critical discourse analysis dalam website lgn.or.id pada kasus...

29
1 DISKURSUS LEGALISASI GANJA MEDIS PADA MEDIA DIGITAL (Studi Critical Discourse Analysis dalam website lgn.or.id pada kasus Fidelis Ari) Oleh: Aria Mahatamtama 071411533001 Email: [email protected] ABSTRAK Penelitian ini adalah studi yang secara kritis menganalisa portal media online, yakni lgn.or.id. Terdapat praktik yang terjadi pada pewacanaan legalisasi ganja medis yang melibatkan kasus Fidelis Ari. Menemukan bagaimana wacana legalisasi ganja medis diartikulasikan pada media online LGN, peneliti mengaitkan beberapa konsep yang saling berkaitan. Beberapa konsep tersebut antara lain adalah legalisasi sebagai resistensi, media sebagai strategi legalisasi, internet sebagai medium counter-discourse, hegemoni media dan Negara dalam diskursus dominan. Penelitian ini mengacu pada paradigma kritis. Dalam menganalisis, penelitian ini menggunakan Critical Discourse Analysis (CDA) model Norman Fairclough. Dengan membahas dimensi teks, praktik wacana, praktik sosio-budaya melalui teks artikel lgn.or.id pada kasus Fidelis Ari. Penelitian ini menunjukkan bahwa wacana legalisasi ganja medis yang diartikulasikan dalam dimensi teks seperti pada website LGN memunculkan sikap resisten terhadap UU Narkotika No.35 tahun 2009. Artikulasi wacana sikap resisten tersebut didukung dengan melihat UU Narkotikasebagai regulasi yang membawa nilai anti-kemanusiaan. Terdapat dualisme antara LGN dan BNN sebagai representasi negara yang menolak legalisasi ganja medis. Kata Kunci: Diskursus, resistensi, legalisasi, ganja medis, Undang-undang Narkotika, pasar gelap.

Upload: others

Post on 25-May-2020

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

DISKURSUS LEGALISASI GANJA MEDIS PADA MEDIA DIGITAL

(Studi Critical Discourse Analysis dalam website lgn.or.id pada kasus Fidelis Ari)

Oleh: Aria Mahatamtama – 071411533001

Email: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini adalah studi yang secara kritis menganalisa portal media

online, yakni lgn.or.id. Terdapat praktik yang terjadi pada pewacanaan legalisasi

ganja medis yang melibatkan kasus Fidelis Ari. Menemukan bagaimana wacana

legalisasi ganja medis diartikulasikan pada media online LGN, peneliti

mengaitkan beberapa konsep yang saling berkaitan. Beberapa konsep tersebut

antara lain adalah legalisasi sebagai resistensi, media sebagai strategi legalisasi,

internet sebagai medium counter-discourse, hegemoni media dan Negara dalam

diskursus dominan. Penelitian ini mengacu pada paradigma kritis. Dalam

menganalisis, penelitian ini menggunakan Critical Discourse Analysis (CDA)

model Norman Fairclough.

Dengan membahas dimensi teks, praktik wacana, praktik sosio-budaya

melalui teks artikel lgn.or.id pada kasus Fidelis Ari. Penelitian ini menunjukkan

bahwa wacana legalisasi ganja medis yang diartikulasikan dalam dimensi teks

seperti pada website LGN memunculkan sikap resisten terhadap UU Narkotika

No.35 tahun 2009. Artikulasi wacana sikap resisten tersebut didukung dengan

melihat „UU Narkotika‟ sebagai regulasi yang membawa nilai anti-kemanusiaan.

Terdapat dualisme antara LGN dan BNN sebagai representasi negara yang

menolak legalisasi ganja medis.

Kata Kunci: Diskursus, resistensi, legalisasi, ganja medis, Undang-undang

Narkotika, pasar gelap.

2

PENDAHULUAN

Penelitian ini melihat bagaimana pewacanaan legalisasi ganja medis yang

dinarasikan oleh Lingkar Ganja Nusantara pada kasus Fidelis Ari dalam situsnya

yaitu lgn.or.id. Kontroversi kegunaan tanaman ganja di Indonesia menuai banyak

kasus, salah satunya kasus yang dialami oleh Fidelis. Lelaki berdomisili Sanggau,

Kalimantan Barat tersebut harus kehilangan istrinya pada tahun 2017 yang

terkena penyakit kanker sum-sum tulang belakang sejak 2015 (Kompas, 2017).

Fokus peneliti, pada teks artikel yang dimuat dalam situs lgn.or.id dengan kasus

Fidelis. LGN berusaha untuk mengadvokasi, mengedukasi masyarakat termasuk

kasus Fidelis. Seperti bagaimana LGN menyediakan advokasi bagi Fidelis untuk

menggunakan ganja sebagai obat alternatif (lgn.or.id).

Penggunaan ganja sebagai alternatif pengobatan adalah perbuatan yang

melanggar UU Narkotika No.35 tahun 2009. Karena kebijakan tersebut

menggolongkan tanaman ganja kedalam Golongan 1 (satu) sebagai zat narkotika

yang berbahaya. Sikap perlawanan yang ditunjukkan oleh LGN menggambarkan

sikap resistensi. Resistensi sendiri bekerja tergantung bagaiamana seberapa

kuatnya wacana dominan tersebut dilawan. Dengan bentuk perlawanan tersebut,

lambat laun akan dilakukan secara masif ketika wacana minoritas benar-benar

tertindas (De Witt, 1973, p.3). Upaya legalisasi harus mengandung sistem hukum,

agar pondasi pada dimensi kewajiban dalam mengatur regulasi bisa berjalan Hart

(1961).

Fokus penelitian ini melihat bagaimana pewacanaan legalisasi ganja

medis. Lahirnya pewacanaan legalisasi ganja dimulai ketika awal mula LGN

terbentuk. Kampanye yang dilakukan oleh LGN pun dimulai lewat media sosial

facebook pada tahun 2012. Dengan memiliki nama akun legalisasiganja.com.

