etika bisnis freeport

14
Analisis Implentasi ……. (Agung Prihantoro) STIMIKA Vol. 1, No.1, Agustus 2014: 25-38 25 ANALISIS IMPLEMENTASI CORPORATE SOCIAL RESPONBILITY (CSR) (STUDI KASUS PADA PT FREEPORT INDONESIA) AGUNG PRIHANTORO, SE, MM STMIK AKI PATI Jl. Kamandowo 13 Pati, Jawa Tengah email : prihantoroagung&yahoo.com Abstract Ethics plays important role in organization,both public and private. Organizational ethics usually rise and develop in accordance with the organizational development. Ethics is a code of organization conveys moral integrity and consistent values in position to people/society. The neoliberal fenomenona existence has appeared business ethics into social responsibility activity which well known as CSR. It is a business commitment that role in economic developing, support cooperation between employer and the employee, create social communication to rise the quality of life around the sociaty through the best ways for activity and company’s development. Its implementation depends on the ethics values belongs to the management as the stategic decision maker. Beside it necessary for the government as the stakeholder in making the regulation to control it. The society also can be a control on the CSR implementation in accordance with the regulation. Key words : Ethics, Organizational Ethics, Corporate Social Responbility 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Sosial Responsibility (CSR) dengan etika bisnis akhir-akhir ini sangat sering terdengar. Banyak perusahaan dituntut oleh masyarakat sekitarnya karena telah merusak lingkungan sekitar perusahaan, merebut kekayaan yang seharusnya menjadi hak bagi kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Akibat dari semua itu adalah masyarakat sekitar perusahaan yang menjadi menderita. Banyak kasus yang terjadi terkait dengan Corporate Sosial Responsibility (CSR). Beberapa tahun terakhir ada beberapa berita yang mempertanyakan apakah etika dan bisnis berasal dari dua dunia berlainan. Pertama, melubernya lumpur dan gas panas di Kabupaten Sidoarjo yang disebabkan eksploitasi gas PT Lapindo Brantas. Kedua, obat antinyamuk HIT yang diketahui memakai bahan pestisida berbahaya yang dilarang penggunaannya sejak tahun 2004. Dalam kasus Lapindo, bencana memaksa penduduk harus ke rumah sakit. Perusahaan pun terkesan lebih mengutamakan penyelamatan aset- asetnya daripada mengatasi soal lingkungan dan sosial yang ditimbulkan. Pada kasus HIT, meski perusahaan pembuat sudah meminta maaf dan berjanji akan menarik produknya, ada kesan permintaan maaf itu klise. Penarikan produk yang kandungannya bisa menyebabkan kanker itu terkesan tidak sungguh-sungguh dilakukan. Produk berbahaya itu masih beredar di pasaran. Kondisi lain adalah adanya kondisi masyarakat Irian yang masih terbelakang, sementara hasil kekayaan yang dimiliki wilayah tersebut diambil oleh PT. FREEPORT tanpa meningkatkan kesejahterahaan masyarakat sekitarnya. Atas kasus-kasus itu, perusahaan- perusahaan tersebut terkesan melarikan diri dari tanggung jawab. Sebelumnya, kita semua dikejutkan dengan pemakaian formalin pada pembuatan tahu dan pengawetan ikan laut serta pembuatan terasi dengan bahan yang sudah berbelatung. Dari kasus-kasus yang disebutkan sebelumnya, bagaimana perusahaan bersedia melakukan apa saja demi laba. Wajar bila ada kesimpulan, dalam bisnis, satu-satunya etika yang diperlukan hanya sikap baik dan sopan kepada pemegang saham. Harus diakui, kepentingan utama bisnis adalah menghasilkan keuntungan maksimal bagishareholders. Fokus itu membuat perusahaan yang berpikiran pendek dengan segala cara berupaya melakukan hal-hal yang bisa meningkatkan keuntungan. Kompetisi semakin ketat dan konsumen yang kian rewel sering menjadi faktor pemicu perusahaan mengabaikan etika dalam berbisnis. Berkaca pada beberapa contoh kasus itu, sudah saatnya kita merenungkan kembali cara

Upload: aditya-triyadi

Post on 09-Dec-2015

80 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

tugas

TRANSCRIPT

Analisis Implentasi ……. (Agung Prihantoro) STIMIKA Vol. 1, No.1, Agustus 2014: 25-38 25

ANALISIS IMPLEMENTASI

CORPORATE SOCIAL RESPONBILITY (CSR)

(STUDI KASUS PADA PT FREEPORT INDONESIA)

AGUNG PRIHANTORO, SE, MM

STMIK AKI PATI Jl. Kamandowo 13 Pati, Jawa Tengah

email : prihantoroagung&yahoo.com

Abstract

Ethics plays important role in organization,both public and private. Organizational ethics usually rise and develop in accordance with the organizational development. Ethics is a code of

organization conveys moral integrity and consistent values in position to people/society. The neoliberal

fenomenona existence has appeared business ethics into social responsibility activity which well known

as CSR. It is a business commitment that role in economic developing, support cooperation between

employer and the employee, create social communication to rise the quality of life around the sociaty

through the best ways for activity and company’s development. Its implementation depends on the ethics values belongs to the management as the stategic decision maker. Beside it necessary for the government

as the stakeholder in making the regulation to control it. The society also can be a control on the CSR

implementation in accordance with the regulation.

Key words : Ethics, Organizational Ethics, Corporate Social Responbility

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Tanggung jawab sosial perusahaan atau

Corporate Sosial Responsibility (CSR) dengan

etika bisnis akhir-akhir ini sangat sering terdengar.

Banyak perusahaan dituntut oleh masyarakat

sekitarnya karena telah merusak lingkungan sekitar

perusahaan, merebut kekayaan yang seharusnya

menjadi hak bagi kesejahteraan masyarakat

sekitarnya. Akibat dari semua itu adalah

masyarakat sekitar perusahaan yang menjadi

menderita. Banyak kasus yang terjadi terkait

dengan Corporate Sosial Responsibility (CSR).

Beberapa tahun terakhir ada beberapa berita yang

mempertanyakan apakah etika dan bisnis berasal

dari dua dunia berlainan. Pertama, melubernya

lumpur dan gas panas di Kabupaten Sidoarjo yang

disebabkan eksploitasi gas PT Lapindo Brantas.

Kedua, obat antinyamuk HIT yang diketahui

memakai bahan pestisida berbahaya yang dilarang

penggunaannya sejak tahun 2004.

Dalam kasus Lapindo, bencana memaksa

penduduk harus ke rumah sakit. Perusahaan pun

terkesan lebih mengutamakan penyelamatan aset-

asetnya daripada mengatasi soal lingkungan dan

sosial yang ditimbulkan. Pada kasus HIT, meski perusahaan pembuat sudah meminta maaf dan

berjanji akan menarik produknya, ada kesan

permintaan maaf itu klise. Penarikan produk yang

kandungannya bisa menyebabkan kanker itu

terkesan tidak sungguh-sungguh dilakukan. Produk

berbahaya itu masih beredar di pasaran. Kondisi

lain adalah adanya kondisi masyarakat Irian yang

masih terbelakang, sementara hasil kekayaan yang

dimiliki wilayah tersebut diambil oleh PT.

FREEPORT tanpa meningkatkan kesejahterahaan

masyarakat sekitarnya.

Atas kasus-kasus itu, perusahaan-

perusahaan tersebut terkesan melarikan diri dari

tanggung jawab. Sebelumnya, kita semua

dikejutkan dengan pemakaian formalin pada

pembuatan tahu dan pengawetan ikan laut serta

pembuatan terasi dengan bahan yang sudah

berbelatung. Dari kasus-kasus yang disebutkan

sebelumnya, bagaimana perusahaan bersedia

melakukan apa saja demi laba. Wajar bila ada

kesimpulan, dalam bisnis, satu-satunya etika yang

diperlukan hanya sikap baik dan sopan kepada

pemegang saham. Harus diakui, kepentingan utama

bisnis adalah menghasilkan keuntungan maksimal

bagishareholders. Fokus itu membuat perusahaan

yang berpikiran pendek dengan segala cara

berupaya melakukan hal-hal yang bisa

meningkatkan keuntungan. Kompetisi semakin

ketat dan konsumen yang kian rewel sering

menjadi faktor pemicu perusahaan mengabaikan etika dalam berbisnis.

Berkaca pada beberapa contoh kasus itu,

sudah saatnya kita merenungkan kembali cara

Analisis Implentasi ……. (Agung Prihantoro) STIMIKA Vol. 1, No.1, Agustus 2014: 25-38 26

pandang lama yang melihat etika dan bisnis sebagai

dua hal berbeda. Memang beretika dalam bisnis

tidak akan memberi keuntungan secara langsung.

Karena itu, para pengusaha dan praktisi bisnis

harus belajar untuk berpikir jangka panjang. Peran

masyarakat, terutama melalui pemerintah, badan-

badan pengawasan, LSM, media, dan konsumen

yang kritis amat dibutuhkan untuk membantu

meningkatkan etika bisnis berbagai perusahaan di

Indonesia. Etika memainkan peranan penting dalam

kehidupan organisasi, baik publik maupun swasta.

Etika organisasi biasanya tumbuh dan berkembang

sejalan dengan perkembangan organisasi.

Kode etik atau yang sejenis tumbuh dari

misi, visi, strategi, dan nilai-nilai organisasi. Kode

etik organisasi yang dipikirkan dengan seksama

dan efektif berfungsi sebagai pedoman dalam

pengambilan setiap keputusan organisasi yang etis

dengan menyeimbangkan semua kepentingan yang

beragam. Fenomena neoliberal inilah yang diikuti

dengan kemunculan secara paralel tuntutan

masyarakat sipil terhadap tanggung jawab sosial

perusahaan atau Corporate Social Responsibility

(CSR). Semakin menguatnya dominasi entitas

bisnis dalam rantai perusahaan yang berada pada

regional negara-negara Utara dan Selatan telah

menciptakan tuntutan dan konsekuensi logis agar

mereka memperhatikan hak asasi manusia, hak

para pekerja, maupun komitmen terhadap

pelestarian lingkungan hidup.

