d2054-moh azhar.pdf
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
REKAYASA MATERIAL ABU SEKAM PADI DAN BATU APUNG
PADA BETON RINGAN UNTUK MENINGKATKAN KEKUATAN
MEKANIK SEMEN PORTLAND KOMPOSIT
DISERTASI
MOH AZHAR
NPM : 1006751306
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM PASCASARJANA ILMU MATERIAL
JAKARTA
2015
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
ii
Universitas Indonesia
UNIVERSITAS INDONESIA
REKAYASA MATERIAL ABU SEKAM PADI DAN BATU APUNG
PADA BETON RINGAN UNTUK MENINGKATKAN KEKUATAN
MEKANIK SEMEN PORTLAND KOMPOSIT
DISERTASI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
MOH AZHAR
NPM : 1006751306
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI ILMU MATERIAL
JAKARTA
2015
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
v
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T., atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Disertasi ini
disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada program
Pascasarjana, program studi Ilmu Material, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa, tanpa
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi penulis untuk
menyelesaikan disertasi ini. Olek karena itu, penulis mengucapkan terima kasih
kepada yang terhormat :
1. Bapak Dr. Azwar Manaf, M.Met selaku promotor dalam penulisan disertasi,
arahan teknis penelitian, dorongan moral dan semangatnya untuk terus
berkembang.
2. Bapak Dr. Bambang Soegijono, M.Si selaku kopromotor 1 atas segala arahan
teknis penelitian serta dorongan semangatnya yang tidak pernah berhenti
selama proses penelitian.
3. Ibu Dr. Vera Indrawati Judarta, M.Si selaku kopromotor 2 atas segala arahan
teknis dan bantuan penggunaan fasilitas laboratorium di Indocement Tunggal
Prakarsa.
4. Ibu Dr. Vivi Fauzia, M.Si selaku Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu
Material, Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam.
5. Bapak Saiful Bahri, ST. M.Si, Ibu Laily, ST dan Bapak H. Agus yang telah
membantu dalam memfasilitasi penggunaan laboratorium Indocement
Tunggal Prakarsa.
6. Keluargaku : Ayahanda H Husain Mukdiem (alm), Ibunda Hj Misbah (almh),
H Muhammad Hilman (alm), dan Hj Sutra Malkini (almh), Istri tercinta
Malda serta anak-anakku tercinta Munadhilah Ummahat, S.Hum, Nuha
Mufidah, Fauzan Muhtadi, dan Faruq Mahdi, kakanda Hidayat Alamsyah dan
Johansyah atas segala pengertian, perhatian, kasih sayang dan do’anya kepada
penulis selama menjalani studi di Universitas Indonesia.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
vi
Universitas Indonesia
7. Seluruh Pimpinan PT. Indocement Tunggal Prakarsa yang telah banyak
memberikan kemudahan untuk menggunakan semua fasilitas laboratorium
yang diperlukan.
8. Seluruh civitas akademika pascasarjana Ilmu Material, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Uneversitas Indonesia, terutama teman
seperjuangan Dr. Rahmat Doni, Dr. Novizal, Dr. Iwan.
Semoga disertasi ini bisa bermanfaat bagi penulis sendiri dan bagi orang lain
yang membacanya walaupun masih jauh dari kesempurnaan.
Depok, Juni 2015
Penulis
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
viii
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Moh Azhar
Program Studi : Ilmu Material
Judul : Rekayasa Material Abu Sekam Padi dan Batu Apung pada Beton
Ringan untuk Meningkatkan Kekuatan Mekanik Semen
Portland Komposit
Telah dilakukan penelitian pembuatan beton ringan atau lightweight
concrete (LWC) menggunakan batu apug (BA) dan abu sekam padi (ASP).
Sampel beton ringan yang dibuat mengandung BA dengan fraksi berbeda, adapun
material semen, pasir, dan abu sekam padi volumenya dijaga tetap. Terdapat dua
parameter utama yang menentukan sifat mekanik sampel LWC masing-masing
adalah densitas sampel dan rasio air/semen (w/c). Sifat mekanik yang paling
utama dari LWC adalah kekuatan tekan. Pada campuran dengan fraksi volume
batu apung terbesar (100%) menghasilkan densitas dan kekuatan tekan paling
rendah masing-masing sebesar (1389,6 kg/m3 dan 11,1 MPa). Diketahui bahwa
makin rendah fraksi batu apung dalam sampel beton makin tinggi nilai densitas
dan kekuatan tekannya, disebabkan oleh tingginya nilai fraksi pori baik pori
terbuka maupun pori tertutup dalam sampel beton. Observasi terhadap fotomikro
SEM batu apung menunjukkan bahwa terdapat sejumlah besar pori dengan bentuk
memanjang ke bagian dalam dari permukaan sampel beton. Pori hadir dengan
kerapatan jumlah pori relatif besar serta dengan ukuran yang bervariasi. Fakta ini
menjelaskan mengapa batu apung besifat ringan karena memiliki densitas massa
yang rendah. Pola difraksi sinar X sampel beton ringan memperlihatkan dominasi
fasa kristalin diidentifikasi sebagai fasa quartz (SiO2). Namun dapat dipastikan
sampel beton ringan terdiri dari fasa campuran antara fasa kristalin dan dengan
sedikit fasa amorph.
Fotomikro SEM beton ringan menunjukkan bahwa senyawa Kalsium Silikat
Hidrat (CSH) mulai tumbuh pada waktu awal proses hidrasi dan terus
berkembang sampai umur beton mencapai umur hidrasi 28 hari yang ditandai
dengan sifat fisik yang padat dan peningkatan kekuatan beton. Dapat dipastikan
bahwa senyawa CSH ini memiliki peranan penting terhadap pengaturan sifat
mekanik seperti kekuatan tekan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa batu apung
dan abu sekam padi adalah material berbasis silika amorph yang memiliki densitas
lebih rendah terutama dibandingkan dengan material pembentuk beton lainnya.
Baik densitas dan kekuatan tekan sampel beton ringan ditentukan oleh rasio antara
batu apung dan abu sekam padi. Ditemukan rasio terkecil BA/ASP yaitu 8
menghasilkan nilai densitas dan kekuatan tekan optimal, masing-masing pada usia
beton 28 hari sebesar 1891 kg/m3 dan 23 MPa. Komposisi beton ringan yang
terbaik diperoleh dari hasil penelitian ini adalah komposisi campuran PCC (1,00) :
Pasir (1,00) : ASP (0,05) : BA (0,50) dengan nilai Slump 8 cm ditandai oleh nilai
rasio antara kuat tekan dan densitas tertinggi adalah 1285.
Kata kunci: Beton Ringan, Abu Sekam Padi (ASP), Batu Apung (BA), Slump,
Berat Jenis, dan Kuat Tekan.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
ix
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Moh Azhar
Study Program : Materials Science
Title : Lightweight Concrete Containing Rice Husk Ash and Pumice
Materials to Improve the Mechanical Strength of Portland
Cement Composites
Research studies on the manufacture of lightweight concrete (LWC) using
pumice and rice husk ash (RHA) materials have been done. LWC samples were
made of pumice materials with a different mass fraction, while the cement, sand,
and rice husk ash materials were keep fixed. It was found that there are two main
parameters that determine the mechanical properties of LWC which are density
and the water and cement ratio (w/c ratio). The main mechanical properties of
LWC sample is the power press. Samples with the largest volume fraction of
pumice (100%) resulted in lightest density (1389.6 kg/m3) and the smallest
strength of LWC (11.1 MPa). It was found that, the lower the mass fraction of
pumice in LWC samples, the higher the density values and compressive strength
were obtained. This was caused by the high mas fraction value of pores, which
were both open and closed pores. Scanning electron micorscopy (SEM) images
for the pumice showed that the there are a large number of regular and structured
pores extending deep inside the surface of the sample. It was observed that pores
present with pore size does not vary significantly but with the density of the
relatively large number of pores, indicating pumice has a low mass density. The
XRD pattern of the lightweight concrete samples indicated that the samples were
dominated by crystalline phases in which the quartz (SiO2) is the main phase and
a small fraction of amorphous phase was also obtained.
SEM images of lightweight concrete samples showed that the structure of
Calcium Silicate Hydrates (CSH) started growing at the beginning of hydration
time and continue to evolve into a more solid structure until the age of 28 days,
where the compound has an important role to the mechanical properties such as
compressive strength. The study concluded that the pumice and rice husk ash is
are amorphous silica-based material which has a lower density compared to other
concrete forming material such as cement and sands. Both density and light
weight concrete compressive strength are determined by the ratio between pumice
and rice husk ash, in which the smallest ratio 8 resulted in the largest density and
compressive strength, which are 1890.5 kg/m3
and 23.2 MPa respectively at the
age of 28 days. The study concluded that the best composition for lightweight
concrete samples was the following: PCC (1,00): Sand (1,00): ASP (0,05): BA
(0,50) with a slump value of 8 cm resulted in the largest value of a ratio between
compressive strength and density of 1285.
Keywords: Lightweight Concrete (LWC), Rice Husk Ash (RHA), Pumice,
Slump, Density, and Compressive Strength
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
x
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
JUDUL ii
PERNYATAAN ORISINALITAS iii
PENGESAHAN iv
KATA PENGANTAR v
PERNYATAAN PUBLIKASI vii
ABSTRAK viii
DAFTAR ISI x
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR GAMBAR xiii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan Penelitian 3
1.3 Manfaat Penelitian 4
1.4 Batasan Masalah 4
1.5 Model Operasional Penelitian 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Beton Agregat Ringan (LWC)
2.2 Portland Cement (PC)
2.2.1 Reaksi Hidrasi
2.2.2 Hidrasi C3S dan C2S
2.2.3 Hidrasi C3A
2.2.4 Hidrasi C4AF
2.2.5 Kinetika Hidrasi Semen
7
16
17
20
21
21
22
2.3 Abu Sekam Padi (ASP) 24
2.4 Batu Apung (BA) 30
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
xi
Universitas Indonesia
BAB III METODE PENELITIAN 38
3.1 Bagan Penelitian
3.2 Alat, Bahan Penelitian dan Bentuk Spesimen
3.2.1 Alat Penelitian
3.2.2 Bahan Penelitian
38
40
40
41
3.2.3 Bentuk Spesimen
3.3 Rencana Adukan Beton
3.3.1 Rencana Adukan Beton Tahap 1
3.3.2 Rencana Adukan Beton Tahap 2
3.4. Prosedur Penelitian
3.4.1 Pemeriksaan Air
3.4.2 Pemeriksaan Agregat
3.4.3 Persiapan Pembuatan Adukan Beton
3.4.4 Pengujian Workability
3.4.5 Pengujian Kuat Tekan dan Densitas Beton
3.4.6 Pengujian dengan SEM, EDAX, XRF, dan XRD
41
42
42
42
43
44
44
48
48
49
50
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 51
4.1 Pendahuluan
4.2 Karakteristik Fisik Agregat
51
52
4.3 Karakteristik Abu Sekam Padi 53
4.4 Karakteristik Batu Apung 58
4.5 Kuat Tekan Beton Ringan 65
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
78
78
78
DAFTAR REFERENSI 79
LAMPIRAN 83
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
xii
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Variasi sampel terhadap density (Ke dkk, 2009) 8
Tabel 2.2 Porositas pada variasi sampel yang digunakan (Ke dkk, 2009) 9
Tabel 2.3 Kekuatan Tekan (MPa) pada beberapa tipe agregat ringan
terhadap beberapa variasi rasio air dan semen (Chi dkk, 2003) 10
Tabel 2.4 Sifat dari agregat yang digunakan (Chi dkk, 2003) 11
Tabel 2.5 Reaksi hidrasi senyawa semen 17
Tabel 2.6 Proporsi campuran dan Properties dari RHA pada Beton
(Mehta, P. K.,1992) 26
Tabel 2.7 Sifat kimia dan fisik material yang digunakan pada LWC
(Hanifi Binici, 2007) 31
Tabel 2.8 Sifat fisik dari batu kali sebagai agregat (Hanifi Binici, 2007) 32
Tabel 2.9 Sifat fisik dari crushed ceramic (CC) dan crused basaltic
pumice (CBP) (Hanifi Binici, 2007) 32
Tabel 2.10 Hasil uji XRF dari berbagai tipe campuran batu apung dan
Semen (Uma Ramasamy dan Paul Tikalsky, 2012) 34
Tabel 3.1 Proporsi campuran PCC, pasir, BA, ASP, dan air 42
Tabel 3.2 Proporsi campuran PCC, pasir, BA, ASP, Slump, dan w/c 43
Tabel 4.1 Nilai densitas agregat dihitung berdasarkan SK.SNI 52
Tabel 4.2 Hasil uji mineralogi Abu Sekam Padi 55
Tabel 4.3 Komposisi senyawa kimia Abu Sekam Padi dengan XRF 56
Tabel 4.4 Hasil EDAX abu sekam padi diambil dari 3 posisi 58
Tabel 4.5 Hasil uji mineralogi Batu Apung 61
Tabel 4.6 Komposisi senyawa kimia Batu Apung dengan XRF 62
Tabel 4.7 Hasil EDAX batu apung pada 3 posisi 65
Tabel 4.8 Densitas dan kuat tekan beton umur 3-28 hari kubus 1-7 66
Tabel 4.9 Rasio antara Kuat Tekan terhadap Densitas sampel 1-7
umur 28 hari 70
Tabel 4.10 Densitas, Slump dan Kuat Tekan Beton umur 3-28 hari
kubus 8-11 71
Tabel 4.11 Rasio antara Kuat Tekan terhadap Density sampel 8-11 73
Tabel 4.12 Hasil uji mineralogi Beton Ringan umur 3-28 hari 76
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
xiii
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Grafik korelasi antara kekuatan tekan dan fraksi volume
LWA pada beberapa variasi sampel yang digunakan
(Ke dkk, 2009) 9
Gambar 2.2 Grafik hubungan antara kekuatan tekan dan densitas
sampel yang telah dikeringkan pada beberapa variasi sampel
yang digunakan (Ke dkk, 2009) 9
Gambar 2.3 Pengaruh rasio air/binder terhadap kekuatan tekan pada
beberapa tipe agregat (Chi dkk, 2003) 11
Gambar 2.4 Pengaruh vraksi volume terhadap kekuatan tekan dan rasio
air/binder (Chi dkk, 2003) 11
Gambar 2.5 Hasil Uji Kuat Tekan Beton Silinder Ukuran 4"x8"
(Uma Ramasamy dan Paul Tikalsky, 2012) 14
Gambar 2.6 Kuat tekan berbagai jenis LWC pada berbagai usia
(Kawkab H. dkk, 2008) 15
Gambar 2.7 Evolusi mikrosktuktur CSH pada komposisi 100 wt%
semen Portland selama proses hidrasi sampai 56 minggu
(A. Manaf, and V. Indrawati, 2011) 18
Gambar 2.8 Pengaruh proses desorption air terhadap modulus elastisitas
pada semen Portland untuk (a) W/C = 0,3 dan (b) 0,4
(Alizadeh, Beaudoin dan Rakim, 2011) 19
Gambar 2.9 Pengaruh variasi komposisi ratio C/S & porositas terhadap
modulus elastisitas (Alizadeh, Beaudoin dan Rakim, 2011) 19
Gambar 2.10 Diagram Fasa hidrasi semen (Taylor, 1997) 20
Gambar 2.11 Mikrograf SEM RHA dibakar pada temperatur berbeda
Hwang dan Wu (Hwang, C. L., and Wu, D. S., 1989). 25
Gambar 2.12 Mekanisme mengisi kekosongan dan efek transisi zona
Penguatan RHA (Mehta, P. K.,1992) 26
Gambar 2.13 Fotomikro SEM dari sampel RHA (Rosario Madrid,
dkk, 2012) 27
Gambar 2.14 Pola XRD dari sampel RHA (radiasi Cu - Kα) (Rosario
Madrid, dkk, 2012) 27
Gambar 2.15 Pola XRD SiC dari Sekam Padi (Rosario Madrid,
C. A. Nogueira and F. Margarido, 2012) 29
Gambar 2.16 Kekuatan tekan pada campuran beton terhadap waktu
pengerasan (Hanifi Binici, 2007) 33
Gambar 2.17 Aliran panas untuk kombinasi campuran yang berbeda
selama 75 jam pertama (Uma Ramasamy dkk, 2012) 36
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
xiv
Universitas Indonesia
Gambar 2.18 Aliran panas untuk kombinasi campuran yang berbeda
selama 75-225 jam (Uma Ramasamy dkk, 2012) 36
Gambar 2.19 Mikrostruktur dari agregat batu apung (Tayfun
Uygunoglu, dkk, 2013) 37
Gambar 3.1 Alur Penelitian 39
Gambar 3.2 Bentuk specimen uji 41
Gambar 4.1 Fotomikro SEM Abu Sekam Padi dengan pembesaran
100x (a), 5000x (b), 20000x (c) 54
Gambar 4.2 Hasil XRD Abu Sekam Padi 55
Gambar 4.3 Hasil EDAX Abu Sekam Padi beupa grafik, tabel
komposisi unsur, dan pengambilan foto permukaan 57
Gambar 4.4 Fotomikro SEM Batu Apung dengan pembesaran 100x (a),
200x (b), 500x (c), 1.000x (d), 2.000x (e), dan 5.000x (f) 59
Gambar 4.5 Hasil XRD Batu Apung 61
Gambar 4.6 Hasil EDAX Batu Apung brupa grafik, tabel komposisi,
dan posisi pengambilan Foto 65
Gambar 4.7 Grafik Densitas terhadap Rasio BA/ASP (a) dan Grafik
Kuat Tekan terhadap Densitas sampel kubus 1-7 pada
umur beton 28 hari (b) 68
Gambar 4.8 Diagram batang Kuat tekan beton pada umur 28 hari dari
kubus 1 sampai kubus 7 69
Gambar 4.9 Grafik perbandingan nilai Kuat Tekan terhadap densitas
sampel kubus 1 sampai 7 umur 28 hari 70
Gambar 4.10 Grafik Kuat tekan beton pada umur 3 sampai 28 hari pada
proses pengerasan beton kubus 8-11 72
Gambar 4.11 Grafik nilai slump terhadap Kuat Tekan Umur 28 hari 72
Gambar 4.12 Perbandingan nilai Kuat Tekan terhadap Densitas pada
kubus 8-11 umur beton 28 hari 73
Gambar 4.13 Foto SEM Beton Ringan Umur 7 hari (A), 14 hari (B),
21 hari (C), dan 28 hari (D) pembesaran 20000 x 74
Gambar 4.14 Hasil uji XRD pola difraksi Beton Ringan umur 28 hari 75
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
1
Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Beton merupakan material komposit yang diperoleh dari suatu proses
pencampuran beberapa material, dan air yang mengeras seiring perkembangan
waktu menjadi benda padat. Komposisi beton terdiri dari semen, agregat halus,
agregat kasar, air dan rongga udara. Rongga udara mempunyai pengaruh terhadap
kuat tekan beton. Makin besar volume rongga udara yang terdapat dalam beton
maka kuat tekan beton akan semakin menurun dan sebaliknya makin kecil volume
rongga udara yang terdapat dalam beton maka kuat tekan beton makin bertambah.
Proses pembuatan beton terbentuk dari semen dan air yang menghasilkan pasta
semen yang digunakan untuk mengikat agregat kasar dan agregat halus.
Campuran bahan-bahan pembentukan beton ditetapkan sedemikian rupa, sehingga
menghasilkan beton segar yang mudah dikerjakan dan memenuhi kekuatan tekan
rencana setelah mengeras dan cukup ekonomis. Hingga dekade terakhir ini, beton
telah menjadi salah satu bahan pilihan yang paling utama untuk digunakan dalam
konstruksi bangunan.
Disamping penggunaan beton konvensional yang telah umum digunakan
dalam konstruksi bangunan, ada alternatif lain sebagai pengganti beton
konvensional, yaitu menggunakan agregat ringan atau lightweight aggregate
(LWA), dari segi biaya lebih ekonomis dan dari segi pembebanan lebih ringan,
Beton ringan atau lightweight concrete (LWC) juga disebut beton agregat ringan
atau lightweight aggregate concrete (LWAC) adalah beton yang memiliki berat
jenis (density) lebih ringan daripada beton pada umumnya (beton konvensional).
LWC dapat dibuat dengan berbagai cara, antara lain dengan: menggunakan
agregat ringan (fly ash, batu apung atau Pumice Stone, expanded polystyrene –
EPS, dll), campuran antara semen, silica, pozollan, dll (dikenal dengan nama
aerated concrete) atau semen dengan cairan kimia penghasil gelembung udara
(dikenal dengan nama foamed concrete atau cellular concrete). Tidak seperti
beton biasa, berat LWC dapat diatur sesuai kebutuhan. Pada umumnya berat
LWAC berkisar antara 1600 – 2000 kg/m3. Karena itu keunggulan LWC
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
2
Universitas Indonesia
utamanya ada pada berat, sehingga apabila digunakan pada proyek bangunan
tinggi (high rise building) akan dapat secara signifikan mengurangi berat sendiri
bangunan, yang selanjutnya berdampak kepada perhitungan pondasi.
Keuntungan lain dari LWC antara lain:
Memiliki nilai tahanan panas (thermal insulation) yang baik
Memiliki tahanan suara (peredaman) yang baik
Transportasi mudah
Dapat mengurangi kebutuhan bekisting (formwok) dan perancah
(scaffolding).
LWC memungkinkan Engineering sipil untuk merencanakan alternatif lain
selain penggunaan agregat beton konvensional dan memiliki nilai yang lebih
ekonomis dalam sebuah struktur. Pengurangan beban mati pada struktur dapat
dilakukan dengan menggunakan bentang (longer spans) atau mengurangi bagian
dari elemen struktur itu, dan mengurangi jumlah baja yang diperlukan dan bahkan
dimensi pondasi. Dalam pembuatan LWC memungkinkan juga untuk mengurangi
biaya penempatan dan transportasi. Selain teknis dan kepentingan ekonomi, LWC
dapat diintegrasikan ke dalam proses pembangunan yang berkelanjutan dengan
menggunakan agregat buatan, khususnya yang lebih ringan dari agregat alami, hal
tersebut dapat melestarikan sumber daya alam. Selain itu, berkontribusi
mengurangi volume sampah yang dihancurkan, dan dapat mengoptimalisasi
struktur dengan mengurangi beban mati. Dengan demikian, beton baru ini dapat
mengurangi permasalahan limbah dengan baik.
LWC yang ada memiliki kelemahan yaitu porositas yang besar sehingga
kekuatannya lebih kecil dan lebih mudah berdeformasi dibandingkan dengan
agregat normal. Komponen terlemah dari LWC bukanlah terletak pada semen
sebagai matriksnya atau zona transisi antar muka tetapi terletak pada agregatnya.
Jadi unjuk kerja mekanik LWC tidak hanya dikendalikan oleh kualitas semen
sebagai matriks tetapi juga volume agregat dalam beton dan sifat agregat (Chi
dkk, 2003). Berbagai riset telah dilakukan yang berkenaan dengan studi tentang
perilaku LWC, sehingga Zhang dan Gjorv menunjukkan pengaruh kepadatan
(density) pada LWC terhadap kekuatan mekanik dan mekanisme kegagalan pada
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
3
Universitas Indonesia
high-performance LWC (Zhang dan Gjorv, 1991). Yang dan Huang menyoroti
pentingnya fraksi volume LWC pada kekuatan tekan dan modulus elastis LWC
(Yang dan Huang, 1998). Umumnya, kualitas LWC tidak hanya dilihat dari
densitasnya saja tetapi juga dari sifat mekaniknya. Wasserman dan Bentur
mengadakan penelitian bahwa kepadatan (densitas) agregat yang sama tidak
menghasilkan kekuatan beton yang sama pula (Wasserman dan Bentur, 1997).
LWC unjuk kerja secara mekanik tidak hanya dipengaruhi oleh kualitas
dari semen sebagai matrik saja, tetapi juga dipengaruhi oleh volume dan sifat dari
agregat (Chi dkk, 2003). Banyak penelitian menunjukan bahwa peranan volume
dan sifat sangat penting pada LWC terutama densitas partikelnya, dan
kekuatannya pada unjuk kerja mekanik pada LWC (Ke dkk, 2009; Zang, 1998;
Lydon, 1982; Yang dan Huang, 1998). Secara umum kandungan agregat sekitar
70-80 % dari volume beton. Besarnya volume fraksi beton dan agregat
memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap modulus elastisitas beton dan
berpengaruh juga pada sifat yang lain (Chi dkk, 2003).
Penelitian yang telah dilakukan untuk meningkatkan unjuk kerja secara
mekanik pada LWC dengan menambahkan material lain diantaranya adalah: fly
ash (Chi dkk, 2003), pumice (Failla dkk, 1997; Gunduz, 2005; dan Hanifi Binici,
2007). Oleh sebab itu Peneliti melakukan studi lebih dalam untuk memodifikasi
LWC dengan menambahkan abu sekam padi (ASP) atau rice husk ash (RHA), dan
batu apung (BA) atau pumice, beserta pengaruh penambahan material-material
tersebut tehadap sifat mekaniknya. ASP berasal dari daerah Cianjur dan BA dari
daerah Sukabumi Jawa Barat. Dengan adanya penambahan ASP dan BA pada
LWC diharapkan dapat meningkatkan nilai ekonomis dan sifat mekaniknya serta
dapat meningkatkan nilai tambah ASP dan BA yang selama ini dianggap sebagai
limbah.
