bayangkan saja,
jika di parlemen banyak bercokol orang parpol, sementara di tubuh kabinet juga
banyak orang parpol, tentu sulit bagi parlemen melakukan pengawasan terhadap
kebijakan pemerintah. Dengan terbentuknya kabinet kompromi seperti itu maka
ruang oposisi praktis tidak ada. Sehingga secara etika dan moral, partai-partai
harus mendukung kabinet tersebut.81
Padahal Gus Dur merupakan sosok figur yang paling pantas ditempatkan
sebagai simbol oposisi segaligus penyeimbang dan kontrol pemerintahan. Namun,
belakangan pontensi sebagai oposan sedikit demi sediki mengalami penurunan
pada saat Gus Dur memilih jalur politik praktis pada level struktural. Walaupun
terpilinya Gus Dur sebagai presiden, hal tersebut tidak mengakibatkan penilaian
terhadap dirinya degradasi, disaat bersamaan menuai dampak yang luas yang
beraibat lumpuhnya gerakan oposisi kultural, sehingga oposisi menjadi sekedar
gerakan parsial dan sporadis.82
Memasuki tahun 2004 di mana pemilihan umum Presiden diselenggerakan
dengan cukup suskses dan berhasil dimenangkan oleh partai baru, yaitu Demokrat
yang mengusung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden terpilih.
SBY yang berpasangan dengan Jusuf Kalla berhasil mengungguli pasangan
Megawati dan Hasyim Muzadi. Yang menarik pada tahun-tahun ini adalah
81
Zaenuddin HM, Prospek Gerakan Oposisi Dalam Era Pemerintahan Gus Dur-
Megawati, h. 10-11. 82
Ed. Irwan Suhanda, Perjalanan Politik Gus Dur (Jakarta: Kompas Media Nusantara,
2010), h. 275-276.
44
kekalahan Megawati yang disebut-sebut sebagai kekuatan awal oposisi pasca
terjadi kekosongan di era Gus Dur yang cenderung akomodatif semua golongan.
Sikap oposisi tersebut dipertegas ketika PDI-P mengadakan kongres ke II di Bali
tepatnya 28-31 Maret 2005.83
Selama rezim SBY jilid pertama ini (2004-2009), PDIP mengklaim diri
sebagai kekuatan oposisional, tetapi terkesan lebih sebagai reaksi terhadap
kenyataan bahwa kadernya tidak terpilih dalam pemilu 5 tahun yang lalu,
ketimbang sebagai kekuatan oposisional. Hal ini tidak sepenuhnya menjadi
kelemahan mengingat PDIP ber“oposisi” sendirian, melainkan lebih sebagai
keberhasilan transaksi SBY dengan parpol lain membentuk kabinet persatuan,
yang merangkul berbagai aliran.84
Masuk pada masa SBY diperiode selanjutnya, apa-apa yang dianggap
sebagai kekuatan penyeimbang tumbuh dengan sangat nampak dipermukaan,
ketika pasangan SBY memangkan pemilihan umum Presiden untuk kedua
kalinya. Hanya saja kali ini SBY berpasangan dengan Boediono, sementara Jusuf
Kalla yang sebelumnya menjadi Wakil Presiden pada masa SBY, justru menjadi
lawan politiknya dengan mencalonkan diri sebagai Presiden bersama Wiratno.
Sementara lain, alih-alih mau merebut kekuasaan, Megawati yang ketika itu kalah
dalam pertarungan pemilihan Presiden sebelumnya, ditahun 2009 justru harus
kembali menelan kekalahan.
83
Sirojuddin “Faktor Penyebab PDI-P Mengambil Posisi Oposisi Terhadap Pemerintahan
SBY-JK”. (Skripsi S1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2008) 84
“Oposisi Perspektif Kybernologi: Kybernologi Politik,” artikel diakses pada 2 Juli 2017
darihttp://www.kybernologi.org/Pemikiran_/Oposisi_Dalam_Perspektif_Kybernologi.pdf
45
Hal ini lah yang kemudian, menjadikan megawati dan partainya PDI
Perjuangan harus kembali menempuh jalur politik sebagai oposan atau partai
oposisi yang berada di luar garis pemerintahan. Beberapa kebijakan SBY
diperiode kedua ini yang sangat dikritisi sangat tajam oleh PDIP, salah satunya
adalah isu kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Isu BBM ini banyak sekali
menuai pro dan kontra, tentu saja rakyat menginginkan tidak ada nya kenaikan
harga BBM tersebut, sebab ketika itu naik, maka secara otomatis kebutuhan bahan
pokok dan harga-harga lainnya ikut naik.
Adapun dasar pertimbangan PDIP menjadi partai oposisi memang tidak
semata-mata bersifat rasional, tetapi juga emosional. Dalam pertimbangan
rasional misalnya, yaitu terkait dengan upaya PDIP untuk mendekati konstituen,
karena menurut elite-elite PDIP hanya dengan jalan menjadi partai oposisi,
konstituen akan dapat lebih jelas membedakan kebijakan yang diusulkan
pemerintah dan kebijakan yang disampaikan partai oposisi sebagai bentuk
alternatifnya. Sementara sifat emosionalnya, terkait dengan rasa sakit hati
Megawati terhadap SBY yang telah mengalahkannya pada pemilu 2004.
Persoalan yang sifatnya emosional inilah yang justru memperkuat kecenderungan
untuk mempersoalkan setiap kebijakan yang diusulkan pemerintah ke DPR. Relasi
presiden-DPR menjadi terkesan saling berhadap-hadapan layaknya dalam sebuah
sistem parlementer.85
85
Tuswoyo Admojo, “Oposisi Dalam Sistem Presidensial: Sepenggal Pengalaman Partai
Oposisi PDIP Dalam Pemerintahan SBY-JK,” artikel diakses pada 2 Juli 2017 dari http://doktor-
politik-ui.net/2015/10/oposisi-dalam-sistem-presidensial-sepenggal-pengalaman-partai-oposisi-
pdip-dalam-pemerintahan-sby-jk/#
46
Namun demikian, mengapa pemerintahan presidensial sekarang
membutuhkan koalisi? Sementara partai yang kalah dalam pemilihan umum
presiden cenderung menjadi oposisi, realitas politiklah yang menghajatkan itu.
Pertama, sistem presidesial kita tidak murni. Pasca amandemen UUD 1945
memang sebagian mengarah pada penguatan sistem presidensial, termasuk ketika
konstitusi memerintahkan pemilihan umum presiden dan wakil presiden.
Kedua, munculnya fenomena split voting. Ada perbedaan pilihan politik
dari para pemilihnya untuk setiap jenis pemilihan. Logika memilih untuk pemilu
legislatif berbeda dengan Pilpres. Dengan demikian, koalisi partai dengan koalisi
kursi di parlemen tidak selalu paralel dengan “koalisi pilihan rakyat”. Karena
itulah koalisi antar partai menjadi sebuah keniscayaan, meskipun sistem
pemerintahan Indonesia presidensial,86
begitupun halnya dengan oposisi yang
bertugas untuk memajukan demokrasi terutama untuk Indonesia. Selain pola
koalisi yang demikian cair, dalam praktiknya garis kebijakan pemerintahan dan
oposisi juga tidak mencerminkan sebuah karakter ideologi yang jelas.87
86
Anas Urbaningrum, Takdir Demokrasi: Politik untuk Kesejahteraan Rakyat (Jakarta:
Teraju, 2009), h. 249-250 87
Firman Noor, Perilaku Politik Pragmatis Dalam Kehidupan Politik Kontemporer: Kajian
Atas Menyurutnya Peran Ideologi Politik di Era Reformasi,”h. 69.
47
Tabel III. A.2
Formasi Partai Politik Pada Koalisi Pemerintahan dan
Oposisi Pasca Orde Baru
Masa Pemerintahan Koalisi Pemerintahan Oposisi
Abdurahman Wahid
(1999-2001)
PKB, PDI Perjuangan, PPP,
Golkar, PK, PBB, PAN
-
Megawati Soekarno
Putri(2001-2004)
PDI Perjuangan, PBB, PAN,
Golkar, PPP
PKB, PK
SBY-JK
(2004-2009)
PD, Golkar, PKS, PPP,
PAN, PBB, PKPI, PKB
PDI Perjuangan
SBY-Budiono
(2009-2014)
PD, Golkar, PKS, PPP,
PAN, PKB
Gerindra, Hanura,
PDI Perjuangan
Jokowi-JK
(2014-2019)
PDI Perjuangan, PAN,
Golkar, PPP, Hanura,
Nasdem, PKB, PKPI,
Gerindra,PBB,
PKS, Demokrat
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Dari tabel tersebut hanya menyisakan satu partai yakni Demokrat yang tidak
menentukan sikap secara tegas, baik kepada oposisi maupun koalisi pemerintahan.
B. Konfigurasi Terbentuknya Partai Oposisi
Setelah berakhirnya masa kepemimpinan rezim Susilo Bambang
Yudhoyono selama dua periode sejak 2004-20014, pemilu 2014 akhirnya
diselenggarakan. Jika sebelumnya pada tahun 2009 pemilu diikuti oleh 34 partai
politik, maka di tahun 2014 menyisakan 12 partai nasional dengan tambahan tiga
parta lokal di Aceh.88
88
Anggawira, Mesin Pencetak Pemimpi (n) (Jakarta: Inspirator Academy Publisher
House, 2017), h. 95.
48
Tahun 2014 merupakan tahun politik bagi masyarakat Indonesia untuk
merayakan pesta demokrtasi, yakni Pemilihan Umum Presiden dan Pemilihan
Umum Legislatif. Adapun jadwal Pemilu 2014 dilaksanakan dua kali, yaitu
Pemilu Legislatif pada tanggal 9 April 2014 memilih para anggota dewan
legislatif dan Pemilu Presiden pada tanggal 9 Juli 2014 memilih Presiden dan
Wakil Presiden.89
Hal ini tentu menjadi perhatian disetiap partai politik Indonesia, partai
akan melakukan pembenahan-pembenahan agar tidak kalah dalam persiapan.
Tidak terkecuali Gerindra, setelah sebelumnya gagal terpilih saat mendampingi
Megawati mengikuti pemilu presiden 2009 yang kalah bersaing dengan SBY,
Partai Gerindra merupakan salah satu partai politik baru yang dibentuk, namun
Prabowo Subianto merupakan politisi lama yang pernah berkecimpung di dunia
politik bersama Golkar. Pengalaman gagal dikonvensi calon presiden partai
Golkar pada tahun 2004 tidak menyurutkan niatnya untuk maju kembali sebagai
capres dengan kendaraan partai politik baru bernama partai Gerakan Indonesia
Raya. Prabowo Subianto bersungguh-sungguh dan serius dalam membangun
Negara dan bangsa ini dalam koridor visi Indonesia Raya.90
Sementara itu, pertemuan Cikini yang dilakukan oleh partai-partai Islam
yang dihadiri oleh PPP, PAN, PKS, PKB, dan PBB akhirnya gagal membuat
poros baru. Setelah partai-partai Islam gagal mengusung calon presiden, dan
Partai Demokrat serta Partai Golkar kesulitan membangun koalisi, sehingga
89
“Jadwal Pemilu 2014,” artikel diakses pada 4 Mei 2017 dari
http://www.pemilu.com/jadwal-pemilu-2014/
90 Thamrin dahlan, Prabowo Presidenku, (Sleman, Aryuning Sejahtera, 2013), h. 21
49
pilihan poros lain untuk membentuk koalisi pun ditentukan oleh calon presiden
yang diusung oleh Partai Gerinda, dengan calon Prabowo Subianto.
Proses yang hampir panjang dilalui oleh masing-masing partai, khususnya
PDIP dan Gerinda yang telah memilki calon presiden. Dua minggu sebelum
proses pembukaan pendaftaran calon presiden-wakil presiden (18-20 Mei 2014),
barulah keduanya menentukan siapa calon presidennya. Jokowi akhirnya
mendekalarasikan pencapresannya bersama Jusuf Kalla pada 17 Mei 2014. Pada
hari yang sama, Prabowo Subianto menetapkan Hatta Rajasa dari (PAN) sebagai
calon presidennya.91
Upaya membangun kelembagaan dan tradisi oposisi tampak kuat pada
masa dan pasca Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014. Terdapat dua
pasang calon yang didukung dua koalisi besar, yaitu Koalisi Indonesia Hebat
(KIH) yang mengusung Jokowi-Kalla dan Koalisi Merah Putih (KMP) yang
mengusung Prabowo-Hatta. Ketika Jokowi-Kalla terpilih, KMP langsung
mendeklarasikan diri ada di luar pemerintahan alias beroposisi.
Konfigurasi yang terjadi antara Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa resmi
dideklarasikan oleh enam partai politik sebagai calon presiden dan wakil presiden.
Keenam partai politik tersebut adalah Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS),
Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai
Bulan Bintang dan Partai Golkar. Deklarasi tersebut disampaikan di Rumah
91
Firman Noor, dkk, “Evaluasi Pemilihan Presiden Wakil Presiden,” riset ini dilakukan
oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) diakses pada 4 Mei 2017 dari 2014
http://www.rumahpemilu.com/public/doc/2015_02_03_08_33_25_EXECUTIVE%20SUMMARY
%20PEMILU%20PRESIDEN%202014.pdf
50
Polonia, Jalan Cipinang Cempedak, Jakarta Timur. Prabowo mengatakan Koalisi
enam partai ini terbentuk karena ada kesamaan visi misi yang ingin membangun
dan menyelamatkan bangsa.92
Hatta menyatakan keputusannya mendampingi Prabowo sudah
diperhitungkan dengan matang. Hal tersebut ia ungkapkan pasca pengunduran nya
sebagai Menteri, Hatta mengaku memiliki visi yang sama untuk memajukan
bangsa ini. Kesamaan visi itulah yang mendorong keinginannya bekerja sama
dengan Prabowo dalam pemilihan presiden 2014. Dia juga mengatakan punya
kesamaan platform ekonomi dengan Ketua Umum sekaligus Ketua Dewan
Pembina Gerindra itu, yaitu keinginan mempercepat pembangunan untuk
mencapai kesejahteraan rakyat.93
Dengan demikian, setelah proses pemilihan umum dilaksanakan hasil
daripada perhitungan suara pun menjadi salah satu perhatian publik yang dinanti.
Pasalnya koalisi yang dibangun baik KMP dan KIH merupakan polarisasi dua
gerbong kekuatan besar. Dua kutub ini lah yang kemudian menjadi basis
pendukung pemilihan Presiden antara pasang nomer urut satu Prabowo Subianto-
Hatta Rajasa dengan pasangan nomor urut dua Joko Widodo-Jusuf Kalla. Berikut
presentase peroleh suara masing-masing partai politik pendukung calon Presiden
2014.
92
“6 Parpol Dukung Pasangan Prabowo-Hatta dalam Pilpres,” artikel diakses pada 4 Mei
2017 dari http://www.voaindonesia.com/a/parpol-dukung-pasangan-prabowo-hatta-dalam-
pilpres/1917769.html 93
“Hatta Rajasa: Saya Satu Visi dengan Prabowo,” artikel diakses pada 4 Mei 2017 dari
https://www.tempo.co/read/news/2014/05/13/270577541/hatta-rajasa-saya-satu-visi-dengan-
prabowo
51
Table III.B.1
Perolehan Suara Partai Politik yang Memenuhi dan Tidak Memenuhi
Ambang Pada Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Tahun 2014
No Partai Politik Presentase Perolehan
Suara Sah
Status Ambang
Batas
1 Partai Nasdem 6,72% MS
2 PKB 9,04% MS
3 PKS 6,79% MS
4 PDI P 18,95% MS
5 Partai Golkar 14,75% MS
6 Partai Gerindra 11,81% MS
7 Partai Demokrat 10,19% MS
8 PAN 7,59% MS
9 PPP 6,53% MS
10 Partai Hanura 5,26% MS
14 PBB 1,46% TMS
15 PKPI 0,91% TMS
Sumber: Diolah dari kpu.go.id
Tercatat hanya terdapat sepuluh partai politik saja yang memenuhi syarat
(MS) untuk duduk dikursi parlemen. Sebab sesuai Undang-undang Nomor 8
Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang salah satunya
mengatur ambang batas 3,5% suara sah nasional.94
Dengan begitu, maka sangatlah
94
Indra Pahlevi, “Hasil Pemilu Anggota DPR RI Tahun 2014 dan Penerapan
Parliamentary Threshold,” Info Singkat Pemerintahan Dalam Negeri, Vol. VI, no. 09, (Mei 2014):
h. 1
52
jelas bahwa partai yang mendapat perolehan suara sah nasional di bawah ambang
batas dapat dipastikan tidak mendapatkan kursi di Parlemen.
Namun dua partai politik tersebut, yaitu Partai Bulan Bintang dan Partai
Keadilan dan Persatuan Indonesia tetap mempunyai sikap dan pilihan untuk
melakukan dukungan secara institusi partai dalam memilih koalisi terhadap
pemilihan Presiden. Dapat dilihat dalam komposisi gabungan partai koalisi KMP
dan KIH, sebagai berikut:
Tabel III.B.2
Gabungan Suara Partai Pendukung untuk Pemilihan Presiden 2014
Koalisi Merah Putih
(KMP)
Koalisi Indonesia Hebat
(KIH)
Prabowo Subianto – Hatta Rajasa Joko Widodo – Jusuf Kalla
Total: 59,03% Total: 40,86%
Sumber: Diolah dari kpu.go.id
Berdasarkan hasil dukungan tersebut, pada prinsipnya ini menunjukan
bahwa pasangan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa berada diatas angin, sebab
hitung-hitungan angka diparlemen sudah dikuasai dengan total 59,03%, yakni
dengan komposisi dukungan partai dari PAN, PPP, Golkar, PKS, Gerindra, PBB.
Sementara KIH didukung oleh PDI P, Nasdem, Hanura, PKB, PKPI.Namun hal
tersebut tidak linier dengan hasil pemilihan Presiden, sebab dalam sistem
presidensial, pemilihan umum dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga, pengaruh
dukungan suara dari Parlemen berdasarkan partai tidak menjamin pasangan calon
terpilih. Berikut adalah hasil perolehan suara pasangan calon Presiden 2014:
53
Tabel III.B.3
Perolehan Suara Pemilihan Umum Presiden 2014
No Pasangan Capres-Cawapres Total Suara Presentase
1 Prabowo Subianto – Hatta
Rajasa
62.576.444 46,85%
2 Joko Widodo – Jusuf Kalla 70.997.833 53,15%
Sumber: Diolah dari kpu.go.id
Dapat dilihat dalam tabel di atas, pasangan Prabowo-Hatta kalah dalam
pemilihan Presiden 2014. Partai politik pun mulai mengatur siasat kembali,
terbukti satu per satu partai politik di gerbong KMP ini mulai merapat ke
pemerintahan.95
Tetapi hal ini juga tidak mengendurkan semangat Gerindra dan
PKS untuk melakukan kontrol, kedua partai masih berada di luar pemerintahan
sebagai partai oposisi.
C. Sejarah Partai Gerindra
Menurut Roger Soltau dalam Inu Kencana Syafii “Sistem Politik
Indonesia”, ia mengatakan bahwa partai politik merupakan sekelompok warga
negara yang terorganisir yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dengan
memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan menguasai pemerintahan
dan melakukan kebijakan mereka sendiri.96
Salah satu fungsi partai politik adalah
melakukan pendidikan politik kepada rakyat. Dalam konteks ini, rakyat harus
95
“Gerindra Siap ditinggal Sendiri Jika Golkar Jadi Merapat ke Jokowi,’’ artikel diakses
pada 30 Juli 2017 dari https://m.detik.com./news/berita/3113025/gerindra-siap-ditinggal-sendiri-
jika-golkar-jadi-merapat-ke-jokowi 96
Inu Kencana Syafiie, Azhari, Sistem Politik Indonesia, (Bandung: Refika Aditama,
2012), h. 78.
54
memahami dan mempunyai kesadaran politik sehingga mengetahui apa yang akan
diperjuangkan partai politik pilihannya.97
Partai Gerindra lahir untuk mengangkat rakyat dari jerat kemelaratan,
akibat permainan orang-orang yang tidak peduli pada kesejahteraan. Intelektual
muda Fadli Zon dan pengusaha Hashim Djojohadikusumo. Ketika itu November
2007, keduanya membahas politik terkini, yang jauh dari nilai-nilai demokrasi
sesungguhnya. Demokrasi sudah dibajak oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab dan memiliki kapital besar.
Akibatnya, rakyat hanya jadi alat. Bahkan, siapapun yang tidak memiliki
kekuasaan ekonomi dan politik akan dengan mudah jadi korban. Fadli Zon lalu
mengutip kata-kata politisi Inggris abad kedelapan belas, Edmund Burke, The
only thing necessary for the triumph [of evil] is for good men to do nothing.
Dalam terjemahan bebasnya, “kalau orang baik-baik tidak berbuat apa-apa, maka
para penjahat yang akan bertindak.“ Sementara kondisi yang sedang berjalan,
justru memaksakan demokrasi di tengah himpitan kemiskinan, yang hanya
berujung pada kekacauan.
Pembentukan Partai Gerindra terbilang mendesak. Sebab dideklarasikan
berdekatan dengan waktu pendaftaran dan masa kampanye pemilihan umum,
yakni pada 6 Februari 2008. Dalam deklarasi itu, termaktub visi, misi dan
manifesto perjuangan partai, yakni terwujudnya tatanan masyarakat Indonesia
yang merdeka, berdaulat, bersatu, demokratis, adil dan makmur serta beradab dan
97
Fadli Zon, dkk., Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, (Jakarta: t.c, 2008), h. 3.
55
berketuhanan yang berlandaskan Pancasila sebagaimana termaktub dalam
pembukaan UUD NKRI tahun 1945. Budaya bangsa dan wawasan kebangsaan
harus menjadi modal utama untuk mengeratkan persatuan dan kesatuan.98
Partai Gerakan Indonesia Raya atau Gerindra adalah partai politik yang
menjagokan Prabowo Subianto sebagai calon presiden Indonesia pada tahun 2014.
Partai Gerindra memiliki enam prinsip dasar partai (Prinsip Disiplin, Prinsip
Kedaulatan, Prinsip Kemandirian, Prinsip Persamaan Hak, Prinsip Kerjasama dan
Gotong Royong dan Prinsip Musyawarah) dan juga 16 pokok-pokok perjuangan
partai Gerindra.99
Pokok-pokok perjuangan yang akan dilaksanakan dan
diperjuangkan dalam berbagai kebijakan nasional secara konstitusional, antara
lain:
Bidang Politik
Bidang Ekonomi
Bidang Kesejahteraan Rakyat
Bidang Pertanian, Perikanan dan Kelautan
Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Bidang Sosial, Budaya dan Pendidikan
Bidang Hukum
Bidang Pertahanan dan Keamanan
Bidang Agama
98
“Sejarah Partai Gerindra,” artikel diakses pada 16 April 2017 dari
http://partaigerindra.or.id/sejarah-partai-gerindra 99
“Partai Gerakan Indonesia Raya,” artikel diakses pada 16 April 2017 dari
https://profil.merdeka.com/indonesia/p/partai-gerakan-indonesia-raya/
56
Bidang Politik Luar Negeri dan Hubungan Internasional
Bidang Hak Asasi Manusia, Hak-hak Perempuan
Bidang Pemuda
Bidang Perburuhan
Bidang Riset dan Teknologi100
Partai Gerindra adalah partai satu-satunya yang berani mengatakan agar
kita kembali ke Pasal 33 UUD 1945. Tidak heran ketika Prabowo berpesan
kepada setiap kader Gerindra di lembaga legislatif agar membela kepentingan
rakyat kecil dengan tegas dan keras demi kepentingan rakyat kecil dan tidak larut
dalam arus neo-liberalisme yang melanda negara kita.101
D. Sejarah Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Pendirian PKS diawal reformasi diawali dengan wacana di internal
Jama’ah Tarbiyah yang menjadi elemen dasar PKS dalam menyikapi
perkembangan situasi politik pada awal reformasi. Jama’ah Tarbiyah awalnya
menunggu dan memperhatikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang
membidani lahirnya sebuah partai Islam. Namun karena partai yang diharapkan
tidak sesuai pada ekspetasi, DDII justru melahirkan PBB yang berasaskan
Pancasila.102
100
Fadli Zon, Manifesto Perjuangan Partai Gerindra (Jakarta: t.p, 2008), h. 9-10. 101
Tabloid gema merupakan media cetak yang dimiliki partai Gerindra. Gema Indonesia
Raya, “Empat Tahun Partai Gerindra, Sejarah Akan Membenarkan Perjuangkan Gerindra” edisi
11 maret 2012, h.4 diakses dari https://www.scribd.com/document/89615048/Tabloid-Gema-
Indonesia-Raya-Februari-2012 102
Anggawira, Mesin Pencetak Pemimpi (n) (Jakarta: Inspirator Academy Publisher
House, 2017),h. 135.
57
PKS lahir melalui gerakan sosial bernama Tarbiyah yang kemudian
bermutasi menjadi partai politik. Basis sosial partai tersebut adalah kelompok
Muslim terdidik, muda dan kelas menengah kota. Tidak seperti partai politik lain,
PKS acapkali mampu mendulang simpati publik dengan memobilisasi kader dan
simpatisannya untuk melakukan kegiatan bakti sosial secara terus-menerus dan
tidak hanya menjelang pemilu.103
Ada tiga fase yang harus dipahami dalam
melihat gerakan PKS yang pada akhirnya menjadi sebuah lembaga politik formal.
Pertama, adalah fase dakwah kampus, kedua adalah pembentukan gerakan
mahasiswa, ketiga adalah gerakan politik.104
Partai Keadilan Sejahtera merupakan partai yang cukup fenomenal
kehadirannya di pentas pemilu Indonesia. Bagaimana tidak, hanya sekitar satu
tahun setelah ia dideklarasikan (Agustus 1998), partai yang semula bernama Partai
Keadilan itu telah berhasil mengikuti Pemilu 1999 dan menjaring sebanyak
1.436.565 suara atau sekitar 1,36 % dari keseluruhan jumlah suara dan
menempatkan 7 wakilnya di DPR. Partai yang dideklarasikan oleh 52 tokoh
gerakan Tarbiyah ini disebut orang sebagai “The Rising Star”. Dalam pemilu
2004, PKS mampu meningkatkan jumlah suara sangat signifikan.
Tercatat PKS mendulang 8.325.020 suara, atau sekitar 7,34% dari total
suara dan berhasil mendudukan 45 orang wakilnya di DPR. Bahkan, mantan
presiden partai ini, Hidayat Nur Wahid, mampu terpilih sebagai ketua MPR.
Selain sukses di tingkat nasional, partai yang tumbuh dari LDK anak-anak muda
103
Burhanuddin Muhtadi, Dilema PKS, Suara dan Syariah (Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2012), h. 5. 104
Burhanuddin Muhtadi, Dilema PKS, Suara dan Syariah, h. 31.
58
Tarbiyah ini juga berhasil membangun basis politik di daerah-daerah, termasuk
mendudukan wakil-wakilnya di legislatif maupun di birokrasi. Bahkan, PKS
meraih sukses besar dalam menempatkan kader-kadernya atau kandidat yang
diusungnya menjadi kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota.
Partai ini secara sadar mengamalkan doktrin perjuangan Ikhwanul
Muslimin (IM). IM sering dilihat sebagai organisasi yang ingin mengubah dunia
Islam secara radikal dan sering berbenturan secara frontal dengan pemerintahan di
mana ia berada. Militansi untuk mewujudkan pemerintahan yang Islami dengan
dasar hukum al-Quran dan as-Sunnah secara kaffah. Hal ini mendorong IM
cenderung dengan bentuk-bentuk intoleransi, ekslusif, dan menimbulkan
keterancaman, baik terhadap Muslim sendiri maupun non muslim.
Selain terpengaruh secara kuat oleh Ikhwanul Muslimin, PKS juga
merupakan salah satu hasil dari transformasi Masyumi. Disebut-sebut peran
penting yang dimainkan Mohammad Natsir, telah membuka jalan bagi para tokoh
Masyumi untuk turut serta meletakkan dasar-dasar pemikiran keagamaan dan
ideology politik ke partai dakwah ini. Pada masa Orde Baru, berbagai kelompok
warisan Masyumi ini menempatkan dirinya sebagai kelompok oposisi ideologis
yang paling gigih memperjuangkan ideologi Islam.
Dalam kasus “asas tunggal Pancasila” misalnya, ketika NU,
Muhammadiyah, HMI, PMII serta ormas Islam lainnya menerima asas tunggal
Pancasila, kelompok-kelompok berkultur Masyumi, seperti DDII, PII, GPI, dan
59
HMI MPO secara kukuh menolaknya. PKS merupakan kontinuitas dari gerakan
ideologis Islam yang diwariskan oleh Masyumi. Pada satu sisi, “Masyumi Muda”
yakni faksi penerus Masyumi yang terwadahi dalam HMI mengembangkan
pendekatan akomodatif dan kompromistis, sementara Masyumi ideologis kukuh
dengan pendekatan oposisional.105
Keterpengaruhan ideologi Islam PKS oleh Ikhwanul Muslimin, merupakan
konsekuensi dari globalisasi di mana interaksi antara kaum intelektual Indonesia
dan Timur Tengah merupakan hal yang tidak terhindarkan.106
Secara teoritis,
transformasi ideologi di kalangan organisasi anak-anak ideologis IM ini akan
terjadi setelah mereka memutuskan menjadi partai politik peserta pemilu. Hasil
penelitian atas organisasi radikal serupa di Timur Tengah menunjukkan bahwa
setelah organisasi semacam itu menjadi partai politik dan aktif dalam sistem
demokrasi konstitusional, maka terjadi pergeseran strategi, paradigma berpikir,
dan metode gerakan. Organisasi yang semula kaku lambat laun menjadi lebih
moderat, adaptif, dan bahkan akomodatif.107
105
M. Imadudin Rahmat, Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus ke Gedung
Parlemen (Yogyakarta: LKiS, 2008), h. 1-4. 106
Anggawira, Mesin Pencetak Pemimpi (n) (Jakarta: Inspirator Academy Publisher
House, 2017),h. 140. 107
M. Imadudin Rahmat, Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus ke Gedung
Parlemen (Yogyakarta: LKiS, 2008), h. 9.
60
BAB IV
ANALISIS RESPONS PARTAI GERINDRA DAN PKS TERHADAP
KEBIJAKAN-KEBIJAKAN PEMERINTAHAN JOKO WIDODO-JUSUF
KALLA TAHUN 2014-2017
Bab ini menganalisis model oposisi partai politik di Indonesia dengan
melihat respons Gerindra dan PKS pada saat pembahasan Undang-Undang di
Parlemen, terkait Tax Amnesty, Hak Angket KPK, dan RUU Pemilu. Pembahasan
ini dianalisis melalui pendekatan tipe oposisi dan pola oposisi. Pendekatan ini
menyesuaikan dengan sistem politik Indonesia yang berkembang, mengingat
presidensialisme yang ada di Indonesia cenderung multipartai.