Tidak mengherankan apabila masyarakat

(sebagai stakeholders) menuntut agar perusahaan

lebih memperhatikan keadaan stakeholders

daripada shareholdersnya. Masyarakat telah

meningkatkan perhatian dan kepekaan mereka

terhadap seluruh proses produksi yang dilakukan

oleh perusahaan yang kelak hasil produk tersebut

akan mereka konsumsi. Peningkatan perhatian dan

kepekaan masyarakat awam tersebut telah turut

memacu pihak pelaku modal untuk meningkatkan

aplikasi CSR mereka. Para pelaku perusahaan,

yang biasanya mendapatkan keistimewaan

kekebalan hukum dari negara, sudah tidak dapat

mengelak lagi dari perhatian dan kepekaan

masyarakat terhadap dampak negatif sosial

lingkungan yang telah mereka hasilkan selama ini.

Malah sebaliknya, pengalaman

membuktikan bahwa keberlanjutan usaha produksi

banyak dipengaruhi oleh tingkat pemahaman dan

aplikasi CSR perusahaan terhadap para pemangku

kepentingan. Riset yang dilakukan oleh Sophia

Malkasian (2004) menunjukkan bahwa perusahaan-

perusahaan yang terus hidup adalah perusahaan

yang tidak hanya mengejar keuntungan deviden

semata. Saat perusahaan dapat membina hubungan

baik dengan para pemangku kepentingan, mereka

akan mendapatkan perlindungan dan keamanan

dalam menjalankan usahanya, ataupun sebaliknya.

Dengan kondisi tersebut menunjukkan

adanya hubungan resiprokal (timbal balik) antara

perusahaan dengan masyarakat. Perusahaan dan

masyarakat adalah pasangan hidup yang saling

memberi dan membutuhkan. Dua aspek penting

harus diperhatikan agar tercipta kondisi sinergis

antara keduanya sehingga keberadaan perusahaan

membawa perubahan ke arah perbaikan dan

peningkatan taraf hidup masyarakat. Dari aspek

ekonomi, perusahaan harus berorientasi

mendapatkan keuntungan (profit) dan dari aspek

sosial, perusahaan harus memberikan kontribusi

secara langsung kepada masyarakat yaitu

meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan

lingkungannya. Perusahaan tidak hanya dihadapkan

pada tanggung jawab yang berpijak pada perolehan

keuntungan/laba perusahaan semata, tetapi juga

harus memperhatikan tanggung jawab sosial dan

lingkungannya.

Jika masyarakat (terutama masyarakat

sekitar) menganggap perusahaan tidak

memperhatikan aspek sosial dan lingkungannya

serta tidak merasakan kontribusi secara langsung

bahkan merasakan dampak negatif dari

beroperasinya sebuah perusahaan maka kondisi itu

akan menimbulkan resistensi masyarakat atau

gejolak sosial seperti kasus yang mengenai

PT.FREEPORT Indonesia. Eksplorasi sumberdaya

alam yang dilakukan oleh PT.FREEPORT selama

bertahun-tahun dan telah menghasilkan triliunan

rupiah ke dalam perusahaan tersebut tidak

diimbangi oleh perhatian khusus kepada

masyarakat sekitar pertambangan yang mana masih

hidup dalam garis kemiskinan bahkan di daerah-

daerah tertentu masih ditemui kasus penduduk yang

meninggal karena kelaparan.

Dengan kondisi tersebut maka perusahaan

perlu membangun konsep Corporate Social

Responsibility (CSR) dalam aktivitas perusahaan.

Komitmen perusahaan untuk berkontribusi dalam

pembangunan bangsa dengan memperhatikan aspek

finansial atau ekonomi, sosial, dan lingkungan

itulah yang menjadi isu utama dari konsep

Corporate Social Responsibility (CSR) atau

tanggung jawab sosial perusahaan. Implementasi

CSR merupakan perwujudan komitmen yang

dibangun oleh perusahaan untuk memberikan

kontribusi pada peningkatan kualitas kehidupan

masyarakat. Adanya CSR di Indonesia diatur dalam

Undangundang Nomor 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas. Pasal 74 ayat 1 Undang-

undang tersebut menyebutkan bahwa ”Perseroan

yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang

dan/ atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib

melaksanakan tanggung jawab sosial dan

lingkungan”. Dalam Undang-undang Nomor 25

Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, pasal 15

(b) menyatakan bahwa ”setiap penanam modal

Analisis Implentasi ……. (Agung Prihantoro) STIMIKA Vol. 1, No.1, Agustus 2014: 25-38 27

berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial

perusahaan”.

2. KAJIAN TEORI

2.1. Epistemologi Etika Bisnis

Menurut Kamus Inggris Indonesia Oleh

Echols and Shadily (1992: 219), Moral = moral,

akhlak, susila (su=baik, sila=dasar, susila=dasar-

dasar kebaikan); Moralitas = kesusilaan;

Sedangkan Etik (Ethics) = etika, tata susila.

Sedangkan secara etika (ethical) diartikan pantas,

layak, beradab, susila. Jadi kata moral dan etika

penggunaannya sering dipertukarkan dan

disinonimkan, yang sebenarnya memiliki makna

dan arti berbeda. Moral dilandasi oleh etika,

sehingga orang yang memiliki moral pasti dilandasi

oleh etika. Demikian pula perusahaan yang

memiliki etika bisnis pasti manajernya dan segenap

karyawan memiliki moral yang baik. Sim (2003)

dalam bukunya Ethics and Corporate Social

Responsibility–Why Giants Fall, menyebutkan:

Ethics is a philosophical term derived from the

Greek word “ethos,” meaning character or custom.

This definition is germane to effective leadership in

organizations in that it connotes an organization

code conveying moral integrity and consistent

values in service to the public. (Etika adalah suatu

istilah filosofis yang berasal dari Kata Yunani "

Etos," yang berarti karakter atau kebiasaan.

Definisi tersebut berhubungan erat dengan

kepemimpinan yang efektif di dalam suatu

organisasi. Hal itu dapat diartikan juga sebagai

suatu kode organisasi yang menyampaikan

integritas moral dan nilai-nilai konsisten dalam

jabatan kepada orang banyak/masyarakat.

Jadi, ada beberapa kata kunci di sini, yaitu:

1. Etika adalah suatu disiplin ilmu yang

membedakan apa yang baik dan buruk berkaitan

dengan hutang budi dan kewajiban, dapat juga

diartikan sebagai satuan prinsip moral atau nilai-

nilai.

2. Perilaku etis, yaitu suatu yang diterima sebagai

moral baik dan kebenaran, dan lawan dari

keburukan atau kesalahan dalam suatu perilaku

tertentu.

3. Kesusilaan adalah suatu sistem atau doktrin dari

moral yang mengacu pada prinsip kebenaran

dan kesalahan dalam suatu perilaku.

Steade et al. (1984:584) bahwa menunjuk

sesuatu secara tepat yang merupakan perilaku

bisnis secara etik bukanlah suatu tugas gampang.

Dalam hal ini, beberapa penduduk menyamakan

perilaku secara etik (ethical behavior) dengan

perilaku legal (legal behavior) – yaitu, jika suatu

tindakan adalah legal (syah), mereka harus dapat

diterima. Kebanyakan penduduk, termasuk

manajer, mengakui bahwa batas-batas legal pada

bisnis harus dipatuhi. Namun, mereka melihat

batas-batas legal ini sebagai suatu titik

pemberangkatan untuk perilaku bisnis dan tindakan

manajerial. Secara nyata, perilaku bisnis beretika

merefleksikan hukum ditambah tindakan etika

masyarakat, moral (kesusilaan), dan nilai-nilai

seperti digambarkan pada Gambar 1. Pada

gilirannya formulasi hukum mengikuti suatu

tindak-tanduk etika masyarakat dan hasilnya secara

per lahan muncul dua, yaitu adanya suatu hubungan

”give-and take” antara apa yang “legal” dan apa

yang ”cara etik”.

Etika adalah suatu cabang dari filosofi

yang berkaitan dengan ”kebaikan (rightness)” atau

moralitas (kesusilaan) dari kelakuan manusia. Kata

etik juga berhubungan dengan objek kelakuan

manusia di wilayah-wilayah tertentu, seperti etika

kedokteran, etika bisnis, etika profesional (advokat,

akuntan) dan lain-lain. Disni ditekankan pada etika

sebagai objek perilaku manusia dalam bidang

bisnis. Dalam pengertian ini etika diartikan sebagai

aturan-aturan yang tidak dapat dilanggar dari

perilaku yang diterima masyarakat sebagai ”baik

(good) atau buruk (bad)”. Catatan tanda kutip pada

kata-kata baik dan buruk, yang berarti menekankan

bahwa penentuan baik dan buruk adalah suatu

masalah selalu berubah. Akhirnya, keputusan

bahwa manajer membuat tentang pertanyaan yang

bekaitan dengan etika adalah keputusan secara

individual, yang menimbulkan konskuensi.

Keputusan ini merefleksikan banyak faktor,

termasuk moral dan nilai- nilai individu dan

masyarakat. Secara sederhana etika bisnis dapat

diartikan sebagai suatu aturan main yang tidak

mengikat karena bukan hukum. Tetapi harus

diingat dalam praktek bisnis sehari-hari etika bisnis

dapat menjadi batasan bagi aktivitas bisnis yang

dijalankan.

Etika bisnis sangat penting mengingat

dunia usaha tidak lepas dari elemen- elemen

lainnya. Keberadaan usaha pada hakikatnya adalah

untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Bisnis

tidak hanya mempunyai hubungan dengan orang-

orang maupun badan hukum sebagai pemasok,

pembeli, penyalur, pemakai dan lain-lain

(Dalimunthe, dalam Komenaung (2005)). Etika dan

moral (moralitas) sering digunakan secara

bergantian dan dipertukarkan karena memiliki arti

yang mirip. Ini mungkin karena kata Greek ethos

dari mana ”ethics” berasal dan kata latin mores dari

mana ”morals” diturunkan keduanya artinya

kebiasaan (habit) atau custom (adat). Namun moral

(morals) berbeda dari etika (ethics), yang mana di

dalam moralitas terkandung suatu elemenelemen

normatif yang tidak dapat dielakkan/dihindari

(inevitable normative elements). Dengan demikian,

moral berhubungan dengan pembicaraan tidak

hanya apa yang dikerjakan, tapi juga apa

masyarakat seharusnya dikerjakan dan dipercaya.