1.2. Tujuan Penelitian
Mengeksplorasi lebih dalam tentang pengaruh penambahan material ASP
dan BA atau Pumice pada LWC terhadap sifat mekanik terutama sifat kuat tekan
beton non struktur.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
4
Universitas Indonesia
1.3. Manfaat Penelitian
Dengan adanya menelitian ini harapkan dapat memberikan sumbangsih
terhadap perkembangan IPTEK, khususnya dibidang Materials Science dan
Teknik Sipil. Penelitian ini juga diharapkan dapat membantu untuk memberikan
solusi dalam meningkatkan nilai ekonomis Abu Sekam Padi yang selama ini
dianggap sebagai limbah dan Batu Apung yang kurang pemanfaatannya,
khususnya untuk aplikasi dibidang Teknik Sipil.
1.4. Batasan Masalah
Dalam penelitian ini hanya difokuskan kepada peninjauan sifat mekanik
LWC yang ditambahkan bahan pengisi berupa ASP dan BA saja. Sifat mekanik
yang dimaksud disini adalah sifat kuat tekan untuk LWC non struktur.
1.5. Model Operasional Penelitian
Penulisan dalam penelitian ini terbagi dalam lima BAB, BAB 1 sampai
BAB 5, BAB 1 merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, batasan penelitian dan model operasional
penelitian. BAB 2 merupakan tinjauan pustaka atau studi literatur. BAB 3
merupakan metodologi penelitian yang meliputi proses preparasi sampel,
karakterisasi sample hingga pengamatan dan pengolahan data. BAB 4 berisikan
mengenai data hasil penelitian dan pembahasan. Hasil dan analisa merupakan
hasil interprestasi data yang diperoleh dari hasil karakterisasi sample berdasarkan
hipotesis dan dasar teori pendukungnya. BAB 5 merupakan kesimpulan dan saran.
Kesimpulan sementara yang diperoleh selama penelitian dan saran-saran untuk
memperbaiki proses pembuatan atau memberikan alternative terhadap material
maupun proses yang dilakukan.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
5
Universitas Indonesia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Penggunaan beton dan bahan-bahan vulkanik seperti abu pozzolan sebagai
pembentuknya telah dimulai sejak zaman Yunani dan Romawi, bahkan mungkin
sebelum itu (Nawy, 1985:2-3). Penggunaan bahan beton bertulang secara intensif
dimulai pada awal abad ke sembilan belas. Pada tahun 1801, F. Coignet
menerbitkan tulisannya mengenai prinsip-prinsip konstruksi dengan meninjau
kelembaban bahan beton. Pada tahun 1850, J.L. Lambot untuk pertama kalinya
membuat kapal kecil dari bahan semen untuk dipamerkan pada Pameran Dunia
1855 di Paris. J. Monier, seorang ahli taman dari Perancis, mematenkan rangka
metal sebagai tulangan beton untuk tempat tanamannya. Pada tahun 1886, Koenen
menerbitkan tulisan mengenai teori dan perancangan struktur beton, dan pada
tahun 1906, C.A.P. Turner mengembangkan plat slub tanpa balok. Seiring dengan
kemajuan besar yang terjadi dalam bidang ini terbentuklah German Committee
Reinforce Concrete (GCRC), Australian Concrete Committee (ACC), American
Concrete Institute (ACI), dan British Concrete (BC). Di Indonesia, Departemen
Pekerjaan Umum-Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan (DPU-LPMB)
menerbitkan peraturan-peraturan standar beton yang biasanya mengadopsi
peraturan internasional yang disesuaikan dengan kondisi bahan dan jenis
bangunan di Indonesia.
Struktur beton dapat didefinisikan sebagai bangunan beton yang terletak di
atas tanah yang menggunakan tulangan atau tidak menggunakan tulangan (ACI
318-89, 1990:1-1). Struktur beton sangat dipengaruhi oleh komposisi dan kualitas
bahan-bahan pembentuk beton. Kekuatan tekan beton dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya: perbandingan air terhadap semen (w/c), perbandingan agregat
terhadap semen (a/c), dan usur agregat (gradasi, bentuk, kekerasan, kekuatan,
permukaan, ukuram maximum). Untuk harga w/c yang sama, makin besar a/c
makin tinggi kekuatan beton, karena makin banyak agregat makin banyak air
yang diserap, sehingga w/c efektifnya berkurang.
Beton mempunyai kuat tekan yang besar sementara kuat tariknya kecil. Oleh
karena itu untuk struktur bangunan, beton selalu dikombinasikan dengan tulangan
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
6
Universitas Indonesia
baja untuk memperoleh kinerja yang tinggi. Beton ditambah dengan tulangan baja
menjadi beton bertulang. Kekuatan tekan adalah kemampuan beton untuk
menerima gaya tekan persatuan luas.
Beton terbuat dari agregat halus dan kasar yang diikat bersama pasta semen
akan menjadi campuran beton segar yang kemudian mengeras, maka kualitas
semen sangat mempengaruhi kualitas beton, yang bila semakin tebal tentu
semakin kuat. Beton mengalami deformasi disertai dengan penyusutan akibat
mengeringnya beton seiring dengan bertambahnya waktu pengerasan. Agar
diperoleh hasil yang memuaskan, dibutuhkan pengenalan mendalam mengenai
sifat-sifat yang berkaitan dengan bahan-bahan penyusun beton tersebut. Untuk
mengetahui dan mempelajari perilaku bahan-bahan penyusun beton memerlukan
pengetahuan mengenai karakteristik masing-masing komponen. Parameter-
parameter yang paling mempengaruhi kekuatan beton adalah Kualitas semen,
proporsi semen terhadap campuran, kekuatan dan kebersihan agregat, interaksi
atau adhesi antara pasta semen dengan agregat, penyelesaian dan pemadatan beton
yang benar, perawatan beton, dan kandungan klorida tidak melebihi 0,15% dalam
beton yang diekspos dan 1% bagi beton yang tidak diekspos (Nawy, 1985:24).
Nilai kuat tekan beton dengan kuat tariknya tidak berbanding lurus. Setiap
usaha perbaikan mutu kekuatan tekan hanya disertai oleh peningkatan kecil dari
kuat tariknya. Nilai kuat tarik berkisar antara 9%-15% kuat tekannya. Kecilnya
kuat tarik beton ini merupakan salah satu kelemahan dari beton biasa, untuk
mengatasinya beton dikombinasikan dengan baja tulangan. Pendekatan hitungan
dilakukan dengan menggunakan modulus of rapture, yaitu tegangan tarik beton
yang muncul saat pengujian tekan beton normal (Mulyono T., 2005).
Setelah perancangan beton selesai, dilakukan pengujian lanjutan beton segar
dan pengujian beton keras. Pengujian beton segar dimaksudkan untuk mengetahui
workability atau kemudahan dalam pengerjaannya. Indikator dari kemudahan
pengerjaan ini dapat dilihat dari nilai slump beton. Tujuan pengujian beton segar
lainnya adalah untuk melihat apakah terjadi bleeding dan segregation atau tidak.
Sedangkan pengujian beton keras terutama dimaksudkan untuk mengetahui
kekuatan tekan. Pengujian ini dilakukan dengan membuat benda uji berbentuk
silinder atau berbentuk kubus yang pada umur tertentu diuji.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
7
Universitas Indonesia
Beton dapat juga digunakan untuk struktur yang memerlukan bahan yang
ringan, misalnya beton ringan struktural (DPU-LPMB SKBI.1.4.53,1989:5) yaitu
beton yang mengandung agregat ringan dan mempunyai density sesuai dengan
standar ASTM (America Society For Testing And Material) C-567.
2.1. Beton Ringan atau Lightweight Concrete (LWC)
Pada tahap awal dalam merancang sebuah proyek bangunan, sifat bahan
konstruksi harus dievaluasi dengan baik. Oleh karena itu, muncul kebutuhan
untuk menganalisis bahan-bahan untuk digunakan dalam konstruksi secara
eksperimental dengan lebih rinci. Hal ini merupakan inti dari kegiatan awal
merancang sebuah proyek bangunan (Gunduz dan Ugur, 2005). Jadi, secara
umum, sebelum merekomendasikan material untuk aplikasi tertentu (baik
struktural atau non-struktural) maka diperlukan studi tentang karakteristik
mekanik pada material itu sendiri (Babu dkk, 2005). Sebagai Salah satu alternatif
yang dewasa ini telah luas digunakan sebagai komponen dari bangunan sipil
adalah LWC yang dibuat dari campuran lightweight aggregate (LWA), yaitu
beton yang mempunyai massa kering udara sesuai dengan syarat pada ―Testing
Method for Unit Weight of Structural Lightweight Concrete” ASTM C-567
dimana densitynya tidak lebih dari 1900 kg/m3. Penggunaan LWA dalam
pembuatan LWC dikarenakan LWA memiliki konduktivitas thermal rendah dan
dari segi pembiayaan produksi blok beton ringan dapat lebih ekonomis. LWA
dapat diproses menggunakan bahan alami, baik yang diproses lebih lanjut maupun
yang tidak. LWA memiliki jumlah rongga yang besar didalamnya, sehingga bila
digunakan untuk pembuatan LWC akan memiliki efisiensi isolasi thermal yang
relatif lebih tinggi jika dibandingkan beton normal.
Pada LWC memiliki keunggulan berupa beratnya yang ringan, dan isolasi
thermal yang baik, tetapi memiliki kelemahan berupa sifat mekanik yang relatif
rendah, sehingga hanya cocok digunakan sebagai non-load bearing walls (Al-
Jabri dkk, 2005). Keunggulan lainnya pada LWC adalah dalam hal mengurangi
beban mati pada struktur dan beban lateral gempa.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
8
Universitas Indonesia
Aplikasi LWC atau LWAC dalam bidang teknik sipil secara umum
digunakan untuk struktural dan non-struktural, serta sebagai pengisi atau untuk
komoponen isolasi panas dan suara seperti panel, bata, partisi serta beban bantalan
elemen struktural (Asgeirsson dan Lettsteypur, 1984).
Ada dua parameter utama yang menentukan sifat mekanik LWC yaitu
densitas dan rasio w/c. Oleh karena itu untuk rasio w/c yang konstan, dengan
menggunakan LWA yang memiliki nilai berat jenis yang tinggi akan
menghasilkan tingkat kekuatan yang lebih tinggi pula. Sifat mekanik yang paling
utama dari LWC disini adalah sifat kekuatan tekan. Kekuatan tekan pada LWC
dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain kualitas dan ukuran agregat (besar,
menengah dan halus), komposisi beton, dan kondisi pengerasan.
Ke dkk (2009) mengadakan studi tentang estimasi kualitas agregat
didasarkan pada pengukuran berbagai karakteristik fisik dan pengamatan struktur
porinya. Tujuan dari studi ini adalah untuk memberikan pemahaman yang lebih
baik tentang pengaruh karakteristik LWA terhadap kuat tekan dan modulus
elastisitas dari beton. Pada penelitiannya digunakan sampel dengan variasi
agregat dan densitasnya yang ditampilkan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Variasi sampel terhadap density (Ke dkk, 2009)
Name Various densities Intergranular porosity
ρv(kg/m3) ρssd(kg/m
3) ρrd(kg/m
3) 1-ρv/ ρrd
0/4 650 A
0/10 550 A
0/10 430 A
0/10 520 S
0/10 675 S
0/8 750 S
600,5
560,3
454,7
493,4
729,0
877,7
1223,2
1137,6
878,2
1033,6
1578,2
1714,1
926,8
921,2
736,9
900,6
1433,6
1576,9
0,35
0,39
0,38
0,45
0,49
0,44
Untuk sampel yang dibuat ada 6 variasi dimana angka pertama
menunjukan rentang ukuran d/D, angka yang kedua mengindikasikan densitas
sampel dan huruf terakhir mengindikasikan : A untuk clay dan untuk S adalah
butiran dari agregatnya. Pada tabel 2.1 untuk ρssd adalah saturated-surface-dried-
density, ρrd adalah densitas partkel kering dan ρv adalah bulk density. Sedangkan
untuk pengukuran porositas terhadap sampel agregat yang dibuat ditampilkan
pada Tabel 2.2.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
9
Universitas Indonesia
Tabel 2.2. Porositas pada variasi sampel yang digunakan (Ke dkk, 2009)
0/4 650 A
0/10 550 A
0/10 550 A
0/10 520 S
0/10 675 S
0/8 750 S
Total porosity Water open porosity after 20 days immersion (%) Water porosity/Total porosity
Dry particle density
64 41,7 65,16 0,93
65 31,3 48,15 0,92
72 20,6 28,61 0,74
65 13,5 20,77 0,90
45 16,5 36,67 1,43
39 17,35 44,48 1,58
Hasil pengukuran kekuatan tekan terhadap variasi sampel terhadap densitas
yang digunakan dalam penelitian ini (Ke dkk, 2009) seperti terlihat pada Gambar
2.1.
Gambar 2.1. Grafik korelasi antara kekuatan tekan terhadap densitas pada
fraksi volume LWA beberapa variasi sampel yang digunakan
(Ke dkk, 2009)
Sedangkan hasil pengukuran kekuatan tekan pada variasi sampel terhadap
densitas setelah dikeringkan dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2. Grafik hubungan antara kekuatan tekan dan densitas sampel
yang telah dikeringkan (Ke dkk, 2009)
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
10
Universitas Indonesia
Pada penelitian Ke dkk (2009) didapatkan kesimpulan bahwa untuk agregat
yang densitasnya dibawah 1000 kg/m3
yaitu pada sampel 0/4 650 A, 4/10 550 A,
4/10 430 A dan 4/10 520 S memiliki kekuatan tekan yang sangat dipengaruhi oleh
fraksi volume agregatnya. Sedangkan untuk sampel 4/10 675 S dan 4/8 750 S
yang memiliki densitas 1430 kg/m3
dan 1570 kg/m3, kenaikan fraksi volume tidak
mengurangi kekuatan tekan pada LWC.
Chi dkk (2003) mengadakan penelitian tentang pengaruh karakteristik
agregat terhadap kekuatan dan kekakuan pada LWC. Pada penelitiannya
digunakan Portland cement dengan specific gravity 3,15 pada semua campuran,
dan digunakan agregat dari pasir kali dengan specivic gravity dan ukuran
maksimumnya 4 mm sebanyak 1,8 %. Bentuk specimen uji mengacu kepada
ASTM C192, sedangkan prosedur pengujiannya mengacu kepada ASTM C39.
Penelitian ini menghasilkan data tentang kekuatan tekan pada beberapa tipe
agregat terhadap beberapa variasi rasio air dan semen yang ditampilkan pada
Tabel 2.3 dan Gambar 2.3. Sifat dari tipe agregat ditampilkan pada Tabel 2.4.
Sedangkan hasil penelitian tentang pengaruh fraksi volume terhadap kekuatan
tekan dan rasio air/binder ditampilkan pada Gambar 2.4.
Tabel 2.3. Kekuatan tekan (MPa) pada beberapa tipe agregat ringan terhadap
beberapa variasi rasio air dan semen (Chi dkk, 2003)
Aggregate type
Volume fraction (%)
w/b= 0,3 (A1)
w/b= 0,4 (A2)
w/b= 0,5 (A3)
I (B1)
III (B2)
III (B3)
18 (C1) 24 (C2) 30 (C3) 36 (C4)
18 (C1) 24 (C2) 30 (C3) 36 (C4)
18 (C1) 24 (C2) 30 (C3) 36 (C4)
41,7 37,5 35,0 31,8
43,9 41,2 38,7 35,6
48,2 47,4 45,8 42,6
32,6 29,5 27,6 23,0
27,3 33,4 30,4 28,4
38,3 37,6 38,9 37,5
29,8 25,7 23,3 21,3
27,4 26,3 24,6 21,5
31,2 29,5 27,7 29,7
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
11
Universitas Indonesia
Tabel 2.4. Sifat dari agregat yang digunakan (Chi dkk, 2003)
Aggregate
type
Specific
grafity
(SSD)
Specific
grafity
(OD)
Water
absorption
(%)
Bulk unit
weight(AD)
(kg/m3)
Crushing
value
(%)
Particle
strength
(MPa)
I
II
III
1,65
1,69
1,76
1,23
1,29
1,44
34,4
30,5
20,8
857
952
972
43,9
36,1
31,6
6,01
7,53
8,57
Gambar 2.3. Pengaruh rasio air/binder terhadap kekuatan tekan pada
beberapa tipe agregat (Chi dkk, 2003)
Gambar 2.4. Pengaruh fraksi volume terhadap kekuatan tekan dan rasio
air/binder (Chi dkk, 2003)
20
25
30
35
40
45
50
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5
Co
mp
ress
ive
stre
ngt
h (
MP
a)
Water/binder ratio
Aggregate typeType IType IIType III
20
25
30
35
40
45
50
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5
Co
mp
ress
ive
stre
ngt
h (
MP
a)
water/binder ratio
Volume fractionVF=18%VF=24%VF=30%VF=36%
0.30 0.35 0.40 0.45 0.50 0.25
0.30 0.35 0.40 0.45 0.50 0.25
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
12
Universitas Indonesia
Dari penelitian yang dilakukan Chi dkk (2003) dapat disimpulkan bahwa
pada LWC penggunaan rasio air/binder dan sifat LWA sangat mempengaruhi
kekuatan tekan LWC itu sendiri.
Beton dengan substitusi batu apung dapat digolongkan sebagai LWC.
Substitusi parsial atau mengganti sebagian agregat kasar normal dengan agregat
ringan batu apung pada beton dapat dijadikan penyelesaian permasalahan density
agregat kasar yang besar yaitu sekitar 1200-1700 kg/m3.
LWC merupakan salah satu bagian dari beton ringan selain aerated
lightweight concrete dan no fine lighweight concrete. LWC dapat dibuat dari
agregat ringan yang berasal dari a) agregat ringan produk industri misalnya
furnace bottom ash, furnace klinker, b) agregat ringan natural misalnya batu
apung dan scoria, c) agregat ringan artifisial misalnya slag, expand shale,expand
clay, perlite dan vermiculite. Menurut ACI 213R-87 (ACI Committee 213R-87,
1999) terdapat tiga jenis LWC berdasarkan density, yaitu: a) LWC kepadatan
rendah dengan density kering udara 400 – 800 kg/m3 dan kuat tekan antara 0,69–
6,89 MPa. Agregat ringan yang digunakan antara lain vermiculite dan perlite. b)
LWC kekuatan moderat dengan density kering udara 800–1400 kg/m3 dan kuat
tekan antara 6,89–17,24 MPa. Agregat ringan yang digunakan antara lain batu
apung dan scoria. c) LWC struktural dengan density kering udara 1440 – 1850
kg/m3 dan kuat tekan lebih besar dari 17,24 MPa. Agregat ringan yang digunakan
antara lain pumice stone, slag, clay dan slate.
Bulk Density atau density LWC bervariasi tergantung pada density agregat,
kadar semen dan factor air-semen. Secara umum density LWC akan naik jika
density agregat dan kadar semen meningkat, tetapi akan menurun jika faktor air-
semen meningkat. Density LWC juga sangat berpengaruh pada sifat-sifat mekanik
yang dihasilkan yaitu kuat tekan dan kuat tarik. LWC dengan density rendah akan
sukar dipadatkan sehingga segregasi yang terjadi menyebabkan rendahnya kuat
tekan dan kuat tarik. Penentuan density LWC berdasarkan standar ASTM C567-
91 (ASTM C567-91, 1996). Menurut Satish dkk. (Chandra Satish and Berntsson
Leif, 2002), density LWC terbagi menjadi density tinggi antara 1550-1850 kg/m3
dan density menengah antara 800–1550 kg/m3. Menurut ACI 213R-87 (ACI
Committee 213R-87, 1999) terdapat tiga density LWC yaitu: a) density rendah
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
13
Universitas Indonesia
antara 400–800 kg/m3. b) density menengah antara 800–1400 kg/m3 dan c)
density tinggi antara 1440–1850 kg/m3.
Dionisius dkk (Dionisius Tripriyo, dkk., 2010) melaporkan bahwa kadar
optimum substitusi parsial batu apung pada beton agregat ringan batu apung
adalah 20% dari berat agregat kasar dengan kuat tekan dan kuat tarik belah
sebesar 39,24 MPa dan 4,05 MPa. Kondisi campuran beton agregat ringan
memerlukan tambahan 20% fly ash, additive sika Ln 1,5% dan sika Vz 0,4%
dengan permukaaan batu apung dilapisi pasta semen. Sedangkan, density beton
agregat ringan batu apung adalah 1850 kg/m3 lebih ringan 22% daripada beton
agregat normal.
Joedono (Joedono, 2006) melaporkan bahwa dimensi agregat maksimum 15
mm, baik agregit kasar batuan piroklastik merah maupun batu apung
menghasilkan kuat tekan rnaksimum, yaitu 24, 26 Mpa dan 7,7 T Mpa. Modulus
elastisitas untuk beton batuan piroklastik merah tertinggi diperoleh pada ukuran
maksimum 15 mm 19366,26 Mpa Modulus elastisitas beton batu apung tertinggi
diperoleh pada diameter maksimum 25 mm yaitu sebesar 6691.542 Mpa. Hasil
pengujian kuat tarik belah untuk beton dengan agregat kasar batuan piroklastik
mempunyai tren yang teratur bila dibandingkan beton batu apung yang cenderung
naik-turun tidak beraturan.
Uma Ramasamy dan Paul Tikalsky (2012) melaporkan hasil penelitiannya
tentang beton yang menggunakan batu apung sebagai bahan campuran semen
porland. Kuat tekan beton adalah salah satu pertimbangan utama dalam desain
campuran beton. Menurut ASTM C39, kuat tekan silinder ukuran 4"x8" diuji
dengan nilai yang berbeda dari batu apung sebanyak lima campuran yang biasa
digunakan untuk spesifikasi 4 ksi. Lima campuran termasuk 100% semen (ASTM
Tipe II / V), 20% dari DS200, DS325, batu apung ultrafine dengan 80% semen
dan 30% DS325 dengan 70% semen dengan rasio w/c 0.485. Hasil uji kuat tekan
ditunjukkan pada Gambar. 10.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
14
Universitas Indonesia
Gambar 2.5 Hasil Uji Kuat Tekan Beton Silinder Ukuran 4"x8" (Uma
Ramasamy dan Paul Tikalsky, 2012)
Campuran yang mengandung batu apung mencapai kuat tekan lebih rendah
dibandingkan dengan campuran 100% semen porland. Namun, kekuatan
minimum pada usia 7 hari lebih besar dari 3000 psi dan pada usia 28 hari ini lebih
besar dari 4500 psi. Campuran yang mengandung batu apung ultrafine mencapai
kekuatan awal tinggi dibandingkan dengan campuran yang mengandung DS200
dan DS325. Tren ini didukung oleh hasil dari perilaku hidrasi semen ketika
dicampur, di mana campuran batu apung ultrafine menunjukkan karakteristik
hidrasi cepat. Campuran 80C20DS200 mencapai lebih tinggi kekuatan pada 7 dan
28 hari dibandingkan dengan campuran 80CDS325 yang menunjukkan perbedaan
perilaku hidrasi yang ditunjukkan oleh nilai yang berbeda dari batu apung.
Kawkab H. dkk (2008) melaporkan hasil penelitian sifat mekanik beton
agregat ringan menggunakan batu apung lokal (tersedia di utara Iraq) untuk
produksi beton struktur agregat ringan. Dalam penelitian ini, dua jenis beton
ringan diproduksi menggunakan batu apung sebagai agregat kasar dengan pasir
alam dan juga dengan batu apung sebagai agregat halus, diselidiki efek
menggunakan Superplasticizer: High Range Water Reducing Admixture
(HRWRA) ditambah dengan 8% abu sekam padi sebagai pengganti sebagian berat
semen, pada sifat mekanik beton ringan. Pengujian yang dilakukan antara lain
adalah kekuatan tekan dan kekuatan tarik belah untuk semua jenis beton agregat
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
15
Universitas Indonesia
ringan dan pada berbagai usia curing. Pada campuran yang menggunakan 8% abu
sekam padi, dengan dosis optimum HRWRA (6% berat semen) menunjukkan
peningkatan yang cukup sifat mekanik pada semua umur dibandingkan dengan
referensi beton.
HRWRA adalah salah satu jenis superplasticizer sulfonasi melamin
formaldehid kondensat, yang dikenal secara komersial sebagai Melment L10,
digunakan selama penelitian ini sebagai kisaran tinggi air mengurangi campuran.
Supperplasticizer digunakan untuk menghasilkan beton mutu tinggi dengan
mengurangi rasio w/c, dengan slump 50 ± 5 mm, untuk referensi campuran beton.
Hasil menunjukkan bahwa secara umum, semua spesimen beton
memperlihatkan peningkatan kuat tekan pada berbagai usia. Gambar 2.6
menunjukkan bahwa kuat tekan LWAC menurun dengan penambahan batu apung
agregat halus sebagai pengganti total pasir alam. Penyebab utama adalah bahwa
penambahan agregat halus batu apung untuk LWAC meningkatkan kebutuhan air
untuk campuran agar mendapatkan kemampuan kerja yang cocok dan sebagai
hasilnya, kekuatan berkurang. Persentase penurunan 28-hari kuat tekan beton
Ref2 dibandingkan dengan Ref1 beton (tanpa agregat halus batu apung) adalah
4,39%. Persentase peningkatan kuat tekan pada 90 hari curing RHA-HRWRA1
dan beton RHA-HRWRA2 relatif terhadap referensi beton yang masing-masing
7.76% dan 12,8%.
