pimpinan umum - stkip siliwangi...

159

Upload: phungminh

Post on 05-Jul-2018

270 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang
Page 2: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang
Page 3: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

i

Jurnal Ilmiah STKIP Siliwangi Bandung

SEMANTIK

Pelindung:

Prof.H.Aas Syaefuddin,MA

Dr.H.Heris Hendriana,M.Pd

Drs.H.Rochmat Tri Sudrajat,M.Pd

Pimpinan Umum :

Prof.Dr.H.Yoyo Mulyana,M.Pd

Pimpinan Redaksi :

Dra.Teti Sobari,M.Pd

Dewan Redaksi :

Dra.Hj.Wikanengsih,M.Pd

Dra.Hj.Ika Mustika,M.Pd

Dr.Endang Kasupardi,M.Pd

Dr.Hj.Euis Eti Rohaeti,M.Pd

Pimpinan Usaha :

Drs.Dede Abdurakhman,M.Pd

Sirkulasi :

Aditya Permana,S.Pd

Desain Grafis dan Editing :

Firdy Ardiansyah

Alamat Redaksi :

STKIP Siliwangi Jl. Terusan Jenderal Sudirman, Cimahi – Jawa Barat

Telp : 022-6658680, Fax : 022-6629735 Website : www.stkipsiliwangi.ac.id

email : [email protected]

DAFTAR ISI

Pengantar Redaksi ................................................... ii Pedoman Penulisan Naskah .................................... iii MODEL PEMBELAJARAN MENULIS CERPEN BERBASIS LINGKUNGAN. Oleh : Dr.Endang Kasupardi,S.Pd,M.Pd ................... 1

PENERAPAN TEKNIK SIKLUS BELAJAR DALAM PEMBELAJARAN MENULIS LAPORAN ILMIAH BERBASIS VOKASIONAL DI SMK Oleh : Dra.Teti Sobari,M.Pd .................................... 17 SCAFFOLDING INTERACTION CYCLE IN READING TO LEARN PROGRAM Oleh : Silvia Widianingsih,S.Pd,M.Pd ..................... 43 MENULIS POSTER DAN SLOGAN MELALUI PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PROBLEM BASED LEARNING) Oleh : Dr.Abdul Azis,M.Pd ...................................... 65

PENGGUNAAN TEKNIK MIND MAPPING DALAM PEMBELAJARAN BERBICARA Oleh : M.Dudung Jamiat,S.Pd,MM ......................... 75

TEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS (CDA) PADA PEMBELAJARAN CERPEN oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ................................... 91 KEANEKARAGAMAN PANTUN DI INDONESIA Oleh : Dinni Eka Maulina ...................................... 107

PENGACUAN DALAM WACANA TULIS FACEBOOK Oleh : Eulis Anggia Budiarti .................................. 123

Page 4: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

ii

PENGANTAR REDAKSI

Rencana pembangunan pendidikan nasional jangka panjang adalah membangun

pemerataan pendidikan di semua kalangan masyarakat. Hal ini membuktikan bahwa fokus

utama pendidikan yaitu menciptakan pendidikan yang bermutu dan berdaya saing global.

Untuk mewujudkan misi tersebut dibutuhkan para penggerak yang mempunyai etos kerja,

koordinasi, dan tata nilai yang dapat mendukung terhadap peningkatan kualitas pendidikan.

Penerbitan Jurnal Ilmiah Semantik ini diharapkan dapat mendukung terciptanya kualitas

pendidikan yang bermutu dan berdaya saing global.

Pada edisi perdana Jurnal Ilmiah Semantik ini, kami menyajikan beberapa penulis yang

memiliki kompetensi, pengalaman, dan integritas di bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia, sehingga kami memandang memang perlu untuk menyebarkan gagasan dan konsep

kontemporer tentang bahasa dan sastra Indonesia kepada masyarakat luas.

Beberapa tulisan dalam edisi ini, antara lain :

Dr. Endang Kasupardi, S.Pd.,M.Pd. menyimpulkan bahwa pengalaman dan lingkungan siswa

pada proses pembelajaran menulis cerpen merupakan modal dasar dalam mengembangkan

ide cerita menjadi sebuah tulisan yang menarik dan enak dibaca. Ide yang dipahami

tersebut memiliki makna yang mendalam sehingga ia menyadari kapan cerita dimulai dan

bagaimana cerita diakhiri.

Dra. Teti Sobari, M.Pd. mengemukakan bahwa pembelajaran menulis memerlukan cara-

cara yang lebih menarik agar siswa akan lebih mudah membuat tulisan yang menjadi tugas

dari kegiatan pembelajaran. Terutama siswa kalangan SMK, memerlukan suatu latihan

dalam membuat laporan hasil dari kegiatan praktiknya. Teknik siklus belajar diharapkan

mampu memberikan warna dalam kegiatan pembelajaran menulis laporan ilmiah bagi siswa

SMK.

Dr. Abdul Aziz, Drs. M.Pd. menyimpulkan bahwa dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra

Indonesia, pengembangan kemampuan berpikir kreatif akan lebih tepat bila diintegrasikan

dengan pembelajaran menulis sehingga kegiatan menulis siswa akan mempertajam

kreativitas.

Sebagai penutup Kami mengucapkan terima kasih kepada para penulis atas kontribusinya

serta Pimpinan STKIP Siliwangi atas dukungan dalam penerbitan Jurnal Ilmiah Semantik ini.

Tidak lupa juga, kami mohon maaf apabila di dalam penulisan Jurnal Ilmiah Semantik ini

terdapat kesalahan. Untuk itu kami terbuka menerima saran dan kritik untuk memperbaiki

kualitas jurnal ini.

Cimahi, 12 Maret 2012

Redaksi

Page 5: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

iii

PEDOMAN PENULISAN NASKAH

1. Jurnal SEMANTIK menerima naskah yang meliputi hasil penelitian, pikiran dan pandangan dari segala bidang pendidikan atau profesi yang belum pernah dan tidak sedang dalam pertimbangan untuk diterbitkan dalam jurnal lain.

2. Naskah dapat dikirim dalam bentuk softcopy (dalam bentuk CD) ke Redaksi Jurnal SEMANTIK dengan alamat STKIP Siliwangi Jl. Terusan Jenderal Sudirman, Cimahi-Jawa Barat. Atau naskah dapat dikirim ke alamat email : [email protected]

3. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris dengan menggunakan MS Word, jarak spasi 2, jenis huruf Times New Roman, ukuran 12, margin 1 inci pada setiap sisinya. Panjang maksimal seluruh naskah (termasuk gambar, tabel, dan daftar pustaka) berjumlah 20 halaman.

4. Naskah disertai abstrak dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris terdiri dari maksimal 200 kata, dan kata kunci sebanyak 4-6 kata yang ditempatkan di bawah abstrak.

5. Sistematika penulisan naskah meliputi : a. Pendahuluan

berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, serta tujuan yang telah dicapai dari penelitian yang telah dilakukan.

b. Metode menguraikan tentang prosedur pelaksanaan penelitian, bahan atau alat yang digunakan, serta teknik pengumpulan data.

c. Hasil dan Pembahasan memuat gambara yang jelas tentang kajian atau hasil penelitian yang dikaitkan dengan rumusan masalah serta hasil penelitian sejenis yang telah dipublikasi sebelumnya. Diskusi mengenai hasil kajian atau penelitian diuraikan pada bagian ini.

d. Kesimpulan dan Saran memuat kesimpulan penelitian yang singkat dan jelas. Jika ada sertakan saran-saran yang muncul sebagai akibat dari hasil kajian atau penelitian yang telah dilakukan.

e. Daftar Pustaka ditulis dan disusun berdasarkan abjad, dengan urutan untuk setiap pustaka : nama penulis, tahun terbit, judul/sumber artikel, nama penerbit,/jurnal, edisi/volume, halaman, nama kota dan nama penerbit.

6. Naskah yang diterbitkan telah melalui penilaian sekurang-kurangnya oleh dua independent referee.

7. Naskah yang tidak memenuhi syarat untuk diterbitkan akan dikembalikan dengan hasil penilaiannya.

Page 6: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang
Page 7: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

1 |

MODEL PEMBELAJARAN MENULIS CERPEN BERBASIS LINGKUNGAN

(Studi Kasus Unsur Pengalaman dan unsur waktu individu pada siswa SMP Negeri 3 Cisurupan)

Oleh : Dr.Endang Kasupardi, S.Pd.,M.Pd

Dosen STKIP Siliwangi Bandung

Abstrak

Pembelajaran menulis cerpen bagi siswa SMP cenderung kurang mampu memaksimalkan fungsi pengalaman individu dan lingkungan sebagai sumber ide dalam menulis. Akibatnya, keterampilan menulis cerpen sampai saat ini masih sulit dikuasai dan dipraktikkan oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari. Padahal siswa melalui pengalaman dan lingkungan memiliki peranan ganda yakni, sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Peranan ini menunjukkan bahwa siswa memiliki kebebasan dalam menyikapi perbedaan dan pengaruh yang diterima sebagai sebuah pengalaman yang menarik bagi siswa itu sendiri dan atau bagi lingkungan sosial. Pengalaman dan lingkungan yang dimiliki siswa pada proses pembelajaran menulis cerpen, merupakan modal dasar dalam mengembangkan ide cerita menjadi sebuah tulisan yang menarik dan enak dibaca. Bagi Penulis, ide yang dipahami tersebut memiliki makna yang mendalam sehingga Ia menyadari kapan memulai dan bagaimana cerita diakhiri. Pada penelitian pengembangan ini, lingkungan dan pengalaman yang dimiliki siswa menjadi sebuah model pembelajaran menulis cerpen, sehingga hambatan dan kesuliatan siswa dalam menguasai keterampilan menulis dapat diatasi dan menjadi kemampuan yang dimiliki siswa.

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Guru sebagai pembimbing pada proses pembelajaran bahasa Indonesia di SMP dalam upaya mengatasi kesulitan siswa menulis cerpen cenderung kurang mampu memaksimalkan lingkungan sosial dan pengalaman siswa sebagai sebuah model pembelajaran. Padahal lingkungan (sebagai unsur ekstrinsik) dan pengalaman siswa (sebagai unsur intrinsik) sangat berperan pada penguasaan pengetahuan dan kemampuan siswa selama belajar menulis cerpen di kelas. Lingkungan dan pengalaman siswa bahkan menjadi pengetahuan mendasar dalam usaha sadar mendapatkan pemahaman dalam proses pembelajaran yang diberikan oleh guru.

Page 8: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 2

Pada proses pembelajaran menulis cerpen berdasarkan lingkungan dan pengalaman hidup, peranan siswa berfungsi sebagai pengisah dan pemberi tanggapan terhadap pengalaman dan lingkungan sosial. Secara rinci, siswa memahami dan dapat mendalami makna pengalaman hidup secara keseluruhan. Siswa pun menyadari kapan mulai dan bagaimana berakhir kisah hidup yang dialaminya. Kenyataan tersebut akan mempermudah siswa dalam belajar menulis cerita pendek karena menjadi sebuah strategi pembelajaran yang dibimbing oleh guru. Namun demikian, dalam kenyataan hidup siswa, ketika lingkungan dan pengalaman disusun menjadi sebuah model pembelajaran menulis, ternyata masih banyak ditemukan berbagai faktor penghambat proses pembelajaran menulis cerpen tersebut. Hal ini terjadi karena lingkungan belum secara menyeluruh dipahami sebagai sebuah potensi bahan tulisan, keterbatasan guru dalam memahami langkah-langkah pembelajaran menulis, keterbatasan kemampuan menganalisis sebab akibat suatu peristiwa yang dialami, dan keterbatasan kemampuan memahami apa, siapa, di mana, apabila, mengapa dan bagaimana menyusun unsur intrinsik cerpen. Atas dasar hal terebut maka untuk menguasai keterampilan menulis cerpen ternyata masih memerlukan penekanan penerapan model pembelajaran menulis cerpen yang teruji, memenuhi kriteria pemodelan menulis, dan yang lebih utama adalah dapat mempermudah kegiatan menulis cerpen yang dilaksanakan oleh guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Menurut Kuswara (2009:32) bahwa, seorang guru dalam proses belajar mengajar menulis cerpen kurang memperhatikan lingkungan sehingga lingkungan tidak dapat dimanfaatkan sebagai sebuah model dalam proses pembelajaran menulis. Guru pun menekankan kekuatan daya khayal siswa dalam membuat sebuah cerpen. Pembelajaran menulis cerpen hanya bersifat menunjukkan kemampuan kognitif siswa, dan tidak tidak diikuti proses afektif dan psikomotorik. Pada proses pembelajaran menulis cerpen, guru lebih banyak menekankan pada unsur teori bukan pada praktik, kenyataan tersebut menunjukkan bahwa guru sering melupakan lingkungan dan pengalaman hidup siswa untuk dikembangkan menjadi ide dan bahan cerita yang menarik ketika dilaksanakan pada proses pembelajaran menulis cerpen. Sebuah tulisan, baik fiksi maupun nonfiksi, dengan jelas menunjukkan bahwa lingkungan dan pengalaman penulis menjadi batang tubuh cerita yang tertera dikembangkan dari mulai awal sampai akhir tulisan. Tulisan dengan karakter demikian ternyata memiliki kekuatan, daya pembeda, menunjukkan kemampuan cara berpikir, bersikap dan bertindak sebagai isi sebuah tulisan. Seperti diungkapkan beberapa tokoh, Kuswara (2009:32), berpendapat bahwa, selingkup

Page 9: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

3 |

pengalaman individu memiliki pangkal dan ujung yang mencerminkan lingkungan sosial dan budaya yang terjadi pada lingkungannya. Teeuw (1983:11) menyatakan bahwa, menulis tidak ditulis dalam kekosongan budaya, Kase, (2007:62) berpendapat bahwa, pengalaman tidak dapat dipisahkan dari budaya yang sudah berlangsung sebelumnya yang diperoleh dari lingkungan sosial. Menurut Sudrajat (2010:1) bahwa, pengalaman individu merupakan selingkung kehidupan yang pernah dialami sebelumnya, kini dan yang akan datang. Lingkungan sebagai sarana belajar menulis bagi siswa, sebenarnya sudah membentuk gaya tersendiri yang membedakan antara individu satu dan individu lain. Gaya yang dimiliki individu ketika diproyeksikan pada kegiatan menulis cerpen, menghasilkan suatu gaya penulisan yang sering dianut oleh para penulis profesional dan berbagai lembaga penerbitan serta lingkungan menjadi ciri khas masing-masing. Oleh karena itu, pengaruh lingkungan selain sebagai ciri seorang individu, juga menjadi ciri lembaga-lembaga yang bersangkutan dalam membedakan dirinya dengan yang orang lain. Lingkungan sebagai sebuah proyeksi model pada penerbitan buku berfungsi; pertama, lingkungan sebagai ciri khas penerbit dan hanya berguna bagi penerbit yang bersangkutan. Lingkungan menjadi gaya yang dianut secara internal oleh penerbit yang bersangkutan; Kedua, lingkungan sebagai daya pembeda antar penerbit satu dengan penerbit lain. Daya pembeda yang dimaksud adalah kekuatan satu lembaga penerbitan, baik dari kemasan jilid, tata letak, penulisan dan gaya bahasa yang digunakan; Ketiga, isi materi dan kemasan. Penerbit hanya menerbitkan bidang keilmuan, umum, pelajaran sekolah, materi pengayaan, keagamaan, sastra, budaya, atau hukum. Pengalaman yang berasal dari lingkungan sebagai unsur gaya dan daya pembeda dalam menulis, seperti ditegaskan Kuswara (2009:51) bahwa, Seorang penulis yang ingin menggambarkan kejadian dalam suatu cerita dengan jelas, maka ia akan mencatat apa yang terjadi, siapa pelaku cerita, dimana tempat kejadian cerita, kapan dan mengapa terjadi serta bagaimana peristiwa itu dapat terjadi. Jawaban terhadap berbagai pertanyaan tersebut maka seorang penulis akan mendeskripsikannya dengan tepat dengan menyusun sesuai langkah-langkah kejadian yang sebenarnya (Kuswara, 2009:51). Berdasarkan pendapat Kuswara (2009:51) diketahui bahwa, lingkungan dan pengalaman memiliki peranan penting dalam memperjelas situasi dan berbagai sudut cerita yang dikembangkan dalam sebuah tulisan. Lingkungan dan pengalaman dapat memberikan peranan dasar dalam pembelajaran menulis bagi siswa. Selain itu, lingkungan memiliki rentang waktu yang dapat menentukan kapan berlangsung kejadian nyata yang diketahui siswa, baik dialami langsung atau tidak.

Page 10: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 4

Rentang waktu tersebut antara lain, pertama, pengalaman masa lalu. kedua, pengalaman masa kini, dan ketiga pengalaman masa depan. Rentang waktu masa lalu, siswa SMP usia 12-15 tahun dipandang sudah memiliki pengalaman masa lalu yang terjadi pada lingkungan sosial. Rentang masa kini, merupakan kejadian suatu peristiwa yang dialami siswa saat ini, dan atau sedang berlangsung. Rentang waktu masa depan, merupakan pengalaman pengemasan pengalaman masa lalu dan masa kini yang dirancangbangun, dipikirkan sebagai sebuah proyeksi kehidupan pada masa yang akan datang. Berdasarkan hal tersebut maka gagasan dalam menemukan pemecahan kesulitan siswa belajar menulis cerpen terus dicari, diuji coba, dinalisis kelebihan dan kekurangnya. Maka ketika gagasan ditemukan kemudian diterapkan pada proses pembelajaran menulis diharapkan dapat menjadi sebuah model yang efektif dan efisien. Model yang efektif dan efisien dalam proses pembelajaran menulis merupakan usaha untuk mengatasi kesulitan siswa menulis cerpen sehingga siswa memiliki kemampuan menulis cerpen. Model yang efektif dan efesien dalam belajar menulis cerpen pada proses pembelajaran, masih ditemukan berbagai hambatan seperti hal-hal berikut. Pertama, guru memiliki keterbatasan dalam membimbing siswa belajar menulis cerpen dengan menggunakan model yang sudah ada; kedua, guru memiliki keterbatasan kemampuan dalam menulis cerpen; ketiga, kemampuan guru dalam menciptakan suasana belajar menulis cerpen yang membatasi ruang lingkup siswa dalam menetapkan tema tulisan; keempat, pembelajaran menulis cerpen masih bersifat mengembangkan kemampuan berpikir/kemampuan mengkhayal (kognitif) dalam menyusun cerpen; kelima, siswa memulai menyusun cerpen berdasarkan khayalan bukan berdasarkan pada kenyataan; keenam, guru sering menghimbau penggunaan kalimat yang berpola ejaan yang disempurnakan (EYD) dalam cerpen yang disusun siswa; ketujuh, siswa lebih sering belajar teori tentang cerpen daripada membuat cerpen; kedelapan, pembelajaran menulis cerpen pada kurikulum bahasa Indonesia di SMP, hanya berkisar 8 pertemuan pada dua semester di kelas IX dari 6 semester selama belajar di SMP; kesembilan, Lingkungan sosial dan pengalaman siswa masih dianggap dangkal untuk sebuah cerpen; kesepuluh, praktik menulis cerpen dipenuhi teori dan aturan menulis yang berakibat siswa enggan dan merasa sulit dalam menulis cerpen; kesebelas, adanya keyakinan bahwa menulis cerpen itu sulit sehingga menimbulkan keengganan dalam menyusun cerpen. Gambaran nyata hambatan yang dialami siswa dalam menulis cerpen pada studi pendahuluan di SMPN 3 Cisurupan Kabupaten Garut sebagai sekolah uji coba

Page 11: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

5 |

terbatas berdasarkan hasil pelaksanaan tes, observasi, studi dokumentasi, wawancara dan angket pada seluruh siswa sebanyak 525 orang, menunjukkan hasil data sebesar 20% siswa memahami keterampilan menulis cerpen. Uraian data tersebut antara lain, hanya 3% siswa mampu memikirkan dan mengungkapkan ide tulisan, hanya 3% siswa mampu membuat judul yang baik, 2% siswa mampuan membangun latar cerita, hanya 3% siswa mampu membangun alur cerita, hanya 5% siswa mampu mencitrakan dirinya dalam sudut pandang cerita, hanya 1% siswa mampu mengembangkan ide, hanya 0.5% siswa mampu menggunakan pola kalimat dalam cerpen, hanya 0.5% siswa mampu menganalisis kalimat dalam cerpen, dan hanya 2% siswa mampu menyusunan cerpen. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran menulis cerpen di SMPN 3 Cisurupan masih sulit dikuasai oleh siswa sebagai sebuah kemampuan hasil pembelajaran menulis pada pelajaran bahasa Indonesia. Adapun hambatan pembelajaran menulis cerpen bagi guru pada pra penelitian di Rayon 6 Ciakajang Kabupaten Garut antara lain, pertama, guru malas ketika akan mulai menulis, Kedua, guru memiliki kesibukan mengerjakan administrasi sehingga kesempatan menulis sangat sedikit, Ketiga, guru kurang mampu dalam mengelola waktu dan menyisihkan kegiatan untuk menulis, keempat, guru merasa kurang bahan dalam menyusun tulisan, kelima, guru mengalami kesulitan dalam menuangkan ide dan gagasan pada sebuah tulisan, keenam, guru sulit menentukan topik yang menarik untuk sebuah tulisan, ketujuh, guru mengalami kesulitan menjabarkan ide tulisan, kedelapan, guru kurang percaya diri menunjukkan hasil tulisan, dan kesembilan, guru merasa tidak memiliki tantangan dalam menghasilkan sebuah tulisan. Simpulan dari berbagai hambatan menulis yang dialami oleh siswa dan guru dinyatakan bahwa keterampilan menulis masih sulit dilakukan oleh yang bersangkutan. Padahal hakekat kegiatan menulis merupakan suatu bentuk komunikasi dalam menyampaikan gagasan penulis kepada khalayak pembaca yang dibatasi oleh jarak, tempat, dan waktu, seperti halnya keterampilan berbahasa yang lain. Berdasarkan hal tersebut penelitian pengembangan ini berusaha mengembangkan model pembelajaran menulis cerpen berbasis lingkungan pada siswa SMP kemudian proses dan hasil pembelajaran tersebut diteliti dan dianalisis perkembangan tahap demi tahap pembelajaran. Penelitian ini diberi judul, “Pengembangan Model Pembelajaran Menulis Cerpen Berbasis Lingkungan pada Siswa Kelas IX SMP. (Studi Unsur Pengalaman Individu dengan Menerapkan Kategori Waktu melalui Strategi Inkuri)”.

Page 12: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 6

B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka rumusan masalah penelitian pengembangan adalah sebagai berikut. 1. bagaimanakah pengembangan model pembelajaran menulis cerpen pada saat

berlangsung pelaksanaan penelitian ini? 2. bagaimana bentuk pengembangan desain model pembelajaran menulis cerpen

berbasis lingkungan yang dapat mengatasi kesulitan siswa dalam menulis cerpen?

3. sejauhmana pengembangan desain model pembelajaran menulis cerpen berbasis lingkungan yang digunakan pada siswa kelas IX SMP?

4. bagaimanakah tingkat efektifitas hasil pengembangan model pembelajaran menulis cerpen berbasis lingkungan yang digunakan pada siswa kelas IX SMP?

5. Bagaimanakah dampak perbedaan hasil pengembangan model pembelajaran menulis cerpen berbasis lingkungan yang digunakan pada siswa kelas IX SMP?

C. Tujuan Penelitian Penelitian pengembangan ini diharapkan dapat memberikan pemecahan masalah kesulitan siswa menulis cerpen, sehingga diharapkan dapat menghasilkan suatu model pembelajaran menulis cerpen yang teruji dan efektif dalam memecahkan permasalahan siswa. Berdasar hal tersebut maka tujuan penelitian ini dirinci sebagai berikut; 1. menganalisis pelaksanaan pengembangan model pembelajaran menulis cerpen

pada saat berlangsung pelaksanaan penelitian ini; 2. mengembangkan bentuk pengembangan desain model pembelajaran menulis

cerpen berbasis lingkungan yang dapat membantu mengatasi kesulitan siswa menulis cerpen;

3. merancang pengembangan desain model pembelajaran menulis cerpen berbasis lingkungan yang digunakan pada siswa kelas IX SMP;

4. menganalisis tingkat efektifitas hasil pengembangan model pembelajaran menulis cerpen berbasis lingkungan yang digunakan pada siswa kelas IX SMP;

5. menganalisis dampak perbedaan hasil pengembangan model pembelajaran menulis cerpen berbasis lingkungan yang digunakan pada siswa kelas IX SMP;

D. Manfaat Penelitian

Page 13: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

7 |

Penelitian pengembangan ini diharapkan dapat menghasilkan suatu simpulan yang dapat direkomendasikan dan menjadi masukan baru bagi pengajaran bahasa, khususnya bagi siswa yang mengalami kesulitan dalam mengusai keterampilan menulis cerpen. II. METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Produk akhir yang diharapkan dari hasil penelitian pengembangan ini adalah validasi model pembelajaran menulis cerpen berbasis lingkungan melalui strategi inkuiri. Dengan demikian penelitian ini akan dilakukan dengan metode penelitian pengembangan dari Borg&Gall (1979). B. Lokasi dan Subjek Penelitian Lokasi dan subjek penelitian pengembangan ini, untuk ujicoba keterpakaian model terbatas, dilaksanakan di SMP Negeri 3 Cisurupan Kabupaten Garut. Dan uji coba lebh luas dilaksanakan pada SMP yang berbeda di wilayah kota, tengah dan pedesaan. C. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data 1. Sumber Data dan Informan

a. Sumber Data Sumber-sumber data yang digunakan adalah: (a) Profil KTSP di lingkungan SMP ujicoba terbatas dan ujicoba luas; (b) profil Silabus Bahasa Indonesia yang digunakan di lingkungan SMP ujicoba terbatas dan ujicoba luas; (c) Profil Guru dan siswa SMP ujicoba terbatas dan ujicoba luas; (d) profil komponen pembelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas IX SMP ujicoba terbatas dan ujicoba luas.

b. Informan Informan yang digunakan peneliti untuk ujicoba terbatas dan ujicoba luas berdasrakan pada Sugiyono, (2009:300). informan diminta untuk berdiskusi, bertukar pikiran, atau membandingkan suatu kejadian yang ditemukan dari subjek lainnya (Moleong, 1995;215). Maka data yang dikumpulkan berupa; (a) kata-kata atau deskripsi dan narasi; (b) tindakan atau perilaku dan sikap; (c) tulisan-tulisan; (d) foto-foto/video; (e) data-data statistik lainnya.

2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian, guna mengumpulkan data yang mendukung pemecahan masalah penelitian yang

Page 14: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 8

mencakup kondisi lingkungan, dipakai dengan (1) studi dokumentasi; (2) wawancara; (3) observasi; (4) tes sebagai studi kecenderungan mengenai data awal yang menunjukkan adanya potensi untuk melaksanakan suatu pengembangan Model melalui ujicoba revisi model.

III. KAJIAN PUSTAKA A. Model 1. Konsep Model

Model tercipta berdasarkan pada sebuah pemikiran tentang permasalahan yang rumit dan pelik sehingga timbul inisitaif untuk memecahkannya dengan cara yang mudah serta sederhana dalam melaksanakannya. (Dep. P dan K, 1984:75).

2. Pengertian Model

Model merupakan abstraksi dari sistem sebenarnya, dalam gambaran yang lebih sederhana serta mempunyai tingkat prosentase yang bersifat menyeluruh, atau model adalah abstraksi dari realitas dengan hanya memusatkan perhatian pada beberapa sifat dari kehidupan sebenarnya (Simamarta, 1983: ix-xii). Penelitian ini, menggunakan referensi model seperti pada, http://www.scribd.com/doc/ 2479292/ModeldanSistem yakni; Model menurut referansi waktu. Model yang dibuat berdasarkan pertimbangan waktu ini memiliki sifat-sifat sebagai berikut; a) Statis, model statis ini tidak memasukkan faktor waktu dalam perumusannya. b) Dinamis, model ini mempunyai unsur waktu dalam perumusannya. Model yang disusun dalam penelitian ini berdasarakan pada urutan waktu kejadian yang dialami individu dalam lingkungannya. Namun demikian pengalaman individu ini tidak dibatasi dengan yang pernah dialami saja tetapi termasuk di dalamnya yang menjadi gejolak individu secara intrinsik dan ekstrinsik. Dengan demikian pengalaman individu yang menjadi model dalam penelitian ini bersifat rekonstruksi, konstruksi dan proyeksi. Ketiga, pengalaman ini, disesuaikan pula dengan pengalaman bahasa yang dapat menggambarkan kejadian yang menyertai pengalamannya.

B. Model pembelajaran menulis cerpen Berbasis lingkungan melalui strategi Inkuiri (MPMCBLMSI) 1. Pengertian

Page 15: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

9 |

Model pembelajaran menulis cerpen Berbasis lingkungan melalui strategi Inkuiri (MPMCBLMSI) merupakan model pembelajaran menulis yang memperhatikan dua unsur pendukung dalam diri seorang individu. Unsur tersebut antara lain unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik berkaitan dengan jiwa individu yang berproses memahami dirinya dan peduli terhadap lingkungannya. Proses pemahaman individu bersifat kognitif, afektive, dan psykomotor. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah pengaruh yang berasal dari luar individu seperti lingkungan, keluarga, pertemanan, dan lingkugnan sosial yang lebih luas lagi yang memengaruhi individu. MPMCBLMSI ini pun memperhitungkan kejadian suatu peristiwa berlangsung dengan perangsangan kata dan kalimat yang dapat menunjukkan waktu kejadian tersebut.

2. Parameter Pembelajaran Penyadaran Lingkungan

Pendidikan lingkungan merupakan suatu proses saling terkaiterkaitan antara keadaan alam, lingkungan sekeliling dan manusia itu sendiri. Pendidikan yang dikembangakan semata-mata hanya untuk memberikan penyadaran lingkungan, diantaranya, a) menghadapkan seseorang pada persoalanan lingkungan sehari-hari secara terus menerus pada kenyataan hidup, yang mudah dipahami dan masuk akal dan dialami oleh siswa. b) menumbuhkan peradaban malu seperti; mengotori tempat sendiri dan tempat orang lain, menyusahkan dan mengganggu orang lain, merusak fasilitas umum, melanggar kaidah umum dan kaidah sosial, menilai diri sendiri istimewa sehingga pantas didahulukan dalam segala urusan atau pantas mendaptkannya, segala aktifitas, dikebalkan dari segala peraturan dan ketentuan, bersembunyi dibelakang orang lain dan melemparkan kesalahan kepada orang lain.

3. Deskripsi Teori Penelitian dan Komponen

Deskripsi teori dan komponen yang memengaruhi pembelajar menulis karena MPMCBLMSI memiliki bagian-bagian yang memperjelas kedudukan penulis ketika memulai kegiatannya. Komponen berbasis lingkungan yang dialami oleh siswa yakni; komponen masa lalu (disebut memasalalukan), komponen masa kini (disebut memasakinikan), komponen masa depan (disebut memasadepankan), dan komponen penggunaan kategori ruang dan waktu dengan menggunakan kosakata yang dapat menunjukan kejadian suatu peristiwa. Secara detil komponen-komponen MPMCBLMSI tersebut dapat diuraikan di bawah ini; a. Berbasis Lingkungan

Cerpen berbasis lingkungan yang dipelajari siswa ada beberapa hal yakni; 1) lingkungan yang memberikan pengaruh kepada individu, dan 2) individu

Page 16: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 10

memberikan pengaruh kepada lingkungannya. 3) sudut pandang memaknai lingkungan terbatas dan lingkungan lebih luas dari individu terhadap lingkungannya, 4) respon individu terhadap lingkungannya.

b.Makna Memasalalukan Masa merupakan rentang waktu lama, satuan waktu yang berlaku pada masa lampau. Kejadian pada masa lampau dalam kegiatan menulis, kejadian yang pernah dialami pada masa lalu (rekonstruksi) menjadi ide menulis yakni segala sesuatu yang berkenaan dengan kejadian pada masa atau waktu yang telah lalu, atau pernah dialami oleh orang yang bersangkutan. Kejadian pada masa lalu kemudian diingat, dipikirkan, diperbaiki, dikemas, disuguhkan kepada khalayak umum, sehingga menjadi pengalaman yang menarik untuk dituliskannya.

c. Pengalaman Masa Kini Masa kini (disebut juga memasakinikan) merupakan pengalaman individu pada kehidupan nyata yang sedang berlangsung sekarang dan hari ini. Makna memasakinikan membawa seorang individu untuk memulai menulis dari kehidupan yang dirasakan dan sedang berlangsung sekarang (konstruksi). Dengan demikian memasakinikan merupakan kegiatan menulis yang berdasarakan pada kenyataan hidup yang terjadi dan sedang dirasakan ketika kegiatan menulis itu berlangsung atau kegiatan yang tidak begitu jauh dengan kegiatan ketika menulis.

d. Pengalaman Masa Depan

Pengalaman Masa Depan atau memasadepankan. Waktu ini bersifat pandangan dan harapan serta cita-cita jauh kedepan yang belum teralami. Namun demikian cerita yang dimaksud sudah dapat dibayangkan atau diperkirakan kesinambungannya dengan kegiatan masalalu, masa kini dan masa depannya (proyeksi).

e. Penggunaan kosa kata yang dapat menunjukkan waktu kejadian suatu peristiwa

Ide menulis dengan menggunakan kata kunci yakni menetapakan kunci kejadian suatu peristiwa yang dialami penulis. Kata-kata yang dapat menentukan kejadian suatu peristiwa diurakan seperti di bawah ini; 1) Kata-kata yang dapat menunjukkan kegiatan masa lalu diantaranya

adalah; Kemarin, hari senin lalu, pada ahun 2002*, tadi malam, kemarin dulu, kemarin pagi, sejam yang lalu, tiap hari tahun lalu, dua minggu lalu, ketika, selagi, seperti ketika, sepanjang hari kemarin, sepanjang hari senin lalu.

Page 17: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

11 |

2) Kata-kata yang dapat menunjukkan kegiatan masa kini diantaranya adalah; selalu, umumnya, sebenarnya, biasanya, tidak pernah, kadang-kadang, tiap hari, ketika, sekali-kali, seuatu waktu, sering, secara teratur, saat sekarang, dan setiap minggu.

3) Kata-kata yang dapat menunjukkan kegiatan masa depan diantaranya adalah Nanti sore, nanti malam, besok, sebelum, sesudah, hingga, segera sesudah, ketika, sementara waktu itu, segera, minggu depan, keesokan harinya, minggu sebelumnya, kemari dulu, bulan sebelumnya

H. Hasil Penelitian Pelaksanaan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) sembilan tahun hingga kini di Kabupaten Garut, masih belum menunjukan peningkatan yang berarti. Jumlah Ideal lembaga pendidikan SMP di Kabupaten Garut seharusnya tersedia sebanyak 300 sekolah, namun dalam kenyataannya sekarang, Kabupaten Garut baru memiliki 138 SMP Negeri (Pertahun pelajaran 2009), dan 51 sekolah swasta dan MTs (pertahun pelajaran 2009). I. Pembahasan Hasil Penelitian Beberapa kesulitan guru, seperti diungkapkan pada latar belakang penelitian ini, yakni; proses pembelajaran menulis masih banyak ditemukan berbagai hambatan dalam mengusai keterampilan menulis cerpen diantaranya adalah; pertama, guru kurang efektif dan efisien dalam mengambil model menulis cerpen bagi siswa. Kedua, keterbatasan kemampuan guru terhadap model menulis cerpen yang diambil, Ketiga, tingkat kemampuan dan pengalaman guru dalam menulis cerpen yang masih kurang dan tidak merata pada semua guru, keempat, situasi pembelajaran yang menutup ruang lingkup siswa dalam mengambil tema dan bahan tulisan cerpen, kelima, pembelajaran menulis cerpen masih memfokuskan pemikiran siswa terhadap kemampuan kognitif untuk menghayalkan cerita yang dibuatnya, keenam, kemampuan menulis cerpen yang dibuatnya selalu berawal dari khayalan dan bukan cerita nyata sebagai ide dasarnya, ketujuh selalu adanya himbauan kegiatan dan hasil menulis cerpen yang harus selalu menggunakan kalimat yang berpola ejaan yang disempurnakan (EYD), kedelapan, kemampuan dasar menulis cerpen awal yang dimiliki siswa yang masih kurang. Kesembilan, keharusan menggunakan kosa kata, tanda baca dan penyusunan kalimat, bentuk dan jenis tulisan. Kesepuluh, pembelajaran menulis yang terdapat dalam kurikulum bagi siswa SMP, masih bersifat instruksi yang harus dipelajari, karenanya memerlukan penjabaran dan mencari solusi dalam memecahkannya berdasarkan hasil-hasil penelitian. Kesebelas, pengalaman praktik menulis yang kurang, sehingga lingkungan dan pengalaman hidup yang menarik, hanya menjadi kenangan indah saja, dan ketika dijadikean ide bahan tulisan, seolah-olah menjadi

Page 18: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 12

dangkal, datar, tidak menarik, dan kehidupan seolah-olah berjalan normal dan stabil. Keduabelas, tidak adanya kesinambungan perasaan dan pemikiran dalam kehidupan sehari-hari dengan bahan tulisan yang dipraktikannya. Ketigabelas, praktik menulis selalaui dipenuhi teori dan aturan, sehingga menimbulkan keengganan individu dalam menulis. Keempatbelas, adanya kepercayaan guru dan siswa yang mendalam terhadap teori dan opini public tentang betapa sulitnya menulis. Analisis Penerapan MPMCBL Analisis data siswa yang sulit mengusai keterampian menulis tersebut maka ditemukan langkah-langkah menulis cerpen berbasis lingkungan melalui strategi inkuiri. Maksud dari berbasis lingungan ini adalah, pertama, siswa menyusun tulisan cerpen berdasarkan pada kenyataan hidup, baik itu lingkugnan terbatas maupun lingkugnan lebih luas. Lingkugnan inilah yang menjadi objek siswa dalam menulis cerpen. Kedua, siswa setelah mendapatkan idea tau sumebr cerita maka guru terlebih dahulu memberikan penjelasan tentang ide siswa secara klasikal, penjelasan ini berfungsi sebagai penyadaran lingkungan yang diberikan guru pada siswanya yang kemudian akan dijadikan isi cerpen tersebut. Sifatnya hanya informasi dan member penjelasan materi yang dipahami siswa. Ketiga, guru kemudian memberikan pertanyaan “Kapan”, dengan pertanyaan tersebut semata-mata guru ingin menjelaskan kapan kejadian tersebut sebagai kategori waktu kejadian suatu peristiwa yang dialami siswa tersebut. Alas an tersebut memberikan kejelasan pada siswa tentang kejadian yang akan dilukiskannya pada cerpen yang dibuat siswa itu. Akiabt dari penjelasan ini, siswa akan memiliki langkah yang tepat dalam menyusun cerpennya dari sudut pandang kisahan. Keempat, siswa menentukan satu pilihan waktu ketika proses kisahan. Siswa menentukan peristiwa tersebut, apakah terjadi dan berlangsung pada waktu masa lalu, masa kini atau masa yang akan datang. Kelima, kegiatan siswa apabila mengalami hambatan dalam memulai kisahan pada kalimat awal, tengah atau akhir, maka siswa dianjurkan menggunakan kosa kata yang mendukung kisahannya tersebut. Keenam, siswa menjawab pertanyaan ASDAMBA, untuk memperjelas unsure intrinsic cerpen yang dibuatnya. Dari jawaban tersebut maka kisahan yang dilaksanakan siswa akan jelas dan terarah. Ketujuh, siswa melakukan proses memanifulasi kisahan dari kisah nyata menjadi kisah fiksi. Proses ini diperlukan, mengingat kegiatan siswa adalam membuat cerita pendek sebagai sebuah karya yang bersifat fiktif. Kedelapan, siswa diberi kesempatan untuk melakukan kreasinya yakni berusaha menemukan gaya tuturnya. Kesembilan, siswa menysusn cerpen dan menghasilkan karya yang merupakan tanggapan siswa terhadap lingkungan. K. Simpulan Dan Rekomendasi

Page 19: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

13 |

1. Simpulan Penelitian pengembangan yang menjadi permasalahan pokok adalah siswa yang sangat sulit dalam menguasai keterampilan menulis dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Keterampilan menulis hanya dapat dicapai 20% secara keseluruhan dan 0,5% dari keseluruhan soal yang terdapat dalam ujian sekolah atau ujian nasional. Akhirnya pembelajaran menulis menjadi hambatan yang sangat besar untuk dikuasai oleh siswa. Beberapa penyebab permasalahan cerpen sulit dikuasai oleh siswa diantaranya adalah, pertama, kemampuan guru sebagai pembimbing siswa dalam pembelajaran menulis yang tidak merata diantara guru, termasuk didalamnya cara pengembangan metode dan model pembelajaran menulis yang kurang dipahami oleh guru dalam pelaksanaan pembelajaran, kedua, Sarana dan prasarana yang tidak mendukung berkembangnya kemampuan menulis, Ketiga, latar belakang sekolah dan latar belakang siswa yang memiliki perbedaan dalam mengembangkan kegiatan menulis di sekolahnya. Berdasarkan permasalahan ini maka penelitian pengembangan ini menilai bahwa ada kendala guru dalam memberikan pembelajarnnya, diantaranya adalah; a. Pendekatan pembelajaran

Pendekatan pembelajaran yang diambil oleh guru sebagai titik tolak atau sudut pandangnya terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu.

b. Metode pembelajaran

Cara yang digunakan guru untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Hanya bersifat menyampaikan pelajaran dengan statis dan menyampaikan pelajaran yang normative saja.

c. Teknik pembelajaran

Cara yang dilakukan guru dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik tidak tepat atau bahkan hanya bersifat umum saja, sama seperti mengajarkan materi lainnya.

d. Model Pembelajaran

Bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru dalam mengajarkan cerpen, tidak begitu banyak dikuasai oleh guru, sehinga siswa sulit menguasai materi pelajarannya.

Page 20: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 14

2. Pemecahan Penelitian pengembangan ini berusaha mengembangkan suatu model pembelajaran menulis cerpen yang melihat sisi tingkahlaku sikap dan cara pandang manusia pada lingkungannya. Karena lingkungan yang berada di sekitar manusia, disadari atau tidak sudah memberikan pengalaman baik disadari atau tidak oleh manusia itu sendiri sudah memberikan pengetahuan dan pelajaran dalam hidupnya.

DAFTAR PUSTAKA Kase. 2002. Bukuku Cerpenku. SKM Etika. Edisi 2. Garut Kwary. Deny A. 2008. Gambaran Umum Ilmu Bahasa (Linguistik), Google.

WWW.menulis.com De Porter, Bobbi and Hernacki, Mike. 1999. Quantum learning: Unleashing the

genius in you, atau Quantum learning: Membiasakan belajar nyaman dan menyenangkan, terjemahan Alwiyah Abdurrahman. Bandung: Kaifa.

Fenstermacher, Gary D.2004 Approaches to Teaching / Gary D Fenstermacher, Jonas F. Soltis.—4th ed. p. cm. — (Thinking about education series)

Fromkin, Victoria & Robert Rodman. 1998. An Introduction to Language (6th Edition). Orlando: Harcourt Brace College Publishers

Gie, The Liang. 2002. Terampil Mengarang. Yogyakarta: Andi. Guntur, Hendri Tarigan. 1985. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.