Website lgn.or.id sebagai media alternatif memproduksi teks yang menjadi

counter discourse terhadap wacana dominan terkait eksistensi dan identitas

tanaman ganja. Golongan 1 dalam Undang-undang menyebutkan: “Narkotika

golongan satu hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu

3

pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat

tinggi mengakibatkan ketergantungan. Hal ini dirujuk pada heroin, kokain, daun

kokain, opium, ganja, katinon, jicing, ecstasy dan 65 jenis lainnya” (UU

Narkotika, 2009)

Merujuk pada regulasi tersebut, penelitian ini melihat bagaimana

diskursus ganja medis ini diartikulasikan pada web lgn.or.id. Strategi yang

digunakan LGN untuk mengadvokasi masyarakat lewat media alternatif seperti

website, turun aksi ke jalan dalam rangka Global Marijuana March. LGN sendiri

selain website, memiliki media lain dalam menyampaikan edukasi lewat twitter,

facebook, instagram, dan youtube. Dalam akun youtubenya LGN sudah memiliki

14.665 subscribers. Akan tetapi dalam kanal website, LGN lebih fokus dalam

memberikan edukasi lewat artikel tentang manfaat tanaman ganja dari rekreasi,

medis, dan industri. Artikel tersebut memproduksi teks-teks yang membawa

praktik diskursus tertentu dalam membangun wacana. Analisis wacana kritis

melihat bahasa sebagai faktor yang terpenting. Seperti bagaimana bahasa

digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan yang terjadi (Fairclough, 1995

p.16).

Dengan dikeluarkannya instruksi presiden Republik Indonesia (inpres)

Nomor 6 tahun 1971 kepada kepala Badan Koordinasi Intelejen Nasional

(BAKIN) untuk menanggulangi 6 masalah dan salah satunya adalah Narkoba.

Pada masa kepemerintahan orde baru tersebut, narkoba menjadi salah satu

polemik yang kerap dirasakan pada era kepemerintahan Soeharto. Dengan

antisipasi pemerintah pada saat itu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) mulai

mengesahkan Undang-Undang psikotropika dan Narkotika sebagai awal untuk

menegakkan pemberantasan narkotika. Lalu pada kepemerintahan Abdurachman

Wahid, membentuk Badan Koordinasi Narkotika Nasional yang disingkat

BKNN, hingga mulai tahun 2002 mengganti nama menjadi Badan Narkotika

Nasional (BNN) untuk meningkatkan kerja sebagai „badan‟ pemberantas

narkotika (bnn.go.id).

4

LGN sendiri adalah Organisasi atau bisa dikenal sebagai Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM). Bergerak sesuai visinya yaitu mengedukasi

masyarakat akan manfaat tanaman ganja (lgn.or.id). Edukasi yang dilakukan

LGN kerap kontra dengan hukum positif negara, pola yang dilakukan adalah

dengan melawan hukum positif negara yaitu resisten. Resistensi harus digunakan

secara konstruktif, dan secara umum penggunaan terminologi resistensi

digunakan untuk merujuk pada pertentangan, pembangkangan, dalam konteks

antara kekuatan dan dominasi (Barker, 2004:178). Dalam melawan diskursus

dominan yang berbicara bahwa ganja adalah tanaman berbahaya, LGN

menggunakan media sebagai sarana penyebaran informasi kegunaan tanaman

ganja.

Media sosial dapat menjadi wadah partisipasi kolektif. Seperti

penggunaan internet untuk berbagi dan pertukaran informasi, pendapat,

pengalaman dan menjalin melalui komputer dimana penggunaannya tidak

semata-mata untuk alat namun juga dapat menimbulkan afeksi dan emosional

(McQuail, 2000, p.127). Sebagai salah satu kekuatan pembentuk opini publik,

media juga berperan dalam membentuk wacana dominan atas suatu realitas.

Wacana dominan adalah wacana yang diakui kebenarannya oleh masyarakat.

Akan tetapi, negara dengan baik membangun wacana dominan mengenai

tanaman ganja. Wacana dominan tersebut dapat dilihat sebagai hegemoni.

Hegemoni sendiri merupakan dominasi yang dibentuk oleh kelompok dominan,

lalu bergerak pada kelompok lain, tanpa adanya ancaman kekerasan, guna narasi

yang didikte oleh kelompok tersebut dapat diterima sebagai sebuah kebenaran

yang wajar dalam sifat moral, intelektual, serta budaya (Gramsci, 1971:13).

Maka dari itu, Fidelis dipersalahkan karena mengobati istrinya

menggunakan ekstrak ganja. Pertama, negara mengakui hukum positif bahwa

tanaman ganja adalah tanaman yang ilegal. Kedua, negara berusaha menunjukkan

kebenaran lewat pesan yang bersifat moral, rasional, dan membudaya. Negara

menolak penggunaan pengobatan dengan ganja dipertegas oleh Budi Waseso

sebagai kepala BNN. Perbuatan yang dilakukan Fidelis melanggar hukum,

5

apalagi dengan statusnya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan menggunakan

ganja sebagai alternatif adalah berdasarkan riset kecil yang dicari melalui

internet, bukan berdasarkan fakta para ahli medis di Indonesia (Merdeka.com,

2017).

Sehingga, permasalahan peneliti adalah dengan melihat bagaimana

wacana legalisasi ganja medis pada kasus Fidelis Ari dalam website lgn.or.id

diartikulasikan. Untuk mengurai dan membuktikan hal ini, peneliti akan memilih

metode Critical Discourse Analysis (CDA) milik Norman Fairclough sebagai

pisau analisa. Metode ini dipilih karena analisis wacana ingin mengintegrasikan

aspek lingustik dengan pemikiran sosial-politik (Eriyanto, 2001). Fairclough

(1995) membagi analisisnya ke dalam tiga tahapan yaitu analisis teks, analisis

praktik wacana, dan analisis praktik sosial. Dalam pemahaman Fairclough

terdapat tiga efek. Pertama, wacana memberikan andil dalam membentuk realitas

sosial. Kedua, wacana membantu mengkonstruksi relasi sosial di antara orang-

orang. Bagian ketiga, wacana memberikan kontribusi melalui sistem pengetahuan

dan kepercayaan dalam meneruskan praktik diskursif.

PEMBAHASAN

Diskursus “Legalisasi Ganja medis” merupakan diskursus yang constitutive

dan constituted yang dimana berarti diskursus adalah sebuah praktik sosial yang

dapat menciptakan dunia sosial dan sekaligus eksistensinya diciptakan oleh

praktik-praktik sosial yang lain. Diskursus legalisasi ganja akhirnya menjadi

suatu pengetahuan baru yang tercipta dari praktik sosial, salah satu organisasi

yang masuk dalam praktik sosial adalah LGN. Dari penjabaran tiap artikel,

peneliti menemukan konstruksi yang berulang pada penolakan UU Narkotika No.