Gambar 2.6 Kuat tekan berbagai jenis LWAC pada berbagai usia (Kawkab
H. dkk, 2008)
16
18
20
22
24
26
28
30
32
34
36
38
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Co
mp
ress
ive
stre
ngt
h (
N/m
m2
)
Age (days)
Ref1 concrete
RHA-HRWRA1 concrete
Ref2 concrete
RHA-HRWRA2
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
16
Universitas Indonesia
2.2 Portland Cement (PC)
Semen adalah bahan yang bersifat adhesif maupun kohesif, yaitu bahan
pengikat. Semen Portland pertama kali diproduksi dipabrik oleh David Saylor di
Coplay Pennsylvania, Amerika Serikat pada tahun 1875. Menurut ASTM C-
150,1985, definisi semen Portland yaitu semen hidrolik yang dihasilkan dengan
cara menghaluskan klinker yang terutama terdiri dari kalsium silikat hidrolik,
yang umumnya mengandung satu atau lebih bentuk kalsium sulfat sebagai bahan
tambahan yang digiling bersama-sama dengan bahan utamanya. Fungsi semen
untuk bereaksi dengan air menjadi pasta semen. Pasta semen berfungsi untuk
merekatkan butir-butir antar agregat agar terjadi suatu massa yang kompak/padat.
Selain itu pasta semen juga untuk mengisi rongga-rongga antara butir-butir
agregat. Walaupun volume semen kira-kira 10 persen dari volume beton, namun
karena bahan perekat yang aktif dan mempunyai harga paling mahal dari bahan
dasar beton yang lain maka peranan semen menjadi sangat penting. Sedangkan
agregat tidak memainkan peranan yang penting dalam reaksi kimia tersebut, tetapi
berfungsi sebagai bahan pengisi mineral yang dapat mencegah perubahan-
perubahan volume beton setelah pengadukan selesai dan memperbaiki keawetan
beton yang dihasilkan.
Pada umumnya beton mengandung rongga udara sekitar 1% - 2%, pasta
semen (semen dan air) sekitar 25% - 40%, agregat halus dan kasar sekitar 60% -
75% (PB 1989). Untuk mendapatkan kekuatan yang baik, sifat dan karakter dari
masing-masing material penyusun tersebut perlu dipelajari. Semen merupakan
hasil industri yang sangat kompleks, dengan campuran serta susunan yang
berbeda-beda. Semen dapat dibedakan jadi dua kelompok, yaitu semen hidrolik
dan non hidrolik.
Bahan-bahan utama penyusun semen Portland adalah Kapur (CaO), Silika
(SiO2), Oksida Besi (Fe2O3), dan Alumina (Al2O3). Ada 2 sifat utama semen
Portland yaitu sifat fisika diantaranya kehalusan butir, waktu pengikatan, kekuatan
tekan, pengikatan semu, panas hidrasi, dan hilang pijar. Berikutnya sifat kimia
meliputi kesegaran semen, sisa yang tak larut dan yang paling utama adalah
komposisi syarat yang telah ditentukan.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
17
Universitas Indonesia
2.2.1 Reaksi Hidrasi
Ketika air ditambahkan ke dalam campuran semen, proses kimiawi yang
disebut hidrasi akan berlangsung. Senyawa kimia di dalam semen akan bereaksi
dengan air dan membentuk komponen baru yang disebut pasta semen, yang
mempunyai kekentalan tinggi dan akhirnya menjadi pasta yang mengeras yang
mempunyai kekuatan mekanik yang tinggi.
Ada 2 mekanisme hidrasi semen yaitu mekanisme larutan dan mekanisme
padat. Pada mekanisme larutan, zat yang direaksikan larut dan menghasilkan
ion dalam larutan. Ion-ion ini kemudian akan bergabung sehingga
menghasilkan zat yang menggumpal (flocculate). Pada semen, proses hidrolisis
lebih dominan dari pada larutan, karena daya larut senyawa yang ada kecil.
Pada Tabel 2.5 terlihat hasil reaksi hidrasi senyawa semen.
Tabel 2.5. Reaksi hidrasi senyawa semen
Senyawa yang bereaksi Komponen yang dihasilkan
Trikalsium Silikat + Air Gel Tobermorit + Kalsium Hidroksida
Dikalsium Silikat + Air Gel Tobermorit + Kalsium Hidroksida
Tetrakalsium Aluminoferrit + Air +
Kalsium Hidroksida
Kalsium Aluminoferrit Hidrat
Tetrakalsium Aluminat + Air + Kalsium
Hidroksida
Tetrakalsium Aluminat Hidrat
Tetrakalsium Aluminat + Air + Gypsum Kalsium Monosulfoaluminat
Semen bertindak sebagai pengikat ketika bereaksi dengan air untuk
membentuk struktur yang dominan terdiri dari Kalsium Silikat Hidrat (CSH),
yang tumbuh membentuk struktur berbentuk pelat sebagai produk dari hidrasi.
Pada tahap awal proses hidrasi, struktur masih belum begitu padat, yang ditandai
oleh adanya pori-pori atau rongga. Mekanisme hidrasi dapat dianalisis melalui
pertumbuhan strukturmikro pasta semen pada waktu yang berbeda selama proses
hidrasi. Porositas berkurang seiring bertambahnya waktu hidrasi, hal tersebut
dikarenakan adanya pertumbuhan kristalit CSH seiring bertambahnya waktu
hidrasi. Evolusi mikrostruktur dari CSH pada pasta semen di hari ke 7, 28 dan 56
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
18
Universitas Indonesia
untuk 100% semen Portland yang dikarakterisasi menggunakan SEM ditampilkan
pada Gambar 2.7 (A. Manaf, and V. Indrawati, 2011)
Gambar 2.7 Evolusi mikrosktuktur CSH pada komposisi 100 wt% semen Portland
selama proses hidrasi sampai 56 minggu (A. Manaf, and V.
Indrawati, 2011)
Hasil SEM pada campuran 100wt% Portland semen Gambar 2.7
menunjukkan bahwa struktur CSH mulai mengembang atau tumbuh pada waktu
awal dan terus berkembang sampai struktur lebih padat dari CSH hadir pada akhir
waktu (56 hari). Struktur yang padat membuat beton lebih tahan lama karena
tahan terhadap serangan lingkungan.
Menurut Alizadeh, Beaudoin dan Raki (2011) CSH merupakan produk
utama dari proses hidrasi pada semen Portland, dimana senyawa ini betanggung
jawab penuh dan memiliki peranan penting terhadap pengaturan sifat mekanik dan
fisik seperti kekuatan dan penyusutan setelah pasta semen mengeras. Proses
desorption air pada semen Portland berpengaruh terhadap modulus elastisitasnya
terutama akan signifikan ketika tingkat kelembaban relatif sekitar di bawah 11%,
seperti pada Gambar 2.8
Hasil yang didapat seperti pada Gambar 2.8 terkait sekali dengan
keberadaan dan kondisi dari CSH yang ada pada semen Portland. Parameter
utama yang mengontrol pembentukan berbagai struktur CSH adalah rasio molar
antara CaO dan SiO2 (C/S ratio), tetapi studi yang mempelajari pengaruh ratio
C/S terhadap sifat mekanik pada CSH masih terbatas.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
19
Universitas Indonesia
Gambar 2.8 Pengaruh proses desorption air terhadap modulus elastisitas
pada semen Portland untuk (a) W/C = 0,3 dan (b) 0,4
(Alizadeh, Beaudoin dan Rakim, 2011)
Pada penelitian ini variasi ratio C/S dan poroitas dilakukan untuk
mendapatkan informasi terkait dengan sifat mekaniknya seperti ditapilkan pada
Gambar 2.9. Meningkatnya presentasi porositas pada sampel akan menurunkan
modulus elestisitas untuk semua ratio C/S. Dari Gambar 2.9 menunjukkan bahwa
pada tingkat porositas yang lebih tinggi, nilai-nilai E pada C/S = 0,8 lebih besar
jika dibandingkan dengan nilai E pada rasio C/S lainnya.
Gambar 2.9 Pengaruh variasi komposisi ratio C/S dan porositas terhadap
modulus elastisitas (Alizadeh, Beaudoin dan Rakim, 2011)
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
20
Universitas Indonesia
2.2.2 Hidrasi C3S dan C2S
Kalsium Silikat akan terhidrasi menjadi gel kalsium silikat hidrat (gel
tobelmorite) yang disingkat gel CSH dan kalsium hidroksida yang dihasilkan
akan membuat sifat basa kuat (PH = 12,5). Ini menyebabkan semen sensitif
terhadap asam dan akan mencegah timbulnya korosi pada besi baja. Dalam
bentuk kesetimbangan reaksi hidrolisis antara senyawa C3S dan C2S
ditampilkan pada diagram fasa Gambar 2.10 dibawah ni.
Sistem alir CaO – SiO2 – H2O
Gambar 2.10. Diagram Fasa hidrasi semen (Taylor, 1997)
Sebagai gambaran proses kimia hidrasi C3S dan C2S sebagai berikut :
2(3CaO.SiO2) + 6H2O 3CaO.2SiO2.3H2O + 3Ca(OH)2
2C3S + 6H C-S-H gel + 3CH
Trikalsium Silikat gel tobermorite Kalsium hidroksida
2(2CaO.SiO2) + 4H2O 3CaO.2SiO2.2H2O + Ca(OH)2
2C2S + 6H C-S-H gel + CH
Dikalsium Silikat gel tobermorite Kalsium hidroksida
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
21
Universitas Indonesia
2.2.3 Hidrasi C3A
Hidrasi C3A terjadi secara mendadak dengan disertai pengeluaran panas
yang banyak. Akan terbentuk kristal kalsium aluminat hidrat yang
menyebabkan pengerasan (hardening) dari pasta semen. Kejadian ini disebut
Flash set atau quick set. Itu sebabnya perlu ditambahkan gypsum pada waktu
penggilingan klinker, untuk memperkecil reaktivitas C3A.
Proses kimia hidrasi C3A sebagai berikut :
3CaO.Al2O3 + 10H2O + CaSO4.2H2O 3CaO.Al2O3.CaSO4.12H2O
Trikalsium aluminat Gypsum Ettringite
3CaO.Al2O3 + 12H2O + Ca(OH)2 3CaO.Al2O3.Ca(OH)2.12H2O
Trikalsium aluminat Kalsium aluminat hidrat
C3A dan gypsum akan bereaksi lebih dahulu, menghasilkan kalsium
sulfoaluminat. Kristal yang berbentuk jarum disebut Ettringite. Ettringite
memblokir air dari permukaan C3A sehingga menunda hidrasi. Setelah gypsum
bereaksi semua, barulah akan terbentuk kalsium aluminat hidrat.
2.2.4 Hidrasi C4AF
Pada tahap awal, C4AF bereaksi dengan gypsum dan kalsium hidroksida
membentuk kalsium sulfo-aluminat hidrat dan kalsium sulfo-ferrit hidrat yang
kristalnya berbentuk jarum, seperti reaksi kimia berikut :
3CaO.Al2O3.Fe2O3 + 10H2O + 2Ca(OH)2 6CaO.Al2O3.Fe2O3.12H2O
Tetrakalsium alumino-ferrit Kalsium Aluminoferrit hidrat
Kecepatan reaksi hidrasi maksimum pada tahap awal dan kemudian
menurun terhadap waktu. Ini disebabkan makin terbentuknya lapisan gel CSH
pada kristal semen. Makin tebal lapisan semakin lambat hidrasi. Secara teoritis,
proses hidrasi akan terhenti apabila tebal lapisan mencapai 25 mikron. Semen
porland pada umumnya memiliki ukuran kristal antara 5 hingga 50 mikron.
Proses hidrasi semen memerlukan air sebanyak 20% dari berat semen (faktor
air- semen : w/c = 0,2) (PB 1989).
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
22
Universitas Indonesia
2.2.5 Kinetika Hidrasi Semen
Studi tentang kinetika hidrasi dari semen ketika dicampur dengan air telah
dilakukan oleh banyak peneliti. Mekanisme kinetika hidrasi dapat di identifikasi
melalui pengukuran selama proses evolusi panas selama hidrasi. Model hidrasi
dari semen Portland dan campuran semen menggunakan suplementary cementing
materials (SCMs) telah banyak dilakukan peneliti (G. De Schutter, 1995, A.K.
Schindler, K.J. Folliard, 2005, Klaus Meinhard, Roman Lackner, 2008, K. Fuji,
W. Kondo, 1974, O. Bernard et al, 2003). Ide dasar dari mekanisme hidrasi semen
adalah sebagai berikut (Judarta Vera Indrawati, 2009):
1. Hidrasi dari semen merupakan proses eksotermis dan melepaskan panas
yang biasa disebut dengan hidrasi panas.
2. Derajat kebebasan dari hidrasi, dibentuk sebagai fraksi dari hidrasi panas
yang telah dilepaskan.
3. Mekanisme hidrasi meliputi empat tahap yaitu: disolusi, induksi, nukleasi,
dan difusi
4. Hidrasi semen Portland umumnya berhubungan dengan hidrasi dari
masing-masing fase mineral semen diantaranya C3S, C2S, C3A, dan C4AF
yang umumnya kalsium silika dan membentuk silika kalsium hidrat
selama proses reaksi.
5. Penggunaan SCMs untuk menghasilkan campuran semen berhubungan
dengan reaksi pozzolanik antara SCMs dan Ca(OH)2 dari hidrasi semen
Portland. Reaksi ini memberikan kontribusi adanya panas spesifik dari
masing-masing SCMs. Berdasarkan SCMs yang ditemukan di Jepang,
Kishi dan Mackawa menyarankan bahwa untuk fly ash (Ca=8.8% dan
CaO=48.1%) adalah 209 J/g, sedangkan untuk blast furnace slag GGBF
(CaO=43.3% dan SiO2=31.3%) adalah 461 J/g.
Model hidrasi dari semen Portland dimulai dengan konsep kontinuitas periode
induksi singkat diikuti dengan nukleasi dan terakhir adalah proses difusi. Proses
nukleasi telah disimulasikan menggunakan model Avrami (Judarta Vera
Indrawati, 2009).
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
23
Universitas Indonesia
Parameter-parameter kinetik diaplikasikan dan diplot menjadi model dari
hidrasi semen. Model teoritis ini sesuai dengan derajat hidrasi yang berasal dari
pengukuran pelepasan panas. Model yang berasal dari hasil eksperimen ini
dihitung berdasarkan x. Nilai dari x sebesar 0,3 dan 0,6 dapat digunakan sebagai
referensi untuk kinetika hidrasi semen. Nilai dari x hasil eksperimen sebesar 0,6
menghasilkan derajat hidrasi maksimum sebesar 0,8. Pengembangan model untuk
semen campuran menghasilkan perbedaan pola morfologi untuk setiap umur
pembuatan. Senyawa Alumunium di dalam tanur bereaksi membentuk produk
alumunium. Pelepasan panas diukur berdasarkan perbedaan laju dari aliran panas.
Pelepasan panas selama hidrasi dari campuran semen tidak hanya berasal dari
mineral klinker tetapi juga senyawa alumunium di dalam slag. Sementara itu
hidrasi semen dibatasi oleh difusi. Semen terhidrasi ditentukan oleh difusi
pelarutan ion melalui lapisan hasil hidrasi yang terbentuk di sekitar klinker. Studi
dari semen hasil slag pada tanur tinggi menyimpulkan bahwa hidrasi slag dibatasi
oleh peluruhan secara eksponensial sebagai fungsi waktu.
Hidrasi semen yang menyebabkan terjadinya filler dengan ukuran besar
(high filler). Isi dari high filler sering digunakan di dalam proses produksi semen.
Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari masalah kelebihan panas selama
proses pengerasan semen. Terdapat dua macam jenis filler, yaitu limestone and
quartz. Secara umum, filler jenis limestone sangat dipengaruhi oleh waktu induksi
sehingga mekanisme hidrasi pun akan terpengaruh. Sedangkan untuk filler jenis
quarsa tidak dipengaruhi oleh waktu induksi. Namun beberapa hasil studi
menunjukan bahwa perubahan mekanisme hidrasi tidak begitu jelas teridentifikasi
(Judarta Vera Indrawati, 2009). Beberapa hasil studi menyatakan bahwa:
1). penambahan material filler khususnya limestone kemampuan kinetis material
akan meningkat, waktu dormant berkurang dan proses hidrasi dalam satu jam
akan mengalami percepatan.
2). partikel-partikel filler bertindak sebagai sites dari nukleasi heterogen untuk
pengendapan lebih atau kurang dari hasil hidrasi yang terkristalisasi, dalam proses
ini hidrasi dapat dipercepat (Judarta Vera Indrawati, 2009).
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
24
Universitas Indonesia
2.3. Abu Sekam Padi (ASP) atau Rice Husk Ask (RHA)
Abu sekam padi dibuat dengan membakar sekam padi dalam tungku suhu
terkontrol untuk mendapatkan bahan pozzolan dengan kandungan tinggi silika
amorf dan jumlah minimum karbon yang tidak terbakar. Umumnya kondisi
pembakaran optimum adalah 500 0C selama 2 jam (AL-Khalaf, M.N., dan Yousif,
H.A., 1984). Sebuah pabrik penggilingan dilakukan penggilingan RHA untuk
jangka waktu 15 jam untuk masing-masing 0,5 kg RHA.
RHA sebagai material tambahan campuran beton memiliki kemampuan
untuk mengurangi kerusakan (cacat) dan segresi, dapat meningkatkan unjuk kerja
secara signifikan (Mehta, P. K., 1983), hal ini terutama disebabkan oleh luas
permukaan RHA yang besar di kisaran 50 sampai 60 m2/g (Mehta, P. K.,1992).
Juga memberikan kontribusi terhadap kekuatan beton komposit pada usia awal 1
dan 3 hari, juga bertindak sebagai akselerator dalam membangun kekuatan.
Sampai dengan 70 persen pengganti semen portland telah dilaporkan tanpa efek
yang merugikan pada kekuatan, 10 sampai 20% pengganti semen bahkan
menunjukkan efek yang menguntungkan pada kekuatan dan peningkatan yang
luar biasa dalam karakteristik permeabilitas klorida dan sifat ketahanan lainnya
dari beton. Juga, semen portland dicampur RHA sebanyak 10% telah terbukti
cukup efektif dalam memerangi ekspansi akibat reaksi alkali agregat. Melalui efek
mengisi pori-pori dan reaksi pozzolanik dari RHA karena luas permukaan yang
tinggi dan struktur selular, permeabilitas beton dapat dikurangi secara signifikan
(Chao Lung Hwang dan Satish Chandra, 1997).
Penambahan pozzolan dapat meningkatkan sifat-sifat dari beton dengan
memodifikasi mikro dan makro-struktur pasta semen. Efek menguntungkan
langsung dari partikel RHA halus dan seluler pada cacat karakteristik dan
pemisahan campuran beton adalah karena kemampuan adsorpsi air besar, luas
permukaan internal yang tinggi, serta partikel mikroporous dan amorf.
Sifat abu sekam padi dapat dilihat pada Gambar 2.11 (Hwang, C. L., and Wu, D.
S., 1989). Penurunan kerusakan dalam zona transisi kuat antara materi padat dan
pasta semen. Hal ini akan menyebabkan beton kedap air yang lebih dan tahan
lama.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
25
Universitas Indonesia
Gambar 2.11 Mikrograf SEM RHA dibakar pada temperatur yang berbeda,
Hwang dan Wu (Hwang, C. L., and Wu, D. S., 1989).
Penambahan sejumlah abu sekam padi mikroporous mengadsorpsi
sebagian besar air yang mengelilingi zat padat, menghasilkan air yang berkurang
untuk rasio pengikat dan menyempurnakan struktur pori. Ini akibatnya
mengurangi permeabilitas beton untuk penetrasi klorida seperti yang ditunjukkan
pada Tabel 2.6 (Mehta, P. K.,1992). Telah ditemukan bahwa permeabilitas
berkurang secara signifikan setelah 28 hari untuk pencampuran pasta semen
dengan abu sekam padi 10, 20 atau 30 persen (Mehta, P. K.,1992). Permeabilitas
dari pasta semen dengan abu sekam padi diyakini berada di kisaran 1x10-11
cm /
detik.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
26
Universitas Indonesia
Tabel 2.6. Proporsi campuran dan Properties dari RHA pada Beton. Diadaptasi
dari Mehta (Mehta, P. K.,1992).
Mix
No
RHA
(%)
Mix Proportion, kg/m3 Fresh Proporties Compressive strength,
MPa Permeability Coulumbs
C RHA C.A F.A W W/B W/C Air
%
Slump
mm 3-d
7-d
28
-d
1-y
r
28-d 1-yr
1 a 0 392 - 1062 786 128 0.33 0.33 1 200 45 56 65 80 3500 2200
b 9 356 36 1062 786 128 0.36 0.36 1.5 225 42 56 77 86 1260 420
2 a 0 410 - 1044 786 128 0.31 0.31 1 240 47 60 66 80 3260 2200
b 13 356 54 1044 786 128 0.36 0.36 1.5 175 45 60 80 92 870 250
3 a 0 428 - 1026 786 128 0.3 0.3 1.5 225 47 62 70 81 3000 1800
b 17 356 72 1026 786 128 0.3 0.36 1.5 200 46 65 80 92 390 190
All mixtures contained a constant amount of a superplasticizer in order to obtain high consistency.
Coulumbs passed in a 6 hours standard test (AASHTO T-277), based on FHWA Report No. RD-81/119, Aug. 1981.
Penambahan bahan pozzolanik dapat mempengaruhi baik kekuatan dan
permeabilitas dengan memperkuat antar muka (interface) agregat - pasta semen
dan dengan memblokir pori besar di pasta semen terhidrasi melalui reaksi
pozzolanik. Fenomena ini ditunjukkan pada Gambar 2.12. Hal ini diketahui bahwa
reaksi pozzolanik memodifikasi pori-struktur. Hasilnya terbentuk karena reaksi
pozzolanik menempati ruang kosong dalam struktur pori, yang dengan demikian
menjadi padat. Porositas pasta semen berkurang, dan kemudian, pori-pori yang
mengecil. Mehta (Mehta, P. K.,1992) telah menunjukkan penurunan yang
signifikan dalam porositas pasta semen dengan penambahan RHA dan perbaikan
dalam struktur pori.
Gambar 2.12 Mekanisme mengisi kekosongan dan efek transisi zona
Penguatan RHA (Mehta, P. K.,1992)
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
27
Universitas Indonesia
Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Rosario Madrid, dkk (2012)
ditampilkan pada Gambar 2.13 yang memperlihatkan mikrograf SEM dari sampel
abu sekam padi yang diperoleh, menunjukkan morfologi permukaan sangat
berpori, dengan luas permukaan yang tinggi . Hal ini tampaknya cukup untuk
aplikasi tertentu seperti bahan keramik khusus, dukungan katalis atau bahan
bangunan (Rosario Madrid, dkk, 2012).
Identifikasi fasa dalam RHA diperoleh dengan XRD (Gambar 2.14).
Polanya berupa baris yang sangat luas dan tidak ada puncak, didefinisikan karena
kristalinitas yang ditemui. Juga mewakili posisi teoritis dari reflexions utama dari
fasa kristobalit (SiO2) dan grafit (C) dan tidak ada puncak ditemukan di posisi ini .
Hasil yang diperoleh disimpulkan bahwa abu yang dihasilkan memiliki struktur
amorph.
Gambar 2.13 Fotomikro SEM dari sampel RHA (Rosario Madrid, dkk,
2012)
Gambar 2.14 Pola XRD dari sampel RHA (radiasi Cu - Kα) (Rosario
Madrid, dkk, 2012)
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
28
Universitas Indonesia
Silikon karbida (SiC), juga dikenal sebagai carborundum , adalah senyawa
silikon dan karbon dengan rumus kimia SiC. Hal ini terjadi di alam sebagai
Moissanite mineral sangat langka. Butir-butir SiC dapat terikat bersama oleh
sintering untuk membentuk keramik sangat keras yang banyak digunakan dalam
aplikasi yang memerlukan daya tahan tinggi, seperti rem mobil, kopling mobil
dan piring keramik di rompi anti peluru . SiC dengan luas permukaan yang tinggi
dapat dihasilkan dari SiO2 yang terkandung di bahan sekam padi (X. Zhang, H.
Wang, M. Kassem, J. Narayan, C.C. Koch, J. Mater, 2001). SiC berguna untuk
struktur material pada suhu tinggi, karena kekerasan yang tinggi, ketahanan
oksidasi yang tinggi, juga baik terhadap resistensi thermal kejut. Produksi keramik
kepadatan tinggi oleh sintering solid state sulit karena sifat kovalen yang kuat dari
Si - C obligasi. Sintering solid state SiC dapat dilakukan pada suhu tinggi hingga
2200 0C.