Bandung: Angkasa Hadiyantoro, 2001. Membudayakan Kebiasaan Menulis. Jakarta: Fikananti Aniska. Hariwijaya. 2006. Pedoman Teknis Penulisan Karya Ilmiah. Yogyakarta: Citra

Pustaka. Hammond . 1989. How to Teach Writing. Oxford: Pearson Education Limited. Hernowo. 2003. Quantum Writing. Yogyakarta: MLC Joyce Bruce & weil. Maesha. 1980. Model of teaching. New jersey. Prantice Hill.

Inc. Naga, Dali S. 2002. Logika Bahasa Dan Keterampilan Menulis, bahan Disampaikan

pada seminar bulan bahasa di Universitas Negeri Jakarta: Norton, D.E. and Norton Saundra. 1983. Through the eyes of a childrens. New York.

McMillan College Publishing Company.. Nunan, D. 1991. Language teaching methodology: A texbook For Teacher.

NewYork: Prentice Hall. Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada Press.

Page 21: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

15 |

Nursalam AR. 2008. Ruh Sebuah Tulisan www.nursalam. multiply. Com. http://nursalam. multiply. Com

Sudrajat, Y. 2009. Menulis sejak pagi hari. Bandung: YAF Publish. Sumber Internet: Beda Strategi, Model, Pendekatan, Metode, dan Teknik Pembelajaran

(http://smacepiring.wordpress.com/) http://supermahasiswa.multiply.com/journal/item/5/Sukses_Membuat_Proposa

l_Penelitia http://en.wikipedia.org/wiki/Research

Page 22: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 16

Page 23: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

17 |

PENERAPAN TEKNIK SIKLUS BELAJAR DALAM PEMBELAJARAN MENULIS LAPORAN ILMIAH BERBASIS VOKASIONAL DI SMK

Oleh : Teti Sobari, Dra. M.Pd.

Dosen STKIP Siliwangi Bandung Abstrak

Pembelajaran menulis adalah salah satu aktivitas yang dilakukan guru dan siswa di dalam mencapai tahap belajar. Aktivitas menulis sangat membutuhkan variasi dan cara pembelajaran yang dapat menumbuhkan minat dalam memproduksi tulisan yang berkualitas. Kemampuan menulis yang harus dimiliki oleh siswa SMK atau kejuruan adalah menulis laporan ilmiah. Menulis laporan ilmiah ini dibutuhkan oleh siswa SMK karena 70% aktivitas siswa dalam kelas adalah melakukan praktik baik di kelas maupun di lapangan dalam menghadapi dunia kerja. Agar pembelajaran menulis lebih bervariasi, penulis mencoba menggunakan model siklus belajar. Siklus belajar (Learning Cycle) adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered). Siklus belajar merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga siswa dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperan aktif. Menurut Karli (2003: 82), siklus belajar adalah suatu teknik pembelajaran dengan mengikuti pola tertentu. Pada tulisan ini dipaparkan suatu upaya dalam pembelajaran menulis laporan ilmiah yang berbasis vokasional pada siswa SMK.

A. Pendahuluan Andai kita naik sepeda, biasanya diawali dengan mengenal sepeda kemudian mulailah dengan memegang sepeda menaikinya dan selanjutnya mengayuh disertai dengan menyeimbangkan badan agar sejalan dengan gerak irama sepeda. Demikian juga dengan menulis. Diawali dengan menentukan topik yang akan ditulis selanjutnya menuangkan ide, pengalaman, dan pengamatan. Kemudian menyeimbangkan tulisan dengan tujuan, aspek-aspek tulisan, serta tahapan-tahapan menulis. Menulis adalah sebuah proses rekursif dan setiap penulis menggunakan proses yang berbeda dalam menghasilkan tulisan. Menulis dan berpikir terjalin sangat erat. Menulis adalah sebuah proses yang kompleks yang memungkinkan penulis untuk menggali pemikiran dan ide-ide. Berpikir adalah dasar dari menulis dan berpikir merupakan pusat belajar. Siswa yang mampu membuat pikiran melalui proses menghasilkan tulisan dapat meningkatkan kemampuan belajar mereka. Namun menurut William Forrester (2001) awali menulis dengan hati setelah itu perbaiki tulisan Anda dengan pikiran. Dengan demikian kunci pertama dalam menulis adalah mengungkapkan apa yang dirasakan setelah itu pikirkan.

Page 24: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 18

Kemampuan menulis dengan baik adalah salah satu keterampilan paling penting yang bisa membuka jalan pikiran. Oleh karena itu, menulis merupakan suatu keterampilan yang unik yang menuntut sejumlah pengetahuan dan keterampilan. Akhadiah (1992:2) berpendapat bahwa untuk menulis karangan sederhana sekalipun, kita dituntut untuk dapat memenuhi persyaratan dasar, sama seperti kita menulis karangan lainnya yang lebih rumit. Selanjutnya Nurgiantoro (1988: 270) berpendapat bahwa kemampuan menulis lebih sulit dikuasai dibandingkan ketiga keterampilan berbahasa lainnya. Hal ini disebabkan oleh adanya persyaratan penguasaan berbagai unsur kebahasaan dan unsur di luar bahasa yang menjadi isi tulisan. Persyaratan itu meliputi : bermakna lugas atau jelas, merupakan kesatuan yang utuh dan bulat, singkat, padat, memenuhi kaidah kebahasaan dan bersifat komunikatif. Menulis melibatkan aspek bernalar dan aspek logika yang tercermin dari isi dan komposisi tulisan, serta aspek linguistik yang tercermin dari penggunaan kata, kalimat, dan mekanik tulisan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sirait (1985: 68) bahwa seorang penulis sedikitnya harus menguasai lima komponen tulisan, yaitu: 1) isi (materi) tulisan; 2) organisasi tulisan; 3) kebahasaan ( kaidah bahasa tulis); 4) gaya penulisan; dan 5) mekanisme tulisan. Menuliskan suatu gagasan itu penting dan merupakan bagian tak terpisahkan dari usaha untuk menguasai suatu bahasa dengan baik. Menulis itu sendiri juga penting karena dengan menulis kita dapat lebih mengenali kemampuan dan potensi diri kita, kita dapat mengembangkan berbagai gagasan, dan memperluas wawasan baik secara teoritis maupun mengenai fakta-fakta yang berhubungan (Sabarti Akhadiah, dkk.; 1992:1) sehingga pada suatu saat nanti, lambat atau cepat, kita harus membuat tulisan mengenai suatu hal dalam pekerjaan. Menulis merupakan penerapan dari pengetahuan tata bahasa, kosa kata, dan ejaan, dalam suatu bentuk wacana yang utuh, logis, koheren, dan sistematik. Pelajaran ini harus menyadarkan bahwa tidak mungkin terus-menerus membuat susunan kalimat yang sama, menggunakan unsur-unsur yang sama, kala yang sama, dalam sebuah karangan, sependek kata apapun karangan tersebut. Setiap unsur dalam sebuah karangan dipilih dan disusun sedemikian rupa sehingga menjadi suatu kombinasi yang menampakkan perkembangan gagasan, keutuhan, dan makna.

Page 25: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

19 |

B. Menulis Laporan

1. Pengertian Menulis Menulis merupakan suatu aktifitas penyampaian pesan/informasi dengan menggunakan media bahasa tulis. Menulis adalah kegiatan untuk menyampaikan ide, gagasan, dan perasaan seseorang yang disajikan secara runtut dan menarik. Yang hendak disampaikan dalam sebuah tulisan adalah pesan yang merupakan isi atau muatan yang terkandung dalam suatu tulisan. Suatu pesan tertulis tidak dapat diterima oleh pembaca apabila tidak ada simbol atau lambang bahasa yang dapat dilihat dan disepakati oleh para pemakainya dalam bentuk tulisan. Dalam komunikasi tertulis terdapat empat unsur yang terlibat yaitu 1) penulis sebagai penyampai/pemberi informasi; 2) pesan atau isi tulisan; 3) saluran atau media berupa tulisan; dan 4) pembaca sebagai penerima pesan/informasi. Oleh karena itu, sebuah komunikasi tertulis tidak akan terjadi apabila salah satu unsur tersebut tidak ada. Menulis adalah kegiatan multiteknik dan unik yang menuntut berbagai pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skills). Kemampuan menulis merupakan suatu keterampilan yang menuntut penguasan atas berbagai unsur kebahasaan dan unsur di luar bahasa yang menjadi isi tulisan (Nurgiantoro, 1988: 270). Keterampilan menulis melibatkan logika dan daya nalar. Hal ini dapat terlihat dari isi dan komposisi tulisan, serta aspek kebahasaan lainnya seperti: penggunaan kata, kalimat, dan sistematika penulisan. Menulis bukan sekedar menguasai teori dan tata bahasa saja. Menulis bukan hanya menuliskan sesuatu yang kita ketahui dalam bentuk tulisan, lebih dari itu menulis adalah cara untuk memahami apa yang telah diketahui. Kegiatan menulis memerlukan kemampuan berpikir logis dan dinamis, kemampuan analitis dan kemampuan membedakan berbagai hal secara riil, valid, dan akurat. Menulis akan meningkatkan rasa percaya diri, dan rasa percaya dirilah yang akan memunculkan berbagai kreatifitas dan rasa bahagia. Lado dalam Tarigan (1994:12) mendefinisikan menulis sebagai kegiatan menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang, sehingga orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut kalau mereka memahami bahasa dan gambaran grafik itu.

Page 26: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 20

Menulis dapat diartikan sebagai aktivitas produktif, aktivitas pengungkapan bahasa. Nurgiantoro (1995:296) berpendapat menulis adalah aktivitas mengemukakan gagasan melalui media bahasa. Selanjutnya Nurgiantoro, menjelaskan bahwa menulis merupakan suatu representasi dari kesatuan-kesatuan ekspresi bahasa. Demikian juga De Potter (1999:129) menjelaskan bahwa menulis merupakan aktivitas seluruh otak kanan (emosional) dan otak kiri (logika). Berdasarkan pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa menulis merupakan suatu aktifitas produktif yang melibatkan emosional dan logika untuk menyampaikan pesan/informasi yang berupa ide, gagasan dan perasaan dengan menggunakan lambang-lambang yang telah disepakati kepada para pembacanya.

2. Fungsi Menulis Rusyana (1986: 14) menyatakan bahwa fungsi menulis dapat dilihat dari dua segi, yaitu: 1) Fungsi Menulis Berdasarkan Kegunaan

Menulis dapat ditinjau berdasarkan kegunaannya yaitu 1) melukiskan, penulis menggambarkan atau mendeskripsikan sesuatu atau keadaan sehingga pembaca dapat membayangkan secara jelas apa yang digambarkan atau yang dideskripsikan penulisnya; 2) memberi petunjuk, penulis memberikan petunjuk tentang tata cara melaksanakan atau membuat sesuatu; 3) memerintahkan, penulis dalam karangan ini memberi perintah atau melarang pembaca untuk melakukan suatu tindakan /perbuatan sehingga pembaca memenuhi keinginan penulis; 4) mengingat, penulis mencatat suatu peristiwa dengan tujuan mengingat peristiwa-peristiwa yang penting agar tidak lupa; 5) mengorespondensi, penulis melakukan komunikasi melalui surat-menyurat dengan orang lain .

2) Fungsi Menulis Berdasarkan Perannya Selain berdasarkan kegunaan kegiatan menulis mempunyai fungsi berdasarkan perannya yaitu 1) fungsi penataan, merupakan proses penataan terhadap gagasan, pikiran, pendapat, dan imajinasi; 2) fungsi pengawetan, berfungsi untuk mengawetkan pengutaraan sesuatu berwujud dokumen tertulis; 3) fungsi penciptaan, berfungsi menciptakan sesuatu.yang demikian; 4) fungsi penyampaian, berfungsi mengawetkan gagasan, pikiran, imajinasi yang sudah ditata.

3. Tujuan Menulis Tujuan menulis perlu diperhatikan selama proses penulisan berlangsung, maksudnya agar apa yang menjadi misi atau tujuan dalam tulisan itu dapat tersampaikan dengan baik kepada pembaca. Penentuan tujuan itu mutlak

Page 27: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

21 |

diperlukan karena tujuan akan mempengaruhi terhadap corak, bentuk tulisan, gaya penyampaian serta tingkat kerincian isi tulisan. Adapun tujuan menulis menurut Hugo Hartig (Tarigan, 1983: 24-25) adalah sebagai berikut : a. Tujuan penguasaan (Assigment Purpose), penulis tidak memiliki tujuan untuk

apa dia menulis. b. Tujuan altruistic (Altruistic Purpose), penulis bertujuan untuk menyenangkan

pembaca dan menghargai perasaan dalam penalaran-nya. c. Tujuan persuasi (Persuasive Purpose), gagasan yang dikemukakan oleh

penulis harus dapat diakui kebenarannya sehingga pembaca merasa yakin atau percaya terhadap kebenaran itu.

d. Tujuan informasi/tujuan penerangan (Informational Purpose), menulis bertujuan untuk memberikan informasi atau keterangan kepada pembaca.

e. Tujuan pernyataan diri (Self Expressive Purpose), menulis bertujuan untuk memperkenalkan diri atau menyatakan diri sebagai sang pengarang kepada pembaca.

f. Tujuan kreatif (Creatif Purpose ), tujuan kreatif ini berhubungan erat dengan tujuan pernyataan diri, tetapi, keinginan kreatif disini melebihi pernyataan diri dan bertujuan mencapai nilai-nilai artistik atau nilai-nilai kesenian.

g. Tujuan pemecahan masalah (Problem Solving Purpose), penulis ingin mencoba menjelaskan, menjernihkan, menjelajahi, dan meneliti secara cermat pikiran-pikiran serta gagasan-gagasannya sendiri agar dapat dipahami dan diterima oleh pembaca.

Rahmanto dalam bukunya “Metode Pengajaran Sastra” (2002: 58) mengutarakan beberapa tujuan menulis, diantaranya: a. Menjelaskan sesuatu kepada pembaca sehingga pembaca mengetahuinya. b. Menyakinkan pembaca bahwa sesuatu itu begitu keadaannya sehingga

pembaca paham dan meyakininya c. Mempengaruhi pembaca dalam penerimaan atau penanggapan terhadap

sesuatu hal. d. Mengungkapkan pikiran dan perasaan dengan cara menjelaskan,

meyakinkan, atau mempengaruhi orang lain. 4. Klasifikasi Tulisan

Adelstein dan Pival dalam Tarigan (1984:10) mengklasifikasikan tulisan berdasarkan nada atau voice yang dirangkum sebagai berikut: a. tulisan bernada akrab; b. tulisan bernada penerangan; c. tulisan bernada penjelasan; d. tulisan bernada mendebat (tulisan argumentative dan persuasive);

Page 28: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 22

e. tulisan bernada mengkritik ; dan f. tulisan bernada otoritatif.

5. Manfaat Menulis

Dalam buku Penuntun Mengarang. Harison (1986) menjelaskan manfaat menulis adalah sebagai berikut : a. sarana untuk menemukan sesuatu; b. memunculkan ide baru; c. melatih kemampuan mengorganisasi dan menjernihkan berbagai; d. melatih sikap objektif yang ada pada diri seseorang; e. membantu untuk menyerap dan memproses informasi; dan f. melatih untuk berpikir aktif.

Akhadiah (1992: 1-2) mengemukakan beberapa manfaat menulis, yaitu : a. menulis dapat lebih mengenali kemampuan dan potensi diri dan mengetahui

sampai dimana pengetahuan kita tentang suatu topik; b. menulis mengembangkan berbagai gagasan; c. menulis lebih banyak menyerap, mencari, serta menguasai informasi

sehubungan dengan topik yang kita tulis; d. menulis dapat mengkomunikasikan gagasan secara sistematis dan

mengungkapkannya secara tersurat; e. menulis dapat menilai diri kita secara objektif; f. menulis dapat memecahkan permasalahan yaitu dengan menganalisanya

secara tersurat dalam konteks yang konkret; g. menulis mendorong kita belajar lebih aktif, kita menjadi penemu, serta

pemecah masalah; dan h. menulis akan membiasakan kita berpikir secara kritis

6. Tahapan Kegiatan Menulis

Tahapan menulis harus kita pahami agar kita tidak terikat oleh kaidah-kaidah yang tidak terlalu penting yang akan membelenggu kebebasan kita untuk berekspresi dalam menulis. Selain itu, pemahaman terhadap tahapan menulis akan mempermudah aktifitas kita ketika menulis. Menurut Suparno, ( 2007: 15), ada tiga fase/tahapan menulis sebagai berikut : a. Tahap prapenulisan, yang meliputi :

1) menentukan topik; 2) menentukan maksud dan tujuan penulisan; 3) memperhatikan sasaran penulisan; 4) mengumpulkan informasi pendukung; 5) mengorganisasikan ide dan informasi; dan

Page 29: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

23 |

6) membuat kerangka karangan b. Tahap Penulisan, mengembangkan kerangka karangan yang telah dibuat

menjadi suatu karangan yang utuh dalam bentuk buram (draft) pertama karangan.

c. Tahap Pascapenulisan, penghalusan, dan penyempurnaan draft, yang terdiri atas penyuntingan dan perbaikan (revisi) sehingga terbentuk suatu karangan yang utuh dan sesuai dengan kaidah karang mengarang.

7. Pengertian Laporan Laporan adalah segala sesuatu yang dilaporkan. Laporan adalah penyampaian informasi sesuatu yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok (tim) atas permintaan orang yang memberikan kegiatan. Laporan merupakan unsur yang sangat penting, terutama dalam menyusun kebijakan-kebijakan. The shorter Oxford English Dictionary, mendefinisikan laporan sebagai berikut : a. cerita yang dibawakan oleh seseorang kepada orang lain, terutama tentang

sesuatu hal yang diteliti secara khusus; dan b. pernyataan formal tentang hasil penelitian atau hal apa saja yang

memerlukan informasi pasti yang dibuat oleh seseorang atau badan yang diperintahkan atau diharuskan untuk melaksanakan suatu tugas.

Djuharie (2001: 70) mendefinisikan laporan sebagai cara penyampaian informasi oleh penulis atau suatu badan kepada seseorang atau badan lainnya atas tanggung jawab yang diembannya. Laporan adalah karya ilmiah untuk mendemontrasikan pemahaman seseorang terhadap sesuatu yang akan dilaporkan., Laporan adalah suatu cara berkomunikasi kepada salah seorang atau suatu bahan karena tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Keraf, 1989: 285). Hal ini menunjukkan bahwa laporan dibuat karena ada instruksi atau perintah dari atasan kepada bawahan. Berdasarkan definisi-definisi di atas, penulis menyimpulkan bahwa laporan adalah suatu bentuk pertanggungjawaban tertulis dan pernyataan formal tentang hasil penelitian atau hal apa saja yang memerlukan informasi pasti yang dibuat oleh seseorang atau badan yang diperintahkan atau diharuskan.

8. Tujuan Laporan Setiap tulisan memiliki tujuan yang hendak dicapai. Adapun tujuan penulisan laporan sebagai salah satu bentuk karya tulis adalah sebagai berikut: a. memperoleh gambaran tentang situasi/kondisi permasalahan; b. mengantisipasi dan mengatasi permasalahan;

Page 30: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 24

c. memberi sumbang saran tentang suatu permasalahan; d. mengetahui perkembangan (maju mundurnya) permasalahan; dan e. tertib administrasi.

9. Fungsi Laporan

Fungsi laporan adalah sebagai berikut: a. fungsi informatif artinya laporan berguna sebagai sumber informasi bagi

orang yang memberi tugas; b. fungsi pertanggungjawaban artinya laporan merupakan pertanggungjawaban

yang diberi tugas kepada yang memberi tugas, atas kegiatan yang dipercayakannya;

c. fungsi pengambilan keputusan artinya laporan dari pelapor dapat dijadikan bahan pengambilan keputusan; dan

d. fungsi pengawasan artinya laporan dari pelapor dijadikan pengawasan oleh pemberi tugas.

10. Pengertian Laporan Ilmiah Laporan Ilmiah merupakan sajian tertulis dari hasil kegiatan ilmiah yang telah dilakukan. Menurut Zainal Aqib (2006: 50), laporan ilmiah adalah karya tulis yang berisi sajian penelitian, pengembangan atau evaluasi yang disajikan dengan menggunakan kerangka isi, aturan, dan format. Laporan hasil umumnya dipublikasikan secara terbatas, namum ada pula yang diedarkan secara nasional dalam bentuk buku. Laporan Ilmiah menurut Keraf (1987: 289) merupakan laporan untuk menyampaikan hasil dari percobaan atau kegiatan yang dilakukan untuk meneliti sesuatu. Laporan ini hanya memuat penelitian-penelitian yang telah dilakukan. Laporan ilmiah memiliki tujuan sebagai berikut : a. Laporan ilmiah sebagai sajian penelitian, maksudnya laporan ilmiah sebagai

kegiatan pengkajian terhadap suatu permasalahan yang dilakukan berdasarkan metode ilmiah yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan ilmiah dari hal yang dipermasalahkan.

b. Laporan ilmiah sebagai sajian pengembangan maksudnya laporan ilmiah sebagai aktifitas tindak lanjut penelitian untuk mendapatkan informasi tentang tata cara mempergunakan teori-teori dan atau proses-proses untuk tujuan-tujuan praktis.

c. Laporan ilmiah sebagai kegiatan evaluasi, maksudnya laporan ilmiah sebagai kegiatan yang bertujuan untuk mendapatkan informasi yang diperoleh melalui tata cara tertentu berdasar pada metode berpikir ilmiah. Hasil kerja

Page 31: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

25 |

evaluasi adalah pengetahua ilmiah yang digunakan untuk pengambilan kebijakan terhadap hal yang dipermasalahkan.

Penulis menyimpulkan bahwa laporan ilmiah atau yang lebih dikenal dengan karya ilmiah adalah karya tulis yang bersifat formal dimana penulisannya harus mengikuti kaidah-kaidah atau ketentuan-ketentuan penulisan karya ilmiah.

11. Dasar-Dasar Laporan

Sebuah laporan bertolak dari beberapa dasar, yaitu sebagai berikut : a. Pemberi laporan melibatkan orang yang memberikan informasi (laporan),

baik perorangan atau lembaga/instansi. b. Penerima Laporan dibuat untuk disampaikan kepada orang atau instansi

yang menugaskan dan dianggap perlu untuk mendapatkan laporan tersebut. c. Tujuan Laporan tergantung dari situasi antara pemberi laporan dan penerima

laporan. Bila laporan dibuat tanpa ditugaskan berarti tujuan laporan dirumuskan oleh yang bersangkutan, tetapi sebaliknya bila laporan merupakan sesuatu yang ditugaskan, maka tujuan laporan dirumuskan oleh pemberi tugas.

Tujuan laporan meliputi: 1) untuk mengatasi masalah; 2) untuk mengambil suatu keputusan; 3) untuk mengetahui kemajuan dan perkembangan suatu masalah; 4) untuk mengadakan pengawasan dan perbaikan; dan 5) untuk menemukan teknik-teknik baru.

12. Sifat Laporan

Sifat-sifat sebuah laporan yang baik dapat dirangkum sebagai berikut. a. Laporan harus diorganisir secara sistematis. Ditulis dalam bahasa yang baik

mengikuti kaidah kebahasan dan sistematika penulisan yang benar. b. Mengandung imajinasi, pelaporan harus mengetahui dan memahami

berbagai hal yang berkaitan dengan laporan tersebut. c. Laporan harus lengkap berisi data atau fakta, tidak boleh ada hal-hal yang

dilupakan atau diabaikan, hal ini penting untuk memperkuat kesimpulan dalam laporan tersebut.

d. Laporan harus menarik, laporan yang baik ialah laporan yang dapat menarik minat perhatian penerima laporan atau pembacanya berdasarkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

e. Uraian dalam laporan harus jelas dan tidak memberikan penafsiran ganda. f. Laporan harus memuat hal-hal yang bersifat nyata. g. Laporan harus bersifat objektif. h. Tepat waktu dalam proses pengerjaannya.

13. Klasifikasi Laporan

Page 32: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 26

Klasifikasi laporan dapat dilihat dari dua segi, yaitu sebagai berikut. a. Klasifikasi laporan dari cara penyajiannya, meliputi:

a. Laporan lisan adalah laporan yang disampaikan secara lisan baik melalui tatap muka ataupun tanpa tatap muka yaitu dengan menggunakan bantuan alat, seperti: radio, telepon, tape recorder, dan lain-lain.

b. Laporan tertulis adalah laporan yang disampaikan dalam bentuk tertulis. b. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menulis laporan adalah sebagai

berikut: 1) Persiapan penulisan laporan 2) Sistematika laporan yang meliputi:

a) Pendahuluan; berisikan rumusan permasalahan, mengapa kegiatan itu dilaksanakan.

b) Latar belakang kegiatan yang akan dilaksanakan. c) Ruang lingkup kegiatan. d) Tujuan e) Isi laporan; berisikan hasil kegiatan yang dilaksanakan. f) Kesimpulan. g) Saran

c. Laporan Visual adalah laporan yang disajikan dalam bentuk gambar. Laporan visual dapat berupa foto, film, Video/CD atau slide.

d. Klasifikasi Laporan berdasarkan situasi dan waktu. 1) Laporan dinas adalah laporan yang disusun berdasarkan rutinitas

pekerjaan dalam waktu tertentu dan bersifat insidental (sewaktu-waktu), seperti: penelitian, perkembangan atau survai.

2) Laporan biasa. Laporan ini tidak terikat oleh kriteria tersebut namun substansi (isi) laporan tetap harus utuh. Laporan ini tidak terikat oleh ikatan perintah, namun tetap mengandung informasi yang penting. Materi laporan jenis ini bersifat improvisasi (seadanya), sesuai dengan keadaan sebenarnya.

Sedangkan Keraf (1987: 287-290) mengklasifikasikan laporan sebagai berikut: 1) Laporan berbentuk formulir isian 2) Laporan berbentuk surat 3) Laporan berbentuk memorandum 4) Laporan perkembangan dan laporan keadaan 5) Laporan berkala 6) Laporan Laboratoris 7) Laporan formal dan semi formal.

C. Kecakapan Vokasional

Page 33: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

27 |

Pendidikan vokasional merupakan penggabungan antara teori dan praktik secara seimbang dengan orientasi pada kesiapan kerja lulusannya. Kurikulum dalam pendidikan vokasional, terkonsentrasi pada sistem pembelajaran keahlian (apprenticeship of learning) pada kejuruan-kejuruan khusus (specific trades). Kelebihan pendidikan vokasional ini, antara lain, peserta didik secara langsung dapat mengembangkan keahliannya disesuaikan dengan kebutuhan lapangan atau bidang tugas yang akan dihadapinya. Departemen Pendidikan Nasional mengkategorikan keterampilan-keterampilan yang menjadi muatan kecakapan hidup dalam kurikulum SMK menjadi empat kelompok yaitu akademik, personal, sosial, dan vokasional. Banyak pendapat dan literatur yang mengemukakan bahwa pengertian kecakapan hidup bukan sekedar keterampilan untuk bekerja (vokasional) tetapi memiliki makna yang lebih luas. Kecakapan vokasional terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan keterampilan motorik. Kecakapan vokasional terbagi atas kecakapan vokasional dasar (basic vocational skill) dan kecakapan vokasional khusus (occupational skill). Arah kebijakan dan tujuan pendidikan kecakapan hidup di lingkungan pendidikan nonformal dan informal (PNFI) adalah untuk mengakrabkan peserta didik dengan kehidupan nyata. Pendidikan vokasional yang berorientasi pada pembekalan kecakapan hidup merupakan bisnis inti dari pendidikan non formal. Penanaman penguasaan keterampilan vokasional memacu kreativitas dan mengembangkan pemahaman peran individu dalam kehidupan sosial. Pendidikan vokasional merupakan penggabungan antara teori dan praktik secara seimbang dengan orientasi pada kesiapan kerja lulusannya. Kurikulum dalam pendidikan vokasional, terkonsentrasi pada sistem pembelajaran keahlian (apprenticeship of learning) pada kejuruan-kejuruan khusus (specific trades). Kelebihan pendidikan vokasional ini, antara lain, peserta didik secara langsung dapat mengembangkan keahliannya disesuaikan dengan kebutuhan lapangan atau bidang tugas yang akan dihadapinya. Pendidikan kecakapan hidup merupakan isu sentral dalam pelayanan pendidikan. Hal tersebut merupakan jembatan penghubung antara penyiapan peserta didik di lembaga pendidikan dengan masyarakat dan dunia kerja. Pembekalan kecakapan hidup secara khusus menjadi muatan kurikulum dalam bentuk pelajaran keterampilan fungsional dan kepribadian profesional. Disamping pembekalan kecakapan hidup melalui mata pelajaran iptek dengan pendekatan tematik, induktif, dan berorientasi kebutuhan masyarakat di wilayahnya.

Page 34: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 28

Kecakapan hidup adalah berbagai jenis keterampilan yang memampukan remaja-remaja menjadi anggota masyarakat yang aktif, produktif dan tangguh. Departemen Pendidikan Nasional mengkategorikan keterampilan-keterampilan ini menjadi empat kelompok yaitu akademik, personal, sosial dan vokasional. Banyak pendapat dan literatur yang mengemukakan bahwa pengertian kecakapan hidup bukan sekedar keterampilan untuk bekerja (vokasional) tetapi memiliki makna yang lebih luas. WHO (1997) mendefinisikan bahwa kecakapan hidup sebagai keterampilan atau kemampuan untuk dapat beradaptasi dan berperilaku positif, yang memungkinkan seseorang mampu menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan dalam kehidupan secara lebih efektif. Kecakapan hidup mencakup lima jenis, yaitu: (1) kecakapan mengenal diri, (2) kecakapan berpikir, (3) kecakapan sosial, (4) kecakapan akademik, dan (5) kecakapan kejuruan. Barrie Hopson dan Scally (1981) mengemukakan bahwa kecakapan hidup merupakan pengembangan diri untuk bertahan hidup, tumbuh, dan berkembang, memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan berhubungan baik secara individu, kelompok maupun melalui sistem dalam menghadapi situasi tertentu. Sementara Brolin (1989) mengartikan lebih sederhana yaitu bahwa kecakapan hidup merupakan interaksi dari berbagai pengetahuan dan kecakapan sehingga seseorang mampu hidup mandiri. Pengertian kecakapan hidup tidak semata-mata memiliki kemampuan tertentu (vocational job), namun juga memiliki kemampuan dasar pendukung secara fungsional seperti: membaca, menulis, dan berhitung, merumuskan dan memecahkan masalah, mengelola sumber daya, bekerja dalam kelompok, dan menggunakan teknologi (Dikdasmen, 2002). Dari pengertian di atas, dapat diartikan bahwa pendidikan kecakapan hidup merupakan kecakapan-kecakapan yang secara praktis dapat membekali peserta didik dalam mengatasi berbagai macam persoalan hidup dan kehidupan. Kecakapan itu menyangkut aspek pengetahuan, sikap yang didalamnya termasuk fisik dan mental, serta kecakapan kejuruan yang berkaitan dengan pengembangan akhlak peserta didik sehingga mampu menghadapi tuntutan dan tantangan hidup dalam kehidupan. Pendidikan kecakapan hidup dapat dilakukan melalui kegiatan intra/ekstrakurikuler untuk mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan karakteristik, emosional, dan spiritual dalam prospek pengembangan diri, yang materinya menyatu pada sejumlah mata pelajaran yang ada. Penentuan isi dan bahan pelajaran kecakapan hidup dikaitkan dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan agar peserta didik mengenal dan memiliki bekal dalam menjalankan kehidupan

Page 35: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

29 |

dikemudian hari. Isi dan bahan pelajaran tersebut menyatu dalam mata pelajaran yang terintegrasi sehingga secara struktur tidak berdiri sendiri. Menurut konsepnya, kecakapan hidup dapat dibagi menjadi dua jenis utama, yaitu: Kecakapan hidup generik (generic life skill/GLS), dan Kecakapan hidup spesifik (specific life skill/SLS). Masing-masing jenis kecakapan itu dapat dibagi menjadi sub kecakapan. Kecakapan hidup generik terdiri atas kecakapan personal (personal skill), dan kecakapan sosial (social skill). Kecakapan personal mencakup kecakapan dalam memahami diri (self awareness skill) dan kecakapan berpikir (thinking skill). Kecakapan mengenal diri pada dasarnya merupakan penghayatan diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, sebagai anggota masyarakat dan warga negara, serta menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki sekaligus sebagai modal dalam meningkatkan dirinya sebagai individu yang bermanfaat bagi lingkungannya. Kecapakan berpikir mencakup antara lain kecakapan mengenali dan menemukan informasi, mengolah, dan mengambil keputusan, serta memecahkan masalah secara kreatif. Sedangkan dalam kecakapan sosial mencakup kecakapan berkomunikasi (communication skill) dan kecakapan bekerjasama (collaboration skill). Kecakapan hidup spesifik adalah kecakapan untuk menghadapi pekerjaan atau keadaan tertentu. Kecakapan ini terdiri dari kecakapan akademik (academic skill) atau kecakapan intelektual, dan kecakapan vokasional (vocational skill). Kecakapan akademik terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan pemikiran atau kerja intelektual. Kecakapan vokasional terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan keterampilan motorik. Kecakapan vokasional terbagi atas kecakapan vokasional dasar (basic vocational skill) dan kecakapan vokasional khusus (occupational skill). Menurut konsep di atas, kecakapan hidup adalah kemampuan dan keberanian untuk menghadapi problema kehidupan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari dan menemukan solusi untuk mengatasinya. Pendidikan berorientasi kecakapan hidup bagi peserta didik adalah sebagai bekal dalam menghadapi dan memecahkan problema hidup dan kehidupan, baik sebagai pribadi yang mandiri, warga masyarakat, maupun sebagai warga negara. Apabila hal ini dapat dicapai, maka ketergantungan terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan, yang berakibat pada meningkatnya angka pengangguran, dapat diturunkan, yang berarti produktivitas nasional akan meningkat secara bertahap. D. Teknik Siklus Belajar a. Latar Belakang Teknik Siklus Belajar

Page 36: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 30

Pada dasarnya Siklus belajar selaras dengan teori belajar Piaget (Renner et al, 1988:58), teori belajar yang berbasis konstruktivisme. Piaget menyatakan bahwa belajar merupakan pengembangan aspek kognitif yang meliputi: struktur, isi, dan fungsi. Struktur intelektual adalah organisasi-organisasi mental tingkat tinggi yang dimiliki individu dalam merespon masalah yang dihadapi. Sedangkan fungsi merupakan proses perkembangan intelektual yang mencakup adaptasi dan organisasi ( Arifin, 1995). Adaptasi terdiri atas asimilasi dan akomodasi. Pada proses asimilasi individu menggunakan struktur kognitif yang sudah ada untuk memberikan respon terhadap rangsangan yang diterimanya. Dalam asimilasi individu berinteraksi dengan data yang ada di lingkungan untuk diproses dalam struktur mentalnya. Dalam proses ini struktur mental individu dapat berubah, sehingga terjadi akomodasi. Pada kondisi ini individu melakukan modifikasi dari struktur yang ada, sehingga terjadi pengembangan struktur mental. Pemerolehan konsep baru akan berdampak pada konsep yang telah dimiliki individu. Individu harus dapat menghubungkan konsep yang baru dipelajari dengan konsep-konsep lain dalam suatu hubungan antarkonsep. Konsep yang baru harus diorganisasikan dengan konsep-konsep lain yang telah dimiliki. Organisasi yang baik dari intelektual seseorang akan tercermin dari respon yang diberikan dalam menghadapi masalah. Karplus dan Their (dalam Renner et al, 1988:58) mengembangkan strategi pembelajaran yang sesuai dengan ide Piaget di atas. Dalam hal ini siswa diberi kesempatan untuk mengasimilasi informasi dengan cara mengeksplorasi lingkungan, mengakomodasi informasi dengan cara mengembangkan konsep, mengorganisasikan informasi dan menghubungkan konsep-konsep baru dengan menggunakan atau memperluas konsep yang dimiliki untuk menjelaskan suatu fenomena yang berbeda. Implementasi teori Piaget oleh Karplus dikembangkan menjadi fase eksplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi konsep. b. Pengertian Teknik Siklus belajar Teknik pembelajaran yang relevan dengan situasi dan kondisi akan menunjang penciptaan siswa belajar secara aktif dan dapat memotivasi untuk mencapai pembelajaran bermakna. Sebagai salah satu bagian dari teknik pembelajaran, siklus belajar diharapkan dapat mengarahkan siswa ke arah tujuan di atas. Siklus belajar atau dalam penulisan disingkat LC (Learning Cycle) adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered). Siklus belajar merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga siswa dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai

Page 37: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

31 |

dalam pembelajaran dengan jalan berperan aktif. Menurut Karli (2003: 82), siklus belajar adalah suatu teknik pembelajaran dengan mengikuti pola tertentu. Berdasarkan pengertian para ahli di atas, penulis menyimpulkan bahwa siklus belajar adalah suatu aktifitas pembelajaran yang mengikuti tahapan tertentu untuk memperoleh tujuan dan kompetensi yang telah ditetapkan dengan ciri khas pembelajaran berpusat pada siswa (student centered). c. Tahapan Siklus belajar Siklus belajar terdiri atas fase-fase eksplorasi (exploration), pengenalan konsep (concept introduction), dan aplikasi konsep (concept application). (Karplus dan Their dalam Renner et al, 1988). Pada tahap eksplorasi yang merupakan fase awal dari siklus belajar, siswa diberi kesempatan untuk memanfaatkan panca inderanya semaksimal mungkin dalam berinteraksi dengan lingkungan melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum, menganalisis artikel, mendiskusikan fenomena alam, mengamati fenomena alam atau perilaku sosial, dan lain-lain. Dari kegiatan ini diharapkan timbul ketidakseimbangan dalam struktur mentalnya (cognitive disequilibrium) yang ditandai dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada berkembangnya daya nalar tingkat tinggi (high level reasoning) yang diawali dengan kata-kata seperti mengapa dan bagaimana (Dasna, 2005, Rahayu, 2005). Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut sekaligus merupakan indikator kesiapan siswa untuk menempuh fase berikutnya yaitu fase pengenalan konsep. Dalam tahap ini peran guru hanya sebagai observer, fasilitator, dan motivator. Guru tidak secara langsung terlibat dalam pembelajaran. Yang harus dilakukan guru adalah mempersiapkan untuk mengajukan berbagai pertanyaan yang berguna untuk membantu siswa untuk memahami materi sebagai usaha mencari dan mengumpulkan berbagai informasi, data-data serta fakta-fakta yang diperlukan. Dalam fase ini guru harus berusaha menggali konsepsi awal siswa Fase kedua adalah fase Pengenalan Konsep (concept introduction) tahap dimana guru mengumpulkan informasi dari siswa berkaitan dengan pengalaman mereka dalam tahap eksplorasi dengan menggunakan berbagai metode dan media yang tepat. Fase ini bertujuan untuk mengenalkan konsep baru dan sekaligus pemantapan/penjelasan tentang suatu konsep. Pada fase ini diharapkan terjadi proses menuju keseimbangan antara konsep-konsep yang telah dimiliki siswa dengan konsep-konsep yang baru dipelajari melalui kegiatan-kegiatan yang membutuhkan daya nalar seperti menelaah sumber pustaka dan berdiskusi. Pada

Page 38: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 32

tahap ini siswa mengenal istilah-istilah yang berkaitan dengan konsep-konsep baru yang sedang dipelajari. Fase ketiga adalah fase penerapan konsep (concept application), fase dimana guru menyiapkan situasi yang dapat dipecahkan berdasarkan pengalaman eksplorasi dengan pengenalan konsep. Fase terakhir, yakni aplikasi konsep, siswa diajak menerapkan pemahaman konsepnya melalui kegiatan-kegiatan seperti problem solving (menyelesaikan problem-problem nyata yang berkaitan) atau melakukan percobaan lebih lanjut. Penerapan konsep dapat meningkatkan pemahaman konsep dan motivasi belajar, karena siswa mengetahui penerapan nyata dari konsep yang mereka pelajari. d. Implementasi Siklus belajar dalam Pembelajaran Implementasi siklus belajar dalam pembelajaran menempatkan guru sebagai fasilitator yang mengelola berlangsungnya fase-fase tersebut mulai dari perencanaan (terutama pengembangan perangkat pembelajaran), pelaksanaan (terutama pemberian pertanyaan-pertanyaan arahan dan proses pembimbingan) sampai evaluasi. Efektifitas implementasi siklus belajar biasanya diukur melalui observasi proses dan pemberian tes. Jika ternyata hasil dan kualitas pembelajaran tersebut ternyata belum memuaskan, maka dapat dilakukan siklus berikutnya yang pelaksanaannya harus lebih baik dibanding siklus sebelumnya dengan cara mengantisipasi kelemahan-kelemahan siklus sebelumnya sampai mencapai hasil yang maksimal dan memuaskan. Implementasi/penerapan siklus belajar dalam pembelajaran sesuai dengan pandangan kontruktivis adalah sebagai berikut : 1) Siswa belajar secara aktif. Siswa mempelajari materi secara bermakna dengan

bekerja dan berpikir. Pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman siswa. 2) Informasi baru dikaitkan dengan skema yang telah dimiliki siswa. Informasi

baru yang dimiliki siswa berasal dari interpretasi individu. 3) Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang merupakan

pemecahan masalah. (Hudojo, 2001) Dengan demikian proses pembelajaran bukan lagi sekedar transfer pengetahuan dari guru ke siswa, seperti dalam falsafah behaviorisme, tetapi merupakan proses pemerolehan konsep yang berorientasi pada keterlibatan siswa secara aktif dan langsung. Proses pembelajaran demikian akan lebih bermakna dan menjadikan

Page 39: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

33 |

skema dalam diri siswa menjadi pengetahuan fungsional yang setiap saat dapat diorganisasi oleh siswa untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Hasil-hasil penelitian di perguruan tinggi dan sekolah menengah tentang implementasi siklus belajar dalam pembelajaran sain menunjukkan keberhasilan model ini dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa (Budiasih dan Widarti, 2004; Fajaroh dan Dasna, 2004). Marek dan Methven (dalam Iskandar, 2005) menyatakan bahwa siswa yang gurunya mengimplementasikan siklus belajar mempunyai keterampilan menjelaskan yang lebih baik daripada siswa yang gurunya menerapkan metode ekspositori. Cohen dan Clough (dalam Soebagio, 2000) menyatakan bahwa siklus belajar merupakan strategi jitu bagi pembelajaran di sekolah menengah karena dapat dilakukan secara luwes dan memenuhi kebutuhan nyata guru dan siswa. e. Kelebihan dan Kelemahan Siklus Belajar Dilihat dari dimensi guru penerapan teknik siklus belajar ini adalah memperluas wawasan dan meningkatkan kreatifitas guru dalam merancang kegiatan pembelajaran. Sedangkan ditinjau dari dimensi siswa, penerapan teknik siklus belajar ini memberi berbagai keuntungan sebagai berikut: 1) meningkatkan motivasi dan kreatifitas belajar siswa karena siswa dilibatkan

secara aktif dalam proses pembelajaran. 2) membantu mengembangkan sikap ilmiah siswa. 3) pembelajaran yang dilaksanakan akan menjadi lebih bermakna. Adapun kekurangan penerapan teknik siklus belajar adalah sebagai berikut : 1) efektifitas pembelajaran rendah jika guru kurang menguasai materi dan

langkah-langkah pembelajaran. 2) menuntut kesungguhan dan kreativitas guru dalam merancang dan

melaksanakan proses pembelajaran. 3) memerlukan pengelolaan kelas yang lebih terencana dan terorganisasi. 4) memerlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak dalam menyusun rencana

dan melaksanakan pembelajaran. (Soebagio, 2000). Langkah-langkah di atas secara operasional diuraikan sebagai berikut. 1) Mengkaji teori menulis khususnya menulis laporan ilmiah, mengkaji teori teknik

khususnya teknik pembelajaran, dan mengkaji permasalahan-permasalahan dalam pembelajaran menulis

Page 40: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 34

2) Menyusun model pembelajaran menulis laporan ilmiah berbasis kecakapan vokasional dengan menggunakan teknik siklus belajar, selanjutnya mengujicobakan pada kelas penelitian

3) Melakukan analisis hasil belajar dengan menggunakan tes akhir 4) Menyusun model pembelajaran menulis laporan ilmiah berbasis kecakapan

voaksional dengan menggunakan teknik siklus belajar Fase-fase Siklus Belajar

1. Fase Pendahuluan (Engagement) Kegiatan pada fase ini bertujuan untuk mendapatkan perhatian siswa, mendorong kemampuan berpikir, membantu mereka mengakses pengetahuan awal yang telah dimilikinya. Timbulnya rasa ingin tahu siswa tentang tema atau topik yang akan dipelajari dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada siswa tentang fakta/fenomena yang berhubungan dengan materi yang akan dipelajari. 2. Fase Eksplorasi (Exploration) Pada fase ini siswa diberi kesempatan untuk bekerja baik secara mandiri maupun kelompok tanpa instruksi secara langsung dari guru. Siswa bekerja memanipulasi suatu objek, melakukan percobaan (secara ilmiah), melakukan pengamatan, mengumpulkan data, sampai pada membuat suatu kesimpulan dari percobaan yang dilakukan. Guru sebagai fasilitator membantu siswa agar bekerja pada ruang lingkup permasalahan (hipotesis yang dibuat sebelumnya). Sesuai dengan teori Piaget, kegiatan eksplorasi siswa diharapkan mengalami ketakseimbangan kognitif . 3. Fase Penjelasan (Explanation) Kegiatan pada fase ini bertujuan untuk melengkapi, menyempurnakan, dan mengembangkan konsep yang diperoleh siswa. Guru menjelaskan konsep yang dipahaminya dengan kata-katanya sendiri, menunjukkan contoh-contoh yang berhubungan dengan konsep untuk melengkapi penjelasannya, serta bisa memperkenalkan istilah-istilah baru yang belum diketahui siswa. Pada kegiatan yang berhubungan dengan percobaan, guru dapat memperdalam hubungan antar variable atau kesimpulan yang diperoleh siswa. Sehingga, siswa dapat meningkatkan pemahaman konsep yang baru diperolehnya. 4. Fase Penerapan Konsep (Elaboration) Kegiatan belajar ini mengarahkan siswa menerapkan konsep-konsep yang telah dipahami dan keterampilan yang dimiliki pada situasi baru. Kegiatan fase ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman siswa tentang apa yang telah mereka ketahui, sehingga siswa dapat melakukan akomodasi melalui hubungan antar konsep dan pemahaman siswa menjadi lebih mantap.