Analisis Implentasi ……. (Agung Prihantoro) STIMIKA Vol. 1, No.1, Agustus 2014: 25-38 28

Elemen-elemen normatif ini, atau

”keharusan (oughtness)”, konflik dengan aspek-

aspek perubahan etika bisnis. Nilai-nilai (values)

adalah standar kultural dari perilaku yang

diputuskan sebagai petunjuk bagi pelaku bisnis

dalam mencapai dan mengejar tujuan. Dengan

demikian, pelaku bisnis menggunakan nilai-nilai

dalam pembuatan keputusan secara etik apakah

mereka menyadarinya atau tidak. Semakin lama,

manajer bisnis ditantang meningkatkan sensitivitas

mereka terhadap permasalahan etika. Mereka

menekankan pada evaluasi secara kritis prioritas

nilai-nilai mereka untuk melihat bagaimana ini

pantas dengan realitas dan harapan organisasi dan

masyarakat.

2.2 Pentingnya Etika dalam Dunia Bisnis

Perubahan perdagangan dunia menuntut

segera dibenahinya etika bisnis agar tatanan

ekonomi dunia semakin membaik. Langkah apa

yang harus ditempuh? Didalam bisnis tidak jarang

berlaku konsep tujuan menghalalkan segala cara.

Bahkan tindakan yang berbau kriminal pun

ditempuh demi pencapaian suatu tujuan. Kalau

sudah demikian, pengusaha yang menjadi pengerak

motor perekonomian akan berubah menjadi

binatang ekonomi. Terjadinya perbuatan tercela

dalam dunia bisnis tampaknya tidak menampakan

kecenderungan tetapi sebaliknya, makin hari

semakin meningkat. Tindakan mark up, ingkar

janji, tidak mengindahkan kepentingan masyarakat,

tidak memperhatikan sumber daya alam maupun

tindakan kolusi dan suap merupakan segelintir

contoh pengabaian para pengusaha terhadap etika

bisnis.

Sebagai bagian dari masyarakat, tentu

bisnis tunduk pada norma-norma yang ada pada

masyarakat. Tata hubungan bisnis dan masyarakat

yang tidak bisa dipisahkan itu membawa serta

etika-etika tertentu dalam kegiatan bisnisnya, baik

etika itu antara sesama pelaku bisnis maupun etika

bisnis terhadap masyarakat dalam hubungan

langsung maupun tidak langsung. Dengan

memetakan pola hubungan dalam bisnis seperti itu

dapat dilihat bahwa prinsip-prinsip etika bisnis

terwujud dalam satu pola hubungan yang bersifat

interaktif. Hubungan ini tidak hanya dalam satu

negara, tetapi meliputi berbagai negara yang

terintegrasi dalam hubungan perdagangan dunia

yang nuansanya kini telah berubah. Perubahan

nuansa perkembangan dunia itu menuntut segera

dibenahinya etika bisnis. Pasalnya, kondisi hukum

yang melingkupi dunia usaha terlalu jauh tertinggal

dari pertumbuhan serta perkembangan dibidang

ekonomi. Jalinan hubungan usaha dengan pihak-

pihak lain yang terkait begitu kompleks.

Akibatnya, ketika dunia usaha melaju

pesat, ada pihak-pihak yang tertinggal dan

dirugikan, karena peranti hukum dan aturan main

dunia usaha belum mendapatkan perhatian yang

seimbang. Salah satu contoh yang selanjutnya

menjadi masalah bagi pemerintah dan dunia usaha

adalah masih adanya pelanggaran terhadap upah

buruh. Hal lni menyebabkan beberapa produk

nasional terkena batasan di pasar internasional.

Contoh lain adalah produk-produk hasil hutan yang

mendapat protes keras karena pengusaha Indonesia

dinilai tidak memperhatikan kelangsungan sumber

alam yang sangat berharga. Perilaku etik penting

diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang

dalam sebuah bisnis. Pentingnya etika bisnis

tersebut berlaku untuk kedua perspektif, baik

lingkup makro maupun mikro, yang akan

dijelaskan sebagai berikut:

1. Perspektif Makro

Pertumbuhan suatu negara tergantung pada

market system yang berperan lebih efektif dan

efisien daripada command system dalam

mengalokasikan barang dan jasa. Beberapa kondisi

yang diperlukanmarket system untuk dapat efektif,

yaitu: (a) Hak memiliki dan mengelola properti

swasta; (b) Kebebasan memilih dalam perdagangan

barang dan jasa; dan (c) Ketersediaan informasi

yang akurat berkaitan dengan barang dan jasa Jika

salah satu subsistem dalam market system

melakukan perilaku yang tidak etis, maka hal ini

akan mempengaruhi keseimbangan sistem dan

menghambat pertumbuhan sistem secara makro.

Pengaruh dari perilaku tidak etik pada perspektif

bisnis makro :

1. Penyogokan atau suap. Hal ini akan

mengakibatkan berkurangnya kebebasan

memilih dengan cara mempengaruhi pengambil

keputusan.

2. Coercive act. Mengurangi kompetisi yang efektif

antara pelaku bisnis dengan ancaman atau

memaksa untuk tidak berhubungan dengan

pihak lain dalam bisnis.

3. Deceptive information

4. Pecurian dan penggelapan

5. Unfair discrimination.

2. Perspektif Bisnis Mikro

Dalam lingkup ini perilaku etik identik

dengan kepercayaan atau trust. Dalam lingkup

mikro terdapat rantai relasi di mana supplier,

perusahaan, konsumen, karyawan saling

berhubungan kegiatan bisnis yang akan

berpengaruh pada Iingkup makro. Tiap mata rantai

penting dampaknya untuk selalu menjaga etika,

sehingga kepercayaan yang mendasari hubungan

bisnis dapat terjaga dengan baik. Standar moral

merupakan tolok ukur etika bisnis. Dimensi etik

merupakan dasar kajian dalam pengambilan

keputusan. Etika bisnis cenderung berfokus pada

Analisis Implentasi ……. (Agung Prihantoro) STIMIKA Vol. 1, No.1, Agustus 2014: 25-38 29

etika terapan daripada etika normatif. Dua prinsip

yang dapat digunakan sebagai acuan dimensi etik

dalam pengambilan keputusan, yaitu: (1) Prinsip

konsekuensi (Principle of Consequentialist) adalah

konsep etika yang berfokus pada konsekuensi

pengambilan keputusan.

Artinya keputusan dinilai etik atau tidak

berdasarkan konsekuensi (dampak) keputusan

tersebut; (2) Prinsip tidak konsekuensi (Principle of

Nonconsequentialist) adalah terdiri dari rangkaian

peraturan yang digunakan sebagai

petunjuk/panduan pengambilan keputusan etik dan

berdasarkan alasan bukan akibat, antara lain: (a)

Prinsip Hak, yaitu menjamin hak asasi manusia

yang berhubungan dengan kewajiban untuk tidak

saling melanggar hak orang lain; (b) Prinsip

Keadilan, yaitu keadilan yang biasanya terkait

dengan isu hak, kejujuran, dan kesamaan.

Prinsip keadilan dapat dibagi menjadi tiga

jenis yaitu: (1) Keadilan distributive,yaitu keadilan

yang sifatnya menyeimbangkan alokasi benefit dan

beban antar anggota kelompok sesuai dengan

kontribusi tenaga dan pikirannya terhadap

benefit.Benefit terdiri dari pendapatan, pekerjaan,

kesejahteraan, pendidikan dan waktu luang. Beban

terdiri dari tugas kerja, pajak dan kewajiban social;

(2) Keadilan retributive, yaitu keadilan yang terkait

dengan retribution (ganti rugi) dan hukuman atas

kesalahan tindakan. Seseorang bertanggungjawab

atas konsekuensi negatif atas tindakan yang

dilakukan kecuali tindakan tersebut dilakukan atas

paksaan pihak lain; dan (3) Keadilan

kompensatoris, yaitu keadilan yang terkait dengan

kompensasi bagi pihak yang dirugikan.

Kompensasi yang diterima dapat berupa perlakuan

medis, pelayanan dan barang penebus kerugian.

Masalah terjadi apabila kompensasi tidak dapat

menebus kerugian, misalnya kehilangan nyawa

manusia.

Apabila moral merupakan suatu pendorong

orang untuk melakukan kebaikan, maka etika

bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang

merupakan kesepakatan secara rela dari semua

anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang

bermoral akan mampu mengembangkan etika

(patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan

bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi. Etika

sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok

masyarakat akan dapat membimbing dan

mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan

yang terpuji (good conduct) yang harus selalu

dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis

sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang

berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang

terkait lainnya. Tentu dalam hal ini, untuk

mewujudkan etika dalam berbisnis perlu

pembicaraan yang transparan antara semua pihak,

baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun

bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang

menjalankan etika sementara pihak lain berpijak

kepada apa yang mereka inginkan.

Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak

mengetahui dan menyetujui adanya moral dan

etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan

bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi,

jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam

berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara

satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan

yang bersifat global yang mengarah kepada suatu

aturan yang tidak merugikan siapapun dalam

perekonomian. Dalam menciptakan etika bisnis,

Dalimunthe (2004) menganjurkan untuk

memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

a. Pengendalian diri

Artinya, pelaku-pelaku bisnis mampu

mengendalikan diri mereka masingmasing untuk

tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam

bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri

tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main

curang atau memakan pihak lain dengan

menggunakan keuntungan tersebut. Walau

keuntungan yang diperoleh merupakan hak bagi

pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus

memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya.

Inilah etika bisnis yang "etik".

b. Pengembangan tanggung jawab sosial (Social

Responsibility)

Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli

dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam

bentuk "uang" dengan jalan memberikan

sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi.

Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki

oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat

harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess

demand harus menjadi perhatian dan kepedulian

bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan

kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang

berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand

pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan

memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap

masyarakat sekitarnya. Tanggung jawab sosial bisa

dalam bentuk kepedulian terhadap masyarakat di

sekitarnya, terutama dalam hal pendidikan,

kesehatan, pemberian latihan keterampilan, dll.

c. Mempertahankan jati diri

Mempertahankan jati diri dan tidak mudah

untuk terombang-ambing oleh pesatnya

perkembangan informasi dan teknologi adalah

salah satu usaha menciptakan etika bisnis. Namun

demikian bukan berarti etika bisnis anti

perkembangan informasi dan teknologi, tetapi

informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan

untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan

yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang

dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan

teknologi.

d. Menciptakan persaingan yang sehat

Analisis Implentasi ……. (Agung Prihantoro) STIMIKA Vol. 1, No.1, Agustus 2014: 25-38 30

Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk

meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi

persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah,

dan sebaliknya harus terdapat jalinan yang erat

antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah

kebawah, sehingga dengan perkembangannya

perusahaan besar mampu memberikan spread effect

terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu

dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-

kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis

tersebut.

e. Menerapkan konsep “Pembangunan

Berkelanjutan"

Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan

keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu

memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa

datang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut

tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan

saat sekarang semaksimal mungkin tanpa

mempertimbangkan lingkungan dan keadaan

dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan

kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.

f. Menghindari sifat 5K (Katabelece,

Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)

Jika pelaku bisnis sudah mampu

menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan

terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi,

manipulasi dan segala bentuk permainan curang

dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang

mencemarkan nama bangsa dan negara.

g. Mampu menyatakan yang benar itu benar

Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang

tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh)

karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan

menggunakan "katabelece" dari "koneksi" serta

melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah.

Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan

“kolusi" serta memberikan "komisi" kepada pihak

yang terkait.

h. Menumbuhkan sikap saling percaya antar

golongan pengusaha

Untuk menciptakan kondisi bisnis yang

"kondusif" harus ada sikap saling percaya (trust)

antara golongan pengusaha kuat dengan golongan

pengusaha lemah, sehingga pengusaha lemah

mampu berkembang bersama dengan pengusaha

lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama

ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak

golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya

memberikan kesempatan kepada pihak menengah

untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia

bisnis.

i. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main

bersama

Semua konsep etika bisnis yang telah

ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila

setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten

dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya

semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada

"oknum", baik pengusaha sendiri maupun pihak

yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan"

demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika

bisnis itu akan "gugur" satu semi satu.

j. Memelihara kesepakatan

Memelihara kesepakatan atau

menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa

Memiliki terhadap apa yang telah disepakati adalah

salah satu usaha menciptakan etika bisnis. Jika

etika ini telah dimiliki oleh semua pihak, jelas

semua memberikan suatu ketentraman dan

kenyamanan dalam berbisnis.

k. Menuangkan ke dalam hukum positif

Perlunya sebagian etika bisnis dituangkan

dalam suatu hukum positif yang menjadi Peraturan

Perundang-Undangan dimaksudkan untuk

menjamin kepastian hukum dari etika bisnis

tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha

lemah. Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang

bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah

dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak

apalagi dengan semakin pesatnya perkembangan

globalisasi dimuka bumi ini. Dengan adanya moral

dan etika dalam dunia bisnis serta kesadaran semua

pihak untuk melaksanakannya, kita yakin jurang itu

akan dapat diatasi.

2.3 Corporate Social Responbility

Pada sesi sebelumnya telah disebutkan

salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam

menciptakan etika bisnis harus diciptakan tanggung

jawab social, yang mana tanggung jawab social

bagi perusahaan dilakukan dengan program

Corporate Sosial Responsibility (CSR). Bank

Dunia dalam Endro Sampurna (2007) mempunyai

definisi CSR sebagai berikut: “CSR is the

commitment of business to contribute to

sustainable economic development working with

employees andtheir representative, the local

community and society at large to improve quality

of life, in ways that are both good forbusiness and

good for development.” (CSR merupakan

komitmen bisnis yang berperan untuk

pembangunan ekonomi, mendukung kerjasana

antar karyawan dengan pimpinan, menciptakan

komunikasi social terhadap guna meningkatkan

kualitas hidup masyarakat sekitar, dengan cara-

cara yang baik bagi kegiatan dan pengembangan

perusahaan).

Menurut Canadian Business for Social

Responsibility dalam Roida (2008), CSR

didefinisikan sebagai: “Acompany‟s commitment

to operating in an economically and

environmentally sustainable manner; at the same

time, recognize the interests of its stakeholders.”

(komitmen perusahaan untuk beroperasi secara

ekonomis dan mendukung lingkungan, dan pada

waktu yang sama memperhatikan kepentingan

Analisis Implentasi ……. (Agung Prihantoro) STIMIKA Vol. 1, No.1, Agustus 2014: 25-38 31

stakeholders). Berdasarkan definisi tersebut

menunjukkan CSR disusun sebagai komitmen

perusahaan untuk menciptakan komunikasi sosial,

antara manajemen perusahaan dengan share holder,

dan juga stakeholder sehingga kegiatan perusahaan

dapat berjalan dengan baik. Definisi tersebut

mengindikasikan bahwa disusunnya CSR masih

menunjukkan adanya cela yaitu ditujukan untuk

terciptanya eksistensi perusahaan di masa yang

akan datang.

Untuk itu dijelaskan definisi CSR oleh

Bateman dan Snell (2002) sebagai: ‟...set of

corporateactions that positively affects an

identifiable social stakeholder‟s interest and does

not violate the legitimate claims of another

identifiable social stakeholder (in long run)‟.

(satuan kegiatan perusahaan yang secara positif

mengidentifikasi kebutuhan sosial stakeholder dan

tidak melanggar aturan dari sosial stakeholder

dalam jangka panjang) Sedangkan CSR

didefinisikan sebagai „…the set of corporate

actions that negatively affects an identifiable social

stakeholder‟s legitimate claims (in long run)‟.

(satuan tindakan perusahaan yang secara negatif

mempengaruhi sosial stakeholder dalam jangka

panjang).

Dari definisi tersebut semakin diperjelas

bahwa aktivitas CSR yang dilakukan oleh suatu

perusahaan tidak boleh melanggar

peraturan/undang-undang yang berlaku terhadap

sosial stakeholder. Dengan demikian pelaksanaan

CSR memerlukan tindakan aktif dari pemerintah

untuk sebagai regulator untuk melindungi pihak-

pihak yang berkepentingan dengan perusahaan,

seperti masyarakat sekitarnya. Sedangkan penilain

perusahaan sudah menjalankan CSR atau CSR

sangat tergantung pada seberapa banyak program

yang dijalankan perusahaan yang dianggap

berkontribusi pada pemberdayaan masyarakat.

Pelaksanaan CSR dalam sutau organisasi

atau perusahaan masih belum benar-benar

dilakukan didasarkan pada tanggun jawab sosial

perusahaan. Carroll (1981) menyatakan: isu social

responsibility dikenali dengan melakukan beberapa

tanggung jawab sosial dan etika bisnis pada

aktivitas organisasi, yang selanjutnya berpengaruh

pada pembuatan keputusan manajer. Kebijakan ini

bagaimanapun masih menjadi perdepatan bagi

organisasi untuk melanjutkan kegiatan tersebut atau

tidak, karena hal tersebut memang benar-benar-

benar aktivitas social responsibility atau hanya

untuk kepentingan organisasi. Urian tersebut

menunjukkan bahwa perusahaan-dalam

menjalankan CSR masih dikaitkan dengan

kepentingan-kepentingan perusahaan, seperti

kelangsungan dan perkembangan perusahaan.

2.4. Manfaat Corporate Social Responsibility

Bagi Perusahaan

A.B Susanto (2007) mengemukakan

bahwa dari sisi perusahaan terdapat 6 (enam)

manfaat yang dapat diperoleh dari aktivitas CSR.

1. Mengurangi risiko dan tuduhan terhadap

perlakuan tidak pantas yang diterima

perusahaan. Perusahaan yang menjalankan

CSR secara konsisten akan mendapat

dukungan luas dari komunitas yang merasakan

manfaat dari aktivitas yang dijalankan. CSR

akan mengangat citra perusahaan, yang dalam

rentang waktu yang panjang akan

meningkatkan reputasi perusahaan.

2. CSR dapat berfungsi sebagai pelindung dan

membantu perusahaan meminimalkan dampak

buruk yang diakibatkan suatu krisis. Sebagai

contoh adalah sebuah perusahaan produsen

consumer goods yang beberapa waktu yang

lalu dilanda isu adanya kandungan bahan

berbahaya dalam produknya. Namun karena

perusahaan tersebut dianggap konsisten dalam

menjalankan CSR-nya maka masyarakat

menyikapinya dengan tenang sehingga relatif

tidak mempengaruhi aktivitas dn kinerjanya.

3. Keterlibatan dan kebanggaan karyawan.

Karyawan akan merasa bangga bekerja pada

perusahaan yang memiliki reputasi yang baik,

yang secara konsisten melakukan upaya-upaya

untuk membantu meningkatkan kesejahteraan

dan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan

sekitarnya. Kebanggaaan ini pada akhirnya

akan menghasilkan loyalitas sehingga mereka

merasa lebih termotivasi untuk bekerja lebih

keras demi kemajuan perusahaan.

4. CSR yang dilaksanakan secara konsisten akan

mampu memperbaiki dan mempererat

hubungan antara perusahaan dengan para

stakeholdersnya. Pelaksanaan CSR secara

konsisten menunjukkan bahwa perusahaan

memiliki kepedulian terhadap pihak-pihak

yang berkontribusi terhadap lancarnya berbagai

aktivitas serta kemajuan yang mereka raih.

5. Meningkatnya penjualan. Konsumen akan

lebih menyukai produk yang dihasilkan oleh

perusahaan yang secara konsiten menjalankan

CSRnya sehingga memiliki reputasi yang baik.