Karena kelangkaan Moissanite alami, SiC biasanya buatan manusia yang
paling sering digunakan sebagai abrasif, dan baru-baru ini sebagai semikonduktor
dan berlian tiruan kualitas permata. Proses manufaktur yang paling sederhana
adalah untuk menggabungkan pasir silika dan karbon di Acheson grafit tungku
listrik pada suhu tinggi, antara 1600 dan 2500 0C (T.D. Shen, C.C. Koch, Acta
Mater, 1996). Partikel SiO2 baik dalam bahan tanaman (misalnya sekam padi)
dapat dikonversi ke SiC dengan pemanasan dalam kelebihan karbon dari bahan
organik. Bahan sekelas ini yang sangat dianjurkan dalam aplikasi yang melibatkan
lingkungan yang sangat agresif memerlukan ketahanan terhadap korosi dan suhu
yang tinggi (yaitu lebih dari 900 °C). Selain karena kekerasan tinggi dan modulus
elastisitas yang relatif tinggi. SiC terdepan di antara berbagai keramik non-oksida
untuk Aplikasi komersial, SiC umumnya diproduksi dalam skala besar baik untuk
digunakan sebagai abrasif atau sebagai keramik kinerja tinggi untuk aplikasi
semikonduktor. Serbuk SiC dapat diproduksi dalam tiga cara utama yaitu pirolisis
senyawa silan, karbonisasi langsung logam Si, dan pengurangan carbothermal
SiO2.
Metode pertama , yang disebut Deposisi uap kimia dari silan, mahal dan
berbahaya bagi sifat prekursor digunakan, sementara karbonisasi yang
menggunakan logam Si sangat tinggi biaya sumber silikon. Kedua metode
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
29
Universitas Indonesia
menghasilkan kemurnian tinggi SiC bubuk untuk aplikasi teknis tertentu dan
digunakan untuk bahan komposit ( yaitu Carbon Serat ) infiltrasi. Metode ketiga
adalah yang termurah, mulai dari yang murah silikon dioksida dan karbon (atau
sumber karbon ) yang biasanya bereaksi pada suhu berkisar antara 1400-2100 0C
untuk memberikan SiC.
Hadirnya oksigen dalam inti elemen bertanggung jawab untuk puncak intens
SiC selama pembentukan. Sekali lagi ukuran kristal meningkat dengan
peningkatan Suhu terutama karena aglomerasi. Analisis fasa SiC telah dihasilkan
dari sekam padi. Angka-angka di bawah ini merupakan hasil uji SiC dengan XRD
sebagaimana ditampilkan pada Gambar 2.15. Dalam pola SiC semua puncaknya
tajam, yakni mewakili SiC dalam bentuk kristal dan ukuran kristal telah dihitung
dengan bantuan modifikasi Rumus Scherrer dan ukuran kristal ditemukan pada
kisaran 118 nm – 50 nm. Selama tahap analisis, ditemukan bahwa semua puncak
tajam adalah SiC (Rosario Madrid, C. A. Nogueira and F. Margarido, 2012)
Gambar 2.15 Pola XRD SiC dari Sekam Padi (Rosario Madrid, C. A. Nogueira
and F. Margarido, 2012)
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
30
Universitas Indonesia
2.4. Batu Apung (BA) atau Pumice
Batu apung atau pumice telah digunakan selama berabad-abad oleh manusia.
Agregat batu apung dapat ditemukan di banyak tempat di seluruh dunia di mana
gunung berapi berada. Dewasa ini batu apung sebagai agregat telah banyak
digunakan dan dikembangkan sebagai salah satu bahan dasar pembuatan beton
ringan, dikarenakan sifatnya yang tangguh dan memiliki daya tahan yang baik
sampai dengan 2000 tahun. Oleh sebab itulah agregat batu apung digunakan
secara meluas dalam industri sipil sebagai materi konstruksi bangunan.
Peningkatan pemanfaatan bahan ringan dalam aplikasi struktur bangunan sipil
yang menyebabkan batu apung menjadi sangat populer untuk bahan baku batu
bata ringan. Kemampuan batu apung salah satunya adalah dibuat produk yang
berbeda-beda baik berdasarkan sifat fisik, kimia dan sifat mekanik. Batu apung
yang digunakan sebagai agregat ringan alami ini memiliki porositas tinggi dan
bobot bulk density yang rendah, sehingga diaplikasikan dalam produksi beton
kekuatan rendah seperti batu-bata untuk tujuan tertentu.
Karakteristik LWC secara umum tergantung kepada kadar air agregat
sebelum pencampuran. Kandungan air yang berlebihan menyebabkan kurangnya
daya rekat antara agregat dan mortar, Sebaliknya kandungan air kurang
menyebabkan agregat menyerap sebagian dari air mortar, sehingga menyebabkan
semen sub-hidrasi dan konskwensinya perubahan kapasitas dari adukan beton.
Kedua kasus diatas mengakibatkan sifat ketahanannya rendah dibandingkan
ketika agregat direndam yang cukup sesaat sebelum persiapan adukan beton.
Agregat pumice yang akan digunakan harusnya direndam dalam air selama 30
menit sebelum dicampur sehingga agregat pumice tidak menyerap air lagi pada
saat dicampur (Gunduz, 2005).
Agregat batu apung yang dikombinasikan dengan Portland semen dan air
menghasilkan LWC tahan panas, kedap suara, dan tahan api untuk dek atap,
sebagai pengisi lantai ringan, isolasi dek lantai struktural, tirai sistem dinding,
blok agregat batu apung dan beragam aplikasi lain untuk isolasi permanen
(Brown dan Skinner, 1990; Failla dkk, 1997; Neville, 1996). Pada batu apung
blok beton ringan atau Pumice Lightweight Concrete Block (PLWCB) yang dibuat
dari campuran agregat batu apung, semen dan air telah diaplikasikan dalam
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
31
Universitas Indonesia
konstruksi non-beban dinding pengisi bantalan dan lempengan. Penggunaan
PLWCB pada sebuah struktur bangunan telah terbukti mungarangi beban mati
pada setruktur bangunan tersebut, dan dalam proses produksinya kepadatan atau
densitasnya dapat dibuat antara 400 kg/m3
sampai 1300 kg/m3.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Hanifi Binici (2007) untuk mempelajari
tentang penggunaan limbah industri keramik dan agregat batu apung untuk LWC
dilihat dari sifat kekuatan tekannya. Pada penelitian ini digunakan Portland cemen
ASTM Type I (PC 42,5 MPa), agregat dari batu kali yang kering dan bersih
dengan ukuran maksimum 16 mm, crushed ceramic (CC) dari limbah industri,
dan crused basaltic pumice (CBP). Sifat kimia dan fisik material yang digunakan
dalam penelitian ini ditampilkan pada Tabel 2.7.
Tabel 2.7. Sifat kimia dan fisik material yang digunakan pada LWC (Hanifi
Binici, 2007)
Materials Oxides (%)
SiO2 Al2O3 Fe2O3 CaO MgO SO3 LOI
Pc 42,5 19,4 5,5 3,9 63,4 1,8 2,0 -
CC 88,4 7,3 0,5 0,1 0,1 - 0,4
CBP 63,9 15,6 6,3 2,3 2,1 3,2 1,6
Specific Gravity Specific surface Fineness (retained on Vicat time of Compressive strength
(kg/m3) (m3/kg) 90-μm sieve) setting (min) (MPa)
3180 345 8,2 Initial Final 3day 7day 28day
115 200 34,2 37,3 48,6
Terlihat dari Tabel 2.7 diatas bahwa pada material PC 42.5 senyawa yang
dominan adalah CaO, sedangkan senyawa SiO2 lebih kecil. Pada material CC dan
CBP senyawa yang dominan adalah SiO2 dan Al2O3 dengan jumlah yang tidak
besar. Sedangkan Kuat Tekan bertambah besar dengan bertambahnya periode
waktu reaksi.
Untuk sifat fisik pada batu kali sebagai agregat yang digunakan pada
penelitian Hanifi Binici ditampilkan pada Tabel 2.8, sedangkan untuk CC dan
CBP ditampilkan pada Tabel 2.9.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
32
Universitas Indonesia
Tabel 2.8. sifat fisik dari batu kali sebagai agregat (Hanifi Binici, 2007)
Property Fine aggregate Coarse aggregate
Specific gravity (kg/m3) 2,65 2,7
Fineness modulus 2,68 -
Water absorption 24 h (%) 0,75 1,24
Void (%) 46,20 44,25
Maximum size 4 16
Bulk density (kg/m3) 1695 1627
Abrasion value (%) - 26
Soundness test: weight loss - 7,1
after 30 cycles (%)
Tabel 2.9. Sifat fisik dari crushed ceramic (CC) dan crused basaltic pumice
(CBP) (Hanifi Binici, 2007)
Property CC CBP
Specific gravity (kg/m3) 2,44 2,71
Fineness modulus 2,68 3,46
Water absorption 24 h (%) 0,71 0,88
Void (%) 44,2 64,2
Maximum size 4 4
Bulk density (kg/m3) 1395 1401
Abrasion value (%) 28 35
Soundness test: weight loss after 30 cycles (%) 4,2 7,1
Dari kedua Tabel 2.8 dan Tabel 2.9 diatas memperlihatkan bahwa nilai
Specific gravity terkecil didapat dari material CC yaitu sebesar 2,44 kg/m3
kemudian berturut-turut naik nilainya untuk batu kali (Fine aggregate sebesar
2,65 kg/m3 dan Coarse aggregate 2,7 kg/m
3) serta yang paling besar adalah
material CBP sebesar 2,71 kg/m3. Sedangkan Fineness modulus pada Fine
aggregate dan material CC memiliki nilai yang sama yaitu sebesar 2,68, nilai
terbesar terdapat pada material CBP sebesar 3,46.
Dari hasil penelitian Hanifi Binici (2007) didapatkan grafik kekuatan tekan
pada beberapa variasi sampel yang digunakan terhadap waktu pengerasan yang
ditampilkan pada Gambar 2.16.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
33
Universitas Indonesia
Gambar 2.16. Kekuatan tekan pada campuran beton terhadap waktu
pengerasan (Hanifi Binici, 2007)
Dari Gambar 2.16 pada penelitian ini terlihat bahwa pada sampel M3
dimana kandungan CC (60%) memiliki kekuatan tekan yang paling tinggi (± 55
MPa) dibandingkan dengan sampel M6 (60% CBP) yang hanya memiliki
kekuatan tekan ± 37 MPa. Untuk material CBP yang terbesar adalah pada sampel
M5 (50% CBP) dengan kekuatan tekan sebesar ± 42 MPa. Sedangkan sampel M0
(0% replacement) memiliki kuat tekan paling kecil yaitu sebesar ± 33 MPa.
Penggunaan CBP dalam campuran untuk pembuatan LWC ini perlu
dikombinasikan lagi, baik peningkatan persentase CBP maupun dengan
kombinasi jenis agregat yang lain, sehingga nilai kekuatan tekannya dapat lebih
meningkat (Hanifi Binici, 2007).
Uma Ramasamy dan Paul Tikalsky (2012) dalam laporan penelitian
menjelaskan bahwa bahan semen lengkap adalah bahan yang menyediakan bahan
mikro-substrat atau memiliki efek katalitik untuk bahan semen lainnya. Batu
apung dapat dikarakterisasi dengan menganalisis sifat kimia dan fisika, kinetika
hidrasi dan sifat beton campuran yang mengandung batu apung. Lima kombinasi
campuran beton dengan batu apung dicampur dengan Tipe II / V diperiksa.
Campuran kontrol dengan 100% semen, tiga campuran dengan 20% semen
digantikan oleh DS200, DS325 dan Ultrafine dan ketika campuran 30% maka
simbolnya adalah DS325.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
34
Universitas Indonesia
Uma Ramasamy dan Paul Tikalsky juga melaporkan bahwa batu apung
memiliki kandungan mineral yang berbeda di dalam setiap campuran yang dibuat.
Hasil difraksi sinar X menginformasikan bahwa batu apung merupakan jenis
amorf yang memiliki kualitas berbeda dengan semen murni. Sementara dari uji
fluoresensi sinar X (XRF), komposisi kimiawi dari batu apung dan semen
bervariasi bergantung pada kualitasnya. Tabel 2.10 adalah tabel komposisi
kimiawi dari berbagai tipe campuran batu apung dan semen.
Analisis kimia menunjukkan bahwa komponen dominan dari batu apung
adalah silika (70%) sedangkan semen memiliki kalsium oksida (62%). ASTM C
618 mengklasifikasikan batu apung sebagai pozzolan Kelas N (untuk pozzolan
alam mentah atau dikalsinasi) jika memenuhi persyaratan fisik dan kimia tertentu.
Kelas N pozzolan harus memiliki minimal SiO2 + Al2O3 + Fe2O3 isi 70%, batu
apung memiliki sekitar 80% dari bahan-bahan tersebut. Kehadiran senyawa
mengandung silika dan alumina jelas dari bahan kimia.
Berdasarkan hasil analisis kimia tersebut jelas bahwa semua nilai dari batu
apung yang terdiri dari kurang lebih sama persentase elemen hanya berbeda dalam
ukuran partikel, yang dapat disimpulkan dari analisis distribusi ukuran partikel
dan pemindaian mikroskop elektron. Dari Tabel 2.10, dapat disimpulkan bahwa
batu apung memiliki silika yang sangat tinggi, kalsium sangat rendah, alumina
dan alkali lebih tinggi dibandingkan dengan jenis semen II.
Tabel 2.10. Hasil uji XRF dari berbagai tipe campuran batu apung
dan semen (Uma Ramasamy dan Paul Tikalsky, 2012)
Type II DS200 DS325 Ultrafine
SiO2 20.67 69.09 69.16 69.75
Al2O3 3.97 10.63 10.79 11.18
Fe2O3 3.65 1.01 1 1.04
CaO 63.57 0.93 0.93 0.97
MgO 1.55 0.09 0.16 0.25
SO3 2.81 -0.04 -0.04 -0.04
Na2O 0.06 2.49 2.13 2.34
K2O 0.72 4.77 5.08 4.79
Cl 0.018 Nil Nil Nil
Total 98.43 89.12 89.33 90.42
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
35
Universitas Indonesia
Uma Ramasamy dan Paul Tikalsky juga melaporkan bahwa jenis ultrafine
memiliki tingkat kehalusan yang unggul sementara yang paling kasar adalah jenis
DS200. Jenis ultrafine memiliki tingkat kehalusan empat kali lebih baik
dibandingkan jenis semen portland.
Bahan semen menghasilkan panas melalui reaksi hidrasi eksotermik.
Kinetika reaksi pozzolan dan semen dapat diukur dengan konduksi panas
isotermal kalorimeter. Sebuah kalorimeter konduksi digunakan untuk
menganalisis 8 batu apung yang dikombinasikan dengan semen. 8 kombinasi yang
digunakan adalah 100% semen portland ASTM Tipe II / V; 20 dan 30% DS200;
10, 20, 30% DS325; 20 dan 30% batu apung halus. Masing masing tes dilakukan
pada 21 0C (70
0F) selama 30 hari, dan kombinasi yang dilakukan mengacu pada
massa batu apung yang digunakan.
Gambar 2.17 menunjukkan aliran panas delapan kombinasi selama tujuh
puluh lima jam pertama dan Gambar 2.18 menunjukan aliran panas antara 75-225
jam pada 70 0F. 100% campuran semen menghasilkan panas lebih dibandingkan
dengan campuran yang mengandung batu apung. Dengan meningkatnya konten
pozzolanik, puncak utama aliran panas berkurang. Tergantung pada nilai dari batu
apung, ketinggian puncak utama bervariasi untuk kombinasi persentase yang sama
dari semen dan bahan pozzolan. 70% semen dan 30% DS200 & DS325
menghasilkan aliran panas terendah masing-masing diantara 8 campuran
sedangkan 70% semen dan 30% yang ultrafine menghasilkan panas sebanding
dengan 80% semen dan 20% DS200 & DS325 campuran. 90% semen dan 10%
DS325 menghasilkan aliran panas sebanding dengan 80% semen dan 20% yang
ultrafine. Itu pengujian kalorimeter menunjukkan bahwa ada aktivitas pozzolanik
terbatas 100 jam pertama untuk DS200 atau DS325. Namun ultrafine berdampak
pada karakteristik hidrasi usia dini dan jelas menghasilkan hidrasi lebih daripada
semen portland yang tersisa. Gambar 2.18 menunjukkan bahwa setelah 100 jam,
hidrasi campuran semen 100% mulai menurun sedangkan untuk campuran batu
apung yang mengandung hidrat lebih dari reaksi semen portland. Hal ini
menunjukkan reaksi pozzolan dan efek lengkap nilai yang berbeda dari batu
apung.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
36
Universitas Indonesia
Gambar 2.17. Aliran panas untuk kombinasi campuran yang berbeda selama 75
jam pertama (Uma Ramasamy dkk, 2012)
Gambar 2.18. Aliran panas untuk kombinasi campuran yang berbeda selama 75-
225 jam (Uma Ramasamy dkk, 2012)
Peneliti bernama Sancak (E. Sancak, 1998). menggunakan serat baja dengan
rasio 0%, 0,5%, dan 1% volume pada beton agregat ringan batu apung dengan 300
kg/m3 isi semen Portland. Dia menggunakan batu apung sebagai agregat kasar
dalam eksperimennya, melaporkan bahwa kuat tekan spesimen adalah 11, 17, dan
13 MPa, densitas sebesar 1.835, 1.860 dan 1.742 kg/m3. Peningkatan kadar serat
umumnya mengakibatkan penurunan kuat tekan karena penurunan kemampuan
kerja beton. Polymer Lightweight Concrete (PLC) dalam penelitian ini memiliki
nilai kuat tekan dua kali lebih besar pada umur 7-28 hari bila dibandingkan
dengan beton ringan normal atau Normal Lightweight Concrete (NLC) dengan
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
37
Universitas Indonesia
batu apung di dosis 300 kg/m3 (E. Sancak, 1998). Peningkatan kuat tekan PLC
bila dibandingkan dengan NLC terutama tergantung pada kekuatan yang
didapatkan dari epoxy resin (pengikat) sebagai pengeras dan suhu. Pada tahap
pertama dari polimerisasi (yaitu, proses curing), epoxy resin biasanya dalam
keadaan cair. Setelah suhu reaksi tercapai, keadaan fisik senyawa perubahan tiba-
tiba dari cairan menjadi gel dan reaksi silang melambat (G. Martinez-Barrera,
dkk, 2011). Gambar 2.19 struktur berpori setengah terbuka agregat batu apung
sebagian besar dipengaruhi peningkatan kuat tekan dengan meningkatkan kwalitas
epoxy sebagai bahan pengikat dengan agregat. Juga terlihat permukaan sampel
terdapat pori dengan berbagai bentuk dan ukuran bervariasi dengan kerapatan
jumlah yang cukup besar, ini memperlihatkan rendahnya densitas batu apung.
Di sisi lain, karena struktur permukaan setengah terbuka batu apung, semen
portland membutuhkan bahan lebih sebagai epoxy resin dibandingkan dengan
semen portland dengan agregat normal (Tayfun Uygunoglu, dkk, 2013). Tujuan
yang paling penting dari menggunakan beton ringan adalah untuk mengambil
keuntungan dari kepadatannya yang rendah untuk menurunkan beban mati
struktur.
Gambar 2.19 Mikrostruktur dari agregat batu apung (Tayfun Uygunoglu,
dkk, 2013)
Dari hasil rangkuman teoritikal maupun hasil-hasil penelitian yang telah
dilakukan terdahulu pada bab ini, maka dapat dikatakan untuk penelitian dengan
bahan tambah berupa ASP dan BA pada beton ringan dengan komposisi PCC :
Pasir : ASP : BA serta dengan nilai Slump tertentu sesuai dengan rencana dapat
dilaksanakan dan dilanjutkan.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
38
Universitas Indonesia
BAB III
METODE PENELITIAN
Untuk mempemudah dalam melakukan penelitian ini dibuat suatu metode
yang akan dilakukan selama proses penelitian berupa pengumpulan material,
preparasi sampel, penyiapan alat-alat, pemeriksaan dan pengujian sampel
sehingga diperoleh data-data hasil yang akan digunakan pada analisa pada bab
selanjutnya.
3.1. Bagan Penelitian
Dasar penelitian dilakukan malalui dua tahap. Pada tahap 1 dilakukan
pengambilan dan pengumpulan bahan-bahan seperti Portland Cement Composite
(PCC), pasir, batu apung (BA), abu sekam padi (ASP), dan air untuk dilakukan uji
fisik, dan preparasi sampel berupa pembuatan kubus beton. Masing-masing
tahapan ini memiliki target pencapaian, pada tahap 1 antara lain untuk
mendapatkan perbandingan yang ideal antara PCC, pasir, BA, ASP, dan air.
Sedangkan pada tahap 2 adalah untuk mendapatkan nilai Slump optimal setelah
diperoleh variasi perbandingan yang ideal pada tahap sebelumnya.
Proses pembuatan pasta semen portland komposit ini dimulai dengan
mempersiapkan variasi komposisi bahan yang terdiri dari semen, agregat halus,
air, abu sekam padi, dan batu apung sebagai agregat kasar. Abu sekam padi
berasal dari proses sisa bahan bakar pembakaran batu bata yang lolos saringan
no.200. Sedangkan batu apung diolah dengan mesin pemecah batu menjadi
agregat kasar. Kemudian dilakukan pemeriksaan terhadap agregat kasar dan halus
untuk mengetahui karakteristik masing-masing agregat. Setelah itu dilakukan
perhitungan mix design berdasarkan rencana penelitian.
Standar yang digunakan dalam pengujian fisik material beton ringan
diambil dari standar ASTM. Sedangkan metode perhitungan mix design yang
digunakan adalah perhitungan adukan beton berdasarkan pada perbandingan berat
dan penggunaan agregat dalam keadaan kering permukaan dan jenuh dibagian
dalamnya (Saturated Surface Dry = SSD).
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
39
Universitas Indonesia
Pada tahap 2 ini fokus penelitian dilakukan untuk mendapatkan nilai
Slump yang optimal setelah didapatkan perbandingan campuran yang ideal pada
tahap 1, sedangkan diagram alir penelitian sebagaimana ditampilkan pada Gambar
3.1 berikut ini
Gambar 3.1 Alur Penelitian
START
TT
Persiapan bahan: PCC,
Pasir, ASP, BA, air
Semen ASP, Ayakan No 200 BA Air
Slump Test
Mix Design
Uji Densitas, Kuat Tekan, SEM, XRD
Sampel kubus
Pembahasan
KESIMPULAN
Slump (cm) 5, 8, 11, 14
Pasir
Uji ,SEM, XRD, XRF, EDX
Uji fisik: Analisa saringan,
kadar lumpur, densitas, kadar
air, penyerapan air
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
40
Universitas Indonesia
Adapun pembagian besarnya diameter agregat akan dilakukan dengan
pengayakan melalui saringan menurut ASTM C125-92, agregat kasar batu apung
adalah porsi dari agregat yang lewat saringan 9,5 mm dan tertahan pada saringan
4,75 mm (saringan No.4 standar ASTM), sedangkan agregat halus adalah agregat
yang hampir seluruhnya melewati saringan 4,75 mm (saringan No.4 standar
ASTM) dan tertahan pada ayakan 75 μm (No. 200).
Setelah diperoleh perbandingan yang ideal pada tahap 1, maka pada tahap 2
selanjutnya dilakukan campuran beton ringan dengan variasi nilai Slump yang
berbeda untuk mendapatkan nilai perbandingan terbesar antara Kuat Tekan Beton
terhadap densitas beton ringan pada nilai slump optimal. Selanjutnya pada beton
ringan berupa kubus dilakukan pengujian kuat tekan, densitas, dan SEM pada
umur 3, 7, 14, 21, dan 28 hari.
3.2. Alat, Bahan Penelitian dan Bentuk Spesimen
Dalam penelitian ini digunakan beberapa alat dan bahan abis pakai yang
diperlukan selama proses persiapan material hingga pada proses uji karakterisasi,
sedangkan bentuk specimen berupa kubus dengan ukuran 15 x 15 x 15 cm.
3.2.1 Alat Penelitian
Alat yang digunakan sebagai penunjang terjadinya proses pembuatan dan
memperoleh data diantaranya adalah: a) Timbangan digital yang digunakan untuk
menimbang material beton ringan seperti semen, pasir, abu sekam padi, batu
apung, air, dan kubus beton. b) Saringan atau ayakan untuk memilah besarnya
komopsisi gradasi pasir dan batu apung. c) Los Angeles Machine adalah mesin
pemecah batu sehingga berbentuk split. d) Molen (Mixer) ukuran 0.10 m3 untuk
mengaduk pasta beton. e) Cetakan spesimen berbentuk kubus ukuran 15 x 15 x 15
cm yang terbuat dari bahan baja dengan ketebalan 10 mm fungsinya untuk
mencetak adukan beton ringan. f) Tongkat besi ukuran panjang 600 mm diameter
16 mm yang digunakan untuk mengaduk dan memadatkan adukan beton setelah
dituangkan kedalam cetakan. g) Kerucut abram dan Alat pengukur tinggi slump
yang bersekala untuk mengukur besarnya ketinggian slump setelah dilakukan
pencampuran material beton dalam molen. h) Mesin Uji Kuat Tekan Beton
(Compressive Strength Machine) fungsinya untuk pengujian tekan kubus beton.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
41
Universitas Indonesia
3.2.2 Bahan Penelitian
Bahan habis pakai yang digunakan dalam penelitian diantaranya adalah:
a) Semen Type I yang beredar umum dimasyarakat yaitu Portland Cement
Composite. b) Agregat halus pasir silika yang umumnya diambil dari daerah
Bangka. c) Abu sekam padi sebagai filer diperoleh dari hasil sisa pembakaran
industri genteng dan bata merah didaerah Cianjur. d) Batu apung sebagai agregat
kasar yang diambil dari daerah Sukabumi. Dan terakhir adalah: e) air.