A. Tipologi Oposisi
Menurut Marbun, dalam Suryani, secara etimologis; Oposisi berasal dari
bahasa Inggris, Opposisition, dan dari bahasa Latin Oppositus, Opponere yang
berarti memperhadapkan, membantah, menyanggah.108
Adapun secara
terminologis, oposisi diartikan sebagai bentuk usaha dan kegiatan yang berjalan
ke arah yang berlawanan atau berada di luar garis pemerintahan, entah dalam
eksistensi yang berlainan atau dalam eksistensi yang sama.109
108
Suryani, “Oposisi di Indonesia: Studi Tentang Partai Rakyat Demokratik Pada Masa
Orde Baru (1996-1998),” h. 24 109
Suryani, “Oposisi di Indonesia: Studi Tentang Partai Rakyat Demokratik Pada Masa
Orde Baru (1996-1998),” h. 24
61
Menurut Firman Noor, oposisi memiliki arti penting untuk penguatan
kehidupan demokrasi.110
Dalam fakta politik di negara demokrasi, ketiadaan
penyeimbang dan kontrol tidak akan terwujud pemerintahan yang efektif. Dalam
dinamika politik di Indonesia, perilaku partai oposisi sudah mengalami perubahan
yang baik. Hal ini dimaknai dengan beberapa kebijakan-kebijakan Pemerintah
yang direspons oleh partai Gerindra dan PKS. Ini menunjukan bahwa prinsip
oposisi bukan saja sebagai penentang an sich tetapi juga sebagai salah satu
alternatif pilihan politik.
Menurut Eep Saefullah Fatah, Oposisi adalah setiap ucapan atau perbuatan
yang meluruskan kekeliruan tetapi sambil menggaris bawahi dan menyokong
segala sesuatu yang sudah ada dijalan yang benar.111
Dalam hal ini, hakikat
oposisi terletak pada tingkat kejernihan dan ketelitian memandang segala sesuatu
untuk kebenaran.
Berbeda dengan Eep, Ghita Ionescu dan Isabel de Madariaga, sebagaimana
dikutip dalam Lenny, menjelaskan bahwa oposisi tidak saja sikap melawan atau
berbeda pada penguasa dan konfilik biasa, melainkan sesuatu tradisi politik yang
ada dalam parlemen.112
Parlemen yang dimaksud dalam hal ini adalah lembaga
legislatif yang di dalamnya terdapat partai Gerindra dan PKS.
Dalam sistem presidensialisme terdapat keterpisahan antara Legislatif
dengan Eksekutif, sistem presidensialisme membentuk Legslatif sebagai oposisi
110
Firman Noor, “Oposisi Dalam Kehidupan Demokrasi: Arti Penting Keberadaan
Oposisi Sebagai Bagian Penguatan Demokrasi di Indonesia,” Masyarakat Indonesia, Vol 42, no. 1,
(Juni 2016): h. 1. 111
Eep Saefulloh Fatah, Membangun Oposisi; Agenda-Agenda Perubahan Politik Masa
Depan, h. xi-xiii. 112
Lenny Puspadewi, “OPOSISI DI INDONESIA: Studi Kasus Gerakan Mahasiswa 1998
di Jakarta,” h. 9-10.
62
terhadap Presiden secara sistem. Beda dengan sistem parlementer, dalam sistem
parlementer, Legislatif terbagi menjadi dua, oposisi dan koalisi.113
Oposisi dalam
sistem presidensialisme itu secara substansi ada dua jika oposisi diartikan sebagai
sikap kritis atau sikap berbeda dengan Presiden. Maka, pertama, oposisi yang
berasal dari sistem, artinya oposisi berdasarkan fungsi Legislatif itu sendiri.
Kedua, oposisi dikarenakan ada-nya partai-partai yang tidak secara resmi ikut di
dalam koalisi yang mendukung Presiden. Dalam konteks Indonesia partai politik
yang menyatakan sikap sebagai oposisi adalah mitra kritis Pemerintah, yaitu
Gerindra dan PKS.114
Dengan demikian, tipologi oposisi merupakan kegiatan yang dilakukan
oleh suatu kelompok terhadap kelompok yang memerintah, di mana kelompok
tersebut berada pada dua tempat yang berbeda, artinya oposisi berada di luar
pemerintahan. Sehingga apapun yang berbeda dengan yang diinginkan oleh
penguasa pemerintahan disebut oposisi, tetapi bukan hanya berbeda dan menjadi
penentang an sich, oposisi yang diharapkan dari demokrasi adalah untuk
memperbaiki kualitas kebijakan dan memang untuk menyuarakan aspirasi yang
tidak terdengar, sehingga lebih aspiratif.
Oposisi dapat bersifat permanen dan bersifat temporari atau kasusistik
tergantung dengan sistem partai yang berlaku di negara tersebut, yang jelas
oposisi berfungsi sebagai kontrol dan penyeimbang sekaligus alternatif kebijakan
yang ditawarkan oleh pemerintah. Tetapi biasanya oposisi yang berasal dari partai
113
Wawancara dengan Dr. Djayadi Hanan, Direktur Eksekutif SMRC, pada tanggal 18
Agustus 2017, pukul 13.30 WIB 114
Wawancara dengan Dr. Djayadi Hanan, Direktur Eksekutif SMRC, pada tanggal 18
Agustus 2017, pukul 13.30 WIB
63
pendukung Presiden atau Pemerintahan tidak akan permanen, Ia hanya oposan
terhadap kebijakan-kebijakan tertentu. Inilah yang kemudian disebut gejala
presidensialisasi partai politik atau presidensialisasi parlemen.115
Maka dari
keterangan Hanan tersebut dapat dilihat bahwa ciri khas oposisi di Indonesia ada
dua, yakni oposisi yang berasal dari sistem, dalam arti oposisi karena fungsi
legislatif, dan oposisi karena adanya partai-partai yang tidak secara resmi
tergabung sebagai partai pendukung pemerintahan.
B. Respons Gerindra dan PKS dalam Perspektif Tipe Oposisi
Dalam pendekatan ini, penulis menjelaskan jenis oposisi yang terjadi di
Indonesia dengan melihat respon Gerindra dan PKS terkait Tax Amnesty, Hak
Angket KPK, dan RUU Pemilu. Skilling Gordon membagi ke dalam empat tipe
oposisi, yaitu:
1. Oposisi Integral
Oposisi Integral merupakan oposisi yang ditujukan kepada sistem,
misalnya seperti anti komunis, khilafah atau negara secara keseluruhan dan
sebaliknya.116
Tentu saja pengertian ini menggambarkan bahwa oposisi
menginginkan adanya revolusi. PKS dan Gerindra merupakan partai politik yang
sejauh ini masih memberikan kritik dan pengawasan pada pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla. PKS misalnya, adalah partai yang berasaskan Islam117
yang
115
Wawancara dengan Dr. Djayadi Hanan, Direktur Eksekutif SMRC, pada tanggal 18
Agustus 2017, pukul 13.30 WIB 116
Lenny Puspadewi, “Oposisi di Indoneisa: Studi Kasus Gerakan Mahasiswa 1998 di
Jakarta,” h. 19. 117
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PKS,” h. 2.
64
mempunyai visi dan misi yakni terwujudnya masyarakat madani yang adil,
sejahtera, dan bermartabat. Lain hal dengan PKS, Gerindra memiliki garis
ideologi yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945.118
Adapun jati diri partai ini
adalah memiliki rasa kebangsaan, kerakyatan, religious dan keadilan sosial.119
Khusus untuk PKS, kendati teridentifikasi sebagai partai Islam, sejauh ini
masih dalam koridor falsafah Pancasila dan UUD 1945. Adapun tudingan bahwa
PKS menolak Pancasila itu merupakan perdebatan yang selalu berkembang dalam
dinamika politik di Indonesia. Sejauh ini tidak ada pergerakan atau
pemberontakan yang dilakukan oleh kader-kader PKS untuk mengubah tatanan
dan sistem negara. Sementara bagi Gerindra, dengan semangat nasionalisme,
pilar-pilar kebangsaan seperti, Pancasila sudah menjadi titik akhir partai ini
sebagaimana termaktub dalam AD/ART partai tersebut. Artinya, baik Gerindra
dan PKS tidak bertentangan dengan sistem negara secara keseluruhan.
2. Oposisi Faksional
Oposisi Faksional adalah oposisi yang ditujukan kepada para pemimpin
secara individu bukan rezim atau sistem secara keseluruhan yang sedang
berkuasa. Menjadi hal umum, karena memang koalisi atau oposisi bukan saja
disebabkan oleh faktor kesamaan program, visi misi, platform, tetapi bisa juga
disebabkan oleh karena personal atau individu. Ini mengingatkan pada oposisi
yang dilakukan oleh PDI P pada masa kekuasaan rezim SBY dua periode lalu.
118
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Gerindra (2014), h. 3. 119
Fadli Zon, dkk., Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, (Jakarta: t.c, 2008), h. 15.
65
Tercatat sejak tahun 2004-2014 PDI P menjadi partai yang paling pertama
menyatakan dirinya sebagai partai oposisi. Hal ini dipertegas dengan sikap PDI-P
ketika mengadakan kongres ke II di Bali tepatnya 28-31 Maret 2005 atas sikap
nya sebagai oposisi.120
Banyak pengamat politik, misalnya Dr. Lili Romli
mengungkapkan bahwa sikap oposisi yang dilakukan oleh Megawati karena
secara pribadi bermusuhan dengan SBY.121
Sama hal nya Prof. Syamsudin Haris
menyebutkan bahwa secara umum tidak ada perbedaan yang mencolok, sejak
pemilu 1999 sampai sekarang. Sebagian oposisi partai bersifat personal (tidak
suka pada tokoh tertentu atau asal beda).122
Prof. Haris tidak saja menilai PDI P,
melainkan hampir semua oposisi partai politik di Indonesia seperti itu.
Sementara oposisi PKS dan Gerindra disebabkan oleh komitmen yang
sudah dibangun semenjak berada di Koalisi Merah Putih (KMP). Menjadi oposisi
bukan berarti tidak melakukan aksi untuk rakyat. Justru oposisi berfungsi
melakukan peran check and balances dalam menjalankan demokrasi guna
menghadirkan lembaga legislatif yang bersih dan produktif sebagai penyambung
suara rakyat.123
Pernyataan ini diungkapkan oleh Presiden PKS Sohibul Iman.
120
Sirojuddin, “Faktor Penyebab PDI-P Mengambil Posisi Oposisi Terhadap
Pemerintahan SBY-JK,”(Skripsi S1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008) 121
Wawancara dengan Dr. Lili Romli, Pengamat Politik LIPI, pada tanggal 4 Juli 2017,
pukul 08.55 WIB 122
Wawancara dengan Prof. Syamsudin Haris, Pemangamat Senior LIPI, pada tanggal 7
Juli 2017, pukul 10.20 WIB
123 “Presiden PKS Tegaskan Komitmen Partainya Tetap di KMP,” artikel diakses pada 2
September2017darihttp://www.google.co.id/amp/m.tribunnews.com/amp/nasional/2016/01/13presi
den-pks-tegaskan-komitmen-partainya-tetap-di-kmp
66
3. Oposisi Fundamental
Oposisi fundamental yaitu oposisi atau kritikan kepada seluruh rangkaian
kebijakan kunci dari rezim yang berkuasa, tetapi tidak menolak sistem itu sendiri.
Tipe ini menjelaskan bahwa oposisi berpotensi untuk menggagalkan kebijakan
utama yang dianggap penting oleh penguasa. Bisa saja kebijakan yang
dikampanyekan pada saat pemilihan umum atau kebijakan yang ditentukan
melalui Anggaran Pembangunan Belanja Negara (APBN).
Nawa Cita merupakan produk ide unggulan dalam visi dan misi Joko
Widodo-Jusuf Kalla yang tertuang dalam sembilan agenda prioritas. Hal tersebut
berulang kali disampaikan pada masa-masa kampanye dan setelah terpilih menjadi
Presiden dan Wakil Presiden.124
Adapun Gerindra dan PKS dalam merespon
Nawa Cita hanya sebatas mengkritisi dan bukan pada sikap menolak. Sama halnya
dengan APBN, pasca reformasi dimana PDI P telah lebih dahulu memulai oposisi
pada masa kepemimpinan SBY 2 periode, tidak pernah ada yang catatan tiap
tahun untuk menolak APBN. Begitupun dengan Gerindra dan PKS yang juga
cenderung untuk menerima sejak 2014. Realita tersebut mengindikasikan bahwa
fungsi oposisi hanya menjadi critical partner.125
124
“Nawa Cita, 9 Agenda Prioritas Jokowi-JK,” artikel diakses pada 3 September 2017
dari
http://www.google.co.id/amp/amp.kompas.com/nasional/read/2014/05/21/0754454/.Nawa.Cita.9.
Agenda.Prioritas.Jokowi.JK 125
Wawancara dengan Djayadi Hanan, Direktur Eksekutif SMRC, pada tanggal 18
Agustus 2017, pukul 13.30 WIB
67
4. Oposisi Spesifik
Oposisi Spesifik merupakan oposisi yang ditujukan kepada kebijakan-
kebijakan tertentu yang merupakan bagian dari kebijakan umum tanpa menolak
rezim, para pemimpin, maupun kebijakan utama yang dikeluarkan
pemerintahan.126
Kebijakan-kebijakan tersebut biasanya sesuatu yang dianggap
isu krusial sebab terdapat untung dan rugi oleh partai politik.
a. Respons Gerindra dan PKS Terhadap Hak Angket KPK Dalam
Tipe Oposisi Spesifik
Hak Angket KPK menuai banyak sekali perdebatan. Isu ini menjadi
penting sebab melibatkan banyak anggota partai politik yang memberikan
tanggapannya di media, baik cetak maupun on line. Perseteruan antara anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
semakin panas, masing-masing pihak merasa bahwa langkah mereka selama ini
tidak pernah salah. Keduanya bersikeras untuk mempertahankan pendapatnya.
Maka, Sidang Paripurna DPR pun akhirnya menyetujui Hak Angket KPK.127
Hak angket sendiri merupakan salah satu hak yang dimiliki DPR dalam
menjalankan tugas dan fungsi-nya sebagai badan pengawasan sebagaimana diatur
dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat
126
Lenny Puspadewi, “Oposisi di Indonesia: Studi Kasus Gerakan Mahasiswa 1998 di
Jakarta,” h. 19 127
Indonesia Lawyers Club ILC tvone, “DPR Versus KPK Semakin Runcing” [Part 1] ,
11 Juli 2017. Diakses pada 30 Agustus 2017 darihttps://www.youtube.com/watch?v=bxB-
h64u9z8
68
mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.128
Tidak
saja dalam UUD 1945, tetapi hal ini ditegaskan dengan wewenang dan tugas DPR
di Pasal 73 ayat (3) dalam UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD.129
Jelasnya, hak angket merupakan sebuah hak penyelidikan yang dimiliki
oleh DPR terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting,
strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, bernegara.
Perjalanan angket KPK bermula dari pencabutan seluruh keterangan di
berita acara pemeriksaan (BAP) Miryam S. Haryani, yang kebetulan merupakan
anggota DPR RI dari Fraksi Hanura, perihal pembagian uang untuk sejumlah
anggota DPR dalam kasus Korupsi e-KTP. Komisi III DPR RI kemudian meminta
KPK untuk membuka bukti rekaman pemeriksaan Miryam. KPK menolak
permintaan Komisi III DPR tersebut sehingga Komisi III pun sepakat untuk
mengusulkan penggunaan hak angket yang merupakan hak konsitusional dari
fungsi pengawasan.130
Maka dengan berbekal 26 tanda tangan usulan Hak Angket DPR akhirnya
disahkan. Dalam sidang Paripurna pada 26 April 2017 lalu, mayoritas Fraksi di
DPR setuju Hak Angket melaju. Sementara dari 10 Fraksi yang ada, hanya tiga
partai yakni Gerindra, PKS dan PKB yang memilih untuk walkout.131
128
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal
MPR RI 2016, undang-undang ini atas perubahan kedua, h. 36. 129
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, pasal 73 ayat 3, h. 34. 130
“PKS dan Hak Angket KPK,” diakses pada 30 Agustus 2017 dari
http://pks.id/content/pks-dan-hak-angket-kpk
131 Indonesia Lawyers Club ILC tvone, “KPK Dibidik” [Part 1], 2 Mei 2017, Diakses
pada 30 Agustus 2017 dari https://www.youtube.com/watch?v=xRjApxqvoyA
69
Gerindra menyatakan menolak keputusan pengajuan hak angket KPK yang
diketok oleh Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, dalam rapat paripurna DPR, pada
28 April lalu. Mereka beralasan, hak angket KPK justru akan berpotensi
melemahkan komisi anti rasuah tersebut. Walau menolak, partai berlambang
garuda dan besutan Prabowo Subianto ini pun, di sisi lain anggota fraksinya ikut
menandatangani pengajuan hak angket tersebut. Wakil Ketua Umum DPP Partai
Gerindra, Fadli Zon menyatakan fraksinya bersedia ikut mengawasi kinerja
Pansus Hak Angket KPK dengan mengirimkan sejumlah nama untuk menjadi
perwakilan di dalam pansus.132
Fadli menyatakan bahwa, walaupun di Paripurna kami menolak, tapi bisa
saja kami mengirimkan perwakilan fraksi karena perlu ada juga pengawasan,
kalau tidak, kami tidak bisa terlibat.133
Senada dengan Fadli Zon, Ferry Juliantono
yang juga Wakil Ketua DPP Partai Gerindra sekaligus anggota DPR ini
berpandangan bahwa, DPR mungkin ada salahnya, begitupun KPK. Artinya hal
ini harus menjadi instropeksi bagi kedua pihak bahwa kekurangan mungkin saja
terjadi.134
Namun begitu, beberapa bulan kemudian Fraksi Partai Gerindra di DPR
memutuskan untuk menarik empat perwakilannya dari Panitia Angket untuk KPK.
Gerindra beranggapan Panitia Angket tidak sah, karena belum semua fraksi
132
“PAN dan Gerindra Berbalik Arah dalam Hak Angket KPK,” artikel diakses pada 28
Agustus 2017 dari https://tirto.id/pan-dan-gerindra-berbalik-arah-dalam-hak-angket-kpk-cp9h
133 Wawancara dengan Fadli Zon Wakil Keua DPR RI Fraksi Gerindra Pada tanggal 5
Juni 2017, pukul 10.00 WIB
134 Wawancara dengan Ferry J. Juliantoro anggota DPR RI Fraksi GerindraPada tanggal 4
Juli 2017, pukul 18. 47 WIB
70
menyetorkan nama perwakilannya sebagaimana yang diatur dalam tata tertib DPR
serta Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Salah satunya partai PKS
dan PKB.135
Bak gayung bersambut, langkah tersebut langsung ditanggapi oleh
Presiden PKS Sohibul Iman yang mengapresiasi hal tersebut.136
Sikap tegas juga ditunjukkan oleh PKS melalui anggotanya di DPR yakni
Mardani Ali Sera yang dari awal sudah tidak menyetujui adanya hak angket KPK
dan berkomitmen untuk menolaknya. Mardani beranggapan jika momentum
digulirkannya hak angket ini kurang tepat. Ada kekhawatiran pansus dapat
melakukan intervensi hukum terkait kasus megakorupsi e-KTP yang saat ini
ditangani KPK. Seperti diketahui, saat ini KPK sedang menyelidiki megakorupsi
Kartu Identitas atau Elektronik Kartu Tanda Penduduk (E-KTP) yang merugikan
negara hampir Rp 2,3 triliun, sebanyak 49 persen dari total anggaran Rp 5,5 triliun
uang APBN.137
Pernyataan untuk menolak hak angket berikutnya keluar dari Pipin Sopian,
Kepala Departemen Politik PKS. Asumsinya jelas mengingat cara pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh pimpinan DPR secara serta merta langsung
mengetuk palu sidang tanpa meminta pendapat pada peserta sidang. Seharusnya
tidak bisa langsung diketuk begitu saja, pasti ada pihak yang tidak setuju dan
135
Panitia Angket KPK Terancam Bubar, tempo edisi 31 Juli-6 Agustus 2017, h. 23. 136
“PKS Apresiasi Gerindra yang Keluar dari Pansus Angket KPK,” artikel diakses pada
28 Agustus 2017 dari https://news.detik.com/berita/d-3573445/pks-apresiasi-gerindra-yang-keluar-
dari-pansus-angket-kpk
137 “PKS dan Hak Angket KPK,” artikel diakses pada 30 Agustus 2017 dari
http://pks.id/content/pks-dan-hak-angket-kpk
71
menolak bahkan bisa jadi votting. Pipin khawair ada-nya conflict of interest antara
hak angket dengan kasus E-KTP atau semacam ada bargaining politik.138
Baik Gerindra dan PKS sudah memberikan kritik bahkan sikap terhadap
kebijakan tersebut. Melalui penjelasan di atas kedua nya tergolong sama dalam
memandang isu hak angket KPK, yakni dengan melihat beberapa prasyarat-
prasyarat atas terbentuknya wewenang dan tugas DPR mengenai hak angket.
Misalnya dengan merujuk pada Pasal 199 Ayat (3) UU No 17 Tahun 2017 tentang
MPR, DPR, DPD dan DPRD, usul disimpulkan bahwa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menjadi hak angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat
paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR
dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah
anggota DPR yang hadir.
Ditambah Pasal 201 ayat (2) UU No 17 Tahun 2017 tentang MPR, DPR,
DPD dan DPRD pun juga disebutkan bahwa, dalam hal DPR menerima usul hak
angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPR membentuk panitia khusus
yang dinamakan panitia angket yang keanggotaannya terdiri atas semua unsur
fraksi DPR,139
Pada saat pembahasan usulan hak angket saat sidang paripurna
diwarnai walkout beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Fraksi karena
protes sikap pimpinan DPR yang tidak mengakomodasi interupsi mereka.
138
Wawancara dengan Pipin Sopian, Kepala Departemen Politik PKS, pada tanggal 22
Agustus 2017, pukul 18.00 WIB
139Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, pasal 199 ayat 3, h. 96-98.
72
b. Respons Gerindra dan PKS Terhadap RUU Pemilu Dalam tipe
Oposisi Spesifik
Rancangan Undang-Undang Pemilu (RUU Pemilu) yang digodok secara
intensif dan disertai dinamika pembahasan yang tinggi akhirnya resmi disahkan
pada Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jumat 21 Juli 2017
dini hari. Lamanya proses pembahasan tak lantas membuat pengesahan berjalan
lacar, lobi berlangsung cukup lama dan alot.140
Banyak hal menarik pada isu Undang-undang Pemilu ini. Koalisi partai di
dalam pemerintahan dengan partai oposisi melakukan proses politik yang cukup
panjang dan menuai perhatian publik. Bagaimana tidak, RUU yang seharusnya
dibahas dan selesai pada tahun 2016 ternyata mundur hingga lebih dari 10 bulan.
Hal ini membebankan panitia penyelenggara pemilu Komisi Pemilihan Umum
(KPU) dan partai politik yang mengikuti kompetisi pemilu hanya memiliki waktu
persiapan yang terbatas. Ditambah pada pemilu 2019 nanti, penyelenggaraan
pemilu dilaksanakan secara serentak, baik pemilihan anggota legislatif maupun
eksekutif.
Oleh sebab itu semua partai mengambil inisiatif dalam menentukan
Undang-undang Pemilu. Sebab, persoalan pilihan paket pada RUU Pemilu ini
akan mempengaruhi konstelasi pertarungan partai politik pada tahun 2019. Belum
140
“Lucunya Drama Rapat Paripurna Pengesahan UU Pemilu,” artikel diakses pada 29
November 2017 dari http://nasional.kompas.com/read/2017/07/22/05400051/lucunya-drama-rapat-
paripurna-pengesahan-uu-pemilu-
73
lagi syarat-syarat partai politik peserta pemilu yang juga dibahas di dalam RUU
tersebut. Adapun lima paket isu krusial dalam RUU Pemilu itu ialah:
Tabel IV.B.1
Lima Paket Isu Krusial dalam RUU Pemilu
Paket A Paket B Paket C Paket D Paket E
Presidential
Threshold:
20-25 persen
Presidential
Threshold: 0
persen
Presidential
Threshold:
10-15 persen
Presidential
Threshold:
10-15 persen
Presidential
Threshold: 20-
25 persen
Parlementery
Threshold: 4
persen
Parlementery
Threshold: 4
persen
Parlementery
Threshold: 4
persen
Parlementery
Threshold: 5
persen
Parlementery
Threshold: 3,5
persen
Sistem
Pemilu:
Terbuka
Sistem
Pemilu:
Terbuka
Sistem
Pemilu:
Terbuka
Sistem
Pemilu:
Terbuka
Sistem Pemilu:
Terbuka
Dapil
Magnitude
DPR: 3-10
Dapil
Magnitude
DPR: 3-10
Dapil
Magnitude
DPR: 3-10
Dapil
Magnitude
DPR: 3-8
Dapil
Magnitude
DPR: 3-10
Metode
Konversi
Suara: Sainte-
Lague Murni
Metode
Konversi
Suara: Kuota
Hare
Metode
Konversi
Suara: Kuota
Hare
Metode
Konversi
Suara:
Sainte-Lague
Murni
Metode
Konversi
Suara: Kuota
Hare
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Kemunculan opsi ini tentu saja tidak terlepas dari keinginan pemerintah
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan tingginya syarat pencalonan
bertujuan menguatkan sistem presidensial. Ini untuk memastikan presiden terpilih
mendapat dukungan penuh parlemen.141
Dengan begitu tarik ulur dan lobi-lobi
politik pun tak terelakan. Puncaknya ketika pembahasan ambang batas pencalonan
141
“Prabowo-Yudhoyono Lawan Syarat Calon Presiden,” tempo edisi 31 Juli-6 Agustus
2017, h. 22.
74
presiden. Dari kelima paket isu krusial ini sejumlah partai melakukan proses
lobi142
yang kemudian dipertegas menjadi dua paket, yakni;
Tabel IV.B.2
Dua Paket Pilihan Pada Pembahasan RUU Pemilu
NO Paket A Paket B
1 Presidential Threshold: 20-25
persen
Presidential Threshold: 0 persen
2 Parlementery Threshold: 4 persen Parlementery Threshold: 4 persen
3 Sistem Pemilu: Terbuka Sistem Pemilu: Terbuka
4 Dapil Magnitude DPR: 3-10 Dapil Magnitude DPR: 3-10
5 Metode Konversi Suara: Sainte-
Lague Murni
Metode Konversi Suara: Kuota
Hare
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Alih-alih mencapai kesepakatan mufakat setelah melakukan lobi dua opsi paket A
dan B, sejumlah partai yakni Gerindra, PAN, Demokrat, dan PKS justru
memutuskan walk out dari ruang sidang sewaktu pengambilan keputusan di
paripurna DPR karena tak mau ikut votting RUU Pemilu.143
Gerindra dan PKS yang memang sedari awal berkeinginan untuk memilih
paket B tentu saja memiliki argumentasi yang kuat. Fadli Zon berpandangan
bahwa partainya tidak ingin setiap penyelenggaraan pemilu undang-undangnya
142
“PKS Walk Out, Tapi Fahri Bertahan di Ruang Sidang Karena,” artikel diakses pada
28 Agustus 2017 dari https://nasional.tempo.co/read/news/2017/07/21/078893190/pks-walk-out-
tapi-fahri-bertahan-di-ruang-sidang-karena
143 “Nyanyian Anggota Gerindra Saat Walk Out Paripurna RUU Pemilu,” artikel diakses
pada 28 Agustus 2017 dari https://news.detik.com/berita/d-3568006/nyanyian-anggota-gerindra-
saat-walk-out-paripurna-ruu-pemilu
75
diganti. Sementara syarat yang dipakai untuk pemilu 2014 sudah usang dan tidak
bisa diberlakukan pada pemilu 2019, karena cacat hukum.
Jadi tidak mungkin dipakai presidential treshold dari pemilu sebelumnya
pada saat Gerindra memperoleh 4,3% suara. Dengan pemilu serentak tidak ada
lagi jeda waktu untuk mengetahui presidential treshold. Maka semua partai
peserta pemilu atau partai yang sudah ada perwakilannya di DPR berhak untuk
mengajukan calon Presiden sendiri.144
Pernyataan keberatan lainnya juga disampaikan oleh pakar Tata Negara
Refli Harun. Pertama, menurutnya hasil pemilu 2019 sesungguhnya sudah
digunakan pada pemilihan presiden 2014 yang menghasilkan dua pasangan calon,
yaitu pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dan pasangan Prabowo-Hatta Rajasa.
Kedua, pemilu 2019 bukan satu rangkaian dengan pemilu 2014, ini jelas
rangkaian yang berbeda, termasuk jumlah peserta pemilunya. Ketiga, jika hasil
pemilu 2014 ini digunakan sebagai basis, maka nanti akan berlaku yang namanya
unequal treatment atau perlakuan yang tidak sama dengan partai baru yang akan
mengikuti pemilu 2019 ke depan. Dan kalau partai baru itu ditetapkan sebagai
peserta pemilu, maka dia sudah kehilangan hak konstitusionalnya, yaitu untuk
bisa mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebab mereka hanya
bisa mendukung dan bukan mengusulkan.145
Disamping itu, dengan sistem pemilu
144
Wawancara dengan Fadli Zon Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Wakil Ketua DPR
RI Fraksi Gerindra, pada tanggal 5 Juni 2017, pukul 10.00 WIB
145 Indonesia Lawyers Club, “UU Pemilu: DPR Terbelah, Rakyat Bingung” [Part 2],
publikasi pada 25 Juli 2017, diakses pada 31 Agustus 2019 dari
https://www.youtube.com/watch?v=bJ5Wyf3oNFA&index=2&list=PLp-
yAbTkqMbvYWJBxWxDXAasnEYiTgfE3
76
serentak yang akan dilaksanakan pada 2019 tentu pemilihan presiden akan
bersamaan dengan Pemilihan Legislatif dan itu adalah sesuatu hal yang baru.
Bukan saja Gerindra yang konsisten akan paket B, tetapi juga PKS.
Bahkan Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jazuli Juwaini mengatakan
akan melakukan konsolidasi internal untuk memutuskan mengajukan uji materi
Undang-Undang Penyelenggara Pemilu.146
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo
Subianto juga, sepakat akan melawan ambang batas pencalonan presiden
Presidential Threshold dalam Undang-undang Penyelenggaraan Pemilihan
Umum. Baginya Presidential Threshold adalah lelucon politik yang menipu
rakyat Indonesia.147
Dengan demikian perdebatan secara politik sudah berakhir, sebab DPR
sudah mengetuk palu dan mengesahkan UU Penyelenggaraan Pemilu. Tetapi
secara konstitusional hal ini masih dalam perdebatan yakni dalam ranah hukum.
Artinya pihak yang mengajukan yudicial review baik oleh partai politik maupun
masyarakat dapat dilakukan secara indvidu ataupun kelompok.