6. Insentif-insentif lainnya seperti insentif pajak

dan berbagai perlakuan khusus lainnya.

2.6 Implementasi dan Model atau Pola

Corporate Social Responsibility

Dalam menjalankan aktivitas CSR tidak

ada standar atau praktik-praktik tertentu yang

dianggap terbaik, setiap perusahaan memiliki

karakteristik dan situasi yang unik yang

berpengaruh terhadap tanggung jawab sosialnya.

Analisis Implentasi ……. (Agung Prihantoro) STIMIKA Vol. 1, No.1, Agustus 2014: 25-38 32

Model atau pola CSR yang umum diterapkan di

Indonesia menurut Susiloadi (2008) adalah:

1. CSR bisa dilaksankan secara langsung oleh

perusahaan. Perusahaan menjalankan program

CSR secara langsung dengan

menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau

menyerahkan sumbangan ke masyarakat tanpa

perantara. Untuk menjalankan tugas ini,

perusahaan bisa menugaskan salah satu

pejabat seniornya, seperti corproate secretary

atau public affair manager atau menjadi

bagian dari tugas divisi human resource

development atau public relations.

2. CSR bisa pula dilaksanakan oleh yayasan atau

organisasi sosial milik perusahaan atau

groupnya. Perusahaan mendirikan yayasan

atau organisasi sosial sendiri di bawah

perusahaan atau groupnya yang dibentuk

terpisah dari organisasi induk perusahaan

namun tetap harus bertanggung jawab ke

dewan direkai. Model ini merupakan adopsi

yang lazim dilakukan di negara maju. Disini

perusahaan menyediakan dana awal, dana

rutin atau dana abadi yang dapat digunakan

untuk operasional yayasan.

3. Sebagian besar perusahaan di Indonesia

menjalankan CSR melalui kerjasama atau

bermitra dengan pihak lain. Perusahaan

menyelenggarakan CSR melalui kerjasama

dengan instansi pemerintah, perguruan tinggi,

LSM, atau lembaga konsultan baik dalam

mengelola dana maupun dalam melaksanakan

kegiatan sosialnya.

4. Beberapa perusahaan bergabung dalam sebuah

konsorsium untuk secara bersama-sama

menjalankan CSR. Perusahaan turut

mendirikan, menjadi anggota atau mendukung

suatu lembaga sosial yang didirikan untuk

tujuan sosial tertentu. Pihak konsorsium yang

dipercaya oleh perusahaan-perusahaan yang

mendukungnya akan secara proaktif mencari

kerjasama dari berbagai kalangan dan

kemudian mengembangkan program yang

telah disepakati.

2.7 Corporate Social Responbility dalam

perspektif islam

Setelah tenggelam sekian lama, kini ide

untuk memasukan etika ke dalam dunia ekonomi

(bisnis) mencuat kembali. CSR tidak lagi

ditempatkan dalam ranah sosial dan ekonomi

sebagai imbauan, tetapi masuk ranah hukum yang

„memaksa‟ perusahaan ikut aktif memperbaiki

kondisi dan taraf hidup masyarakat. Disahkannya

Rancangan Undang-Undang Perseroan Terbatas

(RUU PT) telah menuai pro-kontra, terutama

terhadap Pasal 74 tentang Aturan Tanggung Jawab

Sosial dan Lingkungan, yang rumusannya,

“perseroan di bidang/berkaitan dengan SDA wajib

melaksanakan CSR. Perseroan yang tidak

melaksanakan wajib CSR dikenai sanksi sesuai

dengan peraturan perundang-undangan”. Yang

dimaksud SDA adalah sumber daya alam,

sedangkan CSR adalah corporate social

responsibility atau tanggung jawab sosial

korporat/perusahaan.

Tanggung jawab sangat terkait dengan hak

dan kewajiban, yang pada akhirnya dapat

menimbulkan kesadaran tanggung-jawab. Ada dua

bentuk kesadaran: Pertama, kesadaran yang muncul

dari hati nurani seseorang yang sering disebut

dengan etika dan moral. Kedua, kesadaran hukum

yang bersifat paksaan berupa tuntutan-tuntutan

yang diiringi sanksi-sanksi hukum. Etika memiliki

dua pengertian: Pertama, etika sebagaimana

moralitas, berisikan nilai dan norma-norma konkret

yang menjadi pedoman dan pegangan hidup

manusia dalam seluruh kehidupan. Kedua, etika

sebagai refleksi kritis dan rasional. Etika membantu

manusia bertindak secara bebas tetapi dapat

dipertanggung-jawabkan. Sedangkan bisnis

mengutip Straub, Alimin (2004: 56), sebagai suatu

organisasi yang menjalankan aktivitas produksi dan

penjualan barang dan jasa yang diinginkan oleh

konsumen untuk memperoleh profit.

Penggabungan etika dan bisnis dapat berarti

memaksakan norma-norma agama bagi dunia

bisnis, memasang kode etik profesi bisnis, merevisi

sistem dan hukum ekonomi, meningkatkan

keterampilan memenuhi tuntutan-tuntutan etika

pihak-pihak luar untuk mencari aman dan

sebaginya. Bisnis yang beretika adalah bisnis yang

memiliki komitmen ketulusan dalam menjaga

kontrak sosial yang sudah berjalan. Kontrak sosial

merupakan janji yang harus ditepati. Bisnis Islami

ialah serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai

bentuknya yang tidak dibatasi jumlah kepemilikan

(barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi

dalam cara memperolehnya dan pendayagunaan

hartanya karena aturan halal dan haram (lihat. QS.

2:188, 4:29).

Etika bisnis islam sebenarnya telah

diajarkan Nabi Saw. saat menjalankan

perdagangan. Karakteristik Nabi SAW., sebagai

pedagang adalah, selain dedikasi dan keuletannya

juga memiliki sifat shidiq, fathanah, amanah dan

tabligh. Ciri-ciri itu masih ditambah Istiqamah.

Shidiq berarti mempunyai kejujuran dan selalu

melandasi ucapan, keyakinan dan amal perbuatan

atas dasar nilai-nilai yang diajarkan islam.

Istiqamah atau konsisten dalam iman dan nilai-nilai

kebaikan, meski menghadapi godaan dan

tantangan. Istiqamah dalam kebaikan ditampilkan

dalam keteguhan, kesabaran serta keuletan

sehingga menghasilkan sesuatu yang optimal.

Fathanah berarti mengerti, memahami, dan

menghayati secara mendalam segala yang menjadi

Analisis Implentasi ……. (Agung Prihantoro) STIMIKA Vol. 1, No.1, Agustus 2014: 25-38 33

tugas dan kewajibannya. Sifat ini akan

menimbulkan kreatifitas dan kemampuan

melakukakn berbagai macam inovasi yang

bermanfaat. Amanah, tanggung jawab dalam

melaksanakan setiap tugas dan kewajiban. Amanah

ditampilkan dalam keterbukaan, kejujuran,

pelayanan yang optimal, dan ihsan (kebajikan)

dalam segala hal. Tablig, mengajak sekaligus

memberikan contoh kepada pihak lain untuk

melaksanakan ketentuan-ketentuan ajaran islam

dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan sifat-sifat tersebut, dalam

konteks corporate social responsibility (CSR), para

pelaku usaha atau pihak perusahaan dituntut

besikap tidak kontradiksi secara disengaja antara

ucapan dan perbuatan dalam bisnisnya. Mereka

dituntut tepat janji, tepat waktu, mengakui

kelemahan dan kekurangan (tidak ditutup-tutupi),

selalu memperbaiki kualitas barang atau jasa secara

berkesinambungan serta tidak boleh menipu dan

berbohong. Pelaku usaha/pihak perusahaan harus

memiliki amanah dengan menampilkan sikap

keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang optimal,

dan ihsan (berbuat yang terbaik) dalam segala hal,

apalagi berhubungan dengan pelayanan

masyarakat. Dengan sifat amanah, pelaku usaha

memiliki tanggung jawab untuk mengamalkan

kewajiban-kewajibannya. Sifat tablig dapat

disampaikan pelaku usaha dengan bijak (hikmah),

sabar, argumentatif, dan persuasif akan

menumbuhkan hubungan kemanusiaan yang solid

dan kuat. Para pelaku usaha dituntut mempunyai

kesadaran mengenai etika dan moral, karena

keduanya merupakan kebutuhan yang harus

dimiliki. Pelaku usaha atau perusahaan yang

ceroboh dan tidak menjaga etika, tidak akan

berbisnis secara baik sehingga dapat mengancam

hubungan sosial dan merugikan konsumen, bahkan

dirinya sendiri.

Al-Qur‟an adalah suatu ajaran yang

berkepentingan terutama untuk menghasilkan sikap

moral yang benar bagi tindakan manusia. “Moral”

menurut intelektual asal Pakistan Fazlur Rahman

(2000:354), merupakan esensi etika al-Qur‟an yang

akhirnya menjadi esensi hukum dalam bentuk

perintah dan larangan. Nilai-nilai moral adalah

poros penting dari keseluruhan sistem yang

menghasilkan hukum. Dalam aktivitas

kehidupannya, umat islam dianjurkan

mengutamakan kebutuhan terpenting (mashlahah)

agar sesuai dengan tujuan syariat (maqashid al-

syari‟ah). Mengikuti al-Syatibi, M. Fahim Khan,

(1992: 195), mengatakan mashlahah adalah

pemilikan atau kekuatan barang/jasa yang

mengandung elemen dasar dan tujuan kehidupan

umat manusia di dunia ini (dan peroleh pahala

untuk kehidupan akhirat). Maslahah ini tidak bisa

dipisahkan dengan maqashid al-syari‟ah. Al-„Izz al-

Din bin Abd al-Salam diikuti Sobhi Mahmassani

(1977: 159), mengutarakan maqashid al-syari‟ah

ialah perintah-perintah yang pada hakikatnya

kembali untuk kemaslahatan hamba Allah dunia

dan akhirat.