35 tahun 2009. Penolakan tersebut digambarkan sebagai regulasi yang tidak

sesuai dengan pancasila. Peneliti merasa terdapat sikap resisten terhadap regulasi

tersebut.

Pada penjabaran tiap teks artikel pada lgn.or.id, ditemukan titik singgung

pada pancasila. Pancasila berusaha diudar sebagai sebuah konsep yang

6

berlawanan dengan UU Narkotika No.35 tahun 2009. Sikap perlawanan ini,

diperkuat pada artikel pertama yang diunggah oleh LGN berjudul “Global

Marijuana March”.

“LGN melihat bahwa UU Narkotika No.35 Tahun 2009 tidak sejalan

dengan prinsip Pancasila.” (lgn.or.id)

Maka disini LGN berusaha berbicara mengenai sikap perlawanan terhadap UU

Narkotika no. 35 tahun 2009. Dipertegas didalam artikel bahwa “UU Narkotika

tidak sejalan dengan pancasila. LGN mempertegas bahwa regulasi tersebut

sepatutnya dilawan, karena tidak mencerminkan lima sila yang terkandung dalam

pancasila.

Temuan yang didapat peneliti dalam artikel lgn.or.id pada kasus Fidelis

berusaha mengarahkan pada beberapa topik seperti narasi UU narkotika yang

memiliki sikap “resisten” karena UU Narkotika digambarkan tidak sesuai

pancasila. Selain itu terdapat artikulasi “anti-kemanusiaan” yang digambarkan

bahwa regulasi Narkotika dapat membuat Yeni meninggal, dan Fidelis harus

mendekam di penjara. Penanda yang ditemukan peneliti pada artikel melihat

bahwa LGN, berusaha untuk bersikap resisten terhadap Undang-undang. Praktik

resisten yang ditemukan penanda lain yang menjelaskan bahwa UU Narkotika

sangat tidak relevan dalam menggolongkan tanaman ganja sebagai narkotika dan

tidak dapat dipergunakan dalam manfaat medis.

Konsep resistensi yang digambarkan, menjadi praktik diskursif legalisasi

ganja. Penolakan regulasi UU Narkotika yang melihat bahwa tanaman ganja tidak

dapat dimanfaatkan meneruskan praktik diskursus legalisasi ganja. Kata

“resistensi” secara harfiah berawal dari kata bahasa inggris yaitu “resist” dalam

hal ini resistensi adalah tindakan terhadap pemerintah yang dimana merupakan

penentangan atau perlawanan terhadap kebijakan pemerintah (Barker, 2004, p.7).

Pernyataan pada sikap resisten tersebut ditunjukkan lewat artikel pada website

lgn.or.id.

Bpk. Budi Waseso, Pimpinan BNN, “tidak ada pengampunan ya.”

Menurutnya belum ada penelitian yang membuktikan ganja mampu

7

menjadi obat. Tidak lama berselang, Menteri Kesehatan, Ibu Nila

Moeloek, ikut bicara, “ganja itu buat „fly‟, jadi lupa akan rasa sakit

dan sebagainya.” Ketika ditanya soal riset, beliau juga menyatakan

belum ada niat melakukannya. Menurut Dhira, Ketua LGN, hal ini

menyisakan pertanyaan besar di masyarakat, “kalau belum pernah

diriset, kenapa ganja disimpulkan sebagai Narkotika dan tidak

bermanfaat buat medis? (lgn.or.id).

Jika menilik kutipan diatas maka bisa terlihat bagaimana LGN melakukan

sikap resistensi terhadap sistem yang berlaku terkait kebijakan narkotika. Seperti

bagaimana pemilihan narasumber yang berusaha dimunculkan dalam artikel LGN

seperti kutipan diatas. Terdapat Budi Waseso sebagai representasi BNN, dan juga

Nila Moeloek sebagai Kementrian kesahatan yang menjadi representasi pakar

kajian-kajian medis dalam menyikapi penggunaan medis tanaman ganja. Dalam

statemennya Bagaimana udaran diatas menjelaskan bahwa BNN dan Kemenkes

sebagai representatif negara hanya melihat konteks UU Narkotika sebagai hukum

positif tanpa melihat kontekstualisasi kasus Fidelis atas alasannya menanam

ganja. Selain sikap resisten, LGN juga menunjukkan bahwa Fidelis hanya ingin

menjalankan sisi kemanusiaan untuk mengobati istrinya. Udaran tersebut

dijelaskan dalam artikel pada web lgn.or.id (lgn.or.id).

tolong kawan-kawan lebih fokus pada sisi kemanusiaan yang

menimpa istri saya (alm. Yeni).

Menurut peneliti, udaran “lebih fokus pada sisi kemanusiaan”

menjelaskan bahwa tindakan yang dilakukan Fidelis ini resmi untuk membantu

istrinya dalam mengobati sakit kanker yang di deritanya. Fidelis merasa ganja

yang mampu menjawab sakit Syringomylia yang diderita oleh istrinya. LGN

dalam udaran diatas berusaha menegaskan bahwa BNNK Sanggau yang

menindak lanjuti harus melihat konteks kenapa Fidelis berani menanam. Jika

memang regulasi narkotika melarang Fidelis, tolong Pemerintah melihat sisi

kemanusiaan yang dilakukan Fidelis dalam mengobati istrinya. Jika negara tidak

terlalu represif dalam melihat hukum positif mengenai regulasi narkotika, maka

Fidelis tidak harus kehilangan (alm. Yeni). Penegasan kata “almarhum”

menandaskan bahwa regulasi narkotika belum bisa menjawab persoalan

kemanusiaan.

8

Wacana legalisasi ganja sebagai suatu praktik diskursif yang dilakukan

LGN jika teks tentang “legalisasi” tidak diiringi dengan analisis terkait regulasi.

Analisis pewacanaan juga harus melihat bagaimana sosial-kultural dapat dibaca

sebagai keterkaitan teks (Eriyanto, 2005, p.28). Karena kembali lagi, LGN

berkembang dalam iklim negara Indonesia dan Indonesia menganut lembaga

hukum dalam upaya menerapkan peraturan. Hal ini tidak lepas pada bagaimana

ganja dikonotasikan sebagai tanaman candu “membuat fly” yang seakan

menghapus segala kemanfaatannya dalam sisi medis. Sikap gagap-tanggap negara

mengistilahkan satu hal yaitu negara “takut” akan legalisasi ganja dengan

memberikan stigma negatif dan perlakuan yang totaliter. Sikap semacam ini yang

menghilangkan secara potensial manfaat tanaman ganja untuk diungkap,

didiskusikan, hingga dibudidayakan dalam ruang publik.