Pada tipe ini partai oposisi menujukan respons yang cukup keras. Ini dapat
dicermati ketika Gerindra dan PKS melakukan penolakan dan bahkan walkout
diikuti oleh partai Demokrat dan PAN ketika masa persidangan sedang
berlangsung. Diantara kebijakannya adalah mengenai Hak Angket KPK dan RUU
146
“PKS Konsolidasi Internal Untuk Uji Materi UU Pemilu,” artikel diakses pada 31
Agustus 2017 dari https://m.cnnindonesia.com/politik/20170721093804-32-229350/pks-
konsolidasi-internal-untuk -uji-materi-uu-pemilu/ 147
“Prabowo-Yudhoyono Lawan Syarat Calon Presiden,” tempo edisi 31 Juli-6 Agustus
2017, h. 22.
77
Pemilu. Maka apa yang sudah dipraktikkan oleh Gerindra dan PKS tergolong tipe
Oposisi Spesifik.
c. Respons Gerindra dan PKS Terhadap RUU Tax Amnesty Dalam
Tipe Oposisi Spesifik
Sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas dalam tipologi oposisi, pada
pembahasan Tax Amnesty partai Gerindra dan PKS mempunyai sikap politik yang
berbeda dengan pembahasan RUU Pemilu dan Hak Angket KPK. Jika pada dua
pembahasan sebelumnya Gerindra dan PKS menolak bahkan samapi dengan sikap
politik yang melakukan walk out, dalam kasus ini kedua partai justru menerima.
Tax Amnesty atau Pengampunan Pajak adalah sebuah kebijakan
pemerintah yang baru saja disahkan menjadi Undang-undang Nomer 11 Tahun
2016 tentang Pengampunan Pajak. Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak
yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi
pidana dibidang perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar uang
tebusan. Tujuannya, mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi
melalui pengalihan harta, mendorong reformasi perpajakan menuju sistem
perpajakan yang lebih berkeadilan, dan meningkatkan penerimaan pajak untuk
pembiayaan pembangunan.148
Dalam pembahasan RUU Tax Amnesty mayoritas anggota legislatif di
dalam Parlemen menyepakati usul pemerintah tentang Tax Amnesty, sehingga
148
Undang-undang Republik Indonesia Nomer 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan
Pajak, Pasal 1 dan 2, h. 2- 4.
78
dalam pelaksanaannya pun tidak memakan banyak waktu. Hanya saja, Gerindra
dan PKS memberikan catatan penting dalam Rancangan UU tersebut.
Anggota DPR RI dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera, mengatakan bahwa
PKS menerima usulan tersebut tetapi dengan beberapa catatan. Memang
pemerintah tidak punya alternatif lain. Sedangkan jika pemerintah meminjam atau
berhutang lagi maka akan memberatkan APBN untuk ke depannya.149
Pendapat
yang sama disampaikan oleh Ecky Awal Mucharram yang juga anggota DPR RI
dari Fraksi PKS. Menurutnya, Tax Amnesty tidak akan berhasil tanpa perbaikan
sistem perpajakan dan penegakan hukum.
Perkembangan keterbukaan informasi melalui Automatic Exchange of
Information (AEoI)150
pada 2018 akan secara otomatis merepatriasi dana,
sehingga pemerintah tidak perlu terburu-buru. Hingga akhirnya sebelum
pengambilan keputusan ditingkat paripurna, Fraksi PKS memberikan catatan
sebagai berikut:
1. Objek pengampunan pajak PPh, PPN, PnBM151
, itu tidak lazim
dalam Tax Amnesty di negara lain. PKS mengusulkan objek PPh
saja.
149
Wawancara dengan Mardani Ali Sera, Wakil Sekretaris Jenderal PKS, Anggota DPR
RI, pada tanggal 23 Mei 2017, pukul 12.30 WIB
150 AEoI adalah sistem yang mendukung adanya pertukaran informasi rekening wajib
pajak antar negara pada waktu tertentu secara periodik, sistematis, dan berkesinambungan dari
negara sumber penghasilan atau tempat menyimpan kekayaan, kepada negara residen wajib pajak. 151
Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dibebankan pada penghasilan perorangan,
perusahaan atau badan hukum lainnya.Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang
dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke
konsumen. Maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung
pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung
pajak yang ia tanggung. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) merupakan pajak yang
dikenakan pada barang yang tergolong mewah yang dilakukan oleh produsen (pengusaha) untuk
menghasilkan atau mengimpor barang tersebut dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
79
2. Pemerintah mengobral tarif yang sangat murah, sehingga
menciderai rasa keadilan. PKS memperjuangkan agar disesuaikan
dengan UU yang berlaku saat ini yaitu 30% maksimal.
3. Terkait harta yang tidak dideklarasikan, RUU Tax Amnesty
mengatur data yang tidak bisa dijadikan dasar tuntutan. Pasal itu
rawan dan tidak sejalan dengan penegakan hukum.
4. Dana repatriasi harus masuk ke sektor riil dan infrastruktur. Fraksi
PKS mendorong dana Tax Amnesty tidak hanya berbentuk
instrumen pasar uang yang bisa tiba-tiba keluar dan mengganggu
pasar keuangan. Holding periode harusnya minimal 5 tahun.
5. Batas waktu 31 Mar 2017 tidak sejalan dengan beban atau
pendapatan yang harus diakui pada akhir periode pelaporan
APBN152
dan bukan tidak mungkin akan terjadi shortfall.153
Dari penjelasan di atas, PKS keberatan dan belum sependapat terkait
pasal-pasal krusial di atas. Namun demikian, PKS menyetujui dan menyerahkan
sepenuhnya pengesahan RUU Tax Amnesty kepada pembicaraan tingkat II dalam
rapat paripurna.154
152
“RUU Tax Amnesty Lanjut ke Sidang Paripurna DPR,”artikel diakses pada 28
Agustus 2017 dari https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/3243453/ruu-tax-amnesty-
lanjut-ke-sidang-paripurna-dpr 153
Shortfall adalah kondisi ketika realisasi lebih rendah dibandingkan dengan target yang
ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau APBN Perubahan.
Dalam konteks penerimaan pajak, shortfall sering terjadi ketika realisasi penerimaan pajak dalam
satu tahun kurang dari target penerimaan pajak. “Misalnya saja, pada APBN Perubahan 2015
target penerimaan pajak sebesar Rp 1.294 triliun, sedangkan realisasinya sebesar Rp 1.060 triliun.
Maka shortfall yang terjadi adalah Rp 234 triliun (selisih target dan realisasi),” (sumber:
kompas.com) 154
“Sejumlah Partai Dukung RUU Tax Amnesty Disahkan, Netizen Minta Rakyat
Diperhatikan,” artikel diakses pada 28 Agustus 2017 dari http://eveline.co.id/ekonomi/sejumlah-
partai-dukung-ruu-tax-amnesty-disahkan-netizen-minta-rakyat-diperhatikan/
80
Sementara itu, Partai Gerindra juga menyatakan sikap setuju disahkannya
RUU Tax Amnesty menjadi Undang-Undang, mengingat keadaan Negara saat ini
dalam keadaan “Krisis Pendapatan” maka, Fraksi Gerindra melalui anggota
Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menjelaskan, walaupun Gerindra sebagai partai
di luar pemerintah, tetapi sejak awal sangat mengharapkan keberhasilan
pemerintah mencapai target pembangunan yang ditetapkan dalam Rencana
Pembangunan Jangka menengah (RPJM) tahun 2014-2019.155
Hal senada juga dikatakan oleh Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Gerindra,
Fadli Zon, Fadli mengatakan bahwa “kita awalnya menolak, tetapi karena
pemerintah merasa bahwa ini adalah sebuah kebutuhan dan dari hasil lobi dan lain
sebagainya ya akhirnya kita ikut memahami selama itu untuk kepentingan
bangsa.”156
Namun demikian partai yang dipimpin oleh Prabowo ini tetap
memberikan catatan pada pemerintah, yaitu:
1. Meminta kepada pemerintah untuk bekerja keras sehingga program
Tax Amnesty yang diperkirakan oleh pemerintah akan
menghasilkan tambahan penerimaan negara terbukti.
2. Setelah RUU Tax Amnesty diundangkan, Gerindra meminta
pemerintah mengadakan reformasi pajak sehingga dalam 3 tahun
mendatang pada tahun 2019 Tax Ratio Indonesia dapat mencapai
minimal 16% dari PDB.
155
“Sejumlah Partai Dukung RUU Tax Amnesty Disahkan, Netizen Minta Rakyat
Diperhatikan,” artikel diakses pada 28 Agustus 2017 dari http://eveline.co.id/ekonomi/sejumlah-
partai-dukung-ruu-tax-amnesty-disahkan-netizen-minta-rakyat-diperhatikan/
156Wawancara dengan Fadli Zon, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Wakil Ketua DPR
RI Fraksi Gerindra, pada tanggal 5 Juni 2017, pukul 10.00 WIB
81
3. Gerindra meminta agar RUU Tax Amnesty jika disahkan menjadi
UU merupakan yang terakhir bagi bangsa Indonesia, sehingga
dikemudian hari tidak akan ada lagi program tax amnesty, dan lain-
lainnya.157
berbeda dengan Ferry Juliantono, Wakil Ketua DPP Partai Gerindra yang
juga bertugas sebagai anggota DPR RI menyampaikan kritik yang cukup tajam
pada pemerintah. Menurutnya, “Tax Amnesty ini, sebetulnya sebagai pemerintah
agak bodoh jika dalam rangka untuk menutupi defisit APBN yang ada. Karena
pada saat itu, defisit APBN yang ada hampir mencapai angka 3%. Kita pada saat
itu hampir mencapai angka 3%. Tetapi anehnya, pemerintah Joko Widodo
mengusulkan satu opsi yang namanya Tax Amnesty. Padahal ada beberapa opsi
lain dalam rangka mencegah defisit anggaran yang terjadi. Pertama,
menyampaikan secara jujur kalau kita sedang bangkrut. Kedua, mencari pinjaman
hutang baru. Ketiga, menetapkan Tax Amnesty.
Tetapi yang menarik pemerintah dengan rasa percaya diri yang tinggi
hanya mengusulkan satu opsi yaitu Tax Amnesty. Tax Amnesty yang awalnya itu
akan digunakan oleh pemerintah untuk mengejar wajib pajak orang Indonesia
yang berada diluar negeri, yang konon kabarnya oleh pemerintah berkisar hampir
lima ribu triliun, ternyata Pemerintah melalui Departemen Keuangan dan Kantor
157
“Setuju Pengesahan, Gerindra Tetap Menganggap Undang-undang Tax Amnesty Akan
Jadi Masalah,” artikel diakses pada 21 Agustus 2016 dari
http://sinarkeadilan.com/2016/06/28/setujui-pengesahan-gerindra-tetap-mengganggap-undang-
undang-tax-amnesty-jadi-masalah/
82
Pajak bukan mengejar wajib pajak Indonesia yang ada diluar negeri seperti diawal
yang mereka sampikan melainkan hanya yang ada di dalam negeri”158
Walaupun kedua nya cenderung menerima kebijakan Pemerintah
mengenai Tax Amnesty, tetapi pada faktanya, apa yang dipraktekkan Gerindra dan
PKS sudah menggambarkan bahwa oposisi memang harus memberikan kritik dan
kontrol atas sikap, pandangan ataupun kebijakan pada pemerintahan berdasarkan
kenyataan yang terjadi.
Selain itu, kritik yang disampaikan Gerindra dan PKS juga berguna
sebagai persaingan dan tantangan yang sehat diantara para elit politik untuk
membantu mencarikan solusi atau setidaknya menawarkan alternatif dalam
membangun keuangan negara. Dengan begitu Pemerintahan yang berkuasa akan
terjaga dan tentu menyadari ada pihak lain yang bisa saja memberikan tawaran
kebijakan yang lebih baik.159
Callange untuk pemerintah akan lebih continue dan
itu mengutungkan sebetulnya dalam beberapa hal.
Pertama, itu akan memperbaiki kualitas kebijakan itu sendiri, yang pada
gilirannya membutuhkan mata telinga dan mulut orang di luar pemerintahan yang
bisa menjadi bisa penyempurna pembuat kebijakan.
Kedua, sebuah kekuatan itu cenderung untuk korup dan akan makin korup
kalau tidak ada check and balance tidak ada yang mengontrol. Rakyat menjadi
korban, karena tidak ada yang bisa menyuarakan alternatif pandangan pemikiran,
158
Wawancara dengan Ferry Juliantono, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, anggota
DPR RI Fraksi Gerindra, pada Pada tanggal 4 Juli 2017, pukul 18. 47 WIB 159
Firman Noor, “Oposisi Dalam Kehidupan Demokrasi: Arti Penting Keberadaan
Oposisi Sebagai Bagian Penguatan Demokrasi di Indonesia,” Masyarakat Indonesia, Vol 42, no. 1,
(Juni 2016): h. 5.
83
sementara mungkin alternatif itu dibutuhkan,160
yang hingga pada gilirannya
oposisi tidak hanya menjadi alat pemuas bagi sistem demokrasi saja, lebih dari itu
oposisi dapat meningkatkan produktifitas bagi tegak dan kokohnya demokrasi
sejati. Dengan kata lain, menjadi oposisi tentu bukan untuk menjatuhkan Presiden
di tengah jalan, tetapi untuk lebih mudah pertanggungjawaban Presiden kepada
publik.161
C. Respons Gerindra dan PKS dalam Pendekatan Pola Oposisi
Robert Dahl menjelaskan bahwa oposisi yang baik setidaknya memiliki
panduan dalam menggerakkan kekuatannya. Pertama, Kepaduan Oposisi atau
Konsentrasi; kedua, Daya Saing Oposisi; ketiga, Lokasi Oposisi; keempat, Ciri
Khas Oposisi; kelima, Tujuan Oposisi; keenam, Strategi Oposisi.162
1. Kepaduan (Cohesion) atau Konsentrasi (concentration) Oposisi
Sering dijumpai dalam beberapa negara demokratis, bahwa orang atau
kelompok yang secara aktif beroposisi setidaknya akan terkonsentrasi dalam satu
wadah yaitu organisasi atau partai politik. Sebab, partai politik adalah manifestasi
yang paling nyata dan bentuk oposisi yang paling efektif dalam sebuah negara
demokratis. Tetapi sampai ke mana oposisi ini terkonsentrasi tergantung kepada
sistem partai yang terdapat di suatu negara, di beberapa negara-negara demokrasi,
sebagian oposisi berbentuk kelompok dalam partai.
160
Wawancara dengan Dr. Firman Noor, Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI), pada tanggal 27 Juli 2017, pukul 09.30 WIB. 161
Anas Urbaningrum, Melamar Demokrasi; Dinamika Politik Indonesia, (Jakarta:
Penerbit Republika, 2004), h. 46-47. 162
Robert A. Dahl, Berbagai Pola Oposisi, dalam buku Partisipasi dan Partai Politik,
Miriam Budiardjo (penyunting), h. 122.
84
Dalam sistem oposisi seperti di Indonesia misalnya, oposisi tersebas di
antara beberapa partai. Dengan demikian, sistem multipartai dianggap sebagai
cara yang wajar bagi pemerintah dan oposisi untuk mengatur konflik yang terjadi.
Sejauh suatu oposisi memperhitungkan sistem partai di negaranya dalam memilih
strategi yang akan dipergunakannya, maka sistem partai yang berbeda-beda
haruslah dihubungkan dengan strategi yang berbeda-beda pula.163
PKS dan Gerindra bukan partai yang didasarkan atas kesamaan ideologi,
keduanya merupakan partai yang mempunyai ciri khasnya masing-masing. PKS
adalah partai yang mengedapankan nilai Islam sebagai alat perjuangannya
sementara, Gerindra adalah partai nasionalis yang tentu memiliki platform yang
berbeda dengan PKS.
Dalam konteks ini kepaduan yang dimaksud adalah kesatuan pikiran dan
kebulatan tekad. Walaupun PKS dan Gerindra berbeda ideologi, dalam beberapa
hal justru Probowo dan Sohibul Iman memiliki kesamaan pikiran. Mardani
menyebutkan bahwa ada aspek substansi dan aspek historisnya. Aspek historis-
nya adalah dukungan PKS pada Prabowo sebagai calon Presiden pada Pilpres
2014, disamping komitmen pada koalisi KMP. Menurut Mardani, secara substansi
tentu ketika kita mendukung Prabowo-Hatta kita punya beberapa pertimbangan
yang membuat kami yakin dengan perjuangan Prabowo-Hatta.164
Bahkan setelah
Pilpres selesai pun, Gerindra dan PKS memiliki kesamaan-kesamaan pemikiran
163
Robert A. Dahl, Berbagai Pola Oposisi, dalam buku Partisipasi dan Partai Politik,
Miriam Budiardjo (penyunting),h. 123-127. 164
Wawancara dengan Mardani Ali Sera, Wakil Sekretaris DPP PKS, anggota DPR Fraksi
PKS, pada tanggal 23 Mei 2017, pukul 12.30 WIB
85
yakni mengenai Pilkada di beberapa daerah, Perppu, UU Pemilu, Tax Amnesty
dan lain sebagainya.
2. Daya Saing Oposisi
Daya saing memungkinkan partai oposisi dapat bekerja secara maksimal
apabila oposisi sudah terkonsentrasi dan kepaduan diantara elemennya sudah
berjalan dengan baik. Dalam hal ini yang dimaksud dengan sifat bersaing,
bukanlah orientasi psikologis para pelaku politik, melainkan cara keuntungan dan
kerugian para lawan politik dalam pemilihan umum dan dalam parlemen yang
dihubungkan satu sama lain.
Secara emperis harus dipahami bahwa kekuasaan eksekutif berpotensi
menjadi birokratis dan tanpa pengawalan sebuah kekuatan oposisi, proses politik
akan cenderung menjadi stagnan.165
Tetapi posisi sebagai bagian koalisi di dalam
pemerintahan memudahkan partai memperoleh akses sumber daya politik dan
ekonomi sebagai sumber pembiayaan partai. Sesuatu di sini salah satunya bisa
dimaknai berupa akses terhadap sumber daya politik maupun finansial yang bisa
diperoleh dengan memiliki pengaruh dan peranan dikekuasaan. Di samping itu
juga mampu untuk membantu meningkatkan dukungan suara partai jika
pemerintahan yang didukungnya berhasil dalam penilaian publik.
Gerindra dan PKS tentu tidak banyak menikmati tambahan akses atau
sumber yang disebutkan tadi. Justru kesulitan akan hal itu bisa saja menjadi
penghambat dalam proses politik lainnya. Tetapi, jika pemerintahan itu sendiri
165
“Peran Oposisi Dalam Demokrasi ,” artikel diakses pada 3 September 2017 dari
http://www.kabarhukum.com/2016/01/27/peran-oposisi-dalam-demokrasi/
86
gagal dalam mengelola kekuasaannya tentu saja ini menjadi starting point bagi
partai oposisi untuk mendapatkan simpati rakyat. Artinya, jika partai pengusung
atau gabungan partai pemerintahan yang berkuasa tidak berhasil dan gagal, bisa
saja pada pemilu berikutnya akan ada hukuman dari rakyat, yaitu diberikannya
kekuasaan kepada partai oposisi.166
Sebab dukungan rakyat menjadi keuntungan
dalam bentuk insentif electoral.167
Perolehan suara Gerindra pada Pemilu 2009 ke 2014 mengalami hasil
yang positif. Sementara PKS justru mendapatkan hukuman dari pemilih sebab
turun dari pemilu sebelumnya. Salah satu petinggi partainya yakni, Lutfi Hasanah
Bolqiah terjerat kasus korupsi. Ditambah lagi pada masa 2009-2014 PKS
merupakan partai pendukung pemerintahan SBY, di mana Demokrat sendiri
mengalami banyak kasus korupsi yang dilakukan oleh kaderya.168
Begitupun hal
nya dengan PDI P. Partai besutan Megawati, yang semula merupakan partai
oposisi, kini berhasil meraih simpati publik yang begitu besar. Bahkan PDI P
menjadi partai pemenang pertama dalam peroleh suara nasional. Hasil ini menjadi
catatan tersendiri bagi PDI P sebab mengalami kenaikan suara dari pemilu di
tahun 2009.
166
Wawancara dengan Dr. Lili Romli, Pengamat Politik LIPI,pada tanggal 4 Juli 2017,
pukul 08.55 WIB
167Wawancara dengan Prof. Syamsudin Haris, Kepala Pusat Penelitian LIPI, pada tanggal
7 Juli 2017, pukul 10.20 WIB
168“Data Pemilu Legislatif 2009 vs 2014: Fenomena Gerindra dan PKB,” artikel diakses
pada 4 September 2017 dari http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/04/10/data-pemilu-
legislatif-2009-vs-2014-fenomena-gerindra-dan-pkb?page=2
87
Tabel IV.C.1
Presentase Perolehan Suara Partai Politik pada Tahun 2009 dan 2014
No
Partai Politik
Presentase Suara
Tahun 2009
Presentase Suara
Tahun 2014
1 Partai Nasdem - 6,72%
2 PKB 4,95% 9,04%
3 PKS 7,89% 6,79%
4 PDI Perjuangan 14,01% 18,95%
5 Partai Golkar 14,45% 14,75%
6 Partai Gerindra 4,46% 11,81%
7 Partai Demokrat 20,81% 10,19%
8 PAN 6,03% 7,59%
9 PPP 5,33% 6,53%
10 Partai Hanura 3,77% 5,26%
11 PBB 1,79% 1,46%
12 PKPI 0,90% 0,91%
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
3. Lokasi Oposisi
Karena oposisi mencoba mengadakan perubahan dalam tingkah laku
pemerintah, maka ia akan mempergunakan beberapa sumber daya politiknya
untuk mengajak, mendorong, atau memaksa pemerintah untuk mengubah
tindakannya. Situasi atau keadaan di mana oposisi mempergunakan sumber
88
dayanya untuk mengadakan suatu perubahan dapat dinamakan lokasi pertarungan
antara oposisi dan pemerintah.169
Dalam pengertian ini tentu saja lokasi yang dimaksud adalah wilayah
lembaga tinggi negara, antara legislatif dan eksekutif. Selain itu pada wilayah
pemilu, yakni pemilihan umum Kepala Daerah seperti DKI Jakarta. Vis a vis yang
dilakukan partai oposisi dengan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla
tergambar jelas pada kebijakan-kebijakan pemerintah. RUU Pemilu misalnya,
dimana perdebatan antara parlemen yang mewakili partai oposisi (Gerindra dan
PKS) sangat bersikap tegas untuk menolak usulan pemerintah dalam lima isu
krusial di dalamnya. Legislatif tidak saja bekerja sebagai pengawas tetapi juga
menyampaikan aspirasi masyarakat
Pada kesempatan itu, Gerindra dan PKS melakukan langkah-langkah kritis
terhadap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Hal tersebut juga terjadi pada
isu Hak Angket KPK, maka pada wilayah ini lah lokasi pertarungan oposisi
dengan penguasa terjadi. Tetapi hal menarik berikutnya, bahwa tidak saja pada
satu lokasi saja di parlemen.
Oposisi juga berjalan pada isu-isu pemilu, tepatnya dalam perebutan kursi
eksekutif pada Pilkada DKI Jakarta. Dalam Pilkada yang dimenangkan oleh
pasangan Anis-Sandi ini adalah pasangan yang di usung oleh Gerindra dan PKS.
Kedua partai oposisi ini, memegang komitmen yang sudah dibangun dari waktu
berdirinya KMP untuk mendorong Prabowo-Hatta. Hasil Pilkada DKI Jakarta
169
Robert A. Dahl, Berbagai Pola Oposisi, dalam buku Partisipasi dan Partai Politik,
Miriam Budiardjo (penyunting), h. 130-132.
89
menjadi sinyal kuat bahwa koalisi partai oposisi tidak saja mempunyai kesamaan
visi misi dalam jangka pendek tetapi juga untuk jangka panjang. Bisa saja kembali
mendukung Prabowo untuk maju sebagai calon Presiden.
4. Ciri Khas Oposisi
Pada hakikatnya oposisi itu sangat diperlukan dalam kehidupan
demokrasi. Peran partai oposisi akan memberikan warna sendiri dalam
menjalankan proses politik. Indonesia misalnya, sistem presidensil itu sebenernya
didesign supaya ada oposisi, supaya semua nya tidak berada di sekitar eksekutif,
agar parlemen punya kemampuan untuk mengkritisi eksekutif. Memang
tantangannya adalah karna jarak ideologis antar partai di Indoensia itu tidak
berbeda jauh, kemudian kebijakan antar partai baik dibidang politik, sosial,
budaya, ekonomi itu juga tidak terlalu jauh maka kecenderungan partai-partai
untuk ikut ke dalam pemerintahan itu lebih besar.170
Hanya saja memang apakah oposisi ini yang bersifat yang permanen
seperti di Inggris misalnya secara langsung yang kalah memang jadi oposisi,
sementara yang terjadi di Indonesia sifatnya temporer dan kasusistik dia mungkin
bisa loyal terhadap satu kasus tapi tidak sengan kasus yang lain, dia bisa menjadi
orang yang kritis dalam satu kasus tetapi jadi pengikut yang lain. Dalam kasus ini
oposisi yang dilakukan oleh Gerindra dan PKS menggunakan model oposisi
spesifik yakni pada pembahasan RUU Pemilu dan Hak Angket KPK, sementara
pada pembahasan Tax Amnesty Gerindra dan PKS menerima usulan pemerintah.
170
Wawancara dengan Djayadi Hanan, Direktur Eksekutif SMRC, pada tanggal 18
Agustus 2017, pukul 13.30 WIB
90
Sehingga kategorinya tergolong oposisi temporer atau kasusistik, yaitu dengan
melihat kebijakan tertentu.
Besarnya koalisi di Indonesia akan selalu berada pada angka 70%,
presentase ini disebabkan karena peraturan atau syarat dalam pencalonan Presiden
mengharuskan untuk partai berkoalisi. Maka dengan jarak ideologis yang tidak
jauh maka kecenderungan partai-partai untuk berada di oposisi itu tidak banyak.
Sistem presidensial multipartai ini menjadi unik karena pada akhirnya oposisi
biasanya dijadikan bargaining politik semata, atau setidaknya oposisi bersifat
loyal.171
Dalam sistem presidensial anggota koalisi yang sama itu dapat menjadi
kritis atau bersebrangan dengan pemerintah, sebagai contoh adalah PAN.
Sebagaimana diketahui PAN merupakan partai pendukung pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla. Artinya dalam segi substansi, oposisi dapat dimaknai
sebagai sikap kritis atau berbeda atau bertentangan dengan Presiden. Oleh sebab
itu sistem presidensial mendesign legislatif sebagai bagian dari oposisi terhadap
eksekutif secara sistem.
a. Indikator Oposisi PKS
Pada kasus Gerindra dan PKS ciri khas ini dilihat secara khusus dan lebih
dalam yakni dengan beberapa indikator atau faktor partai tersebut menjadi oposisi.
PKS misalnya, di samping pilihanya sebagai partai Islam, ini disebabkan karena
beberapa hal, yaitu:
171
Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 16.
91
Aspek historis, yakni pada saat dukungan PKS terhadap
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa. Selain itu, PKS juga ingin memberi
kesempatan untuk selalu mmperbaiki diri melalui proses check
and balance system. Jadi kami dengan sadar mengambil posisi
opisisi di luar pemerintahan untuk mengontrol dan menjaga
agar khitah benar-benar bekerja buat rakyat.172
Disamping itu
juga karena PKS ingin menyontohkan penghormatan atas
fatsun atau etika politik. Artinya oposisi tersebut dibangun atas
dasar kesepakatan bersama, bahwa ada sebuah tanda tangan
perwakilan para partai yang sepakat untuk membentuk koalisi
(KMP).173
Musyawarah Nasional Majelis Syuro PKS ke-IV, Majelis
Syuro PKS mengamanatkan bahwa PKS tetap berada di luar
pemerintahan untuk tetap menjadi oposisi dengan tagline
”Berhiktmat untuk Rakyat”. Melayani umat tidak harus berada
di dalam pemerintahan, menjadi oposan atau oposisi yang
sifatnya loyal, yaitu loyal kepada kepentingan masyarakat.
Bahkan PKS ditawarkan posisi di pemerintahan oleh Presiden
tetapi tidak diterima, sebab istiqamah, berhikmat untuk
172
Wawancara dengan Mardani Ali Sera, Wakil Sekretaris DPP PKS, anggota DPR
Fraksi PKS, pada tanggal 23 Mei 2017, pukul 12.30 WIB 173
“Sekjen PKS Sebut Dua Alasan Memilih Jadi Oposisi,” artikel diakses pada 9 Januari
2018 dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150915164929-32-78931/sekjen-pks-sebut-
dua-alasan-memilih-jadi-oposisi
92
melayani masyarakat dan menyadari betul check and balance
itu penting, karena khawatir pemerintahan bersikap
otoritarianisme dan diktator ketika tidak ada yang
mengawasi.174
Selain itu dalam acara Munas tersebut Sekretaris
Jenderal Mustafa Kamal mengatakan PKS akan bersikap kritis
pada program dan kebijakan Pemerintah yang tidak berpihak
pada kesejahteraan rakyat, bahwa reklamasi yang terjadi di
beberapa daerah nyata-nyata telah menunjukkan permasalahan
dan dampak serius pada beberapa aspek.175
Visi Misi partai yang ingin menjadikan PKS sebagai partai
dakwah yang kokoh berkhidmat untuk rakyat. Presiden Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) Muhammad Sohibul Iman meminta
kepada seluruh kadernya untuk mengembalikan PKS sebagai
partai dakwah. Bahkan dengan cara itu PKS bisa mencapai
target menjadi parpol besar dan mendapat dukungan dari
masyarakat. Dia meminta kepada seluruh kader PKS untuk
kembali membaca AD/ART partai untuk bisa
174
Wawancara dengan Pipin Sopian, Kepala Departemen Politik PKS, pada tanggal 22
Agustus 2017, pukul 18.00 WIB 175
“PKS Tetap Konsisten Jadi Oposisi Pemerintah,” artikel diakses pada 9 Januari 2018
pada http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/16/05/22/o7l222336-pks-tetap-
konsisten-jadi-oposisi-pemerintah
93
mengimplementasikan tujuan PKS untuk bisa menjadi partai
dakwah.176
b. Indikator Oposisi Gerindra
Tidak jauh hal dengan PKS, indikator atau faktor yang mempengaruhi
partai Gerindra tetap mempertahankan sebagai partai oposisi atau di luar
pemerintahan adalah;
Pemilihan umum Presiden 2014, seperti diketahui hasilnya,
meskipun kecewa karena pihak penyelenggara Pemilu kami
anggap melakukan ketidakcermatan dengan membiarkan
kecurangan-kecurangan yang terjadi terstruktur dan juga
terorganisir sistematis. Oleh karenanya dari latar belakang
seperti itu yang menjadi alasan Gerindra berada di luar
pemerintahaan. Bagi Gerindra, berada di luar pemerintahan
sama dengan berada di dalam pemerintahan. Pertama, kami
tidak ingin masyarakaat mempunyai anggapan bahwa kami
haus kekuasaan, kita ingin justru mengawasi jalannya
pemerintahan, dengan begitu akan lebih baik juga untuk
pemerintah. Kalau ada kebijakan-kebijakan yang bagus kita
akan mendukung, kalau ada kebijakan yang kurang bagus kita
kritisi dan koreksi, itu lah yang kami lakukan. Menurut saya
176
“PKS Menjadi Partai Dakwah dan Kekuatan Oposisi,” artikel diakses pada 9 Januari
2018 dari http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2015/09/15/39225/pks-menjadi-partai-
dakwah-dan-kekuatan-oposisi/#sthash.eCLl1Tr5.Zz2OxhZl.dpbs
94
sendiri sebagai bagian dari partai Gerindra dan tim sukses
Prabowo dan menjadi wakil Wakil Ketua DPR, tentu kita
mempunyai berbagai macam daftar dari janji-janji kampanye
yang saya bukukan, ada 100 janji Jokowi-JK. Dengan begitu
tahu mana janji yang terealisasi dan tidak. Sebagian besar janji
itu adalah janji-janji yang bagus. Tapi sejauh ini belum banyak
terealisasikan.
