cultural encounters in africa
TRANSCRIPT
-
7/22/2019 Cultural Encounters in Africa
1/4
Cultural Encounters, Marginalization and The Violence of
Cultural Conversion
Meskipun terjadi perbaikan dalam beberapa sektor sosial di beberapa Negara
selama proses globalisasi berlangsung, kondisi di negara-negara Afrika justru
mengalami sebaliknya, memburuk selama dua dekade terakhir abad ke-20.1 Dalam
proses globalisasi, perusahaan terus membuat terobosan untuk kebijakan nasional dan
politik sehingga melemahkan kemampuan negara-negara Afrika untuk bertindak, ada
kebutuhan untuk mengeksplorasi alternatif lain untuk pembangunan di Afrika.2
Ketika orang-orang Afrika menghadapi ketidakpastian dan ketidakamanan pada
dirinya sendiri, mereka berusaha untuk menarik dirinya yang selama ini mendapatkanpandangan negatif yang diterimanya dan berusaha untuk melepaskan diri dari
pandangan-pandangan tersebut.3Seperti dalam hal film, karya seni dan publikasi yang
dilakukan orang-orang Afrika, atau mereka memperlihatkan kekayan dan martabatnya
secara manusiawi dan kreatif yang terjadi kemudian seringkali tidak dilihat dari sisi
positif karena yang terjadi ialah Afrika telah diidentikkan dengan karikatur, stereotip
dan prasangka yang samsa seperti pada masa terjadinya kolonialisasi. Dalam hal ini
kemudian yang justru terjadi dari kaum Elite Afrika ialah mereka cenderung
mengartikulasi akulturasi mereka dengan cara yang tidak seperti hal umumnya
(bertentangan dengan hal yang mainstream) yang sering kali justru terlihat menurunkan
budaya Afrika di wilayah minoritas dan pedesaan.4
Tema seperti konflik kreatif atau kreatif kehancuran yang penuh dengan
budaya populer, juga menunjukkan adanya kekerasan secara psikologis dan perubahan
emosional bahwa Afrika telah mengalami penderitaan karena marjinalisasi budaya
melalui perbudakan, kolonialisme, pendidikan, dan globalisasi kapitalisme konsumen.5
Ketika terjadi pertukaran budaya di wilayah Afrika, mereka tidak mengakui kreativitas
yang terkandung dalam budaya mereka sendiri dan lebih melihat bahwa hal tersebut
lebih cocok untuk upaya pelestarian. Pandangan dari budaya lain, khususnya budaya
barat melihat bahwa tanah Afrika masih murni dalam hal budaya (tidak ada apa-apanya)
1Lumumba-Kasongo, Tlikumbi, 2002.Reconceptualizing the State as the Leading Agent of Development
in the Context of Globalization in Africa. African Association of Political Science, Vol 7 No. 1, pg.792Ibid.
3Nyamnjoh, B. Francis. Culture, Conflict, and Globalization : Africa. Pg. 124
4
Ibid.5Ibid.
-
7/22/2019 Cultural Encounters in Africa
2/4
dan hanya sedikit yang pantas untuk dibanggakan selain kekejaman dan tingkat
kelahiran yang sangat tinggi.6
Pertumbuhan pendapatan di seluruh dunia sebagian besar telah dilewati di
negara Afrika, dan sebagian besar populasinya meningkatkan resiko terjadinya
marginalisasi.7Globalisasi yang ditujukan ke Afrika atas pencapaian pihak barat justru
telah menyebabkan prasangka dan stereotip. Keselamatan, kenyamanan, atau
memperbaiki diri dipandang sebagai sesuatu yang mungkin hanya terjadi dalam proses
westernisasi yang terjadi di luar Afrika, sedangkan bagi peradaban Afrika dan
budayanya, mereka dianggap konstriktif dan konservatif dimana proses menghancurkan
lawan harus diatasi dengan peran media dan industri budaya sebagai sihir pengganda,
pengetahuan, informasi dan propaganda.8Dalam beberapa tahun terakhir, perempuan,
mahasiswa, kaum proletar, dan petani telah menjadi target keamanan negara. Mereka
telah diserang, disiksa dan bahkan dibunuh atas nama keamanan negara.9Singkatnya,
polisi dan aparat militer di negara Afrika telah anti-rakyat dan anti-pembangunan.10
Mereka kemudian dianggap hanya memiliki sedikit kesempatan dalam proses
untuk memperbaiki dirinya/memajukkan dirinya sebagai orang Afrika atau kulit hitam,
dan diundang untuk mengintensifkan asumsi keinginan mereka untuk menjadi seperi
orang kulit putih di Eropa dan Amerika Utara.11
Modernitas sebagai hegemoni mode
kehidupan sosial dan organisasi yang berasal dari Eropa (Giddens, 1990) yang
menjadikan sebagai kompresor raksasa terbesar yang ditentukan untuk menghancurkan
setiap peradaban dan budaya dalam rangka untuk mengurangi mereka dari model
industri barat.12
Bukannya menyadari dan mengakomodasi secara fakta bahwa orang-orang
bersikeras bangga terhadap warisan mereka baik dalam hal bahasa, adat istiadat, agama
