cultural encounters in africa

Upload: randy-desvita-sari

Post on 09-Feb-2018

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/22/2019 Cultural Encounters in Africa

    1/4

    Cultural Encounters, Marginalization and The Violence of

    Cultural Conversion

    Meskipun terjadi perbaikan dalam beberapa sektor sosial di beberapa Negara

    selama proses globalisasi berlangsung, kondisi di negara-negara Afrika justru

    mengalami sebaliknya, memburuk selama dua dekade terakhir abad ke-20.1 Dalam

    proses globalisasi, perusahaan terus membuat terobosan untuk kebijakan nasional dan

    politik sehingga melemahkan kemampuan negara-negara Afrika untuk bertindak, ada

    kebutuhan untuk mengeksplorasi alternatif lain untuk pembangunan di Afrika.2

    Ketika orang-orang Afrika menghadapi ketidakpastian dan ketidakamanan pada

    dirinya sendiri, mereka berusaha untuk menarik dirinya yang selama ini mendapatkanpandangan negatif yang diterimanya dan berusaha untuk melepaskan diri dari

    pandangan-pandangan tersebut.3Seperti dalam hal film, karya seni dan publikasi yang

    dilakukan orang-orang Afrika, atau mereka memperlihatkan kekayan dan martabatnya

    secara manusiawi dan kreatif yang terjadi kemudian seringkali tidak dilihat dari sisi

    positif karena yang terjadi ialah Afrika telah diidentikkan dengan karikatur, stereotip

    dan prasangka yang samsa seperti pada masa terjadinya kolonialisasi. Dalam hal ini

    kemudian yang justru terjadi dari kaum Elite Afrika ialah mereka cenderung

    mengartikulasi akulturasi mereka dengan cara yang tidak seperti hal umumnya

    (bertentangan dengan hal yang mainstream) yang sering kali justru terlihat menurunkan

    budaya Afrika di wilayah minoritas dan pedesaan.4

    Tema seperti konflik kreatif atau kreatif kehancuran yang penuh dengan

    budaya populer, juga menunjukkan adanya kekerasan secara psikologis dan perubahan

    emosional bahwa Afrika telah mengalami penderitaan karena marjinalisasi budaya

    melalui perbudakan, kolonialisme, pendidikan, dan globalisasi kapitalisme konsumen.5

    Ketika terjadi pertukaran budaya di wilayah Afrika, mereka tidak mengakui kreativitas

    yang terkandung dalam budaya mereka sendiri dan lebih melihat bahwa hal tersebut

    lebih cocok untuk upaya pelestarian. Pandangan dari budaya lain, khususnya budaya

    barat melihat bahwa tanah Afrika masih murni dalam hal budaya (tidak ada apa-apanya)

    1Lumumba-Kasongo, Tlikumbi, 2002.Reconceptualizing the State as the Leading Agent of Development

    in the Context of Globalization in Africa. African Association of Political Science, Vol 7 No. 1, pg.792Ibid.

    3Nyamnjoh, B. Francis. Culture, Conflict, and Globalization : Africa. Pg. 124

    4

    Ibid.5Ibid.

  • 7/22/2019 Cultural Encounters in Africa

    2/4

    dan hanya sedikit yang pantas untuk dibanggakan selain kekejaman dan tingkat

    kelahiran yang sangat tinggi.6

    Pertumbuhan pendapatan di seluruh dunia sebagian besar telah dilewati di

    negara Afrika, dan sebagian besar populasinya meningkatkan resiko terjadinya

    marginalisasi.7Globalisasi yang ditujukan ke Afrika atas pencapaian pihak barat justru

    telah menyebabkan prasangka dan stereotip. Keselamatan, kenyamanan, atau

    memperbaiki diri dipandang sebagai sesuatu yang mungkin hanya terjadi dalam proses

    westernisasi yang terjadi di luar Afrika, sedangkan bagi peradaban Afrika dan

    budayanya, mereka dianggap konstriktif dan konservatif dimana proses menghancurkan

    lawan harus diatasi dengan peran media dan industri budaya sebagai sihir pengganda,

    pengetahuan, informasi dan propaganda.8Dalam beberapa tahun terakhir, perempuan,

    mahasiswa, kaum proletar, dan petani telah menjadi target keamanan negara. Mereka

    telah diserang, disiksa dan bahkan dibunuh atas nama keamanan negara.9Singkatnya,

    polisi dan aparat militer di negara Afrika telah anti-rakyat dan anti-pembangunan.10

    Mereka kemudian dianggap hanya memiliki sedikit kesempatan dalam proses

    untuk memperbaiki dirinya/memajukkan dirinya sebagai orang Afrika atau kulit hitam,

    dan diundang untuk mengintensifkan asumsi keinginan mereka untuk menjadi seperi

    orang kulit putih di Eropa dan Amerika Utara.11

    Modernitas sebagai hegemoni mode

    kehidupan sosial dan organisasi yang berasal dari Eropa (Giddens, 1990) yang

    menjadikan sebagai kompresor raksasa terbesar yang ditentukan untuk menghancurkan

    setiap peradaban dan budaya dalam rangka untuk mengurangi mereka dari model

    industri barat.12

    Bukannya menyadari dan mengakomodasi secara fakta bahwa orang-orang

    bersikeras bangga terhadap warisan mereka baik dalam hal bahasa, adat istiadat, agama

    dan cara-cara hidup tradisional, yang terjadi ialah barat memiliki ambisi untukmendominasi dalam hal mengatur tentang warisan yang dimiliki orang Afrika dengan

    menekan kreativitas, harga diri melalui penaklukan fisik, pemaksaan dan persuasi,