Abu Ishaq al-Syatibi (w. 790 H) dalam al-

Muwafaqat, tujuan pokok syari‟at islam terdiri atas

lima komponen: pemeliharaan agama (hifdh al-

din), jiwa (hifdh al-nafs), akal (hifdh al-aql),

keturunan (hifdh nasl) dan harta (hifdh al-maal).

Lima komponen pokok syari‟ah itu disesuaikan

dengan tingkat kebutuhan dan kepentingan manusia

(mashlahah), yaitu kebutuhan primer (dharuriyyah),

skunder (hajiyyah) dan tertier (tahsiniyyah). Dalam

konteks ini, kebutuhan primer (dharuriyyah) adalah

sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan

kemaslahatan agama dan dunia. Jika kebutuhan itu

hilang, maka kemaslahatan manusia sulit terwujud.

Bahkan, dapat menimbulkan keruksakan,

kekacauan dan kehancuran. Skunder (hajiyyah)

adalah segala hal yang dibutuhkan untuk

memberikan kelonggaran dan mengurangi kesulitan

yang biasanya menjadi kendala dalam mencapai

tujuan. Sedangkan tertier (tahsiniyyah) ialah

melakukan tindakan yang layak menurut adat dan

menjauhi perbuatan-perbuatan „aib yang ditentang

akal sehat.

Tujuan syari‟ah itu dapat menentukan

tujuan perilaku konsumen dalam islam dan

tercapainya kesejahteraan umat manusia (maslahah

al-„ibad). Semua barang dan jasa yang dapat

memiliki kekuatan untuk memenuhi lima

komponen pokok (dharury) telah dapat dikatakan

memiliki maslahat bagi umat manusia. Lebih

lanjut, Khan (1992: 195), mengutarakan semua

kebutuhan tidak sama penting. Kebutuhan itu

meliputi: tingkat di mana lima elemen pokok di

atas dilindungi secara baik; tingkat di mana

perlindungan lima elemen pokok di atas, dilengkapi

untuk memperkuat perlindungannya dan tingkat di

mana lima element pokok di atas secara sederhana

diperoleh secara jelas.

Berkaitan dengan corporate sosial responsibility

(CSR), kelima komponen itu perlu mendapat fokus

perhatian. Dalam skala primer, perusahaan atau

badan-badan komersial perlu menghargai agama

yang dianut masyarakat. Jangan sampai

kepentingan masyarakat terhadap agamanya

diabaikan, seperti perusahaan yang mengabaikan

atau mengganggu peribadatan warga setempat.

Bahkan, semestinya pihak perusahaan atau

badan-badan komersial harus mampu

mengembangkan jiwa usahanya dengan

spiritualitas islam. Dalam pemeliharaan jiwa seperti

makan dan minum ditujukan agar hidup dapat lebih

bertahan dan mencegah ekses kepunahan jiwa

manusia. Ironisnya, kini, banyak perusahaan air

mineral telah menyebabkan kekeringan air di

daerah atau kondisi udara di Jakarta telah

mengandung zat pencemar udara yang sebagian

Analisis Implentasi ……. (Agung Prihantoro) STIMIKA Vol. 1, No.1, Agustus 2014: 25-38 34

besar sulfur dioksida, karbon monoksida, nitrogen

dioksida dan partikel debu. Sekitar 70 persen polusi

udara di Jakarta akibat asap transportasi. Menurut

staff pengajar Fakultas Teknologi Kelautan

Universitas Darma Persada Jakarta Agung Sudrajad

(Inovasi, Vol. 5, 2005), di Jakarta pertambahan

kendaraan tercatat 8.74 persen per tahun sementara

prasarana jalan meningkat 6.28 persen per tahun.

Ini tentu menambah semakin terpuruknya kondisi

lingkungan udara kita. Begitu juga, pihak korporasi

harus mampu menjaga keutuhan dan kehormatan

(rumah tangga) warga masyarakat terkait atau

internal perusahaan.

Perusahaan dilarang memberikan ekses

negatif dalam kegiatannya yang akan mengganggu

rusaknya akal pikiran manusia. Islam melarang

umatnya mengkonsumsi atau memproduksi

makanan dan minuman yang dapat merusak akal

karena akan mengancam eksistensi akalnya. Dalam

pemeliharaan harta, transaksi jual beli harus

dilakukan secara halal. Jika tidak, maka eksistensi

harta akan terancam, baik pengelolaan atau

pemanfaatannya. Karena itu, pihak perusahaan

dilarang melakukan kegiatan yang secara jelas

melangar aturan syara‟. Dalam konteks tanggung

jawab sosial perusahaan (corporate social

responsibility/(CSR), maqashid as-yari‟ah

ditujukan agar pelaku usaha atau pihak perusahaan

mampu menentukan skala prioritas kebutuhannya

yang terpenting.

Kebutuhan-kebutuhan itu tidak hanya

diorientasikan untuk jangka pendek, tetapi juga

jangka panjang dalam mencapai ridha Allah.

Kegiatan ekonomi tidak saja melibatkan aspek

materi, tapi juga kualitas keimanan seorang hamba

kepada Allah Swt.

Oleh karena itu, konsep pembanguan yang

melibatkan maqashid as-yari‟ah dimaksudkan agar

terbentuk pribadi-pribadi muslim yang memiliki

keimanan dan ketakwaan. Tentu saja sikap ini tidak

saja didapatkan dari lubuk hati yang dalam. Tetapi,

dilandasi juga dari kesadaran manusia untuk

melaksanakan kewajiban sebagai seorang hamba-

Nya. Kewajiban mengaplikasikan tanggung jawab

seorang hamba untuk melakukan kejujuran,

kebenaran, kebajikan dan kasih sayang terhadap

seluruh data kehidupan aktual. Islam mengajarkan

tanggung jawab agar mampu mengendalikan diri

dari tindakan melampaui batas kewajaran dan

kemanusiaan. Tanggung jawab ini mencakup

tanggung jawab kepada Allah, kepada sesama dan

lingkungannya.

3. PEMBAHASAN

3.1. Sekilas Sejarah Perusahaan

PT.FREEPORT Indonesia (PTFI) adalah

sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas

sahamnya dimiliki Freeport Mc MoRan Copper &

Gold Inc. PT. Freeport Indonesia merupakan

penghasil terbesar konstrat tembaga dari bijih

mineral yang juga mengandung emas dalam jumlah

yang berarti. Awal berdirinya PT.FREEPORT

Indonesia (PTFI) bermula saat seorang manajer

eksplorasi Freeport Minerals Company: Forbes

Wilson, melakukan ekspedisi pada tahun 1960 ke

Papua setelah membaca sebuah laporan tentang

ditemukannya Ertsberg (Gunung Bijih), sebuah

cadangan mineral, oleh seorang geolog Belanda;

Jean Jacques Dozy, pada tahun 1936. setelah

ditandanganinya kontrak karya pertama dengan

Pemerintah Indonesia bulan April 1967, Konstruksi

skala besar dimulai bulan Mei 1972. Setelah para

geolog menemukan cadangan kelas duni Grasberg

pada tahun 1988, operasi PTFI menjadi salah satu

proyek tambang tembaga/emas terbesar di dunia.

Di akhir tahun 1991, Kontrak Karya kedua

ditandangani dan PTFI diberikan hak oleh

Pemerintah Indonesia untuk meneruskan

operasinya selama 30 tahun

PTFI merupakan salah salah satu

pembayar pajak terbesar bagi Negara Indonesia.

Sejak tahun 1992 sampai 2005, manfaat langsung

dari operasi perusahaan terhadap Indonesia dalam

bentuk dividen, royalti dan pajak mencapai sekitar

3,9 milliar dolar AS. Selain itu PTFI juga telah

memberikan manfaat tidak langsung dalam bentuk

upah, gaji dan tunjangan, reinvestasi dalam negeri,

pembelian barang dan jasa, serta pembangunan

daerah dan donasi. Dalam tahun 2005 PTFI telah

menghasilkan dan menjual konsentrat yang

mengandung 1,7 miliar pon tembaga gan 3,4 juta

ons emas. PTFI (PT.FREEPORT) Company

memiliki visi untuk menjadi tambang terbaik di

dunia yang berlokasi di ketinggian dan lingkungan

bercurah hujan tinggi. Kepemilikan sahamnya

adalah Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc

(AS) sebesar 81,28%, Pemerintah Indonesia

sebesar 9,36% dan PT. Indocoppor Investama

sebesar 9,36%.

Pelaksanaan Corporate Social

Responsibility (CSR) PT.FREEPORT memiliki

komitmen untuk mengelola dan meminimalisasi

dampak dari kegiatan operasionalnya terhadap

lingkungan dan untuk mereklamasi serta

menghijaukan kembali lahan yang terkena dampak.

Melalui kebijakan lingkungan, PT.FREEPORT

berkomitmen untuk melaksanakan pengelolaan dan

praktik-prkatik lingkungan yang baik, menyediakan

sumber daya yang cukup layak guna memenuhi

tanggung jawab tersebut dan melakukan perbaikan

berkesinambungan terhadap kinerja lingkungan

pada setiap lokasi kegiatan. PT.FREEPORT juga

memiliki komitmen kuat untuk mendukung

penelitian ilmilah guna memahami lingkungan di

sekitar tempat PT.FREEPORT beroperasi, serta

melakukan pemantauan yang komprehensif untuk

Analisis Implentasi ……. (Agung Prihantoro) STIMIKA Vol. 1, No.1, Agustus 2014: 25-38 35

menentukan efektivitas dari praktik-praktik

pengelolaan.

Selain itu, PT.FREEPORT juga bekerja

dengan instansi pemerintah, masyarakat setempat,

maupun lembaga swadaya masyarakt yang

bertanggung jawab, untuk meningkatkan kinerja

lingkungan. Dalam hal ini PT.FREEPORT

menganut prinsip-prinsip kerangka kerja

pembangunan berkelanjutan dari dewan

internasional tentang pertambangan dan logam

Sustainable Development Framework of the

international Council ini Mining and Metals

(ICMM), dimana PT.FREEPORT termasuk

anggotanya:

1. Pelaksanaan Audit Lingkungan

Audit lingkungan yang dilakukan

PT.FREEPORT menghasilkan informasi bagi para

manajer tentang kinerja lingkungan saat ini serta

membantu mengindentifikasi peluang-peluang

perbaikan.