dan cara-cara hidup tradisional, yang terjadi ialah barat memiliki ambisi untukmendominasi dalam hal mengatur tentang warisan yang dimiliki orang Afrika dengan
menekan kreativitas, harga diri melalui penaklukan fisik, pemaksaan dan persuasi,
6Nyamnjoh, B. Francis. Culture, Conflict, and Globalization : Africa. Pg. 124
7Dercon, Stefan, 2006. Globalization and Marginalization in Africa: Poverty, Risk and Vulnerability in
rural Ethiopia. QEH Working Paper SeriesQEHWPS147, Pg.18Nyamnjoh, B. Francis. Culture, Conflict, and Globalization : Africa. Pg. 124
9Lumumba-Kasongo, Tlikumbi, 2002.Reconceptualizing the State as the Leading Agent of Development
in the Context of Globalization in Africa. African Association of Political Science, Vol 7 No. 1, pg.9510
Ibid.11
Ibid, pg. 125.12Giddens, 1990 in Nyamnjoh, B. Francis. Culture, Conflict, and Globalization : Africa. Pg. 125
-
7/22/2019 Cultural Encounters in Africa
3/4
seperti yang dikatakan oleh Vernon dalam Studi Februari dari keragaman stereotip
dalam apartheid yang terjadi di Afrika Selatan pada tahun 1981.13 Hal tersebut tidak
hanya dirampas dari budaya Afrika, namun secara perlahan menjadi tertanam dan
merendahkan mereka dengan memaksa mereka untuk terus berada dibawah kekuasaan
dan kesombongan pihak barat dengan cara pandang yang baru.14 Pihak barat
memojokkan dan mendistorsi budaya barat dengan mengurangi pemberdayaan bangsa
Afrika yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk menarik diri dan melawan
dominasi barat di daerahnya.15Struktur atau lembaga yang mungkin dapat memajukan
pembangunan tidak ada atau, seperti sebagian besar kasus, terlalu lemah untuk
melaksanakan tugas.16 Selain itu, kekuasaan eksekutif dari negara (pemerintah dan
kepemimpinan politik) bingung tentang menciptakan agenda untuk kemajuan sosial
untuk Afrika. Kebingungan ini bersifat multidimensi.17
Globalisasi yang dibawa dari pihak barat telah menjadikan Afrika sebagai sutau
bangsa yang inferior dengan mengucilkan nilai-nilai budaya mereka yang sebenarnya
memiliki potensi untuk berkembang dengan baik.18 Bukannya membantu untuk
meningkatkan kehidupan di Afrika, bangsa barat justru secara ridak langsung telah
menimbulkan kebencian dan rasa rendah diri pada masyarakat Afrika secara mendalam
yang berujung pada ketidakpuasan diri dan terus mengejar apa yang orang kulit putih
lakukan.19
Seperti negara-negara lainnya, negara Afrika harus mempunyai populasi yang
dapat menghasilkan tenaga kerja dan dapat mengendalikannya dengan mencari
loyalitas yang diperlukan dalam elemen tersebut.20 Namun, meskipun
banyak pihak yang berupaya untuk menghancurkan identitas budaya mereka dan sejarah
mereka, orang-orang/pihak barat telah berhasil dalam membuat berbagai klaim dan
dipelihara banyak loyalitas yang dijadikan nilai fungsi bersama-sama.
21
13Nyamnjoh, Francis B. Culture, Conflict, and Globalization:Africa. Pg. 125
14Ibid.
15Ibid.
16Lumumba-Kasongo, Tlikumbi, 2002.Reconceptualizing the State as the Leading Agent of Development
in the Context of Globalization in Africa. African Association of Political Science, Vol 7 No. 1, pg.8717
Ibid.18
Nyamnjoh, Francis B. Culture, Conflict, and Globalization:Africa. Pg. 12519
Ibid.20
Lumumba-Kasongo, Tlikumbi, 2002.Reconceptualizing the State as the Leading Agent of Development
in the Context of Globalization in Africa. African Association of Political Science, Vol 7 No. 1, pg.8721Ibid.
-
7/22/2019 Cultural Encounters in Africa
4/4
Seperti yang dikatakan oleh Hamelink dalam bahan bacaan ini, dimana ia
mencontohkan pada produk kecantikan yang dapat mencerahkan kulit dalam bentuk
krim kosmetik dan produk pencerah/pemutih lainnya yang juga dapat dikonsumsi
masyarakat Afrika seolah menunjukkan bahwa hal tersebut tidak dapat berlaku bahwa
kulit hitam yang sudah menjadi genetika bangsa Afrika tidak bisa menjadi dan
mendapatkan kecantikan yang ideal.22Hal ini tidak mengherankan jika hingga saat ini
Afrika mendapatkan tekanan pada arus konsumen global dan hanya ketika ketiadaan
akses untuk menjanjikan barang terhadap konsumen terjadi barulah mereka mencari
upaya untuk mendapatkan apresiasi terhadap kebudayaannya sebagai cara untuk
mengatasi ketidakpastian dan ketidakamanan yang datang bersamaan dengan arus
globalisasi.
22Nyamnjoh, Francis B. Culture, Conflict, and Globalization:Africa. Pg. 125