Selama ini ganja dikuasai oleh kartel narkoba, karena kartel narkoba

berjualan hasil produksinya kedalam pasar gelap (blackmarket). Pasar gelap

dalam sebuah negara selalu memperjualkan sesuatu yang ilegal. Penolakan LGN

terhadap pasar gelap dijelaskan dalam artikel pada website lgn.or.id (lgn.or.id).

Kami tidak ingin pohon ganja selamanya dikuasai pasar gelap

narkotika. Kami ingin pohon ganja dapat mengobati.

Udaran diatas menandaskan bahwa jika negara melegalkan ganja, maka negara

dapat mengatur pasar (market) yang nantinya semua prosedur produksi ganja

akan diatur negara, dan juga keuntungan ekonomi akan dapat diatur oleh negara.

Selama ini, kartel selalu bebas pajak. Keuntungan yang di dapat dari kartel ganja

dapat menjadi 30 kali lipat dari harga produksi awal. Keuntungan berlipat itu

akan masuk kedalam kantong Bandar dari kartel ganja tersebut. Negara tidak

dapat merasakan keuntungan dari penjualan ganja tersebut. Terdapat penanda lain

yang dapat memperkuat bagaimana ganja memiliki keuntungan karena masuk

pasar gelap, seperti yang masuk dalam investigasi mendalam CNN (CNN, 2016).

9

Gambar 1: Gambar invesitgasi CNN pada “Demam Ganja di

Indonesia”. (sumber:cnnindonesia.com)

Jika ganja dikirim dari Aceh Rp. 500.000/kg nya, maka sampai Jakarta harga

ganja bisa mencapai Rp 2,5 Juta – 5 Juta/kg nya, tergantung pada jenis kualitas

yang ditawarkan. LGN merasa Pemerintah harus berani mengambil sikap

mengenai legalisasi ganja. Selain itu juga, jika selamanya ganja dikuasai pasar

gelap maka yang diuntungkan hanya beberapa oknum saja. Sikap resistensi yang

dilangsungkan LGN bersumber bahwa sebenarnya legalisasi ganja bisa menjadi

komoditas negara. Negara dapat mengatur pasar mengenai produksi dan distribusi

ganja. Selain itu, ganja dapat dikaji sebagai alternatif medis.

Praktik pewacanaan legalisasi ganja medis menghasilkan tiga poin. Poin

pertama dalam teks yang menjadi penanda adalah, regulasi narkotika memiliki

nilai anti-kemanusiaan. Karena, jika negara tidak memandang ganja sebagai

tanaman terlarang, maka Yeni Indrawati nyawanya masih bisa terselamatkan,

10

yang akhirnya Fidelis tidak perlu dipenjara. Poin kedua menjelaskan bahwa sikap

resisten yang diudar oleh LGN melalui artikel menjelaskan bagaimana pasar

gelap sebenarnya yang berusaha dilawan oleh LGN. LGN berpendapat bahwa,

ketika ganja legal, maka ganja dalam pasar gelap (blackmarket) yang dikuasai

oleh kartel akan hilang. Karena semua masyarakat akan beralih pada pasar yang

legal. Pasar gelap yang menjual ganja akan bangkrut karena ganja sudah legal,

dan akhirnya ganja dapat menyumbang pertambahan ekonomi negara.

Poin yang ketiga adalah dualisme yang dihasilkan oleh LGN dan BNN

terkait tanaman ganja. Kedua pihak melihat tanaman ganja dengan kacamata pro

dan kontra. Temuan pada subab ini menjadi bagan yang menjelaskan legalisasi

sebagai praktik resistensi LGN pada pemerintah. Sikap yang ditunjukan dengan

menekan pada regulasi narkotika untuk menyegerakan revisi karena meletakkan

tanaman ganja sebagai golongan I yang tidak dapat dipergunakan manfaatnya.

Selanjutnya peneliti akan menjelaskan poin mengenai regulasi narkotika yang

membawa nilai anti-kemanusiaan. Peneliti akan membahas mengenai penanda-

penanda yang dimaksud dalam pembahasan topikal yang telah dibuat oleh

peneliti. Pembahasan pertopik akan memperlihatkan bahwa ada posisi tertentu

yang telah diambil oleh LGN mengenai UU Narkotika No.35 tahun 2009 dalam

pewacanaan legalisasi ganja pada kasus Fidelis Ari sebagai praktik diskursif.

Dualisme yang dimaksud peneliti, dari pihak LGN melihat tanaman ganja

sebagai tanaman yang pantas untuk dilegalisasikan. Sedangkan BNN melihat

tanaman ganja yang tidak dapat dilegalisasikan. BNN melihat pengobatan

tanaman ganja belum dapat membuktikan penyembuhan apapun. Dhira Narayana

sebagai representasi LGN juga menyebutkan “belum pernah diriset” yang

menguatkan dualisme diatas. BNN berusaha berbicara bahwa kajian ganja medis

belum pernah dilakukan, karena negara pun belum pernah melakukan pengobatan

ganja, serta ganja masuk dalam golongan I narkotika. LGN berbicara sebaliknya,

jika ganja belum pernah dilakukan riset, kenapa negara bisa berbicara bahwa

ganja tidak dapat menjadi obat alternatif? Kedua dualisme tersebut sama-sama

berbicara mengenai satu hal, yaitu ganja.

11

Selain itu juga wacana dominan yang beredar mengenai ilegalitas tanaman

ganja lewat regulasi Narkotika menjadi prosedur BNN untuk memberantasnya.

Maka dari itu, peneliti merasa bahwa subbab ini dapat mengaitkan bagaimana

dimensi teks dibaca melalui aspek sosial-budaya. Karena wacana dominan yang

lahir adalah wacana ilegalitas tanaman ganja. Indonesia menggolongkan tanaman

ganja kedalam kategori narkotika. LGN sebagai suatu LSM memiiki counter-

discourse mengenai tanaman ganja. Legalisasi sebagai sebuah pewacanaan LGN

harus dibaca secara sosial-budaya, karena sosial-budaya juga merupakan dimensi

teks (Fairclough, 1995, p.67). BNN sebagai sebuah Badan Narkotika Nasional,

dibentuk oleh Pemerintah sebagai badan yang menanggulangi peredaran

narkotika. Bagaimana BNN menanggapi pewacanaan ganja medis, dan

bagaimana BNN mengeluarkan wacana dominan dalam menanggapi wacana

legalisasi ganja.