Platform, Gerindra dan Prabowo sendiri mempunyai platform
yang tidak sama dengan pemerintahan.177
Prabowo
mengemukakan, dasar berpikir atau platform Gerindra memang
dekat dengan cita-cita dan pandangannya mengenai ekonomi
kerakyatan serta kembali ke Pasal 33 UUD 1945 versi 18
Agustus 1945. Rohnya UUD 1945 harus ditegakkan. Kita
kehilangan arah. Kita lebih kapitalis dari negara-negara
kapitalis, para kapitalis di Indonesia tumbuh tidak terkendali.
Pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati segelintir orang borjuis
dan ini yang akan diperbaiki. Gerindra memiliki platform
memihak rakyat kecil secara jelas dan tegas.178
Ideologi, yakni tentang kemandirian, penolakan terhadap
dominasi asing, tentang kebocoran yang terjadi pada keuangan
Negara itu menjadi masalah yang prinsip. Joko Widodo
177
Wawancara dengan Fadli Zon Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Wakil Ketua DPR
RI Fraksi Gerindra, pada tanggal 5 Juni 2017, pukul 10.00 WIB 178
“Anti Korupsi ala Prabowo,” artikel diakses pada 9 Januari 2018 pada
http://partaigerindra.or.id/2008/09/24/anti-korupsi-ala-prabowo.html
95
dianggap sebagai sosok simbol yang didukung oleh kekuatan-
kekuatan konglomerat Tiongkok, maupun kekuatan politik dan
ekonomi multi national corporation. Dalam bentuknya yang
terbaru disebut kapitalisme Negara.179
5. Tujuan-Tujuan Oposisi
Dalam pandangan Dahl, oposisi bertujuan untuk menetang suatu
perubahan yang mungkin terjadi dalam; pertama, personalia pemerintahan; kedua,
kebijakan-kebijakan tertentu dari pemerintah; ketiga, struktur sistem politik;
keempat, struktur sosial ekonomi. Walaupun kategori ini sama sekali bukan
merupakan hal yang pasti dilakukan oleh oposisi diseluruh negara, tetapi untuk
kepentingan penyederhanaan ini setidaknya memudahkan oposisi untuk mencapai
tujuannya. Pandangan Dahl seperti diatas tidak bisa dijadikan suatu pedoman yang
baku, tetapi tergantung pada realita yang ada.
Pada konteks Indonesia, oposisi tidak dapat dijadikan alat untuk
menjatuhkan suatu pemerintahan, sebab pada masa pemerintahan Presiden sudah
diatur dalam UUD 1945 yaitu lima tahun masa jabatan Presiden dalam satu
periode.180
Adapun keinginan untuk memakzulkan Presiden itu harus ada syarat
yang tentunya melibatkan seluruh partai politik yang ada di Parlemen. Dengan
begitu, tidak mungkin dilakukan oleh Gerindra dan PKS untuk bertujuan
menjatuhkan Presiden.
179
Wawancara dengan Ferry J. Juliantoro anggota DPR RI Fraksi GerindraPada tanggal 4
Juli 2017, pukul 18. 47 WIB 180
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bab III Kekuasaan
Pemerintahan Negara, Pasal 7, h. 6.
96
Partai oposisi di Indonesia cenderung memiliki tujuan jangka pendek
sebab hitung-hitungannya masih pragmatis. Karenanya, kualitas oposisi dan
kehidupan politik bangsa kita masih pada level dalam pengertian sebagai cara atau
alat bargaining power.181
Tujuan jangka pendek ini biasanya tidak terlihat, tetapi
bisa dalam bentuk investasi untuk pemilu yang akan datang yakni pada tahun
2019.
Hal senada sudah disampaikan oleh Wakil Ketua Umum DPP Partai
Gerindra, Arief Puyono. Arif menegaskan jika kader Gerindra sejak partai itu
berdiri, tujuan hanya satu yaitu mengantarkan Prabowo sebagai presiden dan
hanya menginginkan kader-kadernya di pemerintahan kalau Prabowo menjadi
presiden.182
Sementara lain, hal menarik ditunjukkan oleh PKS kepada
pemerintahan, partai pimpinan Sohibul Iman tersebut enggan disebut sebagai
partai yang benar-benar kontra terhadap pemerintah. Presiden PKS Sohibul Iman
dalam pembukaan Musyawarah Kerja Nasional ke-4 PKS kemarin menegaskan
bahwa mereka tetap loyal terhadap pemerintah. Menurutnya apa yang dianut PKS
pada masa Pemerintahan Indonesia saat ini adalah loyal oposisi.183
Di samping itu
Presiden PKS Sohibul Iman juga meminta kepada seluruh kader PKS untuk
kembali membaca AD/ART partai untuk bisa mengimplementasikan tujuan PKS
181
Wawancara dengan Prof. Syamsudin Haris, Kepala Pusat Penelitian LIPI, pada tanggal
7 Juli 2017, pukul 10.20 WIB 182
“Gerindra Ditawari 4 Posisi Menteri Namun Tetap Memilih Oposisi,” artikel diakses
pada 5 September 2017 dari http://www.muslimbersatu.net/2017/01/gerindra-ditawari-4-posisi-
menteri.html
183“PKS Tegaskan Sikap Loyal Beroposisi,” artikel diakses pada 5 September 2017 dari
https://www.cnnindonesia.com/politik/20151105011928-32-89549/pks-tegaskan-sikap-loyal-
beroposisi/
97
untuk bisa menjadi partai dakwah, sehingga PKS bisa memperoleh suara sebesar
10 persen perolehan suara. suara.
Tujuan-tujuan bersifat pragmatis lainnya adalah ketika pembahasan di
Parlemen mengenai kebijakan RUU Pemilu, di mana Gerindra dan PKS ditambah
juga dengan PAN dan Demokrat yang memiliki pilihan politik yang sama yaitu
persoalan ambang batas Presiden.
6. Strategi-Strategi Oposisi
Apa yang dimaksudkan Dahl mengenai pola oposisi adalah suatu
rangkaian yang tak terpisahkan antara satu sama lainnya. Pola tersebut akan
membentuk suatu keputusan dan sikap yang pada akhirnya menjadi suatu pilihan
politik oleh partai oposisi. Sehingga pada akhirnya, oposisi memusatkan
perhatiannya kepada persaingan ketat dengan jalan berusaha untuk memperoleh
jumlah suara dalam pemilihan umum, setidaknya untuk memenangkan kursi di
Parlemen.
Dalam kasus di Indonesia hal ini sudah pernah dilakukan dan cukup
berhasil ketika Parlemen dalam pembahasan UU MD3 di mana sempat terjadi
kebuntuan antara pemerintah dengan lembaga legislatif. Oposisi yang masih
dalam satu kesatuan di KMP sangat dominan jumlahnya, ketimbang partai
pendukung pemerintahan saat itu. Tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama
sebab partai koalisi KMP satu persatu lebih memilih bergabung dengan
pemerintahan. Oleh sebabnya, memanfaatkan anggota perwakilan rakyat dari
partai Gerindra dan PKS yang ada di Parlemen adalah suatu upaya yang rasional
98
mengingat strategi ini adalah langkah yang konstitusional dan rakyat juga akan
menilai bahwa ini adalah hal yang sangat aspiratif.
Selain itu, Kendati mengambil posisi sebagai oposisi di pemerintahan,
Partai Gerindra ternyata tetap disukai oleh masyarakat. Apalagi figur Prabowo
Subianto, yang hanya kalah tipis dari Joko Widodo pada pertarungan Pilpres lalu,
masih dianggap figur yang kuat untuk Gerindra memperoleh dukungan publik.184
Strategi ini oposisi inilah yang menjadi pilihan untuk tetap mendapatkan
keuntungan elektoral pada saat pemilihan umum nanti, khususnya pada Pemilihan
Presiden 2019.
Sehingga apa yang dilakukan oleh Gerindra dan PKS adalah upaya dalam
melakukan sebuah publik opini yakni pendapat kelompok masyarakat yang
diperoleh melalui sebuah diskusi-diskusi ditengan masyarakat, yang tentu saja
menguntungkan bagi Gerindra dan PKS ketika menyangkut masalah
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
184
“Ini Alasan Mengapa Gerindra Masih disukai Rakyat,” artikel diakses pada 9 Januari
2018 dari http://partaigerindra.or.id/2016/03/31/ini-alasan-mengapa-gerindra-masih-disukai-
rakyat.html
99
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bedasarkan hasil dari analisis data dan temuan penelitian dapat
disimpulkan bahwa model oposisi yang diadopsi Gerindra dan PKS pada
pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla pada tahun 2017 adalah sebagai berikut:
Model oposisi yang diadopsi oleh Gerindra dan PKS adalah oposisi
spesifik, yakni oposisi yang bertujuan mengoreksi atau melakukan protes terhadap
kebijakan-kebijakan tertentu tanpa menolak rezim, para pemimpin, maupun
kebijakan utama yang dikeluarkan pemerintahan. Artinya oposisi tidak bermaksud
untuk mengubah tatanan sistem negara, menolak kebijakan utama pemerintahan
ataupun menentang individu Presiden. Melainkan diarahkan untuk inheren di
dalam tugas Legislatif. Dalam model ini dapat dicontohkan pada kasus RUU
Pemilu dan Hak Angket KPK.
Pertama, RUU Pemilu. Sikap oposisi ini dibuktikan dengan walkout nya
Gerindra dan PKS pada saat pembahasaan RUU Pemilu, karena perbedaan
pandangan dalam menentukan lima isu krusial terkait ambang batas Presiden.
Tentu saja sikap Gerindra dan PKS bertolak belakang dari usulan pemerintah yang
menginginkan paket A sebagai Rancangan Undang-Undang Pemilu.
Kedua, pembahasan Hak Angket KPK. Usulan ini tidak diajukan oleh
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, sebab hak angket ini merupakan hak
100
anggota DPR dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sebagaimana diatur
dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat yang
mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Walaupun
bukan kebijakan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, Gerindra dan PKS,
melalui perwakilannya di DPR RI juga melakukan koreksi dan protes di dalam
Parlemen. Respons Gerindra dan PKS dalam Hak Angket ini ditunjukkan dengan
tidak bersedia menanda-tangani serta tidak mengirimkan nama-nama anggotanya
sebagai bagian dari keanggotaan Hak Angket KPK tersebut. Karenanya, dalam
kasus RUU Pemilu maupun Hak Angket KPK, oposisi Gerindra dan PKS
merupakan model oposisi spesifik.
Sementara pada kasus Tax Amnesty, Gerindra dan PKS sama-sama
menyetujui usulan pemerintah tersebut. Walaupun menerima, Gerindra dan PKS
justru partai yang memberikan tanggapan dan kritik serta catatan pada pemerintah
terkait Tax Amnesty. Dengan demikian, meskipun menerima Tax Amnesty,
Gerindra dan PKS sudah menjalankan prinsip-prinsip oposisi. Artinya tidak saja
menjadi pengkritik atau pembeda, tetapi Gerindra dan PKS menerima usulan Tax
Amnesty, sebab hal tersebut merupakan pilihan terbaik demi kepentingan negara.
Artinya menjadi oposisi tidak saja menjadi penentang an sich, yang asal berbeda
saja dengan pemerintah, melainkan juga berfungsi berfungsi sebagai check and
balance antara pemerintah dengan pihak oposisi.
101
B. Saran
Sebagai hasil temuan yang menggunakan pendekatan tipe dan pola
oposisi, tentu saja penelitian ini memiliki kritik dari berbagai pihak. Masih banyak
kesulitan dalam penelitian ini, misalnya dalam mengklasifikasikan partai oposisi
dalam bangunan koalisi sebagaimana KMP pada saat pembentukan. Selain itu
kekurangan dalam penelitian ini adalah minimnya kajian perbandingan politik
terkait oposisi. Juga kurangnya data mengenai hasil sidang paripurna pada
pembahasan RUU Pemilu, Hak Angket KPK, dan Tax Amnesty. Ini disebabkan
karena data tersebut belum bisa diakses dari Pejabat Pengelola Informasi dan
Dokumentasi (PPID) Sekretariat Jenderal DPR RI. Kekurangan lainnya juga
terletak pada perilaku aktor dan partai oposisi itu sendiri. Penulis berasumsi
bahwa sebagian aktor memiliki sikap kompromistis, sehingga mempengaruhi
kinerja partai sebagai oposisi, bahkan tidak sesuai antara partai politik dengan
perilaku aktor politiknya. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya dapat dilakukan
dalam rangka mengurangi kelemahan serta kekurangan tersebut, yakni dengan
menambahkan data melalui PPID. Sebab, data yang diperoleh akan memastikan
perilaku partai dan elit politik bahwa perkataannya sesuai atau tidak dengan yang
terjadi dalam memustuskan pilihan yaitu disidang Paripurna.
102
Daftar Pustaka
Buku dan Disertasi
Anggawira, Mesin Pencetak Pemimpi (n). Jakarta: Inspirator Academy Publisher House,
2017.
AR, Hanta Yuda. Presidensialisme Setengah Hati; dari Dilema ke Kompromi. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Budiardjo, Miriam. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 2008.
Dahl, Robert. Berbagai Pola Oposisi, dalam buku Partisipasi dan Partai Politik, Miriam
Budiardjo (penyunting). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998.
Dahlan, Thamrin. Prabowo Presidenku. Sleman: Aryuning Sejahtera, 2013.
Dwipayana dan KH, Ramadhan. Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya. Jakarta:
Citra Lamtoro Gunung Persada, 1989.
Hanafi, Haniah dan Suryani. Politik Indonesia. Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2011.
Hanan, Djayadi. Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia. Bandung: Al-
Mizan, 2014.
Haris, Syamsudin. Praktik Parlementer Demokrasi Presidensial Indonesia. Yogyakarta:
Andi Offset, 2014.
HM, Zaenuddin. Prospek Gerakan Oposisi; Dalam Era Pemerintahan Gus Dur-
Megawati. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
Ikbar, Yanuar. Ekonomi Politik International – Konsep & Teori (Jilid 1). Bandung:
Refika Aditama, 2006.
Kencana Syafiie, Inu dan Azhari. Sistem Politik Indonesia. Bandung: Refika Aditama,
2012.
103
Kleden, Ignas. Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia. Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2001.
Labolo, Muhamadam dan Ilham, Teguh. Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di
Indonesia: Teori, Konsep dan Isu Strategi. Jakarta: RajaGrafindo, 2015.
Madjid, Nurcholish. Dialog Keterbukaan. Jakarta: Paramadina, 1998.
Mas’oed, Mohctar dan MacAndrews, Colin. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta:
Gadjah Mada Uneversity Press, 1986.
Muhtadi, Burhanuddin. Dilema PKS, Suara dan Syariah. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2012.
O’Donnell, Guillermo dan Philippe C. Schmitter. Transisi Menuju Demokrasi. Jakarta:
Pustaka LP3ES, 1993.
Rahmat, Imadudin. Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen.
Yogyakarta: LKiS, 2008.
Saefulloh Fatah, Eep. Membangun Oposisi; Agenda-Agenda Perubahan Politik Masa
Depan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.
Suhanda, Irwan, ed. Perjalanan Politik Gus Dur. Jakarta: Kompas Media Nusantara,
2010.
Uhlin, Anders. Oposisi Berserak: Arus Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia.
Bandung: Mizan, 1998.
Urbaningrum, Anas. Melamar Demokrasi; Dinamika Politik Indonesia. Jakarta: Penerbit
Republika, 2004.
Urbaningrum, Anas. Takdir Demokrasi: Politik untuk Kesejahteraan Rakyat. Jakarta:
Teraju, 2009.
Zon, Fadli. Manifesto Perjuangan Partai Gerindra. Jakarta: t.p, 2008.
104
Jurnal Ilmiah
Noor, Firman. 2014. ”Perilaku Politik Pragmatis Dalam Kehidupan Politik Kontemporer:
Kajian Atas Menyurutnya Peran Ideologi Politik di Era Reformasi.” Masyarakat
Indonesia 40-1:63.
Noor, Firman. 2016. “Oposisi Dalam Kehidupan Demokrasi: Arti Penting Keberadaan
Oposisi Sebagai Bagian Penguatan Demokrasi di Indonesia.” Masyarakat
Indonesia 42-1: h. 5.
Pahlevi, Indra. 2014. “Hasil Pemilu Anggota DPR RI Tahun 2014 dan Penerapan
Parliamentary Threshold.” Info Singkat Pemerintahan Dalam Negeri 6-9:1.
Romli, Lili. 2012. “Format Baru Dewan Perwakilan Rakyat Pasca Amandemen UUD
1945,” Politica, 3-2:195.
Skripsi, Tesis, Laporan, Paper
Damanhuri. “Konsep Partai Oposisi dalam Sistem Pemerintahan Studi Komparatif
Hukum Islam dan Hukum Positif.” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarifhidayatullah Jakarta. 2009.
Sirojuddin. “Faktor Penyebab PDI-P Mengambil Posisi Oposisi Terhadap Pemerintahan
SBY-JK”. (Skripsi S1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008)
Syah Putra, Gia Noor. “Sikap Politik Koalisi Merah Putih Terhadap Kebijakan Politik
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2015.
Puspadewi, Lenny. “Oposisi di Indonesia: Studi Kasus Gerakan Mahasiswa 1998 di
Jakarta.” Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
2002.
105
Suryani. “Oposisi di Indonesia: Studi tentang Partai Rakyat Demokratik pada Masa Orde
Baru (1996 - 1998).” Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia. 2005.
Laporan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2-15-2019.
2014.
Laporan Wahyuningroem, Sri Lestari. Dkk. “Laporan Akhir: Tinjauan Peran Partai
Politik Dalam Demokrasi di Indonesia.” Jakarta: Kementerian PPN/BAPPENAS.
2016.
Sudarsono, Juwono. “Masalah Pemerintahan, Partisipasi Pembangunan dan Oposisi”,
tulisan ini merupakan timbangan buku atas Robert Dahl dalam “Regimes and
Oppositions. New Haven: Yale University Press. 1973. arsip dokumen di
Perpustakaan Nasional pada 16 April 2017.
Artikel dari Majalah dan Surat Kabar
Gema Indonesia Raya, “Empat Tahun Partai Gerindra, Sejarah Akan Membenarkan
Perjuangkan Gerindra”. Edisi 11 maret 2012.
Imawan Hanafi, Ridho. ”Koalisi Parpol Oposisi” Kompas. 11 Februari 2016.
Implementasi “Tax Amnesty” untuk Pembangunan Nasional. Kompas. 16 Agustus 2016.
Website dan Media Cetak
“Anti Korupsi ala Prabowo,” artikel diunduh pada 9 Januari 2018 dari
http://partaigerindra.or.id/2008/09/24/anti-korupsi-ala-prabowo.html
“Arti Kata “Integral” Menurut KBBI.” diunduh pada 2 November 2017 dari
http://kbbi.co.id/arti-kata/integral
106
“Arti Kata “Faksi” Menurut KBBI,” diunduh pada 2 November 2017 dari
https://kbbi.web.id/faksi
“Bantah Dapat Jabatan. Ini Alasan PAN Dukung Pemerintahan Jokowi.” Suara News.
diunduh pada 24 Oktober 2017 dari
http://www.suara.com/news/2015/09/02/171943/bantah-dapat-jabatan-ini-alasan-
pan-dukung-pemerintahan-jokowi
“Gerindra: Kami Siap Jadi Oposisi Tunggal!.” Kompas. diunduh pada 9 April
2015darihttp://nasional.kompas.com/read/2016/01/08/18192991/Gerindra.Kami.
Siap.Jadi.Oposisi.Tunggal
“Gerindra Tolak Hak Angket KPK.” Kontan. diunduh pada 3 Juli 2017 dari
m.kontan.co.id/news/gerindra-tolak-hak-angket-kpk
Golkar Gabung ke Pemerintah,” Kompas. diunduh pada 24 Oktober 2017 dari
http://nasional.kompas.com/read/2016/05/17/11214021/Golkar.Gabung.ke.Pemer
intah.Presiden.PKS.Yakin.KMP.Tetap.Efektif
“Hatta Rajasa: Saya Satu Visi dengan Prabowo,” Tempo. diunduh pada 4 Mei 2017 dari
https://www.tempo.co/read/news/2014/05/13/270577541/hatta-rajasa-saya-satu-
visi-dengan-prabowo
“Ini Alasan PPP Melirik Koalisi Indonesia Hebat,” Suara News. diunduh pada 24
Oktober 2017 dari http://www.suara.com/news/2014/10/11/184659/ini-alasan-
ppp-melirik-koalisi-indonesia-hebat
“Jadwal Pemilu 2014,” diunduh pada 4 Mei 2017 dari http://www.pemilu.com/jadwal-
pemilu-2014/
“Mengapa Harus Tax Amnesty?,” Sindonews. diunduh pada 21 Agustus 2016 dari
http://nasional.sindonews.com/read/1105641/18/mengapa-harus-tax-amnesty-
1462184213/3
107
“Mayoritas Fraksi di DPR Menerima, PKS Tak Rubah Sikap Tolak Tax Amnesty,”
Publiknews. diunduh pada 15 Maret 2017 dari http://publik-news.com/mayoritas-
fraksi-di-dpr-menerima-pks-tak-rubah-sikap-tolak-tax-amnesty/
“Membangun Oposisi Demokratik,” Unisosdem. diunduh 9 0ktober 2017 dari
http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=7052&coid=3&caid=22&gid=
3
“Mengejutkan Ternyata Ini Alasan Golkar Tinggalkan KMP,” Pojok Satu. diunduh pada
24 Oktober 2017 dari http://pojoksatu.id/news/berita-
nasional/2016/01/28/mengejutkan-ternyata-ini-alasan-golkar-tinggalkan-kmp/
“Nawacita 9 Program Prioritas,” Utban Indonesia. diunduh pada 2 November 2017 dari
http://www.urbanindonesia.com/2014/09/nawa-cita-9-program-prioritas.html
“Oposisi Anak Sah Sistem Demokrasi,” Sindonews. diunduh pada 2 Juli 2017 dari
https://nasional.sindonews.com/read/887439/18/oposisi-anak-sah-sistem-
demokrasi-1406875364/13
“Oposisi Perspektif Kybernologi: Kybernologi Politik,” diunduh pada 2 Juli 2017
darihttp://www.kybernologi.org/Pemikiran_/Oposisi_Dalam_Perspektif_Kyberno
logi.pdf
“Pansus Angket Dinilai Kental Nuansa Pelemahan KPK,” cnn Indonesia. diunduh
31Oktober2017https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170910210650-12-
240792/pansus-angket-dinilai-kental-dengan-nuansa-pelemahan-kpk/
”Pembahasan RUU Pemilu Berujung Deadlock,” Kompas. diunduh 3 Juli 2017
darihttp://nasional.kompas.com/read/2017/03/30/09054211/pembahasan.5.isu.kru
sial.di.ruu.yang.berujung.deadlock.?page=all
“Peran Oposisi Dalam Demokrasi ,” Kabar Hukum. diunduh pada 3 September 2017 dari
http://www.kabarhukum.com/2016/01/27/peran-oposisi-dalam-demokrasi/
108
“PKS dan Gerindra Tolak Hak Angket Terhadap KPK,” Tempo. diunduh 3 Juli 2017 dari
https://nasional.tempo.co/read/news/2017/04/28/078870355/pks-dan-gerindra-
tolak-hak-angket-terhadap-kpk
“PKS Menjadi Partai Dakwah dan Kekuatan Oposisi,” artikel diunduh pada 9 Januari
2018 dari http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2015/09/15/39225/pks-
menjadi-partai-dakwah-dan-kekuatan-oposisi/#sthash.eCLl1Tr5.Zz2OxhZl.dpbs
“PKS Tetap Konsisten Jadi Oposisi Pemerintah,” artikel diunduh pada 9 Januari 2018
pada http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/16/05/22/o7l222336-
pks-tetap-konsisten-jadi-oposisi-pemerintah
“PKS Tegaskan Sikap Oposisi,” Republika. diunduh 14 Maret 2017 dari
http://www.republika.co.id/berita/koran/politik-koran/16/05/24/o7oh872-pks-
tegaskan-sikap-oposisi
“RUU Pemilu Tersandera Presidential Treshold,” Kompas. diunduh 3 Juli 2017
darihttp://nasional.kompas.com/read/2017/06/20/12261531/ruu.pemilu.tersandera
.presidential.threshold
“Sekjen PKS Sebut Dua Alasan Memilih Jadi Oposisi,” artikel diunduh pada 9 Januari
2018 dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150915164929-32-
78931/sekjen-pks-sebut-dua-alasan-memilih-jadi-oposisi
“Setuju Pengesahan, Gerindra Tetap Menganggap Undang-undang Tax Amnesty Akan
Jadi Masalah,”Sinar keadilan. diunduh pada 21 Agustus 2016 dari
http://sinarkeadilan.com/2016/06/28/setujui-pengesahan-gerindra-tetap-
mengganggap-undang-undang-tax-amnesty-jadi-masalah/
Admojo. Tuswoyo. “Oposisi Dalam Sistem Presidensial: Sepenggal Pengalaman Partai
Oposisi PDIP Dalam Pemerintahan SBY-JK,” diunduh pada 2 Juli 2017 dari
109
http://doktor-politik-ui.net/2015/10/oposisi-dalam-sistem-presidensial-sepenggal-
pengalaman-partai-oposisi-pdip-dalam-pemerintahan-sby-jk/#
“Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 6 Tahun 1954 Tentang Penetapan Hak
Angket Dewan Perwakilan Rakyat,” Kemenkumham. diunduh pada 3 Juli 2017
dari ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/In/1954/uu6-1954.pdf
“6 Parpol Dukung Pasangan Prabowo-Hatta dalam Pilpres,” Voa Indonesia. diunduh pada
4 Mei 2017 dari http://www.voaindonesia.com/a/parpol-dukung-pasangan-
prabowo-hatta-dalam-pilpres/1917769.html
Noor, Firman. dkk. “Evaluasi Pemilihan Presiden Wakil Presiden,” Rumah Pemilu.
diunduh pada 4 Mei 2017 dari 2014 dari
http://www.rumahpemilu.com/public/doc/2015_02_03_08_33_25_EXECUTIVE
%20SUMMARY%20PEMILU%20PRESIDEN%202014.pdf
Zuhroh, Siti. “Dilema Oposisi Politik Partai Gerindra” diunduh pada 2 Agustus 2016
dari http://www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/minangwan-Seminar-Membedah-
Peran-Fraksi-Gerindra-1457429725.pdf (makalah ini sudah pernah disampaikan
oleh pengamat politik Siti Zuhroh dalam acara seminar “Membedah Amal Bhakti
Sewindu Partai Gerindra.” 2016.
Wawancara
Wawancara dengan Mardani Ali Sera anggota DPR dari Fraksi PKS. Pada tanggal 23 Mei
2017.
Wawancara dengan Fadli Zon Wakil Keua DPR RI dari Fraksi Gerindra. Pada tanggal 5
Juni 2017.
Wawancara dengan Dr. Lili Romli, Peneliti Utama LIPI. Pada tanggal 4 Juli 2017.
110
Wawancara dengan Ferry J. Juliantoro anggota DPR RI dari Fraksi Gerindra. Pada
tanggal 4 Juli 2017.
Wawancara dengan Prof. Syamsudin Haris, Kepala Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI.
Pada tanggal 7 Juli 2017.
Wawancara dengan Dr. Firman Noor, Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI). Pada tanggal
Wawancara dengan Djayadi Hanan, Direktur Eksekutif SMRC. pada tanggal 18 Agustus
2017.
Wawancara dengan Pipin Sopian, Kepala Departemen Politik PKS pada tanggal 22
Agustus 2017
Wawancara dengan Mardani Ali Sera anggota DPR Fraksi PKS
Pada tanggal 23 Mei 2017, pukul 12.30 WIB
1. Penulis :
Saya melihat ada potensi yang sebetulnya besar baik itu di Gerindra ataupun PKS. Sebagai politisi
bagaimana bapak melihat potensi tersebut?
Narsum :
Kalau untuk PKS yang pertama, kami sebagai partai tentu sebagai menyiapkan diri menghadapi kompetisi
politik di 2017, 2018 dan puncaknya di 2019. Alhamdulillah dengan kemenangan pilkada DKI kita
berharap PKS mendapatkan PKS yang lebih besar dari masyarakat.
2. Penulis :
Faktor apa saja yang mempengaruhi PKS tetap berada di luar pemerintahan/oposisi?
Narsum:
yang pertama tentu ada aspek substansi dan ada aspek historisnya. Kalau aspek historisnya yang lebih
mudah karena dulu memang kita tidak mendukung Jokowi-JK tetapi kita mendukung pak Prabowo-Hatta,
jadi sikap kita konsisten, dulu kita mendukung Prabowo-Hatta jadi yang menang pak Jokowi-JK monggo
bapak jadi pimpinan kita tidak bergabung bersama. Kalau secara substansi tentu ketika kita mendukung
Prabowo-Hatta kita punya beberapa pertimbangan dan pertimbangan itu membuat kita yakin dengan
perjuangan Prabowo-Hatta. Dan Jokowo dengan nawasita bisa jadi bagus, tapi dalam pandangan kami yang
lain harus ada yang kontrol, kalau semuanya mendukung pemerintah lalu siapa yang menjadi suara rakyat.
3. Penulis :
Artinya sebagai oposisi itu, apa karena harus berbeda saja atau karena memang sebagai check and balance?
Narsum :
Dalam politik apalagi di dalam sistem demokrasi sekarang yang kita tahu demokrasi ini kan sistem yang
tidak sempurna. Tetapi dia memberi kesempatan untuk selalu mmperbaiki diri melalui proses check and
balance system. Jadi kami dengan sadar mengambil posisi opisisi di luar pemerintahan untuk mengontrol
dan menjaga agar khitah benar-benar bekerja buat rakyat.
4. Penulis :
Artinya dalam dua pandangan ini historis dan substansi, titik muaranya lebih kepada pilpres dulu begitu ya
pak?
Narsum:
Pilpres sih tidak menjadi titik muara, titik muaranya check and balance. Tetapi karena kita punya historis
ya kita teruskan, ternyata di koalisi merah putih sepakat kita jaga pemerintah ini dengan di luar melalui
sistem check and balance system tadi.