Page 41: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

35 |

5. Fase Evaluasi (Evaluation) Ada dua hal yang ingin diketahui pada kegiatan belajar ini yaitu pengalaman belajar yang telah diperoleh siswa dan refleksi untuk melakukan siklus lebih lanjut yaitu untuk pembelajaran pada konsep berikutnya. E. Penerapan Pembelajaran Teknik Siklus Belajar dalam Pembelajaran Menulis

Laporan Berbasis Vokasional Model pembelajaran menulis laporan berbasis kecakapan vokasional dengan menggunakan teknik siklus belajar merupakan rencana pembelajaran yang memberikan kesempatan dan memotivasi siswa untuk memperoleh pengalaman belajar melalui kegiatan siklus belajar dan eksplorasi yang dituangkan dalam bentuk laporan berbasis kecakapan vokasional. Model pembelajaran menulis laporan berbasis kecakapan vokasional merupakan bentuk pembelajaran yang berinovasi baru. Dengan demikian model ini pemerolehan keterampilan domain kompleks seperti menulis yang bergantung pada observasi. Sebuah fase penting dalam belajar menulis adalah belajar menulis melalui observasi dan mengevaluasi proses-proses yang relevan: proses menulis, proses membaca, atau proses komunikasi antara pembaca dan penulis. Pertama, tahap eksplorasi disajikan contoh lilmiah, kemudian guru dan siswa melakukan tanya jawab tentang macam-macam laporan ilmiah dan sistematika penulisannya. Guru mengajukan berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan laporan ilmiah untuk menggali konsepsi awal siswa. Kedua, tahap pengenalan konsep yaitu menggali pemahaman siswa tentang konsep yang telah dipelajari, kemudian mengenal konsep dan penjelasan materi baru, setelah itu menelaah buku referensi, dan melakukan diskusi untuk mengidentifikasi format dan konteks laporan ilmiah yang telah dianalisis. Ketiga, tahap penerapan konsep yaitu merencanakan tuisan laporan ilmiah sesuai dengan kegiatan yang telah dilakukan kemudian menyusun kerangka laporan ilmiah sesuai dengan ketentuan. Keempat, tahap aplikasi konsep yaitu menulis laporan ilmiah secara lengkap dan sesuai dengan kerangka yang telah ditetapkan. Pada kegiatan akhir guru dan siswa menyimpulkan langkah penyusunan laporan dan karakteristik laporan ilmiah serta guru dan siswa merefleksikan pembelajaran menulis laporan ilmiah Berdasarkan hal di atas model pembelajaran menulis laporan ilmiah berbasis kecakapan vokasional mengacu pada sejumlah prinsip dasar pembelajaran bahasa, terutama prinsip humanisme, konstruktivisme, dan progresivisme. Dalam hal ini disimpulkan bahwa prinsip utama pembelajaran adalah proses keterlibatan siswa dalam pembelajaran dan kebermaknaan bagi diri sendiri maupun kehidupannya. Mereka mengamati, memproses, mengabstraksi, menggeneralisasi, dan

Page 42: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 36

mengkonteksutalisasi informasi dari lingkungan pembelajaran ke pengetahuan deklaratif, prosedural, dan kondisional, mereka memperoleh pengetahuan tentang bagaimana laporan ilmiah yang baik itu dan menghasilkan laporan sesuai dengan tujuannya. Prinsip-prinsip model pembelajaran menulis laporan ilmiah berbasis kecakapan vokasional dijelaskan sebagai berikut. a. Prinsip belajar siswa aktif

Proses pembelajaran berpusat pada siswa. Aktivitas siswa hampir pada seluruh proses pembelajaran, dari mulai fase pembelajaran, kegiatan lapangan, dan pelaporan. Dalam fase perencanaan aktivitas siswa terlibat saat mengidentifikasi masalah. Dalam fase kegiatan di lapangan, aktivitas siswa mengumpulkan sumber informasi dari masyarakat yang memungkinkan dapat diakses. Pada fase pelaporan aktivitas siswa terfokus pada pembuatan laporan ilmiah. Segala bentuk data dan informasi disusun secara sistematis dan didokumentasikan.

b. Kelompok belajar kooperatif Proses pembelajaran menulis berbasis kecakapan vokasional menerapkan prinsip belajar kooperatif yaitu proses pembelajaran yang melakukan kerjasama antara siswa, sekolah, orang tua, dan lembaga terkait. Kerjasama antarsiswa dilakukan pada saat siswa sudah memilih satu masalah sebagai bahan kajian bersama juga ketika silang baca saling merevisi karangan serta kerjasama dengan narasumber dalam memperoleh data lapangan. Orang tua, pihak sekolah, dan lembaga terkait harus menjadi fasilitator dan mempermudah proses pembelajaran tersebut.

c. Pembelajaran partisipatorik Proses pembelajaran menulis berbasis kecakapan vokasional menganut prinsip partisipatorik. Melalui model ini siswa belajar sambil diarahkan untuk terlibat secara langsung pada kehidupan nyata agar mereka peka terhadap masalah-masalah yang ada di masyarakat dan berusaha untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut sesuai dengan kemampuannya. Guru juga harus dapat membangkitkan minat siswa untuk belajar aktif dalam proses pembelajaran karena siswa merupakan objek dan subjek pembelajaran.

d. Pembelajaran berbasis kerja Pembelajaran berbasis kerja mengikuti strukturn pengalaman dalam pola sektor umum dan pribadi di luar kelas melalui pengajaran akademik berbasis kelas dan

Page 43: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

37 |

minat kerja. Aktivitas ini meliputi persiapan untuk pengalaman di tempat kerja (termasuk keterampilan tambahan, belajar mengenai pengalaman seputar pilihan kerja, dan perencanaan untuk pola kerja di dunia nyata), mendesain program tempat kerja yang bekerjasama dengan pengusaha/industri/pekerja, dan refleksi terhadap aktivitas yang terjadi. Pembelajaran berbasis kerja dapat berbentuk magang misalnya menjadi pegawai di sebuah perusahaan.

Gambar 1

Tahap Pelaksanaan Teknik Siklus Belajar dalam Pembelajaran Menulis Laporan Ilmiah Berbasis Kecakapan Vokasional

Gambar di atas menunjukkan bahwa pembelajaran menulis berbasis kecakapan vokasional dengan menggunakan teknik siklus belajar harus melalui tahap-tahap : 1. Tahap pendahuluan (engagement)

ENGAGEMEN

(PENDAHULUAN)

Menyampaikan topik

yang akan dipelajari

serta menganalisis

contoh laporan ilmiah

ELABORATION

(PENERAPAN KONSEP)

Menerapkan konsep-

konsep yang sudah

dipelajari dalam bentuk

laporan ilmiah

EXPLORATION

(EKSPLORASI)

Berkelompok melakukan

pengamatan, percobaan,

pengumpulan data

EXPLANATION

(PENJELASAN)

Melengkapi, menyempurnakan, dan

mengembangkan informasi dengan kata-

kata sendiri

EVALUATION

(EVALUASI)

Melakukan penilaian

serta refleksi

Page 44: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 38

Tahap pendahuluan guru menyampaikan topik yang akan dipelajari serta memperlihatkan contoh laporan ilmiah kepada siswa. Pada tahap ini terjadi tanya jawab serta pengenalan konsep yang akan dipelajari. 2. Tahap eksplorasi (exploration) Pada tahap eksplorasi siswa melakukan pengamatan terhadap objek yang akan dilaporkan, setelah itu melakukan praktik, serta mengumpulkan data yang nanti akan diperlukan dalam laporan. 3. Tahap penjelasan (explanation) Tahap penjelasan melengkapi informasi serta data yang akan dilaporkan sesuai dengan kegiatan yang dilakukan melalui kegiatan diskusi kelompok dan mengembangkan informasi tersebut dengan pemikiran bersama. 4. Tahap penerapan konsep (elaboration) Pada tahap elaborasi siswa menerapkan konsep-konsep yang sudah dipelajari serta mengurutkan data dan informasi dalam bentuk membuat laporan ilmiah berbasis kecakapan vokasional. 5. Tahap penilaian (evaluation) Tahap akhir dari siklus belajar ini adalah melakukan penilaian terhadap laporan yang telah dibuat serta melakukan refleksi terhadap proses pembelajaran menulis laporan ilmiah berbasis kecakapan vokasional dengan menggunakan teknik siklus belajar. Agar pembelajaran dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan sesuai kurikulum, maka harus dibuat sebuah rencana pembelajaran yang akan membantu guru dalam menentukan langkah-langkah pembelajaran menulis laporan. Hal ini dapat dilihat dari contoh rencana pembelajaran di bawah ini : Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia Tema : Pertanian Tingkatan : SMK Kelas/Semester : XII / II Alokasi Waktu : 4 jam pelajaran 1. Standar Kompetensi

Berkomunikasi dengan bahasa Indonesia setara tingkat unggul 2. Kompetensi Dasar

Menulis laporan ilmiah 3. Indikator

Page 45: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

39 |

1) Merumuskan judul sebagai topik bahasan 2) Menyusun sistematika laporan 3) Merencanakan rancangan isi laporan 4) Menyusun isi laporan

4. Materi Pembelajaran : Laporan ilmiah 5. Pendekatan/Teknik : Konstruktivisme/Siklus belajar 6. Kegiatan Pembelajaran :

1) Kegiatan awal Apersepsi

2) Kegiatan inti a) Tahap eksplorasi

(1) Menganalisis contoh laporan ilmiah (2) Guru dan siswa bertanya jawab tentang macam-macam laporan

ilmiah dan sistematika penulisannya. (3) Guru mengajukan berbagai pertanyaan yang berguna untuk menggali

konsepsi awal siswa. b) Tahap Pengenalan Konsep (concept introduction)

(1) Menggali pemahaman siswa tentang konsep yang telah dipelajari. (2) Pengenalan konsep dan penjelasan materi baru. (3) Menelaah buku referensi. (4) Berdiskusi untuk mengidentifikasi format dan konteks laporan ilmiah

yang telah dianalisis. c) Tahap penerapan konsep (concept application)

(1) Merencanakan tulisan laporan ilmiah sesuai dengan kegiatan yang telah dilakukan.

(2) Menyusun kerangka laporan ilmiah sesuai dengan ketentuan. d) Tahap aplikasi konsep

Menulis laporan imliah secara lengkap dan sesuai dengan kerangka yang telah ditetapkan.

3) Kegiatan akhir a) Guru dan siswa menyimpulkan langkah penyusunan laporan dan

karakteristik laporan ilmiah. b) Guru dan siswa merefleksikan pembelajaran menulis laporan ilmiah.

7. Sumber belajar : 1) Rekaman 2) Nara sumber 3) Modul Tingkat Semenjana 4) KBBI

8. Penilaian

Page 46: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 40

Penilaian hasil mengukur keterampilan siswa dalam menyusun laporan ilmiah. Kriteria penilaian laporan penelitian dilihat dari segi : 1) kelengkapan dan ketepatan isi sesuai dengan tujuan pengamatan/penelitian, 2) keringkasan penyajian laporan sehingga mudah dibaca, 3) kebakuan bahasa yang digunakan, 4) hanya berisi fakta yang diamati bukan pendapat penulis, 5) kesesuaian laporan dengan data yang ada, dan 6) ketepatan ejaan yang digunakan dalam laporan.

Penilaian proses diarahkan pada kemampuan bekerjasama, ketekunan dalam pelaksanaan tugas, proses perencanaan laporan, partisipasi dalam diskusi, dan sikap terbuka untuk memperbaiki hasil pekerjaannya berdasarkan komentar teman/guru.

Daftar Pustaka

Abraham, M.R., Renner J.W.1986. The Sequence of Learning Cycle Activity in High

School Chemistry. J. of Research in Science Teaching. Vol 23 (2), pp 121-143.

Akhadiah, S. Et. Al. 1995. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga

Anas, S 1995. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Teknik Praktek. Jakarta: PT. Rineka

Cipta Depdikbud. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran (KTSP): Standar Kompetensi

Bahasa Indonesia Untuk SMK Jakarta: Direktorat Pendidikan Nasional Engkoswara. 1993. Pedoman Penyusunan Karya Ilmiah untuk Angka Kredit Guru.

Bandung : CV. Karang Sewu Hardle and Simar. (2004). Applied Multivariate Atatistical Analysis,

Second Edition. Springer Karli, H. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Bagaimana

Mengimpkementasikannya di kelas ?. Bandung : Bina Media Informasi Karli, H 2005. 3 H dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Generasi Info

Media Keraf, G. 1989. Komposisi. Jakarta : Nusa Indah Lorsbach, A. W. 2002. The Learning Cycle as A tool for Planning Science

Instruction.Online (http://www.coe.ilstu.edu/scienceed/lorsbach/257lrcy.html, diakses 10 Desember 2002).

Nurgiantoro, B .1988. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra Yogyakarta: BPFE

Page 47: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

41 |

Petrus, T. http//www/bpk Penabur.or.id. Rahayu, S., Prayitno. 2005. Penggunaan Strategi Pembelajaran Learning Cycle-

Cooperative Learning 5E (LCC-5E). Makalah Seminar Nasional MIPA dan Pembelajarannya. FMIPA UM – Dirjen Dikti Depdiknas. 5 September 2005

Rahmanto. 2002. Metode Pengajaran Sastra. Bandung: Alfabeta Rusyana, Y 1986. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: Rosda

Karya Sagala, S. 2005. Konsep dan makna Pembelajaran: Untuk Membantu Memecahkan

Probelematika Belajar dan Mengajar. Bandung: Alfabeta Subana, M dan Sunarti. 1990. Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia:

Berbagai Teknik, Metode Teknik dan Media Pengajaran. Bandung: Pustaka Setia

Subino.1982. Bimbingan Skripsi Rancangan Pelaksanaan Analisis dan Penulisan. Bandung: Yapari

Page 48: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 42

Page 49: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

43 |

SCAFFOLDING INTERACTION CYCLE IN READING TO LEARN PROGRAM

Oleh : Silvia Widianingsih,S.Pd,M.Pd

School of Post Graduate Studies Indonesia University of Education (UPI)

ABSTRACT

This study aims to investigate three steps (Prepare, Task and Elaborate) of scaffolding interaction cycle (Rose, 2008) in Reading to Learn program (Rose & Acevedo, 2006; Rose, 2008) with one teacher and fifteen students as the participants at a vocational high school. This study used a case study research design which employed two data collection techniques, i.e. observation and document analysis of students’ writing in Independent Writing stage. The study reveals three findings related to the research questions. First, the teacher used scaffolding interaction cycle almost in all stages in Reading to Learn program except for Preparing for Writing stage due to teacher’s misunderstanding toward the strategies used in this stage. Second, Prepare moves were mostly employed by the teacher in scaffolding interaction cycle because the students were still reluctant to actively engage in this program. Finally, the problems that the teacher found in the use of scaffolding interaction cycle in Reading to Learn program were related to teacher’s understanding, students’ questions, students’ passivity and big class. It is thus recommended to the teachers to more carefully plan the use of scaffolding interaction cycle in Reading to Learn program. Besides that, further research is expected to deal with more texts, more intensive support, bigger number of participants and longer time in conducting the program.

Keywords: Reading to Learn Program, Scaffolding Interaction Cycle, Teaching Cycle, Types of Interaction Moves

Introduction The need to include reading into EFL writing programs has been suggested by experts working in this area, for instance Kroll (2001). However, reading and writing in English as a foreign language have been claimed to be difficult for students (Gibbons, 2002). This difficulty is influenced by many cultural backgrounds and the different skills that students bring with them to school (Ross, 2008, p.3). As an effort to overcome this problem, Rose (2004, 2005, 2006, 2007 and 2008) designed Reading to Learn program to integrate reading and writing with teaching the curriculum at all year levels, closing the gap in the class at the same time as accelerating learning for all students. As mentioned in www.readingtolearn.com.au, the program has been developed over ten years with teachers of primary, secondary and tertiary students across

Page 50: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 44

Australia and internationally, to integrate reading and writing with teaching the curriculum at all year levels. In addition, it is also mentioned that the strategies in this program apply cutting edge research in classroom learning and language across the curriculum, in a form that is accessible, practical and meets the needs of teachers and students. Furthermore, Rose and Acevedo (2006a) mention that the Catholic Education Office Melbourne (CEOM) has implemented Reading to Learn program over three years with over 1000 students, as part of middle years professional learning project. The results included average literacy gains at twice the expected rates of development, and as high as four times expected rates, when implemented during a few lessons per week with whole classes. The Reading to Learn program is carefully designed to give all students this support in a six stage teaching cycle (Rose, 2008): 1) Preparing before Reading; 2) Detailed Reading; 3) Preparing for Writing; 4) Joint Rewriting; 5) Individual Rewriting; and 6) Independent Writing. However, what is emphasised in the program, as Rose & Acevedo (2006a, p. 36) advise, is that learners must always be adequately prepared to perform each task successfully, before they are asked to do it. It is also mentioned by them that once they have successfully performed the task they are then cognitively prepared for a third step that elaborates their understanding of the activity they have completed. This program has a three part cycle of Prepare – Task – Elaborate, which is called the scaffolding interaction cycle and is applied at all levels of the Reading to Learn program (Rose & Acevedo, 2006a, 36). In addition, Rose (2006a) says that scaffolding interaction cycle is the core of the Reading to Learn pedagogy. Mentioned further by Rose (2006a), it goes a step further to describe the sequence in which learning takes place: from a teacher preparing a learner for a task, to the learner performing the learning task, to the teacher elaborating on what has been learnt. It is carefully planned interaction that enables every student to read a text with complete understanding, no matter what their starting level (Rose, 2008). Regarding the implementation of Reading to Learn program in EFL class in Indonesia, Emilia (2008) recommends this program be implemented in schools in Indonesia as the exploration toward the effectivity and feasibility from this program. In addition, Emilia (2008) mentions that this program will help the students in learning English and the other subjects. Unfortunately, as far as this research conducted, there has not been any study focused on scaffolding interaction cycle in Reading to Learn program conducted in Indonesian EFL settings. Considering the importance of scaffolding interaction cycle in Reading to Learn program in preparing learners to perform a learning task successfully by showing

Page 51: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

45 |

them how to do the task and there has not been any research investigating this topic in Indonesian EFL settings, a study investigating this research area is considered important. Thus, the present study focused on examining scaffolding interaction cycle in Reading to Learn program employed by a teacher in a vocational high school. The findings are hoped to be of great contributions to the enlightenment of the implementation Reading to Learn program in Indonesian EFL settings. Literature Review Reading to Learn Program - Conceptual Framework of Reading to Learn Program

The conceptual framework of Reading to Learn program, according to Rose, Gray and Cowey (1999) consists of three models: written and spoken language model, reading model and learning model. Spoken and written language model is functional language model developed by Halliday based on systemic functional grammar to improve reading skill from low to high (Rose, Gray and Cowey, 1999; Acevedo and Rose, 2007). In a functional model, language is conceived of as in terms of texts that are exchanged in social contexts, between speakers, writers, and readers. Each text involves three levels of organisation, as sequences of meanings, as patterns of wordings that realise these meanings, and as soundings or letter patterns that realise these wordings. These levels of organisation are known technically as discourse semantics (sequences of meanings in a text), lexicogrammar (including both words and wordings) and graphophonics (sound and letter patterns) (Rose and Acevedo, 2006). Meanwhile, reading model used in Reading to Learn program involves two set of skills: ‘fluent reading and unfolds’ (Rose, Gray and Cowey, 1999). The last, learning model applied in Reading to Learn program, according to Rose, Gray and Cowey (1999), is a learning model which is also used in genre-based approach in teaching writing, that is the zone of proximal development developed by Vygotsky (1978) who views learning as a social process happened in an interaction between teacher and learner in ‘zone of proximal development’ which takes place in the gap between what a child is able to do independently, and what they can do with the support of a teacher (Rose, Gray and Cowey, 1999, see also Derewianka, 1990; Wells, 1999; Feez and Joyce, 1998). Another learning theory used, according to Rose, Gray and Cowey is

Page 52: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 46

scaffolding introduced by Bruner (1986) which then becomes the focus of this study.

- Principles of Reading to Learn Program Reading to Learn is a literacy methodology and professional learning program that has been developed over the past decade in Australia, with Indigenous students (Carbines, Wyatt and Robb, 2005; Rose, 2006a) and mainstream classes (Rose and Acevedo, 2006a), and internationally (Rose, 2005). The teaching strategies have been proven to enable weak readers to rapidly learn to read and write at grade appropriate levels, and advanced students to develop language understandings well beyond their independent competence (Culican 2004, 2005, McCrae et al 2000). According to Rose (2006), they draw on principles of scaffolded learning (Wells, 1999), functional linguistics (Halliday, 1993) and genre approaches to writing (Martin 1993, 1999, 2001), in a form that is accessible, practical and meets the needs of teachers and students (Martin and Rose 2005 in Rose 2006, Rose 2005a, Gray and Cowey 1999, Rose et al 2004). The program is based on three core principles (Rose and Acevedo, 2006b) as mentioned in the following. 1) Reading is a fundamental mode of learning in primary and secondary school.

Therefore explicit teaching of reading needs to be integrated with teaching the curriculum at all levels, and all teachers need skills to teach reading and writing in their subject areas.

2) All students can and should be taught the same level of skills in reading and writing across the school curriculum so that the gap between more and less successful students narrows, instead of widening over the school years (Rose, 2006b).

3) Learning takes place when teachers support students to do learning tasks that are beyond their independent assessed abilities, thereby allowing for learning activities to be designed to support all students to succeed at the same high level.

According to Rose and Acevedo (2006a, p.36) Reading to Learn program provides teacher with two sets of skills for accelerating learning and closing the ‘ability’ gap in their classrooms. The first is set of skills for interacting with students around written texts that supports all students in a class to read high level texts with critical comprehension, and to use what they have learned from their reading to write successful tests. The second is a set of skills for selecting key texts in the curriculum to work intensively, and to analyse the language patterns in these texts to plan their lessons. Rose and Acevedo (2006c) also

Page 53: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

47 |

argues that the Reading to Learn program is an intensive approach to scaffolding student literacy using high quality, age appropriate, mainstream curriculum texts. It redesigns classroom teaching patterns to enable success for all learners. Mentioned further by Rose and Acevedo (2006c), the approach can be used in mainstream or withdrawal contexts, with whole classes or small groups, and it models literate language features in both fiction and factual texts. Furthermore, it is capable of extending the learning of the most competent students in the class or group. A key principle of Reading to Learn program, as stated by Rose and Acevedo (2006a, p.36), that also underlies much teaching practice in general, is that learning takes place through successful performance of tasks, whether this is reading a sentence in a new book, or learning a manual activity. Moreover, as Rose and Acevedo (2006a, p.36) further advise, what is emphasised in the program is that learners must always be adequately prepared to perform each task successfully, before they are asked to do it. Once they have successfully performed the task they are then cognitively prepared for a third step that elaborates their understanding of the activity they have completed. Those steps are defined as three part cycle of Prepare – Task – Elaborate, which is called the scaffolding interaction cycle and is applied at all levels of the Reading to learn program (Rose and Acevedo, 2006a, p. 36; see also Christie, 2005).

- The Reading to Learn Curriculum Cycle

Reading to Learn is carefully designed to give all students this support in a six stage teaching cycle (Rose, 2008, p.15; Rose and Acevedo, 2006a) which begins with Preparation before Reading and finishes with Independent Writing. In this study, the teacher held three teaching cycles of the study in which not all the six stages of teaching cycle were included in each teaching cycle. One or some stage(s) were eliminated by the teacher based on the need of the teaching. In doing so the teacher uses scaffolding interaction cycle to let the students engage the text discussed in each stage of teaching cycle which will be further explained in section 2.2.3 in this chapter. Meanwhile for the six stages of the Reading to Learn program can be illustrated in following figure.

Page 54: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 48

Figure 1 The stages of the Reading to Learn program

(Adapted from Rose, 2008, p. 14 and Rose and Acevedo, 2006a, p.36)

The strategies used for each stage in Reading to Learn program were further explained in detail by Rose (2008) based on the texts discussed in the class: stories or factual texts. In this study, the teacher was focused on teaching reading and writing stories with the consideration that students would be more actively engaged in the pleasure of reading and writing stories (see Rose, 2008). Activities in each stage of Reading to Learn curriculum cycle, as illustrated in Rose (2008) are as follows. 1. Preparing before Reading In this stage, students are first prepared to understand the text in general terms, by providing the background knowledge they need to understand it, explaining what it is about and summarizing the sequence in which it unfolds, in terms that all students can understand (Rose, 2008, p.15). Mentioned further by Rose (2008) that this allows students to follow the text with general understanding as it is read aloud, without having to struggle to work out what is going on at each step, nor to struggle decoding the letter patterns of unfamiliar words. Preparing for Reading as stated by Rose and Acevedo (2006b) supports all students to follow a text with general understanding as it is read to them. This is done by: providing the background knowledge students need to understand the text, briefly

Page 55: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

49 |

explaining what it is about and summarising what happens in terms that all students can understand.

2. Detailed Reading In Detailed Reading, students are prepared to read each sentence in a short passage, by means of three preparation cues: a summary of the meaning of the whole sentence in commonsense terms, which the teacher then reads aloud, a position cue that tells learners where to look for the wording and the meaning of the wording in general or commonsense terms (Rose, 2008, p.15; Rose and Acevedo, 2006). Mentioned further by Rose (2008) students then have to reason from the meaning cue to the actual wording on the page. Students are always affirmed for identifying the wording, which then they mark by highlighting or underlining. Once they have successfully identified a wording, its meaning may be elaborated by defining technical or literary wordings, explaining new concepts or metaphors and discussing student’s relevant experience. These strategies for Detailed Reading enable all students in a class to read a passage with complete understanding, and to understand how the author has constructed it (Rose, 2008, p.15). 3. Preparing for Writing After all the students can read a passage with fluency and comprehension, they prepare to write a new text that is patterned closely on it (Rose: 2008). Rose also states that there are two approaches to Preparing before Writing, depending on the genre. In factual texts, students are advised to write up the wordings they have highlighted in Detailed Reading, as dot point notes on the board. Meanwhile in stories, arguments, and text responses, the class brainstorms new content for a text that will use the same literary or persuasive language patterns of the text they have read. The teachers write all ideas on the board or butchers papers. Mentioned further by Rose (2008, p.40) for brainstorming ideas, accept and write down all students’ ideas as far as possible, adjusting as necessary. Vote for ideas for the class story, but assure students that they can use their own ideas for Individual Rewriting. For factual texts ensure that weaker students get to scribe notes and dictate as much as possible, so they can practice writing and spelling. If students are not attending or disrupting, ask them to scribe or dictate.

4. Joint Rewriting

Page 56: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 50

Rose (2008, p.16) states that the notes that have been written on the board then provide a framework for students to jointly write a new text on the board, guided by the teacher. With factual texts the content of the reading text, in the notes, is rewritten in wordings that are closer to what students would write themselves, with the teacher providing whatever language resources they need, and guiding the construction. Rose (2008) further mentions while the field of the new text is the same as the original, its language patterns may be less highly written. With stories, arguments or text responses, the reading text is followed very closely, as the grammatical patterns of each sentence are used with new lexical items. In these cases the field is completely different, but the language patterns will be very similar. This provides an extremely powerful scaffold for all students to acquire the sophisticated language resources of accomplished authors. 5. Individual Rewriting Before students are expected to write independently, a further stage of preparation is provided, in which they individually practice rewriting the same text as they have rewritten jointly. For factual texts (Rose, 2008, p.16) mentions that this may involve erasing the joint text from the board, but leaving the notes, which students use for their own text. For stories, arguments or text responses, students now have two models – the original reading and the joint text – to practice using the same language patterns with their own content, which may be partly derived from the earlier brainstorming activity. 6. Independent Writing Independent writing is the final stage of this teaching cycle. In this stage, the students are supposed to successfully write new texts, using what they have learnt in the preceding stages. (Rose, 2008, p.14) mentions that this is the task on which students are assessed, whether it is a research task in society and environment, a report in science or an essay in English. Mentioned further, the independent task may be in a new field or about new literary text, but it will be the same genre, using many of the same language patterns that have been practiced in the preceding stages. Crucially the teacher, Rose adds, can be confident that all students have been adequately prepared to complete the task successfully. However, assessments will then provide clear measure of how successful the teaching activities have been.

Page 57: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

51 |

Rose (2008, p.41) also states that teacher is supposed to ensure that all students have been adequately prepared for the independent task, and that it is clearly specified in the terms that have been practiced in preceding lessons. For research projects, teacher may also need to ensure that all students have access appropriate source texts, and help them to select the right ones. Scaffolding Interaction Cycle The scaffolding interaction cycle is a common pattern in parent-child reading before school, although research has shown significant variation between families in its application (Williams, 2001 in Rose, 2006). According to Rose (2006) in an ideal scaffolding interaction cycle, a parent’s preparation move supports the child, either to identify an element in the story they are reading, or to select what to read, or a reaction to the story. Meanwhile, the elaboration move, Rose (2006) further argues, extends the child’s understanding, in relation either to features of the story or to features of language. At the level of classroom interaction, the primary task for students in each scaffolding interaction cycle is to respond to teacher questions (Rose, 2007, p.8). Rose also states that this pattern is endemic in classroom discourse, described as ‘triadic dialogue’ or the Initiation-Response-Feedback ‘IRF’ cycle by Sinclair and Coulthard 1975 and many others (Gibbons 2002). Mentioned further by Rose (2007) some progressive theorists advocate that students should initiate these cycles rather than the teacher (e.g. Wells 1999), but in reality the teacher first needs to prompt the students to do so. In both instructional and regulative spheres, Rose (2007) also mentions that the teacher is the one with authority in the classroom; teachers interact with students by asking questions, to which students respond. Under certain circumstances, students also ask questions, express opinions or recount their experience, but usually in response to preceding cycles that the teacher has initiated and ultimately it is the teacher’s role to evaluate these responses (Rose, 2007). Moreover, Rose (2006c) explains that the scaffolding cycle systematically renovates the ‘triadic dialogue’ or ‘IRF’ (Initiation- Response-Feedback) pattern, described by Nassaji and Wells (2000) in Rose (2006c) among many others asendemic to classroom discourse. However there are three crucial differences between the typical IRF classroom pattern and scaffolding interactions. Firstly the initial scaffolding move is not simply a question eliciting a response from learners, but consistently prepares all learners to respond successfully; secondly the follow-up move is not simply feedback that evaluates or comments on responses, but consistently elaborates on shared knowledge about text features; and thirdly

Page 58: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 52

responses are always affirmed, whereas responses that are inadequately prepared in IRF discourse are frequently negated or ignored. Moreover, according to Rose (2006b), Reading to Learn program applies the scaffolding interaction cycle at various levels of a text, to prepare students to read it with comprehension, and to raise their critical understanding of its contents and language patterns through the elaboration moves. The first level of preparation enables students to follow a text or passage as it is read aloud, by first giving a synopsis of how it will unfold. The next level of preparation enables them to recognize patterns at the level of paragraphs, or phases of meaning in the text. The third level then enables them to read the text themselves with critical understanding, by giving sufficient support for them to read each sentence, or part of a sentence, and then by elaborating on its meaning. This cycle can be illustrated below.

Figure 1

Scaffolding Interaction Cycle

(adapted from Rose, 2008, p. 6, and Rose and Acevedo, 2006a, p.36). Based on the analysis of learning interaction conducted (see Rose, 2007) it has been found two general kinds of task demanded by teacher questions: if the class is reading a text, the task is to identify some elements of the text, whether a wording or a graphic feature such as an illustration or chart; if the task is not to identify a text element, it is to select an element from students’ experience, whether this is personal experience, concepts previously studied, or new elements to contribute to a text. Moreover, Rose (2007) explains the teacher may prepare students to give the desired response, or simply assume that they already have the resources to respond successfully. For the response, it may be elaborated with new understandings of the element that has been identified or selected, or the response may be simply affirmed or rejected. Rose (2007) also describes that analyses using the scaffolding interaction cycle distilled eight types of exchange moves (see table 1). In this study, these moves are used for analysing classroom discourse in order to find out the use of scaffolding interaction cycle in Reading to Learn.

Page 59: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

53 |

Table 1 Types of Interaction Moves in the Classroom

(From Rose, 2008, p.33)

Move Description

Query teacher asks a question without preparing (or students ask question)

Prepare teacher provides information to enable successful responses

Identify students identify element in a text

Select students select elements from experience

Affirm teacher affirms student responses (or students concur)

Reject teacher rejects response by negating, ignoring or qualifying it

Elaborate

define new terms, explain new concepts or relate to experience (by the teacher or through discussion with students)

Instruct teacher directs an activity

Method Research Site and Participants This study was conducted at a vocational high school in Bandung, West Java, Indonesia. This school was chosen since the researcher is one of the English teachers in this school for five years. Thus, the researcher could get access easily to the research site and this enhanced the feasibility of the study. Moreover, as stated by Van Lier (1988) it will also enhance the naturalness of the setting since the students has got used to having interactions with the teacher. The participants of this study were one female English teacher and 15 tenth grade students. The teacher was considered to have understood well and in the purpose of the implementation of Reading to Learn program. In this study, the researcher worked collaboratively with the teacher and focused on observing the scaffolding interaction cycle used by the teacher in this program through videotaping teacher-student interaction in this program. It is in accordance with what has been stated by Culican (2006) that Reading to Learn program could be set collaboratively in which teachers are requested to videotape, observe and critique their own and colleagues’ practice. Meanwhile the students voluntarily participated (see Bordens & Abbott, 2008, p.165) and were informed the aim of the program. Here the students followed Reading to Learn program as additional support in a small group not as part of normal teaching practice in whole class (see Culican, 2006). They attended this program after their class finished for almost two weeks. Data Analysis Techniques

Page 60: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 54

There are two types of data in this study: data from observation and document analysis. In conducting classroom observation, the researcher acted as non-participant observer (Cohen and Manion, 1994; Gay, 1992, p. 234) and recorded all activities in the classroom by using videotape recorder (Nunan and Bailey, 2009, p.259). Meanwhile, document analysis was carried out in this study to analyse three Narrative texts created by the students in Independent Writing stage chosen from fifteen students to represent different level of achievement categorized by the teacher - weaker, middle and more experienced students. The followings are the steps of data analysis for each data collection technique.

- Classroom Observation There were five steps of classroom observation analysis applied in this study. First, the classroom interaction of the implementation of Reading to Learn program was transcribed. Second, the transcripts were coded based on types of interaction moves devised by Rose (2008, p.33) as seen in table 1. Third, the transcripts were analysed to find out the use of three steps of scaffolding interaction cycle (Prepare, Task, Elaborate) in each stage of teaching cycle employed by the teacher. Forth, the interaction moves used as the coding in the transcript were counted in the form of percentage to find out the moves which were mostly used in the classroom. Fifth, the problems that the teacher finds in scaffolding interaction cycle of Reading to Learn program reflected in the classroom interaction was proposed to answer the third research questions, i.e. to propose the use of scaffolding interaction cycle in EFL setting. - Document Analysis There were two steps of document analysis applied in this study. First, three Narrative texts made by the students in Independent Writing stage were chosen based on the categories: weaker, middle and more experienced student. Second, each text was analysed to see its schematic structures and linguistic features based on the theories mentioned in chapter two. As a result, the analysis shows whether the scaffolding interaction cycle in the preceding stages of Independent Writing (Preparing before Reading, Detailed Reading, Preparing for Writing, Joint Rewriting and Individual Rewriting) has been successfully used or not in this study which support the answer for the first research question. Data Presentation and Discussion

Page 61: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

55 |

The Use of Scaffolding Interaction Cycle in Reading to Learn Program Three steps of scaffolding interaction cycle (Prepare, Task and Elaborate) were analysed to find out the use of scaffolding interaction cycle in each stage of teaching cycle. The number of stages for each teaching cycle varied based on the need and the purpose of each teaching cycle. In teaching cycle 1 and 2, five stages were conducted by the teacher with the reason that the students had not been ready to go through Independent Writing stage. Meanwhile in teaching cycle 3, the teacher inovated the stages and strategies used. Besides including Independent Writing in this teaching cycle, the teacher also eliminated Preparing for Writing because the students were considered to have been more independent in creating a new text. Moreover the teacher asked the students to have Joint Rewriting in group and provided Orientation stage in Individual Rewriting to have the students focus on writing Complication and Resolution stage. The use of scaffolding interaction cycle for each stage in Reading to Learn program will be in the following.

1. Preparing before Reading The use of scaffolding interaction for this stage varied in each teaching cycle of this program. Although this stage, according to Rose (2008), is aimed to support all students to follow a text with general understanding as it is read to them, the teacher had not used the scaffolding interaction appropriately in each teaching cycle. Only in teaching cycle 1, three steps of scaffolding interaction cycle had been used by the teacher as proposed by Rose (2008) and Rose and Acevedo (2006b, 2006c). The teacher employed Prepare step by making the students familiar with the reading text given. In addition, the Task step had been appropriately employed by the students through listening teacher’s explanation although only some of them responds teacher’s explanation and questions. Meanwhile Elaborate step was employed by the teacher by telling the stages of text as an attempt to make the students have preliminary knowledge regarding the story in the text to be discussed more deeply in Detailed Reading stage. Different from teaching cycle 1, scaffolding interaction cycle for this stage was not really appropriately employed by the teacher in teaching cycle 2 and 3. In teaching cycle 2, scaffolding interaction cycle was only employed in the beginning of this stage by conducting predictive reading activity (Prepare step), listening teacher’s explanation (Task step) and giving preliminary knowledge of the story (Elaborate step). The rest of activity in this stage for teaching cycle 2 was only continued by reading aloud without explaining or discussing things as the text read aloud as suggested by Rose (2008). Meanwhile in teaching cycle 3, the teacher only mentioned the character of the story which made the teacher did not perform

Page 62: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 56

Prepare and Elaborate step and only Task step was employed in this stage, done by the students, through listening teacher’s explanation. Moreover the number of the students who participated in giving their response in this stage was increasing. 2. Detailed Reading In this stage, scaffolding interaction cycle has been appropriately used in each teaching cycle conducted in this program. The same activities were repeatedly done by the teacher for each wording discussed in this stage: giving the cues, having the students identify the wordings, instructing the students to highlight the wordings and finally elaborating the wordings. The same as the activities conducted in this stage, scaffolding interaction cycle was employed in the same way for each teaching cycle. The step was begun by giving the cues of the wording to the students as Prepare step for scaffolding interaction cycle in this stage. It was followed by identifying and highlighting done by the students as the Task step and elaborating the wordings as Elaborate step. These steps taken by the teacher for the use of scaffolding interaction cycle in this stage were in accordance with what has been suggested by Rose (2008) and Rose and Acevedo (2006b, 2006c). The difference was found in selecting the passage of the story to be discussed in this stage for each teaching cycle. In teaching cycle 1, the teacher only selected three passages of the story, the Story of Aryo Menak and his wife, as an attempt to introduce the Orientation and Complication stage of the story. As done in teaching cycle 1, in teaching cycle 2, the teacher also only discussed one of four paragraphs showing Resolution stage from the original reading discussed (Karen’s story). Meanwhile in teaching cycle 3, the teacher discussed all the passages of the story (Unhappily Ever After by Paul Jennings) which was followed by not only asking the students to highlight the wordings but also discussing and elaborating the meaning of the sentence. This resulted on much time spent for Detailed Reading in teaching cycle 3. 3. Preparing for Writing This stage was only employed by the teacher in teaching cycle 1 and 2 because the teacher considered that the students had been more experienced in creating a new text. Unfortunately, the teacher misunderstood the strategies used for this stage in which she used strategies Preparing for Writing for factual texts in teaching stories. In this stage, the teacher asked the students to write up the wordings they had in Detailed Reading on the board not brainstorming new elements for a new story as suggested by Rose (2008). Those inappropriate strategies made scaffolding interaction cycle for this stage not appropriately used and influenced the activities

Page 63: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

57 |

done in Joint Rewriting in which the teacher and students conducted their Joint Rewriting in longer time. 4. Joint Rewriting Although the students had successfully created Joint texts in each teaching cycle of this program, as stated earlier, the teacher conducted this stage in longer time compared to the other stages. Since the elements of the new story had not been decided by the teacher, the teacher not only scaffolded students to write new sentence but also scaffolded them to decide new elements for a new story. In addition, although the use of scaffolding interaction cycle for this stage had been employed by the teacher, inappropriate strategies included in this stage made some of the steps were not correctly taken. For instance, in employing Prepare step the teacher scaffolded the students to decide new elements by relating to the wordings in Detailed Reading. According to Rose (2008) what the teacher had in Detailed Reading is supposed to be paid off in Joint Rewriting because in this stage students will understand the role of each group of words in the sentence and the passage and will be able to plan the new story accordingly, with the teacher’s guidance. 5. Individual Rewriting Based on the texts created by the students in this stage, it was shown that the students had successfully created their own text following the language pattern of the model texts given. It indicates that the teacher had employed appropriate scaffolding interaction cycle for this stage. Here, the teacher employed Prepare step through explaining students’ task in this stage which is followed by the students who completed their task in this stage by creating their own text as Task step. However, in doing their task, the students asked a lot of questions to the teacher regarding the words they used in their text. It shows that the students had the idea for their own story but they still found difficulties in finding appropriate words in English to be used in their text. It makes the Elaborate step, as the last stage of scaffolding interaction cycle, was employed by the teacher through elaborating the meaning of the words asked by the students. The number of questions was decreasing as done in teaching cycle 3 which indicated that the students had been more independent in creating their own text and ready for Independent Writing. 6. Independent Writing

Page 64: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 58

In this study, Independent Writing was only held in the teaching cycle 3 in which the students were asked to write a new text without any scaffolding from their teacher. In addition, they could use any model texts which had been used in this program. By including this stage in this teaching cycle, it shows that the teacher had considered that the students were ready to have Independent Writing as the evaluation for what they had experienced in the preceding stages. The reason that the teacher had in conducting this stage is in line with Rose (2008) and Rose and Acevedo (2006b, 2006c) argues that Independent Writing is held when the teacher is confident that all students have been adequately prepared to complete the task successfully. As the confirmation that the students had been able to write a new text successfully without scaffolding from the teacher, three texts created by the students were discussed in this study. The discussion was focused on the schematic structures and linguistic features of a Narrative text. The three texts chosen from fifteen texts represent different level of students’ achievement categorized by the teacher - weaker, middle and more experienced students. The texts show that the students had some improvements in writing the text compared to their diagnostic text and texts made in Individual Rewriting. Besides that, the texts also show that the gap of abilities among the students in creating a Narrative text was not really in big distance in which all the students had understood the obligatory elements that they should put in their Narrative texts. However, almost all students still need more intensive support: Sentence Making, Spelling and Sentence Writing (see Rose, 2008) as indicated from grammatical mistakes which were still found in their texts. According to Rose (2008) this intensive support is aimed to enable the students to recognise and use the same language patterns in other paragraphs, passages and texts and furthermore enable them to independently explore patterns in any text they come across and use them in their writing. Types of Interaction Moves The next step after applying the scaffolding interaction cycle is analysing learning interactions between teachers and learners (see Rose & Acevedo, 2006b). The aim, according to Rose & Acevedo (2006b), is to get teachers to plan their teaching interactions, in order to provide sufficient scaffolding for all students to respond successfully. Having analysed the interaction of teacher and student in this Reading to Learn program, 1960 moves have been used in three teaching cycles held by the teacher in this study. The spread of the eight types of moves used by teacher and students in this study can be seen in the following table.