    6Nyamnjoh, B. Francis. Culture, Conflict, and Globalization : Africa. Pg. 124

    7Dercon, Stefan, 2006. Globalization and Marginalization in Africa: Poverty, Risk and Vulnerability in

    rural Ethiopia. QEH Working Paper SeriesQEHWPS147, Pg.18Nyamnjoh, B. Francis. Culture, Conflict, and Globalization : Africa. Pg. 124

    9Lumumba-Kasongo, Tlikumbi, 2002.Reconceptualizing the State as the Leading Agent of Development

    in the Context of Globalization in Africa. African Association of Political Science, Vol 7 No. 1, pg.9510

    Ibid.11

    Ibid, pg. 125.12Giddens, 1990 in Nyamnjoh, B. Francis. Culture, Conflict, and Globalization : Africa. Pg. 125

  • 7/22/2019 Cultural Encounters in Africa

    3/4

    seperti yang dikatakan oleh Vernon dalam Studi Februari dari keragaman stereotip

    dalam apartheid yang terjadi di Afrika Selatan pada tahun 1981.13 Hal tersebut tidak

    hanya dirampas dari budaya Afrika, namun secara perlahan menjadi tertanam dan

    merendahkan mereka dengan memaksa mereka untuk terus berada dibawah kekuasaan

    dan kesombongan pihak barat dengan cara pandang yang baru.14 Pihak barat

    memojokkan dan mendistorsi budaya barat dengan mengurangi pemberdayaan bangsa

    Afrika yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk menarik diri dan melawan

    dominasi barat di daerahnya.15Struktur atau lembaga yang mungkin dapat memajukan

    pembangunan tidak ada atau, seperti sebagian besar kasus, terlalu lemah untuk

    melaksanakan tugas.16 Selain itu, kekuasaan eksekutif dari negara (pemerintah dan

    kepemimpinan politik) bingung tentang menciptakan agenda untuk kemajuan sosial

    untuk Afrika. Kebingungan ini bersifat multidimensi.17

    Globalisasi yang dibawa dari pihak barat telah menjadikan Afrika sebagai sutau

    bangsa yang inferior dengan mengucilkan nilai-nilai budaya mereka yang sebenarnya

    memiliki potensi untuk berkembang dengan baik.18 Bukannya membantu untuk

    meningkatkan kehidupan di Afrika, bangsa barat justru secara ridak langsung telah

    menimbulkan kebencian dan rasa rendah diri pada masyarakat Afrika secara mendalam

    yang berujung pada ketidakpuasan diri dan terus mengejar apa yang orang kulit putih

    lakukan.19

    Seperti negara-negara lainnya, negara Afrika harus mempunyai populasi yang

    dapat menghasilkan tenaga kerja dan dapat mengendalikannya dengan mencari

    loyalitas yang diperlukan dalam elemen tersebut.20 Namun, meskipun

    banyak pihak yang berupaya untuk menghancurkan identitas budaya mereka dan sejarah

    mereka, orang-orang/pihak barat telah berhasil dalam membuat berbagai klaim dan

    dipelihara banyak loyalitas yang dijadikan nilai fungsi bersama-sama.

    21

    13Nyamnjoh, Francis B. Culture, Conflict, and Globalization:Africa. Pg. 125

    14Ibid.

    15Ibid.

    16Lumumba-Kasongo, Tlikumbi, 2002.Reconceptualizing the State as the Leading Agent of Development

    in the Context of Globalization in Africa. African Association of Political Science, Vol 7 No. 1, pg.8717

    Ibid.18

    Nyamnjoh, Francis B. Culture, Conflict, and Globalization:Africa. Pg. 12519

    Ibid.20

    Lumumba-Kasongo, Tlikumbi, 2002.Reconceptualizing the State as the Leading Agent of Development

    in the Context of Globalization in Africa. African Association of Political Science, Vol 7 No. 1, pg.8721Ibid.

  • 7/22/2019 Cultural Encounters in Africa

    4/4

    Seperti yang dikatakan oleh Hamelink dalam bahan bacaan ini, dimana ia

    mencontohkan pada produk kecantikan yang dapat mencerahkan kulit dalam bentuk

    krim kosmetik dan produk pencerah/pemutih lainnya yang juga dapat dikonsumsi

    masyarakat Afrika seolah menunjukkan bahwa hal tersebut tidak dapat berlaku bahwa

    kulit hitam yang sudah menjadi genetika bangsa Afrika tidak bisa menjadi dan

    mendapatkan kecantikan yang ideal.22Hal ini tidak mengherankan jika hingga saat ini

    Afrika mendapatkan tekanan pada arus konsumen global dan hanya ketika ketiadaan

    akses untuk menjanjikan barang terhadap konsumen terjadi barulah mereka mencari

    upaya untuk mendapatkan apresiasi terhadap kebudayaannya sebagai cara untuk

    mengatasi ketidakpastian dan ketidakamanan yang datang bersamaan dengan arus

    globalisasi.

    22Nyamnjoh, Francis B. Culture, Conflict, and Globalization:Africa. Pg. 125