5. Penulis :
Tapi apakah secara administrasi tidak mengganggu PKS, karena koalisi oposisi ini katakanlah KMP sudah
banyak ditinggali oleh banyak partai-partai pendukung PAN misalkan yang sudah membubarkan KMP
hanya menyisakan PKS dan Gerindra yang konsisten. Apakah koalisi ini kemudian akan menjadi koalisi
permanen kedepannya mengingat ada pilkada Jabar?
Narsum :
Sampai sekarang bahasa yang digunakan pak Prabowo, bilang PKS itu sekutu yang artinya sekutu lebih
dari sekedar teman. Tapi apakah akan menjadi koalisi permanen tentu kita melihat ke depan karena koalisi
sendiri kalau secara kategori ada tiga, ada koalisi yang permanen, ada koalisi yang pragmatis, ada koalisis
yang strategis. Kami berharap dengan Gerindra tidaklah koalisis pragmatis tapi sudah masuk ke koalisi
yang starategi, kalau yang lebih bagus lagi koalisi permanen kalau memang memungkinkan kenapa tidak.
6. Penulis :
Artinya tidak menutup peluang di pilkada daerah dimanapun begitu pak?
Narsum :
Lebih besar peluangnya dengan partai Gerindra ketimbang partai lain, karena kita sudah punya banyak
kesepahaman
7. Penulis :
Lebih-lebih ada historisnya yang mengikat gitu ya pak?
Narsum :
Betul, kita sama-sama berjuang. Orang itu kalau berjuang kan ada perasaan (jiwa korsa)
8. Penulis :
Oke pak, saya tanya kembali tentang substansi yang disebutkan di awal. Secara substansial alternatif apa
yang ditawarkan PKS sebagai partai oposisi dalam mengawas kebijakan pemerintah Jokowi-JK?
Narsum:
Tentu kami punya plat form pembangunan sendiri, contohnya kemarin ketika tax amnesty pemerintah
mengusulkan besaran 0,3%, saya bilang 0,3% - 1 % lah. yang mau tax amnesty bayarnya hanya segitu, kita
bilang ini semua tidak adil orang yang rajin bayar pajak saja ppn nya 10%, ini yang ngemplang cuma 0,3 –
1 % katakan lah. Kita tidak setuju, walaupun pak Luhut datang kita tidak setuju, kita ingin minimal 10 %,
tapi mentok-mentok 4% lah. Ternyata pemerintah ikut kita, ada yang 2% ada yang 4% dan sebagainya.
Jadi, PKS menyadari diri sebagai partai politik harus punya visi pembangunan dan kita sudah
menuangkannya dalam buku plat form sejak tahun 2017. Jadi kita punya plat form, ini loh plat form
pembangunan PKS, tebal ada 400 halaman ada bidang ekonomi politik, hukum, lingkungan sampai kepada
pendidikan, kesehatan.
9. Penulis :
Mengenai Tax Amnesty tadi pak, PKS dalam paripurna kemarin menerima atau menolak?
Narsum :
Kita menerima tapi dengan catatan 18, kalau secara umum sebetulnya menolak ya. Tetapi memang
pemerintah tidak punya alternatif lain, kalau tidak ada tax amnesty yang 156 shortfall nya kekuranagn
pajaknya tidak ada, pinjam hutang lagi. Kalau pinjam dan hutang lagi akan memberatkan APBN ke
depannya.
10. Penulis :
Kemudian mengenai RUU Pilkada, apakah PKS senada dengan pemerintah? Ataukah punya gagasan lain?
Narsum:
Kemarin PKS tidak setuju, karena pertimbangannya seseorang tetap punya hak untuk dicalonkan sebagai
jabatan publik apapun tanpa harus mengganggu kondisi eksistingnya tetapi sikap pemerintah yang kekeh
bahwa kalau dia di ASN (Aparatus Sipil Negara), ataupun dia di militer ataupun dia di jabatan publik maka
dia harus mundur, menurut PKS itu melimitasi peluang orang untuk berkontestasi.
11. Penulis :
Kalau untuk RUU pemilu, yang sedang hangat diperbincangkan itu kan mengenai pemilu langsung atau
tidak langsung. Tanggapan PKS sendiri itu seperti apa pak?
Narsum :
Pertama, tentu kita berharap undang-undang pemilu ke depan betul-betul mampu mewujudkan pemilu
yang demokratis, dimana rakyatlah yang memiliki kuasa utama. Yang kedua, tentu pemilu yang
substansial, dimana itu yang terpilih adalah anak bangsa yang terbaik yang itu akan berkaitan dengan
konsep.Ketiga, yaitu pemilu yang murah, sehingga bukan hanya anak bupati yang menjadi bupati, anak
gubernur yang menjadi gubernur, tetapi anak orang miskin pun karena pemilu nya murah dan beberapa opsi
ditanggung oleh pemerintah dia bisa menjadi pemimpin, itu pemilu yang murah. Dan yang keempat, tentu
pemilu yang efektif jangan kelamaan. Maksudnya, pemerintah sekarang sudah mulai tegas, contohnya MK
hanya dapat memproses sengketa pemilu kalau sampai 2 juta itu bedanya 1%, kalau satu persen ke atas
ditolak langsung oleh MK. Kalau 0,9% masih bis diterima oleh MK untuk diproses, kalau 5 juta 2%. Nah
itu menurut saya bagus jadi tidak berlarut-larut. Sekarang juga kan di undang-undang pilkada kan Cuma
satu putaran, itukan lebih efisien. Kita berharap dengan lebih demokratis, lebih substantif, lebih murah,
lebih efisien terpilihlah pemimpin yang punya legitimasi dan punya kapasitas untuk menjalankan amanah
kepemimpinannya.
12. Penulis :
Terakhir untuk RUU Pemilu dan pemilu pak, kalau pemilu nantinya PKS akan menerima atau tidak pak?
Narsum:
Kalau pun menolak, PKS tetap akan kalah di voting. Tapi buat kami penting untuk membuat catatan yang
kuat bahwa ini loh pendpat PKS, kalaupun PKS belum berhasil kami sudah memperjuangkannya publik
harus tau. Seperti sekarang, Presidential Treshold itu kan ada tiga, ada yang 0%, ada yang 3,5%, ada yang
20%. PKS cenderung antara 3,5-20%, tapi 20% lebih baik. Gerindra maunya 0%, Golkar 20%. Menurut
kami tetap ada batasan jangan 0%. Tetapi batasan jangan sampai menyulitkan, makanya diantara 3,5-20%.
13. Penulis :
Apa itu karna adanya partai besar yang kemudian menginginkan pembatasan juga besar?
Narsum :
Rata-rata partai besar ingin pembatasan besar, menurut saya itu hal yang wajar karena banyaknya kandidat
yang maju nanti itu merepotkan . tetapi kalau melihat sistem demokrasi, demokrasi memang repot. Karena
memberi hak kepada semua orang untuk punya dan menurut saya kalau kita 0% bisa peluang di yudisial
review kan, 20% juga bisa di yudian reviewkan. Berapapun kita tetap punya peluang, tapi kalau alas an ini
kuat saya yakin yudisial reviewakan kandas di MK.
14. Penulis :
Bagaimana respon PKS mengenai kebijakan kereta cepat Jakarta-Bandung?
Narsum:
Kita senderung menolak karena beberapa hal, pertama karena sudah ada banyak alternatif,tol ada, kereta
parahyangan ada, nanti jalur biasa puncak juga ada. Sehingga keberadaan kereta cepat ini kost benefit
analisisnya cenderung tidak urgent, tetapi biayanya besar mayoritas pinjam sehingga menggadaikan 4
BUMN kita, dan kalau kita default gagal bayar 4 BUMN itu sebagian sahamnya akan dimiliki oleh
pemberi modal awal menurut saya terlalu mahal harganya.
15. Penulis :
Apa yang menjadi dugaan PKS dan Pak Mardani pribadi sebagai politisi urgenty kebijakan kereta cepat
Jakarta Bandung?
Narsum:
Kalau PKS tidak terlalu mendalami, kalau saya pribadi saya khawatir saja ada ekonomi rente di sini karena
proyeknya besar dan berjalan cepat, dapat kickback itu bisa digunakan oleh insentif elektoral di 2019. Tapi
itu kan perlu di verivikasi tapi pendapat itu sah-sah saja.
16. Penulis :
Diantara banyak kebijakan yang dikeluargan pemerintahan Jokowi-JK, apa yang menjadi perhatian khusus
PKS dalam mengkritisi kebijakan tersebut?
Narsum :
Beberapa yang utama tentu persepsi publik terhadap kesejahteraan yang masih rendah, bahkan kalau dilihat
bidang pengusaha tidak bnayak berkembang, usaha agak susah, penjualan kendaraan turun, belanja
konsumen tetap tetapi pajak beberapa naik. Menurut saya pemerintah ini harus lebih cerdas dalam pendaan
founding budget bukan dalam cara policy pajak, itu justru membuat usaha jadi tidak berkembang.
17. Penulis :
Dalam menyikapi semua yang ada di Indonesia saat ini teruma untuk politik dan situasional yang
berkembang, apa kedepan yang diharapkan PKS?
Narsum :
Tentu kita memastikan demokrasi itu berujung pada kesejahteraan, karena tujuan utama pemerintahaan kita
kan mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana termaktub dalam
Undang-undang, sehingga terwujudlah masyarajat yang cerdas, sejahtera, maju, beradab, religius. Untuk itu
pemerintah bekerja keras tidak lagi Cuma mengurusi infrastruktur-infrastruktur, tetapi infrastruktur rohani.
Wawancara dengan Fadli Zon Wakil Keua DPR RI Fraksi Gerindra
Pada tanggal 5 Juni 2017, pukul 10.00 WIB
1. Penulis :
Faktor apa saja yang mempengaruhi PKS tetap berada di luar pemerintahan/oposisi?
Narsum:
Pertama seperti kita ketau saat pemilu presiden 2014, ada duakandidatyaitu Pak Jokowi dan Pak Prabowo.
Dan di dalam pilpres juga terbentuk juga semacam koalisi, koalisi Indonesia Hebat dan juga koalisi Merah
Putih. Kami yang mendukung pak Prabowo berada dalam koalisi Merah Putih. Itu adalah koalisi ketika
mengusung calon presiden. Ketika pemili legislatif tanggal 8 April 2014 belum terbentuk, koalisi itu baru
terbentuk pada tgl 20 Mei 2014 ketika deklarasi di Rumah Polonia. Kemudian ketika deklasrasi itu ada 5
parta politik, Gerindra, Golkar, PAN, PKS, PPP yang ada di parlemen, dan PBB di luar parlemen. Jadi
koalisi merah putih ini lah yang menjadi cikal bakal di dalam formulasi pembentukan koalisi juga di
parlemen, pada waktu itu koalisi untuk memenangkan calon presiden. Seperti kita ketahui hasilnya sepeti
itu, meskipun kami kecewa karena pihak penyelenggara pemilu kami anggap melakukan ketidakcermtaan
dengan membiarkan kecurangan-kecurangan yang terjadi terstruktur dan juga terorganisir sistematis,
kemudian kami ajukan ke Mahkamah Konstitusi, walaupun saat di MK kami juga kecewa. Tetapi kami
tetap mengahargai proses konstitusional kita dan akhirnya menerima hasil tersebut. nah latar belakang itu
yang menjadi alasan Gerindra berada di luar pemerintahaan, karena menurut kami berada di luar
pemerintahan sama dengan berada di dalam pemerintahan. Pertama, kami tidk ingin masyarakaat
mempunyai anggapan bahwa kami haus kekuasaan, kita ingin justru mengawasi jalannya pemerintahan,
dengan mengawasi jalannya pemerintahan akan lebih baik juga pemerintahitu terpacu oleh apa yang
menjadi kritik, pandangan-pandangan, atau masukan-masukan dari partai yang berada di luar
pemerintahan. Jadi istilah dari Gerindra adalah berada di luar pemerintahan, mungkin istilah-istilah yang
ada di media masa adalah oposisi. Tapi kami mengatakan dengan resmi mengatakan di luar pemerintah,
dan kita melakukan kritik yang membangun. Kalau ada kebijakan-kebijakan yang bagus kita akan
mendukung, kalau ada kebijakan yang kurang bagus kita kritisi dan koreksi, itu lah yang kami lakukan.
Menurut saya sendiri sebagai bagian dari partai Gerindra dan tim sukses Prabowo dan menjadi wakil Wakil
Ketua DPR, tentu kita mempunyai berbagai macam daftar dari janji-janji kampanye saya bukukan, ada 100
janji Jokowi-JK. Dengan begitu tahu mana janji yang terealisasi dan tidak. Sebagian besar janji itu adalah
janji-janji yang bagus. Tapi sejauh ini belum banyak terealisasikan.
2. Penulis :
Jadi artinya diawal memang harapannya ketika Prabowo kalah di dalam pilpres, langkah berikutnya adalah
memenangi tampuk kekuasaan didaerah legislative yang kemudian KMP solid?
Narsum:
Karena memang Undang-undang yang sudah di putuskan ketika itu, adalah undang-udang yang dikenal UU
MD3 itu mensyaratkan atau menjalakan satu prosedur bahwa di dalam pemilihan pimpinan DPR dan alat
kelengkapan dewan itu berlaku sistem paket. Karena itu lah kemudian kita pada waktu itu tgl 1 dini hari
setelah pelantikan melakukan pemilihan dengan sistem paket itu. Paket yang didukung koalisi merah putih
plus kemudian ada partai demokrat yang menjadi mayoritas di parlemen di DPR dan kemudian mengisi
pimpinan DPR dan baik komisi ataupun alat kelengkapan dewan yang lain.
3. Penulis :
Secara substansial alaternatif apa yang ditawarkan oleh Gerindra sebagai partai oposisi dalam mengawal
kebijakan pemerintah?
Narsum :
Kami mempunyai platform sendiri ketika pilpres, pak Prabowo juga mempunyai platfrom sendiri. Tetapi
kita kan bukan bagian dari eksekutif yang sedang menjalankan eksekusi terhadap apa yang menjadi
platfrom kami.
4. Penulis :
Misalkan dalam kebijakan tax amnesty, alternatif yang ditawarkan Gerindra?
Narsum :
Kita awalnya menolak, tetapi karena pemerintah merasa bahwa ini adalah sebuah kebutuhan dan dari hasil
lobi dan lain sebagainya ya akhirnya kita ikut memahami selama itu untuk kepentingan bangsa.
5. Penulis :
Untuk respon Gerindra mengenai RUU pilkada menolak atau menerima?
Narsum:
RUU pilkada itu pada waktu awal posisi itu Gerindra ingin pilkada langsung, kemudian karena di dlam
koalisi merka ingin mengsuung sistem perwakilan, kemudoan kita ikutlah kepada apa yang menjadi
mayoritas pandangan kolaisi merah putih dan juga pandangan pemerintah pada waktu itu, ingin pilkada
dipilih oleh anggota DPRD. Jadi kami mulanya adalah ingin pilkada langsung, tapi karena koalisis meminta
kita untuk bersama-sama lalu kita mengubah posisi. Toh ini adalah propopersoalan lain cara dan juga
persoalan substansi. Pemerntah SBY pada waktu itu berposisi adalah pemilihan oleh DPRD. Tapi
kemudian kita ketahui yang menang adalah undang-undang pilkada yang sesuai denganDPRD perwakilan.
Dan wakil pemerintah menteri dalam negeri itu hadir untuk membacakan pidato mewakili presiden. Tapi
tidak lama kemudia pak SBY sendiri langsung melakukan perpu, akhirnya ada kesepakatan dari semua
kembali pada sistem pemilihan langsung. Kita melihat ini adalah dinamika politik, kalau bagi Gerindra mau
langsung ataupun tidak langsung oke. Kalau mau berpegang pada prinsip pancasila dan UUD ’45,
harusnya sisem perwakilan itulah yang harusnya di terapkan.
6. Penulis :
Mengenai kebijakan RUU Pemilu bagaimana respon Gerindra?
Narsum :
Kita tidak ingin setiap mau pemilu ada undang-undang ganti lagi ganti lagi. Tapi kita sekarang dihadapkan
pada satu keharusan karena MK memutuskan pemilu itu serentak, serentak itu artinya bersamaan pada saat
yang sama antara pemilu presiden dan pemilu legislatif. Undang-undnag yang lama tidak bisa
mengakomodasi, oleh karena itu harus ada revisi. Dan revisi ini digabung antara beberapa undnag-undang
menjadi RUU penyelenggaraan pemilu. Jadi saya kira ini belum sampai akhir, mudah-mudahan dalam
waktu secepatnya kita bisa memutuskan termasuk daerah pemilihan, sistem proporsional terbuka atau
sistem tertutup. Bagi kami harusnya terbuka, karena MK pernah memutuskan itu, sistem proporsional
terbuka juga membuka partisipasi masyarakat lebih luas, demokrasi kita juga lebih luas tidak ditentukan
hanya dengan partai politik. Kemudian kita juga ingin sistem penghitungan suara jangan sampai .ada suara
yang terbuang. Kemudian mengenai Parlementary Tresholdya tentu memang perlu ada itu, tetapi apakah
3,5%, 5% ada yang meminta 7% dan lain sebagainya. Kalau gerindra pada posisi 3,5% atau 5% oke.
7. Penulis :
Kalau misalkan pilkada memang dilakukan serentak atau pemilu serentak, bagaimana dengan
PresidentialTreshold?
Narsum :
Ya tidak perlu ada, secara logika saja PresidentialTreshold yang mana yang mau digunakan. Karena 2014
sudah digunakan, 2014 kami hanya 4,3%, sekarang kami sudah 12%. Jadi tidak mungkin kita memakai
PresidentialTreshold dari pemilu sebelumnya, sementara ketika ada pemilu serentak tidak ada lagi jeda
waktu yang menjadi perantara itu, maka logikanya adalah semua partai peserta pemilu atau partai yang
sudah ada perwakilannya di DPR, berhak untuk mengajukan calon Presiden sendiri.
8. Penulis :
Jadi kalau Gerindra sendiri menolak atau menerima tentang RUU pemilu?
Narsum : tidak ada cerita menolak atau merima, tetapi item peritem. Itu dibahas di dalampansus.
9. Penulis :
Respon parta Gerindra dengan kebijakan hak angket KPK seperti apa?
Narsum : kita kan mendukung KPK kita juga tidak ingin kalau kpk ini di lemahkan, tetapi disatu sisi juga
ada perlu pengawasan. Pengawasan adalah hak dari DPR memalui beberapa instrumen hak bertanya, hak
angket, hak menyatakan pendapat dan lain-lain. Dan di paripurna kami sudah menyatakan sikap menolak
dari rencana untuk angket ini. Tapi mayoritas berpendapat menerima dan tidak mengirimkan nama-nama.
Ya di paripurna kami menolak, tapi bisa saja kami mengirimkan wakil karena perlu ada juga pengawasan,
kalu tidak kami tidak bisa terlibat.
10. Penulis:
Kebijakan pemerintah apa yang paling dikritisi oleh Gerindra?
Narsum : banyak, menurut saya kebijkaan-kebijakan ini tidak fokus untuk meningkatkan daya beli
masyarakat, pendapatan masarakat, income masyaralat, itu ekonomi terutama. Jadi orientasi kepada
infrastruktur bagus-bagus saja, kalau kita punya buang, tapi harusnya orientasi pembangunan infrastruktur
dalam hal ini adalah inftastruktur yang paling banyak dilakukan adalah jalan itu harus ada dampak
ekonominya. Kita melihat di beberapa tempat tidak ada dampak ekonominya, misalnya di Papua
membangun jalan begitu panjang, tapi tidak ada dampak ekonominya dan tidak dirasakan juga oleh
masyarakat dampak ekonominya. Bagusnya kan seperti pembangunan rumah sakit, sekolah atau
membangun pasar. Bagaimana prioritas ini tidak ditempatkan secara tepat.
Wawancara dengan Dr. Lili Romli, Pengamat Politik LIPI
Pada tanggal 4 Juli 2017, pukul 08.55 WIB
1. Penulis :
Bagaimana model oposisi di Indonesia?
Narsum :
Jadi gini, pertama, memang oposisi itu suatu keniscayaan di dalam demokrasi bagian dari check and
balance, secara teoritis itu. Lalu yang kedua, oposisi hanya sekedar sebagai check and balance dalam sistem
demokrasi bukan dalam konteks untuk menjatuhkan pemerintahan, yang disebutnya kalau tradisi di inggris
itu oposisi loyal jadi semua diserahkan kepada pemerintahan ketika pemerintahan tidak mampu maka
dikembalikan kepada publik untuk menilai. Ketiga, secara faktual memang ada partai-partai yang
bergabung di dalam pemerintahan dan ada partai yang tidak bergabung. Pasca Jokowi kan ada tiga partai
yang tidak bergabung, Demokrat satu jenis sendiri, Gerindra dengan PKS. Lalu kemudian muncul
pertayaan apakah dalam merespon kebijakan-kebijakan Gerindra dan PKS memposisikan sebagai oposisi
ataukah hanya di luar pemerintahan?
2. Penulis:
Hanya sekeder berbeda begitu?
Narsum :
Bukan sekedar berbeda, dia tidak begabung dengan pemerintahan cuma di luar aja di luar pemeritahan.
Tapi di sisi lain ada partia-partai yang bergabung di dalam pemerintahan tapi responnya tidak mendukung
pemerintahan. Kan ada dua definisi. satu sisi partai-partai yang tidak bergabung dengan pemerintahan tapi
seolah-olah dia mendukung pemerintahan, atau dia tidak merespon kebijakan-kebijakan yang ada.
Kemudian, dia bergabung dengan pemerintahan tetapi sikapnya berbeda dengan pemerintahan. Sekarang
ini kan agak membingungkan, contoh kasus hak angket KPK, PKS dengan Demokrat menentang hak
angket, kemudian Gerindra bagian dari yang mendukung hak angket. Sementara partai-partai pemerintah
mendukung hak angket.
3. Penulis:
Yang saya pahami dari hak angket ini, ada intruksi dari pimpinan Gerindra terutama dari dpp itu untuk
menolak atau tidak ikut menanda tangani, tapi belakangan Fadli Zon ketika saya wawancarai kita tetap
akan mengirimkan perwakilannya karena hak angket itu setuju atau tidak setiap Fraksi harus tetap
mengirimkan perwakilan.
Narsum:
Beda lagi itu kan substansi tentang hak angket, bukan tentang hak angketnya. Saya mencotohkan itu alasan
yang tidak dibuat-buat, alasan bahwa partai itu legal atau tidak legal. Pemerintah itu kan Pak Jokowi itu kan
tidak setuju ada hak angket, di dalam teroi koalisi atau oposisi, yang menentang itu kan harus partai-partai
oposisi kan hak angket dijalankan karena dia berbeda dengan sikap pemerintah, disisi lain ketika Pak
Jokowi bicara seperti itu partai-partai yang mendukung dia menetangnya, hak agket dibatalkan. Tetapi yang
terjadi di Indonesia kebalikannya, itu kan satu model. Bahwa memang pola koalisi di Indonesia tidak
seperti di dalam teori koalisi atau teori oposisi. Kan anda melihat teori Robert dahl, teori koalisi dan oposisi
itu kan menentukan jarak ideology, jadi kalau dia ke kanan maka partai yang tengah itu ke kanan, kalau
jaraknya dekat ke kiri maka ke kiri itu kan kedektan ideologi. Jadi, A B C D, jadi si C akan ke D dan B
akan ke A. Nah, di Indonesia A itu bisa ke D. Saya kasih contoh, PKS, Gerindra dan Demokrat dia oposisi
bukan karena kedekatan dari ideology kan harus dijelaskan. Kan Gerindrasama PKS kan beda jauh. Itu
yang harus anda analisis, Gerindrasama PKS beda. Jadi dia jadi oposisi karena faktor-faktor lain, antara
Demokrat dengan Gerindra sama ngga, oke lah sama partai nasionalis. Kalau partai nasionalis harusnya
Gerindra sama Demokrat harusnya bermesra-mesraan, tetapi yang terjadi bertolak belakang karena sama-
sama partai nasionalis. Apalagi dulu kebijakan SBY mensejahterahkan ekonomi kerakyatan tetapi dia
mengambil sebagai partai oposisi bukan karena memiliki ideologi yang sama, itu anda jelakan bukan
karena ideologi yang sama. Dia menolak angket bukan ideologi yang sama, ya karena ingin berbeda aja
karena faktor personal.
4. Penulis :
Apa itu juga yang menyebabkan koalisi Indonesia tidak secara permanen?
Narsum :
Nah betul itu,karena memang semua koalisi atau oposisi bukan kerana faktor kesamaan program atau
kesamaan visi tetapi bisa jadi personal.
5. Penulis :
Seperti Megawati dengan SBY?
Narsum :
Ya itu dia secara pribadi bermusuhan maka kemudian mengambil sikap oposisi. Begitu juga koalisi bisa
karena personal itu yang pertama dan yang kedua adalah kekuasaan faktor kekuasaan dan personal itu
berpengaruh terhadap bergabungnya pemerintahan. (refrensi dari bukunya Dr. lili)
6. Penulis :
Mengenai oposisi, di Amerika walaupun menggunakan presidensil karena sifat partainya multipartai seperti
di Indoensia. Apakah di Indonesia sebetulnya oposisi akan berjalan? kalau tadi kan bapak mnyebutkan
tidak sesuai denga teori. Nah hari ini yang bapak lihat secara keseluruan denganpresidensial sebetulnya.
Narsum :
Problem tentang koalisi oposisi memang karena faktor tadi, minimal 2 faktor itu lah. Meskipun juga ada
karena faktor struktural dan lain sebagainya. Terus sistem kepartaian kita tidak kompatibel dengan sistem
pemerintahan. Sistem multipartai dengan praktek yang ada, itu kecenderungannya adalah terganggunya
relasi antara DPR dengan presiden. Kemudian yang dilakukan oleh eksekutfi adalah memaksimalkan
kekuasaan dengan menarik sebanyak-banyaknya partai-partai untuk mendukung kebijakannya itu. Nah di
Indonesia sistem multipartai itu seperti itu. Karena masih ada mainset di kalang DPR itu bahwa sistem
presidensial secara ketatanegaraan itu sistem presidensil tetapi dalam implemetasi dia menerapkan gaya
parlementer, dia ingin kebijakan-kebjkan selalu diganggu selalu dihalang-halangi padahal dengan sistem
presidensil itu otoritas presiden, dikatakan penanggung jawab tunggal kekuasaannya tidak terbagi. Kalau
parlementer kan kekuasaannya terbagi. Dalam mengambil keputusan ada dalam presiden.
7. Penulis :
Mungkin itu jawaban daripada Divided Goverment sehingga pembagian kekuasaan itu menjadi hal yang
wajar dalam koalisi?
Narsum :
Nah iya itu yang kemudian dilakukan oleh partai koalisi, meskipun dalam satu bahtera tetapi beda haluan,
ketika ada kesamaan program baru dia setuju tetapi kalau bebeda kepentingan dia bersebrangan. Contohnya
ada lagi, terlepas substansi setuju atau tidak setuju, pembahasan rancangan udang-undang pemilu. Masing-
masing partai itu bebeda menyelamatkan diri sendiri, melihat peluang. Jadi ada isu-isu yang bisa dikerjakan
bersama sepanjang itu tidak merugikan kalau merugikan partai dia ya dia akan berbeda. Jadi ngga ada
sebenernya ngga koalisi oposisi itu, tergantung isu nya kalau di Indonesia. Itu problemnya, karena memang
partai-partai kita itu tidak punya ideologi partai yang dirumuskan dalam platform yang jelas kebijakan.
Makanya saya bingung diferensiasi antara partai satu dengan lain itu apa.
8. Penulis :
Artinya sebetulnya akar rumpun dari permasalahan ini adalah undang-undang partai politik?
Narsum :
Bukan undang-undang partai politik, tetapi di ideologi partainya sendiri. Jadi jenis binatang-binatang
politik apa. Itu memang dipahami dalam konteks takes all, bukan hanya ingin merangkul semua segmen
masyarakat, tetapi juga match all.
9. Penulis :
Tanggapan anda melihat Gerindra dan PKS yang memilih sebagai oposisi?
Narsum :
Kalau saya berpikir konsisten dia, ketika dia punya calon sendiri, pandangan sendiri, program-program
sendiri. Ketika dia sudah menang, maka dia berdiri sebagia partai di luar pemerintahan. Tapi kemudian
partai pendukungnya (KMP) tidak konsisten. Mudah-mudahan konsistennya itu karena bedasarkan faktor
tadi program yang berbeda bukan karena malu.
10. Penulis :
Artinya tren pilkada dki ini menjadi positif?
Narsum :
Iya positif, artinya bukan krena persoalan personal saja. Kita kan ngga tau, kalau dia konsisten terus ketika
mengajukan calon kemudian kalah, maka diluar pemerintahan tidak mengiba-iba.
11. Penulis :
Menjadi tren yang positif?
Narsum :
Positif ya harusnya begitu, harusnya ke depannya begitu yang diikuti oleh partai-partai yang lain
12. Penulis :
Artinya memang perlu ada partai yang di luar pemerintahan?
Narsum :
Perlu ada supaya bisa mengontrolcheck and balance. Tapi kan tidak semua partai yang di luar
pemerintahan itu karena faktor ideologi atau karena ingin konsisten, tapi bisa jadi karena malu. Contoh
PKS itu kan ingin merapat ke pemerintahan, tapi ketika dikritik habis-habisan oleh publik, eh ngga jadi
deh. Makanya kontrol publik juga untuk mengingatkan partai-partai agar tidak tergoda dengan kekuasaan
itu. Padahal di Indonesia ketika menjadi partai oposisi bisa mendapat insentif
13. Penulis :
Keuntungannya?
Narsum :
Ya contohnya, PDI P ketika dia oposisi dua periode. Kemudian mendapat insentif dukungan rakyat jadi
insentif electoral. Sebaliknya partai-partai yang tergabung pada pemerintahan malahan disinsentif elektoral,
kecuali dapet jabatan saja. Contohnya PPP, PPPkan selalu mendapat kekuasaan tapi terus menurun. Jadi
ketika menjadi partai oposisi mendapat insentifelektoral, contoh kedua Gerindra sendiri kan terus naik
padahal partai baru. Karena pemilih di Indonesia ini kan melihatnya partai yang memerintah dan partai
oposisi, dua itu aja. Kalau partai yang memerintah tidak berhasil, pemimpin partai yang memerintah, partai
yang memimpin pemerintahan. Ketika dia gagal maka pemilu memberikan sanksi hukuman, diberikan
kepada partai oposisi. Oposisi utama kan waktu itu kan PDI P (era SBY).