Table 2 The Distribution of Types of Interaction Moves in each Teaching Cycle

Page 65: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

59 |

Teaching Cycle

Types of Interaction Moves

Query Prepare Identify Select Affirm Reject Elaborate Instruct

F % F % F % F % F % F % F % F %

Teaching Cycle 1

74 44.5 164 40.29 69 31.3 134 56.0 158 42.5 11 64.7 107 28.9 70 41.1

Teaching Cycle 2

36 21.6 95 23.34 43 19.5 51 21.3 94 25.3 1 5.88 86 23.2 54 31.7

Teaching Cycle 3

56 33.7 148 36.36 108 49.0 54 22.5 119 32.0 5 29.4 177 47.8 46 27.0

TOTAL 166 8.47 407 20.77 220 11.2 239 12.1 371 18.9 17 0.87 370 18.8 170 8.67

From the eight moves used in the interaction between teacher and students in this Reading to Learn program, Prepare moves were mostly used in this study (20.77 %). These moves were done by the teacher to let the students engage actively for the activities in each stage of teaching cycle such as ‘And where is the location?’. It shows that the students were still reluctant to be participated in this program so that the teacher employed more Prepare moves to get students’ response. According to Rose and Acevedo (2006a), it is important for teacher to prepare students in doing the task so that the Task step of scaffolding interaction cycle is successfully performed by the students. The next moves which were also mostly used by teacher and students in their interaction after Prepare moves were Affirm (18.9 %) and Elaborate (18.8 %). Affirm moves show that the students had employed their task in this program through listening or showing understanding to the teacher’s explanation as one of the tasks proposed by Rose (2008) by saying ‘Yes’. These moves were employed by the teacher to show that students’ answers were correct or repeating their answer. Meanwhile Elaborate moves were mostly employed by the teacher after the students finished doing their Task in each stage of teaching cycle. These moves were usually employed by the teacher in the long sentences in the form of explanation after the students completed their task. By doing that, it shows that the teacher was in attempt to have the students be independent first in doing their task without fully being scaffolded by the teacher. It is in line with the principle of scaffolding interaction cycle as stated by Rose (2004a, 2005a, 2005b, 2006) in which teacher elaborates students’ understanding of the activity they have completed. The other moves (Query, Identify and Instruct) almost had the same amount for the moves used in the interaction between teacher and student in Reading to Learn program. Query moves (8.47%) were used not only by the teacher but also the students. They were used by the teacher when she developed her questions to get the responses from the students such as ‘What else?, And then?. Meanwhile the students used these moves when they asked some words in English they were

Page 66: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 60

going to use in their writing and they were mostly employed in Indonesia such as ‘Bu, kalau Dia ke binatang apa?’. For Identify moves (11.2 %), they were mostly used by the students while discussing the text in Detailed Reading. In this stage, the students identified the wordings discussed in this stage as the Task step they should conducted based on the cues given by the teacher. Instruct moves (8.67 %) were mostly used by the teacher when she instructed the students to highlight the wordings of the text in Detailed Reading. These moves were not in the large number in the other stages since the teacher rarely instructed the students but scaffolded them in completing their task. Reject moves (0.87%) were the moves rarely used in the interaction between teacher and students in this study. These moves were mostly used by the teacher when she rejected the responses given by the students by saying no or asking the other students find the correct answer. Although these moves could be used by the students while identifying the wordings in Detailed Reading, found in this study, the number of them was small. It occurred since the students almost always successfully identified the wordings discussed in this program. Problems Found by the Teacher in the Use of Scaffolding Interaction Cycle in Reading to Learn Program Having observed teacher and student interaction, there were some problems that the teacher found in the use of scaffolding interaction cycle of Reading to Learn Program conducted in this study. The problems were reflected from the use of scaffolding interaction cycle and types of interaction moves employed by teacher and student in this study. Those problems are elaborated in the following. Firstly, in conducting Reading to Learn program, the teacher found difficulties in understanding the approaches and strategies proposed by Rose (2008). Teacher’s understanding toward this program influenced the use of scaffolding interaction cycle for each stage in teaching cycle. As occurred in this study, the teacher misunderstood the concept of approaches in Preparing for Writing proven by her inappropriate strategies in teaching stories. This resulted on the scaffolding interaction cycle for this stage which was not properly used by the teacher. It is assumed that if the teacher used appropriate approaches for her teaching, the scaffolding interaction cycle in this stage will be maximally used. Secondly, as reflected to the use of scaffolding interaction cycle in Individual Rewriting stage, the students asked a lot of words in English which they were going to use in their writing. It made the teacher found difficulties in scaffolding the students in that stage due to much word they asked while doing their task.

Page 67: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

61 |

Students’ lack of exploring the words in English make them confused for the words they were going to use in their writing. It seems that the teacher was supposed to explore or discuss more wordings in Detailed Reading or as suggested by Rose (2008) the teacher could hold intensive support strategies such as Sentence Making, Spelling and Sentence Writing. Thirdly, as also reflected to the number of Prepare moves employed by the teacher in this study, it shows that the teacher found difficulties to make all the students involved in the discussion of the text in this program. It means that the students were reluctant in giving their responses so that the teacher needs to encourage them a lot to participate in the class. According to Exley (2005) it is because EFL students, especially Indonesian students, are typically passive, shy and quiet person. To overcome this problem, some strategies actually have been suggested by Rose (2008) as the preparation for this program such as: giving the cues in Detailed Reading and creating teacher’s own text before Joint Rewriting class. This fact suggests that the teacher needs more preparation before the class so that the student will be more actively engaged in this program. Lastly, although this study was set in small class, teacher may find difficulties in conducting this program when it is held in a big class as the characteristic of most classes in EFL settings (see Harmer, 2008). Rose (2008) actually has anticipated this problem by giving suggestion to the teacher to have the students work in groups. In addition, Rose (2008) mentions that having students work in group, they can support each other and the teacher can easily move around to check on weaker students. Besides doing that, the teacher needs to pay attention to the setting of the class such as having weaker students sit in front of the class so that it will be easier for the teacher to check them (see Rose, 2008) and having weaker students sit with more experienced students so that they can help each other (see also Rose, 2008). Thus, from the problems discussed above some difficulties were found by the teacher in the use of scaffolding interaction cycle of Reading to Learn program. However those problems could be anticipated if the teacher had better understanding for the strategies and approaches proposed for this program by Rose (2008). By doing so, it is hoped that the teacher to be more concerned on the use the scaffolding interaction cycle in this program so that it supports the implementation of Reading to Learn program in EFL settings. Conclusions

Page 68: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 62

The presents study was designed to examine the use of scaffolding interaction cycle in Reading to Learn program. The findings showed that the teacher had used scaffolding interaction cycle almost in all stages of Reading to Learn program. However, one stage (Preparing for Writing) had not been used well by the teacher due to the strategies applied in this study. Here, the teacher used strategies aimed for factual texts in teaching stories. As a result, the student had not been provided with the elements of the story in doing Joint Rewriting. As the confirmation for the use of scaffolding interaction cycle in Reading to Learn program, three students’ texts which represent students’ achievement (weaker, middle and more experienced students) in Independent Writing were analysed. The texts show that all the students had been able to include the obligatory elements in their Narratives text (Orientation, Complication and Resolution stage). In this case, due to the grammatical mistakes found in students’ texts, the teacher needs to give more intensive support to the students such as Sentence Making, Spelling and Sentence Writing (see Rose, 2008). Concerning types of interaction moves used in the classroom of Reading to Learn program, Prepare moves were mostly employed by the teacher in this study. It was occurred due to the characteristics of the students which were still reluctant in giving the responses in this program. It shows that in this study the teacher had more preparation to have the students engaged in the discussion of the texts. In conducting this program, the teacher found some problems for the use of scaffolding interaction cycle in Reading to Learn program conducted in this study. Firstly, the teacher found difficulties in understanding the approaches and strategies proposed by Rose (2008) in conducting this program. Secondly, some difficulties were found by the teacher in answering too much question given by the students regarding the words they were going to use in their writing. Thirdly, the teacher found difficulties to make all the students involved in the discussion of the text in this program due to their passivity. Lastly, teacher may find difficulties in conducting this program when it is held in a big class as the characteristic of most class in EFL settings. In short, the data presented in this study has shown several aspects that the teacher needs to pay attention with, regarding the use of scaffolding interaction cycle in Reading to Learn program. In addition, this study also supports the previous study conducted by Rose (2006) that students will have more development in their writing after following this program (see Rose and Acevedo, 2006a). As presented in the data of this study, compared to students’ diagnostic

Page 69: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

63 |

writing, the students had been able to include the obligatory elements of Narratives text in their Independent Writing. References Bordens, S. K. (2008) & Abbott, B.B. Research Design and Method: A Process Approach. McGraw-Hill

International Edition. Carbines, R., Wyatt, T. & Robb, L.(2005). Evaluation of the Years 7-10 English Aboriginal Support Pilot

Project, Final Report to the Office of the NSW Board of Studies. Sydney: Erebus International.

Cohen & Manion. (1994). Research Methods in Education. New York: Routledge. Culican, S. (2005). Learning to Read: Reading to Learn, A Middle Years Literacy Intervention Research

Project, Interim Report on Stage 1 May-December 2003. Catholic Education Office Melbourne.

Culican, S. (2006). Learning to Read: Reading to Learn, A Middle Years Literacy Intervention Research Project, Final Report 2003-4. Catholic Education Office Melbourne.

Culican S, Milburn S. & Oakley C. (2006). Scaffolding Literacy in Middle Years. Deakin University. Derewianka, B. (1990). Exploring How Texts Work. Primary English Teaching Association. Emilia, E. (2008). Linguistik sistemik fungsional dan program Reading to Learn dalam mengajar

membaca dan menulis. A paper presented in the first conference on applied linguistics (2008). Retrieved on June, 13th 2010 from: inggris.sps.upi.edu/wp-content/uploads/2010/04/Konaplin-1.doc

Gay, L.R. (1992). Educational Research: Competencies for Analysis and Application. USA: Macmillan Publishing Company.

Gibbons, P. (2002). Scaffolding Language: Scaffolding Learning; Teaching Second Language Learners in the Mainstream Classroom. Heinemann.

Gibbons, P. (2003). Learning to Learn in a Second Language. Primary English Teaching Association. Gibbons, P. (2009). English Learners Academic Literacy and Thinking. Heinemann. Halliday, M.A.K. (1994). Functional Grammar. Arnold. Joyce, H. & Feez, S. (2000). Writing Skills: Narrative and Non-Fiction Text Types. Phoenix Education. Joyce, H. & Feez, S. (2004). Developing Writing Skills: for junior secondary students. Book 1. Phoenix

Education. Martin, J.R., Matthiessen MIM, Christian. & Painter, Clare. (1997). Working with Functional Grammar.

New York: St Martin’s Press, Inc. Martin, J.R. & Rose, D. (2007). Working with Discourse: meaning beyond the clause. London:

Continuum. Martin, J.R. & Rose, D. (2007). Interacting with Text: the Role of Dialogue in Learning to Read and

Write. Foreign Studies Journal, Beijing 2007. Retrieved on April 2004, from: http://www.readingtolearn.com.au/pdf.

Martin, J.R. & Rose, D. (2008). Genre Relations: Mapping Culture. Equinox Publishing Ltd. McRae, D., Ainsworth, G., Cumming, J., Hughes, P., Mackay, T. Price, K., Rowland, M., Warhurst, J.,

Woodans, D. & Zbar, V. (2000). What has worked, and will again: the IESIP Strategic Results Projects. Canberra: Australian Curriculum Studies Association, www.acsa.edu.au/publications/worked, 24-26.

Nunan, D. & Bailey, K.M. (2009). Exploring Second Language Classroom Research: A Comprehensive Guide. USA: Heinle, Cengage Learning.

Rose, D., Gray, B. & Cowey, W. (1999). Scaffolding Reading and Writing for Indigenous Children in School. In P. Wignell (ed.) Double Power: English literacy and Indigenous education. Melbourne: National Language & Literacy

Page 70: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 64

Rose, D. (2004a). Sequencing and Pacing of the Hidden Curriculum: how Indigenous children are left out of the chain. In Muller, J., Davies, B. & Morais, A. (eds.) Reading Bernstein, Researching Bernstein. London: Routledge Falmer, 91-107.

Rose, D. (2004b). Reading and Writing Factual Texts. Teacher Training DVD. Sydney: Learning to Read: Reading to Learn.

Rose, D. (2005). Democratising the Classroom: a literacy pedagogy for the new generation. In Journal of Education, Vol 37 (Durban: University of KwaZulu Natal), 127-164 www.ukzn.ac.za/joe/joe_issues.htm.

Rose, D. (2006a). Scaffolding the English Curriculum for Indigenous Secondary Students: NSW&-10 English Syllabus Aboriginal Support Pilot Project Office of the Board Studies: Final Report. January 2006. Retrieved on April 24

th, 2010 from:

http://www.readingtolearn.com.au/pdf. Rose, D. (2006b). Literacy and equality. In Proceedings of the National Conference on Future Directions

in Literacy. A. Simpson (ed.). Sydney: University of Sydney, 188-203 Retrieved on April 24

th, 2010 from:

http://www.readingtolearn.com.au/pdf/Literacy%20and%20equality.pdf. Rose, D. (2006c). Literacy and Social Responsibility.; Training Teachers to Teach Reading Across the

Curriculum. Public lecture for Literacy and Social Responsibility lecture series, University of Sydney 2006. Retrieved on April 24

th, 2010 from:

http://www.readingtolearn.com.au/pdf/ Rose, D. (2007). A Reading based model of schooling. Retrieved on April 24

th, 2010

from:http://www.readingtolearn.com.au/pdf/A%20reading%20based%20model%20of%20schooling.pdf

Rose, D. (2008). Reading to Learn: Accelerating learning and closing the gap: 2008 edition. David Rose 2008.

Rose, D. & Acevedo, C. (2006a). Closing the gap and accelerating learning in the Middle Years of Schooling Australian Journal of Language and Literacy, 14.2, 32-45. Retrieved on April 24

th, 2010 from: http://www.readingtolearn.com.au/pdf.

Rose, D. & Acevedo, C. in press (2006b). Designing literacy inservicing: Learning to Read: Reading to Learn. Proceedings of the Australian Systemic Functional Linguistics Conference 2006, University of New England. Retrieved on April 24

th, 2010 from:

http://www.readingtolearn.com.au/pdf. Rose, D. & Acevedo (2006c). Reading (and writing) to learn in the middle years of schooling. Primary

English Teacher Association. Retrieved on April 24th

, 2010 from: http://www.readingtolearn.com.au/pdf.

Van Lier, Leo. (1988). The Classroom and the Language Learner: Applied Linguistics and Language Study. Longman Group UK Limited.

Van Lier, Leo. (1996). Interaction in the Language Curriculum: Awareness, Autonomy and Authenticity. Longman Group Limited.

Page 71: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

65 |

MENULIS POSTER DAN SLOGAN MELALUI PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PROBLEM BASED LEARNING):

Suatu Alternatif Peningkatan Keterampilan Menulis

Oleh: Dr.Abdul Azis,M.Pd

Dosen Universitas Negeri Makasar ABSTRAK

Kegiatan menulis poster dan slogan adalah kegiatan yang bersifat produktif-kreatif. Slogan dan poster dipergunakan oleh produsen, pemerintah, atau sebuah organisasi untuk memperkenalkan produknya, atau untuk menyampaikan suatu gagasan, pengumuman, dan imbauan kepada masyarakat umum. Poster dan Slogan adalah salah satu pesan visual. Dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, pengembangan kemampuan berpikir kreatif (kreativitas) akan lebih tepat bila diintergrasikan dengan pembelajaran menulis. Kegiatan menulis akan mempertajam kreativitas siswa. Kata Kunci: menulis, poster dan slogan, PBL

A. PENDAHULUAN

Pemerintah telah menekankan pentingnya kreativitas dikembangkan sejak usia pramadrasah/prasekolah sampai dengan perguruan tinggi. Namun, pada kenyataannya sistem pendidikan lebih berorientasi pada perkembangan intelegensi (kecerdasan) daripada pengembangan kreativitas.

Pada hakikatnya, semua siswa memiliki potensi kreatif yang harus dikembangkan agar mereka mampu hidup penuh gairah dan produktif dalam melakukan tugas-tugasnya. Perkembangan kemampuan siswa dalam menggali kreativitas yang dimilikinya, akan menjadi pendorong dalam membangun kepercayaan diri dan mengurangi timbulnya rasa takut serta rendah diri. Dengan modal tersebut, akan timbul dalam diri siswa kegairahan dan semangat belajar yang tinggi. Kesadaran akan adanya potensi kreatif dalam diri setiap siswa, maka kreativitas siswa harus dikembangkan secara optimal dalam situasi belajar mengajar dengan menggunakan metode pembelajaran yang tepat. Kreativitas dapat dikembangkan melalui belajar pemecahan masalah.

Dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, pengembangan kemampuan berpikir kreatif (kreativitas) akan lebih tepat bila diintergrasikan dengan pembelajaran menulis. Kegiatan menulis akan mempertajam kreativitas siswa. Menurut Nursisto (2004: 104), menulis merupakan kegiatan selangkah lebih maju guna memberdayakan potensi kreativitas siswa sebab aktivitas ini sekaligus menghadirkan pengoranisasian. Salah satu bentuk kegiatan menulis adalah menulis poster dan slogan. Kegiatan menulis poster dan slogan adalah kegiatan yang bersifat produktif-kreatif. Slogan dan poster dipergunakan oleh produsen, pemerintah, atau sebuah

Page 72: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 66

organisasi untuk memperkenalkan produknya, atau untuk menyampaikan suatu gagasan, pengumuman, dan imbauan kepada masyarakat umum. Poster dan Slogan adalah salah satu pesan visual. Menurut Tirtawijaya (Nurhadi, 2007: 22) bahwa pesan visual adalah alat komunikasi penyampai pesan tertentu pada masyarakat. Oleh karena itu, pesan visual tersebut harus kreatif (asli, luwes, dan lancar), komunikatif, efesien, dan efektif, serta memiliki nilai estetis atau keindahan. Pembelajaran menulis poster dan slogan melatih kemampuan siswa menulis pesan kreatif dan memadukannya dengan seni menggambar. Proses belajar mengajar ini akan lebih menarik dan menyenangkan bagi siswa bila ditunjang dengan penggunaan metode pembelajaran yang tepat oleh guru.

B. PEMBAHASAN

a. Pemecahan Masalah dalam Pembelajaran

Salah satu metode pembelajaran yang diharapkan mampu melatih pengembangan kreativitas siswa dalam menulis poster dan slogan adalah metode pembelajaran berbasis masalah (problem-based-learning). Pembelajaran menulis poster dan slogan melalui metode pembelajaran berbasis masalah dimaksudkan agar siswa mampu mengembangkan kemampuan berpikirnya untuk mengidentifikasi masalah yang ada di sekitarnya, memecahkan masalah tersebut, menarik sebuah simpulan, kemudian disajikan dalam bentuk poster dan slogan. Belajar pemecahan masalah merupakan salah satu proses kreatif yang sangat kompleks karena di dalamnya melibatkan beragam keterampilan berpikir yaitu: merumuskan masalah, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan.

Retman (dalam Sudjana, 2005: 139) mengemukakan bahwa kegiatan belajar perlu mengutamakan pemecahan masalah karena dengan menghadapi masalah peserta didik akan didorong untuk menggunakan pikiran secara kreatif dan bekerja secara intensif untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupannya.

Hasil pembelajaran bahasa dengan metode pembelajaran berbasis masalah diharapkan mampu memberikan pengalaman bermakna sehingga sukar dilupakan bagi siswa. Melalui penerapan metode pembelajaran berbasis masalah akan melatih siswa untuk terbiasa berpikir kritis dan melatih rasa tanggung jawab siswa dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan kelak di masyarakat. Dengan metode ini siswa mampu menghubungkan antara hal yang mereka pelajari dengan situasi dunia nyata sehingga menjadi pebelajar yang otonom dan mandiri. Suatu masalah umumnya tidak dapat dipecahkan tanpa berpikir. Konsep Dewey (dalam Slameto, 2003: 143) tentang berpikir menjadi dasar untuk pemecahan masalah sebagai berikut:

1. Adanya kesulitan yang dirasakan atau kesadaran akan adanya masalah

Page 73: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

67 |

2. Masalah itu diperjelas atau dibatasi 3. Mencari informasi atau data dan kemudian data itu diorganisasikan 4. Mencari hubungan-hubungan untuk merumuskan hipotesis-hipotesis,

kemudian hipotesis-hipotesis itu dinilai, diuji agar dapat ditentukan diterima atau ditolak

5. Penerapan pemecahan masalah terhadap masalah yang dihadapi sekaligus berlaku sebagai pengujian kebenaran pemecahan masalah tersebut untuk dapat sampai pada simpulan.

Munculnya masalah secara sadar akan membuat siswa untuk berpikir. Proses berpikir tersebut ditandai dengan adanya usaha mencari informasi untuk menemukan pemecahan masalah. Selanjutnya, Guilford (dalam Slameto, 2003: 144) mengemukakan tiga komponen pokok dalam berpikir yaitu pengerjaan (operation), isi (content), dan hasil (product).

Nursistro (2004: 119) mengemukakan bahwa kebanyakan kemampuan pemikiran yang efektif menggunakan cara berpikir divergen dan konvergen pada saat tertentu. Berpikir divergen tampaknya paling bermanfaat pada taraf seseorang memulai proses pemecahan masalah. Pada saat itu, seseorang mulai menjajaki ruang lingkup dan batasan masalah, mencari dan memproses informasi sambil mengembangkan hipotesis dan pertanyaan-pertanyaan yang perlu dicari jawabannya. Seseorang berpikir konvergen bila ia dapat mengendalikan masalah yang dihadapinya. Masalah itu dianalisisnya melalui komponen yang lebih kecil yang dapat dipecahkannya. Berpikir konvergen adalah berpikir reduktif, yakni mereduksi masalah menjadi unit yang sekecil-kecilnya lalu menganalisis tiap unit dengan cermat. Dengan memecahkan masalah tiap unit maka keseluruhan masalah dapat terselesaikan.

b. Pemecahan Masalah Hidup ini penuh dengan berbagai masalah ada yang sedikit, ada yang banyak, dan adapula yang baru bagi kita. Masalah timbul tatkala peserta didik mempunyai tujuan tetapi tidak mengetahui bagaimana cara mencapai tujuan itu. Masalah dapat pula muncul apabila peserta didik tidak dapat keluar dari satu situasi yang dihadapi kepada situasi lain yang dikehendaki, maka keadaan itu akan mengundang peserta didik untuk berpikir.

Masalah yang digunakan dalam pembelajaran memiliki arti tersendiri. Menurut Sayers (dalam Sudjana, 2005: 140) masalah yang dimaksud adalah suatu jarak antara sesuatu keadaan pada saat ini dengan keadaan yang diinginkan di masa yang akan datang.

Pentingnya masalah dan upaya pemecahannya dalam kegiatan belajar, didasari beberapa alasan. Pertama, masalah dan upaya pemecahannya merupakan bagian dari kehidupan manusia secara alamiah, karena sejak lahir sampai meninggal dunia

Page 74: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 68

manusia selalu berhubungan dengan kegiatan pemecahan masalah, walaupun dalam bentuk yang paling sederhana. Kedua, tingkat keberhasilan seseorang dalam kehidupannya sangat erat kaitannya dengan keberhasilan dalam memecahkan masalah yang dihadapi.

Banyak orang yang berhasil dalam tugas pekerjaan atau dalam kehidupan masyarakat disebabkan mereka telah memiliki sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang memadai dalam memecahkan masalah. Ketiga, upaya pemecahan masalah berangkai. Seseorang telah selesai memecahkan suatu masalah maka akan timbul masalah lain yang menunggu pemecahan. Oleh karena itu, siswa harus dilatih untuk terbiasa memecahkan masalah. Keempat, bahwa dalam suatu masalah akan terdapat bagian-bagian masalah lain didalamnya.

Tak ada manusia yang lepas dari kesulitan atau masalah dalam hidupnya yang harus di selesaikan secara rasional. Oleh sebab itu, madrasah berkewajiban melatih kemampuan siswa dalam memecahkan masalah melalui situasi belajar mengajar. Kegiatan belajar problem-solving ini melatih kemampuan berpikir siswa dalam upaya memecahkan suatu masalah, sehingga kegiatan belajar siswa lebih bermakna, mantap, dan sukar dilupakan. Kegiatan belajar pemecahan masalah memiliki ruang lingkup sikap dan perilaku yang luas. Dalam kegiatan belajar pemecahan masalah terlibat berbagai tugas, penentuan tujuan yang ingin dicapai, dan kegiatan untuk melaksanakan tugas.

Kegiatan belajar pemecahan masalah dilakukan melalui proses kegiatan berpikir dan bertindak dalam dan terhadap dunia kehidupan peserta didik.

c. Hakikat Kreativitas Selain keterampilan berpikir, komponen yang berkaitan erat dengan pemecahan masalah adalah adanya potensi kreatif dalam diri setiap manusia untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Sesuatu yang baru itu dapat berupa perbuatan atau tingkah laku, hasil-hasil kesusastraan, dan lain-lain. Menghasilkan sesuatu (benda-benda, gagasan-gagasan) yang baru bagi seseorang, menciptakan sesuatu, kesemuanya itu adalah mencakup pemecahan masalah yang merupakan sebuah proses kreatif. Selanjutnya, menurut Parnes (dalam Nursisto, 2004: 31) bahwa kreativitas dapat dibangkitkan melalui masalah yang memacu pada lima macam perilaku kreatif sebagai berikut:

1. Fluency (kelancaran), yaitu kemampuan mengemukakan ide-ide yang serupa untuk memecahkan masalah.

2. Flexibility (keluwesan), yaitu kemampuan untuk menghasilkan berbagai macam ide guna memecahkan suatu masalah di luar kategori yang biasa.

Page 75: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

69 |

3. Originallity (keaslian), yaitu kemampuan memberikan respon yang unik atau luar biasa.

4. Elaboration (keterperincian), yaitu kemampuan menyatakan pengarahan ide secara terperinci untuk mewujdkan ide menjadi kenyataan.

5. Sensitivity (kepekaan), yaitu kepekaan menghasilkan masalah sebagai tanggapan terhadap suatu situasi.

Oleh karena itu, sangat penting memberikan latihan kepada siswa untuk memecahkan dalam situasi belajar mengajar guna mengembangkan kreativitas atau kemampuan berpikirnya. Klausmeier (Slameto, 2003: 152) mengemukakan bahwa langkah-langkah yang diperlukan dalam pembentukan keterampilan masalah berlaku pula untuk pembentukan kreativitas. Madrasah dapat menolong siswa mengembangkan keterampilan masalah-masalah dan sekaligus mengembangkan kreativitas.

d. Metode Pengajaran Berbasis Masalah Pengajaran berbasis masalah merupakan salah satu strategi pengajaran yang mampu mengembangkan kreativitas siswa melalui pemecahan masalah dan akan menjadi bahasan utama dalam penelitian ini.

Menurut Nurhadi (2007: 19) pengajaran berbasis masalah (problem-based learning) adalah suatu pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan memecahkan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran.

Pengajaran berbasis masalah merupakan suatu cara penyajian pelajaran dengan cara dihadapkan pada satu masalah yang harus dipecahkan atau diselesaikan, baik secara individual maupun kelompok. Metode ini baik untuk melatih kreativitas siswa dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupannya. Tak ada manusia yang lepas dari kesulitan atau masalah dalam hidupnya yang harus diselesaikan secara rasional. Oleh karena itu, guru berkewajiban melatih kemampuan siswa memecahkan masalah melalui situasi belajar-mengajar.

Menurut Djamarah (2006: 104), keunggulan dari metode pengajaran berbasis masalah sebagai berikut:

1. Metode ini dapat membuat pendidikan di madrasah/sekolah menjadi lebih relevan dengan kehidupan, khususnya dengan dunia kerja.

2. Proses belajar mengajar melalui pemecahan masalah dapat membiasakan para siswa mengahadapi dan memecahkan masalah secara kreatif, apabila menghadapi permasalahan di dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat, dan bekerja kelak, suatu kemampuan yang sangat bermakna bagi kehidupan manusia.

Page 76: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 70

3. Metode ini merangsang pengembangan keterampilan berpikir siswa secara kreatif dan menyeluruh, karena dalam proses belajarnya, siswa banyak melakukan mental dengan menyoroti permasalahan dari berbagai segi dalam rangka mencari pemecahannya.

Selanjutnya, Nurhadi (2007: 56) mengemukakan lima ciri-ciri pengajaran berbasis masalah sebagai berikut:

1. Pengajuan pertanyaan atau masalah 2. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin

Masalah yang akan diselidiki telah dipilih yang benar-benar nyata agar dalam pemecahannya siswa meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.

1. Penyelidikan autentik 2. Menghasilkan produk atau karya dan memamerkannya 3. Siswa bekerja sama satu sama lain.

Bekerja sama dapat memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir. Peran guru dalam pengajaran berbasis masalah adalah menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan, dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog. Tahapan pengajaran berbasis masalah biasanya terdiri dari lima tahapan utama yang dimulai dengan guru memperkenalkan siswa dengan suatu situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Di bawah ini adalah tahapan-tahapan dalam penerapan pengajaran berbasis masalah.

a. Tahap I Orientasi siswa terhadap masalah. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa agar terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya. b. Tahap II Mengorganisasi siswa untuk belajar. Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut. c. Tahap III Membimbing penyelidikan individual dan kelompok. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalahnya. d. Tahap IV

Page 77: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

71 |

Mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Guru membantu siswa merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai, serta membantu mereka berbagi tugas dengan temannya. e. Tahap V Mengevaluasi proses pembelajaran. Guru membantu siswa melakukan refleksi atau evaluasi terhadap hasil dari proses belajar mengajar.

Lingkungan belajar dan sistem manajemen dalam pengajaran berbasis masalah dicirikan oleh sifatnya yang terbuka, ada proses demokrasi, dan peranan siswa yang aktif. Meskipun guru dan siswa melakukan tahapan pembelajaran yang terstruktur dan dapat diprediksi dalam pengajaran berbasis masalah, norma di sekitar pelajaran adalah norma inkuiri terbuka dan bebas mengemukakan pendapat. Lingkungan belajar menekankan peran sentral siswa, bukan guru yang ditekankan. 2. Tujuan Metode PBL dalam Pembelajaran

Tujuan pengajaran berbasis masalah dalam pembelajaran adalah untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa. Pengajaran berbasis masalah dikembangkan terutama untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan mereka berpikir, pemecahan masalah, dan kreativitas, belajar tentang berbagai peran dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi, dan menjadi pebelajar yang otonom dan mandiri. 3. Model Pengajaran Berbasis Masalah

Berikut ini adalah langkah-langkah pengajaran berbasis masalah dalam contoh pembelajaran menulis poster dan slogan “Bahaya Narkoba” untuk berbagai keperluan. Fase 1 Mengorientasikan siswa kepada masalah outentik Guru masuk ke dalam kelas dengan membawa guntingan koran. Harian Fajar sebagai berikut. Selanjutnya, guru meminta siswa mencermati isi koran tersebut. Kemudian, guru menanyakan kepada siswa apa isi koran tersebut? Jawaban mungkin beragam, namun siswa diarahkan kepada: “Bahaya Narkoba” Tahukah kalian, mengapa ekstasi (narkoba) itu dilarang? Guru menuliskan judul di papan tulis, seraya menyampaikan tujuan pelajaran kali ini adalah “mengidentifikasi bahaya narkoba” kemudian disimpulkan, lalu menuangkannya ke dalam bentuk sebuah poster dan slogan.

Page 78: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 72

Fase 2 Mengorientasikan siswa untuk belajar Guru membagi siswa dalam kelompok, kemudian masing-masing kelompok diminta untuk mencari tahu tentang bahasa narkoba. Informasi dapat diperoleh dari guru atau berdasarkan pada pengalaman siswa. Fase 3 Membimbing penyelidikan Guru membimbing siswa menemukan informasi tentang bahaya narkoba. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang hal tersebut dan melakukan diskusi dengan teman kelompok. Pada akhir kegiatan ini siswa diminta membuat kesimpulan tentang bahaya narkoba dengan jumlah kata yang telah ditentukan, dengan kalimat yang menarik. Tapi sebelum siswa membuat simpulan guru memperlihatkan contoh-contoh poster dan slogan. Guru menjelaskan ciri-ciri poster yang baik dan langkah-langkah pembuatannya. Fase 4 Guru membimbing siswa mengembangkan hasil karya Simpulan yang telah dibuat boleh dipadukan dengan gambar, dan boleh pensil pewarna. Kegiatan Pemantapan Fase 5 Evaluasi atau refleks Guru bersama siswa berusaha mendiskusikan langkah demi langkah pemecahan masalah yang telah dilakukan. Tiap kelompok mempresentasikan hasil karyanya. Guru memberi komentar pemecahan masalah dan mencatat pokok-pokoknya di papan tulis. 4. Penulisan Poster dan Slogan Kemampuan menulis merupakan salah satu kemampuan bahasa yang semakin penting untuk dikuasai. Salah satu kompetensi yang harus didiskusikan siswa dalam aspek keterampilan menulis adalah siswa harus mampu menulis slogan dan poster untuk berbagai keperluan. Slogan dan poster dipergunakan oleh produsen, pemerintah, atau sebuah organisasi untuk memperkenalkan produknya, atau untuk menyampaikan suatu gagasan, pengumuman, dan himbauan. Dewasa ini, poster muncul sebagai unsur dekoratif. Unsur gambar lebih mendominasi poster daripada tulisan, bahkan lebih banyak menonjolkan ekspresi seninya dengan pesan-pesan kemanusiaan. Namun, tulisan pada poster masih sangat diperlukan. Menurut Sudjana (2005: 226) isi dari sebuah poster hendaknya: a) menarik perhatian umum, sehingga dapat membangkitkan perasaan ingin mengetahui,

Page 79: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

73 |

memiliki, atau berbuat sesuatu, b) kalimat yang digunakan singkat, tetapi jelas, mudah dipahami, langsung menuju sasaran, dan tidak menyinggung perasaan, c) naskah hendaknya disertai dengan gambar yang dapat mendukung bunyi kalimat poster, ada kesamaan tema kalimat dengan gambar. Dalam menyusun sebuah poster adapun langkah-langkah yang harus diperhatikan yaitu, a) menentukan objek yang akan diposterkan, b) merumuskan pesan yang akan disampaikan kepada umum, c) merumuskan kalimat singkat, padat, dan jelas sehingga inti masalah dapat dibaca sambil lalu, dan d) menggunakan kata-kata yang sugestif (bersifat membujuk). Selain poster, dikenal slogan. Slogan dan poster pada dasarnya sama, yang membedakan adalah adanya unsur gambar pada poster. Slogan adalah perkataan atau kalimat pendek yang menarik atau mencolok dan mudah diingat untuk memberitahukan sesuatu. Slogan biasanya dituliskan dengan ukuran tertentu sehingga mudah dibaca oleh konsumen. Slogan dan poster yang baik adalah pada saat dibaca dapat mengingatkan orang pada produk yang dimaksud. Oleh karena itu, sebelum menulis penulis harus menentukan tujuan dari membuat slogan dan poster. Kemudian, memilih kata yang tepat dan unik serta menyusun kalimat yang menarik dan persuasif sehingga dengan slogan dan poster yang tersusun adalah sesuatu yang unik dan mudah diingat pembaca sekaligus dapat meyakinkan pembaca. Pelaksanaan sistem pendidikan tidak hanya tertuju pada pengembangan intelegensi (kecerdasan) tetapi juga tertuju pada pengembangan kreativitas siswa, karena keduanya sama pentingnya. Pembelajaran kreativitas akan lebih tepat bila diintegrasikan dengan kemampuan menulis, yaitu menulis poster dan slogan. Kreativitas dapat dikembangkan secara optimal melalui pembelajaran memecahkan masalah. C. Penutup Salah satu metode mengajar yang dapat diterapkan oleh guru mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk melatih siswa memecahkan masalah dalam hal ini pembelajaran menulis poster dan slogan adalah metode pengajaran berbasis masalah. Melalui penerapan metode pengajaran berbasis masalah akan melatih siswa untuk terbiasa berpikir kritis dan analitis, melatih rasa tanggung jawab siswa

Page 80: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 74

dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan kelak di masyarakat, serta melatih siswa menghasilkan sebuah karya atau produk. Dalam proses pengajaran berbasis masalah, siswa dihadapkan pada suatu masalah autentik yaitu masalah sehari-hari yang terjadi di lingkungan madrasah maupun di lingkungan tempat tinggal mereka. Kemudian siswa dibimbing untuk menemukan solusi dari masalah tersebut dengan melakukan penyelidikan baik secara individu maupun kelompok, bahkan diwujudkan dalam sebuah karya nyata, seperti poster dan slogan.

DAFTAR PUSTAKA Djamarah, Syaiful Bahri dan Azwan Zain, 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta:

Rinneka Cipta. Nurhadi. 2007. Pendekatan Kontekstual Contextual Teaching and Learning (CTL)

dan Penerapannya Dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang. Nursisto, 2004. Kiat Menggali Kreativitas. Yogyakarta: Mitra Gama Widya. Slameto, 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka

Cipta. Sudjana, D. 2005. Strategi Pembelajaran Luar Sekolah. Bandung: Falah.

Page 81: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

75 |

PENGGUNAAN TEKNIK MIND MAPPING DALAM PEMBELAJARAN BERBICARA

(Studi Kuasi Eksperimen pada Siswa Kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong Kabupaten Garut Tahun Pelajaran 2006-2007)

Oleh : M Dudung Jamiat, S.Pd., MM

Dosen STKIP Garut Abstrak

Keterampilan berbicara merupakan kegiatan yang paling sering dilakukan manusia dalam berkomunikasi. Upaya meningkatkan keterampilan berbicara siswa di sekolah, merupakan satu tantangan yang harus dihadapi oleh guru. Dalam realitas pembelajaran, keterampilan berbicara ini sering kali terabaikan. Kondisi ini menjadi salah satu penyebab hasil pembelajaran keterampilan berbicara hingga kini masih jauh dari harapan. Berkaitan dengan hal itu penulis tertarik untuk mengujicobakan suatu teknik berbicara khususnya dalam kaitan dengan menceritakan kembali isi sebuah cerita yaitu dengan teknik peta pikiran.

PENDAHULUAN Setiap manusia pasti memiliki kemampuan untuk berbicara tetapi tidak semua manusia terampil berbicara, karena untuk dapat terampil berbicara, perlu adanya latihan atau upaya ke arah tersebut. Manusia dalam kegiatannya sehari-hari ternyata selalu dihadapkan dengan kegiatan yang menuntut keterampilan berbicara. Kemampuan berbicara diperlukan hampir dalam seluruh kegiatan manusia sehari-hari. Penelitian membuktikan bahwa 75% waktu bangun manusia berada dalam kegiatan komunikasi. Kita hampir dapat memastikan bahwa sebagian besar kegiatan komunikasi itu dilakukan secara lisan. Carnagie dalam Rakhmat (2001 : 2) menyatakan bahwa bicara bisa menunjukkan bangsa, bicara mengungkapkan apakah Anda orang terpelajar atau bukan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya berbicara. Bahasa dalam kehidupan manusia menduduki fungsi yang utama, yaitu sebagai alat komunikasi. Melalui bahasa, manusia dapat memenuhi salah satu kebutuhannya yaitu bersosialisasi dengan lingkunganya, mengadakan interaksi yang satu dengan yang lainnya. Keterampilan berbicara merupakan kegiatan yang paling sering dilakukan manusia dalam berkomunikasi. Keterampilan berbicara berperan bagi guru untuk menyampaikan ilmu dengan baik, sehingga dapat dipahami siswa. Sedangkan bagi siswa, keterampilan berbicara berperan untuk mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan, gagasan atau tanggapan.