2. Program Pengelolaan Trailing

Trailing adalah sisa batu alat yang digiling

harus hasil pengolahan bijih mineral.

PT.FREEPORT menggunakan proses pengapungan

(flotasi), yang merupakan pemisahan secara fisik

minerjal yang mengandung tembaga dan emas dari

batuan bijih. Dalam proses tersebut tidak

digunakan merkuri maupun sianida. Sebuah daerah

aliran sungai mengangkut sediman tersebut menuju

sebuah areal pengendapan yang telah ditentukan di

kawasan dataran rendah dan pantai, yang

dimanamakan Modified Deposition Area (Daerah

Pengendapan Dimodifikasi), yaitu sebuah sistem

yang direkayasa dan dikelola bagi pengendapan

dan pengendalian trailing. Pengambilan sampel

secara luas terhadap mutu air dalam pengelolaan

tailing menunjukkan bahwa air pada sungai yang

mengangkut tailing dari pabrik pengolahan

PT.FREEPORT di daerah dataran tinggi menuju

daerah pengendapatnd I dataran rendah telah

memenuhi baku mutu air bersih untuk logam

terlarut sesuai peraturan Pemerintah Indonesia

maupun USEPA (Lembaga Perlindungan

Lingkungan AS).

3. Reklamasi dan Penghijauan kembali

a. Daerah dataran tinggi

Para ilmuwan internasional dan staff

PT.FREEPORT telah mengkaji ekologi dari

ekosistem alpin di wilayah kerja PT.FREEPORT,

serta mengembangkan cara-cara handal untuk

menghasilkan bibit jenis tanaman asli. Kajian-

kajian yang pernah dilakukan hingga saat ini

mencakup etnobotani, keanekaragaman hayati pada

ekosistem su-alpin dan alpin, pemanfaatan jenis-

jenis asli tanaman lumut dan bakteri untuk strategi

reklamasi perintis dan budi daya jaringan untuk

pengembangan jenis tanaman alpin asli.hingga

akhir 2005, lebih dari 10 hektar tanah terganggu

pada tambang di daerah dataran tinggi yang

berhasil dihijaujan kembali dalam rangka

memenuhi komitmen PT.FREEPORT kepada

pemerintah Indonesia.

b. Dataran rendah

Tujuan dari program reklamasi dan

penghijauan kembali PT.FREEPORT di daerah

dataran rendah adalah untuk mengubah endapan

tailing pada daerah pengendapan menjadi lahan

pertanian atau dimanfaatkan sebagai lahan

produktif lainnya, atau menumbuhkannya kembali

dengan tanaman asli setelah kegiatan tambang

berakhir.

4. Pengelolaan Overburden dan air asam tambang

PT.FREEPORT menangani overburden

melalui sebuah rencana pengelolaan overburden

komprehensif yang telah disetujui oleh Pemerintah

Indonesia. PT.FREEPORT melakukan pengelolaan

dan pemantauan terhadap air asam tambang yang

dihasilkan oleh kegiatannya. Sesuai rencan

pengelolaan overburden yang telah disetujui oleh

pemerintah, PT.FREEPORT menempatkan

overburden pada daerah-daerah terkelola di sekitar

tambang terbuka Grasberg.

5. Pengelolaan dan daur ulang limbah

Program-program pengelolaan lingkungan

PT.FREEPORT mencakup seluruh aspek

kegiatannya bukan saja yang berhubungan dengan

pertambangan. Program-program minimilasasi

limbah yang dilaksanakan mencakup pengurangan

dan penukaran dengan produk-produk ramah

lingkungan. Bahan yang dapat didaur ulang seperti

aluminium, besi tua, dan baterai bekas didaur ulang

sesuai ketentuan pemerintah Indonesia. Mutu

limbah cair dari seluruh instalasi pengolahan

limbah cair dipantau secara berkala untuk

parameter pH (kadar alkali), BOD (Biological

Oxygen Demand), TSS (Total Suspended

Solids/total padatan tersuspensi) serta minyak dan

lemak sesuai baku mutu.

6. Dalam program Corporate Social Responsibility

(CSR) yang dilakukan oleh PT.FREEPORT

USAID dan keuskupan Timika maka

didapatkan sebuah model yang akan

mengembangkan nelayan kepada kehidupan yang

maju. Kendala nelayan terberat adalah jika tidak

ada pabrik es, tempat pelelangan ikan yang

memadai termasuk pelabuhan perikanan, sarana

penyediaan bahan bakar minyak (BBM) dan cold

storage. Bersama vibizconsulting dibangun sebuah

model CSR yang belum pernah diterapkan

sebelumnya. Nelayan akan mampu bersaing karena

pengembangan sumberdaya manusia menjadi titik

tolak berdirinya masyarakat nelayan yang tangguh.

3.2 Membangun dengan CSR

Protes terhadap PT Freeport yang berujung

pada penggugatan terhadap keberadaan perusahaan

Analisis Implentasi ……. (Agung Prihantoro) STIMIKA Vol. 1, No.1, Agustus 2014: 25-38 36

tambang tersebut membuat sebagian pihak

berargumen bahwa ini akan menjadi “bad

precedent” terhadap dunia investasi di Indonesia.

Tapi seberapa pentingkah precedent bagi

perusahaan yang memang tidak pernah lepas dari

kontroversi ini? Terlepas dari konteks dan

muatannya, ia memberi sebuah pesan kepada

perusahaan untuk lebih memperhatikan tanggung

jawab sosial (corporate social responsibility/CSR)

mereka. Konsep CSR secara geneologis masih

terbilang baru khususnya di Indonesia. Meski

demikian, adaptasi dan pelaksanaannya telah

menjadi “trend” bagi perusahaan. Maka berlomba-

lombalah perusahaan mengklaim diri sebagai

perusahaan yang bertanggung jawab dan peduli

terhadap pembangunan masyarakat, meski tolak

ukurnya sekedar program dan divisi community development/CD yang dimiliki.

Namun kasus Freeport (meski bukan

pertama dan satu-satunya) kemudian menjadi

puncak gunung es, yang membuat kita bertanya-

tanya, sejauh mana perusahaan mengintegrasikan

konsep ini ke dalam strategi dan budaya

perusahaan. Lebih jauh, kita diperhadapkan pada

keseriusan dan kesinambungan dari penjabaran

konsep itu sendiri. Tengoklah komentar dari

masyarakat yang menuntut penghentian kontrak

karya perusahaan tambang itu. Menurut mereka,

setelah lebih dari 35 tahun mengeruk keuntungan

yang luar biasa, PT Freeport belum berkontribusi

maksimal untuk membantu pengentasan

kemiskinan dan ketertinggalam masyarakat Papua

sebagai pemegang hak ulayat (Kompas,

28/02/2007).

Harapan terbesar masyarakat pada

dasarnya adalah bahwa keuntungan finansial

perusahaan harus berimbang dengan sejauhmana

“perbuatan baik”nya. Hal ini muncul karena

keterbukaan yang tidak dapat dinafikan sebagai

bagian dari proses perwujudan good governance

yang makin mengglobal. Dalam kasus Freeport,

kita dihadapkan pada kenyataan bahwa perusahaan

belum menunjukkan perbuatan baiknya, paling

begitu dalam pikiran masyarakat papua, meski

keuntungan finansial yang diraih sangatlah besar.

Dalam isu pelestarian lingkungan misalnya, PT

Freeport (dan perusahaan tambang lainnya)

menghadapi environmental scepticism yang

menganggap perusahaan tambang lebih banyak

menimbulkan kerusakan daripada manfaat. Pada

tahun 2004, kontribusi pajak dan non-pajak dari

perusahaan tambang terhadap pendapatan negara

tidak lebih dari Rp. 7,8 triliun.

Jaringan Advokasi Tambang juga mencatat

bahwa lebih dari 100 kasus muncul setiap tahunnya

antara perusahaan tambang dan masyarakat sekitar

atau otoritas lingkungan yang juga diakibatkan dari

pengabaian pihak perusahaan terhadap kondisi

masyarakat sekitar (The Jakarta Post, 27/02/2007).

Untuk mengatasinya, peran pemerintah pun makin

diharapkan untuk tidak lagi sekedar penagih

tanggung jawab normatif semisal royalti dan

peningkatan pendapatan. Peran pemerintah sangat

menentukan dalam membangun usaha yang

kondusif dan tidak manipulatif.

Harus diakui bahwa peran pemerintah masih belum

maksimal. Ini terlihat dari belum terciptanya iklim

yang kondusif bagi perusahaan untuk

meningkatkan program CSR-nya. Selain itu,

pemerintah juga belum menyediakan regulasi yang

menjamin lintas sektor dan dunia usaha agar

mampu menyelenggarakan pembangunan

kesejahteraan sosial secara berkelanjutan dan

melembaga.

Sampai disini kita kemudian disadarkan

akan arti penting CSR bagi perusahaan dan

pembangunan masyarakat. Tapi pertanyaannya

kemudian, bagaimana agar CSR tidak menjadi

paradigma pinggiran (peripheral paradigm), baik

itu bagi masyarakat, pemerintah dan kalangan

dunia usaha sendiri? Apalagi dalam dunia usaha

sendiri, masih terjadi perdebatan mengenai penting

tidaknya CSR bagi perusahaan. Terlepas dari itu,

ada sejumlah kondisi yang harus dipenuhi agar

CSR menjadi paradigma arus utama (mainstream

paradigm). Pertama, perdebatan akademis atau

politik mengenai sistem pengetahuan tersebut di

arena publik. Di sini, partisipasi masyarakat adalah

prasyarat mutlak. Kedua, perdebatan tersebut

kemudian ditopang oleh jaringan kekuasaan

(legislatif-eksekutif, perguruan tinggi, media, dan

LSM).