BNN sebagai suatu badan yang bergerak berlandaskan visi-misi pada

regulasi UU Narkotika No.35 tahun 2009. Hukum bisa dilihat sebagai upaya

konforntasi dari hegemoni Negara mengenai pewacanaan legalisasi ganja. untuk

melihat kontestasi negara yang memberi wacana dominan dalam melawan

wacana legalisasi ganja. Upaya ini dirasa peneliti cukup penting dalam diskursus

legalisasi ganja karena BNN sebagai suatu „Badan‟ yang getol menyuarakan anti-

narkotika. Pemberitaan yang dilakukan oleh BNN pun, terus menolak ide

mengenai legalisasi ganja.

Berita yang terjadi pada tahun 2015 dengan judul “BNN Tegaskan

Penggunaan Ganja Tidak Membuat Kreatif”. Dijelaskan bahwa efek THC sendiri

menurut BNN tidak baik untuk dikonsumsi manusia. Akan tetapi, hingga

sekarang jika BNN mengacu pada UU Narkotika No. 35 Tahun 2009 yang

menggolongkan ganja sebagai narkotika golongan I tidak valid. Ganja sudah

pertama kali digolongkan sebagai narkotika lewat perarturan VMO pada tahun

1927. Regulasi yang memiliki nama panjang Verdoovende Middelen Ordonnantie

yang dimana peraturan tersebut diperbarui pada tahun 1976 dengan menghasilkan

Undang-Undang baru yaitu UU Narkotika No 9. Tahun 1976. Penggolongan

12

tanaman ganja dari tahun ke tahun tetap mengikuti produk dari VMO. VMO

sendiri adalah draft regulasi yang disusun pada masa kolonial Belanda sewaktu

penjajahan.

Badan penanggulangan permasalahan layaknya BNN hanya berlindung

dibalik regulasi pelarangan tanaman ganja. Argumen ini dipertegas pada akhir

berita (CNN, 8 April 2018).

selama United Nations Office ond Drugs and

Crime (UNODC) masih menyatakan ganja

sebagai narkotik, maka dapat dipastikan BNN

tidak bisa menyebutnya sebagai obat. Kalau PBB

belum merilis ganja sebagai obat, dan bukan

narkotik, maka kami juga belum dapat merilis

ganja sebagai obat.

Dalam udaran diatas dipertegas bahwa BNN mengafirmasi bagaiamana

keikutsertaannya menggolongkan ganja sebagai narkotika tanpa mementingkan

kebutuhan riset. Akhirnya terasa logis jika negara belum pernah melakukan

penelitian tentang tanaman ganja. BNN berasumsi bahwa jika PBB belum

melepaskan tanaman ganja dari narkotika, maka Indonesia belum bisa

mengakui bahwa tanaman ganja dapat dilegalkan. Argumen tersebut

mendukung.

Menurut Siti Zaekhomsyah, sebagai Kepala BNN Samarinda menilai (Tribun, 2018)

Di beberapa Negara memang sudah ada yang

melegalkan ganja, namun masyarakat disana

sudah cukup sadar, dan masyarakat kita belum

siap.

Logika yang digunakan Kepala BNN Samarinda ini mungkin cukup relevan

untuk dijadikan acuan ajang dalam legalisasi ganja. Menurut peneliti memang,

harus banyak ditimbulkan kesadaran secara utuh bagi masyarakat. Untuk

mencapai regulasi terkait legalisasi ganja banyak yang harus dipertimbangkan

selain melakukan riset. Bagaimana kesiapan masyarakat kita dalam

menanggapi legalisasi ganja. Untuk melakukan legalisasi ganja harus banyak

persiapan mulai dari regulasi hingga edukasi.

13

Seperti pada berita yang berjudul “BNN: Tidak ada Negara yang

melegalkan Ganja” (tribun, 2019). Headline berita tersebut dengan jelas

menegaskan bahwa dari keseluruhan negara, tidak ada yang melegalkan

tanaman ganja. Udaran ini diucapkan oleh Arman Depari sebagai Deputi

Pemberantasan Narkotika. Selain itu pada poin berita keempat juga dijelaskan

bahwa “tidak ada negara yang melegalkan ganja, yang benar adalah membeli

denan jumlah yang sudah ditentukan”. Sampai disini, BNN sebagai suatu

badan hukum yang memberantas peredaran narkotika pun belum mengetahui

bahwasannya kata legalisasi belum bisa dimaknai secara kontekstual. Merujuk

KBBI, legalisasi memiliki arti yaitu pengesahan (menurut Undang-Undang atau

hukum) yang berarti dimana kata legalisasi bisa dimaknai ketika tanaman ganja

diregulasi oleh negara untuk bisa dikonsumsi masyarakat lewat prosedur

hukum yang jelas dan ketat. Seperti di Negara Uruguay misalnya, yang

melakukan legalisasi tanaman ganja dari rekreasi, medis, hingga budidaya.

Pengesahan ini di dasari dengan regulasi yang jelas, Dalam masa

kepemerintahan Jose Mujica misalnya, kebijakan ini lahir melalui beberapa

argumentasi (Rivaldo, 2014, p.26)

Pengguna ganja tertinggi berkisar pada umur 20 - 24

tahun dengan jumlah pengguna sebanyak 1761 jiwa,

dengan persentase 22,3. Selain itu usia yang

dikategorikan 15- 34 tahun mencapai 62,3 persen, hal

itu telah melebihi setengah dari persentase

keseluruhan pengguna ganja di Uruguay.

Keputusan/kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah

Uruguay dengan melegalisasikan ganja ini akan

memiliki dampak implikasi yang besar terhadap

masyarakat Uruguay, apabila kebijakan ini menuju

kearah yang salah maka peningkatan jumlah

penggunaan ganja dikalangan usia produktif ini akan

terus semakin meningkat dan ini juga akan berimbas

terhadap peredaran ganja yang akan semakin

meningkat juga. Sebaliknya jika keputusan dengan

melegalisasikan ganja ini tepat, maka penggunaan

ganja di usia produktif dapat terus di tekan angka

penggunanya dan tentunya peredaran ganja di

Uruguay dapat dikurangi dan diawasi oleh Pemerintah

Uruguay.