Page 82: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 76

Upaya meningkatkan keterampilan berbicara siswa di sekolah, merupakan satu tantangan yang harus dihadapi oleh guru. Hal ini didasarkan pada esensi pembelajaran bahasa Indonesia berdasarkan kurikulum 2004 maupun 2006 yang menekankan pada empat aspek keterampilan berbahasa. Namun dalam realitas pembelajaran, keterampilan berbicara ini sering kali terabaikan. Guru hanya mampu melakukan penilaian keterampilan berbicara ini pada tataran keberanian siswa dalam bertanya dan menjawab pertanyaan. Sementara itu berbagai teknik berbicara seringkali disampaikan hanya sebatas teori saja tanpa praktik berbicara yang memadai. Kondisi di atas menjadi salah satu penyebab hasil pembelajaran keterampilan berbicara hingga kini masih jauh dari harapan. Tarigan dan Tarigan (1986:88) menyatakan bahwa: Keadaan pengajaran berbicara sejalan dengan pengajaran Bahasa Indonesia, belum memuaskan, keterampilan berbicara dalam arti luas, para pelajar belum memadai. Kenyataan dalam diskusi, seminar, atau pun ceramah menunjukkan bahwa sebagian besar pesertanya diam, kurang bersuara. Kecakapan beradu argumentasi masih jauh dari memadai. Hal yang berkenaan dengan masalah di atas juga ditemukan pada siswa Sekolah Menengah Pertama. Selama pengamatan, mereka lebih memilih untuk mengobrol ketika proses berdiskusi berlangsung. Tetapi ketika diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan, masukan atau mengajukan sebuah pertanyaan mereka hanya diam, dengan alasan malu, tidak berani, atau takut salah. Melihat kenyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa keterampilan siswa untuk berbicara masih rendah. Hal tersebut tidak hanya terjadi pada siswa menengah saja tetapi seorang mahasiswa sekalipun masih ada yang lebih memilih untuk menjadi pendengar setia daripada harus memberikan pendapatnya yang kalau salah akan ditertawakan oleh teman-temannya. Masih rendahnya kemampuan siswa untuk terampil berdiskusi sebagai akibat kurangnya latihan ataupun rangsangan untuk dapat mengembangkan tersebut. Dengan fenomena di atas maka jelaslah bahwa siswa dituntut untuk

mengemukakan pendapat, gagasan maupun pikiran dan perasaannya dalam proses kegiatan belajar mengajar. Pembelajaran berbicara di tingkat sekolah lanjutan hanya ditekankan pada pembacaan pidato, bermain peran, pembacaan puisi, dan kegiatan lainnya yang bersifat komunikasi satu arah. Hal ini terjadi karena kita masih beranggapan bahwa komunikasi hanya bersifat unilateral dalam pengertian dalam berkomunikasi hanya terdapat satu pembicara atau penulis dan satu orang penyimak atau pembaca.

Page 83: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

77 |

Sementara itu, pada tahun 1970 seorang kepala Brain Foundation, Tony Buzan mengembangkan sebuah teknik pencatatan yang didasarkan pada riset tentang cara kerja otak yang sebenarnya. Teknik pencatatan tersebut dikenal dengan nama mind mapping yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama ‘peta pikiran’. Selanjutnya, penulis akan menyebutnya ‘peta pikiran’. Teknik ‘peta pikiran’ adalah sebuah teknik untuk menangkap informasi dengan cara menuangkan informasi tersebut dalam bentuk gambar simbol, suara dan perasaan. Cara ini sangat menenangkan, menyenangkan, dan kreatif. DePorter dalam Quantum Teaching memaparkan hasil riset Super Camp, sebuah program percepatan Quantum Learning bahwa ’setelah siswa diberi kiat-kiat yang meningkatkan kemampuan menguasai segala hal termasuk teknik ‘peta pikiran’, mereka mendapatkan nilai yang lebih baik, lebih banyak berpartisipasi, dan merasa bangga akan dirinya sendiri” (2001:178). Lebih lanjut DePorter dalam Quantum Learning mengatakan bahwa ’peta pikiran merupakan pendekatan ke seluruh otak yang akan membuat siapapun mampu membuat catatan yang menyeluruh dalam satu halaman. Dengan menggunakan citra visual dan perangkat grafis lainnya, peta pikiran akan memberikan kesan yang lebih dalam” (2001:178). Teknik ‘peta pikiran’ dapat digunakan untuk membantu siswa dalam pembelajaran keterampilan berbahasa dan apresiasi sastra. Dengan proses memetakan pikiran, siswa diberikan kebebasan untuk mengemukakan pikirannya, sehingga mampu mengemukakan apa yang dipikirkannya dengan baik. Melalui metode mind mapping, siswa dapat mencatatkan poin–poin utama yang akan dibicarakannya. Sesuai dengan pernyataan DePorter, ”alasan pertama untuk mencatat adalah mencatat meningkatkan daya ingat “(DePorter, 2001:146). Tanpa mencatat dan mengulanginya, kebanyakan orang hanya mampu mengingat sebagian materi yang mereka baca atau dengar pada waktu sebelumnya. Pencatat yang efektif dalam menghemat waktu dengan menyimpan informasi secara mudah dan mengingatnya kembali jika diperlukan. DePorter juga mengatakan bahwa “kebanyakan siswa menganggap peta pikiran sebagai cara mencatat yang menyenangkan dan menarik” (De Porter, 2001 :146). Hal ini memang terbukti ketika sebuah SMP Norethwood menggunakan teknik ini dalam proses belajar mengajar dan hasilnyapun sangat mengagumkan. DePorter dalam Quantum Lerning mengatakan juga bahwa ”teknik peta pikiran dapat digunakan untuk tugas membaca, curah gagasan (brain storming) dan menulis” (2001:177). Oleh karena itu, peneliti menjadi tertarik untuk menerapkan metode ini dalam pembelajaran berbicara. Berdasarkan batasan masalah di atas, tindakan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) Bagaimanakah hasil pembelajaran berbicara sebelum menggunakan teknik peta pikiran (mind mapping) pada siswa kelas VIII SMP Negeri

Page 84: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 78

2 Leuwigoong Kabupaten Garut tahun pelajaran 2007 – 2008?; (2) Bagaimanakah hasil pembelajaran berbicara setelah menggunakan teknik peta pikiran (mind mapping) pada siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Leuwigoong Kabupaten Garut tahun pelajaran 2007 – 2008?; dan (3) Adakah perbedaan hasil pembelajaran berbicara siswa sebelum dan sesudah menggunakan teknik peta pikiran (mind mapping) pada siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Leuwigoong Kabupaten Garut tahun pelajaran 2007 – 2008? Sementara itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak penggunaan teknik mind mapping pada pembelajaran bericara dengan cara membandingkan kemampuan berbicara siswa antara sebelum dan sesudah pembelajaran dengan menerapkan teknik mind mapping. KAJIAN TEORETIS A. Berbicara sebagai Salah Satu Keterampilan Berbahasa

Berbicara merupakan keterampilan berbahasa yang berfungsi untuk menyampaikan sesuatu melalui bahasa lisan dan dapat mengungkapkan suatu ide yang jelas apabila seseorang melkukannya dengan baik. keterampilan berbicara (speaking skills) merupakan salah satu komponen keterampilan berbahasa yang dipergunakan oleh manusia untuk berkomunikasi. Keterampilan berbicara tidak dapat dipisahkan dengan keterampilan yang lainnya baik keterampilan menyimak (listening skills), keterampilan menulis (writing skills), maupun keterampilan membaca (reading skills). Oleh karena itu, Tarigan (1982:1) menyebutkan ’keempat keterampilan berbahasa tersebut sebagai catur tunggal”. Pemerolehan keempat keterampilan berbahasa tersebut berawal dari keterampilan menyimak yaitu ketika anak masih kecil, setelah menyimak barulah anak akan belajar berbicara. Setelah anak masuk sekolah kemudian anak tersebut akan belajar membaca dan setelah itu belajar menulis. Oleh karena itu keterampilan berbicara sesungguhnya adalah satu keterampilan yang sudah lama dilatih dan dilakukan. Namun demikian, dalam kaitan berbicara di depan khalayak atau berbicara dalam acara formal tidak semua orang dapat melakukannya dengan baik. Manusia adalah makhluk sosial, dan tindakannya yang pertama dan yang paling penting adalah tindakan sosial, suatu tindakan tempat saling mempertukarkan pengalaman, saling mengemukakan dan menerima pikiran, saling mengutarakan perasaan, atau saling mengekspresikan serta menyetujui sesuatu pendirian

Page 85: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

79 |

atau keyakinan. Oleh karena itu, di dalam tindakan sosial haruslah terdapat elemen-elemen yang umum, yang sama-sama disetujui dan dipahami oleh sejumlah orang yang merupakan suatu masyarakat. Untuk menghubungkan sesama anggota masyarakat, maka diperlukan komunikasi. Ujaran sebagai suatu cara berkomunikasi sangat mempengaruhi kehidupan individual kita. Dalam sistem inilah kita saling bertukar pendapat, gagasan, perasaan, keinginan, dengan bantuan lambang-lambang yang disebut kata-kata. Sistem inilah yang memberi keefektifan baagi individu dalam mendirikan hubungan mental dan emosional dengan anggota-anggota lainnya. Agaknya tidak perlu disangsikan lagi bahwa ujaran hanyalah merupakan ekspresi dari gagasan-gagasan pribadi seseorang, dan menekankan hubungan-hubungaan yang bersifat dua arah, memberi – dan – menerima.

B. Teknik Peta Pikiran (Mind Mapping)

1. Pengertian Teknik Peta Pikiran

De Porter (2001:153) dalam Quantum Learning dan Quantum Teaching mengungkapkan bahwa ”Peta Pikiran adalah teknik pemanfaatan keseluruhan otak dengan menggunakan citra visual dan prasarana grafis lainnya untuk membentuk kesan”. Sementara itu Rose dan Nicholl menyebut ”Peta Pikiran sebagai Peta Konsep atau Peta Pembelajaran”. Namun, pada hakikatnya kedua hal tersebut sama. Rose dan Nicholl dalam Accelerated Learning mengemukakan bahwa “Peta Konsep adalah cara dinamik untuk menangkap butir-butir pokok informasi yang signifikan”. Mencatat, amat mendukung dalam mengembangkan daya ingat, sesuai dengan pernyataan DePorter “Alasan pertama untuk mencatat adalah bahwa mencatat meningkatkan daya ingat" (DePorter, 2001:146). Tanpa mencatat dan mengulanginya, kebanyakan orang hanya mampu mengingat sebagian kecil materi yang mereka baca atau dengar kemarin. Pencatatan yang efektif dapat menghemat waktu dengan menyimpan informasi secara mudah dan mengingatnya kembali jika diperlukan. DePorter dalam Quantum Learning Menyatakan: “Berikut ini adalah dua teknik pencatatan yang saya dapati sangat efektif-Peta Pikiran dan Catatan:TS (yang berarti Catalan: Tulis Susun). Kedua cara ini akan membuat anda mampu melihat seluruh gambaran secara selintas, dan menciptakan hubungan mental yang membantu anda untuk memahami dan mengingat” (2001:152).

Page 86: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 80

Teknik Peta Pikiran dikembangkan pada tahun 1970 oleh Tony Buzan yang didasarkan pada riset tentang bagaimana cara kerja otak yang sebenarnya. DePorter mengatakan kembali dalam Quantum Learning bahwa: Peta Pikiran dapat membangkitkan ide-ide orisinal dan memicu ingatan yang mudah. Ini jauh lebih mudah daripada metode pencatatan tradisional karena ia mengaktifkan kedua belahan otak anda (karena itu disebut dengan istilah pendekatan keseluruhan otak). Cara ini juga menenangkan, menyenangkan dan kreatif' (2001:l 52). Teknik Peta Pikiran muncul didasarkan pada penelitian ilmuwan syaraf yang bernama Jensen pada tahun 1994 (DePorter, 2001:103) yang mengatakan bahwa 90% masukan indra untuk otak berasal dari sumber visual dan otak mempunyai tanggapan cepat dan alami terhadap simbol, ikon, dan gambar yang sederhana dan kuat. Jensen juga mengatakan bahwa “jika anda menciptakan gambar yang unik untuk menjelaskan sebuah konsep, konsep itu langsung berubah dari abstrak menjadi konkret sehingga lebih mudah dimengerti contohnya Peta Pikiran”. DePorter mengatakan bahwa “Kebanyakan siswa menganggap Peta Pikiran sebagai cara mencatat yang menyenangkan dan menarik (DePorter, 2001:178). Hal ini memang terbukti ketika sebuah Sekolah Menengah Pertama Northwood di US menggunakan teknik ini dalam proses belajar mengajar. DePorter dalam Quantum Teaching mengatakan bahwa Teknik Peta Pikiran dapat digunakan untuk tugas membaca, curah gagasan (brainstorming) dan menulis (2001:177). Oleh karena itu, penulis ingin mengujicobakan penggunaan teknik ini dalam menceritakan kembali isi sebuah cerita secara lisan.

2. Cara Membuat Peta Pikiran

Peta Pikiran memang teknik mencatat yang belum banyak dikenal orang terutama orang Indonesia. Sehingga ketika teknik ini diperkenalkan kepada siswa, mereka harus diberi penjelasan tentang bagaimana cara membuat Peta Pikiran. DePorter dalam Quantum Learning mengemukakan langkah-langkah dalam membuat Peta Pikiran sebagai berikut: a. di tengah kertas, buatlah lingkaran dari gagasan utamanya (dalam hal ini

judul dongeng). Lalu lingkupilah dengan lingkaran, persegi, atau bentuk lain. Misalnya, Peta Pikiran saya dilingkupi oleh gambar bohlam;

Page 87: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

81 |

b. tambahkan sebuah cabang dari pusatnya untuk tiap-tiap kata kunci atau gagasan utama, gunakan pulpen wama-warni;

c. tulislah kata kunci/frase pada tiap-tiap cabang, kembangkan untuk menambahkan detail-detail. Kata-kata kunci adalah kata-kata yang menyampaikan inti sebuah gagasan dan memicu ingatan anda;

d. tambahkan simbol atau ilustrasi untuk mendapatkan ingatan yang lebih baik;

e. gunakan huruf-huruf kapital; f. tulislah gagasan-gagasan penting dengan huruf-huruf yang lebih besar; g. hidupkanlah Peta Pikiran anda; h. garis bawahi kata-kata itu dan gunakan huruf-huruf tebal i. bersikap kreatif dan berani; j. gunakan bentuk-bentuk acak untuk menunjukkan kata-kata kunci atau

gagasan-gagasan; k. buatlah Peta Pikiran secara horizontal (2001:156).

3. Manfaat Peta Pikiran

DePorter dalam Quantum Learning mengemukakan beberapa manfaat Peta Pikiran sebagai berikut ini. a. fleksibel, yaitu jika seorang pembicara tiba-tiba teringat untuk

menjelaskan suatu hal tentang pemikiran, anda dapat dengan mudah menambahkannya di tempat yang sesuai dalam Peta Pikiran anda tanpa harus kebingungan;

b. dapat memusatkan perhatian, yaitu anda tidak perlu berpikir untuk menangkap setiap kata yang dibicarakan. Sebaliknya, anda sapat berkonsentrasi pada gagasan-gagasannya;

c. meningkatkan pemahaman, yaitu ketika membaca suatu tulisan atau laporan teknik, Peta Pikiran akan meningkatkan pemahaman dan memberikan catatan tinjauan ulang yang sangat berarti nantinya;

d. menyenangkan, yaitu imajinasi dan kreativitas anda tidak terbatas. Dan hal itu menjadikan pembuatan dan peninjauan ulang catatan lebih menyenangkan (2001:172).

4. Kelebihan dan Kelemahan Teknik Peta Pikiran

f. Kelebihan Teknik Peta Pikiran

Page 88: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 82

Setiap metode atau teknik pembelajaran tentunya memiliki kelebihan masing-masing. Adapun kelebihan yang dimiliki teknik peta pikiran adalah sebagai berikut ini. 1) Dapat membantu dalam meningkatkan kemampuan menulis atau

mencatat kreatif. 2) Dapat membantu dalam mengingat bahkan mendapatkan banyak

informasi yang merupakan kontribusi dari keterampilan menulis kreatif.

3) Teknik peta pikiran dapat membangkitkan ide-ide orisinal dan memicu ingatan yang mudah.

g. Kelemahan Teknik Peta Pikiran

Di samping memiliki kelebihan tentunya setiap metode atau teknik pembelajaran memiliki pula kelemahan masing-masing. Kelemahan dari teknik peta pikiran adalah ketika pembelajaran berlangsung siswa terfokus pada apa yang sedang didengar atau dibaca. Dengan demikian hal tersebut tidak menutup kemungkinan akan berpengaruh terhadap pengembangan ide.

C. Proses Belajar Mengejara Berbicara dengan Menggunakan Teknik Peta Pikiran

Berdasarkan kurikulum yang berlaku, bahwa kompetensi dasar yang hendak dicapai dari komponen berbicara pada siswa kelas VIII SMP adalah siswa mampu menyampaikan laporan secara lisan dengan bahasa yang baik dan benar, serta mampu mengungkapkan pikiran dan perasaan dengan cara bermain peran. Kedua tujuan pembelajaran berbicara tersebut merupakan hal penting yang harus dimiliki dan dikuasai oleh siswa. Meskipun berbicara merupakan suatu aktivitas yang biasa dilakukan, namun berbicara dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar serta dalam kondisi yang resmi sangat susah dilakukan. Agar siswa memiliki kemampuan berbicara yang baik, maka perlu dilatih dan dibina secara intensif. Salah satu pola pembinaan berbicara pada siswa di sekolah diantarnya dengan penerapan teknik dan metoda yang tepat dalam pembelajaran berbicara. Peta pikiran merupakan suatu proses perencanaan pembicaraan yang tersusun secara skematis dari ide utama sampai ide-ide penjelasnya. Peta pikiran ini disusun secara langsung oleh siswa setelah memahami apa yang hendak mereka kemukakan. Proses pembelajaran berbicara dengan teknik peta pikiran ini secara umum merupakan suatu proses melatih siswa dalam mengembangkan

Page 89: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

83 |

ide-ide dan gagasan-gagasannya yang akan mereka kemukakan pada saat berbicara. Kedudukan guru dalam proses pembelajaran berbicara dengan teknik peta pikiran ini, hanyalah sebagai fasilitator pembelajaran. Beberapa tugas dan kegiatan guru dalam pembelajaran berbicara dengan menggunakan teknik peta pikiran antara lain sebagai berikut ini :

1. Secara sepintas guru menjelaskan mengenai teknik peta pikiran, serta

memberikan contoh bagaimana menyusun peta pikiran dari sesuatu yang akan dibicarakan atau dikemukakan.

2. Memberikan bahan yang akan dibicarakan atau dikemukakan siswa. Dalam hal ini dapat dilakukan baik secara lisan maupun secara tulisan. Secara lisan dapat dilakukan dengan kegiatan guru menceritakan atau membacakan suatu cerita yang akan dikemukakan kembali oleh siswa. Sementara itu, secara tertulis dapat dilakukan dengan membagikan teks sebuah cerita kepada siswa.

3. Apabila bahan yang akan dikemukakan siswa dalam bentuk tertulis, guru memberikan waktu kepada siswa untuk membaca isi cerita tersebut dan memahami isi dan maknanya serta alur ceritanya.

4. Guru menarik kembali teks cerita dan sekaligus memberi waktu kepada siswa untuk merancang dan menyusun peta pikiran terkait dengan isi cerita yang dibaca siswa.

5. Memanggil beberapa siswa untuk tampil di depan kelas dan menceritakan kembali isi cerita yang telah dibacanya berdasarkan peta pikiran yang disusunnya.

6. melakukan evaluasi hasil dan kemampuan siswa dalam menyusun peta pikiran dan sekaligus mengoreksi kelamahan yang terjadi.

Sementara itu, kegiatan pembelajaran yang dilakukan siswa antara lain sebagai berikut ini : 1. Menyimak penjelasan guru terkait dengan teknik peta pikiran. 2. Membaca teks yang diberikan guru dan membacanya secara teiliti sekaligus

berupaya memahami isi dan makna cerita yang dibacanya. 3. Mencoba menyusun peta pikiran dari isi bacaan yang telah dibacanya,

sekaligus merancang pembicaraan yang akan dikemukakannya. 4. Tampil di depan kelas dan berupaya menceritakan kembali isi cerita yang

telah dibacanya berdasarkan peta pikiran yang telah disusunnya. 5. Memperhatikan evaluasi dan koreksi yang dikemukakan guru terkait dengan

hasil dan kemampuan siswa yang lain dalam menceritakan kembali isi sebuah cerita.

Page 90: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 84

6. Memperbaiki berbagai kelemahan hasil koreksi guru dan mencoba menyusun ulang peta pikirannya.

Bahan pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran berbicara dengan menggunakan teknik peta pikiran ini adalah teks bacaan baik dalam bentuk cerita maupun dalam bentuk dongeng, tape recorder untuk merekam pembicaraan yang dikemukakan siswa sebagai bahan evaluasi, serta beberapa buku penunjang yang terkait dengan teknik peta pikiran dan berbicara.

METODE DAN TEKNIK PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Metode ini digunakan dalam proses belajar mengajar keterampilan berbicara dengan menggunakan teknik peta pikiran (mind mapping), terhadap siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong. Penggunaan metode ini dimaksudkan untuk menguji tingkat efektivitas penggunaan teknik peta pikiran (mind mapping) dalam pengajaran keterampilan berbicara. Sementara itu desain penelitian yang digunakan adalah One Group Pretest-Postest Design. Sekelompok subjek dikenai perlakuan untuk jangka waktu tertentu. Banyaknya perlakuan pembelajaran berbicara dengan teknik peta pikiran ini dilakukan sebanyak 5 kali perlakuan. Pengukuran dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan diberikan dan pengaruh perlakuan diukur dari perbedaan antara pengukuran awal (T1) dan pengukuran akhir (T2). Secara bagan digambarkan sebagai berikut ini.

Pretes Treatment Postes

T1 X T2

Adapun prosedurnya yaitu : 1. kenakan pretes T1 untuk mengukur mean kemampuan siswa berbicara sebelum

subjek diajar dengan teknik peta pikiran; 2. kenakan subjek perlakuan pembelajaran dengan teknik peta pikiran untuk

jangka waktu tertentu; 3. berikan postes T2 untuk mengukur kemampuan akhir siswa dalam berbicara

setelah subjek dikenakan variabel eksperimental X;

Page 91: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

85 |

4. bandingkan T1 dan T2 untuk menentukan seberapa besar perbedaan yang timbul, jika sekiranya ada itu disebabkan akibat dari digunakannya variabel eksperimental X;

5. ujilah perbedaan itu dengan t-test apakah signifikan untuk tingkat kepercayaan tertentu.

Populasi dan Sampel Populasi yaitu “totalitas semua nilai yang mungkin, hasil menghitungnya ataupun pengukuran, kuantitatif maupun kualitatif mengenai karakteristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-sifatnya” (Sudjana, 1966:16). Adapun populasi yang akan penulis ambil dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong yang berjumlah enam kelas dengan jumlah siswa 239 orang. Untuk menentukan banyaknya sampel dalam penelitian ini, mengingat bahwa penelitian ini bermaksud untuk melakukan uji coba suatu teknik pembelajaran maka penulis mengambil sampel dalam bentuk kelas, yakni kelas VIII-B. Penarikan sampel ini dilakukan dengan teknik random sampling yaitu penarikan sampel secara acak yang didasarkan pada kelas atau kelompok. Teknik Pengolahan Data Teknik pengolahan data yang penulis lakukan pada penelitian ini adalah teknik pengolahan data kuantitatif. Teknik kuantitatif penulis maksudkan untuk membandingkan kemampuan berbicara siswa antara sebelum dan setelah pembelajaran. Pengolahan data penulis lakukan mulai dari penginventarisasian data yang masuk, kemudian data tersebut diseleksi. Data-data tersebut berupa hasil kemampuan siswa dalam berbicara. Rumus statistik yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah rumus mean (rata-rata) dan t tes untuk membandingkan kemampuan siswa dalam berbicara antara sebelum dan sesudah pembelajaran dengan menggunakan teknik peta pikiran. Rumus tersebut adalah sebagai berikut: Uji t atau t tes

)1(

2

NN

dx

Mdt

)1(

2

NN

dx

Mdt

Page 92: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 86

(Arikunto, 2002:275)

Dimana : Md = mean dari perbedaan tes awal dan tes akhir

rumus yang digunakan yaitu: N

dMd

d = jumlah keseluruhan nilai beda xd = deviasi masing-masing subjek (d – Md)

x2d = jumlah kuadrat deviasi N = subjek pada sampel

HASIL PENELITIAN

Kemampuan berbicara siswa sebelum pembelajaran maupun setelah pembelajaran, diketahui bahwa kemampuan berbicara siswa setelah pembelajaran dengan menggunakan teknik peta pikiran lebih baik jika dibandingkan dengan sebelum pembelajaran. Hasil tes kemampuan kemampuan berbicara yang diukur dengan kemampuan menceritakan kembali isi sebuah cerpen sebelum pembelajaran mencapai rata-rata 5,59. Sedangkan pada akhir pembelajaran mencapai rata-rata 7,13. Dari data tersebut terjadi peningkatan kemampuan berbicara sebesar 1,54. Rekapitulasi perbandingan kemampuan berbicara sebelum dan setelah pembelajaran penulis visualisasikan pada tabel dan grafik berikut ini.

Tabel 4.3 Rekapitulasi rata-rata tes awal dan tes akhir

Kemampuan berbicara

Kriteria Penilaian

Tes Awal

Tes Akhir

Selisih

Isi Cerita 52 72 20

Lafal/Intonasi 60 70 10

Diksi 64 71 7

Kelancaran 52 71 19

Rata-rata 55.86 71.29 15.43

Perbandingan kemampuan berbicara tersebut divisualisasikan dalam bentuk grafik di bawah ini.

Page 93: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

87 |

Grafik 4.1

Perbandingan kemampuan berbicara Berdasarkan tabulasi dan grafik di atas, tampak terjadinya perubahan antara kemampuan awal siswa sebelum pembelajaran dengan setelah pembelajaran. Secara umum terjadi perbedaan 15,43 antara nilai kemampuan berbicara siswa sebelum dan sesudah pembelajaran. Kemampuan siswa dalam mengemukakan isi cerita menunjukkan perubahan yang paling besar mencapai 20. Hal ini menunjukkan bahwa dengan teknik peta pikiran kemampuan siswa dalam mengemukakan kembali isi cerita menunjukkan perubahan yang sangat baik. Sementara itu, perubahan paling kecil terjadi pada kemampuan siswa dalam penggunaan dan pemilihan diksi yang hanya mencapai 7. Hasil pengujian statistic menunjukkan thitung > ttabel (10,23 > 2,444) pada taraf kepercayaan 95%, sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan siswa dalam berbicara khususnya menceritakan kembali isi sebuah cerita sebelum pembelajaran dan setelah pembelajaran berbeda. Berdasarkan nilai rata-rata kemampuan berbicara, terungkap bahwa kemampuan berbicara siswa dalam menceritakan kembali isi sebuah cerita setelah pembelajaran lebih baik jika dibandingkan dengan sebelum pembelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan teknik peta pikiran efektif dalam meningkatkan kemampuan berbicara siswa khususnya dalam menceritakan kembali isi sebuah cerita. Berbagai hambatan yang tampaknya dialami siswa antara lain penguasaan lapangan dalam arti bagaimana siswa menguasai audien (pendengar). Bagi pembicara pemula kondisi dan tanggapan audiens sering kali menjadi masalah, perasaan tegang, malu, kurangnya keberanian, takut salah dan lain-lain merupakan factor psikologis utama yang mempengaruhi pembicaraan. Di samping itu

0

10

20

30

40

50

60

70

80

Isi Cerita Lafal Diksi Kelancaran Rata-rata

pre

pos

beda

Page 94: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 88

penguasaan kebahasaan juga merupakan komponen penting yang menyebabkan rendahnya kemampuan berbicara. Kondisi lain yang tampak menjadi hambatan bagi siswa dalam melaksanakan keterampilan berbicara adalah redahnya kemampuan terhadap isi pembicaraan. Siswa khususnya dan pembicara pemula pada umumnya seringkali kebingungan untuk mengemukakan apa isi dari pembicaraan yang akan dilakukannya. Apalagi ditambah dengan suara yang pelan dan kondisi ruangan yang luas dan bising, ini berdampak pada ketidaktersampaian maksud dari pembicaraan yang dilakukan. Hambatan-hambatan tersebut releva dengan apa yang dikemukakan Sarani (2001:29) yang menyatakan bahwa hambatan-hambatan yang sering dialami oleh setiap orang dalam berbicara adalah ketidaksempurnaan alat ucap, penguasaan komponen bahasa, penggunaan komponen isi, kelelahan dan kesehatan fisik maupun mental, suara atau bunyi, media, pengetahuan pendengar, dan kondisi ruangan. SIMPULAN Bagian akhir dari tulisan ini, penulis mencoba menarik beberapa simpulan yang didasarkan pada rumusan masalah yang telah dituangkan pada bagian sebelumnya serta dilandasi hasil penelitian. Simpulan yang dapat ditarik dikemukakan di bawah ini. 1. Kemampuan berbicara sebelum menggunakan teknik peta pikiran (mind

mapping) pada siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong tahun pelajaran 2006-2007, menunjukkan kemampuan yang rendah, hal ini ditandai dengan pencapaian rata-rata pemahaman siswa terhadap cerpen yang hanya mencapai 55,86. Beberapa kriteria penilaian dan pencapaian kemampuan berbicara siswa khususnya dalam menceritakan kembali isi sebuah cerita antara lain rata-rata kemampuan siswa dalam mengemukakan isi cerita (52%), lafal dan intonasi (60%), penggunaan diksi (64%), serta kelancaran dalam melakukan pembicaraan (52%).

2. Kemampuan berbicara setelah menggunakan teknik peta pikiran (mind mapping) pada siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong tahun pelajaran 2006-2007, menunjukkan kemampuan berbicara yang baik. Hal ini ditandai dengan pencapaian rata-rata 71,29. Sementara itu, kemampuan siswa dalam mengungkapka isi cerita dicapai sebesar (72%), lafal dan intonasi (70%), penggunaan diksi (71%), serta kelancaran dalam melakukan pembicaraan (71%).

3. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kemampuan siswa dalam berbicara khususnya dalam menceritakan kembali isi sebuah cerita sebesar 55,86 dan

Page 95: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

89 |

kemampuan berbicara setelah pembelajaran dicapai rata-rata nilai 71,29. Dengan demikian, terjadi kenaikan rata-rata kemampuan berbicara siswa dalam menceritakan kembali isi sebuah cerita sebesar 15,43. Sementara itu, berdasarkan hasil perhitungan statistik uji t yang dilakukan diperoleh thitung > ttabel (10,23 > 2,444) pada

taraf kepercayaan 95%, sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan berbicara siswa dalam menceritakan kembali isi sebuah cerita sebelum pembelajaran dan setelah pembelajaran berbeda. Sementara itu, diamati dari rata-rata kemampuan berbicara siswa menunjukkan bahwa penggunaan teknik peta pikiran efektif dalam meningkatkan kemampuan berbicara siswa.

DAFTAR PUSTAKA Ambary, Abdullah. (1983). Intisari Sastra Indonesia. Bandung: Jatnika. Aminuddin. (1995). Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru. Arikunto, Suharsimi. (2002). Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. De Porter, Bobbi dan Mike Hernacki. (2001). Quantum Learning. Bandung: Mizan

Media Utama. De Porter, Bobbi dkk. (2000). Quantum Teaching. Bandung: Mizan Media Utama. Husen. H. Akhlan. (1996). Perencanaan Pengajaran Bahasa. Jakarta: Proyek

Penataran Guru SLTP Setara D-III. Maidar, G.A (1986). (1984). Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa indonesia.

Jakarta: Erlangga. Mulyadiana. (2000). Seni Mengukir Kata. Bandung: MLC. Rakhmat, Jalaludin. (2001). Retorika Modern Pendekatan Praktis. Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya. Rahmanto, B dan P. Hariyanto. (1997). Cerita Rekaan dan Drama. Jakarta:

Universitas Terbuka. Rose, Colin dan Malcolm J. Nicholl. (2002). Accelerated Learning for 21st Century.

Bandung: Nuansa. Sarani. (2001). Efektivitas Pendekatan Kooperatif Tipe Talking Chips dalam Upaya

Meningkatkan Kemampuan Berbicara Siswa Kelas VII SMP. Bandung. Skripsi UPI Bandung.

Suhendar, Supinah. (1992). MKDU Bahasa Indonesia, Pengajaran dan Keterampilan Membaca dan Keterampilan Menulis. Bandung: Pionir Jaya.

Tarigan, H.G. (1981). Berbicara sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Tarigan, Djago. (1996). Materi Pokok Pendidikan Bahasa Indonesia I. Jakarta: Universitas Terbuka.

Tarigan, H.G. dan Djago, Tarigan. (1986). Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Page 96: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 90

Tarigan, H.G. dkk. (1998). Pengembangan Keterampilan Berbicara. Jakarta: Depdikbud.

Page 97: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

91 |

TEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS (CDA) PADA PEMBELAJARAN CERPEN

Oleh:

Drs. Didin Sahidin, M.Pd

Dosen STKIP Garut Abstrak

Lontaran-lontaran tentang kekecewaan terhadap hasil pembelajaran sastra meneguhkan kenyataan tentang buruknya kondisi pembelajaran sastra di Indonesia. Kondisi ini ditandai dengan masih lemahnya pemahaman siswa mengenai hasil karya sastra yang dibacanya. Untuk menanggulangi fenomena tersebut, perlu dicari teknik dan metode pembelajaran sastra yang cocok untuk mencapai tujuan tersebut. Di antara sekian banyak teknik pengajaran sastra, kita mengenal adanya suatu teknik yang berupaya untuk memahami isi wacana atau karya sastra, yaitu teknik analisis wacana kritis atau teknik Critical Discourse Analysis (CDA). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan membaca cerpen sebelum dan sesudah pembelajaran dengan menggunakan teknik analisis wacana kritis atau serta untuk mengetahui perbedaan kemampuan membaca antara sebelum dan sesudah pembelajaran. Penelitian dilakukan di kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong Garut Tahun Pelajaran 2005-2006 dengan menggunakan metode penelitian yaitu metode eksperimen. Instrumen yang digunakan sebagai alat pengumpul data berbentuk tes kemampuan memahami cerpen.

PENDAHULUAN Dharmojo (2005:1) dalam web sitenya mengemukakan bahwa ”kondisi pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal sejauh ini dapat dikatakan mengecewakan”. Kekecewaan terhadap pembelajaran sastra itu dilontarkan pula oleh berbagai pihak, antara lain, Rusyana (1977/1978); Nasution dkk. (1981); Rahman dkk. (1981); Rusyana (1992); Sarjono (2000); Sudaryono (2000); Sayuti (2000); dan Kuswinarto (2001). Lontaran-lontaran tentang pembelajaran sastra tersebut meneguhkan kenyataan tentang buruknya kondisi pembelajaran sastra di Indonesia. Simpulan umum tentang kondisi pembelajaran sastra berdasarkan hasil penelitian dan para pemerhati pembelajaran sastra tersebut adalah (1) pada dasarnya pembelajaran sastra berpengaruh pada minat murid terhadap sastra, namun, ternyata tidak terdapat hubungan antara teori yang diajarkan dan kemampuan apresiasi murid; (2) pengajar tidak memiliki waktu serta tidak tahu bagaimana cara mengikuti perkembangan sastra di luar buku wacana; dan (3) murid tidak mampu mengaitkan nilai sastrawi dengan nilai-nilai etis/moral budaya dalam kehidupan.

Page 98: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 92

Keberhasilan dan kegagalan pembelajaran sastra pada lembaga pendidikan sudah barang tentu disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya, karena pembelajaran sastra merupakan sebuah sistem yang meliputi kurikulum, sarana dan prasarana, minat baca murid, dan iklim bersastra pada umumnya. Dikaitkan dengan kurikulum, Depdiknas menyusun Kerangka Acuan Pemasyarakatan Kebijaksanaan Pendidikan dan Kebudayaan (2004:15) yang secara tegas menyatakan bahwa: tujuan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia antara lain dimaksudkan untuk mendidik murid sehingga menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani. ”Pendidikan dengan tujuan seperti itu pada dasarnya merupakan pendidikan yang diorientasikan pada pembentukan keberwacanaan, baik keberwacanaan dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, maupun dalam kehidupan sosial masyarakat” (Aminuddin, 2000:46). Untuk mencapai tujuan itu, selanjutnya Aminuddin menyatakan “pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia mesti diorientasikan pada model literacy-based instruction”. Dengan orientasi yang demikian itu, pendidikan bahasa dan sastra Indonesia selain ditujukan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa Indonesia dalam berbagai aspeknya serta kemampuan apresiasi sastra dalam berbagai bentuknya juga diorientasikan pada pengembangan keberwacanaan dalam bidang budaya. Implikasi dari hal itu ialah pembelajaran sastra tidak terpisahkan dari pembelajaran menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Dalam hal demikian, materi pembelajaran sastra mestilah memanfaatkan wacana yang secara potensial memiliki area isi kehidupan sosial budaya. Di samping itu kecenderungan guru Bahasa dan Sastra Indonesia dewasa ini lebih senang mengajarkan bahasa daripada mengajarkan sastra. Kalaupun pengajaran sastra dilakukan hanya berupa informasi mengenai teori sastra dan kurang menuntut pengalaman berapresiasi dan berkreasi siswa terhadap sastra, sehingga mengakibatkan daya tarik siswa terhadap pembelajaran sastra berkurang. Di antara mereka ada yang menganggap bahwa tidak ada bedanya mempelajari sastra dengan mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Gejala ini membuat masalah pembelajaran sastra semakin jauh dari yang diharapkan. Di satu pihak kondisi yang berhubungan dengan pengajaran sastra dan di pihak lain minat siswa yang berkurang. Berdasarkan hal tersebut, bahwa dalam pengajaran sastra masih sering ditemukan berbagai permasalahan. Di satu pihak tujuan pengajaran sastra berupaya untuk memberikan pengalaman berapresiasi pada siswa, di pihak lain guru bahasa yang cenderung lebih senang mengajarkan bahasa daripada sastra, kalaupun pengajaran

Page 99: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

93 |

sastra diberikan sebatas teori dan informasi saja. Dengan demikian, antara tujuan yang hendak dicapai dengan pelaksanaan pengajaran di lapangan masih belum berjalan dengan baik. Untuk menanggulangi fenomena tersebut, di samping guru harus terus berupaya lebih meningkatkan kemampuannya dalam sastra, juga perlu dicari teknik dan metode pengajaran sastra yang cocok untuk mencapai tujuan tersebut. Di antara sekian banyak teknik pengajaran sastra, kita mengenal adanya suatu teknik yang berupaya untuk memahami isi wacana atau karya sastra, yaitu teknik analisis wacana kritis atau teknik Critical Discourse Analysis (CDA). Teknik Critical Discourse Analysis (CDA) adalah suatu teknik pembelajaran sastra dengan mengedepankan suatu proses pemahaman untaian kata dan kalimat dalam wacana secara analitis. Sebagaimana proses membaca pada umumnya, dalam kegiatan membaca wacana sastra, pembaca mesti berusaha memahami gambaran makna dan satuan-satuan pengertian dalam wacana sehingga membuahkan pemahaman tertentu. Di samping itu siswa diarahkan pada suatu proses kemampuan merekonstruksi pemahaman secara baik. Dalam pembentukan ulang pemahaman, pembaca seyogyanya tidak sekadar melakukan rekonstruksi makna dalam wacana. Gambaran makna dan pengertian dalam wacana tersebut oleh pembaca perlu dihubungkan dan diperbandingkan dengan kenyataan yang ada pada masa sekarang, dengan kenyataan masa lalu, maupun kemungkinan pertaliannya dengan yang akan datang. Dikaitkan dengan karakteristik kelas mata pelajaran bahasa dan sastra, model CDA hendaknya dipandang sebagai bentuk relasi sosial. Artinya, melalui interaksi belajar-mengajar terjadi hubungan yang dinamis antara wacana sastra dengan murid, wacana sastra dengan pengajar, pengajar dengan murid, atau murid dengan murid dengan refleksi kehidupan sosial sesuai dengan nuansa pembelajaran dan tujuan yang hendak dicapai. Dalam hal ini pembelajaran tidak lagi bernuansa hapalan, sekadar penjelasan dan tanya jawab, namun lebih dari itu pembelajaran yang berlangsung hendaknya ditandai ciri responsif dan kolaboratif. Dalam pembelajaran ini, murid dan pengajar bersama-sama memberikan tanggapan terhadap fakta yang dipelajarinya, termasuk dalam hal penentuan materi yang dipelajari. Dengan model pembelajaran seperti itu diharapkan insteraksi belajar-mengajar dapat mengarah pada terciptanya komunikasi dalam konteks konstruksi sosial. Komunikasi dalam kelas itu didasarkan pada konstruksi sosial melalui kegiatan membaca, menyimak, berbicara, dan menulis secara terpadu. Berdasarkan pada uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berkenaan dengan penggunaan teknik teknik analisis wacana kritis atau teknik

Page 100: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 94

Critical Discourse Analysis (CDA) dalam pembelajaran sastra khususnya dalam pembelajaran cerpen di kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong tahun ajaran 2005-2006. Berdasarkan latar belakang di atas penulis merumusan masalah dalam penelitin ini adalah sebagai berikut “Apakah penggunaan teknik analisis wacana kritis atau Critical Discource Analysis (CDA) mampu meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran membaca cerpen di kelas VIII SMPN 2 Leuwiggong Garut tahun ajaran 2005-2006?”. Lebih jelasnya rumusan masalah tersebut penulis jabarkan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut ini (1) Bagaimanakah kemampuan pemahaman membaca cerpen sebelum menggunakan teknik analisis wacana kritis atau Critical Discource Analysis (CDA) pada siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong Tahun Pelajaran 2005-2006?; (2) Bagaimanakah kemampuan pemahaman membaca cerpen setelah menggunakan teknik analisis wacana kritis atau Critical Discource Analysis (CDA) pada siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong Tahun Pelajaran 2005-2006?; dan (3) Apakah terdapat perbedaan hasil pembelajaran pemahaman cerpen antara sebelum dan sesudah menggunakan teknik analisis wacana kritis atau Critical Discource Analysis (CDA) pada siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong Tahun Pelajaran 2005-2006? Penulis menetapkan tujuan penelitian seperti di bawah ini: (1) Untuk mengetahui kemampuan membaca cerpen sebelum menggunakan teknik analisis wacana kritis atau Critical Discource Analysis (CDA) pada siswa Kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong Tahun Ajaran 2005-2006.; (2) Untuk mengetahui kemampuan membaca cerpen setelah menggunakan teknik analisis wacana kritis atau Critical Discource Analysis (CDA) pada siswa Kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong Tahun Ajaran 2005-2006; dan (3) Untuk mengetahui perbedaan hasil pembelajaran pemahaman membaca cerpen sebelum dan sesudah meggunakan teknik analisis wacana kritis atau Critical Discource Analysis (CDA) pada siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong Tahun Ajaran 2005-2006. KAJIAN TEORETIS 1. Critical Discourse Analysis (CDA) sebagai Teknik Pembelajaran

Dikaitkan dengan karakteristik kelas mata pelajaran bahasa dan sastra, teknik CDA hendaknya dipandang sebagai bentuk relasi sosial. Artinya, melalui interaksi belajar-mengajar terjadi hubungan yang dinamis antara wacana sastra dengan murid, wacana sastra dengan pengajar, pengajar dengan murid, atau murid dengan murid dengan refleksi kehidupan sosial sesuai dengan nuansa

Page 101: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

95 |

pembelajaran dan tujuan yang hendak dicapai. Dalam hal ini pembelajaran tidak lagi bernuansa hafalan, sekadar penjelasan dan tanya jawab, namun lebih dari itu pembelajaran yang berlangsung hendaknya ditandai ciri responsif dan kolaboratif. Dalam pembelajaran yang demikian itu, murid dan pengajar bersama-sama memberikan tanggapan terhadap fakta yang dipelajarinya—termasuk dalam hal penentuan materi yang dipelajari. Dengan teknik pembelajaran seperti itu diharapkan insteraksi belajar-mengajar dapat mengarah pada terciptanya komunikasi dalam konteks konstruksi sosial. Komunikasi dalam kelas itu didasarkan pada konstruksi sosial melalui kegiatan membaca, menyimak, berbicara, dan menulis secara terpadu. Pembelajaran apresiasi sastra di kelas dengan menggunakan teknik CDA, menurut Aminuddin (2000:50—51) hendaknya memperhatikan dan memenuni persyaratan sebagai berikut. (1) Pembelajaran sastra di kelas ditandai oleh terdapatnya aktivitas membaca karya sastra, baik itu dilakukan oleh pengajar maupun murid. (2) Pengajar menciptakan kelas pembelajaran sastra sebagai sebuah bentuk hubungan sosial kemanusiaan sehingga dalam pembelajaran terjadi dialog antara murid dengan murid maupun pengajar dengan murid. (3) Pengajar tidak lagi “menggurui” tetapi memberi kesempatan kepada murid untuk menyampaikan pendapatnya secara variatif, baik secara lisan maupun tertulis. (4) Pembelajaran sastra di kelas sungguh-sungguh tampil sebagai sosok pembelajaran yang diisi aktivitas tukar pendapat, refleksi pemahaman, proses penyusunan pengertian, mengkomunikasikan fakta, pendapat dan pemahaman secara lisan maupun tertulis. Dengan aktivitas seperti itu, lanjut Aminuddin, diharapkan akan mendorong munculnya aktivitas murid yang satu dengan yang lain untuk (1) saling menceritakan pengalaman dan pemahamannya setelah membaca karya sastra; (2) bekerja sama membentuk pemahaman dan membuat kesimpulan tentang pesan ataupun makna tersirat dalam karya sastra tertentu; (3) bertukar pendapat dalam memberikan penilaian terhadap makna dalam wacana sastra tertentu; dan (4) bekerja sama dalam menuliskan pemahaman dan komentar terhadap suatu karya sastra, baik pada tahap perencanaan, penulisan naskah awal (draft), maupun sewaktu revisi dan penyuntingan. Dalam CDA, pembelajaran sastra dapat dilakukan dengan tata cara sebagai berikut : a. Pemahaman untaian kata dan kalimat dalam wacana secara analitis.