Penulis :
Sebagai pengamat politik, harapan Gerindra dan PKS, di dalam konsistensi itu apa yang harus dilakukan
oleh oposisi
Narsum :
Tugas sebagai partai oposisi itu kan sebagai check and balance, maka chek and balance adalah ketika
pemerintah punya kebijakan maka partai opoisis juga punya pengatur kebijakan, kalau punya program ini
solusi nya apa untuk program ini. Jadi dengan kata lain ketika berbeda bukan hanya berbeda, tetapi juga
punya solusi. Bukan berbeda karena dia berbeda, bukan berbeda karena dia kalah. Ketika setuju ya berikan
dukungan, tidak mesti sebagai oposisi itu ya berbeda terus. Dukung itu dia akan mengawal kebijkana-
kebijakan itu jangan sampai menyimpang. Jadi dukungannya itu dukungan kritis, konstruktif.
14. Penulis :
Apa ini yang disebutkan oleh Nur Cholish Madjid oposisi loyal?
Narsum :
Nah iya betul itu
15. Penulis :
Ketika kebijakan pemerintah itu baik ya katakan baik.
Narsum :
Ya didukung, dan dia harus mengawal ketika ada kekacauan ya harus beri tahu, kita mendukung oposisi
loyal di Indonesia itu, bukan oposisi yang ingin menjatuhkan pemerintahan, kita harus jujur bahwa ada
sebagian kebijakan-kebijakan yang bagus dan ada sebagian kebijakan-kebijakan yang tidak bagus. Yang
tidak bagus bukan memberikan kritik tetapi memberikan solusi, janji-janji pemerintahan diingatkan.
16. Penulis :
Terutama janji-janji kampanye?
Narsum :
Nah iya, janji-janji pemerintah diingatkan. Tapi bukan pengalangan mobilisasi...
17. Penulis :
Apakah itu juga bagian dari elektroral?
Narsum :
Ya kadang-kadang partai-partai mobilisasi di medsos itukan menyalahi juga karena hoax itu. Harusnya kan
salurannya di Parlemen.
18. Penulis :
Aturan seperti apa kalau memang oposisi harus dipaksakan didalam sistem politik Indonesia?
Narsum :
Itu kan tidak mesti diatur secara rinci peran-peran itu. Malahan kalau di Inggris itu ngga ada aturannya itu,
semuanya kan berdasarkan konsensus tidak tertulis. Jadi bahwa di Indonesia itu ada partai-partai di luar
pemerintahan, yang konteksnya mengkritisi untuk menegakkan check and balance itu, kalau ada aturan
malah jadi kaku malah pelanggaran, karena itu kan fleksibel yang penting tidak menghianati.
19. Penulis :
Atau karena kita multipartai jadi sulit mengaturnya? Kalau kita mau komparatif dengan Amerika misalkan,
artinya memang oposisi mempunyai kekuatan sendiri?
Narsum :
Lah iya, di sana kan otomatis karena berdasarkan konsensus. Ketika dia kalah maka di luar pemerintahan,
tidak menghiba-hiba. Ketika diajak dia punya seperangkat kebijakan, tidak tunduk patuh. Kalau di
Indoensia kan tidak, dia keluar ketika menterinya dipecat. Coba kasus di Perancis partai
pendukungpemerintahan yang terbukti terdapat korupsi, dia akan dipecat atau mengundurkan diri dari
menteri yang bersangkutan dari partai tersebut.
20. Penulis :
Mengenai oposisi, apa gambaran mengenai oposisi di masa mendatang?
Narsum :
Pertama memang baik koalisi atau koalisi oposisi harus konsisten, tidak tergoda tidak dipengaruhi dengan
faktor personal dan kekuasaan tetapi berdasaran faktor partai itu, jadi permanen. Kedua, bahwa setiap
sistem pemerintahan itu diperlukan penyeimbang, baik di dalam sistem parlementer maupun sistem
presidensil. Karena kalau tidak bisa kekuatan itu tidak terkontrol. Ketiga, tradisi oposisi kan sudah lama di
indonesia, maka oposisi ditegakkan dalam koteks untuk mengontrol pemerintahan bukan untuk
menjatuhkan pemerintahan. Jadi kalau dulu oposisi kita ingin menjatuhkan pemerintahan dalam sistem
parlementer, mosi tidak percaya. Di Indonesia ini inginnya kan hak menyatakan pendapat, itu kan
menjatuhkan pemerintahan hak menyatakan pendapat itu, artinya jangan sampai kesitu.Keempat, dengan
kasus sekarang Gerindra, PKS yang konsisten dan ditambah PDI P yang tidak tergoda dengan kekuasaan
dan hubungan-hubungan pribadi, jadi jangan semua partai ingin mendekat pemerintahan,harus menyadari
jangan sampai mengkhianati rakyat, yang sudah mempunyai pilihan program tadi menjadi buyar. Pemilu
serentak ini saya kira bisa membentuk seperti itu, ya berharap tidak terjadi polarisasi. Yang berkuasa
maupun yang tidak berkuasa secara wilayah itu bukan berarti selalu harus bertentangan, bermusuhan, tapi
dalam konteks berlomba-lomba berbuat kebaikan.
Wawancara dengan Ferry J. Juliantoro anggota DPR RI Fraksi Gerindra Pada tanggal 4 Juli 2017,
pukul 18. 47 WIB
1. Penulis:
Jadi sederhananya adalah saya ingin melihat model oposisi partai politik Indonesia ini, karena oposisi tidak
diatur secara nomenklatuyr atau ketatanegaraan oposisi tidak diatur dalam UU kita dan ini menjadi menarik
sebetulnya. Sebab oposisi jika ditarik dalam sejarah tidak baru-baru ini saja, tetapi sudah dimulai dari era
soekarno, bahkan pada saat Belanda berada di Indonesia kalangan muda sudah mempunyai sikap oposisi
dalam arti penentang an sich. Tetapi dengan tidak nya aturan yang dibuat oleh UU ini, ternyata oposisi
seperti malu-malu, seperti gamang begitu, saya melihat ini modelnya seperti apa, kalau saya mau
membedah melalui teori, misalkan Robert Dahl yang di dalam daya saing, waktu, dan kemudian
kesempatan yang cukup menarik. Dan kalau kita mau ambil teori yang leih dalam lagi semisal, Skiling
Gordon. Skiling Gordon mempunyai empat spesifikasi. Ada oposisi yang memang secara fundamental,
ideology, ada oposisi yang melihat secara kebijakan, ada yang memang oposisi an sich. Sebetulnya apa
yang dikerjakan oleh Gerindra dan PKS?. Nah studi saya ada empat macam yang saya ambil kasus, seperti
RUU Pilkada, Hak angket KPK, RUU Pemilu yang sedang digodok hari ini, sama Tax Amnesty yang saya
kira juga menjadi perdebatan diawal baik Gerindra maupun PKS. Mungkin untuk mempersingkat waktu
Pak Ferry, saya ada beberapa pertanyaan, tp sebelumnya mungkin pak Ferry mau menjelaskan dengan
Gerindra hari ini begitu.
Narsum:
Kalau Gerindra, sebenernya memulai sikap oposisinya itu diawali dari pembentukan poros Koalisi Merah
Putih ketika pemilu langsung presiden 2014, dimana pak Probowo Subianto sebagai simbol calon presiden
yang diusung oleh partai Gerindra dan partai-partai yang akan terukur membentukKoalisi Merah Putih.
Ketika, kemudian hasil pemilu presidennya Joko Widodo yang kemudian memenangkang kompetisi
pemilihan Presiden, koalisi Merah Putih itu tetep berlanjut, sampai kemudian menguasai parlemen. Pada
saat itu proses MD3 yang seharusnya ini tidak bisa dilaksanakan, karena mayoritas parlemen dikuasai oleh
Koalisi Merah Putih. Ada partai Gerindra, PKS, PAN, Golkar, PPP. Disitulah awalnya, oposisi Gerindra
dimulai. Pada saat kita menguasai parlemen itu, kemudian terdapat reaksi dari penguasa, yang kemudian
melalui menteri HAM, berusaha mengecilkan kekuatan koalisi merah putih, yaitu dengan diacak-acaknya
legalitas Golkar dan PPP. Tapi, proses yang penguasaaan parlemen sudah terlanjur, jadi alat-alat
kelengkapan di DPR RI hampir semuanya, mulai dari pimpinan DPR sampai pimpinan komisi-komisi itu
mayoritas dikuasai oleh koalisi merah putih. Sehingga dengan kekuatan yang mayoritas diparlemen, sikap
kekuatan oposisi ini menjadi signifikan, dan karena signifikan itulah kemudian pemerintah, berusaha
melemahkan kekuatan itu. Proses penguasaan di parlemen pada koalisi oposisi ini, pada perkembangannya
kemudian dibuktikan dengan penolakan terhadap yang sangat esensial ini membedakan dengan oposisi
PDIP yang sebelumnya. Pada periode waktu PDIP mengaku oposisi, itu mungkin hanya beberapa kebijakan
dari pemerintah pak SBY yang dkritisi, misalkan kenaikan harga BBM atau kebijakan yang lain. Tetapi
pada esensinya PDIP sebagai partai yang mengaku oposisi tidak mengotak atik usulan anggran yang
disampaikan pemerintah kepada DPR, seribu persen periode pemerintahan pak SBY disetujui oleh
Parlemen dan oleh PDIP itu sendiri. Pada periode yang sekarang, oposisi yang ditunjukan oleh KMP
berusaha untuk lebih jauh daripada itu. Kita pernah menolak usulan APBN 2015, sebelum keberangkatan
Presiden Jokowidodo ke Amerika. Saya mengikuti sendiri pertemuan KMP, dan hasil pertemuan itu, pak
Prabowo Subianto dan partai-partai yang tergabung koalisi kemudian memutuskan untuk menolak APBN.
Penolakan itu tentu, menjadi yang pertama kali mendapatkan reaksi internal parlemen itu sendiri, yang
kemudian akhirnya oleh pemerintah ini sangat mengganggu dan kemudian ada utusan-utusan pemerintah
pada saat itu berusaha untuk melakukan negosiasi kepada parlemen, jangan menolak sama sekali usulan itu.
Menurut saya penting untuk mendefinisikan oposisi itu sendiri, kalau diluar negeri itu, oposisi biasanya
ditandai dengan yang namanya shadow cabinet atau oposisi yang membentuk kabinet bayangan. Dan yang
kedua, kekuatan oposisi itu biasanya, membangun yang namanya counter budget, jadi APBN versi oposisi.
Koalisi merah putih pada saat itu, sedang berusaha membangun counter budget itu.
2. Penulis :
Waktu pembahasan APBN Gerindra secara institusi, finally, Gerindra pada saat itu menolak?
Narsum:
Menolak, tp kemudian ada utusan dari pemerintah, supaya kita jangan menolak secara keseluruhan tapi
bagian-bagian mana yang ditolak. Oleh karena itu kemudian, salah satunya yang dianggap secara prinsip
oleh kmp menjadi kekuatan oposisi dan khususnya Gerindra, soal kebijakan Penyertaan Modal Negara itu
dihilangkan dari APBN. Karena PNM ini, dikhawatirkan oleh kita itu akan menjadi tempat masuknya
kepentingan asing, baik dalam kepentingan modal untuk kemudian menguasai BUMN ataupun institusi
yang lain.
3. Penulis :
Yang pada akhirnya itu menjadi win-win solution antara pemerintahan dengan Gerindra?
Narsum :
Ya, jadi ada beberapa PNM kita tetep menolak, yang lainnya kemudian menjadi kompromi. Apa yang
terjadi kemudian, pada saat itu memang diinternal partai parlemen itu sendiri, menarik ini untuk dibahas,
usulan yang dilakukan oleh pemerintah melalui departemen-departemen, badan-badan atau institusi
eksekutif kepada DPR melalui komisi-komisi yang ada. Itu sepanjang dikomisi itu tidak menolak dari awal,
tidak mengkritisi dari awal, itu kemudia naik di badan anggaran, dan badan anggaran tinggal mengtok-
ngetok palu. Jadi harusnya memang, proses pergulatannya, proses perdebatan itu dimulai dari komisi-
komisi. Tapi karena mekanisme nya yang terjadi biasanya di Indonesia setiap usulan-usulan eksekutif
kepada parlemen disetujui oleh komisi-komisi, satu dengan hal pendekatan-pendekatan, kemudian tidak
ada perdebatan disitu. Tetapi akhirnya, apa yang terjadi di badan anggaran, sepanjang semua komisi setuju
badan anggaran setuju. Kalau itu yang terjadi, memang heran di Indonesia itu. PDIP ngaku oposisi tapi
mereka setuju. Tidak menggambarkan oposisi yang sesungguhnya, harusnya oposisi memebuat counter
budget. Nah ini tidak, megawati dengan sby berantem tetapi, disisi yang lain usulan pemerintah disetujui
semua, nah itu yang kemudian membingungkan. Oposisi yang sekarang pad periode ini ingin kita bedakan.
4. Penulis ;
Sebetulnya, faktor apa yang mempengaruhi Gerindra tetap berada di luar pemerintahan atau oposisi?
Narsum :
Pertama, sejak mulai proses pencalonan, proses kampanye, kita memang pencalonan pak Prabowo itu
dilandasi oleh ideology yang ada dipartai Gerindra. Tentang kemandirian, tentang penolakan terhadap
dominasi asing, di Indonesia, tentang kebocoran yang terjadi keuangan Negara itu menjadi masalah prinsip
yang melatar belakangi sikap partai gerindra waktu mau mengusung pak prabowo subianto. Joko Widodo
kita anggap orang, simbol dari calon presiden yang didukung oleh kekuatan-kekuatan, baik kekuatan
konglomerasi tiongkok, maupun kekuatan politik dan ekonomi multi nasional coorpartion, dalam
bentuknya yang terbaru bahkan adalah kapitalisme Negara. Pemerintah Negara tiongkok betul-betul
mendukung Joko Widodo untuk menjadi calon presiden. Dua kutub yang berbeda ini, berimplikasi terhadap
ideologi yang diusung oleh calon presiden ini, dan buat partai Gerindra tidak berkompromi dengan
kekuatan politik yang kemudian dinilai oleh kita sebagai kekuatan yang dibelakangnya adalah itu
(tiongkok).
5. Penulis :
Dengan tax amnesty sendiri, apa respon gerindra pada saat itu?
Narsum :
Tax amnesty ini, sebetulnya sebagai pemerintah agak bodoh kalau pemerintah dalam rangka untuk
menutupi deficit APBN yang ada, karena pada saat itu, deficit APBN yang ada itu hampir mencapai angka
3%. Angka yang ditolerir oleh UU tentang keuangan Negara yang membatasi seminim-minimnya deficit
yang terjadi di Indnoesia itu hanya 3%. Kita pada saat itu hampir mencapai angka 3 %. tetapi anehnya,
pemerintah joko widodo mengusulkan satu opsi yang namanya tax amnesty. Padahal ada beberapa opsi lain
dalam rangka mencegah deficit anggaran yang terjadi yaitu yang pertama, menyampaikan secara jujur
kalau kita sedang bangkrut, kedua mencari pinjaman hutang baru, yang ketiga baru tax amnesty. Kita
sebenernya sudah memberi pertimbangan kepada pemerintah pada saat itu bahwa ada beberapa opsi yang
bisa dibentuk dan diusulkan pada pemerintah kepada parlemen. Tapi yang menarik pemerintah dengan rasa
percaya diri yang tinggi hanya mengusulkan satu opsi yaitu tax amnesty. Kalau hasilnya sekarang bahwa
tax amnesty tidak bisa menambal deficit anggaran. Karena ternyata tax amnesty yang awalnya itu akan
digunakan oleh pemerintah untuk mengejar wajib pajak orang Indonesia yang berada diluar negeri, yang
konon kabarnya oleh pemerintah berkisar hampir beberapa ribu triliun. Ternyata apa yang terjadi
pemerintah melalui departemen keuangan dan kantor pajak bukan mengejar wajib pajak Indonesia yang ada
diluar negeri seperti diawal yang mereka sampikan ternyata hanya yang ada didalam negeri. Ini juga dalam
prosesnya, melihat bahwa menjadi ukuran-ukuran kegagalan pemerintah.
6. Penulis :
Pada saat itu Gerindra menrima atau menolak?
Narsum :
Tax amnesty kita gak punya pilihan, dan gak bisa nolak karena itu opsi satu-satunya. Meskipun kita oposisi
.sebagai bangsa, kalau kita tolak terus gimana. Kan, kita sudah menyampaikan seharusnya pemerintah pada
saat itu ada opsi yang lain juga, ini Cuma satu-satunya tax amnesty. Gak tau apa karena menteri
keuangannya percaya.
7. Penulis ;
Yang pada akhirnya saya mencatat, Gerindra memberika catatan pada pemerintah melalui Heri Gunawan “
meminta kepada pemerintah untuk bekerja keras sehingga program tax amnesty yang diperkirakan oleh
pemerintah akan menghasilkan tambahan penerimaan Negara.”
Narsum :
Ya karena memang satu-satunya, jadi kita Cuma bisa itu. Kita sudah menyampaikan itu (alternative)
kepada pemerintah dalam rangka menutupi deficit, nah belakangan kita tahu, kenapa pemerintah dalam hal
ini presiden memaksakan diri untuk tax amnesty , karena presiden jokowi ingin mengumpulkan uang
dengan waktu yang cepat melalui loket-loket yang dia bangun. Karena insfrastruktur yang dilakukan
melalui tax amnesty tidak serijid waktu kita rilis and charges kemudian ada bppn, bppn itu institusi yang
bagus. Kalau sekarang tax amnesty sekedar panitia sifatnya. Bukan badan penyehatan perbankan nasional,
ya tax amnesty itu kan longgar keamanannya sangat rentan terhadap penyalagunaan. Dan terbukti, sekarang
adik ipar presiden jokowi terlibat dalam proses penyalahgunaan dengan salah satu kantor pajak yang
sekarang kasusnya di KPK. Ternyata presiden jokowi menumpulkan uang melalui adik iparnya untuk
ngurusin, pengampunan-pengampunan pajak beberapa perusahan-perusahaan yang masuk melalui adik
iparnya.
8. Penulis :
Terkait RUU Pilkada pasca rezim SBY ke Jokowi, gerindra pada saat itu bagaimana responnya?
Narsum :
Kita mengusulkan waktu itu tidak langsung, artinya ditentukan oleh DPR, Karen kita menilai sangat boros ,
kemudian juga akhirnya ada beberapa factor yang sangat negative yang kemudian kita usulkan bahwa itu
pilkada tidak langsung, tapi kemudian jadi langsung. Ya karena memang banyak sekali, money politic,
pemborosan.
9. Penulis :
Kemudian mengenai Hak angket KPK, kalau saya membaca dari beberapa artikel secara institusi bahwa
DPP melalui Hasyim Joyohadikusuma bahwa Gerindra tidak ikut menandatangani ?
Narsum :
Soal KPK ini ada dua kali, tahun 2015 partai Gerindra satu-satunya yang menolak Revisi Undang-undang
KPK. Ada pembahasan tentang angket revisi undang-undang KPK. Waktu itu Gerindra dan PKS yang
menolak. Untuk yang hari ini (hak angket kpk), proses awalnya adalah bahwa kpk dianggap oleh
masyarakat juga menyimpang, indikasinya adalah pertama beberapa kasus-kasus besar reklamasi, itu
beberapa orang yang semula sudah dianggap dicekal lepas, kemudian ada kemudian yang hilang, kasus
Freeport, kpk kita anggap rentan, terutama juga kasus e-ktp yang bukan hanya melibatkan anggota DPR
tetapi juga anggota KPK. Bahkan oknum tersebut menjadi pimpinan KPK pak Agus Raharjo.
10. Penulis ;
Jadi bukan hanya baru-baru ini ada e-ktp jadi ada hak angket?
Narsum :
Makanya, oleh karena itu ada dasar yang bisa dibenarkan ketika anggota DPR pada saat itu menyetujui hak
angket, ditambah KPK menyebutkan beberapa kasus-kasus yang disampaikan secara public, khsusnya
kasus Miriam, bahwa Miriam mengaku dihadapan KPK , jika ia mendapatkan intimidasi oleh anggota
DPR. Tapi ketika kemudia ditanya bener gak pernyataan saudari Miriam, KPK menyembunyikan. Ini kan
tidak boleh dalam kasus penyelidikan. Nah oleh karena itu, partai Gerindra beranggapan dasar itu bener.
Tapi kemudian partai Gerindra juga tidak ingin pembentukan hak angket ini ditunggangi oleh kepentingan
individual, apakah karena e-ktp.
11. Penulis :
Artinya gerindra melihat ini secara lebih luas?
Narsum :
Iya lebih luas begitu, oleh karenanya biarlah proses hak angket ini berlangsung, pansus nya bergerak,
mengumpulkan data, kekurangan baik yang sifatnya menyangkut prosedur, baik yang menyangkut
kelembagaan itu disempurnakan, karena kita juga tahu bahwa sebenernya harapan masyarakat juga besar
terhadap KPK. Di sisi yang lain kita juga menginginkan bahwa KPK ini bisa tidak tunduk pada kekuasaan,
dalam dua periode ini kpk terlihat menjadi alat kekuasaan, kasus ahok, kasus reklamasi. Sebenernya baik-
baik saja, kalau kemudian hak angket dilaksanakan, menjadi penting juga kpk ini dikontrol.
12. Penulis :
Ada keterkaitan itu dengan century, BLBI?
Narsum :
Makanya, harusnya kpk tidak usah takut hak angket, tapi kalau misalnya sudah ada bukti-bukti yang
memadai, ya sudah misalnya BLBI disebutkan saja, kemudian kasus reklmasi mana, ahok mana, sebutkan
saja. Jangan kemudian ditutupi , kemungkinan jadi tersangkanya. Saya melihat belakangan ini rasanya
KPK versi Luhut Binsar Panjaitan.
13. Penulis :
Tapi artinya secara individu pak Ferry mendukung itu?
Narsum :
Semula kita tidak setuju, tetapi pada akhirnya kita menerima. Memang KPK ini tetap harus di control,
14. Penulis :
Waktu itu Gerindra menolak?
Narsum :
Awalnya menolak, tapi kemudia setelah kita rapat, bahwa ini diputuskan di sidang paripurna. Dan ketika
sidang paripurna sudah memutuskan seharusnya kita ikut mengirmkan utusan anggota sebagai pansus.
15. Penulis ;
Kalau saya konfirmasi ke pak Fadli Zon, beliau bilang bahwa kita menolak, tetapi tetap memberika
perwakilannya. Kalau tidak salah Moreno.
Narsum :
Menurut saya sih kita menerima, dengan melihat itu.
16. Penulis :
Sebenernya kalau yang saya pahami merima atau menolak, sekalipun sudah diparipurnakan Fraksi tetap
wajib memberikan perwakilannya untuk pansus.
Narsum :
Waktu itu votting sudah diputuskan oleh pimpinan sidang, jadi waktu itu kita keluar (walkout) tapi kan
diujungnya kita menerima, menurut saya ini jadi penting dan harus instropeksi juga. DPR mungkin ada
salahnya, begitupun KPK banyak salahnya juga. Memposisikan ditengah itu adalah melibatkan diri menjadi
anggota pansus untuk kemudian menjaga supaya kerja pansus tidak tercemari atau pansus hak angket ini
ditunggangi kepentingan-kepentingan politik atau e-ktp dan sebagainya.
17. Penulis :
Kasus terakhir, terkait dengan RUU Pemilu yang hari ini sedang digodok, bagaimana sikap Gerindra.
Terumatama mengenai Presiden threshold?
Narsum ;
Kita, partai Gerindra kepengen supaya presidential threshold itu 0 persen. Kenapa 0 persen? Karena system
pemilu serentak yang akan dilaksanakan pada 2019 nanti pemilihan presiden nanti bersamaan dengan pileg.
Itu adalah sesuatu yang originaly new. Karena ini system yang baru, tidak bisa lagi menggunakan
presidential threshold dengan hasil pemilu yang 2014. Karena totally new, ini baru. Pemilu nya saja belum
masa sudah mau pakai hasil pemilu 2014, ini tidak logis lah. Sangat lah kuat dasar dari Gerindra dan partai
yang lain, mendukung presidential threshold itu 0 persen. Yang menjadi masalah adalah kelihatan sekali
kalau kekuasaan penguasa, ketakutan kalau mereka tidak bisa mendaptakan kecukupan dukungan dari
partai partai. Mereka berusaha menjaga angka 20. Prinsip 0 persen itu adalah karena kita mau memulai
system yang baru. Dan saya yakin di votting nanti kita menang, ini kan sekarang memberikan waktu
penundaan kepada pemerintah untuk mengambil keputusan. Nah, mengenai parlementary threshold itu
penting dalam rangka untuk menyederhakan jumlah partai. Parlemnetary threshold ini sebenernya sarana
untuk membatasi presidential threshold itu.
18. Penulis :
Secara substansial, alternatif apa yang ditawarkan Gerindra sebagai oposisi dalam mengawal kebijakan?
Narsum :
Yang pertama, itu penting soal counter budget, jadi APBN versi oposisi itu apa. Soal ekonomi, baik itu
politik, hokum, social budaya yang lain-lainnya, itu harus sudah punya. Karena counter budget itu
merupakan manifestasi jaminan dari ideology dan cita-cita partai. Memang sekarang menjadi tantangan
bagi kekuatan oposisi di Indonesia untuk memuali tradisi membangun sebuah oposisi. Disitulah sebenarnya
terjadi pertarungan ide dan gagasan oposisi dan pemerintah ketika di parlemen, esensi oposisinya itu
keliatan.
19. Penulis :
Kebijakan apa yang menjadi fokus perhatian Gerindra hari ini?
Narsum :
Menurut saya sih sebenarnya, bersamaan dengan kemajuan yang didapat oleh bangsa kita pasca reformasi
98 transisi proses demokrasi politik seperti sekarang sudah ada kemajuan. Tetapi, demokrasi politik yang
sekarang tidak otomatis dibidang ekonomi ikut maju. Justru kenyataannya sekarang deficit yang kita capai
justru mengalami kesenjangan ekonomi, kaya-miskin, kesenjangan antar wilayah makin lebar. Karena
ekonomi di Indonesia ternayata tidak semakin demokratis, Gerindra mungkin sekrang akan lebih spesifik
akan membangun Indonesia di bidang ekonomi. Ide dan gagasan besar pak Prabowo Subianto, pikiran-
pikiran yang belakangan tergambar pada buku paradox Indonesia itu adalah basis dasar dari partai Gerindra
yang harus diikuti oleh kader, pengurus, simpatisan partai Gerindra untuk memperjuangkan.kemajuan
ekonomi, nanti cerminannya di counter budget, dan perilaku partai gerindra baik yang di parlemen, atau
yang ada dilapangan lainnya.Demokrasi yang baik itu memang ditandai dengan adanya oposisi, disamping
itu demokrasi juga harus bisa terjaga oleh pilar-pilar. Harusnya media juga bisa jadi sarana untuk
melahirkan demokrasi yang baik juga, saying media dijaman demokrasi ini menjadi semprul, karena
pemilik media adalah orang-orang partai politik yang berada pada kepentingan politik.nah, seharusnya
yang menjaga demokrasi agar tetap baik adalah pilar-pilar media. Sekarag yang penting menjadi oposisi
adalah partai poltiik ini, karena tumpuan masyarakat ada pada partai.
Wawancara dengan Prof. Syamsudin Haris
Pada tanggal 7 Juli 2017, pukul 10.20 WIB
1. Penulis :
Sebetulnya system presidensial seperti di Indonesia ini yang cenderung multipartai, apakah oposisi masih
berlaku?
Narsum :
Ya yang namanya system demokrasi pasti ada lah yang namanya oposisi. Di akui atau tidak itu pasti ada,
dan secara factual memang ada. Ya tentu berlaku lah. Kita ini kan studinya akademik, jadi tidak terbatas
pada klaim-klaim politisi. Makanya kalau ada partai politik pemenang pemilu yang membentuk
pemerintahan, pasti ada yang tidak. Nah yang tidak itu kita klasifikasikan dengan oposisi. Bahwa oposisi
yang dimaksud adalah partai yang tidak masuk di pemerintahan tidak punya ideology yang sungguh-
sungguh berbeda, tidak punya rancangan kegiatan yang sungguh-sungguh berbeda. Tidak punya budget
alternative, itu soal lain lagi. Itu kan tugas anda untuk menganalisisnya kenapa demikian. Bahwa ada
oposisi ya iya. Ini menjadi penting bagi anda perspektif teori yang digunakan seperti apa. Kalau tidak bisa
mencakup atau tidak bisa dipakai untuk kasus Indoneisa, tentu anda bisa bangun perspektif yang lain.
Walaupun ini hanya untuk S1, tapi bagus juga kalau dilakukan hal itu. Sejauh ini sudah ketemu dengan
partai politik?
2. Penulis :
Sudah prof. kalau saya memandang, dari PKS ataupun Gerindra yang saya teliti begitu. Kaya Ferry
Juliantono mengatakan, yang membedakan kita dengan PDI P adalah factor ideology baginya, dia
(Gerindra) menolak APBN , terutama dengan PNM. Baginya itu tidak selasar dengan ideology Gerindra.
Sementara waktu PDI P menjadi oposisi pada pemerintahan SBY, kan hanya secara personal saja Megawati
dengan SBY. Berbeda dengan PKS, PKS lebih spesifikasi pada hal-hal yang memang sedari awal sudah
menolak pemerintahan Jokowi.
Narsum :
Nah, makanya kalau anda mau meneliti dengan benar, jangan didasarkan pada statmen atau klaim-klaim
itu. Anda harus cek klaim itu, pada level apa klaim itu diimplementasikan. Apakah muncul pada dalam
perdebatan mengenai pembahasan UU di dewan atau ditempat lain. Itu musti ada upaya untuk mengecek
itu. Kalau tidak, ya kita hanya mengandalkan pada klaim saja. Klaim bahwa partai A memang berbeda
dengan penguasa, dan seterusnya, tapi tidak implementatif. Perbedaan itu tidak Nampak dalam perilaku.
Anda musti cek, ada gak perubahan perilaku itu. Tentu yang baik melalui risalah persidangan.
3. Penulis ;
Bagaimana anda melihat, oposisi yang terjadi di Indonesia ini pasca reformasi?
Narsum :
Saya kira secara umum, tidak ada perbedaan yang mencolok, sejak pemilu 1999 sampai sekarang. Sebagian
oposisinya bersifat personal (tidak suka pada tokoh tertentu/ asal beda), sebagian bersifat kebijakan, tapi
ada juga yang sungguh-sungguh yang sifatnya mendasar. Misalnya, pembahasan mengenai UU kesehatan,
UU mengenai pertambangan, intinya umumnya mengenai ekonomi dan cukup kenceng, walaupun belum
tentu sungguh-sungguh ideologis, dalam pengertian sesuai dengan visi misi partai politik yang
bersangkutan.
4. Penulis :
Apakah tren oposisi mulai membaik dinegara kita?
Narsum :
Saya kira belum, belum Nampak membaik dalam pengertian masih asal beda. Nah kalau dikatakan
membaik apabila perjuangan oposisi itu orientasinya pada kebijakan. Bagaimna menawarkan kebijakan
alternative. Misalnya dalam soal pengelolaan SDA, partai politik oposisi punya kualitas tidak? Bagaimana
skema atau model pengelolaan SDA yang lebih mensejahteraan bangsa kita dan lebih adil, dan punya daya
tawar. Dan itu diperjuangkan di masing-masing komisi. Atau melalui pembahasan UU.