14

Sampai saat ini kebijakan diatas menawarkan penuruan lahirnya pasar

gelap, selain itu juga pemberdayaan tanaman ganja memiliki angka yang

fantastis dalam ekonomi negara. Penurunan pasar gelap terjadi karena

masyarakat banyak beralih untuk mengonsumsi tanaman ganja daripada

mencoba menggunakan beberapa narkotika lain. Selain itu juga regulasi hukum

juga menjamin masyarakat untuk tidak dilakukan penangkapan, yang nantinya

pembelian hingga pembudidayaan tanaman ganja tertuang dalam regulasi

tersebut. Masyarakat yang berumur 18 tahun bisa menggunakan tanaman ganja

yang didapatnya melalui apotik, sedangkan yang berumur 21-keatas bisa

membudidayakan tanaman ganja maksimal 6 tanaman.

Komunitas yang beranggotakan diatas 50 orang, dapat

membudidayakam tanaman ganja hingga 99 batang. Untuk komunitas, hasil

panen terhadap tumbuhan tersebut hanya dapat dibagikan kepada anggota

komunitas, tidak dapat diperjualbelikan kepada masyarakat yang tidak masuk

komunitas tersebut, terkecuali anak yang dibawah umur. Bila banyak

pelanggaran yang terjadi terkait penyalahgunaan tanaman ganja, pemerintah

tidak segan-segan untuk meregulasi seluruh regulasi yang melegalkan ganja

untuk ditinjau kembali.

besar terhadap masyarakat Uruguay, apabila kebijakan

ini menuju kearah yang salah maka peningkatan

jumlah penggunaan ganja dikalangan usia produktif

ini akan terus semakin meningkat dan ini juga akan

berimbas terhadap peredaran ganja yang akan semakin

meningkat juga. Sebaliknya jika keputusan dengan

melegalisasikan ganja ini tepat, maka penggunaan

ganja di usia produktif dapat terus di tekan angka

penggunanya dan tentunya peredaran ganja di

Uruguay dapat dikurangi dan diawasi oleh Pemerintah

Uruguay.

Sampai saat ini kebijakan tersebut menawarkan penuruan lahirnya pasar

gelap, selain itu juga pemberdayaan tanaman ganja memiliki angka yang

fantastis dalam ekonomi negara. Penurunan pasar gelap terjadi karena

masyarakat banyak beralih untuk mengonsumsi tanaman ganja daripada

mencoba menggunakan beberapa narkotika lain. Selain itu juga regulasi hukum

15

juga menjamin masyarakat untuk tidak dilakukan penangkapan, yang nantinya

pembelian hingga pembudidayaan tanaman ganja tertuang dalam regulasi

tersebut. Masyarakat yang berumur 18 tahun bisa menggunakan tanaman ganja

yang didapatnya melalui apotik, sedangkan yang berumur 21-keatas bisa

membudidayakan tanaman ganja maksimal 6 tanaman.

Selain itu jika terdapat komunitas yang beranggotakan diatas 50 orang,

dapat membudidayakam tanaman ganja hingga 99 batang. Untuk komunitas,

hasil panen terhadap tumbuhan tersebut hanya dapat dibagikan kepada anggota

komunitas, tidak dapat diperjualbelikan kepada masyarakat yang tidak masuk

komunitas tersebut, terkecuali anak yang dibawah umur. Bila banyak

pelanggaran yang terjadi terkait penyalahgunaan tanaman ganja, pemerintah

tidak segan-segan untuk meregulasi seluruh regulasi yang melegalkan ganja

untuk ditinjau kembali. Otomatis, sebenarnya negara juga selain merasa bahwa

PBB belum merumuskan bahwa ganja dapat keluar dari kategori narkotika,

Pemerintah juga merasa bahwa masyarakat belum siap untuk legalisasi ganja.

Terjadi dualisme antara pewacanaan legalisasi ganja. LGN mewakili

narasi counter-discourse, sedangkan BNN mewakili wacana kontra legalisasi

ganja. LGN bersikap resisten pada regulasi narkotika, untuk memaksa

pemerintah melakukan riset dan mengeluarkan tanaman ganja keluar dari

kategori narkotika. Narasi yang dikembangkan LGN dengan membuat UU

Narkotika tampak memiliki nilai anti-kemanusiaan. Dari praktik diskursif

tersebut, LGN menjadi salah satu komunitas di Indonesia yang berani berbicara

mengenai kandungan positif ganja. Bisa jadi dengan akses dan label seperti itu,

ketika Indonesia berani melegalkan ganja, LGN dapat menjadi kartel ganja

terbesar di Indonesia.

BNN sebagai „badan‟ yang menanggulangi peredaran narkoba juga

16

berbicara bahwa ide legalisasi ganja menjadi ide yang dapat merusak generasi

bangsa. BNN sebagai representasi Pemerintah menolak dengan apapun yang

berbicara mengenai legalisasi ganja, berusaha mengkampanyekan „war on

drugs‟ akan tetapi penyebaran narkoba kian membludak. Penjara Indonesia

menjadi over-kapasitas karena kasus Narkoba. Dengan akumulasi makin

banyak pengguna narkoba, maka kampanye „war on drugs‟ menjadi percuma.

Nyatanya, oknum lain menikmati uang hasil narkoba tersebut.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis, wacana legalisasi ganja medis dalam website

lgn.or.id bukan suatu yang taken for granted. Wacana legalisasi ganja adalah

diskursus yang dinamis, lahir karena penolakan terhadap penggunaan tanaman

ganja yang digolongkan kedalam golongan I yang dilarang. Dalam situs web

lgn.or.id pewacanaan legalisasi ganja medis terjadi dengan dua sikap dominan.

Sikap resisten terhadap UU Narkotika No.35 tahun 2009. Kedua adalah sikap

yang melihat UU Narkotika No.35 tahun 2009 membawa nilai anti-kemanusiaan.

Nilai anti-kemanusiaan tersebut didukung bagaimana BNN menolak legalisasi

ganja.