3.2.3. Bentuk Spesimen
Dalam penelitian ini spesimen atau sampel sebagian dalam bentuk padat
(bulk), berbentuk kubus dengan dimensi 15 x 15 x 15 cm, sebagian dalam bentuk
serbuk, serta bentuk adonan beton segar, adapun bentuk spesimen benda uji
sebagaimana ditampilkan pada Gambar 3.2 berikut ini.
15
15
15
Gambar 3.2. Bentuk specimen uji
Sampel berbentuk adonan beton cair untuk uji slump setelah dilakukan
pengadukan dalam molen dalam waktu kurang lebih 30 menit, dalam bentuk
serbuk dan padat untuk uji SEM, EDAX, XRF, dan XRD, sedangkan dalam
bentuk kubus digunakan untuk pengujian kuat tekan beton pada umur 3, 7, 14, 21,
dan 28 hari setelah perendaman.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
42
Universitas Indonesia
3.3. Rencana Adukan Beton
Ada 2 tahap yang akan dilakukan dalam penelitian ini, yaitu mencari
komposisi material beton ringan yang menghasilkan perbandingan kuat tekan
terhadap densitas terbesar dengan variasi jumlah material pembentuk beton yang
dikombinasikan. Tahap berikutnya adalah melakukan variasi nilai Slump pada
beton yang terpilih pada tahap pertama.
3.3.1. Rencana Adukan Beton Tahap 1
Mix design yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan variasi BA
yang berbeda sebanyak lebih dari 7 kali, tapi yang akan ditampilkan pada
penulisan ini hanya 7 data saja yang dianggap mewakili dari keseluruhannya,
adapun mix proportion PCC, pasir, BA, ASP, dan air seperti pada Tabel 3.1
berikut:
Tabel 3.1. Proporsi Campuran PCC, pasir, BA, ASP, dan air
No Kubus PCC Pasir BA ASP Air (w/c)
1 1,00 1,00 1,00 0,05 0,50
2 1,00 1,00 0,90 0,05 0,50
3 1,00 1,00 0,80 0,05 0,50
4 1,00 1,00 0,70 0,05 0,50
5 1,00 1,00 0,60 0,05 0,50
6 1,00 1,00 0,50 0,05 0,50
7 1,00 1,00 0,40 0,05 0,50
Kemudian dilakukan Slump test pada beton cair, setelah itu dibuatkan
kubus beton dengan ukuran 15 x 15 x 15 cm, setelah 24 jam kubus beton dibuka
dari cetakannya, kemudian kubus ini direndam dalam air dan dilakukan
Compressive Strength Test pada umur 3, 7, 14, 21, dan 28 hari.
3.3.2. Rencana Adukan Beton Tahap 2
Dari hasil uji tahap 1 dipilih nilai terbesar dari hasil perbandingan antara kuat
tekan terhadap densitas, yang akan digunakan pada tahap lanjutan dengan
menggunakan BA sebesar 50% dari PCC, dengan demikian komposisi adukan
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
43
Universitas Indonesia
beton yang akan dipakai pada tahap 2 ini adalah sebagai berikut PCC : Pasir : BA
: ASP = 1,00 : 1,00 : 0,5 : 0,05, adapun variasi volume pemakaian air disesuaikan
dengan besarnya nilai Slump seperti ditampilkan pada Tabel 3.2, hal ini dilakukan
untuk mendapatkan nilai perbandingan kuat tekan terhadap densitas terbesar pada
nilai Slump yang optimal.
Tabel 3.2. Proporsi Campuran PCC, pasir, BA, ASP, Slump dan w/c
No Kubus PCC Pasir BA ASP Slump (cm) Rasio w/c
8 1,00 1,00 0,50 0,05 5 0,40
9 1,00 1,00 0,50 0,05 8 0,46
10 1,00 1,00 0,50 0,05 11 0,52
111 1,00 1,00 0,50 0,05 14 0,58
Pada tahap 2 ini dilakukan Uji SEM, EDAX, XRF, dan XRD pada Abu
Sekam Padi, dan Batu Apung, sedangkan pada kubus beton ringan dilakukan lagi
Uji densitas, kuat tekan, SEM, dan XRD. pada umur 3, 7,14, 21, dan 28 hari.
3.4. Prosedur Penelitian
Mula-mula yang dikerjakan pada prosedur penelitian ini adalah melakukan
pengambilan dan pengumpulan material-material pembentuk beton ringan seperti
semen, air, pasir, dan batu apung. Berikutnya adalah pengujian fisik pasir, batu
apung, dan abu sekam padi untuk mendapatkan besarnya nilai densitas, derajat
kehalusan, dan penyerapan air. Adapun batu apung dan abu sekam padi dilakukan
uji SEM, XRD, XRF, dan EDAX. Selanjutnya dilakukan persiapan pembuatan
adukan beton dengan mengacu pada perbandingan berat sesuai dengan rencana
penelitian tahap 1 yaitu dengan melakukan variasi jumlah batu apung yang
berbeda terhadap persentase berat semen. Langkah berikutnya melakukan
pengadukan beton ringan dalam molen dan diteruskan dengan pembuatan kubus
beton. Pada adonan beton segar dilakukan pengujian Workability untuk
mendapatkan nilai slump. Pada beton keras yaitu berupa Kubus beton dilakukan
uji kuat tekan, dan densitas setelah berumur 3, 7, 14, 21, dan 28 hari.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
44
Universitas Indonesia
3.4.1. Pemeriksaan Air
Dalam pembuatan beton, air diperlukan untuk memicu proses kimiawi
semen, membasahi agregat dan memberikan kemudahan dalam pekerjaan beton,
kelebihan air akan mengakibatkan beton menjadi bleeding, yaitu air bersama-
sama semen akan bergerak ke atas permukaan adukan beton segar yang baru saja
dituang, hal ini akan menyebabkan kurangnya lekatan antara lapis-lapis beton, air
yang berlebihan juga akan menyebabkan banyaknya gelembung air setelah proses
hidrasi selesai, sedangkan air yang terlalu sedikit akan menyebabkan proses
hidrasi tidak akan selesai sepenuhnya.
Air pada campuran beton pada penelitian ini akan berpengaruh terhadap: a)
Sifat workability adukan beton. b) Besar kecilnya nilai susut beton. c)
Kelangsungan reaksi dengan semen portland sehingga dihasilkan kekuatan setelah
beberapa waktu. d) Perawatan adukan beton guna menjamin pengerasan yang
baik.
Kwalitas air untuk penelitian ini mempunyai pengaruh yang sangat penting
dalam kekuatan dan pelaksanaan beton, air yang digunakan dalam penelitian ini
sudah memenuhi standard ASTM – C109, dan menurut Pedoman Beton 1988
Departemen Pekerjaan Umum.
3.4.2. Pemeriksaan Agregat
Ada beberapa hal yang harus dilakukan pada pemeriksaan agregat, antara
lain: penentuan kadar lumpur, kadar air, berat jenis, penyerapan air, dan analisa
ayakan agregat halus dan kasar.
1. Penentuan Kadar Lumpur Agregat Halus
Pengujian kadar lumpur pada penelitian ini dilakukan dengan 2 cara yaitu
dengan membandingkan berat kering sampel setelah dioven dan sampel yang
telah dicuci bersih. Sampel pasir seberat 1.000 gr dimasukan dalam oven pada
suhu 150 0C selama 24 jam, setelah itu beratnya ditimbang. Langkah selanjutnya
adalah sampel pasir dengan berat yang sama dicuci terlebih dahulu, kemudian
dengan langkah yang sama dimasukan kedalam oven dan setelah 24 jam
ditimbang beratnya.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
45
Universitas Indonesia
Kadar lumpur dihitung berdasarkan persamaan 1:
Kadar Lumpur = [ (A – B) / A ] x 100 % ………. (1)
Dimana ;
A = berat sampel kering oven ( sebelum dicuci )
B = berat sampel kering oven ( sesudah dicuci )
Sedangkan cara kedua adalah cara merendam agregat halus pasir sebanyak
250 ml dalam air pada tabung kaca berdiamater 7 cm yang telah diisi air sebanyak
500 ml dan didiamkan selama 24 jam, setelah itu diukur ketinggian pasir dan
lumpurnya.
Kadar lumpur dihitung berdasarkan persamaan 2:
Kadar Lumpur = [ (hA – hB) / hA ] x 100 % ……….. (2)
Dimana ;
hA = tinggi lumpur akhir
hB = tinggi pasir akhir
Kadar lumpur pada agregat halus berdasarkan syarat SK.SNI. S-04-1989 F
tidak boleh lebih dari 5 %, apabila lebih dari 5 % maka agregat halus tersebut
harus dicuci terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai agregat untuk campuran
beton.
2. Penentuan Kadar Air Agregat Halus
Ada berbagai cara untuk menentukan kadar air, salah satunya adalah
dengan mencari kehilangan massa air pada agregat akibat pemanasan. Dalam
perhitungan dipakai sebagai dasar adalah keadaan kering permukaan jenuh atau
(SSD). Sampel agregat halus pasir seberat 500 gr dimasukan kedalam oven pada
suhu 150 0C selama 24 jam, setelah dikeluarkan dari oven kemudian ditimbang
beratnya.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
46
Universitas Indonesia
Kadar air dapat ditentukan melalui persamaan 3:
Kadar Air = [ (mA – mB) / mA ] x 100 % …………. (3)
Dimana ;
mA = berat sampel sebelum dioven
mB = berat sampel kering oven
3. Berat Jenis & Penyerapan Air Agregat Halus dan Agregat Kasar
Pengujian berat jenis dan penerapan air pada penelitian ini dilakukan dengan
cara sebagai berikut: Ambil sampel benda uji dalam keadaan SSD seberat 500 gr
dimasukan dalam oven pada suhu 150 0C selama 24 jam, setelah dikeluarkan dari
oven beratnya ditimbang. Langkah selanjutnya adalah mengisi Piknometer dengan
air kemudian ditimbang beratnya. Sampel yang sudah disiapkan dimasukan
kedalam Piknometer yang berisi air tadi, kemudian ditimbang beratnya.
Berat jenis kering / butir (bulk dry specific gravity) adalah perbandingan
antara berat agregat kering dengan berat air suling yang isinya sama dengan isi
agregat dalam keadaan jenuh pada suhu tertentu, ditentukan oleh persamaan 4
(PPB-1989)
Bulk Sp. Gr. = [ Bk / ( Ba + 500 – Bt) ] ………… (4)
Berat jenis kering permukaan jenuh (bulk SSD specific gravity) adalah
perbandingan antara berat agregat kering permukaan jenuh dengan berat air suling
yang isinya sama dengan isi agregat dalam keadaan jenuh pada suhu tertentu
ditentukan oleh persamaan 5 (PPB-1989)
Bulk SSD Sp. Gr. = [ Bj / ( Ba + 500 – Bt) ] ……. (5)
Berat jenis semu (Apparent specific gravity) adalah perbandingan antara
berat agregat kering dengan berat air suling yang isinya sama dengan isi agregat
dalam keadaan kering pada suhu tertentu ditentukan oleh persamaan 6 (PPB-
1989)
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
47
Universitas Indonesia
App Sp. Gr. = [ Bk / ( Ba + Bk – Bt) ] ………… (6)
Penyerapan (absorption) adalah persentase berat air yang dapat diserap
oleh pori – pori terhadap berat agregat kering ditentukan oleh persamaan 7 (PPB-
1989)
Penyerapan = [ (500 – Bk) / ( Bk ) x 100 % ] … (7)
Dimana ;
Bt = berat kering permukaan dalam air
Bk = berat kering oven
Bj = berat kering permukaan jenuh
Ba = berat kering permukaan jenuh dalam air
4. Analisa Ayakan Agregat Halus dan Agregat Kasar
Analisa ayakan ini adalah menentukan susunan besar butir serta angka
kehalusan (Finenes Modulus) dari agregat halus dan kasar. Gradasi agregat dapat
diketahui dengan meletakan sejumlah agregat pada satu set saringan dengan
ukuran paling atas 4,75 mm, berikutnya 2,36 mm, 2,00 mm, 0,425 mm, 0,250
mm, 0,106 mm dan yang paling bawah adalah Container yang tidak berlobang
yang kemudian digetarkan. Berat agregat yang tertahan pada tiap saringan
ditimbang kemudian hitung persentase yang tertinggal pada tiap saringan, dan
persentase kumulatif yang lolos dihitung. Adapun perhitungan angka kehalusan
ditentukan oleh persamaan (8)
Finenes Modulus = ( ( ∑ Komulatif ) / 100 ) …… (8)
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
48
Universitas Indonesia
3.4.3. Persiapan Pembuatan Adukan Beton
Agar penelitian berjalan dengan baik, maka pembuatan adukan beton
dilakukan berdasarkan perhitungan mix design yang telah dilakukan. Proporsi
takaran campuran beton dilakukan seteliti mungkin dan dipisahkan antara semen,
agregat halus pasir, agregat kasar batu apung, abu sekam padi, dan air pada
loyangnya masing-masing.
Pada saat penuangan bahan ke dalam molen dilakukan dengan urutan agregat
halus, semen dan agregat kasar dimasukkan terlebih dahulu, kemudian dengan
perlahan diaduk ketiga bahan tersebut sampai terlihat kental dan homogen, ketika
nampak sudah menyatu, lalu disiram dengan air sambil tetap memutar molen
sedikit demi sedikit, sehingga jumlah air yang sesuai dengan perhitungan
perencanaan adukan habis.
Sebelum adukan beton segar dimasukan kedalam cetakan kubus, cetakan
diolesi dengan pelumas terlebih dahulu agar memudahkan pada saat pelepasan
kubus beton.
3.4.4. Pengujian Workability
Pengujian workabilitas merupakan salah satu hal yang penting dalam
penelitian ini, karena dari sinilah akan didapatkan pengaruhnya terhadap kuat
tekan beton. Adapun langkah - langkah pengujian workabilitas adalah campuran
beton tersebut sesegera mungkin dimasukkan kedalam kerucut secara bertahap,
sebanyak 3 lapisan dengan ketinggian yang sama. Setiap lapis dipadatkan dengan
cara ditusuk dengan menjatuhkan secara bebas tongkat baja berdiameter 16 mm,
panjang 600 mm, dilakukan sebanyak 25 kali untuk tiap lapis, kemudian
meratakan adukan pada bidang atas kerucut Abrams dan didiamkan selama 30
detik. Mengangkat kerucut Abrams secara perlahan dengan arah vertikal keatas,
diusahakan jangan sampai terjadi singgungan terhadap campuran beton.
Pengukuran slump dilakukan dengan membalikkan posisi kerucut Abrams di
sebelah adukan, kemudian dilakukan pengukuran penurunan ketinggian dengan
alat ukur slump berskala.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
49
Universitas Indonesia
3.4.5. Pengujian Kuat Tekan dan Densitas Beton
Pengujian kuat tekan dan berat jenis beton (densitas) dilakukan pada umur
beton 3, 7, 14, 21 dan 28 hari, adapun langkah - langkah pengujiannya dilakukan
sebagai berikut: kubus beton diangkat dari rendaman, kemudian dianginkan atau
dilap hingga kering permukaan, lalu ditimbang, diamati apakah terdapat cacat
pada beton.
Kekuatan tekan merupakan salah satu kinerja utama beton, sifat beton pada
umumnya lebih baik jika kuat tekannya lebih tinggi, dengan demikian untuk
meninjau mutu beton biasanya dilakukan dengan meninjau kuat tekannya. Kuat
tekan beton adalah kemampuan beton untuk menerima gaya tekan persatuan luas.
Walaupun dalam beton terdapat tegangan tarik yang kecil, diasumsikan bahwa
semua tegangan tekan didukung oleh beton tersebut. Penentuan kekuatan tekan
dapat dilakukan dengan menggunakan alat uji tekan dan benda uji berbentuk
silinder dengan prosedur uji ASTM C-39 atau kubus dengan prosedur BS-1881
Part 115, Part 116 pada umur 28 hari.
Untuk menghitung kuat tekan beton dapat ditentukan dengan persamaan 9
(PPB-1989)
Kuat Tekan = (kg/cm2) …………….. (9)
Dimana: P = beban maksimum pengujian (kg)
A = Luas penampang benda uji (cm2)
Untuk menghitung densitas beton dapat dilakukan dengan persamaan 10 (PPB-
1989)
Densitas = (kg/m3) …………….. (10)
Dimana: B = Berat Kubus Beton (kg)
V = Volume Kubus Beton (m3)
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
50
Universitas Indonesia
Atau dengan menggunakan persamaan 11:
Densitas = ρa (kg/m3) ……………. (11)
Dimana: Bu = Berat Kubus Beton di Udara (kg)
Ba = Berat Kubus Beton di Air (kg)
ρa = Berat jenis Air (kg/m3)
3.4.6. Pengujian dengan SEM, EDAX, XRF, dan XRD
Pengujian EDAX untuk menganalisa unsur yang tekandung pada material
Abu Sekam Padi dan Batu Apung, Uji SEM ditunjukkan untuk melihat secara
visual morfologi senyawa-senyawa yang terbentuk pada Mikrostruktur permukaan
material, Uji XRF untuk mengetahui senyawa dengan analisa semi kuantitatif
terhadap material, sedangkan Uji XRD adalah untuk mengetahui unsur dengan
analisa kuantitatif.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
51
Universitas Indonesia
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pendahuluan
Beton ringan dalam penelitian ini adalah campuran yang terdiri dari
Portland Cement Composite, pasir silika, abu sekam padi, batu apung, dan air.
Abu sekam padi berfungsi sebagai bahan pengisi (filler), sedangkan batu apung
sebagai agregat ringan.
Masing-masing sifat komponennya akan mempengaruhi sifat akhirnya, baik
langsung maupun tidak langsung. Sifat yang langsung berpengaruh akan
memberikan kontribusi sesuai dengan teori komposit, dimana kwalitas dari
material pembentuk beton ringan sangat menentukan hasil akhir dari nilai
kerapatan dan kuat tekan yang diharapkan. Makin baik nilai kerapatan akan
menghasilkan beton ringan yang makin baik pula kwalitasnya yaitu berupa
kemampuan kekuatan mekaniknya akan meningkat.
Kontribusi tidak langsung yaitu jika terjadi reaksi yang membentuk fasa
baru yang pada akhirnya akan mempengaruhi sifat beton ringannya. Pembentukan
fasa baru ini adalah hasil dari reaksi hidrasi semen ketika dicampur dengan air
yang kemudian mengikat material pasir, abu sekam padi, dan batu apung.
Pengaruh banyaknya air dalam pembentukan adonan beton ringan sangatlah besar,
sehingga harus diperhatikan perbandingan air terhadap semen atau water to
cement ratio (w/c), makin kecil nilai w/c makin kental adonan beton ringan
sehinggal nilai slump juga akan mengecil, begitu juga sebaliknya makin besar
nilai w/c akan makin besar pula nilai slump.
Dalam pembuatan beton, air diperlukan untuk memicu proses kimiawi
semen, membasahi agregat dan memberikan kemudahan dalam pekerjaan beton.
Kwalitas air untuk penelitian ini mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam
kekuatan dan pelaksanaan beton, air yang digunakan dalam penelitian ini sudah
memenuhi standard ASTM – C109, dan menurut Pedoman Beton 1989
Departemen Pekerjaan Umum.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
52
Universitas Indonesia
4.2. Karakteristik Fisik agregat
Analisa ini dilakukan untuk memastikan bahwa material agregat halus dan
agregat kasar batu apung yang digunakan dalam adukan beton ringan memenuhi
syarat-syarat sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada uji material yaitu
mengacu pada standar SK.SNI. S-04-1989 F.
Penentuan kadar air dan kadar lumpur dilakukan sebagai uji awal terhadap
agregat halus. Berdasarkan pengukuran diperoleh bahwa kadar air mencapai
1,60% dan kadar lumpur dengan cara volume sebesar 4,00% dan dengan cara
berat sebesar 4,10%. Berdasarkan hasil ini diperoleh bahwa pengukuran kadar
lumpur cara berat dan cara volume terjadi perbedaan 0,10%, hal ini bisa dianggap
sama karena selisih nilainya sangat kecil dan pengaruhnya tidak signifikan
terhadap campuran beton. Sedangkan kadar airnya 1,60% lebih kecil dari
persyaratan yang dibolehkan < 5% .
Agregat kasar batu apung merupakan bagian yang sangat menentukan
besarnya nilai kuat tekan beton maupun besarnya densitas. Berdasarkan
pengukuran terhadap kadar lumpur diperoleh nilai 2,06 %. Hal ini menunjukan
bahwa kandungan lumpur yang terdapat pada agregat kasar batu apung cukup
kecil, sehingga sudah memenuhi persyaratan yang ditentukan yaitu sebesar < 5%.
Selanjutnya untuk mendukung karakterisasi terhadap sifat agregat halus
pasir dan agregat kasar batu apung dilakukan pengujian kerapatan dan sifat
penyerapan air sebagaimana ditampilkan pada Tabel 4.1. Hal ini dilakukan karena
akan berpengaruh terhadap keseluruhan proses pembuatan adukan beton maupun
hasil uji setelah beton mengeras.
Tabel 4.1 Nilai densitas agregat dihitung berdasarkan SK.SNI. S-04-1989 F
No Parameter Nilai Densitas Agregat
Halus (gr/cm3) Kasar (gr/cm
3)
1 Bulk Sp.Gr 3,05 0,88
2 Bulk SSD Sp.Gr 2,56 1,61
3 App SSD Sp.Gr 2,80 3,31
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
53
Universitas Indonesia
Dari hasil Tabel 4.1 diatas, terlihat densitas agregat halus pasir yang
diperoleh berada diantara 2,25 gr/cm3 sampai 3,25 gr/cm
3 memenuhi kategori
yang dipersyaratkan pada agregat halus untuk pembuatan beton standar,
sedangkan nilai densitas agregat kasar batu apung yang diperoleh berada diantara
0,50 gr/cm3 sampai 3,25 gr/cm
3 memenuhi kategori yang dipersyaratkan pada
agregat kasar batu apung untuk pembuatan beton ringan.
Berdasarkan hasil pengukuran pada agregat halus pasir diperoleh nilai
penyerapan terhadap air sebesar 5,4%. Hal ini menunjukan bahwa kondisi agregat
halus pasir ini cukup kering permukaan jenuh (SSD), sedangkan pada agregat
kasar batu apung besarnya penyerapan air yang diperoleh adalah 83,60%. Hal ini
menunjukan bahwa agregat kasar batu apung memiliki kemampuan penyerapan
airnya jauh lebih besar dibandingkan dengan sifat penyerapan air agregat halus
pasir.
Untuk menentukan sifat agregat halus berikutnya dilakukan pengujian
terhadap sifat Finenes Modulus (angka kehalusan). Dari hasil uji yang telah
dilakukan diperoleh nilai Finenes Modulus untuk agregat halus sebesar 3,73 dan
untuk agregat kasar batu apung didapatkan nilai Finenes Modulus sebesar 4,36.
Parameter Finenes Modulus ini dapat menunjukan tingkat kehalusan dari kedua
material diatas sebagai bahan pengisi pada pembuatan beton, makin besar nilai
Finenes Modulus berarti makin halus material tersebut.
Berdasarkan uji karakterisasi yang dilakukan terhadap agregat halus pasir
dan agregat kasar batu apung bahwa kedua jenis agregat tersebut dapat digunakan
sebagai material pembuatan beton ringan jika mengacu pada aturan standar
SK.SNI. S-04-1989 F.
4.3 Karakteristik Abu Sekam Padi
Ada empat jenis uji yang dilakukan pada Abu Sekam Padi yaitu uji EDAX
untuk menganalisa unsur, untuk melihat Mikrostruktur permukaan sampel berupa
foto SEM, analisa semi kuantitatif dengan XRF untuk mengetahui senyawa yang
terjadi, dan analisa kuantitatif dengan XRD untuk mengetahui senyawa yang
terkandung pada material.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
54
Universitas Indonesia
Sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu bahwa abu sekam padi yang
dimaksud adalah hasil pembakaran sekam padi yang selanjutnya digunakan
sebagai bahan tambah pada pembuatan LWC. Maka beberapa karakteristik abu
sekam padi perlu diketahui untuk memahami perannya dalam LWC.
Pada Gambar 4.1 ditampilkan sederatan fotomikro dari abu sekam padi untuk
pembesaran 200 x, 5.000 x, dan 20.000 x. Morfologi material tidak menunjukan
morfologi kristalin, mungkin dikarenakan mayoritas komponen material adalah
fasa amorph.
Gambar 4.1. Fotomikro SEM Abu Sekam Padi dengan pembesaran 100x (a),
5000x (b), 20000x (c).
Fotomikro memperlihatkan permukaan yang berongga dan tidak padat.
Terlihat dari Gambar 4.1 ini tampak bentuknya berbulir dan menggumpal seperti
awan, hal ini menyebabkan abu sekam padi cukup banyak menyerap air,
karenanya kebutuhan air akan lebih besar dibandingkan dengan beton
konvensional agar proses hidrasi berjalan dengan normal, sehingga proses
penguatan beton ringan berjalan sesuai pertambahan waktu.