5. Penulis :
Bagaimana tanggapan anda mengenai sikap Gerindra dan PKS yang memilih oposisi?
Narsum :
Ya tentu sah-sah saja, siapapun yang memilih sebagai oposisi ya sah saja. Kita patut mengapresiasi,
khususnya kepada Gerindra dan PKS. Sebab, kalau semuanya masuk pemerintahan, demokrasi kita jadi
tidak lucu. Selain itu potensi politik transaksional menjadi tinggi. Artinya pemerintah, bisa jual beli
dukungan, atau sebaliknya partai politik jual beli dukungan. Baik itu menyetujui kebijakan atau melokanya.
Tidak mustahil demikian (keluarnya sejumlah partai dari KMP karena burgaining politik/ politik
transaksional). Level kualitas partai politik kita ya masih pada tingkat itu. Nah itu kan menyangkut kualitas
oposisi. Jadi kualitas oposisi dan kehidupan politik bangsa kita masih pada level dalam pengertian sebagai
cara atau alat bargaining power.
6. Penulis :
Sekalipun secara de jure oposisi tidak disebutkan dalam aturan politik kita, dalam sudut pandang anda
sebagai pengamat politik, keuntungan apa yang didapat Gerindra dan PKS?
Narsum :
Keuntungannya tentu yang pertama, mendapatkan simpati dan dukungan electoral. Kedua, PKS dan
Gerindra mendapat insetif dari lawan-lawan politiknya itu sendiri. Misalnya, akses politik, akses ekonomi,
apapun lah itu sehingga bisa menghimpun kekuatan yang bersaing pada kekuatan pemerintah pada pemilu
selanjutnya. Dan itu yang dinikmatin oleh PDI P pada masa pemerintahan SBY.
7. Penulis ;
Aturan yang seperti apa, jika memang oposisi harus dipaksakan dalam system politik kita?
Narsum :
Penting sekali koalisi oposisi dan koalisi pendukung pemerintahan ada paying hukumnya dalam bentu UU,
supaya partai politik tidak menjadi oportunis, sebagaimana kita melihat fenomena pecahnya KMP itu. Oleh
sebab itu penting sekali melihat kedepan, bagaimana supaya koalisi pendukung pemerintah dan koalisi
oposisi sifatnya permanen, dalam artian permanen itu, jika mendukung ya mendukung, itu kan pilihan.
Kalaupun kecewa dengan kebijakan pemerintah, ya kalau mau menjadi bagian dari pemerintah ya harus
mendukung. (koalisi KMP dan KIH) sebetulnya positif, kalau koalisinya itu bersifat “permanen”. Oleh
sebab itu koalisi politik dalam bangsa kita diikat, melalui semacam MoU, melalui kesempakatan-
kesepakatan minimum. Kelemahan koalisi pada pemerintahan JOkowi adalah karena tidak adanya
kesepakatan minimum itu. Jadi setiap partai politik setiap saat bisa bertentang atau setiap saat bisa cabut.
Kalau yang dimaksud AS itu sangat jelas sebab partainya hanya dua, dilemma kita ini kan multipartai. Nah
jangan lupa system multipartai yang dikombinasikan dengan presidensil berpotensi partai itu menjadi tidak
disiplin dan menjadi oportunis nanti. Makanya penting juga dalam konteks presidensil itu multipartai kit
disederhanakan. Makanya muncul wacana mengenai penyederhanaan system kepartaian, maksudnya adalah
supaya Cuma partai efektif yang duduk dilegislatif itu jauh lebih sedikit.
8. Penulis ;
Bagaimana anda menggabarkan oposisi dimasa yang akan mendatang?
Narsum :
Saya menduga kedepan, fenomena oposisi kehidupan politik bangsa kita masih akan sama. Masih akan
terjebak pada pola yang masih asal beda, belum menjadi oposisi yang ideologis. Selama partai politik
belum sehat dan juga masih dikuasai oleh individu-individu pemilik modal maka selamanya akan
demikian. Sebab yang mengikat anggota atau simpatisan partainya bukan ideology nya tetapi kecintaan
kepada tokoh partai (SBY, Prabowo, Megawati). Artinya idelogi menjadi lip service saja, plat form nya
hanya untuk memenuhi kewajiban yang diamanahkan oleh UU, bahwa partai politik ketika mendaftar ke
KPU itu musti punya visi misi, ad art, dan tidak lebih hanya pada level itu.
Wawancara dengan Dr. Firman Noor
Pada tanggal 27 Juli 2017, pukul 10.00 WIB
1. Penulis :
Dalam sistem presidensial kita yang cenderung multipartai, sebetulnya oposisi itu masih berlaku atau tidak
kalau dalam ketatanegaraan?
Narsum :
Ya ini tergantung pemahaman kita terhadap oposisi, saya sudah tulis dalam jurnal. Oposisi itu tingkatnya
adalah sesuatu yang berbeda yang oposit, apapun yang tidak sama itu adalah oposisi. Banyak definisi
tentang oposisi, tapi kalau dalam oposisi konteks politik terkait dengan pengaturan negara, kekuasaan,
pemanfaatan kekuasaan, pembuatan undang-undang, kebijakan. Apapun kemudian yang berbeda dengan
yang diinginkan oleh penguasa pemerintah maka itu adalah oposisi. Hanya saja memang apakah oposisi ini
yang bersifat yang permanen seperti di Inggris misalnya secara langsung yang kalah memang jadi oposisi,
yang sifatnya temporari dan kasusistik dia mungkin bisa loyal terhadap satu kasus tapi tidak sengan kasus
yang lain, dia bisa menjadi orang yang kritis dalam satu kasus tetapi jadi pengikut yang lain. Contoh
terbaru misalnya PAN dalam konteks undang-undang pemilu, dia menjadi oposisi, berarti di sini memang
tugas tyo menjelaskan definisi oposisi apa yang dimaksdud dalam skripsi tyo. Dugaan saya adalah oposisi
yang agak permanen karna memang mungkin dengan oposisi yang seperti itu, callange untuk pemerintah
akan lebih continue dan itu mengutungkan sebetulnya dalam beberapa hal. Pertama, itu akan memperbaiki
kualitas kebijkana itu sendiri, bayangkan kalau ada kebijakan yang tidak di callange jadi sudah merasa
benar padahal tidak ada yang sempurna, tidak ada pembuat kebijakan yang bisa mengcover semua tanpa
pertimbangan-pertimbanagn yang tajam yang kritis, meskipun memang bisa berdalih bahwa sebelum
undang-undang itu dibuat dia mengumpulkan pandangan, tapi kan justru itu permainan politinya bisa jadi
untuk menggol kan sebuah rancangan dia akan mengumpulkan orang-orang yang partai itu saja kemudian
melegitimasi dengan menyatakan kita sudah kok mengajak partai di luar pemerintah untuk merancang
kebijakan ini. Tapi tetap pada akhirnya membutuhkan mata telinga dan mulut orang di luar pemerintahan
yang bisa menjadi bisa penyempurna pembuat kebijakan. Yang kedua adalah sebuah kekuatan itu
cenderung untuk korup dan akan makin korup kalau tidak ada check and balance tidak ada yang
mengkontrol. Rakyat menjadi korban, karena tidak ada yang bisa menyuarakan alternatif pandangan
pemikiran, sementara mungkin alternatif itu dibutuhkan, kenapa karena sekali lagi praktek manusiawi dari
demokrasi itu adalah dia mengganggap pemerintah bukan sesuatu yang sempurna, beda dengan fasis
misalnya Hitler yang sudah merasa pemerintahannya benar, demokrasi tidak, demokrasi pasti ada
kesalahan pada yang memerintah makanya harus ada pemilu 5 tahun, pasti ada kebijakan yang
membutuhkan callange karena ketidaksempurnaan tadi, kepentingan oposisi adalah menuyuarakan yang
tidak sempurna agar rakyat bisa mendapatkan kebijakan yang baik buat seluruhnya.
2. Penulis :
Jadi oposisi bukan sekedar penentang an sich?
Narsum :
Justru kalau oposisi yang dimaksud secara akademis dan dalam kontek demokrasi yang nasional juga yang
modern, itu jelas bukan asal beda. Oposisi lebih dari itu, oposisi yang diharapkan dari demokrasi adalah
lebih dari asal beda. Karena kalau asal beda justru mungkin menentang rasionalitas, rasionalitas sudah
bagus tapi karena asal beda dicari-cari saja perbedaan itu dan ternyata dia menghasilkan alternatif yang
konyol, justru itu tidak sejalan dengan demokrasi. Jadi yang pertama adalah kenapa oposisi itu penting,
untuk memperbaiki kualitas kebijakan, kedua memang untuk menyuarakan aspirasi yang tidak terdengar,
sehingga aspiratif
3. Penulis :
Pasca pilpres ada dua kubu KIH dan KMP, semisal kasus MD3. apakah oposisi sistem multipartai yang
cenderung banyak seperti ini itu tidak menjadi kekhawatiran?
Narsum :
Apakah memang dengan perbedaan itu pemerintah tidak jalan? Saya kira pada akhirnya tetap berjalan, dan
terbukti penelitian ceabob memperlihatkan bahwa deadlock itu akan membuat pemerintahan itu tidak
berjalan, alhasil pemerintahan itu tetep berjalan dan sampai berakir sesuai masa periodenya, jadi meskipun
ada satu perdebatan sampai membuat tandingn waktu itu kan proses saja. Tetapi saya tetap berpandangan
bahwa ketegangan itu tidak membuat pemerintah lumpuh, dia akan membuat dinamika tersendiri, akan
banyak kericuhan, ramai. Mungkin ada proses perlambatan dalam pembuatan kebijakan. Itu tidak akan
membuat pemerintahan berenti.
4. Penulis :
Kalau itu terkait dengan APBN misalnya?
Narsum :
Ya kan akhirnya si oposisi itu juga akan mengeluarkan sebuah statement yang tidak akan mempermalukan
diri merka. Artinya dia sadar betul, bahwa statement-statement mereka akan dihitung oleh masyarakat oleh
sejarah bahwa mereka akan menjadi kelompok konyol atau tidak, saya kira mereka akan berhitung itu.
kemudian mereka juda sadar kok bahwa mereka tidak mau ditentang rakyat hanya karena mereka, misalnya
hanya bikin lama, bisa jadi juga mereka berpandangan mereka ingin mendapatkan legitimasi dari
masyarakat banyak, untuk bisa mengatakan itu mereka memang harus menghasilkan juga usulan-usulan
atau kebijakan-kebijakan kritis atau pandangan kritis yang memang rasional, masuk akal yang benar. Di
sisi lain dnegan adanya kekuatan dalam parlemen, presiden dan jajarannya tidak main-main kan, diaakan
serius, karena dia sedang diuji. Dan mereka juga sama motivasinya, ingin dikenang sejarah, ingin dianggap
bahwamereka layak sebagai pemerintah. kalau kemudian ada perlambatan atau sebagainya dan kita
khawatir karena itu, ya itu kekhawatiran gaya orde baru, oposisi dianggap sebagai suatu penyakit, oposisi
sebagai suatu hal yang lambat. Tapi memang terjai di Inggris luar biasa, hampir semua politisi berantem
dulu mereka ketika ada perdebatan.
5. Penulis :
Bagaimana mas firman melihat oposisi yang terjadi di Indonesia dari awal reformasi sampai pada saat ini?
Narsum :
Ya saya setuju bahwa sosoknya makin keliatan ketimbang memang dulu yang memang cenderung untuk
merangkul semua dan membuat pemerintahan pelangi, mungkin juga dengan tujuan tidak ada oposisi
mungkin juga. Kita coba untuk berpikir lebih efektif dalam menjalankan pemerintahan, tapi kan kenyataan
juga ngga efektif, sudah ngumpul semua malah tidak efektif juga, ini juga membuktikan tidak ada oposisi
belum tentu efektif. kemudian di era berikutnya SBY, sempat awal-awal ketika JK belum menguasai
Golkar ngga keliatan lagi oposisinya ngga jelas, malah yang lebi diposisi itu kaya metro TV, Hanura dan
Gerindra juga standar lah ya, kalau sekarang kan memang dengan seiring berjalannya waktu, ada sebagian
yang melanjutkan tradisi tidak beroposisi dengan berbagai macam alasan yang terpenting adalah alasan atm
yang harus dijaga. hal positif yang bisa diambil dari gerindra adalah dia tidak menngambil posisi yang
sama dengan golkar, tidak mengambil posisi yang sama dengan partai-partai yang dulu yang mencalonkan
presidenn kemudian gabung dengan pemerintahan. Jadi dalam hal ini ada sisi positif, ada perbaikan ada
penampakan oposisi tanpa sebuah alasan yang, sebenernya orang bisa mikir ngga ada untungnya loh ngga
dapet jabatan di kabinet. Keuntngan pragmatis biasanya tidak terlalu cash, tidak terlihat mungkin dia
investasi untuk 2019. Sebenarnya pola ini pola yang patut dihargai lah, PKS mungkin setengah ideologis
juga ya kenapatidak bergabung. Cuma memang partai yang lain masih sama, dalam pengertian, terutama
PPP mereka memang tidak punya orientasi ketika berada di oposisi, dan menganggap bahwa akan lebih
menguntukan ketika bersama pemerintah.
6. Penulis :
Kira-kira faktor apa yang melatarbelakangi partai memilih jalur oposisi, terlepas dari dia kalah dalam
pemilihan?
Narsum :
Kembali dalam kasus ini ya, pertama apakah ada partai yang ideologis nasionalis itu ada, aku khawatirnya
belum banget ya, belum betul-betul pancasila itu dijadikan sebuah pegangan untuk berpolitik saya kira
masih sebatas jargon ya. Tapi kalo kita lihat kan motivasti beroposisi kan, ya sebenarnya kan anda sudah
menyebutkan, dia mungkin punya pandangan mendasar, jadi ada level-levelnya, pandagan mendasar itu
pandangan ideologis. Pandangan ideologis ini itu susah diketemukan, seperti dinegara-negara yang
partainya ideologis, di Amerika. Dan sebetulnya Inggris juga, sampai kapanpun buruh dengan konservatif
itu tidak akan bersatu. Jerman yang terakhir agak unik, tapi tidak seperti Inggris yang memang faktor
ideologis nya sudah bercampur pada hal-hal yang sifatnya praktis. Artinya, dasarnya tetep ideologis,bahwa
buruh itu bukan liberal dan mindsetnya berbeda dengan liberal. Tapi memang sudah ideologis dan praktis,
semisal persoalnnya kalau di Indonesia seperti BPJS, dan itusudah sanga praktis. Tapi tetep ada faktor
ideologisnya dan ia tidak betul-betul murni praktis ya tidak. Itulah sebab kenapa buruh menang lagi karena
Corbin dianggap sudah ideologis lagi. Saya faktor itu yang menjadi top nya untuk oposisi. kemudain juga
mungkin berikutnya terkait dengan masalah pilihan-pilihan kebijakan mendasar atau besar. Kalau sistem
saya kira kalau sudah melawan sistem saya kita opisis sudah agak revolusioner mainnya udah ngga di
parlamen kalu sistem, berarti ngga percaya sistem kan, dia mungkin udah lebih setengah rebelion.
7. Penulis :
Kira-kira model-model HTI?
Narsum :
Ya, secara konseptual ya, dia ngga bisa masuk dalam parlemen kalau udah gak percaya itu. kemudian isu-
isu besar misalnya jadi secara ideologis, isu-isu mendasar yang dari isu-isu akan mengarah ke kebijakan
yang berbeda-beda. Beda kalau kita isu besarnya ini pasti nanti turunnya beda, nah ini yang kadang-kadang
membuat orang gak nyambung. Nggak paham grand isunya. Kemudian juga terkait dengan pilihan siapa
pilotnya,karena akan anggapan bila pilotnya ini arah pesawatnya akan begini, arahnya kesana, siapa saja
yang akan terlibat. Bisa jadi patron. Atau leader yang dianggap sebagai sosok yang akan membedakan, itu
kan sangat terasa ketika pilpres kemarin. Prabowo akan dianggap seperti ini, Jokowi akan dianggap seperti
ini. KMP itu sebetulnya koalisi pragmatis, karena koalisi pertama, itu juga terkait erat dengan bagi-bagi
kursi. Apalagi secara kecocokan antara Geindra dan PKS gak nyambung. Kalau kemudian ditanya faktor-
faktor apa yang menyebabkan oposisi masih bertahan. Ya saya kira faktor pemimpin, kepemimpinan yang
susah, Gerindra yang diterapkan di Jokowi, faktor ideologis, banyak juga faktor kebijakan yang banyak
celah sehingga menjadi legitimasi oposisi untuk berbeda dengan pemerintah. Bayangkan bila kebijakan ini
tidak banyak celah, tentu tidak banyak peluang untuk oposisi. Sekali lagi karena oposisi di Indonesia ini
bukan oposisi logis atau grand design yang benar-benar beda, jadi dia juga agak reaksioner. Pemerintah
mengeluarkan kebijakan yang banyak cacatnya, dia akan ada celah untuk dikritisi.
8. Penulis :
Mengenai sikap partai Gerindra dan PKS sebagai oposisi, tanggapan pak Firman sebagai pengamat?
Narsum :
Kalau kita lihat kan aspek normatif dulu ya, mereka kan selalu menganggap sebagai oposisi loyal.
Kemudian ditafsirkan sebagai mendukung tapi akan mengkritisi kalau berbeda. Maksdunya saya kalau
oposisi, oposisi aja lah, gak usah loyal atau tidak loyal, karena kalau tidak loyal mereka sudah rebelian.
jadi menurut saya memang mereka menarik garis yang berbeda,berdeda tidak akan sama, mau ditawarin
apapun mereka akan berbeda. Memang tadi ya,pengalaman historis, leadership dan itu juga termasuk
respek terhadap leader, kesolidan. Pandangan bahwa seperti ini harus jadi oposisi dan juga faktor investasi
dan juga faktor lemahnya rancangan undang-undang, artinya masih banyak pemerintah sehingga memang
mereka menjadi lebih terlihat dipermukaan. Pemerintahan ini juga terkesan gak profesional banget, tambal
sulam, salah ketik. Artinya oposisi ada memang karena pemerintah sangat layak untuk dikritisi.
Keuntungan lainnya adalah mereka nyaman diposisi oposisi, dan ini pilihan. Keuntungnya mereka tidak
merasa dirugikan, mereka tetap menyampaikan aspirasi, mereka tetep menyuarakan apa yang dikehendaki,
dan berkomunikasi dengan basis massa dengan baik. Dan kalau toh misalnya tidak ada hal yang betul-betul
memang menguntungkan, memang betul demokrasi itu sendiri. Dan keuntungannya bagi demokrasi itu
sendiri, bahwa di Indonesia ada suara yang kritis, dan publik menganggap ada kelompok diluar pemerintah
yang berani menyuarakan pandangan yang berbeda.
9. Penulis :
Nah kedepan apa yang seharusnya dilakukan oleh Gerindra dan PKS menjadi oposisi?
Narsum :
Jelas yang penting mereka jangan asal berbeda dan profesional, elegan, dia harus ingat hitungan sejarah,
dia harus terlihat baik dimata masyarakat, harus membuktikan bahwa dia itu punya otak, hati nurani, itu
harus dilakukan untuk kepentingan-kepnetingan aspirasi masyarakat dan kepentingan demokrasi itu sendiri.
Kalau memang ingin dilihat ada demokrasi beneran.
10. Penulis :
Saya sempat mengkritik Gerindra mas, melalui Fuad Bawazier. Karena memang beliau posisi nya sebagai
petinggi Gerindra. Saya kira ketika Gerindra menolkan RAPBN, seharusnya Gerindra juga menyiapkan
shadow budgeting. Tapi saya tidak lihat itu, apakah ini salah satu bentuk lemahnya partai oposisi?
Narsum :
Ya itu bukan oposisi ideal. Oposisi itu memang harus menyiapkan alternatif. Kebetulan saya punya
privillage untuk menyaksikan apa yang terjadi di Singapura dan di Inggris waktu itu. Setiap ucapan
pemerintah akan dicatat oleh mereka (oposisi) diingat dan kemudian ketika ada kesalah akan dibalikan ke
mereka. Kedua, setiap ucapan dan perbuatan akan disertai dengan alternatif. Kalau tidak sesuai dengan
pemerintah kita sudah siap dengan usulan kita. Hal itu wajar bisa terjadi memang karena parlemen di
Inggris sudah sangat lama sekali ya umurnya, jadi sudah tau harus ngapain oposisi itu. Harus kasih
alternatif, alternatif yang seperti apa? Ya tentu harus rasional, karena dia berkempentingan dilihat rakyat
dan berkempentingan pada pemilu berikutnya. Dia akan dilirik dan dilihat oleh rakyat, selama tugasnya
sebagai oposisi memberikan kesan bahwa mereka lebih benar daripada pemerintahn, sayangnya ini belum
bisa mengkultur dan belum mengalami pelembagaan, sehingga kadang-kadang oposisi itu asal jeplak, asal
beda dan asal-asalan tanpa ada alternatif. Gak usah lah lebih baik, tapi seimbang dari versi lain lah itu udah
cukup. Budaya oposisi untuk tidak asal beda itu belum kuat, artinya budaya oposisi itu belum menjadi
kepedulian orang, belum menjadi perhatian orang, belum merasa orang untuk respek disitu, belum
membuat orang merasa nyaman disitu. Kemudian oposisi yang berkualitas, mudah-mudahan kedepan
siapapun pemerintahan harus tetap ada oposisi, itu bagus. Kita tidak ingin menjadi negara yang satu suara
kan.
11. Penulis :
Tetapi memang kalau mau melihat dari sejarah, rasa-rasanya memang oposisi banyak kelemahan, fusi
partai mulai diterapkan. Mulaidari Soekarno, Soeharto, masuk di era reformasi yang sejatinya adalah
membuka keran demokrasi yang seharusnya peran partaidapat terlihat tapi nyatanya biasa-biasa saja, atau
memang budaya kita seperti itu?
Narsum :
Budaya itu kan bisa diciptakan, saya tidak yakin budaya kita seperti itu. Kita tahu pada tahun 1955 kita
punya sebuah pemerintahan yang dikritisi habis-habisan oleh Parlemen. Dan 40 tahun cukup untuk
membuat budaya,mulai dari tahun 1959 lah , membentuk kultur baru sehingga oposisi tidak disebut sebagai
sebuah masalah bukan bagian dari demokrasi. Ini yang kemudian mungkin berimpak pada kondisi
masyarakat, partai elit dalam melihat pemerintah yang baik seperti apa, sayangnya dianggap tanpa oposisi,
karena oposisi dianggap penyakit. Secara empiris, negara yang kaya, negara yang stabil, justru oposisi nya
kuat. Negara yang paling makmur dan paling stabil di dunia memiliki oposisi yang kuat. Negara-negara
seperti Skandinavia punya oposisi yang kuat, dilembagakan, diparlemen punya waktu bicara, punya
dukungan dana yang hebat, punya jaringan tv yang kuat, punya dukungan basis massa yang uar biasa, aman
dan kaya, dan sehat nggak sakit.
12. Penulis :
Jika memang oposisi ini terus dikembangkan, kira-kira ada tidak aturan yang harus diberlakukan atau
memang berjalan seperti ini saja?
Narsum :
Nggaklah, by nature aja, bahwa konsekuensi sebuah pemerinatahan demokrasi, prinsipnya harus punya
alat kontrol check and balances. Siapa yang mengambil peran itu, kalau memang dia seorang demokrat itu
akan dengan sendiri menglompok untuk merayakan demokrasi, menjalankan demokrasi dengan tulus,
dengan benar, dengan niat yang baik, dengan rasional, dan by nature akan tetap ada dan tidak berenti kalau
kita komitmen dengan konstitusi dan demokrasi. Tapi jangan lagi diatur-atur malah menjadi kaku.
13. Penulis :
Bagaimana anda menggambarkan oposisi dimasa yang akan mendatang di Indonesia?
Narsum :
Ya ini memang, kalau kita mau melihat trend nya memang agak sedikit naik ya, tapi apakah trend ini akan
terus naik atau akan fluktuaktif, dan bagi saya sih ada pembelajaran yang bagus ya. Menjadi oposisi itu
bukan sebuah kesalahan, menjadi oposisi itu memang diperlukan dalam sebuah demokrasi. Mudah-
mudahan kesadaran seperti ini, mungkin setidaknya persepsi untuk oposisi menjadi semakin baik, dan
mungkin akan terformalkan, tapi untuk peluang untuk membaik pasti ada.
Wawancara dengan Djayadi Hanan, Direktur Eksekutif SMRC
Pada tanggal 18 Agustus 2017, pukul 13.30 WIB
Penulis:
Tapi yang ditolak itu soal APBN?
Narsum:
Ya nolak, tapi kan agenda presiden tetap jalan jadi ngga buntu. Sama di era KMP mungkin buntu kalo
oposisi nya dominan dari segi jumlah oposisi, kaya KMP sebelum bubar kan. Tapi ke sini-sini ngga ada
kebuntuan. Ngga ada kebijakan penting yang tidak bisa lolos dari DPR, yang paling penting biasanya
kebijakan tentang RAPBN kan. KMP ada sejak oktober 2014- 2015, satu tahun. APBN memang lancar,
APBN atau APBNP, kebijakan lain secara umum tidak ada yang signifikan, jadi di Indonesia belum pernah
ada kebuntuan menurut saya, walaupun ada oposisi, walaupun ada oposisi yang dominan kaya KMP,
bahkan kemudian KMP nya pindah kan Golkar, PPP, PAN itu pindah. Demikian juga dulu saat SBY ada
koalisi kerakyataan, koalisi kebangsaan.
Penulis:
Dalam sistem presidensil yang cenderung multi partai, apakah oposisi ini berfungsi?
Narsum:
Ya tergantung apa yang kota maksud dengan oposisi, oposisi itu kan didefinisikan paling mudah adalah
sebagai partai-partai yang berada di luar pemerintahan kan, partai-partai yang tidak ikut pemerintahan.
Fungsi oposisi tentu saja kemudian menjadi lebih kritis dan menjadi alternatif kebijakan yang ditawarkan
oleh pemerintah. Dalam konteks ini bisa, di dalam sistem presidensil kan ada keterpisahan antara parlemen,
legislatif dengan presiden. Legislatif pun bisa jadi oposisi karna fungsi nya mengontrol presiden.
Penulis:
Tapi kalau masing-masing partai mengusung Presiden (partai di Parlemen cenderung pendukung presiden)?
Narsum:
Iya karna itu ada koalisi kan, jadi dalam sistem presidensil itu bahkan anggota koalisi yang sama itu bisa
aja menjadi kritis dengan pesiden atau bersebragan dengan presiden dalam sistem presidensil. Jadi segi
substansi nya kalo oposisi dimaknai sebagai sikap kritis atau berbeda atau bertentangan dengan presiden
atau eksekutif, maka sistem presidensil mendesign legslatif sebagai oposisi terhadap presiden secara sistem.
Beda dengan sistem parlementer, kalo sistem parlementer parlemen terbelah menjadi dua, oposisi dan
koalisi. Kan perdana menteri anggota DPR juga, menteri-menteri amggota parlemen juga. Jadi jelas,
opoisisnya haruslah politisi atau partai yang bersebrangan dengan partai-partai yang menjadi penguasa,
supaya mereka berbentuk koalisi maupun tidak berbentuk koalisi. Tapi dalam sistem presidensil dengan
sendirinya oposisi itu harusnya berfungsi, oposisi dalam sistem presidensi itu secara substansi itu bisa dua,
kalau oposisi diartikan sebagai sikap kritis atau sikap berbeda dengan Presiden, yaitu oposisi yang berasal
dari sistem dalam arti oposisi karna fungsi legislatif. Yang kedua oposisi karna ada nya partai-partai yang
tidak secara resmi ikut di dalam koalisi yang mendukung presiden atau pemerintahan. Contoh yang
pertama, kamu tau Obama Care? Itu yang mengajukan kan obama dari partai demokrat di tahun 2010,
anngota DPR dari partai demokrat itu kan mayoritas tapi tidak semua anggota DPR dan atau senator dari
partai Demokrat mendukung Obama walaupun partai nya sama. Kenapa? Karena itu tadi sistem presidensil,
anggota parlemen itu bisa karena anggota parlemen bisa karna fungsi sebagai pengontrol ekesekutif bisa
melakukan fungsi-fungsi yang sifatnya kritis, berbeda. Tapi biasanya oposisi yang berasal dari partai nya
presiden atau partai yang berasal dari koalisinya presiden itu biasanya tidak bersifat permanen, dia hanya
oposan terhadap kebijakan-kebijakan tertentu, nah ini yang disebut gejala presidensialisasi partai politik
atau presidensialisasi parlemen. Di Indonesia terjadi tuh, contoh PAN atau PKS pada zaman SBY. PAN
berbeda denga presiden jokowi dalam hal undang-undang pemilu dalam soal ambang batas walaupun dia
anggota koalisinya presiden.
Penulis:
Lebih jauh dari apa yang anda lihat dengan oposisi di Indonesia pak?
Narsum:
PDIP juga gitu walaupun dia partai Jokowi beberapa kali dia oposan terhadap Jokowi, coNtoh mereka bikin
motori pansus Pelindo tujuannya meminta Jokowi untuk tidak setuju dengan Jokowi mempertahankan
Siswandi sebagai anggota, jadi dalam PDIP sendiri ada oposisi terhadap presiden. Jadi, oposisi dalam
sistem presidensi bisa bermakna dua itu, opisisi dalam arti legilatif yang kritits terhadap presiden atau
ekeskutif dalam konteks ini yang oposan bisa dari perati presiden sendiri atau partai yang tidak ikut koalisi.
Yang kedua oposisi dalam arti sikap partai-partai yang berada di luar pemerintaham, itu tadi konteks
Indonesia mereka yang menyebut sebagai mitra kritis pemetintah itu adalah Gerindra dan PKS. Demokrat
tadi mengatakan dia penyeimbang, tapi perdefinisi partai oposisi itu kan partai yang berada di luar
pemerintahan, perdefinis ya baik Gerindra PKS maupun Demokrat itu masuk kategori oposisi. Kalau kita
lihat Gerindra dan PKS, fungsi-fungsi itu jelas mereka jalankan. Dalam arti umunya mereka sangat kritis
terhadap pemerintah, cenderung berbeda dengan pemerintah, bakan dalam beberapa kebijakan jelas
menentang apa yang diusulkan oleh presiden. Tapi oposisi di dalam kontek indoensia bisa juga dalam arti
presidensil secara umum, oposisi tidak 100% berbeda dengan pemerintah. Contohnya partai oposisi tidak
pernah tuh tidak menyetuji APBN setiap tahun, dari PDI jaman SBY sampai ke Gerindra dan PKS dan
demokrat yang searah. Jadi kalau mau liat dari siis itu ya oposisi yang berfungsi di Indoensia, kalau dilihat
dari fungsinya, fungsinya untuk menjadi critical partner.
Penulis:
Apakah patokannya dengan ABPN?