Sebagaimana proses membaca pada umumnya, dalam kegiatan membaca wacana sastra, pembaca harus berusaha memahami gambaran makna dan satuan-satuan pengertian dalam wacana sehingga membuahkan

Page 102: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 96

pemahaman tertentu. Pemahamannya dinyatakan bersifat analitis karena nilai kebenarannya tidak harus diujikan pada kenyataan-kenyataan kongkret secara langsung

b. Penguntaian asosiasi semantis dalam wacana dengan konteks, wacana lain secara intertertekstual, maupun pola-pola anggapan yang terkait dengan praanggapan logis, semantis, maupun pragmatis. Dalam proses memahami karya sastra, penafsiran dan pengambilan kesimpulannya perlu memperhatikan hubungan kata dan kalimat dalam keseluruhan wacananya. Dalam proses penafsiran dan penyimpulan itu pembaca juga perlu mengerahkan khazanah pengetahuan yang dimiliki, apakah itu terkait dengan wacana filsafat, sejarah, agama maupun informasi dari majalah serta koran sebagai informasi yang dapat dimanfaatkan sebagai dasar penafsiran.

c. Asumsi implisit yang melatarbelakangi, ciri koherensinya dengan makna dalam wacana, dan inferensi. Ketika membaca wacana, pembaca perlu membentuk asumsi sebagai anggapan dasar yang mengarahkan proses pemaknaan yang dilakukannya. Asumsi tersebut misalnya, karya sastra merupakan bayang-bayang realitas yang dapat menghadirkan gambaran dan refleksi berbagai permasalahan dalam kehidupan. Berdasarkan asumsi demikian, maka kegiatan membaca yang dilakukan haruslah diarahkan untuk berusaha mengeksplisitkan bayang-bayang dengan disertai upaya menggambarkan berbagai permasalahan kehidupan yang termuat di dalamnya. Proses pemaknaannya juga perlu memperhatikan kesatuan hubungan isi dan pengambilan kesimpulan yang dapat dipertanggung-jawabkan secara logis.

d. Rekonstruksi pemahaman secara hermeneutis. Dalam pembentukan ulang pemahaman, pembaca seyogyanya bukan semata-mata melakukan rekonstruksi makna dalam wacana. Gambaran makna dan pengertian dalam wacana tersebut oleh pembaca perlu dihubungkan dan diperbandingkan dengan kenyataan yang ada pada masa sekarang, dengan kenyataan masa lalu, maupun kemungkinan pertaliannya dengan yang akan datang (Aminuddin, 2000:52—53).

Dengan teknik CDA, meminjam pernyataan Sayuti (2000:60) “Hakikat penyelenggaraan pendidikan harus dikembalikan kepada khitah-nya, yakni mengkondisikan manusia-didik mencapai kepribadiannya”. Dengan cara demikian, pendidikan merupakan proses pembudayaan dan karenanya, harus berorientasi pada tumbuh-kembangnya kesadaran budaya. Pendidikan sebagai proses pembudayaan untuk mencapai perkembangan kepribadian murid mengandaikan

Page 103: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

97 |

adanya visi dan misi pengajar untuk mengubah dan memperbarui keadaan, sekaligus menyadarkan dan membebaskan siswa dan pengajar dari berbagai “keterpaksaan” di dalam proses belajar-mengajar. Pada satu sisi upaya pengembangan itu mengandung tindakan-tindakan kongkret, dan pada sisi lainnya, secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran terhadap realitas yang menumbuhkan hasrat untuk mengubahnya. Pembelajaran sastra dengan teknik CDA mengisyaratkan adanya hak-hak para murid untuk memperhitungkan latar belakang pengalaman dan pengetahuannya masing-masing dalam menyusun makna wacana sastra. Caranya, meminjam pendapat Sayuti (2000:62—63), “para murid tersebut ‘memanggil kembali’ skema internal yang telah mereka miliki dan mengoperasikannya tatkala berhadapan dengan wacana tertentu dalam rangka pemahamannya”. Melalui ‘transaksi-transaksi’-nya dengan wacana sastra, para murid menyusun makna dalam rentangan kemungkinan yang disediakan oleh wacana sastra tersebut. Terdapat “konstruk baru”, makna baru yang disusun berdasarkan atas serpihan wacana sastra yang digelutinya. Transaksi itu pada hakikatnya merupakan konversasi atau dialog terus-menerus antara wacana sastra dan siswa yang belajar, atau menurut Sayuti (2000:63): “sebuah negosiasi antara apa yang diketahui pembaca dan apa yang disajikan teks”. Akan tetapi, harus diwaspadai, bahwa membangun negosiasi antara pembaca dan wacana sastra tidak pernah bisa dikerjakan dalam satu situasi yang terisolasi dari lingkungan sosial tempat pembacaan dan pembelajaran sastra berlangsung. Itulah sebabnya, menurut Sayuti (2000:63) “membangun negosiasi juga meniscayakan adanya perubahan yang sinambung mengenai hal yang sebelumnya telah dihipotesiskan”. Makna dalam sastra adalah sebuah opini dan opini hanya dapat diperoleh melalui negosiasi yang dikembangkan dalam strategi transaksional. Implikasinya, selama pembelajaran sastra belangsung, para pengajar memberi kesempatan kepada murid untuk “menduga-duga” (dengan hipotesis atau asumsi-asumsi) makna sastra yang mereka baca, merefleksikan dan membuat proses berpikir mereka eksplisit. Untuk itu, para murid dapat dibantu untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan “kritisnya” secara aktif dan jika diperlukan menyanggah makna wacana sastra yang mereka baca: murid-murid dibawa masuk ke dalam situasi “perseteruan” dengan wacana sastra yang dibacanya. Implikasi seperti itu, menurut Sayuti (2000:64) dapat dilakukan melalui cara (1) Memformulasikan teka-teki mereka sendiri dan bukannya menjawab pertanyaan pengajarnya; (2) Melakukan spekulasi dan merumuskan hipotesis. Cara ini merupakan aktivitas yang diarahkan melalui metode-metode pembelajaran tertentu, yakni metode yang menghindarkan diri dari sifat memberikan hukuman jika siswa melakukan kesalahan (menurut versi pengajarnya); dan (3) Mencocokkan

Page 104: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 98

ideologi-ideologi tekstual dengan ideologi yang dimiliki oleh para siswa, misalnya saja dengan mengajukan pertanyaan “Siapa yang berbicara kepada siapa, kapan, di mana, mengapa?”, “Desain apa yang dimiliki teks ini menurut pendapat saya, seharusnyakah saya menentang dan berseteru dengannya?”. Semua itu harus diarahkan pada pemenuhan fungsi utamanya, yakni edukatif dan kultural. Untuk itu pembelajaran yang memandang wacana sastra sebagai sesuatu yang problematik dapat dirancang, yakni dengan teknik “Analisis Wacana Kritis” (CDA). Dengan cara demikian, “dominasi” pengajar yang selama ini “berkuasa” dalam proses pembelajaran apresiasi sastra dapat dihindari. Ruang kelas dapat dijadikan tempat perbedaan atau “perseteruan” gagasan, makna, dan nilai-nilai dalam konteks dialektika budaya. Dalam praktik pembelajaran di kelas, wacana sastra dapat didekonstruksi dan kemudian direkonstruksi, karena wacana sastra dan pembacanya dipandang sebagai sesuatu yang problematik. 2. Implementasi Teknik CDA dalam Pembelajaran Cerpen Sebagai sebuah teknik, CDA dapat diimplementasikan (diaplikasikan) pada pembelajaran sastra Indonesia dan daerah. Oleh karena pembelajaran sastra Indonesia telah lazim dibahas, dalam kesempatan ini akan dikemukakan implementasi teknik CDA dalam pembelajaran sastra khususnya pembelajaran cerpen. Dalam praktik pembelajaran dengan teknik CDA, wacana cerpen “dihadirkan” di dalam kelas. Murid atau pengajar dapat membacanya dan murid lain menyimak dengan sebaik-baiknya. Pengajar dalam mengantarkan kegiatan pembelajaran, tidak perlu berceramah panjang-lebar, melainkan informasi yang diberikan oleh pengajar menyangkut hal-hal yang penting saja. Misalnya, (1) aktivitas apa yang akan dikerjakan murid saat itu, (2) tujuan aktivitas pembelajaran, dan (3) bentuk-bentuk aktivitas yang harus dilakukan oleh murid sehubungan dengan pembelajaran teknik CDA. Wacana cerpen, sebagai teks sastra yang, tentulah di dalamnya terdapat berbagai anasir sastrawi, seperti tema dan amanat berupa pesan-pesan yang secara tersurat atau tersirat. Hal-hal itulah yang seyogianya dijadikan “bahan” aktivitas membaca, menyimak, berbicara, dan menulis bagi siswa. Pendeknya, dalam pembelajaran teknik CDA siswa dimungkinkan mendapatkan makna “rekreasi” (mendapatkan “kenikmatan” dan berkesempatan melakukan “rekreasi” (melakukan penciptaan kembali sesuai dengan makna dan pesan yang berhasil diapresiasi oleh murid-murid) (bandingkan Sudaryono, 2000:57—76). Jadi, alur kegiatan pembelajaran teknik CDA adalah: (1) membaca (wacana cerpen); (2) menyimak (secara intensif);

Page 105: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

99 |

(3) berbicara (berdiskusi sesama murid lain dan pengajar); dan (4) menulis (kreatif, yang mengarah pada penciptaan kembali makna-makna yang berhasil dipahaminya). Pada tahap pertama, pengajar dapat memberi kesempatan kepada salah seorang siswa, untuk membacakan wacana cerita pendek dan para siswa lainya menyimaknya. Sebagai variasi, pengajar dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk “memaparkan kembali” cerita pendek tersebut ke dalam bahasanya sendiri. Tujuan “pemaparan” ini ialah agar siswa lain dapat mengikuti proses pembelajaran. Selain itu, dengan “pemaparan” itu dimungkinkan proses komunikasi diharapkan dapat berjalan dengan lancar. Tahap pertama itu diikuti tahap kedua, yakni seluruh siswa melakukan penyimakan pembacaan cerita pendek. Hal-hal yang perlu disimak ialah tema dan pesan (makna) yang ada di dalam wacana, dan berbagai hal yang dipandang penting oleh pengajar. Sebaiknya, sebelum atau setelah pembacaan wacana cerita yang dipilih, pengajar memberikan informasi yang secukupnya tentang latar belakang sosial budaya wacana cerita yang dipilih. Informasi yang diberikan oleh pengajar ini penting agar “makna” yang diperoleh siswa benar-benar tepat sesuai dengan konteks ceritanya. Tahap ketiga, pengajar memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan diskusi, yakni mendiskusikan hasil pemaknaan masing-masing siswa terhadap cerita pendek yang dibaca. Dalam berdiskusi, prinsip “kebebasan berpendapat” hendaknya menjadi perhatian pengajar. Dalam konteks ini, tidak ada pendapat yang “salah” atau pendapat yang “benar” lebih-lebih benar atau salah menurut versi pengajar. Pengajar sejauh mungkin memberikan kebebasan bagi siswa untuk berpendapat mengemukakan hasil pemaknaannya masing-masing. Kedudukan pengajar dalam hal ini ialah sebagai dinamisator, motor, dan motivator agar pembicaraan tidak sampai kendor. Dengan kegiatan ini siswa diharapkan memiliki keterampilan berbicara. Tahap terakhir, pengajar memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan “rekreasi”, yakni penciptaan kembali sebuah cerita, atau hasil pemaknaan, dalam bentuk tulisan kreatif. Sekali lagi, dalam hal ini pengajar berkedudukan sebagai dinamisator, motor, dan motivator bagi siswa. Dengan kegiatan ini, siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengkomunikasikan segala sesuatu yang dipandang berharga dan bernilai sebagai manifestasi hasil pemaknaan terhadap wacana cerita yang diangkat sebagai bahan pembelajaran. Dengan kegiatan ini diharapkan siswa dapat menguasai keterampilan menulis.

Page 106: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 100

Dengan langkah-langkah kegiatan seperti itu siswa dapat diharapkan mencapai tingkat (1) menggemari karya sastra, (2) tingkat menikmati karya sastra, (3) tingkat mereaksi karya sastra, dan (4) tingkat menghasilkan karya sastra. Dalam tingkat menggemari ditunjukkan oleh adanya indikator bahwa siswa mulai gemar terhadap karya sastra. Dalam tingkat menikmati karya sastra, seseorang siswa mulai dapat menikmati karya sastra karena pengertian sudah mulai tumbuh. Tingkat mereaksi ditandai oleh adanya keinginan siswa untuk menyatakan pendapatnya tentang wacana sastra yang telah dinikmati (diapresiasi). Tingkatan menghasilkan ditandai oleh adanya keinginan siswa untuk menghasilkan (menulis) wacana sastra. METODE DAN TEKNIK PENELITIAN Untuk menguji permasalahan di atas, penulis akan menggunakan metode true experimental yang merupakan salah satu kelompok dari metode eksperimen. Metode ekperimental dalam penelitian ini menggunakan desain One group pre-test post-test design. Perbedaan antara observasi sebelum eksperimen dan setelah eksperimen diasumsikan merupakan efek dari treatmen atau perlakuan. Desain penelitian ini dapat penulis gambarkan sebagai berikut. E O1 X O2 (Suharsimi, 2002:78) Populasi dan Sampel 1. Populasi Yang dimaksud populasi menurut Surahmad (1989 : 93) adalah sebagai berikut: Karena tidak mungkinnya penyelidikan selalu langsung menyelidiki segenap populasi, padahal tujuan penyelidikan adalah menemukan generasi yang berlaku secara umum, maka sering kali penyelidikan terpaksa menggunakan sebagian saja dari populasi yaitu sebuah sampel yang dapat dipandang representatif terhadap populasi. Sedangkan yang dimaksud populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwiggong Garut tahun pelajaran 2005-2006 yang berjumlah empat kelas. 2. Sampel

Page 107: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

101 |

Untuk menentukan banyaknya sampel dalam penelitian ini, mengingat bahwa penelitian ini bermaksud untuk melakukan uji coba suatu teknik pembelajaran maka penulis mengambil sampel dalam bentuk kelas, yaitu mengambil satu kelas sebagai sampel dalam penelitian ini. Penarikan sampel ini dilakukan dengan teknik random sampling yaitu penarikan sampel secara acak yang didasarkan pada kelas atau kelompok. Dari hasil pengundian tersebut, yang terpilih untuk menjadi sampel adalah kelas VIII-C. Teknik Pengolahan Data Teknik pengolahan data yang penulis lakukan pada penelitian ini adalah teknik pengolahan data kuantitatif. Teknik kuantitatif penulis maksudkan untuk membandingkan keberhasilan belajar siswa dalam pengajaran cerpen . Pengolahan data penulis lakukan mulai dari penginventarisasian data yang masuk, kemudian data tersebut diseleksi. Data-data tersebut berupa hasil pengajaran berupa nilai pemahaman terhadap cerpen. Rumus statistik yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah rumus mean (rata-rata) dan t tes untuk membandingkan keberhasilan belajar siswa antara sebelum dan sesuadah pembelajaran dengan menggunakan teknik analisis wacana kritis atau Critical Discource Analysis (CDA). Rumus tersebut adalah sebagai berikut: Uji t atau t tes (Arikunto, 2002:275) Dimana : Md = mean dari perbedaan tes awal dan tes akhir rumus yang digunakan yaitu:

N

dMd

d = jumlah keseluruhan nilai beda xd = deviasi masing-masing subjek (d – Md)

x2d = jumlah kuadrat deviasi N = subjek pada sampel Instrumen Penelitian Bentuk instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, terdiri atas dua bentuk instrumen, yaitu instrumen pelaksanaan pembelajaran dan instrumen tes.

)1(

2

NN

dx

Mdt

Page 108: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 102

Instrumen pelaksanaan pembelajaran digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yaitu berentuk desain pembelajaran. Sementara itu instrumen tes digunakan untuk mengukur pemahaman siswa dalam memahami sebuah cerpen. HAIL PENELITIAN Berdasarkan deskripsi data baik pemahaman membaca siswa sebelum pembelajaran maupun setelah pembelajaran, diketahui bahwa pemahaman membaca siswa setelah pembelajaran dengan menggunakan teknik analisis wacana kritis lebih baik jika dibandingkan dengan sebelum pembelajaran. Hasil tes kemampuan pemahaman membaca sebelum pembelajaran mencapai rata-rata 5,1 sementara pada akhir pembelajaran dicapai rata-rata 7,02, maka terjadi peningkatan kemampuan pemahaman bacaan sebesar 1,91. Rekapitulasi perbandingan kemampuan pemahaman membaca sebelum dan setelah pembelajaran penulis visualisasikan pada tabel berikut ini.

Tabel 1 Rekapitulasi Rata-rata Tes Awal dan Tes Akhir

Kemampuan Pemahaman Membaca Perbandingan kemampuan pemahaman bacaan tersebut divisualisasikan dalam bentuk grafik di bawah ini.

Kriteria Penilaian Tes Awal Tes Akhir Selisih

Tema 45,47 79,49 34,02

Alur 49,23 75,73 26,5

Tokoh 54,7 76,75 22,05

Amanat 51,97 62,39 10,42

Sinopsis 52,31 65 12,69

Nilai 51,1 70,2 19,1

0

50

100

Tema Tokoh Sinop

Nilai

Kriteria Penilaian

Grafik Perbandingan Kemampuan Pemahaman Bacaan

Tes Awal

Tes Akhir

Page 109: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

103 |

Grafik 4.1 Perbandingan Kemampuan Pemahaman Bacaan Berdasarkan tabulasi dan grafik di atas, tampak terjadinya perubahan antara kemampuan awal siswa sebelum pembelajaran dengan setelah pembelajaran. Secara umum terjadi perbedaan 19,1 antara nilai kemampuan pemahaman bacaan siswa sebelum dan sesudah pembelajaran. Penguasaan siswa terhadap tema dan alur cerita menunjukkan perubahan yang paling besar mencapai 34,02 dan 26,5. Hal ini menunjukkan bahwa dengan teknik analisis wacana kritis kemampuan siswa dalma memahami tema dan alur cerita menunjukkan perubahan yang sangat baik, sementara itu perubahan paling kecil terjadi pada kemampuan siswa memahami amanat yang disampaikan isi cerita yang hanya mencapai 10,42. Hasil pengujian statistic menunjukkan bahwa thitung > ttabel (14,38 > 2,428) pada taraf kepercayaan 95%, sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan siswa dalam memahami cerpen sebelum pembelajaran dan setelah pembelajaran berbeda. Berdasarkan nilai rata-rata kemampuan pemahaman bacaan siswa terhadap cerpen, terungkap bahwa kemampuan pemahaman bacaan siswa terhadap cerpen setelah pembelajaran lebih baik jika dibandingkan dengan sebelum pembelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan teknik membaca analisis wacana kritis efektif dalam meningkatkan kemampuan pemahaman bacaan siswa terhadap cerpen. SIMPULAN Bagian akhir dari tulisan ini, penulis mencoba menarik beberapa simpulan yang didasarkan pada rumusan masalah yang telah dituangkan pada bagian sebelumnya serta dilandasi hasil penelitian. Simpulan yang dapat ditarik dikemukakan di bawah ini. 1. Kemampuan pemahaman membaca cerpen sebelum menggunakan teknik

analisis wacana kritis atau Critical Discaurce Analysis (CDA) pada siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong Tahun Ajaran 2005-2006, menunjukkan kemampuan yang rendah, hal ini ditandai dengan pencapaian rata-rata pemahaman siswa terhadap cerpen yang hanya mencapai 5,11. Beberapa kriteria penilaian dan pencapaian pemahaman siswa terhadap cerpen antara lain rata-rata pemahaman terhadap tema (45,47%), alur cerita dalam cerpen (49,23%), pemahaman terhadap tokoh dan penokohan (54,7%), pemahaman terhadap

Page 110: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 104

amanat yang terkandung dalam cerpen (51,97%) serta kemampuan siswa dalam mengungkapkan kembali isi cerpen (52,31%).

2. Kemampuan pemahaman membaca cerpen setelah menggunakan teknik analisis wacana kritis atau Critical Discaurce Analysis (CDA) pada siswa kelas VIII SMPN 2 Leuwigoong Tahun Ajaran 2005-2006, menunjukkan kemampuan pemahaman bacaan yang baik. Hal ini ditandai dengan pencapaian rata-rata 7,02. Sementara itu, pemahaman siswa terhadap rata-rata tema cerpen dicapai sebesar (79,49%), alur cerita dalam cerpen (75,73%), pemahaman terhadap tokoh dan penokohan (76,75%), pemahaman terhadap amanat yang terkandung dalam cerpen (62,39%) serta kemampuan siswa dalam mengungkapkan kembali isi cerpen (65%)

3. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata pemahaman awal siswa terhadap cerpen dicapai sebesar 51,1 dan pemahaman akhir setelah pembelajaran dicapai rata-rata nilai 70,2, dengan demikian terjadi kenaikan rata-rata kemampuan pemahaman siswa terhadap cerpen sebesar 19,1. Sementara itu berdasarkan hasil perhitungan statistik uji t yang dilakukan diperoleh thitung > ttabel (14,38 > 2,428) pada taraf kepercayaan 95%, sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan siswa dalam memahami cerpen sebelum pembelajaran dan setelah pembelajaran berbeda. Sementara itu diamati dari rata-rata pemahaman siswa terhadap bacaan (cerpen) menunjukkan bahwa penggunaan teknik analisis wacana kritis atau Critical Discaurce Analysis (CDA) efektif dalam meningkatkan pemahaman siswa terhadap karya sastra khususnya cerpen.

Daftar Pustaka

Aminudin. (1987). Pengantar Apresiasi Sastra. Malang: Sinar Baru. Aminuddin. (2000). “Pembelajaran Sastra sebagai Proses Pemberwacanaan dan

Pemahaman Perubahan Ideologi”. Dalam Sudiro Satoto dan Zainuddin Fananie (Eds.). Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan. Surakarta: University Muhamadiyah Press–HISKI Komisariat Surakarta.

Arikunto, Suharsimi. (1996). Prosedur Penelitian Suatau Pendekatan Praktek. Bandung: Rineka Cipta.

Depdikbud. (2004). Kerangka Acuan Pemasyarakatan Kebijaksanaan Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Dharmojo, dkk. (1998). Sastra Lisan Ekagi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

------------- (2005). Critical Discourse Analysis (CDA) Sebagai Model Pembelajaran Sastra. Web site.

Jabrohim (Ed.) (1994). Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kerja sama Pustaka Pelajar dan FPBS IKIP Muhammadiyah.

Kuswinarto. (2001). “Dan Sastrawan pun Tak Lagi Percaya kepada Guru Sastra”. Dalam Asep S. Sambodja, dkk. (Eds.). Cyber Graffiti Kumpulan Esai. Bandung: Yayasan Multimedia Sastra dan Angkasa.

Page 111: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

105 |

Nadeak. (1985). Pengajaran Apresiasi Sastrai. Bandung: Sinar Baru. Nasution, J.U., dkk. (1981). Minat Membaca Sastra Pelajar SMA Kelas III DKI Jakarta.

Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Rahmanto. (1988). Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kansius. Rusyana, Y. (1977/1978). Penelitian Kegiatan Apresiasi Sastra Murid SMA Jawa Barat.

Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Rusyana, Y. (1992). “Bahan Baku dan Pengolahan Bahan Pelajaran Sastra”, makalah pada

Seminar Pengelolalan Bahan Pelajaran Sastra dalam Buku Teks Bahasa dan Sastra Indonesia”. Dikumpulkan dalam Landasan Teori dan Pengolahan Bahan Pelajaran Sastra. Bandung: Program Pascasarjana IKIP Bandung.

Sarjono, A.R. (2000). Beberapa Upaya menggairahkan Pembelajaran Sastra. Dalam Agus R. Sarjono. Sastra dalam Empat Orba (2000, hlm. 207—231). Yogyakarta: Bentang.

Sayuti, S.A. (2000). Menuju Pendidikan dan Pembelajaran Sastra yang Memerdekakan: Catatan Pengantar. Dalam Sudiro Satoto dan Zainuddin Fananie (Eds.). Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan (hlm. 57—65). Surakarta: University Muhamadiyah Press – HISKI Komisariat Surakarta.

Sudaryono, (2000). Strategi “Re-Kreasi” dalam Pengajaran Apresiasi Puisi di Sekolah. Jurnal Ilmiah IMPASMAJA Th. III (6) November: 57—76).

Surachmad. (1989). Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik. Bandung: TarsitoTarigan, H.G. (1984). Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Tarigan. (1985). Pengajaran Morfologi. Angkasa: Bandung.

Page 112: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 106

Page 113: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

107 |

KEANEKARAGAMAN PANTUN DI INDONESIA

Oleh : Dinni Eka Maulina Dosen STKIP Siliwangi Bandung

Abstraksi Dari perbandingan sejumlah pantun Melayu, Sunda, Banjar, dan Betawi, jelaslah bahwa pantun di satu daerah dengan daerah selalu memperlihatkan adanya persamaan dan sekaligus juga perbedaan. Kesamaan umum terletak pada fungsi pantun yang secara sadar digunakan untuk kepentingan menyampaikan pesan-pesan moral dan etika tentang tata kehidupan. Kesamaan lain terletak pada ciri-ciri pantun yang ditandai dengan adanya sampiran dan isi. Hanya, jika sampiran pada pantun Melayu lebih ditujukan untuk mengantarkan isi, tanpa ada kaitan logis antara sampiran dan isi, dalam beberapa kasus, justru berfungsi untuk menegaskan isi. Oleh karena itu, sampiran kadangkala juga bermakna simbolik. Jadi, dengan demikian, kehadiran sampiran tidak sekadar sebagai pengantar memasuki kesamaan bunyi isi, tetapi sekaligus pengantar pada tema atau persoalan yang hendak disampaikan. Dari sejumlah perbandingan itu, makin jelas bagi kita, bahwa pantun selain sebagai sarana menyampaikan pesan moral dan pesan etika, juga di dalamnya merepresentasikan kultur tempatnya. Oleh karena itu, mempelajari pantun sesungguhnya dapat juga dijadikan sebagai pintu masuk untuk memahami kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Begitulah, masyarakat di wilayah Nusantara ini mengenal pantun tanpa meninggalkan ciri budaya tempatannya. Perkara lokalitas, terutama yang menyangkut nama tempat, istilah, dan ungkapan tempatan itulah yang sesungguhnya membedakan pantun dari satu daerah dengan pantun dari daerah yang lain. Meskipun di dalamnya tetap terungkapkan bahwa pantun yang dihasilkan masyarakat di berbagai daerah itu sebagai produk khas budaya mereka, mereka juga umumnya memahami konsepsi pantun dengan tetap mempertahankan adanya sampiran dan isi dengan pola persajakan a-b-a-b.

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah

Pantun bagi masyarakat di kawasan Nusantara ibarat sesuatu yang begitu dekat, tetapi kini terasa jauh ketika budaya populer (low culture) makin menjadi primadona dalam industri hiburan. Dalam kondisi itu, pantun kini laksana pepatah, tak kenal maka tak sayang. Itulah yang terjadi pada pantun. Seolah-olah, ia hanya produk masa lalu yang sudah usang dan tiada berguna. Bahkan, bagi anak-anak muda di Jakarta dan beberapa kota besar di Jawa, pantun

Page 114: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 108

seperti tidak lebih dari sekadar produk budaya Melayu, dan oleh karena itu, dianggap hanya milik orang Melayu. Tentu saja pemahaman itu tidaklah benar. Betul, pantun sepertinya berasal dari tradisi Melayu yang sudah begitu kuat mengakar dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Pantun boleh jadi penyebarannya sejalan dengan perkembangan bahasa Melayu yang menjadi lingua franca di kawasan Nusantara. Boleh jadi karena itu pula, dibandingkan dengan masyarakat di daerah lain, pantun bagi masyarakat Melayu sudah begitu kukuh menyatu dan sebagai media penting dalam menyampaikan nasihat berkenaan dengan tata pergaulan dalam kehidupan bermasyarakat. Di berbagai daerah lain di Nusantara ini, pantunpun sudah dikenal masyarakat dengan sangat baik. Boleh jadi karena pantun mengandungi sampiran dan isi, serta dapat dimanfaatkan dalam berbagai kesempatan dan disampaikan dalam berbagai masa, dalam kegiatan apa pun, dan dilakukan oleh siapapun juga, pantun pada gilirannya paling banyak diminati oleh masyarakat tanpa terikat oleh status sosial, agama, dan usia. Pantun menjadi sarana yang efektif yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Itulah salah satu kelebihan pantun dibandingkan gurindam atau syair. Pantun mudah saja diciptakan oleh setiap anggota masyarakat dengan latar belakang budayanya sendiri. Maka, siapapun dari etnis dan latar belakang budaya mana pun, boleh saja membuat pantun.

2. Rumusan Masalah a. Apa pengertian pantun? b. Bagaimana sejarah pantun masuk ke Indonesia? c. Bagaimana perkembangan Pantun Sunda? d. Nasib buruk pantun Banjar masa kini. e. Apa ciri-ciri yang menonjol dari pantun Betawi?

B. PEMBAHASAN 1. Pengertian Pantun

Zaidan dkk (1994:143) mendefinisikan pantun sebagai jenis puisi lama yang terdiri atas 4 larik dengan rima akhir a/b/a/b. Setiap larik biasanya terdiri atas 4 kata, larik 1-2 merupakan sampiran, larik 3-4 merupakan isi. Berdasarkan ada tidaknya hubungan antara sampiran dan isi ini, pantun dapat dipilah-pilah menjadi 2 genre/jenis, yakni pantun mulia dan pantun tak mulia.

Page 115: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

109 |

Disebut pantun mulia jika sampiran pada larik 1-2 berfungsi sebagai persiapan isi secara fonetis dan sekaligus juga berfungsi sebagai isyarat isi. Sementara, pantun tak mulia adalah pantun yang sampirannya (larik 1-2) berfungsi sebagai persiapan isi secara fonetis saja, tidak ada hubungan semantik apa-apa dengan isi pantun di larik 3-4. Sementara Rani (1996:58) mendefinsikan pantun sebagai jenis puisi lama yang terdiri atas 4 baris dalam satu baitnya. Baris 1-2 adalah sampiran, sedang baris 3-4 adalah isi. Baris 1-3 dan 2-4 saling bersajak akhir vertikal dengan pola a/b/a/b. Hampir semua suku bangsa di tanah air kita memiliki khasan pantunnya masing-masing. Menurut Sunarti (1994:2), orang Jawa menyebutnya parikan, orang Sunda menyebutnya sisindiran atau susualan, orang Mandailing menyebutnya ende-ende, orang Aceh menyebutnya rejong atau boligoni, sementara orang Melayu, Minang, dan Banjar menyebutnya pantun. Dibandingkan dengan genre/jenis puisi rakyat lainnya, pantun merupakan puisi rakyat yang murni berasal dari kecerdasan linguistik lokal genius bangsa Indonesia sendiri. Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang sangat luas dikenal dalam bahasa-bahasa Nusantara. Pantun berasal dari kata patuntun dalam bahasa Minangkabau yang berarti "petuntun". Dalam bahasa Jawa, misalnya, dikenal sebagai parikan, dalam bahasa Sunda dikenal sebagai sisindiran, dan dalam bahasa Batak dikenal sebagai umpasa (baca: uppasa). Lazimnya pantun terdiri atas empat larik (atau empat baris bila dituliskan), setiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, bersajak akhir dengan pola a-b-a-b dan a-a-a-a (tidak boleh a-a-b-b, atau a-b-b-a). Pantun pada mulanya merupakan sastra lisan namun sekarang dijumpai juga pantun yang tertulis. Semua bentuk pantun terdiri atas dua bagian: sampiran dan isi. Sampiran adalah dua baris pertama, kerap kali berkaitan dengan alam (mencirikan budaya agraris masyarakat pendukungnya), dan biasanya tak punya hubungan dengan bagian kedua yang menyampaikan maksud selain untuk mengantarkan rima/sajak. Dua baris terakhir merupakan isi, yang merupakan tujuan dari pantun tersebut. Karmina dan talibun merupakan bentuk kembangan pantun, dalam artian memiliki bagian sampiran dan isi. Karmina merupakan pantun "versi pendek" (hanya dua baris), sedangkan talibun adalah "versi panjang" (enam baris atau lebih). a. Peran Pantun

Page 116: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 110

Sebagai alat pemelihara bahasa, pantun berperan sebagai penjaga fungsi kata dan kemampuan menjaga alur berfikir. Pantun melatih seseorang berfikir tentang makna kata sebelum berujar. Ia juga melatih orang berfikir asosiatif, bahwa suatu kata bisa memiliki kaitan dengan kata yang lain. Secara sosial pantun memiliki fungsi pergaulan yang kuat, bahkan hingga sekarang. Di kalangan pemuda sekarang, kemampuan berpantun biasanya dihargai. Pantun menunjukkan kecepatan seseorang dalam berfikir dan bermain-main dengan kata. Namun demikian, secara umum peran sosial pantun adalah sebagai alat penguat penyampaian pesan. Pantun dapat digunakan sebagai alat komunikasi, untuk menyelusupkan nasihat atau wejangan, atau bahkan untuk melakukan kritik sosial, tanpa mencederai perasaan siapa pun. Itulah kelebihan pantun. “Pantun bukan saja digunakan sebagai alat hiburan, kelakar, sindiran, melampiaskan rasa rindu dendam, tetapi yang lebih menarik ialah peranannya sebagai media dalam menyampaikan tunjuk ajar.”

b. Struktur Pantun Setidak-tidaknya ada 6 kriteria konvensional yang harus dirujuk dalam hal bentuk fisik dan bentuk mental pantun, yakni : 1) Setiap barisnya dibentuk dengan jumlah kata minimal 4 buah. 2) Jumlah baris dalam satu baitnya minimal 2 baris (pantun kilat) dan 4 baris

(pantun biasa dan pantun berkait). 3) Pola formulaik persajakannya merujuk kepada sajak akhir vertikal dengan

pola a/a (pantun kilat), a/a/a/a, a/a/b/b, dan a/b/a/b (pantun biasa dan pantun berkait).

4) Khusus untuk pantun kilat, baris 1 berstatus sampiran dan baris 2 berstatus isi.

5) Khusus untuk pantun biasa dan pantun berkait, baris 1-2 berstatus sampiran dan baris 3-4 berstatus isi.

6) Lebih khusus lagi, pantun berkait ada juga yang semua barisnya berstatus isi, tidak ada yang berstatus sampiran.

Menurut Sutan Takdir Alisjahbana fungsi sampiran terutama menyiapkan rima dan irama untuk mempermudah pendengar memahami isi pantun. Ini dapat dipahami karena pantun merupakan sastra lisan.

Page 117: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

111 |

Meskipun pada umumnya sampiran tak berhubungan dengan isi kadang-kadang bentuk sampiran membayangkan isi. Sebagai contoh dalam pantun di bawah ini: Air dalam bertambah dalam Hujan di hulu belum lagi teduh Hati dendam bertambah dendam Dendam dahulu belum lagi sembuh Beberapa sarjana Eropa berusaha mencari aturan dalam pantun maupun puisi lama lainnya. Misalnya satu larik pantun biasanya terdiri atas 4-6 kata dan 8-12 suku kata. Namun aturan ini tak selalu berlaku.

c. Jenis Pantun Pantun Adat

Menanam kelapa di pulau Bukum Tinggi sedepa sudah berbuah Adat bermula dengan hukum Hukum bersandar di Kitabullah

Pantun Agama Banyak bulan perkara bulan Tidak semulia bulan puasa Banyak tuhan perkara tuhan Tidak semulia Tuhan Yang Esa

Pantun Budi Apa guna berkain batik Kalau tidak dengan sujinya Apa guna beristeri cantik Kalau tidak dengan budinya

Pantun Jenaka Pantun Jenaka adalah pantun yang bertujuan untuk menghibur orang yang mendengar, terkadang dijadikan sebagai media untuk saling menyindir dalam suasana yang penuh keakraban, sehingga tidak menimbulkan rasa tersinggung, dan dengan pantun jenaka diharapkan suasana akan menjadi semakin riang. Contoh: Jalan-jalan ke rawa-rawa Jika capai duduk di pohon palm Geli hati menahan tawa Melihat katak memakai helm

Pantun Kepahlawanan

Page 118: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 112

Pantun kepahlawanan adalah pantun yang isinya berhubungan dengan semangat kepahlawanan Kalau orang menjaring ungka Rebung seiris akan pengukusnya Kalau arang tercorong kemuka Ujung keris akan penghapusnya

Pantun Kias Kayu tempinis dari kuala Dibawa orang pergi Melaka Berapa manis bernama nira Simpan lama menjadi cuka

Pantun Nasihat Kemuning di tengah balai Bertumbuh terus semakin tinggi Berunding dengan orang tak pandai Bagaikan alu pencungkil duri

Pantun Percintaan Coba-coba menanam mumbang Moga-moga tumbuh kelapa Coba-coba bertanam sayang Moga-moga menjadi cinta

Pantun Peribahasa Ke hulu memotong pagar Jangan terpotong batang durian Cari guru tempat belajar Jangan jadi sesal kemudian

Pantun Teka-teki Kalau tuan bawa keladi Bawakan juga si pucuk rebung Kalau tuan bijak bestari Binatang apa tanduk dihidung ?