Pola difraksi abu sekam padi ditampilkan pada Gambar 4.2. Melihat pola
difraksi tersebut dimana tidak tampak jelas puncak-puncak difraksinya, melainkan
pucak-puncak difraksi dengan intensitas yang rendah dan melebar, serta intensitas
background yang cukup lebar pada rentang sudut 150-35
0. Pola difraksi semacam
ini mengindikasikan sebagian besar fraksi fasa dalam material adalah fasa
omorph. Hal ini sesuai dengan hasil analisa kuantitatif material melalui penerapan
perangkat analisa yang disajikan dalam Tabel 4.2. Hasil ini menunjukan bahwa
a c b
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
55
Universitas Indonesia
53,65% material terdiri dari fasa amorph. Tentu saja hasil dalam Tabel 4.2
tersebut tidak bersifat absolut karena pola difraksi yang kurang tepat. Namun hasil
analisa kuantitatif ini paling tidak memastikan bahwa abu sekam padi
mengandung fasa amorph dengan kuantitas yang besar. Kehadiran fasa amorph
dalam abu sekam padi juga telah dilaporkan oleh berbagai peneliti diantaranya
adalah Rosario Madrid, C. A. Nogueira dan F. Margarido, melaporkan bahwa pola
fasa berupa baris yang sangat luas dan tidak ada puncak yang tajam ditemukan,
disimpulkan bahwa abu yang dihasilkan memiliki struktur amorph.
Gambar 4.2. Hasil XRD Abu Sekam Padi
Tabel 4.2. Hasil uji mineralogi Abu Sekam Padi
Mineral Jumlah (%)
Kaolinite Al2 Si2 O5 (OH)4 0,00
Amorphous
53,65
Quartz SiO2 1,74
Cristobalite SiO2 3,95
Tridymite SiO2 0,96
Hematite Fe2 O3 2,74
Rutile TiO2 0.00
Chlorite Mg2.96 Fe1.55 Fe0.14 Al1.28 (Si2.62 Al1.38 010) (OH)8 0,07
Labradorite Na0.35 Ca0.65 Al1.65 Si2.35 O8 3,36
Diaspore Al O OH 1,85
Calcite CaCO3 8,68
Magnesite MgCO3 3,24
Thermonarite Na2CO3 H2O 7,87
Silimanite Al2SiO5 2,17
Titanite CaTi(SiO4)O 9,72
Total 100,00
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
56
Universitas Indonesia
Tabel 4.3 meringkas hasil pengujian menggunakan XRF. Sebagaimana
diketahui bahwa perangkat ini sebenarnya adalah penganalisa unsur-unsur yang
terkandung dalam material. Dengan perkataan lain, perangkat XRF sesungguhnya
tidak mampu mengidentifikasi senyawa material. Namun, dalam Tabel 4.3
tersebut telah tetap jenis senyawanya, ini hanyalah bersifat anggapan saja yang
mengambil senyawa oksida stabilnya dari hasil identifikasi unsur kimia yang
terdeteksi. Hasil dalam Tabel 4.3 menunjukan bahwa senyawa SiO2 adalah
senyawa material dengan fraksi terbesar dalam material yaitu mencapai 78,92%.
Jadi bila dikaitkan dengan hasil analisa kuantitatif XRD dari Tabel 4.2 maka
dapat disimpulkan bahwa fasa amorph sebesar 53,65% yang dimaksud dalam
Tabel 4.2 tersebut adalah fasa amorph SiO2. Hal ini menjadi lebih pasti dengan
hasil analisa mikro menggunakan EDAX sebagaimana dirangkum dalam Tabel
4.4. Analisa EDAX ini memiliki prinsip kerja yang mirip dengan analisa XRF,
hanya saja perangkat EDAX membawa informasi berskala mikro, tidak terlalu
tepat untuk menentukan komposisi fasa material.
Tabel 4.3. Komposisi senyawa kimia Abu Sekam Padi dengan XRF
No Senyawa Abu Sekam Padi
(%)
1 LOI 6,61
2 SiO2 78,92
3 Al2O3 6,69
4 Fe2O3 3,81
5 CaO 1,01
6 MgO 0,72
7 SO3 0,02
8 K2O 1,45
9 Na2O 0,01
10 TiO2 0,47
11 Mn2O3 0,29
12 TA 0,96
Total 100,00
Berdasarkan hasil pada Tabel 4.4 yang berdasarkan pengambilan foto EDAX
seperti ditampilkan pada Gambar 4.3 dimana untuk memastikan pemerataan
kandungan unsur yang ada pada material dilakukan dengan 3 posisi yang berbeda,
terlihat bahwa unsur dalam material dengan fraksi terbesar adalah Karbon (C) dan
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
57
Universitas Indonesia
Oksigen (O) dengan nilai rata-rata masing-masing sebesar 39,70% dan 38,92%
dan disusul oleh unsur Silika (Si) dengan fraksi mencapai nilai rata-rata 20,03%.
Dalam hal hasil analisa mikro ini, menarik untuk diperhatikan adanya Karbon
dengan fraksi terbesar yaitu 39,70%, mengindikasikan kemungkinan adanya fasa
material – SiC mengingat sifat fisik dari abu sekam padi yang keras dan tajam,
merupakan ciri khas dari Karbida yaitu dalam hal ini SiC. Hadirnya SiC dalam
abu sekam padi yang mengalami perlakuan pembakaran telah dilaporkan oleh
berbagai peneliti. Namu, hampir semua peneti melaporkan bahwa pembentukan
SiC memerlukan perlakuan dengan kondisi khusus. Misalnya X. Zhang, H. Wang,
M. Kassem, J. Narayan, C.C. Koch, J. Mater, memperoleh fasa SiC dari
pembakaran sekam padi dalam kondisi atmosfir pada temperatur 2200 0C.
Kehadiran SiC dalam material sekam padi dapat dimengerti karena sekam
padi adalah material berbasis organik antara lain tersusun oleh rantai hidro Karbon
(C-H). Apabila pembakaran sekam padi dilakukan dalam suasana kaya Oksigen,
maka Karbon yang terkandung dalam sekam padi dapat teroksidasi menjadi CO2
pada temperatur 450 0C. Oleh karena itu, bila Karbida SiC menjadi objek tujuan
pembahasan sekam padi menjadi abu sekam padi, maka diperlukan kondisi
khusus untuk pencapaiannya.
Gambar 4.3 Hasil EDAX Abu Sekam Padi beupa grafik, tabel komposisi unsur,
dan pengambilan foto permukaan
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
58
Universitas Indonesia
Tabel 4.4 Hasil EDAX Abu Sekam Padi diambil dari 3 posisi
TEST C (%) O (%) Al (%) Si (%) K (%)
1 36,01 39,94 0,73 22,14 1,19
2 38,19 39,37 0,34 21,36 0,74
3 44,91 37,44 0,34 16,60 0,71
Rata-Rata 39,70 38,92 0,47 20,03 0,88
Hasil EDAX ini bersifat analisa mikro sehingga hadirnya C dalam hasil
pembakaran udara terbuka ini mengindikasikan fasa SiC tetap ada dalam abu
sekam padi meskipun dibakar dalam kondisi udara terbuka (open atmosphere).
Maka, hasil serentetan analisa dengan perangkat XRD, XRF, dan EDAX
terhadap abu sekam padi dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa abu sekam
padi hasil pembakaran terdiri dari fasa amorph berbasis Silika (Si) sebagai
komponen material terbesar dalam abu sekam padi. Fasa Karbide SiC juga diduga
hadir dalam material dengan terdeteksinya atom-atom Karbon dalam abu sekam
padi meskipun telah melalui tahapan pembakaran pada udara terbuka. Namun
demikian hasil analisa EDAX bersifat mikro sehingga hasil ini hanya dapat
memastikan akan kehadirannya saja. Kehadiran fasa amorph Silika telah
dilaporkan oleh banyak peneliti diantaranya Rosario Madrid, C. A. Nogueira dan
F. Margarido, untuk mempermudah terbentuknya fasa CSH yang berperan
penting dalam meningkatkan kekuatan beton ketika proses hidrasi berlangsung.
4.4 Karakteristik Batu Apung
Sebagaimana pada abu sekam padi, batu apung juga ada empat jenis uji yang
dilakukan yaitu untuk melihat Mikrostruktur permukaan sampel berupa foto SEM,
uji EDAX untuk menganalisa unsur, analisa semi kuantitatif dengan XRF, dan
analisa kuantitatif dengan XRD untuk mengetahui unsur yang terkandung pada
material.
Sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu bahwa batu apung yang
dimaksud adalah hasil sedimentasi akibat letusan gunung berapi yang selanjutnya
digunakan sebagai pengganti agregat kasar pada pembuatan beton ringan. Maka
beberapa karakteristik batu apung perlu juga diketahui untuk memahami perannya
dalam beton ringan.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
59
Universitas Indonesia
Mikrostruktur permukaan sampel batu apung berupa foto SEM ditunjukkan
Secara visual sebagaimana pada Gambar 4.4 yaitu sederatan fotomikro dari batu
apung untuk pembesaran 100 x - 5.000 x.
Gambar 4.4. Fotomikro SEM Batu Apung dengan pembesaran 100x (a), 200x (b),
500x (c), 1.000x (d), 2.000x (e), dan 5.000x (f).
Memperhatikan fotomikro SEM pada Gambar 4.4 terlihat permukaan sampel
terdapat sejumlah besar pori beraturan dan terstruktur memanjang ke permukaan
dalam. Ukuran pori bervariasi secara tidak signifikan dengan kerapatan jumlah
pori yang relatif besar. Hal ini mengindikasikan batu apung memiliki densitas
massa yang rendah. Peneliti lain seperti Tayfun Uygunoglu, Witold Brostow,
Osman Gencel, dan Ilker Bekir Topcu (sebagai referensi), juga melaporkan hal
yang sama tentang mikrostruktur batu apung, yaitu struktur berpori setengah
terbuka agregat batu apung sebagian besar dipengaruhi peningkatan kuat tekan
dengan meningkatkan epoxy resin sebagai bahan pengikat dengan agregat. Juga
terlihat permukaan sampel terdapat pori dengan berbagai bentuk dan ukuran
bervariasi dengan kerapatan jumlah yang cukup besar, ini sekali lagi
memperlihatkan rendahnya densitas batu apung.
a
d
b
e
c
f
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
60
Universitas Indonesia
Berikut ini diestimasi kerapatan pori yang terdapat dalam material batu
apung, mekanisme analisa fraksi jumlah pori pada batu apung melalui data hasil
foto SEM dengan mengambil sampel segi empat berukuran 1,00 cm x 1,00 cm.
Dari hasil hitungan manual pada luas (A) 1 cm2
atau 106μm
2 terdapat 3500 buah
pori (N). Secara umum pori berbentuk lingkaran, segi tiga, dan empat persegi, hal
ini diambil untuk mempermudah dalam menghitung luas pori tersebut, adapun
yang berbentuk lingkaran berjumlah 1000 buah (N1) dengan diameter (d) rata-rata
10 μm. Berbentuk segi tiga 1100 buah (N2) dengan rata-rata ukuran tinggi (t) 9
μm, alas (b) 10 μm. Berbentuk empat persegi sebanyak 1400 buah (N3) dengan
rata-rata berukuran panjang (p) 25 μm, lebar (l) 15 μm. Dengan demikian dapat
dilakukan perhitungan Luas total Pori (aiTotal ) sebagai berikut:
1. Berbentuk Lingkaran: ai = d2 (N1)
= (10)2 (1.000)= 78500 μm
2
2. Berbentuk Segi Tiga: ai = b. t (N2)
= (10) (9) (1.100)= 49500 μm2
3. Berbentuk Empat Persegi: ai = p. l (N3)
= (25) (15) (1.400)= 525000 μm2
Jadi Jumlah Total Luas Pori:
aiTotal = 78500 + 49500 + 525000
= 653000 μm2
Dengan demikian Fraksi Pori = aiTotal x 100 %
= x 100 %
= 65,3 %
Hasil estimasi terhadap rongga yang terdapat dalam batu apung menunjukkan
lebih 65% material batu apung berisikan pori atau ruang kosong. Jadi dapat
dimengerti bila material ini merupakan material ringan atau memiliki densitas
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
61
Universitas Indonesia
massa yang rendah. Keberadaan pori yang merupakan pori tertutup menyebabkan
material ini dapat mengapung dipermukaan air karena gaya Archimedes (gaya
angkat yang tinggi).
Pada Gambar 4.5 adalah foto difraksi material batu apung. Mirip dengan pola
difraksi Sinar X abu sekam padi dimana terlihat pola difraksi material juga
mengandung fasa amorph. Namun pada material batu apung puncak-puncak
difraksi terlihat jelas dan tajam. Jadi dipastikan batu apung merupakan campuran
antara material fasa amorph dan fasa kristalin.
Gambar 4.5.Hasil XRD Batu Apung
Tabel 4.5.Hasil uji mineralogi Batu Apung
Mineral Jumlah (%)
Amorphous
71,89
Quartz SiO2 0,03
Cristobalite SiO2 0,15
Andesine Na0.5 Ca0.5 Al1.5 Si2.5 O8 2,12
Labradorite Na0.35 Ca0.65 Al1.65 Si2.35 O8 18,14
Anorthite Ca Al2 Si2 O8 6,56
Albite Na Al Si3 O8 0,59
Calcite CaCO3 0,06
Anatase TiO2 0,15
Penkvilksite H4 Na2 O13 Si4 Ti 0,31
Total
100,00
Rwp
3,94
GOF
1,48
DW 1,04
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
62
Universitas Indonesia
Hasil analisa kuantitatif terhadap pola difraksi material batu apung diringkas
dalam Tabel 4.5. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hampir 72% kandungan
material terdiri dari fasa amorph, selebihnya adalah fasa kristalin dari berbagai
senyawa oksida, umumnya mengandung unsur Silika. Fasa terbesar kedua adalah
Labradorite mencapai 18,14% diikuti dengan fasa Anorthite sebesar 6,56%.
Kedua fasa juga mengandung unsur Si. Hal ini juga diperkuat oleh hasil analisa
unsur XRF sebagaimana diringkas dalam Tabel 4.6 yaitu senyawa oksida berbasis
Silika merupakan senyawa dengan fraksi terbesar yakni mencapai 60,73% dan
diikuti berturut-turut oleh senyawa Al2O3, Fe2O3 sebagai fasa major lainnya
dengan fraksi massa masing-masing 16,73% dan 5,32%. Memperhatikan hasil
analisa kuantitatif XRD dimana fasa amorph dari material mencapai fraksi massa
hampir 72%, maka dapat diduga bahwa fasa amorph dalam batu apung
mengandung unsur Si.
Tabel 4.6. Komposisi senyawa kimia Batu Apung dengan XRF
No Senyawa Batu Apung
(%)
1 LOI 2,63
2 SiO2 60,73
3 Al2O3 16,73
4 Fe2O3 5,32
5 CaO 4,14
6 MgO 1,77
7 SO3 0,01
8 K2O 2,98
9 Na2O 4,68
10 TiO2 0,77
11 Mn2O3 0,23
12 TA 6,65
Total 100,00
Beberapa peneliti seperti Uma Ramasamy dan Paul Tikalsky (2012) juga
melaporkan hal yang sama terhadap hasil analisa batu apung, yang menyimpulkan
bahwa batu apung memiliki SiO2 yang sangat tinggi, Al2O3 lebih rendah, dan CaO
sangat rendah.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
63
Universitas Indonesia
Bila saja densitas batu apung tanpa pori diketahui maka fraksi pori batu
apung dapat ditentukan dari pengukuran massa dan volumenya. Berikut ini
dilakukan perhitungan pendekatan untuk menentukan fraksi pori batu apung.
Sampel batu apung dibuat dengan dimensi 20 x 20 x 20 mm3 atau memiliki
volume 8000 mm3. Massa sampel batu apung adalah 4,835 gram. Sehingga
densitas massanya (ρS) = 604,4 kg/m3. Namun nilai ini tidak menggambarkan
densitas massa batu apung karena volume batu apung sebesar 8000 mm3 adalah
volume bila batu apung bebas pori. Oleh karena itu fraksi pori batu apung hanya
dapat ditentukan bila densitas massa batu apung diketahui. Untuk maksud tersebut
maka densitas batu apung bebas pori atau disebut sebagai densitas teori (ρth)
diestimasi dari fraksi volume senyawa yang ada dalam sampel batu apung
berdasarkan persamaan berikut ini:
ρth = I . ρi
Dimana Vi = Fraksi volume fasa ke i batu apung
ρi = Densitas teoritik fasa ke i
Berdasarkan hasil identifikasi fasa sampel batu apung dengan XRD
sebagaimana tertera dalam Tabel 4.5 diketahui bahwa fasa yang ada adalah
sebagai berikut
1. Andesine (Na0.5 Ca0.5 Al1.5 Si2.5O8 ), fraksi Volume ν1 = 2,12%
2. Labradorite (Na0.35 Ca0.65 Al1.65 Si2.35 O8), fraksi Volume ν2 = 18,14%
3. Anorthite (Ca Al2 Si2O8), fraksi Volume ν3 = 6,56%
4. Cristobalite (SiO2) fraksi Volume ν4 = 71,89%
Dengan mengetahui nilai massa jenis senyawa yang menyusun masing-
masing sampel sebagai berikut: ρ1 (Andesine) = 2670 kg/m3; ρ2 (Labradorite) =
2700 kg/m3; ρ3 (Anorthite) = 2750 kg/m
3; ρ4 (Cristobalite) = 1956 kg/m
3 maka
dengan menggunakan persamaan diatas diperoleh massa jenis teoritik sebesar
(ρth) = 2133 kg/m3. Nilai ini ternyata jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai
densitas sampel berdasarkan pengukuran yaitu 604,4 kg/m3.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
64
Universitas Indonesia
Jadi faktor kepadatan sampel atau Packing density (P) = ρS / ρth ≈ 0,29.
Nilai ini menunjukkan fraksi pori dalam sampel adalah 0,71 atau 71%. Bila kita
kembali lagi kepada evaluasi fraksi pori berdasarkan pengamatan foto SEM
didapatkan nilai fraksi pori pada batu apung sebesar 65,3%, sedang dengan
menggunakan hitungan hasil XRD fraksi pori adalah sebesar 71%, hal ini bisa
dianggap nilainya mendekati sama dengan nilai yang dievaluasi dari foto SEM,
mengindikasikan bahwa nilai fraksi pori batu apung hasil foto SEM dapat
diterima sebagai patokan.
Untuk menghitung persentase senyawa SiO2 hasil XRD (kuantitatif)
dibandingkan dengan hasil XRF (semi kuantitatif) dapat dilakukan dengan
mengambil hasil Tabel 4.5 (hasil XRD) dibandingkan dengan hasil Tabel 4.6
(hasil XRF) batu apung, kemudian dilakukan analisa Berat Molekul mineral yang
persentase kandungannya terbesar hasil XRD seperti Andesine, Labradorite, dan
Anorthite dibandingkan dengan senyawa SiO2 hasil XRF. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui seberapa besar selisih hasil analisa semi kuantitatif XRF dibanding
hasil analisa kuantitatif XRD. Dari analisa menggunakan hasil XRD didapatkan
nilai Berat Molekul (Wt SiO2) adalah sebesar 13,42% jauh lebih kecil
dibandingkan dengan hasil XRF sebesar 60,73%. Ini mengindikasikan bahwa
pada fraksi massa fasa Amorph yang mencapai 71.89% hasil XRD didominasi
senyawa SiO2.
Pada Gambar 4.6 hasil foto EDAX dengan 3 kali posisi pengambilan berbeda,
dilakukan tabulasi seperti ditampilkan dalam Tabel 4.7 terlihat bahwa unsur dalam
material dengan fraksi terbesar adalah Oksigen (O) dan Silika (Si) dengan nilai
rata-rata masing-masing sebesar 39,47% dan 33,38% dan disusul oleh unsur
Karbon (C) dengan fraksi mencapai nilai rata-rata 8,34%, dan Aluminium (Al)
sebesar 7,78%. Hal ini sesuai dengan hasil analisa dengan XRD dan analisa
dengan XRF sebelumnya bahwa batu apung paling banyak mengandung senyawa
oksida Silika.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
65
Universitas Indonesia
Gambar 4.6 Hasil EDAX Batu Apung brupa grafik, tabel komposisi, dan posisi
pengambilan Foto
Tabel 4.7 Hasil EDAX Batu Apung pada 3 posisi
TEST C
(%)
O
(%)
Na
(%)
Al
(%)
Si
(%)
K
(%)
Ca
(%)
Fe
(%)
1 8,15 39,50 3,71 7,87 32,87 2,15 1,80 3,95
2 8,68 39,92 3,92 7,73 33,56 1,85 1,50 2,83
3 8,19 38,99 3,79 7,73 33,70 2,17 2,02 3,41
Rata2 8,34 39,47 3,81 7,78 33,38 2,06 1,77 3,40
Dari hasil serentetan analisa dengan perangkat XRD, XRF, dan EDAX
terhadap batu apung dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa batu apung terdiri
dari fasa amorph berbasis oksida Silika (SiO2) sebagai komponen material
terbesar dalam batu apung dan juga terdapat sebagian kecil fasa kristalin.
4.5 Kuat Tekan Beton Ringan
Setelah mengetahui masing-masing spesifikasi dari agregat halus, abu
sekam padi, dan agregat kasar batu apung, berikutnya dilakukan uji kuat tekan
sebagai parameter utama untuk menentukan kualitas beton ringan yang dibuat.
Dari hasil data percobaan sebagaimana ditampilkan pada Tabel 4.8 dilakukan
analisa dan perhitungan nilai densitas dan kuat tekan beton ringan.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
66
Universitas Indonesia
Tabel 4.8 Densitas dan Kuat Tekan beton umur 3-28 hari kubus 1-7
Kubus
Umur
(hari)
Densitas
(γ) (kg/m
3)
Kuat Tekan
(σ) (MPa)
1
3
7
14
21
28
1363,8
1366,2
1374,8
1383,7
1389,6
6,7
8,0
8,9
10,2
11,1
2
3
7
14
21
28
1397,0
1408,9
1434,1
1448,9
1452,2
8,8
10,2
11,2
12,3
13,3
3
3
7
14
21
28
1549,6
1561,5
1570,4
1582,2
1591,1
10,1
11,7
13,0
14,4
15,6
4
3
7
14
21
28
1673,3
1679,3
1688,2
1697,3
1699,4
11,1
14,1
15,6
16,9
17,8
5
3
7
14
21
28
1700,7
1715,6
1727,0
1737,4
1748,9
12,0
15,9
17,8
19,1
20,0
6
3
7
14
21
28
1717,1
1730,7
1752,4
1768,1
1780,6
12,9
18,5
20,0
21,3
22,7
7
3
7
14
21
28
1841,9
1848,5
1863,7
1878,5
1890,5
13,4
18,9
20,7
21,8
23,2
Pada sampel kubus 1 sampai 7 dilakukan tabulasi hasil uji untuk
mendapatkan nilai densitas dan kuat tekan beton pada umur 3, 7, 14, 21, dan 28
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
67
Universitas Indonesia
hari, pada Tabel 4.8 sampel kubus 1 sampai 7 sesuai dengan komposisi yang
tertera pada Tabel 3.1 yaitu nomor sampel kubus membedakan rasio batu apung
tehadap abu sekam padi (BA/ASP) menurun dari 20 (kubus 1) menjadi 8 (kubus
7). Kemudian dibuatkan grafik perbandingan antara densitas dan rasio batu apung
dengan abu sekam padi seperti pada Gambar 4.7 (a), grafik perbandingan kuat
tekan terhadap densitas ditampilkan pada Gambar 4.7 (b), dan diagram batang
perbandingan kuat tekan beton ketujuh sampel tersebut pada umur 28 hari
sebagaimana ditampilkan pada Gambar 4.8.
Penggunaan batu apung dan abu sekam padi dengan rasio yang meningkat
(8 sampai dengan 20) menunjukan nilai densitas yang cenderung mengecil untuk
berbagai durasi perendaman. Namun untuk keseluruhan sampel, makin lama
waktu perendaman meningkatkan densitas sampel, meskipun peningkatan densitas
tidak terlalu signifikan. Misalnya saja pada kubus nomor 7 dimana memiliki rasio
batu apung terhadap abu sekam padi sebesar 8, hanya terjadi peningkatan sebesar
2,7% bila dibandingkan densitas kubus pada umur 3 hari dan 28 hari. Demikian
juga pada kubus nomor 1 dengan nilai rasio terbesar (20) hanya terjadi
peningkatan sebesar 2%. Namun, bila dibandingkan densitas hasil kubus nomor 1
dan 7 untuk umur 28 hari terdapat kenaikan densitas 36%. Jadi nilai rasio batu
apung terhadap abu sekam padi sangat mempengaruhi densitas. Peningkatan
densitas sampel kubus ternyata, memberikan peningkatan kekuatan beton yang
signifikan sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 4.7 (b) yang membandingkan
kekuatan beton umur 28 hari dari berbagai sampel beton dengan rasio batu apung
terhadap abu sekam padi yang berbeda. Misalnya kekuatan kubus 1 (ρ = 1389,6
kg/m3) adalah 11,1 MPa meningkat menjadi 23,2 MPa yaitu menjadi lebih dua
kalinya pada kubus nomor 7 (ρ = 1890,5 kg/m3). Kedua sampel ini (kubus no 1
dan 7) memiliki perbedaan densitas 36%.