Selain itu, dalam praktik sosial-budaya LGN sebagai sebuah organisasi

memiliki visi yang resisten dengan hukum yang berlaku. Kampanye yang terus

disuarakan oleh LGN selalu bertolak belakang terhadap UU Narkotika No. 35

Tahun 2009. Yayasan Sativa Nusantara (YSN) sebagai badan riset yang dibentuk

oleh LGN pernah mengajukan riset ganja medis, akan tetapi tidak dilanjutkan

kembali oleh pihak Kementrian Kesehatan. Pengobatan menggunakan ganja telah

dilakukan oleh beberapa masyarakat Aceh sebagai obat tradisional. Selain itu,

informasi mengenai ganja sebagai medis tersebar luas pada media online.

Terdapat dualisme yang hadir antara LGN dan Negara dalam melihat

tanaman ganja. BNN sebagai Badan Narkotika Nasional menolak ide legalisasi

ganja medis, karena ide tersebut hanya membantu menghacurkan masa depan

generasi bangsa. Negara melalui BNN tetap mengafirmasi UU Narkotika yang

17

mengikuti kebijakan PBB dalam melarang peredaran tanaman ganja. Alih-alih

ingin melegalkan, BNN semakin banyak melarang peredaran apapun yang

memiliki kandungan cannabis sativa. LGN juga tetap berkampanye meskipun

negara tetap melarang peredaran ganja dan menggolongkannya sebagai narkotika.

Terdapat tiga poin yang didapat mengenai pewacanaan legalisasi ganja medis

oleh LGN. Poin pertama dalam teks yang menjadi penanda adalah, regulasi

narkotika memiliki nilai anti-kemanusiaan. Karena, jika negara tidak memandang

ganja sebagai tanaman terlarang, maka Yeni Indrawati nyawanya masih bisa

terselamatkan, yang akhirnya Fidelis tidak perlu dipenjara. Poin kedua

menjelaskan bahwa sikap resisten yang diudar oleh LGN melalui artikel

menjelaskan bagaimana pasar gelap sebenarnya yang berusaha dilawan oleh

LGN. LGN berpendapat bahwa, ketika ganja legal, maka ganja dalam pasar gelap

(blackmarket) yang dikuasai oleh kartel akan hilang. Karena semua masyarakat

akan beralih pada pasar yang legal. Pasar gelap yang menjual ganja akan

bangkrut karena ganja sudah legal, dan akhirnya ganja dapat menyumbang

pertambahan ekonomi negara.

Poin yang ketiga adalah dualisme yang dihasilkan oleh LGN dan BNN

terkait tanaman ganja. Kedua pihak melihat tanaman ganja dengan kacamata pro

dan kontra. Dualisme yang dimaksud peneliti, dari pihak LGN melihat tanaman

ganja sebagai tanaman yang pantas untuk dilegalisasikan. Sedangkan BNN

melihat tanaman ganja yang tidak dapat dilegalisasikan. Kedua dualisme tersebut

sama-sama berbicara mengenai satu hal, yaitu ganja.

18

Daftar Pustaka:

Althusser, Louis. 2008. Tentang Ideologi: marxisme strukturalis, psikoanalisis.

cultural studies Yogyakarta: Jalasutra.

BAPPENKAR, 1972, Perang Total Melawan Narkotika. Surabaya: BAPPENKAR

Jawa Timur.

Burton, Tim, 1999, An Unauthorized Biography of the filmmaker, London,

Renaissance Books.

Eriyanto. 2005, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta:

LKis.

George, Ritzer. 2003. Teori Sosial Post Modern. Yogyakarta: kreasi wacana.

Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa. Jakarta:

Granit.

Hendrick, S. S., & Hendrick, C. (1992). Romantic love. Newbury Park: Sage.

Hidayat, Komarudin. 2004. Menafsirkan Kehendak Tuhan. Bandung: Teraju.

Kridalaksana, Harimurti. (2011). Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta.

Gramedia Pustaka Utama.

Lerman, C L Terjemahan Mahyuddin, I 2010, „Wacana Dominan: Suara Institusional

dan Kendali Topik‟, Davis, H dan Walton, P, Bahasa Citra, Media,

Yogyakarta, p. 75-122.

Mc Quail, Dennis. 2000. Mc Quail‟s Communication Theory (4Th edition). London:

Sage Publications.

Mc Quail, Dennis. 2002. Media Perfomance: Mass Communication and the Public

Interest. London: Sage Publications

Narwaya, T G 2010, Kuasa Stigma dan Represi Ingatan, Resist Book.

Pabotinggi, Mochtar., 1991, Komunikasi Politik Dalam Transformasi Ilmu Politik.

Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi, Prisma No.1 Tahun XVIII, 1989, Jakarta,

LP3ES.

19

Scott, James, S. 2012. Senjata Orang-Orang Kalah : Bentuk Perlawanan Sehari-

hari Kaum Tani. Terjemahan oleh Sajogyo. Jakarta: Yayasan Obor

20

Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,

Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Tim Lingkar Ganja Nusantara, 2019, Hikayat Pohon Ganja, Jakarta, Gramedia

Pustaka.

Skripsi, Thesis atau Disertasi:

Kusumawardhani, Yuni (2014). Konstruksi Sosial Pengurus Organisasi Lingkar

Ganja Nusantara terhada Ganja di Indonesia, Skripsi, Universitas Airlangga.

Musthafa, Bisri (2017). Wacana Komunisme dalam Pilpres tahun 2014 di Indonesia

pada Portal berita Online Tempo.co dan Republika.co.id, Skripsi, Universitas

Airlangga

Rivaldo, Edward. 2014. Kebijakan Pemerintah Uruguay Melanggar Hasil Konvensi

Tunggal 1961 Berkaitan dengan Narkotika dan Psikotropika. Skripsi.

Universitas Riau.

Tama, Fajar K. 2018. Upaya Pemerintahan Belanda dalam Membatasi Penggunaan

Ganja. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Malang.

Wadipalapa, R P (2010). Reproduksi Komunisme dalam Perfilman Indonesia Pasca

Orde Baru‟, Skripsi, Universitas Airlangga.

Wibisono, Arief. (2017). Wacana Legalisasi Ganja Oleh Lingkar Ganja Nusantara

Sebagai Bentuk Resistensi Atas Undang Undang Narkotika. Skripsi,

Universitas Airlangga.

21

Jurnal:

Piliang, Y A. 2005, „Cyberspace dan Perubahan Sosial: Eksistensi, Identitas, dan

Makna‟, dalam Jurnal Balairung, Edisi 39. BPPM UGM Balairung,

Yogyakarta.

Jurnal yang ditulis oleh Bertha K. Madras (2015) dengan judul Update Cannabis and

its medical use, Psychiatry Of Journal, McLean Hospital Alcohol and Drug

Abuse Research Program, Harvard Medical School, Belmont.