Pantun Perpisahan Pucuk pauh delima batu Anak sembilang ditapak tangan Biar jauh dinegeri satu Hilang dimata dihati jangan

2. Sejarah Pantun

Page 119: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

113 |

Sejarah Pantun adalah genre kesusasteraan tradisional Melayu yang berkembang di seluruh dunia khususnya di Nusantara sejak ratusan tahun lampau. Pantun adalah simbol artistik masyarakat Nusantara dan ia adalah lambang kebijaksanaan berfikir. Pantun sering dijadikan sebagai alat komunikasi. Pantun bersifat ringkas, romantik dan mampu mengetengahkan aspirasi masyarakat dengan lebih jelas. Pantun begitu sinonim dengan pemikiran dan kebudayaan masyarakat nusantara dan Malaysia. Di Nusantara, pantun terwujud dalam 39 dialek Melayu dan 25 bukan dialek. Pantun juga didapati turut berkembang di selatan Burma, Kepulauan Cocos, Sri Lanka, Kemboja, Vietnam serta Afrika Selatan (Karena pengaruh imigran dari Indonesia dan Malaysia). Pantun di Malaysia dan Indonesia telah ditulis sekitar empat abad lalu. Malah, ia mungkin berusia lebih tua daripada itu seperti tertulis dalam Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu. Menyedari kepentingan pantun dalam memartabatkan budaya Melayu, kerjasama kebudayaan, kesenian dan warisan negara di Kementerian. Ada pendapat mengatakan bahwa pantun berasal dari bahasa Minangkabau yaitu pantun yang bermaksud pembimbing atau penasihat yang berasaskan sastra lisan dalam pengucapan pepatah yang popular dalam masyarakat tersebut. Sehingga hari ini, pantun sering digunakan dalam upacara peminangan dan perkawinan atau sebagai pembuka atau penutup bicara dalam majelis-majelis resmi. Umumnya terdapat dua jenis utama pantun yaitu pantun berkait dan pantun tidak berkait. Bilangan baris dalam setiap rangkap pantun dikenali sebagai kerat. Lima bentuk utama pantun ialah pantun dua kerat, pantun empat kerat, pantun enam kerat, pantun lapan kerat dan pantun dua belas kerat. Pantun yang popular digunakan ialah pantun dua kerat dan empat kerat. Setiap pantun mempunyai pembayang dan maksud pantun. Pembayang dalam setiap rangkap adalah separuh pertama daripada keseluruhan jumlah baris dalam rangkap berkenaan. Separuh kedua dalam setiap rangkap pantun pula ialah maksud atau isi pantun. Antara ciri-ciri lain yang ada dalam sebuah pantun ialah pembayangnya mempunyai hubungan yang rapat dengan alam dan persekitaran yang rapat dengan pengucapnya seperti yang terdapat dalam contoh pantun dua kerat berikut: Sebab pulut santan terasa,

Page 120: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 114

Sebab mulut badan binasa Rima pantun yang baik berakhir dengan ab,ab. bagi pantun empat kerat dan a,a. bagi pantun dua kerat. Selain pembayang, maksud dan rima, pantun juga terikat dengan hukum suku katanya. Bagi pantun Melayu, suku kata untuk setiap baris antara delapan hingga dua belas suku kata saja. Melalui bentuknya yang hemat dan padat, pantun menjadi alat yang penting untuk menghibur, memberi nasihat dan mengungkapkan perasaan Pantun turut berfungsi sebagai media untuk menyampaikan hasrat seni atau rahasia yang tersembunyi melalui penyampaian yang berkias. Orang melayu mencipta pantun untuk melahirkan perasaan mereka secara berkesan tetapi ringkas, kemas, tepat dan menggunakan bahasa yang indah-indah. Pada zaman dahulu masyarakat melayu belum pandai menulis dan membaca. karena, masyarakat Melayu pada waktu itu belum cerdas. Keadaan ini telah membuktikan bahwa orang melayu sebelum tahu menulis dan membaca telah pandai mencipta dan berbalas-balas pantun antara satu sama lain. Menurut kajian bahawa pada abad yang ke-17 barulah sempurna bentuk, isi, maksud dan alasan pantun itu. 3. Pantun Sunda

Pantun Sunda pengertiannya berbeda dengan pantun Melayu. Pantun Melayu semakna dengan "sisindiran" Sunda, yaitu puisi yang terdiri atas dua bagian; sampiran dan isi. Sedangkan pantun Sunda adalah seni pertunjukan. Pantun adalah cerita tutur dalam bentuk sastra Sunda lama yang disajikan secara paparan (prolog), dialog, dan seringkali dinyanyikan. Seni Pantun itu dilakukan oleh seorang juru pantun (tukang pantun) sambil diiringi alat musik kecapi yang dimainkannya sendiri.

a. Sejarah Pantun Sunda

Seni pantun merupakan seni yang sudah cukup tua usianya. Disebutkan dalam naskah Siksa Kandang Karesyan, yang ditulis pada tahun 1518 Masehi, bahwa pantun telah digunakan sejak zaman Langgalarang, Banyakcatra, dan Siliwangi. Ceritanya pun berkisar tentang cerita-cerita Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi dan lain-lain yang disajikan oleh prepantun (tukang pantun). Pantun terdapat pula pada naskah kuno yang dituturkan oleh Ki Buyut Rambeng, yakni Pantun Bogor. Dalam

Page 121: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

115 |

perkembangannya, cerita-cerita pantun yang dianggap bernilai tinggi itu terus bertambah, seperti cerita Lutung Kasarung, Ciung Wanara, Mundinglaya Dikusumah, Dengdeng pati Jayaperang, Ratu Bungsu Kamajaya, Sumur Bandung, Demung Kalagan dll. Masyarakat Kanekes yang hidup dalam budaya Sunda Kuno sangat akrab dengan seni Pantun. Seni ini melekat sebagai bagian dari ritual mereka. Adapun lakon-lakon suci Pantun Kanekes yang disajikan secara ritual seperti Langgasari Kolot, Langgasari Ngora dan Lutung Kasarung. Seni Pantun yang cukup tua usianya melahirkan beberapa tukang pantun pada setiap zamannya. Di Cianjur misalnya, dikenal nama R. Aria Cikondang (abad ke-17), Aong Jaya Lahiman dan Jayawireja (abad ke-19). Di Bandung terkenal Uce, juru pantun kabupaten Bandung (awal abad ke-20) dan Pantun Beton "Wikatmana" (pertengahan abad ke-20); dan di Bogor terkenal juru pantun Ki Buyut Rombeng. Alat musik yang dipakai mengiringi seni pantun adalah kacapi. Pada mulanya kacapi tersebut sangat sederhana seperti yang terdapat di Baduy, yaitu kacapi kecil berdawai 7 dari kawat. Selanjutnya, sejalan dengan tumbuhnya seni Cianjuran, kacapi tersebut diganti dengan kacapi gelung (tembang), dan akhirnya menggunakan kacapi siter (Jawa). Adapun tangga nada (laras) yang digunakan dalam iringan kacapi tersebut adalah pelog, namun selanjutnya banyak yang menggunakan laras salendro.

b. Pertunjukan Seni Pantun disajikan masyarakat Sunda dalam dua bentuk. Pertama, untuk hiburan, dan kedua untuk acara ritual (ruwatan). Sajian hiburan, ceritanya mengambil dari salah satu cerita pantun yang dikuasai juru pantun, atau atas permintaan penanggap. Sedangkan untuk acara ritual dalam ruwatan, ceritanya sama dengan dalam pertunjukan wayang, yaitu Batara Kala, Kama Salah atau Murwa Kala. Dalam sajian pantun untuk ruwatan (tolak bala) diperuntukkan bagi orang-orang yang termasuk dalam sukerta, di antaranya anak tunggal, anak kembar, lima anak laki-laki, atau untuk keselamatan rumah baru, bangunan baru dan lain-lain. Pertunjukannya biasa dimulai sekitar pukul 02.00 - 05.00. Rajah dalam pertunjukan ruwatan lebih panjang lebih nampak kesakralannya. Sedangkan sajian pantun untuk kepentingan hiburan biasanya diadakan di rumah penanggap yang waktunya pada malam hari. Pertunjukan dimulai pukul 20.00 dan berakhir sekitar pukul 04.00. Sekalipun pertunjukan pantun untuk hiburan, namun tidak sembarangan disajikan. Pantun masih

Page 122: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 116

dianggap oleh masyarakat Sunda memiliki sifat sakral yang selalu dikaitkan dengan upacara penghormatan pada leluhur. Dengan demikian bentuk pertunjukan pantun biasanya masih diikat dengan struktur pertunjukan yang baku dengan lakon yang selalu berkisar tentang raja-raja Sunda atau legenda masyarakat Sunda. Secara umum pola pertunjukan pantun dapat diurutkan sebagai berikut: penyediaan sesajen; ngukus (membakar kemenyan); mengumandangkan rajah pamunah; babak cerita dari pembukaan hingga penutupan; ditutup dengan mengumandangkan rajah pamungkas. Sebagai kesenian yang hidup sejak zaman Hindu sampai Islam yang jadi panutan masyarakat, tak heran jika ungkapan dan ajaran (petuah) ki juru pantun merupakan pembauran keduan zaman itu. Selain isthigfar (Islam) terdengar pula ungkapan kepada dewata, Pohaci, para karuhun (leluhur), buyut dll. Kesenian pantun Sunda yang bercirikan budaya Sunda dengan berbagai aspeknya, terutama aspek kepercayaan Sunda kuno, memberi dampak pada nilai kedudukan seni Pantun di masyarakat Sunda yang berbeda dengan kesenian-kesenian lain. Seni pantun bagi masyarakat Sunda merupakan medium untuk dapat merasakan kembali sebuah masa keemasan sejarah masa lampau masyarakatnya. Dewasa ini perkembangan seni pantun harus diakui sangat memprihatinkan, namun dari sisi lain ada hal yang cukup mengesankan, bahwa seni pantun pun dapat bertahan dengan tidak meleburkan diri menjadi satu bentuk kesenian yang pop/kitchs. Seni pantun dapat bertahan sebagai seni yang adiluhung sekalipun dewasa ini ada sedikit pergeseran-pergeseran dibanding masa lalu, terutama pada fungsinya yang sakral menjadi profan.

c. Daftar Cerita Pantun Sunda 1) Ciung Wanara 2) Lutung Kasarung 3) Mundinglaya di Kusumah 4) Aria Munding Jamparing 5) Banyakcatra 6) Badak Sangorah 7) Badak Singa 8) Bima Manggala

4. Pantun Banjar

Page 123: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

117 |

Pantun Banjar adalah pantun yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar. Bahasa Banjar dituturkan oleh suku Banjar yang umumnya digunakan di Kalimantan Selatan dan provinsi tetangganya serta daerah perantauan suku Banjar. Definisi pantun Banjar menurut rumusan Tajuddin Noor Ganie (2006) adalah puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi khusus yang berlaku dalam khasanah folklor Banjar.

a. Pantun Banjar Masa Kini : Bernasib Buruk Pada zaman sekarang ini, pantun, khususnya pantun Banjar, tidak lagi menjadi puisi rakyat yang fungsional di Kalsel. Sudah puluhan tahun tidak ada lagi forum Baturai Pantun yang digelar secara resmi sebagai ajang adu kreatifitas bagi para Pamantunan yang tinggal di desa-desa di seluruh daerah Kalsel. Pantun Banjar yang masih bertahan hanya pantun adat yang dibacakan pada kesempatan meminang atau mengantar pinengset (bahasa Banjar Patalian). Selebihnya, pantun Banjar cuma diselipkan sebagai sarana retorika bernuansa humor dalam pidato-pidato resmi para pejabat atau dalam naskah-naskah tausiah para ulama. Syukurlah, seiring dengan maraknya otonomi daerah sejak tahun 2000 yang lalu, ada juga para pihak yang mulai peduli dan berusaha untuk menghidupkan kembali Pantun Banjar sebagai sarana retorika yang fungsional (bukan sekedar tempelan). Ada yang berinisiatif menggelar pertunjukan eksibisi Pantun Banjar di berbagai kesempatan formal dan informal, memperkenalkannya melalui publikasi di berbagai koran/majalah, melalui siaran khusus yang bersifat insidental di berbagai stasiun radio milik pemerintah atau swasta, dan ada pula yang berinisiatif mememasukannya sebagai bahan pengajaran muatan lokal di sekolah-sekolah yang ada di seantero daerah Kalsel. Sekarang ini di Kalsel sudah beberapa puluh kali digelar kegiatan lomba tulis Pantun Banjar bagi para peserta di berbagai tingkatan usia. Tidak ketinggalan Stasiun TVRI Banjamasin juga sudah membuka acara Baturai Pantun yang digelar seminggu sekali oleh Bapak H. Adjim Arijadi dengan pembawa acara Jon Tralala, Rahmi Arijadi, dan kawan-kawan

Page 124: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 118

b. Fungsi Sosial Pantun Banjar

Pada masa-masa Kerajaan Banjar masih jaya-jayanya (1526-1860), pantun tidak hanya difungsikan sebagai sarana hiburan rakyat semata, tetapi juga difungsikan sebagai sarana retorika yang sangat fungsional, sehingga para tokoh pimpinan masyarakat formal dan informal harus mempelajari dan menguasainya dengan baik, yakni piawai dalam mengolah kosa-katanya dan piawai pula dalam membacakannya. Tidak hanya itu, di setiap desa juga harus ada orang-orang yang secara khusus menekuni karier sebagai tukang olah dan tukang baca pantun (bahasa Banjar Pamantunan). Uji publik kemampuan atas seorang Pamantunan yang handal dilakukan langsung di depan khalayak ramai dalam ajang adu pantun atau saling bertukar pantun yang dalam bahasa Banjar disebut Baturai Pantun. Para Pamantunan tidak boleh tampil sembarangan, karena yang dipertaruhkan dalam ajang Baturai Pantun ini tidak hanya kehormatan pribadinya semata, tetapi juga kehormatan warga desa yang diwakilinya.

5. Pantun Betawi

Pantun Betawi masih tersebar di wilayah budaya Betawi yang meliputi pinggiran Krawang, Tambun, Bekasi di bagian Timur; Depok, Cimanggis, Cibinong, dan Ciputat di bagian selatan; dan Tanggerang di bagian timur. Adapun di wilayah Jakarta sendiri yang menjadi daerah penelusuran pantun Betawi, dilakukan di kawasan yang diperkirakan masih banyak dihuni masyarakat Betawi asli. Wilayah-wilayah itu meliputi daerah pesisir utara (Marunda, Pasar Ikan, Tanjung Priok), Jakarta Pusat (Tanah Abang, Glodok, Senen), Jakarta Selatan (Condet, Cipete, Pasar Minggu, Pondok Labu, Lenteng Agung, dan perkampungan Betawi di Jagakarsa).

Satu hal yang sangat menonjol dalam pantun Betawi ini adalah kuatnya ciri yang menunjukkan ekspresi yang spontan. Hampir semua sampiran memperlihatkan nada yang demikian. Boleh jadi semangat dan ekspresi spontanitas itu didasari oleh keinginan untuk membangun kesamaan bunyi: a-b-a-b. Oleh karena itu, sampiran umumnya tidak ada kaitannya dengan isi. Sampiran seperti terlontar begitu saja, lepas, bebas, tanpa beban. Perhatikan contoh berikut:

Mbelah nangka di daon waru Daon digelar ama pengejeg Sapa nyangka nasibnya guru Pagi ngajar sorenya ngojeg

Berkenaan dengan isi pantun, sejumlah besar pantun Betawi, selain coba mengungkapkan berbagai nasihat yang berkaitan dengan etika, moral, adab, sopan

Page 125: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

119 |

santun, dan ajaran-ajaran agama, juga begitu banyak memuat kritik sosial. Maka, kita akan melihat, betapa pantun Betawi boleh dikatakan sebagai representasi dinamika kehidupan sosial budaya, dan sejarah masyarakat Betawi. Perhatikan beberapa pantun Betawi berikut ini:

Ke Setu ngorak kecapi Kedebong ditebang sepuun Baru satu dia punya tipi Eh, sombongnya minta ampun Cimuning jalannya redug Abis ujan disamber kilat Baju kuning nyeng nabuh bedug Abis ajan malah gak solat

Masyarakat Betawi menyikapi perubahan zaman dalam tata kehidupan mereka sehari-hari dalam bentuk pantun. Akibatnya, sejumlah pantun, selain memuat kritik sosial dan potret masyarakatnya, juga laksana hendak mengusung semangat egalitarian. Peristiwa apa pun, termasuk kehidupan di dalam rumah tangga, dan hubungan menantu—mertua, dapat disampaikan secara lepas, contohnya:

Buah pinang buah belimbing Betiga ame buah mangga Sungguh senang berbapak suwing Biar marah tertawa juga

Sampiran pada pantun Betawi berfungsi sebagai pengantar pada kesamaan bunyi isi (a-b-a-b). Tetapi, kesan yang muncul pada pantun Betawi adalah kelugasan dan semangat spontanitas, tanpa beban, bebas, lugas, dan terkesan disampaikan sesuka hati. Meskipun demikian, kekhasan pantun Betawi terletak pada isi pantun yang cenderung menjadi sarana untuk mengkritik apa pun, juga tanpa beban. Akibatnya, persoalan apa pun, yang berat atau ringan, dapat dijadikan pantun yang disampaikan secara enteng.

KESIMPULAN

Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang sangat luas dikenal dalam bahasa-bahasa Nusantara. Pantun berasal dari kata patuntun dalam bahasa Minangkabau yang berarti "petuntun". Dalam bahasa Jawa, misalnya, dikenal sebagai parikan, dalam bahasa Sunda dikenal sebagai sisindiran, dan dalam bahasa Batak dikenal sebagai umpasa (baca: uppasa). Masyarakat Betawi juga menyebutnya pantun, meskipun bahasa yang digunakannya adalah bahasa Melayu Betawi. Semangat dan isinya pun dalam beberapa hal, agak berbeda dengan pantun Melayu pada umumnya.

Page 126: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 120

Lazimnya pantun terdiri atas empat larik (atau empat baris bila dituliskan), setiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, bersajak akhir dengan pola a-b-a-b dan a-a-a-a (tidak boleh a-a-b-b, atau a-b-b-a). Pantun pada mulanya merupakan sastra lisan namun sekarang dijumpai juga pantun yang tertulis.

Semua bentuk pantun terdiri atas dua bagian: sampiran dan isi. Sampiran adalah dua baris pertama, kerap kali berkaitan dengan alam (mencirikan budaya agraris masyarakat pendukungnya), dan biasanya tak punya hubungan dengan bagian kedua yang menyampaikan maksud selain untuk mengantarkan rima/sajak. Dua baris terakhir merupakan isi, yang merupakan tujuan dari pantun tersebut.

Pantun Sunda pengertiannya berbeda dengan pantun Melayu. Pantun Melayu semakna dengan "sisindiran" Sunda, yaitu puisi yang terdiri atas dua bagian; sampiran dan isi. Sedangkan pantun Sunda adalah seni pertunjukan. Pantun adalah cerita tutur dalam bentuk sastra Sunda lama yang disajikan secara paparan (prolog), dialog, dan seringkali dinyanyikan. Seni Pantun itu dilakukan oleh seorang juru pantun (tukang pantun) sambil diiringi alat musik kecapi yang dimainkan.

Definisi pantun Banjar menurut rumusan Tajuddin Noor Ganie (2006) adalah puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi khusus yang berlaku dalam khasanah folklor Banjar. Sampiran pada pantun Betawi berfungsi sebagai pengantar pada kesamaan bunyi isi (a-b-a-b), sama halnya dengan pantun Melayu. Tetapi, kesan yang muncul pada pantun Betawi adalah kelugasan dan semangat spontanitas, tanpa beban, bebas, lugas, dan terkesan disampaikan sesuka hati. Meskipun demikian, kekhasan pantun Betawi terletak pada isi pantun yang cenderung menjadi sarana untuk mengkritik apa pun, juga tanpa beban. Akibatnya, persoalan apa pun, yang berat atau ringan, dapat dijadikan pantun yang disampaikan secara enteng.

Mengingat pantun tidak terikat oleh batas usia, status sosial, agama atau suku bangsa, maka pantun, dapat dihasilkan atau dinikmati semua orang, dalam situasi apa pun, dan untuk keperluan yang bermacam-macam sesuai kebutuhan. Berbagai suku bangsa di wilayah Nusantara ini mengenal pantun dan kemudian memproduksi sendiri dengan menggunakan bahasanya, idiom-idiomnya, dan nama-nama tempat yang berada di sekitarnya. Maka, selain pantun Melayu yang sudah sangat terkenal itu, kita juga mengenal pantun Sunda, Banjar, dan, Betawi.

DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana, Sutan Takdir. 1961. Puisi Lama. Djakarta: Pustaka Rakjat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:

Balai Pustaka.

Page 127: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

121 |

Dhakidae, Daniel. 2006. “Sampiran, Isi, dan Sisi-Sisi Kehidupan menurut Pantun.” John Gawa. Kebijakan dalam 1001 Pantun. Jakarta: Buku Kompas.

Gawa, John. 2006. Kebijakan dalam 1001 Pantun. Jakarta: Buku Kompas. http://id. wikipidia.org Junus, Hasan. 2001. Pantun-Pantun Melayu Kuno, Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau. Mahayana, Maman S. 2005. “Lebih Jauh tentang Pantun,” Sembilan Jawaban Sastra

Indonesia, Jakarta: Bening Publishing.

Mahayana, Maman S., dkk. 2008. Pantun Betawi: Refleksi Dinamika Sosial Budaya Masyarakat dalam Pantun Melayu—Betawi. Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.

Nurdin, Ade, dkk.2002. Intisari Bahasa dan Sastra Indonesia, Bandung: Pustaka Setia. Rosidi, Ajip, dkk. 2000. Ensiklopedi Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya. Sujana, Nana. 2008. Tuntunan Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: Sinar Baru Algesindo. ———————— 2004. Pantun Melayu. Jakarta: Balai Pustaka. ————————- (Ed.). 2008. Pantun di Negeri Pantun. Jakarta: Yayasan Panggung Melayu.

Page 128: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 122

Page 129: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

123 |

PENGACUAN DALAM WACANA TULIS DI FACEBOOK

Oleh : Eulis Anggia Budiarti

Program Studi Bahasa Indonesia Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstract:

This research includes qualitative research on the types of written discourse on facebook regarding the use of marker variation reference cohesion. The method used is the method intended by agih Sudaryanto (1993: 15), to analyze and interpret text using the theory of discourse analysis as Teun van Dijk microstruktur basis at the level of reference. Techniques of data analysis techniques used in the form disappeared, engineering change, read markup techniques. From the results of discourse analysis in the type and form reference bookmarks. Reference marker types based on where it comes endofora reference, while according to the type includes (1) reference first persona, a persona the second, and third person, (2) reference demonstrative public bookmarks, bookmark the pronouns, pronouns bookmark affairs, and the clock, and ( 3) reference comparative ekuatif level, the level of comparative, and superlative level. Being reference marker contained in the written discourse found in the facebook include saya, aku, -ku, gue, kita, kamu, anda, kau-, -mu, sampean, ente, you, antum, dia, -nya, mereka, ini, itu, sini, situ, begini, begitu, saat ini, hari ini, kaya, macam, seperti, lebih…, kurang…., paling, dan semakin. Keywords: facebook, discourse analysis, reference type, form reference

Jejaring Sosial elektronik yang paling digemari masyarakat Indonesia akhir-akhir ini adalah facebook. Perkembangan facebook paling menyolok dibanding dengan layanan internet pada jejaring sosial lainnya seperti friendster, Myspace, Hi5, Twitter, Linkedl, Bebo, Fupei, dan Digli yang sudah mulai ditinggalkan para penggemarnya. Sebagai alat komunikasi tertulis elektronik facebook digemari karena keunggulannya dalam berbagai layanan dan fasilitas jejaring sosial yang mempermudah hubungan sosial. Dalam berbagai situs ensiklopedia menyebut-kan bahwa jejaring sosial atau jaringan sosial adalah suatu struktur sosial yang dibentuk dari simpul-simpul (umumnya adalah individu atau organissasi) yang diikat dengan satu atau lebih tipe relasi spesifik seperti nilai, visi, teman, keturunan, dan lain-lain.

Page 130: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 124

Berbagai bidang akademik penelitian telah membuktikan bahwa jaringan sosial beroprasi pada banyak tingkatan, mulai dari individu, keluarga, kelompok atau grup hingga negara. Jejaring sosial ini memegang peranan penting dalam menentukan cara menyelesaikan masalah, menjalankan organisasi, serta derajat keberhasilan seorang individu dalam mencapai tujuan. Banyak kata terlontar di dinding status, atau komentar pengguna facebook. Komentar tersebut ditulis oleh berbagai kalangan, status sosial, usia, profesi, golongan atau grup tertentu. Hal inilah yang menyebabkan facebook memuat tulisan yang beragam dan unik. Dengan beragam deskripsi di atas, tentu saja facebook menjadi menarik untuk dianalisi keragaman wacananya. Analisis wacana pada facebook dipandang sebagai kecenderungan “baru” dalam telaah bahasa secara alami. Dikatakan demikian karena analisis wacana pada hakikatnya merupakan kajian tentang fungsi bahasa atau penggunaan bahasa sebagai sarana komunikasi. Sebagaimana ditegaskan pula oleh Halliday dan Hasan (1992: 6) bahwa jalan menuju pemahaman tentang bahasa terletak dalam kajian teks (wacana). Analisis wacana sebagai suatu kegiatan yang dilakukan untuk memahami fungsi bahasa tersebut merupakan proses yang rumit. Untuk memahami fungsi bahasa, seorang penganalisis tidak saja dituntut memiliki pamahaman terhadap ungkapan-ungkapan verbal (faktor-faktor linguistik), namun juga ungkapan nonverbal (faktor-faktor non-linguistik). Kedua faktor tersebut saling berinteraksi dalam membangun sebuah wacana yang koheren. Hubungan antarkalimat dalam sebuah wacana tulis tersusun berkesinambungan dan membentuk suatu kepaduan. Oleh karena itu, kepaduan makna dan kerapian bentuk pada wacana tulis merupakan salah satuf aktor yang penting dalam rangka meningkatkan tingkat keterbacaan. Informasi yang disampaikan melalui wacana tulis tentu mempunyai perbedaan dengan infomasi yang disampaikan secara lisan. Perbedaan itu ditandai oleh adanya keterkaitan antar proposisi. Keterkaitan dalam wacana tulis dinyatakan secara eksplisit yang merupakan rangkaian antarkalimat secara gramatikal. Adapun untuk bahasa lisan keterikatan itu dinyatakan secara implisit, di mana kejelasan informasi akan didukung oleh konteks. Berdasakan pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa bahasa tulis, mementingkan keterkaitan kalimat sebagai unsur pembangun wacana. Keterkaitan tersebut dirangkaikan secara runtut sehingga menjadi wacana yang mempunyai kepaduan, baik secara bentuk ataupun secara makna. Kelompok kata belum tentu disebut

Page 131: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

125 |

wacana bila rentetan itu tidak memberikan informasi yang lengkap unsur-unsur yang membangun wacana. Hubungan antarkalimat dalam wacana tulis harus selalu diperhatikan untuk memelihara keterkaitan dan keruntutan antarkalimat. Di dalam ilmu bahasa keterkaitan dan kerapian bentuk dinamakan kohesi dan koherensi. Di dalam manifestasi fonetisnya kohesi dan koherensi memiliki peran yang sangat vital untuk memelihara keterkaitan antarkalimat, sehingga wacana menjadi padu, setiap unsur dalam teks harus menyatakan konsep ikatan (Nunan 1992:6). Dengan demikian, kalimat yang terdapat dalam wacana harus saling berkaitan. Baryadi (2002:17) mengemukakan bahwa untuk menciptakan keutuhan, bagian wacana harus saling berhubungan. Sejalan dengan pandangan bahwa bahasa itu terdiri dari bentuk (form) dan makna (meaning), hubungan dalam wacana dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu hubungan bentuk yang disebut kohesi (cohesion) dan hubungan makna atau hubungan semantis yang disebut koherensi (coherence). Salah satu hubungan bentuk dalam sebuah wacana dapat dilakukan dengan menggunakan penanda pengacuan. Hubungan pengacuan menandai hubungan kohesif wacana melalui pengacuan. Sumarlam (2003:23) menyebut-kan bahwa pengacuan atau pengacuan adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual yang lain (atau suatu acuan) yang mendahului atau mengikutinya. Dalam wacana tulis terdapat berbagai unsur seperti pelaku perbuatan, penderita perbuatan, pelengkap perbuatan, perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, dan tempat perbuatan (Alwi 1998:40). Unsur itu acap kali harus diulang-ulang untuk mengacu kembali atau untuk memperjelas makna. Oleh karena itu, pemilihan kata serta penempatannya harus tepat sehingga wacana tadi tidak hanya kohesif, tetapi juga koheren. Dengan kata lain, pengacuannya atau pengacuannya harus jelas. Pengacuan di dalam bahasa yang menyangkut nama diri digunakan sebagai topik baru (untuk memperkenalkan) atau untuk menegaskan bahwa topik masih sama. Topik yang sudah jelas biasanya dihilangkan atau diganti. Pada kalimat yang panjang, biasanya muncul beberapa predikat dengan subjek yang sama dan subjek menjadi topik juga. Subjek hanya disebutkan satu kali pada permulaan kalimat, lalu diganti dengan acuan (pengacuan) yang sama. Pembahasan yang akan dilakukan adalah wacana bentuk tulis dalam Facebook mempunyai variasi penggunaan penanda kohesi pengacuan. Fungsi penanda kohesi

Page 132: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 126

adalah sebagai alat penggabung antarkalimat atau antar paragraf yang satu dengan yang lain sehingga membentuk keterkaitan. Berdasarkan uraian di atas, pokok rumusan masalah yang akan dikaji adalah: (1) Jenis penanda pengacuan apa yang terdapat pada wacana tulis di facebook? (2) Bagaimana wujud penanda pengacuan yang terdapat pada wacana tulis facebook? (3) Jenis shortcut emoticon apa yang terdapat pada wacana tulis di facebook? (4) Bagaimana prosentasi penggunaan jenis dan wujud penanda pengacuan yang terdapat pada wacana tulis dalam facebook ? Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah: (1) Mendiskripsi jenis penanda pengacuan yang terdapat pada wacana tulis di facebook. (2) Mendiskripsi wujud penanda pengacuan yang terdapat pada wacana tulis di facebook. (3) Mendeskripsi-kan jenis shortcut emoticon apa yang terdapat pada wacana tulis di facebook. (4) Mendiskripsi prosentasi pengunaan jenis dan wujud penanda pengacuan yang terdapat pada wacana tulis dalam facebook. Untuk menjawab permasalahan di atas, peneliti akan menguraikan kajian teori tentang facebook, analisis wacana, pengacuan dan teori tentang analisis wacana. Facebook Facebook adalah salah satu situs komunitas jejaring sosial nomor satu saat ini. Jejaring sosial adalah peta semua ikatan yang relevan antar simpul yang dikaji. Jaringan tersebut dapat pula digunakan untuk menentukan modal sosial aktor individu. Facebook sebagai salah satu jejaring sosial adalah situs komunitas, media seseorang untuk bisa bertemu dan bersosialisasi didunia maya. Facebook adalah situs web yang diluncurkan pada 4 Februari 2004 dan didirikan oleh Mark Zuckerberg, seorang lulusan Harvard dan mantan murid Ardsley High School. Keanggotaannya pada awalnya dibatasi untuk siswa dari Harvard College. Dalam dua bulan selanjutnya, keanggotaannya diperluas ke sekolah lain di wilayah Boston (Boston College, Boston University, MIT, Tufts), Rochester, Stanford, NYU, Northwestern, dan semua sekolah yang termasuk dalam Ivy League. Banyak perguruan tinggi lain yang selanjutnya ditambahkan berturut-turut dalam kurun waktu satu tahun setelah peluncurannya. Akhirnya, orang-orang yang memiliki alamat surat-e suatu universitas (seperti .edu, .ac.uk, dll) dari seluruh dunia dapat juga bergabung dengan situs ini. Hingga Juli 2007, situs ini memiliki jumlah pengguna terdaftar paling besar di antara situs-situs yang berfokus pada sekolah dengan lebih dari 34 juta anggota aktif yang

Page 133: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

127 |

dimilikinya dari seluruh dunia. Dari September 2006 hingga September 2007, peringkatnya naik dari posisi ke-60 ke posisi ke-7 situs paling banyak dikunjungi, dan merupakan situs nomor satu untuk foto di Amerika Serika mengungguli situs publik lain seperti Flickr, dengan 8,5 juta foto dimuat setiap harinya. (Ruben Nurdiasmanto. 2008. http://jomblos.blogspot.com). Analisis Wacana Analisis wacana adalah kajian tentang aneka fungsi bahasa. Kita menggunakan bahasa dalam kesinambungan wacana. Komunikasi sulit kita laksanakan tanpa adanya hubungan-hubungan wacana yang merupakan hubungan antarkalimat dan suprakalimat (suprasentensial) dan tanpa adanya konteks (Brown, 1996: 235). Lebih lanjut dikemukakannnya bahwa melalui wacana orang dapat saling menyapa, menyuruh, mengkritik, memaafkan, dan sebagainya. Secara lebih luas, istilah wacana menunjuk pada bahasa dalam tindakan serta pola-pola yang menjadi ciri jenis-jenis bahasa dalam tindakan. Discourse is a term used in linguistics to describe the rules and conventions underlying the use of language in extended stretches of text, spoken and writen. (Such an academic study is referred to as discourse analysis). The term is also used as a convenient general term to refer to language in action and the patterns which characteristise particular types of language in action, (Brown dan Yule. 1996). Analisis wacana, dalam arti paling sederhana adalah kajian terhadap satuan bahasa di atas kalimat. Lazimnya, perluasan arti istilah ini dikaitkan dengan konteks lebih luas yang mempengaruhi makna rangkaian ungkapan secara keseluruhan. Para analisis wacana mengkaji bagian lebih besar bahasa ketika mereka saling bertautan. Beberapa analisis wacana mempertimbangkan konteks yang lebih luas lagi untuk memahami bagaimana konteks itu mempengaruhi makna kalimat. Discourse analysis is sometimes defined as the analysis of language 'beyond the sentence'. This contrasts with types of analysis more typical of modern linguistics, which are chiefly concerned with the study of grammar: the study of smaller bits of language, such as sounds (phonetics and phonology), parts of words (morphology), meaning (semantics), and the order of words in sentences (syntax). Discourse analysts study larger chunks of language as they, (Fairclough dan Wodak). Hampir sama dengan batasan di atas, Stubbs (1983: 1) menyatakan bahwa wacana adalah pengaturan bahasa di atas kalimat atau kalusa (unit-unit linguistik yang lebih besar dari kalimat atau klausa), seperti pertukaran percakapan atau teks-teks

Page 134: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 128

tertulis. Konsekuensinya, analisis wacana memper-hatikan bahasa pada waktu digunakan dalam konteks sosial dan khususnya interaksi penutur. Dari pendapat di atas disimpulkan, bahwa wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan teringgi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis ini dapat berupa ucapan lisan dan dapat juga berupa tulisan, tetapi persyaratanya harus dalam satu rangkaian dan dibentuk oleh lebih dari sebuah kalimat. Pengacuan Secara tradisiomal pengacuan berarti hubungan antara kata dengan benda. Ketika membicarakan pandangan semantik Lyon (dalam Brown 1996: 28) mengatakan bahwa hubungan antara kata dengan bendanya adalah hubungan pengacuan: kata-kata menunjuk benda. Pandangan kaum tradisional ini terus berpengaruh dalam bidang linguistik (seperti Semantik Leksikal) yang menerangkan hubungan yang ada itu adalah hubungan antara bahasa dengan dunia (benda) tanpa memperhatikan si pemakai bahasa tersebut. Tetapi Lyon pada pernyataan yang terbaru, ketika membicarakan pengacuan tanpa memperhatikan si pembicara tidaklah benar. Si pembicara yang paling tahu tentang pengacuan kalimatnya. Dari keterangan tersebut, dapat kita ketahui bahwa pada analisis wacana pengacuan dianggap sebagai tindak tanduk dari si pembicara atau si penulis. Dengan kata lain, pengacuan dari sebuah kalimat sebenarnya ditentukan oleh si pembicara atau si penulis. Kita sebagai pembaca atau pendengar hanya dapat menerka apa yang dimaksud oleh si pembaca atau si penulis. Pengacuan atau referensial adalah salah satu jenis kohesi gramatikal atau berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain yang mendahului atau mengikutinya (Sumarlam 2003:23) Pengacuan dalam analisis wacana dapat berupa endofora dan eksofora. Endofora bersifat tekstual, acuan ada di dalam teks, sedangkan eksofora bersifat situasional atau pengacuan di luar teks. Endofora terbagi atas anafora dan katafora berdasarkan posisi acuannya. Anafora merujuk silang pada unsur yang disebutkan terdahulu; katafora merujuk silang pada unsur yang disebutkan kemudian (Dajajasudarma 1994:51). Lebih lanjut Sumarlam (2003:23) menegaskan bahwa berdasarkan tempatnya, apakah acuan itu berada di dalam teks atau di luar teks, maka pengacuan

Page 135: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

129 |

dibedakan menjadi dua jenis: (1) pengacuan endofora apabila acuanya berada atau terdapat di dalam teks, dan (2) pengacuan eksofora apabila acuanya berada atau terdapat di luar teks wacana (lihat bagan 2) Jenis pengacuan yang pertama, berdasarkan arah pengacuanya dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pengacuan anaforis (anaphoric reference) dan pengacuan kataforis (cataphoric reference). Pengacuan anaforis adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual yang lain yang mendahuluinya, atau mengacu anteseden sebelah kiri. Pengacuan kataforis merupakan salah satu kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain yang mengikutinya, atau mengacu anteseden di sebelah kanan.

Bagan 1. Jenis Pengacuan

PENGACUAN/REFERENSI Halliday dan Hasan (dalam Hartono 2000:147) membagi pengacuan menjadi tiga tipe, yaitu: (1) referensi personal, (2) referensi demonstratif, dan (3) referensi komparatif. Teori Fairclough

Fairclough berpendapat bahwa analisis wacana kritis adalah bagaimana bahasa menyebabkan kelompok sosial yang ada bertarung dan mengajukan ideologi masing-masing. Artinya wacana dapat memproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas dimana perbedaan itu direpresentasikan dalam praktik sosial. Analisis Wacana melihat pemakaian bahasa tutur dan tulisan sebagai praktik sosial. Praktik sosial dalam analisis wacana dipandang menyebabkan hubungan yang saling

Eksofora Situasional

Endofora Tekstual

Anafora Kearah yang disebutkan lebih dahulu

Katafora Kearah yang akan disebutkan

Page 136: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 130

berkaitan antara peristiwa yang bersifat melepaskan diri dari sebuah realitas, dan struktur sosial.

Penjelasan Norman Fairclough dapat diartikan bahwa dalam analisis wacana seorang peneliti atau penulis melihat teks sebagai hal yang memiliki konteks baik berdasarkan “process of production” atau “text production”; “process of interpretation” atau “text consumption” maupun berdasarkan praktik sosio-kultural. Dengan demikian, untuk memahami wacana kita tak dapat melepaskan dari konteksnya. Untuk menemukan ”realitas” di balik teks kita memerlukan penelusuran atas konteks, produksi teks, konsumsi teks, dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi pembuatan teks. Dikarenakan dalam sebuah teks tidak lepas akan kepentingan yang bersifat subjektif. Teori Van Dijk

Menurut Van Dijk penelitian wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata, karena teks hasil suatu praktek produksi juga harus diamati. Penelitian mengenai wacana tidak bisa mengeksklusi seakan-akan teks adalah bidang yang kosong. Ia melihat bagaimana struktur sosial, dominasi, dan kelompok kekuasan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi/ pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks tertentu. Wacana oleh Van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi, yaitu teks, kognisi sosial dan konteks sosial, (Eriyanto, 2001: 225).

Inti analisis Van Dijk adalah menggabung-kan ketiga dimensi wacana tersebut ke dalam satu kesatuan analisis. Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan tema tertentu. Van Dijk memanfaatkan dan menggambil analisis linguistik –tentang kosakata, kalimat, proposisi, dan paragraf- untuk menjelaskan dan memaknai suatu teks. Kognisi sosial merupakan dimensi untuk menjelaskan bagaimana suatu teks diproduksi oleh individu/kelompok pembuat teks. Cara memandang atau melihat suatu realitas sosial. Aspek konteks sosial mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat. Dalam hal ini lebih dikaitkan dengan selera masyarakat. Penulis mengangap bahwa unsur teks adalah unsur internal. Sedangkan unsur kognisi dan konteks sosial lebih cenderung pada aspek eksternal. Teks-teks tidak dapat selalu dianggap berdiri sendiri. Teks memerlukan unsur di luar dirinya agar mampu berkembang dan ditelaah dalam masyarakat. METODE

Penelitian yang dilakukan bersifat kualitatif, data penelitian adalah data kualitatif, yakni data yang berbentuk verbal (narasi, deskripsi atau cerita). Bogdan dan Tylor (Moleong, 1989: 3) mendiskripsikan penelitian kualitatif sebagai prosedur

Page 137: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

131 |

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan, tentang orang-orang yang diamati

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode agih yang dimaksudkan oleh Sudaryanto (1993: 15). Metode agih, yaitu dengan alat penentu dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri.

Pada analisis wacana untuk menganalisis dan menginterpretasi teks menggunakan teori analisis wacana Teun van Dijk sebagai dasar pada tingkat microstruktur pada pengacuan. Teori tersebut mengalami penyesuain dengan objek penelitian berupa wacana percakapan bahasa Indonesia di facebook.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam analisis wacana percakapan di facebook dilakukan dengan cara: (1) Pendokumentasian sampel wacana yang ada di jejaring sosial facebook melalui copy paste. (2) Data dikumpulkan dengan teknik catat. (3) Pada teknik menyimak akan diperiksa wacana yang diteliti satupersatu. Pada pemeriksaan ini akan menentukan wujud penanda pengacuan yang ada pada kalimat ataupun dalam pengalan teks. (4) Memberi warna lain pada setiap jenis penanda pengacuan yang ditemukan. (5) Tahap selanjutnya, dilakukan pencatatan atas data yang berupa tuturan wacana yang mengandung penanda pengacuan yang sudah diberi warna. (6) Memberi penomoran pada korpus data. (7) Mengklasifikasi korpus data yang sudah diberi tanda sesuai dengan kriteria yang sudah ditentukan (8) Hasil pencatatan yang berupa data penelitian ini dimasukkan dalam korpus.

Sementara itu, teknik analisis data yang digunakan adalah teknik data bagi unsur langsung (segmenting immediate constituensts technique) dan teknik lanjutan, yang berupa teknik lesap, teknik ganti, teknik baca markah.

Teknik analisis wacana percakapan di facebool dilakukan dengan cara analisis pada bagian internal wacana, yaitu analisis struktur wacana tekstual secara mikro dalam elemen analisis teks hanya pada (aspek gramatikal) pengacuan (referensi). HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengacuan berdasarkan tempatnya, dibeda-kan menjadi dua jenis: (1) pengacuan endofora, dan (2) pengacuan eksofora. Jenis penanda pengacuan berdasarkan tipenya meliputi (1) pengacuan pronominal persona, (2) pengacuan pronominal penunjuk, dan (3) pengacuan perbandingan (komparatif).

Berdasarkan letak antesedennya, maka pengacuan dibagi atas pengacuan anaforis dan kataforis.

Dialog pada status Anjar Ariansyah Sejati berikut merupakan wacana tulis yang mengandung pengacuan endofora anaforis.

Page 138: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 132

Anjar Ariansyah Sejati: @Angel: btul jga ya... Tp kalo d prhatikan hesti kyak kna rbies ya, abis mlutx slalu ngeluarin cairan g steril so angel tlong d lap ya... Klo g nnti muncrat Wkwkwk... @Eka: sbenarx bkat (1) gue tu main piano, (2) kmu hrus tw... @Ervita: sory e (3) puisiq paling bgus... Mw liat? Data (1) terdapat pronomina persona pertama tunggal bentuk bebas ‘gue’ (bahasa Betawi) secara anaforis dan data (3) ‘q’ (-ku) pentuk terikat lekat kanan. Wujud penanda pengacuan gue dan q mengacu terhadap anteseden ‘Anjar Ariansyah Sejati’ yang terletak di sebelah kiri, pronomina gue dan q dimaksudkan untuk menggantikan orang yang melakukan tuturan tersebut. Unsur ‘gue dan q’ merujuk silang pada unsur di dalam wacana, bersifat endofora. Begitupun pada data (2) ‘kamu’ pronominal persona kedua tunggal secara anaforis. Karena pengacuan kamu mengacu terhadap anteseden @Eka yang berada di sebelah kiri. Penggunaan pronominal kamu untuk menggantikan orang yang diajak bertutur oleh Anjar yaitu Eka. Unsur kamu merujuk silang pada unsur di dalam wacana @Eka maka bersifat endofora. Pengacuan kataforis merupakan pengacuan yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lain yang mengikutinya, atau mengacu terhadap anteseden di sebelah kanan, atau yang baru disebutkan kemudian. Wacana pengacuan endofora kataforis: Faiza Hidayati Mardzoeki: aduh...padahal (4) ini film tuh kayak video game...gak serem (: karena jelas betul rekayasa visual effectnya. Pada penggalan dialog di atas terdapat demonstratif penunjuk umum ini pada data (4) yang mengacu pada unsur lain yang berada di dalam tuturan (teks) yang disebutkan sesudahnya. Berdasarkan ciri-ciri yang terdapat dalam tuturan data (4) ini merupakan penanda pengacuan endofora yang bersifat kataforis. Kata ini mengacu pada kata ‘film’ di sebelah kanannya. Pronomina Persona Pertama Pengacuan persona pertama tunggal merupakan pengacuan yang menggunakan satuan lingual berupa pronomina persona pertama tunggal. Dengan kata lain, menggu-nakan kata ganti orang pertama yang sifatnya singularis. Berikut penggalan wacana yang menggunakan pengacuan persona pertama tunggal pada status Nduk’Nha Hikari Aijin: Nduk' Nha Hikari Aijin pegang pundak (5) ku jangan pernah lepaskan!

Page 139: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

133 |

Deka Hegi Poetra: @amay: filsafat adalah: apa yg bs anda mkn saat ini, pakaian yg anda pake skrng, sepatu anda, kendaraan, pena, buku, bahkan handphone anda yg anda pake u/ ngomentari statusnya nduk nha. maaf jk (6) sy slsh kt. Pengalan dialog di facebook status Nduk Nha Hikari Aijin menggunakan pronomina persona pertama tunggal ‘-ku’ bentuk lekat kanan pada data (5) dan ‘saya’ bentuk bebas pada data (6). Data di atas menggunakan penanda pengacuan persona secara endofora yang bersifat anaforis. Wujud penanda pengacuan ‘-ku’ mengacu terhadap anteseden ‘Nduk’ Nha Hikari Aijin’ yang terletak di sebelah kanan, dan penanda pengacuan ‘saya” mengacu terhadap anteseden di depannya. Pengacuan persona pertama jamak sebagai sarana dalam membentuk hubungan antarkalimat secara gramatikal merupakan pengacuan yang menggunakan satuan lingual berupa pronomina persona pertama bentuk jamak yang sifatnya pluralis. Deka Hegi Poetra: yg sy bcrkan filsafat pembangun ornamen, instrumen, support-thing, dunia. akui sajalah semua yg anda pake berawal dr sebuah filsafat. filsafat :pencetus (sbgian teori aristoteles) pembangun (andrê daspre), pembongkar (louis althusser) sya fikir (7) kita bicara filsafat, ya filsafat yg back to roots.. Data (7) kita kata ganti orang pertama jamak bentuk bebas adalah mengacu pada Amay dan Deka yang saling memberi komentar status Nduk. Kita bersifat endofora yang anaforis. Pronomina Persona Kedua Berikut ini data dan analisis mengenai penggunaan penanda pengacuan persona kedua tunggal. Kukuh Febriano: jgn gt jar, mentg2 tinggi jd..entr (8) km jd mengkert lho.. Anjar Ariansyah Sejati:@angelin: ih sory e..... (9) ko pu tman hesty tu yg tkang korek-korek gigi...Btw kyakx Qo g malming ka??? ‘Kamu’ pronominal persona kedua tunggal terdapat pada data (8), mengacu pada Anjar pemilik status, dan acuannya ada di sebelah kiri. Data (9) ko ‘engkau’ mengacu pada @Angelin. Data tersebut bersifat endorora yang anafora. Berikut ini data dan analisis mengenai penggunaan penanda pengacuan persona kedua jamak.