Dengan demikian, hasil evaluasi pengujian terhadap ke 7 sampel
sebagaimana diringkas pada Gambar 4.7 (a) dan Gambar 4.7 (b) menyimpulkan
bahwa pada beton ringan densitas beton juga sangat menentukan kekuatan beton.
Dalam hal ini penggunaan batu apung dan abu sekam padi dengan rasio terendah
(kubus 7) menghasilkan kekuatan beton dengan nilai tertinggi (23,2 MPa).
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
68
Universitas Indonesia
Densitas sampel beton sangat ditentukan oleh massa total sampel dan value
sampel beton. Kehadiran batu apung dan proses hidrasi yang belum optimal akan
meninggalkan pori terbuka dan pori tertutup. Baik batu apung maupun abu sekam
padi keduanya memiliki densitas massa yang relatif rendah dibandingkan dengan
densitas massa material lainnya penyusun beton seperti semen dan pasir. Dengan
demikian perbedaan massa dari sampel 1 sampai dengan 7 yang memiliki
komposisi berbeda tersebut adalah tidak signifikan. Namun value sampel
dipastikan dipengaruhi oleh banyaknya pori tertutup terutama berasal dari batu
apung. Secara kuantitatif, penggunaan batu apung dengan fraksi yang besar, akan
cukup memiliki value sampel dengan fraksi value pori yang besar, karenanya
densitas sampel sesungguhnya akan cenderung rendah. Hal inilah yang
menjelaskan mengapa sampel kubus 7 dapat memperoleh nilai kekuatan tertinggi.
Gambar 4.7 Grafik Densitas terhadap Rasio BA/ASP (a) dan Grafik Kuat Tekan
terhadap Densitas sampel kubus 1-7 pada umur beton 28 hari (b)
1300
1400
1500
1600
1700
1800
1900
6 8 10 12 14 16 18 20
Den
sita
s (k
g/m
3)
Rasio BA/ASP (a)
Umur 3 Hari
Umur 14 Hari
Umur 28 hari
Kubus 111.1
Kubus 213.3
Kubus 315.6
Kubus 417.8
Kubus 520
Kubus 622.7
Kubus 723.2
10
12
14
16
18
20
22
24
1350 1450 1550 1650 1750 1850 1950
Kuat
Tek
an (
MPa
)
Densitas (kg/m3) (b)
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
69
Universitas Indonesia
Terlihat dari Gambar 4.7 (b) kubus 1 memiliki densitas terkecil (1389,6
kg/m3), dan menghasilkan kuat tekan beton terkecil pula (11,1 MPa). Pada kubus
beton 1 sampai 7 terjadi kenaikan kuat tekan beton diiringi pula kenaikan
densitasnya, sedangkan kubus 7 diperoleh nilai kuat tekan beton yang paling besar
(23,2 MPa) dan densitas yang relatif lebih besar pula (1890,5 kg/m3), namun
masih masuk kategori beton ringan dimana densitasnya < 1900 kg/m3 sedangkan
densitas beton normal/standar = 2400 kg/m3.
Pada Gambar 4.8 berikut terlihat bahwa besar nya nilai kuat tekan pada
sampel kubus 1 adalah yang terkecil yaitu sebesar 11,1 MPa masih jauh dari nilai
kuat tekan yang memenuhi suatu spesifikasi. Pada kubus 5 nilai kuat tekannya
sudah mencapai 20,0 MPa namun masih lebih kecil dari nilai spesifikasi. Pada
sampel kubus 6 didapatkan nilai kuat tekan sebesar 22,7 MPa. Sedangkan sampel
kubus 7 diperoleh nilai kuat tekan terbesar yaitu 23,2 MPa. dari Tabel 4.8 juga
terlihat adanya kenaikan kuat tekan seiring dengan bertambahnya umur beton.
Selanjutnya untuk memilih variasi campuran yang akan dipakai pada penelitian
tahap 2 adalah diambil berdasarkan nilai terbesar perbandingan antara nilai kuat
tekan terhadap nilai densitas pada sampel kubus 6 dan sampel kubus 7.
Gambar 4.8. Diagram batang Kuat tekan beton pada umur 28 hari dari kubus 1
sampai kubus 7
0
5
10
15
20
25
1 2 3 4 5 6 7
11.113.3
15.617.8
20.022.7 23.2
Kuat
Tek
an (
MP
a)
Nomor Kubus
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
70
Universitas Indonesia
Untuk menentukan kubus beton yang akan dipilih adalah ditentukan oleh
perbandingan antara besarnya nilai kuat tekan beton terhadap nilai densitas. Dari
hasil Tabel 4.8 diambil nilai kuat tekan dan nilai densitas pada umur 28 hari, dari
perbandingan ini akan dipilih nilai perbandingan yang terbesar untuk jadi
pedoman pada penelitian tahap 2. Adapun rasio kuat tekan terhadap densitas
ditampilkan dalam Tabel 4.9, yang selanjutnya dibuatkan grafik perbandingan
antara keduanya seperti ditampilkan pada Gambar 4.9.
Tabel 4.9. Rasio antara Kuat Tekan terhadap Densitas (σ/ρ) sampel 1-7
umur 28 hari
Kubus 1 2 3 4 5 6 7
σ/ρ
799
916
980
1047
1144
1275
1227
Pada Gambar 4.9 terlihat nilai rasio kuat tekan terhadap densitas dari kubus
1 sampai kubus 6 terjadi kenaikan, namun pada kubus 7 grafik berbalik arah
kebawah, dengan demikian kubus 6 merupakan patokan untuk penelitian tahap
selanjutnya.
Gambar 4.9 Grafik perbandingan nilai Kuat Tekan terhadap densitas sampel
kubus 1 sampai 7 umur 28 hari
799
916
980
1047
1144
12751227
700
900
1100
1300
0 1 2 3 4 5 6 7
σ /
ρ
Nomor Kubus
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
71
Universitas Indonesia
Sebagaiman sudah disebutkan sebelumnya bahwa penelitian pada tahap 2 ini
didasarkan pada hasil penelitian tahap 1 yaitu mengambil variasi campuran beton
pada sampel kubus 6 dengan variasi nilai slump yang berbeda untuk mendapatkan
rasio nilai terbesar perbandingan antara kuat tekan terhadap densitas pada nilai
slump yang optimal. Selanjutnya data hasil uji sampel kubus 8, 9, 10 dan 11
dilakukan tabulasi pada nilai slump masing-masing 5, 8, 11, dan 14 cm, hasil ini
ditampilkan pada Tabel 4.10.
Tabel 4.10 Densitas, Slump dan Kuat Tekan Beton umur 3-28 hari kubus 8-11
Kubus Umur
(hari)
Slump
(cm)
Densitas
(kg/m3)
Kuat Tekan
(MPa)
8
3
5
1702,4 12,6
7 1721,4 17,5
14 1734,9 19,0
21 1754,4 20,0
28 1769,6 20,8
9
3
8
1720,4 13,1
7 1731,4 18,8
14 1754,9 19,9
21 1769,4 21,9
28 1789,6 23,0
10
3
11
1705,6 13,0
7 1728,0 18,3
14 1743,0 19,4
21 1764,0 21,2
28 1774,6 22,0
11
3
14
1701,4 12,1
7 1711,2 16,4
14 1723,1 17,2
21 1730,5 18,4
28 1750,6 19,5
Dari Tabel 4.10 ini dibuatkan grafik perbandingan kuat tekan beton keempat
sampel tersebut pada umur 3 sampai 28 hari sebagaimana ditampilkan pada
Gambar 4.10. Juga dibuat Grafik antara nilai Slump terhadap nilai kuat tekan
beton seperti ditampilkan pada Gambar 4.11.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
72
Universitas Indonesia
Gambar 4.10. Grafik Kuat tekan beton pada umur 3 sampai 28 hari pada
proses pengerasan beton kubus 8-11
Terlihat dari Gambar 4.10 diatas sampel kubus 11 menghasilkan kuat
tekan beton terkecil yaitu sebesar 19,5 MPa. Pada kubus 9 diperoleh nilai Kuat
tekan beton yang paling besar yaitu 23,0 MPa. Pada Gambar 4.11 terlihat bahwa
nilai kuat tekan terbesar terjadi pada nlai Slump 8 cm, sehingga pada Slump 8 cm
adalah yang optimal.
Gambar 4.11 Grafik nilai slump terhadap Kuat Tekan Umur 28 hari
Sebagaimana sudah disebutkan terdahulu bahwa untuk menentukan mana
kubus beton yang akan dipilih adalah ditentukan oleh perbandingan antara
besarnya nilai kuat tekan beton terhadap nilai densitas. Dari hasil Tabel 4.10
diambil nilai Kuat Tekan dan nilai densitas pada umur 28 hari seperti ditampilkan
12.6
17.5 1920
20.8
13.1
18.819.9
21.923,0
13
18.319.4
21.2 22,0
12.1
16.4 17.218.4
19.5
0
5
10
15
20
25
0 5 10 15 20 25 30
Kuat
tek
an (
MPa
)
Umur Beton (Hari)
Kubus 8
Kubus 9
Kubus 10
Kubus 11
20.8
23,0
22,0
19.6
19
20
21
22
23
24
0 5 10 15
Kuat
tek
an (
MPa
)
Slump (cm)
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
73
Universitas Indonesia
pada Tabel 4.11, sehingga diperoleh rasio antara kedua nilai tersebut, dari
perbandingan ini akan dipilih nilai yang terbesar, maka dapat dikatakan itulah
beton ringan yang akan dipilih.
Tabel 4.11. Rasio antara Kuat Tekan terhadap Densitas sampel 8-11 umur
28 hari
Kubus 8 9 10 11
σ/ρ
1175
1285
1240
1114
Untuk lebih jelasnya Tabel 4.11 dibuatkan grafik perbandingan antara rasio
kuat tekan terhadap densitas pada umur beton 28 hari seperti pada Gambar 4.13
berikut ini.
Gambar 4.12 Perbandingan nilai Kuat Tekan terhadap Densitas pada kubus
8-11 umur beton 28 hari
Dari Gambar 4.12 terlihat bahwa sampel kubus 11 memiliki rasio paling kecil
yaitu sebesar 1114, sedangkan rasio terbesar didapatkan pada sampel kubus 9 dengan
nilai 1285. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa dari 11 sampel kubus beton
hasil penelitian ini diambil angka rasio yang terbesar yaitu dengan nilai 1285 yang
didapat pada sampel kubus 9.
Dari serentetan hasil analisa uji kekuatan mekanik beton ringan diatas maka
dapat dimengerti bahwa mekanisme penguatan beton ringan adalah apabila terjadi
peningkatan kekuatan tekan beton akan selalu diikuti pula kenaikan nilai
densitasnya, namun hal ini tidak selalu diikuti oleh nilai slumpnya.
1175
1285
1240
1114
1100
1150
1200
1250
1300
0 1 2 3 4
σ /
ρ
Nomor Kubus8 10 11 9
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
74
Universitas Indonesia
Mikrostruktur permukaan sampel Beton Ringan berupa foto SEM
ditunjukkan untuk melihat secara visual morfologi senyawa-senyawa yang
terbentuk. Pada Gambar 4.13 berikut terlihat hasil foto SEM Beton Ringan Umur
7, 14, 21, dan 28 hari Pembesaran 20000 x
Gambar 4.13 Foto SEM Beton Ringan Umur 7 hari (A), 14 hari (B), 21 hari (C),
dan 28 hari (D) pembesaran 20000 x
Pada Gambar 4.13 foto SEM terlihat bahwa beberapa kemungkinan yang
terjadi pada permukaan material komposit, dimana sebagian semen mengisi
rongga atau pori pada batu apung saat terjadi proses hidrasi semen, hal ini
menyebabkan terjadinya penguatan selama proses berlangsung seiring
bertambahnya waktu. Adanya korelasi antara kecepatan hidrasi dan panas hidrasi,
pada awalnya reaksi hidrasi semen cukup cepat namun kemudian semakin lambat.
Sejalan dengan itu kekuatan berkembang dengan cepat pada awalnya, lalu seiring
dengan bertambahnya waktu kecepatan peningkatan kekuatan menurun.
Peningkatan kekuatan ini terjadi secara berkesinambungan untuk jangka waktu
yang lama.
Semen ketika bereaksi dengan air adalah sebagai material pengikat untuk
membentuk struktur dominan yang terdiri dari Kalsium Silikat Hidrat (CSH).
Pada tahap awal proses hidrasi, struktur masih belum begitu padat, yang ditandai
A B
C D
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
75
Universitas Indonesia
oleh adanya pori-pori. Mekanisme hidrasi dapat dianalisis melalui pertumbuhan
strukturmikro pasta semen pada waktu yang berbeda selama proses hidrasi.
Porositas berkurang seiring bertambahnya waktu hidrasi, hal tersebut dikarenakan
adanya pertumbuhan kristalit CSH seiring bertambahnya waktu hidrasi.
Hasil foto SEM menunjukkan bahwa struktur CSH mulai mengembang atau
tumbuh pada waktu awal dan terus berkembang sampai struktur lebih padat
sampai umur 28 hari. CSH merupakan produk utama dari proses hidrasi pada
semen portland komposit, dimana senyawa ini betanggung jawab penuh dan
memiliki peranan penting terhadap pengaturan sifat mekanik dan fisik seperti
kekuatan tekan setelah pasta semen mengeras.
Pada Gambar 4.14 adalah foto difraksi beton ringan. Terlihat pola difraksi
sudah didominasi fasa kristalin, beberapa puncak-puncak difraksi terlihat jelas dan
tajam, puncak yang tertinggi diprediksi adalah fasa quartz (SiO2), sedangkan
puncak-puncak yang lebih rendah kemungkinan adalah fasa Andesine,
Portlandite, C4AF, C3S-M3, dan Calcite. Jadi diperkirakan beton ringan
merupakan campuran antara fasa kristalin dan ada sedikit fasa amorph.
Gambar 4.14 Hasil uji XRD pola difraksi Beton Ringan umur 28 hari
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
76
Universitas Indonesia
Pada Tabel 4.12 diringkas hasil uji XRD kuantitatif terhadap beton pada
berbagai umur. Pengujian ini termasuk identifikasi fasa yang ada dalam sampel
maupun evaluasi fraksi fasanya yaitu perubahan komposisi.
Tabel 4.12 Hasil uji mineralogi Beton Ringan umur 3-28 hari
NO Mineral Nilai (%) pada Umur (hari)
3 7 14 21 28
1 C3S-M3 5,76 1,40 1,97 3,52 7,47
2 Kaolinite 0,00 0,00 0,00 0,00 0,44
3 Amorphous 5,54 4,67 4,92 8,46 7,36
4 C3S-M1 2,93 5,51 3,45 2,62 0,00
5 C2S-beta 1,84 1,88 3,38 1,29 0,81
6 C3A-cubic 1,11 0,58 0,67 0,26 0,23
7 C3A-ortho 0,94 0,89 0,98 1,06 1,27
8 C4AF 4,56 4,38 3,98 4,43 5,65
9 Lime 0,02 0,00 0,00 0,00 0,08
10 Periclase 0,03 0,02 0,00 0,00 0,00
11 Portlandite 5,65 7,15 6,74 7,21 9,80
12 Quartz 54,93 52,92 53,36 48,77 37,66
13 Arcanite 0,15 0,64 0,71 0,77 1,03
14 Langbeinite 2,24 2,27 2,18 1,75 2,35
15 Aphthitalite 0,18 0,44 0,59 0,44 0,64
16 Gypsum 1,32 1,24 1,06 1,44 0,75
17 Bassanite 0,83 0,50 0,79 0,95 0,61
18 Calcite 1,12 1,76 2,14 3,34 3,30
19 Dolomite 0,43 0,85 0,94 0,53 0,93
20 Tridymite 0,90 0,05 0,36 0,28 0,43
21 Cristobalite 0,49 0,68 0,50 0,68 0,98
22 Sanidine 1,75 1,95 2,14 2,58 1,02
23 Andesine 6,76 8,02 7,36 7,13 8,96
24 Ettringite 0,00 0,00 0,01 0,00 0,00
25 Tubermorite 0,48 1,23 1,20 1,84 8,14
26 Monosulphate 0,03 0,96 0,58 0,65 0,10
27 Total 99,99 99,99 100,01 100,00 100,01
28 Rwp 5,78 5,29 5,27 5,33 6,03
29 GOF 1,50 1,38 1,38 1,39 1,45
30 DW 1,08 1,16 1,21 1,20 1,06
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
77
Universitas Indonesia
Bila diperhatikan Tabel 4.12 pada fasa amorph hanya mencapai antara
4,67% - 8,46% terjadi penurunan yang drastis dibandingkan dengan fasa amorph
material pembentuk beton abu sekam padi dan batu apung, tentu hal ini berkaitan
dengan pembentukan fasa kristalin selama proses hidrasi. Berdasarkan hasil
pengujian beberapa peneliti sebelumnya seperti Taylor (1997) dan Vera (2009),
selama proses hidrasi, terbentuk fasa kristalin terutama fasa yang berbasis silikat.
Bila diperhatikan data pada Tabel 4.12 tersebut, dengan berjalannya waktu fasa-
fasa material mengalami perubahan. Jadi proses hidrasi selama 3 sampai 28 hari
telah menyebabkan perubahan komposisi fasa beton terutama fasa amorph, dan
Andesine yang mengalami pertambahan persentase volume fraksi fasanya,
sedangkan fasa quartz justru berkurang sejalan dengan pertambahan waktu
pengerasan beton.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
78
Universitas Indonesia
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Batu apung dan abu sekam padi yang merupakan bagian dari material
pembentuk beton ringan adalah material berbasis silika amorph yang
memiliki densitas lebih rendah dibandingkan dengan material pembentuk
beton lainnya seperti semen dan pasir.
2. Baik densitas dan kekuatan tekan beton ringan ditentukan oleh rasio batu
apung dibanding abu sekam padi, ditemukan rasio terkecil yaitu 8
menghasilkan nilai densitas dan kekuatan tekan optimal, masing-masing pada
usia beton 28 hari sebesar 1890,5 kg/m3 dan 23,2 MPa.
3. Nilai optimal yang diperoleh pada beton ringan yang terbaik dari hasil
penelitian ini diperoleh dari beton ringan dengan komposisi campuran PCC
(1,00) : Pasir (1,00) : ASP (0,05) : BA (0,50) sampel beton nomor 6 dengan
nilai Slump 8 cm yang ditandai oleh nilai rasio kuat tekan berbanding densitas
tertinggi yaitu sebesar 1285.
5.2. Saran
Penelitian dimasa akan datang pada beton ringan adalah pengembangan
lebih lanjut abu sekam padi sebagai material pengganti sebagian semen (Bio
Semen), dan batu apung sebagai material pengganti agregat halus dan pengganti
sebagian semen.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
79
Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI
A.K. Schindler, K.J. Folliard, Heat of hydration models for Cementitious
Materials, ACI Materials Journal (2005), Title No. 102-M04
A. Manaf, and V. Indrawati, Portland-Blended Cement with Reduced CO2 using
Trass Pozzolan, Journal of the Korean Chemical Society, 2011, Vol. 55, No. 3.
Printed in the Republic of Korea. DOI 10.5012/jkcs.2011.55.3.000
ACI Committee 213R-87, (1999), Guide for Structural Lightweight Aggregate
Concrete, ACI Committee 213, American Concrete Institute
Al-Jabri KS. Hago AW, Al-Nuaimi AS, Al-Saidy AH. Concrete blocks for
thermal insulation in hot climate. Cem Concr Res 2005;35: 1472-1479.
AL-Khalaf, M.N., and Yousif, H.A., "Use of rice husk ash in concrete",
theinternational Journal of cement Composites and lightweight concrete, Vol.6,
No.4, Nov, pp. 241-248,.1984.
Asgeirsson H, Lettsteypur ur vikri. Leghtweight pumice concrete, IBRI; 1984.
ASTM C567-91, (1996), Test Method for Unit Weight of Structural Lightweight
Concrete, ASTM Standards: Concrete and Aggregates, V.04.02., Philadelphia
Babu DS, Babu KG, Wee TH. Properties of lightweight expanded polystyrene
aggregate concretes containing fly ash. Cem Concr Res 2005;35: 1218-1223.
Brown BJ, Skinner M, Report on concrete mix design for lightweight masonry
units using yali pumice coarse and fine aggregates. Report No: 89/3408D/2923,
STATS Scotland Ltd., East Kilbride, Scotland, UK; 1990.
Chandra Satish and Berntsson Leif, (2002), Lightweight Aggregate Concrete:
Science, Technology and Applications, Chalmers University of Technology,
Goteborg, Sweden, William Andrew Publishing, Norwich,New York, USA
Chao Lung Hwang and Satish Chandra, The use of rice husk ash inconcrete,
Edited by Satish Chandra Division of Concrete Structures Chalmers University of
Technology Goteborg, Sweden (1997).
Chi. J.M., Huang. R., Yang, C.C.,Chang, J.J., Effect of aggregate properties on
the strength and stiffness of lightweight concrete. Cem. Concr Compos 2003;
25(2): 197-205.
Dionisius Tripriyo, dkk., Konferensi Nasional Teknik Sipil 4 (KoNTekS 4) Sanur-
Bali, 2-3 Juni 2010.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
80
Universitas Indonesia
E. Sancak, The Effect of the Use of Steel Fibres on Mechanical Properties of
Lightweight Aggregate Concrete Blocks, Suleyman Demirel University, Natural
Science Institute, Master Thesis, Isparta, 79 pages, 1998.
Failla A, Mancuso P, Miraglia N, Ruisi V. Experimental-theoretical study on
pumice aggregate lightweight concrete. Technical report, the instuto di scienza
delle costruzioni, facolta di ingegneria, Palermo; Published by minestero della
publica instuzione, Palermo, Italy; 1997. P. 3-22.
G. De Schutter, General hydration model for Portland Cement and blast furnace
slag cement, Cement and Concrete Recearch 25 No. 3 (1995) 593-604
G. Martinez-Barrera, E. Vigueras-Santiago, O. Gencel, and H.E. Hagg-Lobland, J.
Mater. Ed., 33, 37, 2011
Gunduz L, Ugur I. The effects of different fine and coarse pumice
aggregate/cement ratios on the structural concrete properties without using any
admixtures. Cem Concr Res 2005; 35: 1859-1864.
Gunduz, L. A technical report on lightweitht aggregate masonry block
manufacturing in Turkey. Suleyman Damirel University, Isparta, Turkey; 2005. P.
1-110.
Gunduz, L. The effects of pumice aggregate/cement ratios on the low-strength
concrete properties. Construction and building Materials 22 (2008) 721-728.
Hanifi Binici., Effect of crushed ceramic and basaltic pumice as fine aggregates
on concrete mortars properties, constructions and building materials; 21 : 1191-
1197.
Hwang, C. L., and Wu, D. S., Properties of Cement Paste Containing Rice
Husk Ash, ACI SP-114 (Editor: V. M. Malhotra), pp. 733-765 (1989).
Joedono, ejournal ftunram, vol 2 no 3 Desember 2006.
Judarta Vera Indrawati, Dissertation, Mechanical strength improvement of
Portland blended cement by mechanical and chemical activations. Materials
Science, University of Indonesia, 2009
K. Fuji, W. Kondo, Kinetics of the hydration of tricalcium Silicate, Journal of the
American Ceramic Society 57 (1974) 492-502
Kawkab H. Al-Rawi, Mazin T. Al-Kuttan, and Rawa'a A. Al-Niemey, Some
Mechanical Properties of Pumice Lightweight Aggregate Concrete Incorporating
Rise Husk Ash, Received on: 8/7/2006 , Accepted on: 13/2/2008
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
81
Universitas Indonesia
Ke Y, Beaucour AL, Ortola S, Dumontet H, Cabrillac R. Influence of volume
fraction and characteristics of lightweight aggregates on the mechanical properties
of concrete. Constr Build Mater 2009; 23: 2821-8.
Klaus Meinhard, Roman Lackner, Multiphase hydration model for prediction of
hydration heat release of blended cement, Cement and Concrete Recearch 38
(2008) 794-802
Kornev NA, Kramar VG, Kudryavtsev AA. Design peculiarities of prestressed
supporting constructions from concretes on porous aggregates. Lancester, London,
New York, UK: The concrete society, The Construction Press; 1980. P. 141-152.
Lydon FD., Concrete mix design. 2nd
ed. London: Applied Science Publishers;
1982.
Mehta, P. K., Pozzolanic and Cementitious By-products as Mineral Admixtures
for Concrete-A Critical Review, ACI SP-79, Detroit, MI pp. 1-46 (1983).
Mehta, P. K., Rice Husk Ash-A Unique Supplementary Cement Material,
Advances in Concrete Technology, Ed. by Malhotra, CANMET, Ottawa,
Canada (1992).
Mulyono T., Teknologi Beton, Edisi II, Penerbit ANDI, Jogjakarta, 2005
Nawy, Edward G., Reinforce Concrete a Fundamental Approach, Terjemahan,
Cetakan Pertama, Bandung: PT. Eresco, 1990.
Neville AM. Properties of concrete. 4th
and final edition. Harlow (UK): Addison-
Wesley/Longman limited; 1996.