Narsum:
Salah satunya APBN
Penulis:
Kalau dia mengkritisi hak angket dan pemilu misalnya?
Narsum:
Ya itu seperti yang saya bilang tadi, fungsinya dia berfungsi sebagai oposisi kan tapi dia tidak selalu 100%
berbeda dengan pemerintah. Karena dalam kebijakan yang penting seperti APBN, karena APBN itu penting
banget dalam politik (menurut David Easton), jadi pencerminaan yang penting bahkan paling penting
dalam kebijakan untuk rakyat adalah APBN. APBN itu tidak pernah tidak disetujui oleh partai baik itu
oposisi ataupun koalisi. Makanya Indonesia ngga ada kebuntuan.
Penulis:
Bagaimana tangggapan Dr. Djayadi Hanan terhadap sikap partai Gerindra dan PKS yang memilih sebagai
partai oposisi?
Narsum:
Ya itu satu sikap yang wajar, karena mereka memiliki perbedan politik maupun personal dengan yang
sedang berkuasa. Misalnya, Gerindra kan ketuanya Prabowo, dan Prabowo kan rival utama dari presiden
Jokowi, pertarungannya juga sangat sengit. Jadi disitu wajar saja kalau kemudian dia memilih untuk tidak
bersama. Demikian juga PKS, PKS juga sudah lama dianggap tidak bisa cocok dengan PDIP karena
perbedaan yang macem-macem lah, ideologinya PKS yang berbasis islam itu berbeda dengan ideologi
PDIP yang berbasisi nasional atau nasionalis. Jadi itu sikap yang wajar, dari segi sejarah Gerindra dan PKS
itu belum pernah bersama dalam segi pemerintahan kan. Ketika PKS dijaman SBY, PKS koalisi dengan
SBY bisa jadi itu berbeda. Jadi itu hal yang wajar dan hal yang masuk akal dan itu sesuatu yang baik
menurut saya. Karena kalau semuanya masuk pemerintahan, memang dalam sistem presidensial kita bukan
hanya sistem presidensial kita tapi dibanyak negara itu partai yang tidak mendukung presiden itu bisa saja
menyebrang untuk mendukung presiden, ketika pemilihan presiden itu mereka berbeda, kemudian ketika
menjalakan pemerintahan itu mereka bersamakan kaya Golkar, itu biasa terjadi apalagi berbicara ideologi
antar partai kan tidka terlalu jauh tidak sulit. Jadi menurut saya itu hal yang wajar dan baik, karena kalau
semuanya ikut pemerintahan itu jadi pemerintahan multi partai, tidak ada lagi yang mengkritisi eksekutif.
Kalau begitu kan bisa terjadi tirani bersama ologarki jadinya, itu tidak baik untuk Demokrasi.
Penulis:
Saya sepakat dengan hal itu, karena memang yang say abaca dari Robert Dahl aspek oposisi adalah faktor
penting dalam kehidupan demokrasi, nah kemudian pertanyaannya sekalipun oposisi tidak disebutkan
dalam literatur negara kita, nah apa yang menjadi keuntungan Gerindra dan PKS dalam kacamata anda
sebagai pengamat politik?
Narsum:
Opisis koalisi itu tidak harus disebutkan dalam konstitusi, itu fakta politik aja. Dalam sistem parlementer
juga tidak ada tuh aturan tentang koalisi opisisi. Itu Kenyataan aja, kalau sistemnya mutipartai tidka ada
partai yang dominan yang menang maka untuk pemerintah harus berkoalisi, itu fakta politik, jadi koalisi itu
fungsi dari sistem multi partai, kalau sistemna multri partai, mau siste presedensil atau parlementer kalau
sistem kepartaiannya multi partai dan sistem multipartainya itu pragmatis, tidak ada partai yang dominan
tidak ada partai yang memeperoleh suara 50% lebih, mau tidak mau harus berkoalisi. Tetapi dalam sistem
presidensil bisa tidak terjadi koalisi itu walaupun dia multipartai walaupun tidak ada partai yang dominan
dalam sistem presidensil. Kalao sistem parlementer pasti terjadi tuh koalisi, karena tidak mungkin
membentuk pemerintahan tanpa adanya koalisi kan. Dalam sistem presidensil karena parlemen dengan
presiden itu terpisah bisa saja walaupu tidakada partai yang menag dalam pemilu hanya kurang dari 50%
itu bisa saja, artinya presiden tetap bisa membentuk pemerintahan tanpa dukungan mayoritas di parlemen.
Tapi secara politik itu problematik, karena kalau prsidennya hanya didukung dengan minimal, minimal
jumlah kursi yang minoritas maka dia akan kesulitan berhadapan dengan parlemen. Kalau terjadi kesulitan
seperti itu, presidennya dari partai minoritas, parlemennya terdiri dari partai-partai yang tidak mendung
presiden, apakah pemerintahan tetap berjalan? Ya pemerintahan tetap berjalan, kalau di parlementer kan
bubar kalau di presidensil tidak bubar. Cuma kemungkinan di sistem presidensil yang presidennya
didukung partai minoritas itu akan terjadi gontok-gontokan, konflik terus menerus antara presiden dengan
legislatif. Nah karna itu maka koalisi juga menjadi niscaya dalam sistem presidensil, karena biasanya
presiden itu tidak mau kebijakannya itu tidak didukung. Dalam konteks Indonesia, lebih perlu lagi koalisi
itu kalau sistemnya multi partai dan tidak ada parati dominan. Kenapa? Karena kalau presiden sama DPR
kuat-kuatan maka dua-duanya tidak bisa kerja. Misalnya, tidak bisa bikin Undang-undang, Undang-undang
tidak akan bisa dibuat kalau presiden dan DPR tidak setuju bersama kan. Jadi sesuatu yang niscaya. Nah
apa keuntungan partai koalisi? Untuk melihat itu, keuntungan yang jelas kita bisa lihat bagaimana PDIP 10
tahun jadi oposisi kan? Dari jaman SBY ya kan, di periode ketika SBY tidak punya kesempatan lagi untuk
maju sebagai presiden di 2014, maka PDIP memperoleh keuntungan elektoral dia menjadi pemenang saat
pemilu atau memperoleh suara yang besar. Jadi ini konfensional aja, orang berharap dengan menjadi perati
oposisi mereka bisa mendapat keuntungan elektoral dalam jangka panjang, itu yang paling kelihatan. Tapi
keuntungan elektoral oposisi bisa diperoleh kalau masyarakat tidak puas dengan incumbent tapi kalau
masyarakat puas dengan incumbent maka oposisi akan sulit untuk memperoleh keuntungan elektoral ketika
incumbent masih ada, maka itu PDIP tetap kalah pas tahun 2009, ketika SBY masih incumbent kita lohat
nanti untuk periodenya Jokowi 2019 akan kita lihat apakah ada keuntungan erektoral yang diperoleh
Gerindra dan PKS atau tidak, itu akan terantung kepada apakah orang puas atau tidak dengan Jokowi nanti
sampai tahun 2019. Tapi secara umum memang oposisi itu membuat partai-partai yang menjadi oposan itu
memiliki kemungkinan untuk memperoleh keuntungan elektoral, ketika pemerintahnya mengalami
kegagalan atau misalnya kinerja nya dianggap tidak baik atau memperoleh persepsi negatif dari
masyarakat. Nah secara normatif secara umum, keuntungan menjadi oposisi itu adalah ideologi nya bisa
dikontraskan dengan ideologi partai pendukung pemerintah. Tapi dalam konteks Indonesia perbedaan
ideologi itu kan tidak begitu nyata, perbedaan ideologi dalam arti yang menjadi dasar dalam kebijakan.
Misalnya secara ekonomi tidak ada perbedaan ideologi antara Gerindra dan PKS dengan PDIP, semuanya
ekonomi kerakyatan tapi instrumennya tetap terbuka dengan modal, tetep tebuka dengan ideologi kapitalis,
tidak ada yang ideologinya sosialis misalnya tidak ada. Memang mengatakan perlu ekonomi kerakyatan
tapi semuanya terbuka dengan modal swata dan sebagainya. Nah tapi dalam konteks persaingan antara
Gerindra dan PKS dengan partai-partai yang mendukung Jokowi, ada kemungkinan semacam perbedaan
ideologi yang membuatnya tajam, yaitu fakta bahwa PKS itu adalah partai yang menggunakan islam,
terutama islam dalam artian islam modernis atau mau dibagi antara dua aliran besar islam modernisme dan
tradisionalisme. PKS itu partai yang berbasis islam modoernis yang memang kontras terutama dengan
partai-partai yang mendukung Jokowi itu cenderung partai-partai yang cenderung berorientasi islam
tradisional seperti PKB , NU atau islam abangan seperti PDIP, meskipun belakangan ada PAN yang
tampak yang tidak merasa nyaman untuk berada di koalisi Jokowi. Nah perbedaan aliran ini, perbedaan
aliran dalam arti ideologi islam ini bisa membuat PKS memperoleh keuntungan elektoral dengan menjadi
oposan terhadap jokowi partai opisis. Karena kalau kita perhatikan kelompok-kelompok islam modernis
cederung memang tidak dekat dengan Jokowi, kelompok kelompok warga masyumi misalnya, kelompok-
kelompok yang dulu menjadi partai muslim Indonesia, kelompok-kelompok aktivis dakwah kampus dan
sebagainya itu kebanyakan adalah kelompok-kelompok yang minimal tidak begitu bersahabat dengan
Jokowi. Nah, PKS dengan menjadi oposan itu dia bisa menarik suara orang-orang yang anti terhadap
Jokowi, yang jumlahnya hampir 50% ketika birokrat lalu, sekarang mungkin jumlahnya sedikit. Tapi kalau
kita lihat survey SMRC bulan Mei lalu masih ada sekitar 31% orang yang tidak puas terhadap Jokowi, yang
puas ada 67% . 31 % itu umumnya adalah pemilih Prabowo dan orientasi adalah lebih banyak ke PKS dan
Gerindra. Jadi dengan menjadi oposisi, PKS itu bisa memelihara konsituen atau malah menarik konsituen
yang tadinya memang tidak pro Jokowi. Jadi keuntungan elektoral juga dari segi ideologi itu. Gerindra
tampaknya memainkan dua hal, yaitu ketokohan Prabowo yang memang memiliki pengikut, sehingga
orang-orang yang tadinya tidak suka Jokowi tetap akan memilih Prabowo dengan Gerindra menjadu oposan
dan Gerindra juga memainkan strategi politik mendakati kelompok islam yang tadi yang anti Jokowi,
kelompok islam yang cenderung modernis yang cenderung tidak begitu pro kepada pemerintahan ini yang
selama ini lebih banyak dikenal disekitar Prabowo yang cenderung bersebrangan dengan kelompok-
kelompok abangan seperti yang ada di PDIP atau islam tradisional yang ada di PKB. Jadi itu keuntungan
elektoral sebagai partai dengan menjadi oposisi. Jadi apa keuntungannya ya elektoral, kerugiannya ya tidak
punya kekuasaan.
Penulis:
Tapi ini tikak berlaku di daerah-daerah juga ya pak? Dalam arti di daerah pun ada koalisi yang dibangun
dengan Gerindra dengan PDI misalnya, tapi seharusnya ini bisa menjadi garis besar dua kelompok.
Narsum:
Ya tidak bisa, karena oposisi tingkat nasional tidak bisa serta merta tercermin oposisi tingkat lokal. Satu,
berbeda sistem politik di tingkat nasional dengan sistem politik di tingkat lokal, jadi hungan antara presiden
dengan DPR itu tidak sama dengan hubungan antara gubernur atau wali kota bupati dengan DPRD tingkat
1 dan tingakt 2. DPRD tingkat 1 tingkat 2 itu jauh lebih lemah posisinya berhadapan dengan kepala daerah,
kalau diperhatikan struktur pemerintahan kita itu. Jadi tidak persis sama, kalau di nasional itu kan betul-
betul cenderung seimbang antara presiden dengan DPR, kalau di tingkat provinsi dan kabupaten kota
gubernur eksekutif jauh lebih dominan. Definisinya ada kalau kamu perhatikan di undang-undang
pemerintahan daerah DPRD itu adalah bagian dari pemerintahan daerah, kalau DPR kan bukan bagian dari
ekeskutif, dia terpisah. Baru ada atasannya, gubernur itu ada atasannya yaitu menteri dalam negeri kan.
Atasan langsungnya itu sebernya presiden tapi dilaksanakan oleh menteri dalam negeri. Bah menteri dalam
negeri juga secara politik juga atasan DPR, jado bukan DPR pusat yang menjadi atasannya DPRD provinsi.
Kenapa begitu? Peraturan undang-undang DPR tentang DPRD provinsi itu dibuat oleh menteri dalam
negeri, berapa gaji nya DPRD itu dibut oleh menteri dalam negeri. Kalau ada perda yang tidak disetujui,
kalau ada perda yang tidak pas dengan kondisi nasional dibatalkan oleh menteri dalam negeri. Menteri
dalam negeri adalah atasan langsung dari kepala daerah dalam konteks politik itu. Jadi kalau misalnya
terjadi kebuntuan antara kepala daerah baik gubernur maupun tingkat dua kebuntuan dengan DPRD maka
menteri dalam negeri yang turun dan itu bisa menguntungkan kepala daerah yang bersangkutan atau tidak
menguntungkan kalau kebetulan kepala daerah berbeda partai dengan Presiden. Karena itu oposisi menjadi
tidak begitu penting dalam konteks seperti oposisi di tingkat nasional. Nah,oposisi menjadi peristiwa yang
sifatnya lokal, jadi politik ditingkat provinsi maupum kabupaten kota itu politik yag sifatnya tergantung
pada dinamika di tingkat lokal, dinamika ditingkat lokal itu tidak serta merta menjadikan dinamika
ditingkat nasional, maka misalnya Demokrat dengan PDIP bersekutu dalam pilkada di Aceh, Golkar dan
PDIP bertarung di Banten padahal Golkar kann teman setianya PDIP di pusat. Karena ada perbedaan
dinamika di tingkat lokal, tidak bisa kalau disamakan. Jadi tidak serta merta ada oposisi di tingkat nasional
kemudian menjadi oposisi juga ditingkat lokal. Oposisi ditingkat lokal itu mencerminkan dinamika politik
lokal bukan mencerminkan dinamika politik nasional.
Penulis:
Tapi kalau gambaran misalnya pilkada DKI Jakarta apa itu juga cerminan dari politik nasional kira-kira?
Narsum:
Sejumlah daerah bisa, karena kesamaan dinamika politiknya mirip. Kebetulan kan dalam konteks Jakarta
itu satu, secara geografis sangat dekat dengan tingkat nasional, yang kedua Gubernur Jakarta yang kemarin
Ahok itu kan mantan wakilnya Jokowi. Jokowi itu memang dianggap satu kubu dengan Ahok, sehingga
memungkinkan untuk terjadinya kebelahan seperti ditingkat nasional dalam arti partai-partainya, tapi itu
juga tidak terlalu tercemin diputaran pertama kalau itu betul-betul mencerminkan oposisi tingkat nasional
kan PKB, PPP harusnya kan kemarin dikung Ahok awalnya di putaran pertama, tapi kan ada dinamika
politik yang berbeda juga di Jakarta. Jadi Jakarta pun tidak sepenuhnya mencermintak pertarungan tingkat
lokal, tapi diputaran kedua itu menjadi tertarik karena seolah-olah memang ada kubu Prabowo dan ada
kubu non-Prabowo. Nah kubu non-Prabowo itu Ahok itu dikategorisasikan ke Jokowi dan kebetulan
tampaknya Jokowi ikut bermain meskipun kan secara resmi kan tidak, tapikan partai-partai pendukung
Jokowi umumnya adalah partai pendukungya Ahok tapi hanya di putaran kedua. Dengan kata lain tetap aja
dinamika politik lokal mempengaruhi, tetep saja oposisi koalisi ditingkat lokal itu mencerminkan dinamika
politik lokal karena dinamika politik lokalnya diputaran kedua itu berbeda dengan diputaran pertama maka
koalisi oposisi juga berbeda itu di dalam kebijakan umum tetapi pilkada, tapi dalam pemerintahan kan
beda. Ketika kita bicara koalisi oposisi kita bicara pemerintahan bukan pemilu kan, jadi Jogjakarta itu
dengan dinamika nasional, dinamika nya dinamika pemilunya ada yang sama tapi dinamika
pemerintahannya kan beda. Sekali lagi berarti beda, dinamika politik nasional berbeda dengan dinamika
politik lokal.
Penulis:
Apa yang seharusnya dilakukan Gerindra dan PKS dalam menyikapi partainya sebagai oposisi? Misalkan
dalam APBN kalaupun dia bersifat oposisi dia menyiapkan alternatif lah kalau memang ada perdebatan di
dalam parlemen sebelum ada pengesahan, kemudian alternatif apa sih yang harus dilakukan oleh Gerindra
dan PKS sebagai oposisi?
Narsum:
Fungsai APBN itu kan diusulkan oleh presiden lalu dimodifikasi dan disetujui oleh DPR, kalau kamu
perhatiakn perdebatannya itu bukan hanya Gerindra yang dengan pemerintah dalam hal penyusun APBN.
Kan ketika penyusunan APBN itu pembahasan itu, membahasnya itu kan mulai dari panitia anggaran lalu
di komisi, dimasing-masing komisi itu ada sikap dari fraksi-fraksi dan juga sikap masing-masing individu
anggota DPR. Jadi dalam pembahasan undang-undang atau APBN seringkali tidak tercermin oposisi
koalisi secara karena ketika membahas satu persatu detail-detailnya itu tergantung sikap fraksi masing-
masing kemudian kepentingan fraksi masing-masing dan kepentingan individu bisa jadi. Hanya dalam isu-
isu tertentu yang besar biasanya ada pembelahan oposisi dengan koalisi dalam proses di DPR itu, misalnya
PKB itu banyak sekali dia cocok dengan Gerindra dan PKS dalam undnag-undang pemilu kemarin,
sebetulnya dalam konteks ambang bataspun sebetulnya PKB lebih cocok dengan Gerindra dan PKS tapi
setelah presidennya melakukan mobilisasi sedemikian kuat sehingga partai-partai pendukung presiden
mencoba untuk berada di barisan presiden. Perbedaan antara PDIP dengan Golkar dengan PKB PAN itu
jelas, apakah akan menggunakan sistem pemilu tertutup atau terbuka. Kalau sistem pemilunya tertutup itu
menguntungkan perolehan besar, PKB PAN kemudian bersatu dengan PKS didukung oleh Gerindra. Jadi
dimana oposisi koalisi? Kan ngga ada disitu, tidak tercermin. Jadi oposisi dan koalisi tidak selalu tercermin
dalam segi partai-partai di luar pemerintahan dengan partai-partai di dalam pemerintahan itu tidak seluruh
tercermin di dalam proses di DPR itu tergantung kepada konteks dan visinya apa tapi biasanya dalam isu-
isu yang besar yang pemerintahannya ngotot maka biasanya terjadi pembelahan yang cukup tajam antara
jadi keliatan yang mana oposisi dan yang mana koalisi. Contohnya yang dianggap besar adalah ambang
batas presiden, atau isu-isu yang menarik perhatian publik yang luas misalnya isu korupsi seperti isu pansus
angket KPK misalnya, itukan agak jelas tuh perbedaan antara koalisi dengan oposisi. Kemudian isu BBM
itu biasanya juga cukup jelas, isu-isu yang menarik perHatian publik. Dan memang disistem politik mana
pun perbeaan yang tajam antara opossi dan koalisi itu biasanya disiu –isu tertetu, isu-isu yang besar yang
biasanya menarik perhatian publik
Penulis:
Padahal idealnya partai oposisi juga harus menyiapkan alternatif shadow budgeting?
Narsum:
Dia ngga perlu begitu, karena ini bukan sistem parlementer. Di sistem parlementer pun juga tidak harus
begitu
Penulis:
Tapi bukankan itu idealnya pak?
Narsum:
Tidak, ideal sebagai apa?
Penulis:
Ya sebagai oposisi harus menyediakan alternatif?
Narsum:
Ya alternatif, semua orang menyiapkan alaternatif pasti menyiapkan alternatif. Misalnya, dalam sistem
pemilu pemerintah mintanya sistem terbuka terbatas, Gerindra PKS maunya sistem tertutup. Salam sistem
ambang batas pemerintah mintanya 20%, Gerindra PKS sama Demokrat yang oposan mintanya 0%, apa
tidak ada ambang batas, kan alternatif. Demikian juga APBN, misalnya di jaman SBY PDIP tidak setuju
ada bantuan langsung tunai, meskipun tetap ada walaupun jumlahnya dikurangi dlam artian waktu atau
nominalnya dikurangi. Ya itu alternatif yang disiapkan, apakah misalnya Gerindra harus punya APBN
sendiri, ya boleh aja mereka punya tapi untuk apa kalu itu tidak terlaku diperlukan, kan bisa dikuliti satu
persatu disepakati satu persatu, tidak harus begitu. Memang dalam sistem parlementer memag ada seperti
yang kabinet bayangan untuk didalam sistem presidensil ngga dikenal, ya oposisi itu partai-partai yang
berada di luar pemerintahan itu aja.
Penulis:
Mengenai oposisi di Indonesia ini bagaimana anda melihat atau menggambakan tentang oposisi dimasa
depan?
Narsum:
Ya oposisi itu diperlukan, sistem presidensil itu sebenernya didesign supaya ada oposisi, supaya semua
tidak semua nya berada di sekitar eksekutif, supaya parlemen punya kemampuan untuk mengkritisi
eksekutif. Jadi ke depan oposisi adalah suatu hal yang baik yang harus ada. Memang tantangannya adalah
karna jarak ideologis antar partai di Indoensia itu tidak jauh kemudian kebijakan antar partai baik dibidang
politik, sosial, budaya, ekonomi itu tidak terlalu jauh maka kecenderungan partai-partai untuk ikut ke dalam
pemerintahan itu lebih besar. Kita lihatkan besarnya koalisi kan selalu 70% jadi kemungkinan ke depan
koalisi di Indonesia kalau sistem partainya tetap pragmatis seperti sekarang, maka dengan jarak ideologis
yang tidak jauh maka kecenderungan partai-partai untuk berada di oposisi itu tidak banyak. Lebih banyak
yang suka menjadi bagian dari koalisi, walaupun mungkin mereka ketika pilpres berbeda dengan
presidennya. Melihat kecenderungan politik Indonesia sekarang ya kira-kira akan tetap ada satu dua partai
yang tetep mau berada di oposisi ke depan karena tidak semua partai bisa cocok. Itu kan tergantung dengan
presidennya bagaimana, kemudian konfigurasi antar pimpinan partainya, lalu bagaimana sejarah proses
pertarungan politiknya baik yang legislatif maupun eksekutif. Tapi ada kemungkinan juga terjadi
pengentalan defisit ideologi, kemungkinan terutama antara kelompok nasionalis islam dengan kelompok
nasionalis sekuler. Kalau melihat belekangan ini dan kecenderungan global kan ada kecenderungan orang
orang untuk dekat ideologi nya masing-masing misalnya dalam segi agama terutama islam. Jadi di
Indonesia juga begitu, ada kecnderunga sekelompok orang islamnya makin kental dari sisi politiknya. Ada
juga yang tetep menganggap agama bukan bagian dari politik, jadi sekarang itu mulai terliat pembelahan
antara orang yang menanggap islam merupakan bagian dari politik dan yang menganggap islam bukan
bagian dari politik atau hubungan sekuler antara islam dan politik ada penguatan. Kalau itu yang terjadi
maka ke depan itu erjadi penguatan dari segi ideologi menjadi dua kutub besar, meskipun masih cair
sekarang tapi ada kemungkinan juga ke sana, karena itu oposisi koalisi ke depan bisa juga menjadi
perbedaan antara kelompok nasionalis sekuler dan nasionalis islam. Penggunaan isu-isu identitas itu juga
menjadi pembenaran global.
Wawancara dengan Pipin Sopian, Kepala Departemen Politik PKS
Pada tanggal 22 Agustus 2017, pukul 18.00 WIB
1. Penulis:
Faktor apa saja yang mempengaruhi PKS tetap berada di luar pemerintahan atau oposisi?
Narsum:
Yang pertama, itu adalah hasil Munas, Majelis Syuro PKS mengamanatkan bahwa PKS tetap berada di luar
pemerintahan. Jadi kita kalah dalam Pilpres, lalu kita berkomitmen untuk berada di luar pemerintahan.
Munas Majelis Syuro itu tidak bisa diubah oleh kebijakan Presiden atau DPP PKS, jadi itu harus diubah
dalam Munas dan Majelis Syuro tidak pernah mencabut itu, jadi sampai ini kita oposisi. Ini melihat bahwa
PKS itu kan ingin berkhitmat untuk umat, melayani masyarakat tidak harus di dalam pemerintahan.
Mengawasi menjadi oposan, namanya oposisi loyal. Loyalnya kepada masyarakat, jadi misalnya berpihak
pada kepentingan masyarakat, kebijakan pemerintah yang baik akan kita dukung, tapi kalau tidak kita akan
mengkritik, seperti beberapa kasus semisal tax amnesty dan kita menolak secara tegas di DPR dalam
paripurna bahwa tax amnesty itu melahirkan ketidakadilan bagi masyarakat yang rajin dan tidak. Jadi PKS
melihat oposisi itu tidak harus benar maka kita harus salahkan, jadi kalau pemerintah benar ya harus
didukung. Pertimbangannya matang bahwa oposisi itu bukan perbuatan tercela melainkan pilihan.
2. Penulis:
Di dalam Munas yang anda sebutkan tadi sikap PKS menjadi oposisi apakah tertulis dan ada blue print
nya?
Narsum:
Anda bisa lihat di google terkait dengan Munas, kebijakan hasil Munas PKS sejak 2014. Meskipun ada
godaan, sempat pimpinan ditawarkan posisi untuk masuk di pemerintahan, tetapi tidak kita ambil. Karena
kita istikomah, berkhitmat melayani masyarakat tidak harus di dalam pemerintahan, di luar juga bisa. Kami
menyadari betul check and balance itu penting, karena pemerintah yang didukung oleh partai politik akan
menciptakan otoritarianisme, pemerintah bisa jadi diktator karena tidak ada yang mengawasi. Kalau semua
kebijakan pemerintah dibiarkan begitu saja tanpa ada pengawasan malah bahaya masyarakat.
3. Penulis:
Apakah latar belakang pada saat Munas itu dipengaruhi oleh prinsip ideologi dalam memilih oposisi?
Narsum:
Jadi sebetulnya historisnya dari Pilpres ya, kita mendukung pasangan Prabowo-Hatta yang kemudian
komitmen tersebut berwadah KMP. Dan sampai saat ini partai yang konsisten menjadi oposan adalah
Gerindra dan PKS, kita tidak terpengaruh dengan yang lain.
4. Penulis:
Secara Substansial, alternatif apa yang ditawarkan PKS sebagai oposisi dalam mengawasi kebijakan
pemerintah?
Narsum:
Yang pertama, kita melihat dari sisi konstitusi dan UU. Kita akan keras, bahwa demokrasi itu dilihat dari
prosedural dan substansial. Nah tolak ukur peraturan ini menjadi ukuran. Kedua, soal substansial kira-kira
ini berpihak pada masyarakat atau tidak berpihak pada keadilan dan kesejahteraan untuk masyarakat atau
tidak. Yang paling kentara kita memperlihatkan partai oposisi ketika menolak Perppu Ormas, itu bertolak
belakang pada konstitusi, seharusnya kalau dia melihat partai politik yang rasional, bahwa produk
pemerintah ini tidak sempurna dan terburu-buru maka seharusnya ditolak. PKS menjadi partai pertama
yang menolak Perppu Ormas tersebut. Bagaimana mungkin UU bertolak belakang dengan konstitusi,
Perppu Ormas ini mengkriminalisasi kelompok yang ingin melakukan perubahan atau amandemen.
5. Penulis:
Terkait RUU Pemilu, apa yang melatarbelakangin PKS menolak (5 isu krusial)?
Narsum:
Pertama, karena pemilu dan pilpres bersamaan, dan dalam UUD disebutkan bahwa pemilu itu dengan
pilpres disatukan, dikuatkan oleh keputusan MK. Jika itu disatukan apa yang menjadi dasar untuk
menentukan presentase, bagaimana dengan partai-partai baru.Kedua, kita ingin masyarakat punya pilihan
yang banyak terkait dengan pilihan Presiden (alternatif calon), alternatif yang banyak itu akan
menguntungkan masyarakat. Jadi masyarakat tidak dikungkung satu dua calon yang secara finansial kuat.
Tapi kita butuh alternatif calon yang memang dia sudah teruji dan tidak terlibat dalam mafia politik.
Sekarang mungkin akan terblok menjadi tiga seperti pilkada DKI, kalau dua ya mungkin kembali Jokowi
Prabowo.
Argumentasi PKS adalah karena terdapat ketidakadilan dengan partai-partai kecil, hal ini menjadi
berbahaya pada masalah konversi, quota hare. Saint league murni itu merugikan partai kecil.
6. Penulis:
Mengenai Hak Angket KPK, bagaimana respon PKS saat itu?
Narsum:
Kita menolak, jadi kita melihat tidak diperlukan hak angket itu karena ada cara lain. Pertama, rapat dengar
pendapat. Kedua, PKS mengkritisi cara pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pimpinan DPR secara
serta merta langsung mengetuk hak angket tanpa meminta pendapat pada peserta sidang. Seharusnya tidak
bisa langsung diketuk begitu saja, pasti ada yang tidak setuju dan menolak bahkan bisa jadi votting. Ketiga,
ada konflik kepentingan yang menjerat banyak politisi. Faktor lain misalkan melalui Prof Mahfud MD,
angket tidak bisa digunakan untuk KPK, angket digunakan untuk Presiden. Kita kepengennya bertahap,
misalnya rapat dengar pendapat dulu, hak bertanya, kita ingin tahapan itu dulu dan ini sudah dikaji oleh
PKS. Kita khawair ada conflict of interest antarahak angket dengan kasus e-ktp, semacam ada bergen
politik antara lembaga DPR dan KPK. Saya secara pribadi menduga, ketika hak angket itu diputuskan, ada
tekanan oligarki di DPR.
7. Penulis:
Mengenai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Jokowi-JK apa yang sangat dikritisi oleh PKS,
dan kedepan fokus apa yang ingin dilakukan PKS?
Narsum:
Pertama, masalah keadilan dan hukum. Kita melihat masih ada tebang pilih kasus hukum, kriminalisasi
ulama, pelindungan khusus pada kasus Ahok. Demo anti Ahok terintimidasi demo dibatasi, sementara pro
Ahok dibiarkan begitu saja sampai malam. Bagi PKS semua orang sama dimata hukum, kalo melanggar ya
tentu harus dihukum. Yang kita lihat adalah seharusnya pemerintah punya sikap yang adil. Kedua, masalah
kesejahteraan, kesenjangan yang begitu kuat dimana pencabutan subsidi listrik, bbm dan lainnya. Jadi
hukum dan ekonomi ini yang menjadi fokus PKS.