Page 140: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 134

Deka Hegi Poetra: @rahman " sukaa khwat cantik" @daniel: saya masih islam mas, hehehe yang jelas (10) antum tau lah.. masa 'yang bilang' bim salabim avakadavra" filsuf..??? Antum data (10) ‘kamu’ sekalian dari bahasa Arab’ adalah pronominal persona kedua jamak bentuk bebas mengacu pada @Ahmad Daniel dan Seno Bs yang telah disebutkan sebelumnya sebagai orang yang diajak bicara. Data antum adalah penanda pengacuan endofora yang bersifat anaforis. Pronomina Persona Ketiga Berikut penggalan wacana yang menggunakan Pengacuan persona ketiga tunggal. Ahmad Kecil Nag Ragunan: @ aLL: hooo macm rame gitu kha....@ kukuh: hooo thank'z ya dah membela org yang pendek dr serbuan manuzia tinggi @angelin: dr pd korek upiL'a (11) dy mending korek (12) dy pu telinga ya..... Dy ‘dia’ adalah pronominal persona ketiga tunggal bentuk bebas pada data (11) dan (12) mengacu pada Anjar (disebutkan sebelumnya) orang yang diperbincangkan oleh Ahmad dan @Angelin orang yang diajak bicara oleh Ahmad. Dy endofora yang bersifat anaforis atau anteseden di sebelah kiri. Wujud penanda pengacuan persona ketiga bentuk jamak adalah mereka. Berikut ini beberapa data dan analisis mengenai penggunaan penanda pengacuan persona ketiga jamak. Saidiman Ahmad: Ya, MUI ngaco. (13) Mereka mengiira baru nonton 2012, padahal yang ditonton adalah The Maling Kuburans. Makanya komentarnya ngawur. Pronomina Demonstratif (Penunjuk) Pronomina penunjuk umum adalah kategori yang mengacu ke acuan yang dekat dengan pembicara/penulis, ke masa yang akan datang, atau ke informasi yang akan disampaikan; mengacu ke acuan yang jauh dari pembicara, ke masa lampau, atau ke informasi yang sudah disampaikan. Pronomina penunjuk umum meliputi ini dan itu. Berikut data dan analisisnya. Amay Genta Buana: Filsafat brdialog dan sains brdialog (14) itu bnar adax. dlm sains brdialog mggunakn fakta, krn (15) itu sumber sains. Filsafat, brdialog tdk mggunakn fakta, imaji2 yg ada d kpala. u/ mmbuktiknx filusuf tdk dgn tindkn, ckup dgn kt2 bijak. Apa (16) itu yg d katakn 1? Ambil cntoh, 1+1=2. filsup yg menjawb 2? tdk. Ilmuan lah yg menjawb dan membuktikn dgn dta2.

Page 141: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

135 |

Penanda demonstratif penunjuk umum itu ada pada data (14) menunjukan pada filsafat, data (15) itu menunjukan dlm sains brdialog mggunakn fakta Dalam penelitian ini ditemukan pronomina penunjuk ihwal begini (berada dekat dari penutur), begitu (berada jauh dari penutur) dan demikian (mencangkup keduanya). Berikut data dan analisis dari penggalan wacana tulis di facebook yang menunjukkan penggunaan pronomina penunjuk ihwal. Tugas Suprianto: soal setoran to, beres deh kalo soal (16) gitu sih ecek-ecek Data (16) gitu menunjuk pada frasa soal setoran to. Penanda berada dalam teks atau endofora dan anteseden di sebelah kiri atau anaforis. Penggunaan pronomina begitu dimaksudkan karena ihwal yang penulis tuturkan informasinya berada jauh. Pengacuan Komperatif Pengacuan komparatif dalam bahasa Indonesia berkenaan dengan pembandingan dua maujud, atau lebih meliputi tingkat kualitas atau intensitasnya dapat setara atau tidak setara. Disamakan juga dengan penyulihan. Tingkat setara disebut ekuatif; tingkat yang tidak setara dibagi dua: tingkat komparatif dan tingkat superlatif. Pengacuan kompratif dalam penelitian ini meliputi tiga macam, yaitu (1) tingkat ekuatif, (2) tingkat komparatif, dan (3) tingkat superlative Tingkat ekuatif mengacu ke kadar kualitas atau intensitas yang hampir sama atau mirip. Penggunaan pananda pengacuan tingkat ekuatif menyatakan hubungan perbandingan, kemiripan, antara unsur pengacu dengan unsur yang diacu. Beriku data dan analisisnya. Anjar Ariansyah Sejati: @angel: tapi hesty pu lebih prah (17) kyak air mancur. ah kamu jga sering koq muncrat-muncrat.... hehehehehe he @ervita: brarti kamu s7 dong puisiq lbih bgus... @shinta manusia galon: aeeeh g usah Pada penggalan dialog di atas, terdapat penanda pengacuan kyak ‘bahasa daerah seperti’ yang mengacu terhadap kadar kualitas yang sama, atau menyamakan sesuatu yang hampir mirip. Data (17) Air liur Hersti yang keluar disamakan dengan air mancur. Tingkat komparatif mengacu ke kadar kualitas atau intensitas yang lebih atau yang kurang. Penggunaan penanda pengacuan komparatif dipakai di muka adjektiva tertentu dengan makna ‘di atas taraf yang diharapkan’. Berikut ini data dan analisisnya.

Page 142: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 136

Anjar Ariansyah Sejati: eh orang pendek g sopan tau bicara kyak g2 dengan (18) orang yg lebih tinggi.... wakakakak Pada penggalan wacana diatas terdapat penanda pengacuan yang berupa bentuk komparatif lebih… Data (18) bahwa orang pendek tidak sopan bicara seperti itu dengan orang yg lebih tingg. Berdasarkan sifatnya penanda pengacuan ini bersifat endofora. Tingkat superlatif mengacu ke tingkat kualitas atau intensitas yang paling tertinggi di antara semua acuan adjektiva yang dibandingkan. Adjektiva superlative dapat diikuti frasa yang berpreposisi dari, antara, di antara, dari antara berserta nomina yang dibandingkan. Berikut ini data dan analisis mengenai penggunaan penanda pengacuan bandingan yang berwujud yang paling. Anjar Ariansyah Sejati: @Angel: btul jga ya... Tp kalo d prhatikan hesti kyak kna rbies ya, abis mlutx slalu ngeluarin cairan g steril so angel tlong d lap ya... Klo g nnti muncrat Wkwkwk... @Eka: sbenarx bkat gue tu main piano, kmu hrus tw... @Ervita: sory e puisiq (19) paling bgus... Mw liat? Pada data (19) terdapat penanda pengacuan paling di muka jektiva bagus merupakan tingkat bandingan tertinggi diantara semua acuan yang dibandingkan. Penanda pengacuan ini bersifat endofora, mengacu terhadap anteseden di dalam bahasa itu. Wujud Penanda Pengacuan Wujud penanda pengacuan yang ditemu-kan dalam penelitian ini meliputi saya, aku, -ku, gue, kita, kamu, Anda, kau-, -mu, sampean, you, ente, antum, dia, -nya, mereka, ini, itu, sini, situ, sana, begini, begitu, seperti, macam, kayak, lebih…, kurang, paling dan semakin. Saya merupakan wujud penanda pengacuan persona dengan menggunakan pronomina persona pertama tunggal. Saya biasa digunakan sebagai kata ganti dalam acara resmi. Penanda pengacuan ini, digunakan untuk mempersonakan orang pertama yang sifatnya tunggal. Berikut ini data dan analisis wacana yang menggunakan kata ganti persona pertama tunggal. 'vhita Ngga' 'Lupha: Kae..tserh udh, dripd (20) z dgar ko pnya suara.. Aku adalah wujud pengacuan persona pertama tunggal. Penanda pengacuan ini sering digunakan dalam forum yang santai seperti percakapan dengan teman

Page 143: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

137 |

akrab, atau dalam wacana tulis digunakan dalam wacana yang berbentuk cerita, novel. Berikut ini data yang menggunakan persona pertama tunggal aku. Shinta Abdul Rahman: (21) ak aj toh yg jd insprirasimu Pronomina persona tunggal bentuk bebas ‘aku’ pada data (21) mengacu pada teks yang berada di dalam tuturan yang disebutkan sebelumnya, yaitu Shinta. Berdasarkan ciri-ciri seperti yang disebutkan itu maka aku dalam tuturan (21) merupakan pengacuan endofora, bersifat anaforis. Satuan lingual –ku merupakan wujud penanda pengacuan persona yang berasal dari pronomina persona pertama tunggal bentuk terikat lekat kanan. Berikut ini data dan analisis mengenai penggunaan pronomina terikat –ku. Nduk' Nha Hikari Aijin pegang pundak (22) ku jangan pernah lepaskan! Penggalan wacana di atas menggunakan pronomina persona pertama tunggal bentuk terikat –ku pada kata pundakku pada data (22). Penggunaan pronomina –ku pada wacana tersebut bersifat anaforis, yang mengacu ke Nduk. Anjar Ariansyah Sejati: @Angel: idung (23) gue udah pux rumput2 alami g btuh kawat... Penggalan wacana di atas menggunakan pronomina persona pertama tunggal bentuk bebas gue yaitu bahasa Betawi untuk kata saya pada data (23) idung gue bersifat anaforis, yang mengacu pada Anjar anteseden di sebelah kiri. Pronomina persona pertama jamak kita merupakan wujud penanda pengacuan persona. Penanda pengacuan ‘kita’ digunakan untuk mempersonakan orang pertama yang bersifat jamak atau lebih dari satu orang. Penanda pengacuan kita ini bersifat insklusif, pengacuan yang dibentuk dengan mengguna-kan penanda pengacuan ini mencakup semua pihak antara lain pembicara, pendengar, dan pihak lain. Pada data berikut, ditemukan penanda pengacuan persona pertama jamak yang bersifat inklusif. Deka Hegi Poetra: yg sy bcrkan filsafat pembangun ornamen, instrumen, support-thing, dunia. akui sajalah semua yg anda pake berawal dr sebuah filsafat. filsafat: pencetus (sbgian teori aristoteles) pembangun (andrê daspre), pembongkar (louis althusser) sya fikir (24) kita bicara filsafat, ya filsafat yg back to roots.. Penggalan wacana di atas menggunakan penanda pengacuan persona pertama jamak. ‘kita’ pada data (24) mengacu terhadap anteseden sebelumya (anaforis).

Page 144: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 138

Penanda pengacuan kita ini bersifat insklusif. Kita pada penggalan data (24) mengacu kepada Deka Hegi Poetra (pembicara) dan Amay yang diajak bicara. Kamu wujud pengacuan persona kedua tunggal. Penggunaan penanda pengacuan ‘kamu’ sebagai sarana membentuk keterkaitan wacana terdapat dalam penggalan wacana berikut. Kukuh Febriano: jgn gt jar, mentg2 tinggi jd..entr (25) km jd mengkert lho.. Data di atas merupakan penggalan wacana yang terdapat dalam status Anjar yang berbentuk dialog berupa percakapan, atau pembicaraan antara Anjar dengan Kukuh, Angel, Eka, Ervita dan Shinta. Penggalan wacana tersebut menggunakan penanda pengacuan persona berupa pronomina ‘kamu’ yang mengacu terhadap anteseden Anjar pada data (25) sebelumnya bersifat anaforis. Pronomina persona kedua tunggal Anda juga dapat dipergunakan dalam rangka membentuk keterkaitan wacana. Penggunaan pronomina Anda dalam kalimat merupakan wujud penanda pengacuan persona. Deka Hegi Poetra: @amay: filsafat adalah: apa yg bs (26) anda mkn saat ini, pakaian yg (27) anda pake skrng, sepatu (28) anda, kendaraan, pena, buku, bahkan handphone (29) anda yg (30) anda pake u/ ngomentari statusnya nduk nha. maaf jk sy slsh kt. Penanda pengacuan ‘Anda’ pada data (26) s.d. (30), mengacu terhadap Amay pembicara sebelumnya yang mengokmentari status Nduk merupakan acuan yang berada di dalam bahasa (intertektual). Berdasarkan ciri-ciri seperti yang disebutkan maka Anda dalam data di atas merupakan penanda pengacuan yang bersifat endofora. Unsur ‘Anda’ merujuk silang pada unsur di dalam konteks bahasa @Amay, bersifat anaforis. Pronomina persona ‘kau-’ merupakan wujud penanda pengacuan persona kedua tunggal bentuk terikat. Berikut ini data dan analisis mengenai penggunaan pronomina ‘kau-’ Anjar Ariansyah Sejati:@angelin: ih sory e..... (31) ko pu tman hesty tu yg tkang korek-korek gigi...Btw kyakx (32) Qo g malming ka??? Pronomina ‘kau’ pada data (31) mengacu pada @Angelin, sedangkan data (32) mengacu pada Anjar unsur yang berada di dalam tuturan (teks) yang disebutkan sebelumnya.

Page 145: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

139 |

Morfem terikat –mu merupakan wujud penanda pengacuan persona kedua tunggal bentuk terikat lekat kanan. Penanda pengacuan ini berfungsi mempersonakan orang kedua tunggal. Berikut ini data dan analisis mengenai penggunaan pronomina terikat –mu. Angelin Yusticia: mo cr inspirasi? korek lubang idung tu, mungkin da lg smbunyi dgn (33) upil2mu.. hahaha Pronomina –mu pada data tersebut merujuk silang pada tuturan Anjar sebelumnya. Penanda pengacuan terikat ‘–mu’ termasuk pengacuan endofora yang bersifat anaforis karena merujuk silang pada unsur yang disebutkan sebelumnya. Pronomina persona ‘sampean’ (kamu bahasa Jawa) merupakan wujud penanda pengacuan persona kedua tunggal bentuk bebas. Penggunaan persona sampean dapat dipastikan bahwa penutur berasal dari Jawa. Berikut ini data dan analisis mengenai penggunaan pronomina ‘sampean’ Deka Hegi Poetra: pernyataan anda malah sangat mngaskan bahwa filsafat adalah softbrain nya. justru karena itu ada yang namanya filsast...!!!!! saya klarifikasi kan ke anda bahwa,.. semua berawal dari filsafat.. krna anda sudah mmbantu menjelaskan pernyataan sy sebelumnya. omong2.. kita belum kenalan nih :-)... tau2 langsung asyik ngobrolin barang ini. :-) maaf, nama saya ..... emm... . ya seperti nick sy di fb ini. senang ngobrol dngn (34) sampean. :-) Persona sampean dituturkan Deka merujuk pada Amay yang berbicara sebelumnya. Oleh karena itu data (34) sampean bersifat endofora yang anaforis. Penanda pengacuan persona kedua tunggal ‘ente’ kamu dalam bahasa Arab, digunakan ketika komunikator dan komunikan telah saling mengenal, bahwa mereka dalam satu komunitas. Karena kata ‘ente’ hanya dikomunikasikan bila keduanya beragama Islam. Berikut contohnya: Ahmad Daniel: Cogito ergo sum. Thats right. Hehe...Sy trsenyum. @amay: kira2, dgn apa y mulana hingga einstein mnelurkn teori relativitasna? Lalu e=mc2? lgsung eksperimen y? hehe...prasaan tu saintis plg males megang alat2 lab. hehe. bcanda om einstein. @deka: hehe...buku satu itu trnyata (35) ente baca jg y... daniel kira cuma bwt alas tidur.. hehe.. bcanda bro. tp 1 ralat ... mgkn, klmt prtama (36) ente bs dklarifkasi? teori pmbangun ornamenna sip, but bgmn dgn dunia yg (37) ente cantumkn sbg buah dr flsft? isi dunia ato duniana? eleh.eleh..hati2 mas bs2 atheis (38) ente...hehe...maaf klo slh.

Page 146: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 140

Penggalan wacana di atas menggunakan pronomina persona kedua tunggal bentuk bebas ente yaitu bahasa Arab untuk kata kamu pada data (35) s.d (38) kata ente merujuk pada @Deka. Wacana tersebut bersifat endofora yang anaforis, yang mengacu pada anteseden di sebelah kiri. Penanda pengacuan persona kedua tunggal ‘you’ kamu dalam bahasa Inggeris, digunakan ketika komunikator dan komunikan telah saling mengenal, bahwa yang diajak bicara bisa berbahasa Inggeris. Karena kata ‘you’ hanya dikomunikasikan bila keduanya memahami bahasa Inggeris. Cia Miranda Subandi: Hiks... miss (39) you my mom... Pengen peluk... Data (39) you mengacu pada my mom anteseden disebelah kanan, maka bersifat endofora yang kataforis. Antum merupakan wujud pengacuan pronominal persona kedua bentuk jamak. Pengacuan ini mengacu terhadap orang kedua yang diajak bicara yang sifatnya lebih dari satu orang. Biasanya penggunaan persona antum terjadi bila orang yang berkomunikasi sudah saling mengenal dan berasal dari agama yang sama yaitu Islam. Berikut penggunaan pengacuan persona antum. Deka Hegi Poetra: @rahman "sukaa khwat cantik" @daniel: saya masih islam mas, hehehe yang jelas (40) antum tau lah.. masa 'yang bilang' bim salabim avakadavra" filsuf..??? Data (40) antum merujuk pada orang yang diajak bicara oleh Deka yaitu @Daniel, @Rahman dan @Seno B. S. yang ber-komentar sebelumnya. Oleh karena itu sifatnya endofora yang anaforis. Wujud pengacuan persona dia merupakan pronomina persona ketiga tunggal. Pengacuan ini mengacu terhadap orang ketiga atau yang dibicarakan yang sifatnya tunggal. Berikut ini data dan analisis mengenai penggunaan wujud penanda pengacuan persona dia. Ahmad Kecil Nag Ragunan: @ aLL: hooo macm rame gitu kha....@ kukuh: hooo thank'z ya dah membela org yang pendek dr serbuan manuzia tinggi @angelin: dr pd korek upiL'a (41) dy mending korek (42) dy pu telinga ya..... Penanda pengacuan ‘dia’ yang termasuk dalam pronomina persona ketiga tunggal. Data (41) dan (42) Dia merujuk silang terhadap anteseden Anjar pada kalimat sebelumnya, sedangkan yang diajak bicara oleh Ahmad adalah @Angel.

Page 147: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

141 |

Pronomina persona –nya merupakan wujud penanda pengacuan persona ketiga tunggal bentuk terikat lekat kanan. Berikut ini data dan analisis mengenai penggunaan pronomina terikat –nya. Amay Genta Buana: Filsafat pmbangun apa? justru filsafat a/ lwan dri sains. Filsafat hx brkutat dlm dialog, kt2 yg brmetafora. Sains, pnuh dgn eksperimen2. Filsafat mmbuat orag mlas u/ brtindak, malah mmbuat orag brkhayal dlm alam (43) khayalx. Data (43) khayalnya pada data di atas terdapat penanda pengacuan –nya yang termasuk pronominal persona ketiga lekat kanan. Penggunaan penanda pengacuan persona -nya merujuk silang terhadap anteseden orang-orang yang disebutkan sebelumnya jadi anteseden sebelah kiri atau bersifat endofora yang anaforis. Penggunaan pronomina –nya dimaksudkan untuk mempersonakan orang ketiga tunggal atau orang yang dibicarakan. Berikut ini data kedua dan analisis mengenai wujud pengacuan persona ketiga tunggal bentuk terikat –nya. Mereka merupakan wujud pengacuan persona yang berasal dari pronominal persona ketiga bentuk jamak. Pengacuan ini mengacu terhadap orang ketiga atau yang dibicarakan yang sifatnya lebih dari satu orang. Data dan analisis berikut ini merupakan penggalan wacana tulis mengenai penggunaan wujud penanda pengacuan persona mereka. Saidiman Ahmad: Ya, MUI ngaco. (44) Mereka mengiira baru nonton 2012, padahal yang ditonton adalah The Maling Kuburans. Makanya komentarnya ngawur. Data (44) di atas terdapat penanda pengacuan ‘mereka’ yang termasuk dalam pronomina persona ketiga jamak. penanda pengacuan mereka pada kalimat tersebut merujuk silang terhadap pengurus MUI yang mengeluarkan fatwa haram pada film 2012. Berdasarkan ciri-ciri seperti yang disebutkan itu maka mereka merupakan wujud dari penanda pengacuan endofora, yang bersifat antesedennya berada disebelah kiri. Deka Hegi Poetra: pernyataan anda malah sangat mngaskan bahwa filsafat adalah softbrain nya. justru karena itu ada yang namanya filsast...!!!!! saya klarifikasi kan ke anda bahwa,.. semua berawal dari filsafat.. krna anda sudah mmbantu menjelaskan pernyataan sy sebelumnya. omong2.. kita belum (45) kenalan nih :-)... Baca Selengkapnya tau2 langsung asyik ngobrolin (46) barang ini. :-) maaf, nama saya ..... emm... . ya seperti nick sy di (47) fb ini. senang ngobrol dngn sampean. :-) Pada penggalan wacana di atas terdapat kata ‘ini’ penunjuk umum pada kenalan nih data (45), barang ini data (46) dan fb ini pada data (47). Data tersebut merujuk

Page 148: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 142

pada konteks di dalam teks endofora yang bersifat anaforis. Berdasarkan acuannya ini pada penggalan wacana tersebut mengacu pada waktu sekarang yaitu waktu ketika status FB Nduk dikomentarin. Wujud pengacuan demonstratif dengan pronomina penunjuk umum yang kedua adalah itu. Penunjukan dengan pronomina itu mengacu pada titik pangkal Jauh, masa lampau sudah disampaikan oleh penutur. Berikut ini data dan analisisnya. Amay Genta Buana: Filsafat brdialog dan sains brdialog itu bnar adax. dlm sains brdialog mggunakn fakta, krn (48) itu sumber sains. Filsafat, brdialog tdk mggunakn fakta, imaji2 yg ada d kpala. u/ mmbuktiknx filusuf tdk dgn tindkn, ckup dgn kt2 bijak. Apa (49) itu yg d katakn 1? Ambil cntoh, 1+1=2. filsup yg menjawb 2? tdk. Ilmuan lah yg menjawb dan membuktikn dgn dta2. Pada penggalan wacana di atas terdapat pronomina penunjuk ‘itu’ sebagai penanda pengacuan. Pada data (48) itu berujuk pada filsafat, data (49) itu merujuk pada kata-kata bijak filsafat. Wujud penanda pengacuan demonstratif sini merupakan jenis dari pronomina penunjuk tempat. Penunjukan dengan pronomina sini mengacu pada titik pangkal dekat dengan penutur (proksimal). Berikut ini data dan analisisnya. Angelin Yusticia: Ieh,sadar diri kah.. Ko jg kalo bcr suka muncrat sna (50) sni mo, mcm bcr dgn liur mu + keringat mu + upil mu.. wkwkwk.. Penggalan data (50) terdapat pronomina penunjuk tempat sini yang mengacu pada lokasi menunjuk pada lokasi tempat muncrat. Penunjukan dengan pronomina sini mengacu pada titik pangkal dekat dengan penutur, dalam hal ini Angelin (penutur) melakukan tuturan berada dekat dengan lokasi. Wujud penanda pengacuan jenis pronomina penunjuk tempat yang ketiga adalah sana. Penunjukan dengan pronomina sana mengacu pada titik pangkal jauh dengan penutur (distal). Berikut ini data dan analisisnya. Angelin Yusticia: Ieh,sadar diri kah.. Ko jg kalo bcr suka muncrat (51) sna sni mo, mcm bcr dgn liur mu + keringat mu + upil mu.. wkwkwk.. Pada penggalan wacana di atas terdapat pronomina penunjuk tempat sana yang menunjuk pada lokasi. Sana pada penggalan wacana di atas mengacu pada lokasi atau tempat yang jauh dari penutur.

Page 149: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

143 |

Pronomina penunjuk ihwal begini merupakan wujud pengacuan demontrstif. Penunjukan dengan pronomina penunjuk ihwal begitu mengacu pada titik pangkal dekat dengan penutur. Wawan Depok: Bilang aja MUI minta jatah...pake muter2...(52) gitu aja kok repot... Dari penggalan wacana di atas jelas bahwa penanda pengacuan begini mengacu tehadap klausa yang menyatakan perbuatan. Pada penggalan wacana di atas penanda pengacuan begini pada data (52) menggantikan perbuatan MUI minta jatah. Pronomina penunjuk ihwal ‘kitu” atau begitu merupakan wujud pengacuan demontrstif. Penunjukan dengan pronomina penunjuk ihwal begitu mengacu pada titik pangkal jauh dengan penutur (distal). Penutur yang menggunakan penunjuk kitu berrati sudah mengenal lawan tuturnya berasal dari Sunda. Berikut ini data dan analisis mengenai penggunaan pronomina begitu dalam wacana. Dadang Hendrana: @B'Entin: It is somehwere near Baduy Village... @P'Wahyu: Oh Bapak,... iseng Pak, ... oh Pak masih di Jepang, ulah hilap oleh oleh na... @B Yayah: Aya naon Bu meni waduh, hararideung nya Bu @B.Lulu: Makaseeeh Bu... he he @Neng Altie: Neng mah pami jalmi na teu keren (53) kitu... he he, Salam ke Bapak yah... @B'Ayi: Relax sejenak bu... @B'Ida: Speed in harmony Bu.. Pada penggalan wacana ‘kitu’ merupakan wujud dari penanda pengacuan demotratif dengan menggunakan pronomina penunjuk ihwal. Pengacuan dengan menggunakan pronomina penunjuk ihwal begitu mengacu pada titik pangkal jauh dengan penutur (distal). Begitu pada penggalan wacana tersebut mengacu pada perkataan Neng Altie sebelumnya. Penggunaan pronominal kitu dimaksudkan karena lokasi Neng Altie jauh dari penutur Dadang Hendrana. Pronomina penunjuk waktu saat ini yang mengacu pada waktu kini terdapat pada data di bawah ini: Deka Hegi Poetra: @amay: filsafat adalah: apa yg bs anda mkn (54) saat ini, pakaian yg anda pake skrng, sepatu anda, kendaraan, pena, buku, bahkan handphone anda yg anda pake u/ ngomentari statusnya nduk nha. maaf jk sy slsh kt. Saat ini pada data (54) mengacu pada apa yang dimakan @Amay ‘anda’ orang yang diajak bicara oleh Deka anteseden di sebelah kiri. Pronomina penunjuk waktu hari ini yang mengacu pada waktu kini terdapat pada data di bawah ini:

Page 150: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 144

Neneng Dian Marlia:………., dimana krisis (55) hari ini akan sepenuhnya dibebankan terhadap klas pekerja diseluruh dunia, perampasan atas upah serta pekerjaan sedang mereka tingkatkan begitu kira-kira.....he...he... Data (55) hari ini menunjukan waktu sedang berlangsung yang merujik silang pada keadaan krisis terdapat dalam teks endofora yang anteseden di sebelah kiri anaforis. Tingkat ekuatif mengacu ke kadar kualitas atau intensitas kayak ‘seperti’ yang hampir sama atau mirip. Beriku data dan analisisnya. Anjar Ariansyah Sejati: @angel: tapi hesty pu lebih prah (56) kyak air mancur. ah kamu jga sering koq muncrat-muncrat.... hehehehehe he @ervita: brarti kamu s7 dong puisiq lbih bgus... @shinta manusia galon: aeeeh g usah Penggunaan pananda kayak pengacuan tingkat ekuatif menyatakan hubungan perbandingan, kemiripan, antara unsur pengacu dengan unsur yang diacu. Data (56) Hesti lebih parah kaya air mancur, Dari data tersebut dapat dilihat bahwa pengacuan komperatif tingkat ekuatif kayak berposisi diantara yang mengacu anteseden kiri dan yang diacu. Maka sifatnya endofora yang anaforis. Macam termasuk tingkat ekuatif mengacu ke kadar kualitas atau intensitas. Beriku data dan analisisnya: Faiza Hidayati Mardzoeki: aduh...padahal ini film tuh kayak video game...gak serem (: karena jelas betul rekayasa visual effectnya. banyak adegan konyol. Tonton deh sehingga tahu, dan gak curiga apa yang ada di film. film ini gak lebih dari film2 "kiamat" lain (57) macam amargendon dll. Yang 2010 lebih jelek filmnya. kayak video game..(: emang diperlihatkan seLuruh dunia ... hancur. Semua gedung. Malah Mesjid dan kabahnya gak hancur. YANG hancur gereja, america, negeri2 kapitalis, non Islam ha..ha kali biar MUI puas...ha..he ):): (tapi aku dah nonton, bener, film ini gak ada apa-apanya) semakin dilarang semakin laku ye....makanya mui kan seneng. Data (57) macam ‘seperti’ berposisi di tengah gak lebih dari film2 "kiamat" lain macam amargendon anteseden di sebelah kiri, maka endofora yang anaforis. Seperti termasuk tingkat ekuatif mengacu ke kadar kualitas atau intensitas. Beriku data dan analisisnya: Neneng Dian Marlia: dhuu...dhu.. ternyata semakin seru saja soal film murahan ini, semakian manjadi polemik dan semakin banyak kita diskusikan, maka semakin

Page 151: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

145 |

banyak orang yang akan penasaran untuk menontonnya, dan bukankah ini yang dikehendaki si pembuat Film, bukan tidak mungkin disituasi krisis (58) seperti saat ini kapaitalime menempuh jalan apa saja untuk untuk mengeruk ... keuntungan, salah satunya dengan membuat film yang kontroversi, selain itu bisa saja pesan flim ini agar semua orang berada dalam situasi yang panik yang kemudian kita tidak lagi memiliki konsentrasi atas masalah yang sedang kita hadapi, dimana krisis hari ini akan sepenuhnya dibebankan terhadap klas pekerja diseluruh dunia, perampasan atas upah serta pekerjaan sedang mereka tingkatkan begitu kira-kira.....he...he... Dan data (58) situasi krisis seperti saat ini anteseden sebelah kiri, maka endofora anaforis. Tingkat komparatif mengacu ke kadar kualitas atau intensitas ditemukan kata lebih. Penggunaan penanda pengacuan komparatif lebih dipakai di muka adjektiva tertentu dengan makna ‘di atas taraf yang diharapkan’. Berikut ini data dan analisisnya. Anjar Ariansyah Sejati: eh orang pendek g sopan tau bicara kyak g2 dengan (59) orang yg lebih tinggi.... wakakakak Pada penggalan wacana diatas terdapat penanda pengacuan yang berupa bentuk komparatif lebih…. Data (59) bahwa orang pendek tidak sopan bicara seperti itu dengan orang yg lebih tingg. Berdasarkan sifatnya maka penanda pengacuan ini bersifat endofora, acuannya komparatifnya ada di dalam teks bersifat anaforis. Tingkat komparatif mengacu ke kadar kualitas atau intensitas yang kurang. Penggunaan penanda pengacuan komparatif dipakai di muka adjektiva tertentu dengan makna ‘di bawah taraf yang diharapkan’. Berikut ini data dan analisisnya. Nining Djohar: Lebelnya (60) kurang besar.................haram aja susah apalagi ....berlebel Data (60) Lebelnya kurang besar anteseden di sebelah kiri, maka bersifat endofora yang anaforis. Ditemukan kata paling sebagai tingkat superlatif mengacu ke tingkat kualitas atau intensitas yang paling tertinggi di antara semua acuan adjektiva yang dibandingkan. Anjar Ariansyah Sejati: @Angel: btul jga ya... Tp kalo d prhatikan hesti kyak kna rbies ya, abis mlutx slalu ngeluarin cairan g steril so angel tlong d lap ya... Klo g nnti muncrat Wkwkwk...

Page 152: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 146

@Eka: sbenarx bkat gue tu main piano, kmu hrus tw... @Ervita: sory e puisiq (61) paling bgus... Mw liat? Pada data (61) terdapat penanda pengacuan paling di muka jektiva paling merupakan tingkat bandingan tertinggi diantara semua acuan yang dibandingkan. Penanda pengacuan ini bersifat endofora, mengacu terhadap anteseden di dalam bahasa itu. Penggunaan Shortcut Emoticon Penggunaan shortcut emoticon membuat facebook berbeda dengan bahasa komunikasi tertulis lainnya. Karena dengan menggunakan lambang emosi, penulis dapat menggambar-kan perasaan hatinya dan raut wajahnya tampa harus menuliskannnya panjang lebar. Pembaca walaupun tidak melihat secra langsung, tapi dengan lambang tersebut sudah dapat membayangkan dalam mimik seperti ketika penulis menulis kata-kata tersebut. Data shortcut yang terdapat dalam sampel penelitian adalah: Ekha Risstiiana Marpaung: Ko bkin puisi mati boker ajah! Kykx mantapp tuhh (1) :p Data (1) :p melambangkan Ekha menulis sambil menjulurkan lidah, dengan maksud mengejek Anjar yang akan membuat puisi Ko bkin puisi mati boker ajah! Kykx mantapp tuhh :p terus Ekha menjulurkan lidah mengejek Anjar. Deka Hegi Poetra: pernyataan anda malah sangat mngaskan bahwa filsafat adalah softbrain nya. justru karena itu ada yang namanya filsast...!!!!! saya klarifikasi kan ke anda bahwa,.. semua berawal dari filsafat.. krna anda sudah mmbantu menjelaskan pernyataan sy sebelumnya. omong2.. kita belum kenalan nih (2) :-)... Baca Selengkapnya tau2 langsung asyik ngobrolin barang ini. (3) :-) maaf, nama saya ..... emm... . ya seperti nick sy di fb ini. senang ngobrol dngn sampean. (4) :-) Lambang pada data (2) a.d. (9) melambangkan emosi yang sama yaitu tersenyum, namun senyum yang dimunculkan bermacam-macam. Seperti pada data (2), (3), dan (4) kenalan nih :-) Deka tersenyum ketika ia mengajak kenalan kepada Amay. Data (5) Mahmud ) :)) senyum sinis ketika ia mengatakan stempel halal untuk film 2012, data (6) (: yang dimaksud senyum juga namun salah penulisan lambang ketika Faiza mengatakan bahwa film 2012 seperti video game, data (7) Faiza ): senyum mengejek sambil mengatakan biar MUI puas, data (8) Akhmad ) :)) senyum-senyum sinis mengatakan MUI kebagian berapa bung? Dan data (9) Eka :) senyum sambil menyapa mbak Cia Belum tidur juga, atau sudah bangun?.

Page 153: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

147 |

Berikut dikemukakan prosentasi penggunaan penanda pengacuan atas dasar identifikasi terhadap penanda pengacuan di dalam facebook. Penanda pengacuan dengan tipe pengacuan persona, pengacuan demonstratif, dan pengacuan komparatif. Berikut ini disajikan tabel hasil analisis frekuensi pemakaian penanda pengacuan.

Tabel 1. Rincian Proporsi Pemakaian Jenis Penanda Pengacuan

NO JENIS PENGACUAN JUM

(%)

1. persona pertama 31 22,96%

2. persona kedua 39 28,89%

3. persona ketiga 8 5,93%

4. penunjuk umum 27 20,00%

5. penunjuk tempat 2 1,48%

6. penunjuk ihwal 3 2,22%

7. penunjuk waktu 3 2,22%

8. tingkat ekuatif 7 5,19%

9. tingkat komparatif 9 6,67%

10. tingkat superlatif 6 4,44%

Jumlah 135

Penanda pengacuan persona yang ditemukan dalam wacana tulis di facebook berjumlah78. Jika ditabelkan wujud penanda pengacuan tipe pronominal persona sebagai berikut:

Tabel 2. Proporsi Wujud Penanda Pengacuan Persona

No WUJUD

PENANDA JUML (%)

1 saya 18 23,08%

2 aku 1 1,28%

3 -ku 3 3.85%

4 gue 2 2.56%

5 kita 7 8,97%

6 kamu 4 5,13%

7 anda 13 16,67%

8 Kau- 8 10,26%

9 -mu 6 7,69%

Page 154: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 148

10 sampean 1 1,28%

11 ente 5 6,41%

12 you 1 1,28%

13 antum 1 1,28%

14 dia 4 5,13%

15 -nya 2 2,56%

16 mereka 2 2,56%

Jumlah 78

Penanda pengacuan tipe pronomina penunjuk dalam wacana tulis di facebook berjumlah 13. Jika ditabelkan wujud penanda pengacuan demonstratif sebagai berikut:

Tabel 3. Pengacuan Demostratif di Facebook

NO PENGACUAN DEMOSTRATIF JUML (%)

1 umum Ini 14 40,00%

2 Itu 13 37,14%

3 tempat Sini 1 2,86%

4 Sana 1 2,86%

5 ihwal Begini 2 5,71%

6 Begitu 1 2,86%

7 waktu Saat ini 2 5,71%

8 Hari ini 1 2,86%

Jumlah 35

Penanda pengacuan komperatif pun bervariasi. Variasi-variasi itu mencakup perbandingan tingkat ekuatif, perbandingan tingkat komperatif, dan perbandingan tingkat superlatif seperti dalam table di bawah ini:

Tabel 4. Pengacuan Pembanding di Facebook

NO PEMBANDINGAN JUM (%)

1 Tingkat ekuatif

Macam 1 5,88%

2 Seperti 1 5,88%

Page 155: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

149 |

3 Tingkat komperatif

Lebih 7 41,18%

4 Kurang 2 11,76%

5 Tingkat superlatif

Paling 2 11,76%

6 Semakin 4 23,53%

Jumlah 17

Simpulan dan Saran Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik simpulan bahwa wacana tersebut cukup kohesi dan koheren. Kekohesian wacana di facebook didukung oleh pengacuan pronominal persona pertama dan kedua sebagai pengacuan tertinggi, kemudian didukung oleh pengacuan pronominal penunjuk dan perbandingan. Pengacuan atau referensi merupakan salah satu jenis kohesi gramatikal yang mengacu pada satuan lingual lain yang mendahului. Dalam facebook terdapat jenis dan wujud penanda pengacuan. Jenis penanda pengacuan berdasarkan tempat acuannya menyangkut pengacuan endofora, sedangkan jenis penanda pengacuan menurut tipenya meliputi (1) pengacuan persona pertama, persona kedua, dan persona ketiga, (2) pengacuan demonstratif penunjuk umum, pronomina penunjuk tempat, pronomina penunjuk ihwal, dan penunjuk waktu, dan (3) pengacuan komparatif tingkat ekuatif, tingkat komparatif, dan tingkat superlatif. Wujud penanda pengacuan yang terdapat dalam wacana tulis di facebook yang ditemukan meliputi saya, aku, -ku, gue, kita, kamu, Anda, kau-, -mu, sampean, ente, you, antum, dia, -nya, mereka, ini, itu, sini, situ, begini, begitu, saat ini, hari ini, kaya, macam, seperti, lebih…, kurang…., paling, dan semakin. Terdapatnya pengacuan berbahasa daerah Jawa sampean, Arab ente, antum, bahasa Inggeris you, bahasa informal kaya, macam dan semakin, dapat dijelaskan bahwa bahasa di faceebook adalah bahasa tulis informal cenderung santai, tempat komunikasi antar teman yang berasal dari berbagai daerah. Oleh karena itu bahasa yang digunakan pun beragam dan bercampur dengan bahasa daerah orang tersebut. Berdasarkan hasil prosentase terhadap penanda pengacuan yang digunakan, jika dikaitkan dengan fungsi wacana tulis dalam facebook menunjukkan hubungan yang erat antara penanda yang digunakan dengan fungsi wacana tersebut. Ditandai dengan penggunaan pronomina persona pertama dan kedua yang menggantikan anteseden sebanyak 31 atau 22,96% dan 39 atau 28,89% dari data 135. Jika kedua

Page 156: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

SEMANTIK Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

| 150

persona dijumlahkan adalah 70 data atau 51,85%. Jadi lebih dari setengah jumlah keseluruhan data merupakan penanda persona sebagai pengganti orang pertama dan kedua yang berdialog aktif dalam facebook. Pengacuan pronominal persona ditunjang oleh pengacuan penunjuk sejumlah 35 data atau 25,92% dari 135 penanda pengacuan yang ditemukan, dan didukung oleh penggunaan pronomina umum sebanyak 27 atau 20%-nya. Hal ini, disebabkan karena penanda pengacuan ini 14 data mengacu dekat dengan penulis, ke masa yang akan datang, atau ke informasi yang akan disampaikan; dan ini 13 data bersifat umum, acuannya dapat mengacu ke acuan yang jauh dari penulis, ke masa lampau, atau ke informasi yang sudah disampaikan. Sedangkan pengacuan perbandingan berjumlah 22 data atau 16,30% dari jumlah keseluruhan data 135. Pengacuan perbandingan ini merupakan pendukung ketiga kepaduan wacana dialog di facebook. Saran-saran sebagai berikut, khusus penulis yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Penulisan wacana tulis berbahasa Indonesia harus memperhatikan pembentukan kalimat yang membentuk paragraf yang utuh. Keterkaitan dalam pembentukan paragraf dapat dilakukan dengan mengunakan penanda pengacuan. Penanda pengacuan merupakan salah satu cara membentuk hubungan dalam paragraf secara gramatikal.

DAFTAR REFERENSI A. Hamid Hasan Lubis. 1991. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa. Abdul Syukur Ibrahim (edt). 2009. Metode Analisis Teks dan Wacana. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar. Adjat Sakri. 1992. Bangun Paragraf Bahasa Indonesia. Bandung: Penerbit ITB. Bambang Hartono. 2000. Kajian Wacana Bahasa Indonesia. Diktat Perkuliahan.

Universitas Negeri Semarang. Brown and Yule. 1996. Discourse Analysis. Penerjemah I. Soetikno. Jakarta:

Gramedia. Hasan Alwi. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi 3. Jakarta: Balai

Pustaka. Jorgensen, Marianne W. 2007. Analisis Wacana Teori dan Metode. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar. M. Ramlan. 1993. Paragraf Alur Pikiran dan Kepaduannya dalam Bahasa Indonesia.

Yogyakarta: Andi Offset.

Page 157: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SEMANTIK

151 |

Nunan, David.1992. Mengembangkan Pemahaman Wacana: Teori dan Praktik. Terjemahan Elly, W. Silangen. Jakarta: Rebia Indah Pustaka.

Praptomo Baryadi. 2002. Dasar-dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Gondhosuli.

Poerwadarminta, W. J. S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Sarwiji Suwandi. 2009. Serba Linguistik. Surakarta: Sebelas Maret University Pres. Sumarlam edt. 2003. Teori dan Praktik Analisis Wacana. Surakarta: Pustaka Cakra. ------------------ edt. 2008. Analiss Wacana Iklan Lagu Puisi Cerpen Novel Drama.

Bandung: Pakar Raya. Sumadi, dkk. 2009. Kohesi dan Koherensi dalam Wacana Naratif Bahasa

Jawa.Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian

Wahana Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Tarigan, Henry Guntur. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa. Titscher, Stefen. 2009. Methods of Text and Discourse Analysis. Terjemahan.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Page 158: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang
Page 159: Pimpinan Umum - STKIP Siliwangi Bandungpublikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2012/09/Jurnal-Semantik.pdfTEKNIK CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS oleh : Drs.Didi Sahidin,M.Pd ... cara yang