O. Bernard et al, A multiscale micromechanics-hydration model for the early age
elastic properties of cement-based materials, Cement and Concrete Recearch 33
(2003) 1293-1309
Ricard Ylmen, Ulf Jaglid, Britt-Marie Steenarid, Itai panas, Early hydration and
setting of Portland cement monitored by IR, SEM and Vicat technicues, Cement
Concrete Research 39 (2009) 433-439
Rosario Madrid, C. A. Nogueira and F. Margarido, Production and
Characterisation of Amorphous Silica From Rice Husk Waste, 4th
International
Conference on Engineering for Waste and Biomass Valorisation September 10-
13, 2012 – Porto, Portugal
T.D. Shen, C.C. Koch, Acta Mater. 44 (1996) 753.
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
82
Universitas Indonesia
Tayfun Uygunoglu, Witold Brostow, Osman Gencel, Ilker Bekir Topcu, Bond
Strength of Polymer Lightweight Aggregate Concrete. POLYMER
COMPOSITES—2013. DOI 10.1002/pc. 2131.
Uma Ramasamy dkk, evaluation report of hess pumice, June 11, 2012
Wasserman R, Bentur A, Effect of lightweight fly ash aggregate microstructure on
the strength of concrete, Cement Concrete Research 1997; 27(4) : 525-537.
X. Zhang, H. Wang, M. Kassem, J. Narayan, C.C. Koch, J. Mater.Res. 16 (2001)
3485.
Yang CC, Huang R. Approximate strength of lightweight aggregate using
micromechanics method. Adv Cem Based Mater 1998; 7(3-4): 133-8.
Zhang MH, Gjorv OE. Characteristics of lightweight aggregates for high-strength
concrete, ACI Mater J, 1991 (March-April) : 150-158.
Zhang MH., Microstructure and properties of high strength lightweight concrete.
Div Build Mater. Trondheim, Norway: Norwegian Institute of Technology; 1989
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
83
Universitas Indonesia
LAMPIRAN
PUBLIKASI :
1. Farusi Agusten, Moh Azhar, Studi,Kuat Tekan Beton dengan Menggunakan
Pasir Bangka pada Campuran Beton, Jurnal Teknik Sipil C-Line, Volume 1,
No. 2, Desember 2011.
2. Dede Hartanto, Moh Azhar, Pengaruh Admixtures Superplasticizer Terhadap
Kuat Tekan Beton, Jurnal Teknik Sipil C-Line, Volume 2, No. 1, Juli 2012.
3. Moh Azhar, Azwar Manaf, Bambang Soegijono, Rice Husk Ash and Pumice
in Lightweight Concrete of Engineering Materials to Improve Mechanical
Strength Portland Cement Composites, International Conference: Innovation
Research for Science, Technology and Culture, 19-20 Nov 2013
4. Moh Azhar, Azwar Manaf, Bambang Soegijono, Rice Husk Ash and Pumice
in Lightweight Concrete of Engineering Materials to Improve Mechanical
Strength Portland Cement Composites, International Journals of Engineering &
Sciences, Volume: 14, Issue: 03, June 2014.
5. Moh Azhar, Azwar Manaf, Bambang Soegijono, Vera Indrawati Judarta,
Rekayasa Nilai Slump untuk Mendapatkan Kuat Tekan Terbesar pada Beton
Ringan yang Menggunakan Material Abu Sekam Padi dan Batu Apung,,
Seminar Nasional MIPAnet 2014: Innovative Science for Better Nation:
Revisiting the Role of Science, 2-3 Desember 2014
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
84
Universitas Indonesia
DATA-DATA PENELITIAN DAN HASIL PERHITUNGAN :
Tabel L.1. Data hasil uji Kadar Lumpur Agregat Halus Cara Volume
Tinggi Sampel Awal (ml) 250
Tinggi Air Awal (ml) 500
Tinggi Lumpur Akhir (ml) = A 250
Tingg Pasir Akhir (ml) = B 240
Kadar Lumpur (%) 4 .0
Tabel L.2. Data hasil uji Kadar Lumpur Agregat Halus Cara Berat
Berat Container (gr) 157
Berat Contoh Bahan Alami (gr) 1000
Berat Sample Kering Oven seblm dicuci = A (gr) 974
Berat Sample Kering Oven setlh dicuci = B (gr) 234
Kadar Lumpur (%) 4,1
Tabel L.3. Data hasil uji Kadar Air Agregat Halus
Berat Container (gr) 107
Berat Contoh Bahan Alami (gr) 500
Berat Sample Kering Oven (gr) 492
Kadar Air (%) 1,6
Suhu Ruangan (0 c) 25
Tabel L.4. Data hasil uji Density & Penyerapan Air Agregat Halus
Suhu Ruangan (0 c) 25
Berat Benda Uji Kering Permukaan Jenuh (Bj)(gr) 500
Berat Benda Uji Kering Oven (Bk) (gr) 474
Berat Piknometer & Isi Air (Ba) (gr) 653
Berat Piknometer + Benda Uji Air (Bt) (gr) 998
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
85
Universitas Indonesia
Tabel L.5. Data hasil Analisa Ayakan Pasir ( 1500 gr )
Ayakan Perc. I
Perc. II
tertinggal lolos Komulatif tertinggal
No/mm Berat (gr)
Gr Gr Gr % Gr % %
4/4.75 424 439 449 15 1 1485 99 1
8/2.36 350 431 458 94.5 6.3 1390.5 92.7 7.3
16/2.00 333 402 412 74 4.93 1316.5 87.8 12.23
30/0.425 311 1025 1056 730 48.64 587 39.1 60.87
50/0.250 297 780 745 466 31.03 121.5 8.1 91.9
100/0.106 275 391 377 109 7.27 12.5 0.83 99.17
Container 276 298 279 12.5 0.83 0 0 100
Jumlah 1500 100 372.47
Finenes Modulus = 3.7247 Tabel L.6. Data hasil Analisa Ayakan Batu Apung ( 500 gr )
Ayakan Perc. I
Perc. II
tertinggal lolos Komulatif tertinggal
No/mm Berat (gr)
Gr Gr Gr % Gr % %
4/4.75 424 488 480 60 12 440 88 12
8/2.36 350 487 469 128 25.6 312 62.4 37.6
16/2.00 333 368 365 33.5 6.7 278.5 55.7 44.3
30/0.425 311 426 439 122 24.3 157 31.4 68.6
50/0.250 297 358 379 71.5 14.3 85.5 17.1 82.9
100/0.106 275 310 314 37 7.4 48.5 9.7 90.3
Container 276 329 320 48.5 9.7 0 0 100
Jumlah 500 100 435.7
Finenes Modulus = 4.3570
Tabel L.7. Data hasil uji Density & Penyerapan Air Batu Apung
Berat Tempat (Keranjang) (gr) 1144
Berat Sampel Kering Oven (Bk) (gr) 1000
Berat Sampel Kering Permukaan Jenuh +Tempat (gr) 2980
Berat Sampel Kering Permukaan Jenuh (Bj) (gr) 1836
Berat Sampel Kering Permukaan Jenuh Dlm Air (Ba) (gr) 698
Berat Keranjang Dalam Air (gr) 1017
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
86
Universitas Indonesia
Perhitungan Densitas dan Penyerapan Air pada agregat halus pasir sebagai
berikut:
Bulk Sp. Gr = = = 3,05 gr/cm3
Bulk SSD Sp. Gr = = = 2,56 gr/cm3
App SSD Sp. Gr = = = 2,80 gr/cm3
Penyerapan = x 100 = = 5,4 %
Perhitungan Densitas dan Penyerapan Air pada agregat kasar batu apung sebagai
berikut:
Bulk Sp. Gr = = = 0,8787 gr/cm3
Bulk Sp. Gr (SSD) = = = 1,6134 gr/cm3
App Sp. Gr = = = 3,3113 gr/cm3
Penyerapan = x 100% = = 83,60 %
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
87
Universitas Indonesia
Gambar L.1. Hasil EDAX Abu Sekam Padi berupa grafik, tabel komposisi
unsure, dan pengambilan photo posisi 2
Gambar L.2. Hasil EDAX Abu Sekam Padi berupa grafik, tabel komposisi
unsur, dan pengambilan Photo posisi 3
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
88
Universitas Indonesia
Gambar L.3. Hasil EDAX Batu Apung 2 pada grafik, tabel komposisi, dan
posisi pengambilan Photo
Gambar L.4. Hasil EDAX Batu Apung 3 pada grafik, tabel komposisi, dan posisi
pengambilan Photo
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
89
Universitas Indonesia
Mencari nilai Berat Molekul (BM), untuk menghitung persentase senyawa
yang terjadi pada hasil XRD (kuantitatif) dibandingkan dengan hasil XRF (semi
kuantitatif).
1. Andesine (Na0.5 Ca0.5 Al1.5 Si2.5 O8) = 2.12 %
MR = 0.5 ANa + 0.5 ACa + 1.5 AAl + 2.5 ASi + 8 AO
= 0.5 (22.9998) + 0.5 (40.08) + 1.5 (26.9815) + 2.5 (28.085) + 8 (15.9994)
= 11.4999 + 20.04 + 40.4723 + 70.2125 + 127.9952
= 270.2201
Mencari Berat Molekul (Wt SiO2)
Wt Si = (2.12 %)
= (2.12 %) = 0.5508 %
MR SiO2 = ASi + 2 AO
= 28.085 + 2 (15.9994) = 60.0838
Wt SiO2 = Wt Si
= x 0.5508 % = 1,18 %
2. Labradorite (Na0.35 Ca0.65 Al1.65 Si2.35 O8) = 18.14%
MR = 0.35 ANa + 0.65 ACa + 1.65 AAl + 2.35 ASi + 8 AO
= 0.35(22.9998)+0.65(40.08)+1.65(26.9815)+2.35(28.085) + 8(15.9994)
= 8.0499 + 26.052 + 44.5195 + 65.9998 + 127.9952
= 272.6164
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
90
Universitas Indonesia
Mencari Berat Molekul (Wt SiO2)
Wt Si = (18.14 %)
= (18.14 %) = 4.3917 %
MR SiO2 = 60.0838
Wt SiO2 = Wt Si
= x 4.3917 % = 9,40 %
3. Anorthite (Ca Al2 Si2 O8) = 6.56 %
MR = ACa + 2 AAl + 2 ASi + 8 AO
= 40.08 + 2 (26.9815) + 2 (28.085) + 8 (15.9994)
= 40.08 + 53.963 + 56.17 + 127.9952
= 278.2082
Mencari Berat Molekul (Wt SiO2)
Wt Si = (6.56 %)
= (6.56 %)
= 1.3245 %
MR SiO2 = 60.0838
Wt SiO2 = Wt Si
= x 1.3245 % = 2,84 %
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
91
Universitas Indonesia
Tabel L.8 Data Hasil Pengujian Kuat Tekan Beton dengan variasi Abu Sekam
Padi (ASP) : 0% - 20%
Variasi
Campuran
Umur
Hari
Kuat
Tekan
Kuat Tekan
Rata - Rata
(MPa) (MPa)
0%
3 15,0
13,6 3 13,2
3 12,6
5%
3 13,3
12,6 3 11,5
3 13,0
10%
3 10,2
11,9 3 12,9
3 12,6
15%
3 8,3
8,4 3 8,4
3 8,5
20%
3 8,1 8,0
3 8,0
3 7,9
0%
14 20,2
20,6 14 20,0
14 21,6
5%
14 20,8
19,0 14 18,2
14 18,0
10%
14 20,8
18,5 14 17,3
14 17,4
15%
14 14,2
14,7 14 14,0
14 15,9
20%
14 12,8
13,8 14 14,2
14 14,4
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
92
Universitas Indonesia
Variasi
Campuran
Umur
Hari
Kuat
Tekan
Kuat Tekan
Rata - Rata
(MPa) (MPa)
0%
28 23,3
23,6 28 23,6
28 23,9
5%
28 22,6
22,5 28 22,2
28 22,7
10%
28 20,9
21,5 28 22,2
28 21,4
15%
28 19,7
21,0 28 20,9
28 22,4
20%
28 17,9
17,3 28 16,9
28 17,1
Tabel L.9 Data Hasil Pengujian Kuat Tekan Beton Kubus 1 (PCC : Pasir : BA :
ASP = 1,00 : 1,00 : 1,00 : 0,05), w/c = 0,50
No
Slump
(cm)
Umur
(hari)
Kuat
Tekan
Kuat Tekan
Rata - Rata
Density Density
Rata-Rata
Kubus (MPa) (MPa) (kg/m3) (kg/m
3)
1
14
3
6,7
6,7
1360,2
1363,9 6,5 1364,8
6,8 1366,7
7
8,1
8,0
1360,1
1366,2 8,0 1364,3
7,9 1374,2
14
8,8
8,9
1372,4
1374,8 9,0 1381,4
8,9 1370,6
21
10,3
10,2
1391,5
1383,7 10,2 1378,9
10,1 1380,7
28
11,2
11,1
1398,9
1389,6 11,1 1383,2
11,0 1386,7
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
93
Universitas Indonesia
Tabel L.10 Data Hasil Pengujian Kuat Tekan Beton Kubus 2 (PCC : Pasir : BA :
ASP = 1,00 : 1,00 : 0,90 : 0,05), w/c = 0,50
No
Slump
(cm)
Umur
(hari)
Kuat
Tekan
Kuat Tekan
Rata - Rata
Density Density
Rata-Rata
Kubus (MPa) (MPa) (kg/m3) (kg/m
3)
2
14
3
8,8
8,8
1394,2
1397,0 8,9 1390,0
8,7 1406,8
7
10,3
10,2
1415,8
1408,9 10,1 1400,2
10,2 1410,7
14
11,1
11,2
1430,1
1434,1 11,2 1426,5
11,3 1445,7
21
12,4
12,3
1460,9
1448,9 12,2 1440,2
12,3 1445,6
28
13,3
13,3
1448,3
1452,2 13,2 1442,5
13,4 1465,8
Tabel L.11 Data Hasil Pengujian Kuat Tekan Beton Kubus 3 (PCC : Pasir : BA :
ASP = 1,00 : 1,00 : 0,80 : 0,05), w/c = 0,50
No
Slump
(cm)
Umur
(hari)
Kuat
Tekan
Kuat Tekan
Rata - Rata
Density Density
Rata-Rata
Kubus (MPa) (MPa) (kg/m3) (kg/m
3)
3
14
3
10,0
10,1
1538,6
1549,6 10,2 1567,3
10,1 1542,9
7
11,6
11,7
1550,2
1561,5 11,7 1575,0
11,8 1559,3
14
13,1
13,0
1564,7
1570,4 13,0 1581,2
12,9 1565,3
21
14,5
14,4
1591,6
1582,2 14,3 1574,9
14,4 1580,1
28
15,6
15,6
1603,8
1591,1 15,7 1580,9
15,5 1588,6
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
94
Universitas Indonesia
Tabel L.12 Data Hasil Pengujian Kuat Tekan Beton Kubus 4 (PCC : Pasir : BA :
ASP = 1,00 : 1,00 : 0,70 : 0,05), w/c = 0,50
No
Slump
(cm)
Umur
(hari)
Kuat
Tekan
Kuat Tekan
Rata - Rata
Density Density
Rata-Rata
Kubus (MPa) (MPa) (kg/m3) (kg/m
3)
4
15
3
11,2
11,1
1667,8
1673,3 11,0 1679,3
11,1 1672,8
7
14,2
14,1
1686,2
1679,3 14,0 1668,9
14,1 1682,8
14
15,7
15,6
1680,9
1688,2 15,5 1693,8
15,6 1689,9
21
16,8
16,9
1693,9
1697,3 16,9 1690,7
17,0 1707,3
28
17,9
17,8
1702,4
1699,4 17,7 1705,6
17,8 1690,2
Tabel L.13 Data Hasil Pengujian Kuat Tekan Beton Kubus 5 (PCC : Pasir : BA :
ASP = 1,00 : 1,00 : 0,60 : 0,05), w/c = 0,50
No
Slump
(cm)
Umur
(hari)
Kuat
Tekan
Kuat Tekan
Rata - Rata
Density Density
Rata-Rata
Kubus (MPa) (MPa) (kg/m3) (kg/m
3)
5
11
3
11,9
12,0
1692,3
1700,7 12,1 1711,0
12,0 1698,8
7
16,0
15,9
1708,6
1715,6 15,8 1712,9
15,9 1725,3
14
17,7
17,8
1725,9
1737,0 17,9 1730,3
17,8 1754,8
21
19,2
19,1
1775,2
1757,4 19,1 1750,5
19,0 1746,5
28
20,0
20,0
1771,0
1760,9 20,1 1751,8
19,9 1759,9
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
95
Universitas Indonesia
Tabel L.14 Data Hasil Pengujian Kuat Tekan Beton Kubus 6 (PCC : Pasir : BA :
ASP = 1,00 : 1,00 : 0,50 : 0,05), w/c = 0,50
No
Slump
(cm)
Umur
(hari)
Kuat
Tekan
Kuat Tekan
Rata - Rata
Density Density
Rata-Rata
Kubus (MPa) (MPa) (kg/m3) (kg/m
3)
6
10
3
13,0
12,9
1710,1
1717,1 12,8 1714,6
12,9 1726,6
7
18,4
18,5
1719,8
1730,7 18,6 1726,8
18,5 1745,5
14
19,9
20,0
1760,6
1752,4 20,1 1746,8
20,0 1749,8
21
21,4
21,3
1772,1
1768,1 21,3 1765,3
21,2 1766,9
28
22,6
22,7
1792,3
1780,6 22,7 1776,4
22,8 1773,1
Tabel L.15 Data Hasil Pengujian Kuat Tekan Beton Kubus 7 (PCC : Pasir : BA :
ASP = 1,00 : 1,00 : 0,40 : 0,05), w/c = 0,50
No
Slump
(cm)
Umur
(hari)
Kuat
Tekan
Kuat Tekan
Rata - Rata
Density Density
Rata-Rata
Kubus (MPa) (MPa) (kg/m3) (kg/m
3)
7
12
3
13,3
13,4
1839,2
1841,9 13,4 1842,1
13,5 1844,4
7
19,0
18,9
1852,1
1848,5 18,9 1847,8
18,8 1845,6
14
20,8
20,7
1872,1
1863,7 20,6 1860,4
20,7 1858,6
21
21,7
21,8
1879,4
1878,5 21,9 1875,3
21,8 1880,8
28
23,1
23,2
1895,3
1890,5 23,3 1888,9
23,2 1887,3
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
96
Universitas Indonesia
Tabel L.16 Data Hasil Pengujian Kuat Tekan Beton Kubus 11 (PCC : Pasir : BA :
ASP = 1,00 : 1,00 : 0,50 : 0,05; Slump = 5), w/c = 0,40
No
Slump
(cm)
Umur
(hari)
Kuat
Tekan
Kuat Tekan
Rata - Rata
Density Density
Rata-Rata
Kubus (MPa) (MPa) (kg/m3) (kg/m
3)
8
5
3
12,5
12,6
1697,9
1702,4 12,6 1700,1
12,7 1709,2
7
17,6
17,5
1717,3
1721,4 17,5 1720,6
17,4 1726,3
14
19,1
19,0
1729,8
1734,9 19,0 1732,9
18,9 1742,0
21
19,9
20,0
1752,9
1754,4 20,0 1750,2
20,1 1760,1
28
20,7
20,8
1776,9
1769,6 20,8 1767,4
20,9 1764,5
Tabel L.17 Data Hasil Pengujian Kuat Tekan Beton Kubus 8 (PCC : Pasir : BA :
ASP = 1,00 : 1,00 : 0,50 : 0,05; Slump = 8), w/c = 0,46
No
Slump
(cm)
Umur
(hari)
Kuat
Tekan
Kuat Tekan
Rata - Rata
Density Density
Rata-Rata
Kubus (MPa) (MPa) (kg/m3) (kg/m
3)
9
8
3
13,2
13,1
1721,5
1720,4 13,0 1715,9
13,1 1723,8
7
18,7
18,8
1726,4
1731,4 18,8 1730,1
18,9 1737,7
14
19,6
19,5
1758,0
1754,9 19,4 1747,5
19,5 1759,2
21
21,8
21,9
1765,8
1769,4 21,9 1766,3
22,0 1776,1
28
22,9
23,0
1786,3
1789,6 23,1 1792,3
23,0 1790,2
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
97
Universitas Indonesia
Tabel L.18 Data Hasil Pengujian Kuat Tekan Beton Kubus 9 (PCC : Pasir : BA :
ASP = 1,00 : 1,00 : 0,50 : 0,05; Slump = 11), w/c = 0,52
No
Slump
(cm)
Umur
(hari)
Kuat
Tekan
Kuat Tekan
Rata - Rata
Density Density
Rata-Rata
Kubus (MPa) (MPa) (kg/m3) (kg/m
3)
10
11
3
12,9
13,0
1703,4
1705,6 13,1 1702,3
13,0 1711,1
7
18,4
18,3
1723,2
1728,0
18,3 1726,7
18,2 1734,1
14
19,6
19,7
1739,3
1743,0
19,8 1749,6
19,7 1740,1
21
21,3
21,2
1762,3
1764,0 21,1 1760,6
21,2 1769,1
28
21,9
22,0
1771,2
1774,6 22,0 1779,4
22,1 1773,2
Tabel L.19 Data Hasil Pengujian Kuat Tekan Beton Kubus 10 (PCC : Pasir : BA :
ASP = 1,00 : 1,00 : 0,50 : 0,05; Slump = 14), w/c = 0,56
No
Slump
(cm)
Umur
(hari)
Kuat
Tekan
Kuat Tekan
Rata - Rata
Density Density
Rata-Rata
Kubus (MPa) (MPa) (kg/m3) (kg/m
3)
11
14
3
12,1
12,1
1707,4
1701,4 12,0 1699,3
12,2 1697,5
7
16,5
16,4
1709,4
1711,2
16,4 1708,2
16,3 1716,0
14
17,3
17,2
1723,0
1723,1 17,2 1720,9
17,1 1725,4
21
18,5
18,4
1727,8
1730,5
18,3 1729,7
18,4 1734,0
28
19,6
19,5
1747,6
1750,6 19,4 1755,3
19,5 1748,9
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
98
Universitas Indonesia
Tabel L.20. Data hasil Uji Kuat Tekan kubus 12, Pasta Semen, w/c = 0,45
No Umur
(hari)
Kuat
Tekan
Kuat Tekan
Rata - Rata
Kubus (MPa) (MPa)
12
3
15,6
15,6 15,7
15,5
7
18,1
18,0 18,0
17,9
14
23,6
23,7 23,8
23,7
21
26,2
26,1 26,0
26,1
28
28,9
29,0 29,1
29,0
Tabel L.21. Data hasil Uji Kuat Tekan kubus 13, Pasta Semen + Abu Sekam Padi
(1,00 : 0,05) w/c = 0,45
No Umur
(hari)
Kuat
Tekan
Kuat Tekan
Rata - Rata
Kubus (MPa) (MPa)
13
3
14,9
14,8 14,7
14,8
7
17,2
17,1 17,1
17,0
14
22,1
22,1 22,0
22,2
21
24,8
24,7 24,6
24,7
28
27,6
27,5 27,4
27,5
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
99
Universitas Indonesia
Tabel L.22. Data hasil Uji Kuat Tekan kubus 14, Pasta Semen + Batu
Apung (1,00 : 0,50) w/c = 0,45
No Umur
(hari)
Kuat
Tekan
Kuat Tekan
Rata - Rata
Kubus (MPa) (MPa)
14
3
10,3
10,2 10,1
10,2
7
14,1
14,1 14,2
14,0
14
16,5
16,4 16,3
16,4
21
18,6
18,5 18,4
18,5
28
20,2
20,1 20,1
20,0
Tabel L.23. Data hasil Uji Kuat Tekan kubus 15, Pasta Semen + Pasir
(1,00 : 1,00), w/c = 0,40.
No Umur
(hari)
Kuat
Tekan
Kuat Tekan
Rata - Rata
Kubus (MPa) (MPa)
15
3
16,8
16,8 16,9
16,7
7
23,3
23,2 23,1
23,2
14
31,7
31,6 31,6
31,5
21
34,1
34,0 33,9
34,0
28
35,9
36,0 36,0
36,1
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
100
Universitas Indonesia
Photo SEM Beton Ringan Umur 3-28 hari Pembesaran 1000 x - 10000 x
Gambar L.5 Photo SEM Beton Ringan umur 3 hari pembesaran 1000x
(A), 5000x (B), dan 10000x (C)
Gambar L.6 Photo SEM Beton Ringan Umur 7 hari pembesaran1000x
(A), 5000 x (B), dan 10000x (C)
Gambar L.7 Photo SEM Beton Ringan Umur 14 hari pembesaran1000x
(A), 5000x (B), dan 10000x (C)
Gambar L.8 Photo SEM Beton Ringan Umur 21 hari pembesaran1000x
(A), 5000x (B), dan 10000x (C)
Gambar L.9 Photo SEM Beton Ringan Umur 28 hari pembesaran1000x
(A), 5000x (B), dan 10000x (C)
A C B
C A B
A C B
B A C
A C B
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
101
Universitas Indonesia
PHOTO ALAT-ALAT DAN SAMPEL PENELITIAN :
Alat Uji Kuat Tekan Beton (Compressive Strength Machine)
Mixer
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.
102
Universitas Indonesia
Slump Cube
Sieve Balance & Los Angeles Machine
Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.