Selanjutnya, akan tercipta kondisi ketiga,

dimana sistem ini memiliki „teknologi sosial‟ yang

secara akademis dapat dipertanggungjawabkan

(Rochman Achwan, 2006). Di atas semua itu, CSR

juga mensyaratkan agar dunia usaha mengubah

pola tanggung jawab mereka yang cenderung elitis,

dimana pelibatan masyarakat cukup melalui pejabat

atau tokoh-tokoh semata. Kasus Freeport sekali lagi

memberi pembenaran atas ini, dimana menurut

klaim perusahaan dalam laporannya, mereka telah

melakukan banyak hal untuk masyarakat. Namun

karena sifat dan desainnya yang tidak melibatkan

public sebagai objek, maka yang terjadi kemudian

adalah disharmonisasi antara apa yang dilakukan

perusahaan dengan kebutuhan masyarakat. Ke

depan, program community development, sebagai

salah satu pengejawantahan CSR yang

dilaksanakan oleh perusahaan harus dapat

menciptakan hubungan sinergi antar pelaku

pembangunan. Kekuasaan harus pula dikelola

secara seimbang dan tidak manipulatif

sebagaimana yang terjadi selama ini, dalam bentuk

pola hubungan sosial antara pemerintah,

perusahaan, dan masyarakat dengan peran masing-

masing dalam menciptakan civil society dan good

governance.

Analisis Implentasi ……. (Agung Prihantoro) STIMIKA Vol. 1, No.1, Agustus 2014: 25-38 37

Bagi dunia usaha saat ini, tuntutan akan

implementasi CSR tidak hanya bersifat eksternal

(tekanan dari masyrakat global), tetapi juga

haruslah bersifat internal, dimana karyawan juga

menyadari dan memberi tekanan kepada

perusahaan untuk mengimplementasikan CSR ini

dengan sungguh-sungguh sebagai bagian dari

entitas bangsa. Setelah itu, barulah kemudian

esensi dari CSR yang bertujuan sebagai

perwujudan reorientasi dalam manajemen

pembangunan dari state-centered ke multi-centered,

dimana keterlibatan dunia usaha tak lagi dapat

ditawar, dapat terwujud. Kita pun akhirnya dapat

melihat prakarsa perusahaan sebagai bagian dari

potensi bangsa yang mendayagunakan diri secara

efektif bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan

kesejahteraan rakyat.

3.3 Pelaksanaan CSR PT Freeport Indonesia

Freeport Indonesia sebagai salah satu

perusahaan superkaya dalam dunia tambang hadir

di Papua sejak 1973. Dari pemaparan yang

disampaikan oleh Team Corporate

Communications, perusahaan telah menjalankan

program CSR selama lebih kurang 20 tahun,

khususnya sejak KK I di tahun 1988. Pendekatan

CSR yang dijalankan terutama di tujukan ke

masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi tambang

di Kabupaten Mimika. Namun dapat dikatakan

PTFI yang beroperasi di Kabupaten Mimika,

adalah tulang punggung kehidupan di seluruh

penjuru kabupaten, dapat dilihat dari sumbangan

royalti PTFI yang kini masih sebesar 96% dari total

pendapatan Kabupaten Mimika. Tingkat

pendapatan kabupaten yang mungkin tertinggi di

tanah Papua, menyebabkan tingginya urbanisasi

yang menyebabkan jumlah penduduk meningkat

cukup pesat dalam beberapa tahun.

Kehidupan kota yang sebagian didominasi

oleh pendatang (yang bekerja di PTFI), serta

tingginya kesenjangan tingkat pendidikan antara

penduduk lokal dan pendatang, sangat berperan

dalam memicu konflik-konflik yang beberapa kali

terjadi antara PTFI dan masyarakat. Beberapa

tantangan ini sudah seharusnya disikapi secara

bijak juga oleh PTFI. PTFI sudah menjadi bagian

tak terpisahkan ketika bicara tentang Kabupaten

Mimika dan bukan tidak mungkin tidak dapat

dipisahkan dari kemajuan di Papua secara umum.

Oleh karenanya ke depan seharusnya PTFI

mengarahkan program-program CSR-nya yang

dapat merangkul dan mencakupi seluruh wilayah

Papua, tidak hanya membatasi dampak tambang

pada penduduk lokal di Kabupaten Mimika,

khususnya 2 suku yang memegang tanah ulayat

tempat pertambangan PTFI.

PTFI walau bagaimanapun, adalah entitas

bisnis yang tujuannya mencari keuntungan. Pada

akhirnya segala kegiatan/program CSR pun pada

akhirnya diharapkan dapat memberi nilai tambah

bagi peningkatan pendapatan perusahaan. Namun

demikian pada era keterbukaan dan kemajuan

teknologi serta tingginya mobilitas penduduk

termasuk di Papua, tetap harus diantisipasi oleh

PTFI sebagai bagian dari populasi di tanah Papua.

Komitmen para petinggi PTFI saat ini untuk

menjalankan program CSR (salah satu kunci

suksesnya program CSR) patut diapresiasi, namun

keberlanjutannya serta keserasian dengan nilai dan

budaya/adat lokal serta tujuan akhir yang ingin

dicapai haruslah juga dirangkai dengan komitmen

PTFI dalam misi sosial perusahaan.

3. PENUTUP

3.1 Simpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui

bahwa pelaksanaan Corporate Sosial Responsibility

(CSR) diperusahaan khususnya PT.FREEPORT

Indonesia, masih ditemui sejumlah kelemahan.

Kelemahan yang muncul tersebut pada dasarnya

dipengaruhi oleh adanya kepentingan antara

shareholder dengan stakeholder. Dimana

shareholder akan selalu berupaya untuk

menghasilkan keuntungan semaksimal mungkin

dan cenderung kurang memperhatikan kepentingan

stakeholder sebagai pihak minoritas perusahaan.

Selain itu pihak stakehoder terutama pemerintah

kurang memainkan perannya dalam melakukan

kontrol kepada perusahaan, sehingga dapat saja

dikelabui oleh perusahaan dengan memberikan

sejumlah kegiatan yang terkait dengan Corporate

Sosial Responsibility (CSR) untuk sementara, dan

selanjutnya tidak dijalankan.

Kurangnya kontrol dari pemerintah

tersebut juga masih lemahnya undang-undang yang

berlaku terutama untuk mengatur kesejahteraaan

masyarakat sekitarnya sebagai pihak yang juga

berwenang atas kekayaan alam wilayah tersebut.

Dari pembahasan ini juga dapat diketahui bahwa

Corporate Sosial Responsibility (CSR) pada

dasarnya harus timbul dari kesadaran individu

masing- masing manajemen perusahaan, karena

dengan etika yang baik, akan mempengaruhi

sejumlah keputusan yang dibuat oleh manajemen

perusahaan. Disamping adanya regulator yang pasti

untuk menjamin terlaksananya CSR dengan sebaik-

baiknya. Penelitian ini masih memiliki

keterbatasan, yaitu data yang diambil hanya dari

data sekunder, dari internet, yang kebenarannya

masih harus ditinjau lagi. Pengambilan data

sekunder dikarenakan adanya keterbatasan waktu

dalam penyusunan artikel ini.

Analisis Implentasi ……. (Agung Prihantoro) STIMIKA Vol. 1, No.1, Agustus 2014: 25-38 38

DAFTAR PUSTAKA

AB Susanto, (2007), Corporate Social

Responsibility, The Jakarta Consulting Group,

Jakarta.

Azwar, Saifuddin, (2007), Metode Penelitian, Edisi

I, Cetakan I, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Bateman, T.S., and Snell, S.A., (2002),

Management: Competing in The New Era (5th

edition), McGraw Hill/Irwin NY.

Carroll, A. B, (1981), Business and Society (Little,

Brown and Company, Boston).

Dalimunthe, Ritha F, (2004), Etika Bisnis,

Universitas Sumatra Utara, Jurusan Manajemen,

Fakultas Ekonomi.

Darmadji, Tjiptono dan Hendy M. Fachruddin,

(2001), Pasar Modal di Indonesia, Pendekatan

Tanya Jawab, Edisi Pertama, Salemba Empat,

Jakarta.

Echols, John M and Shadily, Hasan. 1992. Kamus

Inggris Indonesia. Penerbit PT Gramedia, Jakarta.

Endro Sampurna, Muhammad, (2007), Lingkar

Studi CSR: Si Seksi CSR: 95% Retorik, 5% Aksi

Nyata, Jakarta.

Firman Syah, (2009), Analis Peranan Etika Bisnis

Terhadap Corporate Social Responbility (CSR)

pada PT. FREEPORT INDONESIA, Program

Pendidikan Profesi Akuntansi Fakultas Ekonomi

Universitas Brawijaya, Malang.

Komenaung, Anderson Guntur, (2005), Etika

Dalam Bisnis Anderson Guntur Komenaung,

Fakultas Ekonomi dan Magister Ekonomi

Pembangunan Universitas Sam Ratulangi, Manado

Najmudin Ansorullah SHI, (2010), Corporate

Social Responsibility dalam Perspektif Islam,

Pesantren Manbaul Falah, Pasirawi Rawamerta

Karawang, Jawa Barat.

Roida, Herlina Yoka, Relevansi Program Corporate

Sosial Responsibility Bagi Wacara Publik: Menjadi

baik pada saat sudah menjadi buruk, Jurnal The

2nd National Conference UKWMS, Faculty of

Economics–Widya Mandala Catholic University

Surabaya, Indonesia.

Silalahi, Gabriel Amin, (2003), Metodologi

Penelitian dan Studi Kasus, Cetakan Pertama, CV.

Citramedia, Sidoarjo.

Sims, R. 2003. Ethics and Corporate Social

Responsibility-Why Giants Fall. C.T. Greenwood

Press.

Susiloadi, Priyanto, (2008), Implementasi

Corporate Social Responsibility Untuk Mendukung

Pembangunan Berkelanjutan, Jurnal Jurusan

Administrasi Negara FISIP Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

Vibislearning.com (2008), Corporate Social

Resposibilty (CSR) PT.FREEPORT Indonesia

Mengembangkan Potensi Nelayan di Desa

Kokonao Timika.

Wikipedia.org, (2008), Freeport

Indonesia,www.wikipedi a.org.