Web:

Bayhaqi, Ahda, 2018, Amankan bisnis narkoba napi Karutan Purworejo terima

Rp. 300 Juta, diakses 5 Januari 2019, dari

https://www.merdeka.com/peristiwa/amankan-bisnis-narkoba-napi-karutan-

purworejo-terima-rp-300-juta.html

BBC Magazine, 2018, Buntoon Niyamapha di Thailand juga mencoba obat ganja,

diakses 6 Januari 2019, dari https://www.bbc.com/indonesia/majalah-42781125

BBC, 2018, Larangan ganja untuk pengobatan ganjil dan kejam, diakses 7 Januari

2019, dari https://www.bbc.com/indonesia/dunia-44516458

Berlianto, 2014, Dua hari dilegalkan di Kanada Kehabisan Ganja, diakses 5

Desember 2018 dari https://international.sindonews.com/read/1347975/42/dua-

hari-dilegalkan-kanada- kehabisan-ganja-1540111460

Cbc News, 2018, Global Marijuana March, diakses 8 Desember 2018, dari

https://www.cbc.ca/news/canada/toronto/global-marijuana-march-1.4650322

CNN Investigasi, 2016, Demam Ganja di Indonesia, diakses 10 Desember, dari

https://www.cnnindonesia.com/laporanmendalam/nasional/20160919/demamganja-

di-indonesia/index.php

Erdianto, Kristian, 2017, Menurut Menkes belum ada penelitian yang buktikan

ganja bisa jadi obat, diakses 8 Januari 2019, dari

https://nasional.kompas.com/read/2017/08/03/18364511/menurut-menkes-belum-ada-

penelitian-yang-buktikan-ganja-bisa-jadi-obat

Ferdian, Happy, 2018, Rakyat Kanada bangga negaranya jadi surga ganja terbersar

kedua di Dunia. diakses 7 Januari 2019, dari

https://www.liputan6.com/global/read/3670049/rakyat-kanada-bangga-negaranya-jadi-

surga-ganja-terbesar-kedua-di-dunia

22

Kurnia, Yohane, 2017, Ini isi nota pembelaan Fidelis yang membuat haru

pengunjung Sidang, diakses 8 Desember 2018, dari

https://regional.kompas.com/read/2017/07/24/07120771/ini-isi-nota-

pembelaan- fidelis-yang-membuat-haru-pengunjung-sidang?page=all.

Liputanrakyat.com, 2019, Senator Fachrul Razi, Manfaat ganja untul selamatkan

nyawa perlu jadi pertimbangan, diakses 11 Januari, dari

http://liputanrakyat.com/senator-fachrul-razi-manfaat-ganja-untuk-selamatkan-nyawa-

perlu-jadi-pertimbangan-hukum/

Munthalib, Abdul, 2018, „Uang rokok‟ Rp 2 Juta, Narkoba lolos pemeriksaan lapas,

diakses 13 Januari 2019, dari https://radarmalang.id/uang-rokok-rp-2-juta-narkoba-lolos-

pemeriksaan/

Rahma, Andita, 2019, Polisi sebut Andir Arief sudah lama gunakan sabu,

diakses 12 Januari 2019, dari https://nasional.tempo.co/read/1182191/polisi-sebut-

andi-arief-sudah-lama-gunakan-sabu/full&view=ok

Rantung, Ravi, 2018, Pelukis Tommy Tanggara kembali ditangkap karena

Narkoba, diakses 10 Januari 2019, dari

https://celebrity.okezone.com/read/2018/10/23/33/1967573/pelukis-tommy-tanggara-

kembali-ditangkap-karena-narkoba

Roy, Carlos, 2019, BNN: Ganja untuk pengobatan belum diperlukan, diakses 12

Januari 2019, dari https://www.beritasatu.com/nasional/544938/bnn-ganja-untuk-

pengobatan-alternatif- belum-diperlukan

Sugiyanto, 2018, Oknum sipir lapas Lubukpakam terima Rp. 50 juta perminggu dari

bandar Narkoba, diakses 14 Januari, 2019, dari

http://www.tribunnews.com/regional/2018/09/24/oknum-sipir-lapas-lubukpakam-terima-

rp-50-juta-per-minggu-dari-bandar-narkoba

Suprianto, Agus, 2018, Daerah Maluku, Sipir lapas temukan 8 tanaman ganja di

blok tahanan narkoba, diakses 13 Januari 2019, dari

https://www.inews.id/daerah/maluku/sipir-lapas-ternate-temukan-8-tanaman-ganja-di-

blok-tahanan-narkoba/315706

Syadri, Muhammad, 2017, DPR setuju ada penelitian tanaman ganja untuk

pengobatan, diakses 9 Januari 2019, dari

https://www.jawapos.com/nasional/humaniora/03/04/2017/dpr-setuju-ada-penelitian-

tanaman-ganja-untuk-pengobatan

Tobing, Sorta 2017, Budi Waseso: yang mau melegalkan ganja itu pengkhianat

bangsa, diakses 9 Januari 2019, dari https://beritagar.id/artikel/bincang/budi-

waseso-yang-mau-melegalkan-ganja-itu-pengkhianat-bangsa

Widya, Aditya, 2017, Momentum legalisasi ganja untuk medis, diakses 8

Januari 2019, dari https://tirto.id/momentum-legalisasi-ganja-untuk-medis-cl8Z

23

Wiwoho, Bimo, 2018, BNN 50 persen peredaran narkoba dikendalikan dari

penjara, diakses 10 Desember 2018, dari

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170713145408-12-227647/bnn-50-persen-

peredaran-narkoba-dikendalikan-dari-penjara

Yamani, Zaki, Menuju jalan Panjang pelegalan Marijuana, diakses 10 Januari

2019, dari https://www.dw.com/id/menuju-jalan-panjang-pelegalan-mariyuana-di-

indonesia/a-44566925

__,__, 2018, Understanding differences hemp, cbd, marijuana, diakses 10 Januari 2019,

dari http://winterridgefoods.com/understanding-differences-hemp-cbd-marijuana/

(tunggu semua bab fix, baru copas ke jurnal, terus kaitkan sama subbab refleksi

pewacanaan fidelis, kesimpulan, dafpus, lalu BENERIN SEMUA BAB FIX, HALAMANE

LOMPAT-LOMPAT)